Arkeologi Islam Nusantara : Masalah dan Solusinya

advertisement
Arkeologi Islam Nusantara : Masalah dan Solusinya*
Oleh Prof Dr H Budi Sulistiono, MHum
Tahun 1963 sejumlah ahli dan peminat sejarah Islam berdatangan
ke Medan untuk partisipasi aktif dalam Seminar Sejarah Masuk
dan
Berkembangnya
Islam
di
Nusantara.
Hasil
seminar
merekomendasikan antara lain untuk dilakukan seminar jilid dua
dalam tema yang sama. Maka tahun 1978, mereka berketetapan
hati untuk hadir di Banda Aceh. Nyatanya, melalui pengalaman
berdiskusi hingga berdebat dalam seminar jilid dua, mereka pun
semakin penasaran untuk menyelenggarakan seminar jilid tiga
untuk tema yang tidak jauh beda, dan diputuskan di Peureulak,
Aceh tahun 1981. Mudah-mudahan untuk hari ini di Batam kita
lebih berkonsentrasi kepada persoalan, antara lain :
1. Sumbangan apa saja, kapan, dimana, yang pernah dipentaskan
masyarakat Muslim Nusantara ?
Makalah disampaikan pada acara Orientasi Peningkatan dan Pengembangan Kualitas
Kinerja SDM Lektur Keagamaan, Badan Litbang Depag, RI, di Batam, 24 Februari sd 1
Maret 2009
*
2. Dengan cara apa Islam berhasil dipentaskan di tengah-tengah
multietnis di tebaran kepulauan dalam ukuran terbesar hingga
terkecil - Nusantara, dan kini mereka dapat dipersatukan,
menjadi sebuah bangsa modern dan dengan bangga kita selalu
menyebut Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ?
Tanpa
mengurangi
hasil
jerih
payah
kepejuangan
dan
kepahlawanan para sesepuh (wali, kyai, tuan guru, teungku,
teuku, datuk, bangsawan, lasykar, santri, tentara, simpatisan),
nyatanya jawaban dua pertanyaan di atas tidak cukup melalui
data Sejarah melainkan sudah “keharusan diungkap data
materialnya”. Penyebutan kata “keharusan” bukan hasil akalakalan, karena memang realitas keberadaan masyarakat Muslim
telah berhasil himpun kekuatan politik dalam wujud berdirinya
kekuasaan dalam bentuk “Kesultanan”, antara lain :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Kesultanan Samudera Pasai
Kesultanan Aceh Darussalam
Kesultanan Asahan
Kesultanan Banten
Kesultanan Bima
Kesultanan Bulungan
Kesultanan Buton
Kesultanan Selaparang, Lombok
2
9. Kesultanan Cirebon
10.Kesultanan Deli
11.Kesultanan Dompu
12.Kesultanan Demak
13.Kesultanan Kotawaringin
14.Kesultanan Pajang
15.Kesultanan Gowa
16.Kesultanan Jambi
17.Kesultanan Kota Pinang
18.Kesultanan Kutai Kartanegara Ing Martadipura
19.Kesultanan Langkat
20.Kesultanan Mataram (Islam)
21.Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
22.Pakualaman- Puro Pakualaman
23.Kesultanan Pagaruyung
24.Kesultanan Palembang
25.Kesultanan Sambas
26.Kesultanan Sanggau
27.Kesultanan Pontianak
28.Kesultanan Serdang
29.Kesultanan Siak Sri Inderapura
30.Kesultanan Tanjung Pura - Pontianak
31.Kesultanan Ternate
32.Kesultanan Gunung Tabur
33.Kesultanan Sambaliung
34.Kesultanan Bulungan
35.Kesultanan Tidore
Mudah-mudahan melalui keberadaan sejumlah Kesultanan di
atas telah menghantarkan kita untuk tidak sebagai penonton
belaka, tapi lebih mau memperoleh pengetahuan hingga
3
memahami untuk mau mengerti “Peninggalan budaya Islam
macam apa saja” yang pernah dipentaskan dari masing-masing
kesultanan dan masyarakat pendukungnya ?
Melalui sejumlah pengamatan lapangan dan dukungan sejumlah
sumber tertulis mengungkapkan adanya tinggalan budaya Islam
baik material maupun non material, yang tidak sedikit.
Tinggalan Budaya Islam berupa material, antara lain berupa :
a.
Situs Keraton
b. Situs Benteng
c.
Situs Masjid
d. Situs Kota
e.
Nisan Makam
f.
Situs Pesantren/Dayah/Surau
g. Situs Pemukiman
h. Situs Pasar
i.
Kerajinan, al. radisi ukir, arsitektur, batik, desain kapalkapal
j.
Senjata
k. Alat Rumah Tangga
l.
Film dokumen asli
m. Pernaskahan
n. Situs Dermaga
o. Dsb
4
Tinggalan Budaya Islam tinggalan non-material, antara lain
dalam wujud dongeng, kisah, cerita, tentang peristiwa, nama
tempat, atau tokoh kharismatis – yang tumbuh dan berkembang
di kalangan masayarakat pendukungnya. Contohnya, kasus
masyarakat Muslim Kudus yang hingga kini masih enggan
mengonsumsi
“daging
sapi/lembu”.
Penulis
secara
sadar
mengakui memang belum pernah melakukan penelitian tentang
kasus ini, tapi sekedar pengalaman manakala ketemu teman asal
Kudus, ia selalu penulis ajak makan bareng di warung sate, dan
langsung pesan. Teman asal Kudus ini selalu interupsi “maaf
daging satenya apa ?”. Saya bilang “untuk di daerah Aceh,
khusus pinggiran laut / pantai, anda tidak akan pernah
merasakan Sate Kambing, tapi di sini sangat terkenal Sate Lembu.
Spontan teman asal Kudus bercerita panjang lebar tentang mitosmitos di seputar diri lembu, hingga menghambatnya untuk tidak
mengonsumsi masakan apa saja yang menggunakan daging
lembu. Penulis spontan teringat tentang pengalaman perjalanan
ketika di Kudus, dan nyatanya memang Kudus terkenal dengan
sebutan Kota Menara Kudus. Lebih misteri lagi di dalam
bangunan masjid Kudus ada dua buah Candi. Nah, adakah
5
hubungan
masyarakat,
mitos,
dan
keberadaan
bangunan
komplek Masjid Kudus sehingga masyarakat Muslim asal Kudus
enggan mengonsumsi daging lembu ?
Budaya tutur / lisan sangat boleh dijadikan sumber sejarah dalam
kategori “sejarah lisan”– hal ini terkait dengan sejumlah peristiwa
pra kemerdekaan dan pasca kemerdekaan – utamanya masa
Revolusi Kemerdekaan. Di sini-sana banyak peristiwa heroik
yang pernah dipentaskan oleh kekuatan “lasykar” antara lain
lasykar Rakyat, Lasykar Rakyat Medan Area, Hisbullah, Tentara
Islam
Indonesia,
Tentara
Keamanan
Rakyat,
Tentara
Keduapuluhlima, dan sebagainya hingga kekuatan individu
terdiri dari Teungku, Kyai, Ajeungan, Tuan Guru, bersama
santri/murid pesantren/surau/ dayah, dan yang semisal. Nah,
seberapa banyak kita pernah mau mendengar tentang proses
hingga mereka siap berkorban Bela Tanah Air Indonesia yang
baru menyatakan Kemerdekaannya ?
Berangkat dari persoalan “proses” hingga terwujudnya tindakan
bersama mempertahankan kemerdekaan, menarik untuk dilacak
6
kemudian dikaji untuk diperoleh datanya, kemudian difahami
untuk
dimengerti
hingga
kemungkinan
dapat
dilakukan
rekonstruksi keberadaan peran-peran individu muslim dari masa
ke masa yang berkait erat dengan ajaran dan pemikiran
keagamaan hingga pengaruhnya sebagaimana terwujud dalam
perilaku dan tindakan dalam realitas sosial mereka - secara
empiric dapat berwujud dalam “Team Work” yang memiliki
kekuatan yang dahsyat – dengan pernyataan INDONESIA
MERDEKA ! MERDEKA ! MERDEKA !
Pengenalan individu Muslim Nusantara secara nyata dapat
dikenali dari sejumlah nama lengkap dengan angka tahun
kelahiran atau angka tahun wafatnya. Contoh, di Samudera
Pasai, desa Beuringin, Kecamatan Samudera, Kabupaten Lhok
Seumawe, Aceh Utara ada makam Malik as-Sholeh wafat 1296 M.
Di Leran, Gresik, Jawa Timur ada temuan makam Fatimah binti
Maimun, wafat 1082 M. Melalui data arkeologi dua makam
tersebut, apa yang bisa kita katakan, untuk kemudian dianalisa
lebih cermat ? Menurut sejumlah sumber, Majapahit sebagai
kerajaan Hindu di Jawa - dengan mitos SUMPAH PALAPA-nya,
7
baru berdiri 1292 yang ditandai Raden Wijaya sebagai raja
pertama. Andai tiga angka tahun itu dapat dijadikan pedoman,
akan sangat mungkin ada sejumlah data arkeologi Islam yang
bertebaran atau bahkan dibuat pada masa Sriwijaya dan masa
Majapahit. Lebih-lebih posisi letak dua kerajaan raksasa itu di
daerah agraris, dan masyarakat Muslim hampir pasti bertinggal
di daerah pantai. Data arkeologi Islam macam apa saja, dan
dimana
bisa
ditemukan
untuk
kemudian
dilihat
untuk
direkonstruksi ? Keberadaan Pusat Kerajaan Majapahit sampai
saat ini masih diyakini terletak di Trowulan, Mojokerto, Jawa
Timur. Di wilayah pusat kerajaan, justru kedapatan komplek
makam Troloyo† . Di Komplek makam ini terdapat sekitar 10
makam dengan nisan berprasasti aksara Arab, aksara Jawa Kuna.
Menurut LC Damais (1957 :392-408) ‡, angka tahun tertua yang
termuat dalam sejumlah nisan yang beraksara Jawa Kuna itu,
menunjuk angka tahun 1203 Caka atau 1281 Masehi, sementara
angka tahun termuda adalah 1533 Caka atau 1611 Masehi. sebuah
Komplek makam ini terletak di desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan,
Mojokerto.
‡ L.C.Damais, 1957, "Etudes Javanais I, Les Tombes Musulmanes Detees de
Tralaya", BEFEO, XLVIII.
†
8
makam yang memuat nama tokoh, angka tahun wafatnya dengan
aksara
dan
bahasa
Arab,
yang
berbunyi,
antara
lain
”...Zainuddin, wafat tahun 874 Hijriah”.
Selain kaligrafi Arab dan Jawa Kuna, di kompleks makam
ini juga dijumpai pola hias "Sinar", dan karena bertempat di
lokasi bekas kerajaan Majapahit, maka sangat dikenal dengan
sebutan pola hias "Sinar Majapahit". Pola hias semacam ini
nampak secara jelas juga mewarnai hiasan dinding terletak di
atas bangunan mihrab masjid Demak. Dan kini, pemanfaatan
pola hias yang semisal nampak secara cerdas pada lambang
organisasi pembaharu, Muhammadiyah.
Dalam kaitan kajian kita hari ini, ada hal yang sulit
dilupakan bahwa makam atau kuburan para raja/ sultan Islam,
tokoh penyebar Islam memperoleh perlakuan tertentu dari
sebagian masyarakat. Sehingga sebagian makam atau kompleks
makam seperti berada dalam konteks sistem perilaku, yakni
sebagai obyek peziarahan (pilgrimage). Dampaknya antara lain
adanya sejumlah makam yang dikramatkan dan secara keliru
sebagai media/ tempat meminta sesuatu.
9
Konon, kekeramatan para wali itu tidak saja dapat
menimbulkan kebaikan atau barkah (berkat) kepada ummat
manusia di masa hidupnya wali yang bersangkutan, tetapi juga
setelah mereka meninggal dunia. Karena itu terjadilah amalanamalan tertentu di makam-makam para wali atau kyai untuk
meminta berkahnya. Demikian juga amalan-amalan yang dapat
mengingatkan manusia kepada para wali itu, seperti membaca
riwayat hidup atau manaqib seorang wali dianggap sangat besar
berkahnya, khususnya pada hari-hari tertentu. Dari situlah
timbulnya kebiasaan membangun makam seorang kyai atau wali
yang dilengkapi dengan serambi untuk mengaji atau melakukan
amalan-amalan.§ Tokoh Syekh Abdul Qadir Jaelani, di Indonesia
dipercaya sebagai wali tertinggi. Manaqib Syekh Abdul Qadir
Jaelani (wafat 1116 M) dibaca setiap tanggal 11 Bulan Arab.
Tanggal itu juga bertepatan dengan tanggal wafatnya (11 Rabi’ul
akhir). Pada setiap Jum’at sesudah sembahyang Asyar atau
Maghrib itu juga dibaca bersama sambil khataman (penutupan)
amalan tarekat dalam seminggu, di Pesantren Pagentongan** Di
§
**
Sudjoko Prasodjo, (ed.), Profil Pesantren, LP3ES, Jakarta, 1974: 41
Ibid : 41.
10
sini juga dibacakan Manakib Badar (313 para peserta Perang
Badar, perang pertama yang amat menentukan dipimpin oleh
Nabi Muhammad SAW;dan berikutnya Haikal (Azimat) berupa
tujuh surat al-Qur’an.††. Ternyata ketokohan Syekh Abdul Qadir
Jaelani tidak cukup dengan bacaan-bacaan itu, bahkan dibuatkan
kubur lengkap dengan nisan, dapat dijumpai di komplek makam
muslim Tralaya, Mojokerto. Di lokasi ini juga terdapat makam
tokoh-tokoh kenamaan yang lain. Pertanyaannya adalah apa saja,
kapan, bagaimana, perlakuan terhadap makam tersebut ?
Dalam kaitannya dengan bangunan makam, sebagian
masyarakat mempunyai suatu anggapan bahwa arwah nenek
moyang memiliki suatu kekuatan gaib, yang dapat menolak
segala kekuatan jahat serta dapat memberikan perlindungan.
Akibatnya, melahirkan perilaku pembuatan makam dalam
bentuk-bentuk tertentu, yang erat sekali dengan pemujaan
kepada arwah nenek moyang yang selalu dihormati, dimintai
perlindungan dan keselamatan bagi seluruh masyarakat atau
bagi keluarga yang ditinggalkannya.
††
Ibid : 45.
11
Di Sulsel,dilihat dari cara penggarapannya menampilkan
bentuk yang unik dan bentuk-bentuk nisan tipe Aceh, DemakTroloyo, dan Ternate-Tidore. Keunikan terutama tampak pada
kenyataan bahwa unsur megalithik tampil dominan pada awal
perkembangan Islam di Sulsel. Hal itu dapat ditunjukkan dengan
nisan kubur berbentuk "menhir" dan "phallus" yang diletakkan
tanpa atau dengan jirat berundak. Kesederhanaan bentuk ini
sering diasosiasikan dengan nisan tipe lokal, karena pada tiaptiap tempat di luar Sulsel pun dapat dijumpai nisan demikian.
Apabila diamati secara seksama, sesungguhnya nisan kubur
di Sulsel memiliki bentuk yang heterogen. Pada setiap nisan
terdapat kebebasan untuk digarap sesuai dengan keinginan
pemahat. Namun setelah diklasifikasi menurut bentuk yang
spesifik ternyata hanya ada dua tipe dilihat dari pola dasar nisan,
yaitu bentuk silindrik dan bentuk dasarnya kemudian menjadi
samar.
Kedua tipe dasar itu dapat memberi keterangan tentang
jenis kelamin orang yang dikuburkan pada suatu makam. Tipe
12
silindrik adalah untuk makam laki-laki, dan tipe pipih untuk
perempuan. Menjadi menarik jika dipermasalahkan mengapa
nisan kubur dijadikan pembeda kelamin serta instrumen apa saja
yang menjadi simbol genetalia sehingga terdapat spesifikasi yang
jelas antara kedua bentuk nisan antagonis tersebut.
Keberadaan batu-batu nisan yang lengkap dengan prasasti
masa Islam ditemukan hampir di seluruh situs bekas kerajaan
bercorak Islam. Data yang tertuang pada prasasti tersebut, antara
lain pesan yang merujuk pada datang dan berkembang Islam di
Indonesia.
Sebagai
prasasti
masa
Islam,
tulisan
Arab
mendominasi di dalamnya, dan merupakan ciri khas yang
menunjukkan pengaruh Islam di Indonesia. Di antara jenis huruf
Arab yang ditemukan : Kufi. Makam di Pulau Serangan, Bali ada
yang berinskripsi huruf Arab dan Bugis. Sedang bahasa yang
dituliskan adalah Arab, Melayu/ Indonesia, dan Bugis. Ada yang
berangka tahun, berhias medalion motif ceplok kembang,
Arabesque (hiasan suluran di dalam panil)‡‡. Melalui data
Nampaknya Bugis merupakan etnis dominan yang hadir di tempat ini, karena
orang-orang Bugis lebih dikenal mempunyai keahlian berlayar dan suka merantau. Jika
asumsi ini dapat diterima, sejak abad ke-16 M orang Bugis sudah mengenal bahkan
melakukan kontak dengan pulau Bali. Dan sejarah mencatat, bahwa pada abad ke-17
‡‡
13
prasasti lengkap hiasan di dalamnya, adakah pengaruh langsung
terhadap perilaku masyarakat pendukungnya ?
Bentangan angka tahun peran-peran individu Muslim
dapat dilacak hingga ke masa lampau nun jauh masa awal
kedatangan, pertumbuhan hingga perkembangan masyarakat
Muslim di Nusantara. Dalam konteks pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat Muslim, golongan penerima dapat
menjadi pembawa atau penyebar Islam untuk orang lain di luar
golongan atau daerahnya. Kondisi ini sesuai dengan ajaran
agama Islam, setiap Muslim adalah “dai”. Para muballigh, guru
agama Islam mempunyai tugas khusus menyiarkan agama Islam.
Dalam hal ini, kontinuitas antara penerima dan penyebar terus
terpelihara dan dimungkinkan sebagai sistem pembinaan caloncalon pemberi ajaran tersebut. Biasanya santri-santri pandai, yang
telah lama belajar seluk-beluk agama Islam di suatu tempat dan
kemudian kembali ke daerahnya, akan menjadi pembawa dan
penyebar ajaran Islam yang telah diperolehnya. Keberadaan
mereka
secara
khusus
telah
mempercepat
M meletus perang antar kerajaan Gowa dengan VOC. Kampung
dapat dijumpai di Bali, misalnya di Membrana, Nusa Dua.
Bugis,
proses
Wajo,
Bajo,
14
berkembangnya wilayah pengaruh Islam. Mereka kemudian
mendirikan pondok-pesantren, rangkang, surau, dan atau
semisalnya
-
merupakan
lembaga
yang
penting
dalam
penyebaran agama Islam. Dalam konteks keberadaan pesantren/
dayah/ surau, dan yang semisalnya, seberapa jauh kita memiliki
data mereka dalam wujud budaya materialnya ? Di tiap
pesantren hampir pasti ada tokoh yang teladan. Keteladanan
mereka bisa berwujud antara lain pemikiran untuk kemudian
dituangkan dalam tulisan. Varian karya tulis apa saja yang
pernah mereka tulis ? Bagaimana corak bentangan varian karya
tulis melesat berkembang di antara santri alumninya di berbagai
daerah ? Bagaimana corak pemilihan lokasi, tata ruang pesantren
?
Perkembangan masyarakat Muslim Nusantara secara besarbesaran pada abad 13 – kian memiliki kekuatan politik yang
berarti, yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan /
kesultanan bercorak Islam seperti Kerajaan Samudera Pasai, Aceh
Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate-Tidore. Dari
Malaka, Islam didakwahkan antara lain ke daerah Kampar,
Indragiri, dan Riau menjadi Islam. Dari Aceh, Islam meluas
15
sampai ke Minangkabau, Bengkulu, dan Jambi. Di Pulau Jawa,
penyiaran agama Islam dilakukan terutama oleh para wali yang
dikenal
dengan sebutan Walisongo.
Strategi dakwah yang
mereka terapkan telah berhasil meluaskan wilayah pengaruh
Islam dari Demak ke Banjarmasin. Sultan Samudra – atas bantuan
Demak, sebagai raja pertama kerajaan Banjarmasin masuk Islam.
Ia kemudian memakai gelar Maharaja Suryanullah.
Ketika
Suryanullah naik tahta, beberapa daerah sekitarnya sudah
mengakui kekuasaannya, yakni daerah Sambas, Batanglawai,
Sukadana, Kotawaringin, Sampit. Adapun
Lombok, menurut
tradisi diislamkan oleh Sunan Prapen, dari Giri, Gresik, Jawa
Timur. Banten yang diislamkan oleh Demak meluaskan dan
menyebarkan Islam ke Sumatra Selatan.
Kesultanan terbesar di Kepulauan Maluku abad ke 14-16 M
adalah Kesultanan Ternate. Sejak abad ke-10 M terkenal sebagai
pusat perdagangan rempah-rempah.Kapal-kapal dari Jawa,
Malaka, dan Arab secara teratur berlayar ke sana. Pada awalnya,
Kesultanan itu menganut animisme. Namun setelah Sultan Zainal
Abidin (1486-1500), raja Ternate ke-19 kembali dari Giri, Gresik
dan menyandang gelar Sultan, agama Islam menjadi agama resmi
16
kerajaan. Dari Ternate semakin meluas meliputi pulau-pulau di
seluruh Maluku, daerah pantai timur Sulawesi, Hitu, Buton,
Selayar, serta Lombok.
Sejak Gowa-Tallo§§ atau Makassar tampil sebagai pusat
perdagagan laut, kerajaan ini menjalin hubungan yang baik
dengan Ternate, suatu kerajaan pusat cengkeh, yang telah
menerima Islam dari Gresik / Giri, di bawah kekuasaan Sultan
Babullah, Ternate mengadakan perjanjian persahabatan dengan
Gowa Tallo. Pada saat yang sama, raja Ternate berusaha
mengajak penguasa Gowa Tallo untuk ikut menganut agama
Islam, tetapi gagal. Baru pada waktu Dato’ ri Bandang*** datang
Letak Kerajaan Goa Tallo di semenanjung barat daya pulau Sulawesi sangat
strategis dilihat dari sudut perdagangan rempah-rempah di Kepulauan Nusantara ini.
Sebagai suatu daerah pelabuhan transito, Kerajaan Goa-Tallo memainkan peranan
penting. Di sekitar tahun 1600 M, rempah-rempah yang dapat dibeli di pelabuhan ini
seringkali lebih murah daripada di Maluku sendiri. Lihat Meilink Roelofs, Asian Trade
and European Influences in the Indonesian Archipelago Between 1500 and about 1630, (The
Hague : Martinus Nijhoff, 1962)
***
Tokoh yang kemudian dikenal Dato’ ri Bandang ini adalah salah seorang
tokoh Ulama asal Minangkabau bernama Abdul Ma’mur Chotib Tunggal (Abdurrazak
Daeng Patunru, Sedjarah Gowa, (Makassar, Jajasan Kebudajaan Sulawesi Selatan,1969).
Dua temannya Chotib
Sulaiman yang kemudian bergelar Dato’ri Pattimang,
mengislamkan daerah Luwu dans eorang temannya lagi, Chotib Bungsu mengajarkan
Tasawuf dan mengislamkan daerah Tiro, sehingga ia lebih dikenal dengan nama Dato’
ri Tiro (Ibid). Nama Dato’ri Bandang juga dikenal di Buton, Selayar, dan Lombok
sebagai penyebar Islam di daeah tersebut (Hasan M Ambary, Menemukan Peradaban
:Jejak Arkeologis dan Historis Islam Indonesia, (Jakarta ; Logos, 1998).
§§
17
ke Gowa Tallo, agama Islam masuk ke kerajaan ini. Sultan
Alauddin (1591-1636) adalah sultan Gowa Tallo yang pertama
menganut
Islam pada tahun 1605†††. Dua tahun berikutnya,
rakyat Gowa dan Tallo diislamkan seperti terbukti dengan
dilakukannya sembahyang Jum’at bersama
di Tallo pada 19
Rajab 1068 H/ November 1607 M‡‡‡.
Selain gerak estafet yang pernah dipentaskan oleh
sejumlah kesultanan tersebut menarik untuk kita lebih
mencermati keberadaan dan fungsi pelabuhan-pelabuhan yang
ditumbuh kembangkan oleh masyarakat Muslim, juga tahapan
pemberdayaan varian komoditas yang menjadi kehidupan
masyarakat. Dalam sejarah pelayaran Nusantara, Jauh sebelum
kedatangan orang-orang Eropa di perairan Nusantara pada
paruh pertama abad XVI, pelaut-pelaut negeri ini telah
menguasai laut dan tampil sebagai penjelajah samudra. Kronik
China
serta
risalah-risalah
musafir
Arab
dan
Persia
menorehkan catatan agung tentang tradisi besar kelautan
nenek moyang bangsa Indonesia. Sebutan kalimat “nenek
Mattulada,”Sulawesi di Sulawesi Selatan”, dalam Taufik Abdullah, (ed.),
Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta : Rajawali Press, 1985).
‡‡‡ Noorduyn, Islamisasi Makassar, (terj.), (Jakarta : Bhratara, 1972).
†††
18
moyang bangsa Indonesia”, siapa mereka sebenarnya ? Buktibukti yang tidak dapat dielakkan adalah pertumbuhan lokasilokasi
persinggahan
secara
geografis
tumbuh
menjadi
perkotaan lebih cepat dibandingkan dengan lokasi-lokasi yang
jarang disinggahi atau hanya sebagai lokasi lintasan pelayaran
saja. Inilah proses pertumbuhan baik kota-kota di pantai Selat
Malaka, pantai utara Jawa dan lainnya. Kehadiran dan
keberadaan kota-kota Muslim, sudah saatnya untuk dicermati,
utamanya di seputar Tataruang kota.
Tatakota, menurut Wertheim§§§, dibuat secara tradisional
dan
direncanakan oleh penguasa yang lebih tinggi atas perintah raja. Tata
kota yang masih asli itu mudah dikenal pada denah-denah kota-kota
keraton kuno di Jawa, yaitu adanya alun-alun yang terletak di tengahtengah kota, bagunan-bangunan terpenting didirikan secara tradisional
di jalan-jalan lurus berpotongan membentuk bujur sangkar. Demikian
halnya dengan arah hadap keraton - pada masa pertumbuhan dan
perkembangan Islam di Jawa umumnya mengarah ke utara, keraton
Banten, Surosowan, misalnya. Bangunan-bagunan lain yang didirikan di
sisi barat alun-alun adalah Masjid. Sesuai dengan fungsinya sebagai
masjid yang terletak di pusat kota dan dipergunakan untuk sholat
§§§
W.F.Wertheim, Indonesia Society in Transition, 1956, h.147.
19
Jum'at dan sholat hari-hari raya Islam, maka masjid semacam itu
dinamakan masjid Jami', masjid Agung, masjid Raya. Di Banten, kecuali
masjid Agung didapatkan juga masjid di dekat kampung Pacinan yang
kini tinggal reruntuhannya.
Kecuali tempat peribadatan yang biasanya juga menjadi ciri
penting bagi kota adalah adanya pasar, meskipun tidak hanya terdapat
di kota-kota. Jika kota merupakan tempat himpunan masyarakat dari
berbagai tempat yang kehidupannya lebih menitik beratkan pada
perdagangan , maka jelaslah fungsi pasar sebagai pusat perekonomian
kota, sangat penting. Di dalam kota, ada lebih dari satu pasar dan
letaknya tidak selalu dekat dengan alun-alun tetapi ada juga yang dibuat
dekat dengan perkampungan para pedagang. Di Banten, sekitar abad ke16 M terdapat beberapa pasar, di antaranya ada yang terletak di Pacinan
dan Karangantu.
Di dalam kota, selain terdapat tempat peribadatan, pasar,
bangunan
untuk
penguasa,
terdapat
juga
perkampungan-
perkampungan. Perkampungan itu ada yang didasarkan pada status
sosial-ekonomi, status keagamaan, status kekuasaan dalam pemerintah.
Biasanya tempat perkampungan untuk para pedagang Asing ditentukan
oleh masing-masing penguasa kota. Di Banten, terdapat perkampungan
pedagang dari Persia, Arab, Turki, kemudian untuk menyebut lokasi
20
pemukiman itu muncul istilah "Pakojan"****. Juga datang pedagang dari
Cina, kemudian muncul istilah "Pecinan" - di tempat ini ditemukan dan
masih dapat dikenali
sisa rumah kuno bercorak Cina dan sejumlah
orang-orang Cina. Di lokasi pemukiman ini juga ditemukan keramik
dari masa Sung (960-1280), Yuan (1280-1368), Ming (1368-1643), Ching
(1644-1912)††††. Selain orang Asing, masyarakat pribumi di Banten juga
membentuk semacam perkampungan pedagang yang berasal dari
berbagai daerah : Melayu, Ternate, Banda, Banjar, Bugis, Makassar.
Kenyataan
ini
membuktikan
bahwa
Banten
merupakan
pusat
perdagangan yang ramai dikunjungi para pedagang dari berbagai
wilayah Nusantara, dan dari negeri Asing.
Perkampungan-perkampungan tersebut ada yang ditempatkan di
dalam pagar tembok kota dan ada pula di luarnya. Di Banten, hingga
kini masih dapat disaksikan kampung Pakojan, meskipun tempat itu
sudah tidak dihuni, terletak di sebelah barat bekas pasar kuno
Karangantu, atau timur laut keraton Surosowan. Sampai akhir abad ke19 M, Serrurier yang datang ke Kota Banten Lama - walaupun telah
ditinggal penduduknya - masih dapat dicatat adanya 33 pemukiman
penduduk Islam, menurut hasil klasifikasi yang dibuatnya : (1)
Istilah "Pakojan" bahasa Persia untuk menyebutkan tempat-tempat
pedagang besar Muslim asal Cambay-Gujarat, Mesir,Turki,Goa.
†††† Mundardjito, Hasan Muarif Ambary, dan Hasan Djafar, "Laporan
Penelitian Arkeologi Banten", dalam Berita Penelitian Arkeologi No.18, Jakarta, 1978:44.
****
21
pengelompokan atas dasar ras dan suku, terdiri dari kebalen
(pemukiman orang Bali), karoya (pemukiman orang Koga, dari India),
dan karangantu (pemukiman orang Asing lainnya); (2) pengelompokkan
atas dasar keagamaan, terdiri dari kapakihan (pemukiman kaum
ulama), dan kasunyatan (pemukiman orang suci); (3) pengelompokan
atas dasar sosial-ekonomi, terdiri dari Pamarican (tempat menyimpan
lada), pabean (tempat menarik pajak); panjaringan (pemukiman
nelayan), pasulaman (tempat kerajinan sulam), kagongan (tempat
pembuatan gong), pamaranggen (tempat pembuatan keris), pawilahan
(tempat kerajinan bambu), pakawatan (tempat pembuatan jala), pratok
(tempat pembuatan obat), kepandean (tempat pembuatan alat-alat
senjata), dan pajaratan (tempat kerajinan tenun); (4) Pengelompokan
atas dasar status dalam pemerintahan dan masyarakat, terdiri dari
kawangsan (tempat pemukiman Pangeran Wangsa), kaloran (tempat
pemukiman Pangeran Lor), kawiragunan (tempat pemukiman Pangeran
Wiraguna), kapurban (pemukiman Pangeran Purba), kabantenan
(pemukiman pejabat pemerintah), kamandalikan (pemukiman Pangeran
Mandalika), keraton (pemukiman Sultan dan keluarganya), dan
kesatrian (pemukiman tentara)‡‡‡‡. Dengan mencontoh tataruang dan
klasifikasi hunian di kota Banten, adakah persamaan dan perbedaan
tataruang kota di pusat-pusat pemerintahan yang lain ?
‡‡‡‡
Ambary, Hasan Mu'arif, Op cit,h.119.
22
Menuruti sejumlah data di atas, kian meyakinkan bahwa
pada akhir abad ke-16 dapat dikatakan bahwa Islam telah
tersebar dan mulai meresapkan akar-akarnya di seluruh
Nusantara. Ungkapan kalimat “Islam telah tersebar dan mulai
meresapkan akar-akarnya di seluruh Nusantara” sudah saatnya
untuk digali wujud budaya material apa saja yang ada ? dan
dimana saja ? Dan secara kronologi apakah sudah pernah
dilakukan untuk dilihat persamaan dan perbedaannya ? Untuk
sampai ke arah tindakan kronologisasi memang perlu dibuatkan
sejak awal upaya klasifikasi data temuan, kualitas bahan, tempat
temuannya (di dalam tanah atau di permukaan). Di sini kiprah
arkeolog di bawah koordinasi Badan Litbang, Depag RI, sangat
diperlukan.
23
24
25
Download