PENDAHULUAN Bioteknologi merupakan suatu bidang ilmu dalam biologi terapan yang melibatkan penggunaan organisme hidup dan bioproses untuk menciptakan suatu produk demi kepentingan manusia. Bioteknologi modern, atau sering disebut juga rekayasa genetika, telah berkembang sangat pesat dalam dua dasawarsa terakhir ini. Teknik rekayasa genetika telah banyak diaplikasikan dalam berbagai bidang, misalnya penelitian, medis, rekayasa genetika hewan, dan rekayasa genetika tanaman (Smith 2004). Rekayasa genetika tanaman adalah suatu teknik untuk memindahkan gen spesies asing ke dalam suatu sel tanaman, yang diikuti dengan regenerasi dari sel-sel tanaman tersebut sehingga menjadi tanaman lengkap. Teknik ini telah diterapkan pada berbagai tanaman pangan dan nonpangan. Rekayasa genetika sebenarnya merupakan kelanjutan dari pemuliaan tanaman yang telah dilakukan oleh petani secara tradisional. Rekayasa genetika memungkinkan pemindahan satu atau beberapa gen yang dikehendaki dari satu tanaman ke tanaman lainnya yang tidak mungkin terjadi dalam pemuliaan tanaman secara tradisional. Prinsip rekayasa genetika sama dengan pemuliaan tanaman, yaitu memperbaiki sifatsifat tanaman dengan menambahkan sifat-sifat ketahanan terhadap gangguan hama maupun lingkungan yang kurang menguntungkan. Proses rekayasa genetika telah berhasil mengembangkan berbagai spesies tanaman baru dengan ketahanan terhadap organisme pengganggu, seperti serangga, penyakit, dan gulma yang sangat merugikan tanaman (Winarno & Agustinah 2007). Contoh tanaman yang telah berhasil direkayasa adalah jagung, kapas, kedelai, tomat, dan kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas perkebunan yang sangat penting di Indonesia dan produksinya meningkat setiap tahun. Salah satu kendala yang cukup berarti dalam usaha peningkatan produksi kelapa sawit adalah penyakit busuk pangkal batang yang disebabkan oleh cendawan Ganoderma sp. Penyakit ini dapat merusak sangat banyak tanaman kelapa sawit dalam suatu area (PPKS 2009). Pengendalian terhadap penyakit ini telah dilakukan baik secara mekanis, kimiawi, maupun hayati (Lubis 1992), namun belum ada yang dapat dianggap efektif sehingga perlu dilakukan pengendalian yang tepat. Pengendalian yang paling tepat dilakukan untuk masalah Ganoderma pada tanaman kelapa sawit adalah melalui pemuliaan tanaman dengan rekayasa genetika, yaitu untuk menemukan gen yang dapat membuat kelapa sawit tahan terhadap Ganoderma. Gen tersebut dapat berasal dari spesies kelapa sawit sendiri maupun dari spesies lain. Gen stilbena sintase (STS) yang berasal dari anggur (Vitis vinifera) merupakan gen penghasil senyawa yang berfungsi sebagai anti jamur (SIB 2007), sehingga dapat dilakukan upaya penyisipian gen STS ke dalam kelapa sawit agar dapat meningkatkan ketahanan terhadap Ganoderma. Upaya konstruksi gen STS agar dapat disisipkan ke dalam kelapa sawit sebelumnya sudah pernah dilakukan dengan menggunakan metode pengklonan biasa dengan prosedur yang cukup rumit dan waktu yang cukup lama. Konstruksi gen pada penelitian ini menggunakan teknologi Gateway. Teknologi Gateway adalah suatu metode kloning universal yang berdasarkan rekombinasi situs spesifik pada bakteriofag lambda (Landy 1989). Teknologi Gateway memungkinkan pemindahan secara cepat dan efisien sekuen DNA ke dalam beberapa vektor untuk dilakukan analisis fungsional dan ekspresi protein (Hartley at al. 2000). Penelitian ini bertujuan mengonstruksi gen STS pada vektor ekspresi dengan metode yang lebih cepat dan terarah, yaitu metode Gateway. Gen STS yang telah tersisipkan dalam vektor ekspresi selanjutnya ditransformasikan ke dalam Agrobacterium tumefaciens. Hipotesis penelitian ini adalah gen STS yang telah dikonstruksi pada vektor ekspresi dengan metode Gateway bisa disisipkan ke dalam Agrobacterium tumefaciens agar dapat diekspresikan pada tanaman. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan Agrobacterium tumefaciens yang memiliki gen STS, serta memberikan informasi mengenai metode Gateway sebagai teknologi rekombinasi gen yang cepat dan mudah. TINJAUAN PUSTAKA Stilbena Sintase Stilbena sintase merupakan suatu protein yang memiliki panjang sekuen 392 asam amino yang berperan dalam proses pembentukan suatu senyawa yang disebut resveratrol. Protein ini berfungsi sebagai 2 katalis reaksi sintesis substrat malonil KoA dan p-koumaroil KoA (Rolfs & Kindl 1984) menjadi 3,5,4’-trihidroksistilbena atau resveratrol. Stilbena sintase terdapat secara spesifik pada daun, terekspresi di jaringan palisade dan parenkim. Stilbena sintase bukan merupakan bagian permanen dari suatu tanaman, protein ini terinduksi pada saat beberapa kondisi tertentu seperti saat stres, terpapar sinar ultraviolet (UV), atau saat kehadiran patogen seperti Botrytis cinerea (Schubert et al. 1997). Resveratrol merupakan suatu senyawa fitoaleksin polifenolik. Senyawa ini termasuk dalam golongan stilbenoid, yaitu derivat stilbena, yang diproduksi dalam beberapa tanaman dengan bantuan enzim stilbena sintase untuk melindungi tanaman tersebut dari infeksi jamur (Breuil et al. 1999). Anggur, kacang, dan beberapa spesies tanaman lainnya memiliki kandungan resveratrol yang terakumulasi di daun mencapai 400 µg/g berat segar. Konsentrasi sebesar itu menunjukkan korelasi dengan resistensi tanaman tersebut terhadap jamur (Sbaghi et al. 1995). Tanaman seperti tembakau, tomat, dan alfalfa yang sebelumnya rentan menunjukkan peningkatan resistensi terhadap jamur patogen setelah disisipkan gen stilbena sintase (Hain et al. 1993). Pengklonan & Metode Pengklonan Gateway Klon adalah sekumpulan individu atau bahan identik yang diperbanyak dari individu atau bahan yang sama, sedangkan pengklonan adalah proses perbanyakan bahan tersebut sehingga menghasilkan bahan yang identik dengan bahan asalnya (Triastuti 2007). Pengklonan gen, atau dapat disebut juga kloning gen dan teknologi DNA rekombinan, merujuk pada suatu proses yaitu pemindahan fragmen DNA yang diinginkan dari satu organisme ke dalam suatu vektor, misalnya plasmid. Fragmen DNA dan vektor yang telah bergabung disebut molekul DNA rekombinan. DNA rekombinan tersebut kemudian dapat diperbanyak dalam suatu sel inang (HGP 2009). Tahap awal yang umum dilakukan dalam pengklonan gen adalah isolasi fragmen DNA dan vektor, misalnya dari bakteri, dan setelah diisolasi fragmen DNA dan vektor dipotong dengan enzim restriksi yang sama. Tahap selanjutnya adalah menggabungkan fragmen DNA dengan vektor yang dibantu oleh enzim ligase, sehingga disebut juga tahap ligasi, menghasilkan molekul DNA rekombinan. Molekul DNA rekombinan kemudian ditransformasikan ke bakteri. Transformasi adalah proses memasukkan DNA asing (DNA rekombinan) ke dalam sel inang. Sel inang yang telah mengalami transformasi (mengandung DNA rekombinan) kemudian diseleksi berdasarkan gen penanda yang dibawa oleh plasmid. Gen penanda, atau selectable marker, biasanya berupa gen yang tahan terhadap suatu antibiotik. Sel inang yang telah diseleksi selanjutnya ditransformasi ke sel target. Tahap terakhir adalah meneliti gen yang diklon, yaitu dengan mendapatkan informasi mengenai lokasi gen, cara gen ditranskripsi, hasil translasi yang dikode oleh gen, dan struktur gen (Brown 1991). Metode pengklonan Gateway, yang ditemukan dan dikembangkan oleh Invitrogen sejak akhir tahun 1990-an, adalah suatu metode biologi molekular yang memungkinkan peneliti untuk memindahkan fragmen DNA dari suatu plasmid ke plasmid lain secara efisien dengan menggunakan suatu set sekuen rekombinasi yang disebut situs “att Gateway”, dan dua mix enzim yang disebut enzim BP klonase dan LR klonase. B merupakan singkatan dari bacterial dan P (phage), sedangkan L (left) dan R (right). Metode ini dapat secara efektif menggantikan fungsi dari enzim restriksi endonuklease dan ligase pada metode pengklonan biasa (Hartley et al. 2000). Metode pengklonan Gateway sebenarnya memanfaatkan reaksi rekombinasi situs spesifik yang memungkinkan bakteriofag lambda untuk berintegrasi ke dalam kromosom bakteri atau sebaliknya. Protokol Gambar 1 Reaksi BP dalam metode Gateway (Kolpack & Loschelder 2008). 3 Gateway sangat bergantung pada reaksi BP dan LR klonase. Reaksi BP (Gambar 1) dikatalisis oleh mix enzim BP klonase yang terdiri atas enzim integrase fage (Int) dan protein IHF (Integration Host Factor). Enzim BP klonase memindahkan suatu fragmen DNA yang diinginkan, misalnya produk PCR, yang diapit oleh dua situs bacterial attachment (attB) ke dalam vektor donor (pDONR) yang membawa dua situs phage attachment (attP). Rekombinasi terjadi antara situs attB dan attP yang cocok, selanjutnya fragmen DNA disisipkan ke dalam vektor donor, menghasilkan suatu klon entri (pENTR) yang diapit oleh dua situs left attachment (attL). Klon entri juga dapat dirakit oleh restriksi dan ligasi fragmen DNA dalam vektor yang mana situs pengklonan jamaknya diapit oleh situs attL (Karimi et al. 2007). Klon entri merupakan substrat kunci dalam reaksi LR (Gambar 2) yang dikatalisis oleh mix enzim LR klonase yang terdiri atas enzim integrase (Int), exsisionase fage (Xis), dan protein IHF. Enzim LR klonase memindahkan fragmen DNA yang diinginkan yang diapit oleh dua situs attL (di dalam klon entri) ke dalam vektor destinasi (pDEST) yang membawa dua situs right attachment (attR). Rekombinasi terjadi antara situs attL dan attR yang cocok, selanjutnya fragmen DNA disisipkan ke dalam klon ekspresi (pEXPR) dan diapit lagi oleh situs attB (Karimi et al. 2007). Hasil rekombinasi dapat diseleksi dengan kombinasi seleksi positif (resisten terhadap antibiotik) dan seleksi negatif (gen sitotoksik ccdB). Gen sitotoksik ccdB (Control of Cell Death B) terdapat pada vektor donor dan vektor destinasi. Saat rekombinasi pada reaksi Gambar 2 Reaksi LR dalam metode Gateway (Kolpack & Loschelder 2008). BP terjadi, gen ccdB akan bertukar dengan fragmen DNA yang diinginkan sehingga vektor yang tidak disisipi DNA tersebut akan mati karena gen ccdB. Begitu juga pada reaksi LR, fragmen DNA yang telah diapit oleh situs attL akan bertukar dengan gen ccdB yang telah diapit oleh situs attR pada vektor destinasi (Bernard & Couturier 1992). Polymerase Chain Reaction (PCR) Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) merupakan salah satu teknik yang digunakan secara luas dalam bidang biologi molekular dan dikembangkan pertama kali oleh Kary Mullis pada tahun 1984. Teknik ini disebut polymerase chain reaction karena mengacu pada enzim DNA polimerase yang digunakan untuk mengamplifikasi (replikasi berulang kali) suatu DNA secara in vitro. Instrumen PCR dapat mereplikasi molekul DNA yang asli dengan bantuan enzim DNA polimerase sehingga jumlahnya menjadi dua kali lipat. Molekul-molekul DNA tersebut kemudian direplikasi lagi pada replikasi “siklus” kedua, sehingga jumlahnya menjadi empat kali lipat. DNA direplikasi lagi pada siklus ketiga dan seterusnya, proses ini yang disebut “reaksi berantai” (chain reaction) dimana DNA cetakan diamplifikasi secara eksponensial. Proses PCR memungkinkan amplifikasi satu utas DNA menjadi beberapa juta kopi melalui beberapa siklus, sehingga dapat digunakan dalam manipulasi genetik atau penggunaan yang lain (Kennedy & Oswald 2011). Proses PCR membutuhkan empat komponen utama agar dapat berjalan, yaitu (1) DNA cetakan, adalah fragmen DNA yang akan diamplifikasi, (2) oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, dan (4) enzim DNA polimerase, yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa buffer (Yuwono 2006). PCR pada prinsipnya adalah menggunakan perbedaan temperatur untuk tiga tahap reaksi (Gambar 3), yaitu denaturasi (denaturation), penempelan (annealing), dan pemanjangan (extension). Suhu yang tinggi, biasanya 94-95 o C, digunakan untuk mendenaturasi (memisahkan) utas ganda DNA cetakan. Suhu kemudian diturunkan untuk menempelkan 4 primer kepada sekuen basa yang komplementer pada utas cetakan, suhu annealing tersebut berbeda-beda bergantung pada primer yang digunakan. Suhu annealing memegang peranan penting untuk memastikan tingkat spesifitas reaksi, biasanya semakin tinggi suhu annealing maka reaksi akan semakin spesifik. Suhu annealing yang digunakan umumnya 55 oC. Akhirnya, untuk sintesis DNA yang efisien, suhu diatur agar optimal untuk aktivitas DNA polimerase, yaitu sekitar 72 oC. Ketiga siklus tahap reaksi tersebut biasanya dilalui berulang kali untuk mendapatkan hasil amplifikasi DNA yang baik (biasanya sekitar 25-40 siklus) atau agar hasilnya dapat dilihat secara langsung melalui elektroforesis gel agarosa (McPherson & Moller 2006). Keberhasilan PCR sangat bergantung pada penggunaan primer yang didesain dengan benar. Sepasang primer yang didesain dengan benar dapat mengamplifikasi suatu fragmen DNA yang cocok dengan daerah target dari molekul DNA tersebut. Primer didesain agar tepat komplementer dengan DNA cetakan. Syarat-syarat desain primer yang baik secara ringkas adalah: (1) Panjang primer, memegang peranan penting karena suhu annealing bergantung kepada panjang primer. Panjang primer yang ideal berkisar antara 1830 basa; (2) Komposisi primer, komposisi basa primer sebaiknya sekitar 45-60% terdiri atas G+C; (3) Primer sebaiknya tidak memiliki struktur sekunder; (4) Primer yang ideal tidak mengandung sekuen yang saling komplementer satu sama lain; (5) Sekuen palindrom harus dihindari; (6) Suhu melting (Tm) primer yang optimum berkisar antara 5258 oC, dapat dihitung dengan rumus Tm = 2(A+T) + 4(G+C); dan (7) Posisi produk, Gambar 3 Tahapan reaksi PCR. lokasi primer bisa di dekat ujung 5’, ujung 3’, atau dimana saja selama tidak melebihi panjang yang ditetapkan. Posisi ujung 3’ telah diketahui dapat menghindari mispriming atau kesalahan peng-awal-an (Donepudi 2011). Elektroforesis Gel Agarosa Elektroforesis adalah suatu teknik pemisahan molekul selular berdasarkan ukurannya, dengan menggunakan medan listrik yang dialirkan pada suatu medium yang mengandung sampel yang akan dipisahkan. Teknik ini dapat digunakan dengan memanfaatkan muatan listrik yang ada pada makromolekul, misalnya DNA yang bermuatan negatif. Molekul yang bermuatan negatif jika dilewatkan melalui suatu medium, misalnya gel agarosa, kemudian dialiri arus listrik dari suatu kutub ke kutub yang berlawanan muatannya, maka molekul tersebut akan bergerak dari kutub negatif ke kutub positif. Kecepatan gerak molekul tersebut bergantung pada rasio muatan terhadap massanya, serta bergantung juga pada bentuk molekulnya (Yuwono 2005). Teknik elektroforesis dapat digunakan untuk analisis DNA, RNA, maupun protein. Elektroforesis DNA dilakukan misalnya untuk menganalisis fragmen-fragmen DNA hasil pemotongan dengan enzim restriksi. Fragmen molekul DNA yang telah dipotong-potong dapat ditentukan ukurannya dengan cara membuat gel agarosa, yaitu suatu bahan semipadat berupa polisakarida yang diekstraksi dari rumput laut atau alga yang ditemukan di California dan Asia bagian timur (Rothman 2011). Gel agarosa dibuat dengan melarutkannya dalam suatu buffer, dan dicetak sehingga membentuk sumur-sumur saat kondisinya masih panas (cair). Larutan buffer yang dapat digunakan misalnya trisasetat-EDTA (TAE) dan tris-borat-EDTA (TBE). Teknik elektroforesis DNA juga memerlukan loading buffer selain larutan yang berfungsi buffer elektroforesis, meningkatkan densitas sampel sehingga fragmen sampel tersebut berada di dasar sumur gel dan tidak menyebar (Sambrook & Russell 2001). Elektroforesis pada dasarnya adalah proses penyaringan. Fragmen DNA yang semakin besar akan semakin mudah terjerat oleh matriks gel, sehingga migrasinya akan semakin lambat. Kepadatan matriks dapat diatur dengan meningkatkan konsentrasi agarosa (kepadatan meningkat) atau sebaliknya. Standar konsentrasi gel agarosa 1% dapat memisahkan DNA yang memiliki panjang antara 0.2-30 Kb (Rothman 2011). Pengamatan hasil elektroforesis dapat dilakukan secara visual dengan menambahkan etidium bromida (EtBr) pada gel. EtBr akan menyisip ke dalam DNA sehingga dapat berpendar jika dipaparkan sinar UV. Citra berupa pita-pita pada gel akan tampak jika gel disinari dengan sinar UV dari bawah. Pita-pita tersebut adalah molekul-molekul DNA yang bergerak sepanjang gel setelah dielektroforesis (Yuwono 2005). Agrobacterium tumefaciens Agrobacterium tumefaciens merupakan bakteri golongan Gram negatif yang memiliki sifat aerob dan mampu hidup dengan baik sebagai saprofit maupun parasit. A. tumefaciens berbentuk batang, berukuran 0.610 µm sampai 1.5-3.0 µm dalam bentuk tunggal atau berpasangan (Gambar 6). Bakteri ini mudah bergerak (motil), tidak berspora, tidak memiliki pigmen, dan tumbuh optimal pada suhu 25-28 oC (Biotek UnUd 2008). Sebagian besar genus Agrobacterium bertanggung jawab terhadap penyakit tumor pada tanaman dikotil dan beberapa tanaman monokotil yang disebut penyakit Crown Gall (McCullen & Binns 2006). Penyakit tumor Crown Gall adalah jaringan tanaman yang pertumbuhannya terdiferensiasi akibat adanya interaksi antar tanaman yang rentan dengan galur virulen A. tumefaciens. Galur AGL0 yang digunakan dalam penelitian ini telah terbukti sebagai galur yang virulen (Jones et al. 2005). Karakterisasi molekular dari induksi Crown Gall ini menunjukkan bahwa Agrobacterium bisa dipakai untuk mengantarkan materi genetik ke dalam tanaman (Deacon 2002). Materi genetik tersebut berupa potongan DNA yang disebut sebagai T-DNA (DNA transfer). Bakteri ini dikenal sebagai parasit genetik karena memindahkan materi genetiknya ke dalam mekanisme genetik sel inang. Sistem transfer DNA dari Agrobacterium ke tanaman dimanfaatkan secara meluas untuk penelitian biologi molekular dan rekayasa genetika pada tanaman (Nester 2008). Pembentukan tumor pada tanaman melibatkan tiga komponen genetik. Pertama, gen virulen kromosom (chromosomal virulence atau chv) yang terdapat pada kromosom A. tumefaciens. Gen ini berfungsi dalam pelekatan bakteri pada sel tanaman. Kedua, sekelompok gen virulen (vir). Gen vir terdapat dalam plasmid Ti dan berperan dalam menginduksi transfer dan integrasi T-DNA. Ketiga, daerah T-DNA yang mengandung gen penting bagi A. tumefaciens. Daerah ini dibatasi oleh LB (Left border) dan RB (Right Border). Proses pembentukan tumor inilah yang mendasari konsep transformasi genetik atau penyisipan gen ke dalam tanaman menggunakan A. tumefaciens (Escobar & Dandekar 2003). Gambar 4 Agrobacterium tumefaciens. BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam proses amplifikasi menggunakan kit Platinum dari Invitrogen adalah gen stilbena sintase (STS), primer spesifik Gateway STS-For, primer spesifik Gateway STS-Rev, larutan bufer PCR 10x, MgCl2, dNTPs, Taq polimerase, dan molecular water (MW). Bahan yang digunakan dalam elektroforesis yaitu gel agarosa (Fermentas), larutan bufer Tris-BoratEDTA (TBE) 0.5x, etidium bromida (EtBr) 5 µL/100 mL, loading buffer (bromfenol biru 2.5%, sukrosa 40%), dan marker 1 Kb Plus DNA Ladder (Invitrogen). Ekstraksi dan purifikasi gel menggunakan kit dari Invitrogen (PureLinkTM Quick Gel Extraction). Bahan yang digunakan dalam proses rekombinasi adalah kit Gateway® Technology dari Invitrogen (vektor pDONRTM, vektor destinasi, enzim BP ClonaseTM, enzim proteinase K, enzim LR ClonaseTM). Tahap transformasi ke dalam sel kompeten menggunakan sel kompeten Escherichia coli XL1-Blue dan media Luria Agar (LA). Isolasi DNA plasmid menggunakan kit dari Fermentas (GeneJETTM Plasmid MiniPrep Kit). Tahap transformasi ke dalam Agrobacterium menggunakan sel kompeten A. tumefaciens galur AGL0 dan media Yeast Extract Pepton (YEP). Bahan lainnya yang digunakan adalah primer M13-F, primer M13R, larutan bufer 10x dream Taq, larutan bufer