5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan air dengan mulsa vertikal Pemanenan air (water harvesting) adalah tindakan menampung air hujan dan aliran permukaan untuk disalurkan ke tempat penampungan sementara dan atau tetap (permanen) yang sewaktu-waktu dapat digunakan untuk mengairi tanaman yang diusahakan pada saat diperlukan (Subagyono et al., 2004). Menurut BPTPI (2010), panen air (water harvesting) merupakan teknologi pemanfaatan air secara efisien melalui sistem irigasi tetes di tingkat desa dengan membangun jaringan tingkat desa dan di tingkat usaha tani dengan membangun jaringan irigasi tingkat usahatani, teknologi prediksi iklim dan teknologi penentuan masa dan pola tanam. Selanjutnya menurut Sudirja (2008), teknologi pemanenan air hujan adalah cara menampung dan memanfaatkan air hujan secara optimal serta meminimalisasi kehilangan air. Penerapan teknik ini pada musim hujan dapat mengurangi derasnya aliran permukaan dan sekaligus mengurangi erosi. Untuk daerah yang tidak memiliki jaringan irigasi atau sumber air tanah maka teknik ini sangat membantu mengatasi kekurangan air. Teknologi panen air berfungsi menyediakan sumber air irigasi pada musim kemarau dapat pula berfungsi mengurangi banjir pada musim hujan. Panen air hujan dan aliran permukaan ditujukan untuk (1) menurunkan volume aliran permukaan dan meningkatkan cadangan air tanah; (2) meningkatkan ketersediaan air tanaman terutama pada musim kemarau; dan (3) mengurangi kecepatan aliran permukaan sehingga daya kikis dan daya angkutnya menurun (Agus et al., 2002 dalam Subagyono et al., 2004). Teknologi pemanenan air sangat diperlukan pada kawasan dengan karakteristik sebagai berikut: (a) kawasan beriklim kering (>4 bulan kering berturut-turut sepanjang tahun) atau 3-4 bulan tanpa hujan sama sekali; (b) kawasan dimana produksi tanaman pangan terbatas karena rendahnya ketersediaan air di dalam tanah; (c) semua lahan berlereng (bergelombang sampai berbukit) dengan kondisi fisik tanah yang buruk, sehingga tidak dapat menyimpan air dalam waktu yang lama; dan (d) daerah beriklim basah yang mempunyai periode kritis air (Subagyono et al., 2004). Teknologi pemanenan air yang dimaksud ialah menggunakan mulsa vertikal. Mulsa adalah penutup tanah yang berasal dari pangkasan rumput, sisa 6 panen atau bahan-bahan lain yang penggunaannya disebarkan di permukaan tanah sepanjang barisan tanaman atau melingkari batang pohon (Santoso et al., 2004). Menurut Noeralam et al., (2003), Mulsa vertikal merupakan teknik penggunaan mulsa dengan cara memasukkan sisa tanaman ke dalam rorak atau alur yang dibuat mengikuti kontur. Rorak yang diberi mulsa dapat berfungsi menampung aliran permukaan, dan mulsa menahan partikel tanah pada dinding rorak. Jenis mulsa yang digunakan dapat berasal dari sisa-sisa tanaman seperti limbah yang berasal dari pertanian dan limbah hutan, dapat juga ditambahkan dengan mikro dan makrofauna serta pupuk organik kedalam rorak. Selanjutnya Subagyono et al., (2004), mulsa vertikal atau disebut juga jebakan mulsa adalah bangunan menyerupai rorak yang dibuat memotong lereng dengan ukuran yang lebih panjang bila dibandingkan dengan rorak. Ukuran jebakan mulsa harus disesuaikan dengan keadaan lahan dengan lebar 0,40-0,60 m dan dalam 0,30-0,50 m. Jarak antar barisan jebakan mulsa ditentukan oleh kemiringan lahan atau berkisar antara 3-5 m. Jebakan mulsa ini merupakan tempat meletakkan sisa hasil panen atau rumput hasil penyiangan dan sekaligus berfungsi untuk menampung air aliran permukaan serta sedimen. Setelah beberapa kali hujan, jebakan mulsa ini biasanya terisi oleh sedimen. Pada musim tanam berikutnya, bersamaan dengan persiapan dan pengolahan tanah, jebakan mulsa tersebut diperbaiki/dibuat kembali. Hasil pelapukan sisa tanaman dan sedimen dari jebakan mulsa dikembalikan ke bidang olah. Sedangkan Pratiwi (2004) dan Pratiwi (2006), teknik mulsa vertikal adalah pemanfaatan limbah hutan yang berasal dari bagian tumbuhan atau pohon seperti serasah, gulma, cabang, ranting, batang maupun daun-daun bekas tebangan dengan cara memasukkannya ke dalam saluran atau alur yang dibuat menurut kontur pada bidang tanah yang diusahakan. Penerapan mulsa vertikal pada dasarnya selalu dikombinasikan dengan pembuatan guludan. Brata (1995) menambahkan Mulsa vertikal dapat dikembangkan sebagai alternatif untuk memudahkan pemanfaatan sisa tanaman di lahan pertanian. Sistem mulsa vertikal juga dapat dilakukan pengomposan sisa tanaman, seresah gulma dan lain sebagainya secara insitu. 7 Sumber: Eerrasyarif.multiply.com journal mulsa organik, 2011 Gambar 1. Perbedaan rorak tanpa mulsa (kiri) dan rorak yang diberi mulsa vertikal (kanan) Mulsa umumnya disebarkan secara merata di permukaan tanah, akan tetapi teknik mulsa vertikal dilakukan dengan memasukkan sisa tanaman kedalam saluran atau alur yang dibuat menurut kontur pada bidang olah untuk mengurangi kekuatan aliran permukaan dan menampung sedimen terangkut di sepanjang saluran bidang olah. Dalam aplikasi mulsa vertikal harus memperhatikan hal-hal berikut: kemiringan lereng, panjang lereng, jarak antara saluran, lebar saluran, dan kedalaman saluran. Semakin besar kemiringan lereng, jarak antara saluran akan semakin dekat, sementara ukuran dan kedalaman saluran akan menentukan banyaknya bahan mulsa yang dapat di benamkan (Eerrasyarif.multiply.com, 2011). Sumber: Pratiwi, 2006 Gambar 2. Penempatan mulsa vertikal di lahan yang baru dibuka Hasil penelitian Lumbanraja (1995) menunjukkan perlakuan mulsa vertikal diberi cacing tanah lebih efektif menekan jumlah aliran permukaan dan erosi sebesar 90% dan 75% dibandingkan perlakuan mulsa vertikal. Perlakuan teras gulud diberi cacing lebih efektif menekan aliran permukaan dan erosi sebesar 56% dan 52% dibanding perlakuan teras gulud. Besarnya efektivitas penekanan aliran permukaan dan erosi tersebut meningkat dengan 8 pemberian mulsa. Pada kondisi lahan miring perlakuan mulsa vertikal dapat menekan laju limpasan permukaan dan erosi yang sekaligus menekan pencucian bahan organik dan unsur hara (Brata, 1995). Modifikasi teknik mulsa vertikal yang diperkirakan dapat diterapkan oleh petani kita adalah pembuatan alur dengan cangkul dan galian tanah ditumpukkan untuk membuat guludan di sebelah hilir/bawah saluran (seperti teras gulud). Sisa tanaman dimasukkan ke dalam saluran untuk memelihara dan meningkatkan permukaan resapan saluran. Dengan demikian teknik mulsa vertikal tersebut diharapkan dapat memudahkan petani membersihkan sisa tanaman sebelum pengolahan tanah, sekaligus mendayagunakan saluran untuk mengomposkan sisa tanaman di lahannya (Brata, 1992). Teknik mulsa vertikal baik diterapkan pada lahan yang memiliki topografi berlereng/miring. Penggunaan mulsa vertikal dapat menekan erosi dan aliran permukaan yang terjadi, akibat dari terjebaknya aliran air permukaan serta lebih banyak terinfiltrasi ke dalam tanah. 2.2 Lahan Kering Lahan kering didefinisikan sebagai hamparan lahan yang tidak pernah tergenang atau digenangi air pada sebagian besar waktu dalam setahun atau sepanjang waktu (Dariah et al., 2004). Lahan kering merupakan salah satu agroekosistem yang mempunyai potensi besar untuk usaha pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura (sayuran dan buah-buahan) maupun tanaman tahunan dan peternakan. Tidak semua lahan kering sesuai untuk pertanian, terutama karena adanya faktor pembatas tanah seperti lereng yang sangat curam atau solum tanah dangkal dan berbatu, atau termasuk kawasan hutan (Abdurachman et al., 2008). Berdasarkan letaknya di atas permukaan laut (dpl), lahan kering di Indonesia dapat dibagi menjadi dua kelompok: (1) lahan kering dataran rendah, yaitu lahan kering yang letaknya <700 m dpl, dan (2) lahan kering dataran tinggi, yang terletak antara 700 dan 2500 m dpl (Santoso, 2003). Lahan kering merupakan sumberdaya lahan yang mempunyai potensi besar untuk menunjang pembangunan pertanian indonesia (Dariah et al., 2004) 9 Upaya pemanfaatan lahan kering secara optimal merupakan peluang yang masih cukup besar, karena lahan kering mempunyai luasan relatif lebih besar dibandingkan dengan lahan basah (Abdurachman et al., 1999 dalam Brata, 2004). Permasalahan dalam pengelolaan lahan kering bervariasi pada setiap wilayah, baik aspek teknis maupun sosial ekonomis. Beberapa permasalahan tersebut: 1. Kesuburan tanah Pada umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah, terutama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah menjadi tipis dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk dengan terbatasnya penggunaan pupuk organik, terutama pada tanaman pangan semusim. Di samping itu, secara alami kadar bahan organik tanah di daerah tropis cepat menurun, mencapai 30−60% dalam waktu 10 tahun (Suriadikarta et al., 2002 dalam Abdurachman et al., 2008). 2. Topografi Di Indonesia, lahan kering sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (> 30%) dan berbukit (15−30%), dengan luas masing-masing 51,30 juta ha dan 36,90 juta ha (Hidayat dan Mulyani, 2002 dalam Abdurachman et al., 2008). Lahan kering berlereng curam sangat peka terhadap erosi, terutama bila diusahakan untuk tanaman pangan semusim dan curah hujannya tinggi. Lahan semacam ini lebih sesuai untuk tanaman tahunan, namun kenyataannya banyak dimanfaatkan untuk tanaman pangan, sedangkan perkebunan banyak diusahakan pada lahan datar bergelombang dengan lereng <15% (Abdurachman et al., 2008). 3. Ketersediaan air pertanian Keterbatasan air pada lahan kering mengakibatkan usaha tani tidak dapat dilakukan sepanjang tahun, dengan indeks pertanaman (IP) kurang dari 1,50. Penyebabnya antara lain adalah distribusi dan pola hujan yang fluktuatif, baik secara spasial maupun temporal (Abdurachman et al., 2008). 10 Kebutuhan air tanaman pertanian seperti tanaman jagung harus dapat dipenuhi dari awal penanaman sampai jagung akan dipanen. Produksi tanaman akan meningkat bila pasokan air dan hara terpenuhi. Kebutuhan air untuk tanaman jagung berbeda disetiap fase pertumbuhannya (Tabel 1). Pemanfaatan air seoptimal mungkin akan mengurangi stres tanaman karena kekurangan pasokan air. Tabel 1. Kebutuhan air (KA) dan umur tanaman (UT) untuk setiap fase pertumbuhan Jenis tanaman Jagung KA (mm/hari) UT (hari) Kebutuhan air (mm) dan umur tanaman setiap fase (hari) PembentuTunas Vegetatif Pembungaan Pematangan kan buah 2,8 5,6 7,7 6,3 4,1 0-20 21-50 51-65 66-105 106-120 Sumber: Dorenboos dan Kassam, 1979 dalam Agus et al., 2003 Berbagai permasalahan di lahan kering seperti diatas, dapat ditanggulangi dengan menerapkan sistem pertanian berwawasan konservasi tanah dan air. Penerapan mulsa vertikal pada topografi berlereng akan mampu menyediakan kebutuhan air untuk tanaman, meningkatkan kesuburan tanah melalui pengomposan limbah pertanian yang dimasukkan ke dalam rorak. 1.3 Aliran permukaan dan Erosi tanah Menurunnya kualitas tanah karena diakibatkan oleh besarnya aliran permukaan yang mengakibatkan terjadinya erosi tanah. Aliran permukaan dan erosi merupakan salah satu penyebab terbentuknya lahan-lahan pertanian yang kritis. Keadaan tersebut selanjutnya berdampak pada rendahnya produksi tanaman pertanian. 1. Aliran permukaan Aliran permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan tanah atau bumi. Bentuk aliran inilah yang paling penting sebagai penyabab erosi (Arsyad, 2006). Aliran permukaan di atas permukaan tanah akan mempunyai kemampuan untuk memindahkan atau mengangkut ataupun menghanyutkan partikel-partikel 11 tanah yang telah dilepaskan dari agregat-agregatnya itu kalau memang air pada permukaan tanah mengalir, biasanya pada lahan-lahan yang memiliki kemiringan, dari tempat jatuhnya curahan hujan itu menuruni lereng-lereng. Kemiringan lahan ini sangat membantu memperderas aliran air permukaan (Tabel 2) dan pada tanah-tanah yang datar di mana kecepatan runoff sangat berkurang akan terjadi sendimentasi sementara, pengendapan yang terus menerus pada tanah yang datar ini tentunya akan membentuk pula lahan yang agak miring ataupun yang sama sekali miring (Kartasapoetra et al., 2005). Aliran permukaan mengakibatkan kehilangan bahan yang terlarut (unsur hara, pupuk, dan pestisida) maupun yang terangkut berupa bahan organik dan bahan mineral halus (liat dan debu) serta mikroba yang dapat mencemari lingkungan yang dilewati (Brata, 2004). Tabel 2. Pengaruh lereng terhadap aliran permukaan Lereng (%) 3-8 10-15 20-25 Tanah terbuka Erosi (ton ha-1 th-1) 0,61 b 1,11 a 1,08 a 15,55 Aliran permukaan (cm th-1) 5,02 b 5,46 a 5,60 a 40,22 Sumber: Noeralam, et al., 2003 Keterangan: Angka pada kolom yang sarna jika diikuti oleh huruf yang sarna tidak berbeda nyata pada DMRT 5%. Angka yang tidak diikuti oleh huruf, tidak dilakukan uji beda DMRT. Kartasapoetra et al., (2005) menjelaskan jatuhnya aliran air permukaan tanah itu dapat melangsungkan pengangkutan partikel-partikel tanah, akan bergantung pada: (a) keadaan kemiringan lereng dan panjang lereng yang miring, (b) besar dan cepatnya aliran air permukaan, (c) ukuran partikel, (d) adanya tanaman permukaan dan batu-batuan, dan (e) tak adanya penyengkedan dan paritparit sebagai perlakuan positif manusia guna menghambat aliran air permukaan. Mulsa vertikal mampu menekan aliran permukaan yang terjadi pada lahan pertanian. Hasil penelitian Pratiwi (2001) menunjukkan perlakuan mulsa vertikal yang ditempatkan dibagian hilir individu tanaman menghasilkan aliran permukaan lebih rendah (161,58 mm), mulsa vertikal dengan jarak antara saluran 6 meter (162,69 mm), dibandingkan dengan kontrol (438,10 mm). Sedangkan hasil penelitian Noeralam et al., (2003) menunjukkan pemanenan air dengan teknik 12 rorak+mulsa vertikal menghasilkan aliran permukaan lebih rendah (6,45 cm th-1), dibandingkan dengan tanah terbuka (40,22 cm th-1). 2. Erosi Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagianbagian tanah dari suatu tempat ke tempat-tempat lain oleh media alami (Arsyad, 2006). Erosi dapat juga disebut pengikisan atau kelongsoran sesungguhnya merupakan proses penghanyutan tanah oleh desakan-desakan atau kekuatan air dan angin, baik berlangsung secara alamiah ataupun sebagai akibat tindakan/perbuatan manusia (Kartasapoetra et al., 2005). Selanjutnya Wibowo et al., (2007), mendefinisikan erosi sebagai suatu proses dimana tanah dihancurkan dan kemudian dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan air, angin atau gravitasi. Erosi yang terjadi menyebabkan menumpuknya sendimentasi disuatu tempat. Erosi dan sendimentasi yang diakibatkan oleh air hujan atau aliran air, terdiri dari 3 proses utama, yaitu: (1) pelepasan (detachment), (2) pemindahan (transportation), dan (3) pengendapan (deposotion). Erosi dan sendimentasi menjadi penyebab utama berkurangnya produktivitas lahan pertanian, dan berkurannya kapasitas saluran atau sungai akibat pengendapan material hasil erosi. Dengan berjalannya waktu, aliran air terkonsentarasi ke dalam suatu lintasan-lintasan yang agak dalam, dan mengangkut partikel tanah dan diendapkan ke daerah di bawahnya yang mungkin berupa; sungai, waduk, saluran irigasi, ataupun area pemukiman penduduk (Hardiyatmo, 2006). Klasifikasi tingkat erosi disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Klasifikasi tingkat erosi Tingkat erosi 1 2 Klasifikasi Sangat ringan Ringan Deskripsi Erosi kecil; pada dasar lereng, terkumpul sedikit debris. Erosi membentuk selokan (rills), yang kedalamannya sampai 8 cm; beberapa debris pada dasar lereng. 3 Sedang Parit kedalam sampai 0,3 m. Debris pada dasar lereng. 4 Berat Parit kedalamannya kira-kira 0,3-1 m dan jurang-jurang kecil (gullies) mulai terbentuk, lumayan debris pada dasar lereng. 5 Sangat berat Saluran-saluran erosi dalam (deep erosion channel), terdiri atas selokan dan jurang-jurang kecil; berkembang pipa-pipa menyebabkan tanah bagian bawah tererosi; sangat banyak debris terkumpul pasa dasar lereng. Sumber: Day, 1998 dalam Hardiyatmo, 2006 13 a. Faktor – faktor yang mempengaruhi erosi Bahaya erosi sangat jelas terlihat dalam kehidupan manusia. Erosi dengan segala faktornya pada akhirnya akan mempengaruhi produktivitas lahan pertanian menjadi tidak subur. Menurut Rahim (2000) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi erosi adalah: (1) energi, yang meliputi hujan, air limpasan, angin, kemiringan dan panjang lereng, (2) ketahanan; erodibilitas tanah (ditentukan oleh sifat fisik dan kimia tanah), dan (3) proteksi, penutupan tanah baik oleh vegetasi atau lainnya serta ada atau tidaknya tindakan konservasi. Selanjutnya Hardjowigeno (2010) dan Gunawan (2007), membagi beberapa faktor yang mempengaruhi besarnya erosi air yang terpenting adalah: (1) curah hujan, (2) sifat-sifat tanah, (3) lereng, (4) vegetasi, dan (5) manusia. b. Bentuk erosi Hardiyatmo (2006), membedakan erosi kedalam beberapa bentuk, yaitu: erosi percikan (erosion splash), erosi lembaran (sheet erosion), erosi alur (rills erosion), erosi parit (gully erosion), dan erosi sungai/saluran. 1. Erosi percikan (erosion splash) adalah erosi hasil dari percikan/benturan air hujan secara langsung pada partikel tanah dalam keadaan basah. Besarnya curah hujan, intensitas, dan distribusi hujan menentukan kekuatan penyebaran hujan ke permukaan tanah, kecepatan aliran permukaan serta kerusakan erosi yang ditimbulkan. 2. Erosi lembaran (sheet erosion) adalah erosi akibat terlepasnya tanah dari lereng dengan tebal lapisan yang tipis. Erosi tidak tampak oleh mata, karena secara umum hanya kecil saja terjadi perubahan bentuk permukaan tanah. 3. Erosi alur (rill erosion) adalah erosi akibat pengikisan tanah oleh aliran air yang membentuk parit atau saluran kecil, dimana pada bagian tersebut telah terjadi konsentrasi aliran air hujan di permukaan tanah. Aliran air menyebabkan pengikisan tanah, lama-kelamaan membentuk alur-alur 14 dangkal pada permukaan tanah yang arahnya dari atas memanjang ke bawah. 4. Erosi parit (gully erosion) adalah kelanjutan dari erosi alur, yaitu terjadi bila alur-alur menjadi semakin lebar dan dalam yang membentuk parit dengan kedalaman yang dapat mencapai 1 sampai 2,5 m atau lebih. Parit ini membawa air pada saat dan segera setelah hujan, dan tidak seperti alur, parit tidak lenyap oleh pengolahan tanah secara normal. 5. Erosi sungai/saluran (stream/channel erosion) adalah erosi yang terjadi akibat dari terkikisnya permukaan tanggul sungai dan gerusan sedimen disepanjang dsar saluran. Erosi semacam ini dipengaruhi oleh variabel hidrologi/hidrolik yang mempengaruhi sistem sungai. Berbagai erosi yang terjadi akan menyebabkan terbentuknya tanah-tanah yang kritis akan unsur hara. Hal demikian karena lapisan tanah olah telah terbawa oleh aliran permukaan baik dalam skala kecil maupun besar. Erosi terjadi karena kurangnya penerapan konservasi sehingga berdampak pada perluasan lahan-lahan pertanian yang tidak produktiv, karena berkurangnya hara dalam tanah. c. Pengaruh yang ditimbulkan oleh Erosi Menurut Arsyad (2006), erosi menyebabkan hilangnya lapisan tanah yang subur dan baik untuk pertumbuhan tanaman serta berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air. Tanah yang terangkut tersebut akan terbawa masuk sumber air yang dinamai sedimen, akan diendapkan di tempat yang aliran airnya melambat; di dalam sungai, waduk, danau, reservoir, saluran irigasi, di atas tanah pertanian dan sebagainya. Dengan demikian maka kerusakan yang ditimbulkan oleh peristiwa erosi terjadi di dua tempat, yaitu (1) pada tanah tempat erosi terjadi dan (2) pada tempat tujuan akhir tanah yang terangkut tersebut diendapkan. Dampak di tempat kejadian erosi, secara langsung yaitu: (a) kehilangan lapisan tanah yang relatif kaya unsur hara dan bahan organik, dan memiliki sifatsifat fisik yang baik bagi tempat akar tanaman berjangkar, (b) menigkatnya 15 penggunaan energi untuk berproduksi, (c) kemerosotan prosuktivitas tanah atau bahkan menjadi tidak dapat digunakan untuk berproduksi, (d) kerusakan bangunan konservasi dan bangunan lainnya, dan (e) pemiskinan petani penggarap dan/atau pemilik tanah. Sedangkan dampak secara tidak langsung yaitu: (a) berkurangnya alternatif penggunaan lahan, (b) timbulnya dorongan atau tekanan untuk membuka lahan baru dengan membabat hutan, dan (c) timbulnya keperluan penyadiaan dana untuk perbaikan bangunan konservasi yang rusak (Arsyad, 2006). Dampak di luar tempat kejadian erosi, secara langsung yaitu: (a) pelumpuran atau sedimentasi dan pendangkalan waduk, sungai, saluran irigasi, muara sungai, pelabuhan dan badan air lainnya, (b) tertimbunnya lahan pertanian, jalan dan rumah atau bangunan lainnya, (c) menghilangnya mata air dan memburuknya kualitas air, (d) kerusakan ekosistem perairan (tempat bertelur ikan, terumbu karang dan sebaginya), (e) kehilangan nyawa oleh banjir dan tertimbun longsor, (f) meningkatnya areal banjir dan frekuensi serta lamanya waktu banjir di musim hujan, dan meningkatnya ancaman kekeringan pada musim kemarau. Dampak secara tidak langsung yaitu kerugian sebagai akibat memendeknya umur guna waduk dan saluran irigasi dan tidak berfungsinya badan air lainnya (Arsyad, 2006). Pengendalian erosi di lahan kering berlereng dapat dilakukan dengan penerepan teknologi mulsa vertikal, sehingga menekan erosi dan mengurangi terbentuknya luasan lahan pertanian kritis. Hasil penelitian Pratiwi (2001) menunjukkan perlakuan mulsa vertikal yang ditempatkan dibagian hilir individu tanaman menghasilkan erosi lebih rendah (0,09 mm), dibandingkan dengan kontrol (1,64 mm). Sedangkan hasil penelitian Noeralam et al., (2003) menunjukkan perlakuan teknik rorak + mulsa vertikal efektif mengurangi erosi (0,90 ton ha-1 th-1), dibandingkan dengan tanah terbuka (15,55 ton ha-1 th-1). Demikian juga dengan hasil penelitian Nurmi (2012) menunjukkan mulsa vertikal P1 menghasilkan erosi yang lebih rendah (1,02 ton ha-1), dibandingkan dengan tanpa mulsa vertikal P0 (3,47 ton ha-1).