BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketergantungan Heroin 2.1.1

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Ketergantungan Heroin
2.1.1 Definisi Ketergantungan Heroin
Ketergantungan atau kecanduan adalah suatu pola maladaptif dari
penggunaan NAPZA, yang menimbulkan hendaya atau kesukaran yang berarti
secara klinis seperti timbulnya toleransi dan gejala putus zat sehingga terjadi
kesulitan untuk menghentikan penggunaan zat tersebut(Direktorat Bina Kesehatan
Jiwa, 2011).
Ketergantungan adalah perilaku penyalahgunaan zat yang ditandai dengan
keterlibatan dengan penggunaan zat secara kompulsif dan dengan pengamanan
pasokan dan dengan tendensi untuk relaps setelah putus zat. Ketergantungan
adalah keadaan fisiologis dari neuroadaptasi yang diakibatkan penggunaan zat
yang berulang, yang memerlukan penanganan khusus untuk mencegah terjadinya
gejala putus zat(Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007).
Menurut Sadock, ketergantungan psikologis, juga disebut sebagai
pembiasaan, ditandai dengan keinginan terus menerus atau intermiten (yaitu
intens keinginan) untuk bahan untuk menghindari keadaan disforik (Sadock, et al
2015).
Menurut International Classification of Dissease(ICD)-10, ketergantungan
adalah keadaan terganggunya fungsi kognitif, perilaku, dan gejala fisiologis yang
menunjukkan seseorang terus menggunakan napza meski secara klinis nyata
1
2
menimbulkan masalah. Hal ini ditandai dengan keinginan kuat untuk terus
menggunakan, sulit mengendalikan, mengabaikan kegiatan lain yang penting
dalam hidup seperti pekerjaan, hubungan sosial, rekreasi karena hampir seluruh
waktu tersita kegiatan terkait penggunaan napza, toleransi dimana kadar zat perlu
ditingkatkan untuk mendapatkan efek yang sama seperti sebelumnya dan gejala
putus zat ketika zat dihentikan (World Health Organization, 2015).
Terdapat dua jenis ketergantungan yaitu ketergantungan secara fisik dan
psikis. Pada ketergantungan fisik terjadi penyesuaian pada tubuh terhadap suatu
keadaan yang bila dihentikan akan menimbulkan adanya gangguan fisik hebat
yang dikenal dengan gejala putus zat atau withdrawal syndrome. Pada
ketergantungan psikis timbul perasaan senang yang disertai dengan keinginan
yang kuat untuk menggunakan zat atau yang disebut craving (Sargo & Subagyo,
2014).
Berdasarkan jenis bahan yang digunakan terdapat beberapa jenis
ketergantungan, yaitu ketergantungan zat dan bukan zat. Ketergantungan zat yang
dimaksud adalah ketergantungan dengan menggunakan zat seperti narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya seperti kafein, nikotin. Ketergantungan bukan
zat yang dimaksud adalah ketergantungan dengan game online, internet, judi,
makanan, seks, pornografi (Sadock et al, 2015).
Heroin adalah salah satu zat yang termasuk dalam golongan opioid yang
berasal dari bahan semisintetis. Heroin merupakan golongan opioid agonis dan
derivat morfin yang mengalami asetilasi pada gugus hidroksil pada ikatan C3 dan
C6. Heroin berupa bubuk kristal putih yang larut dalam air. Terdapat beberapa
7
cara penggunaannya yaitu, dengan cara dragon (heroin dipanaskan melalui
aluminium foil dan uapnya dihirup dengan bibir), cara merokok (bubuk heroin
dicampurkan dalam rokok) dan cara injeksi (dengan menggunakan suntikan)
(Maramis & Maramis, 2009; Husain, 2010).
Heroin dihasilkan dari cairan getah opium poppy yang diolah menjadi
morfin kemudian dengan proses tertentu menghasilkan heroin, yang mempunyai
kekuatan 10 kali melebihi morfin. Opioid sintetik mempunyai kekuatan 400 kali
lebih kuat dari morfin. Jenis ini memiliki nama jalanan seperti putauw, black
heroin, dan brown sugar ini berbentuk bubuk putih untuk yang murni, sedangkan
heroin yang tidak murni berwarna putih keabuan (Japardi, 2007).
Heroin didapat dari pengeringan ampas bunga opium yang mempunyai
kandungan morfin dan kodein yang merupakan penghilang rasa nyeri yang efektif
dan banyak digunakan untuk pengobatan. Baru pada tahun 1874 orang membuat
heroin dari pohon opium. Ketika itu, heroin dijual sebagai pengganti morfin yang
aman dan tidak menimbulkan kecanduan. Namun akhirnya disadari bahwa heroin
juga menyebabkan ketergantungan yang tinggi. Penggunaan heroin mulai
meningkat sejak awal 1990 dan mengalami puncaknya sejak 1996 mendorong
masyarakat pada maraknya perilaku menyuntik. Perilaku penggunaan heroin
suntik tersebut menjadi salah satu modus penularan utama HIV/AIDS (Human
Immunodeficiency Virus/Acquired Immuno Deficiency Syndrome)(Hawari, 2006;
Syaikhu, 2013).
Heroin termasuk dalam daftar narkotika golongan I menurut UndangUndang Narkotika nomer 35 Tahun 2009. Narkotika golongan I adalah narkotika
8
yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan
tidak digunakan dalam terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi
mengakibatkan ketergantungan (Sargo & Subagyo, R., 2014).
2.1.2 Mekanise Kerja Heroin
Heroin diabsorbsi dengan baik disubkutaneus, intramuscular dan
permukaan mukosa hidung atau mulut, dengan cepat masuk ke dalam darah dan
menuju jaringan. Konsentrasi heroin tinggi di paru-paru, hepar, ginjal dan limpa,
sedangkan di otot skelet konsentrasinya rendah. Heroin dapat menembus sawar
darah otak lebih mudah dan cepat dibandingkan dengan morfin atau golongan
opioid lainnya. Heroin didalam otak cepat mengalami hidrolisa menjadi
monoasetilmorfin dan akhirnya menjadi morfin, kemudian mengalami konjugasi
dengan asam glukuronik menjadi morfin 6-glukoronid yang berefek analgesik
lebih kuat dibandingkan morfin itu sendiri. Heroin diekskresi melalui urin (ginjal),
90% diekresi dalam 24 jam pertama, meskipun masih dapat ditemukan dalam urin
setelah 48 jam. Heroin didalam tubuh diubah menjadi morfin dan diekresikan
sebagai morfin (Jones & Karalliedde, 2008).
Gambar 2.1. Struktur kimia heroin (Trescot et al, 2008)
Heroin bekerja di dua tempat utama, yaitu susunan saraf pusat dan
9
visceral. Pada susunan saraf pusat opioid (heroin) berefek di daerah korteks,
hipokampus, thalamus, nigrostriatal, sistem mesolimbik, locus ceruleus, daerah
periakuaduktal, medula oblongata dan medula spinalis. Pada sistem saraf visceral,
opioid (heroin) bekerja pada pleksus myenterikus dan pleksus submukous yang
menyebabkan efek konstipasi (Jones & Karalliedde, 2008).
Heroin yang merupakan salah satu opioid, efeknya diperantarai oleh
reseptor opioid yaitu reseptor mu, kappa dan delta. Reseptor mu terlibat dalam
proses analgesia, depresi pernafasan, sembelit dan ketergantungan obat. Reseptor
kappa terlibat dalam analgesia, diuresis dan sedasi. Reseptor delta terlibat dalam
analgesia. Dalam tubuh terdapat opioid endogen sebanyak tiga jenis yaitu
endorfin, dismorfin dan enkepalin. Opioid endogen berinteraksi dengan sistem
neuronal seperti sistem saraf dopaminergik dan noradrenergik. Ketergantungan
heroin diperantarai oleh aktivasi neuron dopaminergik di ventral tegmental area
(VTA) di korteks cerebral dan di sistem limbik. Heroin bekerja di locus ceruleus
(LC) dengan meningkatkan konduksi dari kanal ion K melalui coupling subtipe Gi
atau G0 dengan menurunkan masuknya Na+ dan penghambatan adenylcyclase.
Berkurangnya jumlah cAMP akan menurunkan protein kinase A (PKA) dan
fosforilasi (Trescot et al., 2008; Sadock et al., 2015).(Gambar 2.2)
10
Gambar 2.2 Mekanisme kerja opioid di lokus ceruleus(Sadock et al, 2015)
Efek dari penggunaan heroin dapat dirasakan dalam waktu yang berbeda
menurut cara pemakaiannya. Pemakaian dengan injeksi dapat secara intravenous
(IV), subkutan atau intramuscular. Injeksi dengan intravena dapat menimbulkan
efek eforia dalam 7 sampai 8 detik, sedangkan secara intramuskular efek euforia
timbul lebih lambat yaitu 5 sampai 8 menit. Pemakaian dengan dihirup dimana
bubuk heroin diletakkan pada aluminium foil dan dipanaskan diatas api, kemudian
asapnya dihirup melalui hidung dapat, memberikan efek dimana puncaknya
dirasakan dalam 10-15 menit. Pemakaian heroin dapat juga dengan dihisap
melalui pipa atau sebagai lintingan rokok. Cara ini lebih aman dibandingkan
dihirup dan injeksi karena masuk ke dalam tubuh secara bertahap sehingga mudah
11
dikontrol (Suckitt & Segal, 2005)
Ketergantungan juga dapat menjadi parah tergantung alasan yang
menyebabkan seseorang menjadi ketergantungan, dosis heroin yang digunakan
dan cara pemakaian heroin dan adanya masalah yang dihadapi saat menggunakan
heroin. Keparahan ketergantungan ini dapat diukur menggunakan skala ASSIST
yang sudah digunakan sebagai salah satu instrument pada institusi penerima wajib
lapor (IPWL).
2.1.3 Gejala Ketergantungan Heroin
Penggunaan heroin dapat menimbulkan ketergantungan dengan gejalagejala seperti adanya ketergantungan fisik, toleransi, sindrom withdrawal atau
gejala putus zat, toleransi silang. Ketergantungan fisik dapat terjadi karena
mekanisme kerja dari heroin pada susunan saraf pusat, dimana berikatan pada
reseptor mu sehingga menimbulkan efek analgesia, euforia. Toleransi adalah
proses fisik yang terjadi selama penggunaan heroin, dimana efek yang
ditimbulkan oleh heroin tersebut tidak seperti yang diinginkan bila digunakan
dengan dosis yang sama. Hal ini mengakibatkan pemakaian heroin dengan dosis
yang semakin meningkat untuk mendapatkan efek yang diinginkan. Sindrom
withdrawal atau gejala putus zat ditimbulkan akibat tidak adanya penggunaan
heroin yang sebelumnya biasa digunakan. Gejala putus zat dapat bersifat akut
maupun kronis. Gejala putus zat dipengaruhi oleh cara penggunaan heroin yaitu
dengan cara dihisap, disuntik, dihirup. Fase akut dapat dalam beberapa hari
sampai minggu. Gejala putus zat yang timbul pada pengguna heroin dibagi
menjadi gejala obyektif dan subyektif (Sargo & Subagyo, 2014; Sadock, et al,
12
2015).
Gejala obyektif dari gejala putus zat yang timbul pada pengguna pengguna
heroin adalah : mengantuk, pilek sampai bersin, lakrimasi, dilatasi pupil,
vasodilatasi umum pembuluh darah sehingga pasien merasa panas dingin, meriang
dan berkeringat berlebihan, piloereksi (merinding atau rambut halus pada tubuh
yang berdiri), takikardia, meningginya tekanan darah, meningkatnya respirasi
secara mencolok, suhu badan meninggi tajam, mual, muntah, diare, insomnia.
Gejala subyektif dari gejala putus zat yang timbul pada pengguna heroin adalah
pasien mengeluh adanya “sugesti” (rasa keinginan atau hasrat yang sangat besar
untuk memperoleh dan menggunakan kembali opioid), cemas, gelisah, mudah
tersinggung, mialgia (rasa sakit dan pegal otot di punggung, kaki dan seluruh
tubuh), artralgia (rasa sakit dan ngilu pada tulang), sakit dan kram perut, tidak ada
selera makan, gemetar atau tremor, kejang-kejang kecil, lemas. Gejala putus zat
dapat timbul dengan onset awal gejala dalam enam sampai delapan jam dan
puncaknya pada hari kedua atau ketiga. Gejala putus zat dapat berlangsung selama
tujuh sampai sepuluh hari (Sargo & Subagyo, 2014; Sadock et al 2015).
Toleransi silang dapat terjadi akibat penggunaan lebih dari satu macam
zat. Penggunaan heroin yang berlebihan dapat menyebabkan intoksikasi.
Intoksikasi menimbulkan kematian akibat efek dari heroin yaitu menekan susunan
saraf pusat. Tanda tanda obyektif yang ada pada intoksikasi heroin adalah :
adanya tanda–tanda penekanan susunan saraf pusat seperti sedasi, tenang, sedikit
apatis, euforia, berkurangnya tingkat kesadaran sampai delirium, berkurangnya
motilitas gastrointestinal sampai konstipasi, penekanan respirasi, analgesia, mual
13
dan muntah, bicara cadel, hipotensi ortostatik, bradikardia, konstriksi pupil atau
miosis (Sargo & Subagyo, 2014; Sadock,et al, 2015).
2.1.4 Faktor risiko yang mempengaruhi ketergantungan heroin
Ketergantungan heroin dapat disebabkan oleh beberapa faktor risiko yaitu
faktor individu, faktor keluarga, dan faktor lingkungan (Moesono, 2006; Sargo &
Subagyo, 2014).
Faktor individu yang dapat menyebabkan timbulnya ketergantungan
adalah adanya genetik dan kepribadian. Faktor genetik yang dimaksud adalah
adanya faktor gen yang memudahkan seseorang menjadi ketergantungan atau
ketergantungan, selain itu perilaku orang tua yang mengalami ketergantungan saat
sedang mengandung juga dapat memudahkan terjadinya ketergantungan. Menurut
penelitian yang dilakukan oleh Clarke dan kawan kawan, mengatakan bahwa
adanya hubungan antara reseptor dopamin D2 SNP rs1076560 dengan terjadinya
ketergantungan heroin (Clarke et al., 2014). Faktor kepribadian yang dapat
memudahkan terjadinya ketergantungan antara lain adanya gangguan kepribadian
maupun mekanisme pembelaan ego yang imatur serta mekanisme koping
seseorang. Kepribadian seseorang yang memudahkan terjadinya ketergantungan
adalah adanya kepribadian antisosial. Pada kepribadian antisosial ini seseorang
cenderung tidak peduli terhadap norma dan peraturan dan memiliki toleransi yang
rendah terhadap rasa frustrasi dan cenderung agresif (Sargo & Subagyo, 2014).
Faktor keluarga yang menimbulkan terjadinya ketergantungan adalah
adanya fungsi keluarga yang kurang baik, baik itu dalam hal komunikasi,
pemecahan masalah, maupun pola asuh. Perilaku mencontoh atau modeling pada
14
orang tua atau keluarga yang mengalami ketergantungan juga merupakan suatu
faktor risiko terjadinya ketergantungan (Tsounis, 2013)
Faktor lingkungan yang dapat menimbulkan terjadinya ketergantungan
adalah rasa nyaman saat di suatu lingkungan, adanya kompetisi dan rasa takut
gagal yang mempengaruhi seseorang untuk mencari sebuah pemuasan melalui
cara-cara yang salah satunya adalah menyalahgunakan heroin (Moesono, 2006).
Seseorang yang hidup diantara orang-orang yang mengalami ketergantungan
maka akan besar kemungkinan untuk menjadi ketergantungan juga (Sargo &
Subagyo, 2014).
Faktor-faktor yang telah disebutkan dapat menyebabkan ketergantungan
menjadi parah. Keparahan ketergantungan dapat diukur dengan menggunakan
skala Alcohol Smoking Substance Involvement Screening Test (ASSIST). Skala
ASSIST telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Badan Narkotika
Nasional dengan nama WHO-ASSIST. Formulir ASSIST menilai mengenai
keparahan ketergantungan seseorang sehingga memerlukan terapi yang intensif
atau terapi singkat atau tidak memerlukan terapi. Bila seseorang mengalami
keparahan ketergantungan dalam tingkat berat maka akan memerlukan terapi yang
intensif. Bila seseorang mengalami keparahan dalam tingkat ringan sampai sedang
maka akan memerlukan terapi singkat (Setyowati, 2011).
2.1.5. Terapi Ketergantungan Heroin
Terapi ketergantungan
heroin dilakukan
secara
bertahap.
Terapi
ketergantungan heroin dapat dilakukan dengan pemberian obat yang memiliki
tempat kerja yang sama yaitu di reseptor mu. Terdapat beberapa obat yang
15
memiliki tempat kerja yang sama, antara lain : metadon atau turunannya sepeti Lα-acetyl-methadol yang bersifat agonis Mu atau obat yang bersifat partial agonis
mu seperti Buprenorphine. Terapi ketergantungan heroin memerlukan waktu yang
cukup lama dan dapat menimbulkan fase-fase sindrom putus zat yang lebih lama
(Sargo & Subagyo, 2014).
a.
Metadon
Metadon adalah salah satu obat yang digunakan untuk menerapi
ketergantungan heroin di Indonesia. Metadon ditemukan pertama kali pada tahun
1938 oleh dua peneliti Jerman yang bernama Max Bockmuhl dan Gustav Ehrhart.
Saat itu metadon digunakan sebagai obat antispasmodik dan analgetik yang
memiliki
struktur
mirip
dengan
morfin
namun
tidak
menimbulkan
ketergantungan. Metadon kemudian dujikan dan digunakan untuk terapi pasien
dengan ketergantungan opiat pada tahun 1947 (College of Physician and Surgeons
of British Columbia, 2014).
Metadon adalah suatu agonis sintetik opioid yang kuat dan diserap dengan
baik secara oral dengan daya kerja jangka panjang, digunakan secara oral di
bawah supervisi dokter dan digunakan untuk terapi bagi pengguna opiat. Metadon
dimetabolisme oleh ensim sitokrom P450 di hati dan dieksresi dalam bentuk
metabolit inaktif melalui urin dan feses. Metadon memiliki cara kerja sebagai
agonis pada reseptor mu. Metadon mencapai efek puncak satu sampai dua jam
setelah diminum, dan memiliki waktu paruh sampai dengan 24 jam. Selain untuk
mengobati ketergantungan heroin, metadon juga dapat digunakan sebagai terapi
nyeri. Efek analgesik atau menghilangkan nyeri dirasakan dalam 30 (tiga puluh)
16
hingga 60 (enam puluh) menit setelah diminum. Metadon dilepas secara perlahan
dari lokasi ikatan ekstra vaskular ke plasma sehingga penghentian penggunaan
metadon secara mendadak tidak langsung menghasilkan gejala putus zat. Metadon
digunakan dengan dosis awal 20 sampai 30 miligram (mg) sekali per hari dan
dapat dinaikkan lima sampai sepuluh mg hingga mencapai dosis optimal yang
mencegah timbulnya gejala putus zat. Peningkatan dosis dilakukan tidak boleh
kurang dari lima hari untuk mencegah efek yang toksik (Kementerian Kesehatan,
2013; College of Physician and Surgeons of British Columbia, 2014; Sadock et al,
2015)
Terapi metadon biasanya diperlukan selama tiga sampai enam bulan
namun tidak berlaku untuk semua orang. Hal ini diakibatkan perbedaan tingkat
keparahan ketergantungan heroin tiap orang. Penurunan dosis metadon dapat
dilakukan secara bertahap lima miligram per minggu. Pemakaian metadon tidak
boleh digabung dengan pemakaian alkohol, benzodiasepin dan stimulansia lain
karena dapat mengganggu metabolisme metadon sehingga menimbulkan efek
toksik (Kementerian Kesehatan, 2013; College of Physician and Surgeons of
British Columbia, 2014)
Metadon diberikan oleh pelayan kesehatan di rumah sakit, puskesmas atau
klinik yang ditunjuk oleh pemerintah. Puskesmas dan klinik diampu oleh rumah
sakit pengampu yang ditunjuk oleh kementerian kesehatan, dimana programnya
disebut sebagai program terapi rumatan metadon (PTRM). Tujuan dari program
terapi rumatan metadon ini adalah untuk mengurangi dampak buruk penggunaan
opiat dengan cara suntik, diperlukan intervensi pengurangan dampak buruk (harm
17
reduction). Sediaan metadon dapat berupa tablet dan cairan yang diminum, namun
di Indonesia sediaan metadon yang dipakai adalah yang berupa cairan yang
diminum sesuai dosis. Metadon cair di metabolisme dengan baik di saluran
pencernaan. Metadon memiliki efek samping berupa sedasi, konstipasi,
berkeringat, kadang-kadang adanya pembesaran (oedema) persendian pada
perempuan dan perubahan libido pada laki-laki dan juga perempuan, pruritus,
mulut kering, dispepsia. Terdapat juga efek samping yang dirasakan dalam waktu
yang lebih lama seperti: konstipasi, berkeringat secara berlebihan dan keluhan
berkurangnya libido dan disfungsi seksual (Kementerian Kesehatan, 2013; Sargo
& Subagyo, 2014).
b.
L-α-acetyl-methadol
L-α-acetyl-methadol adalah turunan dari metadon.L-α-acetyl-methadol
memiliki durasi kerja lebih lama dari metadon. Hal ini menjadi pertimbangan
pemberiannya tiga kali dalam seminggu. Dosis pemberian L-α-acetyl-methadol
sebesar 40 sampai 140 mg. Pemberian L-α-acetyl-methadol dapat menimbulkan
efek samping terjadinya gangguan jantung yaitu terjadi perpanjangan interval QT.
Hal ini menyebabkan obat ini tidak digunakan di Amerika Serikat (Sargo &
Subagyo, 2014).
c.
Buprenorphine
Buprenorphine adalah salah satu obat yang digunakan untuk mengatasi
ketergantungan heroin. Buprenorphine ini merupakan partial agonis reseptor mu.
Obat ini bila digunakan dalam dosis rendah akan bekerja sebagai partial agonis
reseptor mu seperti halnya metadon. Bila obat ini digunakan dalam dosis tinggi
18
akan memiliki efek antagonis terhadap reseptor mu. Hal ini dapat menimbulkan
gejala putus obat. Buprenorphine terikat lebih lama pada reseptor mu sehingga
dosis pemberian tiga kali seminggu saja (Menteri Kesehatan, 2013; Sargo &
Subagyo, 2014).
Onset dari efek buprenorphine 30 sampai 60 menit setelah pemakaian di
sublingual, dan mencapai puncaknya 90 sampai 100 menit setelah pemakaian. Hal
ini menyebabkan buprenorphine dapat diberikan sekali sehari. Buprenorphine
dimetabolisme oleh enzim sitokrom P450 3A4. Efek samping yang dapat terjadi
akibat pemakaian buprenorphine adalah sedasi, mual,muntah, pusing berputar,
nyeri kepala dan depresi nafas. Buprenorphine dapat diberikan dengan dosis
empat sampai 32 mg per hari (Saxon et al, 2013).
Pada pemakaian heroin dapat terjadi intoksikasi karena dosis yang
digunakan berlebih. Pada intoksikasi dapat diberikan naltrexone yang bekerja
sebagai antagonis reseptor mu. Naltrexone memiliki afinitas seratus kali
dibandingkan
heroin.
Sebelum pemberian
naltrexone,
pasien
harus
di
detoksifikasi terlebih dahulu dengan cara eliminasi substansi opioid yang ada di
dalam tubuh. Hal ini disebabkan naltrexone dapat menginduksi gejala putus zat
karena pelepasan norepinefrin yang berlebihan di locus ceruleus. Untuk
mengurangi gejala putus zat dapat diberikan clonidin yang bekerja di presinap α2
agonis. Dosis clonidin dapat diberikan 0,3 mg per hari. Pemberian naltrexone
dengan dosis 50 mg per hari atau 200 mg dua kali seminggu (Sargo & Subagyo,
2014).
19
2.2 Konsep Fungsi keluarga
2.2.1 Pengertian Keluarga
Menurut Undang-undang no. 52 tahun 2009, keluarga adalah unit terkecil
dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami, istri dan anaknya, atau
ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Keluarga berkualitas adalah keluarga
yang dibentuk berdasarkan perkawinan yang sah dan bercirikan sejahtera, sehat,
maju, mandiri, memiliki jumlah anak yang ideal, berwawasan ke depan,
bertanggung jawab, harmonis dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
(Presiden R.I, 2009).
2.2.2. Fungsi Keluarga
Menurut Undang-undang no. 52 tahun 2009, terdapat delapan fungsi
keluarga yang diterapkan oleh Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional
(BKKBN) yang terdiri dari keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, melindungi,
reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi dan pembinaan lingkungan
(Presiden R.I., 2009)
Fungsi keluarga juga dapat dibedakan menjadi lima fungsi (APGAR) yang
dapat dinilai sebagai berikut (Yen, et al, 2007; Sutikno, 2011)
1. Adaptasi (Adaptation)
Tingkat kepuasan anggota keluarga dalam menerima bantuan yang
diperlukannya dari anggota keluarga lainnya.
20
2. Kemitraan (Partnership)
Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap berkomunikasi, musyawarah
dalam mengambil suatu keputusan dan atau menyelesaikan suatu masalah
sedang dihadapi dengan anggota keluarga lainnya.
3. Pertumbuhan (Growth)
Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebebasan yang diberikan
keluarga dalam mematangkan pertumbuhan dan atau kedewasaan setiap
anggota keluarga.
4. Kasih Sayang (Affection)
Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih sayang serta interaksi
emosional yang berlangsung dalam keluarga.
5. Kebersamaan (Resolve)
Tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebersamaan dalam membagi
waktu, kekayaan dan ruang antar anggota keluarga.
Persepsi fungsi keluarga adalah persepsi dari anggota keluarga/ klien
mengenai kemampuan keluarga dalam pemecahan masalah, komunikasi, peran,
respon afektif, keterlibatan afektif dan pengendalian tingkah laku. Fungsi keluarga
dinilai dengan menggunakan The McMaster Family Assessment Device (FAD)
yang menilai persepsi klien mengenai kemampuan keluarga dalam hal :
1. Pemecahan masalah
Kemampuan keluarga dalam memecahkan suatu masalah pada
setiap level sehingga menjaga keberfungsian keluarga tetap efektif. Setiap
masalah dapat mengancam keutuhan sebuah keluarga, sehingga bila fungsi
21
keluarga itu baik maka masalah dapat terselesaikan dengan baik. Bila
fungsi keluarga kurang baik, maka hanya sebagian masalah yang
diperhatikan dan terselesaikan dengan baik. Pada McMaster Model of
Family Functioning terdapat beberapa tahapan menyelesaikan masalah,
yaitu mengidentifikasi masalah, mengkomunikasikan masalah dengan
orang yang tepat dalam keluarga, mengembangkan alternatif solusi yang
mungkin untuk dilakukan, memutuskan untuk melakukan salah satu
alternatif solusi, melakukan keputusan, melakukan monitoring terhadap
langkah yang telah dilaksanakan, melakukan evaluasi terhadap keefektifan
proses pemecahan masalah.
2. Komunikasi
Komunikasi adalah pertukaran informasi secara verbal di dalam
keluarga. Komunikasi yang dilakukan dapat secara verbal maupun
nonverbal. Komunikasi dalam keluarga dibagi menjadi dua area yaitu
komunikasi instrumental dan komunikasi afektif. Pada keluarga yang sehat
komunikasi dilakukan secara langsung dan jelas sehingga komunikasi
menjadi efektif. Komunikasi yang tidak efektif adalah komunikasi yang
kurang jelas dan tidak langsung.
3. Peran
Peran dalam keluarga adalah perilaku yang memiliki pola berulang yang
dilakukan oleh anggota keluarga untuk memenuhi fungsi keluarga.
Terdapat beberapa peran dasar keluarga yang menjadi dasar, yaitu :
22
1. Penyediaan sumber daya, meliputi fungsi dan tugas yang berkaitan
dengan penyediaan uang, makanan, pakaian dan tempat tinggal.
2. Perawatan
dan
dukungan,
meliputi
penyediaan
kenyamanan,
kehangatan, rasa aman dan dukungan untuk anggota keluarga
3. Kepuasan seksual dewasa, pasangan suami istri secara personal
merasakan kepuasan dalam hubungan seksual satu sama lain
4. Pengembangan pribadi, merupakan tugas dan fungsi keluarga untuk
mendukung angggota keluarga dalam mengembangkan keterampilan
pribadi
5. Pemeliharaan dan pengelolaan sistem keluarga, meliputi berbagai
fungsi yang melibatkan teknik dan tindakan yang dibutuhkan untuk
mempertahankan standar keluarga seperti pengambilan keputusan,
batasan dan fungsi keanggotaan dalam keluarga, implementasi dan
kontrol perilaku, pengaturan keuangan rumah tangga dan hal-hal yang
berkaitan dengan pengasuhan dan kesehatan keluarga.
4. Respon afektif
Respon afektif adalah kemampuan berespon terhadap stimulus yang ada
dengan kualitas dan kuantitas perasaan yang tepat. Pada keluarga yang
sehat,
seluruh
anggota
keluarga
memiliki
kemampuan
untuk
mengekspresikan berbagai macam emosi, serta emosi sesuai dengan
konteks situasi, sesuai intensitas dan durasi.
5. Keterlibatan afektif
Keterlibatan afektif adalah sejauh mana anggota keluarga menunjukkan
23
ketertarikan dan penghargaan kepada aktivitas dan minat anggota keluarga
lain. Terdapat enam tipe keterlibatan dalam anggota keluarga:
1. Kurang terlibat : tidak ada keterlibatan satu sama lain
2. Keterlibatan tanpa perasaan : melibatkan hanya sedikit ketertarikan
sama lain, hanya sebatas untuk pengetahuan keluarga
3. Keterlibatan narsisistik : keterlibatan dengan anggota keluarga lain
hanya sebatas perilaku atau aktivitas tersebut memiliki manfaat bagi
diri sendirinya sendiri
4. Keterlibatan empatik : mau terlibat dengan anggota keluarga lain
demi kepentingan anggota keluarga lain.
5. Keterlibatan yang berlebihan : keterlibatan yang terlalu berlebihan
pada anggota keluarga lain
6. Keterlibatan simbiotik : keterlibatan yang ekstrem dan patologis satu
sama lain terlihat mengganggu hubungan.
Pada keluarga yang sehat, terjadi keterlibatan empatik. Keterlibatan
yang efektif adalah tergantung derajat keterlibatan antara anggota
keluarga.
6. Pengendalian tingkah laku
Pengendalian tingkah laku yang dimaksud adalah pola yang diadopsi oleh
keluarga untuk menangani perilaku anggota keluarga dalam tiga area. Tiga
area yang dimaksud adalah situasi yang membahayakan secara fisik,
situasi
yang
melibatkan
pemenuhan
kebutuhan
dan
dorongan
psikobiologis, situasi yang melibatkan perilaku sosialisasi interpersonal
24
baik di antara keluarga maupun dengan orang lain di luar keluarga.
7. Fungsi umum
Fungsi umum yang dimaksud adalah fungsi keluarga secara umum.
(Fahrudin, 2012; Staccini et al, 2015)
2.3 Kepribadian
2.3.1 Definisi Kepribadian
Kepribadian adalah totalitas dari ciri perilaku dan emosi yang merupakan
karakter atau ciri seseorang dalam kehidupan sehari-hari dalam kondisi yang
biasa. Kepribadian bersifat stabil dan dapat diramalkan (Mangidaan, 2010). Istilah
kepribadian berasal dari bahasa Latin “persona”, atau topeng yang dipakai orang
untuk menampilkan dirinya pada dunia luar, tetapi psikologi memandang
kepribadian lebih dari sekedar penampilan luar.(Feist, J; Feist, G. J., 2013)
Kepribadian menurut Kusumanto Setyonegoro adalah ekspresi keluar dari
pengetahuan dan perasaan yang dialami secara subyektif oleh seseorang. Selain
itu kepribadian adalah segala corak perilaku manusia yang terhimpun dalam
dirinya dan yang digunakan olehnya untuk bereaksi serta menyesuaikan diri
terhadap segala rangsang baik dari luar maupun dalam dirinya sehingga
perilakunya menjadi kesatuan fungsional yang khas dan unik dari seseorang
(Maramis & Maramis, 2009).
Menurut Allport, kepribadian adalah organisasi dinamis dari sistem
25
psikofisik individu yang menentukan caranya yang khas untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungannya. Perilaku seseorang bersifat ekspresif dan adaptif.
Kepribadian seseorang itu terorganisir dan terpola namun bersifat dinamis.(Feist
& Feist, 2013)
Kepribadian yang sehat adalah kepribadian yang matang yang memiliki
karakteristik berupa perilaku proaktif dimana seseorang mampu bertindak secara
sadar dalam lingkungannya melalui pendekatan yang baru dan inovatif serta
membuat lingkungannya memberi respons. Terdapat enam kriteria kepribadian
yang matang yaitu perluasan perasaan diri, hubungan yang hangat dengan orang
lain, keamanan emosional atau penerimaan diri, memiliki persepsi yang realistis
mengenai lingkungan sekitarnya, tilikan diri dan humor, filosofi kehidupan yang
integral (Feist & Feist., 2013).
Kepribadian memiliki faktor anteseden dan konsekuensi. Faktor anteseden
bersifat genetis dan biologis. Faktor konsekuansi meliputi variabel eksperimental
seperti pengalaman pengondisian, sensitivitas, ingatan dan perilaku sosial seperti
kriminalitas, kreativitas, psikopatologi dan perilaku seksual (Feist & Feist, 2013).
2.3.2. Tipe Kepribadian
Menurut Jung’s kepribadian dibagi menjadi dua macam, yaitu ekstraversi
dan introversi. Kepribadian ekstravesi adalah orientasi terhadap sesuatu diluar
dirinya sendiri. Kepribadian introversi adalah orientasi terhadap sesuatu di dalam
dirinya sendiri (Pearson, 2009).
Menurut Eysenck, terdapat tiga superfaktor umum dalam dimensi
kepribadian seseorang yaitu ekstraversi, neurotisme dan psikotik. Pada orang yang
26
ekstrovert memiliki karakteristik utama memiliki kemampuan bersosialisasi dan
sifat impulsif, senang bercanda, penuh gairah, cepat dalam berpikir, optimis serta
sifat yang menunjukkan mereka menghargai hubungannya dengan orang lain.
Pada superfaktor neurotisme terdapat kecemasan, histeria dan gangguan obsesif –
kompulsif. Orang dengan skor neurotisme yang tinggi memiliki kecenderungan
untuk bereaksi berlebihan secara emosional dan memiliki kesulitan untuk kembali
pada kondisi normal setelah terstimulasi secara emosional. Seseorang yang
memiliki dimensi neurotisme tinggi cenderung mengeluhkan gejala fisik seperti
sakit kepala, sakit punggung. Superfaktor yang ketiga adalah psikotik yang
merupakan faktor independen kepribadian. Psikotik adalah faktor yang bersifat
bipolar dimana psikotik di kutub satu, dan superego di kutub lainnya. Orang
dengan skor psikotik yang tinggi biasanya egosentris, dingin, tidak mudah
menyesuaikan diri, impulsif, kejam, agresif, curiga, psikopatik dan antisosial.
Orang dengan skor psikotik yang rendah cenderung bersifat altruis, mudah
bersosialisasi, empati, peduli, kooperatif, mudah menyesuaikan diri dan
konvensional. Seseorang dengan skor psikotik yang tinggi lebih rentan terhadap
stres dibandingkan yang memiliki skor yang rendah (Feist & Feist, 2013)
Tipe kepribadian ada beberapa macam menurut Minnesota Multiphasic
Personality Inventory (MMPI)-2 yaitu aggresiveness(AGGR-r), psychoticism
(PSYC-r), disconstraint (Disc-r), negative emotionally/neuroticism (NEGE-r),
introversion/low positive emotionally (INTR-r). Setiap orang memilliki semua
kepribadian tersebut, namun akan ada salah satu kepribadian yang menonjol.
Kepribadian ini disebut dengan Personality Psychopathology Five Scales (Psy-5).
27
Pada MMPI-180 hanya terdapat tiga skala kepribadian yang diambil dari MMPI-2
yaitu skala psychoticism, disconstraint dan introversion/low positive emotionally
(Hubertus, 2010). MMPI adalah suatu tes psikologi untuk mengidentifikasi
psikopatologi dan tipe kepribadian seseorang. MMPI merupakan sebuah
instrumen psikiatri dan psikologi yang sudah banyak digunakan untuk skrining
(Polimeni et al., 2010).
Pada skala psychoticism menilai berbagai pengalaman yang berhubungan
dengan gangguan proses pikir sebagai salah satu gejala dari psikotik. Bila nilainya
tinggi maka seseorang memiliki berbagai pengalaman yang berhubungan dengan
gangguan proses pikir. Bila nilainya rendah maka tidak terdapat pengalaman
gangguan proses pikir (Hubertus, 2010).
Pada seseorang yang menyalahgunakan NAPZA biasanya memiliki
kepribadian disconstraint dimana pada kepribadian dinilai ketaatan seseorang
terhadap peraturan yang berlaku. Bila nilainya tinggi berarti terdapat berbagai
perilaku yang tidak taat pada peraturan yang berlaku. Bila nilainya rendah maka
memiliki perilaku yang sangat taat terhadap peraturan yang berlaku (Hubertus,
2010).
Pada skala introversion/low positive emotionally dinilai kemampuan
merasakan kesenangan hidup. Bila nilainya tinggi maka seseorang kurang mampu
merasakan kesenangan hidup dan cenderung menyendiri. Bila nilainya rendah
maka berarti seseorang energik dan mampu merasakan kesenangan hidup
(Hubertus, 2010).
28
2.4 Fungsi Keluarga, Kepribadian dan Keparahan Ketergantungan Heroin
Terjadinya ketergantungan dapat disebabkan oleh karena fungsi keluarga
yang buruk. Fungsi keluarga dapat mempengaruhi berbagai aspek dalam
ketergantungan, baik itu penyebab ketergantungan, keparahan ketergantungan
maupun masalah terapi ketergantungan. Keparahan ketergantungan heroin dapat
terjadi apabila tidak terdapat faktor keluarga yang mendukung dalam pencegahan
terjadinya ketergantungan (Tsounis, 2013)
Menurut data penelitian di RSU dr. Soetomo, dari 61 sampel terdapat 31
sampel yang tidak patuh menjalani pengobatan di PTRM yang seluruhnya
memiliki fungsi keluarga yang buruk. Ketidakpatuhan dalam hal pengobatan akan
menyebabkan terjadinya keparahan ketergantungan heroin (Setyawan, 2007).
Kepribadian
sangat
mempengaruhi
keparahan
ketergantungan.
Ketergantungan dapat menjadi parah apabila terdapat faktor kepribadian yang
mendasari awal terjadinya ketergantungan heroin. Apabila seseorang memiliki
kepribadian yang baik maka akan menjadi tidak mudah untuk mengalami
ketergantungan.
Fungsi keluarga dan kepribadian saling mempengaruhi keparahan suatu
ketergantungan heroin. Fungsi keluarga yang buruk disertai dengan adanya
kepribadian yang tidak baik dalam hal ini disconstraint yang tinggi maka
ketergantungan heroin bertambah parah.
Download