Bab 2 - Widyatama Repository

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Teori Keagenan (Agency Theory)
Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya
berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori
prinsipal-agen menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu,
kelompok atau organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak,
baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan harapan
bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan oleh
prinsipal (dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang). Menurut Belkaoui
(2011:188), teori agensi mungkin berawal dengan adanya penekanan pada kontrak
sukarela yang timbul di antara berbagai pihak organisasi sebagai suatu solusi yang
efisien terhadap konflik kepentingan tersebut. Teori ini berubah menjadi suatu
pandangan atas perusahaan sebagai suatu “penghubung (nexus) kontrak” melalui
pernyataan oleh Jansen dan Meckling yang menyatakan bahwa perusahaan adalah
“cerita fiksi legal yang berfungsi sebagai penghubung atas serangkaian hubungan
kontrak antara individu.”
Berdasarkan teori keagenan, perusahaan adalah suatu legal fiction yang
berperan penting dalam proses mengarahkan tujuan-tujuan individu yang berbeda
ke keseimbangan dalam kerangka hubungan kontraktual. Jensen dan Meckling
(1976), mendefinisikan hubungan keagenan (agency relationship) sebagai berikut:
15 16 "an agency relationship as a contract under which one or more persons
(the principal(s)) engage another person (the agent) to perform some
service on their behalf which involves delegating some decision making
authority to the agent" (p.85).
Teori keagenan didasarkan pada pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian
(ownership and control). Pemisahan antara pemilikan dan pengendalian dapat
merupakan
bentuk
efisien
dari
perusahaan
dalam
kerangka
perspektif
"serangkaian kontrak" perusahaan merupakan serangkaian kontrak yang
mencakup cara dimana input diproses untuk menghasilkan output dan cara dimana
hasil dari output dibagi diantara input. Dalam perspektif nexus of contract ini,
kepemilikan perusahaan merupakan konsep yang tidak relevan dan fungsi
manajemen adalah mengawasi kontrak-kontrak diantara faktor-faktor dan
memastikan keberlangsungan perusahaan.
Menurut Eisenhardt (1989) dalam Emirzon (2007), teori keagenan
dilandasi oleh beberapa asumsi. Asumsi-asumsi tersebut dibedakan menjadi tiga
jenis, yaitu asumsi tentang sifat manusia, asumsi keorganisasian dan asumsi
informasi. Asumsi sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat
mementingkan diri sendiri (self-interest), manusia memiliki daya pikir terbatas
mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan manusia selalu
menghindari resiko (risk averse). Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik
antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria efektivitas dan adanya asimetri
informasi antara principal dan agent. Asumsi informasi adalah bahwa informasi
sebagai barang komoditi yang dapat diperjualbelikan.
17 Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia dijelaskan bahwa masing-masing
individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga
menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Pihak pemilik
(principal) termotivasi mengadakan kontrak untuk mensejahterahkan dirinya
dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Sedangkan manajer (agent)
termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan ekonomi dan psikologinya, antara
lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi.
Dengan demikian, terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan
dimana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan
tingkat kemakmuran yang dikehendaki.
Permasalahan yang timbul akibat adanya perbedaan kepentingan antara
prinsipal dan agen disebut dengan agency problems. Salah satu penyebab agency
problems adalah adanya asymmetric information. Asymmetric Information adalah
ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh prinsipal dan agen, ketika
prinsipal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agen, sebaliknya
agen memiliki lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja
dan perusahaan secara keseluruhan (Widyaningdyah, 2001)
Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut adalah:
1. Moral hazard, yaitu permasalahan muncul jika agen tidak melaksanakan
hal-hal yang disepakati bersama dalam kontrak kerja.
2. Adverse selection, yaitu suatu keadaan di mana prinsipal tidak dapat
mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar
18 didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai
sebuah kelalaian dalam tugas.
Teori keagenan berusaha untuk menjawab masalah keagenan yang terjadi
jika pihak-pihak yang saling bekerja sama memiliki tujuan dan pembagian kerja
yang berbeda. Secara khusus teori keagenan membahas tentang adanya hubungan
keagenan, dimana suatu pihak tertentu (principal) mendelegasikan pekerjaan
kepada pihak lain (agent) yang melakukan perkerjaan. Teori keagenan ditekankan
untuk mengatasi dua permasalahan yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan
(Eisenhardt, 1989 dalam Darmawati, 2005). Pertama adalah masalah keagenan
yang timbul pada saat (a) keinginan-keinginan atau tujuan-tujuan dari prinsipal
dan agen berlawanan dan (b) merupakan suatu hal yang sulit atau mahal bagi
prinsipal untuk melakukan verifikasi tentang apa yang benar-benar dilakukan oleh
agen. Permasalahannya adalah bahwa prinsipal tidak dapat memverifikasi apakah
agen telah melakukan sesuatu secara tepat. Kedua adalah masalah pembagian
resiko yang timbul pada saat prinsipal dan agen memiliki sikap yang berbeda
terhadap resiko. Dengan demikian, prinsipal dan agen mungkin memiliki
preferensi tindakan yang berbeda dikarenakan adanya perbedaan preferensi
resiko.
Menurut Hendriksen dan Breda (2000:221), menyatakan bahwa teori
keagenan memberikan peranan penting bagi akuntansi terutama dalam
menyediakan informasi setelah suatu kejadian yang disebut sebagai peranan
pascakeputusan. Peranan ini sering diasosiasikan dengan peran pengurusan
(stewardship) akuntansi, dimana seorang agen melapor kepada prinsipal tentang
19 kejadian-kejadian dimasa lalu. Inilah yang memberi akuntansi nilai umpan
baliknya selain nilai prediktifnya. Dimana nilai umpan balik menjelaskan bahwa
informasi juga mempunyai peran penting dalam menguatkan atau mengoreksi
harapan-harapan sebelumnya.
2.2
Good Corporate Governance
2.2.1 Pengertian Good Corporate Governance
Istilah pengelolaan perusahaan dapat dipandang dari definisi yang luas
maupun terbatas. Secara terbatas, istilah tersebut berkaitan dengan hubungan
antara pengelola (manajer), direktur dan pemegang saham dari perusahaan. Istilah
tadi juga dapat mencakup hubungan antara perusahaan itu sendiri dengan pembeli
saham dan masyarakat. Secara luas, istilah pengelolaan perusahaan dapat meliputi
kombinasi antara hukum, peraturan, aturan pendaftaran dan praktik pribadi yang
memungkinkan perusahaan tersebut menarik modal masuk, berkinerja secara
efisien, menghasilkan keuntungan dan memenuhi harapan masyarakat secera
umum dan sekaligus kewajiban hukum.
Beberapa pengertian yang diberikan oleh beberapa ahli sebagai bahan
perbandingan tentang pengertian good corporate governance, diantaranya adalah
sebagai berikut: Forum For Corporate Governance (FCGI, 2002) mendefinisikan
corporate governance sebagai:
“Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang,
pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan,
serta pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan
dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem
yang mengtur dan mengendalikan perusahaan.”
20 Dalam kaitannya dengan pengertian GCG ini, pada tahun 1992 melalui
apa yang dikenal dengan sebutan Cadbury Report, telah mengeluarkan definisi
tersendiri tentang GCG. Menurut Komite Cadburry, Good Corporate Governance
adalah:
“Prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar
mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan
dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholder
khususnya, dan stakeholder pada umumnya. Tentu saja hal ini
dimaksudkan pengaturan kewenangan direktur, manajer, pemegang
saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan
perusahaan di lingkungan tertentu.”
Sementara itu, menurut Center for European Policy Studies (CEPS) dalam
Daniri (2006:7), GCG merupakan seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak
(right), proses, serta pengendalian, baik yang ada di dalam maupun di luar
manajemen perusahaan.
The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD)
merupakan salah satu organisasi internasional yang sangat aktif mendukung
implementasi dan perbaikan corporate governance di seluruh dunia. OECD
mendefinisikan corporate governance dalam Sutojo dan Aldridge (2005) sebagai:
“Corporate governance is the system by which business corporations are
directed and controlled. The corporate governance structure specifies the
distribution of rights and responsibilities among different participants in
the corporation, such as the board, the managers, shareholders and other
stakeholders, and spells out the rules and procedures for making decisions
on corporate affairs. By doing this, it also provides the structure through
which the company objective are set, and the means of ataining those
objectives and monitoring performance."
Sementara itu, Asian Development Bank (ADB) sebagai suatu organisasi
yang mendorong perkembangan ekonomi negara-negara di benua Asia juga
21 menaruh perhatian yang besar terhadap corporate governance. Dalam laporannya
sebagai hasil penilaian terhadap kondisi corporate governance di 5 negara Asia,
ADB (2001) mendefinisikan corporate governance sebagai:
"A
corporate governance system consists of (1) a set of rules that define
the relationships between shareholders, managers, creditors, the
government and other stakeholders (i.e., their respective rights and
responsibilities) and (ii) a set of mechanisms that help directly or
indirectly to enforce these rules"(p.5).
Pengertian lain datang dari Finance Committee on Corporate Governance
Malaysia dalam Budiharta dan Gusnadi (2008), GCG merupakan:
“Suatu proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan
mengelola bisnis dan urusan-urusan perusahaan dalam rangka
meningkatkan kemakmuran bisnis dan akuntabilitas perusahaan dengan
tujuan utama mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang
dengan tetap memperhatikan kepentingan pihak-pihak lain.”
Kemudian, menurut pakar corporate governance dari Inggris, Jill Solomon
dan Aris Solomon dalam bukunya Corporate Governance and Accountability
(2004), menedefinisikan:
"Corporate governance is the system of checks and balances, both internal
and external to companies, which ensures that companies discharge their
accountability to all their stakeholders and act in a socially responsible
way in all areas of their business activity."
Dengan sudut pandang yang berbeda dari definisi corporate governance
yang dikemukakan di atas, Shleifer and Vishny (1997) dalam Wulandari (2011),
beragumentasi bahwa Corporate governance deals with the ways in which
suppliers of finance to corporations assure themselves of getting a return on their
investment.
22 Apabila definisi corporate governance dari OECD, ADB, dan Solomon
dan Solomon menekankan pada hubungan di antara semua pemangku kepentingan
perusahaan, seperti manajer, kreditur, pemerintah, dan pemegang saham, maka
definisi dari Shleifer dan Vishny lebih mengutamakan hubungan antara
manajemen perusahaan dengan investor. Dengan demikian, definisi yang
dikemukakan Shleifer dan Vishny bersifat lebih sempit dan hanya menekankan
pada akuntabilitas manajemen perusahaan kepada para pemegang sahamnya.
Sementara itu, definisi yang dikemukakan OECD, ADB, dan Solomon dan
Solomon bersifat lebih luas dan mendorong akuntabilitas pada kelompok yang
lebih luas, tidak hanya pemegang saham. Meskipun terdapat perbedaan dalam
definisi-definisi corporate governance tersebut di atas, namun secara umum
terdapat satu pengertian utama tentang corporate governance yaitu sebagai suatu
sistem yang mengarahkan dan mengendalikan jalannya perusahaan. Dari definisi
di atas juga dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance merupakan:
•
Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran
dewan komisaris, direksi, pemegang saham dan para stakeholder lainnya;
•
Suatu sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian
perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan
yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan; dan
•
Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan,
pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya.
23 2.2.2 Perkembangan Corporate Governance di Indonesia
Perkembangan corporate governance di Indonesia diawali dengan
timbulnya kesadaran untuk memperbaiki situasi perekonomian sebagai akibat
krisis ekonomi. Hasil penelitian Wulandari dan Rahman (2004) terhadap 100
perusahaan tercatat di BEJ tahun 1999 memperlihatkan bahwa corporate
governance perusahaan masih lemah. Hal tersebut diidentifikasikan dengan
struktur perusahaan yang kompleks, ketergantungan pembiayaan pada bank, dan
ketidakefektifan pengawasan oleh dewan komisaris. Untuk mengatasi hal tersebut,
pemerintah memfasilitasi dibentuknya Komite Nasional Kebijakan Corporate
Governance (KNKCG) pada tahun 1999.
Wulandari (2011), menyatakan bahwa KNKCG selain bertugas menyusun
pedoman umum good corporate governance, juga bertindak selaku organisasi
yang
menaungi
kegiatan-kegiatan
mempromosikan
penerapan
corporate
governance di perusahaan-perusahaan Indonesia. Dengan kata lain, KNKCG
menaungi kegiatan yang dilakukan lembaga-lembaga lain sejenis seperti FCGI
(Forum Corporate Governance Indonesia), ICGI (Institut Corporate Governance
Indonesia), IICD (Indonesian Institute of Corporate Directors), Lembaga
Komisaris dan Direktur Indonesia (LKDI), Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI)
dan lainnya. Di awal pembentukannya, KNKCG memfokuskan diri pada
kemajuan corporate governance, namun sejak tahun 2004 timbul kesadaran
bahwa perbaikan corporate governance perlu ditopang oleh perbaikan di bidang
public governance. Oleh karena itu, dilakukan perubahan nama KNKCG menjadi
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). Disamping perbaikan yang
24 dilakukan dari sudut kelembagaan yang mempromosikan corporate governance,
pemerintah juga melakukan banyak usaha perbaikan corporate governance
dengan mewajibkan perusahaan menerapkan beberapa mekanisme corporate
governance didalam kegiatannya. Berkaitan dengan kepemilikan saham
perusahaan, pemerintah pada tahun 2000 melalui peraturan Bapepam dan LK
sebagai pengawas kegiatan pasar modal, mewajibkan perusahaan mengungkapkan
nama pemegang saham yang memiliki 5% atau lebih saham perusahaan. Begitu
pula nama direksi dan komisaris yang memiliki saham perusahaan serta
perubahan kepemilikan saham harus dilaporkan tidak lebih dari 10 hari sejak
terjadinya transaksi. Sejak tahun 2001, Bursa Efek Jakarta mewajibkan semua
perusahaan yang tercatat untuk memiliki komite audit. Sementara itu, Bapepam
dan LK mensyaratkan hal yang serupa untuk semua perusahaan terbuka dan
perusahaan publik sejak Desember 2004. Komite audit dibentuk dan
bertanggungjawab kepada Dewan Komisaris. Anggota komite audit setidaknya
terdiri dari 1 orang komisaris independen, yang merangkap sebagai ketua, dan 2
orang anggota yang berasal dari luar perusahaan. Salah satu anggota komite audit
wajib memiliki keahlian di bidang keuangan. Dewan pengurus perusahaan di
Indonesia terdiri dari direksi dan dewan komisaris. Hal ini dikarenakan Indonesia
mengikuti two-tier board system. Direksi, selaku pengelola perusahaan,
merupakan 'manajemen' dalam one-tier system, sedangkan dewan komisaris,
sebagai pengawas, bertindak seperti board of directors dalam one-tier system.
Terdapat perbedaan jelas mengenai fungsi direksi dan komisaris, direksi tidak
dapat merangkap sebagai anggota atau ketua dewan komisaris. BEJ, sejak Juli
25 2001, mewajibkan perusahaan tercatat untuk memiliki komisaris independen.
Kewajiban tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa komisaris independen
akan dapat melindungi tidak hanya kepentingan pemegang saham minoritas tetapi
juga pemangku kepentingan lainnya secara seimbang dan transparan. Jumlah
komisaris independen harus proporsional dengan jumlah saham yang dimiliki oleh
selain pemegang saham pengendali, dan setidaknya 30% dari jumlah anggota
dewan komisaris. Menyadari pentingnya peranan auditor sebagai salah satu
mekanisme corporate governance, Bapepam dan LK melalui peraturan yang
diterbitkan pada 2002 berusaha meningkatkan independensi auditor. Untuk itu,
auditor dan kantor akuntan publik wajib dirotasi. Auditor wajib dirotasi setelah
memberikan jasanya selama 3 tahun berturut-turut, sedangkan kantor akuntan
publik setelah 5 tahun berturut-turut. Auditor atau kantor akuntan publik dapat
memberikan jasa audit kembali pada klien yang sama setelah 3 tahun berturutturut tidak mengaudit klien tersebut. Kewajiban rotasi auditor dan kantor akuntan
publik dipandang perlu untuk melindungi auditor dari kemungkinan timbulnya
dampak negatif akibat kedekatan hubungan dengan klien auditnya. Disamping itu,
hal tersebut akan memaksa auditor dan kantor akuntan publik untuk tetap
melakukan auditnya dengan kualitas tinggi karena kemungkinan hasil auditnya
akan menjadi subjek pemeriksaan auditor dan kantor akuntan publik berikutnya.
Sebagai dampaknya, dapat diharapkan bahwa kualitas audit akan membaik, dan
pada gilirannya hal tersebut dapat meningkatkan kredibilitas laporan keuangan
yang diaudit. Disamping itu, Bapepam dan LK juga melarang kantor akuntan
publik untuk memberikan beberapa jasa non-audit tertentu pada klien auditnya
26 untuk periode yang sama. Jasa-jasa tersebut antara lain meliputi pembukuan,
konsultasi manajemen, perpajakan, internal audit, dan jasa penasehat investasi.
Pemberian jasa non audit kepada klien audit dianggap membahayakan
independensi kantor akuntan publik karena dapat memberikan persepsi yang
keliru pada masyarakat bahwa kantor akuntan publik melakukan kompromi.
Berkaitan dengan remunerasi, perusahaan publik wajib mengungkapkan
remunerasi anggota direksi dan komisarisnya di laporan tahunan. Hal tersebut
diwajibkan dalam peraturan Bapepam dan LK tahun 1997 yang direvisi pada
2006. Melalui pemberian remunerasi yang dikaitkan dengan kinerja perusahaan,
pemegang saham dapat mengharapkan bahwa manajemen akan berusaha
semaksimal mungkin untuk meningkatkan kinerja perusahaan, yang berarti juga
meningkatkan kesejahteraan pemilik perusahaan. Sejak tahun 2002, dalam rangka
meningkatkan kesadaran perusahaan mengenai pentingnya corporate governance,
KNKG bekerja sama dengan 7 lembaga lainnya mengadakan kontes laporan
tahunan atau dikenal dengan nama Annual Report Award (ARA). Lembagalembaga yang turut terlibat dalam kegiatan ARA adalah Bapepam dan LK,
Kementerian Negara BUMN, Bank Indonesia, Bursa Efek Jakarta, Direktorat
Jenderal Pajak, dan Ikatan Akuntan Indonesia. Keterbukaan informasi, khususnya
mengenai good corporate governance dalam laporan tahunan, seperti kegiatan
dan remunerasi direksi dan komisaris, komite audit, manajemen risiko, dan lain
sebagainya, menjadi acuan utama penilaian. Peserta ARA tidak dibatasi hanya
bagi perusahaan terbuka, tetapi semua jenis perusahaan, baik BUMN maupun
non-BUMN, baik dari industri jasa keuangan maupun non-jasa keuangan.
27 Penelaahan mengenai kualitas keterbukaan pemenang ARA dari tahun ke tahun
menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Ikatan Akuntan Indonesia
Kompartemen Akuntan Manajemen bekerja sama dengan KNKG, BEJ, Bapepam
dan LK serta Kementerian Negara Lingkungan Hidup, sejak tahun 2005,
menyelenggarakan Indonesian Sustainability Reporting Award (ISRA). ISRA
bertujuan mempromosikan sustainability reporting atau triple-bottom line
reporting, yang menekankan pelaporan kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan
perusahaan. Tahun 2006, terdapat 4 peserta ISRA yang menyajikan laporan
Corporate Social Responsibility (CSR) dan Sustainability Reporting terpisah dari
laporan tahunan. Hal tersebut menunjukkan kesadaran perusahaan mengenai
pentingnya informasi mengenai tanggung jawab sosial dan keberlanjutan
perusahaan bagi para pemangku kepentingannya.
2.2.3 Tujuan Good Corporate Governance
Pada dasarnya GCG diterapkan pada dua sektor yaitu pasar modal dan
BUMN. Sedangkan tujuan penerapan GCG pada BUMN berlandaskan Keputusan
Menteri BUMN Nomor 117/M-MBU/2002 pasal 4 adalah :
1. Memaksimalkan BUMN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan,
akuntabilitas,
dapat
dipercaya,
bertanggung-jawab,
dan
adil
agar
perusahaan memiliki budaya saing yang kuat, baik secara Nasional maupun
Internasional.
2. Mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, transparan dan efisien,
serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian organ.
28 3. Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan
tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kesadaran akan adanya
tanggung jawab sosial BUMN terhadap stockholder maupun kelestarian
lingkungan disekitar BUMN.
4. Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian sosial.
5. Meningkatkan iklim investasi nasional.
6. Menyukseskan program privatisasi BUMN.
2.2.4 Manfaat Good Corporate Governance
Manfaat langsung yang dirasakan perusahaan dengan penerapan GCG
adalah meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha. Manfaat lain GCG adalah
bukan saat ini, tetapi juga dalam jangka panjang dapat menjadi pilar utama
pendukung tumbuh kembangnya perusahaan sekaligus pilar pemenang era
persaingan global.
Menurut Daniri (2005), dalam bukunya “Konsep dan Penerapan GCG”
manfaat dengan adanya penerapan GCG diyakini akan menolong perusahaan dan
perekonomian suatu negara yang sedang tertimpa krisis bangkit menuju ke arah
yang lebih sehat, mampu bersaing, dikelola secara dinamis serta profesional.
Ujungnya adalah daya saing yang tangguh yang diikuti oleh pulihnya kepercayaan
investor.
Menurut FCGI (2003), dengan melaksanakan Corporate Governance, ada
beberapa manfaat yang dapat diperoleh yaitu:
29 1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan
keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan
serta lebih meningkatkan pelayanan kepada Stakeholders.
2. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah yang
pada akhirnya akan meningkatkan corporate value.
3. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di
Indonesia.
4. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan sekaligus
akan meningkatkan shareholders value dan deviden.
Sedangkan manfaat Corporate Governance menurut Sjahputra (2002:9),
adalah sebagai berikut:
1. Perbaikan dalam komunikasi.
2. Meminimalisasi potensial benturan.
3. Fokus pada strategi-strategi utama.
4. Peningkatan dalam produktivitas dan efisiensi.
5. Kesinambungan manfaat (sustainability of benefit).
6. Promosi citra korporat (corporate image).
7. Peningkatan kepuasan pelanggan.
8. Perolehan kepercayaan investor.
2.2.5 Perlunya Good Corporate Governance
Wulandari (2011), menyatakan bahwa banyak alasan yang dikemukakan
tentang perlunya perusahaan menerapkan prinsip good corporate governance.
30 Namun demikian, satu alasan utama yang dikemukakan para pakar adalah bahwa
prinsip-prinsip corporate governance diperlukan untuk mengatasi masalah yang
ada dalam pengelolaan perusahaan. Banyak pihak seperti pembuat kebijakan,
praktisi, dan akademisi berpendapat bahwa perbaikan corporate governance
merupakan suatu hal yang harus dilakukan, seperti melalui pembentukan komite
audit, peningkatan transparansi informasi, keberadaan komisaris independen,
meningkatkan hubungan dengan investor, dan pemberian remunerasi yang
dikaitkan dengan kinerja perusahaan, dan sebagainya. Meskipun demikian, dalam
perkembangannya tidak sedikit yang meragukan perbaikan dalam corporate
governance. Banyak manajemen perusahaan yang keberatan dengan kebijakan
peningkatan keterbukaan informasi yang harus disampaikan kepada publik.
Mereka menolak untuk mengkomunikasikan strategi dan kebijakan yang diambil
kepada investor utamanya. Ada anggapan bahwa keberadaan komisaris
independen dan implementasi mekamisme corporate governance lainnya akan
memperlambat
proses
pengambilan
keputusan
didalam
perusahaan
dan
meningkatkan prosedur birokrasi dalam perusahaan. Perpanjangan prosedur
tentunya akan menghambat kreativitas dan inovasi. Begitu pula, biaya yang harus
ditanggung perusahaan dalam mengimplementasikan mekanisme corporate
governance juga tidak sedikit. Pendapat seperti di atas tentunya tidak dapat
diabaikan. Diperlukan adanya keseimbangan antara peningkatan akuntabilitas dan
keterbukaan perusahaan dengan peningkatan kemampuan perusahaan untuk
beroperasi secara efisien dan efektif.
31 Di pasar keuangan sendiri terdapat peningkatan kesadaran bahwa good
corporate governance berkaitan dengan perusahaan yang besar. Komunitas
investor institusi beranggapan bahwa perbaikan dalam corporate governance
cenderung akan memperbaiki kinerja dan bukannya menghambat perkembangan
perusahaan (Solomon dan Solomon, 2004). Disamping itu, hasil penelitan
Solomon dan Solomon juga memperlihatkan bahwa corporate governance sama
pentingnya baik bagi perusahaan kecil maupun perusahaan besar. Investor
institusi sangat mendukung perbaikan yang berkelanjutan dalam corporate
governance. Hal tersebut tentunya merupakan salah satu faktor pendukung utama
bagi perusahaan untuk memperbaiki corporate governancenya apabila ingin tetap
memperoleh pendanaan dari investor.
2.2.6 Prinsip – prinsip Dasar Good Corporate Governance
Menurut Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) No.
KEP-117/M/MBU/2002 tentang penerapan praktik Good Corporate Governance
pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), terdapat 5 prinsip-prinsip GCG:
1. Transparansi
Yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan
dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materil dan relevan
mengenai perusahaan.
2. Kemandirian
Yaitu suatu keandalan dimana perusahaan dikelola secara profesional
tanpa benturan kepentingan dan pengaruh tekanan dan pihak manapun
32 yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
prinsip-prinsip korporasi yang sehat.
3. Akuntabilitas
Yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban organ
sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif.
4. Pertanggungjawaban
Yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang
sehat.
5. Kewajaran/Keadilan
Yaitu keadilan dan kesataran di dalam memenuhi hak-hak stakeholders
yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
OECD mengembangkan prinsip-prinsip corporate governance sejak tahun
1998. Prinsip-prinsip good corporate governance dari OECD pertama kali
diluncurkan pada tahun 1999 dan menjadi acuan utama dalam penyusunan code of
good corporate governance bagi negara-negara di seluruh dunia. Banyak institusi
international, seperti World Bank, International Monetary Fund (IMF), dan
International Organization for Securities Commission (IOSCO) menjadikan
prinsip corporate governance OECD sebagai benchmark bagi penilaian kondisi
corporate governance di suatu negara. Berdasarkan hasil diskusi dan konsultasi
dengan pihak-pihak yang relevan serta memperhatikan perkembangan yang
terjadi, prinsip-prinsip corporate governance OECD tersebut direvisi pada tahun
33 2004. Prinsip-prinsip corporate governance OECD (the OECD Principles of
Corporate Governance) 2004 mencakup 6 bidang yaitu:
1.
Landasan hukum yang diperlukan untuk memastikan penerapan corporate
governance secara efektif.
Untuk memastikan penerapan corporate governance yang efektif
diperlukan adanya landasan hukum, peraturan dan institusi yang dapat
menjadi acuan bagi para pelaku bisnis dalam melaksanakan aktivitasnya.
Kerangka penerapan tersebut harus dikembangkan dengan mengantisipasi
dampaknya terhadap kinerja ekonomi, integritas pasar, dan insentif yang
diberikannya kepada para pelaku bisnis.
2.
Hak pemegang saham dan fungsi pokok kepemilikan perusahaan.
Penerapan corporate governance harus melindungi dan memfasilitasi
terlaksananya hak-hak pemegang saham. Hak-hak dasar pemegang saham
meliputi hak untuk: memperoleh perlindungan kepemilikan sahamnya
secara aman, mentransfer sahamnya, memperoleh informasi perusahaan
secara berkala dan tepat waktu, berpartisipasi dalam rapat umum
pemegang saham (RUPS), dan dapat memilih direksi dan komisaris, serta
berhak atas keuntungan perusahaan sesuai dengan porsi kepemilikan
sahamnya.
3.
Perlakuan yang adil terhadap para pemegang saham.
Kerangka corporate governance harus memastikan bahwa seluruh
pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan pemegang
saham asing, memperoleh perlakuan yang adil dan setara. Kesetaraan
34 tersebut harus berlaku untuk semua pemegang saham yang memiliki
saham dengan kelas saham yang sama. Hal tersebut juga termasuk
kesempatan untuk memperoleh penggantian apabila hak-haknya dilanggar.
4.
Peranan pemangku kepentingan dalam corporate governance.
Kerangka corporate governance harus mengakui hak-hak pemangku
kepentingan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Apabila
hak-hak
tersebut
dilanggar,
perusahaan
harus
memastikan bahwa pemangku kepentingan akan memperoleh penggantian.
Perusahaan juga harus mendorong kerja sama aktif antara perusahaan
dengan para pemangku kepentingannya untuk meningkatkan kesejahteraan
dalam rangka menjaga keberlangsungan perusahaan.
5.
Pengungkapan informasi perusahaan secara transparan.
Kerangka corporate governance harus memastikan bahwa keterbukaan
informasi perusahaan secara akurat dan tepat waktu harus dilakukan.
Keterbukaan tersebut harus mencakup, tetapi tidak terbatas pada informasi
yang material mengenai kinerja keuangan perusahaan, transaksi benturan
kepentingan, pengelolaan risiko, struktur pengelolaan dan kebijakan
perusahaan, khususnya tentang prinsip corporate governance.
6.
Tanggung jawab dewan pengurus.
Kerangka corporate governance harus memberikan acuan mengenai
pengelolaan strategis perusahaan, pengawasan terhadap pengurus, dan
akuntabilitas pengurus kepada perusahaan dan pemegang saham. Hal
tersebut berarti bahwa pengurus perusahaan harus bertindak berdasarkan
35 informasi yang cukup, dengan niat baik, dan semata-mata untuk
kepentingan perusahaan. Pengurus perusahaan juga harus memperlakukan
semua pemegang saham secara setara dan berdasarkan standar etika.
Pengurus perusahaan harus melakukan beberapa fungsi penting, seperti:
menelaah dan memutuskan strategi pengelolaan perusahaan; meyusun
perencanaan, kebijakan pengelolaan risiko, menyusun anggaran serta
menerapkannya
kemungkinan
dan
mengawasinya;
timbulnya
benturan
memonitor
kepentingan
dan
diantara
mengelola
pengurus,
pemegang saham, dan karyawan kunci perusahaan.
2.2.7 Pedoman Umum Good Corporate Governance di Indonesia
Adanya
kesadaran
mengenai
perlunya
suatu
lembaga
yang
mengkoordinasi kegiatan-kegiatan yang memacu implementasi good corporate
governance di Indonesia mendorong pemerintah untuk membentuk Komite
Nasional
Kebijakan
Corporate
Governance
(KNKCG).
Dalam
rangka
melaksanakan tugasnya, KNKCG menyusun Pedoman Good Corporate
Governance. Pedoman ini pertama kalinya diterbitkan pada tahun 1999 dan
memperoleh sambutan yang baik dari dunia bisnis. Melalui beberapa kali
penyempurnaan, saat ini yang berlaku adalah Pedoman Good Corporate
Governance Indonesia yang diterbitkan pada tahun 2006, yang meliputi beberapa
hal sebagai berikut:
1. Penciptaan situasi kondusif untuk melaksanakan good corporate
governance.
36 Pelaksanaan good corporate governance memerlukan peran serta 3 pihak
utama, yaitu negara, dunia usaha, dan masyarakat. Masing-masing pihak
memiliki perannya sendiri-sendiri. Negara dan perangkatnya berperan
sebagai regulator, yang bertugas menyediakan perangkat peraturan
perundang-undangan untuk menunjang terciptanya iklim usaha yang sehat,
efisien, dan transparan, dan juga melakukan penegakan hukum. Dunia
usaha selaku pelaku pasar bertugas menerapkan good corporate
governance dalam aktivitas bisnisnya, dan masyarakat sebagai konsumen
dari produk dunia usaha harus memperlihatkan kepeduliannya dan
melakukan kontrol sosial secara obyektif.
2. Asas good corporate governance.
Terdapat 5 asas corporate governance yang harus diterapkan oleh dunia
usaha pada setiap aktivitas bisnisnya. Asas-asas tersebut meliputi:
transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, kewajaran dan
kesetaraan.
3. Etika bisnis dan pedoman perilaku.
Pelaksanaan good corporate governance perlu menjunjung tinggi etika
bisnis yang berlaku. Untuk itu, diperlukan penjabaran lebih lanjut dari
etika bisnis tersebut menjadi pedoman perilaku bagi semua karyawan
dalam mencapai tujuan perusahaan.
4. Organ perusahaan.
Organ perusahaan terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS),
Dewan Komisaris, dan Direksi. Setiap organ memiliki fungsinya sendiri-
37 sendiri sesuai dengan ketetuan yang berlaku. Dalam konteks good
corporate governance, masing-masing organ harus melakukan tugasnya
secara independen untuk kepentingan perusahaan.
5. Pemegang saham.
Sebagai pemilik perusahaan, pemegang saham memiliki hak dan tanggung
jawab terhadap perusahaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pelaksanaan hak dan tanggung jawab pemegang saham tersebut harus
memperhatikan kelangsungan hidup perusahaan. Begitu pula perusahaan
harus menjamin dapat terpenuhinya hak dan tanggung jawab para
pemegang saham.
6. Pemangku kepentingan.
Antara perusahaan dengan pemangku kepentingan, seperti karyawan,
mitra bisnis, dan masyarakat, harus terjalin hubungan yang saling
menguntungkan berlandaskan asas kewajaran dan kesetaraan (fairness).
Untuk itu, perusahaan harus menjamin tidak adanya diskriminasi,
kerjasama atas dasar prinsip saling menguntungkan, dan memperhatikan
kepentingan umum.
7. Pernyataan tentang penerapan pedoman good corporate governance.
Perusahaan harus membuat pernyataan tentang kesesuaian penerapan good
corporate governance dalam segala aspek aktivitas perusahaan dengan
Pedoman Good Corporate Governance dalam laporan tahunannnya.
8. Pedoman praktis penerapan good corporate governance.
38 Perusahaan harus menyusun pedoman praktis penerapan good corporate
governance yang mengacu pada Pedoman Good Corporate Governance
untuk memastikan bahwa implementasi good corporate governance di
perusahaan dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan.
2.2.8 Mekanisme Corporate Governance
Wulandari (2011), menyatakan bahwa literatur dibidang akuntansi,
keuangan, hukum dan ekonomi menjelaskan bahwa pemilik dana perusahaan
dapat memperoleh kepastian untuk memperoleh hasil atas investasinya melalui
berbagai mekanisme corporate governance. Mekanisme corporate governance
dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu: spesifik perusahaan (firm specific),
spesifik negara (country spesific) dan mekanisme governance pasar. Klasifikasi
tersebut akan mempermudah pemahamam peranan khusus mekanisme corporate
governance dalam konteks perusahaan secara lebih luas. Mekanisme governance
spesifik perusahaan dapat diatur dan dikendalikan oleh perusahaan untuk
mencapai tujuan memaksimalkan nilai pemegang saham. Pada umumnya yang
tercakup sebagai mekanisme governance spesifik perusahaan adalah struktur
kepemilikan saham, pembiayaan perusahaan, auditing, komite audit, dewan
pengurus, dan kompensasi manajemen. Mekanisme governance spesifik negara
bersifat eksternal terhadap perusahaan, dan berada di bawah pengendalian
pemerintah dan institusi yang diakui secara luas seperti institusi profesi.
Mekanisme governance spesifik negara yang dibahas adalah sistem hukum,
kebudayaan dan standar serta praktik akuntansi. Mekanisme governance pasar
39 didasarkan kepada tingkat perkembangan pasar modal, mekanisme ini terdapat
pada pasar bagi pengendalian perusahaan.
Ada beberapa mekanisme corporate governance yang digunakan dalam
penelitian ini untuk mengetahui pengaruhnya terhadap praktik perataan laba yang
merupakan bagian dari pola manajemen laba, diantaranya adalah kualitas auditor
yang diproksikan dengan ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP), proporsi dewan
komisaris independen, dan keberadaan komite audit yang diproksi dengan
frekuensi pertemuan komite audit.
2.2.8.1 Kualitas Auditor
Audit merupakan salah satu elemen yang penting dalam menciptakan
efisiensi pasar modal, karena audit dapat meningkatkan kredibilitas informasi
keuangan yang secara langsung dapat menciptakan tata kelola perusahaan yang
lebih baik melalui pelaporan keuangan yang lebih transparan. DeAngelo (1981),
mendefinisikan kualitas audit (audit quality) sebagai:
“Probabilitas dimana seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang
adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya. Probabilitas
penemuan suatu pelanggaran tergantung pada kemampuan teknikal auditor
dan independensi auditor tersebut.”
Berdasarkan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), audit yang
dilaksanakan auditor tersebut dapat berkualitas jika memenuhi ketentuan atau
standar auditing. Standar auditing mencakup mutu professional (professional
qualities) auditor independen, pertimbangan (judgment) yang digunakan dalam
pelaksanaan audit dan penyusunan laporan auditor.
40 1. Standar umum: auditor harus memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang
memadai, independensi dalam sikap mental dan kemahiran profesional
dengan cermat dan seksama.
2. Standar pelaksanaan pekerjaan lapangan: perencanaan dan supervise audit,
pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern, dan bukti
audit yang cukup dan kompeten.
3. Standar pelaporan: pernyataan apakah laporan keuangan sesuai dengan
prinsip
akuntansi
yang
berlaku
umum,
pernyataan
mengenai
ketidakkonsistensian penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum,
pengungkapan informatif dalam laporan keuangan, dan pernyataan
pendapat atas laporan keuangan secara keseluruhan.
DeAngelo (1981), berargumentasi bahwa kualitas audit secara langsung
berhubungan dengan ukuran dari perusahaan audit, dengan proksi untuk ukuran
perusahaan audit adalah jumlah klien. Perusahaan audit yang besar adalah dengan
jumlah klien yang lebih banyak.
Beberapa penelitian menyebutkan bahwa adanya hubungan antara kualitas
audit dengan ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP). Ukuran KAP merupakan
ukuran yang digunakan untuk menentukan besar kecilnya suatu Kantor Akuntan
Publik. Ukuran Kantor Akuntan Publik dapat dikatakan besar jika KAP tersebut
berafiliasi dengan Big 4, mempunyai cabang dan kliennya perusahaan-perusahaan
besar serta mempunyai tenaga profesional diatas 25 orang. Sedangkan Ukuran
Kantor Akuntan Publik dikatakan kecil jika tidak berafiliasi dengan Big 4, tidak
41 mempunyai kantor cabang dan kliennya perusahaan kecil serta jumlah
profesionalnya kurang dari 25 orang (Arens, et al, 2003).
KAP yang besar lebih independen dibandingkan dengan KAP yang kecil.
Dengan alasan bahwa ketika KAP besar kehilangan satu klien tidak begitu
berpengaruh terhadap pendapatannya. Akan tetapi jika KAP kecil kehilangan satu
klien sangat berarti karena kliennya sedikit. Sehingga KAP besar seperti Big 4
biasanya dianggap lebih mampu mempertahankan independensi auditor daripada
KAP kecil. Selain itu, perusahaan audit yang lebih besar umumnya dianggap
sebagai penyedia kualitas audit tinggi dan memiliki reputasi tinggi di lingkungan
bisnis (DeAngelo, 1981), serta KAP yang lebih besar juga dianggap lebih mandiri
dari KAP yang kecil dalam menahan tekanan manajemen jika terjadi perselisihan.
Adapun ketentuan pelaksanaan audit atas laporan keuangan oleh auditor
independen diatur dalam Peraturan Nomor VIII.A.1/Keputusan Ketua Bapepam
No. Kep-34/PM/2003 tentang Pendaftaran Akuntan Yang Melakukan Kegiatan
Dipasar Modal. Peraturan ini mewajibkan kepada akuntan publik yang melakukan
kegiatan di pasar modal untuk mendaftar di BAPEPAM dengan persyaratan
sebagai berikut :
•
Mempunyai izin praktek dari Menteri Keuangan;
•
Tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan atau dihukum karena
terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan;
•
Memiliki akhlak dan moral yang baik;
•
Wajib memiliki keahlian di bidang Pasar Modal, dan persyaratan keahlian
dapat dipenuhi melalui program pelatihan yang diselenggarakan oleh
42 organisasi profesi Akuntan atau pihak lain yang disetujui oleh organisasi
profesi Akuntan;
• Sanggup secara terus-menerus mengikuti program Pendidikan Profesi
Lanjutan (PPL) di bidang Akuntansi dan peraturan perundang-undangan
di bidang Pasar Modal sekurang-kurangnya 5 (lima) satuan kredit profesi
(SKP) setiap tahun;
• Sanggup melakukan pemeriksaan sesuai dengan Standar Profesional
Auditor independen (SPAP) dan Kode Etik Profesi, serta senantiasa
bersikap independen;
• Berkedudukan sebagai rekan pada Kantor Akuntan yang memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
1) Kantor akuntan yang bersangkutan memiliki izin usaha kantor akuntan
dan dipimpin oleh akuntan yang telah memiliki izin praktek dari
Menteri Keuangan;
2) Dalam melakukan pemeriksaan, akuntan menerapkan paling tidak 2
(dua) jenjang pengendalian (supervisi) yaitu rekan yang bertanggung
jawab (menandatangani laporan), dan pengawas menengah yang
melakukan pengawasan terhadap staf pelaksana;
3) Telah menjadi anggota Forum Akuntan Pasar Modal (FAPM) dari
Ikatan Akuntan Indonesia-Kompartemen Auditor Independen (IAIKAP);
43 4) Sanggup menjalani review eksternal oleh IAI-KAP dan atau review
Bapepam tentang pengendalian mutu pada Kantor Akuntan yang
bersangkutan; dan
5) Bagi kantor akuntan yang hanya memiliki 1 (satu) orang rekan, untuk
dapat melaksanakan kegiatan di Pasar Modal wajib membuat surat
perjanjian kerjasama dengan kantor akuntan lain, yang mempunyai
rekan yang sudah terdaftar di Bapepam, tentang pengalihan tanggung
jawab apabila akuntan yang bersangkutan berhalangan untuk
melaksanakan tugasnya.
2.2.8.2 Dewan Komisaris Independen
Dewan komisaris memegang peranan yang sangat penting dalam
perusahaan, terutama dalam pelaksanaan good corporate governance. Menurut
Egon Zehnder International (2000) dalam FCGI (2001), dewan komisaris
merupakan inti dari corporate governance yang ditugaskan untuk menjamin
pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola
perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas.
Dewan komisaris menggambarkan puncak dari sistem pengendalian pada
perusahaan besar, yang memiliki peran ganda yaitu peran untuk memonitor dan
pengesahan (ratification). Fama dan Jensen (1983), menyatakan bahwa
pengendalian keputusan yang efektif merupakan fungsi positif dari rasio dewan
komisaris eksternal dengan total keanggotaan dewan komisaris. Tujuan dari
aktivitas pengawasan oleh dewan komisaris eksternal adalah untuk memberikan
44 signal kepada pasar mengenai reputasi aktivitas pengawasan yang efektif di dalam
perusahaan. Dewan komisaris yang independen secara umum mempunyai
pengawasan yang lebih baik terhadap manajemen, sehingga mempengaruhi
kemungkinan kecurangan dalam menyajikan laporan keuangan yang dilakukan
oleh manajer (Chtourou et. al., 2001) atau dengan kata lain, semakin kompeten
dewan komisaris maka semakin mengurangi kemungkinan kecurangan dalam
pelaporan keuangan.
Dewan komisaris diharapkan dapat bertindak independen dan kritis, baik
antara satu sama lain, maupun terhadap direksi. Independen disini berarti
komisaris bukan sekedar rubberstamp dari direksi tetapi aktif dalam
mempertimbangkan (review) bahkan mengkritisi (challenge) kebijakan strategi
direksi, dengan kata lain komisaris harus mampu untuk memberikan pandangan
yang bersifat independen terhadap direksi (Daniri, 2006).
Dewan komisaris independen menurut ketentuan Bapepam No. Kep29/PM/2004, adalah:
“Anggota komisaris yang berasal dari luar emiten atau perusahaan publik,
tidak mempunyai saham, baik langsung maupun tidak langsung pada emiten
atau perusahaan publik, tidak mempunyai afiliasi dengan emiten atau
perusahaan publik, komisaris, direksi atau pemegang saham utama emiten
atau perusahaan publik serta tidak memiliki hubungan usaha, baik langsung
maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha emiten atau
perusahaan publik.”
Keberadaan dewan komisaris independen telah diatur Bursa Efek Jakarta
melalui peraturan BEJ tanggal 1 Juli 2000, dikemukakan bahwa perusahaan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia harus mempunyai komisaris independen yang
secara proporsional sama dengan jumlah saham yang diniliki pemegang saham
45 yang minoritas (bukan controlling shareholders). Dalam peraturan ini,
persyaratan jumlah minimal komisaris independen adalah 30% dari seluruh
anggota dewan komisaris. Beberapa kriteria lainnya tentang komisaris independen
adalah sebagai berikut:
1. Komisaris independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang
saham
mayoritas
atau
pemegang
saham
pengendali
(controlling
shareholders) perusahaan tercatat yang bersangkutan.
2. Komisaris independen tidak memiliki hubungan dengan direktur dan/atau
komisaris lainnya perusahaan tercatat yang bersangkutan.
3. Komisaris
independen
tidak
memiliki
kedudukan
rangkap
pada
perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan tercatat yang
bersangkutan.
4. Komisaris independen harus mengerti peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal.
5. Komisaris independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham
minoritas yang bukan merupakan pemegang saham pengendali (bukan
controlling shareholders) dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).
Menurut Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance terdapat
beberapa tanggung jawab dewan komisaris independen, diantaranya:
1. Komisaris independen memiliki tanggung jawab pokok untuk mendorong
diterapkannya prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate
governance) di dalam perusahaan melalui pemberdayaan dewan komisaris
46 agar dapat melakukan tugas pengawasan dan pemberian nasehat kepada
direksi secara efektif dan lebih memberikan nilai tambah bagi perusahaan.
2. Dalam upaya untuk melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik maka
komisaris independen harus secara proaktif mengupayakan agar dewan
komisaris melakukan pengawasan dan memberikan nasehat kepada direksi
yang terkait dengan, namun tidak terbatas pada hal-hal sebagai berikut:
a. Memastikan bahwa perusahaan memiliki strategi bisnis yang efektif,
termasuk di dalamnya memantau jadwal, anggaran dan efektifitas
strategi tersebut.
b. Memastikan bahwa perusahaan mengangkat eksekutif dan manajermanajer professional.
c. Memastikan
bahwa
perusahaan
memiliki
informasi,
sistem
pengendalian, dan sistem audit yang bekerja dengan baik.
d. Memastikan bahwa perusahaan mematuhi hukum dan perundangundangan yang berlaku maupun nilai-nilai yang ditetapkan perusahaan
dalam menjalankan operasinya.
e. Memastikan resiko dan potensi krisis selalu diidentifikasikan dan
dikelola dengan baik.
f. Memastikan prinsip-prinsip dan praktek good corporate governance
dipatuhi dan diterapkan dengan baik.
3. Tugas komisaris independen sebagaimana yang dimaksud pada butir 2.f
diatas antara lain:
a. Menjamin transparansi dan keterbukaan laporan keuangan perusahaan.
47 b. Perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas dan
stakeholder yang lain.
c. Diungkapkannya transaksi yang mengandung benturan kepentingan
secara wajar dan adil.
d. Kepatuhan perusahaan pada perundangan dan peraturan yang berlaku.
e. Menjamin akuntabilitas organ perseroan.
2.2.8.3 Komite Audit
Komite audit merupakan mekanisme corporate governance yang penting.
Sejak awalnya, komite audit sudah berubah secara signifikan, dan saat ini
dianggap sebagai salah satu karakteristik corporate governance yang efektif.
Lebih jauh lagi, Knapp (1987) dalam Wulandari (2011), menyimpulkan bahwa
komite audit memperkuat posisi auditor bila terdapat perbedaan pendapat dengan
manajemen. Dalam hal ini, independensi komite audit dapat membantu eksternal
auditor dalam berargumentasi dengan manajemen. Komite audit merupakan
“mata” dan “telinga” dewan komisaris dalam rangka mengawasi jalannya
perusahaan. Kehadiran komite audit telah mendapat respon yang cukup positif
dari berbagai pihak, antara lain pemerintah, Badan Pengawas Pasar Modal dan
Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK), Bursa Efek Indonesia (BEI), para investor,
profesi penasehat hukum (advokat), profesi akuntan serta perusahaan penilai
independen (independent appraisal company) (Effendi, 2008).
Komite Audit diperkenalkan pertama kali oleh Bapepam kepada emiten
pada tahun 2000 dengan dikeluarkannya Surat Edaran Ketua Bapepam No. SE-
48 03/PM/2000. Berdasarkan perkembangan terakhir, Bapepam mewajibkan setiap
emiten untuk membentuk Komite Audit paling lambat 31 Desember 2004
dengan Surat Edaran No. SE-07/PM/2004.
Ketentuan tentang Komite Audit telah mengalami beberapa perubahan,
yang terakhir diatur dengan Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep29/PM/2004 atau Peraturan Nomor IX.I.5. Hal-hal yang diatur mencakup antara
lain :
1. Pembentukan Komite Audit
a. Emiten atau perusahaan publik wajib memiliki komite audit;
b. Emiten atau perusahaan publik wajib memiliki pedoman kerja komite
audit (audit committee charter);
c. Komite audit bertanggung jawab kepada dewan komisaris;
d. Komite audit terdiri dari sekurang-kurangnya satu orang komisaris
independen dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota lainnya berasal
dari luar emiten atau perusahaan publik.
2. Pedoman Pembentukan Komite Audit
a. Struktur Komite Audit
1) Anggota Komite Audit diangkat dan diberhentikan oleh Dewan
Komisaris dan dilaporkan kepada RUPS.
2) Ketua Komite Audit adalah komisaris independen. Jika terdapat lebih
dari satu komisaris independen maka salah satu dari komisaris
independen bertindak sebagai ketua Komite Audit.
b. Keanggotaan Komite Audit
49 1) Memiliki integritas yang tinggi, kemampuan, pengetahuan dan
pengalaman
yang
memadai
sesuai
dengan
latar
belakang
pendidikannya, serta mampu berkomunikasi dengan baik;
2) Salah seorang anggota Komite Audit berlatar belakang pendidikan
akuntansi dan keuangan;
3) Berpengetahuan yang cukup untuk membaca dan memahami laporan
keuangan;
4) Mempunyai
pengetahuan
yang
memadai
tentang
peraturan
perundangan di bidang pasar modal dan peraturan perundangundangan terkait lainnya;
5) Bukan merupakan orang dalam kantor auditor independen, kantor
konsultan hukum, atau pihak lain yang memberikan jasa audit, jasa
non audit dan atau jasa konsultasi lain kepada emiten atau perusahaan
publik yang bersangkutan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum
diangkat oleh komisaris.
6) Bukan merupakan orang yang mempunyai wewenang dan tanggung
jawab untuk merencanakan, memimpin, atau mengendalikan kegiatan
emiten atau perusahaan publik dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum
diangkat oleh komisaris, kecuali komisaris independen.
7) Tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada
emiten. Apabila mempunyai saham maka saham yang diperolehnya
harus dialihkan ke pihak lain dalam jangka waktu paling lama 6 bulan.
50 8) Tidak mempunyai hubungan keluarga karena perkawinan dan
keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun
vertikal dengan komisaris, direksi, atau pemegang saham utama emiten
atau perusahaan publik.
9) Tidak mempunyai usaha baik langsung maupun tidak langsung yang
berkaitan dengan kegiatan usaha emiten atau perusahaan publik.
c. Tugas dan Tanggung Jawab Komite Audit bertugas memberikan
pendapat kepada Dewan Komisaris dalam memberikan pendapat terhadap
laporan
atau
hal-hal
lain
yang
disampaikan
oleh
direksi,
mengidentifikasikan hal-hal yang memerlukan perhatian komisaris, dan
melaksanakan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan tugas Dewan
Komisaris, antara lain meliputi :
1) Melakukan penelaahan atas informasi laporan keuangan yang akan
dikeluarkan perusahaan seperti laporan keuangan, proyeksi, dan
informasi keuangan lainnya;
2) Melakukan penelaahan atas ketaatan perusahaan terhadap peraturan
perundang-undangan di bidang pasar modal dan peraturan perundangundang lainnya yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan;
3) Melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan oleh internal
auditor;
4) Melaporkan kepada komisaris berbagai risiko yang dihadapi
perusahaan dan pelaksanaan manajemen risiko oleh direksi;
51 5) Melakukan penelaahan dan melaporkan kepada komisaris atas
pengaduan yang berkaitan dengan emiten atau perusahaan publik;
6) Menjaga kerahasiaan dokumen, data, dan informasi perusahaan.
d. Wewenang Komite Audit
Komite audit berwenang untuk mengakses catatan atau informasi tentang
karyawan, dana, aset serta sumber daya perusahaan lainnya yang
berkaitan
dengan
pelaksanaan
tugasnya.
Dalam
melaksanakan
wewenangnyanya, Komite Audit wajib berkerjasama dengan pihak yang
melaksanakan fungsi internal audit.
e. Rapat Komite Audit
1) Komite audit mengadakan rapat sekurang-kurangnya sama dengan
ketentuan minimal rapat Dewan Komisaris yang ditetapkan dalam
Anggaran Dasar; dan
2) Setiap rapat Komite Audit dituangkan dalam risalah rapat yang
ditandatangani oleh seluruh anggota Komite Audit yang hadir.
f. Pelaporan
1) Komite Audit membuat laporan kepada Dewan Komisaris atas setiap
penugasan yang diberikan; dan
2) Komite Audit membuat laporan tahunan pelaksanaan kegiatan
Komite Audit kepada Dewan Komisaris.
g. Masa Tugas
52 Masa tugas Komite Audit tidak boleh lebih lama dari masa jabatan
Dewan Komisaris sebagaimana diatur dalam anggaran dasar dan dapat
dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) periode berikutnya.
Dalam menjalankan fungsi, tugas, dan tanggung jawabnya, komite Audit
dapat mengadakan rapat secara periodik sebagaimana ditetapkan oleh komite
audit sendiri. DeZoort et. al. (2002), menunjukkan bahwa frekuensi rapat yang
lebih besar berhubungan dengan penurunan insiden masalah pelaporan keuangan
dan peningkatan kualitas audit eksternal. Oleh karena itu, rapat komite audit
menjadi penting dalam menjalankan fungsi, tugas dan tanggung jawabnya.
Pamudji dan Trihartati (2007), menyebutkan karakteristik penting lain
yang harus dimiliki komite audit adalah frekuensi pertemuan, keahlian di bidang
keuangan, dan komitmen waktu. Ketiga faktor tersebut merupakan kunci penentu
efektivitas komite audit. Karakteristik ini memiliki kemungkinan dapat
mempengaruhi proses pelaporan keuangan.
Komite audit perlu mengadakan rapat sedikitnya satu kali setiap kuartal
dan para anggota komite audit harus hadir di rapat-rapat tersebut, dengan
kemungkinan mengundang beberapa pihak lain bilamana diperlukan. Selain
pertemuan formal, komite juga melakukan komunikasi dengan manajemen,
akuntan publik, dan auditor internal. Biasanya ketua komite audit membuat
agenda rapat dengan menerima masukan dari manajemen, auditor internal, dan
auditor eksternal. Berbagai agenda yang harus dibicarakan dapat dilakukan dalam
pertemuan formal maupun dalam pertemuan informal.
53 2.3
Laba
Laba didefinisikan sebagai jumlah yang berasal dari pengurangan harga
pokok produksi, biaya lain dan kerugian dari penghasilan atau penghasilan operasi
(Harahap:2004). Sedangkan menurut FASB (Financial Accounting Standars
Board) statement dalam Kustinah (2011:139), mengartikan laba sebagai kelebihan
(deficit) penghasilan atas biaya selama satu periode akuntansi. Dan yang terbaru
laba rugi di definisikan sebagai laba rugi adalah total pendapatan komprehensif
lain. Accounting income adalah perbedaan antara realisasi penghasilan yang
berasal dari transaksi perubahan pada periode tertentu dikurangi dengan biaya
yang dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan itu. Adapun jenis-jenis laba
dalam hubungannya dengan perhitungan laba, yaitu:
1. Laba kotor
Laba kotor yaitu perbedaan antara pendapatan bersih dan penjualan
dengan harga pokok penjualan.
2. Laba dari operasi
Laba dari operasi yaitu selisih antara laba kotor dengan total beban biaya.
3. Laba Bersih
Laba bersih yaitu angka terakhir dalam perhitungan laba rugi dimana
untuk mencarinya laba operasi bertambah pendapatan lain-lain dikurangi
oleh beban lain-lain.
54 Dalam menyajikan laporan rugi laba akan terlihat pengklasifikasian dalam
pengukuran laba adalah sebagai berikut :
1. Laba kotor atas penjualan merupakan selisih dari penjualan bersih dan
harga pokok penjualan, laba ini dinamakan laba kotor. Hasil laba bersih
belum dikurangi dengan beban operasi lainnya untuk periode tertentu.
2. Laba bersih operasi perusahaan yaitu laba kotor dikurangi dengan
sejumlah biaya penjualan, biaya administrasi dan umum.
3. Laba bersih sebelum potongan pajak merupakan pendapatan perusahaan
secara keseluruhan sebelum pajak perseroan yaitu perolehan dari laba
operasi dikurangi atau ditambah.
4. Laba bersih setelah potongan pajak yaitu laba bersih setelah ditambah atau
dikurangi dengan pendapatan dan biaya non operasi dan dikurangi laba
perseroan.
2.4
Manajemen Laba
2.4.1 Pengertian Manajemen Laba
Menurut Gumanti (2000), manajemen laba dapat memberikan gambaran
akan perilaku dalam melaporkan kegiatan usahanya pada suatu periode tertentu,
yaitu adanya kemungkinan munculnya motivasi tertentu yang mendorong mereka
untuk mengatur data keuangan yang dilaporkan. Manajemen laba tidak harus
dikaitkan dengan upaya untuk memanipulasi data atau informasi akuntansi, tetapi
lebih condong dikaitkan dengan pemilihan metode akuntansi untuk mengatur
keuangan yang dapat dilakukan karena memang diperkenankan menurut peraturan
55 akuntansi. Untuk mendeteksi adanya praktek manajemen laba dalam laporan
keuangan suatu perusahaan dapat digunakan total accruals (Ihalauw dan Afni,
2002).
Manajemen laba tidak terlepas dari suatu teori akuntansi, yaitu teori
akuntansi positif (positive accounting theory). Watts dan Zimmerman (1990)
dalam bukunya yang berjudul Positive Accounting Theory memaparkan suatu
teori akuntansi yang berusaha mengungkapkan faktor-faktor ekonomi atau ciri-ciri
suatu unit usaha tertentu dapat dikaitkan dengan perilaku manajer atau para
pembuat laporan keuangan. Teori akuntansi positif pada prinsipnya beranggapan
bahwa tujuan teori akuntansi adalah untuk menjelaskan dan memprediksi praktikpraktik akuntansi. Teori akuntansi positif dapat memberikan pedoman kepada
para pembuat keputusan kebijakan akuntansi dalam melakukan perkiraanperkiraan atau penjelasan-penjelasan serta konsekuensi dari keputusan tersebut.
Halim, dkk (2005), menyatakan bahwa manajemen laba merupakan
pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajemen dari standar akuntansi yang ada
dan secara alamiah dapat memaksimumkan utilitas mereka dan atau nilai pasar
perusahaan. Cara pemahaman atas manajemen laba dapat dibagi menjadi dua:
1. Melihatnya
sebagai
perilaku
oppurtunistik
manajer
untuk
memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi,
kontrak hutang, dan political cost (Opportunistic Earning Management).
2. Memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting
(Efficient Earning Management), dimana manajemen laba memberikan
kepada manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan
56 perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga
untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak.
Menurut Sugiri (1998) dalam Lughiatno (2008), membagi definisi
manajemen laba menjadi dua, yaitu:
a.
Definisi Sempit
Manajemen laba dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode
akuntansi. Manajemen laba dalam artian sempit ini didefinisikan sebagai
perilaku manajer untuk “bermain” dengan komponen discretionary
accruals dalam menentukan besarnya laba.
b.
Definisi Luas
Manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan
(mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit dimana manajer
bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan)
profitabilitas ekonomi jangka panjang unit tersebut.
Menurut Fischer dan Rosenzweig (1995) dalam Kustinah (2011),
manajemen laba adalah:
“earning management as referring to actions of a manager which serve to
increase (decrease) current reported earnings of the unit for which the
manager is responsible without generating a corresponding increase
(decrease) in the long-term economic profitability of the unit.”
2.4.2 Motivasi Melakukan Manajemen Laba
Pertimbangan costs dan benefits dari diperbolehkannya manajemen untuk
memilih dan menetapkan metode-metode akuntansi menjadi pintu masuk utama
bagi manajer untuk melakukan manajemen laba. Menurut Scott (2003:377-383),
57 menyatakan bahwa terdapat berbagai motivasi yang mendorong mengapa manajer
perusahaan melakukan manajemen laba, yaitu:
1. Bonus Plans
Manajer mempunyai informasi laba bersih sebelum dilaporkan dalam
laporan keuangan, sementara pihak luar tidak bisa mengetahuinya sampai
mereka membaca laporan keuangan. Karenanya manajer akan berusaha
untuk mengatur laba bersih tersebut sehingga dapat memaksimalkan bonus
mereka berdasarkan compensation plans perusahaan. Ada dua pendekatan
yang dapat ditempuh oleh manajer dalam mengendalikan laba, yaitu:
mengendalikan acccruals, yaitu meliputi penghasilan (revenue) dan beban
(expenses) dalam perhitungan rugi yang tidak mempengaruhi cash flows
dan dengan merubah kebijakan akuntansi.
2. Debt Covenant
Kontrak hutang jangka panjang (debt covenant) merupakan perjanjian
untuk melindungi pemberi pinjaman (lender atau creditor) dari tindakantindakan manajer terhadap kepentingan kreditor, seperti deviden yang
berlebihan, pinjaman tambahan, atau membiarkan modal kerja dan
kekayaan pemilik berada di bawah tingkat yang telah ditentukan, yang
mana semuanya menurunkan keamanan (atau menaikkan resiko) bagi
kreditur yang telah ada. Kontrak ini didasarkan pada teori akuntansi
positif, yakni hipotesis debt covenant, yang menyatakan bahwa semakin
dekat suatu perusahaan ke pelanggaran perjanjian hutang, manajer akan
58 cenderung memilih prosedur akuntansi yang dapat “memindahkan” laba
periode mendatang ke periode berjalan.
3. Political Motivation
Aspek politis tidak dapat dilepaskan dari perusahaan, khususnya
perusahaan besar dan industri strategis, karena aktivitasnya melibatkan
hajat hidup orang banyak. Beberapa motivasi politis yang mendorong
perusahaan melakukan manajemen laba dengan cara menurunkan laba
antara lain: (a) untuk mengurangi biaya politis dan pengawasan dari
pemerintah, (b) untuk memperoleh kemudahan dan fasilitas dari
pemerintah, misalnya subsidi, perlindungan dari pesaing luar negeri, dan
(c) untuk meminimalkan tuntutan serikat buruh.
4. Taxation Motivation
Perpajakan merupakan salah satu alasan utama mengapa perusahaan
mengurangi laba bersih yang dilaporkan. Sebagai contoh, untuk
persediaan, perusahaan akan memilih metode akuntansi LIFO yang
menghasilkan laba bersih paling rendah dibandingkan metode lainnya.
5. Pergantian CEO
Beragam motivasi timbul di sekitar waktu pergantian CEO. Sebagai
contoh, CEO yang mendekati masa akhir penugasan atau pensiun akan
melakukan strategi memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonusnya
dan membuat CEO yang baru merasa sangat berat untuk mencapai tingkat
laba tersebut. Demikian juga dengan CEO yang kurang berhasil
59 memperbaiki kinerja perusahaan akan cenderung memaksimalkan laba
untuk mencegah atau membatalkan pemecatannya.
6. Initial Public Offering (IPO)
Pada hakikatnya, perusahaan yang baru pertama kali menawarkan
sahamnya di pasar modal belum mempunyai harga pasar sehingga
memiliki masalah bagaimana menetapkan nilai saham yang akan
ditawarkan. Oleh karena itu, untuk tawar menawar, informasi keuangan
yang terdapat dalam prospektus merupakan sumber informasi yang sangat
berguna. Secara analitikal, informasi seperti laba bersih dapat dipakai
sebagai sinyal kepada investor tentang “nilai” perusahaan. Jadi, hal ini
memunculkan kemungkinan bahwa pihak manajemen perusahaan yang go
public melakukan manajemen laba untuk memperoleh harga yang lebih
tinggi atas sahamnya.
2.4.3 Bentuk-bentuk Manajemen Laba
Pemilihan metode akuntansi dalam rangka melakukan manajemen laba
harus dilakukan dengan penuh kecermatan. Menurut Scott (2003:383-384), ada
berbagai pola yang sering dilakukan manajer dalam manajemen laba antara lain:
1. Taking a bath
Taking a bath terjadi selama periode adanya tekanan organisasional atau
reorganisasional seperti pemilihan CEO baru. Teknik ini mengakui adanya
biaya-biaya pada periode yang akan datang dan kerugian periode berjalan
ketika keadaan buruk yang tidak menguntungkan tidak bisa dihindari pada
60 periode berjalan. Konsekuensinya, manajemen “menghapus” beberapa
aktiva, membebankan perkiraan-perkiraan biaya mendatang. Akibatnya,
laba pada periode berikutnya akan lebih tinggi dari seharusnya.
2. Income minimization
Income minimization biasanya dilakukan pada saat profitabilitas
perusahaan sangat tinggi dengan maksud agar tidak mendapat perhatian
secara politis. Kebijakan yang diambil dapat berupa penghapusan atas
barang modal dan aktiva tak berwujud, pembebanan pengeluaran iklan,
riset dan pengembangan yang cepat.
3. Income maximization
Income maximization dimaksudkan untuk memperoleh bonus yang lebih
besar, meningkatkan keuntungan dan untuk menghindar dari pelanggaran
atas kontrak hutang jangka panjang. Income maximization dilakukan
dengan cara mempercepat pencatatan pendapatan, menunda biaya dan
memindahkan biaya untuk periode lain.
4. Income smoothing
Income smoothing merupakan cara yang paling popular dan sering
dilakukan.
Pihak
manajemen
dengan
sengaja
menurunkan
atau
meningkatkan laba untuk mengurangi gejolak dalam pelaporan laba,
sehingga perusahaan terlihat stabil atau tidak berisiko tinggi.
61 2.5
Perataan Laba (Income Smoothing)
2.5.1 Hakikat dan Pengertian Perataan Laba
Perataan laba dapat dipandang sebagai proses normalisasi laba yang
disengaja guna meraih suatu tren ataupun tingkat yang diinginkan. Dengan
melihat jauh ke tahun 1953, Heyworth dalam Belkaoui (2011:192) mengamati
bahwa banyak teknik akuntansi yang mungkin diterapkan untuk memengaruhi
penempatan pendapatan bersih di suatu periode akuntansi yang berurutan, untuk
meratakan atau meningkatkan amplitudo dari fluktuasi pendapatan bersih
periodik. Apa yang kemudian dikemukakan oleh Monsen dan Downs (1965) serta
Gordon (1964) dalam Belkaoui (2011:192), dimana manajer perusahaan mungkin
termotivasi untuk melakukan meratakan labanya (atau keamanannya) sendiri,
dengan asumsi bahwa stabilitas dalam pendapatan dan tingkat pertumbuhan akan
lebih disukai daripada aliran pendapatan rata-rata yang jauh lebih tinggi dengan
variabilitas yang lebih besar.
Menurut beidleman (1973:653) dalam Belkaoui (2011), definisi perataan
laba disajikan sebagai berikut:
“Perataan dari laba yang dilaporkan dapat didefinisikan sebagai
pengurangan atau fluktuasi yang disengaja terhadap beberapa tingkatan
laba yang saat ini dianggap normal oleh perusahaan. Dengan pengertian
ini, perataan mencerminkan suatu usaha dari manajemen perusahaan untuk
menurunkan variasi yang abnormal dalam laba sejauh yang diizinkan oleh
prinsip-prinsip akuntansi dan manajemen yang baik.”
62 2.5.2 Motivasi Perataan Laba
Motivasi di balik perataan termasuk meliputi perbaikan hubungan dengan
kreditor, investor dan pekerja, sekaligus pula penurunan siklus bisnis melalui
proses psikologi. Belkaoui (2011:193), mengusulkan bahwa:
1. Kriteria yang dipakai oleh manajemen perusahaan dalam memilih prinsipprinsip
akuntansi
adalah
untuk
memaksimalkan
kegunaan
dan
kesejahteraannya.
2. Kegunaan yang sama adalah suatu fungsi keamanan pekerjaan, peringkat
dan tingkat pertumbuhan gaji serta peringkat dan tingkat pertumbuhan
ukuran perusahaan.
3. Kepuasan
dari
pemegang
saham
terhadap
kinerja
perusahaan
meningkatkan status dan penghargaan dari para manajer.
4. Kepuasan yang sama tergantung pada tingkat pertumbuhan dan stabilitas
dari pendapatan perusahaan.
Dua alasan pertimbangan manajemen untuk meratakan laporan laba, diantaranya
sebagai berikut :
1. Berdasar pada asumsi bahwa suatu aliran laba yang stabil dapat
mendukung dividen dengan tingkat yang lebih tinggi daripada suatu aliran
laba
yang
lebih
variabel,
yang
memberikan
pengaruh
yang
menguntungkan bagi nilai saham perusahaan seiring dengan turunnya
tingkat risiko perusahaan secara keseluruhan.
2. Berkenaan pada perataan kemampuan untuk melawan hakikat laporan laba
yang bersifat siklus dan kemungkinan juga akan menurunkan korelasi
63 antara ekspektasi pengembalian perusahaan dengan pengembalian
portofolio pasar.
2.5.3 Objek Perataan Laba
Menurut Belkaoui (2011:194), menyatakan bahwa pada dasarnya objek
perataan seharusnya didasarkan pada indikasi keuangan yang paling mungkin dan
paling digunakan, yaitu laba. Karena perataan laba bukanlah suatu fenomena yang
terlihat, literatur memperkirakan berbagai bentuk pernyataan keuntungan sebagai
objek perataan yang paling mungkin. Pernyataan tersebut meliputi:
1. Indikator berdasarkan laba bersih, biasanya sebelum hal-hal luar biasa dan
sebelum atau sesudah pajak, dan
2. Indikator berdasarkan laba per saham, biasanya sebelum keuntungan dan
kerugian luar biasa dan disesuaikan untuk pemecahan saham dan dividen.
Para peniliti memilih indikator laba bersih atau laba per saham sebagai objek
perataan karena keyakinan bahwa perhatian jangka panjang manajemen adalah
terhadap laba bersih dan para pengguna laporan keuangan biasanya melihat pada
angka paling akhir, baik laba maupun laba per saham. Ini merupakan alasan yang
disederhanakan karena manajemen mungkin merasa perlu dan lebih praktis untuk
meratakan penjualan dan komitmen penjualan yang tetap memiliki perataan biaya
secara lebih fleksibel. Sama halnya juga, sebuah perusahaan dengan suatu kendali
yang baik atas biaya-biayanya dapat merasa lebih praktis untuk meratakan
pendapatan penjualannya.
64 Albrecht dan Richardson (1990), mencoba mengukur laba (income) yang
diprediksikan menjadi obyek smoothing antara lain: laba operasi (operating
income, OI), laba dari operasi (income from operations, IO), laba sebelum pos
luar biasa (income before extraordinary items, IE), dan laba bersih (net income,
NI). Operating income (OI) didefinisikan sebagai penjualan dikurangi harga
pokok penjualan dan biaya operasi selain depresiasi dan amortisasi; Income from
Operations (IO) didefinisikan sebagai Operating Income dikurangi depresiasi dan
amortisasi.
2.5.4 Dimensi Perataan Laba
Dimensi perataan pada dasarnya adalah alat yang digunakan untuk
menyelesaikan perataan angka pendapatan. Dascher dan Lalcolm (1970) dalam
Belkaoui (2011:195), membedakan antara parataan riil dan perataan artifisial
sebagai berikut:
“Perataan riil mengacu pada transaksi aktual yang terjadi maupun tidak
terjadi dalam hal pengaruh perataannya terhadap pendapatan, di mana
perataan artifisial mengacu pada prosedur akuntansi yang
diimplementasikan terhadap pergeseran biaya dan/atau pendapatan dari
satu periode ke periode yang lain.”
Dari beberapa studi yang membedakan beberapa potensi jenis perataan
yang berbeda, artikel yang ditulis oleh Eckel (1981), memberikan klasifikasi yang
lebih mendetail mengenai berbagai jenis arus perataan laba, yaitu perataan yang
dibuat atau disengaja dan perataan alami, dan perataan yang dibuat atau disengaja
tadi menjadi suatu perataan artifisial atau perataan nyata.
65 Perataan yang direncanakan atau disengaja mengacu secara spesifik
kepada keputusan atau pilihan yang disengaja untuk meredam fluktuasi
pendapatan ke suatu tingkat tertentu. Oleh sebab itu, perataan yang dibuat atau
disengaja ini pada dasarnya adalah suatu perataan akuntansi yang menggunakan
fleksibilitas yang ada dalam prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum dan
pilihan-pilihan serta kombinasi-kombinasi yang tersedia untuk meratakan laba.
Karenanya dan pada dasarnya perataan laba adalah suatu bentuk akuntansi yang
dirancang. Perataan alami, berbeda dengan perataan buatan, adalah produk
alamiah dari proses penghasilan laba, dan bukannya hasil dari tindakan yang
diambil oleh manajemen. Perataan yang dibuat dapat dicapai baik melalui
perataan artifisial ataupun perataan nyata. Perataan artifisial adalah hasil yang
diperoleh dari penggunaan manipulasi akuntansi untuk meratakan laba. Eckel
(1981), mengungkapkan bahwa manipulasi-manipulasi ini tidak mencerminkan
peristiwa-peristiwa ekonomi yang mendasari atau memengaruhi arus kas,
melainkan menggeserkan biaya dan/atau pendapatan dari satu periode ke periode
lainnya.
2.5.5 Variabel Perataan Laba
Alat atau instrumen perataan adalah variabel-variabel yang digunakan
untuk meratakan indikator kinerja yng dipilih. Belkaoui (2011:196), menguraikan
lima kondisi yang diperlukan untuk suatu instrumen perataan sebagai berikut:
66 1. Sekali digunakan, instrumen tersebut tidak harus membuat perusahaan
memiliki komitmen untuk melakukan tindakan tertentu apa pun di masa
depan.
2. Instrumen perataan harus didasarkan pada penerapan pertimbangan
profesional dan dipikirkan dalam wilayah “Prinsip-prinsip Akuntansi yang
Berlaku Umum.”
3. Instrumen perataan harus mengarah pada pergerakan yang material secara
relatif terhadap perbedaan pendapatan dari tahun ke tahun.
4. Instrumen perataan tidak memerlukan suatu transaksi “riil” dengan pihak
kedua, tetapi hanya suatu reklasifikasi atas saldo akun internal.
5. Instrumen perataan harus digunakan, secara sendirian atau bersama-sama
dengan praktek lainnya, selama suatu periode waktu yang ditentukan.
2.6
Penelitian Terdahulu
Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap praktek perataan laba. Akan tetapi penelitian mengenai
pengaruh penerapan Good Corporate Governance terhadap praktek perataan laba
belum banyak dilakukan. Kebanyakan penelitian yang dilakukan melihat
pengaruh Good Corporate Governance terhadap manajemen laba diantaranya
penelitian yang dilakukan oleh Chtourou et al. (2001), mengenai corporate
governance and earnings management. Hasil penelitian ini menemukan bahwa
komite audit dan dewan komisaris independen berpengaruh terhadap manajemen
laba. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa jumlah pertemuan
67 yang dilakukan komite audit dapat mengurangi manajemen laba pada laporan
keuangan (Xie et al., 2003; Abbot et al., 2004; Sanjaya, 2008). Hasil penelitian
tersebut mengindikasikan bahwa pertemuan rutin yang dilakukan komite audit
merupakan suatu fungsi pengawasan dalam proses pelaporan keuangan sehingga
dapat menjaga kualitas audit. Penelitian mengenai keberadaan dewan komisaris
telah dilakukan diantaranya Peasnell, Pope, dan Young (1998) meneliti efektifitas
dewan komisaris dan komisaris independen terhadap manajemen laba yang terjadi
di Inggris. Dengan menggunakan sampel penelitian yang terdiri dari 1178
perusahaan tahun selama periode 1993-1996, hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa keberadaan komisaris independen membatasi pihak manajemen untuk
melakukan manajemen laba.
Penelitian yang dilakukan oleh Klein (2002), mengenai corporate
governance pada seluruh perusahaan di Amerika Serikat yang terdaftar pada
indeks S&P 500 pada 31 Maret 1992 dan 1993, memperoleh hasil bahwa
perusahaan yang memiliki proporsi dewan komisaris yang berasal dari pihak luar
perusahaan (independen) dapat mempengaruhi tindakan manajemen laba.
Penelitian tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Herawaty
(2008), pada perusahaan non-keuangan yang terdaftar pada Bursa Efek Jakarta
periode 2004-2006 dengan menggunakan kepemilikan institusional, kepemilikan
manajerial, komisaris independen dan kualitas audit sebagai indikator mekanisme
good corporate governance. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komisaris
independen dan kualitas audit dapat meminimumkan praktek manajemen laba
dalam perusahaan.
68 Midiastuty dan Machfoedz (2003), melakukan penelitian mengenai
analisis hubungan mekanisme corporate governance dan indikasi manajemen
laba. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan ukuran direksi. Sedangkan
variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah manajemen laba.
Hasil penilitian ini menemukan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh
negatif terhadap manajemen laba, sedangkan ukuran dewan direksi berpengaruh
positif terhadap manajemen laba.
Siregar dan Utama (2005), melakukan penelitian mengenai pengaruh
kepemilikan, ukuran perusahaan dan praktek corporate governance terhadap
pengelolaan laba. Penelitian ini menggunakan 114 perusahaan sebagai sampel dari
tahun 1995-2002, hasil temuannya bahwa corporate governance belum mampu
mencegah tindakan manajer dalam melakukan manajemen laba.
Astuti (2005), melakukan penelitian mengenai pengaruh good corporate
governance dalam mempengaruhi motivasi manajemen laba perusahaan
perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Variabel independen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah kepemilikan manajerial, proporsi dewan
komisaris dan komite audit. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian
ini adalah manajemen laba. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kepemilikan
manajerial, proporsi dewan komisaris dan komite audit berpengaruh terhadap
manajemen laba.
Palestin (2006), melakukan penelitian mengenai struktur kepemilikan,
praktik corporate governance dan kompensasi bonus terhadap manajemen laba.
69 Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah struktur
kepemilikan, proporsi dewan komisaris, komite audit dan auditor independen
dengan proksi ukuran auditor, dan kompensasi bonus. Variabel dependen yang
digunakan dalam penelitian ini adalah manajemen laba. Hasil penelitian ini
menemukan bahwa kepemilikan, proporsi dewan komisaris independen dan
kompensasi bonus berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Sedangkan
komite audit dan ukuran KAP tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen
laba.
Nasution dan Setiawan (2007), melakukan penelitian mengenai pengaruh
penerapan good corporate governance terhadap praktek manajemen laba dengan
menggunakan sampel perusahaan perbankan yang terdaftar dalam Bursa Efek
Jakarta selama periode 2000-2004. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara
individual, komposisi dewan komisaris berpengaruh positif terhadap manajemen
laba perusahaan perbankan. Penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan
oleh Yermack (1996), yang menyimpulkan bahwa dewan komisaris yang
berukuran kecil akan lebih efektif dalam melakukan tindakan pengawasan
dibandingkan dengan jumlah dewan komisaris yang lebih besar. Dewan direksi
didefinisikan sebagai dewan yang dipilih oleh pemegang saham, bertugas
mengawasi pekerjaan yang dilakukan oleh manajemen dalam mengelola
perusahaan, dengan tujuan kepentingan para pemegang saham (Jensen, 1993).
Sedangkan keberadaan komite audit dalam perusahaan perbankan mampu
mengurangi manajemen laba dalam perusahaan.
70 Penelitian yang dilakukan oleh Gusnadi dan Budiharta (2008), mengenai
analisis pengaruh karakteristik perusahaan dan penerapan good corporate
governance terhadap tindakan perataan laba pada perusahaan di Bursa Efek
Jakarta. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah
karakteristik perusahaan yang diproksikan dengan variabel ukuran perusahaan,
rasio profitabilitas, dan leverage operasi serta penerapan good corporate
governance yang diproksikan dengan ukuran KAP, proporsi dewan komisaris
independen, dan komite audit. Variabel dependen yang digunakan dalam
penelitian ini adalah perataan laba (income smoothing). Hasil penelitian ini
menemukan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh positif terhadap praktek
perataan laba, faktor profitabilitas tidak berpengaruh negatif terhadap praktek
perataan laba, dan faktor leverage operasi berpengaruh terhadap praktek perataan
laba, sedangkan faktor kualitas audit yang diproksikan dengan ukuran KAP,
proporsi dewan komisaris independen dan keberadaan komite audit tidak
berpengaruh negatif terhadap praktek perataan laba.
Tabel 2.1
Ringkasan Penelitian Terdahulu
No
1.
Peneliti
Chtourou et
al.(2001)
Judul
Corporate
Governance and
Earnings
Management
Variabel
Hasil
Audit committee, board
of director
characteristics
komite audit dan
dewan komisaris
independen
berpengaruh
signifikan terhadap
manajemen laba
71 2
Klein (2002)
Audit Committee,
Board of Director
Characteristics, and
Earnings
Management
Variabel dependen:
manajemen laba,
variabel independen:
komite audit dan
karakteristik dewan
direksi
Komite audit
berhubungan
negatif,
karakterisrik dewan
berpengaruh
terhadap
manajemen laba
3
Midiastuty
dan
Machfoedz
(2003)
Analisis Hubungan
Mekanisme
Corporate
Governance dan
Indikasi Manajemen
Laba
Variabel dependen:
manajemen laba,
variabel independen:
kepemilikan manajerial,
kepemlikan
institusional, ukuran
direksi
Kepemilikan
manajerial
berpengaruh negatif
terhadap
manajemen laba,
sedangkan ukuran
dewan direksi
berpengaruh positif
terhadap
manajemen laba
4
Siregar dan
Utama (2005)
Pengaruh Struktur
Kepemilikan,
Ukuran Perusahaan,
dan Praktek
Corporate
Governance
terhadap
Pengelolaan Laba
(Earnings
Management)
Kepemilikan keluarga,
kepemilikan
institusional, ukuran
perusahaan, praktek
Corporate Governance
(ukuran KAP, proporsi
dewan komisaris,
keberadaan komite
audit)
(1)Kepemilikan
keluarga dan
ukuran
perusahaan
berpengaruh
signifikan
terhadap
manajemen laba.
(2)Kepemilikan
institusional dan
tiga variabel
praktek GCG
tidak
berpengaruh
signifikan
terhadap
manajemen laba
5
Astuti (2005)
Pengaruh Good
Corporate
Governance dalam
Mempengaruhi
Motivasi
Manajemen Laba
Variabel dependen:
Motivasi Manajemen
Laba, variabel
independen:
Kepemilikan
manajerial, proporsi
dewan komisaris, dan
komite audit.
Kepemilikan
manajerial, proporsi
dewan komisaris
dan komite audit
berpengaruh
terhadap
manajemen laba
6
Palestin
(2006)
Analisis Stuktur
Kepemilikan,
Praktik Corporate
Governance dan
Kompensasi Bonus
terhadap
Manajemen Laba
Struktur kepemilikan,
komposisi dewan
komisaris, komite audit,
dan auditor independen
dengan proksi ukuran
auditor, kompensasi
bonus
(1) Struktur
kepemilikan,
proporsi dewan
komisaris
independen dan
kompensasi bonus
berpengaruh
signifikan terhadap
72 manajemen laba
(2) Komite audit
dan ukuran KAP
tidak berpengaruh
signifikan terhadap
manajemen laba
7
Nasution dan
Setiawan
(2007)
Pengaruh Corporate
Governance
terhadap
Manajemen laba di
Industri Perbankan
Indonesia
Varibel dependen:
Manajemen laba,
variable indepeden:
Komposisi dewan
komisaris, ukuran
dewan komisaris,
komite audit dan ukuran
perusahaan
8
Gusnadi dan
Budiharta
(2008)
Analisis Pengaruh
Karakteristik
Perusahaan dan
Penerapan Good
Corporate
Governance
terhadap Tindakan
Perataan Laba Pada
Perusahaan di Bursa
Efek Jakarta
Variabel dependen:
perataan laba (income
smoothing),variabel
independen:
karakteristik perusahaan
yang diproksikan
dengan variabel ukuran
perusahaan, rasio
profitabilitas, dan
leverage operasi serta
penerapan good
corporate governance
yang diproksikan
dengan ukuran KAP,
proporsi dewan
komisaris independen,
dan komite audit
Sumber: review penelitian terdahulu
Komposisi dewan
komisaris dan
keberadaan komite
audit berpengaruh
negative terhadap
manajemen laba,
ukuran dewan
komisaris
berpengaruh positif
terhadap
manajemen laba,
ukuran perusahaan
tidak berpengaruh
terhadap
manajemen laba
(1) ukuran
perusahaan tidak
berpengaruh positif
terhadap praktik
perataan laba, faktor
profitabilitas tidak
berpengaruh negatif
terhadap praktik
perataan laba, dan
faktor leverage
operasi berpengaruh
terhadap praktik
perataan laba,
(2)faktor kualitas
audit yang
diproksikan dengan
ukuran KAP,
proporsi dewan
komisaris
independen dan
keberadaan komite
audit tidak
berpengaruh negatif
terhadap praktik
perataan laba
73 2.7
Kerangka Pemikiran
Permasalahan yang timbul akibat adanya perbedaan kepentingan antara
prinsipal dan agen menyebabkan terjadinya agency problems, dimana salah satu
penyebabnya adalah adanya asymmetric information yaitu ketidakseimbangan
informasi yang dimiliki oleh prinsipal dan agen, ketika prinsipal tidak memiliki
informasi yang cukup tentang kinerja agen, sebaliknya agen memiliki lebih
banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan
secara keseluruhan (Widyaningdyah, 2001). Adanya konflik kepentingan dan
asimetri informasi yang terjadi antara prinsipal dan agen dalam teori agensi
menyebabkan timbulnya manajemen laba yang dilakukan oleh manajer. Menurut
teori keagenan salah satu mekanisme yang dapat digunakan untuk meminimalisir
konflik kepentingan tersebut adalah dengan tata kelola perusahaan yang baik yang
bertujuan untuk mengatur dan mengendalikan perusahaan dan menyelaraskan
berbagai kepentingan tersebut. Penerapan tata kelola yang baik (good corporate
governance) diyakini akan dapat membatasi perilaku manajer yang oportunitis.
Kehadiran good corporate governance diharapkan dapat menciptakan suatu tata
kelola perusahaan yang baik dan lebih transparan. Dengan adanya penerapan
mekanisme good corporate governance dalam sistem pengendalian dan
pengelolaan perusahaan menjadi salah satu cara dalam meminimalisasi adanya
tindakan manajemen laba khususnya praktek perataan laba yang dilakukan oleh
para manajer perusahaan. Penerapan good corporate governance yang
diproksikan dengan kualitas audit melalui ukuran KAP, dewan komisaris
74 independen, dan keberadaan komite audit melalui frekuensi pertemuan komite
audit diduga mampu mengurangi praktik perataan laba.
Berdasarkan landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya, berikut
disajikan kerangka pemikiran teoritis yang dapat digambarkan dalam bentuk
kerangka skematik sebagai berikut:
75 Gambar 2.1
Model Kerangka Pemikiran Penilitian
Perusahaan
Pemegang
saham
CEO
Pendelegasian wewenang
Principal
Agent
Agency problems
Moral hazard
Asymetric
information
Disfunctional
behaviour
Adverse selection
Mekanisme
GCG
Membatasi masalah asymatric information
Kualitas Auditor
Proporsi dewan
komisaris independen
Earning
management
Income
smoothing
Keberadaan komite
audit
Meminimalisir adanya praktek perataan laba
Sumber: Diolah untuk penelitian
76 2.8
Pengembangan Hipotesis
2.8.1 Penerapan Good Corporate Governance dan Perataan Laba
Good Corporate Governance adalah serangkaian mekanisme yang
digunakan untuk membatasi timbulnya masalah asimetri informasi yang dapat
mendorong terjadinya manajemen laba. Riset The Indonesian Institute for
Corporate Governance (IICG, 2002), menemukan bahwa alasan utama
perusahaan menerapkan good corporate governance adalah kepatuhan terhadap
peraturan. Perusahaan meyakini bahwa implementasi good corporate governace
merupakan bentuk lain penegakan etika bisnis dan etika kerja yang sudah lama
menjadi komitmen perusahaan, dan implementasi good corporate governance
yang berhubungan dengan peningkatan citra perusahaan. Perusahaan yang
mempraktekkan good corporate governance akan mengalami perbaikan citra, dan
peningkatan nilai perusahaan. Melihat pentingnya penerapan mekanisme tata
kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan pentingnya
peranan auditor dalam mendeteksi manajemen laba yang dilakukan oleh manajer
perusahaan, memberikan motivasi untuk melaksanakan penelitian yang dapat
mendeteksi pengaruh dari tata kelola perusahaan yang baik dan peranan auditor
dalam mengaudit laporan keuangan terhadap kecenderungan dilakukannya
manajemen laba, salah satunya dalam menjalankan praktek perataan laba (income
smoothing). Mekanisme good corporate governance terdiri dari kualitas auditor
yang diproksikan dengan ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP), proporsi dewan
komisaris independen, dan keberadaan komite audit yang diproksi dengan
frekuensi pertemuan komite audit.
77 2.8.1.1 Kualitas Auditor dan Perataan Laba
Auditor merupakan salah satu mekanisme untuk mengendalikan perilaku
manajemen sehingga proses pengauditan memiliki peranan penting dalam
mengurangi biaya keagenan dengan membatasi perilaku oportunistik manajemen.
Akuntan publik sebagai auditor eksternal yang relatif lebih independen dari
manajemen dibandingkan auditor internal sejauh ini diharapkan dapat
meminimalkan kasus rekayasa laba dan meningkatkan kredibilitas informasi
akuntansi dalam laporan keuangan.
Meutia (2004), menyimpulkan bahwa kualitas auditor dengan kantor
akuntan publik yang lebih besar, audit yang dihasilkan juga lebih baik. Perbedaan
kualitas jasa yang ditawarkan kantor akuntan publik menunjukkan identitas kantor
akuntan publik tersebut. Independensi dan kualitas auditor dapat berdampak pada
pendeteksian manajemen laba. Terdapat dugaan bahwa auditor yang bereputasi
baik dapat mendeteksi kemungkinan adanya manajemen laba khususnya dalam
praktek perataan laba secara lebih dini sehingga dapat mengurangi tingkat
perataan laba yang dilakukan oleh manajemen perusahaan. Penggunaan auditor
yang berkualitas tinggi juga akan mengurangi kesempatan emiten untuk berlaku
curang dalam menyajikan informasi yang tidak akurat ke publik. Berdasarkan
uraian tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Ha1: Kualitas auditor berpengaruh negatif terhadap praktek perataan laba.
78 2.8.1.2 Proporsi Dewan Komisaris Independen dan Perataan Laba
Dewan komisaris memegang peranan yang sangat penting dalam
perusahaan, terutama dalam pelaksanaan good corporate governance. Menurut
Egon Zehnder International (2000) dalam FCGI (2001), dewan komisaris
merupakan inti dari corporate governance yang ditugaskan untuk menjamin
pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola
perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntanbilitas. Menurut Peraturan
Pencatatan Nomor I-A Tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat
Ekuitas di Bursa, yaitu jumlah komisaris independen minimal 30 persen. Dalam
rangka penyelenggaraan pengelolaan perusahan yang baik (good corporate
governance), perusahaan tercatat wajib memiliki komisaris independen yang
jumlahnya proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh
bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris
independen sekurang-kurangnya 30 persen dari jumlah seluruh anggota komisaris.
Dewan komisaris yang independen akan membatasi manajer untuk
melakukan perataan laba. Dengan semakin tingginya proporsi dewan komisaris
independen maka semakin kecil pengelolaan laba opurtunitis yang dilakukan
manajer. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ha2 : Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh negatif terhadap praktek
perataan laba.
79 2.8.1.3 Keberadaan Komite Audit dan Perataan Laba
Komite audit merupakan salah satu unsur penting dalam mewujudkan
penerapan good corporate governance. Keberadaan komite audit ini merupakan
usaha perbaikan terhadap cara pengelolaan perusahaan terutama cara pengawasan
terhadap manajemen perusahaan, karena akan menjadi penghubung antara
manajemen perusahaan dengan dewan komisaris maupun pihak ekstern lainnya.
Keanggotaan Komite Audit diatur dalam Surat Keputusan Direksi PT
Bursa Efek Indonesia Nomor Kep-315/BEI/062000 bagian C, yaitu sekurangkurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang anggota. Seorang diantaranya merupakan
komisaris independen perusahaan tercatat yang sekaligus merangkap sebagai
ketua komite audit. Sedangkan anggota lainnya merupakan pihak ekstern yang
independen dimana sekurang-kurangnya satu diantaranya memiliki kemampuan di
bidang akuntansi dan atau keuangan. Komite audit akan mengawasi setiap
keputusan yang diambil oleh manajer sehingga akan mempersempit ruang gerak
manajer dalam melakukan manipulasi laba.
Bapepam (2004), menghendaki bahwa komite audit mengadakan rapat
dengan frekuensi yang sama dengan ketentuan minimal frekuensi rapat dewan
komisaris yang ditetapkan dalam anggaran dasar. Menurut Deviani (2007),
menyatakan bahwa secara umum, dapat disusun pengaturan rapat-rapat komite
audit sebagai berikut:
1) Komite audit harus rapat sedikitnya satu kali setiap kuartal;
2) Para anggota komite audit harus hadir di rapat-rapat tersebut, dengan
kemungkinan mengundang beberapa pihak lain bilamana diperlukan.
80 Mereka yang diundang mungkin komisaris, direktur, manajemen senior,
ketua internal audit, dan atau pihak auditor eksternal perusahaan;
3) Rapat harus diselenggarakan berdasarkan undangan dan agenda yang
sudah disepakati sebelum rapat dilakukan;
4) Hasil-hasil dari rapat-rapat tersebut harus tercatat dalam risalah resmi dan
terinci, dan dibagikan kepada semua yang hadir di dalam rapat tersebut
sehingga informasi penting yang layak untuk diketahui oleh pihak yang
berkepentingan dapat diperoleh secara seksama dan menimbulkan
kesamaan persepsi dalam memahami persoalan dan masalah pokok yang
dibicarakan dalam pertemuan tersebut.
Vafeas (2005) dalam Sanjaya (2008), menemukan bahwa ketika komite
audit lebih banyak melakukan pertemuan dan lebih independen, manajer
kemungkinan tidak menaikkan laba. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa
komite audit yang lebih sering mengadakan pertemuan dan pengamatan secara
langsung, diharapkan dapat mengurangi tingkat manajemen laba dalam
perusahaan.
Pamudji dan Trihartati (2009), menyebutkan bahwa frekuensi pertemuan
komite audit ternyata tidak efektif mengurangi tingkat manajemen laba. Hal ini
disebabkan oleh pembentukan komite audit dalam perusahaan hanya bersifat
mandatory terhadap peraturan yang ada. Berdasarkan uraian tersebut, maka
hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ha3: Komite audit memiliki pengaruh negatif terhadap praktek perataan laba.
Download