INTEGRASI DAN OPTIMALISASI DATA SEBAGAI DASAR PENYUSUNAN MODEL GEOLOGI DAN KARAKTERISTIK RESEVOIR SERTA IMPLIKASINYA PADA FORMASI NGRAYONG STRUKTUR KAWENGAN Oleh: Yudha Prakasa Pertamina Daerah Operasi Hulu Jawa Bagian Timur ABSTRAK Data bawah permukaan merupakan alat bantu pemahaman kondisi dan karakteristik geologi reservoir guna menunjang pemanfaatan hidrokarbon. Kemampuan suatu data, sampai saat ini, masih bersifat interpretatif karena tidak secara langsung dapat menjelaskan fakta yang ada. Dengan kualitas dan kuantitas data yang semakin bagus, didapatkan pemahaman mengenai suatu reservoir secara lebih baik dan hasil suatu interpretasi menjadi lebih obyektif. Integrasi dan optimalisasi data lokal yang diterapkan untuk mengetahui kondisi geologi dan karakteristik reservoir Formasi Ngrayong, Struktur Kawengan, yang dipadukan dengan data regional merupakan aplikasi dari hal yang telah diuraikan sebelumnya. Di samping ketersediaannya, kebanyakan data berumur relatif baru dibandingkan dengan umur struktur ini sejak pertama ditemukan. Kawengan merupakan struktur penghasil minyak yang ditemukan tahun 1920-an. Pada awalnya, minyak pernah diproduksikan sampai dengan 3500 barel. Setelah kurang lebih 80 tahun, baru dilakukan pengambilan data bawah permukaan yang lebih lengkap bersamaan dengan produksi minyaknya yang menurun sampai dengan 210 barel. Meskipun demikian, dari pemelajaran data, disimpulkan bahwa formasi ini masih menyimpan potensi minyak yang cukup baik meskipun analisis mengenai hal ini terbatas pada interpretasi awal yang membutuhkan pembuktian. Formasi Ngrayong terbentuk antara Miosen Tengah – Plistosen, dengan adanya tektonik kompresional ganda yang berulang. Formasi Ngrayong diendapkan di lingkungan transisi, pada lingkungan tertutup, dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan darat dan laut. Formasi Ngrayong mempunyai penyebaran yang relatif luas, akan tetapi sangat tergantung pada distribusi porositas dan permeabilitasnya. Litologi Formasi Ngrayong merupakan batupasir halus – sedang, mengandung sejumlah mineral lempung yang hadir juga sebagai serpih, cenderung mempunyai sifat mampu menyimpan fluida dengan baik tetapi juga mempunyai sifat menyisakan fluida cukup tinggi. Hal tersebut menjadikan formasi ini kemungkinan masih mengandung hidrokarbon tersisa, yang pengambilannya memerlukan metoda tertentu. Umumnya, kemungkinan mendapatkan sisa hidrokarbon yang diusulkan dari Formasi Ngrayong adalah dengan melakukan perforasi baru, perforasi tambahan atau ulang, dan perekahan. PENDAHULUAN Struktur Kawengan merupakan struktur penghasil minyak yang ditemukan pada tahun 1920-an oleh perusahaan Belanda. Struktur ini terletak kurang lebih 30 km sebelah timur Kota Cepu. Secara administratif, struktur ini berada pada wilayah Kabupaten Bojoegoro dan Tuban, Jawa Timur (gambar 1). Hingga saat ini dari 167 sumur yang telah dibor, 42 sumur masih memberikan produksi minyak dari batupasir Formasi Ngrayong. Berdasarkan perhitungan, sisa cadangan dari formasi ini adalah + 35 juta barel. Kondisi geologi formasi ini, umumnya, dibahas oleh kebanyakan penulis pada skala regional sehingga gambaran pada skala lokal masih selalu menarik untuk dipelajari. Tulisan ini memfokuskan pembahasan pada Formasi Ngrayong di daerah Kawengan dengan pertimbangan, di samping produksinya, ketersediaan data yang lebih memadai. Data yang relatif lengkap ditemui pada sumur-sumur pemboran pengembangan pada perioda setelah tahun 1990. Pada tahun sebelumnya, data tersedia adalah berasal dari pemboran yang dilakukan oleh perusahaan Belanda, yang relatif kurang lengkap dan berumur lebih dari 60 tahun. Untuk itu, data yang lebih banyak dipakai dalam analisis adalah data yang relatif masih baru. Berdasarkan data tersedia yang diambil selama proses pemboran berlangsung, yang meliputi deskripsi batuan inti, log lobang sumur terbuka, citra mikro, dan resonansi magnetik, serta beberapa lintasan seismik, dipadukan dengan data regionalnya dilakukan analisis geologi, stratigrafi, sedimentologi, dan sifat reservoirnya untuk mendapatkan model geologinya yang kemudian dapat dijadikan acuan mendapatkan kemungkinan prospek lain atau kemungkinan metoda perlakuan terhadap reservoir batupasir Ngrayong. Sebagaimana diketahui, batuan inti mempunyai kelebihan dapat menggambarkan kondisi reservoir secara gamblang meskipun terbatas pada skala yang kecil. Sedangkan data log, dalam interpretasi kualitatif dan kuantitatifnya, terimplisitkan berbagai kondisi reservoir pada pelamparan lateral yang sangat sempit dibandingkan dengan volume reservoir seutuhnya. Lain halnya dengan kedua data tersebut, data seismik relatif mempunyai resolusi vertikal yang rendah tapi mempunyai kelebihan dapat menggambarkan secara lateral kondisi reservoir. Untuk itu, pemahaman karakteristik masing-masing data tersebut sangat diperlukan guna mendapatkan optimalisasi pemanfaatan data. Pembahasan yang disampaikan merupakan analisis awal dari suatu pemelajaran mengenai karakteristik reservoir. GEOLOGI REGIONAL Secara fisiografi, Struktur Kawengan terletak di dalam Cekungan Jawa Timurlaut (Northeast Basin) seperti gambar 2. Cekungan Jawa Timurlaut merupakan cekungan belakang-busur (back-arc basin) yang sangat komplek secara struktur dan stratigrafi (Netherwood, R., 2000). Berdasarkan fasies reservoirnya, yang berkisar dari serpih gampingan dan batugamping serpihan-terekahkan berumur Eosen sampai dengan volkaniklastik yang terdiagenesis lanjut berumur Plistosen, dan berdasarkan sistem petroleumnya, cekungan ini merupakan cekungan yang sangat berbeda dengan cekungan lainnya. Cekungan ini melampar dari timur – barat dari darat di Jawa Tengah bagian timur (gambar 3), lebih dari 1.000 km, ke cekungan belakangbusur Flores, dan termasuk sejumlah zona-zona struktural terorientasi timur – barat. Menyabang dari kecenderungan arah cekungan utama ini ke arah utara, adalah rangkaian separuh graben (half graben) mengarah timurlaut – baratdaya dengan blok turun ke arah timur, termasuk Palung Muriah, Palung Tuban – Camar, depresi-dalam bagian tengah (Cekungan Masalembo), dan Subcekungan Sakala, yang dapat dipisahkan oleh struktur tinggian. Cekungan ini, umumnya, merupakan cekungan lepas pantai dengan kedalaman air mencapai 1.500 m di Subcekungan Lombok, dan meliputi area seluas 200.000 km2. Di bagian darat, gambaran cekungan ini secara struktural sangat komplek, dengan fasa-fasa ganda yang menghasilkan seluruh tipe patahan. Perkembangan Tersier meliputi inversi utama, dan sekurangnya mengalami dua episoda volkanisme. Urutan tektonisme dan stratigrafi berlangsung sebagai berikut (gambar 4 dan 5). Tahap I. Synrift (Eosen Tengah – Oligosen Awal bagian akhir). Tektonik transtensional di Eosen Awal – Tengah menyebabkan terjadinya peregangan (rifting) yang berlanjut ke Oligosen Awal. Sedimen synrift paling awal terdiri dari pasir fluvial, dan serpih dan batubara lakustrin. Sedimen-sedimen tersebut merupakan endapan tertua di bagian tenggara cekungan. Pada saat transgresi Eosen Akhir terjadi pengendapan karbonat Ngimbang di timur cekungan berupa batugamping mikrit dan serpih gampingan yang diendapkan di laut dangkal. Sedimen-sedimen yang sangat terlipat dan terekahkan tersebut membentuk reservoir di lapangan gas Kangean Barat. Di tempat lain, di lepas pantai, batugamping foraminifera berumur Eosen Atas sampai dengan Oliosen Bawah, kaya Lepidocyclina, benthos besar, merupakan reservoir subkomersial untuk minyak dan gas. Di atas karbonat ini diendapkan serpih laut dalam, yang menunjukkan transgresi maksimum, yang membentuk tutupan untuk reservoir di lapangan tersebut. Seluruh minyak dan gas termogenis di Cekungan Jawa Timur diasumsikan bahwa berasal dari serpih lakustrin synrift. Hal ini merupakan kejadian yang berlangsung di lapangan gas Pagerungan dan Kangean Barat di bagian timur cekungan. Akan tetapi di tempat lain, hidrokarbon menunjukkan sumber asal darat laut deltaik atau paralik dengan kesamaan litologi karbonat. Sesuatu hal yang kemungkinan dapat terjadi bahwa klastik Pra-Ngimbang di timur cekungan telah tertimbun cukup dalam untuk membentuk minyak sejak Eosen Akhir. Hal ini ditunjukkan oleh gas yang masih terbentuk sampai saat ini. Tahap II. Sag (Oligosen Akhir – Miosen Awal bagian akhir). Mengikuti lowstand global yang berlangsung pertengahan Oligosen, endapan-endapan klastik tertutupi oleh endapan-endapan transgresi karbonat laut dangkal Formasi Kujung. Batuan ini merupakan batugamping yang komposisinya dominan alga merah, dan juga kaya dengan koral, foraminifera benthos. Batuan ini telah terbukti merupakan penghasil hidrokarbon. Selama masa ini, aktifitas struktural terintensif di Miosen Awal dengan kompresi di bagian tenggara. Hal tersebut menyebabkan terjadinya inversi tinggian Madura – Kangean yang membentuk struktur-struktur untuk lapangan gas Pagerungan dan Kangean Barat. Di bagian barat, proses deposisi yang cepat di laut dalam yang terbentuk di bagian depresi yang ambles berupa serpih Formasi Tuban, sedangkan karbonat Formasi Rancak terbentuk di bagian tinggi. Reservoir karbonat tersebut merupakan penghasil minyak dan gas di lepas pantai, lebih ke arah tengah cekungan. Serpih Tuban merupakan kandidat batuan sumber hidrokarbon di bagian barat cekungan meskipun belum terbukti. Tahap III. Pengangkatan Ganda (Miosen Tengah-Plistosen). Tahap akhir pada Kala Neogen merupakan kejadian yang komplek dengan adanya fasa-fasa kompresional ganda yang berulang. Pada kala tersebut, Formasi Ngrayong berumur Miosen Awal – Tengah diendapkan di selatan selama masa rotasi, pengangkatan, dan erosi blok patahan kompresional. Di Kawengan, batupasir ini merupakan reservoir utama. Formasi Ngrayong juga dapat dikenali di lepas pantai di Palung Muriah di utara, sumber gas biogenis dari batubara. Klastik Ngimbang berumur Eosen memasuki jendela minyak selama Miosen Tengah. Selama Miosen Tengah sampai Akhir, terjadi penurunan cekungan (subsidence) menyebabkan pengendapan klastik berbutir halus laut dalam Formasi Wonocolo, yang diinterupsi oleh proses tektonik kompresi dan inversi Miosen Akhir. Kompresi yang berlanjut ke Pliosen menghasilkan perubahan struktural tahap lanjut, dengan menghasilkan diapirisme serpih dan perkembangan dua kecenderungan antiklinal utama: kecenderungan Jawa barat – timur dan kecenderungan Kalimantan timurlaut – baratdaya. Antiklin tersebut menyebabkan terbentuknya lapanganlapangan minyak dangkal di bagian daratan. Di Pliosen Awal, diendapkan batugamping globigerina yang merupakan reservoir gas biogenis di selat Madura dan minyak di lapangan yang lebih tua. Batugamping tersebut merupakan hasil reworked ke Formasi Selorejo Pliosen, yang berpotensi untuk reservoir minor. GEOLOGI KAWENGAN (NGRAYONG) Secara umum, kondisi geologi di daerah Kawengan merupakan struktur antiklin dengan arah sumbu baratlaut – tenggara, yang merupakan bagian dari Antiklinorium Rembang (Netherwood, R., 2000). Antiklin tersebut terpatahkan secara intensif, asimetris, dengan kemiringan lapisan 10 – 15o ke arah timurlaut dan 60o ke arah baratdaya. Data seismik 2D pada lintasan yang memotong struktur timurlaut – baratdaya menunjukkan kenampakan struktur tersebut (gambar 6). Sumur-sumur pemboran yang ada terletak pada zona hancuran patahan, yang membentuk rifting, yang berarah baratlaut-tenggara. Secara umum, Formasi Ngrayong didominasi oleh batupasir kuarsa, masif, kadang-kadang berstruktur silang siur, tersusun oleh selang-seling batupasir dengan lanau, selang-seling batupasir halus dengan serpih hitam, sedikit struktur bioturbasi, selang-seling serpih hitam dan batupasir halus dengan klastik batugamping. Beradasarkan analisis megaskopis, litologi Ngrayong tersusun oleh batupasir gampingan, batugamping, dan batugamping pasiran. Batupasir gampingan tersusun oleh butiran-butiran mineral silisiklastik berukuran pasir halus, menyudut tanggung, hasil dari proses resedimentasi, umumnya kuarsa monokristalin; material karbonatan berupa fosil, butiran mineral karbonatan tidak dominan, dan merupakan hasil proses resedimentasi; sementasi berasal dari silika, lempung (kaolinit, smektit, berstruktur pore lining dan laminasi, allogenic), dan oksida besi. Komposisi lain litologi ini adalah mineral glaukonit dan cerat karbon. Adanya oksida besi dan cerat karbon menunjukkan lingkungan pengendapan batuan ini berada pada kondisi reduksi, lingkungan tertutup. Batugamping, umumnya bioklastik bukan dari terumbu, hancur, mengandung material klastik, porositas tipe vug berukuran mikro, channel dengan dimensi 1 mm, tersusun oleh kalsit dan dolomit, yang menunjukkan proses diagenesis awal. Sedangkan batugamping pasiran mengalami dolomitisasi tingkat rendah sebagai pengganti kalsit. Secara lebih rinci, litologi formasi Ngrayong dibahas pada bagian berikut ini. URAIAN ANALISIS DATA Deskripsi Batuan Inti Dan Karakteristik Log Batuan inti merupakan data primer yang dapat digunakan untuk mendapatkan kondisi litologi secara langsung, di samping sifat-sifat reservoirnya. Meskipun demikian, batuan inti mempunyai keterbatasan pada skala mikronya pada pelamparan vertikal dan horizontal bila dibandingkan dengan dimensi reservoirnya. Untuk itu, diperlukan korelasi dengan data logging sumur yang mempuyai pelamparan vertikal yang lebih bagus. Sumur-sumur yang mempunyai data batuan inti adalah G-PN, PO, PP, PQ, dan PR. Batuan inti tersebut, sesuai dengan kedalamannya, dibandingkan dengan karakter lognya untuk mendapatkan gambaran model Formasi Ngrayong. Batuan inti G-PN diambil dari kedalaman 556-560,6 m, 658,5-663,6 m, dan 716-720 m (gambar 7, 8, dan 9). Deskripsi yang hanya dilakukan megaskopis pada selang-selang tersebut menunjukkan kesamaan bahwa batuan merupakan batupasir, abu-abu – coklat muda, berbutir pasir halus – sedang, menyudut tanggung, agak tersortasi, gampingan, lempungan, mengandung fosil, mika, berpotensi terjadi plugging effect akibat migrasi butiran-butiran berukuran halus. Analisis laboratorium menunjukkan kemampuan batuan terhadap pengambilan minyak sebesar 34 % dan minyak residual 21 % dari porositas (20 %), permeabilitas < 200 mD. Karakteristik log menunjukkan pola GR bergerigi, nilai menengah, dan log porositas menunjukkan separasi positif). Pada selang kedalaman pengambilan conto batuan tidak dilakukan pengujian isi kandungan lapisan. Batuan inti G-PO diambil dari kedalaman 689-697,04 m dan 717-724,08 m (gambar 10). Deskripsi yang hanya dilakukan megaskopis menunjukkan bahwa conto-conto batuan tersebut adalah batupasir, abu-abu muda – coklat, berbutir pasir halus – sedang, menyudut tanggung, agak tersortasi, gampingan, fosil hancur, lempungan berlaminasi, mika, berpotensi terjadi plugging effect akibat migrasi butiran-butiran berukuran halus. Analisis laboratorium menunjukkan kemampuan batuan terhadap pengambilan minyak 30 % dan minyak residual 28 % dari porositas 22 %, permeabilitas < 200 mD. Karakteristik log menunjukkan pola GR bergerigi, nilai menengah – agak rendah, log porositas tidak menunjukkan separasi positif tapi menunjukkan nilai porositas kurang lenih serupa untuk masing-masing log porositas. Pada selang pertama pengambilan conto batuan, dilakukan uji produksi pada kedalaman 690 – 693 m bersama-sama dengan selang 680 – 684 m dan 720 – 724 m sehingga tidak menggambarkan karakteristik reservoirnya. Batuan inti G-PP diambil conto intinya pada kedalaman 775- 778,14 m dan 813 – 819,86 m (gambar 11). Berdasarkan deskripsi megaskopis dan mikroskopis, pada selang pertama (gambar 12), batuan ini adalah batupasir, warna coklat muda – coklat, berbutir pasir halus – sedang, struktur laminasi, porositas mikro, komposisi kuarsa, foraminifera besar, semen kalsit terorientasi, dolomit, kaolinit, smektit, cerat karbon, rasio material karbonat terhadap material klastik hampir sama. Karakteristik log menunjukkan pola GR agak tinggi (lebih tingi daripada nilai GR di batugamping), log porositas menunjukkan harga yang relatif rendah dibandingkan dengan untuk nilai batugamping. Pada selang kedalaman yang kedua, bagiah atas (gambar 13), batugamping, warna kuning kecoklatan, mengalami oksidasi besi, komposisi utama kalsit (sebagian mengalami mikritisasi), dolomit, mengandung foraminifera besar, ganggang merah, mineral bijih, porositas tipe mikro, vug, channel, sedangkan di bagian bawah (gambar 14), batulempung gampingan/napal, warna hitam bercak-bercak kuning kecoklatan, komposisi butiran dolomit, K-felspar, kalsit, kuarsa, muskovit, semen illit, kalsit, cerat karbon terorientasi, perbandingan material karbonat terhadap material klastik hampir sama, tetapi jumlah material karbonat lebih sedikit. Karakter log di bagian atas menunjukkan nilai GR yang rendah dan log porositas yang relatif tinggi, tapi di bagian bawah sampai dengan kedalaman 831 m GR menunjukkan nilai yang tinggi tapi dengan log porositas yang relatif tinggi. Pada selang kedalaman pengambilan conto batuan tidak dilakukan pengujian isi kandungan lapisan. Batuan inti G-PQ diambil pada kedalaman 587,6 – 616,8 m (gambar 15), yang, berdasarkan deskripsi megaskopis dan mikroskopis (gambar 16), menunjukkan batuan adalah batupasir kuarsa, warna putih kekuningan, rapuh (batuan inti pada interval 590 – 591 m hancur), lepas-lepas, komposisi kuarsa monokristalin, umumnya rekah, tekstur berbutir bulat, agak meruncing, butiran mengambang di antara matrik, sortasi bagus, plagioklas, pirit, fosil foraminifera, dinoflagelata, porositas intrapartikel, mikro terisi dolomit, kalsit, mineral bijih, biotit, semen kalsit, smektit, illit, lempung allogenik, glaukonit, karbon, di bagian tengah, mineral karbonat melimpah. Karakter log menunjukkan nilai GR sedang, log porositas menunjukkan nilai agak tinggi yang disebabkan karena keberadaan kuarsa. Pada selang kedalaman pengambilan conto batuan tidak dilakukan pengujian isi kandungan lapisan. Batuan inti G-PR. Batuan inti di sumur ini diambil pada kedalaman 718 – 724 m, 734 – 736,90 m, dan 762 – 768 m (gambar 17), yang menunjukkan karakteristik yang mirip. Batuan pada selang kedalaman yang pertama, secara megaskopis dan mikroskopis, merupakan batupasir berlaminasi, coklat – coklat cerah, berbutir pasir sedang – halus, komposisi kuarsa membundar, foraminifera besar, terorientasi, kalsit, semen kalsit, karbonat, kaolinit, smektit, muskovit, porositas mikro, perbandingan material karbonat terhadap klastik rendah. Log menunjukkan karakter nilai GR yang sedang, log porositas sedang, tidak menunjukkan perbedaan yang menyolok dengan interval batuan inti yang lain. Pada selang kedalaman yang kedua (gambar 18), batuan menunjukkan batupasir laminasi, mengandung kuarsa membundar, forminifera plankton, benthos, semen kalsit, mineral lempung, smektit, terorientasi, rekahan berukuran mikro, perbandingan material karbonat terhadap klastik tinggi. Karakter log GR menunjukkan nilai yang sedang, log porositas sedang, tidak menunjukkan perbedaan yang menyolok dengan interval pengambilan conto batuan yang lain. Pada selang kedalaman yang terakhir adalah selang-seling batugamping pasiran dengan batulempung gampingan, mengandung kuarsa membundar, foraminifera besar, spar, felspar teralterasi, fragmen klastik, smektit, kaolinit, semen kalsit, mineral bijih, karbon, porositas vug, perbandingan kandungan material karbonat terhadap klastik tinggi. Karakter log menunjukkan nilai GR sedang, log porositas sedang, tidak menunjukkan perbedaan yang menyolok dengan interval pengintian yang lain. Pada interval pengambilan conto yang disebutkan pertama, dilakukan pengujian produksi dari perforasi 719 – 724 m dengan hasil air asin. Hasil tersebut menunjukkan karakteristik reservoirnya yang tidak mengandung hidrokarbon yang dapat diproduksikan. Deskripsi Karakter Log Citra Mikro (Micro Imaging Log) Log citra mikro merepresentasikan citra litologi serta struktur batuan pada sekeliling dinding lobang bor. Presentasi citra tersebut didasarkan pada spectrum resistivitas litologi, yang juga dipengaruhi oleh fluida yang terkandung di dalamnya pada zona terinvasi. Log citra yang dipergunakan dalam bahasan adalah log dari sumur G-PA dan PC. Citra G-PA dilakukan pada kedalaman 665 – 715 m (gambar 19), yang menunjukkan laminasi-laminasi antara batupasir dengan serpih dan antara batugamping dengan serpih, yang ditunjukkan dengan perselang-selingan warna amplitudo pada log tersebut. Bagian bawah lebih banyak didominasi oleh batuan konduktif (serpih), tebal, dengan sisipan-sisipan tipis batuan resistif (batupasir, lanau). Bagian tengah – atas didominasi oleh batuan-batuan resistif (batupasir gampingan, sebagian mengandung siderit). Umumnya, seluruh batuan mengandung glaukonit tapi tidak dominan. Selang perforasi pertama dilakukan pada kedalaman 605 – 608 m. Meskipun, dari analisis, menunjukkan adanya minyak akan tetapi minyak tersebut tidak dapat diproduksikan atau permeabilitas relatifnya terhadap air adalah rendah. Pada selang-selang yang lainnya, 678 – 681 m dan 684 – 687 m, 687 – 694 m, dan 706 – 710 m menunjukkan produksi minyak yang tidak banyak sampai dengan akhirnya meningkat kadar airnya. Citra G-PC dilakukan pada kedalaman 575 – 749 m. Kenampakan citra yang ditampilkan tidak banyak berbeda dengan citra pada sumur G-PA (gambar 20), yang menunjukkan laminasi-laminasi antara batupasir dengan serpih dan antara batugamping dengan serpih. Pada bagian atas, batugamping mendominasi komposisi batuan. Sedangkan, di bagian bawah, dominasi karbonat berkurang, meskipun material ini masih menjadi salah satu komposisi penyusunnya. Di bagian bawah, litologi serpih mempunyai ketebalan yang besar dan mempunyai struktur laminasi. Sedangkan, di bagian atasnya, laminasi batupasir pun, umumnya, mempunyai tebal kurang dari 0,5 m. Uji produksi di sumur ini dilakukan pada selang 706 – 710 m dan 720 – 725 m. Dari keduanya, selang yang pertama menunjukkan saturasi hidrokarbon yang tidak dapat diproduksikan sehingga dimungkinkan selang kedua merupakan penyumbang produksi yang lebih baik. Hal ini juga didukung dengan hasil uji produksi tunggal dari selang kedua. Deskripsi Karakter Log Resonansi Magnetik Log resonansi magnetik, dibandingkan dengan log porositas yang lain, tidak hanya mengukur volume ruang pori-pori, tetapi juga mengukur keterkaitan hubungan antarpori berdasarkan pengukuran laju relaksasi magnetiknya (Allen, D. dkk, 1997). Hal ini menunjukkan kemampuan alat dalam membedakan porositas berdasarkan komponen pengisinya, yaitu fluida yang dapat diproduksikan, yang terletak di dalam pori-pori besar dan fluida yang takdapat diproduksikan, yang terletak di dalam poripori kecil. Logging Resonansi Magnetik G-PD difokuskan pada kedalaman 100 – 127 m, 238 – 292 m, 318 – 343 m, 395 – 478 m, dan 486 – 735 m. Pada pembahasan ini, hanya ditampilkan pada zona terakhir pada kedalaman 675 – 725 m (gambar 21). Dengan menggunakan alat ini, litologi Formasi Ngrayong kurang dapat dijelaskan selain sifat reservoir dan kemungkinan fluida yang terkandung. Formasi Ngrayong, di sumur ini, mempunyai volume pori-pori kurang lebih 24 %, terutama di bagian tengah dan bawah. Dari besar volume tersebut, 60 % terisi oleh air – saturasi air, yang terdiri dari air terikat kapiler dan air bebas, sedangkan sisanya – saturasi hidrokarbon, 40 % ditempati oleh hidrokarbon. Pada perhitungan jumlah hidrokarbon, 40 % hidrokarbon tersebut dapat diproduksikan, 60 % hidrokarbon tersebut tidak dapat diproduksikan. Sedangkan pada perhitungan jumlah air, 70 % merupakan air bebas, dan 30 % merupakan air yang tidak dapat diproduksikan. Permeabilitas batuan, umumnya adalah 30 – 250 mD. Pada analisis ini, terlihat bahwa lapisan L1 – L6 menunjukkan permeabilitas vertikal yang saling berhubungan. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa meskipun terdiri dari lapisanlapisan, formasi ini mempunyai kesatuan sifat fisik reservoirnya. Pada selang uji produksi 699 – 705 m, pembacaan log menunjukkan distribusi sinyal T2 dengan nilai 10 terletak pada waktu relaksasi 800 mdet yang menunjukkan adanya hidrokarbon yang dapat diproduksikan. Logging Resonansi Magnetik G-ITW difokuskan pada kedalaman 325 – 356 m, 475 – 518 m, 650 – 740 m, dan 796 – 840 m. Pada pebahasan ini hanya ditampilkan pada zona 680 – 740 m (gambar 22). Formasi Ngrayong, di sumur ini, mempunyai volume pori-pori kurang lebih 21 %. Dari besar volume tersebut, 60 % terisi oleh air – saturasi air, yang terdiri dari air terikat kapiler dan air bebas, sedangkan sisanya – saturasi hidrokarbon, 40 % ditempati oleh hidrokarbon. Permeabilitas batuan, umumnya adalah 80 – 100 mD. Pada analisis ini, terlihat juga bahwa lapisan L1 – L6 menunjukkan permeabilitas vertikal yang saling berhubungan. Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa meskipun terdiri dari lapisanlapisan, sama seperti G-PD, formasi ini mempunyai kesatuan sifat fisik reservoirnya. Di sumur ini, pengujian produksi dilakukan pada selang 667 – 669 m dan 689 – 691 m. Pada selang ini, pembacaan log menunjukkan distribusi sinyal T2 dengan nilai sampai dengan 11 berada pada bagian lebih ke bawah dari perforasi, yaitu di 690 – 692 m. Sedangkan pada selang 707 – 711,5 m dan 719 – 723 m menunjukkan kadar air terproduksi yang lebih tinggi dari saturasi airnya. MODEL GEOLOGI Berdasarkan uraian di atas tersebut, Formasi Ngrayong di Kawengan diendapkan di lingkungan transisi (pantai – laut dangkal), pada lingkungan tertutup di beberapa selang. Data tersebut menunjukkan posisi lingkungan pengendapannya yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan darat dan laut. Pengaruh darat ditunjukkan dengan adanya material-material terrigenous detrital, seperti kuarsa monokristalin, fragmen batuan, felspar, dengan bentuk butir menyudut - membulat tanggung dan berukuran pasir halus – sedang. Sedangkan pengaruh lingkungan laut adalah dengan adanya foram bentonik, planktonik, bioklastik, glaukonit. Secara umum, seperti dapat dilihat pada gambar 23, dapat disimpulkan bahwa lingkungan pengendapannya adalah marginal marine dengan energi pengendapan rendah (Boggs, S., Jr., 1985). Tipe-tipe sedimen yang berasosiasi secara genetik di dalam lingkungan pengendapan marginal marine dapat dikenali dengan menggunakan dua cara (Busch, D.A dan Link, D.A., 1985), Genetic Increment of Strata (GIS) dan Genetic Sequence of Strata (GSS). Suatu GIS terdiri dari suatu interval lapisan yang diendapkan selama satu siklus sedimentasi dengan setiap komponen litologinya saling berkaitan satu dengan lainnya secara genetik. Batas bagian atas suatu GIS adalah penanda waktu yang ditunjukkan dengan batuan tertentu (lithologic-time marker), dan di bagian bawahnya dibatasi juga dengan lithologic-time marker berupa ketidakselarasan, atau perubahan suatu fasies tertentu ke fasies yang lain. GIS tersusun, secara keseluruhan, oleh sedimen-sedimen yang diendapkan selama satu tahap siklus penurunan (subsidence) atau siklus kenaikan (emergence) permukaan pengendapan relatif terhadap perubahan mukalaut. GSS terdiri dari dua atau lebih GIS yang saling berhubungan dan merupakan hasil dari sedimentasi yang kurang lebih bersinambungan. Pemahaman mengenai konsep GIS dan GSS harus dibedakan dengan pemahaman tentang sekuen pengendapan (depositional sequence) dalam hal penekanannya. GIS dan GSS adalah unit genetik yang dibatasi oleh suatu lapisan penanda (marker bed) tertentu sehingga tidak ada signifikansi secara kronostratigrafinya (chronostratigraphically significant). Sedangkan sekuen pengendapan mempunyai signifikansi secara kronostratigrafi karena diendapkan selama interval waktu geologi tertentu yang dibatasi oleh umur-umur batas sekuen. Penerapan stratigrafi sekuen di Kawengan, dengan data yang tersedia, merupakan skala yang terlalu besar sehingga dapat membiaskan analisis. Pemilihan metoda GIS dan GSS dapat mengakomodasi ruang lingkup yang lebih sempit. Berdasarkan uraian di atas dan dengan pertimbangan dasar pemikiran yang telah disampaikan, Formasi Ngrayong, yang terdiri dari lapisan L1 – L5 merupakan suatu GIS dengan dasar bahwa lapisan batugamping L6 di bagian bawah dan batulempung di bagian atas L1, Anggota Formasi Bulu, merupakan fasies yang berbeda. Meskipun, di dalam GIS tersebut, terdapat sisipan-sisipan batugamping, akan tetapi batugamping tersebut tidak dapat diikuti penyebaran ke seluruh daerah pemelajaran sehingga tidak dianggap sebagai lapisan penanda waktu. Batugamping tersebut menunjukkan bahwa pada suatu waktu tertentu, karena morfologi dasar pengendapan, hanya diendapkan pada tempat-tempat tertentu di samping menunjukkan arah cekungan pengendapan seperti telah diuraikan sebelumnya. Hal ini dapat juga menunjukkan bahwa pelamparan suatu lapisan di dalam formasi ini tidak mempunyai kontinyuitas yang tinggi. Deposisi terrigenous di daerah marginal marine sangat dipengaruhi oleh perubahan dasar cekungan relatif terhadap muka laut, siklus tektonik, dan laju suplai pengendapan relaif terhadap perubahan dasar cekungan. Berdasarkan dari uraian data yang tersedia, diinterpretasikan bahwa pengendapan sedimen di Kawengan dipengaruhi oleh penurunan dasar cekungan secara berulang. Secara tektonik, endapan tersebut mengikuti proses rifting dan sag yang berlangsung terus-menerus sebelum terlipatkan. Pada kondisi tersebut, suatu tubuh batupasir menunjukkan kondisi garis pantai yang tetap dalam suatu perioda transgresi. Sekuen serpih dan batulempung, yang memisahkan tubuh batupasir, merupakan hasil dari penurunan cekungan yang berulang dengan transgresi yang sangat cepat sehingga tidak terjadi akumulasi pasir. Setiap tubuh batupasir tersebut terdiri dari sedimen-sedimen muka pantai (foreshore) sehingga dapat terdiri dari pasir pantai dan gosong pasir pantai. Sisipan-sisipan batugamping dapat menunjukkan ke arah cekungan sedimentasi pasir. Batuan karbonat tersebut terdiri dari campuran material-material organik klastik dan cangkang fosil yang telah mengalami alterasi secara diagenesis. Di bagian atas dari sistem ini, akan diendapkan perselang-selingan antara batugamping dengan serpih. Berdasarkan analisis bahwa merupakan satu kesatuan genetik yang didukung juga dengan data resonansi magnetik, dapat disimpulkan bahwa Formasi Ngrayong, dimungkinkan merupakan satu kesatuan reservoir daripada beberapa pembagian lapisan seperti yang dilakukan saat ini. Beberapa calon sumur yang saat ini sedang dipelajari lebih lanjut diharapan dapat mendukung kesimpulan tersebut sebagaimana disebutkan pada bagian selanjutnya. KARAKTERISTIK RESERVOIR DAN IMPLIKASINYA Berdasarkan analisis yang telah diuraikan sebelumnya, secara stratigrafis, Formasi Ngrayong mempunyai penyebaran yang relatif luas, akan tetapi sangat tergantung pada distribusi porositas dan permeabilitasnya. Porositas dan permeabilitas formasi merupakan kunci utama penentu suatu produktivitas suatu sumur yang dibor. Keduanya dapat terganggu apabila mengalami kerusakan formasi, yang dicirikan dengan adanya skin, yang dapat disebabkan oleh kerusakan mekanis, oleh invasi partikel padatan di dalam fluida pemboran ke dalam formasi yang berpori, dan oleh kerusakan kimiawi, oleh reaksi material formasi atau fluida formasi dengan fasa likuid dari fluida pemboran. Berdasarkan uraian sebelumnya, batupasir Ngrayong merupakan formasi berbutir halus – sedang, mengandung material lempungan, yang salah satunya adalah smektit (montmorilonit), serta berpotensi mengalami penyumbatan (plugging). Berdasarkan analisis, material lempung tersebut hadir di dalam batuan dengan struktur laminasi, pore linings, butiran, dan berasosiasi dengan mineral pirit (gambar 24). Hal tersebut menunjukkan bahwa batupasir Ngrayong berpotensi untuk mengalami kerusakan mekanis maupun kimiawi, yang akhirnya akan mengganggu porositas dan permeabilitas. Kerusakan mekanis dapat disebabkan oleh invasi partikel padatan di dalam fluida pemboran ke dalam formasi (Liu, X., dan Civan, F., 1995). Di samping itu, masalah ketidakstabilan dinding lobang bor umumnya terjadi di formasi serpih atau serpihan. Sedangkan kerusakan kimiawi dapat disebabkan oleh reaksi material formasi (smektit mempunyai harga kapasitas pertukaran kation, CEC, yang tinggi, gambar 25) atau fluida formasi, yang tidak dibahas dalam tulisan ini, dengan fasa likuid dari fluida pemboran. Untuk itu, penentuan sifat fisik dan kimiawi lumpur pemboran yang tepat akan mampu mendapatkan produkstivitas sumur yang diinginkan. Makin besar kapasitas perforator dan makin besar diameter lobang hasil perforasi, makin besar pula kerusakan yang diakibatkannya (Behrmann, L.A., 1995). Selama perforasi, permeabilitas daerah yang hancur yang diakibatkannya akan berkurang dari permeabilitas batuan aslinya, yang mengakibatkan produktivitas sumur berkurang juga (Asadi, M., dkk, 1994). Produktivitas ini dapat lebih rendah apabila permeabilitas zona hancur mengalami gangguan lebih jauh. Untuk mendapatkan zona hancur lebih sedikit dan produktifitas yang lebih baik diperlukan kondisi kurang setimbang (underbalance) pada saat perforasi, terutama untuk batupasir dengan permeabilitas rendah seperti pada Formasi Ngrayong. Pembersihan kerusakan formasi dapat juga dilakukan dengan stimulasi asam. Sedangkan fracturing digunakan untuk melampaui zona yang rusak tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan juga dengan menggunakan bahan peledak berkemampuan rendah (lowcharge perforator). Seperti telah diuraikan pada bahasan sebelumnya, litologi Formasi Ngrayong cenderung mempunyai sifat mampu menyimpan fluida dengan baik, akan tetapi juga mempunyai sifat menyisakan fluida juga cukup tinggi. Hal tersebut dapat digambarkan sebagai berikut (gambar 26). Secara umum, pori-pori batuan adalah rongga di dalam batuan tempat fluida, air dan hidokarbon, terakumulasi. Di dalam formasi batupasir, yang tersortasi baik dan basah air (water wet), ruangan di sekitar pori-pori dapat ditempati oleh berbagai jenis mineral yang berbeda. Air yang berada di dalam ruang pori akan terikat sangat kuat ke permukaan butiran pasir oleh tegangan permukaan. Di dalam formasi ini, rongga-rongga di antara butiran pasir, sering kali, juga terisi oleh partikel lempung. Air juga terikat dengan kuat ke permukaan partikel lempung dan oleh karena lempung mempunyai rasio yang besar antara luas permukaan butiran terhadap volume butiran, maka jumlah relatif air terikat lempung (clay bound –water) akan lebih besar. Air ini akan selalu tinggal di dalam formasi. Partikel lempung dan lapisan air terikatnya secara efektif mengurangi ukuran diameter saluran pori-pori batuan, yang akan mengurangi permeabilitasnya. Pada batupasir murni, air ini disebut sebagai air terikat kapiler (capillary bound – water) yang keberadaannya sangat tergantung pada tegangan permukaan butiran. Karakteristik reservoir seperti yang telah disebutkan akan sangat baik bila diidentifikasi dengan menggunakan alat resonansi magnetik yang menggunakan amplitudo sinyal magnetik pantulan untuk mengukur porositas dan komponen fluidanya (Allen, D., dkk, 1997). Amplitudo tersebut akan mengalami peluruhan dalam suatu waktu tertentu, T2, untuk masing-masing komponen tersebut, yang mencerminkan laju relaksasinya pada permukaan butiran batuan. Waktu T2 ditentukan oleh rasio luas permukaan pori - volume pori. Di dalam mineral lempung, inti atom H+ mengalami laju relaksasi tinggi karena proton air terletak dekat dengan permukaan butiran dan sering kali bersinggungan dengan permukaan oleh tegangan permukaan. Volume pori-pori pada batuan lempungan sangat kecil, atau rasio luas permukaan pori-pori – volume pori-pori besar, sehingga laju relaksasinya akan tinggi atau komponen porositas T2-nya akan lebih pendek. Sebaliknya, di dalam pori-pori besar dengan rasio yang kecil antara permukaan butiran – volume butiran, persinggungan hidrogen dengan permukaan butiran adalah kecil sehingga menurunkan laju relaksasi, yang tergambarkan dalam waktu pengukuran alat resonansi magnetik untuk komponen T2 menjadi lebih lama. Demikian juga dengan air bebas di dalam pori-pori yang besar tidak terikat dengan kuat ke permukaan butiran oleh tegangan permukaan. Kesimpulannya, komponen waktu T2 yang lebih lama mencerminkan fluida bebas di dalam formasi. Uraian tersebut dapat dilihat pada gambar 27. Pada keadaan dengan minyak yang terjebak di dalam pori-pori sangat basah air (gambar 28), molekul air tidak dapat berdifusi melintasi antarmuka (interface) minyak – air untuk dapat bersinggungan dengan permukaan butiran. Hasilnya, inti H+ di dalam minyak akan mengalami relaksasi pada laju minyaknya sendiri, yang umumnya lambat dan tergantung viskositas minyak. Pada tampilan distribusi T2, hal ini akan menunjukkan separasi minyak dan air. Dengan penjelasan yang telah diuraikan tersebut, bila dibandingkan log porositas, yang membaca porositas total yang di dalamnya terkandung seluruh komponen fluida, akan menyebabkan biasnya suatu interpretasi mengenai kondisi fluida di dalam formasi. Sebagaimana diuraikan dalam analisis batuan inti, sebagai contoh, G-PN, 45% dari porositas 20% adalah air yang terkandung di dalam formasi, yang bisa jadi merupakan air terikat kapiler, terikat lempung, atau air bebas, yang telah disebutkan terdahulu. Meskipun 34% dari 55% saturasi minyak dapat terambil, 21% nya masih tersisa di dalam formasi karena saluran-saluran pori tertutup oleh airair takterambil. Juga, pada uraian analisis dengan menggunakan alat resonansi magnetik di sumur G-PD, Formasi Ngrayong mempunyai volume pori-pori + 24 %. Pada perhitungan jumlah hidrokarbon, 40 % dari 40 % saturasi hidrokarbon diproduksikan, 60 % nya tidak dapat diproduksikan. Hal ini dapat diartikan bahwa batupasir Ngrayong kemungkinan, saat ini, masih mengandung minyak takterambil (irreducible oil), yang dapat diproduksikan apabila dilakukan stimulasi perekahan. SUMUR USULAN Dengan mengacu pada bahasan-bahasan sebelumnya, disampaikan beberapa sumur yang diusulkan untuk ditindaklanjuti berkenaan dengan hasil pemelajaran. Umumnya, kemungkinan mendapatkan hidrokarbon dari Formasi Ngrayong adalah dengan melakukan perforasi baru, perforasi tambahan atau ulang, dan stimulasi perekahan. Usulan selang dan pekerjaan, meskipun tidak spesifik yang memerlukan kajian lebih lanjut meliputi juga kondisi sumur, uji masing-masing selang produksi ganda, dan ikatan semen di belakang selubung, dalam upaya peningkatan produksi dapat dilakukan di sumur G-PP, G-PX, dan G-PA. Di sumur G-PP, berdasarkan karakteristik log, pada kedalaman 772 776 m, dapat merupakan interval referensi yang sampai saat ini masih memproduksikan minyak sebesar 24 m3. Selang 781 – 785 m dan 792 – 795 m mempunyai karakter log yang relatif lebih bagus apabila dibandingkan dengan karakter log yang disebutkan terdahulu, akan tetapi tidak memberikan hasil produksi yang bagus. Hal tersebut, kemungkinan dapat diakibatkan oleh adanya kerusakan formasi. Pekerjaan yang diusulkan adalah reperforasi secara underbalance dengan menggunakan bahan peledak berkemampuan rendah. Di sumur G-PX, secara umum, seluruh selang yang diperforasi memungkinan untuk dilakukan stimulasi perekahan untuk mendapatkan sisa hidrokarbon yang masih tertinggal. Di sumur G-PA, selang 550 – 600 m merupakan selang yang masih sangat memungkinkan dilakukan perforasi baru dengan menggunakan perforator berkemampuan rendah. Di samping itu, pada selang antara 555 – 575 m, apabila diperforasi, diinterpretasikan akan menghasilkan gas. Pada awal produksinya sebaiknya tidak dilakukan stimulasi sampai dengan selang tersebut mengalami penurunan produksi. RINGKASAN Batupasir Formasi Ngrayong Struktur Kawengan diendapkan pada lingkungan pengendapan laut dangkal yang dipengaruhi oleh singkatnya kenaikan dan penurunan muka air laut. Hal tersebut juga mengakibatkan batupasir ini, pengendapannya, dipengaruhi juga oleh proses-proses sedimetasi daratan. Penyebaran batupasir ini dikontrol oleh dasar pengendapan purba yang dibentuk oleh proses tektonik rifting. Batupasir Formasi Ngrayong Struktur Kawengan yang, secara alamiah, merupakan batupasir berbutir halus – sedang dan mengandung sejumlah mineral lempung, yang hadir juga sebagai serpih bisa jadi merupakan satu kesatuan reservoir yang di antara zona dengan karakterisik reservoir yang baik dipisahkan dengan karakteristik yang kurang baik. Hal tersebut menjadikan formasi ini kemungkinan masih mengandung prospek hidrokarbon yang tersisa, yang pengambilannya memerlukan stimulasi perekahan. Batupasir Formasi Nrayong, secara fisik, mempunyai sifat yang peka terhadap aksi eksternal selama pekerjaan pemboran, komplesi, maupun produksi. Kerusakan formasi akibat aksi tersebut dapat diatasi dengan melakukan tindakan dengan menggunakan cairan pemboran yang sesuai dengan karakteristik formasi, menggunakan perforator berkekuatan rendah pada kondisi bawah setimbang untuk membersihkan zona hancuran, dan melakukan stimulasi perekahan yang juga dapat ditambahkan proses pengasaman. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Manajemen Pertamina Daerah Operasi Hulu Jawa Bagian Timur atas kesempatan dan ijin yang diberikan untuk menyusun tulisan ini. Perhargaan yang setinggi-tingginya juga disampaikan kepada seluruh kolega penulis atas dukungan yang diberikan selama penyusunan tulisan ini. DAFTAR PUSTAKA Allen, D., dkk, 1997, How to Use Borehole Nuclear Magnetic Resonance, Oilfield Review, Schlumberger Asadi, M., dkk, 1994, Effect of the Formation Damage on Well Productivity, SPE Int’l Symposium on Formation Damage Control Behrmann, L.A., 1995, Underbalance Criteris For Minimum Formation Damage, SPE European Formation Damage Conference Boggs, S., Jr., Principles of Sedimentology and Stratigraphy, Prentice-Hall, Inc., Oregon. Busch, D.A., dan Link, D.A., 1985, Exploration Methods for Sandstone Reservoirs, OGCI Publications, Tulsa, Oklahoma Liu, X., dan Civan, F., 1995, Formation Damage by Fines Migration Including Effects of Filter Cake, Pore Compressibility, and Non-Darcy Flow – A Modeling Approach to Scaling From Core to Field, SPE Int’l Symposium on Oilfield Chemistry Netherwood, R., 2000, Petroleum Geology of Indonesia in Overview of Indonesia’s Oil and Gas Industry, Schlumberger