BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketergantungan Heroin 2.1.1 Definisi Ketergantungan Heroin Ketergantungan atau kecanduan adalah suatu pola maladaptif dari penggunaan NAPZA, yang menimbulkan hendaya atau kesukaran yang berarti secara klinis seperti timbulnya toleransi dan gejala putus zat sehingga terjadi kesulitan untuk menghentikan penggunaan zat tersebut(Direktorat Bina Kesehatan Jiwa, 2011). Ketergantungan adalah perilaku penyalahgunaan zat yang ditandai dengan keterlibatan dengan penggunaan zat secara kompulsif dan dengan pengamanan pasokan dan dengan tendensi untuk relaps setelah putus zat. Ketergantungan adalah keadaan fisiologis dari neuroadaptasi yang diakibatkan penggunaan zat yang berulang, yang memerlukan penanganan khusus untuk mencegah terjadinya gejala putus zat(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007). Menurut Sadock, ketergantungan psikologis, juga disebut sebagai pembiasaan, ditandai dengan keinginan terus menerus atau intermiten (yaitu intens keinginan) untuk bahan untuk menghindari keadaan disforik (Sadock, et al 2015). Menurut International Classification of Dissease(ICD)-10, ketergantungan adalah keadaan terganggunya fungsi kognitif, perilaku, dan gejala fisiologis yang menunjukkan seseorang terus menggunakan napza meski secara klinis nyata 1 2 menimbulkan masalah. Hal ini ditandai dengan keinginan kuat untuk terus menggunakan, sulit mengendalikan, mengabaikan kegiatan lain yang penting dalam hidup seperti pekerjaan, hubungan sosial, rekreasi karena hampir seluruh waktu tersita kegiatan terkait penggunaan napza, toleransi dimana kadar zat perlu ditingkatkan untuk mendapatkan efek yang sama seperti sebelumnya dan gejala putus zat ketika zat dihentikan (World Health Organization, 2015). Terdapat dua jenis ketergantungan yaitu ketergantungan secara fisik dan psikis. Pada ketergantungan fisik terjadi penyesuaian pada tubuh terhadap suatu keadaan yang bila dihentikan akan menimbulkan adanya gangguan fisik hebat yang dikenal dengan gejala putus zat atau withdrawal syndrome. Pada ketergantungan psikis timbul perasaan senang yang disertai dengan keinginan yang kuat untuk menggunakan zat atau yang disebut craving (Sargo & Subagyo, 2014). Berdasarkan jenis bahan yang digunakan terdapat beberapa jenis ketergantungan, yaitu ketergantungan zat dan bukan zat. Ketergantungan zat yang dimaksud adalah ketergantungan dengan menggunakan zat seperti narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya seperti kafein, nikotin. Ketergantungan bukan zat yang dimaksud adalah ketergantungan dengan game online, internet, judi, makanan, seks, pornografi (Sadock et al, 2015). Heroin adalah salah satu zat yang termasuk dalam golongan opioid yang berasal dari bahan semisintetis. Heroin merupakan golongan opioid agonis dan derivat morfin yang mengalami asetilasi pada gugus hidroksil pada ikatan C3 dan C6. Heroin berupa bubuk kristal putih yang larut dalam air. Terdapat beberapa 7 cara penggunaannya yaitu, dengan cara dragon (heroin dipanaskan melalui aluminium foil dan uapnya dihirup dengan bibir), cara merokok (bubuk heroin dicampurkan dalam rokok) dan cara injeksi (dengan menggunakan suntikan) (Maramis & Maramis, 2009; Husain, 2010). Heroin dihasilkan dari cairan getah opium poppy yang diolah menjadi morfin kemudian dengan proses tertentu menghasilkan heroin, yang mempunyai kekuatan 10 kali melebihi morfin. Opioid sintetik mempunyai kekuatan 400 kali lebih kuat dari morfin. Jenis ini memiliki nama jalanan seperti putauw, black heroin, dan brown sugar ini berbentuk bubuk putih untuk yang murni, sedangkan heroin yang tidak murni berwarna putih keabuan (Japardi, 2007). Heroin didapat dari pengeringan ampas bunga opium yang mempunyai kandungan morfin dan kodein yang merupakan penghilang rasa nyeri yang efektif dan banyak digunakan untuk pengobatan. Baru pada tahun 1874 orang membuat heroin dari pohon opium. Ketika itu, heroin dijual sebagai pengganti morfin yang aman dan tidak menimbulkan kecanduan. Namun akhirnya disadari bahwa heroin juga menyebabkan ketergantungan yang tinggi. Penggunaan heroin mulai meningkat sejak awal 1990 dan mengalami puncaknya sejak 1996 mendorong masyarakat pada maraknya perilaku menyuntik. Perilaku penggunaan heroin suntik tersebut menjadi salah satu modus penularan utama HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency Syndrome)(Hawari, 2006; Syaikhu, 2013). Heroin termasuk dalam daftar narkotika golongan I menurut UndangUndang Narkotika nomer 35 Tahun 2009. Narkotika golongan I adalah narkotika 8 yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan (Sargo & Subagyo, R., 2014). 2.1.2 Mekanise Kerja Heroin Heroin diabsorbsi dengan baik disubkutaneus, intramuscular dan permukaan mukosa hidung atau mulut, dengan cepat masuk ke dalam darah dan menuju jaringan. Konsentrasi heroin tinggi di paru-paru, hepar, ginjal dan limpa, sedangkan di otot skelet konsentrasinya rendah. Heroin dapat menembus sawar darah otak lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan morfin atau golongan opioid lainnya. Heroin didalam otak cepat mengalami hidrolisa menjadi monoasetilmorfin dan akhirnya menjadi morfin, kemudian mengalami konjugasi dengan asam glukuronik menjadi morfin 6-glukoronid yang berefek analgesik lebih kuat dibandingkan morfin itu sendiri. Heroin diekskresi melalui urin (ginjal), 90% diekresi dalam 24 jam pertama, meskipun masih dapat ditemukan dalam urin setelah 48 jam. Heroin didalam tubuh diubah menjadi morfin dan diekresikan sebagai morfin (Jones & Karalliedde, 2008). Gambar 2.1. Struktur kimia heroin (Trescot et al, 2008) Heroin bekerja di dua tempat utama, yaitu susunan saraf pusat dan 9 visceral. Pada susunan saraf pusat opioid (heroin) berefek di daerah korteks, hipokampus, thalamus, nigrostriatal, sistem mesolimbik, locus ceruleus, daerah periakuaduktal, medula oblongata dan medula spinalis. Pada sistem saraf visceral, opioid (heroin) bekerja pada pleksus myenterikus dan pleksus submukous yang menyebabkan efek konstipasi (Jones & Karalliedde, 2008). Heroin yang merupakan salah satu opioid, efeknya diperantarai oleh reseptor opioid yaitu reseptor mu, kappa dan delta. Reseptor mu terlibat dalam proses analgesia, depresi pernafasan, sembelit dan ketergantungan obat. Reseptor kappa terlibat dalam analgesia, diuresis dan sedasi. Reseptor delta terlibat dalam analgesia. Dalam tubuh terdapat opioid endogen sebanyak tiga jenis yaitu endorfin, dismorfin dan enkepalin. Opioid endogen berinteraksi dengan sistem neuronal seperti sistem saraf dopaminergik dan noradrenergik. Ketergantungan heroin diperantarai oleh aktivasi neuron dopaminergik di ventral tegmental area (VTA) di korteks cerebral dan di sistem limbik. Heroin bekerja di locus ceruleus (LC) dengan meningkatkan konduksi dari kanal ion K melalui coupling subtipe Gi atau G0 dengan menurunkan masuknya Na+ dan penghambatan adenylcyclase. Berkurangnya jumlah cAMP akan menurunkan protein kinase A (PKA) dan fosforilasi (Trescot et al., 2008; Sadock et al., 2015).(Gambar 2.2) 10 Gambar 2.2 Mekanisme kerja opioid di lokus ceruleus(Sadock et al, 2015) Efek dari penggunaan heroin dapat dirasakan dalam waktu yang berbeda menurut cara pemakaiannya. Pemakaian dengan injeksi dapat secara intravenous (IV), subkutan atau intramuscular. Injeksi dengan intravena dapat menimbulkan efek eforia dalam 7 sampai 8 detik, sedangkan secara intramuskular efek euforia timbul lebih lambat yaitu 5 sampai 8 menit. Pemakaian dengan dihirup dimana bubuk heroin diletakkan pada aluminium foil dan dipanaskan diatas api, kemudian asapnya dihirup melalui hidung dapat, memberikan efek dimana puncaknya dirasakan dalam 10-15 menit. Pemakaian heroin dapat juga dengan dihisap melalui pipa atau sebagai lintingan rokok. Cara ini lebih aman dibandingkan dihirup dan injeksi karena masuk ke dalam tubuh secara bertahap sehingga mudah 11 dikontrol (Suckitt & Segal, 2005) Ketergantungan juga dapat menjadi parah tergantung alasan yang menyebabkan seseorang menjadi ketergantungan, dosis heroin yang digunakan dan cara pemakaian heroin dan adanya masalah yang dihadapi saat menggunakan heroin. Keparahan ketergantungan ini dapat diukur menggunakan skala ASSIST yang sudah digunakan sebagai salah satu instrument pada institusi penerima wajib lapor (IPWL). 2.1.3 Gejala Ketergantungan Heroin Penggunaan heroin dapat menimbulkan ketergantungan dengan gejalagejala seperti adanya ketergantungan fisik, toleransi, sindrom withdrawal atau gejala putus zat, toleransi silang. Ketergantungan fisik dapat terjadi karena mekanisme kerja dari heroin pada susunan saraf pusat, dimana berikatan pada reseptor mu sehingga menimbulkan efek analgesia, euforia. Toleransi adalah proses fisik yang terjadi selama penggunaan heroin, dimana efek yang ditimbulkan oleh heroin tersebut tidak seperti yang diinginkan bila digunakan dengan dosis yang sama. Hal ini mengakibatkan pemakaian heroin dengan dosis yang semakin meningkat untuk mendapatkan efek yang diinginkan. Sindrom withdrawal atau gejala putus zat ditimbulkan akibat tidak adanya penggunaan heroin yang sebelumnya biasa digunakan. Gejala putus zat dapat bersifat akut maupun kronis. Gejala putus zat dipengaruhi oleh cara penggunaan heroin yaitu dengan cara dihisap, disuntik, dihirup. Fase akut dapat dalam beberapa hari sampai minggu. Gejala putus zat yang timbul pada pengguna heroin dibagi menjadi gejala obyektif dan subyektif (Sargo & Subagyo, 2014; Sadock, et al, 12 2015). Gejala obyektif dari gejala putus zat yang timbul pada pengguna pengguna heroin adalah : mengantuk, pilek sampai bersin, lakrimasi, dilatasi pupil, vasodilatasi umum pembuluh darah sehingga pasien merasa panas dingin, meriang dan berkeringat berlebihan, piloereksi (merinding atau rambut halus pada tubuh yang berdiri), takikardia, meningginya tekanan darah, meningkatnya respirasi secara mencolok, suhu badan meninggi tajam, mual, muntah, diare, insomnia. Gejala subyektif dari gejala putus zat yang timbul pada pengguna heroin adalah pasien mengeluh adanya “sugesti” (rasa keinginan atau hasrat yang sangat besar untuk memperoleh dan menggunakan kembali opioid), cemas, gelisah, mudah tersinggung, mialgia (rasa sakit dan pegal otot di punggung, kaki dan seluruh tubuh), artralgia (rasa sakit dan ngilu pada tulang), sakit dan kram perut, tidak ada selera makan, gemetar atau tremor, kejang-kejang kecil, lemas. Gejala putus zat dapat timbul dengan onset awal gejala dalam enam sampai delapan jam dan puncaknya pada hari kedua atau ketiga. Gejala putus zat dapat berlangsung selama tujuh sampai sepuluh hari (Sargo & Subagyo, 2014; Sadock et al 2015). Toleransi silang dapat terjadi akibat penggunaan lebih dari satu macam zat. Penggunaan heroin yang berlebihan dapat menyebabkan intoksikasi. Intoksikasi menimbulkan kematian akibat efek dari heroin yaitu menekan susunan saraf pusat. Tanda tanda obyektif yang ada pada intoksikasi heroin adalah : adanya tanda–tanda penekanan susunan saraf pusat seperti sedasi, tenang, sedikit apatis, euforia, berkurangnya tingkat kesadaran sampai delirium, berkurangnya motilitas gastrointestinal sampai konstipasi, penekanan respirasi, analgesia, mual 13 dan muntah, bicara cadel, hipotensi ortostatik, bradikardia, konstriksi pupil atau miosis (Sargo & Subagyo, 2014; Sadock,et al, 2015). 2.1.4 Faktor risiko yang mempengaruhi ketergantungan heroin Ketergantungan heroin dapat disebabkan oleh beberapa faktor risiko yaitu faktor individu, faktor keluarga, dan faktor lingkungan (Moesono, 2006; Sargo & Subagyo, 2014). Faktor individu yang dapat menyebabkan timbulnya ketergantungan adalah adanya genetik dan kepribadian. Faktor genetik yang dimaksud adalah adanya faktor gen yang memudahkan seseorang menjadi ketergantungan atau ketergantungan, selain itu perilaku orang tua yang mengalami ketergantungan saat sedang mengandung juga dapat memudahkan terjadinya ketergantungan. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Clarke dan kawan kawan, mengatakan bahwa adanya hubungan antara reseptor dopamin D2 SNP rs1076560 dengan terjadinya ketergantungan heroin (Clarke et al., 2014). Faktor kepribadian yang dapat memudahkan terjadinya ketergantungan antara lain adanya gangguan kepribadian maupun mekanisme pembelaan ego yang imatur serta mekanisme koping seseorang. Kepribadian seseorang yang memudahkan terjadinya ketergantungan adalah adanya kepribadian antisosial. Pada kepribadian antisosial ini seseorang cenderung tidak peduli terhadap norma dan peraturan dan memiliki toleransi yang rendah terhadap rasa frustrasi dan cenderung agresif (Sargo & Subagyo, 2014). Faktor keluarga yang menimbulkan terjadinya ketergantungan adalah adanya fungsi keluarga yang kurang baik, baik itu dalam hal komunikasi, pemecahan masalah, maupun pola asuh. Perilaku mencontoh atau modeling pada 14 orang tua atau keluarga yang mengalami ketergantungan juga merupakan suatu faktor risiko terjadinya ketergantungan (Tsounis, 2013) Faktor lingkungan yang dapat menimbulkan terjadinya ketergantungan adalah rasa nyaman saat di suatu lingkungan, adanya kompetisi dan rasa takut gagal yang mempengaruhi seseorang untuk mencari sebuah pemuasan melalui cara-cara yang salah satunya adalah menyalahgunakan heroin (Moesono, 2006). Seseorang yang hidup diantara orang-orang yang mengalami ketergantungan maka akan besar kemungkinan untuk menjadi ketergantungan juga (Sargo & Subagyo, 2014). Faktor-faktor yang telah disebutkan dapat menyebabkan ketergantungan menjadi parah. Keparahan ketergantungan dapat diukur dengan menggunakan skala Alcohol Smoking Substance Involvement Screening Test (ASSIST). Skala ASSIST telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Badan Narkotika Nasional dengan nama WHO-ASSIST. Formulir ASSIST menilai mengenai keparahan ketergantungan seseorang sehingga memerlukan terapi yang intensif atau terapi singkat atau tidak memerlukan terapi. Bila seseorang mengalami keparahan ketergantungan dalam tingkat berat maka akan memerlukan terapi yang intensif. Bila seseorang mengalami keparahan dalam tingkat ringan sampai sedang maka akan memerlukan terapi singkat (Setyowati, 2011). 2.1.5. Terapi Ketergantungan Heroin Terapi ketergantungan heroin dilakukan secara bertahap. Terapi ketergantungan heroin dapat dilakukan dengan pemberian obat yang memiliki tempat kerja yang sama yaitu di reseptor mu. Terdapat beberapa obat yang 15 memiliki tempat kerja yang sama, antara lain : metadon atau turunannya sepeti Lα-acetyl-methadol yang bersifat agonis Mu atau obat yang bersifat partial agonis mu seperti Buprenorphine. Terapi ketergantungan heroin memerlukan waktu yang cukup lama dan dapat menimbulkan fase-fase sindrom putus zat yang lebih lama (Sargo & Subagyo, 2014). a. Metadon Metadon adalah salah satu obat yang digunakan untuk menerapi ketergantungan heroin di Indonesia. Metadon ditemukan pertama kali pada tahun 1938 oleh dua peneliti Jerman yang bernama Max Bockmuhl dan Gustav Ehrhart. Saat itu metadon digunakan sebagai obat antispasmodik dan analgetik yang memiliki struktur mirip dengan morfin namun tidak menimbulkan ketergantungan. Metadon kemudian dujikan dan digunakan untuk terapi pasien dengan ketergantungan opiat pada tahun 1947 (College of Physician and Surgeons of British Columbia, 2014). Metadon adalah suatu agonis sintetik opioid yang kuat dan diserap dengan baik secara oral dengan daya kerja jangka panjang, digunakan secara oral di bawah supervisi dokter dan digunakan untuk terapi bagi pengguna opiat. Metadon dimetabolisme oleh ensim sitokrom P450 di hati dan dieksresi dalam bentuk metabolit inaktif melalui urin dan feses. Metadon memiliki cara kerja sebagai agonis pada reseptor mu. Metadon mencapai efek puncak satu sampai dua jam setelah diminum, dan memiliki waktu paruh sampai dengan 24 jam. Selain untuk mengobati ketergantungan heroin, metadon juga dapat digunakan sebagai terapi nyeri. Efek analgesik atau menghilangkan nyeri dirasakan dalam 30 (tiga puluh) 16 hingga 60 (enam puluh) menit setelah diminum. Metadon dilepas secara perlahan dari lokasi ikatan ekstra vaskular ke plasma sehingga penghentian penggunaan metadon secara mendadak tidak langsung menghasilkan gejala putus zat. Metadon digunakan dengan dosis awal 20 sampai 30 miligram (mg) sekali per hari dan dapat dinaikkan lima sampai sepuluh mg hingga mencapai dosis optimal yang mencegah timbulnya gejala putus zat. Peningkatan dosis dilakukan tidak boleh kurang dari lima hari untuk mencegah efek yang toksik (Kementerian Kesehatan, 2013; College of Physician and Surgeons of British Columbia, 2014; Sadock et al, 2015) Terapi metadon biasanya diperlukan selama tiga sampai enam bulan namun tidak berlaku untuk semua orang. Hal ini diakibatkan perbedaan tingkat keparahan ketergantungan heroin tiap orang. Penurunan dosis metadon dapat dilakukan secara bertahap lima miligram per minggu. Pemakaian metadon tidak boleh digabung dengan pemakaian alkohol, benzodiasepin dan stimulansia lain karena dapat mengganggu metabolisme metadon sehingga menimbulkan efek toksik (Kementerian Kesehatan, 2013; College of Physician and Surgeons of British Columbia, 2014) Metadon diberikan oleh pelayan kesehatan di rumah sakit, puskesmas atau klinik yang ditunjuk oleh pemerintah. Puskesmas dan klinik diampu oleh rumah sakit pengampu yang ditunjuk oleh kementerian kesehatan, dimana programnya disebut sebagai program terapi rumatan metadon (PTRM). Tujuan dari program terapi rumatan metadon ini adalah untuk mengurangi dampak buruk penggunaan opiat dengan cara suntik, diperlukan intervensi pengurangan dampak buruk (harm 17 reduction). Sediaan metadon dapat berupa tablet dan cairan yang diminum, namun di Indonesia sediaan metadon yang dipakai adalah yang berupa cairan yang diminum sesuai dosis. Metadon cair di metabolisme dengan baik di saluran pencernaan. Metadon memiliki efek samping berupa sedasi, konstipasi, berkeringat, kadang-kadang adanya pembesaran (oedema) persendian pada perempuan dan perubahan libido pada laki-laki dan juga perempuan, pruritus, mulut kering, dispepsia. Terdapat juga efek samping yang dirasakan dalam waktu yang lebih lama seperti: konstipasi, berkeringat secara berlebihan dan keluhan berkurangnya libido dan disfungsi seksual (Kementerian Kesehatan, 2013; Sargo & Subagyo, 2014). b. L-α-acetyl-methadol L-α-acetyl-methadol adalah turunan dari metadon.L-α-acetyl-methadol memiliki durasi kerja lebih lama dari metadon. Hal ini menjadi pertimbangan pemberiannya tiga kali dalam seminggu. Dosis pemberian L-α-acetyl-methadol sebesar 40 sampai 140 mg. Pemberian L-α-acetyl-methadol dapat menimbulkan efek samping terjadinya gangguan jantung yaitu terjadi perpanjangan interval QT. Hal ini menyebabkan obat ini tidak digunakan di Amerika Serikat (Sargo & Subagyo, 2014). c. Buprenorphine Buprenorphine adalah salah satu obat yang digunakan untuk mengatasi ketergantungan heroin. Buprenorphine ini merupakan partial agonis reseptor mu. Obat ini bila digunakan dalam dosis rendah akan bekerja sebagai partial agonis reseptor mu seperti halnya metadon. Bila obat ini digunakan dalam dosis tinggi 18 akan memiliki efek antagonis terhadap reseptor mu. Hal ini dapat menimbulkan gejala putus obat. Buprenorphine terikat lebih lama pada reseptor mu sehingga dosis pemberian tiga kali seminggu saja (Menteri Kesehatan, 2013; Sargo & Subagyo, 2014). Onset dari efek buprenorphine 30 sampai 60 menit setelah pemakaian di sublingual, dan mencapai puncaknya 90 sampai 100 menit setelah pemakaian. Hal ini menyebabkan buprenorphine dapat diberikan sekali sehari. Buprenorphine dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 3A4. Efek samping yang dapat terjadi akibat pemakaian buprenorphine adalah sedasi, mual,muntah, pusing berputar, nyeri kepala dan depresi nafas. Buprenorphine dapat diberikan dengan dosis empat sampai 32 mg per hari (Saxon et al, 2013). Pada pemakaian heroin dapat terjadi intoksikasi karena dosis yang digunakan berlebih. Pada intoksikasi dapat diberikan naltrexone yang bekerja sebagai antagonis reseptor mu. Naltrexone memiliki afinitas seratus kali dibandingkan heroin. Sebelum pemberian naltrexone, pasien harus di detoksifikasi terlebih dahulu dengan cara eliminasi substansi opioid yang ada di dalam tubuh. Hal ini disebabkan naltrexone dapat menginduksi gejala putus zat karena pelepasan norepinefrin yang berlebihan di locus ceruleus. Untuk mengurangi gejala putus zat dapat diberikan clonidin yang bekerja di presinap α2 agonis. Dosis clonidin dapat diberikan 0,3 mg per hari. Pemberian naltrexone dengan dosis 50 mg per hari atau 200 mg dua kali seminggu (Sargo & Subagyo, 2014). 19 2.2 Konsep Fungsi keluarga 2.2.1 Pengertian Keluarga Menurut Undang-undang no. 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Keluarga berkualitas adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat, maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan, bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Presiden R.I, 2009). 2.2.2. Fungsi Keluarga Menurut Undang-undang no. 52 tahun 2009, terdapat delapan fungsi keluarga yang diterapkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang terdiri dari keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, melindungi, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi dan pembinaan lingkungan (Presiden R.I., 2009) Fungsi keluarga juga dapat dibedakan menjadi lima fungsi (APGAR) yang dapat dinilai sebagai berikut (Yen, et al, 2007; Sutikno, 2011) 1. Adaptasi (Adaptation) Tingkat kepuasan anggota keluarga dalam menerima bantuan yang diperlukannya dari anggota keluarga lainnya. 20 2. Kemitraan (Partnership) Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap berkomunikasi, musyawarah dalam mengambil suatu keputusan dan atau menyelesaikan suatu masalah sedang dihadapi dengan anggota keluarga lainnya. 3. Pertumbuhan (Growth) Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebebasan yang diberikan keluarga dalam mematangkan pertumbuhan dan atau kedewasaan setiap anggota keluarga. 4. Kasih Sayang (Affection) Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih sayang serta interaksi emosional yang berlangsung dalam keluarga. 5. Kebersamaan (Resolve) Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebersamaan dalam membagi waktu, kekayaan dan ruang antar anggota keluarga. Persepsi fungsi keluarga adalah persepsi dari anggota keluarga/ klien mengenai kemampuan keluarga dalam pemecahan masalah, komunikasi, peran, respon afektif, keterlibatan afektif dan pengendalian tingkah laku. Fungsi keluarga dinilai dengan menggunakan The McMaster Family Assessment Device (FAD) yang menilai persepsi klien mengenai kemampuan keluarga dalam hal : 1. Pemecahan masalah Kemampuan keluarga dalam memecahkan suatu masalah pada setiap level sehingga menjaga keberfungsian keluarga tetap efektif. Setiap masalah dapat mengancam keutuhan sebuah keluarga, sehingga bila fungsi 21 keluarga itu baik maka masalah dapat terselesaikan dengan baik. Bila fungsi keluarga kurang baik, maka hanya sebagian masalah yang diperhatikan dan terselesaikan dengan baik. Pada McMaster Model of Family Functioning terdapat beberapa tahapan menyelesaikan masalah, yaitu mengidentifikasi masalah, mengkomunikasikan masalah dengan orang yang tepat dalam keluarga, mengembangkan alternatif solusi yang mungkin untuk dilakukan, memutuskan untuk melakukan salah satu alternatif solusi, melakukan keputusan, melakukan monitoring terhadap langkah yang telah dilaksanakan, melakukan evaluasi terhadap keefektifan proses pemecahan masalah. 2. Komunikasi Komunikasi adalah pertukaran informasi secara verbal di dalam keluarga. Komunikasi yang dilakukan dapat secara verbal maupun nonverbal. Komunikasi dalam keluarga dibagi menjadi dua area yaitu komunikasi instrumental dan komunikasi afektif. Pada keluarga yang sehat komunikasi dilakukan secara langsung dan jelas sehingga komunikasi menjadi efektif. Komunikasi yang tidak efektif adalah komunikasi yang kurang jelas dan tidak langsung. 3. Peran Peran dalam keluarga adalah perilaku yang memiliki pola berulang yang dilakukan oleh anggota keluarga untuk memenuhi fungsi keluarga. Terdapat beberapa peran dasar keluarga yang menjadi dasar, yaitu : 22 1. Penyediaan sumber daya, meliputi fungsi dan tugas yang berkaitan dengan penyediaan uang, makanan, pakaian dan tempat tinggal. 2. Perawatan dan dukungan, meliputi penyediaan kenyamanan, kehangatan, rasa aman dan dukungan untuk anggota keluarga 3. Kepuasan seksual dewasa, pasangan suami istri secara personal merasakan kepuasan dalam hubungan seksual satu sama lain 4. Pengembangan pribadi, merupakan tugas dan fungsi keluarga untuk mendukung angggota keluarga dalam mengembangkan keterampilan pribadi 5. Pemeliharaan dan pengelolaan sistem keluarga, meliputi berbagai fungsi yang melibatkan teknik dan tindakan yang dibutuhkan untuk mempertahankan standar keluarga seperti pengambilan keputusan, batasan dan fungsi keanggotaan dalam keluarga, implementasi dan kontrol perilaku, pengaturan keuangan rumah tangga dan hal-hal yang berkaitan dengan pengasuhan dan kesehatan keluarga. 4. Respon afektif Respon afektif adalah kemampuan berespon terhadap stimulus yang ada dengan kualitas dan kuantitas perasaan yang tepat. Pada keluarga yang sehat, seluruh anggota keluarga memiliki kemampuan untuk mengekspresikan berbagai macam emosi, serta emosi sesuai dengan konteks situasi, sesuai intensitas dan durasi. 5. Keterlibatan afektif Keterlibatan afektif adalah sejauh mana anggota keluarga menunjukkan 23 ketertarikan dan penghargaan kepada aktivitas dan minat anggota keluarga lain. Terdapat enam tipe keterlibatan dalam anggota keluarga: 1. Kurang terlibat : tidak ada keterlibatan satu sama lain 2. Keterlibatan tanpa perasaan : melibatkan hanya sedikit ketertarikan sama lain, hanya sebatas untuk pengetahuan keluarga 3. Keterlibatan narsisistik : keterlibatan dengan anggota keluarga lain hanya sebatas perilaku atau aktivitas tersebut memiliki manfaat bagi diri sendirinya sendiri 4. Keterlibatan empatik : mau terlibat dengan anggota keluarga lain demi kepentingan anggota keluarga lain. 5. Keterlibatan yang berlebihan : keterlibatan yang terlalu berlebihan pada anggota keluarga lain 6. Keterlibatan simbiotik : keterlibatan yang ekstrem dan patologis satu sama lain terlihat mengganggu hubungan. Pada keluarga yang sehat, terjadi keterlibatan empatik. Keterlibatan yang efektif adalah tergantung derajat keterlibatan antara anggota keluarga. 6. Pengendalian tingkah laku Pengendalian tingkah laku yang dimaksud adalah pola yang diadopsi oleh keluarga untuk menangani perilaku anggota keluarga dalam tiga area. Tiga area yang dimaksud adalah situasi yang membahayakan secara fisik, situasi yang melibatkan pemenuhan kebutuhan dan dorongan psikobiologis, situasi yang melibatkan perilaku sosialisasi interpersonal 24 baik di antara keluarga maupun dengan orang lain di luar keluarga. 7. Fungsi umum Fungsi umum yang dimaksud adalah fungsi keluarga secara umum. (Fahrudin, 2012; Staccini et al, 2015) 2.3 Kepribadian 2.3.1 Definisi Kepribadian Kepribadian adalah totalitas dari ciri perilaku dan emosi yang merupakan karakter atau ciri seseorang dalam kehidupan sehari-hari dalam kondisi yang biasa. Kepribadian bersifat stabil dan dapat diramalkan (Mangidaan, 2010). Istilah kepribadian berasal dari bahasa Latin “persona”, atau topeng yang dipakai orang untuk menampilkan dirinya pada dunia luar, tetapi psikologi memandang kepribadian lebih dari sekedar penampilan luar.(Feist, J; Feist, G. J., 2013) Kepribadian menurut Kusumanto Setyonegoro adalah ekspresi keluar dari pengetahuan dan perasaan yang dialami secara subyektif oleh seseorang. Selain itu kepribadian adalah segala corak perilaku manusia yang terhimpun dalam dirinya dan yang digunakan olehnya untuk bereaksi serta menyesuaikan diri terhadap segala rangsang baik dari luar maupun dalam dirinya sehingga perilakunya menjadi kesatuan fungsional yang khas dan unik dari seseorang (Maramis & Maramis, 2009). Menurut Allport, kepribadian adalah organisasi dinamis dari sistem 25 psikofisik individu yang menentukan caranya yang khas untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Perilaku seseorang bersifat ekspresif dan adaptif. Kepribadian seseorang itu terorganisir dan terpola namun bersifat dinamis.(Feist & Feist, 2013) Kepribadian yang sehat adalah kepribadian yang matang yang memiliki karakteristik berupa perilaku proaktif dimana seseorang mampu bertindak secara sadar dalam lingkungannya melalui pendekatan yang baru dan inovatif serta membuat lingkungannya memberi respons. Terdapat enam kriteria kepribadian yang matang yaitu perluasan perasaan diri, hubungan yang hangat dengan orang lain, keamanan emosional atau penerimaan diri, memiliki persepsi yang realistis mengenai lingkungan sekitarnya, tilikan diri dan humor, filosofi kehidupan yang integral (Feist & Feist., 2013). Kepribadian memiliki faktor anteseden dan konsekuensi. Faktor anteseden bersifat genetis dan biologis. Faktor konsekuansi meliputi variabel eksperimental seperti pengalaman pengondisian, sensitivitas, ingatan dan perilaku sosial seperti kriminalitas, kreativitas, psikopatologi dan perilaku seksual (Feist & Feist, 2013). 2.3.2. Tipe Kepribadian Menurut Jung’s kepribadian dibagi menjadi dua macam, yaitu ekstraversi dan introversi. Kepribadian ekstravesi adalah orientasi terhadap sesuatu diluar dirinya sendiri. Kepribadian introversi adalah orientasi terhadap sesuatu di dalam dirinya sendiri (Pearson, 2009). Menurut Eysenck, terdapat tiga superfaktor umum dalam dimensi kepribadian seseorang yaitu ekstraversi, neurotisme dan psikotik. Pada orang yang 26 ekstrovert memiliki karakteristik utama memiliki kemampuan bersosialisasi dan sifat impulsif, senang bercanda, penuh gairah, cepat dalam berpikir, optimis serta sifat yang menunjukkan mereka menghargai hubungannya dengan orang lain. Pada superfaktor neurotisme terdapat kecemasan, histeria dan gangguan obsesif – kompulsif. Orang dengan skor neurotisme yang tinggi memiliki kecenderungan untuk bereaksi berlebihan secara emosional dan memiliki kesulitan untuk kembali pada kondisi normal setelah terstimulasi secara emosional. Seseorang yang memiliki dimensi neurotisme tinggi cenderung mengeluhkan gejala fisik seperti sakit kepala, sakit punggung. Superfaktor yang ketiga adalah psikotik yang merupakan faktor independen kepribadian. Psikotik adalah faktor yang bersifat bipolar dimana psikotik di kutub satu, dan superego di kutub lainnya. Orang dengan skor psikotik yang tinggi biasanya egosentris, dingin, tidak mudah menyesuaikan diri, impulsif, kejam, agresif, curiga, psikopatik dan antisosial. Orang dengan skor psikotik yang rendah cenderung bersifat altruis, mudah bersosialisasi, empati, peduli, kooperatif, mudah menyesuaikan diri dan konvensional. Seseorang dengan skor psikotik yang tinggi lebih rentan terhadap stres dibandingkan yang memiliki skor yang rendah (Feist & Feist, 2013) Tipe kepribadian ada beberapa macam menurut Minnesota Multiphasic Personality Inventory (MMPI)-2 yaitu aggresiveness(AGGR-r), psychoticism (PSYC-r), disconstraint (Disc-r), negative emotionally/neuroticism (NEGE-r), introversion/low positive emotionally (INTR-r). Setiap orang memilliki semua kepribadian tersebut, namun akan ada salah satu kepribadian yang menonjol. Kepribadian ini disebut dengan Personality Psychopathology Five Scales (Psy-5). 27 Pada MMPI-180 hanya terdapat tiga skala kepribadian yang diambil dari MMPI-2 yaitu skala psychoticism, disconstraint dan introversion/low positive emotionally (Hubertus, 2010). MMPI adalah suatu tes psikologi untuk mengidentifikasi psikopatologi dan tipe kepribadian seseorang. MMPI merupakan sebuah instrumen psikiatri dan psikologi yang sudah banyak digunakan untuk skrining (Polimeni et al., 2010). Pada skala psychoticism menilai berbagai pengalaman yang berhubungan dengan gangguan proses pikir sebagai salah satu gejala dari psikotik. Bila nilainya tinggi maka seseorang memiliki berbagai pengalaman yang berhubungan dengan gangguan proses pikir. Bila nilainya rendah maka tidak terdapat pengalaman gangguan proses pikir (Hubertus, 2010). Pada seseorang yang menyalahgunakan NAPZA biasanya memiliki kepribadian disconstraint dimana pada kepribadian dinilai ketaatan seseorang terhadap peraturan yang berlaku. Bila nilainya tinggi berarti terdapat berbagai perilaku yang tidak taat pada peraturan yang berlaku. Bila nilainya rendah maka memiliki perilaku yang sangat taat terhadap peraturan yang berlaku (Hubertus, 2010). Pada skala introversion/low positive emotionally dinilai kemampuan merasakan kesenangan hidup. Bila nilainya tinggi maka seseorang kurang mampu merasakan kesenangan hidup dan cenderung menyendiri. Bila nilainya rendah maka berarti seseorang energik dan mampu merasakan kesenangan hidup (Hubertus, 2010). 28 2.4 Fungsi Keluarga, Kepribadian dan Keparahan Ketergantungan Heroin Terjadinya ketergantungan dapat disebabkan oleh karena fungsi keluarga yang buruk. Fungsi keluarga dapat mempengaruhi berbagai aspek dalam ketergantungan, baik itu penyebab ketergantungan, keparahan ketergantungan maupun masalah terapi ketergantungan. Keparahan ketergantungan heroin dapat terjadi apabila tidak terdapat faktor keluarga yang mendukung dalam pencegahan terjadinya ketergantungan (Tsounis, 2013) Menurut data penelitian di RSU dr. Soetomo, dari 61 sampel terdapat 31 sampel yang tidak patuh menjalani pengobatan di PTRM yang seluruhnya memiliki fungsi keluarga yang buruk. Ketidakpatuhan dalam hal pengobatan akan menyebabkan terjadinya keparahan ketergantungan heroin (Setyawan, 2007). Kepribadian sangat mempengaruhi keparahan ketergantungan. Ketergantungan dapat menjadi parah apabila terdapat faktor kepribadian yang mendasari awal terjadinya ketergantungan heroin. Apabila seseorang memiliki kepribadian yang baik maka akan menjadi tidak mudah untuk mengalami ketergantungan. Fungsi keluarga dan kepribadian saling mempengaruhi keparahan suatu ketergantungan heroin. Fungsi keluarga yang buruk disertai dengan adanya kepribadian yang tidak baik dalam hal ini disconstraint yang tinggi maka ketergantungan heroin bertambah parah.