BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sindrom Respons Inflamasi Sistemik

advertisement
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sindrom Respons Inflamasi Sistemik Pada Anak
2.1.1 Epidemiologi
Sindrom respons inflamasi sistemik atau yang lebih dikenal dengan istilah
systemic inflammatory response syndrome (SIRS) merupakan suatu respons
inflamasi tubuh yang bersifat kompleks dan nonspesifik terhadap suatu keadaan
yang berbahaya bagi tubuh (Plevkova, 2011; Balk, 2014). Data mengenai
epidemiologi SIRS pada anak masih terbatas (Horeczko dan Green, 2013). Sebuah
penelitian pada tahun 2000 mendapatkan prevalens SIRS pada anak berusia
kurang dari 18 tahun yang dirawat di Pediatric Intensive Care Unit (PICU) The
Hospital de Clinicas de Porto Alegre Brazil sebesar 68% (Carvalho dkk, 2005).
Pasien anak dengan SIRS yang diakibatkan oleh infeksi sebesar 64% sementara
36% lainnya disebabkan oleh noninfeksi (Carvalho dkk, 2005).
Penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2007 hingga 2010 di National
Hospital Ambulatory Medical Care Survey (NHAMCS) Amerika Serikat
mendapatkan angka kejadian SIRS pada anak berusia kurang dari 18 tahun adalah
sebesar 21,7%. Berdasarkan penelitian tersebut didapatkan bahwa 53% dari
keseluruhan kasus SIRS disebabkan oleh infeksi (Horeczko dan Green, 2013).
Penelitian lain di Latvia pada tahun 2007 mendapatkan prevalens SIRS pada anak
yang dirawat dengan gejala klinis demam adalah sebesar 72% (Pavare dkk, 2009).
Sementara pada penelitian yang dilakukan oleh Daniela (2010), sepanjang tahun
8
9
2006-2009 di Craiova didapatkan prevalensi pasien anak dengan SIRS dan
mengalami sepsis adalah sebesar 78%.
2.1.2 Etiologi
Penyebab SIRS dapat dikelompokkan menjadi dua yakni SIRS yang
disebabkan oleh infeksi dan SIRS yang disebabkan oleh noninfeksi. Infeksi
bakteri, infeksi pada luka (luka bakar, luka bekas operasi, diabetic foot),
kolesistitis, kolangitis, infeksi saluran cerna, pneumonia, infeksi saluran kencing,
serta meningitis merupakan beberapa penyakit infeksi yang dapat menimbulkan
SIRS. Sindrom respons inflamasi sistemik tidak hanya disebabkan oleh infeksi.
Beberapa keadaan noninfeksi juga dapat menyebabkan SIRS antara lain trauma,
luka bakar, infark myokard, perdarahan, sirosis, penyakit autoimun, serta reaksi
hipersensitivitas baik terhadap obat maupun alergen yang lain (Plevkova, 2011).
Sebuah penelitian dilakukan oleh National Hospital Ambulatory Medical
Care Survey (NHAMCS) di Amerika Serikat pada tahun 2007 hingga 2010 yang
melibatkan 30.650 rumah sakit. Penelitian tersebut mendapatkan angka kejadian
SIRS pada anak berusia < 18 tahun yang datang ke rumah sakit adalah 18,1%.
Penyebab SIRS terbanyak yang didapatkan pada penelitian tersebut adalah infeksi
(53%) (Horeczko dan Green, 2013).
2.1.3 Patofisiologi
Sindrom respons inflamasi sistemik atau SIRS terlepas dari apapun
penyebabnya memiliki patofisiologi yang sama. Inflamasi merupakan respons
tubuh terhadap stimulus yang berbahaya bagi tubuh baik berupa stimulus kimia,
traumatik, maupun agen infeksi. Kaskade inflamasi merupakan suatu proses
10
kompleks yang melibatkan imunitas humoral, seluler, komplemen, dan berbagai
sitokin (Plevkova, 2011).
Trauma, inflamasi, infeksi memicu aktivasi kaskade inflamasi. Pada SIRS
yang disebabkan oleh infeksi, kaskade inflamasi dicetuskan oleh endotoksin
maupun eksotosin. Makrofag pada jaringan, monosit, sel mast, trombosit, dan sel
endotel mampu menghasilkan berbagai sitokin proinflamasi. Tissue necrosis
factor-α (TNF- α) dan interleukin (IL)-1 merupakan sitokin pertama yang
dilepaskan dan kemudian mencetuskan pelepasan sitokin yang lain. Pelepasan dari
TNF- α dan IL-1 menyebabkan pemecahan nuclear factor-K B (NF-K B) inhibitor.
Pemecahan dari NF-K B inhibitor menyebabkan produksi mRNA oleh NF-K B
yang mampu mencetuskan sitokin proinflamasi yang lain. Apabila SIRS
dicetuskan oleh infeksi virus, interferon gamma (IFN γ) merupakan stimulus
utama yang dilepaskan oleh sel yang terinfeksi oleh virus tersebut (Plevkova,
2011).
Interleukin (IL)-6, IL-8, dan IFN γ merupakan mediator proinflamasi utama
yang dicetuskan oleh NF-K B. Interleukin (IL)-1 dan TNF- α merupakan sitokin
yang dilepaskan dalam jumlah besar dalam 1 jam pertama. Kedua sitokin tersebut
dapat menyebabkan kerusakan paru berat, hipotensi, demam, serta pelepasan
hormon stres (norepinefrin, vasopressin, aktivasi sistem renin-angiotensinaldostreson). Sitokin lain seperti IL-6 merangsang pelepasan reaktan fase akut
yakni C-reactive protein (CRP). Infeksi menyebabkan pelepasan TNF- α yang
lebih besar dibandingkan pada saat trauma, sehingga pelepasan IL-6 dan IL-8 juga
11
menjadi lebih besar. Hal tersebut mendasari terjadinya demam yang lebih tinggi
pada infeksi dibandingkan pada saat trauma (Plevkova, 2011).
Tubuh mengadakan berbagai upaya untuk mengkompensasi respons
inflamasi yang sifatnya merugikan tersebut melalui mekanisme pelepasan sitokin
anti inflamasi seperti TNF receptor, IL-1 receptor type II, inaktivasi komplemen,
IL-10, dan IL-4. Selanjutnya akan terjadi apoptosis dari limfosit, perubahan
sitokin proinflamasi yang menghasilkan sel T-helper tipe I menjadi sitokin anti
inflamasi yang menghasilkan sel T-helper tipe II, dan sel T yang tidak responsif
(Kleinpell dkk, 2006).
Semua mekanisme kompensasi tersebut diatur sedemikian rupa secara
seimbang untuk mengatasi respons proinflamasi. Apabila respons anti inflamasi
terjadi secara berlebihan, maka akan mengakibatkan tubuh tidak mampu untuk
melawan mikroorganisme infeksi tersebut (Kleinpell dkk, 2006).
Pada SIRS, keseimbangan antara respons inflamasi dan anti inflamasi
terganggu (Aneja dan Carcillo, 2011). Kompensasi terhadap keadaan proinflamasi
seringkali terjadi secara berlebihan sehingga terjadi suatu kondisi penekanan
sistem imun (imunosupresi). Hal tersebut kemudian mendasari terjadinya
gangguan fungsi limfosit, penurunan jumlah limfosit yang berada di sirkulasi dan
jaringan pada pasien sepsis (Brown dkk, 2006). Berbagai keadaan tersebut
mengakibatkan ketidakmampuan tubuh melawan mikroorganisme dan di sisi lain
mengakibatkan ketidakmampuan untuk mencegah kerusakan jaringan. Reaksi
proinflamasi yang berlebihan akan mengakibatkan kerusakan jaringan sementara
reaksi anti inflamasi yang berlebihan akan menyababkan keadaan imunosupresi.
12
Ketidakseimbangan kedua reaksi tersebut berperan dalam terjadinya sepsis dan
kegagalan organ berganda (Aneja dan Carcillo, 2011).
2.1.4 Diagnosis
Konferensi
internasional
mengenai
diagnosis
SIRS
pertama
kali
diselenggarakan pada tahun 1991. Hasil dari konferensi tersebut memiliki
kelemahan dalam hal spesifisitas terutama untuk pasien anak. Pada tahun 2001,
kembali diselenggarakan International Sepsis Definitions Conference yang
melibatkan lebih banyak peneliti dan klinisi dari seluruh dunia. Konferensi
tersebut bertujuan untuk memperbaharui berbagai kriteria diagnosis sepsis
terutama dalam hal manifestasi klinis (Carvalho dan Trotta, 2003). Namun
konferensi pada tahun 2001 tersebut tidak secara spesifik membahas mengenai
kriteria diagnosis sepsis pada pasien pediatri. Untuk itu pada bulan Februari tahun
2002 diselenggarakan di San Antonio, Texas yang melibatkan dokter spesialis
anak dari seluruh dunia, peneliti yang memiliki pengalaman meneliti kasus sepsis
pada anak serta anggota dari U.S Food and Drug Administration. Konferensi
tersebut bertujuan untuk menetapkan definisi serta kriteria penegakan diagnosis
SIRS dan sepsis yang dapat diterapkan pada populasi anak (Goldstein dkk, 2005).
Definisi SIRS dan disfungsi organ sangat dipengaruhi oleh faktor usia. Untuk
itu, konferensi pada tahun 2002 menetapkan 6 kategori tanda vital dan hasil
laboratorium berdasarkan usia yakni baru lahir, neonatus, bayi, masa prasekolah,
masa sekolah, dan remaja (Tabel 2.1 dan 2.2). Usia tersebut dikategorikan secara
13
spesifik berdasarkan risiko menderita infeksi berat, rekomendasi pemberian
antibiotik, dan fisiologi sistem kardiorespirasi (Goldstein dkk, 2005).
Penegakan diagnosis SIRS secara dini selain merupakan hal yang cukup sulit,
juga merupakan tantangan tersendiri bagi para klinisi. Manifestasi klinis SIRS
yang bervariasi sehingga sering terlewatkan merupakan salah satu penyebabnya.
Identifikasi maupun pengobatan SIRS yang tidak dilakukan sedini mungkin, akan
meningkatkan risiko untuk terjadinya kegagalan organ berganda bahkan kematian
(Carvalho dan Trotta, 2003). Berdasarkan hal tersebut, maka International
Pediatric Sepsis Consensus Conference menetapkan beberapa kriteria yang
digunakan untuk menegakkan diagnosis SIRS pada anak seperti yang tertera pada
Tabel 2.3 dan 2.4 (Goldstein dkk, 2005).
Tabel 2.1 Kategori usia anak berdasarkan International Pediatric Sepsis
Consensus Conference 2002 (Goldstein dkk, 2005)
Baru lahir
Neonatus
Bayi
Masa pra sekolah
Masa sekolah
Remaja
0 hari – 7 hari
7 hari – 30 hari
30 hari – 1 tahun
2 tahun – 5 tahun
6 tahun – 12 tahun
13 tahun - ≤ 18 tahun
14
Tabel 2.2 Tanda vital dan hasil laboratorium berdasarkan International Pediatric
Sepsis Consensus Conference 2002 (Goldstein dkk, 2005)
Frekuensi
Jantung/menit
Usia
Takikardi
Bradikardi
Frekuensi
Napas/menit
Jumlah
Leukosit
(103 /mm3 )
Tekanan
Darah
Sistolik
(mmHg)
0 hari – 7
hari
>180
<100
>50
>34
<65
7 hari – 1
bulan
>180
<100
>40
>14,5
<5
atau
<75
30 hari– 1
tahun
>180
<90
>34
>17,5
<5
atau
<100
2 tahun – 5
tahun
>140
Tidak valid
>22
>15,5
<6
atau
<94
6 tahun –
12 tahun
>130
Tidak valid
>18
>13,5
<4,5
atau
<105
13 tahun <18 tahun
>110
Tidak valid
>14
>11
<4,5
atau
<117
Terdapat beberapa modifikasi pada kriteria diagnosis SIRS. Salah satu contoh
adalah kriteria bradikardi. Bradikardi merupakan salah satu tanda SIRS pada
neonatus dan bayi, namun kriteria tersebut tidak valid apabila digunakan pada
anak dengan usia yang lebih besar (Goldstein dkk, 2005). Terdapat perbedaan
yang mendasar antara kriteria diagnosis SIRS dan sepsis pada anak dan dewasa.
Pada anak, diagnosis SIRS baru dapat ditegakkan apabila terdapat abnormalitas
suhu atau abnormalitas jumlah leukosit. Jadi SIRS pada anak tidak dapat
ditegakkan apabila hanya terdapat peningkatan frekuensi napas dan denyut
15
jantung, tanpa adanya salah satu dari abnormalitas suhu maupun jumlah leukosit
(Goldstein dkk, 2005).
Demam atau pireksia merupakan keadaan suhu tubuh di atas normal sebagai
akibat dari peningkatan pusat pengatur suhu tubuh di hipotalamus yang
dipengaruhi oleh interleukin-1 (Soedarmo dkk, 2010). Dalam protokol Kaiser
Permanente
Appointment
and
Advice
Call
Center
pada
tahun
2000
mendefinisikan demam untuk anak apabila suhu rektal di atas 38˚C, aksila di atas
37,5˚C, membran timpani di atas 38,2˚C (Goldstein dkk, 2005; Soedarmo dkk,
2010). Namun berdasarkan konsensus internasional sepsis pada anak, digunakan
suhu inti tubuh di atas 38,5˚C untuk mendefinisikan demam. Hal ini bertujuan
untuk meningkatkan spesifisitas diagnosis (Goldstein dkk, 2005).
Pengukuran suhu tubuh ditujukan untuk mengukur suhu inti tubuh (Soedarmo
dkk, 2010). Syarat suatu pengukuran suhu tubuh yang baik adalah menggunakan
metoda pengukuran yang sederhana dan tidak invasif (Kara dkk, 2009). Hal yang
sama diungkapkan oleh Pooya dan Kashef (2006) bahwa teknik ideal untuk
mengukur suhu tubuh adalah nyaman bagi pasien, cepat, dan akurat untuk
menggambarkan suhu inti tubuh.
Nilai suhu tubuh sangat dipengaruhi oleh metabolisme tubuh dan tempat
pengukuran. Pengukuran yang dilakukan pada organ yang mendekati permukaan
tubuh memiliki suhu yang lebih rendah dibandingkan dengan organ yang lebih
dalam Pengukuran temperatur inti tubuh sebaiknya dilakukan pada rektum,oral,
atau melaui kateter sentral (Soedarmo dkk, 2010).
16
Tabel 2.3 Definisi SIRS, sepsis, sepsis berat, dan syok septik berdasarkan
International Pediatric Sepsis Consensus Conference 2002 (Goldstein dkk, 2005)
SIRS ditegakkan apabila terdapat minimal 2 dari 4 kriteria sebagai berikut :
(dengan syarat 1 dari 2 kriteria yang terpenuhi tersebut adalah abnormalitas
temperatur atau hitung jenis leukosit)
1. Temperatur inti > 38,5˚C atau < 36˚C
2. Takikardi merupakan rerata frekuensi jantung di atas 2 SD di atas nilai normal
berdasarkan usia tanpa disertai rangsangan eksternal (penggunaan obat dan
rangsang nyeri), atau peningkatan frekuensi jantung secara menetap selama
periode 30 menit hingga 4 jam.
Khusus untuk bayi (usia < 1 tahun), bradikardi merupakan rerata frekuensi
jantung di bawah persentil 10 berdasarkan usia selama periode minimal 30 menit,
tanpa adanya rangsangan eksternal (rangsangan reflex vagal, penggunaan obat
penghambat- β, penyakit jantung bawaan)
3. Rerata frekuensi pernapasan diatas 2 SD di atas nilai normal berdasarkan usia
4. Peningkatan maupun penurunan jumlah leukosit berdasarkan usia (bukan
merupakan leukopenia akibat dari kemoterapi)
Infeksi merupakan proses patologis yang disebabkan oleh invasi mikroorganisme
patogen atau yang secara potensial dapat menjadi mikroorganisme patogen pada
jaringan atau cairan tubuh yang steril dalam keadaan normal .
Infeksi dapat dibuktikan melalui pemeriksaan antara lain hasil positif pada biakan,
pewarnaan jaringan, atau reaksi rantai polymerase.
Sepsis merupakan SIRS dengan bukti adanya atau merupakan suatu akibat dari
infeksi baik yang sifatnya diduga maupun infeksi yang telah dapat dibuktikan.
Sepsis berat merupakan sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular, atau
disfungsi respirasi, atau minimal 2 dari disfungsi organ lainnya seperti yang
tercantum pada Tabel 2.4.
Syok septik merupakan sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular
seperti yang tercantum pada Tabel 2.4.
SD : Standar Deviasi
17
Tabel 2.4 Kriteria disfungsi organ berdasarkan International Pediatric Sepsis
Consensus Conference 2002 (Goldstein dkk, 2005)
Disfungsi Kardiovaskular
Meskipun dengan pemberian bolus cairan intravena ≥ 40 ml/kgBB, terdapat kondisi:
Penurunan tekanan darah di bawah persentil 5 berdasarkan usia, atau tekanan darah
sistolik < 2 SD di bawah nilai normal berdasarkan usia
atau
Memerlukan obat vasoaktif untuk mempertahankan tekanan darah dalam rentang normal
(dopamin dengan dosis > 5µg/kgBB/menit atau dobutamin, epinefrin, dan norepinefrin
pada semua dosis yang diberikan
atau
2 dari keadaan berikut :
Asidosis metabolik yang tidak dapat dijelaskan, dengan defisit basa > 5 mEq/L
Peningkatan kadar laktat arteri > 2x lipat diatas kadar normal
Oliguri, dengan produksi urin < 0,5 ml/kgBB/jam
Pemanjangan waktu pengisian kapiler, yakni > 5 detik
Perbedaan antara temperatur inti dan perifer > 3˚C
Disfungsi Respirasi
PaO2/FiO2 < 300 tanpa disertai penyakit jantung bawaan sianotik atau penyakit paru yang
mendasari; atau
PaCO2 > 65 atau 20 mmHg diatas batas bawah PaCO2; atau
Memerlukan FiO2 > 50% untuk mempertahankan saturasi perifer ≥ 92%; atau
Memerlukan alat bantu ventilasi mekanik invasif maupun non invasif
Disfungsi Neurologi
Skor Glasgow Coma Scale ≤ 11
Perubahan status mental secara akut dengan penurunan skor Glasgow Coma Scale ≥ 3dari
batas bawah yang abnormal
Disfungsi Hematologi
Jumlah platelet < 80.000/mm3 atau penurunan 50% dari jumlah platelet tertinggi selama
periode 3 hari
Disfungsi Ginjal
Kadar kreatinin serum ≥ 2 kali lipat dari batas atas kadar kreatinin serum berdasarkan
usia; atau
Peningkatan kreatinin serum 2 kali lipat dari batas bawah kreatinin serum
Disfungsi Hati
Kadar bilirubin total ≥ 4 mg/dL (kriteria ini tidak dapat digunakan pada usia 0 hari
sampai 7 hari); atau
Kadar ALT 2 kali lipat diatas nilai normal berdasarkan usia
SD : Standar Deviasi; ALT : Alanin Transferase
18
Pengukuran suhu inti tubuh yang direkomendasikan adalah melalui daerah
rektum karena hasilnya yang akurat (Pooya dan Kashef, 2006). Pengukuran suhu
tubuh pada membran timpani dan aksila sebaiknya dihindari karena hasil
pengukuran yang tidak akurat (Goldstein dkk, 2005). Hal ini berbeda menurut
Soedarmo dkk.
(2010), yang menyatakan bahwa meskipun pengukuran suhu
rektal dianggap sebagai baku emas namun metoda ini memiliki beberapa
kelemahan. Pada rektum tidak ditemukan sistem termoregulai sehingga suhu
rektal lebih tinggi dibandingkan tempat lain, misalnya arteri pulmonalis. Hal ini
juga disebabkan oleh aktivitas metabolik bakteri feses. Suhu rektal juga berubah
sangat lambat dibandingkan penurunan suhu inti, sehingga tidak dapat digunakan
pada keadaan hipoperfusi. Hasil pengukuran suhu rektal dipengaruhi oleh
kedalaman insersi termometer dan ada atau tidaknya feses (Soedarmo dkk, 2010).
Pengukuran suhu rektal juga seringkali membuat pasien tidak nyaman dan
berbahaya (Pooya dan Kashef, 2006). Risiko pengukuran suhu rektal yang paling
sering dijumpai adalah perforasi rektal dan infeksi nasokomial (Soedarmo dkk,
2010).
Rekomendasi American Academy of Pediatrics (AAP) adalah pengukuran
suhu tubuh melalui aksila. Pengukuran suhu aksila memiliki beberapa keuntungan
antara lain mudah bagi pemeriksa, nyaman bagi pasien, dan yang paling penting
adalah memiliki risiko yang paling kecil untuk penyebaran penyakit dibandingkan
dengan metoda pengukuran lainnya (Pooya dan Kashef, 2006; Soedarmo dkk,
2010). Hal yang serupa dinyatakan oleh Kara dkk. (2009) bahwa pengukuran suhu
tubuh pada daerah aksila dengan menggunakan termometer air raksa memiliki
19
beberapa kelebihan seperti harganya yang murah dan ketersediaan alat yang luas.
Kelemahan dari metoda pengukuran ini terletak pada sensitivitasnya yang rendah
dan sangat dipengaruhi oleh suhu lingkungan (Soedarmo dkk, 2010). Kelemahan
lain dari metoda ini adalah memerlukan waktu minimal 5 menit untuk
mendapatkan hasil pengukuran yang akurat (Kara dkk, 2009).
Menentukan suhu inti melalui suhu aksila masih menjadi perdebatan sampai
saat ini, begitu pula mengenai tingkat akurasinya (Chaturvedi dkk, 2004; Pooya
dan Kashef, 2006). Meta analisis dari beberapa penelitian dilakukan untuk
membandingkan suhu rektal dan aksila. Sebagian besar penelitian tidak
menunjukkan hubungan konsisten antara suhu rektal dan aksila (Chaturvedi dkk,
2004). Rumus untuk menghitung suhu rektal yakni sebagai berikut : (Chaturvedi
dkk, 2004)
Suhu rektal (˚C) = 0,99 x suhu aksila (˚C) + 0,82
Pada penelitian yang dilakukan oleh Pooya dan Kashef (2006), didapatkan
bahwa suhu aksila adalah 0,55˚C lebih rendah dibandingkan suhu rektal. Suhu
aksila apabila ditambah 0,55˚C mendekati suhu inti tubuh pada daerah rektum.
Hasil ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Chaturvedi dkk. (2004).
Perbedaan tersebut didasari oleh perbedaan metodologi penelitian yang
digunakan. Pada penelitian Chaturvedi dkk,
peneliti mengukur suhu aksila
dengan menggunakan termometer air raksa selama 2 menit, sementara pada
penelitian Pooya dan Kashef pengukuran dilakukan selama 5 menit. Simpulan
dari penelitian yang dilakukan oleh Pooya dan Kashef adalah bahwa pengukuran
suhu aksila aman, nyaman bagi pasien dan mendekati gambaran suhu rektal. Suhu
20
rektal didapatkan dengan menambahkan 0,55˚C pada suhu aksila setelah
dilakukan pengukuran dengan termometer air raksa selama 5 menit (Pooya dan
Kashef, 2006).
Selain demam, jumlah leukosit total dalam darah juga merupakan kriteria lain
dari SIRS (Goldstein dkk, 2005). Peningkatan maupun penurunan leukosit yang
terjadi pada sepsis disesuaikan dengan usia anak oleh karena sertiap kelompok
usia memiliki nilai rentang normal yang berbeda (Goldstein dkk, 2005; Pesce,
2007).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui titik potong
peningkatan leukosit total dalam darah yang bermakna untuk memprediksi
terjadinya infeksi bakteri sistemik. Berdasarkan rekomendasi The American
College of Emergency Physicians , leukosit di atas 15.000/mm3 dapat dijadikan
salah satu prediktor terjadinya infeksi bakteri sistemik pada anak dengan nilai
sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 64%-82% dan 67%-75%
(Stephens dkk, 2007). Sementara berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Andreola dkk. (2007), titik potong leukosit > 15.000/mm3 memberikan nilai
prediksi yang cukup baik dalam memprediksi infeksi bakteri pada anak dengan
memberikan sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif (NDP) dan nilai duga
negatif (NDN) masing-masing sebesar 51,6%; 75,5%; 2,11 dan 0,64.
Selain pada keadaan infeksi, leukosit juga mengalami peningkatan pada
beberapa keadaan lain. Stres fisiologik seperti pada pasien yang menjalani operasi
dengan anastesi umum, mengalami trauma, sindrom gawat napas akut, syok
hipovolemik
akibat
perdarahan
maupun
dehidrasi
dapat
menyebabkan
21
peningkatan jumlah leukosit. Secara umum, pasien yang mengalami stress
fisiologik mengalami peningkatan jumlah leukosit mencapai 15.000-19.999
sel/mm3. Namun pada anak dengan sindrom gawat napas akut dapat mengalami
peningkatan jumlah leukosit lebih dari 30.000 sel/mm3 (Wanahita dkk, 2002).
Pasien yang mendapat terapi steroid seperti prednison dengan dosis ≥ 40
mg/hari maupun dosis ekuivalennya juga mengalami peningkatan jumlah leukosit
yang umumnya berkisar antara 15.000-19.999 sel/mm3. Keganasan hematologi
seperti leukemia, limfoma, maupun metastase kanker ke sumsum tulang serta
keadaan nekrosis atau inflamasi juga dapat menimbulkan keadaan tersebut
(Wanahita dkk, 2002).
2.1.5 Prognosis
Kegagalan multiorgan merupakan salah satu luaran yang dapat terjadi pada
pasien dengan SIRS. Disfungsi multiorgan yang paling sering terjadi adalah
disfungsi yang berkaitan dengan ginjal, hati, susunan saraf pusat, dan jantung
(Plevkova, 2011). Carvalho dkk, meneliti luaran anak dengan SIRS pada tahun
1999 hingga 2000 di Hospital de Clinicas de Porto Alegre. Penelitian tersebut
mendapatkan risiko kematian berdasarkan skor Pediatric Risk of Mortality
(PRISM) lebih tinggi pada pasien anak dengan SIRS (median 4,15%)
dibandingkan anak tanpa SIRS (median 2,65%). Risiko kematian juga lebih tinggi
pada pasien SIRS yang disebabkan oleh infeksi (median 6,75%) dibandingkan
SIRS yang tidak disebabkan oleh infeksi (median 2,35%) (Carvalho dkk, 2005).
Penelitian tersebut juga mendapatkan angka kematian yang lebih tinggi pada
pasien anak dengan diagnosis SIRS pada saat masuk rumah sakit (12%)
22
dibandingkan pasien anak tanpa SIRS (5,8%). Pada SIRS yang disebabkan oleh
infeksi, angka kematian mencapai 14,9% dibandingkan pada SIRS yang tidak
disebabkan oleh infeksi yakni sebesar 6,3%. Pada SIRS yang disertai kegagalan
multiorgan, angka kematian mencapai 32% (Carvalho dkk, 2005).
Perbedaan secara bermakna juga tampak pada lama rawat inap di Pediatric
Intensive Care Unit (PICU). Pasien dengan SIRS akibat infeksi memiliki median
lama rawat adalah 3 hari, sementara median pasien SIRS tanpa infeksi adalah 2
hari (p=0,006) (Carvalho dkk, 2005).
2.2 Neutrofil
2.2.1 Produksi neutrofil
Neutrofil dihasilkan di sumsum tulang melalui suatu proses yang disebut
granulaopoeisis (Gambar 2.1 dan 2.2). Sumsum tulang menghasilkan neutrofil
secara stabil, yakni sekitar 1-2 x 1011 sel setiap hari pada orang dewasa normal.
Produksi neutrofil diatur oleh laju apoptosis di jaringan (Brown dkk, 2006;
Borregaard, 2010).
Fagositosis neutrofil yang telah mengalami apoptosis dilakukan oleh
makrofag dan sel dendritik di jaringan (Gambar 2.3). Proses fagositosis ini
merangsang pengeluaran IL-23 oleh neutrofil. IL-23 kemudian merangsang
pengeluaran IL-17A oleh sel T yang terutama berlokasi di nodus limfe
mesentrika. IL-17A merupakan sitokin penting untuk merangsang pengeluaran
Granulaocyte-Colony Stimulating Factor (G-CSF). Apabila jumlah neutrofil di
jaringan meningkat maka produksi dari G-CSF akan menurun (Borregaard, 2010).
23
Gambar 2.1 Hemopoiesis di sumsum tulang
(Dikutip dari Fraser dan Tilyard, 2008)
Gambar 2.2 Granulaositopoiesis di sumsum tulang
(Dikutip dari Borregaard, 2010)
24
Gambar 2.3 Neutrofil di jaringan
(Dikutip dari Borregaard, 2010)
2.2.2 Maturasi neutrofil
Neutrofil memerlukan waktu sekitar 8-14 hari untuk menjalani rangkaian
pembelahan sel sebanyak 4-6 kali dan melengkapi proses maturasi (Gambar 2.1)
(Brown dkk, 2006; Borregaard, 2010). Setelah proses pembelahan sel berakhir
dilanjutkan dengan proses maturasi neutrofil selama 3-4 hari. Neutrofil yang telah
matur sementara disimpan di storage pool sebelum dilepaskan ke peredaran darah.
Neutrofil memerlukan waktu sekitar 12-14 jam untuk berada di peredaran darah
(circulating pool) sebelum melakukan kontak dengan dinding pembuluh darah
(marginating pool). Apabila tidak terjadi infeksi bakteri, neutrofil kemudian
memasuki organ retikuloendotelial seperti hati, atau kembali menuju sumsum
tulang untuk mengalami apoptosis. Neutrofil tua kemudian akan mengkerut
25
menjadi badan apoptosis (apoptotic bodies) dan mengalami fagositosis oleh
makrofag lokal. Hal tersebut dapat mencegah kerusakan jaringan akibat faktor
lisis yang dilepaskan oleh neutrofil tua tersebut (Brown dkk, 2006).
2.2.3 Mobilisasi neutrofil dari sumsum tulang ke sirkulasi
Sinyal spesifik seperti IL-1, IL-3, TNF-α, Colony Stimulating Factor , dan
komplemen seperti C3a dan C5a berperan dalam mobilisasi neutrofil dari sumsum
tulang ke sirkulasi. Dalam keadaan normal, 90% dari neutrofil matur tetap berada
di sumsum tulang, 2-3% di sirkulasi, dan sisanya berada di jaringan (Borregaard,
2010).
Retensi dan mobilisasi neutrofil terjadi berkat keseimbangan antara reseptor
sitokin CXCR4 yang berperan dalam retensi neutrofil di sumsum tulang dan
CXCR2 yang berperan dalam mobilisasi neutrofil ke sirkulasi. Sitokin G-CSF
merangsang mobilisasi neutrofil menuju sirkulasi secara tidak langsung dengan
cara menurunkan ekspresi SDF-1 oleh sumsum tulang dan meningkatkan ekspresi
Groβ (Gambar 2.2). Hal tersebut kemudian menyebabkan ketidakseimbangan
antara CXCR4 dan CXCR2. Dominasi sinyal CXCR2 menyebabkan terjadinya
pelepasan neutrofil menuju ke sirkulasi. Keadaan seperti inflamasi dan infeksi
akan meningkatkan laju produksi dan pelepasan neutrofil ke sirkulasi (Borregaard,
2010).
2.2.4 Produksi sitokin oleh neutrofil
Selain merupakan target dari sitokin, neutrofil sendiri juga dapat
menghasilkan berbagai jenis sitokin yang bersifat proinflamasi. Berbagai agen
dilaporkan dapat menginduksi produksi sitokin. Neutrofil menjadi target dari
26
berbagai sitokin yang bersifat proinflamasi seperti IL-1, TNF-α, G-CSF, GMCSF, dan kemokin seperti IL-8. Sitokin-sitokin tersebut meningkatkan fungsi dari
neutrofil seperti kapasitas menempel pada sel endotel dan pengiriman sinyal
migrasi neutrofil menuju lokasi inflamasi atau infeksi (Witko-Sarsat dkk, 2000).
Interleukin 8 (IL-8) dan TNF-α merupakan sitokin utama yang dihasilkan
oleh neutrofil. TNF-α meningkatkan aktivasi oksidan reaktif dan merangsang
pelepasan enzim granulasi oleh neutrofil. Sementara IL-8 yang merupakan sitokin
terbanyak yang dihasilkan neutrofil menyebabkan peningkatan aktivitas
degranulasi dari neutrofil (Witko-Sarsat dkk, 2000).
Seperti halnya sel inflamasi yang lain, aktivitas neutrofil juga diatur oleh
berbagai sitokin. Aktivitas neutrofil menghasilkan sitokin diatur oleh sel T helper
1 yakni interferon-γ (IFN-γ). Sementara sitokin yang bertugas menekan aktivitas
tersebut diatur oleh sel Thelper 2 yakni IL-4, IL-10, dan IL-13 (Witko-Sarsat dkk,
2000).
2.2.5 Granula neutrofil
Granula merupakan tanda atau hallmark dari granulaosit (eosinofil, basofil,
dan neutrofil) yang terbentuk pada saat granulaopoiesis di sumsum tulang (WitkoSarsat dkk, 2000). Granula merupakan simpanan protein yang dapat digunakan
untuk membunuh mikroorganisme patogen. Keberadaan granula menandai
peralihan dari myeloblas ke promyelosit. Pembentukan granula berlanjut hingga
fase segmentasi pada proses maturasi tercapai (Borregaard, 2010).
Granula neutrofil diklasifikasikan menjadi 3 berdasarkan karakteristik
kandungan protein yang dimiliki. Klasifikasi tersebut meliputi granula primer
27
(azurofil), granula sekunder (spesifik), dan granula tersier (granula gelatinosa)
(Borregaard, 2010). Sementara Witko-Sarsat dkk. (2000) mengklasifikasikan
granula neutrofil menjadi 4 dengan vesikel sekretorik sebagai tambahannya.
Keempat granula tersebut memiliki perbedaan dalam fase pembentukan dan
kandungan protein yang dimiliki (Gambar 2.4). Granula primer terbentuk pada
fase promyelosit dan mengandung myeloperoksidase, protease serin, dan protein
antibiotik. Granula sekunder yang mengandung laktoferin dan kolagenase
terbentuk pada fase myelosit-metamyelosit, sementara granula tersier yang
terbentuk pada fase sel band mengandung gelatinase. Vesikel sekretorik tampak
pada saat neutrofil telah matur (Borregaard, 2010; Witko-Sarsat dkk, 2010).
2.2.6 Neutrofil pada saat sepsis
Pada manusia, neutrofil merupakan leukosit utama dalam darah (Brown dkk.,
2006). Neutrofil menempati 70% dari jumlah leukosit yang berada di sirkulasi
(Fraser dan Tilyard, 2008). Neutrofil berperan sebagai lini pertama pertahanan
tubuh terhadap mikroorganisme patogen. Pada tempat terjadinya infeksi, neutrofil
berfungsi untuk melakukan fagositosis, menghasilkan metabolit toksik, dan enzim
proteolitik. Meskipun membantu dalam eliminasi mikroorganisme patogen,
neutrofil juga dapat menyebabkan kerusakan jaringan (Gregory dan Wing, 2002).
28
Gambar 2.4 Granula neutrofil. Elektron mikroskop memperlihatkan neutrofil
dengan berbagai granula intrasitoplasma. Granula primer (primary granulae, pg)
tampak sebagai granula yang berwarna gelap dengan ukuran relatif besar. Granula
Sekunder (secondary granulae, sg) memiliki ukuran yang lebih kecil
dibandingkan granula primer. Nukleus (N); mitokondria (m); sentriol (ce)
(Dikutip dari Witko-Sarsat dkk, 2000)
Neutrofil memiliki banyak simpanan enzim
proteolitik dan dapat
menghasilkan spesies oksigen reaktif atau ROS (Reactive Oxygen Species) untuk
membunuh bakteri patogen. Apabila faktor litik maupun sitokin proinflamasi yang
dihasikan neutrofil dilepaskan ke ekstrasel akan menyebabkan kerusakan jaringan
lokal. Pada infeksi bakteri yang bersifat lokal, maka kerusakan jaringan yang
terjadi hanya sebatas pada lokasi infeksi tersebut. Sementara pada keadaan sepsis,
terjadi infeksi bakteri sistemik yang kemudian mengaktifkan neutrofil secara
sistemik sehingga kerusakan jaringan yang terjadi akan lebih luas (Brown dkk,
2006).
29
Berdasarkan hal tersebut, maka neutrofil diibaratkan seperti pisau bermata
dua. Neutrofil di satu sisi sangat berperan dalam eradikasi patogen. Namun di sisi
lain, pelepasan oksidan dan protease berlebihan oleh neutrofil justru menyebabkan
kerusakan organ (Hotchkiss dan Karl, 2003).
Sitokin yang berperanan dalam mobilisasi neutrofil ke sirkulasi adalah
Colony Stimulating Factor (CSF) meliputi Granulaocyte-Colony Stimulating
Factor (G-CSF) dan Granulaocyte-Macrophage Stimulating Factor (GM-CSF).
Keduanya meningkatkan jumlah neutrofil yang beredar di sirkulasi, mempercepat
maturasi, dan memperpanjang umur neutrofil. Pada individu normal, konsentrasi
G-CSF dalam darah adalah sangat rendah. Sementara pada sepsis, konsentrasi GCSF yang beredar dalam darah meningkat beberapa kali lipat (Brown dkk, 2006).
Sitokin juga mempengaruhi berbagai aspek dari aktivitas neutrofil. TNF-α
memiliki aktivitas anti inflamasi dengan merangsang apoptosis dari neutrofil.
Berlawanan dengan TNF-α, peningkatan sitokin proinflamasi seperti pada
keadaan sepsis terutama IL-1 dan IL-6 dapat memperpanjang umur neutrofil
dengan cara menekan apoptosis yang diatur oleh TNF-α (Gregory dan Wing,
2002).
Terdapat 3 bentuk neutrofil dalam tubuh yakni neutrofil dalam keadaan
istirahat (resting,unstimulated), neutrofil primer (melawan mikroorganisme
maupun produknya dengan nilai ambang lebih rendah dibandingkan yang
diperlukan untuk activated neutrophil) dan neutrofil yang teraktivasi atau
activated neutrophil. Peralihan neutrofil dari bentuk neutrofil istirahat di sirkulasi
menjadi neutrofil teraktivasi di tempat terjadinya infeksi dicetuskan oleh beberapa
30
hal antara lain C5a, sitokin dan lipopolisakarida. Pada pasien dengan sepsis,
neutrofil yang berada di sirkulasi adalah neutrofil dalam bentuk primer. Hal ini
dibuktikan dengan tingginya aktivitas neutrofil dan peningkatan ekspresi gen
transkripsi nuclear factor kB (NFkB) (Brown dkk, 2006).
Proses apoptosis neutrofil merupakan suatu mekanisme homeostatis.
Mekanisme tersebut bertujuan untuk mencegah kerusakan jaringan berlebihan
akibat produk yang dihasilkan oleh neutrofil yang telah lisis. Namun pada
keadaan inflamasi sistemik, infeksi sistemik (sepsis), sepsis berat, dan kegagalan
organ berganda, proses apoptosis dari neutrofil menjadi terhambat. Hal tersebut
diakibatkan oleh lipopolisakarida dan lipoteichoic acid serta sitokin proinflamasi
yang menyebabkan pemanjangan umur neutrofil melalui mekanisme penempelan
pada endotel. Pemanjangan umur neutrofil yang menginfiltrasi jaringan akan
meningkatkan terjadinya kerusakan ekstraselular akibat ketidakmampuan neutrofil
mengontrol pelepasan radikal oksigen dan enzim proteolitik (Brown dkk, 2006).
Pada pasien sepsis terjadi peningkatan konsentrasi C5a dalam darah yang
dapat menyebabkan deaktivasi respons kemotaksis dari neutrofil. Selain itu,
peningkatan konsentrasi TNF-α pada pasien sepsis menyebabkan gangguan
migrasi dari neutrofil, memperpanjang umur neutrofil dengan menghambat proses
apoptosis, serta meningkatkan produksi ROS. Hal tersebut membuktikan bahwa
pada sepsis terjadi aktivasi sistemik dari neutrofil yang justru menyebabkan
disfungsi dari neutrofil tersebut (Brown dkk, 2006).
31
Gambar 2.5 Perbedaan respons neutrofil dalam keadaan normal dan pada saat
sepsis
(Dikutip dari Brown dkk., 2006)
Sebagai respons terhadap adanya infeksi bakteri, sitokin seperti G-CSF dan
GM-CSF akan merangsang migrasi neutrofil dari sumsum tulang (Gambar 2.5).
Pada keadaan normal, neutrofil di sirkulasi dalam jumlah besar akan menuju
tempat terjadinya infeksi dengan menempel pada endotel yang telah teraktivasi,
sebelum migrasi sepanjang gradien konsentrasi dari faktor kemotaksis (seperti
C5a, leukotrin B, dan IL-8) yang dihasilkan pada tempat infeksi. Perlawanan
terhadap bakteri gram positif dilakukan neutrofil dengan cara mengekpresikan
TLR2, sementara TLR4 digunakan neutrofil untuk melawan bakteri gram negatif.
Ekspresi kedua reseptor tersebut kemudian akan mengakibatkan fagositosis
terhadap bakteri (Brown dkk, 2006).
32
Pada pasien sepsis, terdapat rangsangan terhadap neutrofil di sirkulasi oleh
faktor inflamasi dalam konsentrasi tinggi di sirkulasi (seperti IL-1, TNF-α, GCSF, C5a, dan oxida nitrat) dan produk dari bakteri (seperti lipopolisakarida dan
lipoteichoic acid). Faktor-faktor inflamasi tersebut menyebabkan neutrofil
menempel secara kuat pada endotel. Namun beberapa dari faktor inflamasi
tersebut juga menekan ekspresi reseptor kemotaksis. Selain menyebabkan ikatan
yang sangat kuat dengan endotel, aktivitas faktor inflamasi yang menekan
ekspresi reseptor kemotaksis juga menyebabkan neutrofil tidak responsif terhadap
reseptor kemotaksis tersebut dibandingkan pada keadaan normal (Brown dkk,
2006).
2.2.7 Gambaran neutrofil toksik
Neutrofil dikatakan mengalami perubahan toksik apabila terdapat salah satu
dari gambaran granula toksik, vakuola toksik, dan badan Dohle dalam sitoplasma
neutrofil pada pemeriksaan hapusan darah tepi. Gambaran neutrofil toksik terjadi
apabila terdapat peningkatan konsentrasi sitokin proinflamasi seperti G-CSF
secara sistemik sehingga menyebabkan pemendekan waktu transit neutrofil dari
sumsum tulang ke sirkulasi (Gambar 2.6). Pada pasien sepsis, neutrofil
menunjukkan
peningkatan
internalisasi
dan
penghancuran
terhadap
mikroorganisme sehingga pada hapusan darah tepi dapat dijumpai gambaran
vakuola toksik dan granula toksik pada neutrofil (Brown dkk, 2006).
Namun gambaran neutrofil toksik tidak spesifik untuk menandai terjadinya
proses infeksi sistemik. Keadaan lain yang menyebabkan peningkatan konsentrasi
sitokin proinflamasi di sirkulasi seperti trauma, keracunan obat, dan luka bakar
33
juga dapat memberikan gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi.
Granula toksik dan badan Dohle juga dapat dijumpai pada saat kehamilan dan
proses peradangan sistemik. Berbeda dengan gambaran granula toksik dan badan
Dohle, vakuola toksik pada neutrofil dilaporkan lebih spesifik sebagai tanda
adanya sepsis dibandingkan 2 gambaran lainnya (Alqep, 2009).
Gambar 2.6 Patofisiologi terbentuknya gambaran neutrofil toksik
(Dikutip dari Alqep, 2009)
Peningkatan sitokin proinflamasi seperti G-CSF dan GM-CSF di sirkulasi
menyebabkan proses maturasi neutrofil di sumsum tulang terjadi lebih cepat dan
produksi enzim lisosom meningkat sehingga terbentuk granula neutrofil dengan
ukuran lebih besar (Gambar 2.6). Granula toksik pada neutrofil merupakan
granula primer yang berukuran lebih besar dan berwarna lebih gelap dibandingkan
granula neutrofil normal. Pada pemeriksaan hapusan darah tepi, granula toksik
tampak sebagai granula kasar pada sitoplasma neutrofil dan memberikan warna
34
biru hingga hitam pada pewarnaan (Gambar 2.7). Apabila terdapat granula toksik
dalam jumlah besar, maka akan memberikan gambaran neutrofil yang berwarna
kebiruan. Gambaran granula toksik dijumpai pada keadaan infeksi maupun
inflamasi sistemik (Alqep, 2009).
Gambar 2.7 Granula toksik neutrofil
pada pemeriksaan hapusan darah tepi
(Dikutip dari Alqep, 2009)
Vakuola toksik merupakan ruangan jernih yang terdapat pada sitoplasma
neutrofil (Gambar 2.8). Keberadaan vakuola tersebut menunjukkan peningkatan
aktivitas fagositosis pada neutrofil akibat peningkatan konsentrasi sitokin pro
inflamasi, seperti yang dijumpai pada keadaan sepsis. Vakuola tersebut bervariasi
dari segi ukuran dan dapat bergabung menjadi satu membentuk vakuola yang
lebih besar. Namun seringkali ditemui kesulitan untuk membedakan vakuola
toksik dengan vakuola degeneratif. Hal tersebut terjadi akibat penyimpanan darah
yang terlalu lama dalam tabung EDTA (Alqep, 2009).
35
Gambar 2.8 Vakuola toksik neutrofil
pada pemeriksaan hapusan darah tepi
(Dikutip dari Alqep, 2009)
Badan Dohle atau Dohles bodies merupakan sisa dari retikulum endoplasma
kasar (rough endoplasmic reticulum) yang memberikan warna biru atau abu-abu
pada saat pewarnaan. Badan Dohle tidak dijumpai pada sitoplasma granulosit
normal. Badan Dohle umumnya berukuran kecil sekitar 1-2µm dan lebih sering
ditemukan tunggal sehingga sangat sulit teridentifikasi (Gambar 2.9).
Peningkatan sitokin proinflamasi mencetuskan respons sumsum tulang untuk
meningkatkan jumlah neutrofil yang dilepaskan ke sirkulasi. Selain sebagai
respons sumsum tulang, pada keadaan sepsis juga terjadi peningkatan sitokin GCSF yang diperlukan untuk pelepasan neutrofil ke sirkulasi (Brown dkk, 2006).
Kedua mekanisme tersebut kemudian menyebabkan proses maturasi neutrofil di
sumsum tulang menjadi lebih singkat sehingga terbentuk badan Dohle. Selain
ditemukan pada keadaan infeksi sistemik, badan Dohle juga ditemukan pada
36
keadaan inflamasi sistemik, luka bakar, leukemia, kehamilan, dan pasien dengan
kemoterapi (Alqep, 2009).
Gambar 2.9 Badan Dohle neutrofil
pada hapusan darah tepi
(Dikutip dari Alqep, 2009)
2.2.8 Keadaan yang mempengaruhi gambaran neutrofil toksik
2.2.8.1 Imunodefisiensi
Berdasarkan penyebab yang mendasari, terdapat 2 klasifikasi imunodefisiensi
yakni imunodefisiensi primer dan sekunder. Imunodefisiensi primer disebabkan
akibat kelainan genetik, sementara imunodefisiensi sekunder atau didapat
disebabkan oleh infeksi, keganasan, dan penggunaan obat-obatan yang dapat
menekan sistem imun seperti steroid dan kemoterapi (Tabel 2.5) (Michaels dan
Green, 2007).
37
Tabel 2.5 Penyebab imunodefisiensi sekunder pada anak
(Michaels dan Green, 2007)
Imunodefisiensi Sekunder
HIV
Keganasan
Transplantasi organ
Luka bakar
Diabetes mellitus
Penggunaan obat maupun prosedur imunosupresif (steroid, kemoterapi, dan
radioterapi)
Gizi buruk
Secara umum, pada keadaan imunodefisiensi terjadi gangguan pada beberapa
aspek dari sistem imun. Namun abnormalitas utama dan paling sering terjadi
adalah neutropenia. Kekurangan jumlah neutrofil yang beredar di sirkulasi akan
menyebabkan hilangnya respons inflamasi (Michaels dan Green, 2007).
Selain obat-obat kemoterapi, neutropenia juga dapat disebabkan oleh
pengobatan dengan radioterapi juga dapat menyebabkan neutropenia. Sebagian
besar obat-obatan tersebut merusak sel prekursor sumsum tulang dan menghambat
replikasi normal sel-sel di sumsum tulang sehingga menyebabkan neutropenia
(Mudita, 2010).
Neutrofil mampu mengenali bakteri maupun produknya, apabila bakteri
patogen diselimuti dengan IgG. Reseptor yang memiliki afinitas tinggi terhadap
IgG adalah CD64. Reseptor CD64 merupakan petanda neutrofil dalam bentuk
teraktivasi dan reseptor tersebut tidak terdapat pada neutrofil dalam bentuk
istirahat. Sehingga peningkatan ekspresi resptor CD64 seringkali digunakan
sebagai indikator terjadinya sepsis. Terapi steroid mempengaruhi aktivitas
neutrofil dengan menekan ekspresi CD64. (Brown dkk., 2006).
38
Dosis tunggal steroid telah dapat menimbulkan efek pada neutrofil yakni
menyebabkan neutrofilia setelah pemberian 4-6 jam. Neutrofilia yang ditimbulkan
terjadi akibat peningkatan migrasi neutrofil dari sumsum tulang ke sirkulasi dan
penurunan neutrofil menuju tempat terjadinya inflamasi maupun infeksi. Steroid
juga menghambat pelepasan lisosom hidrolase pada granula neutrofil sehingga
menurunkan kemampuan neutrofil dalam membunuh bakteri (Klein dkk, 2001).
2.2.8.2 Usia
Pada masa neonatus, terjadi proses adaptasi dari lingkungan intra uterin ke
ekstra uterin, termasuk di dalamnya sistem imun. Pada masa ini, perkembangan
sistem imun baik sistem imun alamiah dan adaptif belum berkembang sempurna.
Neonatus memiliki cadangan neutrofil yang sedikit di sumsum tulang. Pada
keadaan sepsis, neutrofilia umumnya dijumpai hanya pada fase awal sepsis dan
berlangsung singkat. Keadaan tersebut akan segera diikuti oleh neutropenia oleh
karena cadangan neutrofil tidak memadai (Chirico, 2005).
Pada neonatus juga terjadi penurunan produksi G-CSF dan GM-CSF oleh sel
T. Hal tersebut yang kemudian mendasari terjadinya neutropenia pada neonatus
selama terjadinya sepsis. Sitokin G-CSF dan GM-CSF merupakan sitokin penting
yang berfungsi untuk proliferasi, diferensiasi, dan fagositosis dari granulaosit.
Selain itu G-CSF dan GM-CSF juga berfungsi untuk merangsang proses
proliferasi progenitor myeloid, meningkatkan simpanan neutrofil di sumsum
tulang, serta meningkatkan pelepasan neutrofil ke peredaran darah selama proses
infeksi (Chirico, 2005).
39
Keadaan leukopenia berat juga dijumpai selama fase awal sepsis. Selain
penurunan jumlah leukosit selama infeksi berat, abnormalitas polimorfonuklear
granulaosit lainnya pada neonatus adalah penurunan kemampuan seperti adhesi,
kemotaksis, fagositosis, ekspresi reseptor, produksi metabolisme oksidatif dan
kemampuan membunuh bakteri. Penurunan jumlah simpanan neutrofil secara
kuantitatif di sumsum tulang selama sepsis serta penurunan kualitas kemampuan
fagositosis granulaosit menyebabkan peningkatan risiko neonatus mengalami
sepsis berat (Chirico, 2005).
2.2.8.3 Derajat beratnya sepsis
Semakin berat derajat sepsis, sensitivitas gambaran neutrofil toksik akan
semakin besar (Gwaisz dan Babay, 2007). Melalui penelitiannya, Gwaisz dan
Babay (2007) mencari hubungan antara derajat sepsis dengan sensitivitas neutrofil
toksik dengan melibatkan subjek penelitian berusia 2 hari hingga 93 tahun.
Sensitivitas granula toksik, vakuola toksik dan badan Dohle pada seluruh pasien
masing-masing sebesar 48%, 22%, dan 32%. Pada anak berusia di bawah 1 tahun
didapatkan sensitivitas granula toksik, vakuola toksik dan badan Dohle masingmasing sebesar 50%, 27%, dan 10%. Sementara sensitivitas yang lebih tinggi
didapatkan pada pasien dengan sepsis berat yakni 78% untuk granula toksik, 37%
untuk vakuola toksik, dan 50% untuk badan Dohle.
2.2.8.4 Inflamasi sistemik non infeksi
Keadaan inflamasi sistemik yang bersifat non infeksi seperti trauma, luka
bakar, kelainan jantung, dan operasi kardiopulmoner seringkali menyebabkan
terjadinya kegagalan organ dengan imunopatologi sama dengan yang terjadi pada
40
sepsis. Keadaan tersebut juga dapat memberikan gambaran neutrofil toksik pada
hapusan darah tepi (Brown dkk, 2006).
2.2.8.5 Kualitas preparat hapusan darah tepi
Interpretasi dari suatu hapusan darah tepi sangat bergantung dengan kualitas
preparat itu sendiri. Segera setelah pengambilan darah, dalam 6 jam pertama
preparat hapusan darah tepi yang sudah difiksasi dengan methanol selama 15-30
detik harus sudah dikerjakan. Hal tersebut bertujuan untuk mencegah lisisnya
neutrofil sehingga mempengaruhi gambaran morfologinya (Alqep, 2009).
2.2.9 Penelitian neutrofil toksik
Gambaran neutrofil toksik pada hapusan darah tepi untuk mendeteksi suatu
infeksi bakteri sistemik sampai saat ini masih menjadi perdebatan (Gwaisz dan
Babay, 2007). Menurut Liu dkk. (1984), vakuola toksik dan granula toksik pada
neutrofil merupakan parameter hematologi yang akurat dalam menentukan adanya
sepsis. Pada penelitian yang dilakukan oleh Liu dkk. (1984), didapatkan
sensitivitas dan spesifisitas vakuola toksik pada neutrofil sebesar 81% dan 93%.
Sementara sensitivitas dan spesifisitas granula toksik pada neutrofil didapatkan
sebesar 67% dan 90%. Pada tahun 1985, Liu dkk kembali mengadakan penelitian
pada pasien anak yang rawat jalan dengan usia di bawah 24 bulan. Pada penelitian
tersebut didapatkan sensitivitas dan spesifisitas vakuola toksik pada neutrofil
sebesar 84% dan 96%. Sementara sensitivitas dan spesifisitas granula toksik pada
neutrofil didapatkan sebesar 86% dan 93%. Pendapat yang sama juga dinyatakan
oleh Kumar dan Singhi (1994), yang
mendapatkan nilai sensitivitas dan
41
spesifisitas granula toksik sebesar 95% dan 89%, dengan melibatkan pasien anak
berusia di atas 8 minggu sebagai subjek penelitian.
Sementara melalui penelitian yang dilakukan oleh Setyawati dkk. (2006)
disimpulkan bahwa meskipun memiliki nilai sensitivitas diagnosis lebih dari 90%
yakni 92%, namun gambaran vakuola dan granula toksik memiliki nilai spesifitas
yang rendah yakni 34% dalam mendiagnosis sepsis pada neonatus. Simpulan
serupa juga dinyatakan oleh Bhat dan Rao (2010), bahwa vakuola dan granula
toksik neutrofil tidak dapat digunakan untuk mendeteksi dini sepsis pada
neonatus, dengan nilai sensitivitas hanya 2,8%.
Download