PERMOHONAN ORANG TUA SEBAGAI WALI TERHADAP ANAK

advertisement
PERMOHONAN ORANG TUA SEBAGAI WALI TERHADAP ANAK
KANDUNG
(Analisis Komparatif Putusan Pengadilan Agama Depok Perkara Nomor
22/Pdt.P/2010/PA. Dpk. Dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Perkara Nomor 0046/Pdt.P/2009/PA .JP.)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
Muhammad Farid Wajdi
106044101427
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM
STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS
SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2010 M/1431 H
PERMOHONAN ORANG TUA SEBAGAI WALI TERHADAP ANAK
KANDUNG
(Analisis Komparatif Putusan Pengadilan Agama Depok Perkara Nomor
22/Pdt.P/2010/PA. Dpk. Dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat
Perkara Nomor 0046/Pdt.P/2009/PA .JP.)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh :
MUHAMMAD FARID WAJDI
NIM : 106044101427
Dibawah Bimbingan
Pembimbing :
Dr. Euis Amalia M.Ag
Dr.H.Muhammad Taufiki M.Ag
NIP : 197107011998032002
NIP : 196511191998031002
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA
PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
2010 M / 1431 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karena ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 01 Juni 2010
Muhammad Farid Wajdi
ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul PERMOHONAN ORANG TUA KANDUNG SEBAGAI WALI
TERHADAP ANAKNYA (Analisis Komparatif Putusan pengadilan Agama
Depok Perkara Nomor 22/Pdt.P/2010/PA. Dpk. Dan Putusan Pengadilan Agama
Jakarta Pusat Perkara Nomor 0046/Pdt.P/2009/PA .JP) telah diujikan dalam
Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta pada 23 September 2010. Skripsi ini telah diterima
sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Program Studi
Ahwal Syakhshiyyah Konsentrasi Peradilan Agama.
Jakarta, 23 September 2010
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. DR. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM
NIP 195505051982031012
PANITIA UJIAN
1. Ketua
: Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA
NIP. 195003061976031001
(........................)
2. Sekretaris
: Kamarusdiana, S.Ag, MH
NIP. 197202241998031003
(........................)
3. Pembimbing I
:
Dr.Euis Amalia MA
NIP. 197107011998032002
(........................)
3. Pembimbing II
:
Dr. H. Muhammad Taufiki M.Ag
NIP. 196511191993031002
(........................)
4. Penguji I
: Prof. DR. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM (.......................)
NIP 195505051982031012
5. Penguji II
: Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA
NIP. 195003061976031001
(......................)
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karena ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 24 September 2010
Muhammad Farid Wajdi
i KATA PENGANTAR
‫ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ‬
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT., karena rahmatNyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sebagai kelengkapan tugas dan
memenuhi sebagian dari syarat-syarat guna mencapai gelar Sarjana Hukum Islam
pada Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan,
terutama disebabkan karena keterbatasan penulis sebagai manusia biasa. Tanpa
adanya dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak tidaklah mungkin skripsi ini
dapat terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin
menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1.
Prof. Dr. H. Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Drs. H. Basiq Djalil, SH, MA, Ketua Program Studi Peradilan Agama Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Kamarusdiana S.Ag, MH, Sekretaris Jurusan Peradilan Agama Fakuttas Syariah
dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
4.
Dr. Euis Amalia M.Ag dan Dr. H. Muhammad Taufiki M.Ag, selaku dosen
pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan perhatiannya dalam
membimbing, serta memberikan motivasi yang tak pernah henti-hentinya.
5.
Dr. H.Yayan Sopyan M.Ag selaku dosen Penasehat Akademik.
6.
Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu dan
pengetahuannya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat.
7.
Kepala perpustakaan UIN Jakarta beserta stafnya.
iv 8.
Orang tua tercinta Bapak H.M.Noer Ahimy dan ibu Soraya yang telah merawat
dan membesarkan penulis, yang selalu memotivasi dengan penuh keikhlasan
membantu penulis baik moril maupun materi, adik dan kakak tercinta Ahamad
Haikal dan Miftahuddin Lc
9.
Pengadilan Agama Depok
10. Pengadilan Agama Jakarta Pusat
11. Sahabat-sahabat penulis, Silvi Luthfianti, Royhan IM, Azwar anas, Taqiyyuddin
Alqisthi, Mustafid CS dan segenap teman-teman penulis yang selalu membantu
dan memberikan motivasi.
12. Teman-teman Peradilan Agama angkatan 2006 khususnya kelas B, dan juga
kelas Bilinggual penulis senang berteman dengan kalian.
Akhirnya penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis dan para pembaca dan semoga amal baik mereka diterima
oleh Allah SWT. Amin.
Jakarta, 24 September 2010
Penulis
v DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .............................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .......................................................................iii
KATA PENGANTAR ............................................................................................... iv
DAFTAR ISI ............................................................................................................. vi
BAB I
: PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian. .....................................................
9
D. Metode Penelitian.......................................................................... 10
E. Riview Studi Terdahulu ................................................................. 14
BAB II
F. Sistematika Penulisan...................................................................
16
: PERWALIAN ANAK DALAM PANDANGAN ISLAM ............
18
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perwalian......................................
18
B. Macam-macam Perwalian.............................................................
23
C. Rukun dan Syarat Perwalian.........................................................
26
D. Penetapan Orang Tua Sebagai Wali Bagi Anak...........................
43
E. Berakhirnya Perwalian.................................................................
45
F. Hikmah dan Tujuan Perwalian.....................................................
46
BAB III : PERWALIAN ANAK DALAM PANDANGAN HUKUM
POSITIF DI INDONESIA ............................................................... 48
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perwalian...................................... 48
B. Hak dan Tanggung Jawab Perwalian Anak................................... 49
vi C. Orang Yang Mendapat Perwalian................................................. 51
D. Ruang Lingkup dan Batasan Perwalian....................................... 51
E. Penetapan Orang Tua Sebagai Wali Terhadap Anak.................... 52
F. Berakhirnya Perwalian................................................................... 53
BAB IV
: PERKARA PERMOHONAN ORANG TUA
SEBAGAI WALI TERHADAP ANAK KANDUNG ..................... 56
A. Perkara Putusan Pengadilan Agama Depok Perkara No
22/Pdt.P/PA.Dpk
1. Duduk Perkara........................................................................... 56
2. Pemeriksaan Perkara dalam Persidangan................................... 57
3. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim...................................... 59
4. Penetapan Putusan Perkara....................................................... 62
B.Perkara Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara No
0046/Pdt.P/PA.JP
1. Duduk Perkara........................................................................ 63
2. Pemeriksaan Perkara dalam Persidangan................................. 67
3. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim..................................... 67
4. Penetapan Putusan Perkara..................................................... 69
C.Analisis Penulis
BAB V
1. Analisis Pendekatan Ushuliyah...............................................
69
2. Analisis Pendekatan Perundang-undangan di Indonesia ......
73
: KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................
78
A. Kesimpulan ................................................................................. 78
B. Saran ………………….................................................................. 79
vii DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 82
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................... 85
1. Putusan Pengadilan Agama Depok Perkara No
22/Pdt.P/PA.Dpk........................................................................... 86
2. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara No
0046/Pdt.P/PA.JP........................................................................... 94
3. Data wawancara hakim Pengadilan Agama Depok ................... 101
4. Surat Keterangan Wawancara .................................................... 104
5. Surat Mohon Data Dan Wawancara…………………………... 105
viii BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Sebagai kelanjutan dari iman seseorang manusia kepada Allah SWT ialah ia
mesti berbuat sesuai dengan apa yang dikhendaki Allah SWT. Perbuatan lahir dari
manusia merupakan gambaran perbuatan batin yang disebut iman. Perbuatan lahir
selanjutnya menjadi ukuran bagi keimanan seseorang. Kualitas keimanan itu dapat
dilihat dari kualitas amal lahir itu. Oleh karena itu, manusia mesti mengerjakan apaapa yang disuruh oleh Allah SWT. Untuk melakukannya dan meninggalkan apa-apa
yang dilarang oleh Allah untuk diperbuatnya. Apa-apa yang disuruh Allah manusia
memperbuatnya menandakan perbuatan tersebut adalah baik dan bermanfaat bagi
kehidupannya
dan
apa-apa
yang
dilarang
Allah
manusia
memperbuatnya
menunjukkan perbuatan tersebut adalah buruk dan merusak kehidupan manusia itu
sendiri 1 .
Apa-apa yang dihendaki Allah berkenaan dengan tindak perbuatan manusia
itu disebut hukum syara’. Kehendak Allah itu dapat ditemukan dalam kumpulan
wahyu yang disebut al-Qur’an dan penjelasan yang diberikan oleh Nabi Muhammad
SAW dalam hadis atau sunnah. Hukum syara’ yang merupakan kehendak Allah itu
pada umumnya merupakan pedoman pokok yang berbentuk petunjuk yang bersifat
umum dan garis-garis besar yang menurut apa adanya belum dapat dilaksanakan
1
Amir Syarifuddin . Garis-garis Besar Fiqih, (Jakarta : Gaung Prenada Media,2003), h.2
1 2 secara baik dan praktis, petunjuk Allah tersebut perlu dijabarkan dalam bentuk
petunjuk operasional secara rinci dan mudah diamalkan. Petunjuk praktis yang
bersifat amaliah terhadap kehendak Allah tersebut secara sederhana disebut fikih.
Dalam memahaminya Allah membekali hambanya dengan akal pikiran agar dapat
merealisasikan kehendaknya di muka bumi seiring dengan perubahan kondisi 2 .
Ajaran Islam mengatur hubungan manusia dan sang penciptanya dan ada pula
yang mengatur hubungan sesama manusia dan alam semesta. Ajaran Islam datang
dengan sangat memperhatikan kepada kedudukan sesama manusia, baik laki-laki
maupun perempuan. Manusia pada perjalanan hidupnya secara sifat nalurinya adalah
berpasang pasangan untuk meneruskan generasi berikutnya serta untuk menciptakan
kehidupan yang harmonis dalam membentuk dan membina rumah tangganya.
Pernikahan merupakan proses alamiah yang senantiasa dilalui oleh manusia,
karena pada saat mereka sampai tahap kedewasaan akan muncul perjalanan ikatan
lawan jenisnya sebagai tujuan dari keluarga sakinah mawaddah warahmah.
Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Dengan adanya dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan, karena itu suatu
perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan tercapainya apa
yang menjadi tujuan perkawinan, yaitu terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah,
2
Ibid. h.2
3 warahmah serta melanjutkan keturunan generasi berikutnya yang menjadi
kebanggaan, tanggung jawab serta amanah Allah SWT kepada manusia sebagai
hambaNYA. Disamping untuk menghindarkan diri dari terjerumus kepada perbuatan
yang tidak terpuji dan untuk ketentraman jiwa, pernikahan disyariatkan juga untuk
melestarikan keturunan . Menurut Abu Ishak al Syatibi dalam kitabnya Almuwafaqat,
hal yang disebut terakhir ini adalah menjadi tujuan utama bagi suatu pernikahan,
sedangkan hal-hal lain hanyalah sebagai faktor-faktor pendukung bagi terwujudnya
tujuan utama tersebut. 3
Al-Quran mengintrodusir hal diatas dengan Allah SWT menjadikan bagi
kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu
itu, anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rizki yang baik-baik.
Dapat dipahami bahwa untuk mewujudkan keturunan yang berkualitas dan
saleh, bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Tugas ini memerlukan keseriusan dan
kesinambungan serta harus ada secara khusus orang yang menyediakan waktu untuk
itu. Begitu penting kesungguhan dan kesinambungan dalam memelihara dan
mendidik anak keturunan, sehingga hal tersebut mendapat perhatian besar dan
mendasar dalam kajian hukum Islam. Secara serius para ulama masa silam mengkaji
berbagai aspek yang berkaitan dengan apa yang harus dilakukan terhadap anak dari
waktu ia lahir, bahkan dari waktu dalam kandungan, sampai ia dapat mandiri dalam
3
Satria Effendi. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprudensi
Dengan Pendekatan Ushuliyah, cet ke-2, ( Jakarta, Kencana , 2005) h.121
4 kehidupan. Hak-hak seoarang anak, dibicarakan secara detail dalam buku-buku fikih
klasik.
Seorang anak yang lahir ke dunia ini, dan serta merta ia membutuhkan kepada
orang lain yang akan memeliharanya, baik dirinya ataupun harta bendanya, hak
miliknya, karena ia membutuhkan orang lain yang akan mengawasi penyusuan dan
pengasuhannya, dalam priode kehidupan yang pertama itu. Demikian juga ia
membutuhkan orang lain yang menjaga dan memeliharanya, serta mendidik dan
mengajarinya, dan melaksanakan bermacam-macam urusan yang berhubungan
dengan jasmaniyahnya dan pembentukan kepribadiannya, dan juga membutuhkan
orang yang akan mengawasi urusan hak miliknya, agar supaya dipelihara dan
diperkembangkan. 4
Dalam hukum Islam, segala kemungkinan negatif itu secara teoritis telah
diantisipasi dengan menetapkan aturan-aturan, siapa yang seharusnya mengasuh dan
mendidik anak bila terjadi perceraian, baik cerai hidup maupun cerai mati, dan apa
persyaratan pada diri seseorang yang cakap untuk melakukan tugas ini 5 .
Dalam perundang-undangan di Indonesia, pada dasarnya yang berhak dan
mempunyai tanggung jawab menjadi wali , pengasuhan serta pemeliharaan anak
adalah kedua belah pihak, yaitu suami dan istri selama memiliki kecakapan untuk
4
Zakariya Ahmad al Barry, Hukum Anak-anak Dalam Islam. Penerjemah Chadijah Nasution,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1977) h.106
5
Effendi. Problematika Hukum Keluarga Islam. h.122
5 menjalankan tugasnya tersebut. Seperti yang tertera secara eksplisit dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) 6 , dalam permasalahan perwalian, bahwa secara otomatis kedua
orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya dan
seorang anak yang belum
mencapai umur
18 tahun atau belum pernah
melangsungkan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka
tidak dicabut kekuasaannya serta orang tua tersebut mewakili anak tersebut mengenai
segala perbuatan hukum di dalam dan luar pengadilan. Dalam ketentuan umum
Kompilasi Hukum Islam, pasal 1 poin (h), dikatakan bahwa perwalian adalah
kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan
hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai
kedua orang tua, atau kedua orang tua atau orang tua yang masih hidup tidak cakap
melakukan perbuatan hukum. 7
Berbeda dengan kekuasaan orang tua terhadap anak-anaknya yang secara
otomatis adalah sebagai wali dan pengasuh anaknya, maka dalam keadaan dimana
orang tua tersebut tidak cakap dalam menjalankan kewajibannya atau karena
meninggalnya kedua orang tuanya, seseorang yang ditunjuk oleh hakim dapat
menjadi wali bagi anak-anak tersebut. Dalam hal ini pencabutan dan permohonan
penunjukan wali adalah dilakukan oleh Pengadilan Agama.
6
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum
Islam, (Bandung : Citra Umbara, 2007) h.33
7
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Citra Umbara, 2007) h.2
6 Perkara perwalian di lingkungan Pengadilan Agama terhitung sebagai perkara
pertengahan jika dilihat dari kuota perkara yang diterima oleh Pengadilan. Perkara
perwalian tingkat pertama dalam lingkup Pengadilan Agama dari data yang diambil
pada tahun 2007, secara persentase peringkat kuota perkara yang masuk di
pengadilan, menduduki peringkat ke-16 dari 35 perkara yang lain, yaitu sebanyak 349
perkara atau 0,174%, sedangkan perkara penunjukkan orang lain sebagai wali
menduduki peringkat ke-15, satu peringkat diatas perkara perwalian, yaitu sebanyak
499 perkara atau 0,249% 8 .
Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa orang tua, terutama ayah menurut
jumhur ulama dalam khazanah fikih 9 maupun kedua belah pihak (ayah dan ibu)
dalam perundang-undangan di Indonesia yang memiliki kecakapan hukum terhadap
anak-anak mereka yang belum cakap hukum, secara otomatis adalah orang yang
bertanggung jawab dalam merawat dan memelihara serta mewakili anak tersebut
dalam perbuatan hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan. Namun dalam
kehidupan masyarakat hal tersebut terkadang tidak dapat terealisasi secara langsung,
dengan berbagai alasan serta kebutuhan seperti persyaratan untuk berbuat hukum
terhadap anak, persyaratan administrasi seperti passport serta untu kepentingan
pendidikan
dan lain-lain, orang tua mengajukan permohonan penetapan untuk
8
Asep Nursobah, “Data Perkara Peradilan Agama Tingkat Pertama Yang Diterima Tahun
2007”, artikel diakses pada 6 Juni 2010 dari
http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=4073
9
Jawad Mughniyya, Fikih Lima Madzhab, Penerjemah Oleh Masykur A.B dkk (Jakarta:
Lentera Basritama, 2000), h.693
7 menjadi wali bagi anak-anak mereka sendiri, padahal dalam peraturan yang ada,
mereka secara otomatis adalah wali bagi anak-anak mereka. Bagaimana pengadilan
dan majelis hakim secara spesifik menyelesaikan perkara tersebut, serta apa
pertimbangan dalam mengabulkan atau menolak penetapan wali walaupun bagi anak
mereka sendiri . Inilah yang menjadi ketertarikan penulis unuk membahasnya secara
analisis dengan komparatif antara putusan Pengadilan Agama yang mengabulkan
permohonan tersebut dan putusan Pengadilan Agama yang menolaknya, karya tulis
ini penulis tuangkan dalam skripsi yang berjudul Permohonan Orang Tua Kandung
Sebagai Wali Terhadap Anaknya (Studi Analisis Komparatif Putusan Pengadilan
Agama Depok Perkara Nomor 22/Pdt.P/2010/PA.Dpk. dan Putusan Pengadilan
Agama Jakarta Pusat Perkara Nomor 0046/Pdt.P/2009/PA .JP.)
B. Batasan dan Rumusan masalah
1. Batasan Masalah
Agar pembahasan ini tidak meluas, maka dalam penelitian ini penulis terfokus
pada pertimbangan majlis hakim terhadap ditetapkan atau ditolaknya permohonan
orang tua untuk menjadi wali terhadap anak kandungnya. Dalam hal ini, objek
penulis batasi pada Putusan Pengadilan Depok Perkara Nomor 22/Pdt.P/2010/PA.
Dpk.
Dan
Putusan
0046/Pdt.P/2009/PA .JP.
Pengadilan
Agama
Jakarta
Pusat
Perkara
Nomor
8 2. Rumusan Masalah
Menurut khazanah fikih, jumhur ulama menyatakan bahwa orang tua,
terutama dari pihak laki-laki adalah wali bagi anak kandung mereka secara
otomatis 10 , sedangkan menurut Perundang-undangan di Indonesia, berdasarkan pasal
330 ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 50 ayat 2 Undang-undang
Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 107 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam,
menerangkan bahwa konsep perwalian adalah terhadap anak yang belum cakap
hukum dan tidak dibawah kekuasan orang tuanya. Adapun anak yang dibawah
kekuasaan orang tuanya adalah bukan dalam ranah perwalian, tetapi masuk dalam
ranah hak dan tanggung jawab orang tua berdasarkan Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan, pasal 47 menyatakan bahwa anak yang belum mencapai
umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan pernikahan ada dibawah kekuasaan
orang tua selama kekuasaannya tidak dicabut, begitu juga dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI), pasal 98 ayat 2 menyatakan bahwa orang tua mewakili anak mengenai
segala perbuatan hukum 11 , namun pada kenyataannya, penulis temukan Putusan
Pengadialan Agama yang mengabulkan permohonan perwalian anak yang dibawah
kekuasaan orang tuanya. Inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk membahas
10
Wahbah, Zuhaili, Alfiqhu Al-Islamy Wa Adillatuhu, IX, (Damsyiq : Dar El Fikr,1989)
h.7328, bandingkan dengan Jawad Mughniyyah, Fikih Lima Madzhab, (Jakarta, Lentera Basritama
2000) h.693
11
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum
Islam,( Citra Umbara, Bandung 2007) h.31
9 dalam sebuah skripsi. Dan untuk memperjelas pemasalahan, penulis merincinya
dengan mengajukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana menurut hukum atas permohonan orang tua sebagai wali terhadap
anak kandung mereka ?
2. Apakah yang menyebabkan penetapan perwalian bagi orang tua terhadap anak
kandung mereka sendiri ?
3. Bagaimana pertimbangan majlis hakim dalam memberikan atau menolak
penetapan orang tua terhadap perwalian terhadapa anak kandung mereka ?
C. Tujuan dan Manfaat hasil penelitian
1. Tujuan Penelitian ini bertujuan unuk menelaah lebih lanjut tentang perwalian anak
dalam Islam, khususnya putusan penetapan orang tua terhadap perwalian anak di
Pengadilan Agama Depok dan Jakarta Pusat, serta secara khusus penelitian ini
bertujuan untuk :
a. Menggambarkan hukum permohonan orang tua untuk menjadi wali bagi anak
kandung sendiri.
b. Menggambarkan hal-hal yang menyebabkan penetapan orang tua sebagai wali
bagi anak kandung mereka sendiri.
c. Menggambarkan tentang pertimbangan hakim yang memberikan atau
menolak penetapan orang tua sebagai wali bagi anak kandung mereka.
10 2. Manfaat Penelitian ini diharapkan berguna dan memeberi sumbangsih pemikiran
bagi pemerintah indonesia selaku regulator serta para insan hukum, baik hakim,
advokat, pengamat dan pakar hukum, pun praktisi hukum islam.
Penelitian ini ditujukan untuk memberikan stimulus yang berakibat pada
pembaharuan perundang-undangan di bidang hukum keluarga islam di indonesia agar
senantiasa mengikuti dan bergerak secara dinamis sesuai dengan pergerakan dan
perkembangan jaman modern. Penelitian ini juga mengharapkan bangkitnya kembali
budaya analisa yurisprudensi kritis di bidang hukum islam di indonesia, sehingga
memacu perkembangan dan khazanah keilmuan islam secara umum dan
perkembangan dunia hukum keluarga Islam di indonesia secara khusus.
D. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data, mengolah serta mendeskripsikannya dalam sebuah
kata-kata, maka penulis menggunakan beberapa metode antara lain :
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang penulis gunakan dalam tulisan ini adalah dengan memakai
pendekatan penelitian hukum normatif yakni penelitian hukum yang dilakukan
dengan meneliti bahan data pustaka atau data sekunder sebagai suatu proses
penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum
11 dari sisi normatifnya 12 . Data yang bersifat kualitatif tersebut di deskripsikan apa
adanya atau yang sering kita sebut dengan “Kualitatif Naturalistik” 13 , yaitu yang
menunjukkan bahwa pelaksanaan penelitian ini memang terjadi secara alamiah, apa
adanya, dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya,
menekankan pada deskripsi secara alami.
Untuk mempertajam kajian, penuis memakai beberapa pendekatan dalam
penelitian hukum Normatif yang sesuai dengan objek kajian penulis diantaranya: 14
a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), yaitu pendekatan yang
dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang penormaannya kondusif.
b. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach), yaitu pendekatan untuk
memahami konsep perwalian dalam islam.
c. Pendekatan kasus (Case Approach), yaitu untuk mempelajari penerapan
norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum,
terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus oleh pengadilan. Dalam
hal ini penerapan norma dan kaidah hukum perwalian.
2. Data yang dikumpulkan
12
Johny Ibrahim, Penelitian Hukum Normatif, (Jawa Timur: Bayumedia, 2008) h.57 13
Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta,
2006), h.12
14
Ibrahim, Penelitian Hukum., h.57 12 Sesuai dengan permasalahan yang diajukan penulis di bagian sebelumnya,
maka data yang hendak dikumpulkan adalah data-data yang berkenaan dengan
Perwalian anak, serta data-data yang berkenaan dengan Putusan pengadilan Depok
Nomor 22/Pdt.P/2010/PA. Dpk. dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor
0046/Pdt.P/2009/PA .JP.
3.Sumber data
Untuk memenuhi data seperti yang disinggung di atas, maka diperlukan
sumber primer dan skunder.
Sumber primer sebagai pokok dalam studi analisis ini adalah Putusan
pengadilan Depok Nomor 22/Pdt.P/2010/PA. Dpk. dan Putusan Pengadilan Agama
Jakarta Pusat Nomor 0046/Pdt.P/2009/PA .JP
Sedangkan sumber skunder sebagai sumber pendukung adalah dengan jalan studi
kepustakaan dengan meneliti beberapa dokumen yang berhubungan dengan judul
yang penulis ajukan yang terdiri dari Al Qur’an, Hadis, kitab-kitab fikih, buku-buku
ilmiah, jurnal-jurnal, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama (PA), Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta Peraturan
lainnya yang dapat mendukung skripsi ini.
13 4. Teknik pengumpulan data
Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, penulis membaca dan menelaah
literatur yang berkenaan dengan perwalian anak, kemudian menganalisanya secara
komparatif, yaitu dengan membandingkan persamaan atau perbedaan sesuatu,
pandangan, benda, orang dll 15 . Putusan pengadilan Depok Nomor 22/Pdt.P/2010/PA.
Dpk. Dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 0046/Pdt.P/2009/PA .JP.
5. Teknik Analisis Data
Studi yang merupakan penelitian kepustakaan ini lebih bersifat deskriptif
analisis. Penulis sudah mempunyai atau mendapatkan gambaran yang berupa datadata awal tentang permasalahan perwalian. 16 Metode data dilakukan dengan cara
mendeskripsikan data-data tersebut secara jelas dan mengambil isinya dengan
menggunakan
content
analysis.
Data
kemudian
diinterpretasikan
dengan
menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan nampak rincian jawaban
atas pokok permasalahan yang akan penulis teliti.
Adapun untuk teknis penulisan ini penulis berpedoman pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tahun 2007.”
15
Arikunto, Prosedur Penelitian, h. 267
16
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, (Jakarta :Sinar Grafika, 2008) h.9 14 E. Review studi terdahulu
Setelah penulis mencari dan menelaah skripsi yang pernah ditulis oleh
mahasiswa fakultas syariah dan hukum terlebih khusus prodi Al ahwal Asyakhsiyyah
yang erat kaitannya dengan pembahasan yang akan diteliti penulis, ternyata bahasan
yang telah ditulis oleh mahasiswa sebelumnya ditemukan pembahasan yang berbeda
dengan pembahasan skripsi yang akan penulis ajukan, sehingga kecurigaan plagiasi
dalam penulisan ilmiah dapat penulis pertanggung jawabkan. Untuk itu paling tidak
penulis mengemukakan beberapa skripsi yang pernah ditulis dan masuk dalam daftar
skripsi perpustakaan Syariah dan Hukum, diantaranya sebagai berikut :
Tabel Rievew Studi Terdahulu
JUDUL
METODE
KESIMPULAN
PERBEDAAN
1. Hak Pemeliharaan
Anak
Oleh
Bapak
Akibat
Perceraian
(Studi Analisis Putusan
Pengadilan
Agama
Bogor Perkara No
492/Pdt.G/2005/PA.Bgr
Penulis:
Ibnu
Abdullah/SAS/2009
Penelitian
Kualitatif
Normatif, Objek
kajiannya
dengan
menganalisis
putusan
Pengadilan
Agama
secara
normatif
dan
hukum Islam.
Skripsi
ini
membahas tentang
pemeliharaan
anak(hadhanah),
Perceraian dalam
Islam,pertimnangan
Hakim
dalam
memberikan
hak
asuh anak kepada
bapak
Skripsi
ini
menekankan
pembahasannya
kepada hak asuh
anak yang jatuh
kepada
ayah,
sedang
skripsi
penulis
membahas
tentang
permohonan
orang tua untuk
menjadi
wali
terhadap
anak
kandungnya
Sjripsi
ini
membahas
kajiannya
terhadap
2.Kewenangan
Penelitian
Pengadilan
Agama Kualitatif
Dalam
Menetapkan Normatif.
Perwalian Anak Akibat
Skripsi
ini
membahas tenang
kompetensi absolut
Pengadilan Agama
15 Perceraian
Penulis:
Abdul
Azis/SJAS/2000
3. Perwalian Harta
Kekayaan Bagi Anak
Yang Belum Dewasa
Menurut Hukum Islam
dan Hukum Perdata
Salimah/SJPA/2009
dalam
perkara
menetapkan
perwalian
anak
akibat perceraian
Penelitian
Komparatif
Kualitatif
Normatif
kewenangan
Pengadilan
Agama,
sedangkan skripsi
penulis
membahas
tentang orang tua
yang mengajukan
permohonan
untuk
menjadi
wali bagi anak
kandungnya.
Skripsi
ini Perbedaannya,
membahas tentang skripsi ini objek
perceraian,
kajiannya
perwalian
anak membahas
menurut
hukum tentang perwalian
Islam dan hukum harta anak yang
perdata
belum
dewasa
menurut hukum
Islam dan hukum
perdata, sedang
objek
kajian
penulis
adalah
permohonan
orang tua sebagai
wali
terhadap
anak
kandung
mereka.
Melihat karya-karya ilmiah yang disebutkan diatas, yang mebahas tentang
perwalian, menurut pengamatan penulis, bahwa belum dijumpai karya ilmiah yang
membahas mengenai permohonan orang tua sebagai wali terhadap anak kandung
mereka sendiri,. Skripsi ini akan memperdalam permasalahan permohonan orang tua
terhadap anak kandung mereka sendiri, yang mana menurut fikih dan perundang-
16 undangan di Indonesia adalah hak yang mereka proleh secara otomatis. Sehingga
inilah yang membuat penelitian ini mempunyai karakteristik dan nuansa tersendiri
yang pada akhirnya membedakan penelitian ini dengan karya sebelumnya.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok
penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata
urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai
berikut :
BAB PERTAMA
Memuat Pendahuluan yang mencakup Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan
Rumusan Masalah, Manfaat dan Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, Review Studi
Terdahulu, dan Sistematika Penulisan.
BAB KEDUA
Memuat Pengertian tentang Perwalian anak Dalam Pandangan Islam dan dasar
Hukumnya, macam-macam perwalian, syarat-syarat menjadi wali, Orang yang berhak
menjadi wali, penetapan orang tua sebagai wali serta hikmah dan tujuan perwalian.
17 BAB KETIGA
Memuat Pengertian Tentang Perwalian Anak dalam hukum positif di Indonesia dan
dasar hukumnya, Macam-macam perwalian anak, orang yang berhak menjadi wali,
penetapan orang tua menjadi wali bagi anaknya, serta berakhirnya perwalian.
BAB KEEMPAT
Perkara Pengadilan Agama Depok dan Jakarta Pusat, duduk perkara, pemeriksaan
perkara dalam sidang, pertimbangan hukum majlis hakim, serta penetapan putusan
perkara serta Analisa penulis, yang memuat analisa ushuliyyah dan analisa
perundang-undangan di Indonesia.
BAB KELIMA
Penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran serta akan dilengkapi dengan
daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang dianggap penting.
BAB II
PERWALIAN ANAK DALAM PANDANGAN ISLAM
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perwalian
Istilah perwalian berasal dari bahasa Arab dari kata dasar, waliya, wilayah
atau walayah, dari ungkapan wala asyay’a wa wala alayhi wilayatan/walayatan. Kata
alwalayatu ditafsirkan dengan pertolongan, dikatakan ‫هﻢ ﻋﻠﻲ وﻻﻳﺔ اي ﻣﺠﺘﻤﻌﻮن ﻓﻲ ا ﻟﻨﺼﺮة‬
, yaitu mereka dalam pertolongan, artinya bersama-sama dalam pertolongan,
sedangkan kata alwilayatu ditsfsirkan dengan al-qudrah wa al-sultah, yaitu
kekuasaan dan kekuatan. Sibaweih berkata, bahwa kata al-walayah dengan fathah
adalah masdar, sedangkan al-wilayah dengan kasrah adalah isim seperti al-imarah.
Ibnu Bary berpendapat kata al-walayah dalam firman Allah SWT surat al-Anfal ayat
72, dibaca dengan fathah atau kasrah, keduanya berarti pertolongan, sedangkan alKisai membacanya dengan fathah. 1 Terjemahan al-Qur’an secara lafziyah ke dalam
bahasa indonesia yang ditashih oleh Departemen Agama, juga mengartikan kata
tersebut dengan pertolongan, 2 karena kata tersebut adalah nama bagi sesuatu yang
yang dikuasai. Nama al-wali adalah nama untuk Allah SWT, yang berarti pemilik
segala sesuatu seluruhnya.
Dari pemahaman diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa kata wilayah dan
walayah mempunyai makna etimologis lebih dari satu, diantaranya dengan makna,
1
Ibnu Manzur. Lisan al-Arab, (Mesir: Daar al-Hadist,2003), h.405.
2
Lajnah Pentashih Mushaf al-Quran Departemen Agama, Tarjamatu Alfadzi al-Quran,
Inayatan Li al-Mubtadiin, jilid IV (Jakarta: Tri Burnama Utama Jakarta,1980), h.34.
18 19 pertolongan, cinta (mahabbah), kekuasaan atau kemampuan (al-sultah), yang artinya
kepemimpinan seseorang atas sesuatu. Ensiklopedi Hukum Islam, editor Abdul Aziz
Dahlan, mengartikan wilayah secara etimologis dengan dekat, mencintai, menolong,
mengurus, menguasai, daerah dan pemerintahan. 3 Kata waal/waliyy/waliyyan paling
tidak diulang-uang dalam al-Quran sebanyak 31 kali, sedangkan kata alwalayah dan
wilayah sebanyak 2 kali. 4 Berdasarkan pengertian etimologis tersebut, maka dapat
dipahami bahwa perwalian adalah suatu bentuk perlindungan dengan otoritas penuh
atas dasar tanggung jawab dan cinta kasih, untuk memberikan pertolongan atas
ketidakmampuan seseorang dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, baik yang
berhubungan dengan harta maupun dengan dirinya. 5
Dalam literatur-literatur fikih klasik dan kontemporer, kata al-wilayah
digunakan sebagai wewenang seseorang untuk mengelola harta dan mengayomi
seseorang yang belum cakap bertindak hukum. Dari kata inilah muncul istilah wali
bagi anak yatim, dan belum cakap bertindak hukum. Istilah al-wilayah juga dapat
berarti hak untuk menikahkan seorang wanita dimana hak itu dipegang oleh wali
nikah. 6
3
“Wilayah”, dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed.,Ensiklopedi Hukum Islam, vol.6 (Jakarta:
PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), h.1934.
4
Faydullah al-Hasani al-Maqdisi, Fathu ar-Raahman Li a-Thalib Ayat al-Quran, (Bandung:
Maktabah Dahlan, t,th), h.482.
5
Andi Syamsu dan Muhammad Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam
(Jakarta: Prenada Media Group,2008), h.151.
6
Ibid., h.152, lihat juga “Wilayah”, dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed.,Ensiklopedi Hukum
Islam, vol.6 (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), h.1934.
20 Sedangkan menurut ulama fikih, al-walayah adalah kekuasaan syara’ yang
dimiliki seseorang terhadap urusan orang lain tanpa tergantung pada izinnya. 7
Wahbah al-Zuhaili mendefinikan wilayah dengan pengurusan orang dewasa yang
cakap hukum terhadap diri atau harta seseorang yang belum cakap hukum, adapun
yang dimaksud
belum cakap hukum adalah seseorang yang belum sempurna
ahliyyah al-ada, 8 baik kerena hilangnya seperti belum mumayyiz atau naqisnya
(kurangnya), seperti mumayyiz. 9
Ulama fikih lain mendefinisikan wilayah dengan: “Wewenang seseorang
untuk bertindak hukum atas orang yang tidak cakap bertindak hukum, baik untuk
kepentingan peribadinya maupun untuk kepentingan hartanya, yang diizinkan oleh
syara. Orang yang masih dalam status ahliyyah al-wujub (hanya cakap menerima
hak), belum dan tidak cakap bertindak hukum sendiri perlu dibantu oleh seseorang
yang telah dewasa yang cerdas dalam mengayomi pribadi dan hartanya. Orang
membantu mengelola harta dan mengayomi orang yang belum atau tidak cakap
berbuat hukum dalam fikih Islam disebut wali. Apabila anak kecil atau orang gila
bertindak hukum sendiri , maka tindakan hukumnya tidak sah dan tidak menimbulkan
akibat hukum apa pun. Anak kecil, orang gila, dan orang-orang yang berada dibawah
pengampuan memerlukan orang yang dapat membantu mereka dalam melakukan
7
Ibid., h.152
8
Ahliyatul Ada adalah kelayakan mukallaf untuk dapat dianggap ucapan dan perbuatannya
meburut syara, lihat dalam Saifudin Shidik, Ushul Fikih (Jakarta: Intimedia. T.th), h.162.
9
h.7327.
Wahbah Zuhaily, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuh, Juz IX (Damsyiq : Dar El Fikr,1989),
21 tindakan hukum, baik yang menyangkut diri mereka sendiri, maupun terhadap harta
bendanya serta segala sesuatu yang bermanfaat untuk diri mereka. Dalam kaitan
inilah Islam mengemukakan konsep al-wilayah, sebagai pembantu orang-orang yang
masih dalam status ahliyyah al-wujub. Dari sudut ini wilayah sama dengan pengganti
atau wakil dalam bertindak hukum. 10
Ulama madzhab Hanafi mendefinisikan wilayah dengan merealisasikan atau
menjalankan perkataan/perbuatan orang lain, baik yang diinginkan atau tidak. 11
Adapun yang menjadi dasar hukum diadakannya perwalian yaitu Firman
Allah SWT Surat al-Baqarah ayat 282 : 12
⌧
☺
☺
☺
⌧
⌧
☺
☺
10
Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.153. lihat juga “Wilayah”, dalam
Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed.,Ensiklopedi Hukum Islam, h.1944
11
Zuhaily, al-Fiqhu al-Islami, h.7327
12
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.69.
22 Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah
seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis
enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia
menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan
ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia
mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang
lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu
mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika
tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari
saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang
mengingatkannya....Q.S. al-Baqarah: 282)”
Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA tentang perwalian dalam masalah
nikah:
‫ﻦ‬
ِ ْ‫ن ﺑ‬
ِ ‫ﺳَﻠﻴْ َﻤﺎ‬
ُ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ‫ﺞ‬
ٍ ْ‫ﺟ َﺮﻳ‬
ُ ‫ﻦ‬
ِ ْ‫ﻋﻦ اﺑ‬
َ ‫ﻋ َﻴﻴْ َﻨ َﺔ‬
ُ ‫ﻦ‬
ُ ْ‫ن ﺑ‬
ُ ‫ﺳﻔْ َﻴﺎ‬
ُ ‫ﺣ َﺪ َﺛ َﻨﺎ‬
َ ‫ﻋ َﻤ ٍﺮ‬
ُ ‫ﻦ َأ ِﺑﻲ‬
ُ ْ‫ﺣ َﺪ َﺛ َﻨﺎ اﺑ‬
َ
‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﺻَﻠﻰ ا‬
َ ‫ﷲ‬
ِ ‫لا‬
َ ْ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ن َر‬
َ ‫ َأ‬: ‫ﺸ َﺔ‬
َ ‫ﻋﺎ ِﺋ‬
َ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ‫ﻋﺮْ َو َة‬
ُ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ‫ﻋﻦْ اﻟ ُﺰهْ ِﺮي‬
َ ‫ﺳﻰ‬
َ ْ‫ُﻣﻮ‬
ٌ‫ﻃﻞ‬
ِ ‫ﺣ َﻬﺎ َﺑﺎ‬
ُ ‫ﻃﻞٌ َﻓ ِﻨ َﻜﺎ‬
ِ ‫ﺣ َﻬﺎ َﺑﺎ‬
ُ ‫ن َوِﻟ ِﻴ َﻬﺎ َﻓ ِﻨ َﻜﺎ‬
ِ ْ‫ﺤﺖْ ِﺑ َﻐﻴْ ِﺮ ِإذ‬
َ ‫ل َأ ُﻳ َﻤﺎ اﻣْ َﺮَأ ٍة َﻧ َﻜ‬
َ ‫ﺳَﻠ َﻢ َﻗﺎ‬
َ
‫ﺠ ُﺮوْا‬
َ ‫ﺟ َﻬﺎ َﻓﺈنْ اﺷْ َﺘ‬
ِ ْ‫ﻞ ِﻣﻦْ َﻓﺮ‬
َ‫ﺤ‬
َ ‫ﻞ ِﺑ َﻬﺎ َﻓَﻠ َﻬﺎ اﻟ َﻤﻬْ ُﺮ ِﺑ َﻤﺎ اﺳْ َﺘ‬
َ‫ﺧ‬
َ ‫ﻃﻞٌ َﻓﺈنْ َد‬
ِ ‫ﺣ َﻬﺎ َﺑﺎ‬
ُ ‫َﻓ ِﻨ َﻜﺎ‬
23 Artinya: Dari Aisyah RA berkata: Rasululah SAW bersabda: Wanita mana
saja yang dinikahi tanpa izin dari walinya, maka nikahnya itu batal, dan jika lelaki
telah mempergaulinya, maka ia wajib membayar mahar untuk kehormatan yang telah
dihalalkan darinya, maka apabila mereka bersengketa, Penguasa atau hakim dapat
menjadi wali bagi orang-orang yang tidak mempunyai wali (HR.Imam empat kecuali
Nasai dan dianggap sahih oleh Abu Awanah, Ibnu Hibban dan hakim).
B. Macam-macam Wilayah (Perwalian)
Wilayah ( Perwalian) itu terbagi atas beberapa bagian dengan istilah yang
berbeda-beda. 14
1. Dari sisi keumumannya, wilayah terbagi atas wilayah aam (umum) dan wilayah
khas khusus:
a. Wilayah aam (kekuasaan umum) yaitu kekuasaan imam/pemimpin, sultan
(penguasa) dan qadhi/hakim
b. Wilayah khas (kewalian/kekuasaan) yaitu perwalian ayah atau washi
(penerima wasiat) terhadap anak kecil. Atau wilayah kurator penanggung jawab atas
orang yang lemah akal dan gila.
13
Abu Daud hadis no 1880 Jilid 1 h.605, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, hadis no 13377, jilid
VII h.105, Sunan al-Tirmidzi hadis no 1102, Jilid III h.407, Musnad Asyafi’i Hadis no 1074 Jilid I
h.220, Musnad Ahmad hadis no 24372 Juz 40 h.435, Fath al-Bary Syarh Shohih Bukhary hadis no
1102 Jilid III h.407, lihat juga Ashanani, Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram Min Jam’i Adillah
al-Ahkam, Juz III (Mesir: Daar Fikr, 1991), h.228
14
Huzemah Tahido Yanggo, Fikih Anak, Metode Islam Dalam Mengasuh Dan Mendidik
Anak Serta Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktifitas Anak, (Jakarta: Almawardi Prima, 2004),
h.307
24 2. Dari sisi orangnya sendiri atau wali, terbagi atas wilayah qashirah dan
mutaaddiyah, 15 atau disebut juga wilayah asliyyah dan niyabah. 16
a. Wilayah qashirah (terbatas), yaitu kekuasaan seseorang atas dirinya sendiri.
b. Wilayah mutaaddiyah, (melintasi orang lain), Wilayah mutaaddiyah dari sisi
pelaku akad terbagi menjadi:
1). Kekuasaan pelaku akad (al-aaqid) untuk melakukan akad khusus oleh
dirinya sendiri dan melaksanakan hukum-hukumnya
2). Kekuasaan pelaku akad untuk melakukan akad khusus dengan yang
lainnya dengan menggunakan mandat dari syar’i (penetap syariat)
c. Wilayah muta’addiyah dari sisi mawla ‘alayh (yang diayomi/diwilayahi),
terbagi atas:
1). Wilayah ala al-nafs (kekuasaan mengurus jiwa), yaitu kekuasaan wali
dalam untuk melakukan akad pernikahan, dimana ia melaksanakan tanpa
izin oleh siapapun setelahnya.
2). Wilayah ala al-mal (kekuasaan mengurus harta), yaitu seperti
kekuasaannya untuk melakukan akad-akad khusus dengan harta benda,
dimana ia melaksanakan tanpa perkenan dari siapa pun juga.
3). Wilayah ala al-nafs wa al-mal (kekuasaan mengurus jiwa dan harta),
yaitu kekuasaan untuk melakukan apa yang mencakup jiwa dan harta
15
Ibid., h.307. lihat juga Mustafa al-Ba’i Dan Abdurrahman as-Shabuni, al-Ahwal asSyakhsiyyah Fi al-Ahliyyah Wa al-Washiyyah Wa at-Tirkaah, (Damaskus: Daaf Fikr, 1965), h.42.
16
Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.153 25 secara bersamaan, serta hukum-hukum apa yang berhubungan dengan
keduanya.
d. Wilayah mutaaddiyah dari sisi sifat penerimaannya terbagi menjadi: 17
1).
Wilayah
Ikhtiyariyyah
(sukarela),
yaitu
terbentuk
melalui
pendelegasian wewenang dari orang yang digantikan atau orang yang
diwakili, seperti wali anak yatim yang bukan dari keluarganya, atau
seseorang yang diberi wasiat oleh seorang ayah untuk menjadi wali bagi
anaknya.
2). Wilayah Ijbariyyah (paksaan), yaitu perwalian yang harus diterima
sesorang melalui pendelegasian syara ataupun hakim, seperti ayah atau
kakek. Dalam pengertian lain wilayah ijbariyah adalah perwalian yang
berlaku kepada yang berhak diwakilkan dengan cara paksa tanpa
mempertimbangkan keridhaannya. 18
Wahbah Zuhaili dalam bab wilayah memulai bahasannya tentang perwalian
dengan dua bagian, yaitu wilayah al-nafs dan wilayah al-mal. Adapun wilayah alnafs menurut beliau adalah, naungan atas orang yang belum cakap hukum pada
dirinya, dari memelihara dan menjaganya, mengajarkan dan mendidiknya serta
mengobati dan menikahkannya, dan lain sebagainya. Adapun wilayah al-mal ialah,
naungan atas seseorang yang belum cukup umur akan harta bendanya, dari
17
Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.154.
18
Huzemah Tahido Yanggo, Fikih Anak, h.313.
26 mengembangkannya, dan berbuat hukum darinya seperti jual beli, pinjam meminjam,
gadai dan lain sebagainya. 19
Abu Zahra, pengarang kitab al-Ahwal al-Syaksiyyah, membagi pembahasan
perwalian pada wilayah pendidikan dan pengasuhan (hadhanah), wilayah atas diri
dan penjagaannya serta wilayah al-mal. 20
Perwalian
dalam
pendidikan
dan
pengasuhan anak yang masih kecil masuk dalam permasalahan hadhanah
(pengasuhan anak), adapun setelah anak tersebut baligh dan mampu mengurus
dirinya sendiri, maka diberlakukan perwalian terhadap dirinyadan hartanya terhadap
segala perbuatan hukum.
C. Rukun dan Syarat Perwalian
1. Hak Dan Tanggung Jawab Perwalian Anak (mawla lah)
Pada prinsipnya, seorang wali dengan wewenangnya harus senantiasa
berorientasi kepada pemeliharaan dan kemaslahatan orang yang ada dibawah
pengampuannya. Namun, karena persoalan pribadi dan harta merupakan persoalan
yang cukup rumit, maka hukum syara’ menganjurkan agar yang menjadi wali adalah
berasal dari kalangan keluarga terdekat, seperti ayah atau pamannya, karena kedua
orang ini diperkirakan dapat memikul tanggung jawabnya secara penuh. Dalam
menetapkan siapa yang berhak menjadi wali, ulama fikih membagi sesuai dengan
19
20
Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamy, h.7327. Abu Zahra, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Mesir: Daar al-Fikr, 2005), h.453.
27 objek pewalian, seperti perwalian dalam masalah jiwa (pribadi yang di bawah
pengampuan).
Madzhab Syafi’iyyah menegaskan bahwa urutan orang-orang yang berhak
menjadi wali adalah sama dengan hierarkis orang-orang yang berhak menerima
kewarisan. Apabila ayah tidak ada, maka kakek pun dapat diberi tugas perwalian.
Dengan demikian, maka yang menjadi wali sebaiknya orang yang terdekat dengan
yang diwakili, persis seperti kerabat dekat yang dibahas dalam persoalan ahli waris.
Jika orang terdekat yang laki-laki tidak ada, maka hak perwalian urusan pribadi
biasanya ditangani pihak ibu. 21 Dalam permasalahan wilayah al-mal, ulama
Syafi’iyyah berpendapat bahwa yang berhak terhadap perwalian harta adalah ayah,
kakek, seseorang yang diberi wasiat oleh ayah atau kakek, qadhi atau pihak yang
berwenang dan tidak berlaku kepada selain orang tersebut kecuali ada wasiat adri
ayah atau qadhi. Ulama Syafi’iyyah ini berbeda dengan ulama lain, yaitu dengan
mengedepankan kakek terhadap seseorang yang diberi wasiat oleh ayah, karena
kakek seperti ayah dan ia lebih beser penjagaannya, oleh karena itu kakek ditetapkan
juga sebagi wali nikah manakala tidak ada ayah. 22
Dalam perwalian al-nafs, menurut Abu Hanifah yang berhak menjadi wali
bagi seseorang yang cakap hukum adalah anak, ayah, kakek, saudara laki-laki,
paman, artinya perwalian tersebut berdasarkan kepada ashobah dalam masalah waris,
21
Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.158.
22
Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami, h.7331., Mustafa al-Ba’i Dan Abdurrahman as-Shabuni, alAhwal as-Syakhsiyyah, h.43.
28 yaitu anak, ayah, saudara dan paman. Dan jika tidak ada salah satu dari ahli ashabah
tersebut, maka perwalian berpindah kepada ibu, kemudian dzawil arham yang lain.
Adapun dalam perwalian al-mal yang berhak, yaitu ayah, seorang yang diberi wasiat
oleh ayah, kakek, qadhi yang mewasiatkan sesorang. 23
Adapun dalam madzhab Makikiyyah, hak perwalian jatuh kepada anak, ayah,
wishaya (seseorang yg diberi wasiat), saudara, kakek, paman. Adapun hal dalam
wilayah al-nafs, yaitu anak, bapak, wishaya, saudara kandung dan anaknya, saudara
seayah dan anaknya, kakek, paman dan anaknya, dan diutamakan terhadap yang
sekandung, kemudian qadhi pada zamannya. Dalam wilayah al-mal, ulama Malikiyah
berpendapat, bahwa yang berhak menerima perwalian dalam masalah harta, yaitu
ayah, seseorang yang diberi wasiat oleh ayah, qadhi atau orang yang berhak, ummat
Islam apabila tidak ditemukan qadhi. Dalam wilayah al-mal ini ulama Malikiyah
sependapat dengan Hanabilah. 24
Madzhab Imamiyah, Imam Ja’far berpendapat dengan ayah dan kakek dalam
satu derajat yang sama, jika ayah dan kakek berbeda pendapat, maka yang di
dahulukan adalah kakek, karena ia lebih tua umurnya, kemudian seseorang yang
diwasiatkan oleh keduanya atau salah satunya, kemudian qadhi (hakim). 25
23
Ibid., h.7328. lihat juga Mustafa al-Ba’i Dan Abdurrahman as-Shabuni, al-Ahwal asSyakhsiyyah, h.43.
24
Ibid., h.1331. lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, Jilid III (Daar al-Saqafah alIslamiyah, t.t, t.th. h.283.
25
Mustafa al-Ba’i Dan Abdurrahman as-Shabuni, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, h.43.
29 Qanun (undang-undang) mesir, maadah (pasal) 1 menegaskan hak perwalian
terhadap harta anak dengan ayah, kakek jika tidak ada yang diberi wasiat oleh bapak
atas hartanya dan tidak boleh berbuat hukum atas harta tersebut kecuali dengan izin
pengadilan, qanun mesir ini sejalan dengan pendapat Abu Hanifah yang
mengedapankan wasiat ayah daripada kakek. Qanun Suriah menetapakan dengan
ayah, kakek ketika tidak ada bapak, selain keduanya tidak ada perwalian dalam harta
penjagaan, penggunaan maupun pengembangannya. 26 Nampaknya qanun suriah ini
menengahkan pendapat Abu Hanifah dan Asyafi’i, karena pasalnya jelas hanya untuk
ayah dan kakek saja, di pasal pasal 176 qanun Suriah menyatakan bahwa boleh bagi
ayah dan kakek dalam keadaan tidak ada keduanya, ayah mewasiatkan seseorang
yang dipilih. Qanun Maghrirbi, dalam undang-undang tentang ahwal asyakhsiyyah,
maadah (pasal) 149, menyatakan bahwa yang berhak dalam perwalian yang
ditetapkan syariat adalah ayah dan qadhi disebut wali, seseorang yang ditunjuk atau
wasiat oleh ayah, seseorang yang ditunjuk qadhi yang dinamakan dengan muqaddam,
dalam pasal 149, dinyatakan bahwa ayah adalah wali bagi diri dan harta orang yang
tidak cakap hukum sampai sempurnanya anak tersebut, qanun maghribi ini diambil
dari pendapat Maliki yang tidak memberikan wilayah kepada kakek. 27
Konsep perwalian dikalangan fikih empat madzhab kecuali Abu Hanifah
tampaknya ada persamaan, mereka sepakat bahwa hak perwalian hanya
26
Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami, h.7329.
27
Ibid., h.46
30 ☺
☺
⌧
☺
⌧
☺
⌧
⌧
⌧
Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena
Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah
memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari
jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha
besar.(QS al Nisa 34)
Namun menurut Montgomery Watt, konsep perwalian dari garis keturunan
laki-laki merupakan tradisi Arab-Mekkah yang diadopsi ke dalam sistem legalisme
28
Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.158. 31 Islam. berdasarkan pernyataan itu, bisa saja konsep perwalian dari garis laki-laki
tersebut merupakan pelanggengan fikih Islam terhadap konsep perwalian yang
diadopsi dari budaya masyarakat Arab-Mekkah yang patriarkhis sebab dalam alQuran dan Hadis, konsep perwalian seperti itu tidak pernah diungkapkan secara
eksplisit. 29
Adapun mengenai persyaratan wali, Uama fikih mengemukakan beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang agar ia dapat menjadi wali bagi orang
yang tidak atau belum cakap bertindak hukum. Syarat-syarat dimaksud adalah: 30
1. Baligh, yaitu orang yang telah dewasa dan berakal, serta cakap bertindak
hukum.
2. Agama wali sama dengan agama dengan orang yang diampunya, karena
perwalian nonmuslim tidak sah bagi muslim.
3. Adil, dalam artian istikqamah dalam agamanya, akhlaknya baik, dan
senantiasa memelihara kepribadiannya.
4. Wali mempunyai kemampuan untuk bertindak dan memelihara, amanah,
karena perwalian itu bertujuan untuk mencapai kemaslahatan orang yang
diampunya.
5. Wali senantiasa bertindak untuk kemaslahatan orang yang diampunya.
29
30
Ibid. h.159
Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami, h.7329. lihat juga “Wilayah”, dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk,
ed.,Ensiklopedi, h.7329. 32 Dalam wilayah al-mal, Wahbah Zuhaili selain mensyaratkan seperti
disebutkan diatas, lebih jauh lagi mensyaratkan seseorang yang akan menjadi wali
atau pengampu bagi orang lain dalam masalah hartanya ialah harus seorang yang
kecakapan hukumnya sempurna dengan baligh, berakal, mempunyai kebebasan,
karena ketiadaan hal tersebut menyebabkan ketiadaan wewenang terhadap hartanya
sendiri, terlebih terhadap harta yang diampunya, tidak seorang yang safih, mubadzir
dan mahjur (orang yang terhalang menggunakan harta), dan juga seagama dengan
yang diampu. 31
2. Orang-orang Yang Harus Mendapatkan Perwalian (Mawla ‘Alayh)
Ulama fikih menyatakan bahwa orang-orang yang harus berada di bawah
perwalian itu adalah orang-orang yang belum atau tidak cakap bertindak hukum.
Mereka itu adalah anak kecil, orang gila serta orang bodoh.
Anak kecil, sifat kecil jika dihubungkan dengan perwalian hak milik dan
larangan bertindak sendiri, sebenarnya ada dua tingkatan, pertama kecil dan belum
mumayyiz. Dalam hal ini anak itu sama sekali tidak memiliki kemampua untuk
bertindak, jadi tidak sah kalau misalnya ia membeli apa-apa, atau memberikan apaapa kepada orang lain, kata-katanya sama sekali tidak dapat dijadikan pegangan , jadi
segala-galanya berada di tangan wali. Kedua, kecil dan sudah mumayyiz, dalam hal
ini si kecil itu kurang kemampuannya untuk bertindak, namun sudah punya
kemampuan, oleh sebab itu kata-katanya sudah dapat dijadikan pegangan dan sudah
sah kalau ia membeli atau menjual atau memberikan apa-apa kepada orang lain.
31
Ibid., h.7333.
33 Maka dalam soal menerima pemberian orang, menerima harta yang diwasiatkan, dan
juga menerima harta wakaf, anak itu sudah sah bertindak tanpa perlu minta izin
kepada wali, tetapi dalam soal membeli, menjual atau memberikan apa-apa kepada
orang lain, masih diperlukan adanya izin wali bahkan, jika tindakannya itu
membahayakan hartanya, maka dihukumkan batal, misalnya memberikan sumbangan
yang banyak dengan segala macam bentuknya.
Anak yang mumayyiz ialah anak yang sudah mencapai usia mengerti tentang
akad, transaksi secara keseluruhan, ia mengerti maksud kata-kata yang diucapkannya,
mengerti jual beli, rugi dan untung. Biasanya usia anak itu sudah genap 7 (tujuh)
tahun, jadi jika anak tersebut belum genap tujuh tahun dihukumkan belum mumayyiz,
walaupun ia mengerti tentang istilah-istilah menjual dan membeli. Sebaliknya
terkadang anak sudah mencapai umur tujuh tahun , tetapi masih belum mengerti
tentang jual beli dan sebagainya.
Hukum anak kecil tersebut tetap berlaku hingga ia dewasa. Inilah yang
dimaksud dengan Firman Allah SWT:
☺
⌧
⌧
⌧
☺
34 ⌧
⌧
Artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.
Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara
harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu
makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesagesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara
pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak
yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut
yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka
hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan
cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).(Q.S.al-Nisa : 6)
Jadi untuk mengadakan transaksi yang sempurna, haruslah ditunggu sampai
anak itu dewasa. Dan dewasa disini maksudnya cukup umur untuk berketurunan, dan
muncul tanda laki-laki dewasa pada anak. Inilah dewasa yang wajar, yang biasanya
belum ada sebelum anak putera berumur 12 (dua belas) tahun, dan anak puteri
berumur 9 (sembilan) tahun.
Kemudian anak yang sudah melewati umur seperti yang disebutkan diatas
tetapi belum tampak gejala-gejala yang menunjukkan bahwa ia sudah dewasa, maka
baik putera ataupun puteri, kedua-duanya sama, ditunggu hingga mereka berumur 15
(lima belas) tahun menurut pendapat Abu Yusuf dan Muhammad ibnu Hasan,
menurut Abu Hanifah ditunggu hingga 18 tahun untuk putera dan 17 tahun untuk
puteri. Ketentuan ini di ambil dari hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bnu Umar:
35 ‫ﻲ‬
ِ ‫ﻋَﻠﻰ اﻟ َﻨ ِﺒ‬
َ ‫ﺖ‬
ُ ْ‫ﻋ ِﺮﺿ‬
ُ ‫ل‬
َ ‫ﻋ َﻤ ٍﺮ َﻗﺎ‬
ُ ‫ﻦ‬
ِ ْ‫ﻋﻦ اﺑ‬
َ ‫ﻋﻦْ َﻧﺎ ِﻓﻊ‬
َ ‫ﻋ َﻤ ٍﺮ‬
ُ ‫ﻦ‬
ِ ْ‫ﷲ ﺑ‬
ِ ‫ﻋ َﺒﻴْ ِﺪ ا‬
ُ ‫ﻋﻦ‬
َ
‫ﺠﺰْ ِﻧﻲ‬
ِ ‫ﺳ َﻨ ًﺔ َﻓَﻠﻢْ ُﻳ‬
َ ‫ﺸ َﺮ َة‬
َ‫ﻋ‬
َ ‫ﻦ َأرْ َﺑ ِﻊ‬
ُ ْ‫ﺣ ٍﺪ َوَأ َﻧﺎ اﺑ‬
ُ ‫ﺳَﻠ َﻢ{ َﻳﻮْ َم ُأ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو‬
َ ‫ﷲ‬
ُ ‫ﺻَﻠﻰ ا‬
َ }
32
(‫ﺟﺎ َز ِﻧﻲ )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ‬
َ ‫ﺸ َﺮ َة َﻓﺄ‬
َ‫ﻋ‬
َ ‫ﺲ‬
ِ ْ‫ﺧﻤ‬
َ ‫ﻦ‬
ُ ْ‫ق َوأ َﻧﺎ اﺑ‬
ِ ‫ﺨﻨْ َﺪ‬
َ ‫ﻋﺎ َم اﻟ‬
َ ‫ﻋَﻠﻴْ ِﻪ‬
َ ‫ﺖ‬
ُ ْ‫ﻋ ِﺮﺿ‬
ُ ‫َو‬
Artinya: “Saya dihadapkan kepada Rasulullah SAW untuk mendaftar perang
Uhud, dan pada saat itu saya berumur 14 (empat belas) tahun, lalu beliau tidak
memperbolehkan saya ikut, kemudian saya dihadapkan kepada beliau untuk ikut
perang Khandaq, sedang saya waktu itu berumur 15 (lima belas) tahun, maka beliau
membolehkan saya ikut berperang” (Hadis Muttafaq alayh)
Peristiwa Abdullah ibnu Umar ini merupakan alasan bahwa lima belas tahun
adalah ukuran umur untuk dewasa, dan ukuran ini sama bagi laki-laki dan wanita,
laki-laki dianggap cukup kuat untuk berperang. Abu Hanifah mengambil alasan dari
Firman Allah SWT :
⌧
⌧
☺
⌧
Artinya:
“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih
bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan
dengan adil. kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar
kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil,
32
Futuh al-Humaydi, al-Jam’u Bayna al-Shahihayn al-Bukhari Wa Muslim, Jilid II (Beirut:
Dar Ibnu Hibban, 2002) h.158 lihat juga Ashanani, Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram Min Jam’i
Adillah al-Ahkam, Juz III (Mesir: Daar Fikr, 1991), h.228.
36 Beliau mengatakan, bahwa kata
‫أﺷﺪﻩ‬
yang diterjemahkan dewasa, itu
maksudnya dewasa dan matang, yaitu pada umur 18 tahun. hanya saja dikurangi satu
tahun untuk anak puteri, karena biasanya puteri lebih cepat dewasa, usia dewasanya
lebih rendah dari putera.
Sedang dewasa dengan istilah ‫ رﺷﺪ‬, maksudnya sanggup bertindak dengan
baik dalam mengurus harta dan menafkahkan harta tersebut sesuai dengan pikiran
yang waras, tindakan yang bijaksana, dan peraturan agama. Dan hal ini berbeda-beda
menurut keadaan anak dan perkembangan masa. Apa yang ditetapkan fikih hanyalah
standard yang relatif dan pelaksanaannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim di
suatu daerah seperti Mesir menetapkan batas usia anak dianggap dewasa untuk
mengurus harta bendanya adalah 21 tahun, jika belum mencapai itu, anak dianggap
belum mampu. 33
Kalau misalnya gejala-gejala kedewasaan jasmaniyah sudah nampak, tetapi
gejala kedewasaan pikiran belum, maka anak tersebut berada dalam pengawasan
walinya, walaupun usianya sudah lanjut. 34
Orang gila atau dungu, apabila seseorang mulanya tidak gila atau dungu
kemudian ia gila atau dungu, maka yang berhak menjadi walinya , menurut ulama
33
Zakariya Ahmad al-Bary, Hukum Anak-Anak Dalam Islam. Penerjemah Chadijah Nasution
(Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h.117.
34
Ibid., h.117.
37 Mazhab Hanafi dan Syafi’i adalah walinya sebelum ia baligh, yaitu ayah, kakek atau
washi mereka. Akan tetapi ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Hanbali mengatakan
bahwa wali yang telah baligh, cerdas, lalu tiba-tiba menjadi gila atau dungu adalah
hakim, tidak kembali kepada ayah, kakek atau washi karena hak perwalian mereka
telah gugur setelah baligh, berakal dan cerdasnya anak itu.
Adapun orang bodoh (al-Safih) yang dalam bahsa arab berarti tidak berilmu,
bodoh, atau berakhlak buruk, ringan dan bergerak. Yaitu suatu kondisi dmana
seseorang kemampuan berfikirnya rendah atau lemah, membawa seseorang
melakukan hal-hala yang tidak sesuai dengan akal dan syara. 35 Dalam kata lain safih
adalah orang yang tidak cakap mengelola harta dan membelanjakannya secara baik. 36
Para ulama madzhab, kecuali Abu Hanifah, sepakat bahwa orang safih harus
dicegah dari membelanjakan hartanya. Keadaannya adalah seperti anak kecil dan
orang gila, kecuali bila memang dalam membelanjakan hartanya itu dia memperoleh
izin dari walinya. Akan tetapi ia memiliki kebebasan mutlak dalam bertindak yang
sedikit atau banyak, tidak berhubungan dengan masalah harta. Orang safih tidak akan
lepas dari penahanan haknya itu hingga ia menjadi dewasa dan mengerti. Ini
berdasarkan Firman Allah SWT :
⌧
☺
35
Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.160.
36
Jawad Mughniyyah, Fikih Lima Madzhab, Penerjemah Masykur, dkk (Jakarta: Lentera
Baristama, 2000), h.688.
38 ☺
⌧
⌧
⌧
☺
⌧
⌧
Artinya:
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna
akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai
pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan
ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.
Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian
jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka
serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak
yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa
(membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara
itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu)
dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut.
Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu
adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah
sebagai Pengawas (atas persaksian itu).(QS al Nisa 5-6)
Pendapat tersebut diatas dikemukakan oleh Syafi’i, Maliki, Hambali, Abu
Yusuf, Muhammad dan Imamiyah. 37
37
Ibid., h.688-689. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fikih al Sunnah, h.278
39 Sementara itu Abu Hanifah mengatakan bahwa kedewasaan bukanlah
merupakan persyaratan bagi penyerahan harta kepada pemiliknya, dan tidak pula bagi
sahnya tindakan-tindakan hukum yang berkaitan dengan harta benda. Kalau
seseorang mencapai usia baligh dan dia mengerti lalu mengalami ke-safih-an, maka
tindakan-tindakannya dinyatakan sah dan tidak dibenarkan menghalang-halanginya,
bahkan seandainya usianya belum menginjak dua puluh lima tahun. Demikian pula
halnya bila seseorang mencapai usia baligh tetapi dia belum mengerti (safih), dimana
kesafihannya itu merupakan kelanjutan dari masa kecilnya dalam keadaan seperti ini,
ketika dia berumur dua puluh lima tahun, dia tidak boleh lagi. 38 Dan sebagai bukti
bahwa orang yang dungu itu tidak ditahan hartanya, bahwa ia juga dituntut untuk
mengerjakan perintah-perintah agama, sebagai seorang mukallaf, termasuk misalnya
menyempurnakan janji, yang disebutkan dalam al-Quran. 39
3. Ruang Lingkup Dan Batasan Perwalian (Mawla Bih)
Seperti penulis jelaskan bahwa pembagian wilayah menurut mawla alayh atau
objek yang menjadi hal perwalian adalah terbagi menjadi wilayah al-nafs dan wilayah
al-mal, serta wilayah al-nafs dan al-mal secara bersamaan. Menurut Zakariya Ahmad
al-Bary, paling tidak anak sete;ah dilahirkan berlaku terhadapnya 3 (tiga) macam
38
Ibid., h.689.
39
Zakariya Ahmad al-Bary, Hukum Anak-Anak Dalam Islam. Penerjemah Chadijah Nasution
(Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h.118.
40 perwalian yaitu, perwalian terhadap urusan mengasuh dan menyusukannya, perwalian
terhadap dirinya perwalian terhadap hak miliknya. 40
Dalam masalah perwalian al-nafs termasuk segala urusan yang berhubungan
dengan usaha memelihara anak, menjaga anak dan merawatnya. Jadi wali
menggabungkan anak itu ke dalam keluarganya setelah masa mengasuh, yang
dilaksanakan oleh kaum wanita, keluarga anak itu. Anak tidak boleh tinggal
sendirian, atau tinggal bersama orang yang bukan walinya, kecuali jikaia sudah
dewasa, sudah dapat memelihara kesejahteraan dirinya sendiri, kalau anak itu lakilaki dan pada usia yang diperkirakan ia sudah dapat menjaga keselamatan dirinya,
dan ia sudah memiliki kecakapan untuk mencari nafkah juga kebijaksanaan dan
kemampuan untuk menjaga kehormatan dirinya.41
Maka dalam tugas perwalian ini termasuk urusan mendidik anak,
mencerdaskan
pikirannya
dan
mengarahkan
bakatnya
untuk
mempelajari
keterampilan, atau melanjutkan sekolahnya ke sekolah-sekolah kejuruan, atau ke
fakultas yang sesuai bakatnya. Pengawasan terhadap diri anak itu juga mencakup hak
untuk menikahkan anak kecil, putera putri, atau menghalanginya.
40
Ibid., h.106.
41
Ibid., h.107.
41 Adapun dalam perwalian harta atau hak milik anak, mencakup transaksi dan
akad yang berhubungan dengan hak milik anak yang diwalini, diantaranya menjual,
membeli, mempersewakan, meminjamkan dan sebagainya.42
Kekuasaan wali terhadap harta dan diri anak yaitu disesuaikan dengan
kebutuhan pada setiap waktu dankeadaan yang berbeda-beda, dan hal tersebut
dilandaskan kepada kasih sayang dan kemaslahatan anak. Oleh sebab itu batas-batas
kekuasaan mereka adalah disesuaikan dengan keadaan. 43
Ruang lingkup perwalian, dilihat dari segi tingkatan kewenangannya, ulama
fikih membaginya kepada 4 (empat) bentuk. 44
1. Wewenang wali yang bersifat kuat dan kokoh dalam urusan pribadi,
(syakhsiyyah, personal affair), seperti wali dapat memaksa orang yang
dibawah ampuannya untuk kawin, mengajar, atau melakukan pengobatan
berat seperti operasi. Wewenang seperti ini hanya ada pada wali yang
bertalian keturunan erat dengan orang yang berstatus ahliyyah al-wujub
seperti ayah atau kakek.
2. Wewenang wali yang bersifat lemah terhadap urusan pribadi seseorang yang
ada dibawah pengampuannya, yaitu hanya mengawasi dan mendidiknya.
Dalam status seperti ini seorang wali tidak dapat melakukan tindakan
spekulatif yang banyak mengandung resiko terhadap orang yang dibawah
42
Ibid., h.113.
43
Ibid., h.123.
44
Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.168. 42 pengampuannya. Wali seperti ini adalah kerabat dekat orang yang berada di
bawah pengampuan tersebut, tetapi bukan ayah, kakek, saudara laki-laki, dan
paman.
3. Wewenang wali yang lemah dalam masalah pribadi dan bersifat kuat dalam
masalah harta kekayaan orang yang dibawah pengampuannya asal dengan
tujuan untuk keuntungan pemilik harta itu, bukan untuk si pengampu (wali).
Wali seperti ini adalah orang-orang yang diberi wasiat oleh ayah, kakek,
saudara laki-laki, atau paman.
4. Wewenang wali bersifat lemah terhadap pribadi dan harta. Orang yang berada
dalam pengampuannya tetapi kuat dalam masalah pribadi, yaitu sekedar
memlihara hartanya tanpa boleh dibolehkan memperdagangkannya, serta
membelanjakan harta tersebut sekedar biaya yang diperlukan orang yang
diampunya. Wali seperti ini adalah para kerabat jauh dari orang-orang yang
berada di bawah ampuan itu.
Apabila keluarga terdekat tidak ada lagi yang dapat dijadikan wali, atau ayah
yang belum cakap hukum tidak meninggalkan wasiat untuk menunjuk siapa yang
bertindak sebagai penggantinya, maka hak perwaliannya berpindah tangan kepada
penguasa atau hakim. Perpindahan hak perwalian dalam kasus seperti ini didasarkan
pada hadis Rasulullah SAW:
‫ﻦ‬
ِ ْ‫ن ﺑ‬
ِ ‫ﺳَﻠﻴْ َﻤﺎ‬
ُ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ‫ﺞ‬
ٍ ْ‫ﺟ َﺮﻳ‬
ُ ‫ﻦ‬
ِ ْ‫ﻋﻦ اﺑ‬
َ ‫ﻋ َﻴﻴْ َﻨ َﺔ‬
ُ ‫ﻦ‬
ُ ْ‫ن ﺑ‬
ُ ‫ﺳﻔْ َﻴﺎ‬
ُ ‫ﺣ َﺪ َﺛ َﻨﺎ‬
َ ‫ﻋ َﻤ ٍﺮ‬
ُ ‫ﻦ َأ ِﺑﻲ‬
ُ ْ‫ﺣ َﺪ َﺛ َﻨﺎ اﺑ‬
َ
‫ﷲ‬
ُ ‫ﺻَﻠﻰ ا‬
َ ‫ﷲ‬
ِ ‫لا‬
َ ْ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ن َر‬
َ ‫ َأ‬: ‫ﺸ َﺔ‬
َ ‫ﻋﺎ ِﺋ‬
َ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ‫ﻋﺮْ َو َة‬
ُ ْ‫ﻋﻦ‬
َ ‫ﻋﻦْ اﻟ ُﺰهْ ِﺮي‬
َ ‫ﺳﻰ‬
َ ْ‫ُﻣﻮ‬
43 Artinya: Dari Aisyah RA berkata: Rasululah SAW bersabda: Wanita mana
saja yang dinikahi tanpa izin dari walinya, maka nikahnya itu batal, dan jika lelaki
telah mempergaulinya, maka ia wajib membayar mahar untuk kehormatan yang telah
dihalalkan darinya, maka apabila mereka bersengketa, Penguasa atau hakim dapat
menjadi wali bagi orang-orang yang tidak mempunyai wali (HR.Imam empat kecuali
Nasai dan dianggap sahih oleh Abu Awanah, Ibnu Hibban dan al-Hakim).
Akan tetapi, perlu digaris bawahi bahwa kekuasaan penguasa atau hakim
sebagai wali bagi orang yang belum cakap hukum merupakan kekuasaan yang
bersifat umum yang sifatnya tidak begitu kuat. Dalam kaitan ini ulama mengatakan
bahwa perwalian yang bersifat khusus (seperti ayah, paman, kakek, atau orang yang
diberi wasiat oleh ayahnya jika menunggal dunia) lebih kuat daripada perwalian
umum (penguasa atau hakim). 46
D. Penetapan Orang Tua Sebagai Wali Bagi Anak
Pada dasarnya ayah adalah penjaga bagi anaknya yang belum cakap hukum,
hal ini dapat terjadi apabila dalam keadaan seorang ayah yang dapat dipercaya dan
45
Sunan Abi Daud hadis no 1880 Jilid 1 h.605, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, hadis no 13377,
jilid VII h.105, Sunan al-Tirmidzi hadis no 1102, Jilid III h.407, Musnad Asyafi’i Hadis no 1074 Jilid I
h.220, Musnad Ahmad hadis no 24372 Juz 40 h.435, Fath al-Bary Syarh Shohih Bukhary hadis no
1102 Jilid III h.407, lihat juga Ashan’ani, Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram Min Jam’i Adillah
al-Ahkam, Juz III (Mesir: Daar Fikr, 1991), h.228
46
Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.169.
44 baik dalam perbuatan hukum dalam menjaga anak dan segala yang berkaitan dengan
muamalah-nya. Adapun mengenai seorang ayah yang dikenal dengan keadilannya
dan baik akhlaknya, namun terkadang hal tersebut tidak diketahui secara nampak,
maka ayah tersebut dianggap sebagai seorang yang adil dan hak perwalian baginya
adalah tetap atas harta anaknya. Para ulama membagi hak dan kewajiban ayah
terhadap perwalian harta anak yang belum cukup umur sebagi berikut: 47
a. Menjaga harta anaknya yang belum cakap hukum
b. Mengembangkan dan berbuat hukum darinya, seperti jual beli
c. Tidak dibolehkan tabarru atau mengambil kontribusi untuk dirinya
dari harta yang diampu.
d. Memanfaatkan harta tersebut serta mengembalikannya atas apa yang
telah dijadikan nafkah bagi mereka secara khusus.
e. Menggadai atau menahan harta tersebut.
Orang tua secara langsung mendapatkan hak dan berkewajiban sebagai wali,
apabila mereka mampu dan cakap hukum. Adapun permohonan penetapan orang tua
sebagai wali bagi anak-anak mereka, Atharablusi menjelaskan dengan membagi
perkara pengadilan kepada sesuatu yang harus dengan hukum hakim dan sesuatu
yang tidak termasuk ke dalam hukum hakim. Sesuatu yang membutuhkan kepada
hukum hakim seperti seorang yang muflis dari hutang yang mana hijr terhadap
dirinya membutuhkan ketetapan hakim. Adapun perkara yang telah jelas dari syariat,
47
Mustafa al-Ba’i Dan Abdurrahman as-Shabuni, al-Ahwal as-Syakhsiyyah, h.60. 45 seperti keharaman mahram dalam nikah yang disepakati, permasalahan ibadah,
thaharah adalah tidak diperlukan adanya penetapan hakim. 48 orang tua yang cakap
hukum sebagai wali bagi anaknya adalah permasalahan yang telah jelas dari syariat
dan telah disepakati oleh ulama seperti penulis terangkan pada bab orang yang berhak
menjadi wali, bahwa beberapa ulama sepakat akan orang tua, terutama pihak laki-laki
secara otomatis adalah wali terhadap anaknya yang belum dewasa.
Disamping itu, apabila penetapannya dalam ranah kepentingan yang lain,
seperti izin membelanjakan harta anak, atau seorang orang tua yang diri atau harta
anaknya dalam kekuasaan orang lain, dan ia meminta penetapan bahwa anak dan
harta tersebut dibawah perwaliannya, maka hal tersebut termasuk perkara yang
membutuhkan penetapan perwalian, dalam hal ini, menurut Atharablusi termasuk
permohonan atau perkara yang mengandung hukum dan tujuan yang jelas, yang mana
hal tersebut adalah salah satu syarat adanya permohonan. 49 Dari aspek subjek
hukumnya, permohonan tersebut termasuk permohonan untuk orang yang dalam hijr
atau perwaliannya. 50 hal tersebut juga termasuk perkara yang mengandung hukum
dengan tujuan yang jelas.
E. Berakhirnya Perwalian
48
Ala’uddin abu al-Hasan Ali bin Khalil Atharablusi, Muayyanul Hukkam Fi Ma Yataraddadu
Bayna al-Khasmayni Min al-Ahkam , Jilid I(Beirut: Dar Kutub Ilmiyah, 1995). h. 109-109.
49
Ibid., h. 148-149
50
Ibid., h.240.
46 Wewenang perwalian akan, baik yang menyangkut masalah pribadi maupun
masalah harta yang diampu, akan berakhir apabila penyebab seseorang ditetapkan di
bawah pengampuan walinya hilang. 51
Berakhirnya perwalian terhadap diri seseorang menurut ulama Hanafiyah
dengan sampai umurnya 15 (lima belas) tahun atau dengan nampaknya tanda-tanda
balighnya secara alami serta orang tersebut cerdas dan dapat dipercaya terhadap
dirinya, jika tidak, maka ia tetap dalam penguasaan seorang pengampu. Adapun
untuk anak kecil perempuan, maka hak wilayahnya akan berakhir apabila ia nikah,
dan apabila ia nikah, maka hak tanggungannya menjadi kepada suami dan jika ia
tidak menikah, maka wilayahnya akan berakhir pada umur yang dapat dipercaya, dan
ia boleh tinggal sendirian atau tetap bersama orang tuanya. Ulama Hanafyah tidak
menetapkan batasan umur dalam hal ini. 52
Adapun Ulama Malikiyah berpendapat berakhirnya perwalian seseorang
terhadap dirinya dengan hilang sebabnya. Adapun sebabnya yaitu belum dewasa
(masih kecil) dan yang semakna dengan itu, yaitu gila dan sakit. Adapu untuk wanita,
maka berakhirnya dengan pernikahannya. 53
51
Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.170.
52
Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamy, h.7330.
53
Ibid., h.7331
47 Pengadilan mesir dan suriah membolehkan seorang wanita berdiri sndiri pada
umur rusyd (21 tahun di mesir, dan 18 tahun di suriah) untuk tinggal sendirian jika
telah dipercaya dan tidak menimbulkan fitnah. 54
F. Hikmah Dan Tujuan Perwalian Anak
Allah SWT sebagai penetap syariat bagi umat manusia memberikan suatu
hukum bagi seorang yang tidak cakap hukum, seperti gila atau lemah akalnya dengan
menahan hartanya atau hijr, sehingga hartanya terjaga dari tangan yang membawa
kepada negatif, tipu daya, kebatilan dan curang, serta untuk menjaga dari perbuatan
hukum yang jelek dari dirinya. 55
Mengenai hal tersebut diatas, Allah SWT memberikan amanah kepada
seseorang sebagai wakil dalam menjalankan tugas untuk menjaga, mengelola dan
sebagainya yang membawa kepada kemaslahatan bagi seorang yang diampu, hal ini
sejalan dengan diantara tujuan hukum syariat, yaitu hifz al-nafs (menjaga diri) serta
hifz al-mal (menjaga harta) yang mana kedua hal tersebut merupakan hal yang pokok
dalam kehidupan seseorang untuk menjaga dari memakan harta orang lain dengan
tidak benar, melarang orang bodoh dan pelupa bermuamalah, menolak bahaya dan
mengharamkan riba. 56
Selain hal diatas, menurut penulis perwalian juga sebagai ukhuwah islamiyah
(persaudaraan muslim) bagi seseorang tidak memiliki kedua orang tua atau kerabat
54
Ibid., h.7331
55
Ali al-Jurjani, Hikmah al-Tasyri Wa Falsafatihi, Jilid II (Mesir: Daar al-Fikr), h.170.
56
Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, Penerjemah Ma’ruf Asrori (Jakarta: Pustaka
Amani, 2003), h.296.
48 dekat, memupuk rasa kasih sayang terhadap seseorang yang membutuhkan, terlebih
terhadap ayat yatim sesuai dengan hadis keutamaan memelihara dan menjaganya.
BAB III
PERWALIAN ANAK DALAM PANDANGAN HUKUM POSITIF DI
INDONESIA
A. Pengertian dan Dasar Hukum Perwalian
Dalam perundang-undangan di Indonesia pengertian perwalian terdapat dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 1 poin (h), yang menjelaskan bahwa perwalian
adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu
perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak
mempunyai kedua orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan
hukum. 1 Nampaknya perwalian yang dimaksud peraturan ini adalah perwalian secara
khusus, yaitu apabila seorang anak tidak mempunyai kedua orang tua, atau
mempunyai kedua orang tua yang tidak cakap bertindak hukum. Dalam Undangundang Perlindungan Anak, Pasal 1 poin lima (5), wali adalah orang atau badan yang
dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak. 2
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada juga disebutkan pengertian dari
Perwalian itu, yaitu pada pasal 330 ayat (3) menyatakan perwalian dengan:
“Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua,
berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian
ketiga,keempat, kelima dan keenam bab ini”.
1
2
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), h.2
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 Poin (5)
48 49 Perwalian diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata bab XV
tentang kebelum dewasaan dan perwalian pasal 330-432, Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 50-54, Kompilasi Hukum Islam pasal 1 poin
(h), pasal 107-112, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perlindungan
Anak, pasal 30-36.
Pembagian perwalian nampaknya dibedakan menjadi dua bagian, pertama
wali nikah secara khusus dan kedua perwalian terhadap anak, baik terhadap dirinya
maupun hartanya. 3
B. . Hak dan Tanggung Jawab Perwalian Anak
Kompilasi Hukum Islam pasal 98, poin (3), menerangkan bahwa
pemeliharaan anak yang mana kedua orang tuanya tidak mampu, pengadilan dapat
menunjuk salah seorang dari kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban
tersebut, namun di pasal yang lain, yaitu pasal 108 menerangkan bahwa orang tua
dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian
atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia. Namun
hal tersebut tampaknya untuk perwalian masalah diri dan harta, adapun untuk wali
nikah, berdasarkan pada pasal 21, yaitu kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas
(ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya), kelompok kerabat saudara laki-laki
kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka, kelompok
kerabat paman, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah
3
Kompilasi Hukum Islam, pasal 19 dan 107
50 dan keturunan laki-laki mereka. 4 Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan, pada pasal 51 ayat (1) dinyatakan bahwa wali dapat
ditunjuk oleh salah satu orang tua yang menjalankan kekusaan orang tua sebelum ia
meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi. Dan
pada pasal yang sama ayat (2) dinyatakan, bahwa wali sedapat-dapatnya diambil dari
keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa berpikiran sehat, adil, jujur,
dan berkelakuan baik. 5
Peraturan di Indonesia ini mengatur, bahwa yang berhak menjadi wali adalah
kedua belah pihak orang tua, kemudian seseorang yang ditunjuk atau diwasiatkan
oleh orang tua, kerabat dekat kemudian seseorang atau badan hukum yang ditunjuk
pengadilan. 6
Adapun persyaratan seorang wali dalam masalah diri secara umum serta masalah
harta adalah, dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik. 7 Peraturan
tersebut tidak mensyaratkan seorang wali harus seagama dengan orang yang
diampunya, hanya saja dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, pasal 51 ayat 3, mengharuskan seorang wali untuk menghormati agama
dan kepercayaan seorang anak yang diampunya. Namun dalam perwalian nikah
4
Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia,2009)
5
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Bandung: Nuansa Aulia,2009)
6
Ibid. h.32
7
Islam pasal Kompilasi Hukum Pasal 107 (4),Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, Pasal 51 (2), (Bandung: Nuansa Aulia,2009)
51 secara khusus, berdasarkan pada pasal 20 Kompilasi Hukum Islam, bahwa seorang
wali nikah harus memenuhi syarat seorang laki-laki, muslim, aqil dan baligh. 8
C. Orang Yang Berhak Mendapat Perwalian
Mengenai seseorang yang harus mendapat perwalian adalah terbagi menjadi
dua, perwalian nikah serta perwalian diri secara umum dan harta. Dalam perwalian
nikah (diri secara khusus), berdasar pada pasal 19 Kompilasi Hukum Islam, yaitu
sebagian rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak
menikahinya. Adapun perwalian terhadap masalah diri secara umum dan dalam
masalah harta yaitu terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau
belum pernah melangsungkan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam, dan
anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum pernah melangsungkan pernikahan,
yang tidak dibawah kekuasaan orang tua menurut Undang-undang Nomor 1 tahun
1974 tentang Perkawinan, pasal 50 ayat (1). 9
D. Ruang Lingkup Dan Batasan Perwalian.
Objek perwalian meliputi perwalian nikah, perwalian terhadap diri dan harta
terhadap anak yang belum cakap umur.
Dalam perwalian terhadap diri dan harta terhadap anak yang belum atau tidak
cakap hukum yaitu seorang wali berkewajiban utuk mengurus diri dan harta,
memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untu masa
8
9
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 20. (Bandung: Nuansa Aulia,2009) h.7
Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
(Bandung: Nuansa Aulia,2009) h.7, 95
52 depannya, dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang
ada di bawah perwaliannya kecuali perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang
yang berada dibawah perwaliannya, mengganti harta tersebut akibat kesalahan atau
kelalaiannya serta wali dapat menggunakan harta tersebut sepanjang diperlukan
untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma’ruf kalau wali fakir. 10
E. Penetapan Orang Tua Sebagai Wali Terahadap Anak
Peraturan di Indonesia menetapakan bahwa pada dasarnya orang tua adalah
yang berhak dan secara otomatis menjadi wali bagi anaknya, orang tua mewakili anak
mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan luar pengadilan, orang tua
berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau
dibawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya
kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu
menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi, serta orang tua
bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian
dari kewajiban tersebut.
Perwalian itu ada, begitu juga dengan penetapannya berdasarkan pada Pasal
50 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu apabila:
1. Anak laki-laki dan perempuan yang belum berusia 18 tahun.
2. Anak-anak yang belum kawin.
3. Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan orang tua.
10
Kompilasi Hukum Islam, pasal 110. (Bandung: Nuansa Aulia,2009) h.34
53 4. Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan wali.
5. Perwalian menyangkut pemeliharaan anak tersebut dan harta bendanya.
Menurut Undang-undang Nomor.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 51,
perwalian terjadi karena :
1. Wali dapat ditunjuk oleh salah seorang orang tua yang menjalankan
kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan
lisan dengan dua orang saksi.
2. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain
yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik.
Dengan demikian, bahwa penetapan seseorang untuk menjadi wali untuk
seorang anak yang belum atau tidak cakap hukum, salah satu syaratnya adalah anak
tersebut tidak dibawah kekuasaan orang tua, maka penetapan orang tua untuk menjadi
wali bagi anaknya adalah bertentangan dengan konsep perwalian yang ada dalam
perundang-undangan di Indonesia. Disamping itu subjek wali yang dimaksud
undang-undang dalam perwalian, yaitu kepada selain orang tua, baik itu kerabat,
orang lain maupun lembaga.
F. Berakhirnya Perwalian
Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua keadaan,yaitu :
54 1. Dalam hubungan dengan keadaan anak, dalam hal ini perwalian berakhir karena :
a. Anak telah menjadi dewasa (meerderjarig), 18 tahun menurut KUHPerdata
dan 21 tahun menurut Kompilasi Hukum Islam.
b. Anak melangsungkan perkawinan.
c. Matinya si anak.
d. Timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya.
e. Pengesahan seorang anak di luar kawin yang diakui.
2. Dalam hubungan dan tugas wali, dalam hal ini perwalian dapat berakhir karena :
a. Ada pemecatan atau pembebasan atas diri si wali.
b. Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian (pasal 380 KUHP
Perdata).
Syarat utama untuk pemecatan adalah .karena lebih mementingkan
kepentingan anak minderjarig itu sendiri.
Alasan lain yang dapat memintakan pemecatan atas wali didalam pasal 382
Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menyatakan :
a. Jika wali berkelakuan buruk.
b. Jika dalam melaksanakan tugasnya wali tidak cakap atau menyalahgunakan
kecakapannya.
55 c. Jika wali dalam keadaan pailit.
d. Jika wali untuk dirinya sendiri atau keluarganya melakukan perlawanan
terhadap si anak tersebut.
e. Jika wali dijatuhi hukuman pidana yang telah berkekuatan hukum tetap.
f. Jika wali alpa memberitahukan terjadinya perwalian kepada Balai Hart
Peninggalan (pasal 368 KUHPerdata).
g. Jika wali tidak memberikan pertanggung jawaban kepada Balai Harta
Peninggalan (pasal 372 KUHPerdata).
Dalam Kompilasi Hukum Islam, wali dapat dimintakan pemecatan oleh
permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau
melalaikan atau menyalahgunakan
hak dan wewenangnya sebagai wali demi
kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.
Kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih
untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam
garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang
berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal ia sangat melalaikan
kewajibannya terhadap anaknya, berkelakuan buruk, tetapi meskipun orang tua
dicabut kekuasannya mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya
pemeliharaan kepada anak tersebut. 11
11
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 49. (Bandung: Nuansa
Aulia,2009) h.94
BAB IV
PERKARA PERMOHONAN ORANG TUA SEBAGAI WALI
TERHADAP ANAK KANDUNG
A. Perkara Putusan Pengadilan Agama Depok No 22/pdt.P/2010/PA.Dpk
1. Duduk Perkara
Pemohon telah mengajukan permohonan pada tanggal 03 Maret 2010 terdapat
di kepaniteraan Pengadilan Agama Depok No.22/Pdt.P/2010. PA.Dpk. telah
mengajukan hal-hal dengan perubahan serta tambahan olehnya sendiri di muka
sidang.
Pemohon I dengan Pemohon II telah menikah pada tanggal 04 Maret 1990
yang dicatat di Kantor Urusan Agama. Setelah pernikahan tersebut Pemohon I dan
Pemohon II bertempat tinggal di rumah tempat kediaman rumah bersama Pemohon I
dan Pemohon II dan telah dikaruniai 2 orang anak, dua orang anak laki-laki, masingmasing 17 dan 10 tahun.
Bahwa terdapat kepemilikan atas sebidang tanah seluas 279 M2 yang terletak
di kota Depok, Provinsi Jawa Barat berdasarkan Sertifikat Hak Milik, tercatat atas
nama Pemohon II dan kedua anak Pemohon I dan Pemohon II
Pemohon I dan Pemohon II bermaksud akan mengajukan permohonan kredit
ke Bank demi keperluan rumah tangga Pemohon I dan Pemohon II. Namun terdapat
56 57 permasalahan atau kendala karena kedua anak Pemohon I dan Pemohon II masih
dibawah umur.
Selama dalam pemeliharaan atau pengasuhan pemohon I dan Pemohon II,
anak tersebut hidup sejahtera lahir dan batin dan tidak ada pihak lain, baik para
keluarga dari kedua belah pihak serta pihak ketiga yang mengganggu gugat
pemeliharaan dan pengasuhan anak tersebut.
Berdasarkan pada alasan dan dalil di atas, Pemohon I dan Pemohon II
memohon agar ketua Pengadilan Agama Depok segera memeriksa dan mengadili
perkara ini, selanjutnya menjatuhkan penetapan yang amarnya adalah mengabulkan
permohonan Pemohon I dan Pemohon II, menetapkan Pemohon I dan Pemohon II
adalah Wali dari kedua anaknya, mengizinkan para pemohon untuk mengagunkan
sebidang tanah seluas 279 M2 yang terdapat di Kota Depok berdasarkan Sertifikat
Hak Milik, tercatat atas nama Pemohon II dan kedua anak Pemohon I dan Pemohon
II, membebankan seluruh biaya menurut hukum atau menjatuhkan penetapan lain
yang seadil-adilnya.
2. Pemeriksaan Dalam Persidangan
Pada hari persidangan, Pemohon telah hadir dan menghadap sendiri di muka
Pengadilan, serta untuk meneguhkan dalil-dalilnya, para Pemohon di muka sidang
telah mengajukan bukti surat-surat, diantaranya fotokopi KTP kedua Pemohon dan
bermaterai cukup, fotokopi dari Buku Kutipan Akta Kelahiran atas nama kedua anak
58 Pemohon, fotokopi dari Kartu Keluarga Pemohon, fotokopi dari Sertifikat (Tanda
Bukti Hak) atas nama Pemohon II dan kedua anak Pemohon I dan Pemohon II yang
dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor, bermaterai cukup.
Selain bukti surat-surat di atas, Pemohon juga telah mengajukan bukti saksisaksi, yaitu dua orang saksi, pertama adalah keponakan Pemohon I dan dalam
kesaksiaannya saksi mengakui pernikahan para Pemohon, Pemohon dikaruniai 2
orang anak, para Pemohon hidup rukun, dan mengetahui bahwa para Pemohon
mengajukan perwalian anak ini tujuannya adalah untuk memenuhi persyaratn agunan
ke Bank, dengan agunannya berupa tanah yang mana tanah tersebut atas nama
Pemohon II dan anak-anaknya, bahwa kehendak para Pemohon mangagunkan tanah
tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan biaya pendidikan bagi anak-anaknya,
saksi tahu posisi tanah tersebut berada di wilayah Kota Depok dan saksi tidak tahu
mengenai asal-usul tanah tersebut. Adapun saksi kedua adalah teman dari Pemohon I
dan dalam kesaksiaanya saksi mengenal Pemohon I sejak 1 tahun 6 bulan yang lalu,
bahwa saksi tahu para Pemohon adalah suami istri yang sah dan telah dikaruniai 2
orang anak , masing masing 17 dan 10 tahun, bahwa saksi tahu para Pemohon hidup
berumah tangga dan himgga kini masih rukun, bahwa setahu saksi para Pemohon
mengajukan perwalian anak ini tujuannya adalah untuk memenuhi persyaratan
agunan ke Bank dengan agunannya berupa tanah yang mana tanah tersebut atas nama
Pemohon II dan anak-anaknya, bahwa saksi tahu posisi tanah tersebut berada di
daerah Depok, dan saksi tidak tahu mengenai asal-usuk tanah tersebut.
59 Para Pemohon membenarkan seluruh keterangan saksi-saksi tersebut di atas,
dan para Pemohon menyampaikan kesimpulan di muka sidang, telah merasa cukup
dangan bukti-bukti yang disampaikan dan mohon penetapan pengadilan.
Majlis hakim menimbang bahwa pemeriksaan perkara ini dipandang cukup
dan dapat diputuskan serta mengenai lengkapnya pemeriksaan di muka sidang,
semuanya telah dicatat dalam Berita Acara Persidangan Perkara yang tidak
terpisahkan dari putusan ini.
3. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim
Majelis hakim menimbang, bahwa maksud dan tujuan para pemohon adalah
sebagaimana terurai di atas dan untuk menegukan dalil-dalinya para pemohon di
muka sidang telah mengajukan bukti-bukti sebagaimana terurai diatas serta
menimbang bahwa saksi-saksi yang diajukan oleh para Pemohon di muka sidang
telah memberikan keterangan di bawah sumpah, kesemuanya mendukung dalil-dalil
Pemohon yang disimpulakan majelis terbukti sebagai berikut:
1. Bahwa Pemohon I telah menikah dengan Pemohon II (bukti P.2), dan dari
hasil perkawinannya itu telah dikaruiai 2 (dua) orang anak (bukti P3.a, P.3b
dan P.4)
2. Bahwa anak-anak para Pemohon si fulan, laki-laki sekarang berumur 17 tahun
dan fulan, laki-laki, sekarang berumur 10 tahun (bukti P.3.a dan P.3.b).
60 3. Bahwa Pemohon II dan anak-anak Pemohon mempunyai sebidang tanah
seluas 279 M2 terletak di daerah Depok (bukti P.5)
4. Bahwa para Pemohon berkehendak mengajukan kredit ke Bank demi
keperluan rumah tangga para Pemohon yang juga demi kepentingan anakanak mereka, dengan mengagunkan sebidang tanah tersebut.
Menimbang , bahwa karena terbukti bahwa para Pemohon adalah suami istri
yang sah dan telah dikaruniai 2 oranh anak yang tetap dipelihara oleh para Pemohon
sebagai orang tuanya, dengan demikian secara hukum barada di bawah kekuasaan
orang tuanya.
Menimbang bahwa ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan Pasal (2) Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974, menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur delapan
belas tahun (18) atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah
kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya, dan orang
tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar
pengadilan.
Menimbang, bahwa karena kedua anak-anak tersebut bersama dengan
Pemohon II disebutkan turut serta memiliki harta berupa sebidang tanah seluas 279
M2 (dua ratus sembilan meter persegi) yang terletak di Depok, sedangkan
berdasarkan ketentuan Pasal 48 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 “Orang tua
tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang
61 dimiliki
anaknya yang berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya”.
Pasal 106 Kompilasi Hukum Islam ayat (1) “Orang tua berkewajiban merwaat dan
mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan
tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan
yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau suatu
kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi” dan dalam ayat (2) “Orang tua
bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian
dari kewajiban tersebut pada ayat (1)’. Demikian pula ketentuan Pasal 309 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata.
Berdasarkan pernyataan para Pemohon dan keterangan saksi-saksi di muka
sidang, majelis meyakini bahwa para Pemohon berkehendak mengajukan kredit ke
Bank dengan mengagunkan tanah milik Pemohon II dan anaknya tersebut di atas
demi kepentingan rumah tangga dan pendidikan anak-anak itu sendiri yang tidak
dapat dihindari lagi.
Menimbang, bahwa disamping itu, sebagai orang tua yang berkewajiban
untuk mengurus dan memelihara serta membiayai kehidupan anak-anak yang belum
dewasa. Mempunyai hak untuk bertindak terhadap harta benda anak tersebut dan
menikmatinya sesuai ketentuan Pasal 312 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan
Pasal 47 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, terkecuali
kekuasaannya sebagai orang tua dicabut.
62 Menimbang, bahwa terbukti bahwa para Pemohon adalah ayah dan ibu
kandung dari kedua orang anak tersebut yang berfiiran sehat, berkelakuan baik dan
bertanggung jawab.
Menimbang, bahwa berdasarkan hal-hal terurai di atas, Majelis tidak dapat
mengabulkan permohonan para Pemohon pada petitum angka 2 (dua) agar mereka
ditunjuk wali dari anak-anak hasil perkawinan mereka tersebut mengingat anak-anak
tersebut berada dibawah kekuasaan mereka sendiri sehingga bertentangan dengan
ketentuan Pasal 50 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 107 Kompilasi
Hukum Islam serta Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
Menimbang, bahwa akan tetapi Majelis akan lebih menegaskan mereka
sebagai orang tua yang berhak untuk melakukan tindakan hukum mewakili anakanaknya yang belum dewasa terhadap diri dan harta bendanya baik di dalam maupun
diluar pengadilan karena itu Majelis akan mengabulkan permohonan para Pemohon
dengan menjatuhkan penetapan sebagaimana termuat dalam poin 3 (tiga) amar
penetapan perkara ini.
4. Penetapan Putusan Perkara
Dalam putusannya, Majelis hakim menetapkakan beberapa perkara:
1. Mengabulkan permohonan para Pemohon sebagian
63 2. Menyatakan, para Pemohon sebagai orang tua dari kedua anaknya yang
berwenang untuk melakukan tindakan hukum terhadap diri anak-anak tersebut
dan harta bendanya.
3. Mengizinkan para Pemohon untuk mengagunkan sebidang tanah seluas 279
M2 yang terletak di Depok, berdasarkan Sertifikat Hak Milik yang tercatat
atas nama Pemohon II dan kedua anak Pemohon I dan Pemohon II.
4. Menolak permohonan para Pemohon selebihnya.
5. Membebankan kepada Pemohon I dan Pemohon II untuk membayar perkara
ini.
B. Perkara Putusan Perkara Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor
0046/Pdt.P/2009/PA.JP.
1. Duduk Perkara
Pemohon telah mengajukan perkaranya sebagaimana diuraikan dalam surat
permohonannya tertanggal 06 Oktober 2009 yang telah terdaftar di Kepaniteraan
Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada tanggal yang sama dengan register Perkara
Nomor : 0046/Pdt.P/2009/PA.JP. mengemukakan dalil-dalilnya sebagai berikut:
1. Bahwa pada tanggal 06 Juli 1993, Pemohon dengan saudara fulan telah
melangsungkan perkawinan menurut agama Islam di San Francisco California
(USA), selanjutnya dari perkawinan tersebut telah didaftarkan sesuai dengan
64 Merriege Certificate dari Masjid Altwaheed tertanggal 01 September 1999
Nomor: 02
2. Bahwa dari perkawinan tersebut telah dukaruniai 2 (dua) orang anak yang
masih dibawah umur atau belum dewasa, yaitu satu anak laki-laki lahir 21
Agustus 1994 dan satu anak perempuan lahir pada tanggal 06 November
1998.
3. Bahwa dalam perjalanan membina rumah tangga, Pemohon dan suaminya
tidak dapat mempertahankan perkawinannya dan akhirnya pada tanggal 27
November 2001 telah resmi bercerai sesuai dengan Penetapan Pengadilan
Agama bekasi.
4. Bahwa perceraian antara Pemohon dengan suaminya telah dicatatkan dalam
daftar perceraian.
5. Setelah bercerai, kedua anak yang masih di bawah umur ikut tinggal bersama
dengan Pemohon sebagai Ibu, karena kedua anak tersebut mempunyai ikatan
batin yang lebih kuat kepada Pemohon dibanding kepada suaminya selaku
ayah kandung.
6. Bahwa sebelum diajukan permohonan perceraian di Pengadilan Agama
Bekasi, Pemohon dengan suaminya telah membuat kesepakatan di hadapan
Notaris di Jakarta yang dituangkan ke dalam dua akta, yaitu:
a. Akta Pengakuan tanggal 12 Januari 2001
b. Akta Pengakuan dan Persetujuan tanggal 12 Januari 2001
65 Isi dari kedua akta tersebut pada pokoknya mengatur kesepakatan bilamana
terjadi perceraian, maka pihak suami akan memberikan hak asuh kepada anak
kepada Pemohon sebagai ibu kandung sebagai wali dari kedua anak tersebut.
7. Berdasarkan kesepakatan yang tertuang dalam akta vide, maka pada saat
pemeriksaan perkara perceraian di Pengadilan Agama Bekasi, dengan alasan
untuk mempercepat proses perceraian, Pemohon sengaja hadir dalam
persidangan dan tidak mengajukan permohonan Perwalian dan Hak Asuh
terhadap kedua anak, karena pada saat itu Pemohon beranggapan kedua akta
tersebut sudah cukup untuk memberikan legalitas hukum bagi pemohon
sebagai wali dari anak-anak, sehingga dalam putusan/penetapan Pengadilan
Agama Bekasi, perceraian diputus dengan verstek dan tidak ada amar putusan
yang menyebutkan mengenai penetapan perwalian anak.
8. Bahwa, seiring dengan jalannya waktu dan makin banyaknya kegiatan yang
dilakukan oleh kedua anak tersebut, ternyata penetapan perwalian dan hak
asuh kedua anak dari Pengadilan sangat dibutuhkan, sebab bukti kesepakatan
antara Pemohon dengan mantan suaminya secara yuridis belumlah cukup.
Pengakatan wali dan hak asuh anak baru mempunyai lagalitas hukum yang
kuat, bilaman ada penetapan dari pengadilan.
9. Bahwa, berdasarkan Pasal 98 ayat (2) Jo. Pasal 107 ayat (1) dan ayat (2) Jo
Pasal 156 huruf a Kompilasi Hukuk Islam (KHI), orang tua akan menjadi
66 wali bagi kepentingan anak yang belum dewasa (21 tahun) yaitu mengenai
segala perbuatan hukum di dalam maupun luar pengadilan, dalam hal karena
hubungan perkawinan orang tua si anak sudah putus karena perceraian, maka
secara yuridis hak perwalian dan asuh anak akan diberikan kepada ibu
kandung si anak.
10. Berdasarkan alasan dan pertimbangan tersebut diatas, maka Pemohon selaku
ibu kandung dari kedua anakyang belum dewasa, mengajukan permohonan
penetapan perwalian dan hak asuh terhadap kedua anak tersebut kepada
Pengadilan Agama Jakarta Pusat, dengan tujuan agar Pemohon memiliki
Legalitas hukum yang kuat sebagai wali dan hak asuh (pemeliharaan) kedua
anak tersebut. Wali adalah untuk mewakili segala perbuatan hukum atau
kepentingan hukum kedua anak tersebut sampai anak tersebut dewasa secara
hukum, antara lain untuk pengurusan paspor, untuk perjalanan ke luar negeri,
untuk mengurus pendidikan dan perbuatan hukum anak lainnya yang
memerlukan peranan seorang wali sampai kedua anak tersebut dapat
melakukan perbuatan hukum sendiri atau dewasa hukum. Sedangkan hak asuh
anak adalah hak untuk mengasuh, memelihara dan mendidik dengan nilainilai yang benar samapai kedua anak tersebut dewasa.
11. Dalam petitum, Pemohon mengajukan mengabulkan permohonan Pemohon
seluruhnya, menetapkan Pemohon menjadi wali bagi kedua anak kandungnya
67 yang belum dewasa, menetapkan hak asuh terhadap kedua anak kandungnya,
menetapkan biaya permohonan ini dibebankan kepada Pemohon.
2. Pemeriksaan Dalam Persidangan
Pada hari persidangan, Pemohon datang dengan kuasa hukumnya, kemudin
ketua Majelis memberikan nasehat sehubungan dengan permohonannya tersebut, lalu
dibacakanlah permohonan Pemohon, yang isinya tetap dipertahankan oleh Pemohon.
Pemohon telah mengajukan bukti-bukti berupa Certificate Of Live California
and Country Of San Francisco, Surat Kenal Lahir, Salinan Putusan Pengadilan
Agama Bekasi, Akta Cerai, 2 buah Akta Pengakuan dan Persetujuan.
Pemohon mengajukan 2 (dua) orang saksi, keduanya adalah keponakan
Pemohon yang inti dalam kesaksiannya adalah, kenal kepada Pemohon, mengetahui
pernikahan dan perceraian Pemohon, kedua anak tersebut di asuh ibunya, dan
mengetahui permohonan tersebut untuk keperluan sekolah anaknya di luar negeri
(USA)
3. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim
Majelis hakim menimbang bahwa oleh karena permohonan terdiri dari dua
pokok parkara yakni tentang perwalian dan pengasuhan anak (hadlanoah), maka
Majelis harus terlebih dahulu mempertimbangkan tentang Komulasi antara kedua
perkara tersebut yang ternyata setelah diteliti mempunyai hubungan yang erat dan
terdapat hubungan hukum, baik subjek maupun objeknya, maka pada dasarnya kedua
68 jenis perkara ini dapat digabungkan, namun oleh karena perkara hadlonah harus
diajukan secara Volunter, maka menurut Majelis kedua perkara tersebut tidak dapat
dikomulasikan dan oleh karena itu Majelis hanya akan mempertimbangkan perkara
perwalian saja, sedangkan untuk perkara hadlonah harus dinyatakan tidak dapat
diterima
Majelis hakim menimbang bahwa berdasarkan Pasal 45 ayat (2) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sesungguhnya orang tua dengan
sendirinya atau secara otomatis menurut hukum berkedudukan dan berkapasitas
sebagai wali anak-anak sampai mereka dewasa. Jadi orang tua adalah kuasa yang
mewakili kepentingan anak yang belum dewasa kepada pihak ketiga. Namun ternyata
berdasarkan kebiasaan yang berlaku di dunia Internasional mencukupkan dengan
otomatisasi di atas tidak cukup. Sehingga untuk pengurusan kepentingan anak, baik
dalam pendidikan, pengurusan paspor dan administrasi kewarnegaraan lainnya,
kepada Pemohon selalu dituntut untuk menunjukkan perwalian tersebut dengan
Putusan Pengadilan. Oleh karena itu Majelis berpendapat, bahwa dalam rangka
memberi kepastian hukum demi kepentingan kehidupan kedua anak-anak tersebut di
San Francisco, maka Permohonan Pemohon dapat dipertimbangkan.
Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan Pemohon dalam hal hadlonah
dinyatakan tidak dapat diterima dan oleh karena permohonan ini diajukan oleh
pemohon secara volunteir, maka kepada Pemohon dibebani biaya perkara. Mengingat
69 dan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan ketentuan Syariat Islam yang
berlaku yang berkaitan dengan perkara ini.
4. Penetapan Putusan Perkara
Majelis hakim dalam amar putusannya menetapkan mengabulkan permohonan
Pemohon sebagian, menetapkan Pemohon sebagai wali bagi kedua anaknya,
menyatakan permohonan Pemohon yang selebihnya tidak dapat diterima.
B. Analisis Penulis
Melihat permasalahan dalam perkara Pengadilan Agama Depok dan perkara
Pengadilan Agama di atas, ada beberapa hal yang menarik perhatian untuk penulis
pelajari yaitu subjek atau orang yang berperkara, alasan permohonan serta
pertimbangan majelis hakim. Hal tersebut penulis pelajari dengan menggunakan
pendekatan ushuliyah dan perundang-undangan di Indonesia.
1. Analisis dengan pendekatan Ushuliyah
Subjek atau orang yang berperkara, yaitu pemohon atau termohon dalam
perkara Pengadilan Agama Depok adalah dua orang, yaitu suami istri atau ayah dan
ibu terhadap anak yang dimohonkan perwaliaannya. Sedangkan dalam perkara
Pengadilan Agama Jakarta Pusat adalah satu orang, yaitu istri atau ibu dari anak yang
dimohonkan perwaliannya. Dalam khazanah fikih pihak yang berhak dan wajib
secara langsung (Wilayah Ijbariyah) untuk mewakilkan anak yang belum cakap
70 hukum adalah seseorang atau lembaga yang di delegasikan oleh syara’ atau hakim,
yaitu ayah atau kake sebagai orang tua mereka, dalam kata lain ayah atau keke adalah
pihak yang diwakilkan oleh syara’ secara paksa tanpa mempertimbangkan
keridhaannya dengan catatan ayah tersebut cakap secara hukum. Adapun mengenai
gender (jenis kelamin), menurut fikih empat madzhab kecuali Abu Hanifah, mereka
sepakat bahwa hak perwalian hanya diperuntukkan bagi laki-laki kecuali jika ada
wasiat dari ayah atau qadhi. Jadi menurut penulis pemohon dalam perkara Pengadilan
Agama Depok adalah orang yang berhak dan berkewajiaban untuk mewakilkan
anaknya. Sedangkan pemohon dalam perkara Pengadilan Agama Jakarta Pusat adalah
orang yang berhak menjadi wali (Wilayah Ikhtiyariyah), dikarenakan ibu tersebut
diberi wasiat melalui notaris serta diangkat oleh qadhi atau hakim untuk menjadi
wali.
Adapun alasan permohonan perkara tersebut dalam perkara Pengadilan
Agama Depok mengajukan permohonan mereka untuk ditetapkan menjadi wali bagi
bagi kedua anaknya yang belum cakap hukum untuk mengurus persyaratan agun
sebidang tanah dalam mengajukan kredit Bank untuk keperluan pendidikan anak,
yang mana sebidang tanah tersebut atas nama Pemohon II (ibu dari anak-anak) dan
kedua anak mereka yang belum dewasa menurut hukum. Sedangkan dalam perkara
Pengadilan Agama Jakarta Pusat adalah untuk mengurus persyaratan pendidikan.
Dalam kajian fikih permohonan penetapan orang tua sebagai wali bagi anak mereka
pada dasarnya adalah perkara yang tidak membutuhkan hukum hakim (pengadilan),
71 karena hal tersebut menurut Atharablusi, adalah perkara yang sudah jelas dan
disepakati oleh ulama, seperti akan halnya kewajiban shalat, thaharah dan lain
sebagainya, namun jika dicermati perkara di atas bukanlah murni untuk menjadi wali
si anak, tetapi mereka mengajukan perkara tersebut untuk mengagunkan tanah atas
nama kedua anak mereka serta untuk kepentingan pendidikan anak, maka hal tersebut
adalah dalam ranah kepentingan hukum yang lain dan membutuhkan kepada
penetapan perwalian, sebagaiman dalam kaidah fikhiyyah :
1
ٌ‫ﺐ إﻟﱠﺎ ِﺑ ِﻪ َﻓ ُﻬ َﻮ وَاﺟِﺐ‬
ُ ‫ﺟ‬
ِ ‫ﻣﺎ ﻟَﺎ َﻳ ِﺘ ﱡﻢ اﻟْﻮَا‬
“Sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka hal tersebut adalah wajib”
Dari kaidah diatas, dapat dipahami bahwa permohonan dalam perwalian
adalah sesuatu yang harus ada dalam menyempurnakan kewajiaban persyaratan
pengagunan tanah, dan dengan tidak adanya, maka tidak dapat terpenuhi kewajiban
tersebut, dengan demikian perkara Pengadilan Agama Depok yang menolak
penetapan di atas adalah kurang tepat, akan tetapi tidak berarti putusan tersebut
menyalahi fikih, karena seperti diketahui, bahwa undang-undang yang berlaku
merupakan unifikasi fikih yang mempunyai kekuatan legalitas. Adapun perkara
Pengadilan Jakarta Pusat, yaitu permohonan ibu untuk menjadi wali bagi kedua anak
mereka yang belum dewasa hukum dimana pemohon menikah di USA kemudian
cerai dengan suaminya dengan mengadakan perjanjian di depan notaris bahwa setelah
1
Badruddin Muhammad Bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Bahru al-Muhith Fi Ushul al-Fikh, Juz
I (Beirut: Dar Kutub al-Islamiyah, 2000), h.192.
72 perceraian, hak hadhanah dan perwalian disepakati jatuh ke pemohon. Dalam
perjalanannya, untuk berbagai keperluan, akta perjanjian tersebut tidak cukup
berkekuatan hukum hingga pemohon meminta penetapan pengadilan. Hal tersebut
juga merupakan dalam ranah kepentingan hukum yang lain dan membutuhkan kepada
penetapan perwalian. Jadi dikabulkannya permohonan tersebut dalam perkara
Pengadilan Agama Jakarta pusat menurut khazanah fikih adalah tepat.
Adapun mengenai pertimbangan majelis hakim. Majelis hakim Pengadilan
Agama Depok menolak permohonan tersebut berdasarkan kepada Pasal 50 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 107 Kompilasi Hukuk Islam serta Pasal 330
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa konsep perwalian
adalah bagi anak yang belum dewasa atau belum pernah melangsungkan perkawinan
serta tidak dibawah kekuasaan orang tua. Majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta
Pusat mengabulkan permohonan pemohon dengan berlandaskan pada Pasal 45 ayat
(2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa orang tua secara
otomatis menjadi wali bagi anaknya, namun Majelis mempertimbangkan kebiasaan
yang berlaku di dunia internasional, bahwa otomatisasi tersebut tidaklah cukup,
dengan alasan tersebut, Majelis mengabulkan permohonan pemohon. Dalam
kahazanah fikih dikenal dengan adanya unifikasi dan kodifikasi fikih, yaitu
mengambil beberapa pendapat untuk dijadikan sebagai peraturan suatu penguasa atau
negara. Adanya konsep perwalian dalam peraturan di Indonesia merupakan pijakan
bagi qadhi atau hakim untuk menetapkan suatu perkara. Pertimbangan majelis hakim
73 yang berdasar pada peraturan yang berlaku di Indonesia, yaitu pertimbanagan majelis
hakim Pengadilan Agama Depok adalah tepat, disamping itu penulis ketika meminta
pendapat hakim Pengadilan Agama Depok akan hal tersebut, beliau mengatakan
bahwa kami (Majelis Hakim), memutuskan suatu perkara dengan peraturan yang
berlaku, dalam hal ini adalah sesuai dengan beberapa pasal seperti diterangkan diatas
selama pasal tersebut sesuai dengan permasalahan yang diajukan, kemudian beliau
melanjutkan dengan menjelaskan bahwa konsep perwalian dalam peraturan di
Indonesia adalah terhadap anak yang tidak dibawah kekuasaan orang tuanya. 2
sedangkan pertimbangan Majelis diluar peraturan yang berlaku adalah kurang tepat
menurut penulis.
2. Analisis dengan pendekatan perundang-undangan di Indonesia
Dilahat dari subjek atau pihak yang berperkara dimana dalam perkara
Pengadilan Agama Depok adalah dua pemohon sebagai ayah dan ibu bagi anaknya
dan dalam perkara Pengadilan Agama Jakarta Pusat adalah satu pemohon, yaitu ibu.
Dalam perundang-undangan di Indonesia, pasal 106 Kompilasi Hukum Islam dan
pasal 45 da pasal 47 (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan,
bahwa orang tua, yaitu kedua belah pihak berhak dan wajib dalam mmemelihara serta
mengembangkan harta anak yang belum cakap hukum seta mwakili anak tersebut
mengenai segala perbuatan hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan. Jadi
2
Wawancara Hakim Pengadilan Agama Depok Drs. H. Toha Mansyur, SH, MH Tanggal 18
Agustus 2010 Di Pengadilan Agama Depok
74 secara langsung kedua orang tua adalah yang menjadi wakil bagi anak tersebut dan
mereka bukan dalam ranah perwalian menurt undang-undang, karena perwalian
adalah dimana anak tersebut tidak dalam kekuasaan orang tua. Dalam permohonan
perkara Pengadilan Agama Depok dan Jakarta pusat pemohon adalah orang tua yang
sah dan cakap hukum sehingga mereka adalah pihak yang berkewajiban dan berhak
untuk memelihara, mengembangkan serta mewakili anak dalam perbuatan hukum
baik di dalam maupun luar pengadilan.
Dari aspek alasan permohonan perkara Pengadilan Agama Depok mengajukan
permohonan mereka untuk ditetapkan menjadi wali bagi bagi kedua anaknya yang
belum cakap hukum untuk mengurus persyaratan agun sebidang tanah dalam
mengajukan kredit Bank untuk keperluan pendidikan anak, yang mana sebidang tanah
tersebut atas nama Pemohon II (ibu dari anak-anak) dan kedua anak mereka yang
belum dewasa menurut hukum. Sedangkan dalam perkara Pengadilan Agama Jakarta
Pusat adalah untuk mengurus persyaratan pendidikan. Dalam perundang-undangan di
Indonesia, pasal 47 dan 48 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menyatakan
bahwa orang tua dapat mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam
dan diluar pengadilan serta tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barangbarang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, kecuali kepentingan anak itu menghendakinya.
Mengagunkan tanah atas nama ibu dan kedua anak mereka dalam perkara Pengadilan
Agama Depok serta persyaratan pendidikan bagi anak dalam perkara Pengadilan
75 Agama Jakarta Pusat adalah terbukti demi rumah tangga dan kepentingan anak-anak
mereka, yaitu untuk kepentingan pendidikan anak, maka hal tersebut dibolehkan.
Adapun dalam pertimbangan majelis hakim. Majelis hakim Pengadilan
Agama Depok menolak permohonan tersebut berdasarkan kepada Pasal 50 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 107 Kompilasi Hukuk Islam serta Pasal 330
Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa konsep perwalian
adalah bagi anak yang belum dewasa atau belum pernah melangsungkan perkawinan
serta tidak dibawah kekuasaan orang tua. Majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta
Pusat mengabulkan permohonan pemohon dengan berlandaskan pada Pasal 45 ayat
(2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa orang tua secara
otomatis menjadi wali bagi anaknya, namun Majelis mempertimbangkan kebiasaan
yang berlaku di dunia internasional, bahwa otomatisasi tersebut tidaklah cukup,
dengan alasan tersebut. Dalam perundang-undangan di Indonesia, Kitab Undangundang Hukum Perdata Pasal 330, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 50,
Kompilasi Hukum Islam Pasal 107 menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan
perwalian adalah apabila seseorang yang belum dewasa dan tidak dalam kekuasaan
orang tuannya, berada dalam kekuasaan wali, maka penetapan orang tua untuk
menjadi wali bagi anaknya dalam perkara diatas adalah bertentangan dengan dengan
ketentuan perwalian yang dimaksud dalam peraturan di Indonesia. Begitu juga
76 dengan azas hukum perdata yang menyatakan bahwa perwalian merupakan hak yang
di dapat secara langsung akibat adanya suatu perbuatan hukum, yaitu perkawinan. 3
Anak yang dibawah kekuasaan orang tua adalah pemelihara bagi anaknya.
Disamping itu, orang tua secara hukum, menurut Pasal 47 dan 48 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974, dapat mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di
dalam dan diluar pengadilan serta tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan
barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan, kecuali kepentingan anak itu menghendakinya.
Permohonan untuk mengagunkan tanah atas nama ibu dan kedua anak mereka adalah
terbukti demi rumah tangga dan
kepentingan anak-anak mereka, yaitu untuk
kepentingan pendidikan anak, maka hal tersebut dibolehkan.
Dari uraian diatas, penulis simpulkan bahwa penolakan permohonan
perwalian oleh Majelis dalam Perkara Pengadilan Agama Depok adalah tepat, hal
tersebut sesuai dengan konsep perwalian yang ada dalam perundang-undangan di
Indonesia yang mengatur bahwa perwalian adalah terhadap anak yang tidak di bawah
kekuasaan orang tua. Adapun Majelis mengganti dengan penetapan orang tua sebagai
anak mereka kurang tepat, dikarenakan mereka adalah anak yang sah secara hukum
yang tidak memerlukan penetapan, dan orang tua berhak untuk berbuat hukum atas
3
Arief Masduki dan Tirtaatmaja, Azas Dan Dasar Hukum Perdata (Jakarta: Djambatan,
1963), h.17.
77 nama anaknya baik di dalam maupun diluar pengadilan, hal tersebut sesuai dengan
pasal 47 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Adapun perkara Pengadilan Agama Jakarta Pusat di atas, menrut penulis,
dikabulkannya permohonan tersebut kurang tepat, karena orang tua bersama-sama
(keduanya, baik suami dan istri) menjadi wali bagi anak-anak mereka yang belum
cakap hukum, termasuk ibu dan ayah, hal tersebut sesuai dengan pasal 47 ayat (1)
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa
anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tua selama mereka tidak
dicabut dari kekuasaannya. Anak yang belum cakap hukum tersebut adalah anak yang
sah dari orang tuanya, belum pernah melangsungkan perkawinan serta orang tuanya
tidak dicabut kekuasaannya, maka anak tersebut secara langsung dibawah kekuasaan
orang tuanya. Adapun permohonannya yang dikabulkan untuk menjadi wali bagi
anaknya adalah bertentangan dengan pasal 330 ayat (3) Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (KUHPer) dan pasal 50 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan, yang menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak dibawah kekuasaan orang tua,
berada dibawah kekuasaan wali. Hal tersebut juga tidak sesuai dengan pasal 108
Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan bahwa wali yang dimaksud pada
undang-undang ini bukanlah orang tua, yaitu dari keluarga anak tersebut atau orang
lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan
78 hukum. Adapun perjanjian yang menyatakan hak perwalian kepada ibu adalah tidak
berkekuatan hukum, karena yang berhak mencabut kekuasaan seseorang yang
menjadi wali adalah pengadilan.
BAB V
PENUTUP
Dari uraian pembahasan yang bertitik tolak pada permasalahan yang diangkat
dalam skripsi ini, maka sampailah pada tahap akhir pembahasan, yaitu kesimpulan
dan rekomendasi
A. Kesimpulan
Setelah penulis analisis dari pokok permasalahan ini, maka kesimpulan yang
dapat penulis ambil adalah :
1. Permohonan penetapan orang tua sebagai wali terhadap anak kandung
adalah bertentangan dengan peraturan di Indonesia dimana orang tua
secara otomatis menjadi wali bagi anak-anak mereka, yaitu hak yang di
dapat akibat hukum dari perkawinan dan mereka berhak secar langsung
untuk mewakili anak baik di dalam maupun luar pengadilan. Konsep
perwalian dalam perundang-undangan di Indonesia dkhususkan kepada
anak yang belum cakap hukum dan belum melangsungkan perkawinan
yang tidak dibawah kekuasaan orang tua atau dibawah kekuasaan orang
tua yang tidak cakap hukum, dalam kata lain perwalian ditetapkan hanya
bagi orang lain selain orang tua anak tersebut, maka permohonan
perwalian bagi orang tua yang cakap hukum bagi anak mereka yang belum
dewasa dan belum pernah melangsungkan perkawinan adalah tidak tepat.
79 80 2. Hal yang menyebabkan permohonan orang tua sebagai wali bagi anaknya
pada dasarnya adalah kepentingan anak itu sendiri, yaitu untuk mewakili
anak dalam berbuat hukum yang mana hukum tersebut adalah untuk
kepentingan diri anak tersebut, seperti menggadaikan sebidang tanah
untuk pendidikan anak, persyaratan pendidikan yang mengaharuskan
adanya penetapan wali dari pengadilan, paspor dan hal-hal lain yang
berkaitan dengan kepentingan anak.
3. Pertimbangan Majelis hakim menolak permohonan orang tua untuk
menjadi wali berlandaskan pada konsep perwalian yang berlaku di
Indonesia, yaitu bahwa perwalian dikhususkan terhadap selain orang tua.
Adapun pertimbangan Majelis Hakim yang menerima permohonan orang
tua tersebut sebagai wali terhadap anak kandungnya dengan berlandaskan
kepada hukum internasional, persyaratan tertentu seperti pengurusan
paspor, pendidikan diluar negeri dan lain sebagainya yang tidak
mencukupkan dengan otomatisasi hak wali kepada orang tua.
B. Rekomendasi
1. Perlu disosialisasikan kepada masyarakat, terutama pihak atau
lembaga keuangan (Bank), lembaga pendidikan,lembaga sosial dan
sebagainya, bahwa orang tua berhak untuk mewakili anak dalam
segala perbuatan hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan
selama hal tersebut utuk kepentingan anak.
81 2. Bagi para hakim diharapkan dapat memberikan penjelasan kepada
permohonan orang tua sebagai wali bagi anak, bahwa mereka adalah
wali secara otomatis dan berhak mewakili anaknya di dalam dan luar
pengadilan. dan kepada lembaga peradilan untuk mengeluarkan surat
edaran akan hal tersebut kepada lembaga-lembaga yang lain sperti
lembaga pendidikan, keuangan, dan lain sebagainya.
3. Bagi akademisi disarankan agar memformulasikan konsep perwalian
agar dapat diatur dalam perundang-undangan yang dapat dipahami
oleh berbagai pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid IV, Jakarta : PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003
Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. cet, ke-2, Jakarta: Akademi
Pressindo, 1995.
Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Ind onesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. jakarta :
Rineka Cipta, 2006
Barry,
Zakariya Ahmad. Hukum Anak-anak Dalam
ChadijahNasution. Jakarta: Bulan Bintang, 1977
Islam.
Penerjemah
Ba’i, Mustafa Dan Abdurrahman as-Shabuni, al-Ahwal as-Syakhsiyyah Fi alAhliyyah Wa al-Washiyyah Wa at-Tirkaah, Damaskus: Daar Fikr, 1965
Effendi Satria,
problematika hukum keluarga islam kontemporer analisis
yurisprudensi dengan pendekatan ushuliyah, cet ke-2, jakarta: Kencana
Prenada Group, 2005
Hafiz, Ibn Rusyd., Bidayatu al Mujtahid wa nihayatu al-muqtasid. Beirut :
Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, t.t
Hasani al-Maqdisi, Faydullah, Fathu ar-Raahman Li a-Thalib Ayat al-Quran,
Bandung: Maktabah Dahlan, t,th
Ibrahim, Johny, Penelitian Hukum Normatif. Jawa Timur : Bayumedia, 2008
Jaziri, Abdurrahman., AlFiqh ‘Ala Mazahib Al-Arba’ah. Beirut : Dar
1990 cet Ke 1
Al-Fikr,
Jones, Jamilah dan Abu Aminah Bilal Philip, Monogami dan Poligami Dalam
Islam, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2001
Jurjani, Ali, Hikmah al-Tasyri Wa Falsafatihi, Jilid II Mesir: Daar al-Fikr, 1997
Katjasung kana, nug, Wacana Keadilan Dalam Islam. jakarta : Elsam, 1998
Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, Penerjemah Ma’ruf Asrori,Jakarta:
Pustaka Amani, 2003
82 83 Lajnah Pentashih Mushaf al-Quran Departemen Agama, Tarjamatu Alfadzi al
Quran, Inayatan Li al-Mubtadiin, jilid IV , Jakarta: Tri Burnama Utama
Jakarta,1980
Manzur, Ibnu. Lisan al-Arab, Mesir: Daar al-Hadist,2003
Mughniyah, Muhammad Jawad, Fikih Lima Madzhab, Penerjemah Masykur
A.B, dkk. Jakarta : Lentera Basritama, 2000, Cet Ke-5
Nawawi, Syaikh Muhammad Nawawi, Uqud al-Lujayn Fi Bayan huquq Zawjayn,
Surabaya : Dar al-Abidin, t.t
Nursobah, Asep “Data Perkara Peradilan Agama Tingkat Pertama Yang Diterima
Tahun 2007”. artikel diakses pada 6 Juni 2010 dari
http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=4
073
Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah
Akidah dan Ibadah, jakarta : Paramadina, 2002
Sabiq, Sayyid., Fiqh al Sunnnah juz II, Beirut : Dar Assaqafah Al-Islamiyah, t.t
Shabuni, Muhammad Ali. Tafsir Ayat Ahkam. Penerjemah Saleh
Bandung : Al-Ma’arif, 1994 cet Ke 1
Mahfud,
Shan’ani, Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram Min Jam’i Adillah al-Ahkam,
Juz III , Mesir: Daar Fikr, 1991
Syamsu, Andi dan Muhammad Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif
Islam, Jakarta: Prenada Media Group,2008
Syarifuddin, Amir, Garis-gais Besar Fiqih. jakarta : Prenada media, 2003 cet.ke-1
Suyuti, jalaluddin, Lubab Annuqul Fi Asbab Annuzul (Terjemahan Oleh Abdul
Mujib. Surabaya : Mutiara Ilmu, 1986
Tahido Yanggo, Huzemah, Fikih Anak, Metode Islam Dalam Mengasuh Dan
Mendidik Anak Serta Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktifitas
Anak, Jakarta: Almawardi Prima, 2004
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Bandung: Nuansa
Aulia, 2009
Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktik. jakarta : Sinar Grafika, 2008
84 Zahra, Abu, al-Ahwal al-Syakshiyyah, Mesir: Daar al-Fikr, 2005
Zarkasyi, Badruddin Muhammad Bin Abdullah, al-Bahru al-Muhith Fi Ushul
al-Fikh, Juz I. Beirut: Dar Kutub al-Islamiyah, 2000
Zuhaily, Wahbah., Al Fiqh al-Islami wa Adillatuhu juz IX. Damsyiq : Dar El
Fikr,1989
DATA HASIL WAWANCARA
(Wawancara diajukan sebagai data penelitian skripsi yang berjudul “Permohonan
Orang tua Sebagai Wali Bagi Anak Kandung”)
Oleh:Muhammad Farid Wajdi
Nama
: Drs. H. Toha Mansyur, SH, MH
Jabatan
: Hakim Pengadilan Agama Depok, Wakil Ketua Pengadilan
Agama depok
Tanggal wawancara : 18 Agustus 2010
Tempat Wawancara : Pengadilan Agama depok
1. Apakah definisi perwalian dalam khazanah fikih?
2. Adakah perbedaan konsep perwalian dalam fikih dan perundang-undangan di
Indonesia?Apakah perbedaan tersebut?
3.Bagaimana menurut peraturan yang berlaku di Indonesia mengenai permohonan
orang tua untuk menjadi wali bagi anak kandungnya sendiri?
4. Faktor apa saja yang menyebabkan orang tua mengajukan permohonan untuk
menjadi wali bagi anak kandung mereka?
5. Apakah peraturan tentang perwalian di Indonesia sudah sesuai dengan kebutuhan
masyarakat serta dapat menampung permasalahan perwalian yang selama ini ada?
1. Perwalian menurut fikih adalah suatu bentuk perlindungan dengan otoritas penuh
atas dasar tanggung jawab dan cinta kasih, untuk memberikan pertolongan atas
ketidakmampuan seseorang dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, baik yang
berhubungan dengan harta maupun dengan dirinya
2. Pada dasarnya sama, yaitu perlindungan terhadap seseorang yang belum mampu
dalam melakukan perbuatan hukum, hanya saja dalam perundang-undangan di
Indonesia, sesuai dengan pasal 1 (h) Kompilasi Hukum Islam, Pasal 5o Undangundang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan pasal 330 ayat 3 Kitab Undangundang Hukum Perdata, bahwa konsep perwalian mempunyai makna yang khusus,
yaitu terhadap anak yang tidak dibawah kekuasaan orang tuanya, dengan kata lain
perwalian adalah hak dan tanggung jawab yang diberikan kepada selain orang tua,
baik dari keluarga dekat, orang lain, atau lembaga yang memenuhi syarat. Orang tua
secara langsung mendapatkan hak dan kewajiaban mengenai penjagaan dan untuk
mewakili diri dan harta anak yang mana dalam kepentingan anak tersebut, serta dapat
berbuat hukum dengannya baik di dalam maupun diluar pengadilan.
3.Permohonan orang tua untuk menjadi wali bagi anak kandungnya adalah tidak
sesuai dengan konsep perwalian dalam perundang-undangan di Indonesia yang
menyatakan bahwa perwalian adalah terhadap anak yang belum dewasa atau belum
pernah melangsungkan perkawinan dan anak tersebut tidak dibawah kekuasaan orang
tuanya sebagaimana penjelasan sebelumnya.
4.Meskipun dalm perundang-undangan dikatakan bahwa orang tua dapat mewakili
anak, baik dalam diri maupun hartanya dalam berbuat hukum baik di dalam maupun
luar pengadilan, tetapi banyak orang tua terutama lembaga yang tidak memahaminya,
karena mayoritas permohonan orang tua adalah karena adanya tuntutan dari suatu
lembaga
seperti
keharusan
menghadirkan
penetapan
pengadilan
untuk
menyekolahkan anak di sekolah internasional atau sekolah di luar negeri, adanya
tuntutan keharusan adanya penetapan pengadilan dari bank ketika berbuat hukum atas
nama anak, ataupun alasan lainnya yang sifatnya datang dari luar orang tua tersebut
meskipun ada beberapa yang mengajukan permohonan untuk dapat mewakili anaknya
dalam berbuat hukum karena adanya perceraian.
5.ya, hanya saja perlu lebih disosialisasikan dalam memberikan pemahaman akan
konsep konsep perwalian di Indonesia, terutama terhadap lembaga-lembaga yang
menyangkut akan hal tersebut.
Download