8 BAB I PENDAHULUAN H. Latar Belakang Salah

advertisement
8
BAB I
PENDAHULUAN
H. Latar Belakang
Salah satu dari kegiatan ruang angkasa adalah pemanfaatan satelit yang
ditempatkan di wilayah Geostationer Orbit (selanjutnya disebut GSO).
Penempatan satelit di wilayah GSO oleh negara-negara dengan tingkat ilmu
pengetahuan dan teknologi yang maju memiliki beberapa tujuan, antara lain
sebagai sarana telekomunikasi, pemantauan lingkungan, dan cuaca. Namun
seringkali penempatan satelit di orbit ini tidak dimanfaatkan sebagai mana
mestinya. Penggunaan satelit mata-mata merupakan pemanfaatan satelit untuk
tujuan tidak damai, penginderaan jarak jauh tanpa izin dari negara yang diindera
atas data sumber-sumber alam dan siaran langsung melalui satelit dengan tujuan
untuk propaganda adalah kegiatan-kegiatan dari pemanfaatan satelit yang bisa
melanggar hak-hak prerogatif negara berdaulat. 1
Indonesia sebagai negara khatulistiwa dengan jalur geostationer orbit
terpanjang di dunia mempunyai kepentingan nasional yang sangat besar, termasuk
resiko dari penempatan satelit di orbit ini seperti kegiatan mata-mata (spionase)
yang dilakukan oleh negara lain atas wilayah kedaulatan Indonesia. Orbit
Geostasioner merupakan orbit sinkron di atas khatulistiwa pada ketinggian kurang
lebih 36.000 km, dimana sebuah satelit yang ditempatkan akan tampak statis
1
Diah Apriani Atika Sari, Pemanfataan Wilayah Geostationer Orbit dan Satelit (Kajian
Terhadap Kedaulatan Negara Indonesia), artikel, Surakarta, Fakultas Hukum, Universitas
Sebelas Maret, 2 Juli 2012, hal 7
Universitas Sumatera Utara
9
terhadap suatu titik dipermukaan bumi. 2 Dengan karakteristiknya tersebut GSO
mempunyai nilai ekonomis dan strategis yang sangat penting bagi semua negara.
Apalagi mengingat kenyataan bahwa GSO merupakan sumber daya alam yang
terbatas (limited natural resources). Sehingga tidak mengherankan bila semua
negara di dunia, baik itu negara berkembang atau negara maju berlomba-lomba
untuk memanfaatkan wilayah ini untuk kepentingan nasionalnya. 3
Salah satu bagian khusus yang termasuk di dalam wilayah udara dan ruang
angkasa Indonesia itu adalah suatu kawasan yang disebut sebagai Geo Stationary
Orbit (GSO). Adapun GSO ini adalah merupakan suatu kawasan terbatas yang
terletak di sekitar garis khatulistiwa (Equator), dan hanya “dimiliki” oleh
beberapa negara saja yang wilayah udaranya tepat berada di bawah kawasan GSO.
Dan hanya di dalam kawasan GSO inilah dapat diletakkan posisi dari satelit-satelit
agar dapat tetap pada orbitnya guna melakukan suatu fungsi tertentu.
Adanya prinsip “Common Heritage of Mankind” (Warisan bagi Seluruh
Manusia) dan “First Come First Served” (Kebebasan Mengeksploitasi. 4 di dalam
pemanfaatan ruang angkasa, secara khusus mengenai kawasan GSO, membuat
negara-negara maju yang memiliki teknologi tinggi secara berlomba-lomba ingin
menguasai pemanfaatan kawasan GSO yang sifatnya terbatas tadi. Hal ini
menimbulkan suatu ketidakadilan bagi negara-negara lain yang belum lagi
memiliki kemampuan dalam usaha pemanfaatan wilayah udara dan ruang
angkasa, khususnya GSO tersebut.
2
Supancana, I.B. dalam Seminar Aspek Regulasi Dalam Pemanfaatan Orbit Khususnya
Orbit Geostationer Dan Kaitannya Dengan Kepentingan Indonesia, Bandung, 1994, hal 1-2
3
Ibid
4
Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1982 Pasal 136.
Universitas Sumatera Utara
10
Pengaturan Geostasioner Orbit tidak diatur secara khusus dalam Space
Treaty 1967 maupun konvensi-konvensi internasional lain. Letak GSO yang
berada di wilayah ruang angkasa maka pengaturannya berlaku Space Treaty 1967.
Dengan demikian setiap negara bisa memanfaatkan wilayah ini tanpa diskriminasi
dan penguasaan secara nasional dilarang. Pasal 2 Space Treaty ”Outer space,
including the moon and other celestial bodies, is not subject to national
appropriation by claim of sovereignty, by means of use or occupation, or by any
other means”. Ruang angkasa termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya,
bukan merupakan subjek yang dapat dimiliki dengan suatu klaim kedaulatan,
dengan cara apapun termasuk dengan penundukan, atau dengan cara lain.
Berdasarkan ketentuan ini ruang angkasa merupakan wilayah bebas yang tidak
berada dibawah kedaulatan negara, sama halnya seperti laut bebas.
Permasalahan
yang
kemudian
muncul
dan
dihadapi
masyarakat
internasional adalah adanya ketidak adilan tentang pemanfaatan GSO tersebut.
Hal ini disebabkan karena GSO dipandang sebagai bagian dari ruang angkasa
(outer space), sehingga di GSO berlaku prinsip kebebasan dalam pemanfaatan.
Sebagai akibat berlakunya prinsip kebebasan bagi setiap Negara dalam
memanfaatkan GSO, maka berlakulah prinsip first come, first served. Prinsip
tersebut menyebabkan Negara-negara maju yang memiliki teknologi tinggi
dibidang ruang angkasa dapat memanfaatkan lebih dulu. Suatu konsep Hukum
Internasional adalah berlaku apabila telah diterima sebagai suatu ketentuan yang
mengatur oleh Masyarakat Internasional itu sendiri. Hal ini dapat berupa suatu
Kebiasaan Internasional yang telah lama ada, maupun berdasarkan atas suatu
Universitas Sumatera Utara
11
landasan hukum yang dilakukan oleh dua atau lebih negara sebagai salah satu
subjek Hukum Internasional yang telah diakui keberadaannya. Dalam bukunya
yang berjudul, “An Introduction to International Law”, J. G. Starke memberikan
definisi Hukum Internasional sebagai berikut: “Adapun Hukum Internasional
dapat dirumuskan sebagai sekumpulan hukum (body of law) yang sebagian besar
terdiri dari asas-asas dan karena itu biasanya ditaati dalam hubungan negaranegara satu sama lain. 5
Seorang sarjana hukum Belanda yang sangat terkenal terutama dalam
Hukum Internasional, Grotius (Hugo de Groot: 1583-1645) menulis secara
sistematis tentang kebijaksanaan perang dan damai dalam bukunya, “De Jure Belli
ac Pacis” (The Law of War and Peace = Perihal Hukum Perang dan Damai),
membahas mengenai kebiasaan-kebiasaan (customs) yang diikuti negara-negara
dari zamannya. Ia juga memperkenalkan beberapa doktrin Hukum Internasional,
misal doktrin “Hukum Kodrat” (Law of Nature) yang menjadi sumber dari
Hukum Internasional itu di samping kebiasaan dan traktat. Dan hubungan dengan
karangannya ini, maka Grotius dianggap sebagai “Bapak dari Hukum
Internasional” (Father of The Law of Nations).6
Berdasarkan uraian di atas merasa tertarik memilih judul Tanggung Jawab
Negara Indonesia Selaku Negara Khatulistiwa Dan Negara Kolong (GSO)
5
J. G. Starke, An Introduction to International Law , 1999, hal 87
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Bonacipta, 2010,
hal. 23-24.
6
Universitas Sumatera Utara
12
I. Perumusan Masalah
Dari beberapa penjelasan yang telah diberikan sebelumnya di dalam
tulisan ini, maka mengangkat beberapa permasalahan yang terjadi yaitu sebagai
berikut:
1. Bagaimana
Kedudukan
Negara
Kolong
(GSO)
dalam
Hukum
Internasional?
2. Bagaimana Kedaulatan Indonesia Sebagai Negara Khatulistiwa dan
Negara GSO (Negara Kolong)?
3. Bagaimana sistem hukum di ruang angkasa dan perbatasan wilayah ruang
angkasa?
J. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui kedudukan Negara Kolong (GSO) dalam Hukum
Internasional
b. Untuk mengetahui Kedaulatan Indonesia Sebagai Negara Khatulistiwa
Dan Negara GSO (Negara Kolong)
c. Untuk mengetahui sistem hukum di ruang angkasa dan perbatasan wilayah
ruang angkasa
2. Manfaat Penelitian
a. Secara teoritis
Diharapkan untuk pengembangan studi ilmu
hukum selanjutnya,
khususnya di bidang Hukum Internasional yaitu Hukum Udara dan Ruang
Universitas Sumatera Utara
13
Angkasa. Berharap agar hasil penulisan skripsi ini dapat menambah
khasanah kepustakaan Hukum Udara dan Ruang Angkasa.
b. Secara praktis
Sumbangsih pada peningkatan kualitas sumber daya manusia khususnya di
bidang kedirgantaraan dan keantariksaan, penelitian ilmu pengetahuan dan
pencarian sumber-sumber alam baru.
K. Keaslian Penulisan
Berdasarkan informasi yang ada dan dari penelusuran yang dilakukan di
Kepustakaan Universitas Sumatera Utara dan Kepustakaan Sekolah Pascasarjana,
maka penelitian dengan judul Tanggung Jawab Negara Indonesia Selaku Negara
Khatulistiwa dan Negara Kolong (GSO) belum pernah ada yang melakukan
penelitian sebelumnya. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Adapun judul-judul yang telah ada di perpustakaan universitas Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) yang mirip yang penulis temukan
adalah :
1. Reni Amalia, NIM 96200109 dengan judul Tinjauan Hukum Internasional
terhadap Prinsip Common Heritage of Mankind pada Geostasioner Orbit
2. (GSO).
3. Hisbullah
Huda,
NIM
990200023
dengan
judul
Kedudukan
GSO
(Geostationary Orbit) dan Implikasinya terhadap Kedaulatan Suatu Negara.
4. Johannes R. Ritonga, NIM 990222024 dengan judul Aspek Pemanfaat
(Geostationary Orbit) Menurut Hukum Internasional
Universitas Sumatera Utara
14
L. Tinjauan Pustaka
1. Prinsip Lahirnya Pengaturan Ruang Angkasa
Mengantisipasi perkembangan aktivitas komersialisasi ruang angkasa yang
kompleks, berbagai istilah dan prinsip yang dimuat dalam Space Treaty 1967
harus mendapat klarifikasi yang tepat dan akurat. Pengunaan istilah dan penerapan
prinsip yang kurang tepat kadang dianggap sebagai hal yang kurang penting
bahkan usaha pembahasannya malah akan menimbulkan suatu perdebatan. Tetapi
jika dibiarkan berlarut, arti yang sebenarnya akan menjalin semakin samar dan
pada akhirnya ketidaktepatan atau kurang akuratnya arti suatu istilah dan prinsip
akan menimbulkan kebingungan dalam memahami dan menerapkan ketentuanketentuan hukum ruang angkasa internasional.
Beberapa perjanjian internasional muncul istilah peaceful purpose sebelum
adanya Space treaty 1967, dan diartikan sebagai lawan kata dari kata “Militer”.
Space treaty 1967 mengartikan bahwa ruang angkasa di gunakan hanya untuk
tujuan-tujuan damai dalam arti ‘non militer’. 7 Dalam prakteknya, Uni Soviet dan
amerika Serikat bahkan memberikan penjelasan tentang arti ‘damai’ yang berbeda
pula. Soviet menyatakan bahwa segala aktivitas ruang angkasanya termasuk
pemakaian satelit pengintai militer, bersifat damai dan menyangkal melakukan
aktivitas illegal seperti memata-matai dari ruang angkasa. Semua satelitnya
dikatakan bagi tujuan riset ilmiah. Amerika mengartikan damai sebagai ‘nonagresif’. Penerbangan di atas wilayah negara lain, walaupun sebenarnya tindakan
mata-mata, dinyatakan sebagai ‘pengawasan udara’ dan tujuan-tujan damai dan
7
Space Treaty, 1976, Pasal 4 ayat (2)
Universitas Sumatera Utara
15
satelit pengintaian militer berfungsi menjaga keamanan (peace-keeping). Dengan
alasan-alasan tersebut, Uni Soviet dan Amerika Serikat menyakinkan dan
mempengaruhi dunia bahwa aktivitas ruang angkasa mereka bertujuan damai.
Space Treaty 1967 tidak menyatakan suatu kewajiban bagi Negara-negara
pesertanya untuk mempergunakan seluruh ruang angkasanya bagi tujuan-tujuan
damai. Peaceful purpose ini dikaitkan dengan ‘eksplorasi dan penggunaan ruang
angkasa’. Dan pada ketentuan yang membatasi penggunaan bagian ruang angkasa
semata-mata untuk peaceful purpose, yakni Pasal 4 ayat 2, secara jelas dan
eksplisit dikatakan bahwa, “The moon and other celestial bodies shall be used by
the States Parties to the treaty exclusively for peaceful purpose’ (Bulan dan benda
langit lainnya harus digunakan oleh negara pihak pada perjanjian internasional
secara eksklusif untuk tujuan damai).
Retrikei ini tidak berlaku bagi Pasal ayat 4 ayat (1) Space Treaty 1967,
yakni bagi ruang kosong yang berada diantara semua benda-benda langit. Space
Treaty 1967, dalam permasalahan ‘militer’, menciptakan dua zona di ruang
angkasa yang diatur oleh regin hukum yang berbeda; (1) bulan dan benda-benda
langit lainnya secara total didemiliterisasi parsial. 8
Berdasarkan kedua ayat (1) dari Pasal 4 Space Treaty 1967 ini, diruang
angkasa (open space) negara-negara dapt secara bebas menempatkan objek-objek
ruang angkasa militer, apapun jenisnya dan berapapun jumlahnya, termasuk pula
satelit pengintai, satelit komunikasi, serta senjata-senjata yang bersifat defensive
atau ofensif, sepanjang senjata-senjata tersebut bukanlah senjata nuklir dan senjata
8
Ibid., Pasal 4 ayat (1)
Universitas Sumatera Utara
16
perusak missal. Karena aktivitas ini dapat dilakukan secara komersial, maka
klarifikasi arti dan lingkungan penerapan ‘peaceful purpose’ di ruang angkasa
melalui suatu persetujuan internasional merupakan suatu hal penting bagi
perkembangan komersialisasi ruang angkasa. Bila tidak ada klarifikasi, suatu
aktivitas semacam itu dapat secara tiba-tiba dan tanpa dasar yang jelas dianggap
sebagai pelanggaran hukum karena dinilai bukan untuk “tujuan-tujuan damai “.
Dengan demikian yang dimaksud dengan peaceful proposes” adalah proyekproyek sipil, yaitu non militer.
Ada beberapa istilah satelit dan satelit artificial, kemudian istilah stasiun,
instalasi, konstruksi, perlengkapan, fasilitas dan sebagainya yang dikaitkan
dengan bulan dan benda-benda langit. Istilah dan gagasan terkait di atas tidak
segera diklarifikasi dan didefenisikan, dan kemudian penggunaannya dinekukan,
maka akan timbul kekacauan. Pertambahan intensitas dan kualitas aktivitas ruang
angkasa terutama di bidang komersial yang tidak diikuti kejelasan arti objek ruang
angkasa, yang merupakan materi fisik primer yang selalu terlibat dalam tiap
kegiatan ruang angkasa, akan menimbulkan ketidaksesuaian dan kerenggngan
antara peraturan dengan pelaksanaan tersebut.
Suatu hal yang selalu terkait dalam suatu obyak adalah masalah hak dan
kewajiban objek tersebut. Diruang angkasa, sesuai dengan ketentuan Pasal 2
Space Treaty 1967, tidak diakui kedaulatan territorial. Akibatnya, yurisdiksi
territorial, yang biasanya berlaku mutlak dalam wilayah kedaulatan suatu Negara,
di ruang angkasa menjadi yurisdiksi kuasi-teritorial. Berdasarkan Pasal 8 Space
Universitas Sumatera Utara
17
Treaty 1967, yurisdiksi kuasi-teritorial ini nampaknya dilandasakan pada registrsi
atau pendaftaran objek ruang angkasa. 9
Istilah objek ruang angkasa atau space object dapat dianggap yang paling
komperehensip walau sejauh ini, secara resmi tidak ada defenisi objek ruang
angkasa, serta bila mana suatu objek dimulai dan berhenti memenuhi syarat
sebagai suatu objek ruang angkasa. Pasal 1 Registration Convention 1975 hanya
menyebutkan bahwa istilah ‘objek ruang angkasa’ mencakup pula bagian-bagian
komponen suatu objek ruang angkasa dan wahana peluncurnya beserta bagianbagiannya. Dua elemen lain yang ditambahkan Pasal 2 Registration Convention
1975 bahwa suatu objek ruang angkasa (1) ‘launched into earth orbit or beyond’,
dan (2) wajib didaftarkan; satu-satunya kewajiban yang dipersyaratkan bagi objek
ruang angkasa. Objek-objek ruang angkasa yang tidak diluncurkan ke dalam orbit
bumi atau melampaui orbit bumi, tidak wajib didaftarkan. Hal ini secara tidak
langsung mengangkat kembali masalah delimitasi ruang angkasa.
Kewajiban pendaftaran bagi objek ruang angkasa mempunyai arti penting
karena registrasi, selain memberikan tanda kebangsaan bagi objek ruang angkasa,
juga menimbulkan ikatan yurisdiksi dengan negara tempatnya terdaftar dan
merupakan titik taut antara tanggung jawab negara dengan objek ruang angkasa.
Jika suatu objek ruang angkasa, misalnya satelit, telah habis masa fungsinya,
maka objek tersebut akan menjadi suatu debris atau puing. Apakah ikatan yuridis
tersebut masih dipertahankan ‘atau karena sudah tidak berfungsi lagi maka
dianggap sebagai benda tak bertuan (res derelictae) Melalui teknologi maju saat
9
Ibid., Pasal 8
Universitas Sumatera Utara
18
ini suatu debris satelit dapat diperbaiki di ruang angkasa untuk kemudian
ditempatkan kembali pada orbitnya dan dioperasikan secara normal. Alternatif ini
sangat menguntungkan dan dapat dikomersialkan karena biaya yang diperlukan
jauh lebih sedikit dibandingkan mengusahakan satelit baru yang diluncurkan dari
bumi. Jika aktivitas komersial semacam ini berkembang, maka perubahan
registrasi atas objeknya tersebut sangatmungkin terjadi. Bagi kepentingan semua
pihak yang terlibat, objek-objek ruang angkasa ini harus diatur lebih lanjut.
Sebagaimana yang terdapat pada Pasal 8 Space Treaty 1967 nampaknya
mengaitkan yurisdiksi kepada pendaftaran objek ruang angkasa. Negara tempat
objek itu terdaftar (State Registry) memegang yurisdiksi dan kontrol atau objek
yang bersangkutan ketika objek itu berada di ruang angkasa atau pada suatu benda
langit. Yurisdiksi dan control tersebut tetap ada baik sebelum objek itu memasuki
ruang angkasa maupun setelah objek itu kembali ke bumi.
Jika berpedoman pada faktor peluncuran dimana sebuah objek dianggap
belum merupakan objek ruang angkasa, ataupun sekurangnya, siap untuk
dilincurkan, maka statusnya sebagai space objek tidak timbul baik dari
pendaftaran pada PBB. Meskipun pendaftaran ini suatu kewajiban, tetapi
Registration Convention 1975 tidak mutlak mensyaratkan bahwa pendaftaran
suatu objek ruang angkasa harus dilakukan sebelum peluncuran. Dalam praktek,
pendaftaran dalam PBB seringkali tertunda lama. Karenanya, yurisdiksi dan
kontrol atas objek ruang angkasa, bisa timbul (dan efektif) sebelum objek tersebut
didaftarkan.
Universitas Sumatera Utara
19
Dari segi historis, yurisdiksi dan kontrol atas objek ruang angkasa
disebutkan dalam Pasal 8 Space Treaty 1967, sedangkan pendaftaran objek ruang
angkasa baru dirumuskan tahun 1975 melalui Registration Convention 1875,
antara tahun 1967 sampai dengan 1975 telah disepakati 2 perjanjian internasional
lain, yaitu Rescue Agreement tahun 1968 dan Liability Convention tahun 1972,
dimana keduanya tidak membuat acuan tentan gpendaftaran. Menyangkut
yurisdiksi dan kontrol, kedua perjanjian itu menempatkan kewenangan atau objek
ruang angkasa pada launching authority serta launching state, Rescue Agreement
1968 menyatakan “launching authority”, yaitu Negara ataupun suatu organisasi
internasional tentunya yang ‘bertanggung jawab atau peluncuran’ objekruang
angkasa. Liability Convention 1972 Pasal 1 butir c eksplisit mendefenisikan
“launching state” sebagai:10
a.
A state launches or procures the launching of a space object (Sebuah negara
meluncurkan atau pengadaan peluncuran benda antariksa)
b.
State from territory of facility a space object is launched (Negara dari
wilayah fasilitas benda antariksa diluncurkan)
Melalui Registration Convention 1975, yang sudah diteriam secara luas,
nampaknya State of Registry dapat dijadikan patokan yang paling mudah bahkan
satu-satunya faktor penghubung antara objek ruang angkasa dengan yurisdiksi dan
kontrol. Namun, pendaftaran dan yurisdiksi tidak selalu dapat diletakkan bersama.
Hal ini tampak bila mana objek ruang angkasa diluncurkan bersama-sama oleh
beberapa Negara, baik secara langsung dan tidak langsung, malalui ataupun
10
Liability Convention 1972 Pasal 1 butir c eksplisit
Universitas Sumatera Utara
20
bersama dengan suatu organisasi internasional . Pasal 2 registration Convention
1975 mengatur bahwa objek ruang angkasa itu harus didaftarkan pada salah satu
negara diantara negara-negara yang terlibat. Kemudian Negara-negara tersebut
boleh membuat yurisdiksi dan control atau objek ruang angkasa serta personel
yang berada di dalamnya. 11
Pasal 2 Registration Convention 1975 memberikan kemudahan dan jalan
penyelesaian tentang pendaftaran bila lebih dari satu Negara yang terlibat. Tetapi
di pihak lain dan dikaitkan dengan Pasal 8 Space Treaty 1967 timbul keraguan,
karena, sepanjang objek tersebut telah didaftarkan maka Negara-negara yang
terlibat telah mempunyai keleluasan untuk merubah hubungan antar pendaftaran
danyurisdiksi. Dalam praktek, jika dalam Negara-negara tanpa ada aturan yang
dapat mencegah diijinkan untuk secara leluasa membuat pengaturan alternative,
maka bila terjadi suatu masalah akan timbul ketidakpastian mengenai negara
mana yang sebenarnya melaksanakan yurisdiksi dan control atas suatu objek
ruang angkasa beserta segala konsekuensinya, seperti misalnya hukum Negara
mana yang berlaku dan diterapkan bagi objek ruang angkasa itu. Registration
Convention 1975 bahkan tidak mengharuskan persetujuan tersebut dilaporkan
kepada PBB dan dicatat dalam registrasinya.
Klasifikasi dan pengaturan mengenai pendaftaran bagi objek ruang angksa
masih perlu dijabarkan lebih tegas untuk dapat secara pasti mengaitkan yurisdiksi
dan kontrol atas objek ruang angksa pada registrasi. Hal ini bagi para pihak yang
terlibat dalam aktivitas komersial ruang angksa merupakan kepentingan praktis,
11
Pasal 2 Registration Convention 1975
Universitas Sumatera Utara
21
karena antara lain, yurisdiksi bertalian langsung dengan penentuan sistem hukum
yang berlaku.
Hukum internasional membagi wilayah dunia dalam 3 kategori tradisional,
yakni:
1. Wilayah Nasional, dimana wilayah ini negara berwenang menerapkan
kedaulatannya secara penuh dan eksklusif.
2. Teritorium Nullius atau disebut juga sebagai “no-man’s land”, yaitu wilayah
yang tidak merupakan milik dari Negara manapun, tetapi dapat diajdikan
pemilikan dari Negara –negara menurut aturan hukum internasional.
3. Territorium Extra Commercium atau “territory outside commerce”, yaitu
wilayah yang tidak merupakan milik negara manapun menurut hukum
internasional wilayah ini tidak dapat dijadikan objek pemilik (not subject to
appropriation) oleh Negara-negara manapun warga negaranya, anamun
sumber-sumber alamnya boleh dimiliki. Sesuai dengan Pasal 2 Space Treaty
1967, ruang angkasa, bulan dan benda-benda langit lainnya tergolong dalam
kategori ini.
Perkembangan yang ada, treaty telah membentuk category wilayah
keempat, yaitu wilayah yang merupakan command heritage of mandkind dimana
baik wilayah itu sendiri maupun sumber-sumber alamnya tidak dimiliki secara
individual oleh Negara-negara atau warga negaranya bagi kepentingan mereka
sendiri moon Treaty 1979 merupakan perjanjian multilateral pertama yang
memberikan pengakuan atas kategori wilayah ini dengan menyatakan dalam Pasal
Universitas Sumatera Utara
22
11 bahwa,”The moon an its natural resources are the commond heritage of
mindkind…”
Keabsahan suatu tindakan menurut hukum internasional tidak ditentukan
dari sifat (nature) tindakan itu, melainkan pada dimana tindakan tersebut terjadi.
Dalam wilayah nasional suatu negara, keabsahan suatu tindakan ditentukan oleh
hukum Negara yang bersangkutan karena itu sepenuhnya berhak untuk mengatur
segala yang terjadi di dalam wilayahnya. Tetapi ini tidak berlaku bagi kategori
wilayah lainnya, dimana hak berdaulat semacam itu tidak diakui bagi Negara
manapun, kecuali atas warganegara dari Negara tersebut serta atas kapal laut,
pesawat udara dan pesawat atau objek ruang angkasa yang terdaftar di dalam
Negara yang bersangkutan. Keadaan ini mendukung adanya kebebasan
beraktivitas oleh semua negara beserta warga negara, kecuali jika ada ketentuan
hukum internasional yang melarangnya.
Disamping menentukan keabsahan suatu tindakan diperlukan batas antara
ruang udara dan ruang angkasa, seperti pandangan kaum spatialis, menunjukkan
bahwa Negara nasional, untuk menjamin aktivitas ruang angkasa, dengan
berdasarkan asas resiprositas atau asas timbale balik bersedia pada suatu waktu
meluluhkan sebagai kedaulatan atas ruang udara nasionalnya untuk kepentingan
aktivitas ruang angkasa suatu negara.
Dilihat dari praktek yang ada, maka kebiasaan internasional mengakui
adanya suatu hak lintas (legal right of passage) bagi byek-objek ruang angkasa
untuk melintasi ruang udara nasional Negara lain dalam perjalanannya orbit atau
Universitas Sumatera Utara
23
kemabli kebumi. Hak lintas ini haus dijamin keamanannya dan tidak dianggap
suatu tindakan pelanggaran atau illegal trespass.
Dalam prakteknya kini, negara-negara yang meluncurkan bwenda-benda
keruang angkasa tak pernah minta ijin sebelumnya untuk melakukna usaha-usaha
tersebut. Selain it, secara resmi tidak ada negarapun yang wilayahnya udaranya
dilintasi mengajukan keberatan. Sehingga kiranya dapat diartikan bahwa sikap
berdiam diri itu merupakan persetujuan atau “consensus omnium”. Keadaan
tersebut terus berlangsung sampai sekarang dan telah menjadi suatu kelaziman
sebagai suatu kebiasaan internasional.
2. Batas wilayah ruang udara dan ruang angkasa
Tidak adanya delimitasi vertical antara ruang udara dan ruang angkasa luar
ini menimbulkan kesukaran untuk memberikan defenisi terhadap kedua ruang
udara tersebut sepanjang menyangkut pemiliknya. Kedaulatan penuh dan
eksklusiv suatu negara terhadap udara tanpa batas ketinggian tidak mempunyai
dasar seperti juga keinginan negara-negara partai untuk menguasai laut sejauh
mungkin tanpa batas. Keinginan untuk menguasai ruang udara atau laut tanpa
batas ini mungkin didasarkan atas bentuk fisik udara, yang seperti juga dengan
laut, secara materil tidak terpisah dari bumi bahkan melekat sepenuhnya. Alasan
sebenarnya mungkin beralasan dari pertimbangan kepentingan keaman nasional.
Dalam hal ini soal jarak sama sekali tidak memainkan peran pelindung dalam era
teknologi canggih dewasa ini, karena bahaa yang dapat ditimbulkan oleh
penerbangan pesawat asing diatas wilayah suatu negara terhadap keamanan
Universitas Sumatera Utara
24
nasional Negara adalah sama, lepas dari ketinggian terbangnya pesawat asing
tersebut.
Konvensi-konvensi Paris dan Chicago sama sekali tidak membuat
ketentuan mengenai delimitasi horizontal dari ruang udara .Karena tidak ada
ketentuan ini, tanpa batas udara hanya dapat ditetapkan enggan merujuk kepada
tapel batas darat dan laut . Tapal batas udara harus dengan garis-garis batas darat
dan laut tetapi dari segi praktis, nyatalah bahwa dengan kecepatan luar biasa
pesawat-pesawat dewasa ini sulit untuk menentukan dimana persisnya batas-batas
wilayah tersebut. Alat-alat teknik yang digunakan oleh kapten-kapten pesawat
hanya member hasil-hasil yang kurang lengkap. Saat ini sedang dikembangkan
terus alat-alat teknik dimaksud, termasuk penditeksinya untuk memperoleh datadata yang lengkap apakah terjadi pelanggaran. Kesalahan atau kehilafan mungkin
saja terjadi yang merupakan asal-usul pelanggaran-pelanggaran tapal batas udara
secara tidak sengaja. Hal tersebut sering pula digunakan sebagai alasana bagi
pelanggar abtas.
Dewasa ini usul Uni Soviet tantang jarak 100/110 kilometer dari
permukaan laut sebagai batas berakhirnya wilayah ruang udara merupakan
kenyataan yang dianggap sebagai kebiasaan internasional dalam praktik aktivitas
ruang angkasa Negara-negara. Namun, dengan meningkatkan aktivitas ruang
angkasa, khususnya aktivitas komersial yang bernilai dan beresiko tinggi, para
pihak pelaku aktivitas tersebut membutuhkan jaminankepastian hukum .
Batas wialyah secara hukum ruang angkasa belum ditemukan kesepakatan.
Adanya kepentingan suatu Negara terhadap ruang asing khususnya zona GSO
Universitas Sumatera Utara
25
memberi suatu pandangan yang berbeda-beda antara suatu negara tentang batas
wilayah udara menurut hukum ruang angkasa. Kepentingan penentu batas wilayah
udara menurut hukum ruang angkasa didasarkan kepentingan atas orbit Stasioner
yang diperebutkan oleh berbagai Negara yang ingin meluncurkan satelitnya.
Karena rentang wilayah GSO terbatas, hanya 360 derajat, sementara sejak antara
satelit minimal 2 derajat, membuat satelit yang bisa mengorbitkan hanya 180
satelit .
Kenyataan sedemikian memberikan perbedaan pendapat atas batas wilayah
suatu Negara atas ruang angkasanya, sehingga dalam kenyataan ini tidak
mencapai kesepakatan tentang batas wilayah suatu Negara atas wilayah ruang
angkasanya. Wilayah udara nasional dan berlandaskan kedaulatan, suatu Negara
memiliki kontrol yang mutlak. Tetapi kontrol tersebut berakhir bersama dengan
berakhirnya ruang udara nasional dan dimulainya ruang angkasa, dimana hak
semacam itu tidak diakui. Perbatasan ruang udara yang tegas mempunyai nilai
dan arti penting karena berhubungan erat dengan pertimbangan-pertimbangan
legal yang harus diambil dalam memutuskan suatu masalah yang terjadi dalam
wilayah kelautan negara.
3. Pengaturan hukum mengenai GSO
Pada dasarnya pengaturan Geostasioner Orbit tidak diatur secara khusus
dalam Space Treaty 1967 maupun konvensi-konvensi internasional lain. Namun,
karena letak GSO yang berada di wilayah ruang angkasa maka pengaturannya
berlaku Space Treaty 1967. Dengan demikian setiap negara bisa memanfaatkan
wilayah ini tanpa diskriminasi, tetapi penguasaan
secara nasional dilarang.
Universitas Sumatera Utara
26
Pasal 2 Space Treaty ”Outer space, including the moon and other celestial
bodies, is not subject to national appropriation by claim of sovereignty, by
means of use or occupation, or by any other means”. Ruang angkasa termasuk
bulan dan benda-benda langit
lainnya, bukan merupakan subjek yang dapat
dimiliki dengan suatu klaim kedaulatan, dengan cara apapun termasuk dengan
penundukan, atau dengan cara lain. Berdasarkan ketentuan ini ruang angkasa
merupakan wilayah bebas yang tidak berada dibawah kedaulatan negara, sama
halnya seperti laut bebas. 12
Pengaturan mengenai aspek teknis penggunaan GSO dibahas dan
dikeluarkan oleh ITU. Pengaturan aspek teknis ini selalu dimutakhirkan sejalan
dengan
kemajuan teknologi telekomunikasi dan kebutuhan negara-negara,
dengan maksud untuk dapat mengakomodasikan kepentingan semua negara
penyelenggara dan penggunaan jasa telekomunikasi. 13
M. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang
mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundangundangan dan putusan pengadilan, 14 yang berkaitan dengan Tanggung Jawab
Negara Indonesia Selaku Negara Khatulistiwa dan Negara Kolong (GSO).
12
Diah Apriani Atika Sari., Op.cit
Agus Pramono. Dasar-Dasar Hukum Udara dan Ruang Angkasa. Bogor: Ghalia
Indonesia: 2001, hlm 125
14
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2013, hal 14.
13
Universitas Sumatera Utara
27
Penelitian hukum normatif (Legal Research) terdiri dari inventarisasi hukum
positif, penemuan asas-asas dan dasar falsafah hukum positif, serta penemuan
hukum in concreto.
Penelitian hukum normatif yang dipakai dalam penelitian adalah
penemuan hukum in concreto. Dalam penelitian ini, norma-norma hukum in
abstracto diperlukan mutlak untuk berfungsi sebagai premisa mayor, sedangkan
fakta-fakta yang relevan dalam perkara (Legal facts) dipakai sebagai premisa
minor. Melalui proses silogisme akan diperolehlah sebuah konklusi, yaitu hukum
in concreto, yang dimaksud. 15 Adapun sifat penulisan ini adalah deskriptif
analitis, yaitu untuk mendapatkan deskripsi mengenai jawaban atas masalah yang
diteliti.
2. Pengumpulan data
Pengumpulan data dilakukan secara studi kepustakaan, maka pembahasan
dilakukan berdasarkan data sekunder, berupa:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan terdiri
dari: peraturan perundangan internasional dan nasional antara lain :
Konvensi Chicago Tahun 1944, Konvensi Geutemala Tahun 1971
Konvensi Guadalaraja Tahun 1961, Konvensi Paris Tahun 1919, Konvensi
Roma tahun 1952, Konvensi Tokyo Tahun 1963, Konvesi Warsawa Tahun
1929,
terkait undang-undang Nasional antara lain Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009, Undang–Undang Republik
Indonesia Nomor 15 Tahun 1992, Undang-Undang Republik Indonesia
15
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta:Raja Grafindo Persada,
2006, hal 91-92
Universitas Sumatera Utara
28
Nomor 6 Tahun 1996 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 1983
b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasilhasil penelitian, atau pendapat pakar hukum.
c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti kamus (hukum), ensiklopedia. 16
3. Analisis data
Data dalam penelitian ini dikumpulkan dan diorganisasikan, serta
diurutkan dalam suatu pola tertentu sehingga dapat ditemukan dan dirumuskan
hal-hal yang sesuai dengan bahasan penelitian. Seluruh data ini dianalisa secara
kualitatif, yaitu menginterpretasikan secara kualitas tentang pendapat atau
tanggapan
responden,
kemudian
menjelaskannya
secara
lengkap
dan
komprehensif mengenai berbagai aspek yang berkaitan dengan pokok persoalan
yang ada dalam skripsi ini, serta penarikan kesimpulan dilakukan dengan
menggunakan pendekatan deduktif-induktif. Dengan demikian kegiatan analisis
ini diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan
tujuan penelitian yang benar dan akurat.
N. Sistematika Penulisan
Pembahasan secara sistematis sangat diperlukan dalam penulisan karya
tulis ilmiah. Untuk memudahkan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika
16
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004, hal. 31-32.
Universitas Sumatera Utara
29
penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab per bab yang saling berhubungan
satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
BAB I
PENDAHULUAN
Pada bagian ini berisikan Latar Belakang, Perumusan Masalah,
Tujuan dan Manfaat Penelitian, Keaslian Penulisan, Tinjauan
Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan
BAB II
KEDUDUKAN NEGARA KOLONG (GSO) DALAM HUKUM
INTERNASIONAL
Bab ini berisikan mengenai sejarah negara kolong, pengertian Negara
Kolong (GSO) dan Kedudukan Indonesia sebagai Negara Kolong
dalam Hukum Internasional
BAB III
SISTEM HUKUM DI RUANG ANGKASA DAN PERBATASAN
WILAYAH RUANG ANGKASA
Bab ini berisikan mengenai Sejarah Hukum Udara dan Ruang
Angkasa Prinsip-prinsip Hukum Udara dan Ruang Angkasa Sistem
Hukum Udara dan Ruang Angkasa, secara nasional dan internasional.
BAB IV
KEDAULATAN
INDONESIA
SEBAGAI
NEGARA
KHATULISTIWA DAN NEGARA GSO (NEGARA KOLONG).
Pada bab ini akan membahas tentang Sistem Hukum Ruang Angkasa
dan Perbatasan Wilayah Ruang Angkasa dan Pemanfaatan Wilayah
Udara dan Ruang Angkasa Nasional Indonesia Sebagai Negara
Khatulistiwa dan Negara Kolong serta Tanggung jawab Indonesia
Universitas Sumatera Utara
30
selaku Negara Khatulistiwa dan Negara Kolong dalam Hukum
Internasional
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini merupakan bagian terakhir dari penulisan skripsi ini. Bab ini
berisi kesimpulan dari permasalahan pokok dari keseluruhan isi.
Kesimpulan bukan merupakan rangkuman ataupun ikhtisar. Saran
merupakan upaya yang diusulkan agar hal-hal yang dikemukakan
dalam pembahasan permasalahan dapat lebih berhasil guna berdaya
guna.
Universitas Sumatera Utara
Download