PANITIA SEMINAR NASIONAL & RAPAT TAHUNAN DEKAN BIDANG ILMU PERTANIAN BKS PTN BARAT Sekretariat : Gedung A Lt. 1, Fakultas Pertanian, Universitas Malikussaleh Kampus Cot Teungku Nie Reuleut Muara Batu Aceh Utara Website : semirata2016.fp.unimal.ac.id Telp. (0645) 57320 , Po Box 141 Lhokseumawe SURAT KETERANGAN 088/Panpel/FP-Unimal/B/VIII/2016 Kami Panitia SEMIRATA BKS-PTN Wilayah Barat Bidang Ilmu Pertanian dengan tema “Merancang Masa Depan Pertanian Indonesia di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN ( MEA ), dengan ini menerangkan bahwa : Nama : Shanti Desima Simbolon NIM : 138106003 Program : Doktor Program Studi : Pengelolaan Sumber daya Alam dan Lingkungan USU Adalah benar telah menyerahkan dan memaparkan makalahnya yang berjudul “Dampak Buruk Pola Penggunaan Lahan Pertanian tanpa Tindakan Konservasi Tanah di Kawasan Hulu Daerah Aliran Sungai” pada hari Jumat tanggal 5 Agustus 2016 di Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. Mengingat banyaknya makalah yang masuk, sehingga Panitia mengalami keterlambatan dalam penerbitan prosiding hingga bulan Desember Tahun 2016. Demikianlah surat keterangan ini kami buat untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya. Lhokseumawe,12 Agustus 2016 Ketua Pelaksana, Dr. Ir. Halim Akbar, M.Si NIP. 196706062002121001 DAMPAK BURUK POLA PENGGUNAAN LAHAN PERTANIAN TANPA TINDAKAN KONSERVASI TANAH DI KAWASAN HULU DAERAH ALIRAN SUNGAI Shanti Desima Simbolon1, Zulkifli Nasution2, Abdul Rauf3, Delvian4 1 Mahasiswa Program Doktor Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Staf Pengajar Program Doktor Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 3 Staf Pengajar Program Doktor Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 4 Staf Pengajar Program Doktor Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2 Universitas Sumatera Utara, Medan e-mail: [email protected] Abstract Cultivation on the land area of upland watersheds (DAS) faced with limiting factors such biophysical relatively steep slope, the sensitivity of the soil against erosion, rainfall is relatively high, and erosion. Errors in the management of this area would lead to degradation of land that will eventually be detrimental to farmers. The results of several research reports indicate that the land to the condition of the slope range 32% - 40% are classified as steep without some conservation measures will reduce soil infiltration capacity, increase the amount of runoff and runoff. Without the efforts of control and permanent protection against agricultural lands productive, the agricultural activities can not take place permanently. This paper discusses the results of studies showing adverse effects of land-use patterns without regard to soil conservation as well as solutions which can be implemented by farmers on the farm such as the following studies explaining that farmland with slope> 25% should be made conservation techniques terrace incline bench into the channel equipped with water and waster water trap soil, water discharge channel is equipped with main and planted grass Paspalum notatum and terrace about 70 cm high, while the slope> 45% should be sought where dense undergrowth. Finally, the implementation of conservation measures sustainable soil on agricultural land in the upland watersheds would save farmland that once farmers. Keywords: land use, slope, erosion, infiltration capacity, soil conservation ABSTRAK Budidaya tanaman di lahan kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS) dihadapkan kepada faktor pembatas biofisik seperti lereng yang relative curam, kepekaan tanah terhadap longsor, curah hujan yang relative tinggi, dan erosi. Kesalahan dalam pengelolaan kawasan ini akan menyebabkan terjadinya degradasi tanah yang pada akhirnya akan merugikan petani. Hasil beberapa laporan penelitian menunjukkan bahwa lahan dengan kondisi kemiringan lereng berkisar 32% – 40% yang tergolong curam tanpa dilakukannya tindakan konservasi akan menurunkan kapasitas infiltrasi tanah, memperbesar jumlah aliran permukaan serta kecepatan aliran permukaan. Tanpa adanya usaha-usaha pengendalian dan perlindungan yang permanen terhadap tanah-tanah pertanian yang produktif, maka kegiatan-kegiatan pertanian tidak dapat berlangsung secara permanen. Makalah ini membahas hasil-hasil penelitian yang menunjukkan dampak buruk pola penggunaan lahan tanpa mengindahkan konservasi tanah serta solusi-solusi yang dapat dilaksanakan oleh petani pada lahan pertaniannya seperti hasil penelitian berikut yang menjelaskan bahwa lahan pertanian dengan kemiringan lereng > 25% harus dibuat teknik konservasi teras bangku miring ke dalam dilengkapi dengan saluran pembuang air dan jebakan air tanah, dilengkapi dengan saluran pembuang air utama yang ditanami rumput Paspalum notatum dan tinggi teras sekitar 70 cm sedangkan pada kemiringan lereng > 45% harus diupayakan keberadaan tumbuhan bawah yang rapat. Pada akhirnya, penerapan tindakan-tindakan konservasi tanah yang berkelanjutan pada lahan pertanian di kawasan hulu daerah aliran sungai akan menyelamatkan lahan pertanian tersebut sekaligus petaninya. Kata kunci : pola penggunaan lahan, kemiringan lereng, erosi, kapasitas infiltrasi, tindakan konservasi tanah PENDAHULUAN Pada dasarnya, lahan di kawasan hulu memiliki potensi yang besar sebagai kawasan pertanian produktif. Sejak dulu kala, banyak petani bermukim dan memanfaatkan kawasan ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menopang ekonomi keluarga. Namun, sayangnya budidaya tanaman di lahan kawasan hulu daerah aliran sungai (DAS) dihadapkan kepada faktor pembatas biofisik seperti lereng yang relative curam, kepekaan tanah terhadap longsor, curah hujan yang relative tinggi, dan erosi. Kesalahan dalam pengelolaan kawasan hulu DAS ini akan menyebabkan terjadinya kerusakan tanah dimana pada akhirnya akan merugikan petani. Terjadi kerusakan lahan dalam jangka panjang atau bahkan permanen jika petani tidak melaksanakan tindakan-tindakan konservasi yang sangat diperlukan untuk kegiatan pertanian mereka sehari-hari (Arsyad, 2006). Tanah yang hilang akibat proses erosi tersebut terangkut oleh air sehingga menyebabkan kehilangan unsur hara dari permukaan tanah. Langdale et al. (1979) dan Lal (1985) melaporkan bahwa hasil jagung menurun 0,07-0,15 t/ha setiap kehilangan tanah setebal 1 cm. Hal ini terjadi karena tanah lapisan atas memiliki tingkat kesuburan paling tinggi, dan menurun pada lapisan di bawahnya. Penyebab utama penurunan kesuburan tersebut adalah kadar bahan organik dan hara tanah makin menurun, tekstur bertambah berat, dan struktur tanah makin padat. Tanpa adanya usaha-usaha pengendalian dan perlindungan yang permanen terhadap tanah-tanah pertanian yang produktif, maka kegiatan-kegiatan pertanian tidak dapat berlangsung secara permanen. Berdasarkan uraian-uraian tersebut, dalam makalah ini penulis membahas hasil-hasil penelitian yang menunjukkan dampak buruk pola penggunaan lahan tanpa mengindahkan konservasi tanah serta solusi-solusi yang dapat dilaksanakan oleh petani pada lahan pertaniannya. METODE Menggunakan studi kepustakaan dengan pendekatan deskriptif, dimana penulis memberikan pemaparan umum sehingga permasalahan dapat digambarkan dengan jelas beserta solusi yang diperlukan. PEMBAHASAN Hasil – Hasil Penelitian Laju erosi akan meningkat apabila faktor manusia juga turut berperan, yaitu jika petani melaksanakan pertanian tanpa penerapan teknik-teknik konservasi tanah. Hal ini banyak terjadi pada pertanian lahan kering di lereng-lereng bukit atau gunung. Beberapa hasil penelitian menunjukkan dampak buruk pola penggunaan lahan pertanian tanpa tindakan konservasi terutama di kawasan hulu DAS. Berdasarkan hasil penelitian Abdurachman et al. (1985) dilaporkan bahwa terjadi erosi pada lahan tanaman pangan tanpa konservasi tanah sampai 14-15 mm/tahun di Putat dan di Punung (Abdurachman et al. 1985), Demikian juga pada lahan tanaman pangan yang berlereng 14% di Baturaja, laju erosi mencapai 4,6 mm/tahun. Soemarwoto (1974) dalam Abdurachman et al. (1985) melaporkan sedimentasi di DAS Cilutung, memperlihatkan kenaikan laju erosi tanah dari 0,9 mm/tahun pada 1911/1912 menjadi 1,9 mm/tahun pada 1934/1935, dan naik lagi menjadi 5 mm/tahun pada 1970-an; Partosedono (1977) dalam Abdurachman et al. (1985) melaporkan bahwa laju erosi di DAS Cimanuk, mencapai 5,2 mm/tahun, mencakup areal 332 ribu ha; Suwardjo (1981) dalam Abdurachman et al. (1985) menjelaskan bahwa pada tanah Ultisols di Citayam yang berlereng 14 % dan ditanami tanaman pangan semusim, laju erosi mencapai 25 mm/tahun. Data di atas mengindikasikan bahwa sekitar 40 - 250 m3 atau 35 - 220 ton tanah/ha lahan tererosi setiap tahun, dengan laju peningkatan 7-14% atau 3-28 ton tanah/ ha/tahun, dibanding di Amerika Serikat yang hanya 0,7 ton/ha/tahun. Hasil penelitian mengindikasikan laju erosi tanah di Indonesia cukup tinggi dan telah berlangsung sejak awal abad ke-20 dan masih berlanjut hingga kini. Dewi, Tatiek, dan Kusmawati (2012) juga melaporkan bahwa hasil penelitian mereka yang menunjukkan erosi berat terjadi pada pola penggunaan lahan kebun campuran dan tegalan. Erosi berat ini disebabkan nilai CP dari masing-masing unit lahan tinggi dengan kemiringan lerengnya berkisar 32% – 40% yang tergolong curam tanpa dilakukannya tindakan konservasi. Hal ini menyebabkan menurunnya kapasitas infiltrasi tanah, dan memperbesar jumlah aliran permukaan serta kecepatan aliran permukaan. Pengaruh Kondisi Iklim dan Topografi Terhadap Erosi Tingginya desakan kebutuhan terhadap lahan pertanian menyebabkan tanaman semusim tidak hanya dibudidayakan pada lahan datar, tetapi juga pada lahan yang berlereng > 16%, yang seharusnya digunakan untuk tanaman tahunan atau hutan (Hidayat dan Mulyani 2002), namun penggunaannya diperebutkan oleh pertanian, pemukiman, industri, pertambangan, dan sektor lainnya. Pada umumnya, daya saing petani dan pertanian lahan kering jauh lebih rendah dibanding sektor lain, sehingga pertanian terdesak ke lahanlahan berlereng curam. Kondisi alam di Indonesia cenderung mempercepat laju erosi, terutama oleh tiga faktor berikut: 1) curah hujan tinggi, 2) kemiringan lereng curam, dan 3) tanah peka erosi. Salah satu faktor atau gabungan faktor-faktor tersebut akan menyebabkan tingginya laju erosi. Faktor lereng merupakan penyebab erosi alami yang paling dominan dari ketiga faktor tersebut, di samping curah hujan yang tinggi. Sebagian besar (77%) lahan di Indonesia berlereng >3% dengan topografi bervariasi dari datar agak berombak, bergelombang, berbukit sampai bergunung. Lahan datar (lereng <3%) hanya sekitar 42,60 juta ha, kurang dari seperempat wilayah Indonesia (Subagyo et al. 2000). Hal ini menyebabkan terjadinya degradasi lahan pertanian. Sedangkan menurut data Badan Meteorologi dan Geofisika (1994) mengemukakan bahwa sekitar 23,1% luas wilayah Indonesia memiliki curah hujan tahunan > 3.500 mm, sekitar 59,7% antara 2.000-3.500 mm, dan hanya 17,2% yang memiliki curah hujan tahunan < 2.000 mm. Dengan demikian, curah hujan merupakan faktor pendorong terjadinya erosi berat, dan mencakup areal yang luas sehingga lereng merupakan penyebab erosi alami yang dominan di samping curah hujan. Sebagian besar (77%) lahan di Indonesia berlereng > 3% dengan topografi datar, agak berombak, bergelombang, berbukit sampai bergunung. Lahan datar (lereng < 3%) hanya sekitar 42,6 juta ha, kurang dari seperempat wilayah Indonesia (Subagyo et al. 2000). Secara umum, lahan berlereng (> 3%) di setiap pulau di Indonesia lebih luas dari lahan datar (< 3%). Tingkat laju erosi tanah pada lahan pertanian berlereng antara 3-15% di Indonesia tergolong tinggi, yaitu berkisar antara 97,5-423,6 t/ha/tahun. Padahal, banyak lahan pertanian yang berlereng lebih dari 15%, bahkan lebih dari 100%, sehingga laju erosi dipastikan sangat tinggi. Hal ini terjadi terutama karena curah hujan yang tinggi dan kelalaian pengguna lahan dalam menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air (Abdurachman, 2006) Laju erosi tanah meningkat dengan berkembangnya budidaya pertanian yang tidak disertai penerapan teknik konservasi, seperti pada sistem perladangan berpindah. Bahkan pada sistem pertanian menetap pun, penerapan teknik konservasi tanah belum merupakan kebiasaan petani dan belum dianggap sebagai bagian penting dari pertanian. Metode Konservasi Tanah Setiap macam penggunaan tanah mempunyai pengaruh terhadap kerusakan tanah oleh erosi. Penggunaan tanah pertanian ditentukan oleh jenis tanaman dan vegetasi cara bercocok dan intensitas penggunaan tanah. Teknologi yan diterapkan pada setiap macam penggunaan tanah akan menentukan apakah akan didapat penggunaan dan produksi yang lestari dari sebidang tanah. Metoda konservasi tanah dapat dibagi dalam tiga golongan utama, yaitu : (1) metoda vegetative; (2) metoda mekanik, dan (3) metoda kimia (Arsyad, 1989). Metoda vegetatif adalah penggunaan tanaman atau tumbuhan dan sisa–sisanya untuk mengurangi daya rusak hujan yang jatuh, mengurangi jumlah dan daya rusak aliran permukaan dan erosi. Berbagai jenis tanaman atau vegetasi dan penggunaan tanah mempunyai efisiensi yang berlainan dalam konservasi tanah. Termasuk di dalam metoda vegetatif untuk konservasi tanah dan air adalah : (1) penanaman tumbuhan atau tanaman yang menutupi tanah secara terus-menerus; (2) penanaman dalam strip (strip cropping); (3) pergilingan tanaman dengan tanaman pupuk hijau atau tanaman penutup tanah (conservation rotation); (4) sistem pertanian hutan (agroforestry); (5) pemanfaatan sisa-sisa tanaman atau tumbuhan (residue management) dan (6) penanaman saluran-saluran pembuangan dengan rumput (vegetated atau grassed waterways). Selanjutnya Arsyad (1989) menjelaskan bahwa metode makanik adalah semua perlakuan fisik mekanis yang diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan erosi, dan meningkatkan kemampuan penggunaan tanah. Termasuk di dalamnya adalah (1) pengolahan tanah (tillage); (2) pengolahan tanah menurut kontur (contour cultivation); (3) guludan dan guludan bersaluran menurut kontur; (4) terras; (5) dan penghambat (check dam), waduk (balong) (farm ponds), rorak, tanggul, dan (6) perbaikan drainase dan irigasi. Terakhir adalah metoda kimia dalam konservasi tanah adalah penggunaan preparat kimia sintetis atau alami. Preparat kimia tersebut secara umum dinamai soil conditioner, atau disebut juga pemantap struktur tanah. Tetapi untuk metode kimia ini belum diterapkan di tingkat petani karena biaya preparatnya yang mahal sehingga kurang populer dalam kegiatan konservasi tanah di kalangan petani. Penerapan metode ini masih di kalangan peneliti dan belum menyentuh petani. Peranan Konservasi Tanah dalam Praktek Pertanian Kerusakan tanah pada umumnya terjadi karena tindakan manusia sendiri yang tidak mengindahkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air dalam mengelola usahataninya yang merupakan kemunduran dalam penggunaan sumber daya alam. Hingga mengakibatkan kerugian dengan banyak bencana misalnya banjir, kekeringan, erosi dan lain-lain. Oleh karena itu dalam pengelolaan lahan pertanian sangat penting dilakukan tindakan konservasi. Tujuan Konservasi adalah sebagai berikut : (1) mencegah kerusakan tanah akibat erosi dan aliran permukaan; (2) memperbaiki tanah yang rusak; (3) menjaga dan memelihara produktivitas tanah agar tercapainya produksi setinggi-tingginya dalam waktu yang tidak terbatas; dan (4) meningkatkan produktivitas lahan usahatani. Pengelolaan konservasi merupakan strategi utama dalam upaya pelestarian dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumber daya alam secara berkelanjutan. Dalam usaha ini, pengelolaan konservasi tanah menjadi komponen utama yang perlu diperhatikan agar tercapai tingkat produktivitas yang tinggi dan berkelanjutan. Pencegahan dengan teknik konservasi yang tepat sangat diperlukan dengan mempertimbangkan faktor-faktor penyebab erosi. Tanpa konservasi tanah, dapat terjadi erosi pada lahan tanaman pangan sampai 14-15 mm/tahun, seperti di Putat, Jawa Tengah, dan di Punung, Jawa Timur (Abdurachman et al. 1985). Demikian juga pada lahan tanaman pangan yang berlereng 14% di Baturaja, laju erosi mencapai 4,6 mm/tahun (Abdurachman et al. 1985). Oleh karean itu, pengetahuan serta teknologi konservasi tanah s e makin diperlukan sejalan dengan meningkatnya kompleksitas permasalahan degradasi tanah danlahan sebagai konsekuensi pesatnya pembangunan nasional yang terkait dengan pemanfaatan dan pengelolaan lahan. Teknologi konservasi dapat pula didiseminasikan melalui peraturan, seperti dengan penetapan Permentan 47 tahun 2006 tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian pada Lahan Pegunungan. Dalam Permentan tersebut dengan tegas ditetapkan strategi dan teknologi konservasi tanah dan air menurut karakteristik lahan dan iklim secara spesifik lokasi yaitu kawasan hulu DAS atau pegunungan. Salah satu hal yang juga perlu diupayakan adalah pengadaan tenaga penyuluh konservasi tanah lapangan yang terlatih dan dibekali pengetahuan dan teknologi konservasi yang memadai. Kondisi sosial ekonomi dan sumber daya masyarakat juga menjadi pertimbangan sehingga tindakan konservasi yang dipilih diharapkan dapat meningkatkan produktivitas lahan, menambah pendapatan petani serta memperkecil risiko degradasi lahan. Dampak Buruk Pola Penggunaan Lahan Pertanian Tanpa Tindakan Konservasi Tanah di Kawasan Hulu Daerah Aliran Sungai Erosi tanah oleh air menurunkan produktivitas secara nyata melalui penurunan kesuburan tanah, baik fisika, kimia maupun biologi. Sudirman, Naik Sinukaban, Suwardjo dan Sitanala Arsyad (1986) dalam Arsyad (1989) dari percobaan pada tanah Haplorthox di Kuamang Kuning, Jambi, melaporkan bahwa pada tingkat erosi 10, 20, 40 dan 60 cm terjadi penurunan produksi kedelai menjadi masing-masing 48, 65, 79 dan 86 persen dari produksi tanpa erosi. Menurut Kurnia et al. (2002), kerugian yang harus ditanggung akibat degradasi lahan tanpa tindakan rehabilitasi lahan mencapai Rp 291.715,- /ha, sedangkan apabila lahan dikonservasi secara vegetatif, maka kerugian akan jauh lebih rendah. Hasil penelitian Suwardjo (1981) dalam Arsyad (1989) menunjukkan bahwa kehilangan 1,1 cm lapisan atas tanah (erosi) menurunkan produksi kacang tanah dengan 2 persen dari tanpa erosi; kehilangan 2,2 cm lapisan olah menurunkan produksi kedelai sebesar 14 persen, kehilangan 3,5 cm lapisan olah menurunkan produksi jagung sebesar 28 persen dan kehilangan 3,7 cm lapisan olah menurunkan produksi ubikayu sebesar 17 persen. Perlu diingat dalam hal ini tanah tersebut dipupuk. Pengaruh tingkat erosi terhadap besarnya kemerosotan produksi tergantung pada jenis tanaman dan perubahan sifat-sifat tanah menurut kedalaman lapisan atas. Dari hasil berbagai penelitian di daerah jalur jagung di Amerika Serikat hubungan antara besarnya erosi dan produksi jagung diringkaskan oleh Stalling (1964) dalam Aryad (1989) sebagai berikut: 5 cm lapisan atas hilang menyebabkan penurunan produksi sebesar 15 persen; 10 cm – 22 persen; 15 cm – 30 persen; 20 cm – 41 persen; 25 cm – 57 persen; dan 30 cm – 75 persen Mengingat makin luas dan cepatnya laju degradasi lahan pertanian, dan masih lemahnya implementasi konservasi tanah di Indonesia, maka perlu segera dilakukan upaya terobosan yang efektif untuk menyelamatkan lahan-lahan pertanian. Upaya konservasi tanah harus mengarah kepada terciptanya sistem pertanian berkelanjutan yang didukung oleh teknologi serta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan melestarikan sumber daya lahan dan lingkungan. Khusus dalam hal konservasi tanah dan air, kendala yang dihadapi adalah erodibilitas tanah dan erosivitas hujan yang sangat tinggi, faktor lereng dan fisiografi. Dalam kondisi seperti ini maka tindakan konservasi tanah harus dibarengi dengan intensifikasi usahatani dan rehabilitasi lahan. Salah satu upaya intensifikasi usahatani lahan kering adalah dengan pemilihan kultivar, pengaturan pola tanam yang melibatkan tanaman semusim dan tanaman tahunan, serta ternak dibarengi dengan penanaman rumput/tanaman hijauan pakan. Hambatan dalam Penerapan Tindakan-Tindakan Konservasi Tanah Hambatan ekonomis terkait dengan kondisi petani, yang pada umumnya tergolong petani kecil atau petani gurem yang tidak memiliki modal kerja cukup, sehingga komponen konservasi lahan terabaikan. Mereka sangat membutuhkan hasil langsung yang dapat diperoleh segera untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Dalam masalah konversi atau alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian, banyak petani menjual lahan pertaniannya karena membutuhkan dana untuk keperluan hidup keluarga, walaupun terpaksa kehilangan atau berkurang mata pencahariannya.Selain itu, praktek pertanian tanpa penerapan teknik konservasi juga sering dijumpai seperti sistem perladangan berpindah dengan metode slash and burn. Dalam hal kebakaran hutan, masalah ekonomi yang menonjol adalah memilih cara penyiapan lahan untuk pertanian yang biayanya murah. Kurangnya pengetahuan petani terhadap teknologi konservasi yang dibutuhkan juga menjadi hambatan yang besar dalam penerapan teknik-teknik konservasi tanah. Masalah sosial juga sering menghambat upaya konservasi lahan pertanian, seperti kepemilikan dan hak atas lahan, fragmentasi lahan pertanian, sempitnya lahan garapan petani, dan tekanan penduduk. Selain itu, ada permasalahan yang melekat pada petani sendiri, misalnya petani enggan berpindah dari lahan yang tidak sesuai untuk pertanian seperti DAS bagian hulu, atau mengganti komoditas pertanian dari tanaman semusim menjadi tanaman tahunan. Politik atau kebijakan pemerintah dalam menangani konservasi tanah dan air juga sangat menentukan keberhasilan upaya pengendalian degradasi lingkup nasional. Namun realisasi yang berupa program dan pendanaan sering tidak dijadikan prioritas utama. Pemerintah lebih mengarahkan program dan pendanaannya kepada kegiatan-kegiatan yang dapat memberikan hasil segera dan mudah dilihat masyarakat umum, seperti pembuatan jalan, jembatan, irigasi, dan subsidi pupuk. Hambatan-hambatan tersebut menyebabkan penerapan teknik-teknik konservasi tanah belum berhasil baik, dan proses degradasi masih terus berlangsung. Di sisi lain, penerapan tindakan konservasi memerlukan biaya tinggi, sedangkan hasilnya baru dapat terlihat dalam jangka panjang. Program konservasi tanah tidak cepat dan tidak mudah terlihat hasilnya, padahal kebutuhan biaya implementasinya cukup besar. Namun, alasan tidak disiplin dan mau mudahnya saja lebih dominan dibanding alasan ekonomi. Berbagai Alternatif Pemecahan Masalah Terhadap Dampak Buruk Pola Penggunan Lahan Tanpa Tindakan Konservasi Berdasarkan hasil penelitian Puspaningsih (1999) menjelaskan bahwa lahan pertanian dengan kemiringan lereng > 25% harus dibuat teknik konservasi teras bangku miring ke dalam dilengkapi dengan saluran pembuang air dan jebakan air tanah, dilengkapi dengan saluran pembuang air utama yang ditanami rumput Paspalum notatum dan tinggi teras sekitar 70 cm sedangkan pada kemiringan lereng > 45% harus diupayakan keberadaan tumbuhan bawah yang rapat. Hasil laporan penelitian lainnya menunjukkan bahwa pengaruh melindungi dari sistem pertanian agroforestri terhadap besarnya erosi bukan disebabkan oleh adanya unsur pohon, melainkan oleh adanya tumbuhan bawah dan serasah. Arah dan jarak terkelupasnya partikelpartikel tanah ditentukan oleh kemiringan lereng, kecepatan & arah angin, keadaan kekasaran permukaan tanah, dan penutupan tanah. Pada tanah berlereng, loncatan partikel tanah tersebut lebih banyak ke tempat yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena sudut datang energi kinetik air hujan akan mendorong partikel-partikel tanah tersebut ke tempat yang lebih rendah. Apabila air hujan jatuh di atas serasah atau tumbuhan bawah energi kinetik air hujan tersebut akan tertahan oleh penutup tanah sehingga menurunkan jumlah partikel tanah yang terkelupas (Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007). Dalam hal ini, pemerintah juga turut memikirkan nasib petani di kawasan hulu DAS dengan mengeluarkan Peraturan menteri pertanian nomor: 47/permentan/ot.140/10/2006 Tentang Pedoman umum budidaya pertanian pada lahan pegunungan. Harapan Pemerintah melalui peraturan ini, para petani dapat menerapkan di lahan pertaniannya sehingga kualitasnya tetap terjaga sekaligus dapat meningkatkan pendapatan petani tersebut akibat produktivitas yang meningkat. Salah satu pedoman yang dapat diterapkan oleh petani kawasan hulu DAS dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Matrik pemilihan konservasi tanah mekanis dan komposisi tanaman semusim dan tanaman tahunan Lereng (%) Kedalaman solum (cm)/erodibilitas > 90 cm Rekomendasi Tanaman 40 - 90 cm Rendah Tinggi Rendah % < 40 cm Tinggi Rendah Tinggi Semusim Tahunan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 15 - 25 TB, BL, PH, TB, BL, PH, TB, BL, PH, TB, BL, PH, TB, BL, PH, TB, BL, PH, Maks 50 Min 50 SP, PT, RR, SP, PT, RR, SP, PT, RR, SP, PT, RR, SP, PT, RR, SP, PT, RR, ST ST ST ST ST ST 25 - 40 TB, BL, PH TG, BL, PH TG, BL, PH, TG, BL, PH, TG, BL, PH, TI, RR, BL, Maks 25 Min 75 PT PT PT PT PT PH, PT > 40* TI, TK TI, TK TI, TK TI, TK TI, TK TI, TK 0 100 Keterangan : *Untuk tanah peka erosi (Ultisol, Entisol, Vertisol, Alfisol) dibatasi sampai lereng 65%, sedangkan untuk tanah yang kurang peka sampai lereng 100%. TB = Teras bangku TK = Teras kebun BL = Budidaya lorong PH = Pagar hidup TG = Teras gulud ST = Strip rumput atau strip tanaman alami TI = Teras Individu SP = Silvipastura RR = Rorak PT = Tanaman penutup tanah Berbagai macam metode dan teknik konservasi tanah dan air yang dianjurkan dewasa ini masih bersifat umum, sehingga dalam penerapannya perlu disesuaikan dengan keadaan aktual di masing-masing tempat. Seperti lahan pertanian dengan kemiringan lereng > 25% harus dibuat teknik konservasi teras bangku miring ke dalam dilengkapi dengan saluran pembuang air dan jebakan air tanah, dilengkapi dengan saluran pembuang air utama yang ditanami rumput Paspalum notatum dan tinggi teras sekitar 70 cm sedangkan pada kemiringan lereng > 45% harus diupayakan keberadaan tumbuhan bawah yang rapat (Puspaningsih, 1999). KESIMPULAN 1. Dampak buruk pola penggunaan lahan tanpa tindakan konservasi yaitu erosi secara nyata menurunkan produktivitas melalui penurunan kesuburan tanah. 2. Kehilangan 1,1 cm lapisan atas tanah (erosi) menurunkan produksi kacang tanah dengan 2 persen dari tanpa erosi. 3. Kerugian yang harus ditanggung akibat degradasi lahan tanpa tindakan rehabilitasi lahan mencapai Rp 291.715,- /ha. DAFTAR PUSTAKA Abdurachman, A. 2006. Strategi mempertahankan multifungsi pertanian di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 24 (5): 99-105. Abdurachman, A., A. Barus, U. Kurnia, dan Sudirman. 1985. Peranan pola tanam dalam usaha pencegahan erosi pada lahan pertanian tanaman semusim. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk 4: 41-46. Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Arsyad, S. 2006. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor. Dewi, I.G.A.S.U., Tatiek, N.M.T, dan Kusmawati. 2012. Prediksi Erosi dan Perencanaan Konservasi Tanah dan Air pada Daerah Aliran Sungai Saba. Jurnal E-Jurnal Agroekoteknologi Tropika. ISSN: 2301-6515. Vol.1, No. 1, Juli 2012. http://ojs.unud.ac.id/index.php/JAT. p: 12 -22 Hardjowigeno, S. dan Widiatmaka. 2007. Evaluasi kesesuaian Lahan & Perencanaan Tataguna Lahan. Penerbit Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Hidayat, A. dan A. Mulyani. 2002. Lahan kering untuk pertanian. hlm. 1-34. Dalam Abdurachman, Mappaona dan Saleh (Ed.). Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Kurnia, et al. 2002. Pengaruh Bedengan dan Tanaman Penguat Terras terhadap Erosi dan Produktivitas Tanah pada Lahan Sayuran. Hlm. 207-219 dalam Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Pupuk. Cisarua – Bogor, 30 – 31 Oktober 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Buku II. Lal, R. 1985. Soil erosion and its relation to productivity in tropical soils. p. 237-247. In S.A. El-Swaifi, W.C. Molden- hauer, and A. Lo (Eds.). Soil Erosion and Conservation. USA. Peraturan menteri pertanian nomor : 47/permentan/ot.140/10/2006 Tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan. Puspaningsih, N. 1999. Studi Perencanaan Pengelolaan LAhan di Sub DAS Cisadane Hulu Kabupaten Bogor. Jurnal Manajemen Hutan Tropika. Vol. V, No. 2 : 45-53. Subagyo, H., N. Suharta dan A.B.Siswanto. 2000. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. hlm. 2166. Dalam Abdurachman et.al. (Ed.). Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.