ARTIKEL Pengembalian Aset Kejahatan Eddy OS Hiariej Keputusan

advertisement
DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA
Volume 13 Mei—Agustus 2013
ARTIKEL
Pengembalian Aset Kejahatan
Eddy O.S Hiariej
Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Piagam ASEAN:
Arti Penting bagi Nasib Perjanjian Lainnya
Damos Dumoli Agusman
Konsepsi Kedaulatan Negara dalam Borderless Space
Purna Cita Nugraha
Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian Internasional
Harry Purwanto
Implementasi Konvensi New York 1958 dalam Perkara-Perkara Arbitrase
Internasional di Indonesia
Mutiara Hikmah
RESENSI BUKU
Hukum Tentang Ekstradisi
AM. Sidqi
ISTILAH HUKUM
i
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional
OPINIO JURIS
Volume 13 Mei—Agustus2013
DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL
KEMENTERIAN LUAR NEGERI REPUBLIK INDONESIA
2013
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional
OPINIO JURIS
Volume 13 Mei—Agustus 2013
Diterbitkan oleh
Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional
Kementerian Luar Negeri
Sejak Oktober 2009
Penanggung Jawab
Linggawaty Hakim, SH, LL.M
Raudin Anwar, SH, LL.M
Redaktur
Yoshi Iskandar, SH; Kemal Haripurwanto, SH, LL.M; Amrih Jinangkung, SH, LL.M;
Elmar Iwan Lubis, SH; ADH. Irfan, SH; Drs.Sukarsono; Sudarsono, SH., MM.; Rofita,
SH.; Hendrar Pramudyo, SH.
Editor
AM. Sidqi, SIP; Santa Marelda Saragih, SH, MH.; Ratih Wulandari, SIP; Vina
Novianti, S.Hum; M. Ferdien, SH; Bibid Kuslandinu, SH.; Rike Octaviany, SH, LL.M.
Disain Grafis
AM. Sidqi, SIP; Drs. Didi Achmadi;
Sekretariat
Siti Fatimah, SH; Uki Subki, S.Sos, M.Si; Tasunah; Maisaroh, S.Sos
Alamat Redaksi:
Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional
Kementerian Luar Negeri
Jl. Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat
Telp. +62 21 3846633 Fax. +62 21 3858044; Email: [email protected]
Jurnal Opinio Juris versi digital dapat diunduh di website
http://pustakahpi.kemlu.go.id/
Tulisan yang dimuat dalam Jurnal Opinio Juris adalah pendapat dan
analisis pribadi dari para penulis dan tidak mewakili pandangan/posisi
Kementerian Luar Negeri dan/atau Pemerintah Republik Indonesia.
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
DAFTAR ISI
Daftar Isi ............................................................................................................ i
Pengantar Redaksi...........................................................................................ii
Pengembalian Aset Kejahatan ..................................................................... 1
Eddy O.S Hiariej
Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Piagam ASEAN: Arti
Penting Bagi Perjanjian Internasional Lainnya ..................................... 16
Damos Dumoli Agusman
Konsepsi Kedaulatan Negara dalam Borderless Space ......................... 22
Purna Cita Nugraha
Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian Internasional
.......................................................................................................................... 47
Harry Purwanto
Implementasi Konvensi New York 1958 dalam Perkara-Perkara
Arbitrase Internasional di Indonesia ....................................................... 81
Mutiara Hikmah
Resensi Buku .................................................................................................. 95
Hukum Tentang Ekstradisi
AM. Sidqi
Istilah Hukum .............................................................................................. 100
Tentang Penulis ........................................................................................... 103
i
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
PENGANTAR REDAKSI
Setelah dua volume sebelumnya mengangkat tema khusus yaitu:
Asset Recovery dan Hukum Laut, maka volume kali ini memuat tulisantulisan hukum dengan tema yang bervariasi. Hal ini merupakan
pertimbangan dari Redaksi guna menampilkan keanekaragaman isu
hukum internasional dan menjaga antusiasme serta ketertarikan para
pembaca.
Pada volume 13 tahun 2013 ini, redaksi menyajikan dua tulisan
bertemakan perjanjian internasional yaitu “Keberadaan Asas Rebus Sic
Stantibus dalam Perjanjian Internasional” oleh Harry Purwanto dan
“Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Piagam ASEAN: Arti Penting
bagi Perjanjian Lainnya” oleh Damos Dumoli Agusman dan tulisan
dengan tema yang bervariasi yaitu: “Pengembalian Aset Kejahatan” oleh
Eddy O.S. Hiariej, “Implementasi Konvensi New York 1958 dalam
Perkara-Perkara Arbitrase Internasional di Indonesia” oleh Mutiara
Hikmah dan “Konsepsi Kedaulatan Negara dalam Borderless Space” oleh
Purna Cita Nugraha. Dari sejumlah tulisan yang disajikan pada volume
kali ini, terdapat tulisan yang cukup aktual seperti tulisan tentang
Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang Piagam ASEAN.
Pada kesempatan ini, Redaksi Opinio Juris tetap mengajak para
pembaca untuk turut berkontribusi serta memberikan saran dan
masukannya demi peningkatan kualitas Opinio Juris di masa mendatang
melalui email [email protected].
Jurnal Opinio Juris volume 13 tahun 2013 dan volume sebelumnya
dapat pula dibaca dalam bentuk e-journal melalui website
http://pustakahpi.kemlu.go.id. Hal ini dimaksudkan agar para pembaca
yang tidak memperoleh hard copy-nya dapat mengakses dan terb uka luas
untuk publik.
ii
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Akhir kata, Redaksi Opinio Juris berharap agar jurnal ini dapat
menjadi sarana dalam menyebarluaskan berbagai informasi, wacana dan
wadah sumbangsih pemikiran di bidang hukum dan perjanjian
internasional yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri.
Redaksi Opinio Juris
iii
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
PENGEMBALIAN ASET KEJAHATAN1
Eddy O.S Hiariej
Abstrak
Sebagai negara dengan indeks persepsi korupsi yang rendah, negara
pihak pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang Korupsi,
dan peserta aktif dalam inisiatif pengembalian aset yang dicuri,
Indonesia perlu melakukan lebih banyak upaya dalam mengembalikan
aset-asetnya yang dicuri sebagai suatu bagian dari kebijakan nasional
untuk memerangi korupsi. Artikel ini membahas tiga hal yang
diperlukan untuk dipertimbangkan oleh Indonesia dalam pengembalian
aset yang dicuri, yaitu prasyarat pengembalian aset yang dicuri,
urgensi untuk membentuk hukum tentang pengembalian aset yang
dicuri dan rezim pengembalian aset yang dicuri. Dalam prasyarat
pengembalian aset yang dicuri, terdapat enam elemen yang dapat
mendukung pengembalian aset tersebut. Artikel ini juga memaparkan
urgensi pembentukan undang-undang tentang pengembalian aset yang
dicuri. Sementara dalam rezim pengembalian aset yang dicuri,
dijelaskan langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mendukung
pengembalian aset yang dicuri.
Kata Kunci: Piagam ASEAN, organisasi internasional, pengembalian
asset, korupsi.
Abstract
As a country with a low rating in corruption perception index, a State
Party to the United Nations Convention Against Corruption, and an
active participant in the Stolen Asset Recovery Initiative, Indonesia
needs to take more efforts in recovering its stolen asset as a part of
national measure to fight against corruption.
1
Artikel ini disampaikan pada Seminar Nasional dengan tema “Pengembalian Aset
Curian dan Praktik Pelaksanaannya di Indonesia,” kerja sama antara Fakultas Hukum
UGM dengan Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional, Kemlu, 4 Desember 2012.
1
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
This paper will discuss three things that need to be considered by
Indonesia in recovering its stolen asset, i.e. the stolen asset recovery
prerequisites, the urgency of having stolen asset recovery laws, and the
regime of asset recovery.
In the stolen asset recovery prerequisites, there are six items that will
support stolen asset recovery. This paper will elaborate the urgency of
having stolen asset recovery laws. While in the stolen asset recovery
law regime, it is explained which measures that must be taken to
succeed stolen asset recovery.
Keywords: ASEAN Charter, international organization, asset recovery,
corruption.
Pengantar
Upaya pengembalian aset negara ‘yang dicuri’ (stolen asset recovery)
melalui tindak pidana korupsi cenderung tidak mudah untuk dilakukan.
Para pelaku tindak pidana korupsi memiliki akses yang luar biasa luas
dan sulit dijangkau dalam menyembunyikan maupun melakukan
pencucian uang (money laundering) hasil tindak pidana korupsi.
Permasalahan menjadi semakin sulit karena tempat penyembunyian
(safe haven) hasil kejahatan tersebut melampaui lintas batas wilayah
negara. Bagi negara-negara berkembang, menembus berbagai
permasalahan pengembalian aset yang menyentuh ketentuan-ketentuan
hukum negara-negara besar akan terasa sulit. Terlebih jika negara
berkembang tersebut tidak memiliki hubungan kerja sama yang baik
dengan negara tempat aset curian disimpan. Belum lagi kemampuan
teknologi negara berkembang yang sangat terbatas. Padahal salah satu
sifat kejahatan korupsi adalah kemampuan pelakunya memanfaatkan
2
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
kemajuan teknologi di bidang perbankan karena transaksinya yang
bersifat rahasia, cepat, mudah dan tidak memerlukan uang kartal2.
Di Indonesia, korupsi menyebabkan kerugian besar keuangan negara.
Dicurigai, setidaknya ada empat negara maju – Singapura, Australia,
Amerika dan Swiss – sebagai tempat menyembunyikan ‘harta curian.’
Bahkan, harta tersebut seakan-akan dilindungi oleh aturan legal procedure
negara setempat yang mengaturnya sebagai bagian dari kerahasiaan bank
(bank secrecy act). Dengan demikian, akan mustahil untuk mengembalikan
aset kejahatan tersebut apabila negara-negara maju tidak berperan aktif
dan sungguh-sungguh membantu pengembalian aset tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, makalah ini akan mengulas tiga hal
penting dalam rangka pengembalian aset negara, yakni prasyarat
pengembalian aset, urgensi undang-undang pengembalian aset, dan
rezim hukum pengembalian aset.
Prasyarat Pengembalian Aset
Pengembalian aset suatu negara yang telah dicuri, kendatipun tidak
selamanya terkait erat dengan hasil kejahatan, yang paling dominan
biasanya berhubungan dengan berbagai kejahatan ekonomi yang
meliputi korupsi, kejahatan perpajakan, kejahatan perbankan,
perdagangan narkotika dan obat-obat terlarang serta kejahatan pencucian
uang. Pencurian aset juga sering kali bertalian dengan suatu rezim
otoriter yang korup.
Oleh karena itu, untuk mengembalikan aset-aset yang telah dicuri,
salah satu prasyarat yang dibutuhkan adalah kemauan politik negara3.
2
Sambutan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pada Pembukaan Seminar Tentang
Implikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 terhadap Sistem Hukum Nasional, BPHN
Depkumham RI dan FH Universitas Udayana, Denpasar-Bali, 14 Juni 2006.
3
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Tidak hanya kemauan politik pemerintah semata sebagai eksekutif, tetapi
juga kemauan politik dari parlemen dan lembaga yudikatif.
Kemauan politik dari parlemen terkait dengan seperangkat aturan
hukum yang harus disiapkan mulai dari pelacakan aset, pembekuan aset,
penyitaan aset, perampasan aset, pengelolaan aset, penyerahan aset
sampai pada pemanfaatan dan pengawasan aset yang telah diserahkan.
Demikian pula yang berkaitan dengan pengaturan mengenai hubungan
kerja sama timbal balik antarnegara. Dalam konteks yang demikian,
peranan parlemen untuk membentuk undang-undang sangat dominan.
Sudah barang tentu undang-undang yang dibentuk seyogyanya
memudahkan kinerja aparat penegak hukum dalam rangka
pengembalian aset tersebut. Sementara kemauan politik dari lembaga
yudikatif terkait dengan sistem peradilan yang transparan, akuntabel dan
dapat dipercaya.
Apabila kemauan politik dari parlemen dan lembaga yudikatif
tersebut telah ada, barulah kemudian yang dibutuhkan adalah kemauan
politik pemerintah yang biasanya ditindaklanjuti dengan langkah hukum.
Kemauan politik negara yang sungguh-sungguh dalam rangka
pengembalian aset merupakan jaminan utama bagi para aparat penegak
hukum untuk bertindak secara leluasa berdasarkan seperangkat aturan
yang ada tanpa tekanan atau beban psikologis apapun.
Pengalaman beberapa negara yang berhasil mengembalikan aset-aset
yang telah dicuri oleh rezim yang korup dan otoriter menunjukan bahwa
kemauan politik negara sangat menentukan. Di Filipina, beberapa hari
setelah runtuhnya rezim Ferdinand Marcos, Pemerintah Filipina di
3
Negara di sini meliputi tiga kekuasaan, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif,
sebagaimana sistem separation of power atau pemisahan kekuasaan yang dikemukakan
oleh Montesquieu. Lihat selanjutnya dalam Montesquieu, 2007, The Spirit of Laws,
diterjemahkan oleh M. Khoril Anam, Nusamedia, Bandung, hlm. 106.
4
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
bawah kepemimpinan Corazon Aquino membentuk The Presidential
Commission on Good Government (PCGG) yang bertugas
mengembalikan aset yang telah dicuri Marcos. Langkah pertama yang
dilakukan PCGG adalah membuka perwakilan informal di pengadilan
Amerika dan Swiss untuk mendapatkan informasi dan kemudian
meminta membekukan aset Marcos. Syarat yang diajukan oleh kedua
negara tersebut adalah agar pengadilan di Filipina mengajukan gugatan
yang intinya untuk mengambil alih simpanan Marcos. Selanjutnya, PCGG
mengajukan gugatan perdata ke Sandiganbayan4 dan setelah itu asetnya
dapat dikembalikan dalam kurun waktu kurang lebih 17 tahun.
Demikian pula yang terjadi di Nigeria setelah berakhirnya rezim Sani
Abacha. Presiden Obasanjo membentuk Special Police Investigation (SPI)
untuk mengembalikan aset yang dicuri Abacha. Lebih sederhana dari apa
yang pernah ditempuh Filipina, SPI meminta bantuan Swiss Law Firm,
Mofrini And Partners.
Begitu juga yang terjadi di Peru, Presiden Alberto Fujimori
membentuk Special Prosecutor untuk menyelidiki kasus Vladimiro
Montesinos yang mencuri aset negara sekitar US$ 2 miliar. Jauh lebih
mudah dari apa yang terjadi di Filipina dan Nigeria, pengembalian aset
di Peru dengan cepat dilakukan karena Vladimiro Montesinos sebagai
pelaku utama masih hidup5.
Selain masalah political will, harmonisasi peraturan perundangundangan dan sistem peradilan adalah hal penting dalam rangka
pengembalian aset. Seperti yang telah diutarakan di atas, bahwa
pengembalian aset tidak selalu berkaitan dengan kejahatan korupsi tetapi
4
Sadiganbayan adalah pengadilan khusus di Filipina untuk mengadili kejahatan korupsi
dan penyelewenagan lainnya yang dilakukan oleh pejabat publik.
5
Peter Mahmud Marzuki, 2007, StAR Initiative Dalam Perspektif Hukum Perdata,
Newsletter KHN, Vol. 8, No. 1, Januari – Februari 2008, hlm. 14.
5
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
juga dengan kejahatan lainnya. Bahkan tidak selamanya pengembalian
aset terkait perkara pidana, namun dapat juga perkara perdata. Oleh
karena itu, masalah pengembalian aset membutuhkan harmonisasi
peraturan perundang-undangan dan sistem peradilan yang tepat.
Harmonisasi peraturan perundang-undangan yang dimaksud adalah
agar tidak terjadi tumpang tindih antara ketentuan undang-undang yang
satu dengan ketentuan undang-undang yang lain. Dalam konteks
Indonesia, kejahatan-kejahatan yang berpotensi menimbulkan pencurian
aset negara, seharusnya memiliki rezim hukum tersendiri. Sebagai
konsekuensi lebih lanjut, penegakan hukum untuk memproses kejahatankejahatan tersebut secara prosedural dapat berbeda dengan yang telah
ada.
Selanjutnya yang akan diulas adalah sistem peradilan. Berkaitan
dengan sistem peradilan, tidak mungkin dipisahkan dari sistem hukum
yang berlaku di sebuah negara. Hal ini adalah suatu kewajaran sebab
sistem peradilan adalah sebagai salah satu sub sistem dari sistem hukum
nasional secara keseluruhan yang dianut oleh suatu negara. Oleh sebab
itu, setiap negara di dunia ini mempunyai sistem peradilan, yang
meskipun secara garis besar hampir sama, namun memiliki karakter
tersendiri yang disesuaikan dengan kondisi sosial masyarakat, budaya
dan politik yang dianut6.
Secara sederhana, sistem peradilan, dalam hal ini adalah sistem
peradilan pidana, adalah proses yang dilakukan oleh negara terhadap
orang-orang yang melanggar hukum pidana. Proses itu dimulai dari
kepolisian, kejaksaan dan akhirnya pengadilan. Sebagaimana yang
diungkapkan Carvadino dan Dignan bahwa sistem peradilan pidana
6
Eddy, O.S Hiariej, 2005, Criminal Justice System In Indonesia, Between Theory and
Reality, Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean Legislation Research
Institute, hlm. 25.
6
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
adalah ”A term covering all those institution which respond officially to the
commission of offences, notably the police, prosecution authorities and the
court”7. Dengan kata lain, sistem peradilan pidana ini tidak hanya
mencakup satu institusi tetapi berkaitan erat dengan beberapa institusi
negara yang menurut Feeney pekerjaan aparat penegak hukum yang satu
akan memberikan dampak dan beban kerja kepada aparat penegak
hukum yang lain8.
Dalam perkembangan selanjutnya, sistem peradilan pidana dengan
model due process mendominasi sistem peradilan pidana di berbagai
belahan dunia karena dianggap lebih menjamin hak asasi manusia, lebih
transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Selain itu, instrumen
hukum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan
pemberantasan suatu kejahatan juga mulai menggunakan due process of
law dalam sistem beracaranya.
Mengingat proses pengembalian aset akan berhadapan dengan lebih
dari satu sistem hukum, Indonesia sebaiknya menggunakan sistem
peradilan dengan model yang diterima secara universal, yakni due process
of law.
Sementara dalam sistem peradilan perdata, pada hakekatnya
memiliki karakteristik yang sama hampir di seluruh dunia, yaitu inisiatif
beracara datang dari para pihak, hakim bersifat pasif dan kebenaran yang
dicari adalah kebenaran formal yang terikat pada alat bukti yang sah
menurut undang-undang.
Prasyarat pengembalian aset berikutnya adalah kerja sama
kelembagaan, yakni kerja sama antarlembaga yudisial dan lembaga-
7
Michael Cavadino and James Dignan, 1997, The Penal Sistem An Introduction, SAGE
Publication Ltd. hlm. 7.
8
University Of Leicester, 1998, Modul 5, “Issues In The Criminal Justice Process”,
Scarman Center, University Of Leicester, hlm.24.
7
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
lembaga ekstrayudisial. Hal ini mengingat beberapa hal: Pertama,
pengembalian aset tidak selamanya berkaitan dengan kejahatan atau
pidana, dapat saja aset yang akan dikembalikan berada dalam wilayah
rezim hukum keperdataan. Kedua, tidak selamanya pula aset yang akan
dikembalikan, disimpan dalam bentuk uang, deposito, giro, saham atau
sejenisnya, namun juga aset yang dicuri dalam wujud benda, misalnya
tanah. Ketiga, kendatipun aset yang akan dikembalikan tersebut dalam
bentuk uang, deposito, giro atau sejenisnya, kerja sama antarlembaga
tetap dibutuhkan dalam rangka mempermudah pengembalian aset.
Jika aset yang akan dikembalikan berada dalam rezim hukum
keperdataan, tidak menutup kemungkinan adanya gugatan pihak ketiga
terhadap aset tersebut. Demikian pula jika aset yang dicuri dalam bentuk
benda tidak bergerak seperti tanah, maka dalam rangka pembekuan,
penyitaan dan pengembalian aset, dibutuhkan kerja sama dengan Badan
Pertanahan Nasional. Sementara jika aset yang dicuri kemudian ‘dicuci’
seolah-olah merupakan aset yang diperoleh secara legal, maka kerja sama
dengan lembaga lainnya seperti Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) mutlak dibutuhkan.
Prasyarat terakhir pengembalian aset adalah kerja sama internasional
yang meliputi kerja sama bilateral maupun kerja sama multilateral.
Pengembalian aset yang berada di luar wilayah teritorial Indonesia
tentunya memerlukan kerja sama bilateral antarnegara. Pengembalian
aset merupakan tujuan dan salah satu prinsip dalam Konvensi PBB
mengenai antikorupsi dengan tujuan utama kerja sama internasional
dalam pemberantasan korupsi. Pengembalian aset erat terkait dengan
kejahatan korupsi, dan menurut konvensi tersebut, korupsi merupakan
kejahatan internasional. Terlebih saat ini, Komisi Hukum PBB sedang
membahas untuk memasukkan korupsi dan narkotika sebagai yurisdiksi
Mahkamah Pidana Internasional. Jika hal tersebut disetujui, maka
konsekuensi selanjutnya yang berlaku adalah asas universal yang berarti
8
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
bahwa setiap negara berhak melakukan penuntutan terhadap pelaku
kejahatan internasional.
Urgensi Undang-Undang Pengembalian Aset di Indonesia
Paling tidak ada enam alasan yang mendasari perlunya undangundang pengembalian aset di Indonesia. Pertama, indeks prestasi korupsi
di Indonesia cukup mencengangkan dalam beberapa tahun terakhir ini
dan hanya bisa disamai oleh Mexico. Sudah barang tentu uang yang
dikorupi sebagian besar tidak berputar di Indonesia tetapi dilarikan ke
luar negeri.
Kedua, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against
Corruption (UNCAC) dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 yang
mana asset recovery merupakan salah satu prinsip dasar dari konvensi
tersebut. Konsekuensi lebih lanjut, Indonesia harus segera menghasilkan
sejumlah peraturan perundang-undangan pelaksana – termasuk undangundang pengembalian aset – sesuai dengan konvensi tersebut.
Ketiga, Indonesia telah mengatur tentang mutual legal assistance dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006, yang mana salah satu prinsip
dasarnya adalah asas resiprokal. Jika Indonesia menginginkan asetnya
yang telah dicuri dan dibawa ke luar negeri dikembalikan, maka
Indonesia pun harus mempunyai pengaturan yang jelas mengenai
pengembalian aset yang juga menjamin pengembalian aset dari negara
lain yang disimpan di Indonesia.
Keempat, Indonesia berperan aktif dalam Stolen Asset Recovery (StAR)
Initiative yang mana dibutuhkan kerja sama internasional, baik bilateral,
maupun multilateral dalam rangka pengembalian aset tersebut.
Keberadaan undang-undang pengembalian aset, berdasarkan sejumlah
instrumen hukum internasional maupun hukum nasional yang ada,
merupakan suatu keniscayaan yang harus segera dibentuk sebagai bagian
dari paket undang-undang antikorupsi.
9
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Kelima, banyak kejahatan yang terjadi di Indonesia dalam kurun
waktu 10 tahun terakhir ini menimbulkan kerugian yang besar bagi
keuangan negara, termasuk kejahatan-kejahatan yang menghasilkan aset
yang cukup besar. Kejahatan-kejahatan yang asetnya menjadi ruang
lingkup pengembalian aset adalah korupsi, pencucian uang, terorisme,
perdagangan orang, penyelundupan senjata, narkotika, psikotropika, hak
kekayaan intelektual, kepabeanan dan cukai, kehutanan serta perikanan.
Keenam, pengembalian aset merupakan salah satu “missing link”
dalam upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Rumusan dan
implementasi yang efektif tentang pengembalian aset hasil korupsi
memiliki makna ganda bagi pemberantasan kejahatan korupsi di
Indonesia. Pertama, implementasi yang efektif dari ketentuan tentang
pengembalian aset tersebut akan membantu negara dalam upaya
menanggulangi dampak buruk dari kejahatan korupsi. Kedua, adanya
legislasi yang memuat klausula tentang pengembalian aset hasil
kejahatan korupsi merupakan pesan jelas bagi para pelaku korupsi
bahwa tidak ada lagi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan
hasil kejahatan korupsi (no safe haven), baik harta kekayaan Indonesia
yang dilarikan ke luar negeri maupun harta kekayaan luar negeri yang
ada di Indonesia.
Rezim Hukum Pengembalian Aset
Dalam kaitan dengan rezim hukum pengembalian aset,
pertanyaannya adalah apakah hukum pengembalian aset termasuk ke
dalam rezim hukum perdata ataukah pidana. Hukum privat atau
perdata, adalah hukum yang mengatur tata tertib masyarakat mengenai
keluarga dan mengenai kekayaan para individu, dan mengatur pula
perhubungan hukum yang diadakan antara para individu yang satu
dengan yang lain, antara individu dengan badan negara, bilamana badan
10
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
negara turut serta dalam pergaulan hukum sebagai atau seolah-olah
individu”9.
Sedangkan hukum publik, yang mana di dalamnya termasuk pula
hukum pidana, mengatur hubungan antara individu dengan negara.
Secara lebih spesifik, hukum pidana merupakan “hukum yang
melindungi kepentingan yang diselenggarakan oleh peraturan-peraturan
hukum privat atau perdata maupun kepentingan yang diselenggarakan
oleh peraturan-peraturan hukum publik. Hukum pidana melindungi
kedua macam kepentingan itu dengan membuat suatu sanksi istimewa”10.
Dalam konteks yang demikian, rezim hukum pengembalian aset
tentunya tidak dapat dikualifikasi sebagai hukum pidana. Akan tetapi,
mengingat pengembalian aset berkaitan dengan aset-aset yang dihasilkan
atau digunakan dalam suatu kejahatan tertentu, maka sangat erat
kaitannya dengan hukum acara pidana, yang juga merupakan bagian dari
rezim hukum pidana atau hukum administrasi negara.
Berdasarkan hal-hal di atas dan dengan memperhatikan hukum
pengembalian aset sebagai suatu ketentuan hukum yang mengatur tata
cara negara untuk mengembalikan dan mengelola aset yang digunakan
atau dihasilkan dari suatu tindak pidana, maka ketentuan yang mengatur
tata cara pengembalian aset haruslah merupakan ketentuan hukum yang
masuk ke dalam rezim hukum publik yang memiliki karakteristik
tersendiri dan dinamakan sebagai Hukum Acara Pengembalian Aset.
Secara garis besar hukum acara pengembalian aset dapat dibagi
menjadi dua. Pertama, pengembalian aset yang diduga terkait dengan
kejahatan dan dalam waktu yang bersamaan pokok perkara pidananya
sedang diproses. Kedua, pengembalian aset yang diduga terkait dengan
9
E.Utrecht, 1956, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, NV Penerbitan dan Balai Buku
Indonesia, hlm. 94.
10
Ibid., hlm. 108.
11
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
kejahatan, dengan tidak ada pokok perkara pidananya. Akan tetapi,
pemeriksaan pengembalian aset yang diduga terkait dengan kejahatan,
baik yang pertama maupun yang kedua, adalah hal yang terpisah
pemeriksaannya dengan pokok perkara pidana yang sedang disidangkan.
Dalam hal yang pertama, kewenangan untuk melacak, membekukan
dan menyita ada pada penyidik, baik penyidik Polri, Kejaksaan, maupun
penyidik pegawai negeri sipil lainnya yang diperintah oleh undangundang atas kejahatan yang merupakan cakupan dari rezim hukum
pengembalian aset. Dalam melakukan pelacakan, penyidik dapat
meminta bantuan lembaga pengelola aset. Sedangkan dalam hal
pembekuan – selama aset tersebut berupa uang atau saham – dan
penyitaan, dilakukan oleh penyidik setelah mendapat izin berupa
penetapan dari pengadilan negeri yang berwenang.
Selanjutnya, terkait pengelolaan, penyerahan sampai pada
pengawasan terhadap aset tersebut dilakukan oleh lembaga pengelolan
aset. Pengelolaan aset dilakukan selama putusan tersebut belum
mempunyai kekuatan hukum tetap, sementara penyerahan aset
dilakukan jika putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Pada
saat pengelolaan tersebut, dimungkinkan gugatan dari pihak ketiga atas
aset tersebut, dan jika dikabulkan, maka setelah putusan tersebut
mempunyai kekuatan hukum tetap, barulah diserahkan kepada pihak
ketiga yang berhak dan juga kepada negara.
Dalam hal yang kedua, pengembalian aset dilakukan oleh jaksa
pengacara negara dengan mengajukan “Permohonan Penyitaan,
Perampasan dan Pengembalian Aset” kepada pengadilan negeri yang
berwenang. Pada saat melakukan pemeriksaan atas permohonan jaksa
pengacara negara, intervensi dari pihak ketiga juga dimungkinkan.
12
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Selain itu, ada pemikiran lain perihal proses acara pengembalian aset,
yakni dengan afdoening buiten process11 atau penyelesaian di luar proses.
Kendatipun tetap diakomodasi dalam hukum acara pidana, namun
afdoening buiten process tidak serumit “Permohonan Penyitaan,
Perampasan dan Pengembalian Aset”. Afdoening buiten process memiliki
dua bentuk, yaitu submissie dan compositie. Pada submissie, jika terdakwa
dan jaksa penuntut umum memaparkan persoalan kepada hakim karena
sulitnya pembuktian, maka akan diambil keputusan tanpa proses
pemeriksaan lebih lanjut. Sedangkan compositie dipergunakan oleh jaksa
penuntut umum. Di sini terdakwa dapat mencegah atau menghentikan
proses penuntutan dengan cara membayar sejumlah uang tertentu12.
Dalam konteks pengembalian aset, kiranya afdoening buiten process
yang lebih tepat adalah bentuk submissie. Jika pengembalian aset terkait
dengan pokok perkara pidana yang sedang disidangkan, maka terdakwa
yang hartanya akan disita bersama-sama dengan dengan penuntut umum
mengajukan permohonan kepada hakim untuk mengeluarkan penetapan
agar harta tersebut disita dan diserahkan kepada lembaga pengelolaan
aset tanpa proses pemeriksaan lebih lanjut karena sulitnya pembuktian
dari kedua belah pihak. Terhadap terdakwa yang hartanya telah disita
dan dikembalikan maka dapat dijatuhkan pidana yang lebih ringan.
Sementara jika pengembalian aset yang diduga terkait dengan kejahatan
tanpa pokok perkara pidana yang sedang diperiksa, maka orang atau
pihak yang hartanya akan disita bersama-sama dengan jaksa pengacara
negara mengajukan permohonan kepada hakim untuk mengeluarkan
penetapan agar harta tersebut disita dan diserahkan kepada lembaga
11
Afdoening buiten process diatur dalam pasal 82 sampai pasal 84 WvS 1993 dan hanya
dikhususkan untuk pelanggaran-pelanggaran yang ancaman pidananya hanya denda.
12
Jan Remmelink, Op.Cit., hlm.442 – 443.
13
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
pengelolaan aset tanpa proses pemeriksaan lebih lanjut karena sulitnya
pembuktian dari kedua belah pihak.
Dalam rangka mempermudah pembuktian pengembalian aset
berdasarkan “positive wettelijk bewijs teorie”, beban pembuktian atau
bewijslast yang harus diterapkan adalah omkering van bewijslast atau
pembuktian terbalik. Dalam konteks pengembalian aset, jika negara yang
diwakili oleh jaksa pengacara negara akan meminta pembekuan,
penyitaan bahkan sampai pada pengembalian aset, orang atau pihak
yang mendaku bahwa aset tersebut adalah miliknya, dialah yang
dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh
secara legal. Artinya, aset tersebut diperoleh bukan dari suatu perbuatan
yang melawan hukum.
Apabila orang atau pihak yang mendaku memiliki hak atas aset yang
akan disita dapat membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara sah,
maka jaksa pengacara negara dibebani kewajiban untuk membuktikan
sebaliknya. Akan tetapi, jika orang atau pihak yang mendaku memiliki
hak atas aset yang akan disita tidak dapat membuktikan bahwa aset
tersebut diperoleh secara sah, maka pengadilan menjatuhkan putusan
untuk menyatakan aset tersebut adalah milik negara dan memerintahkan
pembekuan, penyitaan dan pengembalian aset tersebut.
Daftar Pustaka
Atmasasmita, Romli, 2003, Ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Menentang
Korupsi Dan Implikasinya Terhadap Sistem Hukum Pidana Indonesia, dalam
Makalah Seminar Tentang Implikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 Terhadap
Sistem Hukum Nasional, Diselenggarakan oleh; Badan Pembinaan Hukum
Nasional Departemen Hukum dan HAM RI, di Bali tanggal; 14-15 Juni 2006.
________________, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek
Internasional, Mandar Maju, Bandung.
Bassiouni, Cherif M., 2003, Introduction to International Criminal Law, Transnational
Publishers, Inc., Ardsley, New York.
Cavadino, Michael and Dignan James, 1997, The Penal Sistem An Introduction, SAGE
Publication Ltd.
14
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Hiariej, Eddy O.S., 2005, Crimnal Justice System In Indonesia, Between Theory And
Reality, Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean Legislation
Research Institute.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi pada Sambutan Pembukaan Seminar Tentang
Implikasi Konvensi Anti Korupsi 2003 terhadap Sistem Hukum Nasional, BPHN
Depkumham RI dan FH Universitas Udayana, Denpasar-Bali, 14 Juni 2006.
Marzuki, Peter Mahmud, 2007, StAR Initiative Dalam Perspektif Hukum Perdata,
Newsletter KHN, Vol. 8, No. 1, Januari – Februari 2008.
Mertokusumo, Sudikno, 2003, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta.
Montesquieu, C.S.B.D., 2007, The Spirit Of Laws, diterjemahkan oleh M.khoril Anam,
Nusamedia, Bandung.
Remmelink, Jan, 2003, Hukum Pidana: Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya Dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta.
Stolpe, Oliver, 2008, Legal Framework on Asset Recovery – The UN Convention Against
Corruption.
The International Bank For Reconstruction and Development / The World Bank, 2007,
Stolen Asset Recovery ( StAR) Initiatives: Challenges, Opportunities and Action
Plan, Washington, 2007.
United Nations Convention Against Corruption.
University Of Leicester, 1998, Modul 5, “Issues In The Criminal Justice Process”,
Scarman Center, University Of Leicester.
Utrecht, E., 1956, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, NV Penerbitan dan Balai Buku
Indonesia.
15
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG
PIAGAM ASEAN: ARTI PENTING BAGI PERJANJIAN
INTERNASIONAL LAINNYA
Damos Dumoli Agusman
Abstrak
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang apakah Piagam ASEAN
bertentangan dengan UUD 1945 telah memberikan gambaran lebih
mengenai politik hukum Indonesia terhadap hubungan antara
perjanjian internasional dan hukum nasional. Dalam putusan MK,
yang disertai dengan opini berbeda (dissenting opinion) dari
beberapa hakim, dinyatakan bahwa MK memiliki kewenangan untuk
menguji Piagam ASEAN secara materiil. Pernyataan tersebut
didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam perspektif hukum formal,
Piagam ASEAN dipandang telah menjadi bagian dari hukum nasional
dengan ratifikasi melalui undang-undang. Alasan ini yang kemudian
dikaji oleh penulis berdasarkan teori-teori di dalam hukum
internasional dan praktik-praktik di negara lain.
Kata kunci: Piagam ASEAN, Mahkamah Konstitusi, perjanjian
internasional, ratifikasi, hukum nasional, teori monisme, teori
dualisme.
Abstract
The decision of Indonesian Judicial Court on the case that questioning
whether the ASEAN Charter is inconsistent with the Indonesian
Constitution has given more views on Indonesian legal politics
regarding the relation between treaty and national law. In the Judicial
Court’s decision, with dissenting opinion from some of the judges, it is
stated that the Judicial Court has legal standing to materially examine
the ASEAN Charter. Such statement resulted from the consideration
that in formal legal perspective, the ASEAN Charter has become a part
of national law through ratification by law. This reasoning that will be
then analyzed by the writer of this article based on theories in
international law and practices in other countries.
Keywords: ASEAN Charter, Judicial Court, international treaty,
ratification, national law, theory of dualism, theory of monism.
16
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Setelah ditunggu hampir 2 tahun pasca diajukannya gugatan oleh
sejumlah LSM tanggal 5 Mei 2011, akhirnya Mahkamah Konstitusi (MK)
pada Selasa, 26 Februari 2013 menentukan sikap terhadap nasib Piagam
ASEAN. Dalam amar putusannya, MK menyatakan menolak
permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Artinya, Piagam ASEAN
tidak bertentangan dengan UUD.
Putusan ini mungkin melegakan Pemerintah karena menjadi
terhindar dari kemungkinan pelanggaran kewajiban internasionalnya,
namun bukan berita yang menggembirakan bagi para pakar hukum
khususnya hukum internasional. Bagi kalangan ini, bukan hasil
putusannya yang penting namun argumen yang menggiring ke arah
putusan itu, karena argumen ini (sering disebut ratio decidendi) kelak akan
menentukan nasib perjanjian-perjanjian internasional lainnya.
MK mengatakan bahwa lembaga ini berwenang untuk menguji
Piagam ASEAN karena dokumen ini tidak lain dan tidak bukan adalah
bagian yang tak terpisahkan dari UU yang merupakan objek yang sah
untuk diuji oleh MK. Karena secara formal Piagam ini adalah UU maka
tidak ada alasan bagi MK untuk tidak dapat mengujinya. Setelah
memutuskan bahwa MK berwenang, selanjutnya para Hakim masuk ke
materi Piagam ASEAN dan menemukan bahwa Pasal 5 ayat (2) ASEAN
Charter yang dipersoalkan oleh Pemohon adalah kebijakan makro dan
belum berlaku efektif. Secara nasional berlakunya kebijakan makro
tersebut tergantung kepada masing-masing negara anggota ASEAN
untuk melaksanakan. Atas argumen ini maka gugatan pemohon tidak
beralasan menurut hukum.
Argumen ini telah menguak politik hukum Indonesia tentang
perjanjian internasional yang selama ini masih misteri dan dalam literatur
masih diperdebatkan. Dengan tegas MK memberi pesan bahwa selama
perjanjian internasional dibuat dalam bentuk UU maka semua perjanjian
internasional dapat diuji oleh MK. Artinya, semua perjanjian
17
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
internasional lainnya dapat diuji dan berpotensi untuk dinyatakan
bertentangan dengan UUD. Argumen ini sangat logis dan dapat
dipahami. Namun yang lebih menarik adalah bahwa MK telah memilih
aliran hukum yang menjadi kontroversi selama ini bahwa UU yang
meratifikasi Piagam ASEAN tidak berbeda dengan UU lainnya dan tidak
menemukan alasan yang meyakinkan mengapa UU ini harus dibedakan
dengan UU lainnya, sekalipun tersedia doktrin yang menyatakan
sebaliknya.
Argumen apakah Piagam ASEAN ini merupakan UU sudah sering
diperdebatkan dalam dunia akademis. Kontroversi ini tampaknya
mengemuka dalam perdebatan para hakim konstitusi. Dua hakim
Konstitusi melalui dissenting opinion keberatan dengan argumen yang
mengidentikkan UU No. 38/2008 dengan UU pada umumnya. Menurut
kedua hakim ini: ‘memang benar, formil UU 38/2008 adalah UndangUndang, tetapi materilnya bukanlah Undang-Undang dan tidak dapat
dijadikan obyek pengujian undang-undang yang menjadi wewenang
Mahkamah. Selanjutnya ditegaskan bahwa UU ini bukanlah suatu
peraturan perundang-undangan yang substansinya bersifat normatif,
yang adressat normanya dapat secara langsung ditujukan kepada setiap
orang, tetapi merupakan persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat
terhadap perjanjian internasional yang telah dibuat oleh Pemerintah
untuk memenuhi Pasal 11 UUD 1945, dan diberi ”baju” dengan UU.
Kontroversi tentang status UU yang meratifikasi suatu perjanjian
internasional juga melanda sistem hukum lainnya. Pengadilan Belanda
pernah mengalami perdebatan ini. Beberapa ahli menilai UU (Wet)
ratifikasi memiliki 2 fungsi yaitu, menyetujui Raja/Ratu melakukan
ratifikasi terhadap perjanjian dan sekaligus menjadikan perjanjian itu
menjadi hukum nasional yang setara dengan UU. Namun pengadilan
Belanda pada 2 Januari 1899 menolak argumen ini dalam kasus
”Konvensi Manhnheim on Rhine Navigation (1868) dengan menyatakan
bahwa kekuatan hukum Konvensi ini tidak bersumber dari Wet yang
18
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
mengesahkannya melainkan pada tindakan pertukaran instrumen
ratifikasi antara kedua negara (Belanda dan Jerman). Jurisprudensi ini
menyelesaikan perdebatan pada waktu itu dan kemudian menjadi politik
hukum dalam revisi Konstitusi Belanda tahun 1953 yang secara tegas
menempatkan perjanjian berada di atas hukum nasional Belanda dan
bahkan di atas Konstitusi.
Negara berkembang seperti Kolombia juga telah menuntaskan
persoalan klasik ini pada awal abad 20. Duduk perkaranya sama dengan
yang dialami oleh MK saat ini. UU No. 14 Tahun 1914 yang meratifikasi
Treaty antara AS dan Kolombia tentang pengakuan kedaulatan Panama
digugat ke Pengadilan Kolombia karena bertentangan dengan UUD.
Pengadilan Kolombia tidak tertarik mengulas tentang apakah benar treaty
ini bertentangan dengan UUD, melainkan hanya menjawab apakah
Pengadilan memiliki kewenangan untuk menguji UU No. 14 Tahun 1914
dan treaty. Pengadilan ternyata berpendapat bahwa sekalipun UU ini
adalah produk legislatif namun tetap harus dibedakan dengan UU pada
umumnya. UU ini hanya merupakan wujud ekspresi unilateral dari
Kolombia untuk mengikatkan diri terhadap suatu perjanjian dan tidak
menjadikan perjanjian itu berkekuatan mengikat karena masih
tergantung pada tindakan yang sama dari negara pihak lainnya.
MK dalam pengujian Piagam ASEAN ternyata mengambil sikap yang
sangat berbeda dengan kedua negara di atas. Tampaknya terdapat
kesulitan juridis bagi sebagian besar hakim konstitusi untuk keluar dari
asas legalitas bahwa UU yang meratifikasi suatu perjanjian tidak lain dan
tidak bukan adalah UU. Kesulitan ini dapat terbaca karena di bagian lain
MK mengatakan bahwa pilihan bentuk hukum ratifikasi perjanjian
internasional dalam bentuk formil Undang-Undang perlu ditinjau
kembali. Namun sayangnya, kesimpulan ini dibangun dari premis yang
agak lain dan terkesan bahwa mengambil bentuk UU adalah sistem yang
keliru. Pilihan bentuk UU untuk persetujuan DPR bukan hal yang baru
dalam praktek negara-negara. Belanda, Kolombia, Jerman dan banyak
19
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
negara lainnya memilih bentuk formil UU untuk persetujuan DPR. Dalam
hal ini, bukan bentuk formil UU ini yang menjadi akar masalah namun
bagaimana MK memberi makna terhadap UU ini yang menjadi faktor
penentu. Dalam hal ini, Prof. Utrecht, seorang pakar hukum di awal
kemerdekaan, mengartikan lain bahwa suatu perjanjian internasional
yang disetujui DPR dan dituangkan dalam suatu undang-undang
persetujuan (goedkeuringswet) adalah UU yang bersifat formil saja.
Di lain pihak terdapat pula argumentasi MK yang kelihatannya logis
dari sisi hukum tata negara namun menjadi tidak logis dalam hukum
internasional. Bagi MK, pemuatan Piagam ASEAN di Jakarta ke dalam
UU 38/2008 dinilai sebagai pemindahan format treaty ke dalam format UU
yang memiiki konsekuensi bahwa negara pihak harus terikat pada UU
ini. Padahal dalam konsepsi hukum publik dikenal suatu model
masuknya perjanjian internasional ke dalam hukum nasional melalui
proses transformasi. Teori transformasi menjelaskan bahwa Piagam
ASEAN dalam formatnya sebagai treaty mengikat semua negara pihak
dalam tataran hukum internasional, sedangkan UU 38/2008 jika hendak
dianggap sebagai UU transformasi maka hanya diartikan sebagai Piagam
ASEAN yang ditransformasikan ke dalam hukum nasional dan bertujuan
hanya untuk mengikat subyek-subyek dalam hukum nasional.
Menurut teori di atas, pemuatan Piagam ASEAN ke dalam format UU
38/2008 adalah murni urusan hukum nasional dan tidak ada sangkut
pautnya dengan status Piagam sebagai treaty menurut hukum
internasonal, yang tetap tentunya mengikat negara pihak lainnya sebagai
subjek hukum internasional. Dengan demikian, argumen MK yang
menyatakan bahwa negara lain harus terikat pada UU 38 Tahun 2008
sangat tidak mendasar dan bukan sebagaimana yang dimaksud oleh teori
transformasi.
Namun terlepas dari itu, saran MK agar pilihan bentuk UU untuk
Perjanjian Internasional ditinjau kembali sangat menarik. Dengan saran
ini terdapat kecederungan bahwa seyogianya perjanjian internasional
20
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
tidak dapat diuji oleh MK. Dapat tidaknya perjanjian internasional diuji
oleh pengadilan nasional hanya dapat dijawab setelah Indonesia
menetapkan status perjanjian internasional dalam hukum nasional1.
Sayangnya UUD 45 yang telah diubah di era reformasi ini tidak
menyediakan politik hukum ini. MK telah mengisi sebagian kekosongan
konstitutional ini. Menurut penulis, saran MK ini harus ditindaklanjuti
dengan amandemen Pasal 11 UUD 45 karena materi putusan MK ini
adalah materi Konstitusi.
1
Damos Agusman, Hukum Perjanjian Internasional, Kajian Teori dan Praktik, Bandung,
2010.
21
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
KONSEPSI KEDAULATAN NEGARA DALAM
BORDERLESS SPACE
Purna Cita Nugraha
Abstrak
Teknologi komunikasi dan informasi telah merubah tingkah laku
masyarakat dan kebudayaan secara global. Lebih lanjut, pengembangan
teknologi informasi telah mengarah kepada suatu dunia baru tanpa
batas dan menyebabkan perubahan-perubahan social yang terjadi
dengan pesat. Internet mengalihkan cara komunikasi yang bersifat
konvensial kepada suatu fenomena sosial dalam
Ruang publik untuk berkomunikasi, suatu dunia baru yang dinamakan
dengan dunia maya dimana satu pihak capat berkomunikan dengan
yang lain tanpa dibatasi oleh batas-batas atau bahkan lintas negara
(transnasional). Proses yang mengarah pada kemudahan dan manfaat
dalam internet tidak selalu menjadi permasalahan karena dalam dunia
maya juga terdapat permasalahan hukum yang timbul dalam bentuk
kejahatan telematika. Dalam hal ini, negara perlu bekerjasama
bersama-sama dalam menetapkan rejim yurisdiksi ekstrateritorial
dalam hukum telematika untuk menetapkan kepastian hukum dalam
implementasi dari peraturan hukum untuk semua kegiatan-kegiatan
yang dilakukan dalam dunia maya.
Kata kunci: Kedaulatan negara, ruang tanpa batas, dunia maya
Abstract
Information and communication technology (ICT) has changed the
behavior of human society and civilization globally. In addition to that,
the development of information technology has led to a new world
without borders (borderless) and cause significant social changes
occurred too rapidly. The internet shifts the conventional way of
communication to a new social phenomenon in the public space to
communicate, a new world called the cyberspace where one party can
communicate with others without being limited by borders or even
cross country (transnational). The process leading to simplicity and
goodness in the internet was not always the case because in cyberspace
there are also legal issues that arise in the form of cybercrime. In this
22
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
regard, the sovereign states needs to cooperate together in establishing
extraterritorial jurisdiction regime in cyberlaw to create legal certainty
in the implementation of the rule of law for all activities carried out in
cyberspace.
Key words : State Sovereignty, Borderless Space, cyber space
Teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah prilaku
masyarakat dan peradaban manusia secara global. Di samping itu,
perkembangan teknologi informasi telah menyebabkan dunia menjadi
tanpa batas (borderless) dan menyebabkan perubahan sosial yang secara
signifikan berlangsung demikian cepat.1 Pengembangan dan penerapan
teknologi informasi telah mengakibatkan semakin mudahnya arus
informasi diserap, sekaligus memudahkan orang untuk melakukan
komunikasi tanpa terkendala batas ruang dan waktu.
Sebagaimana dinyatakan oleh Melville J. Herskovits bahwa teknologi
merupakan salah satu unsur utama dari kebudayaan manusia.2 Teknologi
dan hukum merupakan dua unsur yang saling mempengaruhi dan
keduanya juga mempengaruhi masyarakat. Heidegger berpendapat
bahwa di satu sisi teknologi dapat dilihat sebagai sarana untuk mencapai
tujuan tertentu. Akan tetapi di sisi lain teknologi juga dapat dilihat
sebagai aktivitas manusiawi.3
Pada prinsipnya, teknologi dikembangkan untuk memenuhi
kebutuhan tertentu dan melalui teknologi itu diberikan suatu manfaat
1
Ahmad M. Ramli, Cyberlaw dan HAKI dalam Sistem Hukum Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2006, hlm. 1
2
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiolofi, Yayasan Badan
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964, hlm. 115
3
Francis Lim, Filsafat Teknologi Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 2012, hlm. 44
23
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
dan layanan bagi manusia termasuk meningkatkan keefisienan dan
keefektivitasan kerja. Teknologi memiliki ruang lingkup yang luas,
karena mencakup : 1) tools and techniques; 2) organized systems such as
factories; 3) applied science; 4) those methods that achieve, or are intended to
achieve, a particular goal such as efficiency, the satifaction of human needs and
wants, or control over the environment; and 5) the study of or knowledge about
such things.4
Istilah teknologi juga dapat diartikan sebagai berikut:
“Technology thus sometimes includes what might also be called
technique; making organization, bereaucracy, and even law itself into
technologies. Such extended meanings of the term technology are not,
however, what law journals focused on technology usually mean by the
term.”5
Dalam hal tersebut di atas dijelaskan bahwa teknologi kadang-kadang
mencakup apa yang juga bisa disebut teknik, pembuatan organisasi,
birokrasi, dan bahkan hukum itu sendiri menjadi teknologi. Makna yang
diperluas dari istilah teknologi tersebut tidak, bagaimanapun, seperti
yang jurnal hukum biasanya maksud dalam penggunaan istilah.
Di lain pihak, hukum pada dasarnya merupakan batasan bagi
masyarakat dalam bertingkah laku dan terhadap pelanggarannya
dikenakan sanksi yang memaksa oleh otoritas tertinggi dalam suatu
negara. Hukum diperlukan untuk menciptakan ketertiban dalam
masyarakat dan memberikan keadilan. Keadilan dan ketertiban tersebut
dicapai dengan menjaga kepentingan tertentu, baik individu maupun
kolektif. Di dalam masyarakat terjadi dinamika dan di dalam masyarakat
4
Josua Sitompul, Cyberspace Cybercrimes Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana, PT.
Tata Nusa, Jakarta, 2012, hlm. 32
5
Ibid.
24
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
pula muncul kejahatan. Teknologi dan masyarakat bersifat dinamis
karena terus berkembang, sedangkan hukum bersifat statis. Teknologi
menuntut respon hukum dan hukum berada di persimpangan, di satu sisi
berusaha mengakomodir perkembangan teknologi demi kepentingan
masyarakat, di sisi lain hukum memiliki tanggung jawab untuk tetap
menjaga teknologi yang ada sekarang, sehingga tetap menjaga berbagai
kepentingan atau kebutuhan masyarakat luas yang telah terpenuhi
dengan teknologi yang telah ada itu.6
Pada permulaan abad ke-20, salah satu penemuan revolusioner di
bidang teknologi informasi yang sangat mempengaruhi perkembangan
perekonomian adalah ditemukannya internet (interconnection networking),
sebagai media komunikasi yang cepat dan handal. Fasilitas internet
adalah suatu jaringan computer yang sangat besar, terdiri atas jaringanjaringan kecil yang menjangkau seluruh dunia.7
Adanya internet melahirkan suatu fenomena ruang sosial baru dalam
masyarakat untuk berkomunikasi, suatu dunia baru yang dinamakan
dengan cyberspace (ruang siber) dimana pihak yang satu dapat
berkomunikasi dengan pihak lainnya tanpa dibatasi oleh batas wilayah
(borderless) atau bahkan lintas negara (transnasional).
Teknologi informasi dan media elektronika dinilai sebagai simbol
pelopor, yang akan mengintegrasikan seluruh sistem dunia, baik dalam
aspek sosial budaya, ekonomi dan keuangan. Dari sistem-sistem kecil,
lokal dan nasional, proses globalisasi dalam tahun-tahun terakhir
bergerak cepat menuju suatu sistem global.8
6
Ibid.
Miranda dan Imelda, Mengenal E-Commerce, M-Commerce, dan M-Business,
Harvindo, Jakarta, 2004, hlm. 1
8
Didik J. Rachbini, “Mitos dan Implikasi Globalisasi” : Catatan untuk Bidang Ekonomi
dan Keuangan, Pengantar Edisi Indonesia dalam Hirst, Paul dan Grahame Thompson,
Globalisasi adalah Mitos, Jakarta, Yayasan Obor, 2001, hlm. 2
7
25
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Seperti yang ditulis dalam International Review of Law Computer and
Technology:
Global information and communication networks are now an integral
part of the way in which modern governments, business, education and
economies operate. However, the increasing dependence upon the new
information and communication technologies by many organizations is
not without its price, they have become more exposed and vunerable to
an expanding array of computer security risks or harm and inevitably
to various kinds of computer misuse.9
Dalam hal ini, informasi global dan jaringan komunikasi yang
sekarang merupakan bagian integral dari cara pemerintah modern, bisnis,
pendidikan dan ekonomi beroperasi. Namun, meningkatnya
ketergantungan pada informasi baru dan teknologi komunikasi oleh
banyak organisasi bukan tanpa konsekuensi, salah satunya adalah
menjadi lebih terekspos dan rentan dalam memperluas risiko keamanan
komputer termasuk terhadap berbagai macam penyalahgunaan
komputer.
Proses globalisasi tersebut melahirkan suatu fenomena yang
mengubah model komunikasi konvensional dengan melahirkan
kenyataan dalam dunia maya (virtual reality) yang dikenal sekarang ini
dengan internet. Internet berkembang demikian pesat sebagai kultur
masyarakat modern, dikatakan sebagai kultur karena melalui internet
berbagai aktifitas masyarakat cyber seperti berpikir, berkreasi, dan
bertindak dapat diekspresikan di dalamnya, kapanpun dan dimanapun.
9
International Review of Law Computers and Technology, Insider Cyber-Threat:
Problems and Perspectives, Volume 14, 2001, hlm. 105-113.
26
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Kehadirannya telah membentuk dunia tersendiri yang menawarkan
realitas yang baru berbentuk virtual (tidak langsung dan tidak nyata).10
Netizens11 atau para pengguna internet merupakan para penghuni dari
konsep cybernetics yang telah melahirkan dunia baru yang dikenal dengan
istilah cyberspace, global village, atau internet. Sama seperti dalam dunia
konvensional, maka dalam cyberspace “hidup” masyarakat (cybersociety)
yang terdiri dari milyaran pengguna internet dari segala penjuru dunia
yang berkomunikasi atau berinteraksi satu sama lain melalui jaringan
komputer. Sama seperti dalam dunia fisik kita sekarang, dalam cyberspace
masyarakat memerlukan pengaturan baik inter-masyarakat maupun
antar masyarakat, mulai dari norma sampai kepada hukum (cyberlaw).12
Indeks penggunaan internet di dunia menunjukkan perkembangan
yang sangat pesat, hal ini terlihat dari angka peningkatan yang mencapai
566.4% dalam kurun waktu 12 tahun (2000—2012). Pengguna internet
(netizens) di benua Asia merupakan 44.8% dari pengguna internet di
seluruh dunia, atau sejumlah 1,076,681,059 jiwa. China menduduki
peringkat pengguna terbesar dalam peringkat pengguna internet di Asia
yaitu sejumlah 538 juta jiwa pengguna internet, sedangkan Indonesia
menduduki peringkat ke-4 dengan jumlah 55 juta jiwa pengguna
internet.13
Sejalan dengan pemikiran bahwa cyberspace memerlukan pengaturan
baik inter-masyarakat maupun antar masyarakat, mulai dari norma
10
Agus Rahardjo, Cybercrime Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 20
11
Business Dictionary, http://www.businessdictionary.com/definition/netizen.html,
netizen is citizen of cyberspace a dedicated internet user, diakses pada tanggal 31
Desember 2012 pukul 16.58 WIB
12
Josua Sitompul, op.cit, hlm. 31
13
Internet World Stats, World Internet Usage Statistics News and World Population
Stats, http://www.internetworldstats.com/stats, diakses pada tanggal 31 Desember 2012
pukul 15.24 WIB
27
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
sampai kepada hukum (cyberlaw) dan apabila dikaitkan dengan
kewenangan suatu negara dalam melakukan pengaturan, hal tersebut
tentu saja berhubungan langsung dengan yurisdiksi negara tersebut,
misalnya saja mengenai kewenangan suatu negara untuk menegakkan
hukum di wilayahnya atau dalam hal ini ruang siber.
Internet adalah dunia yang ubiquotus (terhubung dan terbuka pada
saat yang bersamaan di mana-mana), maka teori yurisdiksi yang
menekankan pada locus dan tempus delicti sudah tidak memadai lagi
untuk digunakan.14
Kondisi di atas menimbulkan suatu pertanyaan mendasar tentang
bagaimana sistem hukum mengatur ruang siber yang notabene borderless
tersebut. Lebih jauh lagi, harus juga dipikirkan bagaimana hubungan
kewenangan negara dikaitkan dengan pengaturan terhadap setiap
perbuatan/interaksi para pengguna internet yang tidak dibatasi oleh
batas wilayah (borderless) tersebut. Hal ini tentu menimbulkan suatu
kebutuhan dari hukum untuk menyesuaikan dirinya dengan
perkembangan zaman dalam menjawab adanya pertanyaan-pertanyaan
seputar kewenangan dan yurisdiksi negara atas internet dan ruang siber
tersebut.
Adanya urgensi hukum dalam meregulasi ruang siber telah
membentuk suatu rezim hukum baru di Indonesia. Dalam hal ini, perlu
pula terlebih dahulu dipahami peristilahan dan ruang lingkup cyberlaw
yang telah membentuk rezim hukum baru di Indonesia khususnya dalam
kegiatan teknologi dan informasi. Peristilahan yang digunakan untuk
hukum yang mengatur kegiatan di dalam cyberspace adalah the law of the
14
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003,
hlm. 304
28
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
internet; the law of information technology; the telecommunication law; dan lex
informatica.15
Pada sudut pandangan secara praktis, dapat dipahami misalnya
dalam kegiatan e-commerce memerlukan “sense of urgency” untuk
dicarikan jalan keluar atas akibat-akibat atau permasalahan hukum yang
muncul. Di sisi lain, dengan memperhatikan pula praktik di negara lain,
nampaknya akan lebih bijaksana apabila tidak dibatasinya secara sempit
ruang lingkup dari cyberlaw itu sendiri.16
Cyberlaw sebagai suatu rezim hukum yang baru akan lebih
memudahkan untuk dipahami dengan mengetahui ruang lingkup
pengaturannya. Cyberlaw dengan bentuk pengaturan yang bersifat khusus
(sui generis) atas kegiatan-kegiatan di dalam cyberspace (ruang siber),
antara lain mencakup hak cipta, merek (trademark), fitnah atau
pencemaran nama baik (defamation), privacy, duty of care, criminal liability,
procedural issues, electronic contracts, digital signature, electronic commerce,
electronic government, pornografi, dan pencurian (theft).17
Ruang siber dengan realitas virtual, di satu sisi memang menawarkan
manusia untuk hidup dalam dunia alternatif, dunia yang dapat
mengambil alih dan menggantikan realitas yang ada, yang bahkan dapat
lebih nyata dari realitas yang ada, yang lebih menyenangkan dari
kesenangan yang ada, yang lebih fantastis dari fantasi yang ada, yang
lebih menggairahkan dari kegairahan yang ada. Ruang siber telah
membawa masyarakat dalam berbagai sisi realitas baru yang tidak
pernah dibayangkan sebelumnya, yang penuh dengan harapan,
kesenangan, kemudahan, dan penjelajahan seperti teleshoping,
15
Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, dan Teknologi Informasi
(Regulasi dan Konvergensi), Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 129
16
Ibid.
17
Ibid.
29
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
teleconference, teledildonic, virtual café, virtual architecture, virtual museum,
cybersex, cyberparty, dan cyberorgasm.18
Cyberspace atau internet juga terkait dengan Hak Kekayaan Intelektual
(Intellectual Property Rights), hal ini dikarenakan nature dan struktur dari
internet yang membuat media ini secara luar biasa dapat memasukkan
kreatifitas ke dalam komunitas global. Kreativitas yang timbul dari media
ini dan kemampuan untuk menggunakan internet sebagai cara untuk
mentransfer hasil karya kreatif memunculkan suatu kebutuhan akan
pengaturan dan peraturan dari semua pemerintah, yaitu melindungi Hak
Kekayaan Intelektual.
Hak cipta memandang internet sebagai media yang bersifat low-cost
distribution channel atau saluran distribusi yang murah bagi penyebaran
informasi dan produk-produk entertainment seperti film, musik, dan
buku. Hal ini disebabkan internet memungkinkan data-data tersebut
untuk diunduh secara mudah oleh konsumen.19
Christoper Millard mencatat tiga pertanyaan yang paling mendasar
mengenai pelanggaran hak cipta di internet, yaitu: 1) siapa yang mungkin
dapat bertanggung jawab terhadap pelanggaran hak cipta di internet; 2)
hukum dan yurisdiksi apa yang paling tepat/pantas diberlakukan; 3)
perbuatan pelanggaran hukum seperti apa yang dapat termasuk ke
dalam hukum yang berlaku saat ini. Menurutnya, para pelaku
18
Agus Raharjo, Model Hibrida Hukum Cyberspace (Studi tentang Model Pengaturan
Aktivitas Manusia di Cyberspace dan Pilihan terhadap Model Pengaturan di Indonesia),
Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2008,
hlm. 6-7
19
Yusran Isnaini, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, Ghalia Indonesia,
Bogor, 2009, hlm. 3-4 lihat juga Atip Latifulhayat, Cyberlaw dan Urgensinya bagi
Indonesia, Makalah disampaikan pada Seminar tentang Cyberlaw, diselenggarakan oleh
Yayasan Cipta Bangsa, Bandung, 29 Juli 2000, hlm. 10
30
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
pelanggaran dapat masuk ke dalam tiga kategori, yaitu pengirim,
penerima, dan operator jaringan yang ada di internet.20
Hak Kekayaan Intelektual telah dapat dijamin secara ekstensif di
dalam literatur atau karya kesusastraan. Namun, sebahagian orang
menganggap bahwa internet sebagai pertanda matinya hak cipta
(copyright). Dalam hal ini, Ginsburg mencatat beberapa permasalahan
dalam menegakkan Hak Kekayaan Intelektual di dalam internet, sebagai
berikut:
Should one look to the country where copies were (first) recieved? To
the country from which the author uploaded the work? To the country
in which is localized the website from which the work first becomes
available to the public? What are the consequences of these different
characterizations of publication and country of origin?21
Internet juga dapat digunakan untuk melanggar atau bahkan
merampok para pemilik hak cipta dari keuntungan hak cipta, internat
juga telah digunakan dalam mencegah pengakuan atau pemberian suatu
paten. Sebagai contoh Human Genome Project mempublikasikan atau
mengunggah peta dari human genome dengan niat untuk membuat
informasi dan data tersebut sebagai informasi publik/pengetahuan
umum dan mencegah Celera Genomics, sebuah perusahaan swasta,
untuk mendapatkan hak paten. Dari contoh ini, dapat diketahui bahwa
penentuan yurisdiksi di internet khususnya dalam Hak Kekayaan
Intelektual di internet sebagai sesuatu yang amat penting.22
20
Christopher Millard, et. al., Computer Law, Bantam, London, 2000, hlm. 201
Samuel F. Miller, Prescriptive Jurisdiction over Internet Activity: The Need to Define
and Establish the Boundaries of Cyberliberty, Indiana Journal of Global Legal Studies:
Vol. 10: Iss 2, 2003, hlm. 249
22
Ibid, hlm. 259-260
21
31
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Di sisi lain, proses siberisasi yang menimbulkan kemudahan dan
kebaikan itu ternyata tidak selamanya demikian karena dalam cyberspace
juga terdapat persoalan hukum yang muncul berupa sisi gelap yang perlu
kita perhatikan yaitu cybercrime dengan berbagai macam bentuknya.
Sebagai contoh, carding, merupakan kasus yang membuat Indonesia
menjadi salah satu negara terkenal dalam cybercrime. Selain itu adalah
hacking, sebagai bentuk baru dalam mengekspresikan kekecewaan,
kekesalan dalam dunia bisnis dan politik, seperti kasus hacking terhadap
situs-situs (websites) milik Malaysia sebagai bentuk protes terhadap
kebijakan negara itu dalam menangani Tenaga Kerja Indonesia (TKI).23
Kejahatan yang berbasis teknologi informasi dengan menggunakan
media komputer sebagaimana terjadi saat ini, dapat disebut dengan
beberapa istilah yaitu computer misuse, computer abuse, computer fraud,
computer-assisted crime, computer-related crime, atau computer crime.24
Barda Nawawi Arief mengatakan dalam bukunya bahwa pengertian
computer-related crime sama dengan pengertian cybercrime.25 TB Ronny R.
Nitibaskara berpendapat bahwa kejahatan yang terjadi melalui atau pada
jaringan komputer di dalam internet disebut cybercrime. Kejahatan ini juga
dapat disebut kejahatan yang berhubungan dengan komputer (computerrelated crime), yang mencakup 2 kategori kejahatan, yaitu kejahatan yang
menggunakan komputer sebagai sarana atau alat, dan menjadikan
komputer sebagai sasaran atau objek kejahatan.26
23
Ibid. hlm. 7
Widodo, Sistem Pemidanaan dalam Cybercrime: Alternatif Ancaman Pidana Kerja
Sosial dan Pidana Pengawasan bagi Pelaku Cyber Crime, CV. Aswaja Pressindo,
Yogyakarta, 2009, hlm. 23
25
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2002, hlm. 259
26
Widodo, loc.cit.
24
32
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Dalam background paper workshop on crimes related to the computer
network, pada Tenth United Nations Congress on the Prevention of Crime and
the Treatment of Offenders, di Wina tanggal 10-17 April 2000, disebutkan
sebagai berikut:
“Cyber crime in a narrow sense (“computer crime”): any illegal
behaviour directed by means of electronic operations that targets the
security of computer systems and the data processed by them; and
Cyber crime in a broader sense (“computer-related crime”): any illegal
behaviour committed by means of, or in relation to, a computer system
or network, including such crimes as illegal possession, offering or
distributing information by means of a computer system or network.”27
Di sisi lain, dapat diperoleh informasi bahwa serangan siber di
seluruh dunia mencapai 5,5 Milyar serangan dalam setahun. Sedangkan
serangan siber (cyber attack) terhadap situs-situs Indonesia mencapai 40
ribu serangan per hari. Jenis serangan tersebut bermacam-macam seperti
malware (piranti lunak berbahaya) dan spyware (piranti lunak mata-mata).
Dalam hal ini, motif penyerangan ke situs-situs Indonesia bukan
tergolong motif serius, seperti motif bersifat keamanan atau ekonomis.28
Sebelumnya, Menteri Komunikasi dan Informatika, Tifatul Sembiring,
menyebut jumlah serangan siber ke situs-situs berdomain go.id (situs
milik lembaga/instansi pemerintah) lebih dari 3 juta kali pada tahun
2011.29
27
Background paper workshop on crimes related to the computer network, pada Tenth
United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, di
Wina tanggal 10-17 April 2000
28
Rudi Lumanto, Ketua Indonesia Security Incident Response Team on Internet
Infrastructure, Serangan Siber ke Situs Indonesia 40 Ribu Kali/Hari,
http://www.antaranews.com/berita/321960/serangan-siber-ke-situs-indonesia-40-ribukalihari, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB
29
Ibid.
33
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Pada tahun 2012 yang lalu, New York Times, sebuah media massa
terkemuka AS melaporkan serangan siber yang dilakukan AS dan Israel
terhadap Iran, bahkan Presiden Barack Obama secara langsung dan diamdiam memerintahkan serangan cyber menggunakan virus komputer
Stuxnet terhadap Iran untuk melumpuhkan program nuklir Iran.30
Bukti lain adalah serangan Malware Stuxnet pada instalasi pengayaan
nuklir di Natanz, Iran tahun 2009. Stuxnet mampu menyusup masuk dan
menyabotase sistem dengan cara memperlambat atau mempercepat
motor penggerak, bahkan membuatnya berputar jauh di atas kecepatan
maksimum yang bisa menghancurkan sentrifuse sehingga tidak dapat
memproduksi bahan bakar Uranium. Malware Stuxnet diakui sebagai
serangan paling cerdas, paling canggih, dan paling hebat yang pernah
dibuat yang pernah dibuat manusia.31
Menteri Telekomunikasi Republik Islam Iran, Reza Taghipour
menyatakan akan melayangkan gugatan atau membawa masalah ini ke
tingkat internasional atas serangan siber ke lembaga pemerintah Iran
yang dianggapnya sebagai “state cyberterrorism against the country”
tersebut kepada organisasi internasional terkait. Pengaduan Iran atas
serangan siber tersebut akan dilayangkan kepada organisasi internasional
terkait melalui Kementerian Luar Negeri Iran dan di berbagai pertemuan
khusus seperti dalam sidang the International Telecommunication Union di
Jenewa, dimana wakil Iran akan menyatakan protes resmi Tehran terkait
masalah ini.32
30
http://www.huffingtonpost.co.uk/2012/06/01/president-obama-ordered-cyber-attacks
iran_n_1561730.html, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB
31
http://abcnews.go.com/Politics/OTUS/report-obama-ordered-wave-cyberattacks
iran/story?id=16474164#.UOfR9OQ3vx8, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul
13.42 WIB
32
http://www.presstv.ir/detail/2012/06/20/247120/iran-protests-state-cyberterrorism/,
diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB
34
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Hal ini dilakukan Iran karena beberapa instansi pemerintah Iran
mendapat serangan siber yang dilakukan sejumlah negara asing dan
serangan ini sebagai ancaman keamanan siber dan terorisme siber
terhadap negara. Dugaan sementara bahwa serangan ini dilakukan oleh
AS, sesuai dengan fakta dan pernyataan Presiden Obama yang berhasil di
blow-up oleh media bahwa Presiden Obama secara diam-diam
memerintahkan serangan siber dengan komputer virus Stuxnet terhadap
Iran untuk menyabotase program nuklir negara tersebut. Aksi serangan
ini diduga dilakukan AS bekerjasama dengan unit intelejen rahasia Israel
sebagai bagian dari gelombang serangan digital AS terhadap Iran.
Dari paparan-paparan di atas, dapat diketahui bahwa persitiwa
tersebut menandai era baru penggunaan dunia siber sebagai media untuk
melakukan serangan siber dengan menggunakan cyber weapons terhadap
bukan hanya infrastruktur dunia maya, tetapi juga instalasi dan
insfrastruktur di dunia nyata. Belum terdapatnya organisasi internasional
atau forum internasional yang diberi mandat untuk membahas masalah
ini secara serius di tingkat internasional dikhawatirkan dapat membuat
adanya ketidakpastian existing law (ius constitutum) maupun arah politik
hukum ke depan (ius constituendum) dalam pembentukan hukum siber
dan penegakan hukumnya di dunia siber. Hal tersebut terlihat dari Iran
yang hanya dapat melakukan langkah politis dengan membawa masalah
tersebut ke forum/tingkat internasional yang sifatnya konsultatif
daripada menempuh jalur hukum dikarenakan kurang dan belum
jelasnya infrastruktur hukum nasional dan internasional yang mengatur
masalah tersebut.
Dunia siber kini dapat dikatakan menjadi matra perang ke-5 selain
darat, laut, udara, dan angkasa luar. Iran dengan segala bentuk
35
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
keterbatasannya telah mampu menginovasi kemajuan teknologi
komunikasi dan informasi taktik dalam konflik modern dengan AS dan
Israel. Bagi Iran, dengan adanya serangan siber yang dilakukan AS, maka
dunia maya pun menjadi medan perang terbaru. Banyak perangkat
mutakhir mulai dibuat para insinyur Iran untuk keperluan ini.
Pertempuran elektronik telah tercipta dan membuat banyak negara
melihat perang dunia siber sebagai ancaman terbesar di masa depan.
Dalam tatanan pranata hukum nasional, pengaturan ruang siber
dalam hal ini pelanggaran hukum (computer-related crime atau cybercrime)
misalnya, seringkali sulit dijerat oleh hukum dan pengadilan di Indonesia
karena hukum dan pengadilan Indonesia tidak memiliki yurisdiksi
terhadap pelaku dan perbuatan hukum yang terjadi di dalam ruang siber
tersebut, mengingat pelanggaran hukum bersifat transnasional tetapi
akibatnya justru memiliki implikasi hukum di Indonesia.33
Untuk mengakomodir adanya kebutuhan akan infrastruktur hukum
dan pengaturan nasional dalam meregulasi kegiatan pemanfaatan
teknologi informasi agar dapat dilakukan secara aman dengan menekan
akibat-akibat negatifnya seminimal mungkin, Pemerintah Indonesia
mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengatur
kegiatan informasi dan transaksi elektronik termasuk aktivitas pada
ruang siber. Setelah melalui pembahasan yang panjang akhirnya RUU
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) disetujui menjadi
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) pada
Rapat Paripurna DPR-RI pada tanggal 25 Maret 2008 dan disahkan
menjadi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (UU ITE) serta ditempatkan pada Lembaran Negara
Nomor 58 pada tanggal 21 April 2008.
33
Ahmad M. Ramli, op.cit, hlm. 19
36
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
UU ITE merupakan undang-undang pertama di Indonesia yang
secara khusus mengatur tindak pidana cyber (cybercrime). Dua muatan
besar yang diatur dalam UU ITE ialah mengenai pengaturan transaksi
elektronik dan mengenai tindak pidana siber. Materi UU ITE tersebut
merupakan implementasi dari beberapa prinsip ketentuan internasional,
yaitu UNCITRAL Model Law on Electronic Commerce, UNCITRAL Model
Law on Electronic Signature, Convention on Cybercrime, EU Directives on
Electronic Commerce, dan EU Directives on Electronic Signature. Ketentuanketentuan tersebut adalah intrumen internasional dan regional yang
banyak diterapkan oleh negara-negara Eropa, Amerika, dan Asia.34
Ada beberapa kelebihan yang diperoleh dengan menyatukan materimateri tersebut dalam satu undang-undang. Pertama, penyatuan ini
menghemat waktu karena jika tiap materi diatur dalam undang-undang
sendiri, akan membutuhkan waktu yang lama untuk dibahas di DPR.
Kedua, para pemangku kepentingan dapat melihat keseluruhan secara
holistik dan keterkaitan materi-materi tersebut secara komprehensif.35
Substansi pengaturan tindak pidana siber dalam UU ITE mencakup
hukum pidana materil, yaitu kriminalisasi perbuatan-perbuatan yang
termasuk kategori tindak pidana siber; pedoman yang digunakan adalah
Convention on Cybercrime. UU ITE juga memuat hukum pidana formil
yang khusus untuk menegakkan hukum pidana siber.36
UU ITE merupakan rezim hukum baru untuk mengatur kegiatan
cyberspace di Indonesia. Dalam undang-undang ini diatur mengenai aspek
yurisdiksi
yang
menggunakan
prinsip
perluasan
yurisdiksi
(extraterritorial jurisdiction) dikarenakan aktivitas pada ruang siber
34
Josua Sitompul, op.cit., hlm. 135-136
Ibid, hlm. 136
36
Ibid.
35
37
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
memiliki karakteristik lintas teritorial dan tidak dapat menggunakan
pendekatan konvensional.37
Dunia siber, meskipun telah dapat diatur, tetapi masih sulit untuk
dijinakkan. Cyberspace merupakan dunia virtual yang lokasinya tidak
akan pernah kita temukan dalam Atlas, tetapi dapat dikunjungi oleh
milyaran pengguna yang tersebar di seluruh dunia setiap saat.
Karakteristik ubiquitous dan borderless ini mempengaruhi tindak pidana
yang terjadi di dalamnya bahwa pada kenyataannya tindak pidana siber
sering bersifat lintas negara sehingga menimbulkan pertanyaan mengenai
yurisdiksi yang berlaku atas perbuatan atau akibat tindak pidana serta
atas pelakunya. Banyak negara, termasuk Indonesia, telah menyadari
keterbatasan perundang-undangan konvensionalnya untuk menjawab
permasalahan ini sehingga memandang perlu untuk menyesuaikan
hukumnya untuk tetap menjaga kedaulatan negara serta kepentingan
negaranya dan warganya.38
Keberlakuan undang-undang pidana Indonesia yang diatur dalam
KUHP didasarkan pada asas-asas yang berlaku secara internasional,
antara lain asas teritorialitas, asas nasionalitas, dan asas nasionalitas pasif.
Pada prinsip awalnya, undang-undang pidana suatu negara berlaku bagi
setiap orang-pribadi kodrati, baik warga negara itu maupun warga
negara asing yang berada di dalam wilayah wilayah negara tersebut, baik
wilayah darat maupun laut. Setiap negara memiliki kedaulatan dan
otoritas tertinggi untuk menegakkan hukum dalam wilayah negaranya.
Asas ini dikenal dengan asas teritorialitas. Kemudian, sesuai dengan
kebutuhan, ruang lingkup teritorial ini diperluas dengan menyamakan
kendaraan air dan pesawat udara yang menggunakan bendera suatu
negara sebagai bagian dari wilayah negara itu. Dalam KUHP, asas
37
38
Danrivanto Budhijanto, op.cit., hlm. 133
Josua Sitompul, op.cit., hlm.137
38
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
teritorial yang dimaksud diatur dalam Pasal 2 KUHP, sedangkan
perluasan dari asas ini diatur dalam pasal 3 KUHP.39
Dalam perkembangan penerapannya, asas teritorialitas ini memiliki
keterbatasan untuk menjerat seseorang yang melakukan tindak pidana di
luar wilayah suatu negara. Oleh karena itu, banyak negara menambahkan
asas lain agar perundang-undangan pidananya tetap berlaku dalam
kondisi-kondisi yang tidak dapat dijangkau dengan asas teritorialitas,
khusunya dalam kondisi dimana pelaku tidak hadir dalam wilayah
negara yang bersangkutan. Asas ini lebih dikenal dengan asas
ekstrateritorial.40
Asas ekstrateritorial ini diwujudkan dalam pasal 4 KUHP dan pasal 5
KUHP. Pasal 4 KUHP memuat asas nasionalitas pasif. Maksudnya
undang-undang pidana Indonesia berlaku bagi setiap orang – baik warga
negara Indonesia maupun warga negara asing – yang melakukan tindak
pidana di luar wilayah Indonesia sepanjang perbuatan itu melanggar
kepentingan Indonesia. Sedangkan, pasal 5 KUHP mengandung asas
nasionalitas aktif, yaitu perundang-undangan pidana Indonesia berlaku
terhadap warga negara Indonesia di manapun ia berada.41
Dalam konteks kaitannya dengan regionalisme, kebutuhan adanya
kriminalisasi yang mengatur tindak pidana siber secara tegas melahirkan
gagasan untuk membentuk suatu konvensi regional yang diprakarsai
oleh Council of Europe atau Dewan Eropa. Hal tersebut dinyatakan secara
tegas dalam Convention on Cybercrime 2001, yang dalam pembukaan
dinyatakan sebagai berikut:
“Convinced of the need to pursue, as a matter of priority, a common
criminal policy aimed at the protection of society against cybercrime,
39
Ibid.
Ibid.
41
Ibid.
40
39
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
inter alia, by adopting appropriate legislation and fostering
international co-operation.” 42
Dalam hal ini disebutkan keyakinan akan adanya kebutuhan untuk
mencapai, sebagai suatu prioritas, kebijakan kriminal bersama yang
ditujukan pada perlindungan masyarakat terhadap tindak pidana siber,
antara lain dengan memberlakukan perundang-undangan yang sesuai
dan mendorong kerjasama internasional.43
Untuk mengaksesi Konvensi Dewan Eropa 2001 tersebut, suatu
negara terlebih dahulu harus melakukan harmonisasi pengaturan tindak
pidana siber dalam hukum nasionalnya dengan konvensi tersebut.
Konvensi Dewan Eropa 2001 menjadi rujukan dalam pengaturan tindak
pidana siber mengingat konvensi tersebut merupakan satu-satunya
konvensi yang mengatur tindak pidana siber dan bersifat terbuka
sehingga negara-negara lain yang bukan anggota Dewan Eropa dan tidak
menjadi peserta konvensi dapat mengikatkan diri pada konvensi
tersebut.44 Namun, walaupun konvensi tersebut bersifat terbuka,
konvensi yang dihasilkan dari bentuk paham regionalisme atau kawasan
tertentu cenderung akan mendapatkan resistensi khususnya dari negaranegara dari kawasan yang berbeda. Sehingga suatu keniscayaan bahwa
konvensi yang dapat diterima oleh semua kalangan adalah
konvensi/traktat/perjanjian internasional yang dihasilkan oleh forum
multilateral atau dalam hal ini Perserikatan Bangsa-Bangsa.
42
Sigid Suseno, Yurisdiksi Terhadap Tindak Pidana Siber dalam Perundang-Undangan
Indonesia dihubungkan dengan Konvensi Dewan Eropa 2001, dalam Buku Yudha Bhakti,
et. al, Penemuan Hukum Nasional dan Internasional, Fikahati Aneska, Jakarta, 2012,
hlm. 518
43
Ibid.
44
Ibid, hlm. 520
40
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Dalam konteks pengaturan yurisdiksi dalam ruang siber, setiap
negara mau tidak mau harus dilibatkan karena karakteristik dari ruang
siber yang berdimensi transnasional dan borderless. Disamping itu juga
semua negara termasuk Indonesia harus dilibatkan dalam membentuk
hukum siber dalam rangka terwujudnya kerjasama internasional yang
efektif dan efisien dalam mengatur ruang siber khususnya tindak pidana
siber.
Di sisi lain, dalam tatanan hukum internasional, belum adanya posisi
atau international regime yang jelas dalam mengatur tentang kedaulatan,
kewenangan, dan yurisdiksi negara atas ruang siber dikhawatirkan akan
menyebabkan ketidakpastian dalam pelaksanaan prinsip extraterritorial
jurisdiction terhadap pelanggaran di ruang siber. Lebih lanjut, praktik
negara-negara selama ini yang secara sepihak dalam memberlakukan
hukum nasionalnya (unilateral act) dikhawatirkan akan melahirkan
kesewenang-wenangan, khususnya pada penegakan hukum yang
dilakukan dengan dasar kekuatan dan kekuasaan politik bukan dengan
legitimasi hukum. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara berdaulat
perlu kiranya menentukan kebijakan yang jauh kedepan dan
mengantisipasi permasalahan-permasalahan hukum tersebut lewat
politik hukum (legal policy) yang tepat dan sesuai dalam membentuk
infrastruktur hukumnya khususnya di bidang cyberlaw.
Berdasarkan paparan-paparan tersebut di atas, dapat dilihat belum
adanya adanya politik hukum yang sinergis baik dalam pengaturan
hukum nasional maupun hukum internasional tentang politik hukum
dan kedaulatan negara dalam membentuk rezim extraterritorial jurisdiction
dalam cyberlaw untuk menciptakan suatu kepastian hukum dalam
pelaksanaan penegakan hukum terhadap segala aktivitas atau kegiatan
yang dilakukan di ruang siber.
Terkait dengan hal masalah kedaulatan negara, Milton J. Esman
mengatakan ada 2 (dua) dimensi pelaksanaan kedaulatan setiap negara,
yaitu 1) dimensi pelaksanaan kedaulatan ke dalam (internal sovereignty),
41
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
which covers the behavior of persons and control of resources within the
territorial boundaries of the state; dan 2) dimensi pelaksanaan kedaulatan ke
luar (external sovereignty), which precludes any interfence by outsiders in
domestic affairs unless these are conceded voluntarily by its government.45
Negara berdaulat ke dalam berarti berdaulat dalam mengurus urusan
internal organisasi negaranya, yang mencakup wewenang dan
kedaulatan kesatuan kekuasaan negara. Kedaulatan wewenang yang
dimaksud adalah kesanggupan dan hak negara untuk melakukan segala
sesuatu di dalam negara yang bersangkutan. Dalam hal ini negara tidak
hanya mempunyai banyak wewenang, tetapi juga negara berwenang
untuk menambah atau mengurangi wewenang itu. Artinya, bahwa di
dalam wilayah suatu negara tidak ada lembaga lain yang juga memiliki
kedaulatan wewenang selain pemerintahan negara itu sendiri. Di dalam
satu wilayah negara hanya terdapat satu pusat kekuasaan, sementara
semua wewenang lain tunduk terhadap pusat kekuasaan tersebut.46
Di sisi lain, kedaulatan negara ke luar dapat diartikan bahwa tidak
ada pihak lain dari luar negara yang berhak untuk mengatur sesuatu
dalam wilayah negara yang bersangkutan. Kedaulatan ke luar
diwujudkan dalam dua prinsip utama, yaitu 1) prinsip kekebalan; 2)
prinsip kesamaan kesanggupan semua negara untuk menciptakan
hukumnya sendiri dan untuk bertindak menurut hukumnya itu.
Sementara prinsip kekebalan maksudnya bahwa setiap negara tidak
boleh dimasuki dalam bentuk apapun oleh negara lain. Artinya negara
dilarang mengambil tindakan hukum atau kekuasaan dalam wilayah
45
J. D. Montgomery, Sovereign in Transtition, How Governments Respond Sovereignty
under Challange, Transaction Publishers, USA and UK, 2002, hlm. 3
46
Max Boli Sabon, Kongruensi Hak atas Pembangunan, Pasal 33 UUD 1945, dan Tipe
Negara Hukum, serta Implikasinya terhadap Tipe Negara Hukum Materil, Disertasi pada
Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung 2006, hlm. 197
42
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
kekuasaan negara lain tanpa izin dari negara yang bersangkutan. Semua
negara tanpa terkecuali mempunyai hak yang sama untuk menetapkan
undang-undang dalam wilayahnya dan bertindak atas nama negaranya
sendiri ketika berhadapan dengan negara-negara lain.47
Dari paparan-paparan tersebut di atas, dapat diperoleh suatu
pemahaman bahwa apabila diteliti secara seksama pemaknaan
pelaksanaan kedaulatan baik ke dalam maupun ke luar, konteksnya
adalah ketika negara berhadap-hadapan dengan negara, dalam konteks
terdesak, terganggu, atau terancamnya kedaulatan negara yang
bersangkutan.
Makna kedaulatan sebagaimana dipaparkan di atas sudah tidak
relevan lagi diterapkan secara mutlak. Artinya pengertian kedaulatan
sebagai sesuatu yang tidak dapar dibagi-bagi hanya tepat ketika
hubungan internasional antar negara belum sehebat, seintensif, dan
serumit saat ini, yang ditandai dengan dunia yang semakin tanpa batas
(borderless state). Pemahaman kedaulatan di era globalisasi harus diubah
sesuai dengan tuntutan zamannya, tanpa harus meruntuhkan nilai-nilai
kedaulatan itu sendiri.
Pandangan tersebut di atas sejalan dengan yang dikatakan John D.
Montgomery sebagai berikut:
“Four centuries ago, sovereignty had the ambitious goal of providing
absolute security for the state as part of accepted internasional system.
It erected the strongest possible legal barricade against foreign invasion
or lesser interference with the will of the sovereign. A respected
twentieth-century political philosopher described its original function
in these vigorous terms: non est potestas super terram quae comparetur
ei [there is no power on earth to compare to it] (Maclver, 1926: 15).
Today its objectives are subtler but more attainable: it accepts and
47
Ibid.
43
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
adapts to foreign and domestic influences even when they challange the
very nature of the state (Esman, chapter 14 this volume). Its claims rest
on ethical as well as legal grounds. Contemporary theorists of
international jurisprudence argue that the highest moral justification
for sovereignty today is its potential to protect human dignity and
human right, not just the state itself (McCorquodale, 1996). These
aspirations expand and trancend the philosophical roots of traditional
conservative, state-bounded sovereignty (huntington, 1999/2000).”48
Adanya internet melahirkan suatu fenomena ruang sosial baru dalam
masyarakat untuk berkomunikasi, suatu dunia baru yang dinamakan
dengan cyberspace (ruang siber) dimana pihak yang satu dapat
berkomunikasi dengan pihak lainnya tanpa dibatasi oleh batas wilayah
(borderless) atau bahkan lintas negara (transnasional). Sebagai negara
hukum, Indonesia wajib mempunyai pengaturan yang jelas dan tegas
terutama dalam penentuan kedaulatan negara atas ruang siber karena
sifat ruang siber yang borderless. Ruang siber tidak dapat ditaklukkan
sendiri oleh satu negara, dengan sifatnya yang borderless, maka kerja sama
di antara negara-negara adalah suatu keniscayaan dan keharusan.
Daftar Pustaka
Buku
Ahmad M. Ramli, Cyberlaw dan HAKI dalam system hukum Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2006
Agus Raharjo, Cybercrime: Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan
Berteknologi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002
Christopher Millard, et. al., Computer Law, Bantam, London, 2000
48
John D. Montgemery, op.cit.
44
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Danrivanto Budhijanto, Hukum Telekomunikasi, Penyiaran, & Teknologi Informasi:
Regulasi & Konvergensi, Refika Aditama, Bandung, 2010
Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003
Francis Lim, Filsafat Teknologi Don Ihde tentang Dunia, Manusia, dan Alat, Penerbit
Kanisius, Yogyakarta, 2012
J. D. Montgomery, Sovereign in Transtition, How Governments Respond Sovereignty
under Challange, Transaction Publishers, USA and UK, 2002
Josua Sitompul, Cyberspace Cybercrimes Cyberlaw Tinjauan Aspek Hukum Pidana, PT.
Tata Nusa, Jakarta, 2012
Miranda dan Imelda, Mengenal E-Commerce, M-Commerce, dan M-Business, Harvindo,
Jakarta, 2004
Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi, Setangkai Bunga Sosiolofi, Yayasan Badan
Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1964
Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2001
Yudha Bhakti, et. al, Penemuan Hukum Nasional dan Internasional, Fikahati Aneska,
Jakarta, 2012
Yusran Isnaini, Hak Cipta dan Tantangannya di Era Cyber Space, Ghalia Indonesia,
Bogor, 2009
Widodo, Sistem Pemidanaan dalam Cybercrime: Alternatif Ancaman Pidana Kerja
Sosial dan Pidana Pengawasan bagi Pelaku Cyber Crime, CV. Aswaja
Pressindo, Yogyakarta, 2009
Disertasi
Agus Raharjo, Model Hibrida Hukum Cyberspace (Studi tentang Model Pengaturan
Aktivitas Manusia di Cyberspace dan Pilihan terhadap Model Pengaturan di
Indonesia), Disertasi pada Program Doktor Ilmu Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang, 2008
Max Boli Sabon, Kongruensi Hak atas Pembangunan, Pasal 33 UUD 1945, dan Tipe
Negara Hukum, serta Implikasinya terhadap Tipe Negara Hukum Materil,
Disertasi, Program Doktor Ilmu Hukum pada Pascasarjana Universitas
Padjadjaran, Bandung 2006
Jurnal
Atip Latifulhayat, Cyberlaw dan Urgensinya bagi Indonesia, Makalah disampaikan pada
Seminar tentang Cyberlaw, diselenggarakan oleh Yayasan Cipta Bangsa,
Bandung, 29 Juli 2000
Background paper workshop on crimes related to the computer network, pada Tenth
United Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of
Offenders, di Wina tanggal 10-17 April 2000
International Review of Law Computers and Technology, Insider Cyber-Threat:
Problems and Perspectives, Volume 14, 2001
Samuel F. Miller, Prescriptive Jurisdiction over Internet Activity: The Need to Define and
Establish the Boundaries of Cyberliberty, Indiana Journal of Global Legal
Studies: Vol. 10: Iss 2, 2003
45
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Websites
www.internetneutral.com/terms.htm, diakses tanggal 11 November 2011
http://www.presstv.ir/detail/2012/06/20/247120/iran-protests-state-cyberterrorism/,
diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB
http://abcnews.go.com/Politics/OTUS/report-obama-ordered-wave-cyberattacks
iran/story?id=16474164#.UOfR9OQ3vx8, diakses pada tanggal 05 Januari 2013
pukul 13.42 WIB
http://www.huffingtonpost.co.uk/2012/06/01/president-obama-ordered-cyber-attacks
iran_n_1561730.html, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB
http://www.antaranews.com/berita/321960/serangan-siber-ke-situs-indonesia-40-ribukalihari, diakses pada tanggal 05 Januari 2013 pukul 13.42 WIB
Internet World Stats, World Internet Usage Statistics News and World Population Stats,
http://www.internetworldstats.com/stats, diakses pada tanggal 31 Desember
2012 pukul 15.24 WIB
Kamus
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, M.A., Fifth Edition, St.Paul Minn, West
Publishing Co, 1979
46
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
KEBERADAAN ASAS REBUS SIC STANTIBUS
DALAM PERJANJIAN INTERNASIONAL1
Harry Purwanto
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk menelusuri dinamika dari prinsip rebus
sic stantibus dalam hukum perjanjian. Artikel ini akan membahas
bagaimana para ahli berpandangan terhadap prinsip ini, bagaimana
kaitan hukum internasional dengan prinsip tersebut dan bagaimana
prinsip tersebut diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat
internasional. Pada akhirnya, prinsip rebus sic stantibus dapat
dijadikan dasar untuk memutuskan, membatalkan atau menangguhkan
implementasi suatu perjanjian internasional.
Kata Kunci: Perjanjian, Prinsip, Rebus Sic Stantibus
Abstract
This article aims to explore the dynamics of the principle of rebus sic
stantibus in the law of treaty. It will explore how experts view toward
this principle, how the international law deals with it, and how it is
implemented in reality in international society. Finally, it is concluded
that the principle of rebus sic stantibus may be invoked as a ground in
terminating, withdrawing or suspending the implementation of a
treaty.
Keywords: treaty, principles, rebus sic stantibus
1
Artikel ini pernah dimuat di Jurnal Mimbar Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, Edisi Khusus, November 2011.
47
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Negara merupakan aktor utama dan pertama dalam memainkan
hubungan kerja sama internasional. Di era globalisasi2 hubungan kerja
sama internasional semakin ramai dengan keberadaan dan diakuinya
organisasi internasional sebagai salah satu pelaku dalam hubungan
internasional. Hubungan kerja sama internasional yang dilakukan antar
subyek hukum internasional utamanya antar negara pun semakin
meningkat. Adanya perbedaan sistem kenegaraan, bentuk negara,
2
Sebenarnya tidak cukup jelas, kapan era globalisasi dimulai. Ada pendapat, bahwa apa
yang terjadi dalam globalisasi bukan merupakan sesuatu yang baru. Hubungan antar
negara dengan negara lain dalam berbagai bidang sudah dimulai sejak banyaknya
negara-negara merdeka, yaitu setelah diadakanya Perjanjian Westphalia tahun 1648.
Pendapat lain mengatakan bahwa, globalisasi merupakan fenomena baru dalam
masyarakat internasional. Karena globalisasi merupakan revolusi global pertama dan
merupakan lompatan yang signifikan menuju kenyataan baru ditandai dengan
ditemukannya pesawat jet dan komputer yang kemudian dipergunakan secara meluas,
dan pada gilirannya memudahkan manusia berkomunikasi atau berinteraksi dari
manapun mereka berasal. Dari sisi ekonomi, globalisasi ditandai oleh adanya intensitas
perdagangan antar negara meluas dan migrasi serta investasi ekonomi meningkat.
Globalisasi mempunyai makna yang bermacam-macam, seperti internasionalisasi, yaitu
meningkatnya intensitas interaksi lintas batas dan saling ketergantungan antar negara;
Liberalisasi, yaitu sebagai suatu proses untuk memindahkan larangan-larangan yang
dibuat oleh negara dalam rangka membentuk ekonomi dunia yang lebih terintegrasi;
Universalisasi yaitu menyebarnya berbagai macam obyek dan pengalaman dari
masyarakat di seluruh dunia; Westernisasi yaitu proses peniruan budaya barat atau
bahkan proses memaksakan sistem budaya, sistem politik dan sistem ekonomi negaranegara Barat dalam panggung dunia. Oleh Sheila L. Croucher, globalisasi secara
sederhana dapat digambarkan sebagai “a process of blending or homogenization by
which the people of the world are unified into a single society and function together.
This process is a combination of economic, technological, socialculture and political
forces”. Sheila L Croucher, Globalization and Belonging: The politics of identity in a
Changing World, Roman & Littlefield, hlm. 10. Yulius P. Hermawan (editor),
Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional; Aktor, Isu dan Metodologi,2007,
Graha Ilmu, Yogyakarta, hlm. 130-132.
48
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
perbedaan pandangan hidup, kebudayaan, agama atau kepercayaan
bukan merupakan penghalang untuk menjalin kerja sama, bahkan dapat
meningkatkan intensifnya hubungan antar negara. Demikian juga
persoalan yang menjadi sasaran pengaturan dalam perjanjian
internasional tidak hanya masalah-masalah yang ada dipermukaan bumi
saja, namun sudah meluas pada masalah-masalah yang ada di dalam
perut bumi dan juga yang ada di luar planet bumi (di ruang udara dan
ruang angkasa). Oleh karena itu dengan didukung oleh kenyataan yang
demikian3, mendorong dibuatnya aturan-aturan secara lebih tegas dan
pasti, yaitu dalam bentuk perjanjian internasional (treaty)4. Tidaklah
berlebihan jika dikatakan, bahwa selama masih berlangsungnya
hubungan-hubungan antar negara atau hubungan internasional, selama
itu pula akan melahirkan berbagai perjanjian internasional dalam
berbagai bidang yang di aturnya seperti bidang sosial dan budaya,
politik, pertahanan, keamanan, ekonomi, perdagangan, teknologi,
pertanian, perbatasan, dan sebagainya. Melalui perjanjian internasional
pelaksanaan hak dan kewajiban negara sebagai anggota masyarakat
internasional akan lebih terarah dan terjamin.
Hal demikian pada gilirannya menjadikan perjanjian internasional
mempunyai peranan penting dalam hubungan internasional. Dalam
3
4
Sebagaimana dikutip oleh Sam Suhaedi Admawiria, bahwa hukum internasional adalah
fakta, karena ada fakta pergaulan hidup bangsa-bangsa. State cannot live a life to itself
alone. It is a member of community of states. Sam Suhaedi Admawiria, Pengantar
Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 1968, hlm.xvi.
Treaty merupakan istilah umum untuk menyebut Perjanjian Internasional. Istilah lain
untuk menyebut perjanjian internasional adalah Convention, Agreement, Arangement,
Declaration, Protokol, Proces Verbal, Modus Vivendi, Exchane of Notes, dan
sebagainya. Penggunaan istilah dalam pembuatan perjanjian internasional tergantung
kesepakatan Negara-negara pihak, Konvensi Wina 1969 sebagai sumber hukum
pembuatan perjanjian internasional tidak mewajibkan kepada pembuat perjanjian
internasional untuk menggunakan istilah tertentu.
49
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
konteks hukum internasional menaikan peringkat perjanjian internasional
sebagai sumber hukum internasional yang pertama kali diperhatikan oleh
hakim-hakim di Mahkamah Internasional (International Court of Justice)5.
Dengan demikian sebagai salah satu fungsi perjanjian internasional
sebagai sumber hukum internasional. Dapat pula dikatakan bahwa di
dalam tubuh hukum internasional terdapat perjanjian internasional. Di
dalam tubuh hukum internasional sendiri sebagaimana dikemukakan
oleh Starke, terdiri atas sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri
atas prinsip-prinsip dan aturan tingkah laku yang mengikat negaranegara dan oleh karenannya ditaati dalam hubungan antar negara.
Hukum internasional meliputi juga;
1. kaidah-kaidan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi
lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi internasional serta
hubungannya antara negara-negara dan individu-individu,
2. kaidah-kaidah hukum yang mengatur kepentingan individuindividu dan kesatuan bukan negara, sepanjang hak-hak dan
kewajiban dari individu-individu dan kesatuan bukan negara
5
Sebelum dikeluarkanya Statuta Mahkamah Internasional, sebagaimana dikemukakan
oleh Starke bahwa ; “The material sources of international law fall into five principles
categories or forms: custom, treaties, decisions of judicial or arbitral tribunals, juristic
works, and decisions or determinations of organs of international constitutions”.
Kemudian berdasarkan Article 38 par. 1 of International Court of Justice, that : The
Court whose function is to decide in accordance with international law such disputes
as are submitted to it, shall apply: 1). international conventions, whether general or
particular, establishing rules expressly recognized by the contesting states; 2).
international custom, as evidence of a general practice accepted as law; 3). the general
principles of law recognized by civilized nations; 4). subject to the provisions of Article
59, judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists of the
various nations, as subsidiary means for the determination of rules of law. Starke,
1989, Introduction to International Law, Tenth Edition, Butterworth, London, page 32;
Article 38 par. 1, Statute of International Court of Justice.
50
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
tersebut hasil kesepakatan antar negara yang dituangkan dalam
bentuk perjanjian.
Dengan semakin besar dan semakin meningkatnya saling
ketergantungan antar negara, akan mendorong diadakannya kerjasama
internasional, yang dalam banyak hal dirumuskan dalam bentuk
perjanjian internasional. Dalam pembuatan perjanjian internasional
negara-negarapun tunduk pada aturan (hukum internasional) tentang
pembuatan perjanjian internasional. Dewasa ini ada dua aturan
internasional yang digunakan untuk mengatur pembuatan perjanjian
internasional, yaitu Vienna Convention on The Law Of Treaties, 19696 dan
Vienna Convention on The Law Of Treaties between States and International
Organizations or between International Organizations, 19867. Perbedaan di
antara kedua konvensi tersebut hanya terletak pada subyek pembuat
perjanjian internasional, sehingga beberapa asas atau prinsip umum
dalam pembuatan perjanjian internasional adalah kurang lebih sama.
Perjanjian internasional pada hakikatnya merupakan species dari genus
yang berupa perjanjian pada umumnya. Dalam setiap perjanjian
termasuk perjanjian internasional terdapat asas-asas yang dijadikan
sebagai landasan dalam pelaksanannya. Adapun asas yang paling
fundamental adalah asas pacta sunt servanda, yaitu bahwa janji mengikat
sebagaimana undang-undang bagi yang membuatnya. Dikatakan
fundamental karena asas tersebut yang melandasi lahirnya perjanjian,
termasuk perjajian internasional dan melandasi dilaksanakannya
perjanjian sesuai dengan apa yang diperjanjikan oleh para pihak. Sebagai
6
7
Konvensi ini mengatur pembuatan perjanjian internasional antar Negara (subyek
perjanjian adalah Negara)
Konvensi ini mengatur pembuatan perjanjian internasional antar Negara dengan
organisasi internasional atau antar organisasi internasional lain.
51
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
pasangan dari asas pacta sunt servanda adalah asas itikad baik.
Pelaksanaan janji-janji tersebut tentunya harus dilaksanakan dengan
penuh kesadaran, rasa tanggung jawab dan memperhatikan kepentingan
para pihak, sebagaimana yang telah dijanjikan dalam kesepakatan8. Oleh
karena itu, demi untuk menghindari atau mencegah timbulnya sengketa,
maka perlu dilakukan pemahaman terhadap asas-asas dari perjanjian
atau perjanjian internasional.
Di pihak lain berlakunya atau beroperasinya suatu perjanjian,
termasuk juga perjanjian internasional juga dapat dipengaruhi atau harus
memperhatikan asas hukum yang lain, seperti asas pacta tertiis nec nocent
nec prosunt9, asas non-retroaktive10, asas rebus sic stantibus11, dan norma jus
8
9
52
Lihat juga pendapat dari Wery dan Subekti, sebagaimana dikutip oleh Siti Ismijati
Jenie dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum UGM, dengan judul
Pidatonya Itikad Baik, Perkembangan dari Asas Hukum Khusus Menjadi Asas
Hukum Umum di Indonesia, Yogyakarta, 2007, hlm.5-6. Menurut Wery, bahwa
pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik, bahwa kedua belah pihak (pihak-pihak
peserta perjanjian) harus berlaku satu sama lain seperti patutnya di antara orangorang (pihak-pihak) yang sopan tanpa tipu daya, tanpa tipu muslihat, tanpa akalakalan, tanpa mengganggu pihak lain, tidak dengan melihat kepentingannya sendiri
saja namun juga melihak kepentingan pihak lain. Cetak miring merupakan penegasan
dari penulis dalam kaitannya dengan perjanjian internasional.
Sedangkan menurut Subekti, bahwa pelaksanaan perjanjian dengan itikad baik adalah
melaksanakan perjanjian dengan mengandalkan norma-norma kepatutan dan
kesusilaan. Pelaksanaan perjanjian harus dinilai berdasarkan ukuran obyektif. Atau
dengan lain perkataan pelaksanaan perjanjian harus berjalan di atas rel yang benar.
Bahwa perjanjian hanya membebankan hak dan kewajiban bagi para pihak
perjanjian internasional, bukan pada pihak ketiga, dalam hukum perjanjian sering
disebut dengan prinsip Pacta tertiis nec nocent nec prosunt. Lihat Brownlie,
Principles of Public International Law, ELBS Oxford University Press, 1979, hlm.
619. Asas ini telah menjadi bagian dari hukum internasional positif, sebagaimana
dirumuskan dalam Pasal 34 Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986. Pasal 34
Konvensi Wina 1969 “A treaty does not create either obligations or rights for a third
State without its consent.”
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
cogens12. Dikatakan beberapa asas hukum tersebut mempengaruhi
keberlangsungan perjanjian, karena sekalipun sudah ada kesepakatan
dan kesepakatan tersebut mengikat bagi para pihak, bila kemudian
terjadi suatu peristiwa atau karena berlakunya suatu asas hukum yang
lain maka dapat berakibat berlakunya perjanjian tersebut ditunda atau
bahkan dibatalkan. Seperti misalnya, dengan munculnya norma dasar
hukum internasional yang baru (norma jus cogens) di mana norma tersebut
bertentangan dengan perjanjian yang telah disepakati maka perjanjian
tersebut akan batal. Demikian juga atas suatu perjanjian yang telah
berlaku akan terganggu berlakunya bila terjadi perubahan keadaan yang
fundamental (rebus sic stantibus), keadaan yang menjadi dasar dibuatnya
perjanjian telah berubah dan perubahan tersebut mempengaruhi
10
11
12
Pasal 34 Konvensi Wina 1986 A treaty does not create either obligations or rights
for a third State or a third organization without the consent of that State or that
organization
Ketentuan hukum tidak dapat diterapkan atau diberlakukan atas suatu peristiwa
hukum masa lampau, yaitu masa sebelum ketentuan hukum itu dinyatakan berlaku.
Dalam Konvensi Wina 1969 dan 1986 keberadaan asas Non-retroactive terdapat
dalam Pasal 4 jo Pasal 28.
Pasal 4 Konvensi Wina 1969 dan 1986, .......the Convention applies only to treaties
which are concluded by States after the entry into force of the present Convention
with regard to such States.
Pasal 28 Konvensi Wina 1969 dan 1986, Unless a different intention appears from
the treaty or is otherwise established, its provision do not bind a party in relation to
any act or fact which took place or any situation which ceased to exist before the
date of the entry into force of the treaty with respect to that party
Pengertian dan makna asas rebus sic stantibus akan diuraikan dalam pembahasan
berikutnya dalam paper ini.
Norma jus cogens merupakan suatu norma dasar hukum internasional umum
(peremtory norm of general international law). Dalam Pasal 53 jo Pasal 64 Konvensi
Wina 1969 dinyatakan bahwa suatu perjanjian batal apabila pada saat pembentukan
perjanjian tersebut bertentangan dengan suatu norma dasar hukum internasional
umum.
53
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
kemampuan pihak-pihak yang berjanji. Dengan kata lain berlakunya
perjanjian internasional dapat ditangguhkan, bahkan dapat dibatalkan
karena adanya perubahan keadaan yang sangat fundamental. Jadi
dengan berlakunya asas rebus sic stantibus maka para pihak dapat
melepaskan atau mengingkari janji-janji yang telah mereka berikan.
Khusus berkenaan dengan asas rebus sic stantibus yang dapat
mempengaruhi keberlangsungan perjanjian, sekalipun asas ini telah
diterima di dalam masyarakat internasional, namun dalam beberapa hal
masih menimbulkan perbedaan penafsiran dalam penerapannya. Dalam
paper ini fokus utama pembahasannya adalah keberadaan asas rebus sic
stantibus dalam perjanjian internasional.
B. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas dalam tulisan ini akan dikaji :
1. Bagaimana eksisitensi asas rebus sic stantibus dalam masyarakat
internasional.
2. Bagaimanakah penerapan asas rebus sic stantibus dalam
masyarakat internasional.
II. P E M B A H A S A N
A. Ruang lingkup Perjanjian internasional
Sebagaimana di singgung di atas, bahwa dengan semakin intensifnya
hubungan antar negara, perjanjian merupakan hukum yang harus
dihormati dan ditaati oleh pihak-pihak pembuat perjanjian13. Kata
”perjanjian” menggambarkan adanya kesepakatan antara anggota
13
54
Praktek negara-negara mengadakan perjanjian internasional sudah lama dikenal di
dalam masyarakat internasional. Seperti hasil kesepakatan atau perdamaian
Westphalia yang dituangkan dalam bentuk konvensi multilateral.
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
masyarakat14 tentang suatu keadaan yang mereka inginkan. Juga
mencerminkan hasrat mereka, dan memuat tekad mereka untuk
bertindak sesuai dengan keinginan dan hasrat mereka. Kata ”perjanjian”
yang diikuti kata sifat ”internasional”, yang merujuk pada perjanjian
yang dibuat oleh para aktor yang bertindak selaku subyek hukum
internasional, juga kata ”internasional” di sini untuk menggambarkan
bahwa perjanjian yang dimaksud bersifat lintas-batas suatu negara, para
pihak masing-masing bertindak dari lingkungan hukum nasional yang
berbeda15.
Dalam perkembangannya, perjanjian internasional telah dijadikan
sumber hukum dalam hubungan internasional dan telah menjadi bagian
utama dalam hukum internasional. Dewasa ini hukum internasional
sebagian besar terdiri dari perjanjian-perjanjian internasional. Bahkan
perjanjian internasional telah mendesak dan menggeser posisi hukum
kebiasaan internasional sebagai sumber hukum internasional.
Dalam merumuskan hasil kesepakatan dalam suatu perjanjian
internasional, praktek negara-negara telah menuangkan ke dalam
berbagai bentuk dengan berbagai macam sebutan atau nama, mulai dari
yang paling resmi sampai pada bentuk yang paling sederhana. Namun
apapun bentuk dan sebutan yang diberikan pada perjanjian internasional
yang merupakan hasil kesepakatan tersebut tidak mengurangi kekuatan
mengikatnya suatu perjanjian bagi para pihak.
14
15
Dalam konteks perjanjian internasional, tentunya yang dimaksud dengan anggota
masyarakat adalah anggota masyarakat internasional yang beranggotakan Negaranegara, organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lainnya. Lihat
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003.
Ko Swan Sik, Beberapa Aspek Kenisbian dan Kesamaran Perjanjian Internasional,
dalam Jurnal Hukum Internasional, Volume 3 Nomor 4, Lembaga Pengkajian Hukum
Internasional Fakultas Hukum UI, Jakarta, 2006, hlm. 474 – 476.
55
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Sampai dengan tahun 1969 pembuatan perjanjian antar negara
tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan. Hukum kebiasaan
yang berlaku dalam pembuatan perjanjian internasional tersebut
kemudian oleh Komisi Hukum Internasional disusun dalam bentuk
pasal-pasal sebagai draft suatu perjanjian internasional tentang
pembuatan perjanjian internasional. Kemudian pada tanggal 26 Maret 24 Mei 1968 dan tanggal 9 April - 22 Mei 1969 diadakanlah Konferensi
Internasional di Wina untuk membahas draft yang telah dipersiapkan
oleh Komisi Hukum Internasional tersebut. Konferensi tersebut
kemudian melahirkan Vienna Convention on The Law of Treaties yang
ditandatangani pada tanggal 23 Mei 196916.
Pengertian perjanjian internasional sendiri dapat ditinjau dari sudut
pandang teoritis maupun sudut pandang yuridis. Tinjauan dari sudut
pandang teoritis artinya melihat pendapat di antara beberapa sarjana,
seperti pendapat Oppenheim, O’Connell, Mochtar Kusumaatmadja,
Starke, dan masih banyak lagi17. Sedangkan ditinjau dari sudut pandang
16
Konvensi ini mulai berlaku efektif dan telah menjadi hukum internasional positif
pada hari ke tigapuluh sesudah penyimpanan instrumen ke tiga puluh ratifikasi atau
keikutsertaan, yaitu tepatnya sejak tanggal 27 Januari 1980. Sumaryo Suryokusumo,
Hukum Perjanjian Internasional, Bahan Kuliah Magister Ilmu Hukum, yanpa tahun,
hlm. 10.
17
Beberapa pengertian perjanjian sebagaimana disebutkan oleh Mohd. Burhan Tsani,
dalam bukunya Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty Yogyakarta, 1990, hlm.
64-65. Sumaryo Suryokusumo, Loc. Cit., hlm. 11.
Menurut Oppenheim, International treaties are conventions, or contracts, between
two or more states concerning various matters of interest.
D.P. O’Connell, Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antar negara yang
diatur oleh hukum internasional sebagai pembeda dengan persetujuan menurut
hukum nasional, yang terhadap konsekuensi hukum pembuatan perjanjian
internasional, bentuk dan caranya adalah tidak penting.
56
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
yuridis berdasarkan pada pengertian perjanjian internasional
sebagaimana dirumuskan dalam beberapa Konvensi dan Peraturan
Perundangan RI18.
Berdasarkan berbagai pengertian perjanjian internasional baik
berlandaskan pada pengertian teoritis maupun yuridis, dapat dikatakan
bahwa suatu perjanjian merupakan perjanjian internasional apabila
18
Mochtar Kusumaatmadja: Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan
antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan
akibat-akibat hukum tertentu.
JG Starke: Traktat adalah suatu perjanjian di mana dua negara atau lebih mengadakan
atau bermaksud mengadakan suatu hubungan di antara mereka yang diatur dalam
hukum internasional. Sepanjang perjanjian antar negara-negara terwujud, dengan
ketentuan bahwa perjanjian itu bukan hal yang diatur oleh hukum nasional.
Menurut Schwarzenberger, Perjanjian adalah persetujuan di antara subyek hukum
Internasional yang menimbulkan suatu kewajiban yang mengikat di dalam hukum
internasional.
Konvensi Wina 1969 Pasal 2 (1.a): Perjanjian internasional berarti suatu persetujuan
internasional yang ditandatangani antarnegara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh
hukum internasional, apakah dibuat dalam bentuk satu instrumen tunggal atau dalam
dua instrumen yang saling berhubungan atau lebih dan apapun yang menjadi
penandaan khususnya.
Konvensi Wina 1986 Pasal 2 (1.a): Perjanjian internasional berarti suatu persetujuan
internasional yang diatur dengan hukum internasional dan ditandatangani dalam
bentuk tertulis:
- antara satu negara atau lebih dan antara satu organisasi internasional atau lebih,
atau
- antarorganisasi internasional.
UU No.37 Th.1999 Pasal 1 (3): Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam
bentuk dan sebutan apapun, yg diatur oleh HI dan dibuat secara tertulis oleh
pemerintah RI dengan satu atau lebih negara, organisasi internasional atau subyek HI
lainnya, serta menimbulkan hak dan kewajiban pada Pemerintah RI yang bersifat
hukum publik.
UU No.24 Tahun 2000, Pasal 1.a.: Perjanjian internasional adalah perjanjian dalam
bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara
tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik
57
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
dibuat oleh subyek hukum internasinal dalam bentuk tertulis serta dalam
pembuatannya tunduk pada rejim hukum internasional. Tentang isi suatu
perjanjian menyangkut apapun yang disepakati oleh para pihak,
sepanjang tidak dilarang atau tidak bertentangan dengan norma-norma
atas asas-asas hukum internasional.
B. Keberadaan Asas Rebus sic Stantibus
1. Pengertian asas
Sebagaimana di sebutkan di atas bahwa dalam hukum perjanjian
terdapat berapa asas penting dalam perjanjian internsaional salah satunya
adalah asas rebus sic stantibus. Sebelum menguraikan lebih lanjut tentang
keberadaan asas rebus sic stantibus, ada baiknya diuraikan terlebih dahulu
pengertian asas dan arti pentingnya asas dalam hukum.
Oleh beberapa sarjana penggunaan kata asas disamakan artinya
dengan prinsip (principle)19.
Arti dari asas itu sendiri menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia
mempunyai tiga pengertian, yaitu berarti:
a. Dasar, alas, pedoman;
b. Suatu kebenaran yang menjadi pokok atau tumpuan berpikir
c. Cita-cita yang menjadi dasar20.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa asas merupakan
dasar atau tempat tumpuan berpikir dalam memperoleh kebenaran.
19
20
58
Mochtar Kusumaatmadja, menterjemahkan general principle of law dengan asas
hukum umum. Vadross, beliau mengatakan bahwa asas pacta sunt servanda
merupakan suatu asas hukum umum (general principle of law). Mochtar
Kusumatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2003, hlm.148;
Sam Suhaedi Atmawiria, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 1968,
hlm.58.
Kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 32.
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Menurut Paton, asas adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan
secara luas dan mendasari adanya sesuatu norma hukum.21 Berdasakan
pendapat Paton yang demikian dapat dikatakan bahwa adanya norma
hukum itu berlandaskan pada suatu asas. Sehingga setiap norma hukum
harus dapat dikembalikan pada asas. Pendapat senada dikemukakan oleh
van Erkema Hommes bahwa asas hukum itu tidak boleh dianggap
sebagai norma-norma hukum yang konkrit, akan tetapi perlu dipandang
sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang
berlaku. Pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas-asas
hukum tersebut.22 Pendapat lain tentang asas hukum sebagaimana
dikemukakan oleh Ron Jue bahwa asas hukum merupakan nilai-nilai
yang melandasi kaidah-kaidah hukum.23
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikatakan bahwa asas hukum
merupakan suatu alam pikiran atau cita-cita ideal yang melatarbelakangi
pembentukan kaidah hukum, bersifat umum maupun universal24 dan
abstrak, tidak bersifat konkrit. Bahkan oleh Scholten dikatakan bahwa
asas hukum itu berada baik dalam sistem hukum maupun di belakang
atau di luar sistem hukum. Sejauh nilai asas hukum itu diwujudkan
dalam kaidah hukum dari sistem hukum positif, maka asas hukum itu
berada di dalam sistem. Demikian sebaliknya, sejauh nilai asas hukum itu
21
22
23
24
Sebagaimana dikutip oleh Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar
Grafika, Jakarta, 2000, hlm.36.
Dalam Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2001, hlm.5.
Mr. drs. J.J. H. Bruggink, alih bahasa Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra
Aditya, Bandung, 1999, hlm.121.
Asas hukum umum menunjuk berlakunya asas tersebut pada seluruh bidang hukum.
Sedangkan asas hukum universal menunjuk berlakunya asas tersebut kapan saja dan
di mana saja, tidak terpengaruh oleh waktu dan tempat. Oleh Scholten ditunjukan
adanya asas hukum khusus, yaitu asas hukum yang berlaku pada satu bidang hukum
saja. Sudikno Mertokusumo, Loc. Cit., hlm. 6.
59
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
tidak diwujudkan dalam kaidah hukum dari sistem hukum positif, maka
asas hukum itu berada di belakang sistem hukum25.
Berdasarkan pemikiran Scholten yang demikian, maka bisa dijumpai
adanya beberapa asas hukum yang dituangkan dalam kaidah hukum,
baik yang berupa undang-undang maupun perjanjian internasional.
Demikian sebaliknya, ada beberapa asas hukum yang tidak dituangkan
dalam peraturan perundangan atau perjanjian internasional.
2. Keberadaan dan Pandangan para ahli terhadap asas Rebus Sic
Stantibus.
Keberadaan asas Rebus Sic Stantibus26 telah lama dikenal dalam
masyarakat, baik oleh para ahli hukum maupun oleh lembaga
pengadilan27, dan bahkan dewasa ini telah menjadi bagian dari hukum
positif baik dalam sistem hukum nasional maupun dalam sistem hukum
internasional. Masyarakat Eropa, khususnya melalui hukum Gereja
mengatakan bahwa: ”pengaruh hukum Gereja yang kekal dapat terlihat
dalam pemasukan asas rebus sic stantibus kedalam tubuh hukum
internasional”. Diterimanya asas rebus sic stantibus tersebut pada awalnya
untuk melunakkan sifat ketat hukum privat Roma28. Bahkan sejak abad
XII dan XIII ahli-ahli hukum kanonik telah mengenal asas ini yang dalam
bahasa Latin-nya diungkapkan sebagai : contractus qui habent tractum
succesivum et dependentiam de futuro rebus sic stantibus intelliguntur, yang
25
26
27
28
60
Ibid., hlm.122.
Makna dari asas tersebut adalah;” perjanjian yang dibuat oleh para pihak hanya
mengikat selama tidak ada perbahan vital dalam keadaan-keadaan yang berlaku pada
waktu traktat diadakan”.
RC Hengorani, Modern International Law, Second Edition, Oxford & IBH
Publishing Co, New Delhi, 1982, hlm. 232.
Arthur Nussbaum, Sam Suhaedi Admawiria, Sejarah Hukum Internasional I,
Binacipta, Bandung, 1969, hlm. 90, 123.
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
artinya bahwa ”perjanjian menentukan perbuatan selanjutnya untuk
melaksanakannya pada masa yang akan datang harus diartikan tunduk
kepada persyaratan bahwa lingkungan dan keadaan di masa yang akan
datang tetap sama” 29.
Melalui ungkapan dari para ahli hukum kaum kanonik dapat
dipahami bahwa perjanjian akan dilaksanakan oleh para pihak sesuai
dengan janjinya, sepanjang lingkungan dan keadaan pada saat dibuatnya
perjanjian tidak berubah untuk masa yang akan datang. Sehingga dengan
adanya perubahan keadaan dan ternyata perubahan tersebut
mempengaruhi kemampuan para pihak untuk melaksanakan perjanjian,
maka pihak yang tidak mampu lagi melaksanakan perjanjian dapat
menyatakan untuk tidak terikat lagi pada atau keluar dari perjanjian
tersebut. Sehingga perjanjian tidak lagi mengikat baginya.
Asas Rebus Sic Stantibus pertama kali diterapkan oleh peradilan
keagamaan. Diterapkannya asas Rebus Sic Stantibus oleh peradilan
keagamaan karena situasi yang terjadi pada waktu itu adanya pemisahan
antara urusan gereja dengan urusan negara, dan ini merupakan salah satu
karakteristik penting dari Kode Napoleon. Untuk selanjutnya asas Rebus
Sic Stantibus diadopsi oleh pengadilan lain dan para ahli hukum. Asas ini
kemudian telah diterima secara luas pada akhir abad XIII30. Dalam
perkembangannya keberadaan asas rebus sic stantibus mendapat
dukungan dari beberapa ahli dan pendapat para ahli telah membantu
eksistensi asas rebus sic stantibus dalam masyarakat. Sebagaimana
dikemukakan oleh Machiavelli bahwa; ”segala sesuatu tergantung pada
keadaan-keadaan yang kebetulan berlaku pada suatu waktu yang
29
http://perjanjian internasionalhilawyers.com/blog/?p=16, Pacta Sunt Servanda dan
Rebus Sic
Stantibus dalam Hukum Perjanjian, diakses tanggal 22 Pebruari 2008
30
Ibid.
61
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
dihadapi oleh penguasa negara”31. Sikap Machiavelli yang demikian
tentunya tidak jauh dari makna yang terkadung dalam asas rebus sic
stantibus.
Demikian juga Alberico Gentili menyatakan bahwa: ”yang paling
penting atas hukum traktat ialah dalil bahwa perjanjian (perdamaian)
selalu mengandung syarat tersimpul, jaitu bahwa traktat hanya mengikat
selama kondisi-kondisinya tidak berubah”32. Jelaslah bahwa yang
dimaksud dengan syarat tersimpul oleh Aliberco Gentili adalah asas rebus
sic stantibus.
Lain halnya dengan Bynkershoek dalam salah satu karyanya yang
berkaitan dengan traktat, walau pada awalnya ia menolak asas rebus sic
stantibus, namun pada kesempatan lain justru menyarankan kepada
penguasa berdaulat untuk melepaskan diri dari suatu janji-janji, bilamana
ia tidak lagi mempunyai kekuasaan untuk mentaati janji-janji itu33. Di
tegaskan pula oleh Bierly, bahwa dalam setiap perjanjian internasional
ada tersirat suatu syarat tambahan yang menentukan bahwa perjanjian
itu hanya mengikat selama keadaan-keadaan masih seperti semula. Katakata yang dicantumkan dalam perjanjian merupakan hasil kesepakatan di
antara para pihak namun mengandung suatu syarat, yaitu apabila tidak
terjadi suatu perubahan keadaan yang penting terjadi. Bila terjadi suatu
perubahan keadaan yang penting maka hilanglah syarat berlakunya
perjanjian, dan tidak mempunyai kekuatan mengikat lagi34.
Rebus Sic Stantibus merupakan salah satu asas dalam hukum. Hukum
tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Sebagaimana ungkapan ubi
31
32
33
34
62
Op. Cit., hlm. 102
Op. Cit.., hlm 123.
Arthur Nussbaum, Sam Suhaedi Admawiria, Sejarah Hukum Internasional II,
Binacipta, Bandung, 1970, hlm. 78.
Bierley, Hukum Bangsa-Bangsa, terjemahan Moh. Radjab, Bhratara, Jakarta, 1963,
hlm.244
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
societas ibi ius, bahwa di mana ada masyarakat disana ada hukum.
Demikian juga terhadap penerimaan asas rebus sic stantibus berdasarkan
sejarah hukum mengalami pergeseran seiring dengan berjalannya waktu.
Sebagaimana dikemukakan oleh Prof. Rosenn:
”Pada awal abad kelimabelas, popularitas asas rebus sic stantibus
mulai memudar, sebagian karena adanya protes untuk
kepentingan komersial terhadap peningkatan ketidakamanan
yang ditimbulkan oleh penerapan secara luas asas tersebut. Pada
akhir abad delapanbelas, asas pacta sunt servanda mencapai
puncaknya, dan asas rebus sic stantibus telah menghilang hanya
menjadi doktrin yang usang. Yang ikut mendorong kepudaran
asas rebus sic stantibus adalah munculnya positivisme scientific,
dan meningkatnya penekanan pada otonomi individual dan
kebebasan berkontrak”35.
Di pihak lain, sebagaimana juga dikemukakan oleh kaum kanonis
yaitu munculnya paham liberalisme yang mendominasi di abad XVIII,
membawa ide baru dalam penerapan asas rebus sic stantibus yang kurang
tegas dan terbatas. Mereka beranggapan bahwa asas pacta sunt servanda
sangat sesuai dengan konsep lasse faire, lassez passe. Oleh karena itu kitab
undang-undang yang dikeluarkan pada masa itu, yaitu Kode Napoleon
dan Italian Civil Code tidak mengadopsi asas rebus sic stantibus. Tidak
diakuinya asas rebus sic stantibus nampak dalam artikel 1134 Kode
Napoleon yang berbunyi: Agreements legally made take the place of law for
those who make them. They may be revoked only by mutual consent or for causes
which the law authorize. They must be executed in good faith36.
35
36
http://perjanjian internasionalhilawyers.com/blog/?p=16, Pacta Sunt Servanda dan
Rebus Sic Stantibus dalam Hukum Perjanjian, diakses tanggal 22 Pebruari 2008
Ibid.
63
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Kondisi yang demikian berlangsung terus hingga pecah Perang Dunia
I. Setelah Pecah Perang Dunia I, para ahli hukum Eropa mencari alasan
pembenar atau teori hukum apa yang tepat untuk memberi kelonggaran
kepada pemberi janji untuk melaksanakan perjanjian yang ternyata
sangat sulit dilaksanakan, karena adanya perubahan keadaan. Perubahan
yang terjadi adalah adanya perang yang cukup lama dan membawa
kerusakan yang demikian hebat di berbagai Negara di Eropa, yang pada
gilirannya menimbulkan kesulitan dalam melaksanakan perjanjian.
Menghadapi situasi yang demikian para ahli hukum Eropa akhirnya
mendaur ulang atau kembali pada asas atau prinsip rebus sic stantibus,
dengan nama atau rumusan yang berbeda.
2. Perwujudan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Hukum Positif
Seperti halnya asas pacta sunt servanda, asas rebus sic stantibus telah
menjadi bagian dari asas hukum umum, yang kemudian dalam
perkembangannya (dengan modifikasi dalam perumusanya) juga
diwujudkan dalam kaidah hukum dari sistem hukum positif, sehingga
asas hukum itu berada di dalam sistem. Hukum internasional merupakan
suatu sistem hukum yang terdiri dari beberapa unsur, yang salah satunya
adalah perjanjian internasional.
Dalam hukum internasional positif asas
rebus sic stantibus
mendapatkan pengaturan dalam Konvensi Wina 1969, yaitu dalam Seksi
3 tentang Pengakhiran dan Penundaan bekerjanya perjanjian
internasional, khususnya Pasal 62. Pengaturan asas rebus sic stantibus
bersamaan dengan berakhirnya atau penundaan berlakunya perjanjian,
karena memang asas rebus sic stantibus merupakan salah satu alasan yang
dapat digunakan untuk mengakiri atau menunda berlakunya suatu
perjanjian.
Pasal 62 dengan judul perubahan mendasar atas keadaan-keadaan
menentukan:
64
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
1) Suatu perubahan mendasar keadaan-keadaan yang telah terjadi
terhadap keadaan-keadaan yang ada pada saat penutupan traktat,
dan yang tidak terlihat oleh para pihak, tidak dapat dikemukakan
sebagai dasar untuk pengakhiran atau penarikan diri dari traktat
tanpa:
a) keberadaan keadaan-keadaan itu merupakan suatu dasar esensial
bagi setujunya pihak-pihak untuk terikat pada traktat; dan
b) pengaruh perubahan-perubahan itu secara radikal menggeser
luasnya kewajiban-kewajiban yang masih harus dilaksanakan di
bawah traktat itu.
2) Suatu perubahan mendasar keadaan-keadaan tidak boleh
dikemukakan sebagai dasar untuk mengakhiri atau menarik diri dari
traktat, jika:
a) traktat itu menetapkan perbatasan; atau
b) perubahan itu sebagai hasil dari pelanggaran oleh pihak yang
mengemukakannya baik atas suatu kewajiban di bawah traktat itu
atau setiap kewajiban internasional lainnya terhadap pihak
lainnya pada traktat tersebut.
3) Jika sesuai dengan ayat-ayat di atas, suatu pihak boleh menuntut
suatu perubahan keadaan-keadaan sebagai dasar untuk mengakhiri
atau menarik diri dari suatu traktat maka pihak itu juga dapat
menuntut perubahan itu sebagai dasar untuk menunda bekerjanya
traktat itu.
Penggunaan kata-kata rebus sic stantibus tidak nampak dalam Pasal 62
Konvensi Wina 1969. Hal ini memang nampaknya dihindari oleh
International Law Commission, dengan maksud untuk menekankan sifat
obyektif dari ketentuan yang ada dan juga guna menghindarkan
implikasi doktriner dari istilah tersebut. Sebagaimana juga dikemukakan
oleh D.J. Harris, bahwa Komisi Hukum Internasional dalam sidangnya
yang ke-18 tahun 1966 menolak teori yang tersirat tentang klausula rebus
65
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
sic stantibus itu, dan lebih suka mendasarkan pada doktrin ”perubahan
keadaan yang fundamental” (fundamental change of circumtances) dengan
alasan persamaan derajat dan keadilan serta membuang kata-kata rebus
sic stantibus, karena menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan37.
Oleh karena itu pada akhirnya makna yang terkandung dalam asas rebus
sic stantibus oleh Konvensi Wina dirumuskan dengan menggunakan
istilah ”fundamental change of circumtances” (perubahan fundamental atas
suatu keadaan). Bahkan oleh Mahkamah Internasional, dalam kasus
Fisheries Jurisdiction, dikatakan bahwa keberadaan asas rebus sic stantibus
dalam Pasal 62 tersebut hanyalah bersifat merumuskan hukum
kebiasaan38.
Dalam peraturan perundangan Indonesia, keberadaan asas rebus sic
stantibus mendapatkan pengakuan dalam Pasal 18 Undang Undang
Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian internasional. Dikatakan oleh
Pasal 18 bahwa: ” perjanjian internasional berakhir apabila terdapat
purubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian”39.
37
D.J. Harris, Case and Materials in International Law, Maxwell, London, 1983, hlm.
624.
38
39
66
Peter malanczuk, Akehurst’s Medern Introduction to International Law, Routledge,
London and New York, 1997, hlm. 145.
Bunyi Pasal 18 UU No.24 tahun 2000 selengkapnya adalah, “Perjanjian internasional
berakhir apabila:
a. terdapat kesepakatan para perjanjian internasionalhak melalui prosedur yang
ditetapkan dalam perjanjian;
b. tujuan perjanjian tersebut telah tercapai;
c. terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi pelaksanaan perjanjian;
d. salah satu perjanjian internasionalhak tidak melaksanakan atau melanggar
ketentuan perjanjian;
e. dibuat suatu perjanjian baru yang mengantikan perjanjian lama;
f. muncul norma-norma baru dalam hukum internasional;
g. obyek perjanjian hilang;
h. terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Namun dalam undang-undang tersebut tidak memberikan batasan
tentang apa itu asas rebus sic stantibus. Melalui asas ini Pemerintah
Indonesia dapat menyatakan berakhirnya suatu perjanjian internasional
yang dibuat dengan negara lain, sekalipun pelaksanaan asas tersebut
masih perlu penjabaran lebih lanjut.
Dalam lapangan hukum perdata, khususnya yang bersumberkan
pada Kitab undang undang Hukum Perdata, nampaknya tidak mengakui
keberadan asas rebus sic stantibus. Dalam lapangan hukum perdata
dikenal beberapa alasan yang dapat dipakai untuk mengakhiri perjanjian
antara lain, dengan judul hapusnya perikatan sebagaimana di atur dalam
Pasal 1381 KUH Perdata40.
C. Penerapan Asas Rebus Sic Stantibus
a. Kaitan antara Asas Rebus sic Stantibus dengan asas Pacta Sunt
Servanda dan Force Majeure.
Sebagaimana di jelaskan di atas bahwa atas suatu perjanjian
internasional mulai dari pembentukannya sampai pada tataran
beroperasinya perjanjian internasional tersebut selalu diliputi berlakunya
asas-asas hukum. Dua di antara asas-asas hukum yang menyertai
perjanjian internasional tersebut adalah Asas Pacta Sunt Servanda dan Asas
Rebus Sic Stantibus.
Asas pacta sunt servanda menjadi dasar pelaksanaan hak dan
kewajiban para pihak peserta perjanjian. Dengan berlandaskan pada asas
pacta sunt servanda pihak perjanjian dapat meminta pada pihak peserta
perjanjian yang lain untuk melaksanakan apa yang telah disepakati
40
Pasal 1381 Perikatan hapus karena pembayaran, penawaran pembayaran tunai diikuti
dengan penyimpanan atau penitipan, pembaharuan hutang, kompensasi, percampuran
utang, pembebasan utang, musnahnya barang yang terutang, kebatalan atau
pembatalan, berlakunya syarat batal, dan karena kadaluwarsa.
67
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
dalam perjanjian. Hampir-hampir dapat dikatakan bahwa berlakunya
asas pacta sunt servanda yang demikian adalah mutlak. Artinya siapapun
yang telah membuat janji tidak bisa tidak harus melaksanakan sesui
dengan janjinya. Karena keberadaan asas tersebut juga dilandasi oleh
ajaran agama. Bahkan sebagaimana dikatakan oleh Kelsen bahwa asas
pacta sunt servanda merupakan norma dasar (grundnorm).
Asas pacta sunt servanda yang lahir di negara-negara Eropa
Kontinental sebagai negara penganut civil law, dalam perkembangannya
mengalami pergeseran dalam mempertahankan berlakunya suatu
perjanjian. Sebab pada kenyataannya berlakunya suatu perjanjian
terpengaruh oleh suatu situasi yang terjadi pada saat itu dan pada
gilirannya akan mempengaruhi kewajiban-kewajiban para pihak. Bila
demikian jadinya maka berlakunya perjanjian akan terganggu dan
dibutuhkan jalan keluar pemecahannya.
Situasi yang demikian dapat
menimbulkan problem yang lebih komplek, yaitu adanya pertentangan
antara daya laku hukum secara kekal yang mempertahankan keadaan
berlakunya suatu perjanjian dengan kekuatan-kekuatan yang
menghendaki adanya perubahan. Oleh Gentili dikatakan untuk
mengatasi pertentangan itu asas rebus sic stantibus-lah yang dapat
melegalisir tantangan itu. Ini artinya bahwa berlakunya asas pacta sunt
servanda dapat disimpangi oleh asas rebus sic stantibus41. Sehingga
keberadaan rebus sic stantibus diperhatikan lagi setelah pecah Perang
Dunia I, di mana para ahli hukum Eropa mencari justifikasi teori guna
memberi kelonggaran kepada pemberi janji karena adanya perubahan
keadaan yang fundamental dan ternyata perubahan tersebut
mempengaruhi pelaksanaan janji-janji.
41
Sam Suhaedi Admawirea, Loc.Cit, hlm. 122.
68
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Namun demikian, sekalipun telah diterima baik melalui hukum
internasional positif maupun dukungan dari para ahli, penggunaan asas
rebus sic stantibus perlu hati-hati sekali agar tidak disalah gunakan atau
digunakan sebagai alasan pembenar bagi suatu negara untuk tidak
melaksanakan suatu kewajiban dalam perjanjian. Hal ini mengingat
bahwa dalam menerapkan asas rebus sic stantibus kadang-kadang masih
menimbulkan kekaburan di dalam pelaksanannya. Apa yang dimaksud
dengan perubahan vital, dapat ditafsirkan bermacam-macam dalam
praktek hubungan antar negara. Seperti Jerman pada tahun 1941 pernah
berlindung di balik asas rebus sic stantibus untuk membenarkan
pelanggarannya terhadap kenetralan Belgia, dengan jaminan
sebagaimana tercantum dalam Perjanjian London 183142.
Para ahli hukum internasional sendiri merasa enggan untuk
menentukan dan membatasi lingkup asas rebus sic stantibus tersebut dan
enggan mengatur secara ketat, demi keamanan perjanjian43. Lebih lagi
bila asas rebus sic stantibus dikaitkan dengan konsep hukum yang berupa
force majeure, bahwa penggunaan asas Rebus Sic Stantibus sebagai alasan
pembenar untuk membatalkan atau menunda berlakunya perjanjian tidak
boleh dicampur adukkan dengan force majeure atau vis major44, yang juga
merupakan salah satu konsep dalam hukum perdata dan juga telah
diterima sebagai prinsip dalam hukum pada umumnya dan hukum
internasional pada khususnya. Dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja
bahwa force majeure atau vis major merupakan suatu keadaan ke-tidak
mungkinannya salah satu pihak peserta melaksanakan kewajiban
menurut perjanjian (impossibility of performance). Alasan tersebut dapat
42
43
44
Bierly, loc.cit., hlm 245.
Hugh M Kindred, International Law Chiefly as Interpreted and Applied in Canada,
Emond Montgomery Publications Limited, 1987, hlm. 171.
Mochtar Kusumaatmadja, op. cit., hlm. 140.
69
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
dikemukakan apabila pelaksanaan kewajiban menjadi tidak mungkin
karena lenyapnya obyek atau tujuan yang menjadi pokok perjanjian45.
Keadaan force majeure atau vis major dapat menyampingkan kewajiban
pelaksanaan perjanjian hanya apabila terjadi suatu keadaan yang tidak
dapat dicegah atau tidak dapat diduga sebelumnya. Suatu keadaan force
majeure atau vis major terjadi apabila pelaksanaan tidak dimungkinkan
secara fisik dan secara hukum, dan bukan semata-mata karena adanya
kesulitan dalam melaksanakan kewajiban. Jadi di sini tidak dapat
melaksanakan kewajiban dalam perjanjian bukan karena adanya
kesulitan ekonomis bahkan ketidak mungkinan secara ekonomi.
Akhirnya Mochtar Kusumaatmadja pun berpendapat bahwa dirasa perlu
untuk membatasi ruang lingkup dan mengatur prosedur penggunaan
asas rebus sic stantibus sebagai alasan untuk mengakhiri atau
menangguhkan perjanjian internasional dengan saksama46.
Sejalan dengan pendapat Mochtar Kusumaatmadja yang demikian,
menurut Mieke Komar Kantaatmadja jika terjadi perubahan yang
mendasar sebagaimana diisyaratkan oleh Pasal 62 ayat 1 Konvensi Wina
1969 dan para pihak akan menghentikan perjanjian internasional atau
menarik diri dari suatu perjanjian internasional apabila dipenuhi syaratsyarat sebagai berikut:
1) perubahan suatu kedaan tidak terdapat pada waktu pembentukan
perjanjian,
2) perubahan tersebut adalah perihal suatu keadaan yang fundamental
bagi perjanjian tersebut,
3) perubahan tersebut tidak dapat diramalkan sebelumnya oleh para
pihak,
45
46
70
Ibid.
Mochtar Kusumaatmadja, Op. Cit, hlm. 141
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
4) akibat perubahan tersebut haruslah radikal, sehingga mengubah luas
lingkup kewajiban yang harus dilaksanakan menurut perjanjian itu,
5) penggunaan asas tersebut tidak dapat diterapkan pada perjanjian
perbatasan dan juga terjadinya perubahan keadaan akibat
pelanggaran yang dilakukan oleh pihak yang mengajukan tuntutan47.
b. Penerapan Asas rebus sic stantibus dalam masyarakat
internasional.
Prinsip hukum rebus sic stantibus nampaknya tetap menjadi bahan
telaah dan sering digunakan oleh negara-negara di dunia untuk
melakukan penundaan terhadap sebuah perjanjian internasional. Bentuk
yang cukup terkenal yang dianggap oleh beberapa ahli hukum dan
praktek internasional sebagai salah satu bentuk dari rebus sic stantibus
adalah pertikaian bersenjata atau perang.
Konflik senjata sebagai salah satu bentuk rebus sic stantibus untuk
melakukan penundaan sebuah perjanjian telah digunakan di dalam tiga
kasus, yaitu ketika Menteri Luar Negeri Perancis menyatakan bahwa
perang adalah perubahan keadaan yang mencukupi untuk melakukan
penundaan atas jurisdiksi Permanent Court of International Justice pada
tahun 1939, Pengadilan Paris yang menyatakan bahwa kekerasan dapat
mengakibatkan perubahan keadaan yang menghasilkan hak dan
kewajiban baru bagi negara belligerent dan Presiden Amerika Serikat,
Franklin D. Roosevelt yang menunda pelaksanaan kewajiban Amerika
47
Mieke Komar Kantaatmadja, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun 1969
tentang Hukum Perjanjian internasional, makalah, Fakultas Hukum UNPAD, 1981;
Pasal 62 Konvensi Wina 1969
71
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Serikat kepada International Load Line Convention pada tahun 1930 karena
perang dunia kedua48.
Berdasarkan doktrin dan praktek diatas, kemudian muncul
pernyataan, apakah sebuah konflik senjata dapat serta merta
menyebabkan terhentinya atau memunculkan penundaan berlakunya
perjanjian internasional ? Jawaban untuk pertanyaan ini dapat dilihat dari
beberapa praktek negara-negara dan konflik senjata yang terjadi setelah
perang dunia kedua.
Negara Perancis dapat dikatakan menganut faham yang cukup keras,
di mana menurut beberapa pendapat hukum di Perancis, deklarasi
perang saja cukup untuk memberikan dampak bagi sebuah perjanjian
internasional. Dapat dikatakan bahwa Perancis tidak akan menunggu
terjadinya konflik senjata untuk mengambil keputusan baik menunda
maupun melakukan penundaan terhadap sebuah perjanjian internasional.
Faham ini sedikit berbeda dengan praktek yang dilakukan oleh Inggris di
mana dampak terhadap sebuah perjanjian internasional akan muncul jika
terjadi konflik senjata. Inggris melakukan penundaan perjanjian
internasional atas dasar konflik senjata pada tahun 1795 ketika Inggris
menyatakan bahwa Konvensi Nootka Sound 1790 tidak berlaku lagi
karena perang yang terjadi antara Inggris dan Spanyol.
Lain halnya dengan Perancis dan Inggris, negara Belanda menganut
faham yang cenderung lebih lunak. Hal ini dapat dilihat dari praktek
negara Belanda yang menunda pelaksanaan seluruh perjanjian
internasional bilateral dengan negara Suriname ketika terjadi pergolakan
pada tahun 1982. Sementara itu, negara Italia, berdasarkan putusan
Pengadilan Kasasi yang menyatakan bahwa konflik senjata dapat
menyebabkan terjadinya perubahan keadaan yang kemudian
48
72
Indonesia and Law, Perjanjian Internasional dan Konflik Bersenjata, http://
forums.blogspot.com/2007/03.
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
kemungkinan penggunaan prinsip rebus sic stantibus. Lebih jauh,
Pengadilan di Italia pada masa perang dunia kedua memutuskan bahwa
perjanjian ekstradisi tidak berlaku lagi atas dasar perang yang terjadi49.
Selain praktek negara-negara di dunia, beberapa konflik senjata yang
terjadi setelah perang dunia kedua juga dapat dijadikan acuan apakah
konflik senjata dapat serta merta menyebabkan terhentinya atau
memunculkan penundaan sebuah perjanjin internasional. Acuan pertama
adalah ketika negara Mesir melakukan penundaan atas perjanjian Suez
Canal Base dengan negara Inggris di tahun 1956. Keputusan Mesir ini
disebabkan atas serangan udara Inggris dan Perancis terhadap Mesir di
tahun 1956. Acuan kedua adalah konflik senjata yang terjadi antara
negara Cina dan negara India yang berkenaan tentang masalah
perbatasan di tahun 1962. Menarik untuk dicermati adalah bahwa
walaupun terjadi konflik senjata, hubungan diplomatik kedua negara ini
tetap ada. Acuan yang ketiga adalah konfik senjata Iran-Irak pada tahun
1980 sampai dengan 1988. Di dalam konflik senjata ini kedua belah
negara telah secara sepihak membatalkan perjanjian internasional tentang
batas negara. Iran membatalkan perjanjian internasional Batas Shatt-alArab yang dibuat tahun 1937 sementara Irak membatalkan perjanjian
internasional Baghdad yang dibuat pada tahun 197550.
Dari beberapa contoh praktek negara-negara di dunia dan beberapa
konflik senjata yang terjadi, dapat diambil beberapa kesimpulan yang
patut dicermati, yaitu antara lain adalah bahwa untuk beberapa kasus,
sebuah perjanjian internasional tetap berlaku walaupun terjadi konflik
senjata; bahwa sebuah perjanjian internasional tidak serta merta berhenti
berlaku walaupun terjadi konflik senjata, melainkan mengalami
penundaan pelaksanaan; dan bahwa untuk kasus-kasus tertentu sebuah
49
50
Ibid.
Ibid.
73
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
perjanjian internasional tidak berlaku lagi atau terjadi penundaan yang
disebabkan oleh konflik senjata baik antara para pihak perjanjian
internasional dari perjanjian internasional tersebut maupun pihak ketiga.
Di Indonesia sendiri penerapan asas rebus sic stantibus dapat dilihat
dari dua kasus, yaitu kasus berkaitan dengan Perjanjian Konferensi Meja
Bundar, dan kasus keberlangsungan perjanjian internasional antara
Australia dengan Indonesia tentang Zona Kerja Sama di Celah Timor.
Kasus Pertama, dalam hal ini berkaitan dengan adanya Perjanjian
sebagai hasil kesepakatan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), di mana
Belanda secara resmi mengakui kedaulatan Indonesia atas seluruh bekas
wilayah Hindia Belanda dengan penangguhan penyelesaian wilayah Irian
Barat (kini Papua). Namun Perjanjian KMB ternyata tidak mampu
menjalin hubungan baik antara Indonesia dan Belanda, bahkan tidak
membawa penyelesaian mengenai masalah Irian Barat.
Setelah pembubaran Uni Indonesia – Belanda kemudian pemerintah
Indonesia memutuskan secara sepihak keseluruhan perjanjian KMB.
Pemutusan yang demikian mendapat persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat tertanggal 22 Mei 1956 dan dimuat dalam Undang Undang nomor
13 tahun 1956. Adapun alasan yang dipakai oleh Pemerintah Indonesia
dalam membatalkan perjanjian KMB adalah sebagai berikut:
Maka di dalam keadaan yang sudah begitu berubah dan mendesak
sekali untuk membatalkan perjanjian KMB demi kepentingan nasional,
pemerintah tidak mempunyai pilihan lain daripada membatalkan
perjanjian tersebut atas dasar rebus sic stantibus yang berlaku di dalam
hukum internasional. Menurut asas rebus sic stantibus yang berarti atas
dasar kenyataan adanya perubahan-perubahan yang vital di dalam negeri
daripada salah satu pihak yang menandatangani, maka pihak tersebut
berhak untuk menarik diri dari ikatan perjanjian itu. Dengan lain
74
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
perkataan di dalam keadaan demikian, maka prinsip rebus sic stantibus
bisa dibuat sebagai dasar untuk meniadakan asas pacta sunt servanda
tersebut51.
Melihat pada kasus di atas, di mana dengan bubarnya Uni-Indonesia
– Belanda dianggap telah terjadi perubahan keadaan yang fundamental di
wilayah Indonesia, sehingga pihak dalam perjanjian dalam KMB dapat
menyatakan untuk mengundurkan diri dari perjanjian KMB.
Dibentuknya Uni Indonesia – Belanda sebagai salah satu sarana dalam
penyelesaian masalah Irian Barat. Maka di sini dipenuhi ukuran obyektif
sebagai dasar untuk menarik diri dari perjanjian dengan alasan
berlakunya asas rebus sic stantibus. Sedangkan ukuran kedua yang harus
dipenuhi adalah ukuran obyektif, yaitu dengan bubarnya Uni Indonesia –
Belanda, ternyata mempengaruhi kemampuan para pihak.
Kasus kedua, sebagaimana diketahui bahwa dengan belum tercapainya
kesepakatan mengenai batas landas kontinen antara Indonesia dengan
Australia di selatan Timor Timur (Celah Timor) maka pada tanggal 11
Desember 1989 ditanda-tangani perjanjian antara Indonesia dan
Australia52 mengenai Zona Kerjasama di daerah antara Timor Timur dan
Australia Bagian Utara, yang lebih dikenal ”Perjanjian Celah Timor”53.
Perjanjian tersebut merupakan pengaturan sementara yang bersifat
51
52
53
Sidik Suraputra, Hukum Internasional dan Berbagai Permasalahannya (Suatu
Kumpulan Karangan), Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Penerbit Diadit Media, Jakarta, Cetakan ke-2, 2006, hlm. 182.
Pada saat ditandatanganinya Perjanjian antara Indonesia dan Australia ini, wilayah
Timor Timur menjadi bagian wilayah Indonesia, sehingga wilayah landas kontinen di
sebelah selatan Timor Timur berada di bawah kedaulatan Indonesia.
Dalam tulisan ini tidak akan dijelaskan secara rinci tentang apa isi perjanjian Celah
Timor, karena penekanan dalam tulisan ini adalah terjadinya perubahan keadaan
yang fundamental yang dapat mempengaruhi keberlangsungan perjanjian
internasional yang dalam hal ini adalah perjanjian Celah Timor antara Indonesia dan
Australia.
75
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
praktis untuk memungkinkan dimanfaatkannya potensi sumber daya
miyak dan gas bumi tanpa harus menunggu tercapainya kesepakatan
batas landas kontinen. Juga, perjanjian tersebut mengatur mengenai
”Zona Pengembangan Bersama” (Joint Development Zone) di daerah
”tumpang tindih” negara-negara yang bersangkutan (dispute area).
Diadakannya perjanjian Celah Timor berlandaskan pada Pasal 83 ayat (3)
Konvensi Hukum Laut 198254.
Kemudian dengan berjalannya waktu, pada tanggal 30 Agustus 1999
diadakan jajak pendapat rakyat Timor Timur apakah akan menerima
status otonomi khusus atau memisahkan diri dari Indonesia untuk
merdeka. Beradaskan hasil jajak pendapat yang diumumkan pada
tanggal 4 September 1999 sebagian besar rakyat Timor Timur
menghendaki untuk berpisah dari Indonesia menjadi negara merdeka.
Akhirnya pada tanggal 20 Mei 2002 rakyat Timor Timur menyatakan
kemerdekaannya dan menjadi Negara Timor Leste.
Sebagai konsekuensi atas kemerdekaan Timor Timur, maka wilayah
landas kontinen yang berada disebelah selatan Timor Timur yang
merupakan obyek perjanjian Celah Timor tidak lagi berada di bawah
kedaulatan Indonesia, namun berada di bawah kedaulatan Timor Leste.
Sehubungan dengan hal itu, dalam hukum perjanjian dikenal asas pacta
tertiis nec nocent nec prosunt55. Demikian juga dengan merdekanya Timor
54
55
76
Pasal 83 ayat (3) Konvensi Hukum Laut 1982, bahwa: ”sementara persetujuan
penetapan batas landas kontinen belum tercapai negara-negara yang bersangkutan
dalam semangat saling pengertian dan kerjasama hendaknya berupaya untuk
mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan selama berlangsungnya
masa transisi ini tidak boleh membahayakan atau menghambat upaya untuk mencapai
persetujuan akhir. Pengaturan semacam ini tidak boleh merugikan penetapan garis
batas landas kontinen yang final”.
Bahwa perjanjian tidak membebankan hak dan kewajiban bagi pihak ke-tiga. Dalam
kasus ini perjanjian Celah Timor tidak akan berlaku bagi Timor Leste sebagai pihak
ke-tiga, karena perjanjian tersebut hanya menikat bagi Indonesia dan Australia.
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Timur maka menurut hukum internasional telah terjadi suksesi, yang
dalam hal ini suatu wilayah Timor Timur yang dalam hubungan
internasional semula menjadi tanggung jawab Indonesia, setelah tanggal
20 Mei 2002 berubah menjadi wilayah negara baru, yaitu negara Timor
Leste sebagai negara berdaulat56.
Dengan terjadinya suksesi negara dapat dikatakan bahwa telah terjadi
suatu perubahan keadaan yang fundamental (rebus sic stantibus) di
wilayah Indonesia, yang pada akhirnya berdasarkan kesepakatan antara
Indonesia dan Australia diadakan peninjauan kembali atas berlakunya
perjanjian Celah Timor.
III. K E S I M P U L A N
Berdasarkan uraian di atas berkaitan dengan keberadaan asas dalam
perjanjian intenasional, khususnya asas rebus sic stantibus, dapat tarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Bahwa keberadaan kedua asas tersebut telah lama dikenal dalam
masyarakat, termasuk masyarakat internasional. Bahkan beberapa
ahli terkemuka telah memberi dukungan atas keberadaan asas
tersebut, dan bahkan dewasa ini asas tersebut telah menjadi bagian
dari hukum positif, baik dalam taraf nasional Indonesia maupun
dalam taraf internasional. Ini artinya keberadaan asas rebus sic
stantibus barada dalam sustu sistem hukum.
Penerimaan, keberadaan dan penggunaan asas pacta sunt servanda
adalah mengawali berlakunya suatu perjanjian. Artinya keberadaan
dan penerimaan asas pacta sunt servanda dijadikan sebagai dasar
beroperasinya atau berlakunya suatu perjanjian. Tanpa adanya
56
Article 2 point 1b, Vienna Convention on Succession of States in Respect of
Treaties,1978: “succession of states means the replacement of one state by another
in the responsibility for the international relations of territory”.
77
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
kesanggupan untuk melaksanakan apa yang telah dijanjikan, maka
perjanjian tidak akan dapat beroperasi atau berlaku sebagaimana
mestinya. Lain halnya dengan asas rebus sic stantibus, di mana dengan
berlandaskan pada asas ini pihak-pihak perjanjian dapat menyatakan
menunda atau menyatakan mengundurkan diri dari perjanjian yang
telah disepakati, sepanjang dipenuhi syarat-syaratnya sebagaimana
tercantum dalam Pasal 62 Konvensi Wina 1969.
2. Sebagaimana disinggung pada urian di atas, bahwa penerimaan dan
pengakuan asas rebus sic stantibus sebagai upaya untuk melegalsir
tindakan pihak-pihak peserta perjanjian untuk mengakiri atau
menunda berlakunya perjanjian yang telah mereka buat. Perubahan
keadaan yang fundamental dapat dijadikan sebagai alasan untuk
tidak lagi melaksanakan perjanjian, sepanjang dipenuhi persyaratan
tertentu, yaitu bila terjadi perubahan keadaan, di mana keadaan yang
berubah itu menjadi dasar diadakannya perjanjian; dan adanya
perubahan keadaan yang fundamental tersebut menyebabkan terjadi
perubahan pelaksanaan kewajiban dari para pihak sebagaimana yang
pernah dijanjikan. Beberapa kasus yang dianggap telah terjadinya
perubahan keadaan yang fundamental, yang pada gilirannya
merubah pelaksanaan apa yang telah diperjanjikan yaitu terjadinya
konflik bersenjata, terjadinya konflik kepentingan di antara para
pihak yang berjanji, atau karena adanya perubahan keadaan yang
menyangkut status wilayah yang diperjanjikan (karena terjadi
suksesi).
78
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Daftar Pustaka
Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Citra Aditya, Bandung, 1999
Arthur Nussbaum, Sam Suhaedi Admawiria, Sejarah Hukum Internasional I, Binacipta,
Bandung, 1969.
Arthur Nussbaum, Sam Suhaedi Admawiria, Sejarah Hukum Internasional II, Binacipta,
Bandung, 1970.
Bierley, Hukum Bangsa-Bangsa, terjemahan Moh. Radjab, Bhratara, Jakarta, 1963.
Brownlie, Principles of Public International Law, ELBS Oxford University Press, 1979,
Konvensi Wina 1969 dan Konvensi Wina 1986.
Budiono Kusumohamidjojo, Suatu Studi Terhadap Aspek Operasional Konvensi Wina
1969 Tentang Hukum Perjanjian Internasional, Binacipta, Bandung, 1986.
Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2000
D.J. Harris, Case and Materials in International Law, Maxwell, London, 1983 .
Hans Kelsen, Teori Umum tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien,
Nuansa & Nusamedia, Bandung, 2006,
Hingorani, Modern International Law, Second Edition, Oxford & IBH Publishing Co,
New delhi, 1982.
Hugh M Kindred, International Law Chiefly as Interpreted and Applied in Canada,
Emond Montgomery Publications Limited, 1987
Madjedi Hasan, Pacta Sunt Servanda, The Principle and its application in Petroleum
Production Sharing Contract, PT Fikahati Aneska, Jakarta, 2005
Martin Dixon and Robert MC Corquodale, Cases and Materials on International Law,
Third Edition, Blackstone Press Limited, Aldine Place, London, 2000.
Mohd. Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan Internasional, Liberty, Yogyakarta, 1990.
Mieke Komar Kantaatmadja, Beberapa Masalah Pokok Konvensi Wina Tahun 1969
tentang Hukum Perjanjian internasional, makalah, Fakultas Hukum UNPAD.
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni Bandung, 2003,
Peter Malanczuk, Akehurst’s Medern Introduction to International Law, Routledge,
London and New York, 1997.
Professor Aziz T Saliba LLM dari Universidade de Itauna dan Faculdades de Direito do
Oeste de Minas, Brazil menulis komentarnya berjudul Comparative Law Europe
pada Contracts Law and Legislation Volume 8, Number 3 September 2001,
dalam http://Pihilawyers.com/blog/?p
Sam Suhaedi Atmawiria, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 1968
Sidik Suraputra, Hukum Internasional dan Bernagai Permasalahannya (Suatu Kumpulan
Karangan), Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Penerbit Diadit Media, Jakarta, Cetakan ke-2, 2006 .
Siti Ismijati Jenie, Itikad Baik, Perkembangan dari Asas Hukum Khusus menjadi Asas
Hukum Umum di Indonesia, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Hukum
UGM, Yogyakarta, 2007.
Starke, Introduction to International Law, Butterword, London, 1989,
79
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2001.
Sumaryo Suryokusumo, Hukum Perjanjian Internasional, Bahan Kuliah Magister Ilmu
Hukum (S-2), tanpa tahun.
Wayan Partiana, Hukum Perjanjian Internasional Bagian 2, Mandar Maju, Bandung,
2005.
Dokumen:
Jurnal Hukum Internasional, , Volume 3 Nomor 4, Juli 2006, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia Lembaga Pengkajian Hukum Internasional.
Kamus Umum Bahasa Indonesia
http://perjanjian internasionalhilawyers.com/blog/?p=16, diakses tanggal 22 Pebruari
2008
Undang Undang Nomor 37 Tahuhn1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
Undang Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional.
United Nations Convention on the Law of The Sea 1982.
Vienna Convention on The Law Of Treaties, 1969.
Vienna Convention on The Law Of Treaties between States and International
Organizations or between International Organizations, 1986
Vienna Convention on Succession of States in Respect of Treaties, 1978.
80
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
IMPLEMENTASI KONVENSI NEW YORK 1958
DALAM PERKARA-PERKARA ARBITRASE
INTERNASIONAL DI INDONESIA
Mutiara Hikmah
Abstrak
Dengan pemberlakuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing,
penegakan putusan arbitrase internasional dapat diberlakukan di
Indonesia, karena hukum acara yang mengatur tentang putusan
arbitrase telah menjadi jelas. Untuk pengelolaan masalah keputusan
arbitrase internasional yang lebih baik dalam hierarki perundangundangan, pada tanggal 12 Oktober 1999 diundangkan UndangUndang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam
Undang-Undang tersebut, terdapat bagian khusus yang membahas
Arbitrase Internasional. Artikel ini membahas bagaimana
perkembangan pelaksanaan putusan arbitrase internasional di
Indonesia sebelum Indonesia menjadi anggota Konvensi New York
1958 hingga saat ini, dengan menganalisis putusan arbitrase
internasional dan perintah pengadilan setelah berlakunya UndangUndang Arbitrase.
Kata kunci: arbitrase internasional, alternatif penyelesaian sengketa,
konvensi New York 1958, UU Arbitrase.
Abstract
With the enactment of Supreme Court Law No. 1 Year 1990 on the
Procedures for the Implementation of Foreign Arbitral Awards, the
enforcement of international arbitral awards can begin to be
implemented in Indonesia, because the procedural law governing the
procedure of the arbitration decision is clear. To better manage the
problem of international arbitral decision in the hierarchy of legislation,
on 12 October 1999 promulgated the Law of Arbitration and
Alternative Dispute Resolution. In that Law, there is a special section
that discusses the International Arbitration. This article examines how
the development of the implementation of international arbitral awards
in Indonesia before Indonesia became a member of New York
81
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Convention 1958, to date, by analyzing the international arbitration
decisions and court order after the enactment of the Law of Arbitration.
Keywords: international arbitration, alternative dispute settlement,
New York Convention 1958, Law on Arbitration.
Indonesia telah menjadi anggota Konvensi New York 1958 melalui
Keputusan Presiden RI (Keppres) No. 34 Tahun 1981 dan diterbitkan
dalam Lembaran Negara RI tahun 1981 No. 40. Dengan ikut sertanya
negara Indonesia dalam Konvensi New York 1958, maka Indonesia terikat
pada ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam konvensi tersebut
mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
Pada awalnya, sikap Pemerintah Indonesia (dalam hal ini Mahkamah
Agung RI), tidak mengakui pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
Akan tetapi, kesadaran bahwa negara Indonesia akan terus tumbuh
menjadi bagian dari aktivitas bisnis dunia, maka Pemerintah Indonesia
harus memikirkan langkah ke depan untuk dapat mengakui dan
melaksanakan putusan-putusan arbitrase internasional. Khususnya
dalam upaya menarik perhatian para investor untuk memilih Indonesia
sebagai tempat utama dalam aktivitas investasinya. Maka negara
Indonesia harus membuka diri untuk mengikuti trend penyelesaian
sengketa melalui arbitrase yang diikuti dengan pengakuan dan
pelaksanaan putusan arbitrase internasionalnya1.
Apalagi jika melihat tendensi yang terjadi pada akhir-akhir ini, dalam
kontrak-kontrak yang ditanda tangani oleh Badan Usaha Milik Negara
1
Ricardo Simanjuntak, “Konflik Yurisdiksi Antara Arbitrase Dan Pengadilan Negeri”,
dalam Jurnal Hukum Bisnis (Vol. 21, Oktober-November 2002), hal. 85.
82
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
(BUMN) atau Perusahaan Negara di satu pihak dengan pihak asing, baik
dalam bentuk Kerja Sama Operasi(KSO)/Joint Operation Contract (JOC)
atau lain-lain usaha bersama dan perjanjian yang bersifat ”internasional”,
dipakai klausul mengenai penyelesaian sengketa melalui arbitrase dan
umumnya arbitrase ditentukan akan dilangsungkan di luar negeri2.
Walaupun dalam kontrak ditentukan bahwa hukum Indonesia yang
dipilih untuk menyelesaikan sengketa, namun pelaksanaan pemeriksaan
arbitrasenya dilangsungkan di luar negeri. Jika pelaksanaan pemeriksaan
dan proses arbitrase berlangsung di luar negeri, ketika putusan arbitrase
diucapkan dan pihak yang kalah dalam proses tersebut adalah pihak dari
Indonesia, maka hal ini akan berakibat pihak yang menang dalam proses
arbitrase tersebut memohon pelaksanaan putusan arbitrase internasional
tersebut di Indonesia.
Mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional, sangat terkait
dengan pemahaman dan kemampuan hakim serta sikap pengadilan.
Pengadilan-pengadilan
mempunyai
peranan
penting
dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa di bidang perdagangan, walaupun
para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa yang
bersangkutan melalui lembaga arbitrase. Pengadilan diminta campur
tangan manakala proses arbitrase telah selesai dan salah satu pihak tidak
bersedia melaksanakan putusan arbitrase tersebut3. Dalam proses
pelaksanaan putusan arbitrase, lembaga arbitrase tidak dapat
memaksakan pelaksanaan putusannya4, melainkan lembaga pengadilan
2
Sudargo Gautama (a), Arbitrase Luar Negeri dan Pemakaian Hukum Indonesia,
Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2004, hal. 1.
3
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata Internasional, cetakan kedua,
(Jakarta : N.V. Van Dorp & Co, 1954), hal. 74.
4
Lembaga arbitrase tidak memiliki wewenang untuk mengeksekusi putusannya sendiri.
Hal tersebut dikarenakan:
83
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
yang harus memaksa pihak yang kalah untuk melaksanakan putusan
arbitrase tersebut5. Dalam prakteknya, pengadilan dapat sewaktu-waktu
campur tangan dalam hal pemeriksaan proses arbitrase sedang berjalan.
Campur tangan pengadilan itu bisa berupa menunjuk arbiter ketiga,
apabila dua arbiter pertama gagal menunjuk arbiter ketiga. Bentuk
campur tangan yang lain misalnya membantu proses arbitrase
mendapatkan bukti-bukti atau dokumen-dokumen yang diperlukan
untuk kepentingan pemeriksaan.
Berbeda dengan arbitrase, mengenai pelaksanaan putusan
pengadilan asing, kebanyakan sistem hukum yang dianut oleh banyak
negara tidak memperkenankan pengadilannya untuk mengeksekusi
putusan pengadilan asing. Kecenderungan ini berlaku di negara-negara
yang menganut sistem Civil Law dan sistem Common Law. Penolakan
eksekusi terhadap putusan pengadilan asing terkait erat dengan konsep
1.
Lembaga arbitrase bukan merupakan institusi negara, sehingga lembaga tersebut
tidak memiliki wewenang yang bersifat publik yang dapat dijalankan dengan paksa
kepada pihak-pihak lain;
2. Tidak terdapat landasan hukum bagi lembaga arbitrase untuk melaksanakan eksekusi
putusannya sendiri;
3. Lembaga arbitrase tidak memiliki jurusita sebagaimana terdapat pada lembaga
peradilan yang bertugas melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan
eksekusi.
Lihat: Tin Zuraida, Prinsip Eksekusi Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, Teori
dan Praktek yang Berkembang, cetakan pertama, (Surabaya: PT. Wastu Lanas Grafika,
2009), hal. 222.
5
Di dalam Konvensi New York 1958, diatur mengenai peran pengadilan dalam hal
pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Peran Pengadilan ini dapat dilihat juga di
dalam UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration yang menjadi
rekomendasi Majelis Umum PBB kepada para anggota pada tahun 1985 sebagai standar
hukum yang modern dalam arbitrase. Dibeberapa negara, campur tangan Pengadilan
dimungkinkan pada waktu proses arbitrase sedang berjalan atas permintaan pihak yang
merasa dirugikan. Di Singapura, pengadilan dapat mengenyampingkan putusan arbitrase
dalam keadaan-keadaan yang amat terbatas, dengan mengangkat ketentuan-ketentuan
yang sama dengan Model Law.
84
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
kedaulatan negara. Sebuah negara yang memiliki kedaulatan tidak akan
mengakui institusi atau lembaga yang lebih tinggi, kecuali negara
tersebut sukarela menundukkan diri. Mengingat pengadilan merupakan
alat perlengkapan yang ada pada suatu negara, maka wajar apabila
pengadilan tidak akan melakukan eksekusi terhadap putusan-putusan
pengadilan asing. Pendirian ini sesuai dengan asas kedaulatan territorial
(principle of territorial souvereignty), berarti keputusan hakim asing
tidak dapat secara langsung dilaksanakan dalam wilayah negara lain atas
kekuatannya sendiri. Dengan tidak adanya perjanjian internasional antara
Indonesia dengan negara lain, tidak dapat diadakan pelaksanaan
keputusan-keputusan asing di wilayah RI (Pasal 436 RV).
Pelaksanaan putusan arbitrase internasional mendapat pengaturan
dalam perjanjian internasional karena dalam hukum internasional dikenal
adanya kedaulatan dan yurisdiksi. Pelaksanaan yurisdiksi kekuasaan
negara hanya dapat dilakukan di wilayah teritorialnya. Pelaksanaan
yurisdiksi oleh suatu negara di negara lain harus seizin otoritas yang
berwenang di negara lain tersebut. Putusan arbitrase internasional yang
dibuat di suatu negara dan hendak dilaksanakan di negara lain, maka
harus ada pengakuan dan pelaksanaan dari negara dimana pengakuan
dan pelaksanaan dimintakan. Oleh karena itu pengaturan tentang
pelaksanaan putusan arbitrase internasional dilakukan dalam bentuk
perjanjian internasional, yang kemudian ditransformasikan ke dalam
bentuk perundang-undangan nasional6.
Sejak Indonesia menjadi anggota Konvensi New York 1958 pada
tahun 1981, pada kurun waktu sebelum berlakunya Peraturan Mahkamah
Agung RI No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing di Indonesia (untuk selanjutnya disingkat dengan
6
Hikmahanto Juwana (a), “Pembatalan Arbitrase Internasional Oleh Pengadilan
Nasional”, dalam Jurnal Hukum Bisnis (Vol. 21, Oktober-November 2002), hal. 72.
85
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Perma), masih terdapat hambatan-hambatan bagi pelaku usaha asing
dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia.
Mahkamah Agung RI sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia
berpendirian bahwa putusan arbitrase internasional tidak dapat
dilaksanakan di Indonesia. Penolakan pelaksanaan putusan arbitrase
internasional dengan tegas dinyatakan oleh Mahkamah Agung RI yang
menolak eksekusi putusan arbitrase internasional pada perkara PT
Nizwar vs. Navigation Maritime Bulgare7, putusan Mahkamah Agung RI
No.2944 K/Pdt/1983 yang diputus pada tanggal 29 November 1984.
Pada kasus tersebut, Mahkamah Agung RI menyatakan bahwa
permohonan pelaksanaan putusan arbitrase internasional tidak dapat
diterima, karena belum ada peraturan pelaksana mengenai ketentuanketentuan yang terdapat dalam Konvensi New York 1958. Hal ini berbeda
dengan putusan Pengadilan Jakarta Pusat, yang menerima pelaksanaan
putusan arbitrase internasional. Sikap Mahkamah Agung RI pada saat itu
tetap menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional, walaupun
saat itu Indonesia sudah menjadi anggota Konvensi New York 19588.
Menurut Sudargo Gautama, Konvensi New York 1958 bersifat self
executing, artinya tidak diperlukan lagi suatu peraturan pelaksana yang
dikeluarkan oleh Pemerintah RI, karena di dalam konvensi tersebut
tercantum bahwa cara pelaksanaan putusan arbitrase yang diucapkan di
luar negeri ini adalah sama dengan cara pelaksanaan arbitrase yang
diucapkan dalam negeri anggota peserta konvensi. Hal tersebut seperti
yang tercantum di dalam Pasal III Konvensi New York 1958 yang
menyatakan:
7
Erman Rajagukguk (Lihat: Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan,
(Jakarta: Chandra Pratama, 2001), hal. 38-40.
8
Sudargo Gautama (b), Hukum Dagang dan Arbitrase Internasional, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 1991), hal. 2.
86
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
”Each contracting state shall recognize arbitral awards as binding and
enforce them in accordance with the rules of procedure of the territory
where the award is relied upon, under the condition laid down in the
following articles. There shall nor imposed substantially more onerous
conditions or higher fees or charges on the recognition or enforcement
of arbiral to which this Convention applies than are imposed on the
recognition or enforcement of domestic arbitral awards”.
(Terjemahan bebas dari penulis: Setiap negara anggota dapat
mengakui putusan arbitrase sebagai putusan yang mengikat dan
melaksanakannya sesuai dengan tata cara di wilayah dimana
putusan tersebut dimintakan, sesuai dengan keadaan yang
diatur dalam pasal-pasal selanjutnya. Tidak diperbolehkan
mengenakan secara substansi yang lebih berat atau lebih tinggi
biaya untuk pengakuan dan pelaksanaan putuan arbitrase yang
diterapkan dalam konvensi ini dari pengakuan dan pelaksanaan
putusan arbitrase domestik/nasional).
Contoh lain mengenai penolakan putusan arbitrase internasional oleh
Mahkamah Agung RI terlihat pada perkara PT. Bakrie Brothers vs.
Trading Corporation of Pakistan Limited. Pakistan Trading yang
berkedudukan di Karachi Pakistan, telah mengajukan permohonan
pelaksanaan putusan arbitrase, Award of Arbitration yang ditetapkan oleh
Federation of Oils, Seed and Fats Association Limited, No. 2282 tanggal 8
September 1981 di hadapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap
PT. Bakrie Brothers yang berkedudukan di Jakarta Selatan. Permohonan
mana telah dikabulkan dengan Ketetapan Eksekusi No.fol.22/48/JS/1983
tanggal 13 Februari 19849. Namun pihak PT. Bakrie Brothers mengajukan
9
Dalam kasus ini, Pengadilan tingkat pertama telah salah menerapkan asas resiprositas
yang dianut di dalam Konvensi New York 1958. Untuk mempelajari perkara ini, lihat:
Tineke L.T. Longdong, Asas Ketertiban Umum & Konvensi New York 1958. (Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 227.
87
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
bantahan. Dalam perkara tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
telah menerima bantahan dari Pihak PT Bakrie Brothers yang
mendalilkan, bahwa putusan arbitrase asal London tidak bisa
dilaksanakan di Indonesia karena diajukan oleh perusahaan asal Pakistan
(yang bukan anggota peserta Konvensi New York 1958) sehingga tidak
memenuhi asas resiprositas yang dianut di dalam Konvensi New York
1958. Dan bantahan tersebut diterima oleh Pengadilan tingkat pertama
dan tingkat kedua. Kemudian Mahkamah Agung RI menguatkan
putusan-putusan yang lebih rendah tingkatannya yang menolak
pelaksanaan putusan arbitrase internasional.
Contoh lain dapat dilihat pada perkara Safic-Alcan & Cie, vs. PT
Foursa Tani Nusa. Sengketa ini adalah antara Alcan yang berkedudukan
di Perancis, Pemohon (Pembeli) lawan Foursa Tani berkedudukan di
Surabaya, sebagai Termohon (Penjual) yang mengadakan jual beli 20.000
metric tonnes Indonesian tapioce chips, yang ternyata tidak dapat dipenuhi
oleh Foursa Tani, sehingga dituduh ingkar janji.
Berdasarkan surat dari Pengadilan Negeri Surabaya tanggal 22 April
1993 karena adanya bantahan yang diajukan oleh PT Foursa Tani Nusa,
maka pelelangan eksekusi atas aset PT tersebut, sesuai dengan penetapan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 065/1992 Eks ditangguhkan10.
Contoh perkara lain adalah antara Sikinos Maritime Ltd., vs. PT
Perdata Lot. Memorandum of Agreement, tanggal 20 September 1991,
antara PT Perdata Lot, berkedudukan di Jalan Sutomo 540, Medan
Indonesia, sebagai Penjual dan Sikinos Maritime Ltd., berkedudukan di
Vallette Malta, telah melakukan jual beli kapal “M.T. BUMEUGAH”.
Permohonan akan fiat eksekusi ini meskipun telah dipertimbangkan
bahwa putusan arbitrase ini adalah mengenai pembayaran sejumlah uang
10
Ibid., hal. 238.
88
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
US$ 617,046 berikut bunga 6,5% per tahun sejak 15 Desember 1991, sudah
didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan tidak bertentangan
dengan ketertiban umum, namun permohonan exequatur ditolak oleh
Mahkamah Agung11.
Penolakan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung RI ini telah
memberi kesan buruk, mengingat tatacara/prosedur sudah dilakukan
oleh pelaku usaha dan juga tidak ada ketertiban umum yang dilanggar.
Salah satu contoh perkara yang ditolak pelaksanaan putusan arbitrase
internasionalnya karena melanggar ketertiban umum adalah perkara
Yani Haryanto vs. E.D.& F.Man (Sugar) Ltd12 (perusahaan yang
berkedudukan di Inggris). E.D. & F. Man (Sugar) Ltd (dalam hal ini
sebagai Penjual) telah memperoleh suatu putusan arbitrase dari The
Council of the Refined Sugar Association, Arbitration Center di London
yang telah menyalahkan pihak Yani Haryanto (sebagai pembeli) telah
melakukan default dalam melangsungkan kontrak pengimporan atau
pembelian gula pasir untuk diimpor ke Indonesia. Di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat, pihak Yani Haryanto mengajukan gugatan perdata
melawan pihak E.D. & F Man sebagai Penjual yang berkedudukan di
London. Penggugat mendalilkan dengan surat gugatannya tanggal 8
Agustus 1988 bahwa kontrak bersangkutan adalah bertentangan dengan
Keppres RI No.43/1974 tanggal 14 Juli 1971 mengenai “penyelenggaraan
koordinasi dan pengawasan atas pelaksanaan kebijaksanaan dalam
bidang pengadaan penyaluran dan pemasaran gula pasir” dan keputusan
Presiden RI No. 39/1978 tanggal 6 November 1978 Badan Urusan Logistik
(selanjutnya disingkat dengan BULOG). Oleh karena itu menurut Pasal
1320 KUH Perdata ayat (4) agar perjanjian dianggap sah harus ada sebab
11
Ibid., hal. 239.
Mahkamah
Agung
RI
No.
1203K/Pdt/1990
jo.
736/Pdt/G/VI/1988/PN.JKT.PST jo.PT Jkt No. 485/Pdt/1989/PT DKI.
12
Perdata
No.
89
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
yang halal (causa yang diperbolehkan). Suatu persetujuan tanpa sebab
atau yang telah dibuat karena sebab yang palsu atau terlarang, tidak
mempunyai kekuatan hukum.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mengabulkan gugatan penggugat
yang menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian jual beli bersangkutan
dimana termuat klausula arbitrase itu adalah kontrak-kontrak yang
mengandung cacat dan melanggar ketentuan peraturan yang berlaku di
Indonesia karena itu mempunyai sebab atau kausa yang dilarang, maka
perjanjian jual beli gula itu harus dibatalkan. Menurut Pengadilan Negeri,
karena dasar dari putusan hakim asing tersebut bertentangan dengan
ketertiban umum dan tertib hukum di Indonesia, maka putusan-putusan
hakim asing tersebut tidak mempunyai daya pengikat13.
Disamping beberapa contoh perkara di atas, ada pula beberapa
contoh perkara yang diterima permohonan pelaksanaan putusan
arbitrase internasionalnya, itu terjadi setelah keluarnya Perma. Perkara
tersebut dapat dilihat pada Ecom USA Inc., vs. PT Mahameru Centratama
Mills (Penetapan Mahkamah Agung RI No. 4 Pen.Ex’r/Arb.Int/Pdt/1992,
06-04-1994). Ecom USA Inc, perusahaan yang berkedudukan di DallasTexas, USA dalam sengketa ini telah bertindak sebagai Pemohon, yang
diwakili oleh Executive Vice Presidentnya, Uwe Grobecker lawan PT
Mahameru Centratama Mills yang berkedudukan di Bandung, sebagai
Termohon14.
Selain itu, juga terdapat perkara PT Tripatria Citra Pratama vs.
Abdulelah Jamal Al Zamzani Est cs. Mahkamah Agung RI telah
mengabulkan permohonan exequatur yang diajukan oleh Pemohon Citra
Pratama, yang telah diajukan oleh Manajernya sebagai kuasa dari
Direktur Utamanya terhadap para Termohon, Abdulelah Al Zamzani
13
14
Tinneke L. Longdong, Op. Cit., hal. 244.
Ibid., hal. 231.
90
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Holdings Pte. Ltd., yang berasal dari Saudi Arabia (Penetapan Mahkamah
Agung RI No. 1 Pen.Ex’r/Arb.Int/Pdt/1993, 3 Juni 199315.
Dari beberapa contoh perkara di atas, dapat dikatakan bahwa setelah
Mahkamah Agung RI mengeluarkan Perma, pelaksanaan putusan
arbitrase internasional di Indonesia mulai mendapat kepastian, karena
hukum acara yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan putusan
arbitrase internasional sudah jelas. Untuk mengatur pelaksanaan putusan
arbitrase internasional dalam hierarki perundang-undangan di Indonesia,
pada 12 Agustus 1999 diundangkanlah Undang-Undang No. 30 Tahun
1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terdiri dari
XI Bab dan 82 Pasal. Pada Bab VI UU Arbitrase tersebut mengatur tentang
Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.
Perlu dilakukan kajian mendalam, apakah setelah berlakunya UU
Arbitrase benar-benar tidak ada hambatan atau kendala lagi dalam hal
pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia. Mengingat
bahwa setelah berlakunya UU Arbitrase, masih terdapat penolakan
terhadap pelaksanaan putusan arbitrase internasional oleh Mahkamah
Agung RI dengan alasan ketertiban umum, yaitu pada perkara Bankers
Trust Company vs. PT Mayora Indah16 dan perkara Bankers Trust
Company vs. The Jakarta International Hotel & Development Tbk. Selain
15
Ibid., hal. 231-235.
PT Mayora Indah melawan Bankers Trust Company, Putusan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan No. 489/PDT.G/1999/PNJS, tanggal 5 Oktober 1999. Jo. Putusan
Pengadilan Tinggi DKI No. 211/PDT/2000/PT DKI, tanggal 20 Juli 2000. Jo Penetapan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 001/Pdt/Arb.Int/1999/PN.JKT.PST., tanggal 3
Februari 2000 jo. Putusan Mahkamah Agung RI No. 01 K/Ex’r/Arb.Int/Pdt/2000, tanggal
5 September 2000.
16
91
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
itu, ada pula beberapa putusan-putusan arbitrase internasional yang telah
didaftarkan, namun belum mendapatkan penetapan eksekusi17.
Di samping ada pula beberapa putusan arbitrase internasional yang
telah diberikan penetapan eksekusi, antara lain pada perkara Noble
Cocoa vs. PT Wahana Adhireksa Wiraswasta18, perkara Oceanis Shipping
Ltd vs. Bp/ibu R. Adji Suryodipuro19, perkara Son Han Pil vs. Herman
Tanuraharja (PT Saka Dhana Nugraha)20, perkara Balmac International
Incorporation New York vs. Firma Sinar Nusantara21 dan beberapa
putusan arbitrase internasional yang dianalisis dalam laporan penulisan
ini.
Setelah berlakunya UU Arbitrase, satu-satunya putusan arbitrase
internasional yang dibatalkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
adalah putusan arbitrase asal Jenewa, Swiss (tanggal 18 Desember 2000),
yaitu pada perkara Karaha Bodas Company (selanjutnya disingkat
dengan KBC) vs. PT Pertamina dan PLN22. Kasus tersebut mengundang
perhatian berbagai pihak di dalam dan di luar negeri, karena selain
melibatkan beberapa saksi ahli dari berbagai negara, juga putusan
17
Antara lain Putusan Arbitrase London No. 6795, tanggal 15 Desember 2006, Putusan
Arbitrase London No. 6796, tanggal 15 Desember 2006, Putusan Arbitrase Italia, No.
0408/0553, Livorno, 16 Agustus 2004, Putusan Arbitrase Singapura, SIAC No. 0057 of
2005, 20 Agustus 2007, Putusan Arbitrase London, tanggal 26 Februari 2007, Putusan
London Maritime Arbitration Association, pendaftaran tanggal 16 Februari 2009.
18
Putusan Arbitrase The Cocoa Merchants Associated of Amerika Incorporation, 26
Oktober 1999, dengan Penetapan Eksekusi No. 143/2000, tanggal 4 September 2000.
19
Putusan Arbitrase London Intl Arbitration No. 775/1998, dengan Penetapan Eksekusi
No. 05/2001, tanggal 16 April 2001.
20
Putusan Arbitrase Korean Commercial Arbitration International Board, no. 981130011, dengan Penetapan Eksekusi No. 25/2001, tanggal 18 April 2001.
21
Putusan Arbitrase The Cocoa Merchants Associated of America Inc, No. 00/04 dan
00/05, dengan penetapan eksekusi No. 44/2001 dan 45/2001.
22
Putusan No. 86/PDT-G/2002, tanggal 19 Agustus 2002, dengan Ketua Majelis Hakim
H. Herri Swantoro, SH.
92
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
arbitrase tersebut dimohonkan pelaksanaannya oleh pihak KBC di
beberapa negara, sehubungan dengan aset pihak PT Pertamina yang
terdapat di beberapa negara23. Pembatalan putusan arbitrase Swiss oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut kemudian dibatalkan oleh
Mahkamah Agung RI dengan Putusan No. 01/BANDING/WASITINT/2002, tanggal 8 Maret 2004. Dengan dibatalkannya putusan
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tentang Pembatalan Putusan Arbitrase
asal Swiss, maka pihak KBC kemudian menuntut ganti rugi kepada
pihak PT Pertamina atas dasar pada perjanjian JOC/Joint Operation
Contract dan perjanjian ESC/Energy Sales Contract yang telah dibuat pada
tahun 1994.
Salah satu kasus yang juga menjadi perdebatan para pihak mengenai
putusan arbitrase tersebut apakah putusan arbitrase nasional atau
internasional, terlihat pada kasus PT Pertamina dan PT Pertamina EP vs.
PT
Lirik
Petroleum
(Putusan
No.01/Pembatalan
Arbitrase/2009/PN.JKT.PST tanggal 31 Agustus 2009). Dalam perjanjian
dengan klausul arbitrasenya, para pihak memilih tempat arbitrase di
Jakarta dengan rules dari ICC Paris. Dalam kasus tersebut, pada bagian
eksepsinya pihak Pertamina sebagai pemohon mengajukan pembatalan
putusan arbitrase sehubungan bahwa putusan arbitrase tersebut masuk
dalam ruang lingkup arbitrase nasional, bukan putusan arbitrase
internasional24.
Pada tahun 2010, terdapat putusan arbitrase internasional asal
Singapore International Arbitration Center/SIAC yang ditolak
pelaksanaannya oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, serta
23
Antara lain di Hongkong, Singapura, Texas dan Kanada.
Dalam kasus diatas, pihak PT Pertamina EP dan PT Pertamina (Persero) mengajukan
Kasasi Ke Mahkamah Agung RI. Putusan Mahkamah Agung No. 904 K/PDT.SUS/2009,
tanggal 9 Juni 2010, telah menguatkan Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
24
93
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
penolakan tersebut dikuatkan oleh Mahkamah Agung RI, yaitu pada
perkara Astro Nusantara Internasional B.V. vs. PT Ayunda Prima Mitra25.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Jika mempelajari perkara-perkara di bidang arbitrase internasional di
atas, dapat disimpulkan bahwa implementasi ketentuan-ketentuan yang
terdapat di dalam Konvensi New York 1958 belum maksimal di
Indonesia. Hal ini dikarenakan masih adanya beberapa putusan arbitrase
internasional yang ditolak pelaksanaannya di Indonesia.
Selain itu, Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa masih dirasakan mengandung beberapa
kelemahan-kelemahan, sehingga perlu dilakukan revisi. Undang-Undang
Arbitrase yang mengatur permasalahan pelaksanaan putusan arbitrase
yang lengkap dan komprehensif diperlukan untuk menjamin keadilan
dan kepastian hukum bagi para pelaku usaha.
Rekomendasi yang juga penting adalah peningkatan kualitas sumber
daya manusia, baik untuk tingkat pengadilan (dalam hal ini Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat) dan Tingkat Mahkamah Agung. Pemahaman serta
penerapan Konvensi New York 1958 dan Hukum Perdata Internasional
merupakan hal yang perlu ditingkatkan, mengingat Hukum Perdata
Internasional merupakan basic knowledge dari permasalahan putusan
arbitrase internasional.
25
Putusan Arbitrase SIAC No. 62 of 2008, tanggal 07 Mei 2009. Pendaftaran di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 5/PNJP/2009, tanggal 1 September 2009. Penolakan
oleh Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tertanggal 28 Oktober 2009 dan diperkuat
dengan Putusan Mahkamah Agung No. 01/K/Pdt.Sus/2010, tanggal 26 April 2010.
94
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
RESENSI BUKU
Judul
Penulis buku
Penerbit
Bahasa
Jumlah halaman
Tahun penerbitan
Pembuat resensi
:
:
:
:
:
:
:
Hukum tentang Ekstradisi
Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH., LL.M
Fikahati Aneska
Indonesia
x + 389
2011
AM. Sidqi
Maraknya
pemberitaan
tentang
upaya
Kejaksaan
Agung
RI
mengekstradisi Joko Tjandra, terpidana
BLBI, dari Papua Nugini menghiasi
media massa Februari 2013. Sebelumnya,
pelarian M. Nazarudin dan Nunun
Nurbaeti pada tahun 2011 lalu
memunculkan perdebatan berlarut-larut
tentang ekstradisi di kalangan penegak
hukum, akademisi, politikus, dan
masyarakat umum. Jamak dikatakan
bahwa dikarenakan tidak adanya
perjanjian ekstradisi antara Indonesia
dengan Singapura, menjadikan Negara
Singa Laut itu menjadi safe haven bagi pelarian kejahatan kerah putih.
Akan tetapi, meskipun Indonesia tidak memiliki perjanjian ekstradisi
dengan Kolumbia, M. Nazarudin tetap bisa dibawa pulang ke Tanah Air
untuk diadili. Selain itu, publik juga mengenal sengkarut upaya ekstradisi
yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terhadap terpidana
penyalahgunaan BLBI, Hendra Rahardja, dari Australia yang pada
95
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
akhirnya kasus pidananya gugur demi hukum karena Hendra Rahardja
meninggal pada tanggal 26 Januari 2003.
Perdebatan-perdebatan seputar hukum tentang ekstradisi tersebut
memunculkan pertanyaan mendasar yang wajib dipahami oleh semua:
apa dan bagaimana perkembangan hukum tentang ekstradisi tersebut?
Untuk itu, buku “Hukum tentang Ekstradisi” yang ditulis oleh Prof.
Dr. Romli Atmasasmita, SH., LL.M ini terbit timely untuk memberikan
pencerahan kepada masyarakat perihal definisi, karakteristik, dan
perkembangan pelbagai model tentang ekstradisi. Disusun dalam bahasa
Indonesia yang mudah sederhana membuat buku ini mudah dipahami
oleh masyarakat awam hukum sekalipun. Selain itu, kepakaran Romli
Atmasasmita sebagai salah satu ahli dalam hukum mengenai ekstradisi
tidak lagi diragukan, mengingat Romli memiliki daftar panjang
pengalaman sebagai ketua delegasi pemerintah Indonesia ke berbagai
konferensi PBB yang membahas kejahatan transnasional.
Berdasarkan UU 1/1979 tentang Ekstradisi, ekstadisi diartikan
sebagai penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang meminta
penyerahan seseorang yang disangka tau dipidana karena melakukan
suatu kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam
yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut karena
berwenang untuk mengadili dan memindananya.
Perjanjian-perjanjian dan perundang-undangan tentang ekstradisi
serta terlibatnya dua negara atau lebih dalam suatu kasus ekstradisi,
menunjukkan bahwa ekstradisi dapat dipandang sebagai bagian hukum
internasional dan juga sebagai bagian hukum nasional. Oleh karena itu
ekstradisi sebagai suatu pranata hukum secara resmi telah diakui dan
diatur dalam hukum internasional dan hukum nasional. Praktik
perjanjian ekstradisi bagi Indonesia bukan masalah hukum baru karena
setelah kemerdekaan RI, Indonesia telah mengikatkan diri ke dalam
perjanjian ekstradisi dengan lima negara, yakni Malaysia, Filipina,
Thailand, Australia; dua perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik dalam
96
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Masalah Pidana (mutual legal assistance treaty), yakni dengan Australia dan
RRT; dan satu perjanjian penyerahan pelanggar hukum yang melarikan
diri antara Indonesia dengan Hongkong.
Buku yang terbit pada tahun 2011 ini disusun dalam empat bab, yakni
asal-usul dan karakteristik ekstradisi (bab I); prinsip umum ekstradisi
yang diakui dalam hukum internasional dan beberapa pengecualian (bab
II); perkembangan praktik ekstradisi dan perbandingan model-model
ekstradisi (bab III); dan pentutup yang berisi pandangan dan sikap
penulis terhadap perkembangan ekstradisi dan masalah yang berkaitan
dengan berbagai model hukum tentang ekstradisi (bab IV).
Romli Atmasasmita mengkritik pengertian ekstradisi yang sering
diucapkan banyak orang termasuk praktisi hukum, tetapi belum
dipahami makna sesungguhnya dari pengertian istilah tersebut. Sering
disebutkan bahwa ditinjau dari asal katanya, istilah ekstradisi
(extradition, l’extradition) berasal dari bahasa latin, yaitu “extradere”. Ex
berarti keluar, sedangkan tradere berarti menyerahkan. Kata bendanya
adalah extraditio artinya penyerahan. Sedangkan menurut Romli,
pemaknaan pengertian istilah tersebut sangat menyesatkan karena tidak
benar.
Romli mendefinisikan ekstradisi secara etimologis berasal dari dua
suku kata, yaitu “extra” dan “tradition”. Sehingga demikian, ekstradisi
berarti suatu konsep hukum yang berlawanan dengan “tradisi” yang
telah berabad-abad dipraktikan antarbangsa-bangsa. Praktik tradisi
tersebut adalah kewajiban setiap negara untuk menjadi pelindung
(asylum) bagi siapa saja yang memohon perlindungan, dan tradisi untuk
memelihara kehormatan (hospitality) sebagai negara tuan rumah atas
mereka yang memohon perlindungan tersebut. Praktik asylum yang
mendahului ekstradisi menunjukan bahwa ekstradisi merupakan
kekecualian dari asylum.
Dalam catatan sejarah, ekstradisi telah dipraktikan sejak tahun 1280
SM antara Raja Ramses II dari Mesir dan Raja Hattusili III dari Hitites,
97
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
kemudian diikuti oleh kerajaan Yunani dan kekaisaran Romawi. Model
perkembangan ekstradisi abad tersebut dilandaskan untuk menjaga
stabilitas politik kerajaan sehingga ekstradisi terbatas pada kejahatan
politik. Dalam perkembangannya, ekstradisi pasca abad ke-20 bukan lagi
semata-mata merupakan hak dan kewajiban sebagaimana dinyatakan
dalam suatu perjanjian, melainkan juga bagian dari hak asasi tersangka,
terdakwa, atau terpidana untuk menyatakan pendapatnya terhadap
permintaan suatu negara untuk mengekstradisikan ybs. Hal tersebut
pernah dipraktikan oleh Hendra Raharja yang menolak ekstradisi dirinya
dari Austarlia dengan alasan Pemerintah Indonesia diskrimatif dan
tahanan di Indonesia tidak menjamin keselamatan tersangka.
Perkembangan ekstradisi sejak awal kelahirannya pada abad 15—16,
disepakati bahwa yang dapat diekstradisikan hanya kejahatan politik
(makar) dan kejahatan penodaan terhadap agama. Perkembangan
ekstradisi selama tahun 1700 dan awal 1800an, justru kejahatan politik
termasuk kejahatan tidak dapat diekstradisi (non-extraditable crime)
sampai dengan tahun 1830-an. Gagasan bahwa tersangka tidak dapat
diekstradisikan untuk tindak pidana yang memiliki motivasi politik,
dikemukakan oleh Belgia dan Perancis. Pengakuan tersebut dikuatkan di
dalam MLE UN 1990 yang menegaskan bahwa, kejahatan politik
merupakan kejahatan yang tidak dapat diekstradisi-kan dan bersifat
wajib (mandatory obligation).
Prinsip penolakan atas dasar kejahatan politik dewasa ini semakin
sirna terutama dengan peristiwa terorisme pemboman World Trade
Centre di New York, Amerika Serikat. Kasus ekstradisi mantan PM
Thailand, Thaksin Sinawatra, merupakan contoh teranyar (2009) yang
mencerminkan prinsip penolakan ekstradisi dengan alasan kejahatan
politik masih menguat di dalam hubungan kerja sama internasional
dalam pencegahan dan penindakan kejahatan transnasional. Kasus
Thaksin mirip dengan permohonan ekstradisi mantan Presiden Peru
Alberto Fujimori. Permohonan Peru kepada Chile untuk mengekstradisi
98
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Fujimori tidak begitu terkendala, karena pengadilan Chile melihat
dakwaan terhadap Fujiori murni didasarkan pada pelanggaran korupsi
dan pelanggaran HAM.
Akhirnya, buku mengenai hukum ekstradisi merupakan substansi
yang relatif baru dalam kepustakaan hukum Indonesia, meskipun praktik
dan perjanjian ekstradisi bagi Indonesia bukan masalah hukum baru.
Masih sering dijumpai bahwa masih ada yang keliru menyamakan
ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana
(mutual legal assistance in criminal matters) baik di kalangan pejabat tinggi
pemerintah maupun para sarjana hukum. Dengan terbitnya buku ini,
maka diharapkan dapat menjernihkan pemahaman ekstradisi bagi para
sarjana hukum, terutama yang sehari-hari menggeluti hukum
internasional, dan masyarakat pada umumnya.
99
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
ISTILAH HUKUM
Kemal Haripurwanto
Rebus sic stantibus
The clausula rebus sic stantibus (Latin for "things thus standing") is the legal
doctrine in public international law allowing for treaties to become inapplicable
because of a fundamental change of circumstances. It is essentially an "escape
clause" that makes an exception to the general rule of pacta sunt servanda
(promises must be kept).
Klausul rebus sic stantibus (Dalam bahasa Latin yang berarti “keadaan
yang tidak berubah”) merupakan doktrin hukum dalam hukum
internasional publik yang memungkinkan perjanjian inetrnasional
menjadi tidak bisa diaplikasikan karena adanya suatu perubahan
keadaan yang mendasar. Pada dasarnya, klausul ini merupakan “klausul
pembebasan” yang mengecualikan diterapkannya ketentuan umum pacta
sunt servanda (janji harus ditepati).
Laissez Faire, Laissez Passer
These two formulas, which are frequently met with in economic, political, social
and socialistic discussions, were invented by the physiocrates. By laissez faire
they mean simply let work, and by laissez passer, allow exchange; in other
words, the physiocrates demand, by these phrases, the liberty of labor, and the
liberty of commerce.
Kedua formula ini, yang sering ditemui diskusi-diskusi ekonomi, politik,
social dan sosialistik, diciptakan oleh kelompok yang dinamakan
physiocrates. Laissez faire berarti “biarkan bekerja”, dan laissez passer
berarti dipersilahkan melakukan pertukaran; dengan kata lain kelompok
physiocrates menuntut adanya kebebasan perburuhan dan kebebasan
perdagangan.
Money laundering
The federal crime of transferring illegally obtained money through legitimate
persons or accounts so the its original source cannot be traced.
Kejahatan mentransfer uang yang diperoleh secara ilegal melalui orang
atau rekening yang sah sehingga sumber aslinya tidak dapat ditelusuri.
100
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Due prosess of law
A fundamental, constitutional guarantee that all legal proceedings will be fair
and that one will be given notice of the proceedings and an opportunity to be
heard before the government acts to take away one's life, liberty, or property.
Suatu jaminan dasar yang diberikan konstitusi bahwa semua proses
hukum akan dilaksanakan secara adil, dan bahwa seseorang akan
diberitahu mengenai proses yang berlangsung dan diberitahu mengenai
kesempatannya untuk didengar sebelum pemerintah bertindak untuk
mengambil nyawa, kebebasan, atau property seseorang.
Locus delicti
The place where the tort, offence, or injury has been committed.
Tempat di mana kesalahan, pelanggaran atau tindakan yang
mengakibatkan kerugian telah dilaksanakan. Tempat terjadinya
perbuatan pidana.
Tempus delicti
Tempus Delicti yaitu berlakunya hukum pidana yang dilihat dari segi
waktu terjadinya perbuatan pidana.
Ius ad bellum
Jus (or ius) ad bellum is the title given to the branch of law that defines the
legitimate reasons a state may engage in war and focuses on certain criteria that
render a war just. The principal modern legal source of jus ad bellum derives
from the Charter of the United Nations, which declares in Article 2: “All
members shall refrain in their international relations from the threat or the use of
force against the territorial integrity or political independence of any state, or in
any other manner inconsistent with the purposes of the United Nations”; and in
Article 51: “Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of
individual or collective self-defense if an armed attack occurs against a Member of
the United Nations.”
Yakni seperangkat ketentuan yang harus diterapkan sebelum peperangan
dimulai untuk menentukan justifikasi atas dilakukannya kekerasan
bersenjata atau apakah kekerasan bersenjata tersebut dapat dibenarkan
101
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
atau tidak. Untuk mengetahui justifikasi suatu kekerasan bersenjata,
dapat dilihat Bab VII Piagam PBB 1945.
Ius Bello
Ius in bello is the set of laws that come into effect once a war has begun. Its
purpose is to regulate how wars are fought, without prejudice to the reasons of
how or why they had begun. So a party engaged in a war that could easily be
defined as unjust would still have to adhere to certain rules during the
prosecution of the war, as would the side committed to righting the initial
injustice. This branch of law relies on customary law, based on recognized
practices of war, as well as treaty laws (such as the Hague Regulations of 1899
and 1907), which set out the rules for conduct of hostilities. Other principal
documents include the four Geneva Conventions of 1949, which protect war
victims
Ius in bello yakni seperangkat ketentuan yang berlaku ketika telah terjadi
peperangan dan menentukan bagaimanakah alat dan cara berperang
serta perlindungan para korban perang harus dilakukan. Untuk
mengetahui ketentuan ini, dapat dilihat ketentuan-ketentuan pokok
Hukum Humaniter yang terdapat dalam Hukum Den Haag dan Hukum
Jenewa.
Ius gentium
The ius gentium or jus gentium (Latin, "law of nations") is a concept of
international law within the ancient Roman legal system and Western law
traditions based on or influenced by it. The ius gentium is not a body of statute
law or a legal code, but rather customary law thought to be held in common by all
gentes ("peoples" or "nations") in "reasoned compliance with standards of
international conduct."
Ius gentium atau jus gentium (Latin, "hukum bangsa-bangsa") adalah
sebuah konsep hukum internasional dalam sistem hukum Romawi kuno
dan tradisi hukum Barat didasarkan pada atau dipengaruhi olehnya. Ius
gentium bukanlah undang-undang atau kode hukum, tetapi hukum yang
diturunkan dari tata tertib alam yang mengatur masyarakat bangsa.
102
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
TENTANG PENULIS
Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum
Edward Omar Sharif Hiariej merupakan Guru Besar Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Lahir di Ambon, 10 April
1973. Meraih gelar Sarjana Hukum dari UGM (1998), Master Hukum
UGM (2004), dan Doktor Hukum UGM (2009), serta dikukuhkan sebagai
Guru Besar Hukum Pidana pada 2012. Dapat dikontak melalui
[email protected].
Damos Dumoli Agusman, SH., MA,
Setelah menyelesaikan studi hukum internasional pada Fakultas Hukum
Universitas Padjadjaran Bandung tahun 1987, penulis memulai kariernya
di Kementerian Luar Negeri. Melalui Kementerian ini penulis kemudian
menempuh pendidikan lanjutan di University of Hull Inggris dan
berhasil meraih gelar Master di bidang Hukum Internasional dan Politik
pada tahun 1991. Ketertarikan penulis pada ilmu hukum internasional
demikian besar sehingga pada tahun 1995 menyempatkan diri untuk
mengikuti program hukum internasional pada The Hague Academy of
International Law, Den Haag, Belanda. Penulis menduduki jabatan
Direktur Perjanjian ekonomi dan Sosial Budaya pada Kementerian Luar
Negeri tahun 2006-2010. Saat ini penulis bertugas sebagai Konsul Jenderal
RI di Frankfurt.
Purna Cita Nugraha, SH., MH.
Lahir di Langsa pada 4 November 1986. Merupakan Alumni Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada Jurusan Hukum Pajak Angkatan 2004,
menyelesaikan S2 pada Magister Hukum Bisnis Universitas Padjadjaran
(2010), dan saat ini sedang dalam proses menyelesaikan studi S3 pada
Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Bergabung dengan
Kementerian Luar Negeri RI pada 2009, mengikuti Sekolah Dinas Luar
Negeri angkatan XXXV, dan kini menjadi staf Sekretariat Wakil Menteri
Luar Negeri, Biro Administrasi Menteri, Kementerian Luar Negeri RI.
103
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Harry Purwanto, SH., MH.
Pengajar hukum internasional di Universitas Gadjah Mada. Memperoleh
S1 dari UGM, S2 dari Universitas Padjajaran, dan kini tengah menempuh
pendidikan doktoral di UGM. Berpengalaman aktif dalam banyak
penelitian di lingkungan FH UGM, seperti “Pertanggungjawaban Negara
Tuan Rumah Terhadap Penyerangan Gedung Perwakilan Diplomatik”
(2012), “Perlindungan Bagi tawanan Perang Korban Pertikaian Bersenjata
dalam Perspektif Hukum Islam” (2012), “Yurisdiksi Ekstrateritorial
Dalam Perlindungan Warga Negara di Luar Negeri” (2011), dan
sebagainya. Dapat dihubungi melalui [email protected]
Dr. Mutiara Hikmah, SH., MH.
Lahir di Jakarta pada 21 Januari 1970. Dosen Tetap di Fakultas Hukum
UI sejak Mei 1996, saat ini menjabat Lektor Kepala dengan
Pangkat/Golongan IV-b. Menamatkan pendidikan SH (1995), MH (2002),
Doktor di FH UI (2003), dan Doktor di Universitas Pelita Harapan (2010).
Penulis aktif mengikuti training, workshop, dan konferensi nasional
maupun internasional dalam bidang HAM, Hukum Arbitrase, dan
Hukum Humaniter. Penulis juga aktif menulis di dalam Jurnal-jurnal
ilmiah, antara lain Jurnal Hukum dan Pembangunan, Jurnal Keadilan dan
Jurnal Hukum Internasional. Buku-buku yang pernah ditulis, antara lain
”Aspek-Aspek Hukum Perdata Internasional Pada Perkara-Perkara
Kepailitan” (Penerbit Refika Aditama, 2007) dan “Bunga Rampai Hukum
Antar Tata Hukum dan Hak Asasi Manusia” (Penerbit Fakultas Hukum
UI, 2011).
104
JURNAL OPINIO JURIS
Vol. 13 Mei—Agustus 2013
Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional
OPINI O JURIS
Jurnal Opinio Juris menerima tulisan dengan tema hukum internasional,
perjanjian internasional, diplomasi, hubungan internasional, dan isu-isu
dalam negeri yang memiliki dimensi hukum dan perjanjian internasional.
Ketentuan Penulisan:
1. Panjang tulisan 10—20 halaman kertas A4 (termasuk abstraksi, isi,
catatan kaki, dan daftar pustaka), format MS Word, spasi satu setengah,
font Book Antiqua 11. Untuk catatan kaki, spasi satu dan font Times New
Roman ukuran 10;
2. Tulisan dapat dibuat dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris;
3. Setiap naskah harus disertai abstraksi dalam dua bahasa (Indonesia dan
Inggris). Jumlah kata abstraksi sekitar 100 kata.
4. Rujukan dibuat dalam bentuk catatan kaki (footnote);
5. Tulisan harus asli dari penulis, belum pernah diterbitkan, dan tidak
sedang dikirimkan ke penerbit lain;
6. Untuk setiap naskah yang masuk, redaksi berhak mengedit dengan tidak
mengubah maksud dan isi tulisan;
7. Apabila diperlukan, redaksi akan memberikan masukan dan
rekomendasi kepada penulis tentang tulisan yang dikirim;
8. Setiap naskah yang dikirim harus disertai daftar riwayat hidup singkat
penulis (curriculum vitae) yang setidak-tidaknya terdiri dari pekerjaan,
pendidikan, alamat, dan nomor telepon yang bisa dihubungi;
9. Setiap naskah yang disetujui untuk diterbitkan akan mendapatkan
kompensasi finansial;
10. File naskah beserta kelengkapan lainnya dapat dikirim ke email Redaksi.
Sekretariat Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Interansional
Kementerian Luar Negeri
Jalan Taman Pejambon No. 6 Jakarta Pusat
Telp: +62 21 3846633 Fax: +62 21 3858044
Email: [email protected]
http://pustakahpi.kemlu.go.id/
105
Download