Pemetaan Korosifitas Baja Karbon pada Kondisi - HFI DIY

advertisement
380
Sri Suryaningsih / Pemetaan Korosifitas Baja Karbon pada Kondisi Atmosferik Kawasan Waduk Cirata
Pemetaan Korosifitas Baja Karbon pada Kondisi Atmosferik Kawasan
Waduk Cirata
Sri Suryaningsih1,a, Tb. A. Benito2, Sunardi3
1Departemen
Fisika FMIPA UNPAD
Peternakan UNPAD
3Departemen Biologi FMIPA UNPAD
Jl. Raya Bandung-Sumedang Km.21 Jatinangor 45363, Sumedang
a email: [email protected]
2Fakultas
Abstrak – Waduk Cirata merupakan bagian dari waduk kaskade yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan tenaga
listrik, kegiatan perikanan, penyediaan air pertanian dan pariwisata. Aktivitas ini mempengaruhi kualitas udara sekitar
perairan waduk dan berdampak terutama pada peralatan pembangkit tenaga listrik. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui tingkat korosi pada baja karbon SS400 di lingkungan atmosfer kawasan waduk. Pengukuran laju korosi baja
karbon SS400 menggunakan metode kehilangan berat pada spesimen yang terpapar untuk jangka waktu 1 bulan selama
4 bulan. Laju korosi baja karbon yang telah dipapar di lingkungan atmosfer waduk berkisar antara 0,0181–0,6512
mm/tahun dengan rata-rata laju korosi berkisar antara 0,0356–0,5010 mm/tahun. Berdasarkan uji SEM–EDS, morfologi
permukaan baja karbon mengalami kerusakan korosi yang merata terutama di lingkungan Tailrace PLTA.
Kata kunci: waduk, laju korosi, lingkungan atmosferik, baja karbon.
Abstract - Cirata is a part of a cascade reservoirs that built to meet the needs of electric power, fisheries, agricultural
water supply and tourism. This activities affects the air quality around the waters of the reservoir and also have an
impact to power plant equipment. This study aims to determine the corrosion rate of carbon steel SS400 in the
atmospheric environment of the reservoir. The carbon steel SS400 corrosion rate measurement uses weight loss method
on a specimen which is exposed in a period of 1 month for 4 months. The corrosion rate of carbon steel that exposed in
the atmospheric reservoir is determined ranging from 0.0181 to 0.6512 mm/year, with an average corrosion rate is
ranging from 0.0356 to 0.5010 mm/year. Based on the SEM-EDS test, the morphology of carbon steel shows that the
surface is suffering an evenly distributed corrosion damage, especially in the Tailrace environment of the hydropower
plants.
Keywords: reservoirs, corrosion rate, atmospheric environment, carbon steel.
I. PENDAHULUAN
Waduk Cirata merupakan salah satu waduk kaskade
berada pada ketinggian 220 m, terbentuk dari genangan
air seluas 62 km2 yang membendung Sungai Citarum,
yang meliputi tiga Kabupaten, yaitu Cianjur, Purwakarta
dan Bandung Barat. Fungsi utamanya ditujukan sebagai
pembangkit listrik tenaga air (PLTA). Selain itu, waduk
juga mempunyai fungsi tambahan antara lain untuk budi
daya ikan keramba jaring apung (KJA), lalu lintas air,
penyedia air pertanian dan pariwisata.
Permasalahan yang timbul kemudian adalah
meningkatnya sedimentasi di waduk sebagai akibat
perubahan fungsi dan tataguna lahan. Dalam Pustaka [1],
perkembangan usaha KJA juga mendatangkan masalah
ekologis karena telah menimbulkan pencemaran bahan
organik yang sangat tinggi. Permasalahan yang dihadapi
yang dapat mempengaruhi efektifitas pemanfaatan waduk
adalah kualitas udara, seperti tercium bau yang sangat
menyengat pada saat melintasi kawasan waduk. Serta
terjadi korosi yang signifikan di beberapa instalasi
bangunan PLTA, seperti konstruksi bangunan atau
peralatan logam yang berada di atas permukaan air.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat korosi
pada baja karbon di lingkungan atmosfer kawasan Waduk
Cirata.
II. LANDASAN TEORI
A. Waduk
Pembangunan waduk merupakan salah satu upaya
dalam pengelolaan konservasi sumberdaya air. Air waduk
dapat dipergunakan sebagai sumber energi pada
pembangkit listrik (PLTA). Untuk keperluan ini, air
waduk harus tersedia dalam jumlah tertentu agar turbin
pada instalasi PLTA dapat tetap digerakkan. Energi yang
dihasilkan oleh air ini lebih ramah lingkungan daripada
energi yang dihasikan oleh diesel, batu bara, atau bahan
bakar fosil lainnya, karena PLTA tidak menghasilkan
polusi dalam memproduksi listrik tapi memberi dampak
pada lingkungan dengan cara lain.
Waduk sebagai penampung air juga akan menampung
sedimen. Erosi karena hilangnya tutupan hijau dan
perubahan tata guna lahan pada daerah tangkapan air
akan membawa sedimen ke perairan waduk. Begitu pula
limbah domestik dan kegiatan keramba jaring apung
(KJA) turut menyumbang penumpukan sedimen di dasar
perairan waduk. Pembusukan zat-zat organik yang
terkandung dalam sedimen akan menghasilkan zat-zat
beracun dan korosif berupa gas terlarut seperti sulfur
dioksida (H2S). Gas H2S ini akan terangkat ke permukaan
mengisi lapisan hipolimnion, metalimnion dan epilimnion
dan akhirnya terlepas ke udara. Gas terlarut H2S akan
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015
ISSN : 0853-0823
Sri Suryaningsih / Pemetaan Korosifitas Baja Karbon pada Kondisi Atmosferik Kawasan Waduk Cirata
merusak bangunan bendungan dan PLTA dengan dua
cara, yaitu melalui aliran air bawah permukaan untuk
penggerakkan turbin disebut korosi air, dan melalui
pelepasan atau emisi gas H2S pada air permukaan berupa
polutan udara yang disebut korosi udara.
B. Korosi
Korosi atau secara awam lebih dikenal dengan istilah
perusakan atau penurunan kualitas bahan karena
berinteraksi dengan lingkungannya.
Dilihat dari aspek elektrokimia, korosi merupakan
proses terjadinya transfer elektron dari logam ke
lingkungannya. Logam berlaku sebagai sel yang
memberikan elektron (anoda) dan lingkungannya sebagai
penerima elektron (katoda). Reaksi yang terjadi pada
logam yang mengalami korosi adalah reaksi oksidasi,
dimana atom-atom logam larut kelingkungannya menjadi
ion-ion dengan melepaskan elektron pada logam tersebut.
Sedangkan dari katoda terjadi reaksi, dimana ion-ion dari
lingkungan mendekati logam dan menangkap elektronelektron yang tertinggal pada logam.
Berdasarkan kondisi lingkungan, korosi dapat terjadi di
udara terbuka yang disebut korosi atmosferik. Korosi
atmosferik merupakan hasil interaksi logam dengan
atmosfir ambien di sekitarnya, yang terjadi akibat
kelembaban dan oksigen di udara, dan diperparah dengan
adanya polutan seperti gas-gas atau garam-garam yang
terkandung di udara.
Korosi atmosferik merupakan proses elektrokimia yang
rumit terjadi dalam sel korosif yang terdiri dari logam,
permukaan elektrolit dan udara [2]. Sel korosif harus
memiliki komponen penting, yaitu adanya anoda, katoda,
konduktor logam antara anoda dan katoda, dan larutan
elektrolit pada permukaan logam [3].
Pustaka [4] menjelaskan bahwa persyaratan mendasar
untuk bisa terjadinya proses elektrokimia korosi adanya
lapisan elektrolit tipis atau lapisan tipis air, yang
terbentuk pada permukaan logam di bawah kondisi
paparan atmosfir tertentu, setelah tercapainya nilai kritis
kelembaban relatif. Lapisan tipis air ini kemudian
melarutkan partikel-partikel dan gas dari udara ambien,
dan bertindak sebagai elektrolit tempat terjadinya reaksi
korosi dan proses korosi terjadi bila tercapai
keseimbangan antara reaksi anodik dan katodik. Fe(OH)2
yang terbentuk dari reaksi kesetimbangan tidaklah stabil
dalam larutan yang mengandung oksigen terlarut,
sehingga Fe(OH)2 teroksidasi menjadi Fe(OH)3 dengan
persamaan reaksi seperti pada persamaan (1):
4Fe(OH)2 + O2 + 2H2O  4Fe(OH)3
(1)
Fe(OH)3 kemudian teroksidasi menjadi oksida besi
terhidrasi (hidrated ferric oxide). Terbentuknya produk
ini ada pada jarak tertentu dari permukaan logam yang
terkorosi, dan disebut sebagai karat oleh reaksi seperti
persamaan (2) berikut:
4Fe(OH)3 + O2  2Fe2O3 . 2H2O + 2H2O
(2)
Jika terdapat pencemar gas SO2 (sulfur diosida) di
udara, dan adanya uap air maka laju korosi menjadi
meningkat. SO2 yang dilepas ke atmosfir akan segera
bereaksi dengan karat yang terbentuk pada permukaan
logam. Persamaan (3) memperlihatkan reaksi kimianya:
SO2 + 2Fe2O3  FeSO4 + Fe3O4
(3)
381
Hidrogen sulfida (H2S) adalah senyawa gas yang tidak
berwarna, beracun, mudah terbakar dan memiliki bau
yang menyengat serta larut dalam air. H2S dihasilkan dari
penguraian limbah organik oleh bakteri pereduksi sulfur
(SRB). Pada kondisi aerob, H2S dioksidasi oleh bakteri
pengoksidasi sulfur (SOB). Gas H2S menyebabkan korosi
pada logam dengan terlebih dahulu teroksidasi menjadi
H2SO4 melalui Persamaan (4) berikut.
H2S + 2O2  2H2SO4
(4)
H2S juga dapat bereaksi langsung dengan Fe dan
membentuk karat pada kondisi kering, seperti pada
Persamaan (5) :
Fe + H2S
 FeS + 2H+
(5)
Bila kemudian terdapat lapisan air maka FeS akan
bereaksi dengan oksigen, ditunjukkan pada Persamaan
(6) berikut:
2FeS + 7/2 O2  Fe2O3 + 2 SO2
(6)
Sekali proses pengkaratan dimulai, korosi tidak dapat
dihentikan.
C. Laju Korosi
Perhitungan laju korosi dengan menggunakan metode
kehilangan berat. Untuk mendapatkan jumlah kehilangan
berat dengan menggunakan persamaan (7) sesuai dengan
standar ASTM [5], sebagai berikut :
(7)
dengan:
CR = laju korosi - Corrosion Rate (mm/year)
K
= 8.76 x 104
W
= berat yang hilang (gr)
A
= luas sampel (cm2)
t
= waktu papar (jam)
D
= massa jenis sampel (gr/cm3)
III. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di kawasan PLTA Cirata yang
terletak di Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan perkiraan
sumber dampak terhadap korosi logam diambil empat
lokasi yaitu lokasi Pemukiman Tegal Datar (Lokasi A),
Intake (Lokasi B), Tailrace (Lokasi C), dan halaman
Kantor BPWC (Lokasi D), seperti ditunjukkan pada
Gambar 1.
Penelitian ini dilaksanakan dalam tiga tahap, yaitu
tahap pertama persiapan sampel uji korosi adalah
lempeng logam baja karbon tipe SS400 sebanyak 32 buah
dengan ukuran 40 mm x 60 mm dan tebal 1 mm. Tahap
kedua, pengukuran parameter sampel udara yang diambil
langsung di lapangan. Parameter yang diukur adalah
temperatur dan kelembaban udara, sedangkan gas sulfur
dioksida (SO2), dan gas hidrogen sulfida (H2S) diambil
dengan menggunakan tabung penyerap Impingel, pompa,
flow meter dan generator. Perhitungan laju korosi
menggunakan metode kehilangan berat (weight loss) dari
sampel logam yang telah dipapar (ekspos) di empat lokasi
setiap bulannya selama empat bulan. Pengukuran
temperatur dan kelembaban sampel udara dilakukan
setiap jam selama empat bulan.
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015
ISSN : 0853-0823
382
Sri Suryaningsih / Pemetaan Korosifitas Baja Karbon Pada Kondisi Atmosferik Kawasan Waduk Cirata
Gambar 1. Peta Titik Lokasi Penelitian
Jumlah sampel yang di papar pada setiap lokasi sebanyak
8 sampel. Pemaparan sampel di lingkungan atmosferik
dengan cara mengikatkan sampel pada tempat yang sudah
ditentukan di lokasi penelitian. Tahap ketiga, uji kualitatif
logam terkorosi dengan uji komposisi unsur dan
morfologi permukaan baja karbon menggunakan
Scanning Electron Microscopy - Energy Dispersive XRay Spectroscopy (SEM-EDS).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengujian Laju Korosi
Hasil uji laju korosi baja karbon yang telah dipapar
selang 1 bulan sekali selama 4 bulan bervariasi sesuai
dengan lokasi tempat pemaparan. Pada Gambar 2 dapat
dilihat grafik hasil perhitungan laju korosi untuk baja
karbon di kawasan waduk. Laju korosi baja karbon
berkisar antara 0,0181 – 0,6512 mm/tahun dengan ratarata laju korosi berkisar antara 0,0356 – 0,5010
mm/tahun. Laju korosi maksimum sebesar 0,6512
mm/tahun terdapat pada lokasi Tailrace yang memiliki
tingkat korosi yang sangat tinggi dibanding lokasi
lainnya.
Hal ini disebabkan karena terdapat kandungan polutan
SO2 di udara sebesar 12,54 g/m3, ditunjukan pada
Gambar 3, yang mempengaruhi kecepatan terjadinya
korosi. Polutan lain diduga dihasilkan dari aktivitas
pembangkit listrik tenaga air berupa gas H2S yang
diemisikan dari perairan waduk seperti ditunjukkan pada
Gambar 4, dimana gas H2S di lokasi Tailrace memiliki
nilai tertinggi sebesar 153,63 g/m3. Laju korosi
minimum sebesar 0,0181 mm/tahun berada pada lokasi
pemukiman penduduk.
Gambar 2. Grafik Laju Korosi Baja Karbon Tipe SS-400.
Gambar 3. Grafik Konsentrasi SO2 rata- rata di 4 lokasi
Waduk Cirata
Gambar 4. Grafik Konsentrasi rata-rata H2S di 4 lokasi
Waduk Cirata
Dilihat dari temperatur udara dan temperatur titik
embun rata-rata (sebagai fungsi dari kelembaban), maka
lokasi Tailrace (Lokasi C) memiliki selisih temperatur
(T) yang paling kecil diantara lokasi lainnya sebesar 7,3
o
C, ditunjukan pada Gambar 5. Waktu dimana
tercapainya selisih temperatur (T) minimum adalah
waktu optimum bagi logam untuk mulai terjadinya
pengembunan, sehingga logam akan lebih cepat
melepaskan kalor, karena logam lebih lama berada
dibawah temperatur titik embun. Dengan kata lain
pengembunan pada logam akan menjadi lebih lama.
Secara umum Laju korosi logam baja karbon di
kawasan waduk termasuk dalam katagori rendah (11 –
200 g/m².tahun) yang tercantum dalam ISO 9223.
Sedangkan lokasi Tailrace menunjukan laju korosi
tertinggi sebesar 312,97 g/m².bulan termasuk dalam
katagori korosi sedang.
Gambar 5. Grafik Selisih Temperatur Udara dan Temperatur
Titik Embun
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015
ISSN : 0853-0823
Sri Suryaningsih / Pemetaan Korosifitas Baja Karbon pada Kondisi Atmosferik Kawasan Waduk Cirata
B. Hasil Uji Komposisi Unsur Baja Karbon
Tabel 1 menunjukan hasil pengujian komposisi, massa
unsur besi pada baja karbon sebelum di papar sebesar
73,58%. Sedangkan massa unsur besi pada baja karbon
setelah di papar sebesar 66,72%. Berkurangnya massa
unsur besi disebabkan oleh parameter lingkungan
atmosferik sehingga menyebabkan korosi.
Tabel 1. Hasil Uji Komposisi Unsur Logam Baja Karbon
Unsur
C
O
Al
Si
P
S
V
Cr
Mn
Fe
Ni
Cu
Zr
Mo
Sebelum
diberi
perlakuan
1,48
22,56
0,12
0,60
0,07
0,03
73,58
0,02
1,28
0,25
Uji Komposisi Kimia (%)
Setelah
diberi
perlakuan
6,30
22,38
0,81
1,13
0,27
66,72
0,24
0,17
1,71
0,27
Setelah diberi
perlakuan
C
Al2O3
SiO2
SO3
FeO
NiO
CuO
ZrO2
MoO3
a)
383
b)
Gambar 6. Pengamatan Mikrostruktur permukaan baja
karbon SS400 menggunakan SEM: (a) baja
karbon sebelum dipapar, (b) baja karbon setelah
dipapar.
V. KESIMPULAN
Telah dilakukan pemetaan tingkat korosi di lingkungan
atmosferik Waduk Cirata. Laju korosi baja karbon yang
dihasilkan berkisar antara 0,0181 – 0,6512 mm/tahun.
Bentuk permukaan baja karbon mengalami kerusakan
korosi merata terutama di lokasi Tailrace PLTA Cirata
dengan katagori tingkat korosifitas atmosfir sedang.
6,30
1,53
2,43
0,68
85,83
0,30
0,22
2,31
0,41
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih pada LPPM UNPAD dan
PPSDAL UNPAD yang telah memberikan dana dan
fasilitas selama penelitian.
PUSTAKA
Korosi ditunjukkan dengan adanya unsur pengotor pada
permukaan logam antara lain terbentuk senyawa C
(karbon), Al2O3 (aluminum oksida), SiO2 (silikon
dioksida), SO3 (belerang trioksida), FeO (besi(II)oksida),
ZrO2 (zirconium oksida). Komposisi terbesar sebagai
pengotor adalah FeO sebesar 85,83 % karena Fe sebagai
unsur utama pada baja karbon teroksidasi di lingkungan
udara atmosfir.
C. Hasil Uji Morfologi Permukaan Baja Karbon
Hasil uji morfologi memperlihatkan perbedaan baja
karbon sebelum dan sesudah dipapar di lingkungan
atmosfir kawasan waduk. Permukaan baja karbon
sebelum dipapar di lingkungan atmosfir kawasan waduk
terlihat kasar yang disebabkan waktu pengamplasan yang
kurang sempurna, sehingga permukaan terbentuk garis
bekas pengamplasan seperti pada ditunjukan pada
Gambar 6(a). Sedangkan permukaan baja karbon yang
telah terpapar lebih kasar dibandingkan dengan
permukaan baja karbon sebelum dipapar di lingkungan
atmosfir kawasan waduk dan terlihat gumpalan-gumpalan
pada permukaan baja karbon sepert terlihat pada Gambar
6(b). Jenis korosi ini korosi merata yang disebabkan
adanya reaksi elektrokimia dengan penampakan produk
korosi dan peronggaan skala besar dan merata. Dengan
demikian, lingkungan atmosferik kawasan waduk
mempengaruhi laju korosi pada baja karbon, maka perlu
dilakukan penanganan korosi terhadap pipa-pipa
dilingkungan pembangkit listrik tenaga air khususnya
korosi atmosfir.
[1]
[2]
[3]
[4]
[5]
Adiwilaga, E.M. 1999. Pengelolaan Perikanan di Waduk
Saguling dan Cirata: Suatu Tinjauan Ekologi, Prosiding
Semiloka Nasional Pengelolaan dan Pemanfaatan Danau
dan Waduk, PPLH-LP, IPB. Bogor.
McCaferty, E. 2010. Introduction to Corrosion Science.
Springer. New York. Hal. 15.
Schweitzer, Philip A. 2010. Fundamentals of corrosion :
mechanisms, causes, and preventative methods. CRC
Press. New York. Hal. 99.
Ahmad, Zaki. 2006. Principles of Corrosion Engineering
and Corrosion Control, Elsevier Scientific Publishing
Company. Amsterdam. Hal. 9-12.
ASTM, 1991. Standard Test Methods for Corrosivity of
Water in The Absence of Heat Transfer (Weight Loss
Methods). American Society for Testing and Materials,
Philadelphia: ASTM.
TANYA JAWAB
Henry Andrianto, PENS
 Apa yang menyebabkan Tdry dan Twet pada tailrace
nilai deltanya paling kecil?
 Pipa yang ada di PLTA Cirata, tingkat korosinya
apakah juga sama untuk pipa lurus dan bending
(elbow)?
Sri Suryaningsih
 Perbedaan temperatur Tdry dan Twet menjadi data
utama untuk mengetahui waktu optimal terjadinya
korosi (maksimum).
 Perbedaan pipa dari bentuk tentunya berbeda.
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015
ISSN : 0853-0823
384
Sri Suryaningsih / Pemetaan Korosifitas Baja Karbon Pada Kondisi Atmosferik Kawasan Waduk Cirata
Adri D.W., PENS
 Baja karbon yang ada di PLTA itu apa saja?
 korosi yang terjadi apa mempengaruhi sisi dalam pipa
dan ada pengaruh korosi lain?
 Pengujian apakah bahan uji sama dengan yang ada di
lapangan? bagaiamana proses pengujiannya?
Sri Suryaningsih
 Umumnya pipa-pipa penyalur terbuat dari baja
campuran karbon dengan tingkatan rendah-sedang
 Kedua sisi pipa akan terpengaruh terhadap
lingkungannya, sehingga korosi bisa terjadi
 penelitian menggunakan nahan yang sama dengan
yang digunakan di PLTA
Dewita, BATAN
Dari data yang dipaparkan antara lokasi B (intake) dan C
(Tailrace) laju korosinya berbeda padahal lokasi cukup
dekat dan sampel diletakkan di atmosfer, mengapa?
Sri Suryaningsih
Lokasi antara intake dan tailrace berjarak cukup jauh dan
dibatasi oleh bukit (power house), sehingga data yang
diamati berbeda-beda. Sampel diukur korosi di atmosfir
sebagai tujuan dari penelitian ini.
Prosiding Pertemuan Ilmiah XXIX HFI Jateng & DIY, Yogyakarta 25 April 2015
ISSN : 0853-0823
Download