1 MODEL PENGEMBANGAN KAWASAN AGRIBISNIS TEBU Bahan Kajian MK. Metode Perencanaan Pengembangan Wilayah Diabstraksikan oleh Prof Dr Ir Soemarno MS PMPSLP PPSUB September 2011 PENDAHULUAN Tebu adalah tanaman yang ditanam untuk bahan baku gula. Tanaman ini hanya dapat tumbuh di daerah beriklim tropis. Tanaman ini termasuk jenis rumputrumputan. Umur tanaman sejak ditanam sampai bisa dipanen mencapai kurang lebih 1 tahun. Di Indonesia tebu banyak dibudidayakan di pulau Jawa dan Sumatra. Untuk pembuatan gula, batang tebu yang sudah dipanen diperas dengan mesin pemeras (mesin press) di pabrik gula. Sesudah itu, nira atau air perasan tebu tersebut disaring, dimasak, dan diputihkan sehingga menjadi gula pasir yang kita kenal. Dari proses pembuatan tebu tersebut akan dihasilkan gula 5%, ampas tebu 90% dan sisanya berupa tetes (molasse) dan air. Daun tebu yang kering adalah biomassa yang mempunyai nilai kalori cukup tinggi. Ibu-ibu di pedesaan sering memakai dadhok itu sebagai bahan bakar untuk memasak; selain menghemat minyak tanah yang makin mahal, bahan bakar ini juga cepat panas. Dalam konversi energi pabrik gula, daun tebu dan juga ampas batang tebu digunakan untuk bahan bakar boiler, yang uapnya digunakan untuk proses produksi dan pembangkit listrik. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal sekitar 400 ribu ha pada periode 2007-2009, industri gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1.3 juta orang. Gula juga merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat, maka dinamika harga gula akan mempunyai pengaruh langsung terhadap laju inflasi. Seiring dengan pertambahan populasi penduduk, pada tahun-tahun mendatang kebutuhan gula dalam negeri diperkirakan akan terus meningkat. Pada tahun 2009 dengan populasi 225 juta jiwa dan rata-rata konsumsi gula 12 kg per kapita, kebutuhan gula untuk konsumsi langsung mencapai 2,7 juta ton dan konsumsi tidak langsung 1,1 juta ton. Tingkat konsumsi gula saat ini masih jauh di bawah saturation level yang umumnya dicapai negara-negara maju (30-55 kg/kapita/tahun). Pada tahun 2010 kebutuhan gula Indonesia diproyeksikan mencapai 4,15 juta ton atau naik rata-rata 3,87 % per tahun. Kesenjangan antara kebutuhan dan produksi gula domestic tampaknya masih akan terus berlangsung. Pada saat ini, kesenjangan itu sekitar 32% dari kebutuhan konsumsi dan diatasi dengan impor gula. Dalam kondisi keterbatasan devisa dan kecenderungan harga gula dunia yang meningkat, impor gula akan menimbulkan beban berat bagi perekonomian nasional di masa depan. Atas dasar itu, maka upaya peningkatan produksi dalam negeri merupakan pilihan kebijakan yang rasional sejauh upaya itu dapat dipertanggungjawabkan dari segi efisiensi penggunaan sumberdaya. 2 Terdapat dua pilihan yang dapat dipertimbangkan dalam upaya peningkatan produksi gula dalam negeri, yaitu meningkatkan serta mengoptimalkan kapasitas pabrik gula (PG) yang ada (existing industry) dan membangun PG baru di luar existing industry. Pabrik gula yang ada kebanyakan berlokasi di Jawa yang hinterland-nya sudah sangat terbatas, sehingga peningkatan dan optimalisasi kapasitasnya juga sangat terbatas. Karena itu pembangunan PG di luar existing industry merupakan satu-satunya solusi jangka panjang dalam peningkatan produksi gula guna mengimbangi kebutuhan gula nasional yang semakin meningkat. Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal sekitar 350 ribu ha, industri gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1,3 juta orang (Balitbangtan, 2007). Gula juga merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat dan sumber kalori yang relatif murah. Karena merupakan kebutuhan pokok, maka dinamika harga gula akan mempunyai pengaruh langsung terhadap laju inflasi. Walaupun pada dua tahun terakhir kinerja industri gula nasional menunjukkan peningkatan, pada dekade terakhir secara umum kinerjanya mengalami penurunan, baik dari sisi areal, produksi maupun tingkat efisiensi. Sejalan dengan revitalisasi sektor pertanian, industri gula nasional, atau industri gula berbasis tebu secara umum, harus melakukan revitalisasi. Untuk mewujudkan hal tersebut, peningkatan investasi merupakan suatu syarat keharusan. Investasi pada industri gula berbasis tebu cukup prospektif. Dari aspek pasar, permintaan gula dalam negeri masih terbuka sekitar 1,4 juta ton per tahun. Pemerintah dengan berbagai kebijakan promotif dan protektifnya telah menciptakan iklim investasi yang kondusif untuk pengembangan industri gula berbasis tebu. Pasar internasional yang dalam tiga tahun terakhir mengalami defisit sebagai akibat tekanan yang dihadapi oleh produsen utama gula dunia, juga mengindikasikan investasi pada bidang ini cukup prospektif. Beberapa produk derivat tebu (PDT) seperti ethanol, ragi roti, inactive yeast, wafer pucuk tebu, papan partikel, papan serat, pulp, kertas, Ca sitrat dan listrik mempunyai peluang pasar yang cukup terbuka, baik di pasar domestik maupun internasional. Guna mewujudkan sasaran pembangunan industri gula berbasis tebu, maka diperlukan investasi baik pada usahatani, pabrik gula dan produk derivatnya, serta investasi pemerintah. Secara keseluruhan, total investasi yang dibutuhkan mencapai Rp 8,25–14,8 triliun. Dengan menggunakan kebutuhan investasi minimum sebagai contoh, total investasi untuk usaha primer mencapai lebih dari Rp 1 triliun. Investasi yang sangat besar diperlukan di bidang usaha industri hilir yang mencapai sekitar Rp 6,817 triliun. Investasi untuk infrastruktur diperkirakan mencapai sekitar Rp 408 miliar. Investasi tertinggi berpeluang dilakukan di Merauke, Propinsi Papua, dengan nilai investasi sekitar Rp. 3,437 triliun. Di Jawa Timur, nilai investasi diperkirakan sekitar Rp 3 triliun. Di Lampung, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, investasi yang dibutuhkan sekitar Rp 0,4-0,7 triliun (Balitbangtan, 2007). Untuk mewujudkan hal tersebut, dukungan kebijakan pemerintah yang diperlukan mencakup (i) Konsistensi kebijakan pemerintah; (ii) Penciptaan medan persaingan yang adil (level playing 3 ground); (iii) Pemberian insentif untuk pengembangan industri di luar Jawa dan produk derivatif gula; (iv) Dukungan pendanaan untuk rehabilitasi atau konsolidasi PG; dan (iv) Dukungan untuk memudahkan privatisasi (spin off dan SBU). Gula merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Dengan luas areal sekitar 350 ribu ha pada periode 2000-2005, industri gula berbasis tebu merupakan salah satu sumber pendapatan bagi sekitar 900 ribu petani dengan jumlah tenaga kerja yang terlibat mencapai sekitar 1,3 juta orang. Gula juga merupakan salah satu kebutuhan pokok masyarakat dan sumber kalori yang relatif murah. Karena merupakan kebutuhan pokok, maka dinamika harga gula akan mempunyai pengaruh langsung terhadap laju inflasi. Dengan posisinya yang penting dan sejalan dengan revitalisasi sector pertanian, maka industri gula berbasis tebu juga perlu melakukan berbagai upaya sehingga sejalan dengan revitalisasi sektor pertanian. Hal ini menuntut industri gula berbasis tebu perlu melakukan berbagai perubahan dan penyesuaian guna meningkatkan produktivitas, dan efisiensi, sehingga menjadi industri yang kompetitif, mempunyai nilai tambah yang tinggi, dan memberi tingkat kesejahteraan yang memadai pada para pelakunya, khususnya petani. Dengan tingkat efisiensi yang masih belum memadai serta pasar yang terdistorsi, revitalisasi pada industri berbasis tebu merupakan keharusan. Dalam hal ini, peningkatan investasi merupakan salah satu syarat keharusan untuk dapat mewujudkan revitalisasi tersebut. Untuk itu, menggalang peningkatan investasi merupakan suatu upaya yang strategis. Sejalan dengan hal tersebut, tulisan ini dimaksudkan untuk memberi gambaran prospek/peluang investasi pada industri berbasis gula. Informasi ini dapat menjadi acuan pemerintah dan pelaku bisnis dalam merumuskan kebijakan dan program investasi pada industri gula berbasis tebu. Sebelum membahas prospek tersebut, terlebih dahulu akan diuraikan gambaran umum mengenai kondisi industri gula. Selanjutnya, bahasan difokuskan pada prospek investasi, kebijakan, dan program pemerintah. Kebutuhan investasi dibahas pada bagian selanjutnya. Tulisan diakhiri dengan bahasan mengenai dukungan kebijakan untuk mempercepat/meningkatkan investasi pada industri berbasis gula. II. KONDISI PERGULAAN SAAT INI Tebu sebagai Komoditas Agribisnis Tanaman tebu (Saccharum officinarum L) adalah satu anggota familia rumputrumputan (Graminae) yang merupakan tanaman asli tropika basah, namun masih dapat tumubh baik dan berkembang di daerah subtropika, pada berbagai jenis tanah dari daratan rendah hingga ketinggian 1.400 m diatas permukaan laut (dpl). Tanaman tebu telah dikenal sejak beberapa abad yang lalu oleh bangsa Persia, Cina, India dan kemudian menyusul bangsa Eropa yang memanfaatkan sebagai bahan pangan benilai tinggi yang dianggap sebagai emas putih, yang secara berangsur mulai bergeser kedudukan bahan pemanis alami seperti madu. 4 Usaha budidaya tebu dapat dilakukan pada lahan sawah irigasi dan tadah hujan, serta pada lahan kering/tegalan, dengan system TS (Tebu Sendiri) atau TR (Tebu Rakyat). Daerah/wilayah pengembangan tebu masih terfokus di Pulau Jawa yakni di Provinsi, Jawa Timur, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta dan Jawa Barat yang diusahakan di lahan sawah dan tegalan. Sedangkan usahatani tebu pada lahan tegalan pengembangannya diarahkan ke Luar Jawa seperti di Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Sulawesi Selatan dan Gorontalo. Pemerintah juga telah mecanangkan rencana pengembangan ke provinsi lain yang cocok dan sesuai berdasarkan agroklimat dengan membuka peluang investasi pembangunan industri gula berbasis tebu yang terintegarasi di beberapa provinsi seperti Provinsi Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat dan Nusa Tenggara Barat. Adapun berdasarkan kajian potensi untuk pengembangan industri gula masih terbuka seperti di Provinsi Papua, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur dan Sulawesi Tengah. Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan usaha industri gula berbasis tebu a.l. adalah: _ Pengelolaan pada aspek on-farm yakni penerapan kaidah teknologi pertanaman yang baik dan benar mulai dari persiapan lahan, pengolahan dan penanaman yang mengikuti kaidah masa tanam optimal, _ Pemilihan dan komposisi varietas bibit unggul bermutu, _ Penggunaan, pemeliharaan serta tebang angkut muat (panen). Dalam budidaya tanaman tebu bibit merupakan salah satu modal (investasi) yang menentukan jumlah batang dan pertumbuhan selanjutnya hingga menjadi tebu giling beserta potansi hasil gulanya. Oleh karena itu penggunaan bibit unggul bermutu merupakan faktor produksi yang mutlak harus dipenuhi. Sehingga Pemerintah merasa perlu mengatur pengawasan peredaran bibit melalui sertifikasi yang merupakan satu proses pemberian sertifikat bibit setelah melalui pemeriksaan, pengujian dan pengawasan untuk persyaratan dapat disalurkan dan diedarkan. Ada berbagai macam varietas unggul twbu yang dapat dibudidayakan petani, a.l. PS851, PS862, PS863, PS864, PSBM901, PS921, Bululawang, PSCO902, PSJT941, Kidang Kencana, PS865, PS881, PS882 dan varietas Kentung yang merupakan varietas-varietas unggulan dengan kategori pengelompokan masak awal, masak tengah dan masak akhir sebagai salah satu penerapan manajemen pembibitan untuk menyelaraskan pelaksanaan tertib tanam dan panen. Mekanisme pengadaan bibit tebu dapat dilakukan melalui tahapan penjenjangan kebun pembibitan, mulai dari Kebun Bibit Pokok (KBP), Kebun Bibit Nenek (KBN), Kebun Bibit Induk (KBI) hingga Kebun Bibit Datar (KBD) sebagai sumber bibit bagi pertanaman atau Kebun Tebu Giling (KTG). Kedepan dalam mengantisipasi ketersediaan bibit telah dicanangkan pengadaan bibit melalui tahapan kultur jaringan yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan dalam jumlah maupun waktu. Pada aspek off-farm peranan Pabrik Gula selaku unit pengolah tebu menjadi gula Kristal putih sangat menentukan. Dari proses tersebut akan dihasilkan produk berupa gula kristal putih yang dikenal dipasar dengan plantation white sugar atau gula pasir. Disamping hasil ikutan lainnya berupa tetes (molases) yang saat ini masih dimanfaatkan untuk bahan baku pabrik alkohol/spritus dan bumbu masak/MSG disamping hasil ikutan lainnya berupa Particle Board, pakan ternak, kertas dan bahan baku industri lainnya. Kegiatan pengolahan tebu menjadi gula ditempuh melalui berapa tahapan yaitu pasokan tebu ke pabrik gula, penilaian tebu, penggilingan, pemurnian nira, penguapan, pengkristalan, pengeringan dan pengemasan serta penyimpanan. 5 A. Usaha Pertanian Primer Keuntungan finansial (privat) dari usahatani tebu merupakan indikator daya saing (competitiveness) dari sistem komoditas tebu berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input dan transfer kebijakan yang ada. Sedangkan keuntungan ekonomi (sosial) merupakan indicator keunggulan komparatif (comparative advantage) atau efisiensi dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada distorsi pasar dan kebijakan pemerintah. Pertanaman tebu di Indonesia masih diusahakan di lahan sawah irigasi teknis, sawah tadah hujan dan lahan kering (tegalan), secara finansial sangat menguntungkan. Namun demikian tingkat keuntungan usahatani tebu bervariasi antar wilayah, tipe lahan dan tipe bibit. Rata-rata keuntungan usahatani tebu bekisar antara Rp. 2,5 juta sampai Rp. 8 juta per hektar. Keuntungan ini akan lebih besar apabila dihitung dengan sewa lahan yang mencapai sekitar Rp.2,5 jutaRp. 5 juta per hektar. Menurut hasil penelitian Mewa Ariani, Andi Askin dan Juni Hestina ( PSE BALITBANGTAN), rata-rata produktivitas tebu di lahan sawah mencapai lebih dari 100 ton per hektar, lebih tinggi daripada di lahan tegalan. Produktivitas tebu di lahan kering di Kabupatan Malang dan Jember lebih kecil dibandingkan dengan di Kabupaten Madiun dan Kediri. Namun, rendemen di empat lokasi relatif sama yaitu antara 6-7 persen. Proporsi biaya tenaga kerja dan sewa lahan usahatani tebu di lahan sawah dan tegalan di Jawa Timur mencapai sekitar 70 persen terhadap total biaya usahatani tebu, Sewa lahan di Kabupatan Madiun dan Kediri lebih mahal dibandingkan dengan di Kabupaten Malang dan Jember, yaitu berkisar Rp 4 juta – Rp 5 juta/ha. Usahatani tebu di Propinsi Jawa Timur secara finansial menguntungkan. Rata-rata keuntungan sebesar Rp 2,5 juta – 8 juta per hektar. Keuntungan petani di Kabupaten Madiun dan Kabupaten Kediri lebih kecil (Rp 2,5 juta – Rp 5,5 juta/ha) dibandingkan dengan Kabupaten Malang dan Kabupaten Jember (Rp 5,0 juta – Rp 8,5 juta/ha). Terdapat kecenderungan, keuntungan usahatani tebu yang ditanam pada lahan tegalan lebih tinggi daripada di lahan sawah dan pada tanam awal lebih tinggi daripada kepras. Setelah mengalami masa kejayaan pada tahun 1930-an dengan produksi mencapai 3,1 juta ton dan ekspor 2,4 juta ton, industri gula mengalami pasang surut. Pada saat ini, luas areal tanaman tebu di Indonesia mencapai 344 ribu hektar dengan kontribusi utama adalah di Jawa Timur (43,29%), Jawa Tengah (10,07%), Jawa Barat (5,87%), dan Lampung (25,71%). Pada lima tahun terakhir, areal tebu Indonesia secara keseluruhan mengalami stagnasi pada kisaran sekitar 340 ribu hektar (Tabel 1). Jika dilihat pada sepuluh tahun terakhir, luas areal tebu Indonesia secara umum mengalami penurunan sekitar 2% per tahun dengan luas areal tertinggi dicapai tahun 1996, yakni seluas 446 ribu ha, walaupun pada tahun 2004 mulai menunjukkan peningkatan. 6 Tabel 1. Beberapa indikator kinerja industri gula nasional (Balitbangtan, 2007) Tahun Luas Areal Produksi (ha) (ton hablur) Rendemen (%) Konsumsi (ton hablur) Impor (ton hablur) 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 428.736 436.037 446.533 386.878 377.089 342.211 340.660 344.441 350.722 336.257 344.000 8,02 6,97 7,32 7,83 5,49 6,96 7,04 6,85 6,88 7,21 7,67 3.343.058 3.073.765 3.333.522 2.736.002 2.778.943 3.200.000 3.250.000 3.300.000 3.350.000 3.400.000 15.207 687.963 975.830 1.364.563 1.730.473 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.500.000 1.348.349 2.453.881 2.059.576 2.094.195 2.191.986 1.488.269 1.493.933 1.690.004 1.725.467 1.755.354 1.634.560 2.051.000 Perkembangan produksi pada sepuluh tahun terakhir juga mengalami penurunan dengan laju penurunan sekitar 1,8% per tahun. Namun demikian, semenjak tahun 2004, produksi gula mulai menunjukan peningkatan. Pada tahun 1994, produksi gula nasional mencapai 2,453 juta ton, sedangkan pada tahun 2004 hanya 2.051 juta ton. Pada dekade terakhir, produksi terendah terjadi pada tahun 1998 dengan volume produksi 1.494 juta ton. Berbagai kebijakan pemerintah seperti kebijakan tataniaga impor dan program akselerasi peningkatan produktivitas berdampak positif guna meningkatkan kembali produksi gula nasional, khususnya tahun 2004. Di samping penurunan areal, penurunan produktivitas merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya penurunan produksi. Jika pada tahun 1990-an produktivitas tebu/ha rata-rata mencapai 76,9/ha, maka pada tahun 2000-an hanya mencapai sekitar 62,7 ton/ha. Rendemen sebagai salah indikator produktivitas juga mengalami penurunan dengan laju sekitar –1,3% per tahun pada dekade terakhir. Pada tahun 1998, rendemen mencapai titik terendah (5,49%). Selanjutnya, rendemen mulai meningkat dan pada tahun 2004 rendemen mencapai 7,67% . Secara umum, ada dua tipe pengusahaan tanaman tebu. Untuk pabrik gula (PG) swasta, kebun tebu dikelola dengan menggunakan manajemen perusahaan perkebunan (estate) dimana PG sekaligus memiliki lahan HGU (Hak Guna Usaha) untuk pertanaman tebunya, seperti Indo Lampung dan Gula Putih Mataram. Untuk PG milik BUMN, terutama yang berlokasi di Jawa, sebagian besar tanaman tebu dikelola oleh rakyat. Dengan demikian, PG di Jawa umumnya melakukan hubungan kemitraan dengan petani tebu. Secara umum, PG lebih berkonsentrasi pada pengolahan, sedangkan petani sebagai pemasok bahan baku tebu. Dengan sistem bagi hasil, petani memperoleh sekitar 66% dari produksi gula petani, sedangkan PG sekitar 34%. Petani tebu di Jawa secara umum didominasi (70%) oleh petani kecil 7 dengan luas areal kurang dari 1 ha. Proporsi petani dengan areal antara 1-5 ha diestimasi sekitar 20%, sedangkan yang memiliki areal diatas 5 ha, bahkan sampai puluhan ha diperkirakan sekitar 10%. Bagi petani yang arealnya luas, sebagian lahan mereka pada umumnya merupakan lahan sewa. Berdasarkan faktor agroklimat, khususnya curah hujan, ada dua kalender pertanaman. Pola I adalah pengolahan tanah dilakukan mulai bulan April dan penanaman dilakukan pada bulan Mei-Juni. Masa panen berlangsung pada bulan Mei hingga November. Pola II adalah pengolahan tanah dilakukan pada September dan penanaman dilakukan pada bulan Oktober dan November. Untuk pola ini, panen dilakukan pada bulan Oktober dan November tahun berikutnya. Untuk dapat melakukan jadwal tanam dan tebang/giling secara baik dengan harapan diperoleh produktivitas tebu dan rendemen yang tinggi, maka pihak PG berusaha melakukan kerjasama dengan kelompok tani dalam menyusun jadwal tanam dan tebang. Namun demikian, perebutan waktu, khususnya waktu tebang, masih sering menjadi masalah. Para petani mengeluh bahwa mereka sering tidak mendapat jatah tebang yang sesuai dengan harapan mereka. Di sisi lain pihak manajemen PG menyebutkan bahwa PG sudah secara maksimal mengatur jadwal tebang giling guna memaksimalkan potensi secara keseluruhan. Namun demikian, PG tidak bisa memenuhi harapan seluruh petani, karena keterbatasan PG pada puncak bulan giling, serta PG juga harus memenuhi jumlah hari giling minimal. Usahatani tebu termasuk usahatani yang memerlukan biaya yang relatif bervariasi, bergantung lokasi dan tingkat penerapan teknik budidaya. Untuk tanaman baru (PC), biaya usahatani adalah sekitar Rp. 12,2 - Rp. 16,3 juta per ha. Dalam hal ini, biaya usahatani sudah mencakup sewa lahan yang bervariasi antara Rp. 2 juta—Rp. 5 juta per ha. Tingkat keuntungan (gross margin) berkisar antara Rp. 2,95—Rp. 5,70 juta per ha. Untuk tanaman keprasan 1 dan 2, jumlah biaya diperkirakan sekitar Rp. 5,52 juta—Rp. 12,9 juta/ha dengan tingkat keuntungan Rp. 2,31 juta — Rp. 11,1 juta per ha. Secara lebih spesifik, analisis usahatani tanaman PC dengan menggunakan teknologi yang standar diterapkan di PTPN disajikan pada Tabel 2. Sumber biaya terbesar ada pada komponen pengolahan tanah dan pemeliharaan (28,5%), sewa lahan (28,5%), dan tebang angkut (20%). Total biaya untuk tanaman PC mencapai sekitar Rp. 15,775 juta/ha. Dengan asumsi tingkat produksi 1.000 kw tebu dan rendemen 7,5%, serta harga minimum di tingkat petani yang diterapkan pemerintah (Rp 3.800/kg), maka penerimaan petani mencapai Rp 18,810 juta/ha. Dengan penerimaan tersebut, nilai B/C untuk usahatani tebu adalah 1,19. Dengan demikian, usahatani tebu masih cukup layak untuk diusahakan. 8 Tabel 2. Analisis usahatani tanaman PC, teknologi standar PTPN (Balitbangtan, 2007) Uraian Nilai (rp) Biaya Pengolahan tanah dan 4.500.000 Pemeliharaan Bibit 1.700.000 Pupuk 810.000 Herbisida 245.000 Tebang Angkut 3.150.000 Bunga Kredit 870.600 Sewa Lahan 4.500.000 Total Biaya 15.775.600 Nilai Produksi Gula 28.500.000 Penerimaan Petani (66%) 18.810.000 B/C Ratio 1,19 Asumsi :1.000 kw tebu, rendemen 7,5%, harga Rp 3.800/kg Proporsi (%) 28.5 10.8 5.1 1.6 20.0 5.5 28.5 100.0 B. Usaha Agribisnis Hulu Ada beberapa usaha agribisnis hulu yang mempunyai keterkaitan dengan agribisnis berbasis tebu, seperti usaha sarana produksi (pembibitan, pupuk), dan alat serta mesin pertanian. Dari semua usaha agribisnis hulu, salah satu usaha yang paling strategis adalah usaha pembibitan. Usaha pembibitan (kebun bibit datar, KBD) antara lain dilakukan oleh perusahaan besar, baik PTPN maupun perusahaan swasta serta Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Untuk PTPN, usaha pembibitan yang dilakukan dimaksudkan untuk memenuhi PTPN sendiri serta untuk pekebun tebu rakyat. Untuk di Jawa di mana PTPN lebih banyak mengandalkan tebu rakyat, usaha pembibi tan lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan tebu rakyat. Berbeda dengan usaha pembibitan pada umumnya, pembibitan tebu memerlukan areal yang relatif luas. Hal ini dikarenakan satu ha KBD akan menghasilkan bibit hanya untuk sekitar 7-8 ha tanaman. Hal ini juga menjadi salah satu penyebab harga bibit tebu relatif mahal, yaitu Rp 1,5–1,7 juta per ha tanaman. Usaha pembibitan tebu termasuk usaha yang menguntungkan. Pada Tabel 3 secara garis besar dideskripsikan analisis usahatani untuk usaha pembibitan dengan skala 1 ha. Komponen biaya terbesar adalah pengolahan tanah dan pemeliharaan yang mencapai Rp. 5,6 juta atau sekitar 42,6% dari total biaya. Komponen sewa lahan juga cukup besar yaitu Rp 4,5 juta atau sekitar 34,2%. Total biaya usahatani secara keseluruhan adalah sekitar Rp 13,155 juta (Tabel 3). 9 Dengan rata-rata produksi sekitar 650 kw bibit tebu dengan harga Rp 27.500 per kw, maka total penerimaan mencapai Rp 17,875 juta. Dengan penerimaan tersebut, nilai B/C ratio adalah 1,35. Hal ini berarti bahwa usaha pembibitan tebu secara finansial cukup layak untuk dikembangkan. C. Usaha Agribisnis Hilir Perkembangan produksi yang cenderung menurun tidak bisa juga terlepas dari kinerja Pabrik Gula (PG) dan berdampak pula pada keberadaan PG. Berdasarkan data sampai dengan tahun 2004, jumlah PG yang beroperasi cenderung menurun, baik dari segi jumlah PG maupun hari giling. Sampai dengan tahun 2004, PG yang beroperasi adalah 58 PG yang terdiri dari 51 PG BUMN dan 7 PG swasta. Lokasi PG menyebar di delapan propinsi dengan Jawa Timur sebagai sentra utama yaitu 32 PG yang masih aktif. Jawa Tengah dan Jawa Barat masing-masing memiliki 8 dan 5 PG. Untuk luar Jawa, Lampung menempati peringkat pertama dengan 5 PG diikuti oleh Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Gorontalo masing-masing 3 PG, 2 PG, 1 PG, dan 1 PG. Tabel 3. Analisis usahatani pembibitan tebu (Balitbangtan, 2007) Uraian Biaya Pengolahan tanah dan Pemeliharaan dan seleksi Bibit untuk KBD Pupuk Herbisida Sewa Lahan Total Biaya Penerimaam Petani (Produksi = 650 kw 27.500) B/C Ratio Nilai (Rp) Proporsi (%) 5.600.000 42.6 2.000.000 810.000 245.000 4.500.000 13.155.000 17.875.000 15.2 6.2 1.9 34.2 100.0 1.36 Pada dekade terakhir, kinerja PG cenderung menurun. Di samping disebabkan oleh umur pabrik yang sudah tua, kapasitas dan hari giling PG cenderung tidak mencapai standar. Sebagai contoh, PG-PG yang ada di Jawa mempunyai kapasitas giling 23,8 juta ton tebu per tahun (180 hari giling). Bahan baku yang tersedia hanya sekitar 12,8 juta ton sehingga PGPG di Jawa mempunyai idle capacity sekitar 46,2%. Selanjutnya, PG diluar Jawa yang mempunyai kapasitas 14,2 juta ton, hanya memperoleh bahan baku sebanyak 8,6 juta ton, sehingga idle capacity mencapai 10 39,4%. Hal ini memberikan indikasi bahwa PG-PG di Jawa perlu melakukan konsolidasi dan rehabilitasi. Berkaitan dengan produk derivat tebu (PDT), pabrik gula di Indonesia sebenarnya sudah sejak awal merintis produksi produk derivat tebu (PPDT), namun pengembangannya kalah cepat dengan investor swasta. Sebelum berbagai jenis PPDT berkembang seperti saat ini, pada tahun 1960 telah ada 4 pabrik alkohol/spiritus yang dimiliki industri gula. Pada saat ini sudah ada sekitar 45 buah pabrik PDT dengan 14 jenis produk derivat tebu. Diantara jumlah tersebut sekitar 9 buah pabrik yang dimiliki industri gula. Adapun jenis produk PDT yang diproduksi secara komersial saat ini meliputi satu jenis produk dari kelompok produk pucuk tebu, lima jenis produk dari kelompok produk ampas tebu dan delapan jenis produk dari kelompok produk tetes (Tabel 4). Tabel 4. Jenis produk PDT di Indonesia (Balitbangtan, 2007) No. Kelompok 1. 2. Pucuk tebu Produk ampas 3. Produk tetes Jenis produk - Wafer pucuk tebu - Jamur - Kertas - Papan partikel - Papan serat - Kampas rem - Alkohol - Asam asetat - Ethyl asetat - Asam glutamat - MSG - L-Lysine - Ragi roti - C02 padat/cair Profil kelayakan finansial untuk produk hilir relatif sulit untuk diperoleh karena usaha tersebut umumnya ditangani oleh pihak swasta. Dengan keterbatasan tersebut, profil/analisis usaha tidak dapat ditampilkan secara untuh; hanya beberapa indikator yang berkaitan dengan analisis financial disajikan seperti terlihat pada Tabel 5. Untuk pabrik gula diambil kasus pabrik dengan kapasitas yang relatif kecil (dibawah 10 ton cane sugar per day/TCD), seperti di PG Kebun Agung dengan kapasitas 4.710 TCD. Biaya investasi yang dibutuhkan membangun pabrik tersebut berkisar antara Rp. 800-900 M. Biaya operasional yang dibutuhkan mencapai sekitar Rp. 45- 50 M. Dengan penerimaan sekitar Rp. 60–70 M per tahun, pengembangan PG tersebut layak secara finansial dengan nilai B/C antara 1,1–1,3. Pengembangan industri ethanol dari tebu yang sudah banyak diterapkan di Brazilia cukup menguntungkan. Dengan kapasitas pabrik 60 kl/hari, biaya investasi yang 11 diperlukan adalah Rp. 133-200 M dan biaya operasional sekitar Rp 39 M per tahun. Dengan struktur biaya tersebut dan harga ethanol Rp 5,5 juta/kl, maka usaha tersebut secara financial menguntungkan dengan B/C ratio diestimasi sekitar 1,37. Tabel 5. Analisis usaha beberapa industri berbasis tebu (Balitbangtan, 2007) Jenis Usaha Pabrik Gula Ethanol Particle Board (Ex Eropa atau China) Cogeneration listrik Kapasitas 4-10 ribu TCD 60 kl/hari 72 m3 per jam 6000 kWh Biaya (Rp Miliar) Investasi 900 -1000 133 – 200 95 – 157 45 1,1 – 1,3 1,37 1,83 1,84 Perkiraan B/C Operasional 45 - 50 39 25 - 34 9 Untuk pabrik particle board, ada dua tipe pabrik yang dapat dikembangkan yaitu tipe yang berkembang di Eropa yang relatif lebih mahal dan tipe yang dikembangkan di China. Untuk tipe China, biaya investasi diperkirakan sekitar Rp. 95 M sedangkan tipe Eropa membutuhkan investasi sekitar Rp. 157 M. Biaya operasional bervariasi antara Rp. 25–34 M per tahun. Pengusahaan industri ini cukup menguntungkan dengan nilai B/C antara 1,37 – 1,83. Pengusahaan pembangkit tanaga listrik dengan memanfaatkan bagas tebu juga cukup prospektif. Dengan kapasitas sekitar 6.000 kWh, usaha ini memerlukan dana investasi sekitar Rp 45 M dan biaya operasional sekitar Rp 9 M. Usaha secara finansial cukup menguntungkan dengan nilai B/C adalah sekitar 1,84. D. Pasar dan Harga Gula merupakan salah satu komoditi penting di pasar internasional. Beberapa produsen terbesar di dunia adalah Brazil, India, Amerika Serikat, Eropa Barat, Australia, dan Thailand. Di sisi lain, negara importir utama antara lain adalah China, Indonesia, dan beberapa negara pecahan Uni Soviet. Produksi gula dunia pada tahun 2004 adalah sekitar 141,1 juta ton, sedangkan konsumsi mencapai 143,3 juta ton. Volume perdagangan gula pada tahun tersebut mengalami sedikit penurunan menjadi sekitar 45,3 juta ton, dari sekitar 46,1 juta ton pada tahun 2004. Harga gula dunia secara umum mengalami fluktuasi dengan harga terendah terjadi pada periode 1998-2004 yaitu dibawah US$c 10/kg (Gambar 1.). Kemudian, karena pasar dunia terus mengalami defisit, harga gula perlahan meningkat dan mencapai puncaknya pada awal tahun 2005. Defisit produksi selama tiga tahun berturut-turut serta peningkatan produksi ethanol di Brazil adalah argumen kenaikan harga tersebut. Bahkan FAO (2004) 12 memperkirakan untuk angka menengah sampai dengan tahun 2010, harga gula di pasar internasional relatif tinggi yaitu pada kisaran US$c 17-21 per kg. Walaupun pemerintah menerapkan berbagai kebijakan impor gula, harga gula di pasar internasional berpengaruh cukup signifikan terhadap harga gula di Indonesia, baik pada tingkat petani maupun konsumen. Hal ini terutama terjadi semenjak tahun 1998, ketika Bulog tidak lagi melakukan monopoli impor. Perkembangan harga gula di pasar domestik secara umum dapat dilihat pada Gambar 1. Harga gula di tingkat petani sering diatur oleh pemerintah dengan menetapkan sejenis harga dasar (harga provenue). Pada saat ini, harga provenue tersebut dimodifikasi menjadi harga talangan, sejenis harga minimum yang dijamin oleh investor (pihak swasta). Jika harga gula petani melalui lelang lebih tinggi dari harga talangan, maka kelebihan tersebut dibagi antara petani dengan investor dengan pembagian 50% untuk petani dan 50% untuk investor. Pada musim giling 2005, harga talangan ditetapkan pemerintah sebesar Rp 3.800/kg. Gambar 1. Perkembangan harga gula di pasar internasional Gambar 2. Perkembangan harga eceran gula di pasar domestic. 13 E. Peluang Investasi Agribisnis Tebu Investasi pembangunan industri gula berbasis tebu memerlukan areal penanaman tebu yang cukup luas. Di Indonesia, sesuai dengan karakteristik sumber daya lahan dan persyaratan tumbuh tebu yang spesifik, areal pertanian yang dapat dikelola untuk perkebunan tebu pada skala cukup luas dengan aksesibilitas yang memadai menjadi sangat terbatas. Pulau Jawa yang selama ini dianggap sebagai habitous utama tebu, sudah sulit lagi melakukan pengembangan areal bagi keperluan 46 pabrik gula (PG) yang ada. Meskipun demikian, selaras dengan upaya pemerataan pembangunan daeerah, pengembangan industri gula baru lebih disarankan untuk industri gula sekala kecil. Peluang dalam industry gula (+1,6 juta ton) sangat prospektif mengingat kebutuhan konsumsi gula masih belum terpenuhi. Kekurangannya sementara untuk memenuhi kebutuhan tersebut adalah dengan impor. Dalam mendukung akselerasi gula nasional melalui kegiatan perluasan tanaman tebu dan pengembangan pabrik gula di daerah akan membantu pemenuhan kebutuhan gula nasional sekaligus menghemat devisa negara. Pengembangan tebu di berbagai daerah di Indonesia sangat dimungkinkan mengingat: • Secara teknis cocok dan diminati petani • Secara ekonomis cukup menguntungkan • Secara social dapat membuka lapangan pekerjaan 1 (satu) pabrik gula dapat menyerap sekitar 25.500 orang tenaga kerja. • Adanya potensi lahan pertanian, yang terdiri dari HGU, tanah Negara, dan tanah milik. • Terciptanya Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan (KIMBUN) tebu di daerah-daerah. Rencana pengembangan tebu di daeerah-daerah dapat dirancang sbb: • Jangka pendek: Pengembangan kebun tebu 150 ha Unit pengelolaan tebu merah • Jangka menengah: Pengembangan kebun tebu 1.000 ha Pembangunan pabrik gula mini • Jangka Panjang: Pengembanangan kebun tebu 4.000 – 5.000 ha atau dengan 15.000 ha melalui inti plasma Pembangunan 2-3 unit pabrik gula mini. Kebijakan pengembangan sector pertanian ini diambil mengingat besarnya potensi sumberdaya yang dimiliki oleh daerah-daerah di Indonesia. Selain itu, sektor ini juga merupakan sector yang mampu menyerap tanaga kerja masyarakat yang cukup besar sebagai penggerak perekonomian daerah yang berbasis sumberdaya local. Dalam program pengembangan agribisnis ini, maka program investasi senantiasa diarahkan pada komoditas‐komoditas unggulan sebagai leading sectornya yang kemudian diharapkan dapat memberikan multifier effect pada seKtor ikutannya. Komoditas unggulan yang dimaksud adalah komoditas yang diusahakan berdasarkan keunggulan kompetitif dan komparatif ditopang oleh pemanfaatan teknologi yang 14 sesuai denga agroekosistem untuk meningkatkan nilai tambah dan mempunyai multiflier effect terhadap berkembangnya sector lain. Pengembangan dan pemilihan komoditas unggulan yang didasarkan pada pendekatan wilayah (kawasan) dan pendekatan pasar sehingga diharapkan dapat menjamin kesinambungan produksi melalui pemanfaatan keunggulan komperatif daerah sebagai basis pengembangan (spesifik atau keunggulan local), dan dapat menumbuhkan pusat‐pusat (sentra) komoditas spesifik wilayah yang mendorong keterkaitan antara wilayah secara dinamis dan membangkitkan interaksi sector produksi dan pasar yang dinamis. Analisis Ekonomi Agrobisnis Tebu NAMA PROYEK KAPASITAS LOKASI LUAS LAHAN Status Lahan : Usaha Tani Tebu : 120 HOK : Daerah sentra tebu : 1 Ha (sample penelitian) : Milik Pemda, dan/atau milik masyarakat PERKIRAAN INVESTASI Modal Tetap Modal Kerja Jumlah : 4.435.000 : 15.695.000 :20.130.000 KEBUN TENAGA KERJA Tenaga tetap : 3 Orang Tenaga kerja tidak tetap : 20 Orang Jumlah : 23 Orang DUKUNGAN STUDI Studi/identifikasi Peluang Investasi : √ (Ada) (Opportunity Study) Prastudi Kelayakan Proyek : √ (Ada) (pre FeasibilityStudy) Studi Kelayakan Proyek (FS) : √ (Ada) PROFITABILITAS FINANSIAL : 1. BEP = Rp 17.678.166 2. Payback Period = 1,3 tahun 3. NPV = Rp 17.698.350 (PV 12% = 37.828.350, outlays = 20.130.000 dan estimasi rr = 12% dalam waktu 3 tahun) 4. IRR = 47,67% 5. ROI = 56,48% (dibulatkan). F. Klaster Agribisnis Tebu Pendekatan klaster yang mempunyai ciri pusat pertumbuhan industri sejenis yang mempunyai kaitan ke depan dan ke belakang dengan baik merupakan modal untuk membangun pelaku bisnis kecil di kawasan atau sentra produksi. Dalam kerangka itu penguatan sumberdaya UKK pada dasarnya dapat dilakukan melalui 15 sentra-sentra. Prinsip yang akan dikembangkan adalah menciptakan dinamika klaster dengan memainkan instrumen dukungan finansial dan non-finansial. Dukungan finansial penting tetapi bukan segalanya, oleh karena sentra-sentra tersebut menjadi sangat penting, sentra-sentra tebu rakyat ini dapat memanfaatkan kawasan atau sentra yang telah dikembangkan selama ini. Secara garis besar pada sentra-sentra tebu rakyat yang arealnya relatif stabil dari waktu ke waktu dan di luar jangkauan kapasitas pabrik gula yang ada atau mengalami kelebihan pasokan bahan baku dapat dikembangkan pengolahan tebu skala kecil yang menjadi pengolahan antara bagi pabrik gula atau industri pengguna langsung lainnya. Dalam hal ini juga perlu dijajaki kemungkinan pengembangan industri pemurnian gula cair sebagai produk potensial bagi pasar gula di sektor industri makanan dan minuman serta hotel dan restoran. Pendekatan pengembangan klaster yang dinamis pada dasarnya adalah menjaga dinamika klaster agar tumbuh menjadi pusat pertumbuhan yang melahirkan industri terkait baik hulu maupun di hilir atau pendukung maupun outlet. Untuk menjamin dinamika tersebut, diperlukan dua macam dukungan yaitu yang bersifat non-finansial maupun yang bersifat finansial. Dukungan non-finansial menjadi sangat penting untuk menjamin dinamika klaster, oleh karena itu setiap sentra seharusnya tersedia layanan pengembangan bisnis bagi pekebun, pengolah dan pelaku usaha kegiatan terkait. Layanan pengembangan bisnis tersebut meliputi konsultasi manajemen, pengembangan teknologi dan jaringan pasar, serta pelatihan. LPB juga berperan untuk mendorong kelancaran penyediaan input dan pemasaran dengan memfasilitasi hubungan dengan para pemasok dan pelaku pemasaran. Fungsi penyedia jasa pengembangan agrobisnis ini juga dapat dilakukan oleh instansi pemerintah seperti balai pelatihan dan lain-lain, tetapi yang terpenting harus ada kontak di kawasan dimaksud. Kegiatan ini juga dapat dilakukan oleh koperasi para petani tebu di kawasan tersebut atau kantor pelayanan koperasi. Untuk menjamin kelancaran kegiatan usaha di kawasan sentra-sentra memang ideal apabila tersedia lembaga keuangan untuk mendukung pembiayaan usaha yang sifatnya khusus dan fleksibel sesuai kebutuhan pengusaha setempat. Pada daerah semacam ini pengalaman keberhasilan lembaga keuangan harus sesuai dengan kondisi pasar setempat dan tingkat persaingannya. Secara garis besar sebenarnya ada mekanisme fungsional dalam pembagian pasar yang dapat dilihat dari segi penyedia kredit dan pengguna dana . Dalam Perkreditan mikro di kawasan sentra-sentra dapat dikerjakan oleh koperasi simpan pinjam, BPR maupun kantor cabang pembantu/unit desa dari bank-bank komersial. Dengan demikian pembiayaan akan terjamin tersedia langsung di pusat sentra. Peranan pembiayaan dari pasar modal dapat menjadi penyedia likuiditas bagi KSP/BPR yang berada di sentra-sentra, dengan demikian gagasan untuk menjadikan “agribisnis tebu rakyat” masuk ke dalam pasar modal juga akan mendukung pembiayaan usaha tani melalui koperasi simpan pinjam. Jika sinergi ini terjadi maka dinamika dari klaster agribisnis tebu rakyat akan dapat bergerak cepat. Dalam hal ini berbagai industri yang memanfaatkan produk dari tebu dapat ikut dikembangkan. Pembiayaan dari pasar modal juga memungkinkan tersedianya investasi baru 16 disektor pengolahan untuk mengembangkan produk-produk baru dari tebu selain gula pasir. Dengan cara demikian agribisnis tebu dapat menjadi prioritas bagi tumbuhnya industri makanan dan minuman di pedesaan. Pengembangan agribisnis tebu rakyat di Jawa harus menekankan pada orientasi misi untuk memanfaatkan peluang lebar dari pengembangan produk dari tebu. Pendekatan klaster agrobisnis tebu rakyat dapat diperkenalkan dan gagasan untuk mengkaitkan dengan sumber dana dari pasar modal adalah strategi tepat untuk membuat agrobisnis tebu rakyat secara komersial yang layak. G. KOPERASI vs KORPORASI AGRIBISNIS TEBU Institutional building sebagai prasyarat keharusan dalam pengembangan agribisnis yang bagian terbesar pelakunya petani “kecil dan gurem” adalah bangun koperasi dan korporasi agribisnis. Secara substansial, upaya kelembagaan tersebut pada dasarnya dapat dipandang sebagai langkah menuju rekonstruksi ulang dalam penguasaan dan akses sumberdaya produktif di bidang pertanian, terutama berkaitan dengan pengembangan agribisnis. Koperasi lebih merupakan soft-step reconstruction, sementara korporasi lebih merupakan rekonstruksi yang lebih “radikal”, atau hard-step reconstruction. Bangun kelembagaan koperasi dipandang salah satu sosok yang tepat, mengingat entitas tersebut berciri sebagai asosiasi (perkumpulan orang/petani), badan usaha dan juga sebagai suatu gerakan (untuk melawan penindasan ekonomi dan ketidakadilan sistem pasar). Sejarah koperasi di Indonesia memang penuh dengan romantika sebagai akibat “terlampau kuatnya” dukungan pemerintah dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga dalam banyak hal menjadikan sosok koperasi di Indonesia sempat “kehilangan” jati dirinya. Di kalangan masyarakat sendiri, masih beragam pendapat tentang eksistensi koperasi dalam sistem ekonomi Indonesia saat ini. Sebagian apatis, sehingga memerlukan pengkajian ulang mengenai eksistensi koperasi dalam sistem ekonomi Indonesia. Sebagian lain memandang koperasi sebagai entitas yang perlu dikembangkan, walaupun seadanya saja. Sementara itu, berbagai pendapat lain merasa penting untuk mengembangkan koperasi sebagai sosok kelembagaan ekonomi yang kokoh bagi pemberdayaan masyarakat. Pendapat terakhir ini meyakini bahwa koperasi sebagai upaya kelembagaan dapat merupakan instrumen bagi upaya restrukturisasi ekonomi pertanian, untuk mewujudkan keseimbangan dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi pertanian. Ada dua argumen yang melandasi pendapat ini, yaitu (a) secara kolektif, koperasi dapat menghimpun para pelaku ekonomi pertanian dalam menjual produk-produk yang dihasilkannya dengan posisi tawar yang baik, dan (b) koperasi secara organisasi dapat menjadi wadah yang bertanggungjawab bagi kebutuhan pengadaan saprotan maupun kebutuhan lain secara bertanggungjawab pula. Walaupun demikian, ke depan, usaha-usaha untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi bagi pengembangan agribisnis di perdesaan tahap awal tetap masih membutuhkan “ulur tangan” (kebijakan pemihakan) pemerintah secara langsung, akan tetapi dengan pengertian bentuk “ulur tangan” pemerintah tersebut 17 harus ditempatkan dalam upaya pengembangan iklim berusaha yang sesuai. Misalnya, pengembangan program dan metoda penyuluhan pertanian yang diarahkan kepada upaya pengembangan orientasi dan kemampuan kewirausahaan, yang lebih mencakup substansi manajemen usaha dan penyesuaian terhadap materimateri di bidang produksi dan pemasaran. Dalam hubungan ini maka pola magang dan sistem pencangkokan manajer dapat menjadi alternatif yang dipertimbangkan. Masalah kelangkaan kapital yang seringkali menjadi kendala pengembangan agribisnis memerlukan kebijakan secara lebih hati-hati. Pemberian kredit yang murah seringkali justru dapat berakibat buruk bagi perkembangan kegiatan usaha dalam jangka panjang, jika tidak diikuti dengan upaya-upaya pengendalian yang baik. Alternatif yang dinilai lebih sesuai adalah dengan mengembangkan koperasi agribisnis yang menyediakan fasilitas kredit yang mudah, yaitu kredit yang memiliki kemudahan dalam perolehannya, kesesuaian dalam jumlah, waktu serta metode peminjaman dan pengembaliannya. Disamping itu pemberian kredit tersebut perlu di atur sedemikian sehingga kemungkinan reinvestasi dan keberhasilan usaha dapat lebih terjamin. Dalam hal ini bentuk supervised credit dapat menjadi alternatif model pemberian kredit. Banyak contoh sukses koperasi kredit di bidang agribisnis yang kuat dan besar, seperti Credit Agricole di Perancis, Rabobank di Belanda, dan lainlain. Pengembangan agribisnis dengan agro-industri perdesaan juga perlu didukung oleh kelembagaan yang sesuai, mengingat karakteristiknya yang sangat beragam. Dalam kelembagaan usaha tersebut misalnya, perlu dikaji kombinasi optimal dari penguasaan dan pemanfaatan skala usaha dengan efisiensi unit usaha, sesuai dengan sifat kegiatan yang dilakukan. Salah satu contoh, jika kegiatan agroindustri memang akan lebih efisien apabila dilakukan dalam skala yang relatif kecil, maka pengembangan kegiatan usaha individual perlu didorong. Akan tetapi untuk kegiatan pengangkutan yang memerlukan skala kegiatan yang lebih besar, perlu dipertimbangkan suatu unit kegiatan yang sesuai pula. Dengan demikian, dimungkinkan terjadinya kondisi dimana kegiatan agroindustri dilakukan secara individual (tidak harus dipaksakan berada dalam unit kegiatan koperasi misalnya), tetapi para agroindustriawan tersebut bersama-sama membentuk koperasi, atau unit usaha koperasi dalam bidang pengangkutan. Hal-hal semacam memerlukan penelaahan lebih lanjut secara mendalam, dikaitkan dengan sosok spesifik unit usaha yang dikembangkan dalam koperasi agribisnis tersebut. Oleh karena itu, dalam operasionalisasi pengembangan agribisnis/agroindustri di tingkat lokalita (kawasan perdesaan) akan dijumpai pula kondisi yang sangat beragam baik dari segi agroekosistem, sarana dan prasarana maupun kondisi sosial budayanya. Keragaman-keragaman tersebut jelas menghendaki rancang bangun kelembagaan yang mampu mengoptimalisasikan kinerja manajemen maupun teknologi. Dalam hal ini, beberapa contoh berkembangnya model-model kelembagaan agribisnis seperti SPAKU, KUBA, Desa Cerdas Teknologi, ULP2, Gerakan Kemitraan, Inkubator, Klinik Tani/Agribisnis, Asosiasiasosiasi Petani, pemanfaatan tenaga-tenaga perekayasa profesional yang berfungsi sebagai konsultan dan nara sumber, harus dipandang sebagai langkah esensial untuk mengakumulasikan modal sosial (social capital) yang harus terus- 18 menerus didorong sebagai embrio dalam mewujudkan institutional building yang akan memperkokoh posisi tawar petani dalam agribisnis. Dalam pada itu, korporasi petani dalam bidang agribisnis telah menjadi wacana dan diskusi publik sebagai suatu institutional building. Pesan yang lebih menonjol adalah pada lingkungan petani perkebunan (khususnya tebu-gula di BUMN perkebunan) di Jawa Timur. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: Apakah pola BUMN perkebunan seyogyanya diprivatisasi menjadi swasta murni seperti kecenderungan yang ada, ataukah mengembangkan alternatif berupa korporasi masyarakat (petani) sebagai pemilik utama perkebunan tersebut? Banyak argumen yang membimbing kecenderungan rekonstruksi agribisnis tebu-gula tersebut, antara lain (a) besarnya biaya produksi kebun tebu, 60-70 persen, (b) memudarnya persenyawaan kepentingan antara subyek petani/rakyat, pemerintah/principal dan manajemen BUMN, (c) lemahnya reinvestasi baru yang dilakukan BUMN, (d) institusi korporasi dianggap paling tepat dalam penyelesaian asymetric power yang selama ini terjadi, (e) the best product hanya akan dihasilkan oleh the best community, (f) rigiditas pabrik dan fleksibilitas pilihan pemanfaatan lahan petani. Korporasi masyarakat (petani agribisnis) pada dasarnya adalah perusahaan yang dimiliki oleh masyarakat (petani agribisnis). Korporasi masyarakat pada dasarnya akan menjadi kuat manakala memanfaatkan segenap social capital yang ada pada masyarakat tersebut. Contoh yang dikemukakan adalah pelajaran dari pengalaman empirik perusahaan American Crystal Sugar Company (ACSC) yang dibeli oleh 1300 petani pada tahun 1973 melalui NYSE senilai US$ 86 juta. Sejak saat itu, ACSC berkembang pesat, baik dalam areal, produksi, rendemen, kepemilikan petani, dan joint ventures. Demikian pula, pelajaran yang dikembangkan di Malaysia dalam merestrukturisasi kepemilikan saham melalui skema Amanah Saham Nasional tampaknya dapat menjadi bahan pengkajian. Mengembangkan kelembagaan-kelembagaan di atas sebagai landasan gerak pengembangan agribisnis bagi para petani di perdesaan bukanlah merupakan hal yang mudah dan sederhana. Dibutuhkan dukungan kebijakan pemihakan yang lebih kuat, tidak cenderung berorientasi kepada yang kuat, tetapi lebih kepada yang lemah dan yang kurang berdaya (the under privileged). Kebijakan yang bersifat “netral” saja tidak cukup dalam pembangunan pertanian dan agribisnis, karena dibutuhkan pemahaman dan kepedulian akan masalah yang dihadapi oleh rakyat (petani) yang merupakan bagian terbesar di lapisan bawah. Untuk itu, pemerintahan memang harus mampu mengatasi hambatan psikologis, karena seringkali birokrasi strata atas di banyak negara berkembang seperti Indonesia umumnya merupakan kelompok elit suatu bangsa, yang tidak selalu tanggap dan mudah menyesuaikan diri atau mengasosiasikan diri dengan rakyat yang miskin dan terbelakang. 19 BUDIDAYA TEBU Saat ini pemerintah sedang menggalakkan penanaman tebu untuk mengatasi rendahnya produksi gula di Indonesia. Usaha pemerintah sangatlah wajar dan tidak berlebihan mengingat dulu Indonesia pernah mengalami masa kejayaan sebagai pengekspor gula sebelum perang. Bisakah masa keemasan ini terulang kembali? Untuk itu PT. Natural Nusantara berusaha ikut serta mengembalikan masa kejayaan melalui peningkatan produksi tebu baik secara kuantitas, kualitas dan kelestarian (aspek K-3). Sumber: http://teknis-budidaya.blogspot.com/2007/10/budidaya-tebu.html SYARAT TUMBUH Tanah yang cocok adalah bersifat kering-kering basah, yaitu curah hujan kurang dari 2000 mm per tahun. Tanah tidak terlalu masam, pH diatas 6,4. Ketinggian kurang dari 500 m dpl. 20 Kriteria kesesuaian lahan bagi tanaman tebu Sumber: Bunting, 1981 dan CSR/FAO, 1983 JENIS - JENIS TEBU Jenis tebu yang sering ditanam POY 3016, P.S. 30, P.S. 41, P.S. 38, P.S. 36, P.S. 8, B.Z. 132, B.Z. 62, dll. PEMBUKAAN KEBUN 21 Sebaiknya pembukaan dan penanaman dimulai dari petak yang paling jauh dari jalan utama atau lori pabrik. Ukuran got standar ; Got keliling/mujur lebar 60 cm; dalam 70 cm, Got malang/palang lebar 50 cm; dalam 60 cm. Buangan tanah got diletakkan di sebelah kiri got. Apabila got diperdalam lagi setelah tanam, maka tanah buangannya diletakkan di sebelah kanan got supaya masih ada jalan mengontrol tanaman. Juringan / cemplongan (lubang tanam) baru dapat dibuat setelah got - got malang mencapai kedalaman 60 cm dan tanah galian got sudah diratakan. Ukuran standar juringan adalah lebar 50 cm dan dalam 30 cm untuk tanah basah, 25 cm untuk tanah kering. Pembuatan juringan harus dilakukan dua kali, yaitu stek pertama dan stek kedua serta rapi. Jalan kontrol dibuat sepanjang got mujur dengan lebar + 1 m. Setiap 5 bak dibuat jalan kontrol sepanjang got malang dengan lebar + 80 cm. Pada juring nomor 28, guludan diratakan untuk jalan kontrol (jalan tikus) TURUN TANAH/KEBRUK Yaitu mengembalikan tanah stek kedua ke dalam juringan untuk membuat kasuran/bantalan/dasar tanah. Tebalnya tergantung keadaan, bila tanahnya masih basah + 10 cm. di musim kemarau terik tebal + 15 - 20 cm. PERSIAPAN TANAM - Lakukan seleksi bibit di luar kebun - Bibit stek harus ditanam berhimpitan agar mendapatkan jumlah anakan semaksimal mungkin. Bibit stek + 70.000 per ha. - Sebelum ditanam, permukaan potongan direndam dahulu dengan POC NASA dosis 2 tutup + Natural GLIO dosis 5 gr per 10 liter air. - Sebelum tanam, juringan harus diari untuk membasahi kasuran, sehingga kasuran hancur dan halus. CARA TANAM 1. Bibit Bagal/debbeltop/generasi Tanah kasuran harus diratakan dahulu, kemudian tanah digaris dengan alat yang runcing dengan kedalaman + 5-10 cm. Bibit dimasukkan ke dalam bekas garisan dengan mata bibit menghadap ke samping. Selanjutnya bibit ditimbun dengan tanah. 2. Bibit Rayungan (bibit yang telah tumbuh di kebun bibit), jika bermata (tunas) satu: batang bibit terpendam dan tunasnya menghadap ke samping dan sedikit miring, + 45 derajat. Jika bibit rayungan bermata dua; batang bibit terpendam dan tunas menghadap ke samping dengan kedalaman + 1 cm. 3. Sebaiknya, bibit bagal (stek) dan rayungan ditanam secara terpisah di dalam petak-petak tersendiri supaya pertumbuhan tanaman merata. 22 Keberadaan tanaman sela dalam system tumpangsari tebu dapat menurunkan atau meningkatkan hasil tebu, tergantung pada pengelolaannya. Soejono (2004) melakukan penelitian tentang “jarak antar baris tebu dan jenis tanaman palawija dalam system tumpangsari” untuk menentukan jarak antarbaris tebu yang tepat untuk tiap jenis tanaman palawija yang memberikan hasil total tanaman penyusun dan nisbah setara lahan tinggi. Percobaan lapangan telah dilaksanakan di Desa Ngrancah, Kecamatan Pengasih, Kabupaten Kulon Progo, pada ketinggian 110 m di atas permukaan laut dengan jenis Tanah Grumusol. Dalam percobaan ini diuji 3 jenis tanaman palawija dan 4 aras jarak antarbaris tebu. Hasil percobaan menunjukkan bahwa tanaman sela tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tanaman tebu, tetapi jagung menyebabkan berat batang dan hasil hablur tebu lebih rendah daripada kacang tanah dan kedelai. Pelebaran jarak antarbaris tebu dari 100 cm ke 110 cm menurunkan berat batang dan hasil total tanaman penyusun, tetapi penyempitan dari 100 cm ke 90 cm tidak berpengaruh nyata. Perubahan jarak antar baris tunggal 100 cm ke jarak antarbaris ganda (160+40) tidak mempengaruhi berat batang dan hasil hablur. Kacang tanah dan kedelai pada jarak antarbaris tebu 90, 100, dan (160+40) cm menunjukkan hasil total tanaman penyusun dan nisbah setara lahan lebih tinggi daripada jarak antarbaris 110 cm. WAKTU TANAM Berkaitan dengan masaknya tebu dengan rendemen tinggi tepat dengan timing masa giling di pabrik gula. Waktu yang tepat pada bulan Mei, Juni dan Juli. PENYIRAMAN Penyiraman tidak boleh berlebihan supaya tidak merusak struktur tanah. Setelah satu hari tidak ada hujan, harus segera dilakukan penyiraman. PENYULAMAN 1. Sulam sisipan, dikerjakan 5 - 7 hari setelah tanam, yaitu untuk tanaman rayungan bermata satu. 2. Sulaman ke - 1, dikerjakan pada umur 3 minggu dan berdaun 3 - 4 helai. Bibit dari rayungan bermata dua atau pembibitan. 3. Penyulaman yang berasal dari ros/pucukan tebu dilakukan ketika tanaman berumur + 1 bulan 4. Penyulaman ke-2 harus selesai sebelum pembubunan, bersama sama dengan pemberian air ke - 2 atau rabuk ke-2 yaitu umur 1,5 bulan 5. Penyulaman ekstra bila perlu, yaitu sebelum bumbun ke -2 PEMBUMBUNAN TANAH Pembumbunan ke-1 dilakukan pada umur 3-4 minggu, yaitu berdaun 3 - 4 helai. Pembumbunan dilakukan dengan cara membersihkan rumput- 23 rumputan, membalik guludan dan menghancurkan tanah (jugar) lalu tambahkan tanah ke tanaman sehingga tertimbun tanah. Pembumbunan ke - 2 dilakukan jika anakan tebu sudah lengkap dan cukup besar + 20 cm, sehingga tidak dikuatirkan rusak atau patah sewaktu ditimbun tanah atau + 2 bulan. Pembumbunan ke-3 atau bacar dilakukan pada umur 3 bulan, semua got harus diperdalam ; got mujur sedalam 70 cm dan got malang 60 cm. GARPU MUKA GULUD Penggarpuan harus dikerjakan sampai ke pinggir got, sehingga air dapat mengalir. Biasanya dikerjakan pada bulan Oktober/November ketika tebu mengalami kekeringan. KLENTEK Yaitu melepaskan daun kering, harus dilakukan 3 kali, yaitu sebelum gulud akhir, umur 7 bulan dan 4 minggu sebelum tebang. TEBU ROBOH Batang tebu yang roboh atau miring perlu diikat, baik silang dua maupun silang empat. Ros - ros tebu, yang terdiri dari satu deretan tanaman, disatukan dengan rumpun - rumpun dari deretan tanaman di sisinya, sehingga berbentuk menyilang. PEMUPUKAN 1. Sebelum tanam diberi TSP 1 kuintal/ha 2. Saat umur 25 hari setelah tanam berikan pupuk ZA sebanyak 0,5-1 kw/ha. Pemupukan ditaburkan di samping kanan rumpun tebu 3. Umur 1,5 bulan setelah tanam berikan pupuk ZA sebanyak 0,5 - 1 kw/ha dan KCl sebanyak 1-2 kw/ha. Pemupukan ditaburkan di sebelah kiri rumpun tebu. 4. Untuk mendapatkan rendemen dan produksi tebu tinggi, semprot POC NASA dosis 4 - 6 tutup dicampur HORMONIK 1 - 2 tutup per-tangki pada umur 1 dan 3 bulan. Pemupukan dalam kegiatan budidaya tebu memegang peranan yang teramat penting, selain dapat meningkatkan produksi biomasa dan rendemen, pupuk juga dapat meningkatkan keragaman dan kualitas hasil yang diperoleh. Masalah utama penggunaan pupuk N pada lahan tebu adalah efisiensinya yang rendah karena perilaku pupuk dalam tanah dan kemungkinan kehilangannya melalui penguapan, pelindian dan immobilisasi. Untuk itu Sri Nuryani dkk. (2007) melakukan penelitian peningkatan efisiensi pemupukan N dengan rekayasa kelat urea-humat pada jenis tanah yang mempunyai tekstur kasar (Entisol) dengan menggunakan tanaman tebu varietas PS 851 sebagai tanaman indikator. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelapisan urea dengan asam humat yang berasal dari Gambut Kalimantan sebesar 1% menghasilkan pupuk urea yang lebih tidak mudah larut daripada yang dilapisi 24 asam humat dari Rawa Pening. Dengan pelepasan N yang lebih lambat diharapkan keberadaan N di dalam tanah lebih awet dan pemupukan menjadi lebih efisien. Hasil ekstraksi humat dari 2 macam gambut (Palangkaraya, Kalimantan tengah) dan Rawa Pening (Jawa Tengah) menunjukkan bahwa gambut Palangkaraya mengandung lebih banyak asam humat (kurang lebih 40%) dari pada gambut Rawa Pening (7%). Pupuk urea-humat telah diaplikasikan ke tanah Psamment (Entisol) yang kandungan pasirnya tinggi (tekstur kasar) untuk mewakili jenis-jenis tanah yang biasa ditanami tebu dengan tekstur yang paling kasar. Respons tanaman tebu varietas PS 851 menunjukkan kinerja pertumbuhan yang lebih baik di tanah Vertisol. Rekayasa kelat urea-humat secara fisik dan kimia terbukti meningkatkan efisiensi pemupukan N pada tanaman tebu. Penelitian ini memperlihatkan bahwa memang efisiensi pemupukan N pada tanah Entisol dan Vertisol rendah, bahkan di Entisol lebih rendah (hanya sekitar 25 %). Aplikasi pupuk urea-humat pada tanah Vertisol dan Entisol terbukti meningkatkan efisiensi pemupukan N hingga 50 %. Di tanah Entisol bahkan efisiensi pemupukan yang lebih tinggi dicapai pada dosis pupuk yang lebih rendah. HAMA DAN PENYAKIT 1. Hama Penggerek Pucuk dan batang Biasanya menyerang mulai umur 3 - 5 bulan. Kendalikan dengan musuh alami Tricogramma sp dan lalat Jatiroto, semprot PESTONA / Natural BVR. 2. Hama Tikus. Kendalikan dengan gropyokan, musuh alami yaitu : ular, anjing atau burung hantu 3. Penyakit Fusarium Pokkahbung. Penyebab jamur Gibbrella moniliformis. Tandanya daun klorosis, pelepah daun tidak sempurna dan pertumbuhan terhambat, ruas-ruas bengkok dan sedikit gepeng serta terjadi pembusukan dari daun ke batang. Penyemprotan dengan 2 sendok makan Natural GLIO + 2 sendok makan gula pasir dalam tangki semprot 14 atau 17 liter pada daun-daun muda setiap minggu, pengembusan tepung kapur tembaga ( 1 : 4 : 5 ) 4. Penyakit Dongkelan. Penyebab jamur Marasnius sacchari, yang bias mempengaruhi berat dan rendemen tebu. Gejala, tanaman tua sakit tibatiba, daun mengering dari luar ke dalam. Pengendalian dengan cara penjemuran dan pengeringan tanah, harus dijaga, sebarkan Natural GLIO sejak awal. 5. Penyakit Nanas. Disebabkan jamur Ceratocytis paradoxa. Menyerang bibit yang telah dipotong. Pada tapak (potongan) pangkas, terdapat warna merah yang bercampur dengan warna hitam dan menyebarkan bau seperti nanas. Bibit tebu direndam dengan POC NASA dan Natural GLIO. 6. Penyakit Blendok. Disebabkan oleh Bakteri Xanthomonas albilincans Mula-mula muncul pada umur 1,5 - 2 bulan setelah tanam. Daun-daun klorotis akan mengering, biasanya pada pucuk daun dan umumnya daundaun akan melipat sepanjang garis-garis tadi. Jika daun terserang hebat, 25 seluruh daun bergaris-garis hijau dan putih. Rendam bibit dengan air panas dan POC NASA selama 50 menit kemudian dijemur sinar matahari. Gunakan Natural GLIO sejak awal sebelum tanam untuk melokalisir serangan. RENDEMEN TEBU Proses kemasakan tebu merupakan proses yang berjalan dari ruas ke ruas yang tingkat kemasakannya tergantung pada ruas yang yang bersangkutan. Tebu yang sudah mencapai umur masak, keadaan kadar gula di sepanjang batang seragam, kecuali beberapa ruas di bagian pucuk dan pangkal batang. Usahakan agar tebu ditebang saat rendemen pada posisi optimal yaitu sekitar bulan Agustus atau tergantung jenis tebu. Tebu yang berumur 10 bulan akan mengandung saccharose 10 %, sedang yang berumur 12 bulan bisa mencapai 13 %. TEBU KEPRASAN - Yaitu menumbuhkan kembali bekas tebu yang telah ditebang, baik bekas tebu giling atau tebu bibitan (KBD). - Kebun yang akan dikepras harus dibersihkan dari kotoran bekas tebangan yang lalu. Sebelum mengepras , sebaiknya tanah yang terlalu kering di airi dulu. Kepras petak - petak tebu secara berurutan. Setelah dikepras siramkan SUPER NASA (dosis sama seperti di atas). Lima hari atau seminggu setelah dikepras, tanaman diairi dan dilakukan penggarapan (jugaran) sebagai bumbun ke-1 dan pembersihan rumput - rumput. - Lakukan penyemprotan POC NASA dan HORMONIK pada umur 1,2 dan 3 bulan dengan dosis seperti di atas.Pemeliharaan selanjutnya sama dengan tanam tebu pertama. 26 BAHAN BACAAN Balitbangtan. 2007. PROSPEK DAN ARAH PENGEMBANGAN AGRIBISNIS TEBU. Edisi Ke Dua. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 2007 Bintorowati, W, 2006. “ Serapan N oleh Tebu (Saccharum officinarum) pada Entisol dan Ultisol yang dipupuk urea berlapis humat”, Skripsi S1 Jurusan Tanah Fakultas Pertanian UGM, tidak dipublikasikan. Djojosoewardho, A.S. 1988, “ Sumbangan Pikiran Mendukung Kebijaksanaan Pemerintah dalam Upaya Khusus Produksi Gula”, Pusat Penelitian Gula Indonesia. Pasuruan. Effendi, H., 2001. Budidaya Tebu Populasi Tinggi (Hight Density Planting) untuk Meningkatkan Produktivitas. Buletin Ilmiah INSTIPER 8(2):52-60. Harahap, E.M. 1991, “ Usaha mengatasi kehilangan Nitrogen dalam bentuk ammonia dari urea”, Bulletin Vol. V. No. 4. Mardjuki, A dan A.T. Soejono. 1982, “ Diktat Bercocok Tanam Tebu”, Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta. Notojoewono, A.W. 1968 , “ Berkebun Tebu Lengkap”, Jilid II. Jombang. Nyuyen, T.M., 1996. Effect of Management Practices on Yield and Quality of Sugarcane and on Soil Fertility. Pros.Of.a Workshop. http//www.husdyr.kvl.dk/htm/php/tune96/20Mui.ht. Diaskes 20 Okt.2004 Nyuyen, T.M., Preston, T.R. and I. Ohlsson, 1977. Responses of Four Varieties of Sugarcane to Planting Distance and Mulching. Livestock Research for Rural Development. 9 (3):1-8. Pawirosemadi, M. 1980 “ Metode Hara Berimbang optimum dalam Analisis Daun untuk Petunjuk Saran-saran Pemupukan Tanaman Tebu di Indonesia”, Disertasi untuk memperoleh derajad Doktor Ilmu Pertanian UGM. Rasjid, A. dan Atik Suryani, 1993. Kajian Jarak Juringan (PKP) Tebu Lahan Sawah Alluvial di Pasuruan. Pros.Pertemuan Teknis Tahunan I/1993. P3GI Pasuruan. pp :1- 8 Soejono, A.T. 2004. KAJIAN JARAK ANTARBARIS TEBU DAN JENIS TANAMAN PALAWIJA DALAM PERTANAMAN TUMPANGSARI. Ilmu Pertanian Vol. 11 No. 1, 2004 : 32 – 41. Sri Nuryani H.U, Benito Heru Purwanto, Azwar Maas, Wiwik EW, Oka A Bannati and K.D. Sasmita. 2007. PENINGKATAN EFISIENSI PEMUPUKAN N PADA TANAMAN TEBU MELALUI REKAYASA KHELAT UREA-HUMAT . Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan Vol. 7 No.2 (2007) p: 93-102 . Supriyadi, A. 1992, “ Rendemen Tebu : Liku-liku Permasalahannya”, Kanisius. Yogyakarta. Suryanto, 1982 “ Kemungkinan Pengembangan tanaman tebu di Pulau Jamdena, Tinjauan dari Lingkungan Fisik dan Tanah “, Fakultas Pertanian UGM.