PERSEPULUHAN dan MEMBERI DENGAN IMAN (Persoalan pemahaman dan pelaksanaannya: ditinjau secara Alkitabiah) Oleh Pdt. H. Ongirwalu, M.Th 1 Mengapa ? 1.1. Ada beberapa komentar yang perlu disimak : • Billy Graham : - Tidak memberikan persepuluhan berarti serakah, bagai orang yang hanya merampok ALLAH. - Memberi persepuluhan sebenarnya belum memberikan apa-apa. - Memberi persepuluhan, kita cuma bayar hutang. • Eka Darmaputra : - Memberi persepuluhan sekarang seperti orang menagih hutang, sepertinya kita berpiutang kepada TUHAN. - Dengan memberi kita sering menagih dari TUHAN. - Jangan minder bila kolekta Gereja tertentu ber-M.M. Belum tentu itu persembahan. Orang sering lempar teri supaya dapat kakap. • Jacob Nahuway : - Saya membangun kompleks Mawar Saron Kelapa Gading dari hasil persembahan warga Mawar Saron. - Kami tidak pernah mengedarkan list dan meminta sumbangan untuk pelayanan. - Kami tidak pernah mengadakan usaha dana untuk mengisi kas Jemaat. Keuangan kami selalu cukup. • Herlianto : - Teologi Sukses sering menjadikan ajaran persepuluhan sebagai bentuk pemerasan yang halus. - Teologi Sukses memaksa Jemaat dengan menggunakan ayat-ayat Alkitab sebab dengan memberikan persembahan pasti segera dibalas. - Praktek persepuluhan dikaitkan dengan prestasi materi yang diperoleh, khususnya oleh pengusaha-pengusaha, seperti pemilik Colgate atau P&G. – 1.2. Beberapa kenyataan : • Bendahara salah satu Majelis Jemaat menyajikan laporan keuangan. Laporan itu rinci dan rapi. Ia mengeluh karena persembahan Minggu itu tidak sebanding pengeluaran. Padahal pengunjung ibadah diketahuinya berpenghasilan cukup. • Seorang pendeta mengeluh melalui khotbahnya bahwa anggota Jemaat hanya mempersembahkan mata uang terkecil, setelah ditukar di warung depan Gereja. Kalau mereka tidak ke Gereja maka mereka tidak memberi apa pun juga. • Majelis Sinode salah satu Gereja tidak mampu membiayai para pendetanya karena tungggakan persembahan Jemaat-jemaat tidak pernah terselesaikan. • Banyak Gereja-gereja baru melaksanakan kegiatan di hotel-hotel berbintang karena persembahan pengunjung berjuta-juta. • Gembala-gembala dari Gereja-gereja baru tidak pernah berkekurangan karena hidup dari persepuluhan anggota-anggota yang dilayaninya. 1.3. Apa yang telah terjadi dengan persembahan di Gereja-gereja kita ? Apa yang salah ? • 2 Apa itu ? –2.1.Persepuluhan a.Persepuluhan tidak khas Israel. Bangsa-bangsa kuno juga sering melakukannya. Tetapi bangsa Israel menjadikannya sebagai persoalan iman. Karena itu Taurat mengaturnya (Imamat 27:30-32). –Diambil dari : •hasil benih di tanah •buah pohon-pohonan •lembu sapi atau kambing domba. –Bila hewan, cara mengambilnya dari setiap yang kesepuluh dari barisan yang ke luar merumput. –Zaman YESUS, persepuluhan diperluas ahli Taurat menjadi : • dari segala yang dimakan • dari segala yang tumbuh dari tanah. • (Matius 23:23, Lukas 11: 42 = selasih, adas manis dan jintan). b. Diberikan kepada suku Lewi (Bil. 18:21). Karena tidak memiliki tanah. –Bilangan 18:21-27 – orang-orang Lewi yang bekerja di Kemah Pertemuan, menerima sepersepuluh dari hasil padipadian dan buah-buahan. –Orang-orang Lewi juga tidak hanya menerima tetapi juga memberi sepersepuluh dari persepuluhan yang diterimanya (Bil. 18:26) dan harus dari yang terbaik, diserahkan kepada imamimam. c. Persepuluhan dibawa ke tempat yang akan dipilih TUHAN. • Setiap tahun (Ul.angan 12:5-17; 14:22) yaitu Yerusalem. Bila pengangkutan sulit/jauh maka dapat diganti dengan uang (Ulangan 19:22-27). • Setiap 3 (tiga) tahun persepuluhan dipersembahkan di tempat tinggal masingmasing (Ul.14:28 dan 26:12-15) untuk orang-orang Lewi, orang-orang asing, anak Yatim dan janda. d. Nabi-nabi sebelum pembuangan (Mis. Amos, Hosea, Yesaya, Yeremia, Yeheskiel) tidak menonjolkan soal persepuluhan. Mungkin saja tidak dilaksanakan. Kalaupun dilaksanakan tidak diikuti dengan memberlakukan keadilan dan kebenaran dalam masyarakat (banding Amos 5:21-25). Zaman pembuangan dan sesudahnya (abad 6 seb.M.) timbul kesadaran bahwa malapetaka itu menimpa umat karena tidak mentaati Taurat. Sehingga Taurat antara lain persepuluhan ditekankan lagi (banding Kejadian 14:18-19). Ezra dan nabi-nabi sezamannya (khusus Maleakhi) menekankannya kembali. Persepuluhan menjadi ukuran umat diberkati atau dikutuki (Maleakhi 3:6-12). e. Telah terjadi pergeseran fungsi persepuluhan. Awalnya untuk orang-orang Lewi yang tidak memiliki tanah, kemudian imam-imam di Kemah suci dan Bait ALLAH, lalu menjadi pelayanan bagi orang-orang asing, miskin, yatim dan janda. Setelah pembuangan menjadi prasyarat mendapat berkat dan kemakmuran. – 2.2. Dasar persepuluhan a.Teologi dibalik semua persembahan Israel ialah bahwa tanah adalah milik ALLAH. Umat menerimanya sebagai pemberian (= anugerah) TUHAN. Konsekwensinya : – Umat sama sekali bergantung kepada ALLAH nenek moyang mereka dan mereka sendiri menjadi pengembara yang bergantung pada ALLAH (banding Ulangan 7:7-8; 8:17-18). – ALLAH yang diandalkan untuk membuat tanah memberi hasil. Setiap kali panen umat diingatkan bahwa tanah yang memberi hasil itu bukan milik mereka. Sebab itu pesta panen (= syukur) dilaksanakan. (banding Ulangan 26:510). – Pemberian tanah merupakan bukti hubungan antara ALLAH dan umat. Mereka mengetahui bahwa mereka adalah umatNYA karena ALLAH memberikan tanah sebagai warisan. Maka terjalin hubungan BAPA – anak. Bukan untuk dimiliki tetapi untuk didiami. Tanah bukan menjadi hak milik perorangan tetapi hak milik ALLAH yang diwariskan untuk menjadi tempat kediaman umat. (banding Kel. 15:17; 32:13; Ul. 4:21, 38; 12:9; 15:14; 19:10). - Tanah tidak hanya mempunyai nilai ekonomis yang tinggi tetapi adalah symbol kehidupan manusia. Tidak dapat dialihkan begitu saja apalagi dirampas seperti peristiwa Nabot (I Raja-raja 21). Kalaupun terpaksa harus dialihkan karena sesuatu kebutuhan penting, harus ditebus kembali dan dengan sendirinya kembali pada waktu tahun Yobel. b. Pada dasarnya umat mengakui bahwa hanya oleh anugerah ALLAH maka mereka beroleh kehidupan. Mereka berhutang budi atas keberadaan mereka pada anugerah ALLAH, bukan pada usaha mereka. ALLAH telah memilih leluhur mereka dan menjadikan mereka bangsa yang besar, membebaskan dari Mesir dan memukimkan kembali di tanah milik ALLAH. c. Pada saat membawa persembahan panen umat Israel tidak hanya mengakui berkat ALLAH, tetapi pada saat yang sama mereka menyadari bahwa tanpa hubungan dengan sesama mereka tidak dapat mengharapkan berkat ALLAH. Karena itu mereka membawa persembahan panen dengan sukacita bersama ALLAH dan sekaligus dengan sesama (masyarakat). Mereka bergembira bersama bahwa mereka adalah umat ALLAH. Persepuluhan mereka digunakan untuk Kaum Lewi yang tidak memiliki tanah, imam-imam, orang-orang miskin, yatim dan janda. Kegembiraan panen diwujudkan dalam persepuluhan untuk bersyukur dengan menyantuni sesama. Persepuluhan bukan untuk menyuap ALLAH tetapi dengan kerinduan yang dalam untuk memberi dan mengalirkan anugerah ALLAH. Kerinduan yang didasarkan pada kasih yang membakar hati. –2.3. Bagaimana sikap YESUS dan Rasul-rasul ? • a. YESUS tidak mengajarkan peraturan tentang persepuluhan. Pandangan YESUS bertentangan dengan sikap orang Yahudi yang mempersepuluhkan kekayaannya sampai pada hal-hal sekecil-kecilnya dan mengira bahwa hanya itulah yang dikehendaki ALLAH. (banding Matius 5:20). YESUS mengkritik orang Farisi karena mengurusi soal-soal kecil dan tidak penting tetapi mengabaikan “yang terpenting” dari Taurat, seperti keadilan kepada para peminjam, belas kasihan kepada yang miskin, dan iman kepada ALLAH (banding Matius 23:23-24). YESUS mengkkritik persepuluhan yang lebih dipentingkan dari pada keadilan dan cinta kasih. Sikap kepada ALLAH yang diwujudkan dalam kasih kepada sesama lebih penting ketimbang peraturan-peraturan yang membebani sesama. b. Gereja mula-mula tidak mempraktekkan persepuluhan karena telah dilunaskan oleh persembahan KRISTUS (Ibrani 10:8-10). Persembahan Kristiani didasarkan pada buah kasih secara spontan oleh hati yang telah dibarui (Efesus 2:10; Galatia 5:22-23). Sehingga persembahan-persembahan diberikan dengan sukarela dan sukacita (II Kor. 8:7; I Kor.16:2). Ada yang memberikan “setengah miliknya (= 50% - Lukas 19:8); ada yang seluruh hartanya (100% - Kisah Para Rasul 2:45; 4:36-37); bahkan segenap hidup (Lukas 18:28-30; Roma 12:1-2; II Kor. 8:1-6). Persembahan diberikan atas dasar bahwa hidup dan harta umat adalah milik TUHAN. c. Paulus sama sekali tidak menyingggung persepuluhan yang diambil dari penghasilan seseorang. Sebab ia tidak lagi terikat pada Taurat. Atau mungkin juga ia menyadari bahwa persepuluhan mudah diterapkan di masyarakat pedesaan. Untuk kota dagang Korintus tidak mudah menerapkannya. Apalagi banyak warga yang tidak mempunyai penghasilan tetap yang dibawa setiap tahun. Bagi Paulus, bukanlah jumlahnya atau pecahan dari penghasilan yang diberikan tetapi kesetiaan kepada ALLAH. Ia memberikan petunjuk (II Kor. 9:5) agar membawa persembahan dengan murah hati, bijaksana dan teratur. Murah hati, karena ALLAH telah memberikan keselamatan dengan cuma-cuma. Bijaksana, dalam arti setiap orang mempertimbangkan masak-masak apa yang akan diberikan. Teratur, dalam arti menyisihkan sesuatu untuk dipersembahkan pada saatnya dan selalu tersedia. 3. Bagaimana ? – 3.1. Membangun kembali “teologi memberi”. • Dalam masyarakat modern yang cenderung egoistis, masyarakat makin mengandalkan prestasi dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhankebutuhannya. Manusia makin menemukan kemandirian (= keterlepasan)nya dari ALAH Penciptanya. Lalu, keluarga, rumah, tanah, usaha, alat-alat rumah tangga, buku dsb. adalah miliknya. Bahkan hidupnya sendiri adalah kepunyaannya. Ketergantungan manusia kepada TUHAN makin longgar. Orang mencari TUHAN untuk kepentingan dan kebutuhannya. Lalu orang memberi umpan teri untuk menangkap kakap. Kita tidak memberi dengan kekuatan batin bahwa kita ini kepunyaan KRISTUS, bahwa IA telah menebus kita. Bila demikian. Kita tidak mampu memberi secara kristiani. Memberi sesungguhnya adalah menyerahkan kembali kepada TUHAN apa yang telah kita terima daripadaNYA dan meneruskannya kepada sesama kita. –3.2. Memberdayakan Warga Jemaat. • Ada kecenderungan besar untuk mengejar materi dan keuangan untuk menilai kedewasaan satu Gereja. Kemandirian Gereja diukur dengan kemampuan membiayai diri sendiri. Gereja bangga bila mampu menghimpun dana untuk membiayai kegiatankegiatannya. Warga Jemaat dilibatkan dalam panitia-panitia dana dan pembangunan, kunjungan-kunjungan meminta sumbangan, usaha dana dengan bazaar dan mengedarkan sumbangan. Semuanya itu untuk membiayai 90% kegiatan konsumptif. Kita lupa membuat pembinaan yang mendasar tentang peranan warga Jemaat, pekabaran Injil dan pelayanan masyarakat. Pemberdayaan warga tidak hanya untuk aktif melayani di dalam Gereja, tetapi juga untuk hadir dalam masyarakat. – 3.3. Menanamkan motivasi memberi dengan benar • Sering kita memberikan motivasi-motivasi yang keliru untuk mendorong warga memberi. Misalnya karena tidak dibantu lagi dari luar negeri. Atau menyajikan keadaan mereka yang menderita di daerah PI. Sering pula menggambarkan keadaan para pendeta yang menderita di Jemaat-jemaat kecil. Bahkan gaji pendeta dijadikan alasan untuk meminta belas kasihan Jemaat. Mungkin saja menggugah hati Jemaat. Tetapi alasan-alasan ini bukan menjadi persoalan yang mendasar. Persoalannya bagaimana menyadarkan warga bahwa hidup, usaha, harta dan bumi kita ini milik ALLAH. Kita hanya mendiami, mengelola dan melestarikannya untuk kemuliaan ALLAH. Dalam rangka itulah kita memberi dan mempersembahkan syukur sambil melayani sebagai wujud iman, pengharapan dan kasih kita. – 3.4. Membangunkan Penatalayanan Keuangan Gereja yang bertanggung jawab. a. Alkitab memberikan pedoman bagi kita tentang sumber-sumber pendapatan Gereja yang perlu dikelola dengan baik. Tujuan dan pemanfaatannya harus jelas dalam menggiatkan pelayanan. Keuangan dan dana tidak merupakan tujuan tetapi sebagai alat untuk menopang pelayanan. • Ada tiga bentuk kegiatan memberdayakan warga untuk memberi dalam rangka melaksanakan pelayanan: Persepuluhan dari keluarga-keluarga Jemaat untuk membiayai personil/pelayan-pelayan. Dalam perjalanan, persepuluhan itu diterjemahkan dalam bentuk iuran bulanan per kepala dalam keluarga (di Eropa menjadi pajak penghasilan yang disetor ke Gereja melalui instansi tempat ybs. bekerja). Belakangan istilah iuran diganti dengan Persembahan Tetap Bulanan dari warga Jemaat ke Majelis Jemaat dan selanjutnya dari Majelis Jemaat ke Klasis/Mupel ke Sinode dan seterusnya sampai ke badan-badan ekumenis. b. Kolekta dalam ibadah-ibadah Jemaat untuk pelayanan dan orang-orang kudus (diakonia orang sakit, miskin dan menderita). Tradisi Yahudi yang menempatkan 13 peti derma di Bait ALLAH, dilanjutkan Gereja sampai sekarang. Kolekta ibadah yang dikumpulkan harus jelas pemanfaatannya dan dikelola untuk maksud dan tujuan tersebut. c. Sumbangan-sumbangan materi baik berupa hasil panen maupun yang lainnya untuk pembangunan sarana dan prasarana pelayanan. Swadaya warga seperti ini perlu diatur dan diarahkan untuk pembangunan fisik Gereja. Warga Jemaat agar dapat merasakan langsung hasil-hasil sumbangan tersebut secara nyata dalam Jemaat. – 3.5. Menciptakan kegiatan-kegiatan yang menyadarkan warga tentang ketergantungan mereka kepada TUHAN. • Umat ALLAH mengenal perayaan-perayaan (festival) sesuai peredaran musim di mana mereka mengakui kekuasaan TUHAN atas hidup manusia sekaligus bersyukur bersama masyarakat. Mereka mengenal festival-festival pada musim semi di mana perayaan-perayaan bulan baru, Paskah, Roti tak beragi dan pesta menuai dilaksanakan. • Ada pula festival pada musim Panas dengan perayaan-perayaan Pentakosta (panen raya) dan Hari Duka Nasional (Penghancuran Bait ALAH). Festival yang lain adalah pada musim gugur, didalamnya perayaan Tahun Baru, Hari Pendamaian dan Pondok Daun dimeriahkan. Yang terakhir adalah festival Musim Dingin dengan perayaan Persembahan Kenisah (Hari Raya Purim- peristiwa Ester) menjadi kegiatan sukacita. Festival-festival seperti ini mempunyai fungsi penting dalam mengungkapkan iman, pengharapan dan kasih dalam TUHAN. Gereja-gereja kita sekarang perlu memikirkan kegiatan-kegiatan seperti ini dalam memberdayakan iman warga di tengah konteks masyarakat untuk memberi dengan sukacita. 3.6. Membuat, penelitian dan evaluasi terhadap persepuluhan yang dipraktekan dalam gereja, termasuk GPIB untuk merumuskan ajaran gereja tentang memberi secara kristen. Catatan : Buku-buku Acuan untuk dibaca lebih lanjut : – Azariah, V.S.: “Memberi Secara Kristen” BPK Gunung Mulia Jakarta, 2002. – Dainton, M.B.: “Harta Saya Milik Siapa ?” Yayasan Komunikasi Bina Kasih / OMF, Jakarta (tanpa tahun) – Christopher Wright: “Hidup Sebagai Umat ALLAH” BPK Gunung Mulia Jakarta, 1993. – Barth. C. : “Theologia Perjanjian Lama 2” BPK Gunung Mulia Jakarta, 1985. – Paterson Robert M.: “Tafsiran Alkitab Kitab Nabi Maleakhi”. BPK Gunung Mulia Jakarta, 1985. – Eka Darmaputra: “Dengan Mata Menatap YESUS” BPK Gunung Mulia Jakarta, 2003 – Herlianto: “Teologi Sukses, antara ALLAH dan mammon” BPK Gunung Mulia Jakarta, 1992 – Rasid Rachman: “Hari Raya Liturgi” BPK Gunung Mulia Jakarta, 2003 – de Gray Fortman, Berma Klein Goldewijk: “ALLAH dan Harta Benda” BPK Gunung Mulia Jakarta, 2001. – Seri Membangun Bangsa : “Gereja dan Kontekstualisasi, Sinar Harapan 1998. – Semual Th. Kaihatu, Buku Perpuluhan GPIB, 2011.