8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindrom Respons Inflamasi Sistemik Pada Anak 2.1.1 Epidemiologi Sindrom respons inflamasi sistemik atau yang lebih dikenal dengan istilah systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons inflamasi tubuh yang bersifat kompleks dan nonspesifik terhadap suatu keadaan yang berbahaya bagi tubuh (Plevkova, 2011; Balk, 2014). Data mengenai epidemiologi SIRS pada anak masih terbatas (Horeczko dan Green, 2013). Sebuah penelitian pada tahun 2000 mendapatkan prevalens SIRS pada anak berusia kurang dari 18 tahun yang dirawat di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) The Hospital de Clinicas de Porto Alegre Brazil sebesar 68% (Carvalho dkk, 2005). Pasien anak dengan SIRS yang diakibatkan oleh infeksi sebesar 64% sementara 36% lainnya disebabkan oleh noninfeksi (Carvalho dkk, 2005). Penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2007 hingga 2010 di National Hospital Ambulatory Medical Care Survey (NHAMCS) Amerika Serikat mendapatkan angka kejadian SIRS pada anak berusia kurang dari 18 tahun adalah sebesar 21,7%. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan bahwa 53% dari keseluruhan kasus SIRS disebabkan oleh infeksi (Horeczko dan Green, 2013). Penelitian lain di Latvia pada tahun 2007 mendapatkan prevalens SIRS pada anak yang dirawat dengan gejala klinis demam adalah sebesar 72% (Pavare dkk, 2009). Sementara pada penelitian yang dilakukan oleh Daniela (2010), sepanjang tahun 8 9 2006-2009 di Craiova didapatkan prevalensi pasien anak dengan SIRS dan mengalami sepsis adalah sebesar 78%. 2.1.2 Etiologi Penyebab SIRS dapat dikelompokkan menjadi dua yakni SIRS yang disebabkan oleh infeksi dan SIRS yang disebabkan oleh noninfeksi. Infeksi bakteri, infeksi pada luka (luka bakar, luka bekas operasi, diabetic foot), kolesistitis, kolangitis, infeksi saluran cerna, pneumonia, infeksi saluran kencing, serta meningitis merupakan beberapa penyakit infeksi yang dapat menimbulkan SIRS. Sindrom respons inflamasi sistemik tidak hanya disebabkan oleh infeksi. Beberapa keadaan noninfeksi juga dapat menyebabkan SIRS antara lain trauma, luka bakar, infark myokard, perdarahan, sirosis, penyakit autoimun, serta reaksi hipersensitivitas baik terhadap obat maupun alergen yang lain (Plevkova, 2011). Sebuah penelitian dilakukan oleh National Hospital Ambulatory Medical Care Survey (NHAMCS) di Amerika Serikat pada tahun 2007 hingga 2010 yang melibatkan 30.650 rumah sakit. Penelitian tersebut mendapatkan angka kejadian SIRS pada anak berusia < 18 tahun yang datang ke rumah sakit adalah 18,1%. Penyebab SIRS terbanyak yang didapatkan pada penelitian tersebut adalah infeksi (53%) (Horeczko dan Green, 2013). 2.1.3 Patofisiologi Sindrom respons inflamasi sistemik atau SIRS terlepas dari apapun penyebabnya memiliki patofisiologi yang sama. Inflamasi merupakan respons tubuh terhadap stimulus yang berbahaya bagi tubuh baik berupa stimulus kimia, traumatik, maupun agen infeksi. Kaskade inflamasi merupakan suatu proses 10 kompleks yang melibatkan imunitas humoral, seluler, komplemen, dan berbagai sitokin (Plevkova, 2011). Trauma, inflamasi, infeksi memicu aktivasi kaskade inflamasi. Pada SIRS yang disebabkan oleh infeksi, kaskade inflamasi dicetuskan oleh endotoksin maupun eksotosin. Makrofag pada jaringan, monosit, sel mast, trombosit, dan sel endotel mampu menghasilkan berbagai sitokin proinflamasi. Tissue necrosis factor-α (TNF- α) dan interleukin (IL)-1 merupakan sitokin pertama yang dilepaskan dan kemudian mencetuskan pelepasan sitokin yang lain. Pelepasan dari TNF- α dan IL-1 menyebabkan pemecahan nuclear factor-K B (NF-K B) inhibitor. Pemecahan dari NF-K B inhibitor menyebabkan produksi mRNA oleh NF-K B yang mampu mencetuskan sitokin proinflamasi yang lain. Apabila SIRS dicetuskan oleh infeksi virus, interferon gamma (IFN γ) merupakan stimulus utama yang dilepaskan oleh sel yang terinfeksi oleh virus tersebut (Plevkova, 2011). Interleukin (IL)-6, IL-8, dan IFN γ merupakan mediator proinflamasi utama yang dicetuskan oleh NF-K B. Interleukin (IL)-1 dan TNF- α merupakan sitokin yang dilepaskan dalam jumlah besar dalam 1 jam pertama. Kedua sitokin tersebut dapat menyebabkan kerusakan paru berat, hipotensi, demam, serta pelepasan hormon stres (norepinefrin, vasopressin, aktivasi sistem renin-angiotensinaldostreson). Sitokin lain seperti IL-6 merangsang pelepasan reaktan fase akut yakni C-reactive protein (CRP). Infeksi menyebabkan pelepasan TNF- α yang lebih besar dibandingkan pada saat trauma, sehingga pelepasan IL-6 dan IL-8 juga 11 menjadi lebih besar. Hal tersebut mendasari terjadinya demam yang lebih tinggi pada infeksi dibandingkan pada saat trauma (Plevkova, 2011). Tubuh mengadakan berbagai upaya untuk mengkompensasi respons inflamasi yang sifatnya merugikan tersebut melalui mekanisme pelepasan sitokin anti inflamasi seperti TNF receptor, IL-1 receptor type II, inaktivasi komplemen, IL-10, dan IL-4. Selanjutnya akan terjadi apoptosis dari limfosit, perubahan sitokin proinflamasi yang menghasilkan sel T-helper tipe I menjadi sitokin anti inflamasi yang menghasilkan sel T-helper tipe II, dan sel T yang tidak responsif (Kleinpell dkk, 2006). Semua mekanisme kompensasi tersebut diatur sedemikian rupa secara seimbang untuk mengatasi respons proinflamasi. Apabila respons anti inflamasi terjadi secara berlebihan, maka akan mengakibatkan tubuh tidak mampu untuk melawan mikroorganisme infeksi tersebut (Kleinpell dkk, 2006). Pada SIRS, keseimbangan antara respons inflamasi dan anti inflamasi terganggu (Aneja dan Carcillo, 2011). Kompensasi terhadap keadaan proinflamasi seringkali terjadi secara berlebihan sehingga terjadi suatu kondisi penekanan sistem imun (imunosupresi). Hal tersebut kemudian mendasari terjadinya gangguan fungsi limfosit, penurunan jumlah limfosit yang berada di sirkulasi dan jaringan pada pasien sepsis (Brown dkk, 2006). Berbagai keadaan tersebut mengakibatkan ketidakmampuan tubuh melawan mikroorganisme dan di sisi lain mengakibatkan ketidakmampuan untuk mencegah kerusakan jaringan. Reaksi proinflamasi yang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan jaringan sementara reaksi anti inflamasi yang berlebihan akan menyababkan keadaan imunosupresi. 12 Ketidakseimbangan kedua reaksi tersebut berperan dalam terjadinya sepsis dan kegagalan organ berganda (Aneja dan Carcillo, 2011). 2.1.4 Diagnosis Konferensi internasional mengenai diagnosis SIRS pertama kali diselenggarakan pada tahun 1991. Hasil dari konferensi tersebut memiliki kelemahan dalam hal spesifisitas terutama untuk pasien anak. Pada tahun 2001, kembali diselenggarakan International Sepsis Definitions Conference yang melibatkan lebih banyak peneliti dan klinisi dari seluruh dunia. Konferensi tersebut bertujuan untuk memperbaharui berbagai kriteria diagnosis sepsis terutama dalam hal manifestasi klinis (Carvalho dan Trotta, 2003). Namun konferensi pada tahun 2001 tersebut tidak secara spesifik membahas mengenai kriteria diagnosis sepsis pada pasien pediatri. Untuk itu pada bulan Februari tahun 2002 diselenggarakan di San Antonio, Texas yang melibatkan dokter spesialis anak dari seluruh dunia, peneliti yang memiliki pengalaman meneliti kasus sepsis pada anak serta anggota dari U.S Food and Drug Administration. Konferensi tersebut bertujuan untuk menetapkan definisi serta kriteria penegakan diagnosis SIRS dan sepsis yang dapat diterapkan pada populasi anak (Goldstein dkk, 2005). Definisi SIRS dan disfungsi organ sangat dipengaruhi oleh faktor usia. Untuk itu, konferensi pada tahun 2002 menetapkan 6 kategori tanda vital dan hasil laboratorium berdasarkan usia yakni baru lahir, neonatus, bayi, masa prasekolah, masa sekolah, dan remaja (Tabel 2.1 dan 2.2). Usia tersebut dikategorikan secara 13 spesifik berdasarkan risiko menderita infeksi berat, rekomendasi pemberian antibiotik, dan fisiologi sistem kardiorespirasi (Goldstein dkk, 2005). Penegakan diagnosis SIRS secara dini selain merupakan hal yang cukup sulit, juga merupakan tantangan tersendiri bagi para klinisi. Manifestasi klinis SIRS yang bervariasi sehingga sering terlewatkan merupakan salah satu penyebabnya. Identifikasi maupun pengobatan SIRS yang tidak dilakukan sedini mungkin, akan meningkatkan risiko untuk terjadinya kegagalan organ berganda bahkan kematian (Carvalho dan Trotta, 2003). Berdasarkan hal tersebut, maka International Pediatric Sepsis Consensus Conference menetapkan beberapa kriteria yang digunakan untuk menegakkan diagnosis SIRS pada anak seperti yang tertera pada Tabel 2.3 dan 2.4 (Goldstein dkk, 2005). Tabel 2.1 Kategori usia anak berdasarkan International Pediatric Sepsis Consensus Conference 2002 (Goldstein dkk, 2005) Baru lahir Neonatus Bayi Masa pra sekolah Masa sekolah Remaja 0 hari – 7 hari 7 hari – 30 hari 30 hari – 1 tahun 2 tahun – 5 tahun 6 tahun – 12 tahun 13 tahun - ≤ 18 tahun 14 Tabel 2.2 Tanda vital dan hasil laboratorium berdasarkan International Pediatric Sepsis Consensus Conference 2002 (Goldstein dkk, 2005) Frekuensi Jantung/menit Usia Takikardi Bradikardi Frekuensi Napas/menit Jumlah Leukosit (103 /mm3 ) Tekanan Darah Sistolik (mmHg) 0 hari – 7 hari >180 <100 >50 >34 <65 7 hari – 1 bulan >180 <100 >40 >14,5 <5 atau <75 30 hari– 1 tahun >180 <90 >34 >17,5 <5 atau <100 2 tahun – 5 tahun >140 Tidak valid >22 >15,5 <6 atau <94 6 tahun – 12 tahun >130 Tidak valid >18 >13,5 <4,5 atau <105 13 tahun <18 tahun >110 Tidak valid >14 >11 <4,5 atau <117 Terdapat beberapa modifikasi pada kriteria diagnosis SIRS. Salah satu contoh adalah kriteria bradikardi. Bradikardi merupakan salah satu tanda SIRS pada neonatus dan bayi, namun kriteria tersebut tidak valid apabila digunakan pada anak dengan usia yang lebih besar (Goldstein dkk, 2005). Terdapat perbedaan yang mendasar antara kriteria diagnosis SIRS dan sepsis pada anak dan dewasa. Pada anak, diagnosis SIRS baru dapat ditegakkan apabila terdapat abnormalitas suhu atau abnormalitas jumlah leukosit. Jadi SIRS pada anak tidak dapat ditegakkan apabila hanya terdapat peningkatan frekuensi napas dan denyut 15 jantung, tanpa adanya salah satu dari abnormalitas suhu maupun jumlah leukosit (Goldstein dkk, 2005). Demam atau pireksia merupakan keadaan suhu tubuh di atas normal sebagai akibat dari peningkatan pusat pengatur suhu tubuh di hipotalamus yang dipengaruhi oleh interleukin-1 (Soedarmo dkk, 2010). Dalam protokol Kaiser Permanente Appointment and Advice Call Center pada tahun 2000 mendefinisikan demam untuk anak apabila suhu rektal di atas 38˚C, aksila di atas 37,5˚C, membran timpani di atas 38,2˚C (Goldstein dkk, 2005; Soedarmo dkk, 2010). Namun berdasarkan konsensus internasional sepsis pada anak, digunakan suhu inti tubuh di atas 38,5˚C untuk mendefinisikan demam. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan spesifisitas diagnosis (Goldstein dkk, 2005). Pengukuran suhu tubuh ditujukan untuk mengukur suhu inti tubuh (Soedarmo dkk, 2010). Syarat suatu pengukuran suhu tubuh yang baik adalah menggunakan metoda pengukuran yang sederhana dan tidak invasif (Kara dkk, 2009). Hal yang sama diungkapkan oleh Pooya dan Kashef (2006) bahwa teknik ideal untuk mengukur suhu tubuh adalah nyaman bagi pasien, cepat, dan akurat untuk menggambarkan suhu inti tubuh. Nilai suhu tubuh sangat dipengaruhi oleh metabolisme tubuh dan tempat pengukuran. Pengukuran yang dilakukan pada organ yang mendekati permukaan tubuh memiliki suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan organ yang lebih dalam Pengukuran temperatur inti tubuh sebaiknya dilakukan pada rektum,oral, atau melaui kateter sentral (Soedarmo dkk, 2010). 16 Tabel 2.3 Definisi SIRS, sepsis, sepsis berat, dan syok septik berdasarkan International Pediatric Sepsis Consensus Conference 2002 (Goldstein dkk, 2005) SIRS ditegakkan apabila terdapat minimal 2 dari 4 kriteria sebagai berikut : (dengan syarat 1 dari 2 kriteria yang terpenuhi tersebut adalah abnormalitas temperatur atau hitung jenis leukosit) 1. Temperatur inti > 38,5˚C atau < 36˚C 2. Takikardi merupakan rerata frekuensi jantung di atas 2 SD di atas nilai normal berdasarkan usia tanpa disertai rangsangan eksternal (penggunaan obat dan rangsang nyeri), atau peningkatan frekuensi jantung secara menetap selama periode 30 menit hingga 4 jam. Khusus untuk bayi (usia < 1 tahun), bradikardi merupakan rerata frekuensi jantung di bawah persentil 10 berdasarkan usia selama periode minimal 30 menit, tanpa adanya rangsangan eksternal (rangsangan reflex vagal, penggunaan obat penghambat- β, penyakit jantung bawaan) 3. Rerata frekuensi pernapasan diatas 2 SD di atas nilai normal berdasarkan usia 4. Peningkatan maupun penurunan jumlah leukosit berdasarkan usia (bukan merupakan leukopenia akibat dari kemoterapi) Infeksi merupakan proses patologis yang disebabkan oleh invasi mikroorganisme patogen atau yang secara potensial dapat menjadi mikroorganisme patogen pada jaringan atau cairan tubuh yang steril dalam keadaan normal . Infeksi dapat dibuktikan melalui pemeriksaan antara lain hasil positif pada biakan, pewarnaan jaringan, atau reaksi rantai polymerase. Sepsis merupakan SIRS dengan bukti adanya atau merupakan suatu akibat dari infeksi baik yang sifatnya diduga maupun infeksi yang telah dapat dibuktikan. Sepsis berat merupakan sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular, atau disfungsi respirasi, atau minimal 2 dari disfungsi organ lainnya seperti yang tercantum pada Tabel 2.4. Syok septik merupakan sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular seperti yang tercantum pada Tabel 2.4. SD : Standar Deviasi 17 Tabel 2.4 Kriteria disfungsi organ berdasarkan International Pediatric Sepsis Consensus Conference 2002 (Goldstein dkk, 2005) Disfungsi Kardiovaskular Meskipun dengan pemberian bolus cairan intravena ≥ 40 ml/kgBB, terdapat kondisi: Penurunan tekanan darah di bawah persentil 5 berdasarkan usia, atau tekanan darah sistolik < 2 SD di bawah nilai normal berdasarkan usia atau Memerlukan obat vasoaktif untuk mempertahankan tekanan darah dalam rentang normal (dopamin dengan dosis > 5µg/kgBB/menit atau dobutamin, epinefrin, dan norepinefrin pada semua dosis yang diberikan atau 2 dari keadaan berikut : Asidosis metabolik yang tidak dapat dijelaskan, dengan defisit basa > 5 mEq/L Peningkatan kadar laktat arteri > 2x lipat diatas kadar normal Oliguri, dengan produksi urin < 0,5 ml/kgBB/jam Pemanjangan waktu pengisian kapiler, yakni > 5 detik Perbedaan antara temperatur inti dan perifer > 3˚C Disfungsi Respirasi PaO2/FiO2 < 300 tanpa disertai penyakit jantung bawaan sianotik atau penyakit paru yang mendasari; atau PaCO2 > 65 atau 20 mmHg diatas batas bawah PaCO2; atau Memerlukan FiO2 > 50% untuk mempertahankan saturasi perifer ≥ 92%; atau Memerlukan alat bantu ventilasi mekanik invasif maupun non invasif Disfungsi Neurologi Skor Glasgow Coma Scale ≤ 11 Perubahan status mental secara akut dengan penurunan skor Glasgow Coma Scale ≥ 3dari batas bawah yang abnormal Disfungsi Hematologi Jumlah platelet < 80.000/mm3 atau penurunan 50% dari jumlah platelet tertinggi selama periode 3 hari Disfungsi Ginjal Kadar kreatinin serum ≥ 2 kali lipat dari batas atas kadar kreatinin serum berdasarkan usia; atau Peningkatan kreatinin serum 2 kali lipat dari batas bawah kreatinin serum Disfungsi Hati Kadar bilirubin total ≥ 4 mg/dL (kriteria ini tidak dapat digunakan pada usia 0 hari sampai 7 hari); atau Kadar ALT 2 kali lipat diatas nilai normal berdasarkan usia SD : Standar Deviasi; ALT : Alanin Transferase 18 Pengukuran suhu inti tubuh yang direkomendasikan adalah melalui daerah rektum karena hasilnya yang akurat (Pooya dan Kashef, 2006). Pengukuran suhu tubuh pada membran timpani dan aksila sebaiknya dihindari karena hasil pengukuran yang tidak akurat (Goldstein dkk, 2005). Hal ini berbeda menurut Soedarmo dkk. (2010), yang menyatakan bahwa meskipun pengukuran suhu rektal dianggap sebagai baku emas namun metoda ini memiliki beberapa kelemahan. Pada rektum tidak ditemukan sistem termoregulai sehingga suhu rektal lebih tinggi dibandingkan tempat lain, misalnya arteri pulmonalis. Hal ini juga disebabkan oleh aktivitas metabolik bakteri feses. Suhu rektal juga berubah sangat lambat dibandingkan penurunan suhu inti, sehingga tidak dapat digunakan pada keadaan hipoperfusi. Hasil pengukuran suhu rektal dipengaruhi oleh kedalaman insersi termometer dan ada atau tidaknya feses (Soedarmo dkk, 2010). Pengukuran suhu rektal juga seringkali membuat pasien tidak nyaman dan berbahaya (Pooya dan Kashef, 2006). Risiko pengukuran suhu rektal yang paling sering dijumpai adalah perforasi rektal dan infeksi nasokomial (Soedarmo dkk, 2010). Rekomendasi American Academy of Pediatrics (AAP) adalah pengukuran suhu tubuh melalui aksila. Pengukuran suhu aksila memiliki beberapa keuntungan antara lain mudah bagi pemeriksa, nyaman bagi pasien, dan yang paling penting adalah memiliki risiko yang paling kecil untuk penyebaran penyakit dibandingkan dengan metoda pengukuran lainnya (Pooya dan Kashef, 2006; Soedarmo dkk, 2010). Hal yang serupa dinyatakan oleh Kara dkk. (2009) bahwa pengukuran suhu tubuh pada daerah aksila dengan menggunakan termometer air raksa memiliki 19 beberapa kelebihan seperti harganya yang murah dan ketersediaan alat yang luas. Kelemahan dari metoda pengukuran ini terletak pada sensitivitasnya yang rendah dan sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan (Soedarmo dkk, 2010). Kelemahan lain dari metoda ini adalah memerlukan waktu minimal 5 menit untuk mendapatkan hasil pengukuran yang akurat (Kara dkk, 2009). Menentukan suhu inti melalui suhu aksila masih menjadi perdebatan sampai saat ini, begitu pula mengenai tingkat akurasinya (Chaturvedi dkk, 2004; Pooya dan Kashef, 2006). Meta analisis dari beberapa penelitian dilakukan untuk membandingkan suhu rektal dan aksila. Sebagian besar penelitian tidak menunjukkan hubungan konsisten antara suhu rektal dan aksila (Chaturvedi dkk, 2004). Rumus untuk menghitung suhu rektal yakni sebagai berikut : (Chaturvedi dkk, 2004) Suhu rektal (˚C) = 0,99 x suhu aksila (˚C) + 0,82 Pada penelitian yang dilakukan oleh Pooya dan Kashef (2006), didapatkan bahwa suhu aksila adalah 0,55˚C lebih rendah dibandingkan suhu rektal. Suhu aksila apabila ditambah 0,55˚C mendekati suhu inti tubuh pada daerah rektum. Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Chaturvedi dkk. (2004). Perbedaan tersebut didasari oleh perbedaan metodologi penelitian yang digunakan. Pada penelitian Chaturvedi dkk, peneliti mengukur suhu aksila dengan menggunakan termometer air raksa selama 2 menit, sementara pada penelitian Pooya dan Kashef pengukuran dilakukan selama 5 menit. Simpulan dari penelitian yang dilakukan oleh Pooya dan Kashef adalah bahwa pengukuran suhu aksila aman, nyaman bagi pasien dan mendekati gambaran suhu rektal. Suhu 20 rektal didapatkan dengan menambahkan 0,55˚C pada suhu aksila setelah dilakukan pengukuran dengan termometer air raksa selama 5 menit (Pooya dan Kashef, 2006). Selain demam, jumlah leukosit total dalam darah juga merupakan kriteria lain dari SIRS (Goldstein dkk, 2005). Peningkatan maupun penurunan leukosit yang terjadi pada sepsis disesuaikan dengan usia anak oleh karena sertiap kelompok usia memiliki nilai rentang normal yang berbeda (Goldstein dkk, 2005; Pesce, 2007). Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui titik potong peningkatan leukosit total dalam darah yang bermakna untuk memprediksi terjadinya infeksi bakteri sistemik. Berdasarkan rekomendasi The American College of Emergency Physicians , leukosit di atas 15.000/mm3 dapat dijadikan salah satu prediktor terjadinya infeksi bakteri sistemik pada anak dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 64%-82% dan 67%-75% (Stephens dkk, 2007). Sementara berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Andreola dkk. (2007), titik potong leukosit > 15.000/mm3 memberikan nilai prediksi yang cukup baik dalam memprediksi infeksi bakteri pada anak dengan memberikan sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif (NDP) dan nilai duga negatif (NDN) masing-masing sebesar 51,6%; 75,5%; 2,11 dan 0,64. Selain pada keadaan infeksi, leukosit juga mengalami peningkatan pada beberapa keadaan lain. Stres fisiologik seperti pada pasien yang menjalani operasi dengan anastesi umum, mengalami trauma, sindrom gawat napas akut, syok hipovolemik akibat perdarahan maupun dehidrasi dapat menyebabkan 21 peningkatan jumlah leukosit. Secara umum, pasien yang mengalami stress fisiologik mengalami peningkatan jumlah leukosit mencapai 15.000-19.999 sel/mm3. Namun pada anak dengan sindrom gawat napas akut dapat mengalami peningkatan jumlah leukosit lebih dari 30.000 sel/mm3 (Wanahita dkk, 2002). Pasien yang mendapat terapi steroid seperti prednison dengan dosis ≥ 40 mg/hari maupun dosis ekuivalennya juga mengalami peningkatan jumlah leukosit yang umumnya berkisar antara 15.000-19.999 sel/mm3. Keganasan hematologi seperti leukemia, limfoma, maupun metastase kanker ke sumsum tulang serta keadaan nekrosis atau inflamasi juga dapat menimbulkan keadaan tersebut (Wanahita dkk, 2002). 2.1.5 Prognosis Kegagalan multiorgan merupakan salah satu luaran yang dapat terjadi pada pasien dengan SIRS. Disfungsi multiorgan yang paling sering terjadi adalah disfungsi yang berkaitan dengan ginjal, hati, susunan saraf pusat, dan jantung (Plevkova, 2011). Carvalho dkk, meneliti luaran anak dengan SIRS pada tahun 1999 hingga 2000 di Hospital de Clinicas de Porto Alegre. Penelitian tersebut mendapatkan risiko kematian berdasarkan skor Pediatric Risk of Mortality (PRISM) lebih tinggi pada pasien anak dengan SIRS (median 4,15%) dibandingkan anak tanpa SIRS (median 2,65%). Risiko kematian juga lebih tinggi pada pasien SIRS yang disebabkan oleh infeksi (median 6,75%) dibandingkan SIRS yang tidak disebabkan oleh infeksi (median 2,35%) (Carvalho dkk, 2005). Penelitian tersebut juga mendapatkan angka kematian yang lebih tinggi pada pasien anak dengan diagnosis SIRS pada saat masuk rumah sakit (12%) 22 dibandingkan pasien anak tanpa SIRS (5,8%). Pada SIRS yang disebabkan oleh infeksi, angka kematian mencapai 14,9% dibandingkan pada SIRS yang tidak disebabkan oleh infeksi yakni sebesar 6,3%. Pada SIRS yang disertai kegagalan multiorgan, angka kematian mencapai 32% (Carvalho dkk, 2005). Perbedaan secara bermakna juga tampak pada lama rawat inap di Pediatric Intensive Care Unit (PICU). Pasien dengan SIRS akibat infeksi memiliki median lama rawat adalah 3 hari, sementara median pasien SIRS tanpa infeksi adalah 2 hari (p=0,006) (Carvalho dkk, 2005). 2.2 Neutrofil 2.2.1 Produksi neutrofil Neutrofil dihasilkan di sumsum tulang melalui suatu proses yang disebut granulaopoeisis (Gambar 2.1 dan 2.2). Sumsum tulang menghasilkan neutrofil secara stabil, yakni sekitar 1-2 x 1011 sel setiap hari pada orang dewasa normal. Produksi neutrofil diatur oleh laju apoptosis di jaringan (Brown dkk, 2006; Borregaard, 2010). Fagositosis neutrofil yang telah mengalami apoptosis dilakukan oleh makrofag dan sel dendritik di jaringan (Gambar 2.3). Proses fagositosis ini merangsang pengeluaran IL-23 oleh neutrofil. IL-23 kemudian merangsang pengeluaran IL-17A oleh sel T yang terutama berlokasi di nodus limfe mesentrika. IL-17A merupakan sitokin penting untuk merangsang pengeluaran Granulaocyte-Colony Stimulating Factor (G-CSF). Apabila jumlah neutrofil di jaringan meningkat maka produksi dari G-CSF akan menurun (Borregaard, 2010). 23 Gambar 2.1 Hemopoiesis di sumsum tulang (Dikutip dari Fraser dan Tilyard, 2008) Gambar 2.2 Granulaositopoiesis di sumsum tulang (Dikutip dari Borregaard, 2010) 24 Gambar 2.3 Neutrofil di jaringan (Dikutip dari Borregaard, 2010) 2.2.2 Maturasi neutrofil Neutrofil memerlukan waktu sekitar 8-14 hari untuk menjalani rangkaian pembelahan sel sebanyak 4-6 kali dan melengkapi proses maturasi (Gambar 2.1) (Brown dkk, 2006; Borregaard, 2010). Setelah proses pembelahan sel berakhir dilanjutkan dengan proses maturasi neutrofil selama 3-4 hari. Neutrofil yang telah matur sementara disimpan di storage pool sebelum dilepaskan ke peredaran darah. Neutrofil memerlukan waktu sekitar 12-14 jam untuk berada di peredaran darah (circulating pool) sebelum melakukan kontak dengan dinding pembuluh darah (marginating pool). Apabila tidak terjadi infeksi bakteri, neutrofil kemudian memasuki organ retikuloendotelial seperti hati, atau kembali menuju sumsum tulang untuk mengalami apoptosis. Neutrofil tua kemudian akan mengkerut 25 menjadi badan apoptosis (apoptotic bodies) dan mengalami fagositosis oleh makrofag lokal. Hal tersebut dapat mencegah kerusakan jaringan akibat faktor lisis yang dilepaskan oleh neutrofil tua tersebut (Brown dkk, 2006). 2.2.3 Mobilisasi neutrofil dari sumsum tulang ke sirkulasi Sinyal spesifik seperti IL-1, IL-3, TNF-α, Colony Stimulating Factor , dan komplemen seperti C3a dan C5a berperan dalam mobilisasi neutrofil dari sumsum tulang ke sirkulasi. Dalam keadaan normal, 90% dari neutrofil matur tetap berada di sumsum tulang, 2-3% di sirkulasi, dan sisanya berada di jaringan (Borregaard, 2010). Retensi dan mobilisasi neutrofil terjadi berkat keseimbangan antara reseptor sitokin CXCR4 yang berperan dalam retensi neutrofil di sumsum tulang dan CXCR2 yang berperan dalam mobilisasi neutrofil ke sirkulasi. Sitokin G-CSF merangsang mobilisasi neutrofil menuju sirkulasi secara tidak langsung dengan cara menurunkan ekspresi SDF-1 oleh sumsum tulang dan meningkatkan ekspresi Groβ (Gambar 2.2). Hal tersebut kemudian menyebabkan ketidakseimbangan antara CXCR4 dan CXCR2. Dominasi sinyal CXCR2 menyebabkan terjadinya pelepasan neutrofil menuju ke sirkulasi. Keadaan seperti inflamasi dan infeksi akan meningkatkan laju produksi dan pelepasan neutrofil ke sirkulasi (Borregaard, 2010). 2.2.4 Produksi sitokin oleh neutrofil Selain merupakan target dari sitokin, neutrofil sendiri juga dapat menghasilkan berbagai jenis sitokin yang bersifat proinflamasi. Berbagai agen dilaporkan dapat menginduksi produksi sitokin. Neutrofil menjadi target dari 26 berbagai sitokin yang bersifat proinflamasi seperti IL-1, TNF-α, G-CSF, GMCSF, dan kemokin seperti IL-8. Sitokin-sitokin tersebut meningkatkan fungsi dari neutrofil seperti kapasitas menempel pada sel endotel dan pengiriman sinyal migrasi neutrofil menuju lokasi inflamasi atau infeksi (Witko-Sarsat dkk, 2000). Interleukin 8 (IL-8) dan TNF-α merupakan sitokin utama yang dihasilkan oleh neutrofil. TNF-α meningkatkan aktivasi oksidan reaktif dan merangsang pelepasan enzim granulasi oleh neutrofil. Sementara IL-8 yang merupakan sitokin terbanyak yang dihasilkan neutrofil menyebabkan peningkatan aktivitas degranulasi dari neutrofil (Witko-Sarsat dkk, 2000). Seperti halnya sel inflamasi yang lain, aktivitas neutrofil juga diatur oleh berbagai sitokin. Aktivitas neutrofil menghasilkan sitokin diatur oleh sel T helper 1 yakni interferon-γ (IFN-γ). Sementara sitokin yang bertugas menekan aktivitas tersebut diatur oleh sel Thelper 2 yakni IL-4, IL-10, dan IL-13 (Witko-Sarsat dkk, 2000). 2.2.5 Granula neutrofil Granula merupakan tanda atau hallmark dari granulaosit (eosinofil, basofil, dan neutrofil) yang terbentuk pada saat granulaopoiesis di sumsum tulang (WitkoSarsat dkk, 2000). Granula merupakan simpanan protein yang dapat digunakan untuk membunuh mikroorganisme patogen. Keberadaan granula menandai peralihan dari myeloblas ke promyelosit. Pembentukan granula berlanjut hingga fase segmentasi pada proses maturasi tercapai (Borregaard, 2010). Granula neutrofil diklasifikasikan menjadi 3 berdasarkan karakteristik kandungan protein yang dimiliki. Klasifikasi tersebut meliputi granula primer 27 (azurofil), granula sekunder (spesifik), dan granula tersier (granula gelatinosa) (Borregaard, 2010). Sementara Witko-Sarsat dkk. (2000) mengklasifikasikan granula neutrofil menjadi 4 dengan vesikel sekretorik sebagai tambahannya. Keempat granula tersebut memiliki perbedaan dalam fase pembentukan dan kandungan protein yang dimiliki (Gambar 2.4). Granula primer terbentuk pada fase promyelosit dan mengandung myeloperoksidase, protease serin, dan protein antibiotik. Granula sekunder yang mengandung laktoferin dan kolagenase terbentuk pada fase myelosit-metamyelosit, sementara granula tersier yang terbentuk pada fase sel band mengandung gelatinase. Vesikel sekretorik tampak pada saat neutrofil telah matur (Borregaard, 2010; Witko-Sarsat dkk, 2010). 2.2.6 Neutrofil pada saat sepsis Pada manusia, neutrofil merupakan leukosit utama dalam darah (Brown dkk., 2006). Neutrofil menempati 70% dari jumlah leukosit yang berada di sirkulasi (Fraser dan Tilyard, 2008). Neutrofil berperan sebagai lini pertama pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme patogen. Pada tempat terjadinya infeksi, neutrofil berfungsi untuk melakukan fagositosis, menghasilkan metabolit toksik, dan enzim proteolitik. Meskipun membantu dalam eliminasi mikroorganisme patogen, neutrofil juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Gregory dan Wing, 2002). 28 Gambar 2.4 Granula neutrofil. Elektron mikroskop memperlihatkan neutrofil dengan berbagai granula intrasitoplasma. Granula primer (primary granulae, pg) tampak sebagai granula yang berwarna gelap dengan ukuran relatif besar. Granula Sekunder (secondary granulae, sg) memiliki ukuran yang lebih kecil dibandingkan granula primer. Nukleus (N); mitokondria (m); sentriol (ce) (Dikutip dari Witko-Sarsat dkk, 2000) Neutrofil memiliki banyak simpanan enzim proteolitik dan dapat menghasilkan spesies oksigen reaktif atau ROS (Reactive Oxygen Species) untuk membunuh bakteri patogen. Apabila faktor litik maupun sitokin proinflamasi yang dihasikan neutrofil dilepaskan ke ekstrasel akan menyebabkan kerusakan jaringan lokal. Pada infeksi bakteri yang bersifat lokal, maka kerusakan jaringan yang terjadi hanya sebatas pada lokasi infeksi tersebut. Sementara pada keadaan sepsis, terjadi infeksi bakteri sistemik yang kemudian mengaktifkan neutrofil secara sistemik sehingga kerusakan jaringan yang terjadi akan lebih luas (Brown dkk, 2006). 29 Berdasarkan hal tersebut, maka neutrofil diibaratkan seperti pisau bermata dua. Neutrofil di satu sisi sangat berperan dalam eradikasi patogen. Namun di sisi lain, pelepasan oksidan dan protease berlebihan oleh neutrofil justru menyebabkan kerusakan organ (Hotchkiss dan Karl, 2003). Sitokin yang berperanan dalam mobilisasi neutrofil ke sirkulasi adalah Colony Stimulating Factor (CSF) meliputi Granulaocyte-Colony Stimulating Factor (G-CSF) dan Granulaocyte-Macrophage Stimulating Factor (GM-CSF). Keduanya meningkatkan jumlah neutrofil yang beredar di sirkulasi, mempercepat maturasi, dan memperpanjang umur neutrofil. Pada individu normal, konsentrasi G-CSF dalam darah adalah sangat rendah. Sementara pada sepsis, konsentrasi GCSF yang beredar dalam darah meningkat beberapa kali lipat (Brown dkk, 2006). Sitokin juga mempengaruhi berbagai aspek dari aktivitas neutrofil. TNF-α memiliki aktivitas anti inflamasi dengan merangsang apoptosis dari neutrofil. Berlawanan dengan TNF-α, peningkatan sitokin proinflamasi seperti pada keadaan sepsis terutama IL-1 dan IL-6 dapat memperpanjang umur neutrofil dengan cara menekan apoptosis yang diatur oleh TNF-α (Gregory dan Wing, 2002). Terdapat 3 bentuk neutrofil dalam tubuh yakni neutrofil dalam keadaan istirahat (resting,unstimulated), neutrofil primer (melawan mikroorganisme maupun produknya dengan nilai ambang lebih rendah dibandingkan yang diperlukan untuk activated neutrophil) dan neutrofil yang teraktivasi atau activated neutrophil. Peralihan neutrofil dari bentuk neutrofil istirahat di sirkulasi menjadi neutrofil teraktivasi di tempat terjadinya infeksi dicetuskan oleh beberapa 30 hal antara lain C5a, sitokin dan lipopolisakarida. Pada pasien dengan sepsis, neutrofil yang berada di sirkulasi adalah neutrofil dalam bentuk primer. Hal ini dibuktikan dengan tingginya aktivitas neutrofil dan peningkatan ekspresi gen transkripsi nuclear factor kB (NFkB) (Brown dkk, 2006). Proses apoptosis neutrofil merupakan suatu mekanisme homeostatis. Mekanisme tersebut bertujuan untuk mencegah kerusakan jaringan berlebihan akibat produk yang dihasilkan oleh neutrofil yang telah lisis. Namun pada keadaan inflamasi sistemik, infeksi sistemik (sepsis), sepsis berat, dan kegagalan organ berganda, proses apoptosis dari neutrofil menjadi terhambat. Hal tersebut diakibatkan oleh lipopolisakarida dan lipoteichoic acid serta sitokin proinflamasi yang menyebabkan pemanjangan umur neutrofil melalui mekanisme penempelan pada endotel. Pemanjangan umur neutrofil yang menginfiltrasi jaringan akan meningkatkan terjadinya kerusakan ekstraselular akibat ketidakmampuan neutrofil mengontrol pelepasan radikal oksigen dan enzim proteolitik (Brown dkk, 2006). Pada pasien sepsis terjadi peningkatan konsentrasi C5a dalam darah yang dapat menyebabkan deaktivasi respons kemotaksis dari neutrofil. Selain itu, peningkatan konsentrasi TNF-α pada pasien sepsis menyebabkan gangguan migrasi dari neutrofil, memperpanjang umur neutrofil dengan menghambat proses apoptosis, serta meningkatkan produksi ROS. Hal tersebut membuktikan bahwa pada sepsis terjadi aktivasi sistemik dari neutrofil yang justru menyebabkan disfungsi dari neutrofil tersebut (Brown dkk, 2006). 31 Gambar 2.5 Perbedaan respons neutrofil dalam keadaan normal dan pada saat sepsis (Dikutip dari Brown dkk., 2006) Sebagai respons terhadap adanya infeksi bakteri, sitokin seperti G-CSF dan GM-CSF akan merangsang migrasi neutrofil dari sumsum tulang (Gambar 2.5). Pada keadaan normal, neutrofil di sirkulasi dalam jumlah besar akan menuju tempat terjadinya infeksi dengan menempel pada endotel yang telah teraktivasi, sebelum migrasi sepanjang gradien konsentrasi dari faktor kemotaksis (seperti C5a, leukotrin B, dan IL-8) yang dihasilkan pada tempat infeksi. Perlawanan terhadap bakteri gram positif dilakukan neutrofil dengan cara mengekpresikan TLR2, sementara TLR4 digunakan neutrofil untuk melawan bakteri gram negatif. Ekspresi kedua reseptor tersebut kemudian akan mengakibatkan fagositosis terhadap bakteri (Brown dkk, 2006). 32 Pada pasien sepsis, terdapat rangsangan terhadap neutrofil di sirkulasi oleh faktor inflamasi dalam konsentrasi tinggi di sirkulasi (seperti IL-1, TNF-α, GCSF, C5a, dan oxida nitrat) dan produk dari bakteri (seperti lipopolisakarida dan lipoteichoic acid). Faktor-faktor inflamasi tersebut menyebabkan neutrofil menempel secara kuat pada endotel. Namun beberapa dari faktor inflamasi tersebut juga menekan ekspresi reseptor kemotaksis. Selain menyebabkan ikatan yang sangat kuat dengan endotel, aktivitas faktor inflamasi yang menekan ekspresi reseptor kemotaksis juga menyebabkan neutrofil tidak responsif terhadap reseptor kemotaksis tersebut dibandingkan pada keadaan normal (Brown dkk, 2006). 2.2.7 Gambaran neutrofil toksik Neutrofil dikatakan mengalami perubahan toksik apabila terdapat salah satu dari gambaran granula toksik, vakuola toksik, dan badan Dohle dalam sitoplasma neutrofil pada pemeriksaan hapusan darah tepi. Gambaran neutrofil toksik terjadi apabila terdapat peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi seperti G-CSF secara sistemik sehingga menyebabkan pemendekan waktu transit neutrofil dari sumsum tulang ke sirkulasi (Gambar 2.6). Pada pasien sepsis, neutrofil menunjukkan peningkatan internalisasi dan penghancuran terhadap mikroorganisme sehingga pada hapusan darah tepi dapat dijumpai gambaran vakuola toksik dan granula toksik pada neutrofil (Brown dkk, 2006). Namun gambaran neutrofil toksik tidak spesifik untuk menandai terjadinya proses infeksi sistemik. Keadaan lain yang menyebabkan peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi di sirkulasi seperti trauma, keracunan obat, dan luka bakar 33 juga dapat memberikan gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi. Granula toksik dan badan Dohle juga dapat dijumpai pada saat kehamilan dan proses peradangan sistemik. Berbeda dengan gambaran granula toksik dan badan Dohle, vakuola toksik pada neutrofil dilaporkan lebih spesifik sebagai tanda adanya sepsis dibandingkan 2 gambaran lainnya (Alqep, 2009). Gambar 2.6 Patofisiologi terbentuknya gambaran neutrofil toksik (Dikutip dari Alqep, 2009) Peningkatan sitokin proinflamasi seperti G-CSF dan GM-CSF di sirkulasi menyebabkan proses maturasi neutrofil di sumsum tulang terjadi lebih cepat dan produksi enzim lisosom meningkat sehingga terbentuk granula neutrofil dengan ukuran lebih besar (Gambar 2.6). Granula toksik pada neutrofil merupakan granula primer yang berukuran lebih besar dan berwarna lebih gelap dibandingkan granula neutrofil normal. Pada pemeriksaan hapusan darah tepi, granula toksik tampak sebagai granula kasar pada sitoplasma neutrofil dan memberikan warna 34 biru hingga hitam pada pewarnaan (Gambar 2.7). Apabila terdapat granula toksik dalam jumlah besar, maka akan memberikan gambaran neutrofil yang berwarna kebiruan. Gambaran granula toksik dijumpai pada keadaan infeksi maupun inflamasi sistemik (Alqep, 2009). Gambar 2.7 Granula toksik neutrofil pada pemeriksaan hapusan darah tepi (Dikutip dari Alqep, 2009) Vakuola toksik merupakan ruangan jernih yang terdapat pada sitoplasma neutrofil (Gambar 2.8). Keberadaan vakuola tersebut menunjukkan peningkatan aktivitas fagositosis pada neutrofil akibat peningkatan konsentrasi sitokin pro inflamasi, seperti yang dijumpai pada keadaan sepsis. Vakuola tersebut bervariasi dari segi ukuran dan dapat bergabung menjadi satu membentuk vakuola yang lebih besar. Namun seringkali ditemui kesulitan untuk membedakan vakuola toksik dengan vakuola degeneratif. Hal tersebut terjadi akibat penyimpanan darah yang terlalu lama dalam tabung EDTA (Alqep, 2009). 35 Gambar 2.8 Vakuola toksik neutrofil pada pemeriksaan hapusan darah tepi (Dikutip dari Alqep, 2009) Badan Dohle atau Dohles bodies merupakan sisa dari retikulum endoplasma kasar (rough endoplasmic reticulum) yang memberikan warna biru atau abu-abu pada saat pewarnaan. Badan Dohle tidak dijumpai pada sitoplasma granulosit normal. Badan Dohle umumnya berukuran kecil sekitar 1-2µm dan lebih sering ditemukan tunggal sehingga sangat sulit teridentifikasi (Gambar 2.9). Peningkatan sitokin proinflamasi mencetuskan respons sumsum tulang untuk meningkatkan jumlah neutrofil yang dilepaskan ke sirkulasi. Selain sebagai respons sumsum tulang, pada keadaan sepsis juga terjadi peningkatan sitokin GCSF yang diperlukan untuk pelepasan neutrofil ke sirkulasi (Brown dkk, 2006). Kedua mekanisme tersebut kemudian menyebabkan proses maturasi neutrofil di sumsum tulang menjadi lebih singkat sehingga terbentuk badan Dohle. Selain ditemukan pada keadaan infeksi sistemik, badan Dohle juga ditemukan pada 36 keadaan inflamasi sistemik, luka bakar, leukemia, kehamilan, dan pasien dengan kemoterapi (Alqep, 2009). Gambar 2.9 Badan Dohle neutrofil pada hapusan darah tepi (Dikutip dari Alqep, 2009) 2.2.8 Keadaan yang mempengaruhi gambaran neutrofil toksik 2.2.8.1 Imunodefisiensi Berdasarkan penyebab yang mendasari, terdapat 2 klasifikasi imunodefisiensi yakni imunodefisiensi primer dan sekunder. Imunodefisiensi primer disebabkan akibat kelainan genetik, sementara imunodefisiensi sekunder atau didapat disebabkan oleh infeksi, keganasan, dan penggunaan obat-obatan yang dapat menekan sistem imun seperti steroid dan kemoterapi (Tabel 2.5) (Michaels dan Green, 2007). 37 Tabel 2.5 Penyebab imunodefisiensi sekunder pada anak (Michaels dan Green, 2007) Imunodefisiensi Sekunder HIV Keganasan Transplantasi organ Luka bakar Diabetes mellitus Penggunaan obat maupun prosedur imunosupresif (steroid, kemoterapi, dan radioterapi) Gizi buruk Secara umum, pada keadaan imunodefisiensi terjadi gangguan pada beberapa aspek dari sistem imun. Namun abnormalitas utama dan paling sering terjadi adalah neutropenia. Kekurangan jumlah neutrofil yang beredar di sirkulasi akan menyebabkan hilangnya respons inflamasi (Michaels dan Green, 2007). Selain obat-obat kemoterapi, neutropenia juga dapat disebabkan oleh pengobatan dengan radioterapi juga dapat menyebabkan neutropenia. Sebagian besar obat-obatan tersebut merusak sel prekursor sumsum tulang dan menghambat replikasi normal sel-sel di sumsum tulang sehingga menyebabkan neutropenia (Mudita, 2010). Neutrofil mampu mengenali bakteri maupun produknya, apabila bakteri patogen diselimuti dengan IgG. Reseptor yang memiliki afinitas tinggi terhadap IgG adalah CD64. Reseptor CD64 merupakan petanda neutrofil dalam bentuk teraktivasi dan reseptor tersebut tidak terdapat pada neutrofil dalam bentuk istirahat. Sehingga peningkatan ekspresi resptor CD64 seringkali digunakan sebagai indikator terjadinya sepsis. Terapi steroid mempengaruhi aktivitas neutrofil dengan menekan ekspresi CD64. (Brown dkk., 2006). 38 Dosis tunggal steroid telah dapat menimbulkan efek pada neutrofil yakni menyebabkan neutrofilia setelah pemberian 4-6 jam. Neutrofilia yang ditimbulkan terjadi akibat peningkatan migrasi neutrofil dari sumsum tulang ke sirkulasi dan penurunan neutrofil menuju tempat terjadinya inflamasi maupun infeksi. Steroid juga menghambat pelepasan lisosom hidrolase pada granula neutrofil sehingga menurunkan kemampuan neutrofil dalam membunuh bakteri (Klein dkk, 2001). 2.2.8.2 Usia Pada masa neonatus, terjadi proses adaptasi dari lingkungan intra uterin ke ekstra uterin, termasuk di dalamnya sistem imun. Pada masa ini, perkembangan sistem imun baik sistem imun alamiah dan adaptif belum berkembang sempurna. Neonatus memiliki cadangan neutrofil yang sedikit di sumsum tulang. Pada keadaan sepsis, neutrofilia umumnya dijumpai hanya pada fase awal sepsis dan berlangsung singkat. Keadaan tersebut akan segera diikuti oleh neutropenia oleh karena cadangan neutrofil tidak memadai (Chirico, 2005). Pada neonatus juga terjadi penurunan produksi G-CSF dan GM-CSF oleh sel T. Hal tersebut yang kemudian mendasari terjadinya neutropenia pada neonatus selama terjadinya sepsis. Sitokin G-CSF dan GM-CSF merupakan sitokin penting yang berfungsi untuk proliferasi, diferensiasi, dan fagositosis dari granulaosit. Selain itu G-CSF dan GM-CSF juga berfungsi untuk merangsang proses proliferasi progenitor myeloid, meningkatkan simpanan neutrofil di sumsum tulang, serta meningkatkan pelepasan neutrofil ke peredaran darah selama proses infeksi (Chirico, 2005). 39 Keadaan leukopenia berat juga dijumpai selama fase awal sepsis. Selain penurunan jumlah leukosit selama infeksi berat, abnormalitas polimorfonuklear granulaosit lainnya pada neonatus adalah penurunan kemampuan seperti adhesi, kemotaksis, fagositosis, ekspresi reseptor, produksi metabolisme oksidatif dan kemampuan membunuh bakteri. Penurunan jumlah simpanan neutrofil secara kuantitatif di sumsum tulang selama sepsis serta penurunan kualitas kemampuan fagositosis granulaosit menyebabkan peningkatan risiko neonatus mengalami sepsis berat (Chirico, 2005). 2.2.8.3 Derajat beratnya sepsis Semakin berat derajat sepsis, sensitivitas gambaran neutrofil toksik akan semakin besar (Gwaisz dan Babay, 2007). Melalui penelitiannya, Gwaisz dan Babay (2007) mencari hubungan antara derajat sepsis dengan sensitivitas neutrofil toksik dengan melibatkan subjek penelitian berusia 2 hari hingga 93 tahun. Sensitivitas granula toksik, vakuola toksik dan badan Dohle pada seluruh pasien masing-masing sebesar 48%, 22%, dan 32%. Pada anak berusia di bawah 1 tahun didapatkan sensitivitas granula toksik, vakuola toksik dan badan Dohle masingmasing sebesar 50%, 27%, dan 10%. Sementara sensitivitas yang lebih tinggi didapatkan pada pasien dengan sepsis berat yakni 78% untuk granula toksik, 37% untuk vakuola toksik, dan 50% untuk badan Dohle. 2.2.8.4 Inflamasi sistemik non infeksi Keadaan inflamasi sistemik yang bersifat non infeksi seperti trauma, luka bakar, kelainan jantung, dan operasi kardiopulmoner seringkali menyebabkan terjadinya kegagalan organ dengan imunopatologi sama dengan yang terjadi pada 40 sepsis. Keadaan tersebut juga dapat memberikan gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi (Brown dkk, 2006). 2.2.8.5 Kualitas preparat hapusan darah tepi Interpretasi dari suatu hapusan darah tepi sangat bergantung dengan kualitas preparat itu sendiri. Segera setelah pengambilan darah, dalam 6 jam pertama preparat hapusan darah tepi yang sudah difiksasi dengan methanol selama 15-30 detik harus sudah dikerjakan. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah lisisnya neutrofil sehingga mempengaruhi gambaran morfologinya (Alqep, 2009). 2.2.9 Penelitian neutrofil toksik Gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi untuk mendeteksi suatu infeksi bakteri sistemik sampai saat ini masih menjadi perdebatan (Gwaisz dan Babay, 2007). Menurut Liu dkk. (1984), vakuola toksik dan granula toksik pada neutrofil merupakan parameter hematologi yang akurat dalam menentukan adanya sepsis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Liu dkk. (1984), didapatkan sensitivitas dan spesifisitas vakuola toksik pada neutrofil sebesar 81% dan 93%. Sementara sensitivitas dan spesifisitas granula toksik pada neutrofil didapatkan sebesar 67% dan 90%. Pada tahun 1985, Liu dkk kembali mengadakan penelitian pada pasien anak yang rawat jalan dengan usia di bawah 24 bulan. Pada penelitian tersebut didapatkan sensitivitas dan spesifisitas vakuola toksik pada neutrofil sebesar 84% dan 96%. Sementara sensitivitas dan spesifisitas granula toksik pada neutrofil didapatkan sebesar 86% dan 93%. Pendapat yang sama juga dinyatakan oleh Kumar dan Singhi (1994), yang mendapatkan nilai sensitivitas dan 41 spesifisitas granula toksik sebesar 95% dan 89%, dengan melibatkan pasien anak berusia di atas 8 minggu sebagai subjek penelitian. Sementara melalui penelitian yang dilakukan oleh Setyawati dkk. (2006) disimpulkan bahwa meskipun memiliki nilai sensitivitas diagnosis lebih dari 90% yakni 92%, namun gambaran vakuola dan granula toksik memiliki nilai spesifitas yang rendah yakni 34% dalam mendiagnosis sepsis pada neonatus. Simpulan serupa juga dinyatakan oleh Bhat dan Rao (2010), bahwa vakuola dan granula toksik neutrofil tidak dapat digunakan untuk mendeteksi dini sepsis pada neonatus, dengan nilai sensitivitas hanya 2,8%.