BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Abad

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Abad Pertengahan dalam bahasa Prancis disebut dengan Moyen-Âge atau
Médiévale yang berasal dari bahasa Latin medium aevum yang berarti era
pertengahan. Masa Abad Pertengahan berlangsung pada periode antara Zaman
Klasik (akhir masa lampau) sampai dengan Zaman awal Modern (Adams,
2007:4). Periode Abad Pertengahan di Eropa ditandai dengan masa jatuhnya
peradaban Romawi, yaitu pada akhir abad III hingga abad XVI, yaitu ketika
terjadi perpecahan dalam kekuasaan Gereja yang disusul dengan masa Revolusi
Prancis (Olla, 2008:61).
Masyarakat dalam Abad Pertengahan, terbagi dalam golongan-golongan
masyarakat yang memiliki kedudukan sosial yang berbeda-beda. Setidaknya
terdapat tiga golongan kelas sosial, yaitu golongan pejuang atau ksatria, golongan
petani, dan golongan rohaniawan. Pembagian strata inilah yang kemudian menjadi
kerangka kehidupan kerajaan Prancis selama berabad-abad (Lebrun & Carpentier,
2011:137). Adanya perbedaan kelas atau golongan yang telah disebutkan, pada
akhirnya menimbulkan ketimpangan dan kecemburuan sosial. Hal tersebut
disebabkan oleh perbedaan hak dan fasilitas yang mereka peroleh. Golongan atas
1
seperti rohaniawan dan ksatria mendapatkan hak-hak istimewa seperti seigneur1,
fief2, atau imunitas3. Sementara itu golongan bawah selalu dijadikan objek
penderita dan hidup dengan penuh kesengsaraan 4.
Abad Pertengahan yang juga disebut sebagai abad kegelapan ini,
didominasi oleh sebuah rezim kekuasaan yang sangat kuat, yaitu rezim gereja.
Segala aspek kehidupan diatur oleh gereja. Kekuasaan absolut yang dimiliki
gereja beserta otoritasnya menimbulkan sejumlah penyimpangan yang terjadi.
Para rohaniawan hidup dengan bergelimang harta dan selalu haus kekuasaan.
Uskup sebagai pemimpin gereja hidup layaknya raja. Gereja memiliki otoritas
penuh atas segala bidang kehidupan, termasuk mengontrol jalannya sistem hukum
dan politik pada masa itu. Otoritas gereja dapat menjatuhkan hukuman apapun
pada siapa saja, bahkan hukuman mati sekalipun. Para pemuka agama kerap
melakukan penyimpangan-penyimpangan, mulai dari korupsi, penjualan surat
pengampunan dosa, penyimpangan upacara sakramen suci, dan lain sebagainya
(Wongso, 2010: 76-79). Pastor sebagai bapak suci, kawin atau hidup bersama
perempuan di luar nikah. Sejumlah uskup merampas harta orang (Lebrun &
Carpentier, 2011:142). Berbagai penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh
gereja dan para pemuka agama lambat laun menimbulkan kritik dan
1
Bentuk kepemilikan harta tanah dan bangunan. Harta tersebut dapat dikelola langsung atau
diserahkan kepada petani untuk disewakan dengan memberikan pungutan iuran wajib. Pemilik
harta ini berasal dari komunitas keagamaan atau bangsawan, mereka berhak mengadili dan
mengawasi para petani yang menyewa tanah mereka.
2
Pemberian harta pemilik kepada bawaahannya untuk imbalan atas kewajiban yang telah ia
berikan. Pemberian tersebut berupa tanah atau kastil, kadang juga berupa hak atau pendapatan.
3
Hak istimewa yang dianugerahkan kepada komunitas tertentu, biasanya rohaniawan yang
memiliki tanah luas. Dengan hak ini, komunitas tersebut dibebaskan dari segala pengawasan yang
ada, seperti pajak, pengadilan, dsb.
4
Disarikan dari Jean Capentier & François Lebrun, Sejarah Prancis ( Jakarta:KPG, 2011).
2
pemberontakan. Protes terhadap ketidakadilan atau ketidakpuasan tersebut
dilakukan dengan berbagai macam cara, salah satunya melalui karya sastra.
Karya sastra adalah seni kreatif yang menggunakan manusia dan segala
macam kehidupannya, yang tidak saja merupakan suatu media untuk
menyampaikan suatu gagasan atau sistem berpikir, tetapi juga merupakan media
untuk menampung gagasan atau sistem berpikir manusia. Karya sastra dalam
pembuatan dan penciptaannya berhubungan erat dengan realitas kehidupan. Karya
sastra merupakan tanggapan penciptanya terhadap realitas sosial yang
dihadapinya. Dalam sebuah karya sastra terdapat pengalaman-pengalaman
subjektif penciptanya, pengalaman subjektif seseorang (fakta individu atau
libdinal), dan pengalaman sekelompok masyarakat atau fakta sosial (Sangidu,
2004: 41).
Di antara genre karya sastra, novellah yang dianggap paling dominan
dalam menampilkan unsur-unsur sosial. Hal tersebut dikarenakan beberapa alasan,
di antaranya: novel menampilkan unsur-unsur cerita yang paling lengkap,
memiliki media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan
yang juga paling luas, dan bahasa novel merupakan bahasa sehari-hari yang paling
umum digunakan dalam masyarakat (Ratna, 2004:335-336). Untuk itulah novel
kerap dijadikan alat untuk menyampaikan pesan atau aspirasi ketidakpuasan
terhadap suatu kondisi yang dianggap kurang benar dalam sebuah kehidupan
sosial. Meskipun demikian, cerita dalam novel tentu tidak sepenuhnya asli, hal
tersebut karena novel bersifat fiktif yang di dalamnya terdapat unsur-unsur
imajinasi. Salah satu novel yang memuat tentang kritik terhadap rezim kekuasaan
3
gereja pada masa Abad Pertengahan adalah novel Notre-Dame de Paris karya
Victor Hugo.
Victor Marie Comte Hugo lahir pada tanggal 26 Februari 1802, di
Besançon, Prancis. Seorang sastrawan besar Prancis yang memiliki prestasi. Ia
dianggap sebagai pelopor aliran romantisme 5. Selain dikenal sebagai sastrawan
besar, Victor Hugo juga dikenal sebagai aktivis dan kritikus. Dalam perjalanan
karirnya, ia kerap menentang kebijakan pemerintah terutama yang berhubungan
dengan hak asasi manusia dan keadilan. Ia juga menolak keras hukuman mati.
Akibat protes serta kritikan kerasnya terhadap pemerintah, ia diusir dan
diasingkan selama dua puluh tahun. Selama itu pula lah, ia menghasilkan
sejumlah karya sastra berupa puisi, drama, dan novel. Beberapa karya puisinya
seperti kumpulan puisi Odes et Poésies Diverses (1822) berhasil menarik simpati
publik. Kemudian disusul dengan Les Orientales (1828), Feuilles d’Automne
(1831), Les Voix Intérieurs (1828) dan Les Rayons et Les Ombres (1840).
Sejumlah drama yang telah ia hasilkan di antaranya adalah Cromwel (1827),
Hernani (1830), Le Roi S’amuse (1832), Marie Tudor (1833), dan Ruy Blas
(1838). Karya novelnya yang juga sangat populer di dunia adalah Notre-Dame de
Paris (1831) dan Les Misérables (1862). Tidak hanya novel saja, kumpulan
5
Sebuah aliran seni intelektual dari Eropa. Aliran ini muncul sebagai salah satu reaksi terhadap
revolusi industri yang ingin melepaskan diri dari norma-norma kebangsawanan yang mengekang
kebebasan berekspresi. Dalam karya sastra, aliran ini lebih menekankan ungkapan sebuah
perasaan sebagai dasar perwujudan pemikiran pengarang, sehingga pembaca dapat tersentuh
emosinya setelah membaca ungkapan perasaannya.
4
puisinya seperti Les Châtiments (1853), Les Contemplations (1856), dan La
Légende des Siècles (1859) juga berhasil menuai pujian publik6.
Beberapa karya Victor Hugo berisi tentang isu-isu politik dan sosial. Hal
tersebut tampak dalam salah satu karya novelnya yang berjudul Notre-Dame de
Paris, sebuah novel yang dianggap sebagai maha karya terpenting pada masa itu.
Novel Notre-dame de Paris ditulis pada tahun 1831, merupakan salah satu karya
yang sangat terkenal dan fenomenal dalam kesastraan Prancis. Novel tersebut juga
mendapat sambutan yang luar biasa di dunia. Hal tersebut terbukti dari munculnya
novel Notre-Dame de Paris yang telah dialihbahasakan ke dalam berbagai bahasa,
difilmkan sebanyak sepuluh kali versi layar perak, empat kali untuk versi televisi,
dan diadaptasi ke dalam sejumlah drama6.
Novel Notre-Dame de Paris merupakan sebuah novel sejarah yang berlatar
waktu Abad Pertengahan. Novel tersebut berisi tentang kritik sosial-keagamaan.
Beberapa tokoh dalam cerita, merepresentasikan kekuasaan dan penyimpangan
agama yang terjadi pada masa Abad Pertengahan. Dalam novel tersebut,
dideskripsikan bagaimana kemunafikan seorang petinggi gereja terhadap
kesalehannya, yang direpresentasikan ke dalam tokoh Claude Frollo. Paradoks
kesucian dan kealiman Claude Frollo sebagai Wakil Uskup disandingkan dengan
nafsu seksual yang besar terhadap Esmeralda, tokoh perempuan yang
digambarkan sangat mempesona. Sebagai seorang rohaniawan yang seharusnya
6
http://www.biography.com/people/victor-hugo-9346557 diakses pada 05/10/2013 10.20 am dan
http://www.notablebiographies.com/Ho-Jo/Hugo-Victor.html diakses pada 05/10/2013 10.33 am
5
menjaga kesuciannya dan jauh dari perempuan, ternyata tokoh Claude Frollo
melakukan tindakan-tindakan menyimpang seperti percobaan tindakan asusila.
Hal-hal yang dianggap tabu dan tidak mungkin untuk dilakukan oleh orang alim,
dalam novel ini justru dilukiskan sebaliknya.
Novel Notre-Dame de Paris, menyiratkan sindiran atas kekuasaan gereja
yang terjadi pada masa Abad Pertengahan. Hal tersebut dapat dilihat melalui
penggambaran tradisi La fête des Fous atau festival kaum dungu yang begitu
ironis. La fête des Fous merupakan sebuah festival yang sangat populer di Eropa,
khususnya Prancis pada Abad Pertengahan. Festival ini merupakan sebuah parodi
yang ditujukan kepada para petinggi gereja yang kerap berebut kekuasaan dengan
raja. Stereotip alim dan suci yang direpresentasikan para pemimpin agama beserta
institusinya, yakni gereja dalam novel Notre-Dame de Paris diceritakan dengan
begitu kasar dan berbanding terbalik dengan realitas umumnya.
Dapat diketahui berdasarkan latar belakang cerita Notre-Dame de Paris,
Hugo mengutarakan pandangan kritiknya terhadap situasi sosial-keagamaan pada
zaman itu dengan menggunakan media sastra yang berupa novel. Sastra adalah
lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai medium dan bahasa yang
digunakan merupakan ciptaan sosial. Sebuah karya sastra tidak begitu saja turun
dari langit (Damono, 1984:1). Selalu ada hubungan antara sastrawan, sastra, dan
masyarakat. Untuk itu, karya sastra kerap digunakan pengarang sebagai alat untuk
menyampaikan pesan dalam sebuah peristiwa yang tejadi dalam masyarakat.
6
1.2 Permasalahan
Novel digunakan pengarang sebagai alat untuk menyampaikan ide,
pandangan,
maupun
kritik
mengenai
berbagai
hal
dalam
kehidupan
bermasyarakat. Beberapa novel muncul dengan mengangkat tema-tema sosial
yang kerap menjadi polemik dalam masyarakat. Salah satu novel yang
mengangkat isu-isu sosial tersebut adalah novel Notre-Dame de Paris karya
Victor Hugo. Novel Notre-Dame de Paris merupakan sebuah novel sejarah yang
menggambarkan paradoks kekuasaan agama pada masa Abad Pertengahan, dalam
hal ini adalah kekuasaan gereja dan pemuka agama yang ada di dalamnya. Pada
umumnya, gereja adalah sebuah lembaga keagamaan yang dinilai sakral, suci,
terpercaya, dan jauh dari segala sesuatu yang bersifat negatif. Akan tetapi dalam
novel Notre-Dame de Paris, gereja dideskripsikan memiliki kekuasaan yang
cenderung bersifat semena-mena dan kerap menyalahgunakan kekuasaan kepada
pihak yang berada dalam kekuasaannya. Penyalahgunaan kekuasaan tersebut,
digambarkan pengarang dengan menggunakan teknik penceritaan dan gaya bahasa
yang unik. Teknik yang digunakan adalah teknik reflektif, yaitu suatu teknik
penggambaran cerita dengan mencerminkan kondisi sosial Abad Pertengahan
melalui sifat dan karakter tokoh dalam cerita. Untuk dapat memahami pesan yang
hendak disampaikan oleh pengarang, pembaca harus mengerti tentang teknik
reflektif tersebut.
Dalam mengungkapkan kritik mengenai kekuasaan agama pada Abad
Pertengahan, pengarang menggunakan sejumlah teknik dan gaya bahasa. Hal
tersebut juga digunakan pengarang sebagai cara untuk menyampaikan ide dan
7
pesan kepada pembaca. Teknik dan gaya bahasa yang digunakan pengarang dapat
mempermudah pembaca dalam memahami novel secara baik.
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang ditemukan dalam novel
Notre-Dame de Paris, dapat dirumuskan tiga masalah yang menjadi dasar
pembahasan penelitian ini.
1) Teknik yang digunakan pengarang dalam menyampaikan kritik beserta
fakta sosial dalam novel Notre-Dame de Paris.
2) Pengaruh penyimpangan kekuasaan agama yang terjadi pada Abad
Pertengahan dalam novel Notre-Dame de Paris.
3) Penggambaran kritik mengenai kekuasaan agama pada Abad
Pertengahan dalam novel Notre-Dame de Paris.
1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian
Terdapat dua tujuan dalam penelitian ini, yaitu tujuan teoritis dan tujuan
praktis. Tujuan teoritis adalah tujuan yang berkaitan dengan pengembangan ilmu
pengetahuan yang bersangkutan dengan teori yang digunakan, sedangkan tujuan
praktis adalah tujuan yang berkaitan dengan maksud suatu analisis.
Tujuan teoritis penelitian ini adalah menyajikan kondisi masyarakat
beserta pengaruhnya saat rezim gereja berlangsung pada masa Abad Pertengahan
8
dengan menerapkan teori sosiologi sastra Alan Swingewood, teori kekuasaan
Lord Acton, serta teori teokrasi St. Agustinus. Penelitian ini juga bertujuan untuk
mengembangkan
penelitian-penelitian
sebelumnya
mengenai
kritik
yang
berhubungan dengan teori-teori kekuasaan dalam menganalisis karya sastra.
Tujuan praktis penelitian ini dimaksudkan untuk dapat menjadi salah satu
referensi yang dapat digunakan sebagai alternatif pengetahuan dalam meneliti
tentang kekuasaan. Hal tersebut disadari karena konsep mengenai kekuasaan
begitu luas dan beragam, sehingga teori-teori yang diterapkan dalam penelitian ini
dapat dijadikan sebagai tambahan khasanah pengetahuan.
1.5. Tinjauan Pustaka
Sebelum penelitian ini dilakukan, salah satu tahap yang harus dilalui ialah
melakukan tinjauan atau studi pustaka terhadap objek material penelitian yaitu
novel Notre-Dame de Paris serta objek formal penelitian, yaitu kekuasaan. Hal ini
dilakukan untuk menghindari plagiarisme dalam sebuah penelitian. Selain itu, hal
tersebut juga dimaksudkan untuk mengetahui topik-topik apa yang sudah pernah
diangkat dalam penelitian-penelitian sebelumnya.
Berdasarkan hasil pencarian dan pengamatan, penelitian dengan
menggunakan novel Notre-Dame de Paris sebagai objek material, sudah pernah
dilakukan oleh mahasiswa S1 di lingkungan UGM sebelumnya. Berikut beberapa
penelitian yang sudah pernah diteliti sebelumnya.
9
Pada tahun 2010, Retno Dewanti melakukan penelitian dengan judul
Makna Simbolik Tindakan Kekerasan dalam Notre-Dame de Paris. Penelitian ini
memfokuskan pada bentuk-bentuk kekerasan yang diterima tokoh wanita dalam
novel tersebut yaitu Esmeralda. Kemudian pada tahun 2011, Olav Iban juga
melakukan penelitian terhadap novel ini dengan judul Aspek Arsitektur dan
Pengaruh Psikologis dalam Novel Notre-Dame de Paris Karya Victor Hugo
Analisis Psikologi Sastra. Pada penelitian ini, diungkapkan bagaimana suatu
bangunan dapat mempengaruhi kejiwaan orang yang tinggal di dalamnya dengan
melihat dari aspek psikologi arsitekturnya; kepribadian, arketipe, anatomi fisik,
dan karakter gender salah satu tokoh laki-laki yang bernama Quasimodo.
Selanjutnya di tahun 2012, Nurma Dwi Aprilia menulis sebuah skripsi yang
berjudul Resistensi dalam Novel Notre-Dame de Paris Karya Victor Hugo :
Tinjauan Feminisme. Penelitian ini membicarakan tentang bagaimana bentuk
ketidakadilan gender dapat menimbulkan sebuah perlawanan atau resistensi bagi
setiap manusia. Dari ketiga penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa
penelitian lebih membahas pada aspek-aspek tokoh beserta konflik yang ada pada
diri masing-masing tokoh.
Dari
segi
objek
formal
mengenai
kekuasaan,
penelitian
yang
menggunakan objek formal ini juga sudah pernah dilakukan. Pada tahun 2011,
Ukhti Maryam Jamilah melakukan penelitian yang berjudul Simbolisasi dan
Kekuasaan Perempuan dalam Film 8 Femmes. Penelitian ini membicarakan
kekuasaan perempuan terhadap laki-laki dan kekuasaan perempuan terhadap
10
perempuan. Teori kekuasaan yang digunakan adalah teori kekuasaan dari Foucault
yang dipadukan dengan teori kekuasaan Hannah Arendt.
Pada tahun 2012, Faisal Amin Bukhori juga melakukan penelitian
mengenai kekuasaan yang berjudul Relasi Kekuasaan dalam Novel Les Trois
Mousquetaires Karya Alexandre Dumas. Digunakan teori Legitimate Power dari
French and Raven serta teori Social Dominance Orientation sebagai landasan
teorinya. Penelitian tersebut menjelaskan bagaimana relasi, bentuk-bentuk, serta
dominasi kekuasaan yang dilakukan oleh tokoh kardinal dalam novel Les Trois
Mousquetaires.
Dari pengamatan hasil tinjauan pustaka yang telah dilakukan, dapat ditarik
kesimpulan bahwa penelitian terhadap novel Notre-Dame de Paris memang sudah
beberapa kali dilakukan. Hal ini tidak mengherankan mengingat novel NotreDame de Paris merupakan novel klasik yang sangat populer dan memiliki cerita
yang sangat kompleks yang dapat banyak diteliti dan dikaji dengan berbagai
macam aspek pendekatan. Hal yang membedakan penelitian ini dengan
penelitian-penelitian sebelumnya adalah penelitian ini lebih melihat hubungan
novel Notre-Dame de Paris dengan aspek kemasyarakatannya jika dilihat dengan
kaca mata sosiologi sastra.
11
1.6. Landasan Teori
Dalam sebuah penelitian, diperlukan adanya sebuah landasan kerja berupa
teori. Teori merupakan hasil perenungan yang mendalam, tersistem, dan
terstruktur terhadap gejala-gejala alam yang berfungsi sebagai pengarah terhadap
kegiatan penelitian. Teori berhubungan dengan masalah dalam penelitian dan
bertujuan mencari jawaban secara ilmiah (Chamamah-Soeratno, 2011:65-67).
Untuk itu, penelitian ini akan menggunakan teori sosiologi sastra Alan
Swingewood, teori kekuasaan Lord Acton, serta teori Teokrasi St.Agustinus,
sebagai landasan dalam menganalisis permasalahan yang ada pada novel NotreDame de Paris.
1.6.1. Teori Sosiologi Sastra Alan Swingewood
Adanya kehidupan sosial memicu lahirnya sebuah karya sastra, karena
sebuah karya sastra tidak begitu saja turun dari langit (Damono, 1984:1). Selalu
ada hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Sosiologi sastra melihat
bahwa sastra bersifat reflektif, yakni sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat.
Seperti pendapat Glickberg, “all literature, however fantastic or mystical in
content, is animated by a profound social concern, and this is true of even the
most flagrant nihilistic work” (Glickberg, 1967:75). Pendapat tersebut
mengartikan bahwa seperti apa bentuk karya sastra baik fantastis maupun mistis,
tetap akan besar perhatiannya terhadap fenomena sosial. Dapat dikatakan karya
tersebut tetap menampilkan peristiwa atau kejadian yang ada di masyarakat.
12
Penelitian sosiologi sastra meyakini bahwa sastra adalah ekspresi
kehidupan manusia yang tidak lepas dari akar masyarakatnya, sehingga sastra
merefleksikan lingkungan sosial budaya pengarang dengan situasi sosial yang
membentuknya, kemudian dikembangkanlah dalam karya sastra tersebut
(Endraswara, 2004:78). Itulah sebabnya penelitian sosiologi sastra banyak
mengasumsikan bahwa teks sastra dapat dikatakan menjadi sebuah pantulan
zaman, karena isi karya sastra tersebut terbentuk oleh situasi sosial suatu periode
tertentu, meskipun selalu ada aspek imajinasi dan manipulasi dalam sastra.
Konsep cermin dalam sosiologi sastra dianggap sebagai mimesis (tiruan)
masyarakat, meskipun demikian sastra tetap diakui sebagai ilusi atau khayalan
dari kenyataan (Endraswara, 2004:78). Hall juga mengatakan bahwa “The
concept of literature a social referent is, however, perfectly viable since it takes
into account the writer’s active concern to understand hid society” (Hall,
1979:32). Bukan berarti sastra adalah jiplakan langsung dari kenyataan, namun
kenyataan itu direfleksikan dengan estetis, karena berdasarkan imajinasi, perasaan
dan intuisi.
Dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature (1972), Alan
Swingewood juga mengatakan hal yang senada, bahwa karya sastra tidak dapat
lepas dari realitas sosial yang terjadi dalam masyarakat. Dalam teorinya,
Swingewood membagi tiga perspektif mengenai penelitian sosiologi sastra, yaitu
(1) “The most popular perspective adopts the documentary aspect of literatury,
arguin that is provides a mirror to the age” penelitian yang memandang karya
sastra sebagai dokumen sosial atau cermin zaman yang di dalamnya merupakan
13
refleksi situasi pada masa sastra itu diciptakan; (2) “The second approach to a
literary sociology moves aways from the emphasis to the social situation of the
writer” penelitian yang memandang sastra sebagai cermin situasi sosial penulis
atau pengarangnya; dan (3) “A third perspective, one demanding a high level of
skills, attempts to trace the ways in which a work of literature is actually received
by patricular society at a specific historical moment” penelitian yang memandang
sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan kedudukan sosial budaya.
Ketiganya dapat diaplikasikan sekaligus ataupun dipilih salah satunya dalam
meneliti sosiologi sastra (Swingewood, 1972:13-21).
Berdasarkan semua pandangan yang sudah dikemukan di atas, penelitian
ini akan menggunakan teori sosiologi sastra Alan Swingewood. Lebih khususnya,
penelitian ini akan mengaplikasikan pandangan Swingewood tentang penelitian
sosiologi sastra dengan perspektif yang ketiga, yaitu bahwa karya sastra memang
seringkali tampak terikat dengan momen khusus dalam sejarah masyarakat.
Pembahasan dalam penelitian akan difokuskan pada permasalahan
mengenai kekuasaan agama yang terjadi pada masa Abad Pertengahan di Prancis.
Cerita dalam novel tersebut banyak melukiskan bentuk-bentuk penyimpangan
kekuasaan agama yang terjadi ketika rezim gereja berkuasa pada masa Abad
Pertengahan. Agama dan rohaniawan dijadikan parodi sarkasme dalam
mendeskripsikan kesuciannya.
Pandangan Swingewood mengenai sastra terhadap kehidupan masyarakat,
diperkuat oleh pendapat K.M. Saini dalam bukunya Protes Sosial dalam Sastra.
14
Ia mengungkapkan tiga kedudukan sastra terhadap kehidupan masyarakat, yaitu
sebagai pemekatan, penentangan, dan olok-olok. Ketiganya terkait dengan fungsi
sastra bagi kehidupan sosial. Disebut sebagai pemekatan, karena sastra
menggambarkan kehidupan masyarakat. Akan tetapi tetap saja gambaran itu
bukan jiplakan kasar begitu saja, gambaran tersebut terkristalisasi ke dalam
imajinasi pengarang. Hal lainnya adalah penentangan, maksudnya adalah karya
sastra dimungkinkan untuk menentang kehidupan, misalnya pengarang tidak
setuju dengan kekuasaan di suatu rezim tertentu, alhasil muncullah karya yang
bertema demikian. Ini berarti bahwa karya sastra tersebut menjadi penentang
zaman dan aturan yang keliru. Lebih jauh lagi, karya sastra dibuat seakan-akan
mengolok-olok atau mengejek kehidupan. Dalam hal ini, pengarang sangat mahir
memainkan ironi, paradoks, parodi ke dalam karya sastranya. Untuk itu, karya
sastra seperti ini tanggap terhadap perkembangan situasi yang menindas (Saini
KM, 1986 : 14-15).
1.6.2. Teori Kekuasaan Lord Acton
Berbicara mengenai kekuasaan memang selalu tidak ada habisnya.
Dewasa ini, kekuasaan telah menjadi suatu istilah yang sangat populer dan kerap
dijadikan topik dalam berbagai isu-isu politik dan sosial. Konsep mengenai
kekuasaan dapat dilihat dalam berbagai macam perspektif, karena memang
kekuasaan memiliki arti yang sangat luas dan beragam. Akan tetapi, secara umum
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kuasa adalah kemampuan atau
15
kesanggupan untuk berbuat sesuatu, wewenang atas segala sesuatu untuk
menentukan (memerintah, mewakili, mengurus, dsb) sesuatu (Alwi, 2001:604).
Power atau kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau sekelompok
manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain
sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan
tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan. Manusia mempunyai bermacammacam keinginan dan tujuan yang ingin sekali dicapainya. Untuk itu ia sering
merasa perlu untuk memaksakan kemampuannya atas orang atau kelompok lain
(Budiardjo, 2006:35). Dengan demikian, ketika proses kekuasaan sedang
berlangsung, ketika itu pula terjadi proses menguasai dan dikuasai. Artinya, ada
yang melaksanakan kuasa (penguasa) dan ada yang dikuasai atau menjadi objek
penguasa. Hubungan antara penguasa dan yang dikuasai ini secara otomatis akan
menimbulkan terjadinya perampasan kebebasan individu.
Dilihat dari asalnya, sumber kekuasaan dapat berasal dari berbagai macam
faktor. Kekuasaan dapat bersumber dari kekerasan fisik, kedudukan, kekayaan,
dan yang terakhir bersumber dari kepercayaan, contohnya seorang pendeta
terhadap umatnya (Budiardjo, 2006 : 36).
Banyak sekali tokoh penggagas mengenai konsep-konsep dan teori-teori
kekuasaan yang dapat ditemukan dalam ilmu sosial. Salah satu tokoh yang
berperan aktif dalam memberikan sumbangsih pemikiran mengenai kekuasaan
adalah Lord Acton. Bernama asli John Emerich Edward Dalberg-Acton, ia adalah
16
seorang moralis, penulis, politikus, sekaligus sejarawan Inggris yang banyak
mengulas mengenai kekuasaan, politik, dan pemerintahan (Dod, 1860:83).
Konsep kekuasaan versi Lord Acton lebih menekankan pada bagaimana
pengaruh dan akibat kekuasaan seseorang yang memiliki kuasa tidak terbatas. Hal
tersebut tercantum jelas melalui pernyataannya yang sangat terkenal, “Power
tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost
always bad men” (Figgis and Laurence, 1907:504). Manusia yang memiliki
kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan dan manusia yang
mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas pasti akan menyalahgunakannya.
Hampir semua orang-orang besar adalah orang-orang yang jahat.
Pandangan Acton mengenai kekuasaan tersebut memiliki arti yang sangat
dalam. Ia mengisyaratkan bahwa sebuah kekuasaan dapat menjadi bumerang jika
tidak digunakan dengan semestinya. Seseorang yang sudah terlanjur merasa
nyaman dengan kekuasaan yang ia miliki, akan cenderung menyimpang dan
menyalahgunakannya. Terlebih lagi orang yang memiliki kekuasaan mutlak dan
tidak terbatas, pasti akan berkuasa di atas kepentingannya sendiri. Orang-orang
besar yang berkedudukan tinggi, biasanya adalah orang-orang jahat yang
bersembunyi dibalik kuasanya.
Ketika seorang penguasa memiliki jabatan dan wewenang yang tinggi, ia
akan merasa bahwa dirinya adalah seorang ‘Dewa’ yang dapat berkuasa dan
mengutus apapun dan siapapun untuk melaksanakan kemauannya. Hal tersebut
senada dengan kutipan berikut.
17
“Kekuasaan memang sesuatu yang sangat ajaib. Seseorang yang sedang
menggenggam kekuasaan, biasanya menjadi tokoh yang disegani,
dihormati, ditakuti, dan tidak jarang juga dibenci dan dicaci. Namun
selama kekuasaan itu masih melekat kuat pada diri seseorang, orang
tersebut punya kedigdayaan untuk berbuat banyak hal. Ia dapat memaksa
orang lain untuk menyatakan ketundukan dan kadang-kadang kepasrahan”
(Rais, 1999:35-36 ).
Kutipan di atas mengisyaratkan bahwa seseorang yang memiliki
kekuasaan, cenderung dipatuhi dan ada kalanya memaksakan kekuasannya kepada
pihak yang berada dalam kekuasaannya. Demikian pula dalam novel Notre-Dame
de Paris, para penguasa gereja bertindak semena-mena dan menyalahgunakan
kekuasaan yang dimilikinya.
1.6.3. Teori Teokrasi St.Agustinus
Pada tahun 410 M, Imperium Romawi jatuh ke tangan bangsa Barbar
Visigoth dan Alarik (Suhelmi, 2001:74). Bangsa Romawi yang begitu adidaya
dan termahsyur akhirnya mengalami keruntuhan. Membayangkan keruntuhan
Romawi pada saat itu seperti menganalogikan kejatuhan negara adidaya Amerika
pada zaman sekarang. Keruntuhan peradaban bangsa Romawi tentu meruntuhkan
pula ketatanegaraannya. Keadaan ini dimanfaatkan oleh agama Katolik untuk
menyebarkan dan mengembangkan ajarannya di Eropa. Segala pemikiran tentang
negara dan hukum seketika digantikan dengan ajaran yang selalu ditinjau dari segi
agama dan ketuhanan. Semakin kuatnya ajaran tersebut, timbullah susunan
organisasi gereja yang berhubungan dengan urusan keduniawian. Gereja sebagai
18
wadah institusi, dikepalai oleh Paus yang dianggap sebagai wakil Tuhan untuk
memerintah di dunia (Soehino, 2005: 44).
Menurut pandangan teokratis yang berkembang pesat pada masa Abad
Pertengahan menyatakan bahwa, asal atau sumber kekuasaan adalah dari Tuhan
(Soehino, 2005: 149-150). Segala sesuatu yang ada di dunia, termasuk negara ada
atas kehendak Tuhan. Segala-galanya harus tunduk terhadap perintah Tuhan, jika
terdapat perintah-perintah Tuhan yang kurang jelas, yang boleh menafsirkan
hanyalah pemimpin-pemimpin gereja, khususnya Paus ( Huda, 2010 : 88 ).
Selanjutnya, ajaran ini diteruskan dan dikembangkan oleh para Bapa
Gereja. Mereka merumuskan doktrin-doktrin politik yang kemudian menjadi pilar
intelektual dan teologis Abad Pertengahan. Salah satu doktrinnya menyebutkan
bahwa posisi negara berada di bawah Gereja. Gereja dinilai lebih sakral dan
memiliki kekuasaan yang tidak dimiliki oleh negara. Gereja diperkenankan
mengintervensi negara, tetapi tidak sebaliknya, negara tidak diizinkan
mencampuri urusan gereja. Dengan status dan posisi yang seperti ini, keabsahan
kekuasaan negara tergantung dari ‘restu’ gereja (Suhelmi, 2001:69).
Salah satu pemikir politik agama ini adalah Santo Agustinus. Seorang
Bapa Gereja yang hidup pada tahun 354 - 430 M.
Melalui pandangan-
pandangannya, ia menulis sebuah buku yang berjudul De Civita te Dei yang berisi
tentang Negara Tuhan. Menurut Agustinus, kedudukan gereja yang dipimpin oleh
seorang Paus lebih tinggi dibanding kedudukan negara yang dipimpin oleh Raja.
Negara yang ada di dunia hanya merupakan suatu organisasi yang mempunyai
19
tugas untuk memusnahkan perintang-perintang agama dan musuh-musuh gereja
(Soehino, 2005 : 51-52).
Pada Abad Pertengahan terdapat dua organisasi kekuasaan, yaitu negara
yang diperintah oleh raja, dan gereja yang dikepalai oleh Paus. Pada waktu itu
Gereja memiliki perangkat dan perlengkapan yang sama seperti yang dimiliki oleh
negara,
seperti
badan
perundang-undangan,
pengadilan,
keuangan,
dan
sebagainya. Keduanya, baik perangkat negara maupun gereja, memiliki sifat yang
mengikat dan jika tidak ditaati akan diberikan sanksi-sanksi tertentu. Mulai saat
itu, kekuasaan gereja beserta para pemimpin-pemimpinnya semakin lama menjadi
semakin absolut. Mulanya gereja dan Paus hanya mengurusi urusan keagamaan
saja, namun lama-kelamaan gereja mulai ikut mengatur urusan keduniawian.
1.7. Ruang Lingkup Penelitian
Target penelitian ini adalah mengungkapkan kekuasaan agama pada Abad
Pertengahan Prancis dengan menerapkan teori kekuasaan Lord Acton serta teori
teokrasi St. Agustinus melalui pendekatan sosiologi sastra. Penelitian novel
Notre-Dame de Paris hanya berfokus pada permasalahan kekuasaan agama
beserta akibatnya yang terjadi pada masa Abad Pertengahan. Pengumpulan datadata tersebut dilakukan dengan cara mengutip permasalahan yang berhubungan
dengan tema penelitian. Pembatasan analisis dilakukan agar penelitian fokus
terhadap satu permasalahan dan tidak melebar ke aspek lain. Selain itu,
pembatasan terhadap ruang lingkup penelitian juga dapat dimanfaatkan oleh
20
peneliti lain yang ingin meneliti novel Notre-Dame de Paris dari aspek yang
berbeda.
1.8. Metode dan Analisis Data
Dalam melakukan penelitian ini, metode analisis yang digunakan adalah
metode kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang sifatnya alamiah dan
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang,
perilaku, atau data-data lainnya yang dapat diamati oleh peneliti (Sangidu,
2007:7). Untuk itu, penelitian ini akan diteliti secara sistematis sesuai dengan
langkah-langkahnya.
1. Menentukan novel yang diteliti yaitu novel Notre-Dame de Paris karya
Victor Hugo, yang kemudian digunakan sebagai objek material data
primer.
2. Melakukan proses pembacaan secara mendalam dan kritis untuk
menemukan permasalahan yang akan diteliti.
3. Menentukan kekuasaan agama sebagai topik permasalahan sekaligus objek
formal penelitian.
4. Mencari teori-teori yang dapat diterapkan dalam permasalahan yang telah
ditemukan. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori
Sosiologi Sastra dari Alan Swingewood, teori Kekuasaan dari Lord Acton
dan teori Teokrasi dari St. Agustinus.
21
5. Melakukan pembahasan dengan menganalisis penelitian yang dilakukan
dengan tahapan berikut :
a) Mencatat data-data yang ditemukan dalam permasalahan dengan
cara mengutip.
b) Menerjemahkan kutipan-kutipan data dengan menggunakan alat
bantu seperti kamus serta alat pendukung lainnya, karena objek
material dari penelitian ini menggunakan bahasa Prancis.
Penerjemahan data dilakukan secara dinamis. Metode terjemah
dinamis adalah metode terjemah yang berusaha menyampaikan isi
amanat dalam bahasa sumber dengan ungkapan-ungkapan yang
lazim digunakan dalam bahasa terjemahan atau bahasa sasaran
(Basalamah, 1996:2).
c) Melakukan
kategorisasi
dengan
melakukan
klasifikasi
permasalahan guna mempermudah proses analisis.
d) Melakukan studi literatur mengenai topik kekuasaan yang diteliti.
Studi literatur ini dilakukan dengan mempelajari topik-topik yang
ditemukan dalam permasalahan dengan menggunakan alat bantu
seperti buku-buku teori, ensiklopedia, internet, dan sebagainya.
6. Menarik kesimpulan dari analisis yang telah dilakukan dalam penelitian.
1.9. Sistematika Penyajian
Bab I berisi pendahuluan yang terdiri dari (1) latar belakang, (2)
permasalahan, (3) rumusan masalah, (4) tujuan penelitian, (5) tinjauan pustaka,
22
(6) landasan teori, (7) ruang lingkup penelitian, (8) metode pengumpulan dan
analisis data, dan (9) sistematika penyajian.
Bab II merupakan pembahasan yang disajikan dalam tiga subbab, yaitu (1)
teknik penceritaan reflektif dan kontradiktif novel Notre-Dame de Paris, (2)
pengaruh penyimpangan kekuasaan agama dalam novel Notre-Dame de Paris, (3)
kritik kekuasaan dalam novel Notre-Dame de Paris.
Bab III berisi kesimpulan yang disertakan pula résume, daftar pustaka dan
lampiran.
23
Download