BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Keagenan (Agency Theory) Teori yang menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori prinsipal-agen menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok atau organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang diinginkan oleh prinsipal (dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang). Menurut Belkaoui (2011:188), teori agensi mungkin berawal dengan adanya penekanan pada kontrak sukarela yang timbul di antara berbagai pihak organisasi sebagai suatu solusi yang efisien terhadap konflik kepentingan tersebut. Teori ini berubah menjadi suatu pandangan atas perusahaan sebagai suatu “penghubung (nexus) kontrak” melalui pernyataan oleh Jansen dan Meckling yang menyatakan bahwa perusahaan adalah “cerita fiksi legal yang berfungsi sebagai penghubung atas serangkaian hubungan kontrak antara individu.” Berdasarkan teori keagenan, perusahaan adalah suatu legal fiction yang berperan penting dalam proses mengarahkan tujuan-tujuan individu yang berbeda ke keseimbangan dalam kerangka hubungan kontraktual. Jensen dan Meckling (1976), mendefinisikan hubungan keagenan (agency relationship) sebagai berikut: 15 16 "an agency relationship as a contract under which one or more persons (the principal(s)) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf which involves delegating some decision making authority to the agent" (p.85). Teori keagenan didasarkan pada pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian (ownership and control). Pemisahan antara pemilikan dan pengendalian dapat merupakan bentuk efisien dari perusahaan dalam kerangka perspektif "serangkaian kontrak" perusahaan merupakan serangkaian kontrak yang mencakup cara dimana input diproses untuk menghasilkan output dan cara dimana hasil dari output dibagi diantara input. Dalam perspektif nexus of contract ini, kepemilikan perusahaan merupakan konsep yang tidak relevan dan fungsi manajemen adalah mengawasi kontrak-kontrak diantara faktor-faktor dan memastikan keberlangsungan perusahaan. Menurut Eisenhardt (1989) dalam Emirzon (2007), teori keagenan dilandasi oleh beberapa asumsi. Asumsi-asumsi tersebut dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu asumsi tentang sifat manusia, asumsi keorganisasian dan asumsi informasi. Asumsi sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat mementingkan diri sendiri (self-interest), manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria efektivitas dan adanya asimetri informasi antara principal dan agent. Asumsi informasi adalah bahwa informasi sebagai barang komoditi yang dapat diperjualbelikan. 17 Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia dijelaskan bahwa masing-masing individu semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Pihak pemilik (principal) termotivasi mengadakan kontrak untuk mensejahterahkan dirinya dengan profitabilitas yang selalu meningkat. Sedangkan manajer (agent) termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan ekonomi dan psikologinya, antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Dengan demikian, terdapat dua kepentingan yang berbeda di dalam perusahaan dimana masing-masing pihak berusaha untuk mencapai atau mempertahankan tingkat kemakmuran yang dikehendaki. Permasalahan yang timbul akibat adanya perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen disebut dengan agency problems. Salah satu penyebab agency problems adalah adanya asymmetric information. Asymmetric Information adalah ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh prinsipal dan agen, ketika prinsipal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agen, sebaliknya agen memiliki lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan secara keseluruhan (Widyaningdyah, 2001) Jensen dan Meckling (1976) menyatakan permasalahan tersebut adalah: 1. Moral hazard, yaitu permasalahan muncul jika agen tidak melaksanakan hal-hal yang disepakati bersama dalam kontrak kerja. 2. Adverse selection, yaitu suatu keadaan di mana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh agen benar-benar 18 didasarkan atas informasi yang telah diperolehnya, atau terjadi sebagai sebuah kelalaian dalam tugas. Teori keagenan berusaha untuk menjawab masalah keagenan yang terjadi jika pihak-pihak yang saling bekerja sama memiliki tujuan dan pembagian kerja yang berbeda. Secara khusus teori keagenan membahas tentang adanya hubungan keagenan, dimana suatu pihak tertentu (principal) mendelegasikan pekerjaan kepada pihak lain (agent) yang melakukan perkerjaan. Teori keagenan ditekankan untuk mengatasi dua permasalahan yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan (Eisenhardt, 1989 dalam Darmawati, 2005). Pertama adalah masalah keagenan yang timbul pada saat (a) keinginan-keinginan atau tujuan-tujuan dari prinsipal dan agen berlawanan dan (b) merupakan suatu hal yang sulit atau mahal bagi prinsipal untuk melakukan verifikasi tentang apa yang benar-benar dilakukan oleh agen. Permasalahannya adalah bahwa prinsipal tidak dapat memverifikasi apakah agen telah melakukan sesuatu secara tepat. Kedua adalah masalah pembagian resiko yang timbul pada saat prinsipal dan agen memiliki sikap yang berbeda terhadap resiko. Dengan demikian, prinsipal dan agen mungkin memiliki preferensi tindakan yang berbeda dikarenakan adanya perbedaan preferensi resiko. Menurut Hendriksen dan Breda (2000:221), menyatakan bahwa teori keagenan memberikan peranan penting bagi akuntansi terutama dalam menyediakan informasi setelah suatu kejadian yang disebut sebagai peranan pascakeputusan. Peranan ini sering diasosiasikan dengan peran pengurusan (stewardship) akuntansi, dimana seorang agen melapor kepada prinsipal tentang 19 kejadian-kejadian dimasa lalu. Inilah yang memberi akuntansi nilai umpan baliknya selain nilai prediktifnya. Dimana nilai umpan balik menjelaskan bahwa informasi juga mempunyai peran penting dalam menguatkan atau mengoreksi harapan-harapan sebelumnya. 2.2 Good Corporate Governance 2.2.1 Pengertian Good Corporate Governance Istilah pengelolaan perusahaan dapat dipandang dari definisi yang luas maupun terbatas. Secara terbatas, istilah tersebut berkaitan dengan hubungan antara pengelola (manajer), direktur dan pemegang saham dari perusahaan. Istilah tadi juga dapat mencakup hubungan antara perusahaan itu sendiri dengan pembeli saham dan masyarakat. Secara luas, istilah pengelolaan perusahaan dapat meliputi kombinasi antara hukum, peraturan, aturan pendaftaran dan praktik pribadi yang memungkinkan perusahaan tersebut menarik modal masuk, berkinerja secara efisien, menghasilkan keuntungan dan memenuhi harapan masyarakat secera umum dan sekaligus kewajiban hukum. Beberapa pengertian yang diberikan oleh beberapa ahli sebagai bahan perbandingan tentang pengertian good corporate governance, diantaranya adalah sebagai berikut: Forum For Corporate Governance (FCGI, 2002) mendefinisikan corporate governance sebagai: “Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengtur dan mengendalikan perusahaan.” 20 Dalam kaitannya dengan pengertian GCG ini, pada tahun 1992 melalui apa yang dikenal dengan sebutan Cadbury Report, telah mengeluarkan definisi tersendiri tentang GCG. Menurut Komite Cadburry, Good Corporate Governance adalah: “Prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan pertanggungjawabannya kepada para shareholder khususnya, dan stakeholder pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan pengaturan kewenangan direktur, manajer, pemegang saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan perusahaan di lingkungan tertentu.” Sementara itu, menurut Center for European Policy Studies (CEPS) dalam Daniri (2006:7), GCG merupakan seluruh sistem yang dibentuk mulai dari hak (right), proses, serta pengendalian, baik yang ada di dalam maupun di luar manajemen perusahaan. The Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) merupakan salah satu organisasi internasional yang sangat aktif mendukung implementasi dan perbaikan corporate governance di seluruh dunia. OECD mendefinisikan corporate governance dalam Sutojo dan Aldridge (2005) sebagai: “Corporate governance is the system by which business corporations are directed and controlled. The corporate governance structure specifies the distribution of rights and responsibilities among different participants in the corporation, such as the board, the managers, shareholders and other stakeholders, and spells out the rules and procedures for making decisions on corporate affairs. By doing this, it also provides the structure through which the company objective are set, and the means of ataining those objectives and monitoring performance." Sementara itu, Asian Development Bank (ADB) sebagai suatu organisasi yang mendorong perkembangan ekonomi negara-negara di benua Asia juga 21 menaruh perhatian yang besar terhadap corporate governance. Dalam laporannya sebagai hasil penilaian terhadap kondisi corporate governance di 5 negara Asia, ADB (2001) mendefinisikan corporate governance sebagai: "A corporate governance system consists of (1) a set of rules that define the relationships between shareholders, managers, creditors, the government and other stakeholders (i.e., their respective rights and responsibilities) and (ii) a set of mechanisms that help directly or indirectly to enforce these rules"(p.5). Pengertian lain datang dari Finance Committee on Corporate Governance Malaysia dalam Budiharta dan Gusnadi (2008), GCG merupakan: “Suatu proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis dan urusan-urusan perusahaan dalam rangka meningkatkan kemakmuran bisnis dan akuntabilitas perusahaan dengan tujuan utama mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan pihak-pihak lain.” Kemudian, menurut pakar corporate governance dari Inggris, Jill Solomon dan Aris Solomon dalam bukunya Corporate Governance and Accountability (2004), menedefinisikan: "Corporate governance is the system of checks and balances, both internal and external to companies, which ensures that companies discharge their accountability to all their stakeholders and act in a socially responsible way in all areas of their business activity." Dengan sudut pandang yang berbeda dari definisi corporate governance yang dikemukakan di atas, Shleifer and Vishny (1997) dalam Wulandari (2011), beragumentasi bahwa Corporate governance deals with the ways in which suppliers of finance to corporations assure themselves of getting a return on their investment. 22 Apabila definisi corporate governance dari OECD, ADB, dan Solomon dan Solomon menekankan pada hubungan di antara semua pemangku kepentingan perusahaan, seperti manajer, kreditur, pemerintah, dan pemegang saham, maka definisi dari Shleifer dan Vishny lebih mengutamakan hubungan antara manajemen perusahaan dengan investor. Dengan demikian, definisi yang dikemukakan Shleifer dan Vishny bersifat lebih sempit dan hanya menekankan pada akuntabilitas manajemen perusahaan kepada para pemegang sahamnya. Sementara itu, definisi yang dikemukakan OECD, ADB, dan Solomon dan Solomon bersifat lebih luas dan mendorong akuntabilitas pada kelompok yang lebih luas, tidak hanya pemegang saham. Meskipun terdapat perbedaan dalam definisi-definisi corporate governance tersebut di atas, namun secara umum terdapat satu pengertian utama tentang corporate governance yaitu sebagai suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan jalannya perusahaan. Dari definisi di atas juga dapat disimpulkan bahwa Good Corporate Governance merupakan: • Suatu struktur yang mengatur pola hubungan harmonis tentang peran dewan komisaris, direksi, pemegang saham dan para stakeholder lainnya; • Suatu sistem pengecekan dan perimbangan kewenangan atas pengendalian perusahaan yang dapat membatasi munculnya dua peluang: pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset perusahaan; dan • Suatu proses yang transparan atas penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya. 23 2.2.2 Perkembangan Corporate Governance di Indonesia Perkembangan corporate governance di Indonesia diawali dengan timbulnya kesadaran untuk memperbaiki situasi perekonomian sebagai akibat krisis ekonomi. Hasil penelitian Wulandari dan Rahman (2004) terhadap 100 perusahaan tercatat di BEJ tahun 1999 memperlihatkan bahwa corporate governance perusahaan masih lemah. Hal tersebut diidentifikasikan dengan struktur perusahaan yang kompleks, ketergantungan pembiayaan pada bank, dan ketidakefektifan pengawasan oleh dewan komisaris. Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah memfasilitasi dibentuknya Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG) pada tahun 1999. Wulandari (2011), menyatakan bahwa KNKCG selain bertugas menyusun pedoman umum good corporate governance, juga bertindak selaku organisasi yang menaungi kegiatan-kegiatan mempromosikan penerapan corporate governance di perusahaan-perusahaan Indonesia. Dengan kata lain, KNKCG menaungi kegiatan yang dilakukan lembaga-lembaga lain sejenis seperti FCGI (Forum Corporate Governance Indonesia), ICGI (Institut Corporate Governance Indonesia), IICD (Indonesian Institute of Corporate Directors), Lembaga Komisaris dan Direktur Indonesia (LKDI), Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI) dan lainnya. Di awal pembentukannya, KNKCG memfokuskan diri pada kemajuan corporate governance, namun sejak tahun 2004 timbul kesadaran bahwa perbaikan corporate governance perlu ditopang oleh perbaikan di bidang public governance. Oleh karena itu, dilakukan perubahan nama KNKCG menjadi Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). Disamping perbaikan yang 24 dilakukan dari sudut kelembagaan yang mempromosikan corporate governance, pemerintah juga melakukan banyak usaha perbaikan corporate governance dengan mewajibkan perusahaan menerapkan beberapa mekanisme corporate governance didalam kegiatannya. Berkaitan dengan kepemilikan saham perusahaan, pemerintah pada tahun 2000 melalui peraturan Bapepam dan LK sebagai pengawas kegiatan pasar modal, mewajibkan perusahaan mengungkapkan nama pemegang saham yang memiliki 5% atau lebih saham perusahaan. Begitu pula nama direksi dan komisaris yang memiliki saham perusahaan serta perubahan kepemilikan saham harus dilaporkan tidak lebih dari 10 hari sejak terjadinya transaksi. Sejak tahun 2001, Bursa Efek Jakarta mewajibkan semua perusahaan yang tercatat untuk memiliki komite audit. Sementara itu, Bapepam dan LK mensyaratkan hal yang serupa untuk semua perusahaan terbuka dan perusahaan publik sejak Desember 2004. Komite audit dibentuk dan bertanggungjawab kepada Dewan Komisaris. Anggota komite audit setidaknya terdiri dari 1 orang komisaris independen, yang merangkap sebagai ketua, dan 2 orang anggota yang berasal dari luar perusahaan. Salah satu anggota komite audit wajib memiliki keahlian di bidang keuangan. Dewan pengurus perusahaan di Indonesia terdiri dari direksi dan dewan komisaris. Hal ini dikarenakan Indonesia mengikuti two-tier board system. Direksi, selaku pengelola perusahaan, merupakan 'manajemen' dalam one-tier system, sedangkan dewan komisaris, sebagai pengawas, bertindak seperti board of directors dalam one-tier system. Terdapat perbedaan jelas mengenai fungsi direksi dan komisaris, direksi tidak dapat merangkap sebagai anggota atau ketua dewan komisaris. BEJ, sejak Juli 25 2001, mewajibkan perusahaan tercatat untuk memiliki komisaris independen. Kewajiban tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa komisaris independen akan dapat melindungi tidak hanya kepentingan pemegang saham minoritas tetapi juga pemangku kepentingan lainnya secara seimbang dan transparan. Jumlah komisaris independen harus proporsional dengan jumlah saham yang dimiliki oleh selain pemegang saham pengendali, dan setidaknya 30% dari jumlah anggota dewan komisaris. Menyadari pentingnya peranan auditor sebagai salah satu mekanisme corporate governance, Bapepam dan LK melalui peraturan yang diterbitkan pada 2002 berusaha meningkatkan independensi auditor. Untuk itu, auditor dan kantor akuntan publik wajib dirotasi. Auditor wajib dirotasi setelah memberikan jasanya selama 3 tahun berturut-turut, sedangkan kantor akuntan publik setelah 5 tahun berturut-turut. Auditor atau kantor akuntan publik dapat memberikan jasa audit kembali pada klien yang sama setelah 3 tahun berturutturut tidak mengaudit klien tersebut. Kewajiban rotasi auditor dan kantor akuntan publik dipandang perlu untuk melindungi auditor dari kemungkinan timbulnya dampak negatif akibat kedekatan hubungan dengan klien auditnya. Disamping itu, hal tersebut akan memaksa auditor dan kantor akuntan publik untuk tetap melakukan auditnya dengan kualitas tinggi karena kemungkinan hasil auditnya akan menjadi subjek pemeriksaan auditor dan kantor akuntan publik berikutnya. Sebagai dampaknya, dapat diharapkan bahwa kualitas audit akan membaik, dan pada gilirannya hal tersebut dapat meningkatkan kredibilitas laporan keuangan yang diaudit. Disamping itu, Bapepam dan LK juga melarang kantor akuntan publik untuk memberikan beberapa jasa non-audit tertentu pada klien auditnya 26 untuk periode yang sama. Jasa-jasa tersebut antara lain meliputi pembukuan, konsultasi manajemen, perpajakan, internal audit, dan jasa penasehat investasi. Pemberian jasa non audit kepada klien audit dianggap membahayakan independensi kantor akuntan publik karena dapat memberikan persepsi yang keliru pada masyarakat bahwa kantor akuntan publik melakukan kompromi. Berkaitan dengan remunerasi, perusahaan publik wajib mengungkapkan remunerasi anggota direksi dan komisarisnya di laporan tahunan. Hal tersebut diwajibkan dalam peraturan Bapepam dan LK tahun 1997 yang direvisi pada 2006. Melalui pemberian remunerasi yang dikaitkan dengan kinerja perusahaan, pemegang saham dapat mengharapkan bahwa manajemen akan berusaha semaksimal mungkin untuk meningkatkan kinerja perusahaan, yang berarti juga meningkatkan kesejahteraan pemilik perusahaan. Sejak tahun 2002, dalam rangka meningkatkan kesadaran perusahaan mengenai pentingnya corporate governance, KNKG bekerja sama dengan 7 lembaga lainnya mengadakan kontes laporan tahunan atau dikenal dengan nama Annual Report Award (ARA). Lembagalembaga yang turut terlibat dalam kegiatan ARA adalah Bapepam dan LK, Kementerian Negara BUMN, Bank Indonesia, Bursa Efek Jakarta, Direktorat Jenderal Pajak, dan Ikatan Akuntan Indonesia. Keterbukaan informasi, khususnya mengenai good corporate governance dalam laporan tahunan, seperti kegiatan dan remunerasi direksi dan komisaris, komite audit, manajemen risiko, dan lain sebagainya, menjadi acuan utama penilaian. Peserta ARA tidak dibatasi hanya bagi perusahaan terbuka, tetapi semua jenis perusahaan, baik BUMN maupun non-BUMN, baik dari industri jasa keuangan maupun non-jasa keuangan. 27 Penelaahan mengenai kualitas keterbukaan pemenang ARA dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Manajemen bekerja sama dengan KNKG, BEJ, Bapepam dan LK serta Kementerian Negara Lingkungan Hidup, sejak tahun 2005, menyelenggarakan Indonesian Sustainability Reporting Award (ISRA). ISRA bertujuan mempromosikan sustainability reporting atau triple-bottom line reporting, yang menekankan pelaporan kinerja ekonomi, sosial, dan lingkungan perusahaan. Tahun 2006, terdapat 4 peserta ISRA yang menyajikan laporan Corporate Social Responsibility (CSR) dan Sustainability Reporting terpisah dari laporan tahunan. Hal tersebut menunjukkan kesadaran perusahaan mengenai pentingnya informasi mengenai tanggung jawab sosial dan keberlanjutan perusahaan bagi para pemangku kepentingannya. 2.2.3 Tujuan Good Corporate Governance Pada dasarnya GCG diterapkan pada dua sektor yaitu pasar modal dan BUMN. Sedangkan tujuan penerapan GCG pada BUMN berlandaskan Keputusan Menteri BUMN Nomor 117/M-MBU/2002 pasal 4 adalah : 1. Memaksimalkan BUMN dengan cara meningkatkan prinsip keterbukaan, akuntabilitas, dapat dipercaya, bertanggung-jawab, dan adil agar perusahaan memiliki budaya saing yang kuat, baik secara Nasional maupun Internasional. 2. Mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, transparan dan efisien, serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian organ. 28 3. Mendorong agar organ dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial BUMN terhadap stockholder maupun kelestarian lingkungan disekitar BUMN. 4. Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian sosial. 5. Meningkatkan iklim investasi nasional. 6. Menyukseskan program privatisasi BUMN. 2.2.4 Manfaat Good Corporate Governance Manfaat langsung yang dirasakan perusahaan dengan penerapan GCG adalah meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha. Manfaat lain GCG adalah bukan saat ini, tetapi juga dalam jangka panjang dapat menjadi pilar utama pendukung tumbuh kembangnya perusahaan sekaligus pilar pemenang era persaingan global. Menurut Daniri (2005), dalam bukunya “Konsep dan Penerapan GCG” manfaat dengan adanya penerapan GCG diyakini akan menolong perusahaan dan perekonomian suatu negara yang sedang tertimpa krisis bangkit menuju ke arah yang lebih sehat, mampu bersaing, dikelola secara dinamis serta profesional. Ujungnya adalah daya saing yang tangguh yang diikuti oleh pulihnya kepercayaan investor. Menurut FCGI (2003), dengan melaksanakan Corporate Governance, ada beberapa manfaat yang dapat diperoleh yaitu: 29 1. Meningkatkan kinerja perusahaan melalui terciptanya proses pengambilan keputusan yang lebih baik, meningkatkan efisiensi operasional perusahaan serta lebih meningkatkan pelayanan kepada Stakeholders. 2. Mempermudah diperolehnya dana pembiayaan yang lebih murah yang pada akhirnya akan meningkatkan corporate value. 3. Mengembalikan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. 4. Pemegang saham akan merasa puas dengan kinerja perusahaan sekaligus akan meningkatkan shareholders value dan deviden. Sedangkan manfaat Corporate Governance menurut Sjahputra (2002:9), adalah sebagai berikut: 1. Perbaikan dalam komunikasi. 2. Meminimalisasi potensial benturan. 3. Fokus pada strategi-strategi utama. 4. Peningkatan dalam produktivitas dan efisiensi. 5. Kesinambungan manfaat (sustainability of benefit). 6. Promosi citra korporat (corporate image). 7. Peningkatan kepuasan pelanggan. 8. Perolehan kepercayaan investor. 2.2.5 Perlunya Good Corporate Governance Wulandari (2011), menyatakan bahwa banyak alasan yang dikemukakan tentang perlunya perusahaan menerapkan prinsip good corporate governance. 30 Namun demikian, satu alasan utama yang dikemukakan para pakar adalah bahwa prinsip-prinsip corporate governance diperlukan untuk mengatasi masalah yang ada dalam pengelolaan perusahaan. Banyak pihak seperti pembuat kebijakan, praktisi, dan akademisi berpendapat bahwa perbaikan corporate governance merupakan suatu hal yang harus dilakukan, seperti melalui pembentukan komite audit, peningkatan transparansi informasi, keberadaan komisaris independen, meningkatkan hubungan dengan investor, dan pemberian remunerasi yang dikaitkan dengan kinerja perusahaan, dan sebagainya. Meskipun demikian, dalam perkembangannya tidak sedikit yang meragukan perbaikan dalam corporate governance. Banyak manajemen perusahaan yang keberatan dengan kebijakan peningkatan keterbukaan informasi yang harus disampaikan kepada publik. Mereka menolak untuk mengkomunikasikan strategi dan kebijakan yang diambil kepada investor utamanya. Ada anggapan bahwa keberadaan komisaris independen dan implementasi mekamisme corporate governance lainnya akan memperlambat proses pengambilan keputusan didalam perusahaan dan meningkatkan prosedur birokrasi dalam perusahaan. Perpanjangan prosedur tentunya akan menghambat kreativitas dan inovasi. Begitu pula, biaya yang harus ditanggung perusahaan dalam mengimplementasikan mekanisme corporate governance juga tidak sedikit. Pendapat seperti di atas tentunya tidak dapat diabaikan. Diperlukan adanya keseimbangan antara peningkatan akuntabilitas dan keterbukaan perusahaan dengan peningkatan kemampuan perusahaan untuk beroperasi secara efisien dan efektif. 31 Di pasar keuangan sendiri terdapat peningkatan kesadaran bahwa good corporate governance berkaitan dengan perusahaan yang besar. Komunitas investor institusi beranggapan bahwa perbaikan dalam corporate governance cenderung akan memperbaiki kinerja dan bukannya menghambat perkembangan perusahaan (Solomon dan Solomon, 2004). Disamping itu, hasil penelitan Solomon dan Solomon juga memperlihatkan bahwa corporate governance sama pentingnya baik bagi perusahaan kecil maupun perusahaan besar. Investor institusi sangat mendukung perbaikan yang berkelanjutan dalam corporate governance. Hal tersebut tentunya merupakan salah satu faktor pendukung utama bagi perusahaan untuk memperbaiki corporate governancenya apabila ingin tetap memperoleh pendanaan dari investor. 2.2.6 Prinsip – prinsip Dasar Good Corporate Governance Menurut Keputusan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) No. KEP-117/M/MBU/2002 tentang penerapan praktik Good Corporate Governance pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), terdapat 5 prinsip-prinsip GCG: 1. Transparansi Yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengemukakan informasi materil dan relevan mengenai perusahaan. 2. Kemandirian Yaitu suatu keandalan dimana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh tekanan dan pihak manapun 32 yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. 3. Akuntabilitas Yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif. 4. Pertanggungjawaban Yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat. 5. Kewajaran/Keadilan Yaitu keadilan dan kesataran di dalam memenuhi hak-hak stakeholders yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. OECD mengembangkan prinsip-prinsip corporate governance sejak tahun 1998. Prinsip-prinsip good corporate governance dari OECD pertama kali diluncurkan pada tahun 1999 dan menjadi acuan utama dalam penyusunan code of good corporate governance bagi negara-negara di seluruh dunia. Banyak institusi international, seperti World Bank, International Monetary Fund (IMF), dan International Organization for Securities Commission (IOSCO) menjadikan prinsip corporate governance OECD sebagai benchmark bagi penilaian kondisi corporate governance di suatu negara. Berdasarkan hasil diskusi dan konsultasi dengan pihak-pihak yang relevan serta memperhatikan perkembangan yang terjadi, prinsip-prinsip corporate governance OECD tersebut direvisi pada tahun 33 2004. Prinsip-prinsip corporate governance OECD (the OECD Principles of Corporate Governance) 2004 mencakup 6 bidang yaitu: 1. Landasan hukum yang diperlukan untuk memastikan penerapan corporate governance secara efektif. Untuk memastikan penerapan corporate governance yang efektif diperlukan adanya landasan hukum, peraturan dan institusi yang dapat menjadi acuan bagi para pelaku bisnis dalam melaksanakan aktivitasnya. Kerangka penerapan tersebut harus dikembangkan dengan mengantisipasi dampaknya terhadap kinerja ekonomi, integritas pasar, dan insentif yang diberikannya kepada para pelaku bisnis. 2. Hak pemegang saham dan fungsi pokok kepemilikan perusahaan. Penerapan corporate governance harus melindungi dan memfasilitasi terlaksananya hak-hak pemegang saham. Hak-hak dasar pemegang saham meliputi hak untuk: memperoleh perlindungan kepemilikan sahamnya secara aman, mentransfer sahamnya, memperoleh informasi perusahaan secara berkala dan tepat waktu, berpartisipasi dalam rapat umum pemegang saham (RUPS), dan dapat memilih direksi dan komisaris, serta berhak atas keuntungan perusahaan sesuai dengan porsi kepemilikan sahamnya. 3. Perlakuan yang adil terhadap para pemegang saham. Kerangka corporate governance harus memastikan bahwa seluruh pemegang saham, termasuk pemegang saham minoritas dan pemegang saham asing, memperoleh perlakuan yang adil dan setara. Kesetaraan 34 tersebut harus berlaku untuk semua pemegang saham yang memiliki saham dengan kelas saham yang sama. Hal tersebut juga termasuk kesempatan untuk memperoleh penggantian apabila hak-haknya dilanggar. 4. Peranan pemangku kepentingan dalam corporate governance. Kerangka corporate governance harus mengakui hak-hak pemangku kepentingan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Apabila hak-hak tersebut dilanggar, perusahaan harus memastikan bahwa pemangku kepentingan akan memperoleh penggantian. Perusahaan juga harus mendorong kerja sama aktif antara perusahaan dengan para pemangku kepentingannya untuk meningkatkan kesejahteraan dalam rangka menjaga keberlangsungan perusahaan. 5. Pengungkapan informasi perusahaan secara transparan. Kerangka corporate governance harus memastikan bahwa keterbukaan informasi perusahaan secara akurat dan tepat waktu harus dilakukan. Keterbukaan tersebut harus mencakup, tetapi tidak terbatas pada informasi yang material mengenai kinerja keuangan perusahaan, transaksi benturan kepentingan, pengelolaan risiko, struktur pengelolaan dan kebijakan perusahaan, khususnya tentang prinsip corporate governance. 6. Tanggung jawab dewan pengurus. Kerangka corporate governance harus memberikan acuan mengenai pengelolaan strategis perusahaan, pengawasan terhadap pengurus, dan akuntabilitas pengurus kepada perusahaan dan pemegang saham. Hal tersebut berarti bahwa pengurus perusahaan harus bertindak berdasarkan 35 informasi yang cukup, dengan niat baik, dan semata-mata untuk kepentingan perusahaan. Pengurus perusahaan juga harus memperlakukan semua pemegang saham secara setara dan berdasarkan standar etika. Pengurus perusahaan harus melakukan beberapa fungsi penting, seperti: menelaah dan memutuskan strategi pengelolaan perusahaan; meyusun perencanaan, kebijakan pengelolaan risiko, menyusun anggaran serta menerapkannya kemungkinan dan mengawasinya; timbulnya benturan memonitor kepentingan dan diantara mengelola pengurus, pemegang saham, dan karyawan kunci perusahaan. 2.2.7 Pedoman Umum Good Corporate Governance di Indonesia Adanya kesadaran mengenai perlunya suatu lembaga yang mengkoordinasi kegiatan-kegiatan yang memacu implementasi good corporate governance di Indonesia mendorong pemerintah untuk membentuk Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKCG). Dalam rangka melaksanakan tugasnya, KNKCG menyusun Pedoman Good Corporate Governance. Pedoman ini pertama kalinya diterbitkan pada tahun 1999 dan memperoleh sambutan yang baik dari dunia bisnis. Melalui beberapa kali penyempurnaan, saat ini yang berlaku adalah Pedoman Good Corporate Governance Indonesia yang diterbitkan pada tahun 2006, yang meliputi beberapa hal sebagai berikut: 1. Penciptaan situasi kondusif untuk melaksanakan good corporate governance. 36 Pelaksanaan good corporate governance memerlukan peran serta 3 pihak utama, yaitu negara, dunia usaha, dan masyarakat. Masing-masing pihak memiliki perannya sendiri-sendiri. Negara dan perangkatnya berperan sebagai regulator, yang bertugas menyediakan perangkat peraturan perundang-undangan untuk menunjang terciptanya iklim usaha yang sehat, efisien, dan transparan, dan juga melakukan penegakan hukum. Dunia usaha selaku pelaku pasar bertugas menerapkan good corporate governance dalam aktivitas bisnisnya, dan masyarakat sebagai konsumen dari produk dunia usaha harus memperlihatkan kepeduliannya dan melakukan kontrol sosial secara obyektif. 2. Asas good corporate governance. Terdapat 5 asas corporate governance yang harus diterapkan oleh dunia usaha pada setiap aktivitas bisnisnya. Asas-asas tersebut meliputi: transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, kewajaran dan kesetaraan. 3. Etika bisnis dan pedoman perilaku. Pelaksanaan good corporate governance perlu menjunjung tinggi etika bisnis yang berlaku. Untuk itu, diperlukan penjabaran lebih lanjut dari etika bisnis tersebut menjadi pedoman perilaku bagi semua karyawan dalam mencapai tujuan perusahaan. 4. Organ perusahaan. Organ perusahaan terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Dewan Komisaris, dan Direksi. Setiap organ memiliki fungsinya sendiri- 37 sendiri sesuai dengan ketetuan yang berlaku. Dalam konteks good corporate governance, masing-masing organ harus melakukan tugasnya secara independen untuk kepentingan perusahaan. 5. Pemegang saham. Sebagai pemilik perusahaan, pemegang saham memiliki hak dan tanggung jawab terhadap perusahaan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Pelaksanaan hak dan tanggung jawab pemegang saham tersebut harus memperhatikan kelangsungan hidup perusahaan. Begitu pula perusahaan harus menjamin dapat terpenuhinya hak dan tanggung jawab para pemegang saham. 6. Pemangku kepentingan. Antara perusahaan dengan pemangku kepentingan, seperti karyawan, mitra bisnis, dan masyarakat, harus terjalin hubungan yang saling menguntungkan berlandaskan asas kewajaran dan kesetaraan (fairness). Untuk itu, perusahaan harus menjamin tidak adanya diskriminasi, kerjasama atas dasar prinsip saling menguntungkan, dan memperhatikan kepentingan umum. 7. Pernyataan tentang penerapan pedoman good corporate governance. Perusahaan harus membuat pernyataan tentang kesesuaian penerapan good corporate governance dalam segala aspek aktivitas perusahaan dengan Pedoman Good Corporate Governance dalam laporan tahunannnya. 8. Pedoman praktis penerapan good corporate governance. 38 Perusahaan harus menyusun pedoman praktis penerapan good corporate governance yang mengacu pada Pedoman Good Corporate Governance untuk memastikan bahwa implementasi good corporate governance di perusahaan dilaksanakan secara sistematis dan berkesinambungan. 2.2.8 Mekanisme Corporate Governance Wulandari (2011), menyatakan bahwa literatur dibidang akuntansi, keuangan, hukum dan ekonomi menjelaskan bahwa pemilik dana perusahaan dapat memperoleh kepastian untuk memperoleh hasil atas investasinya melalui berbagai mekanisme corporate governance. Mekanisme corporate governance dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis yaitu: spesifik perusahaan (firm specific), spesifik negara (country spesific) dan mekanisme governance pasar. Klasifikasi tersebut akan mempermudah pemahamam peranan khusus mekanisme corporate governance dalam konteks perusahaan secara lebih luas. Mekanisme governance spesifik perusahaan dapat diatur dan dikendalikan oleh perusahaan untuk mencapai tujuan memaksimalkan nilai pemegang saham. Pada umumnya yang tercakup sebagai mekanisme governance spesifik perusahaan adalah struktur kepemilikan saham, pembiayaan perusahaan, auditing, komite audit, dewan pengurus, dan kompensasi manajemen. Mekanisme governance spesifik negara bersifat eksternal terhadap perusahaan, dan berada di bawah pengendalian pemerintah dan institusi yang diakui secara luas seperti institusi profesi. Mekanisme governance spesifik negara yang dibahas adalah sistem hukum, kebudayaan dan standar serta praktik akuntansi. Mekanisme governance pasar 39 didasarkan kepada tingkat perkembangan pasar modal, mekanisme ini terdapat pada pasar bagi pengendalian perusahaan. Ada beberapa mekanisme corporate governance yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengetahui pengaruhnya terhadap praktik perataan laba yang merupakan bagian dari pola manajemen laba, diantaranya adalah kualitas auditor yang diproksikan dengan ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP), proporsi dewan komisaris independen, dan keberadaan komite audit yang diproksi dengan frekuensi pertemuan komite audit. 2.2.8.1 Kualitas Auditor Audit merupakan salah satu elemen yang penting dalam menciptakan efisiensi pasar modal, karena audit dapat meningkatkan kredibilitas informasi keuangan yang secara langsung dapat menciptakan tata kelola perusahaan yang lebih baik melalui pelaporan keuangan yang lebih transparan. DeAngelo (1981), mendefinisikan kualitas audit (audit quality) sebagai: “Probabilitas dimana seorang auditor menemukan dan melaporkan tentang adanya suatu pelanggaran dalam sistem akuntansi kliennya. Probabilitas penemuan suatu pelanggaran tergantung pada kemampuan teknikal auditor dan independensi auditor tersebut.” Berdasarkan Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP), audit yang dilaksanakan auditor tersebut dapat berkualitas jika memenuhi ketentuan atau standar auditing. Standar auditing mencakup mutu professional (professional qualities) auditor independen, pertimbangan (judgment) yang digunakan dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporan auditor. 40 1. Standar umum: auditor harus memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang memadai, independensi dalam sikap mental dan kemahiran profesional dengan cermat dan seksama. 2. Standar pelaksanaan pekerjaan lapangan: perencanaan dan supervise audit, pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian intern, dan bukti audit yang cukup dan kompeten. 3. Standar pelaporan: pernyataan apakah laporan keuangan sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, pernyataan mengenai ketidakkonsistensian penerapan prinsip akuntansi yang berlaku umum, pengungkapan informatif dalam laporan keuangan, dan pernyataan pendapat atas laporan keuangan secara keseluruhan. DeAngelo (1981), berargumentasi bahwa kualitas audit secara langsung berhubungan dengan ukuran dari perusahaan audit, dengan proksi untuk ukuran perusahaan audit adalah jumlah klien. Perusahaan audit yang besar adalah dengan jumlah klien yang lebih banyak. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa adanya hubungan antara kualitas audit dengan ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP). Ukuran KAP merupakan ukuran yang digunakan untuk menentukan besar kecilnya suatu Kantor Akuntan Publik. Ukuran Kantor Akuntan Publik dapat dikatakan besar jika KAP tersebut berafiliasi dengan Big 4, mempunyai cabang dan kliennya perusahaan-perusahaan besar serta mempunyai tenaga profesional diatas 25 orang. Sedangkan Ukuran Kantor Akuntan Publik dikatakan kecil jika tidak berafiliasi dengan Big 4, tidak 41 mempunyai kantor cabang dan kliennya perusahaan kecil serta jumlah profesionalnya kurang dari 25 orang (Arens, et al, 2003). KAP yang besar lebih independen dibandingkan dengan KAP yang kecil. Dengan alasan bahwa ketika KAP besar kehilangan satu klien tidak begitu berpengaruh terhadap pendapatannya. Akan tetapi jika KAP kecil kehilangan satu klien sangat berarti karena kliennya sedikit. Sehingga KAP besar seperti Big 4 biasanya dianggap lebih mampu mempertahankan independensi auditor daripada KAP kecil. Selain itu, perusahaan audit yang lebih besar umumnya dianggap sebagai penyedia kualitas audit tinggi dan memiliki reputasi tinggi di lingkungan bisnis (DeAngelo, 1981), serta KAP yang lebih besar juga dianggap lebih mandiri dari KAP yang kecil dalam menahan tekanan manajemen jika terjadi perselisihan. Adapun ketentuan pelaksanaan audit atas laporan keuangan oleh auditor independen diatur dalam Peraturan Nomor VIII.A.1/Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-34/PM/2003 tentang Pendaftaran Akuntan Yang Melakukan Kegiatan Dipasar Modal. Peraturan ini mewajibkan kepada akuntan publik yang melakukan kegiatan di pasar modal untuk mendaftar di BAPEPAM dengan persyaratan sebagai berikut : • Mempunyai izin praktek dari Menteri Keuangan; • Tidak pernah melakukan perbuatan tercela dan atau dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana di bidang keuangan; • Memiliki akhlak dan moral yang baik; • Wajib memiliki keahlian di bidang Pasar Modal, dan persyaratan keahlian dapat dipenuhi melalui program pelatihan yang diselenggarakan oleh 42 organisasi profesi Akuntan atau pihak lain yang disetujui oleh organisasi profesi Akuntan; • Sanggup secara terus-menerus mengikuti program Pendidikan Profesi Lanjutan (PPL) di bidang Akuntansi dan peraturan perundang-undangan di bidang Pasar Modal sekurang-kurangnya 5 (lima) satuan kredit profesi (SKP) setiap tahun; • Sanggup melakukan pemeriksaan sesuai dengan Standar Profesional Auditor independen (SPAP) dan Kode Etik Profesi, serta senantiasa bersikap independen; • Berkedudukan sebagai rekan pada Kantor Akuntan yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Kantor akuntan yang bersangkutan memiliki izin usaha kantor akuntan dan dipimpin oleh akuntan yang telah memiliki izin praktek dari Menteri Keuangan; 2) Dalam melakukan pemeriksaan, akuntan menerapkan paling tidak 2 (dua) jenjang pengendalian (supervisi) yaitu rekan yang bertanggung jawab (menandatangani laporan), dan pengawas menengah yang melakukan pengawasan terhadap staf pelaksana; 3) Telah menjadi anggota Forum Akuntan Pasar Modal (FAPM) dari Ikatan Akuntan Indonesia-Kompartemen Auditor Independen (IAIKAP); 43 4) Sanggup menjalani review eksternal oleh IAI-KAP dan atau review Bapepam tentang pengendalian mutu pada Kantor Akuntan yang bersangkutan; dan 5) Bagi kantor akuntan yang hanya memiliki 1 (satu) orang rekan, untuk dapat melaksanakan kegiatan di Pasar Modal wajib membuat surat perjanjian kerjasama dengan kantor akuntan lain, yang mempunyai rekan yang sudah terdaftar di Bapepam, tentang pengalihan tanggung jawab apabila akuntan yang bersangkutan berhalangan untuk melaksanakan tugasnya. 2.2.8.2 Dewan Komisaris Independen Dewan komisaris memegang peranan yang sangat penting dalam perusahaan, terutama dalam pelaksanaan good corporate governance. Menurut Egon Zehnder International (2000) dalam FCGI (2001), dewan komisaris merupakan inti dari corporate governance yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntabilitas. Dewan komisaris menggambarkan puncak dari sistem pengendalian pada perusahaan besar, yang memiliki peran ganda yaitu peran untuk memonitor dan pengesahan (ratification). Fama dan Jensen (1983), menyatakan bahwa pengendalian keputusan yang efektif merupakan fungsi positif dari rasio dewan komisaris eksternal dengan total keanggotaan dewan komisaris. Tujuan dari aktivitas pengawasan oleh dewan komisaris eksternal adalah untuk memberikan 44 signal kepada pasar mengenai reputasi aktivitas pengawasan yang efektif di dalam perusahaan. Dewan komisaris yang independen secara umum mempunyai pengawasan yang lebih baik terhadap manajemen, sehingga mempengaruhi kemungkinan kecurangan dalam menyajikan laporan keuangan yang dilakukan oleh manajer (Chtourou et. al., 2001) atau dengan kata lain, semakin kompeten dewan komisaris maka semakin mengurangi kemungkinan kecurangan dalam pelaporan keuangan. Dewan komisaris diharapkan dapat bertindak independen dan kritis, baik antara satu sama lain, maupun terhadap direksi. Independen disini berarti komisaris bukan sekedar rubberstamp dari direksi tetapi aktif dalam mempertimbangkan (review) bahkan mengkritisi (challenge) kebijakan strategi direksi, dengan kata lain komisaris harus mampu untuk memberikan pandangan yang bersifat independen terhadap direksi (Daniri, 2006). Dewan komisaris independen menurut ketentuan Bapepam No. Kep29/PM/2004, adalah: “Anggota komisaris yang berasal dari luar emiten atau perusahaan publik, tidak mempunyai saham, baik langsung maupun tidak langsung pada emiten atau perusahaan publik, tidak mempunyai afiliasi dengan emiten atau perusahaan publik, komisaris, direksi atau pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik serta tidak memiliki hubungan usaha, baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha emiten atau perusahaan publik.” Keberadaan dewan komisaris independen telah diatur Bursa Efek Jakarta melalui peraturan BEJ tanggal 1 Juli 2000, dikemukakan bahwa perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia harus mempunyai komisaris independen yang secara proporsional sama dengan jumlah saham yang diniliki pemegang saham 45 yang minoritas (bukan controlling shareholders). Dalam peraturan ini, persyaratan jumlah minimal komisaris independen adalah 30% dari seluruh anggota dewan komisaris. Beberapa kriteria lainnya tentang komisaris independen adalah sebagai berikut: 1. Komisaris independen tidak memiliki hubungan afiliasi dengan pemegang saham mayoritas atau pemegang saham pengendali (controlling shareholders) perusahaan tercatat yang bersangkutan. 2. Komisaris independen tidak memiliki hubungan dengan direktur dan/atau komisaris lainnya perusahaan tercatat yang bersangkutan. 3. Komisaris independen tidak memiliki kedudukan rangkap pada perusahaan lainnya yang terafiliasi dengan perusahaan tercatat yang bersangkutan. 4. Komisaris independen harus mengerti peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. 5. Komisaris independen diusulkan dan dipilih oleh pemegang saham minoritas yang bukan merupakan pemegang saham pengendali (bukan controlling shareholders) dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Menurut Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance terdapat beberapa tanggung jawab dewan komisaris independen, diantaranya: 1. Komisaris independen memiliki tanggung jawab pokok untuk mendorong diterapkannya prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) di dalam perusahaan melalui pemberdayaan dewan komisaris 46 agar dapat melakukan tugas pengawasan dan pemberian nasehat kepada direksi secara efektif dan lebih memberikan nilai tambah bagi perusahaan. 2. Dalam upaya untuk melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik maka komisaris independen harus secara proaktif mengupayakan agar dewan komisaris melakukan pengawasan dan memberikan nasehat kepada direksi yang terkait dengan, namun tidak terbatas pada hal-hal sebagai berikut: a. Memastikan bahwa perusahaan memiliki strategi bisnis yang efektif, termasuk di dalamnya memantau jadwal, anggaran dan efektifitas strategi tersebut. b. Memastikan bahwa perusahaan mengangkat eksekutif dan manajermanajer professional. c. Memastikan bahwa perusahaan memiliki informasi, sistem pengendalian, dan sistem audit yang bekerja dengan baik. d. Memastikan bahwa perusahaan mematuhi hukum dan perundangundangan yang berlaku maupun nilai-nilai yang ditetapkan perusahaan dalam menjalankan operasinya. e. Memastikan resiko dan potensi krisis selalu diidentifikasikan dan dikelola dengan baik. f. Memastikan prinsip-prinsip dan praktek good corporate governance dipatuhi dan diterapkan dengan baik. 3. Tugas komisaris independen sebagaimana yang dimaksud pada butir 2.f diatas antara lain: a. Menjamin transparansi dan keterbukaan laporan keuangan perusahaan. 47 b. Perlakuan yang adil terhadap pemegang saham minoritas dan stakeholder yang lain. c. Diungkapkannya transaksi yang mengandung benturan kepentingan secara wajar dan adil. d. Kepatuhan perusahaan pada perundangan dan peraturan yang berlaku. e. Menjamin akuntabilitas organ perseroan. 2.2.8.3 Komite Audit Komite audit merupakan mekanisme corporate governance yang penting. Sejak awalnya, komite audit sudah berubah secara signifikan, dan saat ini dianggap sebagai salah satu karakteristik corporate governance yang efektif. Lebih jauh lagi, Knapp (1987) dalam Wulandari (2011), menyimpulkan bahwa komite audit memperkuat posisi auditor bila terdapat perbedaan pendapat dengan manajemen. Dalam hal ini, independensi komite audit dapat membantu eksternal auditor dalam berargumentasi dengan manajemen. Komite audit merupakan “mata” dan “telinga” dewan komisaris dalam rangka mengawasi jalannya perusahaan. Kehadiran komite audit telah mendapat respon yang cukup positif dari berbagai pihak, antara lain pemerintah, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (BAPEPAM-LK), Bursa Efek Indonesia (BEI), para investor, profesi penasehat hukum (advokat), profesi akuntan serta perusahaan penilai independen (independent appraisal company) (Effendi, 2008). Komite Audit diperkenalkan pertama kali oleh Bapepam kepada emiten pada tahun 2000 dengan dikeluarkannya Surat Edaran Ketua Bapepam No. SE- 48 03/PM/2000. Berdasarkan perkembangan terakhir, Bapepam mewajibkan setiap emiten untuk membentuk Komite Audit paling lambat 31 Desember 2004 dengan Surat Edaran No. SE-07/PM/2004. Ketentuan tentang Komite Audit telah mengalami beberapa perubahan, yang terakhir diatur dengan Keputusan Ketua Bapepam Nomor: Kep29/PM/2004 atau Peraturan Nomor IX.I.5. Hal-hal yang diatur mencakup antara lain : 1. Pembentukan Komite Audit a. Emiten atau perusahaan publik wajib memiliki komite audit; b. Emiten atau perusahaan publik wajib memiliki pedoman kerja komite audit (audit committee charter); c. Komite audit bertanggung jawab kepada dewan komisaris; d. Komite audit terdiri dari sekurang-kurangnya satu orang komisaris independen dan sekurang-kurangnya 2 (dua) orang anggota lainnya berasal dari luar emiten atau perusahaan publik. 2. Pedoman Pembentukan Komite Audit a. Struktur Komite Audit 1) Anggota Komite Audit diangkat dan diberhentikan oleh Dewan Komisaris dan dilaporkan kepada RUPS. 2) Ketua Komite Audit adalah komisaris independen. Jika terdapat lebih dari satu komisaris independen maka salah satu dari komisaris independen bertindak sebagai ketua Komite Audit. b. Keanggotaan Komite Audit 49 1) Memiliki integritas yang tinggi, kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang memadai sesuai dengan latar belakang pendidikannya, serta mampu berkomunikasi dengan baik; 2) Salah seorang anggota Komite Audit berlatar belakang pendidikan akuntansi dan keuangan; 3) Berpengetahuan yang cukup untuk membaca dan memahami laporan keuangan; 4) Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang peraturan perundangan di bidang pasar modal dan peraturan perundangundangan terkait lainnya; 5) Bukan merupakan orang dalam kantor auditor independen, kantor konsultan hukum, atau pihak lain yang memberikan jasa audit, jasa non audit dan atau jasa konsultasi lain kepada emiten atau perusahaan publik yang bersangkutan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diangkat oleh komisaris. 6) Bukan merupakan orang yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk merencanakan, memimpin, atau mengendalikan kegiatan emiten atau perusahaan publik dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diangkat oleh komisaris, kecuali komisaris independen. 7) Tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada emiten. Apabila mempunyai saham maka saham yang diperolehnya harus dialihkan ke pihak lain dalam jangka waktu paling lama 6 bulan. 50 8) Tidak mempunyai hubungan keluarga karena perkawinan dan keturunan sampai derajat kedua, baik secara horizontal maupun vertikal dengan komisaris, direksi, atau pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik. 9) Tidak mempunyai usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha emiten atau perusahaan publik. c. Tugas dan Tanggung Jawab Komite Audit bertugas memberikan pendapat kepada Dewan Komisaris dalam memberikan pendapat terhadap laporan atau hal-hal lain yang disampaikan oleh direksi, mengidentifikasikan hal-hal yang memerlukan perhatian komisaris, dan melaksanakan tugas-tugas lain yang berkaitan dengan tugas Dewan Komisaris, antara lain meliputi : 1) Melakukan penelaahan atas informasi laporan keuangan yang akan dikeluarkan perusahaan seperti laporan keuangan, proyeksi, dan informasi keuangan lainnya; 2) Melakukan penelaahan atas ketaatan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal dan peraturan perundangundang lainnya yang berhubungan dengan kegiatan perusahaan; 3) Melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan oleh internal auditor; 4) Melaporkan kepada komisaris berbagai risiko yang dihadapi perusahaan dan pelaksanaan manajemen risiko oleh direksi; 51 5) Melakukan penelaahan dan melaporkan kepada komisaris atas pengaduan yang berkaitan dengan emiten atau perusahaan publik; 6) Menjaga kerahasiaan dokumen, data, dan informasi perusahaan. d. Wewenang Komite Audit Komite audit berwenang untuk mengakses catatan atau informasi tentang karyawan, dana, aset serta sumber daya perusahaan lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya. Dalam melaksanakan wewenangnyanya, Komite Audit wajib berkerjasama dengan pihak yang melaksanakan fungsi internal audit. e. Rapat Komite Audit 1) Komite audit mengadakan rapat sekurang-kurangnya sama dengan ketentuan minimal rapat Dewan Komisaris yang ditetapkan dalam Anggaran Dasar; dan 2) Setiap rapat Komite Audit dituangkan dalam risalah rapat yang ditandatangani oleh seluruh anggota Komite Audit yang hadir. f. Pelaporan 1) Komite Audit membuat laporan kepada Dewan Komisaris atas setiap penugasan yang diberikan; dan 2) Komite Audit membuat laporan tahunan pelaksanaan kegiatan Komite Audit kepada Dewan Komisaris. g. Masa Tugas 52 Masa tugas Komite Audit tidak boleh lebih lama dari masa jabatan Dewan Komisaris sebagaimana diatur dalam anggaran dasar dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) periode berikutnya. Dalam menjalankan fungsi, tugas, dan tanggung jawabnya, komite Audit dapat mengadakan rapat secara periodik sebagaimana ditetapkan oleh komite audit sendiri. DeZoort et. al. (2002), menunjukkan bahwa frekuensi rapat yang lebih besar berhubungan dengan penurunan insiden masalah pelaporan keuangan dan peningkatan kualitas audit eksternal. Oleh karena itu, rapat komite audit menjadi penting dalam menjalankan fungsi, tugas dan tanggung jawabnya. Pamudji dan Trihartati (2007), menyebutkan karakteristik penting lain yang harus dimiliki komite audit adalah frekuensi pertemuan, keahlian di bidang keuangan, dan komitmen waktu. Ketiga faktor tersebut merupakan kunci penentu efektivitas komite audit. Karakteristik ini memiliki kemungkinan dapat mempengaruhi proses pelaporan keuangan. Komite audit perlu mengadakan rapat sedikitnya satu kali setiap kuartal dan para anggota komite audit harus hadir di rapat-rapat tersebut, dengan kemungkinan mengundang beberapa pihak lain bilamana diperlukan. Selain pertemuan formal, komite juga melakukan komunikasi dengan manajemen, akuntan publik, dan auditor internal. Biasanya ketua komite audit membuat agenda rapat dengan menerima masukan dari manajemen, auditor internal, dan auditor eksternal. Berbagai agenda yang harus dibicarakan dapat dilakukan dalam pertemuan formal maupun dalam pertemuan informal. 53 2.3 Laba Laba didefinisikan sebagai jumlah yang berasal dari pengurangan harga pokok produksi, biaya lain dan kerugian dari penghasilan atau penghasilan operasi (Harahap:2004). Sedangkan menurut FASB (Financial Accounting Standars Board) statement dalam Kustinah (2011:139), mengartikan laba sebagai kelebihan (deficit) penghasilan atas biaya selama satu periode akuntansi. Dan yang terbaru laba rugi di definisikan sebagai laba rugi adalah total pendapatan komprehensif lain. Accounting income adalah perbedaan antara realisasi penghasilan yang berasal dari transaksi perubahan pada periode tertentu dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan itu. Adapun jenis-jenis laba dalam hubungannya dengan perhitungan laba, yaitu: 1. Laba kotor Laba kotor yaitu perbedaan antara pendapatan bersih dan penjualan dengan harga pokok penjualan. 2. Laba dari operasi Laba dari operasi yaitu selisih antara laba kotor dengan total beban biaya. 3. Laba Bersih Laba bersih yaitu angka terakhir dalam perhitungan laba rugi dimana untuk mencarinya laba operasi bertambah pendapatan lain-lain dikurangi oleh beban lain-lain. 54 Dalam menyajikan laporan rugi laba akan terlihat pengklasifikasian dalam pengukuran laba adalah sebagai berikut : 1. Laba kotor atas penjualan merupakan selisih dari penjualan bersih dan harga pokok penjualan, laba ini dinamakan laba kotor. Hasil laba bersih belum dikurangi dengan beban operasi lainnya untuk periode tertentu. 2. Laba bersih operasi perusahaan yaitu laba kotor dikurangi dengan sejumlah biaya penjualan, biaya administrasi dan umum. 3. Laba bersih sebelum potongan pajak merupakan pendapatan perusahaan secara keseluruhan sebelum pajak perseroan yaitu perolehan dari laba operasi dikurangi atau ditambah. 4. Laba bersih setelah potongan pajak yaitu laba bersih setelah ditambah atau dikurangi dengan pendapatan dan biaya non operasi dan dikurangi laba perseroan. 2.4 Manajemen Laba 2.4.1 Pengertian Manajemen Laba Menurut Gumanti (2000), manajemen laba dapat memberikan gambaran akan perilaku dalam melaporkan kegiatan usahanya pada suatu periode tertentu, yaitu adanya kemungkinan munculnya motivasi tertentu yang mendorong mereka untuk mengatur data keuangan yang dilaporkan. Manajemen laba tidak harus dikaitkan dengan upaya untuk memanipulasi data atau informasi akuntansi, tetapi lebih condong dikaitkan dengan pemilihan metode akuntansi untuk mengatur keuangan yang dapat dilakukan karena memang diperkenankan menurut peraturan 55 akuntansi. Untuk mendeteksi adanya praktek manajemen laba dalam laporan keuangan suatu perusahaan dapat digunakan total accruals (Ihalauw dan Afni, 2002). Manajemen laba tidak terlepas dari suatu teori akuntansi, yaitu teori akuntansi positif (positive accounting theory). Watts dan Zimmerman (1990) dalam bukunya yang berjudul Positive Accounting Theory memaparkan suatu teori akuntansi yang berusaha mengungkapkan faktor-faktor ekonomi atau ciri-ciri suatu unit usaha tertentu dapat dikaitkan dengan perilaku manajer atau para pembuat laporan keuangan. Teori akuntansi positif pada prinsipnya beranggapan bahwa tujuan teori akuntansi adalah untuk menjelaskan dan memprediksi praktikpraktik akuntansi. Teori akuntansi positif dapat memberikan pedoman kepada para pembuat keputusan kebijakan akuntansi dalam melakukan perkiraanperkiraan atau penjelasan-penjelasan serta konsekuensi dari keputusan tersebut. Halim, dkk (2005), menyatakan bahwa manajemen laba merupakan pemilihan kebijakan akuntansi oleh manajemen dari standar akuntansi yang ada dan secara alamiah dapat memaksimumkan utilitas mereka dan atau nilai pasar perusahaan. Cara pemahaman atas manajemen laba dapat dibagi menjadi dua: 1. Melihatnya sebagai perilaku oppurtunistik manajer untuk memaksimumkan utilitasnya dalam menghadapi kontrak kompensasi, kontrak hutang, dan political cost (Opportunistic Earning Management). 2. Memandang manajemen laba dari perspektif efficient contracting (Efficient Earning Management), dimana manajemen laba memberikan kepada manajer suatu fleksibilitas untuk melindungi diri mereka dan 56 perusahaan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang tak terduga untuk keuntungan pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak. Menurut Sugiri (1998) dalam Lughiatno (2008), membagi definisi manajemen laba menjadi dua, yaitu: a. Definisi Sempit Manajemen laba dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi. Manajemen laba dalam artian sempit ini didefinisikan sebagai perilaku manajer untuk “bermain” dengan komponen discretionary accruals dalam menentukan besarnya laba. b. Definisi Luas Manajemen laba merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan (mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit dimana manajer bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan) profitabilitas ekonomi jangka panjang unit tersebut. Menurut Fischer dan Rosenzweig (1995) dalam Kustinah (2011), manajemen laba adalah: “earning management as referring to actions of a manager which serve to increase (decrease) current reported earnings of the unit for which the manager is responsible without generating a corresponding increase (decrease) in the long-term economic profitability of the unit.” 2.4.2 Motivasi Melakukan Manajemen Laba Pertimbangan costs dan benefits dari diperbolehkannya manajemen untuk memilih dan menetapkan metode-metode akuntansi menjadi pintu masuk utama bagi manajer untuk melakukan manajemen laba. Menurut Scott (2003:377-383), 57 menyatakan bahwa terdapat berbagai motivasi yang mendorong mengapa manajer perusahaan melakukan manajemen laba, yaitu: 1. Bonus Plans Manajer mempunyai informasi laba bersih sebelum dilaporkan dalam laporan keuangan, sementara pihak luar tidak bisa mengetahuinya sampai mereka membaca laporan keuangan. Karenanya manajer akan berusaha untuk mengatur laba bersih tersebut sehingga dapat memaksimalkan bonus mereka berdasarkan compensation plans perusahaan. Ada dua pendekatan yang dapat ditempuh oleh manajer dalam mengendalikan laba, yaitu: mengendalikan acccruals, yaitu meliputi penghasilan (revenue) dan beban (expenses) dalam perhitungan rugi yang tidak mempengaruhi cash flows dan dengan merubah kebijakan akuntansi. 2. Debt Covenant Kontrak hutang jangka panjang (debt covenant) merupakan perjanjian untuk melindungi pemberi pinjaman (lender atau creditor) dari tindakantindakan manajer terhadap kepentingan kreditor, seperti deviden yang berlebihan, pinjaman tambahan, atau membiarkan modal kerja dan kekayaan pemilik berada di bawah tingkat yang telah ditentukan, yang mana semuanya menurunkan keamanan (atau menaikkan resiko) bagi kreditur yang telah ada. Kontrak ini didasarkan pada teori akuntansi positif, yakni hipotesis debt covenant, yang menyatakan bahwa semakin dekat suatu perusahaan ke pelanggaran perjanjian hutang, manajer akan 58 cenderung memilih prosedur akuntansi yang dapat “memindahkan” laba periode mendatang ke periode berjalan. 3. Political Motivation Aspek politis tidak dapat dilepaskan dari perusahaan, khususnya perusahaan besar dan industri strategis, karena aktivitasnya melibatkan hajat hidup orang banyak. Beberapa motivasi politis yang mendorong perusahaan melakukan manajemen laba dengan cara menurunkan laba antara lain: (a) untuk mengurangi biaya politis dan pengawasan dari pemerintah, (b) untuk memperoleh kemudahan dan fasilitas dari pemerintah, misalnya subsidi, perlindungan dari pesaing luar negeri, dan (c) untuk meminimalkan tuntutan serikat buruh. 4. Taxation Motivation Perpajakan merupakan salah satu alasan utama mengapa perusahaan mengurangi laba bersih yang dilaporkan. Sebagai contoh, untuk persediaan, perusahaan akan memilih metode akuntansi LIFO yang menghasilkan laba bersih paling rendah dibandingkan metode lainnya. 5. Pergantian CEO Beragam motivasi timbul di sekitar waktu pergantian CEO. Sebagai contoh, CEO yang mendekati masa akhir penugasan atau pensiun akan melakukan strategi memaksimalkan laba untuk meningkatkan bonusnya dan membuat CEO yang baru merasa sangat berat untuk mencapai tingkat laba tersebut. Demikian juga dengan CEO yang kurang berhasil 59 memperbaiki kinerja perusahaan akan cenderung memaksimalkan laba untuk mencegah atau membatalkan pemecatannya. 6. Initial Public Offering (IPO) Pada hakikatnya, perusahaan yang baru pertama kali menawarkan sahamnya di pasar modal belum mempunyai harga pasar sehingga memiliki masalah bagaimana menetapkan nilai saham yang akan ditawarkan. Oleh karena itu, untuk tawar menawar, informasi keuangan yang terdapat dalam prospektus merupakan sumber informasi yang sangat berguna. Secara analitikal, informasi seperti laba bersih dapat dipakai sebagai sinyal kepada investor tentang “nilai” perusahaan. Jadi, hal ini memunculkan kemungkinan bahwa pihak manajemen perusahaan yang go public melakukan manajemen laba untuk memperoleh harga yang lebih tinggi atas sahamnya. 2.4.3 Bentuk-bentuk Manajemen Laba Pemilihan metode akuntansi dalam rangka melakukan manajemen laba harus dilakukan dengan penuh kecermatan. Menurut Scott (2003:383-384), ada berbagai pola yang sering dilakukan manajer dalam manajemen laba antara lain: 1. Taking a bath Taking a bath terjadi selama periode adanya tekanan organisasional atau reorganisasional seperti pemilihan CEO baru. Teknik ini mengakui adanya biaya-biaya pada periode yang akan datang dan kerugian periode berjalan ketika keadaan buruk yang tidak menguntungkan tidak bisa dihindari pada 60 periode berjalan. Konsekuensinya, manajemen “menghapus” beberapa aktiva, membebankan perkiraan-perkiraan biaya mendatang. Akibatnya, laba pada periode berikutnya akan lebih tinggi dari seharusnya. 2. Income minimization Income minimization biasanya dilakukan pada saat profitabilitas perusahaan sangat tinggi dengan maksud agar tidak mendapat perhatian secara politis. Kebijakan yang diambil dapat berupa penghapusan atas barang modal dan aktiva tak berwujud, pembebanan pengeluaran iklan, riset dan pengembangan yang cepat. 3. Income maximization Income maximization dimaksudkan untuk memperoleh bonus yang lebih besar, meningkatkan keuntungan dan untuk menghindar dari pelanggaran atas kontrak hutang jangka panjang. Income maximization dilakukan dengan cara mempercepat pencatatan pendapatan, menunda biaya dan memindahkan biaya untuk periode lain. 4. Income smoothing Income smoothing merupakan cara yang paling popular dan sering dilakukan. Pihak manajemen dengan sengaja menurunkan atau meningkatkan laba untuk mengurangi gejolak dalam pelaporan laba, sehingga perusahaan terlihat stabil atau tidak berisiko tinggi. 61 2.5 Perataan Laba (Income Smoothing) 2.5.1 Hakikat dan Pengertian Perataan Laba Perataan laba dapat dipandang sebagai proses normalisasi laba yang disengaja guna meraih suatu tren ataupun tingkat yang diinginkan. Dengan melihat jauh ke tahun 1953, Heyworth dalam Belkaoui (2011:192) mengamati bahwa banyak teknik akuntansi yang mungkin diterapkan untuk memengaruhi penempatan pendapatan bersih di suatu periode akuntansi yang berurutan, untuk meratakan atau meningkatkan amplitudo dari fluktuasi pendapatan bersih periodik. Apa yang kemudian dikemukakan oleh Monsen dan Downs (1965) serta Gordon (1964) dalam Belkaoui (2011:192), dimana manajer perusahaan mungkin termotivasi untuk melakukan meratakan labanya (atau keamanannya) sendiri, dengan asumsi bahwa stabilitas dalam pendapatan dan tingkat pertumbuhan akan lebih disukai daripada aliran pendapatan rata-rata yang jauh lebih tinggi dengan variabilitas yang lebih besar. Menurut beidleman (1973:653) dalam Belkaoui (2011), definisi perataan laba disajikan sebagai berikut: “Perataan dari laba yang dilaporkan dapat didefinisikan sebagai pengurangan atau fluktuasi yang disengaja terhadap beberapa tingkatan laba yang saat ini dianggap normal oleh perusahaan. Dengan pengertian ini, perataan mencerminkan suatu usaha dari manajemen perusahaan untuk menurunkan variasi yang abnormal dalam laba sejauh yang diizinkan oleh prinsip-prinsip akuntansi dan manajemen yang baik.” 62 2.5.2 Motivasi Perataan Laba Motivasi di balik perataan termasuk meliputi perbaikan hubungan dengan kreditor, investor dan pekerja, sekaligus pula penurunan siklus bisnis melalui proses psikologi. Belkaoui (2011:193), mengusulkan bahwa: 1. Kriteria yang dipakai oleh manajemen perusahaan dalam memilih prinsipprinsip akuntansi adalah untuk memaksimalkan kegunaan dan kesejahteraannya. 2. Kegunaan yang sama adalah suatu fungsi keamanan pekerjaan, peringkat dan tingkat pertumbuhan gaji serta peringkat dan tingkat pertumbuhan ukuran perusahaan. 3. Kepuasan dari pemegang saham terhadap kinerja perusahaan meningkatkan status dan penghargaan dari para manajer. 4. Kepuasan yang sama tergantung pada tingkat pertumbuhan dan stabilitas dari pendapatan perusahaan. Dua alasan pertimbangan manajemen untuk meratakan laporan laba, diantaranya sebagai berikut : 1. Berdasar pada asumsi bahwa suatu aliran laba yang stabil dapat mendukung dividen dengan tingkat yang lebih tinggi daripada suatu aliran laba yang lebih variabel, yang memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi nilai saham perusahaan seiring dengan turunnya tingkat risiko perusahaan secara keseluruhan. 2. Berkenaan pada perataan kemampuan untuk melawan hakikat laporan laba yang bersifat siklus dan kemungkinan juga akan menurunkan korelasi 63 antara ekspektasi pengembalian perusahaan dengan pengembalian portofolio pasar. 2.5.3 Objek Perataan Laba Menurut Belkaoui (2011:194), menyatakan bahwa pada dasarnya objek perataan seharusnya didasarkan pada indikasi keuangan yang paling mungkin dan paling digunakan, yaitu laba. Karena perataan laba bukanlah suatu fenomena yang terlihat, literatur memperkirakan berbagai bentuk pernyataan keuntungan sebagai objek perataan yang paling mungkin. Pernyataan tersebut meliputi: 1. Indikator berdasarkan laba bersih, biasanya sebelum hal-hal luar biasa dan sebelum atau sesudah pajak, dan 2. Indikator berdasarkan laba per saham, biasanya sebelum keuntungan dan kerugian luar biasa dan disesuaikan untuk pemecahan saham dan dividen. Para peniliti memilih indikator laba bersih atau laba per saham sebagai objek perataan karena keyakinan bahwa perhatian jangka panjang manajemen adalah terhadap laba bersih dan para pengguna laporan keuangan biasanya melihat pada angka paling akhir, baik laba maupun laba per saham. Ini merupakan alasan yang disederhanakan karena manajemen mungkin merasa perlu dan lebih praktis untuk meratakan penjualan dan komitmen penjualan yang tetap memiliki perataan biaya secara lebih fleksibel. Sama halnya juga, sebuah perusahaan dengan suatu kendali yang baik atas biaya-biayanya dapat merasa lebih praktis untuk meratakan pendapatan penjualannya. 64 Albrecht dan Richardson (1990), mencoba mengukur laba (income) yang diprediksikan menjadi obyek smoothing antara lain: laba operasi (operating income, OI), laba dari operasi (income from operations, IO), laba sebelum pos luar biasa (income before extraordinary items, IE), dan laba bersih (net income, NI). Operating income (OI) didefinisikan sebagai penjualan dikurangi harga pokok penjualan dan biaya operasi selain depresiasi dan amortisasi; Income from Operations (IO) didefinisikan sebagai Operating Income dikurangi depresiasi dan amortisasi. 2.5.4 Dimensi Perataan Laba Dimensi perataan pada dasarnya adalah alat yang digunakan untuk menyelesaikan perataan angka pendapatan. Dascher dan Lalcolm (1970) dalam Belkaoui (2011:195), membedakan antara parataan riil dan perataan artifisial sebagai berikut: “Perataan riil mengacu pada transaksi aktual yang terjadi maupun tidak terjadi dalam hal pengaruh perataannya terhadap pendapatan, di mana perataan artifisial mengacu pada prosedur akuntansi yang diimplementasikan terhadap pergeseran biaya dan/atau pendapatan dari satu periode ke periode yang lain.” Dari beberapa studi yang membedakan beberapa potensi jenis perataan yang berbeda, artikel yang ditulis oleh Eckel (1981), memberikan klasifikasi yang lebih mendetail mengenai berbagai jenis arus perataan laba, yaitu perataan yang dibuat atau disengaja dan perataan alami, dan perataan yang dibuat atau disengaja tadi menjadi suatu perataan artifisial atau perataan nyata. 65 Perataan yang direncanakan atau disengaja mengacu secara spesifik kepada keputusan atau pilihan yang disengaja untuk meredam fluktuasi pendapatan ke suatu tingkat tertentu. Oleh sebab itu, perataan yang dibuat atau disengaja ini pada dasarnya adalah suatu perataan akuntansi yang menggunakan fleksibilitas yang ada dalam prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku umum dan pilihan-pilihan serta kombinasi-kombinasi yang tersedia untuk meratakan laba. Karenanya dan pada dasarnya perataan laba adalah suatu bentuk akuntansi yang dirancang. Perataan alami, berbeda dengan perataan buatan, adalah produk alamiah dari proses penghasilan laba, dan bukannya hasil dari tindakan yang diambil oleh manajemen. Perataan yang dibuat dapat dicapai baik melalui perataan artifisial ataupun perataan nyata. Perataan artifisial adalah hasil yang diperoleh dari penggunaan manipulasi akuntansi untuk meratakan laba. Eckel (1981), mengungkapkan bahwa manipulasi-manipulasi ini tidak mencerminkan peristiwa-peristiwa ekonomi yang mendasari atau memengaruhi arus kas, melainkan menggeserkan biaya dan/atau pendapatan dari satu periode ke periode lainnya. 2.5.5 Variabel Perataan Laba Alat atau instrumen perataan adalah variabel-variabel yang digunakan untuk meratakan indikator kinerja yng dipilih. Belkaoui (2011:196), menguraikan lima kondisi yang diperlukan untuk suatu instrumen perataan sebagai berikut: 66 1. Sekali digunakan, instrumen tersebut tidak harus membuat perusahaan memiliki komitmen untuk melakukan tindakan tertentu apa pun di masa depan. 2. Instrumen perataan harus didasarkan pada penerapan pertimbangan profesional dan dipikirkan dalam wilayah “Prinsip-prinsip Akuntansi yang Berlaku Umum.” 3. Instrumen perataan harus mengarah pada pergerakan yang material secara relatif terhadap perbedaan pendapatan dari tahun ke tahun. 4. Instrumen perataan tidak memerlukan suatu transaksi “riil” dengan pihak kedua, tetapi hanya suatu reklasifikasi atas saldo akun internal. 5. Instrumen perataan harus digunakan, secara sendirian atau bersama-sama dengan praktek lainnya, selama suatu periode waktu yang ditentukan. 2.6 Penelitian Terdahulu Banyak penelitian yang telah dilakukan mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap praktek perataan laba. Akan tetapi penelitian mengenai pengaruh penerapan Good Corporate Governance terhadap praktek perataan laba belum banyak dilakukan. Kebanyakan penelitian yang dilakukan melihat pengaruh Good Corporate Governance terhadap manajemen laba diantaranya penelitian yang dilakukan oleh Chtourou et al. (2001), mengenai corporate governance and earnings management. Hasil penelitian ini menemukan bahwa komite audit dan dewan komisaris independen berpengaruh terhadap manajemen laba. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa jumlah pertemuan 67 yang dilakukan komite audit dapat mengurangi manajemen laba pada laporan keuangan (Xie et al., 2003; Abbot et al., 2004; Sanjaya, 2008). Hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa pertemuan rutin yang dilakukan komite audit merupakan suatu fungsi pengawasan dalam proses pelaporan keuangan sehingga dapat menjaga kualitas audit. Penelitian mengenai keberadaan dewan komisaris telah dilakukan diantaranya Peasnell, Pope, dan Young (1998) meneliti efektifitas dewan komisaris dan komisaris independen terhadap manajemen laba yang terjadi di Inggris. Dengan menggunakan sampel penelitian yang terdiri dari 1178 perusahaan tahun selama periode 1993-1996, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan komisaris independen membatasi pihak manajemen untuk melakukan manajemen laba. Penelitian yang dilakukan oleh Klein (2002), mengenai corporate governance pada seluruh perusahaan di Amerika Serikat yang terdaftar pada indeks S&P 500 pada 31 Maret 1992 dan 1993, memperoleh hasil bahwa perusahaan yang memiliki proporsi dewan komisaris yang berasal dari pihak luar perusahaan (independen) dapat mempengaruhi tindakan manajemen laba. Penelitian tersebut juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Herawaty (2008), pada perusahaan non-keuangan yang terdaftar pada Bursa Efek Jakarta periode 2004-2006 dengan menggunakan kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komisaris independen dan kualitas audit sebagai indikator mekanisme good corporate governance. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komisaris independen dan kualitas audit dapat meminimumkan praktek manajemen laba dalam perusahaan. 68 Midiastuty dan Machfoedz (2003), melakukan penelitian mengenai analisis hubungan mekanisme corporate governance dan indikasi manajemen laba. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dan ukuran direksi. Sedangkan variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah manajemen laba. Hasil penilitian ini menemukan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap manajemen laba, sedangkan ukuran dewan direksi berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Siregar dan Utama (2005), melakukan penelitian mengenai pengaruh kepemilikan, ukuran perusahaan dan praktek corporate governance terhadap pengelolaan laba. Penelitian ini menggunakan 114 perusahaan sebagai sampel dari tahun 1995-2002, hasil temuannya bahwa corporate governance belum mampu mencegah tindakan manajer dalam melakukan manajemen laba. Astuti (2005), melakukan penelitian mengenai pengaruh good corporate governance dalam mempengaruhi motivasi manajemen laba perusahaan perbankan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris dan komite audit. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah manajemen laba. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris dan komite audit berpengaruh terhadap manajemen laba. Palestin (2006), melakukan penelitian mengenai struktur kepemilikan, praktik corporate governance dan kompensasi bonus terhadap manajemen laba. 69 Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah struktur kepemilikan, proporsi dewan komisaris, komite audit dan auditor independen dengan proksi ukuran auditor, dan kompensasi bonus. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah manajemen laba. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kepemilikan, proporsi dewan komisaris independen dan kompensasi bonus berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Sedangkan komite audit dan ukuran KAP tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Nasution dan Setiawan (2007), melakukan penelitian mengenai pengaruh penerapan good corporate governance terhadap praktek manajemen laba dengan menggunakan sampel perusahaan perbankan yang terdaftar dalam Bursa Efek Jakarta selama periode 2000-2004. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara individual, komposisi dewan komisaris berpengaruh positif terhadap manajemen laba perusahaan perbankan. Penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Yermack (1996), yang menyimpulkan bahwa dewan komisaris yang berukuran kecil akan lebih efektif dalam melakukan tindakan pengawasan dibandingkan dengan jumlah dewan komisaris yang lebih besar. Dewan direksi didefinisikan sebagai dewan yang dipilih oleh pemegang saham, bertugas mengawasi pekerjaan yang dilakukan oleh manajemen dalam mengelola perusahaan, dengan tujuan kepentingan para pemegang saham (Jensen, 1993). Sedangkan keberadaan komite audit dalam perusahaan perbankan mampu mengurangi manajemen laba dalam perusahaan. 70 Penelitian yang dilakukan oleh Gusnadi dan Budiharta (2008), mengenai analisis pengaruh karakteristik perusahaan dan penerapan good corporate governance terhadap tindakan perataan laba pada perusahaan di Bursa Efek Jakarta. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah karakteristik perusahaan yang diproksikan dengan variabel ukuran perusahaan, rasio profitabilitas, dan leverage operasi serta penerapan good corporate governance yang diproksikan dengan ukuran KAP, proporsi dewan komisaris independen, dan komite audit. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah perataan laba (income smoothing). Hasil penelitian ini menemukan bahwa ukuran perusahaan tidak berpengaruh positif terhadap praktek perataan laba, faktor profitabilitas tidak berpengaruh negatif terhadap praktek perataan laba, dan faktor leverage operasi berpengaruh terhadap praktek perataan laba, sedangkan faktor kualitas audit yang diproksikan dengan ukuran KAP, proporsi dewan komisaris independen dan keberadaan komite audit tidak berpengaruh negatif terhadap praktek perataan laba. Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu No 1. Peneliti Chtourou et al.(2001) Judul Corporate Governance and Earnings Management Variabel Hasil Audit committee, board of director characteristics komite audit dan dewan komisaris independen berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba 71 2 Klein (2002) Audit Committee, Board of Director Characteristics, and Earnings Management Variabel dependen: manajemen laba, variabel independen: komite audit dan karakteristik dewan direksi Komite audit berhubungan negatif, karakterisrik dewan berpengaruh terhadap manajemen laba 3 Midiastuty dan Machfoedz (2003) Analisis Hubungan Mekanisme Corporate Governance dan Indikasi Manajemen Laba Variabel dependen: manajemen laba, variabel independen: kepemilikan manajerial, kepemlikan institusional, ukuran direksi Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap manajemen laba, sedangkan ukuran dewan direksi berpengaruh positif terhadap manajemen laba 4 Siregar dan Utama (2005) Pengaruh Struktur Kepemilikan, Ukuran Perusahaan, dan Praktek Corporate Governance terhadap Pengelolaan Laba (Earnings Management) Kepemilikan keluarga, kepemilikan institusional, ukuran perusahaan, praktek Corporate Governance (ukuran KAP, proporsi dewan komisaris, keberadaan komite audit) (1)Kepemilikan keluarga dan ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. (2)Kepemilikan institusional dan tiga variabel praktek GCG tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba 5 Astuti (2005) Pengaruh Good Corporate Governance dalam Mempengaruhi Motivasi Manajemen Laba Variabel dependen: Motivasi Manajemen Laba, variabel independen: Kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris, dan komite audit. Kepemilikan manajerial, proporsi dewan komisaris dan komite audit berpengaruh terhadap manajemen laba 6 Palestin (2006) Analisis Stuktur Kepemilikan, Praktik Corporate Governance dan Kompensasi Bonus terhadap Manajemen Laba Struktur kepemilikan, komposisi dewan komisaris, komite audit, dan auditor independen dengan proksi ukuran auditor, kompensasi bonus (1) Struktur kepemilikan, proporsi dewan komisaris independen dan kompensasi bonus berpengaruh signifikan terhadap 72 manajemen laba (2) Komite audit dan ukuran KAP tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba 7 Nasution dan Setiawan (2007) Pengaruh Corporate Governance terhadap Manajemen laba di Industri Perbankan Indonesia Varibel dependen: Manajemen laba, variable indepeden: Komposisi dewan komisaris, ukuran dewan komisaris, komite audit dan ukuran perusahaan 8 Gusnadi dan Budiharta (2008) Analisis Pengaruh Karakteristik Perusahaan dan Penerapan Good Corporate Governance terhadap Tindakan Perataan Laba Pada Perusahaan di Bursa Efek Jakarta Variabel dependen: perataan laba (income smoothing),variabel independen: karakteristik perusahaan yang diproksikan dengan variabel ukuran perusahaan, rasio profitabilitas, dan leverage operasi serta penerapan good corporate governance yang diproksikan dengan ukuran KAP, proporsi dewan komisaris independen, dan komite audit Sumber: review penelitian terdahulu Komposisi dewan komisaris dan keberadaan komite audit berpengaruh negative terhadap manajemen laba, ukuran dewan komisaris berpengaruh positif terhadap manajemen laba, ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba (1) ukuran perusahaan tidak berpengaruh positif terhadap praktik perataan laba, faktor profitabilitas tidak berpengaruh negatif terhadap praktik perataan laba, dan faktor leverage operasi berpengaruh terhadap praktik perataan laba, (2)faktor kualitas audit yang diproksikan dengan ukuran KAP, proporsi dewan komisaris independen dan keberadaan komite audit tidak berpengaruh negatif terhadap praktik perataan laba 73 2.7 Kerangka Pemikiran Permasalahan yang timbul akibat adanya perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen menyebabkan terjadinya agency problems, dimana salah satu penyebabnya adalah adanya asymmetric information yaitu ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh prinsipal dan agen, ketika prinsipal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agen, sebaliknya agen memiliki lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja dan perusahaan secara keseluruhan (Widyaningdyah, 2001). Adanya konflik kepentingan dan asimetri informasi yang terjadi antara prinsipal dan agen dalam teori agensi menyebabkan timbulnya manajemen laba yang dilakukan oleh manajer. Menurut teori keagenan salah satu mekanisme yang dapat digunakan untuk meminimalisir konflik kepentingan tersebut adalah dengan tata kelola perusahaan yang baik yang bertujuan untuk mengatur dan mengendalikan perusahaan dan menyelaraskan berbagai kepentingan tersebut. Penerapan tata kelola yang baik (good corporate governance) diyakini akan dapat membatasi perilaku manajer yang oportunitis. Kehadiran good corporate governance diharapkan dapat menciptakan suatu tata kelola perusahaan yang baik dan lebih transparan. Dengan adanya penerapan mekanisme good corporate governance dalam sistem pengendalian dan pengelolaan perusahaan menjadi salah satu cara dalam meminimalisasi adanya tindakan manajemen laba khususnya praktek perataan laba yang dilakukan oleh para manajer perusahaan. Penerapan good corporate governance yang diproksikan dengan kualitas audit melalui ukuran KAP, dewan komisaris 74 independen, dan keberadaan komite audit melalui frekuensi pertemuan komite audit diduga mampu mengurangi praktik perataan laba. Berdasarkan landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya, berikut disajikan kerangka pemikiran teoritis yang dapat digambarkan dalam bentuk kerangka skematik sebagai berikut: 75 Gambar 2.1 Model Kerangka Pemikiran Penilitian Perusahaan Pemegang saham CEO Pendelegasian wewenang Principal Agent Agency problems Moral hazard Asymetric information Disfunctional behaviour Adverse selection Mekanisme GCG Membatasi masalah asymatric information Kualitas Auditor Proporsi dewan komisaris independen Earning management Income smoothing Keberadaan komite audit Meminimalisir adanya praktek perataan laba Sumber: Diolah untuk penelitian 76 2.8 Pengembangan Hipotesis 2.8.1 Penerapan Good Corporate Governance dan Perataan Laba Good Corporate Governance adalah serangkaian mekanisme yang digunakan untuk membatasi timbulnya masalah asimetri informasi yang dapat mendorong terjadinya manajemen laba. Riset The Indonesian Institute for Corporate Governance (IICG, 2002), menemukan bahwa alasan utama perusahaan menerapkan good corporate governance adalah kepatuhan terhadap peraturan. Perusahaan meyakini bahwa implementasi good corporate governace merupakan bentuk lain penegakan etika bisnis dan etika kerja yang sudah lama menjadi komitmen perusahaan, dan implementasi good corporate governance yang berhubungan dengan peningkatan citra perusahaan. Perusahaan yang mempraktekkan good corporate governance akan mengalami perbaikan citra, dan peningkatan nilai perusahaan. Melihat pentingnya penerapan mekanisme tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) dan pentingnya peranan auditor dalam mendeteksi manajemen laba yang dilakukan oleh manajer perusahaan, memberikan motivasi untuk melaksanakan penelitian yang dapat mendeteksi pengaruh dari tata kelola perusahaan yang baik dan peranan auditor dalam mengaudit laporan keuangan terhadap kecenderungan dilakukannya manajemen laba, salah satunya dalam menjalankan praktek perataan laba (income smoothing). Mekanisme good corporate governance terdiri dari kualitas auditor yang diproksikan dengan ukuran Kantor Akuntan Publik (KAP), proporsi dewan komisaris independen, dan keberadaan komite audit yang diproksi dengan frekuensi pertemuan komite audit. 77 2.8.1.1 Kualitas Auditor dan Perataan Laba Auditor merupakan salah satu mekanisme untuk mengendalikan perilaku manajemen sehingga proses pengauditan memiliki peranan penting dalam mengurangi biaya keagenan dengan membatasi perilaku oportunistik manajemen. Akuntan publik sebagai auditor eksternal yang relatif lebih independen dari manajemen dibandingkan auditor internal sejauh ini diharapkan dapat meminimalkan kasus rekayasa laba dan meningkatkan kredibilitas informasi akuntansi dalam laporan keuangan. Meutia (2004), menyimpulkan bahwa kualitas auditor dengan kantor akuntan publik yang lebih besar, audit yang dihasilkan juga lebih baik. Perbedaan kualitas jasa yang ditawarkan kantor akuntan publik menunjukkan identitas kantor akuntan publik tersebut. Independensi dan kualitas auditor dapat berdampak pada pendeteksian manajemen laba. Terdapat dugaan bahwa auditor yang bereputasi baik dapat mendeteksi kemungkinan adanya manajemen laba khususnya dalam praktek perataan laba secara lebih dini sehingga dapat mengurangi tingkat perataan laba yang dilakukan oleh manajemen perusahaan. Penggunaan auditor yang berkualitas tinggi juga akan mengurangi kesempatan emiten untuk berlaku curang dalam menyajikan informasi yang tidak akurat ke publik. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Ha1: Kualitas auditor berpengaruh negatif terhadap praktek perataan laba. 78 2.8.1.2 Proporsi Dewan Komisaris Independen dan Perataan Laba Dewan komisaris memegang peranan yang sangat penting dalam perusahaan, terutama dalam pelaksanaan good corporate governance. Menurut Egon Zehnder International (2000) dalam FCGI (2001), dewan komisaris merupakan inti dari corporate governance yang ditugaskan untuk menjamin pelaksanaan strategi perusahaan, mengawasi manajemen dalam mengelola perusahaan, serta mewajibkan terlaksananya akuntanbilitas. Menurut Peraturan Pencatatan Nomor I-A Tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa, yaitu jumlah komisaris independen minimal 30 persen. Dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan perusahan yang baik (good corporate governance), perusahaan tercatat wajib memiliki komisaris independen yang jumlahnya proporsional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah komisaris independen sekurang-kurangnya 30 persen dari jumlah seluruh anggota komisaris. Dewan komisaris yang independen akan membatasi manajer untuk melakukan perataan laba. Dengan semakin tingginya proporsi dewan komisaris independen maka semakin kecil pengelolaan laba opurtunitis yang dilakukan manajer. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Ha2 : Proporsi dewan komisaris independen berpengaruh negatif terhadap praktek perataan laba. 79 2.8.1.3 Keberadaan Komite Audit dan Perataan Laba Komite audit merupakan salah satu unsur penting dalam mewujudkan penerapan good corporate governance. Keberadaan komite audit ini merupakan usaha perbaikan terhadap cara pengelolaan perusahaan terutama cara pengawasan terhadap manajemen perusahaan, karena akan menjadi penghubung antara manajemen perusahaan dengan dewan komisaris maupun pihak ekstern lainnya. Keanggotaan Komite Audit diatur dalam Surat Keputusan Direksi PT Bursa Efek Indonesia Nomor Kep-315/BEI/062000 bagian C, yaitu sekurangkurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang anggota. Seorang diantaranya merupakan komisaris independen perusahaan tercatat yang sekaligus merangkap sebagai ketua komite audit. Sedangkan anggota lainnya merupakan pihak ekstern yang independen dimana sekurang-kurangnya satu diantaranya memiliki kemampuan di bidang akuntansi dan atau keuangan. Komite audit akan mengawasi setiap keputusan yang diambil oleh manajer sehingga akan mempersempit ruang gerak manajer dalam melakukan manipulasi laba. Bapepam (2004), menghendaki bahwa komite audit mengadakan rapat dengan frekuensi yang sama dengan ketentuan minimal frekuensi rapat dewan komisaris yang ditetapkan dalam anggaran dasar. Menurut Deviani (2007), menyatakan bahwa secara umum, dapat disusun pengaturan rapat-rapat komite audit sebagai berikut: 1) Komite audit harus rapat sedikitnya satu kali setiap kuartal; 2) Para anggota komite audit harus hadir di rapat-rapat tersebut, dengan kemungkinan mengundang beberapa pihak lain bilamana diperlukan. 80 Mereka yang diundang mungkin komisaris, direktur, manajemen senior, ketua internal audit, dan atau pihak auditor eksternal perusahaan; 3) Rapat harus diselenggarakan berdasarkan undangan dan agenda yang sudah disepakati sebelum rapat dilakukan; 4) Hasil-hasil dari rapat-rapat tersebut harus tercatat dalam risalah resmi dan terinci, dan dibagikan kepada semua yang hadir di dalam rapat tersebut sehingga informasi penting yang layak untuk diketahui oleh pihak yang berkepentingan dapat diperoleh secara seksama dan menimbulkan kesamaan persepsi dalam memahami persoalan dan masalah pokok yang dibicarakan dalam pertemuan tersebut. Vafeas (2005) dalam Sanjaya (2008), menemukan bahwa ketika komite audit lebih banyak melakukan pertemuan dan lebih independen, manajer kemungkinan tidak menaikkan laba. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa komite audit yang lebih sering mengadakan pertemuan dan pengamatan secara langsung, diharapkan dapat mengurangi tingkat manajemen laba dalam perusahaan. Pamudji dan Trihartati (2009), menyebutkan bahwa frekuensi pertemuan komite audit ternyata tidak efektif mengurangi tingkat manajemen laba. Hal ini disebabkan oleh pembentukan komite audit dalam perusahaan hanya bersifat mandatory terhadap peraturan yang ada. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: Ha3: Komite audit memiliki pengaruh negatif terhadap praktek perataan laba.