Bab II Tinjauan Pustaka

advertisement
4
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Tulang
Tulang merupakan jaringan penghubung yang terdiri dari material
interselular yang terkalsifikasi, matriks tulang, dan tiga tipe sel tulang yaitu
osteosit yang dapat ditemukan di ruang (lakuna) diantara matriks; osteoblas yang
merupakan tempat sintesis komponen organik dari matriks; dan osteoklas yang
merupakan sel raksasa multinuklear yang terlibat dalam proses resorpsi dan
pembentukan jaringan tulang (Junqueira dan Carneiro 2005). Secara makroskopis
tulang tersusun atas beberapa bagian, yakni diafise, epifise, metafise, tulang rawan
artikular, periosteum, ruang medullar, dan osteum. Secara mikroskopis tulang
terbentuk atas tiga jenis sel tulang, matriks ekstraselular tulang, dan saluransaluran yang tersusun secara sempuna dan kompak (Tortora dan Derrickson
2009). Tulang mempunyai beberapa fungsi utama, antara lain (1) sebagai
penyokong tubuh, dengan membentuk kerangka dan tempat perlekatan tendon
otot; (2) sebagai pelindung organ internal tubuh; (3) membantu pergerakan tubuh
bersama otot; (4) homeostasis mineral terutama kalsium dan fosfor; (5) produksi
sel darah merah oleh sumsum tulang merah; dan (6) penyimpanan trigliserida oleh
sumsum tulang kuning (Junqueira dan Carneiro 2005; Tortora dan Derrickson
2009).
Tulang secara dinamis dan terus menerus melakukan proses remodeling,
yakni proses penyusunan jaringan tulang baru dan perombakan jaringan tulang
lama. Proses remodeling sangat aktif terjadi pada individu muda 200 kali lebih
cepat dibanding individu dewasa. Proses remodeling dan fungsi homeostasis
mineral terutama kalsium dan fosfor pada tulang antara lain dipengaruhi oleh
hormon dalam tubuh seperti parathormon, kalsitonin, dan estrogen. Defisiensi
kalsium pada individu muda dapat menyebabkan terjadinya penyakit riketsia
sedangkan pada individu dewasa menyebabkan osteomalacia. Osteomalacia
berbeda dengan osteoporosis pada individu dewasa. Osteomalacia diakibatkan
oleh defisiensi kalsium per unit dari matriks tulang sehingga kalsifikasi tulang
terganggu. Sedangkan osteoporosis lebih sering terjadi pada individu dewasa
postmenopous. Pada situasi ini terjadi penurunan kadar estrogen dalam tubuh dan
5
proses resorpsi tulang lebih tinggi dibanding dengan proses pembentukan tulang
(Junqueira dan Carneiro 2005).
2.1.1
Perkembangan Tulang (Osteogenesis)
Proses
pembentukan
tulang
disebut
osteogenesis
atau
osifikasi.
Perkembangan sel prekusor tulang dibagi ke dalam tahapan perkembangan yakni
1. mesenchymal stem cells 2. Sel-sel osteoprogenitor 3. Pre-osteoblas
4.
Osteoblas, dan 5. Osteosit matang. Setelah sel progenitor membentuk garis
osteoblastik, kemudian dilanjutkan dengan tiga tahap perkembangan diferensiasi
sel yaitu proliferasi, pematangan matrik, dan mineralisasi. Faktor pertumbuhan
tulang tergantung pada herediter, nutrisi, vitamin, mineral, hormon, dan latihan
atau stres pada tulang (Scalon dan Sanders 2007). Osifikasi adalah istilah lain
untuk
pembentukan
tulang.
Osifikasi
(osteogenesis)
berdasarkan
asal
embriologisnya terdapat dua jenis osifikasi, yaitu ossifikasi intramembran yang
terjadi pada sel mesenkim yang berdiferensiasi menjadi osteoblas di pusat
ossifikasi secara langsung tanpa pembentukan kartilago terlebih dahulu dan
osifikasi endokondral yaitu mineralisasi jaringan tulang yang dibentuk melalui
pembentukan
kartilago terlebih dahulu (Leeson et al. 1996; Junqueira dan
Carneiro 2005).
a. Osifikasi intramembran
Pada osifikasi intramembran, perkembangan tulang terjadi secara
langsung. Selama ossifikasi intramembran, sel mesenkim berproliferasi ke dalam
area yang memiliki vaskularisasi yang tinggi pada jaringan penghubung
embrionik dalam pembentukan kondensasi sel atau pusat osifikasi primer (Leeson
et al. 1996; Junqueira dan Carneiro 2005). Sel ini akan mensintesis matriks tulang
pada bagian periperal dan sel mesenkimal berlanjut untuk berdiferensiasi menjadi
osteoblas. Setelah itu, tulang akan dibentuk kembali dan semakin digantikan oleh
tulang
lamela
matang/dewasa.
Proses
osifikasi
ini
merupakan
sumber
pembentukan tulang pipih, salah satu diantaranya yaitu tulang pipih kepala. Pada
awal perkembangan tulang pipih atap kepala, tulang yang baru dibentuk
diendapkan pada pinggir dan permukaan tulang tersebut. Untuk tetap menjaga
adanya ruang bagi pertumbuhan otak, rongga kranium harus membesar yaitu
6
dengan cara resorpsi tulang pada permukaan luar dan permukaan dalam oleh
osteoklas, bersamaan dengan terjadinya pengendapan tulang yang terus menerus
pada kedua permukaan tulang (Leeson et al. 1996; Junqueira dan Carneiro 2005).
b. Osifikasi endokondral
Semua sel tulang lainnya di dalam tubuh dibentuk melalui proses osifikasi
endokondral. Proses ini terjadi secara tidak langsung yaitu melalui pembentukan
model tulang rawan terlebih dahulu dan kemudian mengalami penggantian
menjadi tulang dewasa. Ossifikasi endokondral dapat dilihat pada proses
pertumbuhan tulang panjang. Pada proses pertumbuhan tulang panjang akan
terbentuk pusat osifikasi primer dimana penulangan pertama kali terjadi yaitu
proses dimana kartilago memanjang dan meluas melalui proliferasi kondrosit dan
deposisi matriks kartilago. Setelah pembentukan tersebut, kondrosit di daerah
sentral kartilago mengalami proses pemasakan menuju hypertropic kondrosit
(Leeson et al. 1996; Junqueira dan Carneiro 2005). Setelah pusat osifikasi primer
terbentuk maka rongga sumsum mulai meluas ke arah epifise. Perluasan rongga
sumsum menuju ke ujung-ujung epifisis tulang rawan dan kondrosit tersusun
dalam kolom-kolom memanjang pada tulang dan tahapan berikutnya pada
osifikasi endokondral berlangsung pada zona-zona pada tulang secara berurutan
(Leeson et al. 1996; Junqueira dan Carneiro 2005).
2.1.2 Struktur Sel Tulang
Osteoblas
Osteoblas terbentuk dari sel osteoprogenitor yang telah berdiferensiasi.
Dalam penelitian Reid (1996) ditemukan bahwa di dalam osteoblas terdapat
reseptor dari estrogen dan juga kalsitriol. Osteoblas memiliki diameter antara 2030 µm dan terlihat sangat jelas pada sekitar lapisan osteoid dimana tulang baru
terbentuk. Membran plasma osteoblas memiliki sifat khas yakni kaya akan enzim
alkali fostatase, yang konsentrasinya dalam serum digunakan sebagai indeks dari
adanya pembentukan tulang. Sel osteoblas yang telah matang memiliki banyak
aparatus golgi yang berkembang dengan baik yang berfungsi sebagai sel sekretori,
sitoplasma yang basofilik, dan banyak sekali retikulum endopasma. Osteoblas
(Gambar 1) merupakan sel yang berbentuk kubus atau kolumnar dalam keadaan
7
aktif sedangkan dalam keadaan tidak aktif osteoblas akan berbentuk pipih
(Einhorn 1996; Kierszenbaum 2002). Osteoblas berasal dari sel pluripoten
mesenkim dan menyimpan osteoid, yakni matriks organik yang tidak
termineralisasi pada tulang. Osteoblas berfungsi untuk menginisiasi dan
mengontrol proses mineralisasi osteoid (Kierszenbaum 2002).
Osteoblas menghasilkan faktor pertumbuhan bersama dengan protein tulang
morfogenetik. Osteoblas berperan dalam sintesis protein, glikosilasi, dan sekresi
menghasilkan kolagen tipe I (90% dari total protein), osteocalcin, protein yang
bukan kolagen diantaranya osteonectin, osteopontin, sialoprotein tulang, faktor
pertumbuhan tulang, sitokin, dan tentunya reseptor dari hormon-hormon
(Kierszenbaum 2002). Osteocalcin merupakan protein sekretori spesifik yang
timbul hanya pada akhir diferensiasi osteoblas di bawah pengaruh Cbfa1 (corebinding factor) (Kierszenbaum 2002). Osteocalcin banyak terdapat pada protein
nonkolagen berfungsi meregulasi kristal apetit pertumbuhan dan mengikat
hidroksiapatit. Osteonectin merupakan polipeptida rantai tunggal yang terdapat
pada beberapa jaringan karena ada saat awal perkembangan tulang. Osteonectin
terbentuk karena adesi osteoblas yang mengikat hidroksiapatit.
Sialoprotein
tulang merupakan polipeptida rantai tunggal pada tulang dan jaringan ikat
termineralisasi berfungsi mengikat sel melalui ikatan integrin dan hidroksiapatit
(Meyer dan Wiesmann 2006).
Osteosit
Osteosit merupakan sel tulang yang telah dewasa dan sel utama pada tulang
yang berperan dalam mengatur metabolisme seperti pertukaran nutrisi dan kotoran
dengan darah. Osteosit berasal dari osteoblas yang berdeferensiasi dan terdapat di
dalam
lacuna yang terletak diantara lamela-lamela matriks pada saat
pembentukan lapisan permukaan tulang berlangsung. Jumlahnya 20.000 – 30.000
per mm3 dan sel-sel ini secara aktif terlibat untuk mempertahankan matriks tulang
dan kematiannya diikuti oleh resorpsi matriks tersebut sehingga osteosit lebih
penting saat perbaikan tulang daripada pembentukan tulang baru (Junqueira dan
Carneiro 2005; Tortora dan Derrickson 2009).
Setelah pembentukan tulang selesai, sebagian kecil (10-20%) dari osteoblas
melekat ke dalam bentuk baru dari matriks ekstraseluler dan kemudian menjadi
8
osteosit (Junqueira dan Carneiro 2005; Lian dan Stein 1996). Kanalikuli
merupakan suatu kanal dimana terdapat pembuluh darah yang berfungsi sebagai
penyalur nutrisi dan pertukaran gas yang akan digunakan oleh osteosit (Lian dan
Stein 1996). Osteosit lebih kecil dari osteoblas dan osteosit telah kehilangan
banyak organel pada sitoplasmanya. Osteosit muda lebih menyerupai osteoblas
tetapi merupakan sel dewasa yang memiliki aparatus golgi dan retikulum
endoplasma kasar yang sedikit lebih jelas tetapi memiliki jumlah lisosom yang
lebih banyak. Osteosit (Gambar 1) dapat berhubungan satu sama lain melalui
penjuluran sitoplasma yang melewati kanalikuli yang berperan dalam membantu
koordinasi respon tulang terhadap stres atau deformasi (Stevenson dan Marsh
1992).
Osteoklas
Osteoklas (Gambar 1) adalah sel raksasa hasil peleburan monosit (jenis sel
darah putih) yang terkonsentrasi di endosteum dan melepaskan enzim lisosom
untuk memecah protein dan mineral di matriks ekstraseluler. Osteoklas memiliki
progenitor yang berbeda dari sel tulang lainnya karena tidak berasal dari sel
mesenkim, melainkan dari jaringan mieloid yaitu monosit atau makrofag pada
sumsum tulang (Smith 1993; Ott 2002). Osteoklas bersifat mirip dengan sel
fagositik lainnya dan berperan aktif dalam proses resorbsi tulang. Osteoklas
merupakan sel fusi dari beberapa monosit sehingga bersifat multinukleus (10-20
nuklei) dengan ukuran besar dan berada di tulang kortikal atau tulang trabekular
(Marcus et al. 1996). Osteoklas berfungsi dalam mekanisme osteoklastogenesis,
aktivasi resorpsi kalsium tulang, dan kartilago, dan merespon hormonal yang
dapat menurunkan struktur dan fungsi tulang (Boyle et al. 2003). Osteoklas dalam
proses resorpsi tulang mensekresi enzim kolagenase dan proteinase lainnya, asam
laktat, serta asam sitrat yang dapat melarutkan matriks tulang. Enzim-enzim ini
memecah atau melarutkan matriks organik tulang sedangkan asam akan
melarutkan garam-garam tulang (Telford dan Bridgman 1995). Melalui proses
resorpsi tulang, osteoklas ikut mempengaruhi sejumlah proses dalam tubuh yaitu
dalam mempertahankan keseimbangan kalsium darah, pertumbuhan dan
perkembangan tulang serta perbaikan tulang setelah mengalami fraktur (Derek et
al. 2007). Aktifitas osteoklas dipengaruhi oleh hormon sitokinin. Osteoklas
9
memiliki reseptor untuk kalsitokinin, yakni suatu hormon tiroid. Akan tetapi
osteoblas memiliki reseptor untuk hormon paratiroid dan begitu teraktivasi oleh
hormon ini, osteoblas akan memperoduksi suatu sitokin yang disebut faktor
perangsang osteoklas. Osteoklas bersama hormon parathyroid berperan dalam
pengaturan kadar kalsium darah sehingga dijadikan target pengobatan
osteoporosis (Junqueira dan Carneiro 2005; Tortora dan Derrickson 2009).
Gambar 1 Gambaran sel osteogenik, osteoblas, osteosit, dan osteoklas
(dimodifikasi dari Leeson et al. 1996).
2.2 Tanaman Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.)
Sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) ditemukan di Aceh. Tanaman
ini umumnya ditemukan di kawasan hutan dan dapat tumbuh dengan cepat jika
dipindahkan ke tempat lain. Herbarium Bogoriensis menyatakan bahwa spesies
ini adalah Cissus quadrangula Salisb. Taksonomi tanaman tersebut adalah sebagai
berikut.
Divisi : Spermatophyta
Class : Magnoliophyita
Ordo : Sapindales
Family : Vitaceae
Genus : Cissus
Spesies: Cissus quadrangula Salisb.
(Sabri 2011)
Penampang melintang batangnya berbentuk segi empat sehingga tanaman
ini dinamakan quadrangula. Pada setiap sudutnya terdapat tonjolan yang tipis ke
samping, dan di antara masing-masing tonjolan terletak terpisah. Bentuk batang
berbuku-buku dan setiap satu meter batang terdapat 4-5 buku, batang berwarna
hijau kemerahan. Buku pada batang terus bertambah, baik ke atas maupun ke
10
samping. Di antara buku-buku yang telah ada muncul 1-2 daun penumpu, dan di
bagian bawah daun penumpu ini muncul calon batang baru. Pada bagian ujung
batang muncul 1-2 daun penumpu, dan di antara daun penumpu ini muncul batang
baru ke atas (Gambar 2).
Menurut Versteegh-Kloppenburgh (2006), batang
tanaman ini memiliki morfologi bertekuk-tekuk dan daunnya jarang.
Daun
sipatah-patah berbentuk runcing, memiliki panjang daun sekitar 4-5 cm, dan
terdapat pada pertemuan diantara buku-buku serta cepat rontok.
Tanaman sipatah-patah di Aceh sering dipergunakan untuk pengobatan
beberapa penyakit di antaranya adalah rematik dan patah tulang. Pengobatan
rematik dilakukan dengan meminum rebusan daun tanaman tersebut, yang
ditambahkan dengan unsur-unsur yang lain. Sementara itu untuk mengobati patah
tulang, dilakukan dengan cara menggerus daun sipatah-patah lalu menempelkan
pada tempat yang patah. Selain itu tanaman ini juga sangat manjur untuk
mengobati wanita lanjut usia yang mengalami sakit sendi dan patah tulang (Sabri
2011). Tanaman ini memiliki kesamaan dengan tanaman dari India yaitu Cissus
quadrangularis Linn. baik secara morfologi dan kandungannya.
Gambar 2 Morfologi tanaman sipatah-patah (Cissus quadrangula Salisb.) dari
Aceh (Sabri 2011).
Batang Cissus quadrangularis Linn. secara luas digunakan untuk
pengobatan fraktur tulang, tumor, wasir, sariawan, dan tukak lambung (Nadkarni
1954; Warrier et al. 1994).
Ekstrak tanaman ini juga mempunyai sifat
antiosteoporotik (Shirwaikar et al. 2003), analgesik, antioksidan, antimikroba,
hipotensi, antibakterial, antifungal (Austin dan Jagdeesan 2004), obat anti kanker
(Taylor 2002), antiulcer, efek parasimpatomimetik, anti inflamasi, aktivitas
11
anabolik dan androgenik (Mishra et al. 2010; Dalimartha 2003). Getah batang
tanaman digunakan untuk pengobatan patah tulang, penyakit telinga dan mata,
sariawan, asma, menstruasi tidak teratur, wasir, tumor, dan luka (Kritikar dan
Basu 2000). Batang Cissus quadrangularis Linn. mengandung triterpenoid dan
polifenol yang diketahui menekan pembentukan sitokin (Jainu dan Devi 2006).
Sedangkan Leiro et al. (2004) dan Thuong et al. (2005) menyatakan bahwa
triterpenoid dan polifenol menurunkan pembentukan TNFα dan IL1-β. Pada
penelitian yang dilakukan Shirwaikar et al. (2003), penggunaan ekstrak Cissus
quadrangularis Linn. melalui intraperitoneal pada mencit dapat mengakibatkan
kematian (LD 50 ) pada dosis 5000 mg/kg.
Menurut Sabri (2011), batang sipatah-patah ini mengandung beberapa
komponen biologis yaitu kalsium, fosfor, alkaloid, flavonoid, tanin (polifenolat),
dan triterpenoid. Kadar kalsium yang ditemukan pada batang sipatah-patah
mencapai 4,33% dari bobot keringnya. Dengan demikian kandungan kalsium yang
tinggi pada batang sipatah-patah ini dapat digunakan sebagai sumber kalsium
dalam pembentukan tulang atau pemenuhan kebutuhan kalsium tubuh. Selain itu
dari ekstrak sipatah-patah didapatkan bahwa ekstrak tersebut mengandung
sebanyak 33 senyawa fitokimia dan 14 senyawa diantaranya termasuk golongan
steroid. Golongan steroid tersebut 7 diantaranya termasuk dalam golongan
fitoestrogen. Senyawa fitoestrogen itu antara lain A-noncholestan-3-one-5-ethenyl
(22.67%), Stigmast-5-en-3-ol (15.52%), Stigmast-4-en-3-one (8.53%), Lup20(29)-en-3-ol (3.beta) (7.49%), Ergost-22-en-3-ol (5.74%), Stigmast-5,23-dren3.beta-ol (2.55%) dan Methyl (25RS)-3β-hydrokxyl-5 cholesten (2.36%).
Menurut Jainu dan Devi (2006), senyawa fitoestrogen yang ada dalam
Cissus quadrangularis antara lain isoflavon, ligni, coumestan, triterpan, glicoside,
dan asiklik. Selain itu terdapat juga kandungan flavonoid seperti kersetin, vitamin
C, resveratrol, piceantannol, palidol, ketosteroid, dan karoten (Swamy et al.
2006). Fitoestrogen memiliki kesamaan struktur kimia dan aktivitas yang sama
dengan hormon estrogen (Anderson dan Garner 1998; Dewell et al. 2002).
Menurut Jefferson et al. (2002), fitoestrogen memiliki banyak kesamaan pada dua
gugus –OH dan mempunyai gugus fenol serta jarak antara gugus hidroksil yang
sama dengan inti estrogen endogen sehingga dapat berikatan dengan reseptor
12
estrogen di tulang. Tiga unsur utama dari fitoestrogen adalah isoflavon,
caumenstan, dan lignan. Isoflavone memiliki unsur utama yaitu genistien dan
daidzein. Isoflavone mampu mengikat reseptor estrogen beta dalam osteoblas dan
dapat menstimulasi proliferasi dari osteoblas (Yamaguchi 2002). Selain itu
isoflavon juga menginduksi terjadinya diferensiasi dari osteoblas yakni melalui
aktivasi transforming-growth factor β (TGF-β) (Kim 1998). Menurut
Reid
(1996), di dalam osteoblas terdapat reseptor dari estrogen dan juga kalsitriol.
Rachman et al. (1996), penggunaan fitoestrogen memiliki efek keamanan
yang lebih baik dibandingkan dengan estrogen sintetis atau obat-obat hormonal
pengganti (hormonal replacement therapy/HRT).
Pada saat kadar estrogen
menurun, akan terdapat banyak kelebihan reseptor estrogen yang tidak terikat,
walaupun afinitasnya rendah, fitoestrogen dapat berikatan dengan reseptor
tersebut. Fitoestrogen menstimulasi aktivitas osteoblas melalui aktivitas reseptorreseptor estrogen dan mampu meningkatkan produksi hormon pertumbuhan
insulin-like growth factors-1 (IGF-1) yang memiliki hubungan positif terhadap
pembentukan massa tulang. Fitoestrogen dapat mengurangi gejala menopause
(Rachman 1996), memperbaiki kadar lipid atau lemak dalam plasma, menghambat
perkembangan ateriosklerosis, serta menghambat pertumbuhan sel-sel tumor atau
kanker pada payudara dan endometrium (Dewell et al. 2002).
2.3
Kultur In Vitro
Kultur sel (cell culture) didefinisikan teknik menumbuhkan dan memelihara
sel-sel dari organisme multiseluler di luar tubuh organisme terutama dalam wadah
khusus yang ditempatkan pada kondisi lingkungan menyerupai kondisi tubuh
organisme
seperti
temperatur,
kelembaban,
nutrisi,
dan
kondisi
bebas
kontaminasi. Sel, jaringan, dan organ yang diisolasi serta dipelihara pada
laboratorium merupakan objek hidup yang dikultur. Perkembangan kultur sel
berkaitan erat dengan kultur jaringan dan organ.
Menurut Butler (2004) kultur sel asal hewan memiliki beberapa tujuan,
antara lain (1) mengetahui fisiologi normal atau proses biokimia yang terjadi
dalam sel, seperti memperlajari metabolisme sel; (2) menguji berbagai pengaruh
senyawa kimiawi ataupun obat pada tipe sel spesifik, seperti senyawa metabolit,
hormon, growth factors, toksik, ataupun senyawa mutagenik yang mungkin untuk
13
dievaluasi dalam kultur sel; (3) mempelajari kombinasi variasi tipe sel sehingga
menghasilkan jaringan buatan, seperti menghasilkan kulit buatan untuk perawatan
kulit terbakar; (4) mensintesis produk biologis bernilai pada kultur sel skala besar.
Produk biologis seluler memiliki cakupan luas termasuk protein spesifik ataupun
virus yang memerlukan sel hewan dalam perkembangannya, seperti protein yang
jumlahnya sangat sedikit dalam tubuh dapat disintesis dalam jumlah gram hingga
kilogram dengan menumbuhkan sel secara genetis secara in vitro. Jumlah produk
biologis yang bernilai komersial telah meningkat dengan cepat selama beberapa
dekade terakhir. Pada kultur skala besar penting untuk menghindari kontaminasi
seperti virus dan protein tak diinginkan yang dapat menyebabkan kerugian besar.
Sel hewan memiliki bentuk dan karakteristik tertentu yang bersatu
membentuk jaringan berbeda-beda. Menurut Butler (2004) terdapat lima jenis sel
dalam jaringan yang sering digunakan pada kultur sel, antara lain (1) Jaringan
epitel, tersusun atas selapis sel yang menutup organ dan saluran seperti kulit dan
saluran pencernaan. Sel-sel epitel tumbuh dengan baik pada kultur sebagai sel
tunggal monolayer. (2) Jaringan ikat membentuk komponen utama struktur tubuh
hewan.
Fibroblas merupakan jenis sel jaringan ikat yang paling banyak
digunakan untuk kultur sel karena mampu tumbuh dengan baik pada laju
pertumbuhan 18-24 jam. Osteoblas merupakan sel dalam jaringan tulang yang
dapat ditumbuhkan dalam kultur. (3) Jaringan otot mampu tumbuh dalam kultur
khususnya sel myoblas.
Sel tersebut mampu berdiferensiasi membentuk
myotubes, yakni suatu proses yang hanya bisa diamati dalam kultur. (4) Jaringan
saraf dapat ditumbuhkan pada kultur dengan menambahkan growth factors pada
kultur neuron sehingga membentuk neurit. Kultur sel saraf sering digunakan
untuk mengetahui pertumbuhan neuroblastoma.
(5) Darah dan getah bening
(lymph) mengandung suspensi sel yang dapat tumbuh dalam kultur. Limfoblast
merupakan salah satu jenis sel darah putih yang secara luas digunakan dalam
kultur karena mampu mensekresikan senyawa immunoregulasi.
Menurut Malole (1990), kondisi in vitro diciptakan menyerupai kondisi in
vivo antara lain temperatur (37°C), pH (7.4), oksigen, CO2 (5%), tekanan osmosis,
permukaan untuk melekat sel, nutrien, proteksi terhadap zat toksik, hormon, dan
faktor pertumbuhan serta faktor diferensiasi. Substrat yang dapat digunakan dalam
14
kultur antara lain gelatin, kolagen, laminin, atau fibronectin (Freshney 2005).
Malole (1990), medium dasar berfungsi untuk mengatur pH, tekanan osmosis
dalam medium, dan sumber ion organik yang esensial. Menurut Frehsney (2005)
medium pertumbuhan yang sering digunakan dalam kultur in vitro adalah
Dulbecco’s Modified Eagle Medium (DMEM). DMEM mengandung konsentrasi
asam amino dua kali lipat lebih banyak dari Eagle’s Minimal Essential Medium
(MEM), empat kali vitamin, dan mengatur konsentrasi HCO3 dan CO2. Sedangkan
menurut Buttler (2004), DMEM mengandung asam amino dan vitamin empat kali
lebih banyak dibanding Eagle’s Basal Medium (EBM). Nutrisi lainnya yaitu
dengan penambahan serum yang berasal dari sapi (Fetal Calf Serum (FCS) dan
Newborne Calf Serum (NCBS)), serum asal manusia, dan serum asal kuda.
Penambahan serum dalam medium berkisar antara 5-20%. Serum berfungsi
sebagai sumber faktor pertumbuhan, faktor hormonal, faktor pelekat sel, dan fakto
penyebar sel (Malole 1990). Untuk mengatasi adanya kontaminasi pada kultur
dapat ditambahkan antibiotik pada medium (Buttler 2004).
2.4
Kultur Tulang
Kultur primer adalah menempatkan sel secara langsung yang berasal dari
jaringan hewan ke dalam medium pertumbuhan (Butler 2004). Tulang merupakan
salah satu jaringan ikat yang dapat dikembangkan dan ditumbuhkan secara in vitro
(di luar tubuh hewan) untuk tujuan tertentu, seperti mengetahui tingkat proliferasi
osteoblas (Butler 2004). Pada individu muda sel osteoblas lebih cepat
berproliferasi dan berdiferesisasi dibanding individu dewasa (Pradel et al. 2008).
Kultur osteoblas (Gambar 3) dilakukan antara lain untuk mengetahui biokimia dan
fisiologi dari pembentukan tulang, mengetahui hingga tingkat molekuler dan
seluler dari penyakit tulang, mengetahui peran sel pada garis osteoblastik dalam
meregulasi penyerapan tulang, menguji agen terapeutik yang potensial, untuk
mengembangkan dan menguji biomaterial baru, dan untuk menggunakan terapi
sel pada teknik jaringan dan transplantasi tulang (Gallagher 2003).
Menurut Binderman et al. (1974), sel tulang tikus memiliki population
doubling time sekitar 2-4 hari. Sel tulang pada penelitian tersebut didapat dengan
cara mengisolasi secara langsung tulang tikus. Medium yang digunakan pada
penelitian diberi penambahan serum sebesar 10% FCS. Dari penelitian tersebut
15
selain mengetahui proliferasi juga dapat mengetahui diferensiasi sel tulang yang
dikultur. Secara in vitro, diferensiasi ini mudah didapatkan dengan menambahkan
media penginduksi kedalam medium kultur. Media penginduksi diferensiasi
osteogenik
pada
kultur
antara
lain
penambahan
asam
askorbat,
β-
glycerophosphate, 1α, 25-dihydroxyvitamin D3, dan dexamethason (Gallagher
2003). Penambahan asam ascorbat dalam medium kultur sel tulang yaitu sebesar
50 µg/mL. Penambahan asam askorbat (vitamin C) pada medium kultur sel tulang
dapat mengotimalkan peningkatan diferensiasi sel tulang yang dikultur (Pradel et
al. 2008).
Dexamethason merupakan senyawa glukokortikoid yang biasa digunakan
dalam medium osteogenik dalam kultur in vitro dengan dosis sebesar 10 nM
(Freshney 2005). Berdasarkan penelitian Guzman-Morales et al. (2009),
dexamethasone diketahui dapat menginduksi diferensiasi osteogenik dari sumsum
tulang belakang manusia secara in vitro, dapat mempengaruhi aktivitas
pembelahan sel yang lambat (meningkatkan proliferasi) serta dapat meningkatkan
perlekatan sel pada substrat. Penelitian lainnya juga dilakukan oleh Beloti dan
Rosa (2005), dexamethason dapat memberikan efek dalam mendiferensiasi
sumsum tulang menjadi osteoblas matang.
Gambar 3 Osteoblas (Anonim 2011a).
Gambar 4 Osteosit (Anonim 2011b).
Download