POLA DISTRIBUSI DAN PRODUKSI ENERGI MITOKONDRIA SEL-SEL TROFOBLAS BLASTOSIS MENCIT(Mus musculus albinus) ROZA HELMITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul pola distribusi dan produksi energi mitokondria sel-sel trofoblas blastosis mencit (Mus musculus albinus) adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah dipublikasikan kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2007 Roza Helmita NRP B051050051 ABSTRAK ROZA HELMITA. Pola distribusi dan produksi energi mitokondria sel-sel trofoblas blastosis mencit (Mus musculus albinus). Dibimbing oleh ITA DJUWITA, BAMBANG PURWANTARA dan ADI WINARTO. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari (1) tingkat kegagalan nidasi dan perlekatan sel-sel trofoblas pada substrat dalam kultur in vitro, (2) kemampuan pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel trofoblas pada blastosis nidasi dan gagal nidasi, (3) aktivitas NADH-CoQ reductase sel-sel trofoblas dari blastosis nidasi dan gagal nidasi serta (4) pola distribusi mitokondria dari sel-sel trofoblas yang mengalami nidasi dan gagal nidasi dalam medium kultur in vitro. Blastosis dikoleksi dari kornua uterus mencit pada hari keempat setelah fertilisasi dan dibagi menjadi tiga kelompok blastosis yaitu: (1) nidasi dalam waktu 24 jam, (2) nidasi dalam waktu 48 jam dan (3) gagal nidasi. Masing-masing kelompok dikultur dalam medium DMEM yang diberi tambahan 50µg/ml gentamicin, NBCS 20%, 1µl/ml ITS (kandungan insulin 5µg/ml, tranferin 10µg/ml, selenium 5µg/ml; Sigma St Louis USA) dan ß-mercaptoethanol 14,3 mM (Sigma St Louis USA) pada inkubator CO2 5% suhu 37 °C selama 10 hari. Terhadap monolayer trofoblas dilakukan pengukuran pertumbuhan (outgrowth) dengan menggunakan eyespiece micrometer, pewarnaan Giemsa untuk melihat morfologi sel yang berdiferensiasi dan pewarnaan histokimia untuk menganalisis NADH-CoQ reduktase, serta imunositokimia untuk mengetahui distribusi mitokondria. Hasil yang diperoleh menunjukkan terdapat perbedaan kemampuan nidasi blastosis dan perlekatan sel-sel trofoblas. Pertumbuhan (outgrowth) sel-sel trofoblas dari blastosis 24 jam nidasi berbeda secara signifikan dengan sel-sel trofoblas dari blastosis 48 jam nidasi dan blastosis gagal nidasi. Hasil pewarnaan Giemsa menunjukkan bahwa sel-sel trofoblas dari blastosis 24 jam dan 48 jam nidasi mampu berdiferensiasi menjadi sitotrofoblas, sinsitiotrofoblas dan spongiotrofoblas lebih banyak dibanding sel-sel trofoblas dari blastosis gagal nidasi. Aktivitas NADH-CoQ reduktase sel-sel trofoblas dari blastosis 24 jam dan 48 jam nidasi berbeda secara signifikan dengan sel-sel trofoblas dari blastosis gagal nidasi dan pola distribusi mitokondria sel-sel trofoblas pada blastosis nidasi dalam waktu 24 dan 48 jam menunjukkan keadaan normal dengan pola yang homogen yaitu tersebar merata di dalam sitoplasma, sedangkan blastosis gagal nidasi mempunyai pola distribusi mitokondria yang heterogen (abnormal) dan mengelompok dalam sitoplasma sel-sel trofoblas. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh disimpulkan bahwa pola distribusi mitokondria yang abnormal dan gangguan produksi energi mitokondria dapat menyebabkan kegagalan nidasi dan implantasi. Kata kunci: sel trofoblas, blastosis, mitokondria, energi, distribusi mitokondria ABSTRACT ROZA HELMITA. The Pattern of Distribution and Energy Production of Mitochondrial in Trophoblast Cells of Mouse Blastocyst. Under the direction of ITA DJUWITA, BAMBANG PURWANTARA and ADI WINARTO The objectives of this study were to investigate: (1) the failure of ability of blastocyst to hatch and attachment of trophoblast cells, (2) the outgrowth and differentiation of trophoblast cells in in vitro cultured undergo hatch and no hatch blastocyst, (3) the activity of mitochondria NADH-CoQ reductase and (4) the pattern of mitochondrial distribution. Blastocysts were collected from uterine horn of mice at day-4 of pregnancy. The animal were divided into 3 groups: blastocysts hatched within 24 hours, 48 hours and non hatching. Embryos were cultured in DMEM medium supplemented with 50µg/ml gentamicin, NBCS 20%, 1µl/ml ITS (kandungan insulin 5µg/ml, tranferin 10µg/ml, selenium 5µg/ml; Sigma St Louis USA) dan ß-mercaptoethanol 14,3 mM (Sigma St Louis USA) in 5% CO2 incubator at 37°C for 10 days. The outgrowth of trophoblast cells were measured using eyespiece micrometer. The trophoblasts monolayer were processed for Giemsa staining, histochemistry analysis of NADH-tetrazolium reductase activity and imunocytochemistry to examine the pattern of mitochondrial distribution. Results of this experiment showed that the ability of blastocyst hatching in in vitro was different. The outgrowth trophoblast diameter of 24 h hatched blastocyst was significantly higher than the 48 h hatched and non hatched blastocyst. Morphological examination using light microscope showed that the trophoblast monolayers of 24 h hatched blastocyst differentiated into cytotrophoblast, syncytioptrophoblast and spongiotrophoblast after 10 days of cultured. The activity of NADH-CoQ reductase of 24 h and 48 h hatched blastocysts showed higher staining intensity than the non hatched blastocysts. The distribution of mitochondrial within trophoblast cell cytoplasma of 24 h and 48 h hatched blastocyst were homogen around nucleus whereas those of non hatched blastocyst were clustered and heterogen. In conclusion, the failure of blastocysts hatching and implantation was due to the impairment of mitochondria to produce energy and the abnormal pattern of mitochondrial distribution. Keywords: trophoblast Cells, blastocyst, mitochondrial, energy, distribution mitochondrial RINGKASAN ROZA HELMITA. Pola distribusi dan produksi energi mitokondria sel-sel trofoblas blastosis mencit (Mus musculus albinus). Dibimbing oleh ITA DJUWITA, BAMBANG PURWANTARA dan ADI WINARTO Perkembangan embrio praimplantasi ada kalanya mengalami gangguan sehingga tidak semua embrio praimplantasi dapat mengalami nidasi dan implantasi. Diantara banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kegagalan nidasi dan implantasi blastosis diantaranya adalah: (1) gangguan pada organel sel, misalnya pada mitokondria yang dapat mengakibatkan proses pembentukan energi tidak berfungsi dengan baik, (2) ketebalan zona pelusida, yakni semakin tebal zona pelusida maka energi dan tekanan yang dibutuhkan akan semakin besar untuk dapat menembus zona pelusida, (3) aktivitas enzim proteolitik yang berperan penting dalam mencerna zona pelusida sehingga zona pelusida menjadi tipis dan blastosis dapat dengan mudah keluar dari zona pelusida, dan (4) faktor penuaan (aging) yang dapat berkontribusi dalam perkembangan kualitas embrio praimplantasi. Kegagalan ini menyebabkan embrio dalam tahap blastosis tidak dapat nidasi atau berkontak dengan endometrium sehingga implantasi dan kebuntingan tidak dapat terjadi. Oleh karena itu tujuan dari penelitian ini untuk mempelajari dan memperoleh informasi mengenai: (1) tingkat kegagalan nidasi dan perlekatan sel-sel trofoblas pada substrat dalam kultur in vitro, (2) kemampuan pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel trofoblas pada blastosis nidasi dan gagal nidasi dan (3) aktivitas NADH-CoQ reduktase selsel trofoblas dari blastosis nidasi dan gagal nidasi serta (4) pola distribusi mitokondria dari sel-sel trofoblas yang mengalami nidasi dan gagal nidasi dalam medium kultur in vitro. Penelitian ini menggunakan blastosis mencit yang dibagi kedalam tiga perlakuan, yaitu: (1) blastosis yang nidasi cepat (24 jam), (2) blastosis yang nidasi lambat (48 jam) dan (3) blastosis yang gagal nidasi. Masing-masing kelompok dikultur sampai membentuk monolayer selama 10 hari, selanjutnya diukur penjuluran sel-sel trofoblas pertumbuhan (outgrowth), diidentifikasi morfologi sel-sel trofoblas yang mengalami diferensiasi dan aktivitas NADH-CoQ reductase secara histokimia serta distribusi mitokondria secara imunositokimia. Masingmasing perlakuan menggunakan minimal 10 embrio. Data tingkat nidasi blastosis dan perlekatan, pertumbuhan (outgrowth) serta aktivitas NADH-CoQ reductase sel-sel trofoblas diuji dengan analisis keragaman dan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) menggunakan software Statistic Analyses System (SAS 2000). Data morfologi sel-sel trofoblas yang mengalami diferensiasi dan pola distribusi mitokondria sel-sel trofoblas dianalisis secara deskriptif. Hasil pengamatan terhadap 99 blastosis yang dikultur dalam TCM 199 menunjukkan kecepatan nidasi yang berbeda, yaitu terdapat blastosis yang nidasi dalam waktu 24 dan 48 jam masing-masing sebesar 28% dan 17%, tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Namun jumlah kedua kelompok perlakuan tersebut (24 dan 48 jam) menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan dengan blastosis yang mengalami gagal nidasi sebanyak 55%. Blastosis yang gagal nidasi dibantu keluar dari zona pelusida menggunakan pronase 0,05% sehingga sel-sel trofoblas dapat melekat pada dasar cawan petri. Akan tetapi, blastosis yang nidasi tidak semuanya dapat melakukan perlekatan (attachment). Hasil pengamatan terhadap 28 blastosis nidasi dalam waktu 24 jam yang mampu melekat sebanyak 15 (54%) embrio, sedangkan 17 blastosis yang nidasi dalam waktu 48 jam sebanyak 7 (41%) embrio (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa walaupun secara morfologi blastosis yang dikultur memiliki kualitas yang sama, namun setelah kultur in vitro menunjukkan viabilitas yang berbeda. Kemampuan pertumbuhan sel-sel trofoblas dari blastosis nidasi dan gagal nidasi sangat berbeda yang ditunjukkan oleh rataan pertumbuhan sel-sel trofoblas. Hasil pengukuran pada hari ke-10 kultur menunjukkan bahwa rataan pertumbuhan sel-sel trofoblas yang dihasilkan oleh blastosis nidasi dalam 24 jam mencapai 652,6 ± 306 µm, berbeda nyata (P < 0,05) dengan blastosis yang nidasi dalam 48 jam dan gagal nidasi, masing-masing 322,9 ± 87µm dan 180,2 ± 60 µm (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa kegagalan nidasi yang terjadi pada individu blastosis juga berkaitan erat dengan kemampuan pertumbuhan sel khususnya sel-sel trofoblas. Pertumbuhan sel-sel trofoblas dapat dijadikan indikasi dalam menentukan keberhasilan proses implantasi. Semakin luas pertumbuhan sel-sel trofoblas menunjukkan kemampuan invasi sel-sel trofoblas yang tinggi. Invasi selsel trofoblas penting untuk membentuk anchoring vili yang menjadi perantara hubungan antara maternal dan fetus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan diferensiasi antara blastosis yang nidasi (24 dan 48 jam) dengan blastosis yang gagal nidasi. Pada blastosis nidasi (24 dan 48 jam ) ditemukan sekitar 50% sitotrofoblas, 30% sinsitiotrofoblas dan 15% spongiotrofoblas dari jumlah total sel yang berdiferensiasi. Sedangkan blastosis yang gagal nidasi mempunyai kemampuan berdiferensiasi yang rendah, ditunjukan dari hasil pengamatan terhadap monolayer sel trofoblas yang mengalami diferensiasi menjadi sinsitiotrofoblas sekitar 10-30%, selebihnya berdiferensiasi menjadi sitotrofoblas serta tidak ditemukan spongiotrofoblas dan glikogen trofoblas. Pada perkembangan embrio dari blastosis sampai pasca implantasi, terjadi peningkatan kebutuhan energi (ATP). Energi yang diambil berasal dari hasil fosforilasi oksidasi. Energi (ATP) yang dihasilkan dari reaksi fosforilasi oksidasi lebih banyak dibandingkan dengan glikolisis atau siklus Kreb. Hasil identifikasi secara histokimia terhadap aktivitas enzim NADH-CoQ reduktase pada sel-sel trofoblas menunjukkan perbedaan intensitas warna yang nyata (P < 0,05) antara blastosis yang nidasi 24 dan 48 jam dengan blastosis gagal nidasi (Tabel 3). Hasil pengamatan terhadap 15 blastosis yang nidasi pada 24 jam kultur dan 10 blastosis yang nidasi pada 48 jam kultur menunjukkan intensitas warna biru tua (skor 3) (100%). Disisi lain, 11 dari 12 blastosis yang gagal nidasi (91,67 %) tidak menunjukkan intensitas warna biru (skor 0) dan hanya satu blastosis (0,08 %) menunjukkan intensitas warna biru muda (skor 1). Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa aktivitas NADH-CoQ reduktase pada sel-sel trofoblas blastosis yang nidasi lebih tinggi dibandingkan dengan blastosis gagal nidasi. Hal ini berarti bahwa sel-sel trofoblas dari blastosis gagal nidasi mengalami gangguan atau disfungsi mitokondria, terutama dalam proses pembentukkan energi (sistem transpor elektron atau fosforilasi oksidasi). Produksi energi yang kurang pada awal implantasi dapat menghambat proliferasi dan diferensiasi sel-sel trofoblas. Pembentukkan energi (ATP) dalam mitokondria pada sistem transpor elektron atau fosforilasi oksidasi sangat tergantung pada aktivitas enzim-enzim yang terdapat dalam matriks mitokondria, misalnya enzim NADH-CoQ reduktase. Adanya gangguan pada komponen kunci rantai transpor elektron yaitu pada kompleks I (NADH-CoQ reduktase) dapat mengakibatkan terganggu atau tidak terbentuknya elektron sehingga energi (ATP) tidak dapat dihasilkan dengan efisien dan dapat mengganggu fisiologis sel. Selanjutnya mengakibatkan sel mengalami lisis atau apoptosis sehingga sel tidak dapat tumbuh dan berdiferensiasi ke proses selanjutnya. Hasil imunositokimia terhadap mitokondria pada sel-sel trofoblas dari blastosis nidasi dan gagal nidasi terdapat perbedaan pola distribusi mitokondria di sitoplasma sel-sel trofoblas. Pada sel-sel trofoblas yang nidasi mempunyai pola distribusi mitokondria yang homogen yaitu mitokondria tersebar secara merata disekitar nukleus, sedangkan pola distribusi mitokondria dari sel-sel trofoblas yang gagal nidasi yaitu heterogen, tidak tersebar merata tetapi mitokondria tersebar secara acak dan mengelompok pada satu tempat. Pola distribusi mitokondria yang heterogen pada sel-sel trofoblas dari blastosis gagal nidasi mengindikasikan adanya gangguan distribusi energi (ATP) ke dalam nukleus sehingga nukleus kekurangan energi (ATP) yang diperlukan untuk menjalankan fungsinya, seperti proliferasi dan diferensiasi. Selain itu, pola distribusi mitokondria yang heterogen atau mengelompok dapat dijadikan sebagai indikasi sel akan atau mengalami apoptosis. Hal ini disebabkan dalam proses apoptosis melibatkan mitokondria. Sel yang mengalami apoptosis mempunyai energi (ATP) yang rendah atau menurun. Dengan demikian ATP yang tersedia menjadi sedikit dan berdampak pada pertumbuhan dan aktivitas sel-sel trofoblas. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa rendahnya aktivitas NADH-CoQ reduktase dan pola distribusi mitokondria abnormal (heterogen) mengakibatkan kemampuan pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel trofoblas rendah yang selanjutnya dapat berdampak pada kegagalan nidasi dan implantasi. Kata kunci: sel trofoblas, blastosis, mitokondria, energi, distribusi mitokondria © Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB POLA DISTRIBUSI DAN PRODUKSI ENERGI MITOKONDRIA SEL-SEL TROFOBLAS BLASTOSIS MENCIT(Mus muculus albinus) ROZA HELMITA Tesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biologi Reproduksi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 Judul Nama NRP : Pola Distribusi dan Produksi Energi Mitokondria Sel-Sel Trofoblas Blastosis Mencit (Mus muculus albinus). : Roza Helmita : B051050051 Disetujui Komisi Pembimbing Dr.drh. Ita Djuwita, M.Phil Ketua drh. Adi Winarto, Ph.D Anggota Dr. drh. Bambang Purwantara, M.Sc. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Biologi Reproduksi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. drh. Tuty L. Yusuf, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 15 Agustus 2007 Tanggal Lulus : PRAKATA Alhamdulillah, puji syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan karunia dan rahmat-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Penelitian yang telah dilaksanakan berjudul ‘Pola distribusi dan produksi energi mitokondria sel-sel trofoblas blastosis mencit (Mus muculus albinus)’. Terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis ucapkan kepada Ibu Dr. drh Ita Djuwita, M.Phil, Bapak Dr. drh. Bambang Purwantara, M.Sc dan Bapak drh. Adi Winarto, PhD selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan nasehat serta dorongan semangat yang begitu besar sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan tesis ini. Disamping itu, terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. drh. M. Agus Setiadi sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan saran kepada penulis. Terima kasih kepada Ibu Dr. drh. Tuty L. Yusuf, MS, selaku Ketua Program Studi Biologi Reproduksi beserta seluruh staf pengajar Program Studi Biologi Reproduksi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi FKH IPB. Terima kasih kepada Laboratorium Embriologi dan Laboratorium Histologi Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi FKH IPB serta Unit Pelaksana Teknis (UPT) Hewan Laboratorium FKH IPB atas bantuan fasilitas pendukung sehingga penelitian dapat berjalan dengan baik. Penulis juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Bapak Ir. Thomas Mata Hine, M.Si, Bapak Ir. Bayu Rosadi, M.Si, Bapak Dr. drh. I Wayan Batan, M.Si, Bapak Wibi Riawan (Lab. Biomedis FK UNIBRAW), Bapak drh. Arief Bodieono PhD, Bapak drh Kusdiantoro Mohammad. M.Si, Bapak drh. Fachrudin PhD, drh. Wahono Esthi Prasetyaningtyas M.Si, Nurbariah M.Si, Ni Luh Gde Sumardani M.Si, Ir Yanhendri M.Si, drh. Erma Najmiati, rekan-rekan mahasiswa Program Studi Biologi Reproduksi (Bapak Ramadan, Mas Sigit, Pak Heri, Nuril, Ibu Enny, Pak Taufik, Beni), keluarga besar Laboratorium Embriologi (Bu Yani, Mas Wahyu), rekan-rekan mahasiswa Program Studi SVT 2006 ( Harry, Dini, Dwi, Riris). Teman-teman di Vaillya ( Iis, Bu Agnet, Ka’ Diana, Ella), Uni Wike, Mba Nada, Ka Jannah, Maya Indah wahyuni, Uul, Arie dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas semangat, doa dan bantuannya. Terima kasih tak terhingga selamanya kepada Keluarga tercinta, ayahanda dan ibunda, adik-adikku tersayang (Nia, Romi dan Razaq) serta seluruh keluarga besar (Etek Ema dan keluarga, etek In dan keluarga, Pak Umar dan keluarga, Pak Mai dan keluarga serta Pak Cut dan keluarga, Tek Wit dan keluarga, Tek Cun dan keluarga) atas segala doa, kasih sayang, pengorbanan, pengertian dan semangat serta dukungan materil yang tiada henti diberikan kepada penulis selama ini. Akhir kata penulis mengharapkan semoga tesis ini dan apa yang telah dihasilkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya. Bogor, Agustus 2007 Roza Helmita RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Payakumbuh pada tanggal 14 April 1981 dari pasangan Roslan dan Zuhelmi. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Padang, Padang dan gelar sarjana diraih pada tahun 2005. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa program master (Strata 2) pada Program Studi Biologi Reproduksi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL............................................................................................ xiii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiv DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xv PENDAHULUAN Latar Belakang ........................................................................................ Tujuan Penelitian .................................................................................... Manfaat Penelitian .................................................................................. 1 2 3 TINJAUAN PUSTAKA Embrio Praimplantasi.............................................................................. Blastosis Nidasi....................................................................................... Implantasi Embrio................................................................................... Diferensiasi Sel Trofoblas....................................................................... Implantasi dan Perkembangan Sel Trofoblas dalam Sistem Kultur In Vitro .................................................................. Mitokondria............................................................................................. Produksi ATP dalam Mitokondria .......................................................... Mitokondria dan Apoptosis..................................................................... 4 5 6 8 10 12 13 16 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat penelitian ................................................................. Materi Penelitian ..................................................................................... Rancangan Percobaan ............................................................................. Metode Penelitian Koleksi Blastosis............................................................................... Kultur Blastosis In Vitro ................................................................... Pengukuran Pertumbuhan (‘Outgrowth’) Sel-Sel Trofoblas............. Morfologi Sel trofoblas yang Berdiferensiasi ................................... Aktivitas NADH-CoQ Reductase dengan Pewarnaan Histokimia .. Distribusi Mitokondria Sel-Sel Trofoblas secara Imunositokimia ... Analisis Data ........................................................................................... 19 20 20 21 21 22 23 HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kegagalan Nidasi dan Perlekatan Sel-Sel Trofoblas In Vitro .. Pertumbuhan dan Diferensiasi Sel-Sel Trofoblas dalam Kultur In Vitro Aktivitas NADH-CoQ Reductase Sel-Sel trofoblas ............................... Pola Distribusi Mitokondria pada Sel-Sel Trofoblas .............................. 24 25 29 31 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................. 33 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 34 LAMPIRAN..................................................................................................... 39 19 19 19 DAFTAR TABEL Halaman 1 Persentase perkembangan blastosis ke tahap nidasi dan perlekatan pada dasar cawan petri dalam kultur in vitro..................... 25 2 Rataan pertumbuhan sel-sel trofoblas ........................................................ 27 3 Hasil pewarnaan histokimia terhadap aktivitas NADH-tetrazolium reductase .................................................................... 30 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Blastosis ekspan ......................................................................................... 4 2 Proses nidasi blastosis dari zona pelusida.................................................. 5 3 Proses implantasi embrio ........................................................................... 7 4 Pertumbuhan sel-sel trofoblas secara in vitro ............................................ 11 5 Struktur mitokondria .................................................................................. 12 6 Rantai respirasi elektron dalam mitokondria ............................................. 15 7 Dua jalur apoptosis..................................................................................... 18 8 Pertumbuhan sel-sel trofoblas didalam medium kultur in vitro................. 26 9 Morfologi sel-sel trofoblas yang telah mengalami diferensiasi ................. 28 10 Aktivitas NADH-CoQ reduktase pada monolayer sel-sel trofoblas .......... 30 11 Pola distribusi mitokondria pada sel-sel trofoblas ..................................... 32 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Komposisi medium koleksi blastosis (phosphate buffered saline)......................................................................................................... 40 2 Komposisi medium Tissue Culture Medium (TCM) ................................. 41 3 Komposisi medium (Dubellco’s Modified Eagles’ Medium) DMEM....... 42 4. Analisis data ............................................................................................... 43 PENDAHULUAN Latar Belakang Implantasi merupakan suatu peristiwa dalam reproduksi mamalia yang menentukan apakah kebuntingan akan dapat dipertahankan sampai lahir. Untuk mencapai tahap implantasi, embrio tahap blastosis harus mengalami nidasi (hatching) yaitu proses keluarnya embrio dari zona pelusida (Dey et al. 2004; Horse et al. 2004). Nidasi blastosis terdiri dari inner cell mass (ICM) yang akan menjadi fetus dan lapisan epitel paling luar yaitu trofoblas yang akan berperanan di dalam proses implantasi serta rongga yang berisi cairan, disebut blastosul. Perkembangan embrio praimplantasi ada kalanya mengalami gangguan sehingga tidak semua embrio praimplantasi dapat mengalami nidasi dan implantasi. Hal ini ditunjukkan dari hasil transfer blastosis manusia yaitu sekitar 47%-60% yang berhasil mengalami implantasi dan hamil (Fong et al. 2001). Bahkan Norwitz et al. (2001) mengemukakan bahwa blastosis yang dikultur in vitro kemudian ditransfer, menunjukkan tingkat implantasi yang lebih rendah yaitu sekitar 25%. Sedangkan Hredzak et al. (2005) menyatakan bahwa pada mencit tingkat implantasi embrio segar adalah 31,3%. Diantara banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya kegagalan nidasi dan implantasi blastosis diantaranya adalah: (1) gangguan pada organel sel, misalnya pada mitokondria yang dapat mengakibatkan proses pembentukan energi tidak berfungsi dengan baik (Tsuzuki et al. 2001; John 2002; Tamassia et al. 2004; Turrens 2003), (2) ketebalan zona pelusida, yakni semakin tebal zona pelusida maka energi dan tekanan yang dibutuhkan akan semakin besar untuk dapat menembus zona pelusida, (3) aktivitas enzim proteolitik yang berperan penting dalam mencerna zona pelusida sehingga zona pelusida menjadi tipis dan blastosis dapat dengan mudah keluar dari zona pelusida, dan (4) faktor penuaan (aging) yang dapat berkontribusi dalam perkembangan kualitas embrio praimplantasi (Acton et al. 2004; Blerkom 2004; Osagie et al. 2003; Fong et al.2001). Kegagalan ini menyebabkan embrio dalam tahap blastosis tidak dapat nidasi atau berkontak dengan endometrium sehingga implantasi dan kebuntingan tidak dapat terjadi (Horse et al. 2000; Dey et al. 2004; Brokes et al. 2004). Selama perkembangan embrio praimplantasi dari zigot sampai mencapai blastosis terjadi peningkatan aktivitas metabolisme serta kebutuhan energi (Trimarchi et al. 2000; Ludwig et al. 2001; Blerkom 2004). Proses pembentukan energi sangat tergantung pada aktivitas mitokondria sebagai organel pembangkit energi dalam sel (power house cell) sehingga gangguan atau rusaknya mitokondria dapat mempengaruhi proses pembentukan energi yang sangat dibutuhkan dalam proses nidasi dan implantasi blastosis. Pembentukan energi berupa adenosin triphosphat (ATP) di dalam mitokondria terjadi melalui dua interaksi siklus metabolisme, yaitu siklus asam sitrat (siklus Kreb) dan fosforilasi oksidasi (Klobuear dan Gorup 2004; Brookes 2004). Salah satu produk dari siklus asam sitrat adalah nikotinamida adenin dinukleotida dehidrogenase (NADH) yang berfungsi sebagai substrat pada reaksi transduksi energi dalam sistem rantai transpor elektron (RTE) atau fosforilasi oksidasi. Pelepasan energi NADH terjadi secara bertahap dengan melibatkan enzim-enzim antara lain NADH-CoQ reduktase pada kompleks I. Gangguan atau kerusakan pada komponen kunci rantai transpor elektron terutama pada kompleks I dapat mengakibatkan tidak terbentuknya elektron sehingga ATP tidak dapat dihasilkan dengan efisien dan dapat meningkatkan produksi radikal bebas. Radikal bebas adalah molekul reaktif yang dapat merusak DNA dan membran sel melalui jalur oksidasi sehingga menyebabkan apoptosis sel dan mempercepat penuaan (aging) (Dimauro dan Schon 2003; Trimarchi et al. 2000; Blerkom 2004). Walaupun kajian dan informasi terhadap proses implantasi secara in vitro cukup banyak dilaporkan, namun sejauh mana kegagalan nidasi blastosis yang diakibatkan oleh kelainan pola distribusi dan gangguan fungsi mitokondria belum diketahui. Disamping itu rendahnya tingkat kebuntingan yang disebabkan oleh kegagalan nidasi sulit diketahui secara in vivo. Oleh sebab itu perlu kajian in vitro mengenai kegagalan nidasi dan implantasi yang dikaitkan dengan pola distribusi dan aktivitas mitokondria dalam memproduksi energi. Hal tersebut dapat dilihat dari aktivitas NADH-CoQ reduktase serta kemampuan pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel trofoblas. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan memperoleh informasi mengenai: (1) tingkat kegagalan nidasi dan perlekatan sel-sel trofoblas pada substrat dalam kultur in vitro, (2) kemampuan pertumbuhan dan diferensiasi selsel trofoblas pada blastosis yang mengalami nidasi dan gagal nidasi dan (3) aktivitas NADH-CoQ reduktase sel-sel trofoblas pada blastosis yang mengalami nidasi dan yang gagal nidasi serta (4) pola distribusi mitokondria dari sel-sel trofoblas yang mengalami nidasi dan gagal nidasi dalam medium kultur in vitro. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan terhadap informasi dasar mengenai faktor penyebab kegagalan nidasi blastosis dan implantasi. TINJAUAN PUSTAKA Embrio Praimplantasi Perkembangan embrio praimplantasi dimulai setelah fertilisasi yakni dari mulai tahap zigot yang selanjutnya mengalami pembelahan mitosis sampai membentuk blastosis. Pada mencit blastosis terbentuk empat hari setelah fertilisasi. Struktur blastosis terdiri dari dua tipe sel yaitu inner cell mass (ICM) dan sel trofoblas. Inner cell mass (ICM) akan membentuk embrionic stem cell (ESC) pluripotent yang dapat berdiferensiasi menjadi berbagai tipe sel dari tubuh fetus. Sementara itu sel-sel trofoblas akan berperan dalam proses implantasi dan menjadi selaput ekstraembrionik (Gambar 1) (Kimber & Spanswick 2000; Hardy & Spanos 2000; Goetz 2002). Di bagian dalam dari lapisan sel-sel trofoblas terdapat suatu rongga berisi cairan yang disebut blastosul. Di bagian paling luar, blastosis dibungkus oleh suatu selaput glikoprotein yang disebut dengan zona pelusida. Seiring dengan pertumbuhan embrio praimplantasi, blastosul akan mengalami pembesaran akibat terjadinya akumulasi cairan sehingga ukuran blastosis bertambah besar dan tahap tersebut disebut dengan blastosis yang meluas (blastosis ekspan). Selanjutnya blastosis eskpan akan mengalami nidasi (hatching). ICM blastosul trofoblas Zona pelusida Gambar 1 Blastosis ekspan mencit. Nidasi Blastosis Nidasi merupakan proses keluarnya blastosis dari zona pelucida. Nidasi dimulai dengan adanya akumulasi cairan secara bertahap dalam blastosul sehingga terjadi peningkatan ukuran atau volume blastosis dari ukuran awalnya. Akumulasi cairan dalam blastosul mengandung Na+/K+ dan ATPase yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan hidrostatik internal pada trofoblas dan zona pelusida. Akibatnya zona pelusida menjadi tipis dan elastis (Gambar 2) (Balaban et al.2002; Gonzales et al. 1996; Jones et al. 2000). ICM blastosul trofoblas Zona pelusda Gambar 2 Proses nidasi blastosis dari zona pelusida Blastosis keluar dari zona pelusida pada kutub yang berlawanan dengan inner cell mass (ICM) dan proses nidasi akan selesai apabila seluruh blastosis telah keluar dari zona pelusida. Selanjutnya fimbria halus dan kecil muncul pada sel trofoblas dan bergerak secara amuboid ke dinding endometrium untuk melakukan proses implantasi yang diawali dengan terjadinya perlekatan dengan epitel endometrium (Horse et al. 2004; Osagie & Biggers 2003). Pada blastosis faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses nidasi diantaranya, adalah: (1) ketersediaan energi (ATP) dalam blastosis yang diperlukan untuk menekan zona pelusida, (2) ketebalan zona pelusida, yakni semakin tebal zona pelusida maka energi dan tekanan yang dibutuhkan akan semakin besar untuk dapat menembus zona pelusida, serta (3) aktivitas enzim proteolitik yang berperan penting dalam mencerna zona pelusida sehingga zona pelusida menjadi tipis dan blastosis dapat dengan mudah keluar dari zona pelusida (Osagie et al. 2003; Fong et al.2001). Implantasi Embrio Proses implantasi dimulai setelah blastosis keluar dari zona pelusida yang diikuti dengan kontak secara fisik dan fisiologis antara trofoblas dengan dinding endometrium uterus (Horse et al. 2004). Proses ini melibatkan serangkaian interaksi intraseluler serta interaksi antara sel dan matriks (Dey et al. 2004). Ada tiga tahapan dalam proses implantasi, yaitu (1) aposisi, (2) perlekatan (adhesi) dan (3) invasi. Aposisi merupakan adhesi yang tidak stabil dan terjadi setelah blastosis berkontak dengan dinding uterus; sedangkan perlekatan (adhesi) merupakan perlekatan yang stabil antara trofoblas dengan sel epitel uterus. Selanjutnya sel trofoblas melakukan infiltrasi ke dalam endometrium yang diikuti dengan invasi di dalam endometrium membentuk anchoring vili agar fetus memperoleh makanan dari induk (Gambar 3) (Dey et al. 2004; Dominguez et al. 2005). Pada manusia dan mencit endometrium mengalami desidualisasi, yaitu selsel stroma mengalami perubahan morfologi, perubahan komposisi matriks interseluler serta peningkatan pertumbuhan kapiler-kapiler pembuluh darah. Adanya desidualisasi menyebabkan dikeluarkannya bahan-bahan metabolit, seperti karbohidrat, protein, lemak dan asam nukleat. Bahan-bahan tersebut penting untuk nutrisi embrio selama implantasi (Dey et al. 2004; Kliman 2000). INVASION Gambar 3 Proses implantasi embrio ( Dominguez et al. 2005). Berdasarkan perbedaan cara interaksi antara blastosis dan sel-sel uterus, implantasi dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu: (1) sentral (superficial), (2) eksentrik dan (3) interstisial (profundal). Pada implantasi superficial, implantasi hanya berupa perlekatan pada permukaan uterus dan tidak terjadi infiltrasi pada epitel endometrium. Tipe ini terdapat pada mamalia seperti kuda, sapi, domba dan kambing. Implantasi eksentrik terjadi pada hewan anjing, kucing, tikus dan mencit; pada tipe ini implantasi terjadi pada epitel uterus yang mengalami invaginasi dan terjadi sedikit kerusakan pada stroma uterus. Pada tipe interstitial terjadi pada babi, simpanse dan manusia. Pada tipe ini, implantasi blastosis terjadi dalam subepitel stroma. Diferensiasi Sel Trofoblas Setelah blastosis keluar dari zona pelusida, sel-sel trofoblas akan melekat pada dinding endometrium uterus. Sel trofoblas merupakan sel-sel yang berperan penting dalam proses implantasi dan membentuk hubungan antara induk dan fetus (Horse et al.2004; Nadra et al. 2006). Pada masa proses implantasi sel-sel trofoblas mengalami proliferasi dan diferensiasi. Secara morfologi, diferensiasi sel-sel trofoblas dibagi kedalam empat tipe, yaitu: 1) giant trophoblast cell, 2) sel spongiotrofoblas (spongiotrophoblast), 3) sel glikogen, dan 4) sel sinsitiotrofoblas (syncytiotrophoblast) (Kliman 2000; Kimber & Spanswick 2000). Keempat tipe sel tersebut merupakan hasil penggabungan (fusi) atau diferensiasi sitotrofoblas (cytotrophoblast). Sebagian sitotrofoblas bergabung bersama membentuk sinsitiotrofoblas. Selain itu sitotrofoblas juga berdiferensiasi menjadi giant trophoblast cell, spongiotrofoblas dan sel glikogen trofoblas (Lunghi et al. 2007; Kliman 2000). Giant trophoblast cells terdapat pada koriovitelin dan korioalantois plasenta. Sel ini berukuran besar dengan satu nukleus. Giant trophoblast cells menghasilkan beberapa growth factor (baik secara autokrin maupun parakrin) dan hormon-hormon yang mendukung pertumbuhan dan perkembangan fetus serta interaksi fisiologis antara fetus dan induk (Dey et al. 2004). Sel ini melakukan proses endoreduplikasi, seperti melanjutkan sintesis DNA tanpa pembelahan sel. Diferensiasi giant trophoblast cells didukung oleh dua gen faktor transkripsi basic helix-loop helix (bHLH) yaitu Hand 1 dan Stra13. Sel spongiotrofoblas secara morfologi berbeda dengan giant trophoblast cells dan turut berperan dalam aktivitas endokrin. Sel glikogen sesuai dengan namanya, sel ini banyak mengandung glikogen yang berpotensi dalam penyimpanan energi dan muncul pada akhir kebuntingan (Kliman 2000). Sel sinsitiotrofoblas merupakan sel dengan dua atau lebih nukleus (multinukleus) berasal dari hasil penggabungan sitotrofoblas. Sel ini bertanggung jawab dalam pengangkutan nutrien dan pembuangan sisa metabolisme, mensekresikan hormon human chorionic gonadotrophin (hCG) yang penting untuk mempertahankan korpus luteum untuk menghasilkan progesteron yang diperlukan pada awal kebuntingan. Sinsitiotrofoblas menghasilkan laktogen plasenta yang berperan sebagai regulator metabolisme lipid dan karbohidrat pada induk. Selain itu sinsitiotrofoblas juga menghasilkan ß1-glycoprotein spesifik, plasminogen activator inhibitor type 2, growth hormone, collagenase, thrombomodulin dan reseptor-reseptor growth factor ( Haig 1996; Frendo et al 2003). Secara in vitro, diferensiasi sel sitotrofoblas diketahui dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti growth factor (epidermal growth factor, kelompok granulosit-makrofag) dan hormon-hormon (hCG, estradiol) (Lunghi et al. 2007; Kliman 2000). Menurut Frendo et al (2003) terdapat keterlibatan cyclic AMP (cAMP), protein kinase serta stres oksidatif dengan diferensiasi dan fusi sel trofoblas. Selain itu, kandungan oksigen berhubungan dengan respirasi dan pembentukan ATP serta cAMP. Rendahnya kandungan oksigen atau sampai dalam kondisi hipoxia dapat menghambat proliferasi sitotrofoblas dan diferensiasi sinsitiotrofoblas (Aplin & Kimber 2004; Cartwright et al.2002; Lunghi et al. 2007). Implantasi dan Perkembangan Sel Trofoblas dalam Sistem Kultur In Vitro Upaya untuk mempelajari proses implantasi secara in vivo mengalami kendala. Untuk dapat mengamati proses implantasi khususnya pertumbuhan dan perkembangan sel-sel trofoblas diperlukan sistem in vitro yang memadai. Berbagai model implantasi blastosis telah dilakukan, diantaranya menggunakan feeder layer seperti sel epitel endometrium, sel stroma, sel desidua serta matriks ekstraseluler seperti laminin dan fibronectin yang berperan sebagai tempat perlekatan dan invasi menyerupai sel-sel uterus maternal (Tayade et al. 2005; Harun 2006). Dalam sistem kultur in vitro, telah dilaporkan bahwa sel-sel trofoblas mampu tumbuh sampai mengalami perlekatan (attachment) dan pertumbuhan (outgrowth) yang mirip dengan proses adesi dan invasi secara in vivo. Sel-sel trofoblas yang dikultur secara in vitro dapat tumbuh dengan baik apabila dikondisikan sesuai dengan suasana in vivo. Penggunaan sistem kultur yang baik mampu mendukung pertumbuhan dan perkembangan sel-sel trofoblas, terutama penggunaan medium kultur yang tepat, penambahan serum, substrat energi (piruvat dan glukosa), metabolit esensial (karbohidrat, asam amino, vitamin, protein dan peptida), ion-ion anorganik, matriks ekstraseluler seperti laminin, serta sistem inkubasi yang meliputi suhu, pH, fase gas serta osmolalitas medium (Gardner et al.2002; Summers 2003). Pada lingkungan in vitro, medium merupakan hal yang penting dalam perkembangan sel-sel trofoblas. Medium yang digunakan harus mengandung glukosa konsentrasi tinggi sebagai sumber energi. Sedangkan piruvat dan laktat dalam konsentrasi rendah. Hal ini disebabkan pada perkembangan embrio pasca implantasi terjadi peningkatan aktivitas metabolisme sehingga memerlukan energi yang banyak. Selain itu, penambahan asam amino dan growth factor penting dalam meningkatkan viabilitas dan perkembangan embrio secara in vitro (Gardner et al. 2002). Sel-sel trofoblas di dalam medium kultur akan melakukan perlekatan pada dasar cawan petri atau pada feeder layer setelah blastosis mengalami nidasi. Selanjutnya sel-sel trofoblas akan berproliferasi dan tumbuh ke arah luar dari inner cell mass (ICM) (outgrowth). Semakin lama kultur maka pertumbuhan sel trofoblas akan semakin luas sampai mencapai batas maksimum (Gambar 4) (Tayade et al. 2005). Hari Tingkat 0 Blastosis 1 Nidasi 2 Perlekatan 3-5 6-7 8-9 Gambaran embrio Potongan melintang Awal pertumbuhan maksimum pertumbuhan akhir pertumbuhan Gambar 4 Pertumbuhan sel-sel trofoblas secara in vitro (Tayade et al.2005). Mitokondria Mitokondria berasal dari bahasa Yunani yaitu mito yang berarti benang dan chondrion yang berarti granul atau butiran-butiran, sehingga dapat diartikan organel yang mempunyai rangkaian granul-granul atau butiran-butiran yang tersusun seperti benang. Mitokondria merupakan organel yang unik karena memiliki materi genetik (DNA) sendiri berbentuk lingkaran yang turut berperan dalam pewarisan sifat keturunan. Materi genetik ini berasal dari maternal, sehingga setiap oosit mengandung banyak mitokondria pada sitoplasmanya (Tamassia et al. 2004). Struktur mitokondria berbentuk oval dengan panjang 1-2 mm dan lebar 0,51 mm, berada dalam sitoplasma yang strukturnya dikelilingi oleh dua membran, yaitu membran luar dan membran dalam. Keduanya merupakan fosfolipid lapis ganda (bilayer) yang terdiri atas kumpulan protein yang unik. Pada membran luar terlihat halus tetapi mengandung protein transpor yang disebut porin, sehingga membran luar berfungsi sebagai tempat keluar masuknya ion atau molekul kecil, termasuk protein berukuran kecil kedalam ruang antar membran, namun tidak semuanya melewati membran dalam yang bersifat impermeabel seperti di ruang matriks. Pada membran dalam terdapat bagian yang berlipat-lipat, disebut krista. Membran dalam membagi mitokondria menjadi dua ruang. Ruang pertama berupa ruang antar membran, daerah sempit antara membran dalam dan membran luar. Ruang kedua, yaitu matriks mitokondria yang dilingkupi oleh membran dalam (Gambar 4) (Brokes et al. 2004; Cummins 2001; Dimauro & Schon 2003). Gambar 5 Struktur mitokondria (Davidson 2006). Membran dalam dan matriks merupakan tempat utama aktivitas mitokondria. seperti siklus asam sitrat, oksidasi asam lemak, sintesis urea serta pembentukkan energi. Hal ini disebabkan di dalam matriks banyak terkandung enzim yang mencapai sekitar 67%. Sedangkan krista membuat membran dalam mitokondria mempunyai pemukaan yang luas sehingga produktivitas respirasi seluler meningkat (Dimauro & Schon 2003; Davidson 2006). Produksi ATP dalam Mitokondria Mitokondria pada awal perkembangan mempunyai struktur yang lebih kecil dibanding individu dewasa dengan diameter < 0,5 µm. Selain itu mitokondria pada stadium ini terdiri dari krista pendek dengan jumlah sedikit, sehingga aktivitas respirasi rendah. Respirasi ini akan meningkat seiring dengan perkembangan embrio. Struktur mitokondria juga akan mengalami perubahan sesuai aktivitasnya, karena harus menghasilkan ATP (Adenosin Triphosphat) dalam jumlah banyak. Dengan demikian konsumsi oksigen pada embrio semakin lama akan meningkat sesuai perkembangannya (Trimarchi et al. 2000; Cummins 2001; Harvey et al. 2002; Osagie et al. 2003). Pada awal perkembangannya embrio sangat membutuhkan energi untuk aktivitasnya dan hampir 85% energi embrio dihasilkan dalam mitokondria melalui metabolisme fosporilasi oksidasi dan siklus Kreb dalam bentuk ATP (Blerkom 2004; Harvey et al. 2002; Gardner et al. 2002). Energi atau ATP sangat dibutuhkan untuk aktivitas biosintesis seluler, produksi membran plasma dan proses perkembangan morfodinamika yang kritikal seperti pembentukan blastosul pada proses blastulasi dan ekspansi blastosis. Selain itu ATP juga diperlukan pada waktu nidasi agar embrio dapat implantasi (Gardner et al. 2002; Ludwig et al. 2001; Fleming 2004). Aktivitas mitokondria dalam membentuk energi membutuhkan oksigen dan nutrien atau substrat seperti glukosa, piruvat dan laktat yang akan diubah menjadi ATP, proses ini disebut respirasi aerobik. Oleh sebab itu, mitokondria juga dikenal sebagai power house cell. Produksi energi dalam mitokondria melibatkan dua proses metabolisme, yaitu (1) siklus asam sitrat dan (2) rantai transpor elektron. Siklus asam sitrat merubah karbohidrat dan asam lemak menjadi ATP dan hidrogen dalam bentuk nicotinamide adenine dinucleotida dehydrogenase (NADH) dan flavin adenin dinucleotida dehidrogenase (FADH2) yang merupakan molekul tinggi energi karena masing-masing molekul tersebut mengandung sepasang elektron yang mempunyai potensial transfer tinggi. Rantai tranpor elektron merupakan kumpulan molekul yang tertanam pada membran dalam mitokondria. Pelipatan membran dalam untuk membentuk krista meningkatkan luas permukaannya untuk dapat melakukan transpor elektron. Elektron yang masuk ke rantai transpor elektron berasal dari hasil reaksi glikolisis dan siklus krebs yang disimpan dalam bentuk NADH. Bila masuk kedalam sistem rantai transpor elektron dan terjadi penggabungan hidrogen dan oksigen maka dapat membentuk ATP, sehingga disebut juga fosforilasi oksidatif. Proses ini menghasilkan ATP lebih banyak dibanding siklus asam sitrat dan glikolisis, yaitu 30 ATP yang terbentuk, 26 ATP berasal dari proses fosforilasi oksidatif. Sebagian besar komponen rantai transpor elektron merupakan protein. Reaksi fosforilasi oksidatif dalam mitokondria terdiri atas lima kompleks protein, yaitu (1) kompleks I mengkatalis NADH dari siklus asam sitrat dengan NADH-coenzym Q reductase sebagai reseptor menjadi bentuk tereduksi. NADH merupakan kunci utama dari reaksi fosforilasi oksidatif yang berperan sebagai perantara antara siklus krebs dengan rantai transpor elektron pada komplek I. Langkah awal adalah pengikatan NADH dan transfer dua elektronnya ke flavin mononukleotida (FMN), gugus prostetik komplek ini, menjadi bentuk tereduksi, FMNH2. Elektron kemudian ditransfer dari FMNH2 keserangkaian rumpun belerang besi (4Fe-4S), jenis kedua gugus prostetik dalam NADH-Q reduktase. Elektron dalam rumpun belerang-besi kemudian diangkut ke ko-enzym Q, dikenal juga sebagai ubiquinon. Ubiquinon mengalami reduksi menjadi radikal bebas anion semiquinon dan reduksi kedua terjadi dengan pengambilan elektron kedua membentuk ubiquinol (QH2) yang terikat enzim. Pasangan elektron pada QH2 dipindahkan ke rumpun belerang besi (2Fe-2S) kedua yang ada pada NADH-Q reduktase, dan akhirnya ke Q yang bersifat aktif dalam inti hidrofobik membran dalam mitokondria. Aliran dua elektron ini menyebabkan terpompanya empat H + dari matriks kesisi sitosol membran dalam mitokondria. Gangguan pada rantai transpor elektron terutama pada enzim kompleks I dapat mengurangi produksi ATP, meningkatkan kebocoran elektron dan meningkatkan produksi superoksida (Grivennikova 2001). (2) Kompleks II menerima elektron dari FADH2 dan juga melewati kompleks III melalui coenzyme Q, (3) kompleks respirasi III dengan cytochrome c tereduksi dan cytochrome c oxidoreductase sebagai akseptor dan (4) kompleks respirasi IV (cytochrome c oxidase) mengkatalis oksidasi cytochrome c. (5) Kompleks V merubah adenosin diphosphate (ADP) menjadi ATP dengan bantuan enzim ATP synthase. Adapun enzim yang terlibat dalam reaksi ini yaitu NADH-coQ reductase, coQH2-cytochrome c reductase, cytochrome c reductase dan ATP synthase (Dimauro dan Schon 2003;Klobuear dan Gorup 2004). Gambar 6 Rantai respirasi elektron dalam mitokondria. Secara garis besar reaksi pembentukan ATP yang berlangsung di mitokondria dapat dibagi menjadi tiga tahap: (1) Reaksi oksidasi piruvat (atau asam lemak) menjadi CO2. Reaksi ini terkait dengan reduksi NAD+ dan FAD menjadi NADH dan FADH2. Reaksi-reaksi ini berlangsung dalam ruang matriks mitokondria, (2) transfer elektron dari NADH dan FADH2 ke O2. Rangkaian reaksi ini berlangsung pada membran dalam mitokondria dan (3) pemanfaatan energi yang tersimpan dalam bentuk gradien elektrokimia untuk memproduksi ATP. Reaksi ini dikatalisis oleh enzim ATP sintetase yang berlokasi pada membran dalam mitokondria (Campbell et al.2002). Gangguan pada sistem rantai transpor elektron dapat meningkatnya produksi radikal bebas. Radikal bebas adalah molekul reaktif yang dapat merusak DNA dan membran sel melalui jalur oksidasi. Normalnya, rantai respirasi mitokondria membuat radikal bebas dalam jumlah yang rendah selama proses pembuatan ATP. Dengan meningkatnya radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan lebih lanjut DNA mitokondria (mtDNA) yang akan mengakibatkan vicious cycle timbulnya kerusakan dan produksi radikal bebas, salah satunya apoptosis dan mempercepat penuaan (aging) (Turrens 2003; Tamassia et al.2002; Cummin 2001 ). Mitokondria dan Apoptosis Mitokondria selain berfungsi sebagai tempat penghasil energi (ATP) juga berperan penting sebagai pengontrol reaksi reduksi oksidasi, homeostasis dan apoptosis serta aging. Gangguan fungsi mitokondria dalam memproduksi energi dapat mengakibatkan gangguan pada fungsi lain dari mitokondria, seperti terjadinya peningkatan apoptosis dari aktivitas normalnya (Vogel 2005; Watson et al. 1998). Pada proses implantasi, dinding endometrium mengalami apoptosis pada waktu sel trofoblas melakukan invasi dan infiltrasi ke dalam endometrium. Selain itu, sel-sel trofoblas juga mengalami apoptosis pada waktu invasi. Namun jumlah apoptosis yang meningkat dari normalnya dapat mengakibatkan terjadi kelainan implantasi atau kebuntingan, seperti preeclamsia (Zhang & Paria 2006; Jauniaux et al. 2003; Joswig et al. 2003; Thouas et al. 2005). Apoptosis merupakan suatu proses kematian sel terencana (programmed cell death) yang dicirikan dengan terjadinya pengerutan sel dan nukleus. Kromatin nukleus pada proses apoptosis mengalami kondensasi, yang kemudian pecah. Pecahan ini kemudian dibungkus dalam suatu vesikel, disebut sebagai apoptotic bodies, yang mengandung pula sisa-sisa organel sel dan fragmen DNA lain, untuk selanjutnya difagositosis baik oleh sel-sel tetangganya maupun mengalami degradasi otomatis (Wang 2001; Vogel 2005). Apoptosis terjadi melalui 2 jalur utama yakni (1) jalur ekstrinsik atau death receptor (DR) pathway, dan (2) jalur intrinsik atau jalur mitokondria. Pada jalur ekstrinsik, apoptosis dimulai setelah DR pada membran plasma berikatan dengan protein Fas, suatu glycocylated cell-surface protein dengan berat molekul 42-52 kDa. Reaksi ini akan diikuti oleh apoptotic pathway yang terdiri dari seperangkat enzim (FAAD, TRADD, caspase 8 dan 10), berfungsi sebagai penggerak efektor apoptosis (Haupt et al. 2003; Wang 2001). Pada jalur intrinsik yang terjadi di intraseluler akan muncul inisiasi apoptosis oleh produksi biokimia yang berasal dari intraseluler stres, seperti oksidatif stres, perubahan redoks, ikatan kovalen, peroksidasi lipid. Jalur apoptosis distimulus dari luar yang mengaktifkan caspase untuk menginduksi lepasnya sitokrom c. Lepasnya sitokrom c akan berikatan dengan Apaf-1, yaitu protein yang terdapat dalam sitosol yang normalnya merupakan monomer inaktif. Selanjutnya akan membentuk apoptosom yang melepaskan procaspase 9 dan menginduksi dilepasnya caspase 3, sehingga sel mengalami apoptosis (Gambar 5) (Wang 2001; Vogel 2005; Zess 2005; Haupt et al.2003). Gambar 7. Dua jalur apoptosis (jalur ekstrinsik dan intrinsik) (Haupt et al. 2003). Proses apoptosis tidak menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi, namun prosesnya diinduksi oleh reaksi inflamasi sebelumnya. Apoptosis membutuhkan energi, tetapi proses ini dapat menghabiskan energi akibat banyaknya pori dari membran mitokondria yang terbuka, akibatnya sel yang mengalami apoptosis mempunyai energi (ATP) yang rendah atau menurun (Straszewski-Chavez et al. 2005; Zess 2005). Tinggi atau rendahnya aktivitas mitokondria berhubungan erat dengan banyak atau sedikitnya jumlah dan distribusi mitokondria dalam sitoplasma. Semakin banyak jumlah mitokondria dan pola distribusinya merata didalam sitoplasma menunjukkan aktivitas mitokondria bekerja dengan baik. Sebaliknya jumlah mitokondria yang sedikit dan pola distribusi yang tidak merata atau mengelompok menunjukkan aktivitas mitokondria yang terganggu atau terhambat akibatnya energi atau ATP yang dihasilkan dalam jumlah sedikit. Akibatnya sel dapat berhenti bekerja dan mengalami apoptosis (Cummins 2001; Tarin et al. 2000). METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari September 2006 sampai dengan Mei 2007, di Laboratorium Embriologi dan Laboratorium Histologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi serta Unit Pelaksana Teknis (UPT) Hewan Laboratorium, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Dramaga Bogor. Materi Penelitian Materi penelitian yang digunakan adalah mencit betina (Mus musculus albinus) dara (6-8 minggu) strain DDY. Mencit dipelihara dalam kandang plastik yang diberi sekam dan dilengkapi dengan penutup kawat. Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Rancangan Percobaan Blastosis mencit dibagi kedalam tiga perlakuan, yaitu: (1) blastosis yang nidasi cepat (24 jam), (2) blastosis yang nidasi lambat (48 jam) dan (3) blastosis yang gagal nidasi. Masing-masing kelompok dikultur sampai membentuk monolayer selama 10 hari, selanjutnya diukur penjuluran sel-sel trofoblas pertumbuhan (outgrowth), diidentifikasi morfologi sel-sel trofoblas yang mengalami diferensiasi dan aktivitas NADH-CoQ reductase secara histokimia serta distribusi mitokondria secara imunositokimia. Masing-masing perlakuan menggunakan minimal 10 embrio. Metode Penelitian Koleksi Blastosis Mencit putih (Mus muculus albino) dara strain DDY disuperovulasi dengan penyuntikan hormon Pregnant mare’s serum gonadotrophin (PMSG, Folligon®, Intervet, Netherland) dengan dosis 5 IU/ekor dan 46 jam kemudian disuntik dengan hormon human chorionic gonadotrophin (hCG, Chorulon®, Intervet, Netherland) (dengan dosis yang sama) secara intraperitoneal (i.p.). Setelah penyuntikan hCG, mencit betina dikawinkan dengan pejantan dengan perbandingan jantan : betina 1:1. Mencit betina yang telah dikawini pejantan dicirikan oleh adanya sumbat vagina (masa perkejuan berwarna putih kekuningan di dalam lumen vagina) pada 18 jam pasca hCG dan dianggap sebagai hari pertama kebuntingan. Mencit betina dimatikan 96-98 jam pasca hCG dengan cara dislocatio cervicalis. Blastosis diperoleh dengan cara membilas (flushing) kedua kornua uterus dengan menggunakan spuit 1 cc yang berisi medium Modified Phosphat Buffered Saline (mPBS). Selanjutnya embrio dicuci sebanyak tiga kali di dalam larutan mPBS (Hogan et al. 1994). Kultur Blastosis Secara In Vitro Blastosis yang terkoleksi dimasukkan ke dalam 20 µl medium tetes pada cawan petri steril yang ditutupi dengan mineral oil. Medium yang dipakai adalah Tissue Culture Medium (TCM 199 Gibco-BRL) yang diberi gentamicin 50 µg/ml medium, New Born Calf Serum (NBCS) 20%. Proses kultur dilakukan di dalam inkubator CO2 5% pada suhu 37°C selama 24-48 jam sampai blastosis mengalami nidasi. Blastosis yang gagal nidasi dan masih hidup dibantu proses nidasinya dengan menggunakan enzim pronase 0,05% (Sigma, USA). Kultur selanjutnya dilakukan dengan menggunakan Dubellco’s Modified Eagles’ Medium (DMEM Gibco-BRL) yang ditambahkan 50µg/ml gentamicin, NBCS 20%, 1µl/ml ITS (kandungan insulin 5µg/ml, tranferin 10µg/ml, selenium 5µg/ml; Sigma St Louis USA) dan ß-mercaptoethanol 14,3 mM (Sigma St Louis USA). Kultur dilakukan tidak menggunakan feeder layer dari maternal sehingga embrio dapat dianalisa secara spesifik. Blastosis dikultur selama 10 hari sampai sel-sel trofoblas membentuk monolayer. Pengukuran Pertumbuhan (Outgrowth) Sel-Sel Trofoblas Sel-sel trofoblas dalam medium kultur in vitro akan tumbuh dan melakukan penjuluran ke arah eksternal (outgrowth). Pengukuran areal pertumbuhan sel-sel trofoblas menggunakan eyespiece micrometer dengan mengukur panjang pertumbuhan sel-sel trofoblas mulai dari batas luar ICM sampai batas luar sel trofoblas dibawah mikroskop inverted cahaya. Morfologi Sel Trofoblas yang Berdiferensiasi Pengamatan morfologi sel-sel trofoblas yang mengalami diferensiasi dilakukan dengan pewarnaan Giemsa sebagai berikut: Preparat monolayer sel-sel trofoblas direndam dalam metanol selama 30 menit. Selanjutnya diwarnai dengan Giemsa selama 10- 15 menit dan dibilas dengan akuades sebanyak tiga kali selama lima menit, dan diperiksa dibawah mikroskop cahaya (Kiernan 1990). Aktivitas NADH- CoQ Reductase dengan Pewarnaan Histokimia Aktivitas NADH-CoQ reductase dideteksi dengan pewarnaan histokimia yang dilihat dari aktivitas NADH-tetrazolium reductase berdasarkan metode Malik et al (2000) dengan modifikasi. Pemeriksaan aktivitas NADH- TR secara histokimia: a. Monolayer sel-sel blastosis diinkubasi pada suhu 37°C, dalam campuran pereaksi yang terdiri dari: 0,2 mol/L buffer fosfat (pH 7,4) yang mengandung 0,1 mol/L sodium laktat, 0,1% laktat dehydrogenase (LDH; Boehringer Mannheim), 0,5 mg/ml NAD (Boehringer Mannheim) dan 0,5 mg/ml nitroblue tetrazolium (NBT; Boehringer Mannheim), selama 60 menit dalam suasana gelap. b. Reaksi enzim NADH-tetrazolium reductase dihentikan dengan mencuci kultur monolayer sel dengan buffer fosfat 0,05 mol/L. NADH-TR akan mengubah NBT yang tidak berwarna menjadi produk reduksi yang berwarna biru. Pengamatan dilakukan terhadap intensitas perbedaan warna biru diantara tiga kelompok perlakuan. Penilaian aktivitas NADH-TR dilakukan berdasarkan pengamatan intensitas warna biru dari nitroblue tetrazolium pada sel-sel trofoblas yakni: (1) biru tua (2) biru (3) biru muda (4) tidak berwarna biru Warna biru tua yang ditimbulkan menggambarkan bahwa fungsi mitokondria pada sistem transpor elektron dalam kondisi sangat baik. Bila tidak atau sangat sedikit menghasilkan warna biru menggambarkan adanya gangguan atau disfungsi pada mitokondria terutama pada sistem transpor elektron khususnya kompleks I (NADH-CoQ reduktase) dalam membentuk energi. Distribusi Mitokondria Sel-Sel Trofoblas Secara Imunositokimia Aktivitas mitokondria dalam melakukan apoptosis pada sel-sel trofoblas dideteksi dengan imunositokimia terhadap mitokondria dengan melihat pola distribusi mitokondria pada sel-sel trofoblas. Imunositokimia terhadap mitokondria pada sel-sel trofoblas dilakukan dengan prosedur sebagai berikut: Preparat monolayer sel-sel trofoblas dicuci menggunakan PBS pH 7,4 satu kali selama lima menit. Dilanjutkan dengan bloking endogenous peroksida menggunakan 3% H2O2 selama 20 menit. Setelah itu preparat dicuci dengan PBS pH 7,4 tiga kali masing-masing selama lima menit. Kemudian preparat monolayer sel-sel trofoblas dilakukan bloking unspesifik protein menggunakan 5% FBS yang mengandung 0,25% Triton X-100, dicuci dengan PBS pH 7,4 tiga kali masingmasing selama lima menit. Preparat monolayer sel-sel trofoblas diinkubasi menggunakan mouse monoklonal anti mitokondria semalam pada suhu 4 °C. Selanjutnya preparat monolayer sel-sel trofoblas dicuci menggunakan PBS pH 7,4 tiga kali masing-masing selama lima menit. Setelah itu diinkubasi menggunakan anti mouse conjugated selama satu jam pada suhu ruang. Preparat monolayer selsel trofoblas dicuci dengan PBS pH 7,4 tiga kali masing-masing selama lima menit, kemudian diinkubasi menggunakan SA-HRP (Strep-Avidin Horse Radis Peroxidase) selama 40 menit dan dicuci dengan PBS pH 7,4 tiga kali, masingmasing selama lima menit. Preparat monolayer sel-sel trofoblas ditetesi dengan DAB (Diamino Benzidine) dan inkubasi selama 10 menit, kemudian dicuci dengan PBS pH 7,4 tiga kali, masing-masing selama lima menit. Setelah itu dilakukan pewarnaan menggunakan Mayer Hematoxilin yang diinkubasi selama 10 menit dan dicuci dengan akuades, kemudian diperiksa dibawah mikroskop cahaya (Kiernan 1990). Analisis Data Data tingkat nidasi blastosis dan perlekatan, pertumbuhan (outgrowth) serta aktivitas NADH-CoQ reductase sel-sel trofoblas diuji dengan analisis keragaman dan dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) menggunakan software Statistic Analyses System (SAS 2000). Data morfologi sel-sel trofoblas yang mengalami diferensiasi dan pola distribusi mitokondria sel-sel trofoblas dianalisis secara deskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkat Kegagalan Nidasi dan Perlekatan Sel-Sel Trofoblas dalam Kultur In Vitro Nidasi merupakan suatu proses keluarnya blastosis dari zona pelusida yang membungkusnya. Proses nidasi diawali dengan adanya penambahan ukuran blastosul, pertambahan jumlah sel-sel trofoblas dan inner cell mass (ICM), yang selanjutnya berdampak pada semakin besarnya tekanan hidrostatik dari dalam embrio ke arah zona pelusida dan menyebabkan zona pelusida tersebut semakin menipis (Dey et al. 2004). Secara alamiah blastosis mencit akan nidasi pada hari kelima setelah fertilisasi, tetapi tidak semua blastosis dapat nidasi dalam waktu yang sama. Pada mencit dan tikus terdapat embrio yang terlambat implantasi (delay implantation). Hal ini disebabkan endometrium belum siap menerima embrio sehingga pada peristiwa tersebut embrio mengalami dorman namun metabolisme embrio tetap berjalan sampai embrio mempunyai energi yang cukup untuk proses nidasi, proliferasi dan pertumbuhan sel-sel trofoblas (Dey et al. 2004; Lee & Demayo 2004). Hasil pengamatan terhadap 99 blastosis yang dikultur dalam TCM 199 menunjukkan kecepatan nidasi yang berbeda, yaitu terdapat blastosis yang nidasi dalam waktu 24 dan 48 jam masing-masing sebesar 28% dan 17%, tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Namun jumlah kedua kelompok perlakuan tersebut (24 dan 48 jam) menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan dengan blastosis yang mengalami gagal nidasi sebanyak 55%. Blastosis yang gagal nidasi dibantu keluar dari zona pelusida menggunakan pronase 0,05% sehingga sel-sel trofoblas dapat melekat pada dasar cawan petri. Akan tetapi, blastosis yang nidasi tidak semuanya dapat melakukan perlekatan (attachment). Hasil pengamatan terhadap 28 blastosis nidasi dalam waktu 24 jam yang mampu melekat sebanyak 15 (54%) embrio, sedangkan 17 blastosis yang nidasi dalam waktu 48 jam sebanyak 7 (41%) embrio (Tabel 1). Hal ini menunjukkan bahwa walaupun secara morfologi blastosis yang dikultur memiliki kualitas sama, namun setelah kultur in vitro menunjukkan viabilitas yang berbeda. Tabel 1 Persentase perkembangan blastosis ke tahap nidasi dan perlekatan pada dasar cawan petri dalam kultur in vitro Jumlah blastosis (persentase) Waktu nidasi Jumlah blastosis Nidasi Perlekatan Gagal melekat 24 jam 28(28)a 15(54)a 13(46)a 48 jam 99 Gagal nidasi 17(17)a 10(59)a 7(41)a 54(55)b 12(22)b* 42(78)b * Setelah perlakuan dengan pronase 0.05%. Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05). Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan dari kualitas organel-organel yang terkandung dalam sel-sel embrio yang tidak tampak secara morfologi dibawah mikroskop cahaya. Salah satu organel yang terkait dengan kemampuan proses nidasi adalah mitokondria sebagai sumber energi ATP. Energi (ATP) sangat diperlukan dalam proses nidasi blastosis dan implantasi dalam jumlah yang tinggi (Balaban et al.2002; Blerkom et al.2006). Semakin banyak energi yang tersedia maka blastosis dapat memberikan tekanan yang besar terhadap zona pelusida sehingga menyebabkan zona pelusida menjadi tipis dan elastis dan embrio dapat dengan mudah keluar. Kegagalan perlekatan (attachment) sel-sel trofoblas kemungkinan dapat disebabkan oleh kegagalan sel dalam memproduksi bahan-bahan yang memperantarai interaksi embrio dengan endometrium, misalnya integrin dan chaderin (Glass et al. 1983). Namun demikian hal ini perlu dibuktikan lebih lanjut. Pertumbuhan dan Diferensiasi Sel-Sel Trofoblas dalam Kultur In Vitro Proses implantasi dalam uterus akan terjadi apabila blastosis mengalami nidasi, kemudian sel-sel trofoblas melakukan perlekatan (adhesi) pada dinding endometrium. Sel-sel trofoblas akan berproliferasi dan berdiferensiasi agar dapat masuk (infiltrasi) dan invasi di dalam endometrium. Dalam lingkungan in vitro proses implantasi juga diawali dengan blastosis nidasi, diikuti dengan sel-sel trofoblas melekat (attachment) pada dasar cawan petri (substrat), kemudian sel-sel trofoblas akan berproliferasi dan tumbuh kearah luar dari inner cell mass (ICM) atau outgrowth dan membentuk monolayer. Semakin banyak sel-sel trofoblas yang berproliferasi maka luasan pertumbuhan sel-sel trofoblas akan semakin luas. Proses ini mirip dengan invasi pada sistem in vivo. Pertumbuhan sel-sel trofoblas pada kultur in vitro meluas dengan bentuk radial dan tidak simetris serta condong meluas pada bagian sisi tertentu. Peristiwa tersebut mirip dengan proses sel-sel trofoblas masuk ke dalam endometrium (Gambar 7). a b c d Gambar 8 Pertumbuhan sel-sel trofoblas didalam medium kultur in vitro. (a) Hari ke-2, (b) Hari ke-5, (c) Hari ke-7 dan (d) Hari ke-10. Tanda panah menunjukkan arah pertumbuhan sel-sel trofoblas dalam bentuk monolayer yang tidak beraturan. Bar: 100µm. Kemampuan pertumbuhan sel-sel trofoblas dari blastosis nidasi dan gagal nidasi sangat berbeda yang ditunjukkan oleh rataan pertumbuhan sel-sel trofoblas. Hasil pengukuran pada hari ke-10 kultur menunjukkan bahwa rataan pertumbuhan sel-sel trofoblas yang dihasilkan oleh blastosis nidasi dalam 24 jam mencapai 652,6 ± 306 µm, berbeda nyata (P < 0,05) dengan blastosis yang nidasi dalam 48 jam dan gagal nidasi, masing-masing 322,9 ± 87µm dan 180,2 ± 60 µm (Tabel 2). Hal ini menunjukkan bahwa kegagalan nidasi yang terjadi pada individu blastosis juga berkaitan erat dengan kemampuan pertumbuhan sel khususnya sel-sel trofoblas. Tabel 2 Rataan pertumbuhan sel-sel trofoblas Waktu nidasi (jam) 24 48 Gagal nidasi Jumlah blastosis Rataan ± SB (µm) 15 10 12 652.6± 306a 322.9 ± 87b 180.2 ± 60 c Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05) Pertumbuhan sel-sel trofoblas dapat dijadikan indikasi dalam menentukan keberhasilan proses implantasi. Semakin luas pertumbuhan sel-sel trofoblas menunjukkan kemampuan invasi sel-sel trofoblas yang tinggi. Invasi sel-sel trofoblas penting untuk membentuk anchoring vili yang menjadi perantara hubungan antara maternal dan fetus (Jauniaux et al. 2003; Horse et al.2004; James et al. 2005). Sel-sel trofoblas merupakan bagian penyusun plasenta yang terdiri dari berbagai tipe sel hasil diferensiasi sel trofoblas. Sel trofoblas pertama kali berdiferensiasi menjadi sitotrofoblas. Selanjutnya sitotrofoblas berproliferasi dan melakukan fusi dengan sesamanya menjadi sinsitiotrofoblas. Selain itu, sitotrofoblas juga berdiferensiasi menjadi giant trophoblast cell dan spongiotrofoblas. Pada manusia dan mencit, diakhir kebuntingan sel-sel trofoblas berdiferensiasi menjadi sel glikogen yang berperan sebagai penyimpanan energi (Horse et al. 2004: Hashash et al. 2004). Secara morfologi sel-sel trofoblas mempunyai variasi bentuk, yaitu sel dengan satu nukleus yang disebut sitotrofoblas. Sel ini bersifat invasif dan proliferatif. Sedangkan sinsitiotrofoblas mempunyai morfologi dengan banyak nukleus (dua atau lebih) dan didalamnya terdapat nukleolus yang banyak. Sinsitiotrofoblas bersifat invasif tetapi tidak proliferatif. Selain itu, terdapat sel yang memiliki satu nukleus dengan ukuran besar disebut giant trophoblast cell. Giant trophoblast cell mempunyai karakteristik yang khas yaitu tidak invasif. Spongiotrofoblas mempunyai morfologi mirip sitotrofoblas dan mempunyai vakuola yang banyak. Sedangkan sel glikogen trofoblas mempunyai banyak granul dalam sitoplasmanya (Parast et al. 2001) (Gambar 8). b d c a Gambar 9 Morfologi sel-sel trofoblas yang telah mengalami diferensiasi. (a) Sitotrofoblas, (b) Trophoblast Giant Cell (TGC), (c) Sinsitiotrofoblas, (d) Spongiotrofoblas. Pewarnaan Giemsa. Bar: 100µm. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat perbedaan kemampuan diferensiasi antara blastosis yang nidasi (24 dan 48 jam) dengan blastosis yang gagal nidasi. Pada blastosis nidasi (24 dan 48 jam ) ditemukan sekitar 50% sitotrofoblas, 30% sinsitiotrofoblas dan 15% spongiotrofoblas dari jumlah total sel yang berdiferensiasi. Sedangkan blastosis yang gagal nidasi mempunyai kemampuan berdiferensiasi yang rendah, ditunjukan dari hasil pengamatan terhadap monolayer sel trofoblas yang mengalami diferensiasi menjadi sinsitiotrofoblas sekitar 10-30%, selebihnya berdiferensiasi menjadi sitotrofoblas serta tidak ditemukan spongiotrofoblas dan glikogen trofoblas (Babawale et al. 2002; James et al. 2005). Diferensiasi sel-sel trofoblas penting dalam mempertahankan kebuntingan. Sinsitiotrofoblas berfungsi sebagai tempat pertukaran nutrisi dari maternal ke fetus, metabolisme dan sintesis hormon steroid dan peptida yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan fetus, seperti human Chorionic Gonadotrophin (hCG). Selain itu sinsitiotrofoblas juga menghasilkan ß1- glycoprotein spesifik, plasminogen activator inhibitor tipe 2, growth hormone, collagenase, thrombomodulin dan reseptor-reseptor growth factor (Hashash et al. 2004; Nadra et al. 2006; Lunghi et al. 2007). Giant trophoblast cell penting dalam menghasilkan metalloproteinase dan mensintesis beberapa kelompok plasental prolactin termasuk placental lactogen (PL)-I, PL-II dan proliferin yang penting dalam mempertahankan korpus luteum selama kebuntingan dan menstimulasi produksi progesteron yang penting untuk perkembangan kelenjar susu dan laktasi. Sel TGC melakukan proses endoreduplikasi, seperti melanjutkan sintesis DNA tanpa pembelahan sel (Hashash et al. 2004 ; Nadra et al. 2006; Lunghi et al.2007). Aktivitas NADH-CoQ Reduktase Sel-Sel Trofoblas Pada perkembangan embrio dari blastosis sampai pasca implantasi, terjadi peningkatan kebutuhan energi (ATP). Energi yang diambil berasal dari hasil fosforilasi oksidasi. Energi (ATP) yang dihasilkan dari reaksi fosforilasi oksidasi lebih banyak dibandingkan dengan glikolisis atau siklus krebs (Gardner et al. 2002). Dalam proses pembentukkan energi pada fosforilasi oksidasi diperlukan substrat yang berasal dari salah satu produk siklus asam sitrat (siklus Kreb), yaitu nicotinamide adenin dinucleotide dehydrogenase (NADH) yang berfungsi sebagai substrat pada reaksi transduksi energi dalam sistem rantai transpor elektron (RTE) atau fosforilasi oksidasi. Pelepasan energi NADH terjadi secara bertahap dengan melibatkan enzim-enzim seperti NADH-CoQ reduktase pada kompleks I. Hasil identifikasi secara histokimia terhadap aktivitas enzim NADH-CoQ reduktase pada sel-sel trofoblas menunjukkan perbedaan intensitas warna yang nyata (P < 0,05) antara blastosis yang nidasi 24 dan 48 jam dengan blastosis gagal nidasi (Tabel 3). Hasil pengamatan terhadap 15 blastosis yang nidasi pada 24 jam kultur dan 10 blastosis yang nidasi pada 48 jam kultur menunjukkan intensitas warna biru tua (skor 3) (100%). Disisi lain, 11 dari 12 blastosis yang gagal nidasi (91,67 %) tidak menunjukkan intensitas warna biru (skor 0) dan hanya satu blastosis (0,08 %) menunjukkan intensitas warna biru muda (skor 1) (Gambar 9). Tabel 3 Hasil pewarnaan histokimia terhadap aktivitas NADH-tetrazolium reduktase Intensitas warna biru Jumlah (Skor) Rata-rata skor Waktu nidasi blastosis 3 2 1 0 24 jam 15 15 0 0 0 3.0a 48 jam 10 10 0 0 0 3.0a Gagal nidasi 12 0 0 1 11 0.08b Superscript yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata ( P < 0.05). Skor 3: Biru tua, 2: Biru, 1: Biru muda, 0: tidak berwarna biru. Berdasarkan hasil tersebut menunjukkan bahwa aktivitas NADH-CoQ reduktase pada sel-sel trofoblas blastosis yang nidasi lebih tinggi dibandingkan dengan blastosis gagal nidasi. Hal ini berarti bahwa sel-sel trofoblas dari blastosis gagal nidasi mengalami gangguan atau disfungsi mitokondria, terutama dalam proses pembentukkan energi (sistem transpor elektron atau fosforilasi oksidasi). Lunghi et al. (2007) menyatakan bahwa produksi energi yang kurang pada awal implantasi dapat menghambat proliferasi dan diferensiasi sel-sel trofoblas. a b Gambar 10 Aktivitas NADH-CoQ reduktase pada monolayer sel-sel trofoblas (a) sel-sel trofoblas yang dihasilkan oleh blastosis yang nidasi pada 24 jam kultur (biru tua), (b) sel-sel trofoblas yang dihasilkan oleh blastosis yang gagal nidasi (tidak berwarna). Bar: 100µm. Pembentukkan energi (ATP) dalam mitokondria pada sistem transpor elektron atau fosforilasi oksidasi sangat tergantung pada aktivitas enzim-enzim yang terdapat dalam matriks mitokondria, misalnya enzim NADH-CoQ reduktase. Adanya gangguan pada komponen kunci rantai transpor elektron yaitu pada kompleks I (NADH-CoQ reduktase) dapat mengakibatkan terganggu atau tidak terbentuknya elektron sehingga energi (ATP) tidak dapat dihasilkan dengan efisien dan dapat mengganggu fisiologis sel. Selanjutnya mengakibatkan sel mengalami lisis atau apoptosis sehingga sel tidak dapat tumbuh dan berdiferensiasi ke proses selanjutnya (Dimauro dan Schon 2003; Klobuear dan Gorup 2004; Blerkom 2004). Pola Distribusi Mitokondria pada Sel-Sel Trofoblas Sel-sel trofoblas untuk dapat proliferasi dan berdiferensiasi menjadi sitotrofoblas dan sinsitiotrofoblas memerlukan ATP yang dihasilkan oleh mitokondria yang tersebar dalam sitoplasma sel-sel trofoblas. Semakin banyak ATP yang dibutuhkan maka semakin banyak pula jumlah mitokondria yang terdistribusi di sekitar nukleus sel-sel trofoblas (Nagai et al. 2006). Lokasi distribusi mitokondria dapat menentukan kondisi perkembangan sel. Mitokondria akan berdistribusi secara normal disekitar nukleus sehingga energi yang dihasilkan oleh ATP dapat langsung dimanfaatkan oleh nukleus dan organel lainnya untuk melakukan aktivitas (Nagai et al. 2006; Thouas et al. 2005). Hasil imunositokimia terhadap mitokondria pada sel-sel trofoblas dari blastosis nidasi dan gagal nidasi terdapat perbedaan pola distribusi mitokondria di sitoplasma sel-sel trofoblas. Pada sel-sel trofoblas yang nidasi mempunyai pola distribusi mitokondria yang homogen yaitu mitokondria tersebar secara merata disekitar nukleus, sedangkan pola distribusi mitokondria dari sel-sel trofoblas yang gagal nidasi yaitu heterogen, tidak tersebar merata tetapi mitokondria tersebar secara acak dan mengelompok pada satu tempat ( Gambar 10). a b Gambar 11 Pola distribusi mitokondria pada sel-sel trofoblas. (a) sel-sel trofoblas dari blastosis nidasi dengan jumlah mitokondria yang memadai dan distribusi homogen (tanda panah); (b) sel-sel trofoblas dari blastosis gagal nidasi dengan distribusi mitokondria yang mengelompok (kepala panah). Bar: 100 µm Pola distribusi mitokondria yang heterogen pada sel-sel trofoblas dari blastosis gagal nidasi mengindikasikan adanya gangguan distribusi energi (ATP) ke dalam nukleus sehingga nukleus kekurangan energi (ATP) yang diperlukan untuk menjalankan fungsinya, seperti proliferasi dan diferensiasi. Selain itu, pola distribusi mitokondria yang heterogen atau mengelompok dapat dijadikan sebagai indikasi sel akan atau mengalami apoptosis. Hal ini disebabkan dalam proses apoptosis melibatkan mitokondria. Sel yang mengalami apoptosis mempunyai energi (ATP) yang rendah atau menurun (Zess 2003). Dengan demikian ATP yang tersedia menjadi sedikit dan berdampak pada pertumbuhan dan aktivitas selsel trofoblas (Martinez et al. 1997). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Blastosis dalam kultur in vitro mempunyai kemampuan nidasi yang berbeda, ditunjukkan dari hasil blastosis nidasi dalam waktu 24 jam dan 48 jam lebih rendah dibandingkan dengan blastosis yang gagal nidasi yang menyebabkan tingkat perlekatan sel-sel trofoblas juga rendah. 2. Sel-sel trofoblas dari blastosis yang nidasi dalam kurun waktu 24 jam dan 48 jam secara nyata memiliki kemampuan pertumbuhan dan diferensiasi yang lebih baik dibandingkan blastosis gagal nidasi. 3. Aktivitas NADH-CoQ reduktase dari blastosis yang nidasi dalam waktu 24 jam dan 48 jam secara nyata lebih tinggi dari blastosis gagal nidasi. 4. Sel-sel trofoblas dari blastosis yang nidasi dalam waktu 24 jam dan 48 jam memiliki pola distribusi mitokondria yang homogen disekitar nukleus dibandingkan dengan blastosis yang gagal nidasi yang berkelompok secara heterogen. 5. Rendahnya aktivitas NADH-CoQ reduktase dan pola distribusi mitokondria abnormal (heterogen) mengakibatkan kemampuan pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel trofoblas rendah yang selanjutnya dapat berdampak pada kegagalan nidasi dan implantasi. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan feeder layer pada kultur in vitro sel-sel trofoblas untuk melihat interaksi antara maternal dengan sel-sel trofoblas terhadap aktivitas mitokondria dan pengaruh bahan-bahan metabolit terhadap perlekatan sel-sel trofoblas dengan endometrium DAFTAR PUSTAKA Acton BM, Jurisicova A, Jurisica I, Casper RF. 2004. Alterations in mitochondrial membrane potential during preimplantation stages of mouse and human embryo development. Mol Hum Reprod. 10 (1) : 23-32. Aplin JD, Kimber SJ. 2004. Trophoblast-uterine interactions at implantantion. Reprod Biol Endocrinol. 2: 48 doi: 10.1186/1477-7827-2-48. Babawale MO, Mobberley MA, Ryder TA, Elder MG, Sullivan MHF.2002. Ultrastructure of the early human feto-maternal interface co-cultured in vitro. Hum Reprod. 17(5): 1351-1357. Balaban B et al.2002. A comparison of four different techniques of assisted hatching. Hum Reprod . 17(5): 1239-1243. Blerkom JV. 2004. Mitochondria in human oogenesis and preimplantation embryogenesis: engines of metabolism, ion regulation and developmental competence. Reproduction. 128: 269-280. Blerkom JV, Cox H, Davis P. 2006. Regulatory roles for mitochondria in the peri-implantation mouse blastocyst: possible origins and developmental significance of differential. Reproduction 131: 961–976. Brookes PS et al. 2004. Calcium, ATP, and ROS: a mitochondrial love-hate triangle. Am J Physiol Cell Physiol. 287: C817-C833. Campbell NA, Reece JB, Mitchell LG. 2002. Biologi. Jakarta. Erlangga Cartwright JE et al. 2002. Trophoblast invasion of spiral arteries: A novel in vitro model. Placenta. 23: 232–235. Collins et al. 2005. ESHRE capri workshop group: Fertility and ageing. Hum Reprod. 11(3): 261–276. Cummins JM.2001. Mitochondria: Potential roles in embryogenesis and nucleocytoplasmic transfer. Hum Reprod. 7 (2): 217-228. Davidson M W.2006. Mitochondria. Molecular expression. http://www.microscopy.fsu.edu/cells/animals/mitochondria.html. 26 november 2006. Dey SK et al. 2004. Molecular cues to implantation. Endocrine Reviews. 25(3): 341-373. Dimauro S, Schon EA. 2003. Mitochondrial respiratory-chain desease. N Engl J Med. 348 (26): 2656-2668. Dominguez F, Ya´n˜ez-Mo M, Madrid SF, Simo´n C. 2005. Embryonic implantation and leukocyte transendothelial migration: different processes with similar players?. The FASEB Journal. 19. Fleming TP et al. 2004. Minireview: The embryo and its future. Biol Reprod. 71:1046-1054. Fong CY et al. 2001. Ultrastructural observations of enzymatically treated human blastocysts: zona-free blastocyst transfer and rescue of blastocysts with hatching difficulties. Hum Reprod.16(3): 540-546. Frendo FL et al. 2003. Direct involvement of HERV-W Env glycoprotein in human trophoblast cell fusion and differentiation. Mol Cell Biol. 23(10): 3566–3574. Gardner DK, Lane M, Schoolcraft WB. 2002.Physiology and culture of the human blastocyst. J Reprod Immun. 55:85-100. Glass RH et al. 1983. Degradation trophoblast of extracellular matrix by outgrowths: A model for mouse implantation. J Cell Biol. 96 : 1108-1116. Goetz MZ. 2002. Patterning of the embryo: the first spatial decisions in the life of a mouse. Development. 129:815-829. Gonzales DS. et al. 1996. Trophectoderm projections: a potential means for locomotion, attachment and implantation of bovine, equine and human blastocysts. Hum Reprod. 11 (12): 2739-2745. Grivennikova VG, Kapustin AN, Vinogradov AD. 2001. Catalytic activity of NADH-ubiquinone oxidoreductase (Complex I) in intact mitochondria. J. Biol Chemistry. 276 (12) : 9038–9044. Haig D. 1996. Placental hormones, genomic imprinting, and maternalfetal communication. J Evol Bid. 9: 357-380. Hardy K dan Spanos S. 2000. Growth factor expression and function in the human and mouse preimplantation embryo. J Endo. 172:221-236. Harun R. 2006. Cytotrophoblast stem cell lines derived from human embryonic stem cells and their capacity to mimic invasive implantation events. Hum Reprod. 21(6): 1349-1358. Harvey AJ, Kind KL, Thompson JG. 2002. Redox regulation of early embryo development. Reproduction. 123: 479-486. Hashash AHK El dan Kimber SJ. 2004. Trophoblast differentiation in vitro: establishment and characterisation of a serum-free culture model for murine secondary trophoblast giant cells. Reproduction. 128:53-71. Haupt S, Berger M, Goldberg Z, Haupt Y. 2003. Apoptosis – the p53 network. J Cell Sci. 166(20): 4077-4085. Hogan B, Beddington R, Costantini F, Lacy E.1994. Manipulating the mouse embrio: a laboratory manual. 2nd Ed. New York USA. Cold Spring Harbor Laboratory Press. Pp: 49 Horse KR et al. 2004. Trophoblast differentiation during embryo implantation and formation of the maternal-fetal interface J Clin Invest. 114:744-754. Hredzak et al. 2005. Influence of slow-rate freezing and vitrification on mouse embryos. Acta Vet. 74:23-27. Jauniaux E, Hempstock J, Greenwold N, Burton GJ. 2003. Trophoblastic oxidative stress in relation to temporal and regional differences in maternal placental blood flow in normal and abnormal early pregnancies. Am J Patho.162:115-125. James JL, Stone PR, Chamley LW. 2005. Cytotrophoblast differentiation in the first trimester of pregnancy: evidence for separate progenitors of extravillous trophoblasts and syncytiotrophoblast. Reproduction 130: 95-103. John JC. 2002. The trasmission of mitochondrial DNA following assisted reproductive techniques. Theriogenology. 57:109-123. Jones RL et al. 2006. Activin a and inhibin a differentially regulate human uterine matrix metalloproteinases: potential interactions during decidualization and trophoblast invasion. Endocrinology. 147 (2):724–732. Joswig A, Gabriel HD, Kibschull M, Winterhager E. 2003. Apoptosis in uterine epithelium and decidua in response to implantation: evidence for two different pathways. Reprod Biol Endocrinol. 1 (44):1477-7827. Kiernan JA. 1990. Histological and histochemical methods. 2nd Ed. New York USA. Pergamon Press. Pp:108; 345 Kimber SJ dan Spanswick C. 2000. Blastocyst implantation: The adhesion cascade. Cell & Develop Biol. 11: 77-92. Kliman HJ. 2000. Uteroplacental blood flow: the story of decidualization, menstruation, and trophoblast invasion. Am J Patho. 57:1759-1768. Klobuear NK dan Gorup M. 2004. Histochemical investigations of NADPH-and NADH-tetrazolium reductase Actvity in the Liver of Selenium annd Copper Treated Carp (Cyprinus carpio L.). Veterinarski Arhiv. 74 (5): 331-340. Lee KY dan DeMayo FJ. 2004. Animal models of implantation. Reproduction. 128: 679–695. Ludwig TE, Squirrell JM, Palmenberg AC, Bavister BD. 2001. Relationship between development, metabolism, and mitochondrial organization in 2-cell hamster embryos in the presence of low levels of phosphate1. Biol Reprod. 65: 1648–1654. Lunghi et al. 2007. Control of human trophoblast function. Reprod Biol Endo. 5:1477-7827. Malik S, Sudoyo H, Marzuki S. 2000. Microphotometric analysis of NADHtetrazolium reductase deficiency in fibroblast of patients with leber hereditary optic neuropathy. J Inherit Metab. 23:730-744. Martinez F, Kiriakidou M, Strauss JF.1997. Structural and functional changes in mitochondria associated with trophoblast differentiation: methods to isolate enriched preparations of syncytiotrophoblast mitochondria. Endocrinology. 138 (5). Nadra K et al. 2006. Differentiation of trophoblast giant cells and their metabolic functions are dependent on peroxisome proliferator-activated receptor ß/δ. Mol Cell Biol. 26:3266-3281. Nagai et al. 2006. Correllation of abnormal mitochondrial distribution in mouse oocytes with reduce developmental competence. J Exp Med. 210:137-144. Norwitz ER, Chust, JS, Fisher JF. 2001. Implantation and the survival of early pregnancy. N Engl J Med. 345(19). Osagie EE, Hooper L, Seif MW. 2003. The impact of assisted hatching on live birth rates and outcomes of assisted conception: a systematic review. Hum Reprod 18 (9): 1828-1835. Parast MM, Aeder S, Sutherland AE. 2001. Trophoblast giant-cell differentiation involves changes in cytoskeleton and cell motility. Dev Biol. 230: 43–60. Senger PL.1999. Pathways to pregnancy and parturition. Ed ke-1. Washington: Curent Conception Inc. Pp:222-246. Summers MC , Biggers JD. 2003. Chemically defined media and the culture of mammalian preimplantation embryos: historical perspective and current issues. Hum Reprod. 9 (6 ): 557-582. Straszewski-Chavez SL, Abrahams VM, Mor G. 2005. The role of apoptosis in the regulation of trophoblast survival and differentiation during pregnancy. Endocrine Reviews. 26 (7):877–897. Tamassia et al. 2004. In vitro embryo production effciency in cattle and its association with oocyte adenosine triphosphate content, quantity of mitochondrial DNA, and mitochondrial DNA haplogrup. Biol Reprod. 71:697–704. Tarin JJ, Albala SP, Cano S. 2000. Consequense on offspring abnormal function in ageing gamet. Hum Reprod. 6(6):532-549. Tayade C, Black GP, Fang Y, Croy BA.2005. Differential gene expression in endometrium, endometrial lymphocytes, and trophoblasts during successful and abortive embryo implantation. J Immunology. 0022-1767. Thouas GA, Trounson AO, Jones GM. 2005. Effect of female age on mouse oocyte developmental competence following mitochondrial injury. Biol Reprod. 73: 366-373. Trimachi RJ et al.2000. Oxidative phosphorylation-dependent and -independent oxygen consumption by individual preimplantation mouse embryos. Biol Reprod. 62: 1866-1874. Tsuzuki Y, Hisanaga M, Ashizawa K, Fujihara N. 2001. The effect of dimethyl – sulfoxide and sucrose as a cryoprotectant on the adenosine triphosphate and ultrastructure of bovine oocytes mature in vitro. J Anim Sci. 14 (10): 13531359. Turrens JF. 2003. Mitochondrial formation of reactive oxygen species. J Physiol. 552: 335-344. Vogel RO et al. 2005. Human mitochondrial complex I assembly is mediated by NDUFAF1. FEBS J. 272 : 5317–5326. Wang X. 2001. The expanding role of mitochondria in apoptosis. Gen & Develop. 15:2922–2933. Watson AL, Skepper JN, Jauniaux E, Burton GJ. 1998. Susceptibility of human placental syncytiotrophoblastic mitochondria to oxygen-mediated damage in relation to gestational age. J Clin Endo & Met. 83(5): 1697-1705. Zess CJ. 2005. The apoptosis-necrosis continuum: Insights from genetically altered mice. Vet Pathol .40:481–495. Zhang Q, Paria BC. 2006. Importance of uterine cell death, renewal, and their hormonal regulation in hamsters that show progesterone-dependent implantation. Endocrinology . 147(5):2215–2227. LAMPIRAN Lampiran 1 Komposisi medium koleksi blastosis (Phosphate Buffer Saline) Komponen Serbuk DPBS CaCl2.2H2O* MgSO4.7H2O* Gentamycin 50 µg/ml Fetal Bovine Serum (FBS) 0.5% Air MilliQ g/100 ml 0.96 0.0132 0.0121 100 µl 0.5 ml ~100 ml Catatan: Medium disterilisasi menggunakan filter dengan diameter 0.22 µm dan disimpan pada suhu 4 ºC sampai waktu digunakan. * Dilarutkan terpisah Lampiran 2 Komposisi medium Tissue Culture Medium (TCM 199) Komponen Serbuk TCM 199 NaHCO3 Serum (Newborn Calf Serum) NBCS Gentamycin 50 µg/ml Air MilliQ g/100 ml 0.99 0.22 10 ml 100 µl ~100 ml Catatan: Medium disterilisasi menggunakan filter dengan diameter 0.22 µm dan disimpan pada suhu 4 ºC sampai waktu digunakan. Lampiran 3 Komposisi medium Dubellco’s Modified Eagles’ Medium (DMEM) Komponen Serbuk DMEM NaHCO3 Serum (Newborn Calf Serum) NBCS 20% NEAA 10% ß-mercaptoethanol ITS (kandungan insulin 5µg/ml, tranferin 10µg/ml, selenium 5µg/ml) Gentamycin 50 µg/ml Air MilliQ g/10 ml 0.134 0.037 2 ml 10 µl 14,3 mM 10 µl 100 µl ~100 ml Catatan: Medium disterilisasi menggunakan filter dengan diameter 0.22 µm dan disimpan pada suhu 4 ºC sampai waktu digunakan. Lampiran 4 Analisis data Tingkat nidasi The GLM Procedure Dependent Variable: Waktu Pr > F Source DF Sum of Squares Mean Square F Value Model 2 349.2500000 174.6250000 34.28 Error 8 40.7500000 5.0937500 10 390.0000000 0.0001 Corrected Total Source R-Square Coeff Var Root MSE Waktu Mean 0.895513 25.07704 2.256934 9.000000 DF Type I SS Mean Square F Value 2 349.2500000 174.6250000 34.28 DF Type III SS Mean Square F Value 2 349.2500000 174.6250000 34.28 Pr > F Perlakuan 0.0001 Pr > F Source Perlakuan 0.0001 Tingkat nidasi The GLM Procedure t Tests (LSD) for Waktu NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Critical Value of t 0.05 8 5.09375 2.30600 Comparisons significant at the 0.05 level are indicated by ***. Difference Between Means Perlakuan Comparison NH NH A A B - A B NH B NH B - A 11.000 13.750 -11.000 2.750 -13.750 95% Confidence Limits 7.025 14.975 9.775 17.725 -14.975 -7.025 -0.930 6.430 -17.725 -9.775 -2.750 -6.430 *** *** *** *** 0.930 PERLEKATAN EMBRIO Dependent Variable: embrio Pr > Source F DF Sum of Squares Mean Square F Value Model 2 227.6388889 113.8194444 8.84 Error 6 77.2500000 12.8750000 Corrected Total 8 304.8888889 0.0163 Source R-Square Coeff Var Root MSE embrio Mean 0.746629 52.08641 3.588175 6.888889 DF Type I SS Mean Square F Value 2 227.6388889 113.8194444 8.84 DF Type III SS Mean Square F Value 2 227.6388889 113.8194444 8.84 Pr > F Perlakuan 0.0163 Source Pr > F Perlakuan 0.0163 Uji lanjut perlekatan embrio t Tests (LSD) for embrio NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha Error Degrees of Freedom Error Mean Square Critical Value of t 0.05 6 12.875 2.44691 Comparisons significant at the 0.05 level are indicated by ***. Difference Between Means Perlakuan Comparison NH NH B B A A - B A NH A NH B 10.500 10.750 -10.500 0.250 -10.750 -0.250 95% Confidence Limits 2.485 4.044 -18.515 -7.354 -17.456 -7.854 18.515 17.456 -2.485 7.854 -4.044 7.354 Outgrowth Tropoblas The GLM Procedure Class Level Information Class Perlakuan Levels Values 3 24jam 48jam No-hatc Number of observations 31 Dependent Variable: diametertropoblas Source Model Error Corrected Total DF 2 28 30 Sum of Squares 691627.862 2084383.937 2776011.799 Mean Square F Value Pr > F 345813.931 4.65 0.0181 74442.283 *** *** *** *** R-Square 0.249144 Source Perlakuan Coeff Var 61.86783 DF 2 Root MSE diametertropoblas Mean 272.8411 441.0065 Type III SS Mean Square F Value Pr > F 691627.8616 345813.9308 4.65 0.0181 Duncan's Multiple Range Test for diametertropoblas Alpha 0.05 Error Degrees of Freedom 28 Error Mean Square 74442.28 Harmonic Mean of Cell Sizes 6.774194 NOTE: Cell sizes are not equal. Number of Means 2 Critical Range 303.7 3 319.1 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping A B A B 549.7 279.9 179.4 Mean 20 7 4 N Perlakuan 24jam 48jam No-hatc