PERMOHONAN ORANG TUA SEBAGAI WALI TERHADAP ANAK KANDUNG (Analisis Komparatif Putusan Pengadilan Agama Depok Perkara Nomor 22/Pdt.P/2010/PA. Dpk. Dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara Nomor 0046/Pdt.P/2009/PA .JP.) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: Muhammad Farid Wajdi 106044101427 KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2010 M/1431 H PERMOHONAN ORANG TUA SEBAGAI WALI TERHADAP ANAK KANDUNG (Analisis Komparatif Putusan Pengadilan Agama Depok Perkara Nomor 22/Pdt.P/2010/PA. Dpk. Dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara Nomor 0046/Pdt.P/2009/PA .JP.) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh : MUHAMMAD FARID WAJDI NIM : 106044101427 Dibawah Bimbingan Pembimbing : Dr. Euis Amalia M.Ag Dr.H.Muhammad Taufiki M.Ag NIP : 197107011998032002 NIP : 196511191998031002 KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2010 M / 1431 H LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karena ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 01 Juni 2010 Muhammad Farid Wajdi ii PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul PERMOHONAN ORANG TUA KANDUNG SEBAGAI WALI TERHADAP ANAKNYA (Analisis Komparatif Putusan pengadilan Agama Depok Perkara Nomor 22/Pdt.P/2010/PA. Dpk. Dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara Nomor 0046/Pdt.P/2009/PA .JP) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 23 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Strata Satu (S1) pada Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Konsentrasi Peradilan Agama. Jakarta, 23 September 2010 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Prof. DR. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM NIP 195505051982031012 PANITIA UJIAN 1. Ketua : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA NIP. 195003061976031001 (........................) 2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH NIP. 197202241998031003 (........................) 3. Pembimbing I : Dr.Euis Amalia MA NIP. 197107011998032002 (........................) 3. Pembimbing II : Dr. H. Muhammad Taufiki M.Ag NIP. 196511191993031002 (........................) 4. Penguji I : Prof. DR. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM (.......................) NIP 195505051982031012 5. Penguji II : Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA NIP. 195003061976031001 (......................) LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karena ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 24 September 2010 Muhammad Farid Wajdi i KATA PENGANTAR ﺑﺴﻢ اﷲ اﻟﺮﺣﻤﻦ اﻟﺮﺣﻴﻢ Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT., karena rahmatNyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sebagai kelengkapan tugas dan memenuhi sebagian dari syarat-syarat guna mencapai gelar Sarjana Hukum Islam pada Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan, terutama disebabkan karena keterbatasan penulis sebagai manusia biasa. Tanpa adanya dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak tidaklah mungkin skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Prof. Dr. H. Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. H. Basiq Djalil, SH, MA, Ketua Program Studi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Kamarusdiana S.Ag, MH, Sekretaris Jurusan Peradilan Agama Fakuttas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Dr. Euis Amalia M.Ag dan Dr. H. Muhammad Taufiki M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktu dan perhatiannya dalam membimbing, serta memberikan motivasi yang tak pernah henti-hentinya. 5. Dr. H.Yayan Sopyan M.Ag selaku dosen Penasehat Akademik. 6. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmu dan pengetahuannya kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan bermanfaat. 7. Kepala perpustakaan UIN Jakarta beserta stafnya. iv 8. Orang tua tercinta Bapak H.M.Noer Ahimy dan ibu Soraya yang telah merawat dan membesarkan penulis, yang selalu memotivasi dengan penuh keikhlasan membantu penulis baik moril maupun materi, adik dan kakak tercinta Ahamad Haikal dan Miftahuddin Lc 9. Pengadilan Agama Depok 10. Pengadilan Agama Jakarta Pusat 11. Sahabat-sahabat penulis, Silvi Luthfianti, Royhan IM, Azwar anas, Taqiyyuddin Alqisthi, Mustafid CS dan segenap teman-teman penulis yang selalu membantu dan memberikan motivasi. 12. Teman-teman Peradilan Agama angkatan 2006 khususnya kelas B, dan juga kelas Bilinggual penulis senang berteman dengan kalian. Akhirnya penulis hanya bisa berdoa dan berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca dan semoga amal baik mereka diterima oleh Allah SWT. Amin. Jakarta, 24 September 2010 Penulis v DAFTAR ISI LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................i LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING .............................................................ii LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .......................................................................iii KATA PENGANTAR ............................................................................................... iv DAFTAR ISI ............................................................................................................. vi BAB I : PENDAHULUAN ............................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................. 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian. ..................................................... 9 D. Metode Penelitian.......................................................................... 10 E. Riview Studi Terdahulu ................................................................. 14 BAB II F. Sistematika Penulisan................................................................... 16 : PERWALIAN ANAK DALAM PANDANGAN ISLAM ............ 18 A. Pengertian dan Dasar Hukum Perwalian...................................... 18 B. Macam-macam Perwalian............................................................. 23 C. Rukun dan Syarat Perwalian......................................................... 26 D. Penetapan Orang Tua Sebagai Wali Bagi Anak........................... 43 E. Berakhirnya Perwalian................................................................. 45 F. Hikmah dan Tujuan Perwalian..................................................... 46 BAB III : PERWALIAN ANAK DALAM PANDANGAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA ............................................................... 48 A. Pengertian dan Dasar Hukum Perwalian...................................... 48 B. Hak dan Tanggung Jawab Perwalian Anak................................... 49 vi C. Orang Yang Mendapat Perwalian................................................. 51 D. Ruang Lingkup dan Batasan Perwalian....................................... 51 E. Penetapan Orang Tua Sebagai Wali Terhadap Anak.................... 52 F. Berakhirnya Perwalian................................................................... 53 BAB IV : PERKARA PERMOHONAN ORANG TUA SEBAGAI WALI TERHADAP ANAK KANDUNG ..................... 56 A. Perkara Putusan Pengadilan Agama Depok Perkara No 22/Pdt.P/PA.Dpk 1. Duduk Perkara........................................................................... 56 2. Pemeriksaan Perkara dalam Persidangan................................... 57 3. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim...................................... 59 4. Penetapan Putusan Perkara....................................................... 62 B.Perkara Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara No 0046/Pdt.P/PA.JP 1. Duduk Perkara........................................................................ 63 2. Pemeriksaan Perkara dalam Persidangan................................. 67 3. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim..................................... 67 4. Penetapan Putusan Perkara..................................................... 69 C.Analisis Penulis BAB V 1. Analisis Pendekatan Ushuliyah............................................... 69 2. Analisis Pendekatan Perundang-undangan di Indonesia ...... 73 : KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................... 78 A. Kesimpulan ................................................................................. 78 B. Saran ………………….................................................................. 79 vii DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 82 DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................... 85 1. Putusan Pengadilan Agama Depok Perkara No 22/Pdt.P/PA.Dpk........................................................................... 86 2. Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara No 0046/Pdt.P/PA.JP........................................................................... 94 3. Data wawancara hakim Pengadilan Agama Depok ................... 101 4. Surat Keterangan Wawancara .................................................... 104 5. Surat Mohon Data Dan Wawancara…………………………... 105 viii BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Sebagai kelanjutan dari iman seseorang manusia kepada Allah SWT ialah ia mesti berbuat sesuai dengan apa yang dikhendaki Allah SWT. Perbuatan lahir dari manusia merupakan gambaran perbuatan batin yang disebut iman. Perbuatan lahir selanjutnya menjadi ukuran bagi keimanan seseorang. Kualitas keimanan itu dapat dilihat dari kualitas amal lahir itu. Oleh karena itu, manusia mesti mengerjakan apaapa yang disuruh oleh Allah SWT. Untuk melakukannya dan meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah untuk diperbuatnya. Apa-apa yang disuruh Allah manusia memperbuatnya menandakan perbuatan tersebut adalah baik dan bermanfaat bagi kehidupannya dan apa-apa yang dilarang Allah manusia memperbuatnya menunjukkan perbuatan tersebut adalah buruk dan merusak kehidupan manusia itu sendiri 1 . Apa-apa yang dihendaki Allah berkenaan dengan tindak perbuatan manusia itu disebut hukum syara’. Kehendak Allah itu dapat ditemukan dalam kumpulan wahyu yang disebut al-Qur’an dan penjelasan yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dalam hadis atau sunnah. Hukum syara’ yang merupakan kehendak Allah itu pada umumnya merupakan pedoman pokok yang berbentuk petunjuk yang bersifat umum dan garis-garis besar yang menurut apa adanya belum dapat dilaksanakan 1 Amir Syarifuddin . Garis-garis Besar Fiqih, (Jakarta : Gaung Prenada Media,2003), h.2 1 2 secara baik dan praktis, petunjuk Allah tersebut perlu dijabarkan dalam bentuk petunjuk operasional secara rinci dan mudah diamalkan. Petunjuk praktis yang bersifat amaliah terhadap kehendak Allah tersebut secara sederhana disebut fikih. Dalam memahaminya Allah membekali hambanya dengan akal pikiran agar dapat merealisasikan kehendaknya di muka bumi seiring dengan perubahan kondisi 2 . Ajaran Islam mengatur hubungan manusia dan sang penciptanya dan ada pula yang mengatur hubungan sesama manusia dan alam semesta. Ajaran Islam datang dengan sangat memperhatikan kepada kedudukan sesama manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Manusia pada perjalanan hidupnya secara sifat nalurinya adalah berpasang pasangan untuk meneruskan generasi berikutnya serta untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dalam membentuk dan membina rumah tangganya. Pernikahan merupakan proses alamiah yang senantiasa dilalui oleh manusia, karena pada saat mereka sampai tahap kedewasaan akan muncul perjalanan ikatan lawan jenisnya sebagai tujuan dari keluarga sakinah mawaddah warahmah. Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqon gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Dengan adanya dimensi ibadah dalam sebuah perkawinan, karena itu suatu perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan tercapainya apa yang menjadi tujuan perkawinan, yaitu terwujudnya keluarga sakinah, mawaddah, 2 Ibid. h.2 3 warahmah serta melanjutkan keturunan generasi berikutnya yang menjadi kebanggaan, tanggung jawab serta amanah Allah SWT kepada manusia sebagai hambaNYA. Disamping untuk menghindarkan diri dari terjerumus kepada perbuatan yang tidak terpuji dan untuk ketentraman jiwa, pernikahan disyariatkan juga untuk melestarikan keturunan . Menurut Abu Ishak al Syatibi dalam kitabnya Almuwafaqat, hal yang disebut terakhir ini adalah menjadi tujuan utama bagi suatu pernikahan, sedangkan hal-hal lain hanyalah sebagai faktor-faktor pendukung bagi terwujudnya tujuan utama tersebut. 3 Al-Quran mengintrodusir hal diatas dengan Allah SWT menjadikan bagi kamu istri-istri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu dan memberimu rizki yang baik-baik. Dapat dipahami bahwa untuk mewujudkan keturunan yang berkualitas dan saleh, bukanlah suatu pekerjaan yang mudah. Tugas ini memerlukan keseriusan dan kesinambungan serta harus ada secara khusus orang yang menyediakan waktu untuk itu. Begitu penting kesungguhan dan kesinambungan dalam memelihara dan mendidik anak keturunan, sehingga hal tersebut mendapat perhatian besar dan mendasar dalam kajian hukum Islam. Secara serius para ulama masa silam mengkaji berbagai aspek yang berkaitan dengan apa yang harus dilakukan terhadap anak dari waktu ia lahir, bahkan dari waktu dalam kandungan, sampai ia dapat mandiri dalam 3 Satria Effendi. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah, cet ke-2, ( Jakarta, Kencana , 2005) h.121 4 kehidupan. Hak-hak seoarang anak, dibicarakan secara detail dalam buku-buku fikih klasik. Seorang anak yang lahir ke dunia ini, dan serta merta ia membutuhkan kepada orang lain yang akan memeliharanya, baik dirinya ataupun harta bendanya, hak miliknya, karena ia membutuhkan orang lain yang akan mengawasi penyusuan dan pengasuhannya, dalam priode kehidupan yang pertama itu. Demikian juga ia membutuhkan orang lain yang menjaga dan memeliharanya, serta mendidik dan mengajarinya, dan melaksanakan bermacam-macam urusan yang berhubungan dengan jasmaniyahnya dan pembentukan kepribadiannya, dan juga membutuhkan orang yang akan mengawasi urusan hak miliknya, agar supaya dipelihara dan diperkembangkan. 4 Dalam hukum Islam, segala kemungkinan negatif itu secara teoritis telah diantisipasi dengan menetapkan aturan-aturan, siapa yang seharusnya mengasuh dan mendidik anak bila terjadi perceraian, baik cerai hidup maupun cerai mati, dan apa persyaratan pada diri seseorang yang cakap untuk melakukan tugas ini 5 . Dalam perundang-undangan di Indonesia, pada dasarnya yang berhak dan mempunyai tanggung jawab menjadi wali , pengasuhan serta pemeliharaan anak adalah kedua belah pihak, yaitu suami dan istri selama memiliki kecakapan untuk 4 Zakariya Ahmad al Barry, Hukum Anak-anak Dalam Islam. Penerjemah Chadijah Nasution, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977) h.106 5 Effendi. Problematika Hukum Keluarga Islam. h.122 5 menjalankan tugasnya tersebut. Seperti yang tertera secara eksplisit dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) 6 , dalam permasalahan perwalian, bahwa secara otomatis kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya dan seorang anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut kekuasaannya serta orang tua tersebut mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan luar pengadilan. Dalam ketentuan umum Kompilasi Hukum Islam, pasal 1 poin (h), dikatakan bahwa perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau kedua orang tua atau orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan perbuatan hukum. 7 Berbeda dengan kekuasaan orang tua terhadap anak-anaknya yang secara otomatis adalah sebagai wali dan pengasuh anaknya, maka dalam keadaan dimana orang tua tersebut tidak cakap dalam menjalankan kewajibannya atau karena meninggalnya kedua orang tuanya, seseorang yang ditunjuk oleh hakim dapat menjadi wali bagi anak-anak tersebut. Dalam hal ini pencabutan dan permohonan penunjukan wali adalah dilakukan oleh Pengadilan Agama. 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Citra Umbara, 2007) h.33 7 Kompilasi Hukum Islam, (Bandung : Citra Umbara, 2007) h.2 6 Perkara perwalian di lingkungan Pengadilan Agama terhitung sebagai perkara pertengahan jika dilihat dari kuota perkara yang diterima oleh Pengadilan. Perkara perwalian tingkat pertama dalam lingkup Pengadilan Agama dari data yang diambil pada tahun 2007, secara persentase peringkat kuota perkara yang masuk di pengadilan, menduduki peringkat ke-16 dari 35 perkara yang lain, yaitu sebanyak 349 perkara atau 0,174%, sedangkan perkara penunjukkan orang lain sebagai wali menduduki peringkat ke-15, satu peringkat diatas perkara perwalian, yaitu sebanyak 499 perkara atau 0,249% 8 . Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa orang tua, terutama ayah menurut jumhur ulama dalam khazanah fikih 9 maupun kedua belah pihak (ayah dan ibu) dalam perundang-undangan di Indonesia yang memiliki kecakapan hukum terhadap anak-anak mereka yang belum cakap hukum, secara otomatis adalah orang yang bertanggung jawab dalam merawat dan memelihara serta mewakili anak tersebut dalam perbuatan hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan. Namun dalam kehidupan masyarakat hal tersebut terkadang tidak dapat terealisasi secara langsung, dengan berbagai alasan serta kebutuhan seperti persyaratan untuk berbuat hukum terhadap anak, persyaratan administrasi seperti passport serta untu kepentingan pendidikan dan lain-lain, orang tua mengajukan permohonan penetapan untuk 8 Asep Nursobah, “Data Perkara Peradilan Agama Tingkat Pertama Yang Diterima Tahun 2007”, artikel diakses pada 6 Juni 2010 dari http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=4073 9 Jawad Mughniyya, Fikih Lima Madzhab, Penerjemah Oleh Masykur A.B dkk (Jakarta: Lentera Basritama, 2000), h.693 7 menjadi wali bagi anak-anak mereka sendiri, padahal dalam peraturan yang ada, mereka secara otomatis adalah wali bagi anak-anak mereka. Bagaimana pengadilan dan majelis hakim secara spesifik menyelesaikan perkara tersebut, serta apa pertimbangan dalam mengabulkan atau menolak penetapan wali walaupun bagi anak mereka sendiri . Inilah yang menjadi ketertarikan penulis unuk membahasnya secara analisis dengan komparatif antara putusan Pengadilan Agama yang mengabulkan permohonan tersebut dan putusan Pengadilan Agama yang menolaknya, karya tulis ini penulis tuangkan dalam skripsi yang berjudul Permohonan Orang Tua Kandung Sebagai Wali Terhadap Anaknya (Studi Analisis Komparatif Putusan Pengadilan Agama Depok Perkara Nomor 22/Pdt.P/2010/PA.Dpk. dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara Nomor 0046/Pdt.P/2009/PA .JP.) B. Batasan dan Rumusan masalah 1. Batasan Masalah Agar pembahasan ini tidak meluas, maka dalam penelitian ini penulis terfokus pada pertimbangan majlis hakim terhadap ditetapkan atau ditolaknya permohonan orang tua untuk menjadi wali terhadap anak kandungnya. Dalam hal ini, objek penulis batasi pada Putusan Pengadilan Depok Perkara Nomor 22/Pdt.P/2010/PA. Dpk. Dan Putusan 0046/Pdt.P/2009/PA .JP. Pengadilan Agama Jakarta Pusat Perkara Nomor 8 2. Rumusan Masalah Menurut khazanah fikih, jumhur ulama menyatakan bahwa orang tua, terutama dari pihak laki-laki adalah wali bagi anak kandung mereka secara otomatis 10 , sedangkan menurut Perundang-undangan di Indonesia, berdasarkan pasal 330 ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 50 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 107 ayat 2 Kompilasi Hukum Islam, menerangkan bahwa konsep perwalian adalah terhadap anak yang belum cakap hukum dan tidak dibawah kekuasan orang tuanya. Adapun anak yang dibawah kekuasaan orang tuanya adalah bukan dalam ranah perwalian, tetapi masuk dalam ranah hak dan tanggung jawab orang tua berdasarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 47 menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tua selama kekuasaannya tidak dicabut, begitu juga dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pasal 98 ayat 2 menyatakan bahwa orang tua mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum 11 , namun pada kenyataannya, penulis temukan Putusan Pengadialan Agama yang mengabulkan permohonan perwalian anak yang dibawah kekuasaan orang tuanya. Inilah yang menjadi ketertarikan penulis untuk membahas 10 Wahbah, Zuhaili, Alfiqhu Al-Islamy Wa Adillatuhu, IX, (Damsyiq : Dar El Fikr,1989) h.7328, bandingkan dengan Jawad Mughniyyah, Fikih Lima Madzhab, (Jakarta, Lentera Basritama 2000) h.693 11 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Dan Kompilasi Hukum Islam,( Citra Umbara, Bandung 2007) h.31 9 dalam sebuah skripsi. Dan untuk memperjelas pemasalahan, penulis merincinya dengan mengajukan beberapa rumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana menurut hukum atas permohonan orang tua sebagai wali terhadap anak kandung mereka ? 2. Apakah yang menyebabkan penetapan perwalian bagi orang tua terhadap anak kandung mereka sendiri ? 3. Bagaimana pertimbangan majlis hakim dalam memberikan atau menolak penetapan orang tua terhadap perwalian terhadapa anak kandung mereka ? C. Tujuan dan Manfaat hasil penelitian 1. Tujuan Penelitian ini bertujuan unuk menelaah lebih lanjut tentang perwalian anak dalam Islam, khususnya putusan penetapan orang tua terhadap perwalian anak di Pengadilan Agama Depok dan Jakarta Pusat, serta secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : a. Menggambarkan hukum permohonan orang tua untuk menjadi wali bagi anak kandung sendiri. b. Menggambarkan hal-hal yang menyebabkan penetapan orang tua sebagai wali bagi anak kandung mereka sendiri. c. Menggambarkan tentang pertimbangan hakim yang memberikan atau menolak penetapan orang tua sebagai wali bagi anak kandung mereka. 10 2. Manfaat Penelitian ini diharapkan berguna dan memeberi sumbangsih pemikiran bagi pemerintah indonesia selaku regulator serta para insan hukum, baik hakim, advokat, pengamat dan pakar hukum, pun praktisi hukum islam. Penelitian ini ditujukan untuk memberikan stimulus yang berakibat pada pembaharuan perundang-undangan di bidang hukum keluarga islam di indonesia agar senantiasa mengikuti dan bergerak secara dinamis sesuai dengan pergerakan dan perkembangan jaman modern. Penelitian ini juga mengharapkan bangkitnya kembali budaya analisa yurisprudensi kritis di bidang hukum islam di indonesia, sehingga memacu perkembangan dan khazanah keilmuan islam secara umum dan perkembangan dunia hukum keluarga Islam di indonesia secara khusus. D. Metode Penelitian Untuk memperoleh data, mengolah serta mendeskripsikannya dalam sebuah kata-kata, maka penulis menggunakan beberapa metode antara lain : 1. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang penulis gunakan dalam tulisan ini adalah dengan memakai pendekatan penelitian hukum normatif yakni penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti bahan data pustaka atau data sekunder sebagai suatu proses penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum 11 dari sisi normatifnya 12 . Data yang bersifat kualitatif tersebut di deskripsikan apa adanya atau yang sering kita sebut dengan “Kualitatif Naturalistik” 13 , yaitu yang menunjukkan bahwa pelaksanaan penelitian ini memang terjadi secara alamiah, apa adanya, dalam situasi normal yang tidak dimanipulasi keadaan dan kondisinya, menekankan pada deskripsi secara alami. Untuk mempertajam kajian, penuis memakai beberapa pendekatan dalam penelitian hukum Normatif yang sesuai dengan objek kajian penulis diantaranya: 14 a. Pendekatan perundang-undangan (Statute Approach), yaitu pendekatan yang dilakukan untuk meneliti aturan-aturan yang penormaannya kondusif. b. Pendekatan Konsep (Conceptual Approach), yaitu pendekatan untuk memahami konsep perwalian dalam islam. c. Pendekatan kasus (Case Approach), yaitu untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum, terutama mengenai kasus-kasus yang telah diputus oleh pengadilan. Dalam hal ini penerapan norma dan kaidah hukum perwalian. 2. Data yang dikumpulkan 12 Johny Ibrahim, Penelitian Hukum Normatif, (Jawa Timur: Bayumedia, 2008) h.57 13 Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h.12 14 Ibrahim, Penelitian Hukum., h.57 12 Sesuai dengan permasalahan yang diajukan penulis di bagian sebelumnya, maka data yang hendak dikumpulkan adalah data-data yang berkenaan dengan Perwalian anak, serta data-data yang berkenaan dengan Putusan pengadilan Depok Nomor 22/Pdt.P/2010/PA. Dpk. dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 0046/Pdt.P/2009/PA .JP. 3.Sumber data Untuk memenuhi data seperti yang disinggung di atas, maka diperlukan sumber primer dan skunder. Sumber primer sebagai pokok dalam studi analisis ini adalah Putusan pengadilan Depok Nomor 22/Pdt.P/2010/PA. Dpk. dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 0046/Pdt.P/2009/PA .JP Sedangkan sumber skunder sebagai sumber pendukung adalah dengan jalan studi kepustakaan dengan meneliti beberapa dokumen yang berhubungan dengan judul yang penulis ajukan yang terdiri dari Al Qur’an, Hadis, kitab-kitab fikih, buku-buku ilmiah, jurnal-jurnal, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama jo. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (PA), Kompilasi Hukum Islam (KHI), serta Peraturan lainnya yang dapat mendukung skripsi ini. 13 4. Teknik pengumpulan data Untuk mengumpulkan data yang diperlukan, penulis membaca dan menelaah literatur yang berkenaan dengan perwalian anak, kemudian menganalisanya secara komparatif, yaitu dengan membandingkan persamaan atau perbedaan sesuatu, pandangan, benda, orang dll 15 . Putusan pengadilan Depok Nomor 22/Pdt.P/2010/PA. Dpk. Dan Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 0046/Pdt.P/2009/PA .JP. 5. Teknik Analisis Data Studi yang merupakan penelitian kepustakaan ini lebih bersifat deskriptif analisis. Penulis sudah mempunyai atau mendapatkan gambaran yang berupa datadata awal tentang permasalahan perwalian. 16 Metode data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data tersebut secara jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan content analysis. Data kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang akan penulis teliti. Adapun untuk teknis penulisan ini penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.” 15 Arikunto, Prosedur Penelitian, h. 267 16 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktik, (Jakarta :Sinar Grafika, 2008) h.9 14 E. Review studi terdahulu Setelah penulis mencari dan menelaah skripsi yang pernah ditulis oleh mahasiswa fakultas syariah dan hukum terlebih khusus prodi Al ahwal Asyakhsiyyah yang erat kaitannya dengan pembahasan yang akan diteliti penulis, ternyata bahasan yang telah ditulis oleh mahasiswa sebelumnya ditemukan pembahasan yang berbeda dengan pembahasan skripsi yang akan penulis ajukan, sehingga kecurigaan plagiasi dalam penulisan ilmiah dapat penulis pertanggung jawabkan. Untuk itu paling tidak penulis mengemukakan beberapa skripsi yang pernah ditulis dan masuk dalam daftar skripsi perpustakaan Syariah dan Hukum, diantaranya sebagai berikut : Tabel Rievew Studi Terdahulu JUDUL METODE KESIMPULAN PERBEDAAN 1. Hak Pemeliharaan Anak Oleh Bapak Akibat Perceraian (Studi Analisis Putusan Pengadilan Agama Bogor Perkara No 492/Pdt.G/2005/PA.Bgr Penulis: Ibnu Abdullah/SAS/2009 Penelitian Kualitatif Normatif, Objek kajiannya dengan menganalisis putusan Pengadilan Agama secara normatif dan hukum Islam. Skripsi ini membahas tentang pemeliharaan anak(hadhanah), Perceraian dalam Islam,pertimnangan Hakim dalam memberikan hak asuh anak kepada bapak Skripsi ini menekankan pembahasannya kepada hak asuh anak yang jatuh kepada ayah, sedang skripsi penulis membahas tentang permohonan orang tua untuk menjadi wali terhadap anak kandungnya Sjripsi ini membahas kajiannya terhadap 2.Kewenangan Penelitian Pengadilan Agama Kualitatif Dalam Menetapkan Normatif. Perwalian Anak Akibat Skripsi ini membahas tenang kompetensi absolut Pengadilan Agama 15 Perceraian Penulis: Abdul Azis/SJAS/2000 3. Perwalian Harta Kekayaan Bagi Anak Yang Belum Dewasa Menurut Hukum Islam dan Hukum Perdata Salimah/SJPA/2009 dalam perkara menetapkan perwalian anak akibat perceraian Penelitian Komparatif Kualitatif Normatif kewenangan Pengadilan Agama, sedangkan skripsi penulis membahas tentang orang tua yang mengajukan permohonan untuk menjadi wali bagi anak kandungnya. Skripsi ini Perbedaannya, membahas tentang skripsi ini objek perceraian, kajiannya perwalian anak membahas menurut hukum tentang perwalian Islam dan hukum harta anak yang perdata belum dewasa menurut hukum Islam dan hukum perdata, sedang objek kajian penulis adalah permohonan orang tua sebagai wali terhadap anak kandung mereka. Melihat karya-karya ilmiah yang disebutkan diatas, yang mebahas tentang perwalian, menurut pengamatan penulis, bahwa belum dijumpai karya ilmiah yang membahas mengenai permohonan orang tua sebagai wali terhadap anak kandung mereka sendiri,. Skripsi ini akan memperdalam permasalahan permohonan orang tua terhadap anak kandung mereka sendiri, yang mana menurut fikih dan perundang- 16 undangan di Indonesia adalah hak yang mereka proleh secara otomatis. Sehingga inilah yang membuat penelitian ini mempunyai karakteristik dan nuansa tersendiri yang pada akhirnya membedakan penelitian ini dengan karya sebelumnya. F. Sistematika Penulisan Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai berikut : BAB PERTAMA Memuat Pendahuluan yang mencakup Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan Rumusan Masalah, Manfaat dan Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, Review Studi Terdahulu, dan Sistematika Penulisan. BAB KEDUA Memuat Pengertian tentang Perwalian anak Dalam Pandangan Islam dan dasar Hukumnya, macam-macam perwalian, syarat-syarat menjadi wali, Orang yang berhak menjadi wali, penetapan orang tua sebagai wali serta hikmah dan tujuan perwalian. 17 BAB KETIGA Memuat Pengertian Tentang Perwalian Anak dalam hukum positif di Indonesia dan dasar hukumnya, Macam-macam perwalian anak, orang yang berhak menjadi wali, penetapan orang tua menjadi wali bagi anaknya, serta berakhirnya perwalian. BAB KEEMPAT Perkara Pengadilan Agama Depok dan Jakarta Pusat, duduk perkara, pemeriksaan perkara dalam sidang, pertimbangan hukum majlis hakim, serta penetapan putusan perkara serta Analisa penulis, yang memuat analisa ushuliyyah dan analisa perundang-undangan di Indonesia. BAB KELIMA Penutup yang berisi tentang kesimpulan dan saran serta akan dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang dianggap penting. BAB II PERWALIAN ANAK DALAM PANDANGAN ISLAM A. Pengertian dan Dasar Hukum Perwalian Istilah perwalian berasal dari bahasa Arab dari kata dasar, waliya, wilayah atau walayah, dari ungkapan wala asyay’a wa wala alayhi wilayatan/walayatan. Kata alwalayatu ditafsirkan dengan pertolongan, dikatakan هﻢ ﻋﻠﻲ وﻻﻳﺔ اي ﻣﺠﺘﻤﻌﻮن ﻓﻲ ا ﻟﻨﺼﺮة , yaitu mereka dalam pertolongan, artinya bersama-sama dalam pertolongan, sedangkan kata alwilayatu ditsfsirkan dengan al-qudrah wa al-sultah, yaitu kekuasaan dan kekuatan. Sibaweih berkata, bahwa kata al-walayah dengan fathah adalah masdar, sedangkan al-wilayah dengan kasrah adalah isim seperti al-imarah. Ibnu Bary berpendapat kata al-walayah dalam firman Allah SWT surat al-Anfal ayat 72, dibaca dengan fathah atau kasrah, keduanya berarti pertolongan, sedangkan alKisai membacanya dengan fathah. 1 Terjemahan al-Qur’an secara lafziyah ke dalam bahasa indonesia yang ditashih oleh Departemen Agama, juga mengartikan kata tersebut dengan pertolongan, 2 karena kata tersebut adalah nama bagi sesuatu yang yang dikuasai. Nama al-wali adalah nama untuk Allah SWT, yang berarti pemilik segala sesuatu seluruhnya. Dari pemahaman diatas dapat diambil kesimpulan, bahwa kata wilayah dan walayah mempunyai makna etimologis lebih dari satu, diantaranya dengan makna, 1 Ibnu Manzur. Lisan al-Arab, (Mesir: Daar al-Hadist,2003), h.405. 2 Lajnah Pentashih Mushaf al-Quran Departemen Agama, Tarjamatu Alfadzi al-Quran, Inayatan Li al-Mubtadiin, jilid IV (Jakarta: Tri Burnama Utama Jakarta,1980), h.34. 18 19 pertolongan, cinta (mahabbah), kekuasaan atau kemampuan (al-sultah), yang artinya kepemimpinan seseorang atas sesuatu. Ensiklopedi Hukum Islam, editor Abdul Aziz Dahlan, mengartikan wilayah secara etimologis dengan dekat, mencintai, menolong, mengurus, menguasai, daerah dan pemerintahan. 3 Kata waal/waliyy/waliyyan paling tidak diulang-uang dalam al-Quran sebanyak 31 kali, sedangkan kata alwalayah dan wilayah sebanyak 2 kali. 4 Berdasarkan pengertian etimologis tersebut, maka dapat dipahami bahwa perwalian adalah suatu bentuk perlindungan dengan otoritas penuh atas dasar tanggung jawab dan cinta kasih, untuk memberikan pertolongan atas ketidakmampuan seseorang dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, baik yang berhubungan dengan harta maupun dengan dirinya. 5 Dalam literatur-literatur fikih klasik dan kontemporer, kata al-wilayah digunakan sebagai wewenang seseorang untuk mengelola harta dan mengayomi seseorang yang belum cakap bertindak hukum. Dari kata inilah muncul istilah wali bagi anak yatim, dan belum cakap bertindak hukum. Istilah al-wilayah juga dapat berarti hak untuk menikahkan seorang wanita dimana hak itu dipegang oleh wali nikah. 6 3 “Wilayah”, dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed.,Ensiklopedi Hukum Islam, vol.6 (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), h.1934. 4 Faydullah al-Hasani al-Maqdisi, Fathu ar-Raahman Li a-Thalib Ayat al-Quran, (Bandung: Maktabah Dahlan, t,th), h.482. 5 Andi Syamsu dan Muhammad Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam (Jakarta: Prenada Media Group,2008), h.151. 6 Ibid., h.152, lihat juga “Wilayah”, dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed.,Ensiklopedi Hukum Islam, vol.6 (Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), h.1934. 20 Sedangkan menurut ulama fikih, al-walayah adalah kekuasaan syara’ yang dimiliki seseorang terhadap urusan orang lain tanpa tergantung pada izinnya. 7 Wahbah al-Zuhaili mendefinikan wilayah dengan pengurusan orang dewasa yang cakap hukum terhadap diri atau harta seseorang yang belum cakap hukum, adapun yang dimaksud belum cakap hukum adalah seseorang yang belum sempurna ahliyyah al-ada, 8 baik kerena hilangnya seperti belum mumayyiz atau naqisnya (kurangnya), seperti mumayyiz. 9 Ulama fikih lain mendefinisikan wilayah dengan: “Wewenang seseorang untuk bertindak hukum atas orang yang tidak cakap bertindak hukum, baik untuk kepentingan peribadinya maupun untuk kepentingan hartanya, yang diizinkan oleh syara. Orang yang masih dalam status ahliyyah al-wujub (hanya cakap menerima hak), belum dan tidak cakap bertindak hukum sendiri perlu dibantu oleh seseorang yang telah dewasa yang cerdas dalam mengayomi pribadi dan hartanya. Orang membantu mengelola harta dan mengayomi orang yang belum atau tidak cakap berbuat hukum dalam fikih Islam disebut wali. Apabila anak kecil atau orang gila bertindak hukum sendiri , maka tindakan hukumnya tidak sah dan tidak menimbulkan akibat hukum apa pun. Anak kecil, orang gila, dan orang-orang yang berada dibawah pengampuan memerlukan orang yang dapat membantu mereka dalam melakukan 7 Ibid., h.152 8 Ahliyatul Ada adalah kelayakan mukallaf untuk dapat dianggap ucapan dan perbuatannya meburut syara, lihat dalam Saifudin Shidik, Ushul Fikih (Jakarta: Intimedia. T.th), h.162. 9 h.7327. Wahbah Zuhaily, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuh, Juz IX (Damsyiq : Dar El Fikr,1989), 21 tindakan hukum, baik yang menyangkut diri mereka sendiri, maupun terhadap harta bendanya serta segala sesuatu yang bermanfaat untuk diri mereka. Dalam kaitan inilah Islam mengemukakan konsep al-wilayah, sebagai pembantu orang-orang yang masih dalam status ahliyyah al-wujub. Dari sudut ini wilayah sama dengan pengganti atau wakil dalam bertindak hukum. 10 Ulama madzhab Hanafi mendefinisikan wilayah dengan merealisasikan atau menjalankan perkataan/perbuatan orang lain, baik yang diinginkan atau tidak. 11 Adapun yang menjadi dasar hukum diadakannya perwalian yaitu Firman Allah SWT Surat al-Baqarah ayat 282 : 12 ⌧ ☺ ☺ ☺ ⌧ ⌧ ☺ ☺ 10 Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.153. lihat juga “Wilayah”, dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed.,Ensiklopedi Hukum Islam, h.1944 11 Zuhaily, al-Fiqhu al-Islami, h.7327 12 Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.69. 22 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya....Q.S. al-Baqarah: 282)” Hadis yang diriwayatkan oleh Aisyah RA tentang perwalian dalam masalah nikah: ﻦ ِ ْن ﺑ ِ ﺳَﻠﻴْ َﻤﺎ ُ ْﻋﻦ َ ﺞ ٍ ْﺟ َﺮﻳ ُ ﻦ ِ ْﻋﻦ اﺑ َ ﻋ َﻴﻴْ َﻨ َﺔ ُ ﻦ ُ ْن ﺑ ُ ﺳﻔْ َﻴﺎ ُ ﺣ َﺪ َﺛ َﻨﺎ َ ﻋ َﻤ ٍﺮ ُ ﻦ َأ ِﺑﻲ ُ ْﺣ َﺪ َﺛ َﻨﺎ اﺑ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻَﻠﻰ ا َ ﷲ ِ لا َ ْﺳﻮ ُ ن َر َ َأ: ﺸ َﺔ َ ﻋﺎ ِﺋ َ ْﻋﻦ َ ﻋﺮْ َو َة ُ ْﻋﻦ َ ﻋﻦْ اﻟ ُﺰهْ ِﺮي َ ﺳﻰ َ ُْﻣﻮ ٌﻃﻞ ِ ﺣ َﻬﺎ َﺑﺎ ُ ﻃﻞٌ َﻓ ِﻨ َﻜﺎ ِ ﺣ َﻬﺎ َﺑﺎ ُ ن َوِﻟ ِﻴ َﻬﺎ َﻓ ِﻨ َﻜﺎ ِ ْﺤﺖْ ِﺑ َﻐﻴْ ِﺮ ِإذ َ ل َأ ُﻳ َﻤﺎ اﻣْ َﺮَأ ٍة َﻧ َﻜ َ ﺳَﻠ َﻢ َﻗﺎ َ ﺠ ُﺮوْا َ ﺟ َﻬﺎ َﻓﺈنْ اﺷْ َﺘ ِ ْﻞ ِﻣﻦْ َﻓﺮ َﺤ َ ﻞ ِﺑ َﻬﺎ َﻓَﻠ َﻬﺎ اﻟ َﻤﻬْ ُﺮ ِﺑ َﻤﺎ اﺳْ َﺘ َﺧ َ ﻃﻞٌ َﻓﺈنْ َد ِ ﺣ َﻬﺎ َﺑﺎ ُ َﻓ ِﻨ َﻜﺎ 23 Artinya: Dari Aisyah RA berkata: Rasululah SAW bersabda: Wanita mana saja yang dinikahi tanpa izin dari walinya, maka nikahnya itu batal, dan jika lelaki telah mempergaulinya, maka ia wajib membayar mahar untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya, maka apabila mereka bersengketa, Penguasa atau hakim dapat menjadi wali bagi orang-orang yang tidak mempunyai wali (HR.Imam empat kecuali Nasai dan dianggap sahih oleh Abu Awanah, Ibnu Hibban dan hakim). B. Macam-macam Wilayah (Perwalian) Wilayah ( Perwalian) itu terbagi atas beberapa bagian dengan istilah yang berbeda-beda. 14 1. Dari sisi keumumannya, wilayah terbagi atas wilayah aam (umum) dan wilayah khas khusus: a. Wilayah aam (kekuasaan umum) yaitu kekuasaan imam/pemimpin, sultan (penguasa) dan qadhi/hakim b. Wilayah khas (kewalian/kekuasaan) yaitu perwalian ayah atau washi (penerima wasiat) terhadap anak kecil. Atau wilayah kurator penanggung jawab atas orang yang lemah akal dan gila. 13 Abu Daud hadis no 1880 Jilid 1 h.605, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, hadis no 13377, jilid VII h.105, Sunan al-Tirmidzi hadis no 1102, Jilid III h.407, Musnad Asyafi’i Hadis no 1074 Jilid I h.220, Musnad Ahmad hadis no 24372 Juz 40 h.435, Fath al-Bary Syarh Shohih Bukhary hadis no 1102 Jilid III h.407, lihat juga Ashanani, Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram Min Jam’i Adillah al-Ahkam, Juz III (Mesir: Daar Fikr, 1991), h.228 14 Huzemah Tahido Yanggo, Fikih Anak, Metode Islam Dalam Mengasuh Dan Mendidik Anak Serta Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktifitas Anak, (Jakarta: Almawardi Prima, 2004), h.307 24 2. Dari sisi orangnya sendiri atau wali, terbagi atas wilayah qashirah dan mutaaddiyah, 15 atau disebut juga wilayah asliyyah dan niyabah. 16 a. Wilayah qashirah (terbatas), yaitu kekuasaan seseorang atas dirinya sendiri. b. Wilayah mutaaddiyah, (melintasi orang lain), Wilayah mutaaddiyah dari sisi pelaku akad terbagi menjadi: 1). Kekuasaan pelaku akad (al-aaqid) untuk melakukan akad khusus oleh dirinya sendiri dan melaksanakan hukum-hukumnya 2). Kekuasaan pelaku akad untuk melakukan akad khusus dengan yang lainnya dengan menggunakan mandat dari syar’i (penetap syariat) c. Wilayah muta’addiyah dari sisi mawla ‘alayh (yang diayomi/diwilayahi), terbagi atas: 1). Wilayah ala al-nafs (kekuasaan mengurus jiwa), yaitu kekuasaan wali dalam untuk melakukan akad pernikahan, dimana ia melaksanakan tanpa izin oleh siapapun setelahnya. 2). Wilayah ala al-mal (kekuasaan mengurus harta), yaitu seperti kekuasaannya untuk melakukan akad-akad khusus dengan harta benda, dimana ia melaksanakan tanpa perkenan dari siapa pun juga. 3). Wilayah ala al-nafs wa al-mal (kekuasaan mengurus jiwa dan harta), yaitu kekuasaan untuk melakukan apa yang mencakup jiwa dan harta 15 Ibid., h.307. lihat juga Mustafa al-Ba’i Dan Abdurrahman as-Shabuni, al-Ahwal asSyakhsiyyah Fi al-Ahliyyah Wa al-Washiyyah Wa at-Tirkaah, (Damaskus: Daaf Fikr, 1965), h.42. 16 Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.153 25 secara bersamaan, serta hukum-hukum apa yang berhubungan dengan keduanya. d. Wilayah mutaaddiyah dari sisi sifat penerimaannya terbagi menjadi: 17 1). Wilayah Ikhtiyariyyah (sukarela), yaitu terbentuk melalui pendelegasian wewenang dari orang yang digantikan atau orang yang diwakili, seperti wali anak yatim yang bukan dari keluarganya, atau seseorang yang diberi wasiat oleh seorang ayah untuk menjadi wali bagi anaknya. 2). Wilayah Ijbariyyah (paksaan), yaitu perwalian yang harus diterima sesorang melalui pendelegasian syara ataupun hakim, seperti ayah atau kakek. Dalam pengertian lain wilayah ijbariyah adalah perwalian yang berlaku kepada yang berhak diwakilkan dengan cara paksa tanpa mempertimbangkan keridhaannya. 18 Wahbah Zuhaili dalam bab wilayah memulai bahasannya tentang perwalian dengan dua bagian, yaitu wilayah al-nafs dan wilayah al-mal. Adapun wilayah alnafs menurut beliau adalah, naungan atas orang yang belum cakap hukum pada dirinya, dari memelihara dan menjaganya, mengajarkan dan mendidiknya serta mengobati dan menikahkannya, dan lain sebagainya. Adapun wilayah al-mal ialah, naungan atas seseorang yang belum cukup umur akan harta bendanya, dari 17 Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.154. 18 Huzemah Tahido Yanggo, Fikih Anak, h.313. 26 mengembangkannya, dan berbuat hukum darinya seperti jual beli, pinjam meminjam, gadai dan lain sebagainya. 19 Abu Zahra, pengarang kitab al-Ahwal al-Syaksiyyah, membagi pembahasan perwalian pada wilayah pendidikan dan pengasuhan (hadhanah), wilayah atas diri dan penjagaannya serta wilayah al-mal. 20 Perwalian dalam pendidikan dan pengasuhan anak yang masih kecil masuk dalam permasalahan hadhanah (pengasuhan anak), adapun setelah anak tersebut baligh dan mampu mengurus dirinya sendiri, maka diberlakukan perwalian terhadap dirinyadan hartanya terhadap segala perbuatan hukum. C. Rukun dan Syarat Perwalian 1. Hak Dan Tanggung Jawab Perwalian Anak (mawla lah) Pada prinsipnya, seorang wali dengan wewenangnya harus senantiasa berorientasi kepada pemeliharaan dan kemaslahatan orang yang ada dibawah pengampuannya. Namun, karena persoalan pribadi dan harta merupakan persoalan yang cukup rumit, maka hukum syara’ menganjurkan agar yang menjadi wali adalah berasal dari kalangan keluarga terdekat, seperti ayah atau pamannya, karena kedua orang ini diperkirakan dapat memikul tanggung jawabnya secara penuh. Dalam menetapkan siapa yang berhak menjadi wali, ulama fikih membagi sesuai dengan 19 20 Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamy, h.7327. Abu Zahra, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, (Mesir: Daar al-Fikr, 2005), h.453. 27 objek pewalian, seperti perwalian dalam masalah jiwa (pribadi yang di bawah pengampuan). Madzhab Syafi’iyyah menegaskan bahwa urutan orang-orang yang berhak menjadi wali adalah sama dengan hierarkis orang-orang yang berhak menerima kewarisan. Apabila ayah tidak ada, maka kakek pun dapat diberi tugas perwalian. Dengan demikian, maka yang menjadi wali sebaiknya orang yang terdekat dengan yang diwakili, persis seperti kerabat dekat yang dibahas dalam persoalan ahli waris. Jika orang terdekat yang laki-laki tidak ada, maka hak perwalian urusan pribadi biasanya ditangani pihak ibu. 21 Dalam permasalahan wilayah al-mal, ulama Syafi’iyyah berpendapat bahwa yang berhak terhadap perwalian harta adalah ayah, kakek, seseorang yang diberi wasiat oleh ayah atau kakek, qadhi atau pihak yang berwenang dan tidak berlaku kepada selain orang tersebut kecuali ada wasiat adri ayah atau qadhi. Ulama Syafi’iyyah ini berbeda dengan ulama lain, yaitu dengan mengedepankan kakek terhadap seseorang yang diberi wasiat oleh ayah, karena kakek seperti ayah dan ia lebih beser penjagaannya, oleh karena itu kakek ditetapkan juga sebagi wali nikah manakala tidak ada ayah. 22 Dalam perwalian al-nafs, menurut Abu Hanifah yang berhak menjadi wali bagi seseorang yang cakap hukum adalah anak, ayah, kakek, saudara laki-laki, paman, artinya perwalian tersebut berdasarkan kepada ashobah dalam masalah waris, 21 Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.158. 22 Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami, h.7331., Mustafa al-Ba’i Dan Abdurrahman as-Shabuni, alAhwal as-Syakhsiyyah, h.43. 28 yaitu anak, ayah, saudara dan paman. Dan jika tidak ada salah satu dari ahli ashabah tersebut, maka perwalian berpindah kepada ibu, kemudian dzawil arham yang lain. Adapun dalam perwalian al-mal yang berhak, yaitu ayah, seorang yang diberi wasiat oleh ayah, kakek, qadhi yang mewasiatkan sesorang. 23 Adapun dalam madzhab Makikiyyah, hak perwalian jatuh kepada anak, ayah, wishaya (seseorang yg diberi wasiat), saudara, kakek, paman. Adapun hal dalam wilayah al-nafs, yaitu anak, bapak, wishaya, saudara kandung dan anaknya, saudara seayah dan anaknya, kakek, paman dan anaknya, dan diutamakan terhadap yang sekandung, kemudian qadhi pada zamannya. Dalam wilayah al-mal, ulama Malikiyah berpendapat, bahwa yang berhak menerima perwalian dalam masalah harta, yaitu ayah, seseorang yang diberi wasiat oleh ayah, qadhi atau orang yang berhak, ummat Islam apabila tidak ditemukan qadhi. Dalam wilayah al-mal ini ulama Malikiyah sependapat dengan Hanabilah. 24 Madzhab Imamiyah, Imam Ja’far berpendapat dengan ayah dan kakek dalam satu derajat yang sama, jika ayah dan kakek berbeda pendapat, maka yang di dahulukan adalah kakek, karena ia lebih tua umurnya, kemudian seseorang yang diwasiatkan oleh keduanya atau salah satunya, kemudian qadhi (hakim). 25 23 Ibid., h.7328. lihat juga Mustafa al-Ba’i Dan Abdurrahman as-Shabuni, al-Ahwal asSyakhsiyyah, h.43. 24 Ibid., h.1331. lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, Jilid III (Daar al-Saqafah alIslamiyah, t.t, t.th. h.283. 25 Mustafa al-Ba’i Dan Abdurrahman as-Shabuni, al-Ahwal al-Syakhsiyyah, h.43. 29 Qanun (undang-undang) mesir, maadah (pasal) 1 menegaskan hak perwalian terhadap harta anak dengan ayah, kakek jika tidak ada yang diberi wasiat oleh bapak atas hartanya dan tidak boleh berbuat hukum atas harta tersebut kecuali dengan izin pengadilan, qanun mesir ini sejalan dengan pendapat Abu Hanifah yang mengedapankan wasiat ayah daripada kakek. Qanun Suriah menetapakan dengan ayah, kakek ketika tidak ada bapak, selain keduanya tidak ada perwalian dalam harta penjagaan, penggunaan maupun pengembangannya. 26 Nampaknya qanun suriah ini menengahkan pendapat Abu Hanifah dan Asyafi’i, karena pasalnya jelas hanya untuk ayah dan kakek saja, di pasal pasal 176 qanun Suriah menyatakan bahwa boleh bagi ayah dan kakek dalam keadaan tidak ada keduanya, ayah mewasiatkan seseorang yang dipilih. Qanun Maghrirbi, dalam undang-undang tentang ahwal asyakhsiyyah, maadah (pasal) 149, menyatakan bahwa yang berhak dalam perwalian yang ditetapkan syariat adalah ayah dan qadhi disebut wali, seseorang yang ditunjuk atau wasiat oleh ayah, seseorang yang ditunjuk qadhi yang dinamakan dengan muqaddam, dalam pasal 149, dinyatakan bahwa ayah adalah wali bagi diri dan harta orang yang tidak cakap hukum sampai sempurnanya anak tersebut, qanun maghribi ini diambil dari pendapat Maliki yang tidak memberikan wilayah kepada kakek. 27 Konsep perwalian dikalangan fikih empat madzhab kecuali Abu Hanifah tampaknya ada persamaan, mereka sepakat bahwa hak perwalian hanya 26 Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami, h.7329. 27 Ibid., h.46 30 ☺ ☺ ⌧ ☺ ⌧ ☺ ⌧ ⌧ ⌧ Artinya: Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.(QS al Nisa 34) Namun menurut Montgomery Watt, konsep perwalian dari garis keturunan laki-laki merupakan tradisi Arab-Mekkah yang diadopsi ke dalam sistem legalisme 28 Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.158. 31 Islam. berdasarkan pernyataan itu, bisa saja konsep perwalian dari garis laki-laki tersebut merupakan pelanggengan fikih Islam terhadap konsep perwalian yang diadopsi dari budaya masyarakat Arab-Mekkah yang patriarkhis sebab dalam alQuran dan Hadis, konsep perwalian seperti itu tidak pernah diungkapkan secara eksplisit. 29 Adapun mengenai persyaratan wali, Uama fikih mengemukakan beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang agar ia dapat menjadi wali bagi orang yang tidak atau belum cakap bertindak hukum. Syarat-syarat dimaksud adalah: 30 1. Baligh, yaitu orang yang telah dewasa dan berakal, serta cakap bertindak hukum. 2. Agama wali sama dengan agama dengan orang yang diampunya, karena perwalian nonmuslim tidak sah bagi muslim. 3. Adil, dalam artian istikqamah dalam agamanya, akhlaknya baik, dan senantiasa memelihara kepribadiannya. 4. Wali mempunyai kemampuan untuk bertindak dan memelihara, amanah, karena perwalian itu bertujuan untuk mencapai kemaslahatan orang yang diampunya. 5. Wali senantiasa bertindak untuk kemaslahatan orang yang diampunya. 29 30 Ibid. h.159 Zuhaili, al-Fiqhu al-Islami, h.7329. lihat juga “Wilayah”, dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed.,Ensiklopedi, h.7329. 32 Dalam wilayah al-mal, Wahbah Zuhaili selain mensyaratkan seperti disebutkan diatas, lebih jauh lagi mensyaratkan seseorang yang akan menjadi wali atau pengampu bagi orang lain dalam masalah hartanya ialah harus seorang yang kecakapan hukumnya sempurna dengan baligh, berakal, mempunyai kebebasan, karena ketiadaan hal tersebut menyebabkan ketiadaan wewenang terhadap hartanya sendiri, terlebih terhadap harta yang diampunya, tidak seorang yang safih, mubadzir dan mahjur (orang yang terhalang menggunakan harta), dan juga seagama dengan yang diampu. 31 2. Orang-orang Yang Harus Mendapatkan Perwalian (Mawla ‘Alayh) Ulama fikih menyatakan bahwa orang-orang yang harus berada di bawah perwalian itu adalah orang-orang yang belum atau tidak cakap bertindak hukum. Mereka itu adalah anak kecil, orang gila serta orang bodoh. Anak kecil, sifat kecil jika dihubungkan dengan perwalian hak milik dan larangan bertindak sendiri, sebenarnya ada dua tingkatan, pertama kecil dan belum mumayyiz. Dalam hal ini anak itu sama sekali tidak memiliki kemampua untuk bertindak, jadi tidak sah kalau misalnya ia membeli apa-apa, atau memberikan apaapa kepada orang lain, kata-katanya sama sekali tidak dapat dijadikan pegangan , jadi segala-galanya berada di tangan wali. Kedua, kecil dan sudah mumayyiz, dalam hal ini si kecil itu kurang kemampuannya untuk bertindak, namun sudah punya kemampuan, oleh sebab itu kata-katanya sudah dapat dijadikan pegangan dan sudah sah kalau ia membeli atau menjual atau memberikan apa-apa kepada orang lain. 31 Ibid., h.7333. 33 Maka dalam soal menerima pemberian orang, menerima harta yang diwasiatkan, dan juga menerima harta wakaf, anak itu sudah sah bertindak tanpa perlu minta izin kepada wali, tetapi dalam soal membeli, menjual atau memberikan apa-apa kepada orang lain, masih diperlukan adanya izin wali bahkan, jika tindakannya itu membahayakan hartanya, maka dihukumkan batal, misalnya memberikan sumbangan yang banyak dengan segala macam bentuknya. Anak yang mumayyiz ialah anak yang sudah mencapai usia mengerti tentang akad, transaksi secara keseluruhan, ia mengerti maksud kata-kata yang diucapkannya, mengerti jual beli, rugi dan untung. Biasanya usia anak itu sudah genap 7 (tujuh) tahun, jadi jika anak tersebut belum genap tujuh tahun dihukumkan belum mumayyiz, walaupun ia mengerti tentang istilah-istilah menjual dan membeli. Sebaliknya terkadang anak sudah mencapai umur tujuh tahun , tetapi masih belum mengerti tentang jual beli dan sebagainya. Hukum anak kecil tersebut tetap berlaku hingga ia dewasa. Inilah yang dimaksud dengan Firman Allah SWT: ☺ ⌧ ⌧ ⌧ ☺ 34 ⌧ ⌧ Artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesagesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).(Q.S.al-Nisa : 6) Jadi untuk mengadakan transaksi yang sempurna, haruslah ditunggu sampai anak itu dewasa. Dan dewasa disini maksudnya cukup umur untuk berketurunan, dan muncul tanda laki-laki dewasa pada anak. Inilah dewasa yang wajar, yang biasanya belum ada sebelum anak putera berumur 12 (dua belas) tahun, dan anak puteri berumur 9 (sembilan) tahun. Kemudian anak yang sudah melewati umur seperti yang disebutkan diatas tetapi belum tampak gejala-gejala yang menunjukkan bahwa ia sudah dewasa, maka baik putera ataupun puteri, kedua-duanya sama, ditunggu hingga mereka berumur 15 (lima belas) tahun menurut pendapat Abu Yusuf dan Muhammad ibnu Hasan, menurut Abu Hanifah ditunggu hingga 18 tahun untuk putera dan 17 tahun untuk puteri. Ketentuan ini di ambil dari hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bnu Umar: 35 ﻲ ِ ﻋَﻠﻰ اﻟ َﻨ ِﺒ َ ﺖ ُ ْﻋ ِﺮﺿ ُ ل َ ﻋ َﻤ ٍﺮ َﻗﺎ ُ ﻦ ِ ْﻋﻦ اﺑ َ ﻋﻦْ َﻧﺎ ِﻓﻊ َ ﻋ َﻤ ٍﺮ ُ ﻦ ِ ْﷲ ﺑ ِ ﻋ َﺒﻴْ ِﺪ ا ُ ﻋﻦ َ ﺠﺰْ ِﻧﻲ ِ ﺳ َﻨ ًﺔ َﻓَﻠﻢْ ُﻳ َ ﺸ َﺮ َة َﻋ َ ﻦ َأرْ َﺑ ِﻊ ُ ْﺣ ٍﺪ َوَأ َﻧﺎ اﺑ ُ ﺳَﻠ َﻢ{ َﻳﻮْ َم ُأ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َو َ ﷲ ُ ﺻَﻠﻰ ا َ } 32 (ﺟﺎ َز ِﻧﻲ )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﻴﻪ َ ﺸ َﺮ َة َﻓﺄ َﻋ َ ﺲ ِ ْﺧﻤ َ ﻦ ُ ْق َوأ َﻧﺎ اﺑ ِ ﺨﻨْ َﺪ َ ﻋﺎ َم اﻟ َ ﻋَﻠﻴْ ِﻪ َ ﺖ ُ ْﻋ ِﺮﺿ ُ َو Artinya: “Saya dihadapkan kepada Rasulullah SAW untuk mendaftar perang Uhud, dan pada saat itu saya berumur 14 (empat belas) tahun, lalu beliau tidak memperbolehkan saya ikut, kemudian saya dihadapkan kepada beliau untuk ikut perang Khandaq, sedang saya waktu itu berumur 15 (lima belas) tahun, maka beliau membolehkan saya ikut berperang” (Hadis Muttafaq alayh) Peristiwa Abdullah ibnu Umar ini merupakan alasan bahwa lima belas tahun adalah ukuran umur untuk dewasa, dan ukuran ini sama bagi laki-laki dan wanita, laki-laki dianggap cukup kuat untuk berperang. Abu Hanifah mengambil alasan dari Firman Allah SWT : ⌧ ⌧ ☺ ⌧ Artinya: “Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. dan apabila kamu berkata, Maka hendaklah kamu berlaku adil, 32 Futuh al-Humaydi, al-Jam’u Bayna al-Shahihayn al-Bukhari Wa Muslim, Jilid II (Beirut: Dar Ibnu Hibban, 2002) h.158 lihat juga Ashanani, Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram Min Jam’i Adillah al-Ahkam, Juz III (Mesir: Daar Fikr, 1991), h.228. 36 Beliau mengatakan, bahwa kata أﺷﺪﻩ yang diterjemahkan dewasa, itu maksudnya dewasa dan matang, yaitu pada umur 18 tahun. hanya saja dikurangi satu tahun untuk anak puteri, karena biasanya puteri lebih cepat dewasa, usia dewasanya lebih rendah dari putera. Sedang dewasa dengan istilah رﺷﺪ, maksudnya sanggup bertindak dengan baik dalam mengurus harta dan menafkahkan harta tersebut sesuai dengan pikiran yang waras, tindakan yang bijaksana, dan peraturan agama. Dan hal ini berbeda-beda menurut keadaan anak dan perkembangan masa. Apa yang ditetapkan fikih hanyalah standard yang relatif dan pelaksanaannya diserahkan kepada kebijaksanaan hakim di suatu daerah seperti Mesir menetapkan batas usia anak dianggap dewasa untuk mengurus harta bendanya adalah 21 tahun, jika belum mencapai itu, anak dianggap belum mampu. 33 Kalau misalnya gejala-gejala kedewasaan jasmaniyah sudah nampak, tetapi gejala kedewasaan pikiran belum, maka anak tersebut berada dalam pengawasan walinya, walaupun usianya sudah lanjut. 34 Orang gila atau dungu, apabila seseorang mulanya tidak gila atau dungu kemudian ia gila atau dungu, maka yang berhak menjadi walinya , menurut ulama 33 Zakariya Ahmad al-Bary, Hukum Anak-Anak Dalam Islam. Penerjemah Chadijah Nasution (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h.117. 34 Ibid., h.117. 37 Mazhab Hanafi dan Syafi’i adalah walinya sebelum ia baligh, yaitu ayah, kakek atau washi mereka. Akan tetapi ulama Mazhab Maliki dan Mazhab Hanbali mengatakan bahwa wali yang telah baligh, cerdas, lalu tiba-tiba menjadi gila atau dungu adalah hakim, tidak kembali kepada ayah, kakek atau washi karena hak perwalian mereka telah gugur setelah baligh, berakal dan cerdasnya anak itu. Adapun orang bodoh (al-Safih) yang dalam bahsa arab berarti tidak berilmu, bodoh, atau berakhlak buruk, ringan dan bergerak. Yaitu suatu kondisi dmana seseorang kemampuan berfikirnya rendah atau lemah, membawa seseorang melakukan hal-hala yang tidak sesuai dengan akal dan syara. 35 Dalam kata lain safih adalah orang yang tidak cakap mengelola harta dan membelanjakannya secara baik. 36 Para ulama madzhab, kecuali Abu Hanifah, sepakat bahwa orang safih harus dicegah dari membelanjakan hartanya. Keadaannya adalah seperti anak kecil dan orang gila, kecuali bila memang dalam membelanjakan hartanya itu dia memperoleh izin dari walinya. Akan tetapi ia memiliki kebebasan mutlak dalam bertindak yang sedikit atau banyak, tidak berhubungan dengan masalah harta. Orang safih tidak akan lepas dari penahanan haknya itu hingga ia menjadi dewasa dan mengerti. Ini berdasarkan Firman Allah SWT : ⌧ ☺ 35 Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.160. 36 Jawad Mughniyyah, Fikih Lima Madzhab, Penerjemah Masykur, dkk (Jakarta: Lentera Baristama, 2000), h.688. 38 ☺ ⌧ ⌧ ⌧ ☺ ⌧ ⌧ Artinya: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum Sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan Pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka Telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).(QS al Nisa 5-6) Pendapat tersebut diatas dikemukakan oleh Syafi’i, Maliki, Hambali, Abu Yusuf, Muhammad dan Imamiyah. 37 37 Ibid., h.688-689. Lihat juga Sayyid Sabiq, Fikih al Sunnah, h.278 39 Sementara itu Abu Hanifah mengatakan bahwa kedewasaan bukanlah merupakan persyaratan bagi penyerahan harta kepada pemiliknya, dan tidak pula bagi sahnya tindakan-tindakan hukum yang berkaitan dengan harta benda. Kalau seseorang mencapai usia baligh dan dia mengerti lalu mengalami ke-safih-an, maka tindakan-tindakannya dinyatakan sah dan tidak dibenarkan menghalang-halanginya, bahkan seandainya usianya belum menginjak dua puluh lima tahun. Demikian pula halnya bila seseorang mencapai usia baligh tetapi dia belum mengerti (safih), dimana kesafihannya itu merupakan kelanjutan dari masa kecilnya dalam keadaan seperti ini, ketika dia berumur dua puluh lima tahun, dia tidak boleh lagi. 38 Dan sebagai bukti bahwa orang yang dungu itu tidak ditahan hartanya, bahwa ia juga dituntut untuk mengerjakan perintah-perintah agama, sebagai seorang mukallaf, termasuk misalnya menyempurnakan janji, yang disebutkan dalam al-Quran. 39 3. Ruang Lingkup Dan Batasan Perwalian (Mawla Bih) Seperti penulis jelaskan bahwa pembagian wilayah menurut mawla alayh atau objek yang menjadi hal perwalian adalah terbagi menjadi wilayah al-nafs dan wilayah al-mal, serta wilayah al-nafs dan al-mal secara bersamaan. Menurut Zakariya Ahmad al-Bary, paling tidak anak sete;ah dilahirkan berlaku terhadapnya 3 (tiga) macam 38 Ibid., h.689. 39 Zakariya Ahmad al-Bary, Hukum Anak-Anak Dalam Islam. Penerjemah Chadijah Nasution (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h.118. 40 perwalian yaitu, perwalian terhadap urusan mengasuh dan menyusukannya, perwalian terhadap dirinya perwalian terhadap hak miliknya. 40 Dalam masalah perwalian al-nafs termasuk segala urusan yang berhubungan dengan usaha memelihara anak, menjaga anak dan merawatnya. Jadi wali menggabungkan anak itu ke dalam keluarganya setelah masa mengasuh, yang dilaksanakan oleh kaum wanita, keluarga anak itu. Anak tidak boleh tinggal sendirian, atau tinggal bersama orang yang bukan walinya, kecuali jikaia sudah dewasa, sudah dapat memelihara kesejahteraan dirinya sendiri, kalau anak itu lakilaki dan pada usia yang diperkirakan ia sudah dapat menjaga keselamatan dirinya, dan ia sudah memiliki kecakapan untuk mencari nafkah juga kebijaksanaan dan kemampuan untuk menjaga kehormatan dirinya.41 Maka dalam tugas perwalian ini termasuk urusan mendidik anak, mencerdaskan pikirannya dan mengarahkan bakatnya untuk mempelajari keterampilan, atau melanjutkan sekolahnya ke sekolah-sekolah kejuruan, atau ke fakultas yang sesuai bakatnya. Pengawasan terhadap diri anak itu juga mencakup hak untuk menikahkan anak kecil, putera putri, atau menghalanginya. 40 Ibid., h.106. 41 Ibid., h.107. 41 Adapun dalam perwalian harta atau hak milik anak, mencakup transaksi dan akad yang berhubungan dengan hak milik anak yang diwalini, diantaranya menjual, membeli, mempersewakan, meminjamkan dan sebagainya.42 Kekuasaan wali terhadap harta dan diri anak yaitu disesuaikan dengan kebutuhan pada setiap waktu dankeadaan yang berbeda-beda, dan hal tersebut dilandaskan kepada kasih sayang dan kemaslahatan anak. Oleh sebab itu batas-batas kekuasaan mereka adalah disesuaikan dengan keadaan. 43 Ruang lingkup perwalian, dilihat dari segi tingkatan kewenangannya, ulama fikih membaginya kepada 4 (empat) bentuk. 44 1. Wewenang wali yang bersifat kuat dan kokoh dalam urusan pribadi, (syakhsiyyah, personal affair), seperti wali dapat memaksa orang yang dibawah ampuannya untuk kawin, mengajar, atau melakukan pengobatan berat seperti operasi. Wewenang seperti ini hanya ada pada wali yang bertalian keturunan erat dengan orang yang berstatus ahliyyah al-wujub seperti ayah atau kakek. 2. Wewenang wali yang bersifat lemah terhadap urusan pribadi seseorang yang ada dibawah pengampuannya, yaitu hanya mengawasi dan mendidiknya. Dalam status seperti ini seorang wali tidak dapat melakukan tindakan spekulatif yang banyak mengandung resiko terhadap orang yang dibawah 42 Ibid., h.113. 43 Ibid., h.123. 44 Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.168. 42 pengampuannya. Wali seperti ini adalah kerabat dekat orang yang berada di bawah pengampuan tersebut, tetapi bukan ayah, kakek, saudara laki-laki, dan paman. 3. Wewenang wali yang lemah dalam masalah pribadi dan bersifat kuat dalam masalah harta kekayaan orang yang dibawah pengampuannya asal dengan tujuan untuk keuntungan pemilik harta itu, bukan untuk si pengampu (wali). Wali seperti ini adalah orang-orang yang diberi wasiat oleh ayah, kakek, saudara laki-laki, atau paman. 4. Wewenang wali bersifat lemah terhadap pribadi dan harta. Orang yang berada dalam pengampuannya tetapi kuat dalam masalah pribadi, yaitu sekedar memlihara hartanya tanpa boleh dibolehkan memperdagangkannya, serta membelanjakan harta tersebut sekedar biaya yang diperlukan orang yang diampunya. Wali seperti ini adalah para kerabat jauh dari orang-orang yang berada di bawah ampuan itu. Apabila keluarga terdekat tidak ada lagi yang dapat dijadikan wali, atau ayah yang belum cakap hukum tidak meninggalkan wasiat untuk menunjuk siapa yang bertindak sebagai penggantinya, maka hak perwaliannya berpindah tangan kepada penguasa atau hakim. Perpindahan hak perwalian dalam kasus seperti ini didasarkan pada hadis Rasulullah SAW: ﻦ ِ ْن ﺑ ِ ﺳَﻠﻴْ َﻤﺎ ُ ْﻋﻦ َ ﺞ ٍ ْﺟ َﺮﻳ ُ ﻦ ِ ْﻋﻦ اﺑ َ ﻋ َﻴﻴْ َﻨ َﺔ ُ ﻦ ُ ْن ﺑ ُ ﺳﻔْ َﻴﺎ ُ ﺣ َﺪ َﺛ َﻨﺎ َ ﻋ َﻤ ٍﺮ ُ ﻦ َأ ِﺑﻲ ُ ْﺣ َﺪ َﺛ َﻨﺎ اﺑ َ ﷲ ُ ﺻَﻠﻰ ا َ ﷲ ِ لا َ ْﺳﻮ ُ ن َر َ َأ: ﺸ َﺔ َ ﻋﺎ ِﺋ َ ْﻋﻦ َ ﻋﺮْ َو َة ُ ْﻋﻦ َ ﻋﻦْ اﻟ ُﺰهْ ِﺮي َ ﺳﻰ َ ُْﻣﻮ 43 Artinya: Dari Aisyah RA berkata: Rasululah SAW bersabda: Wanita mana saja yang dinikahi tanpa izin dari walinya, maka nikahnya itu batal, dan jika lelaki telah mempergaulinya, maka ia wajib membayar mahar untuk kehormatan yang telah dihalalkan darinya, maka apabila mereka bersengketa, Penguasa atau hakim dapat menjadi wali bagi orang-orang yang tidak mempunyai wali (HR.Imam empat kecuali Nasai dan dianggap sahih oleh Abu Awanah, Ibnu Hibban dan al-Hakim). Akan tetapi, perlu digaris bawahi bahwa kekuasaan penguasa atau hakim sebagai wali bagi orang yang belum cakap hukum merupakan kekuasaan yang bersifat umum yang sifatnya tidak begitu kuat. Dalam kaitan ini ulama mengatakan bahwa perwalian yang bersifat khusus (seperti ayah, paman, kakek, atau orang yang diberi wasiat oleh ayahnya jika menunggal dunia) lebih kuat daripada perwalian umum (penguasa atau hakim). 46 D. Penetapan Orang Tua Sebagai Wali Bagi Anak Pada dasarnya ayah adalah penjaga bagi anaknya yang belum cakap hukum, hal ini dapat terjadi apabila dalam keadaan seorang ayah yang dapat dipercaya dan 45 Sunan Abi Daud hadis no 1880 Jilid 1 h.605, Sunan al-Bayhaqi al-Kubra, hadis no 13377, jilid VII h.105, Sunan al-Tirmidzi hadis no 1102, Jilid III h.407, Musnad Asyafi’i Hadis no 1074 Jilid I h.220, Musnad Ahmad hadis no 24372 Juz 40 h.435, Fath al-Bary Syarh Shohih Bukhary hadis no 1102 Jilid III h.407, lihat juga Ashan’ani, Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram Min Jam’i Adillah al-Ahkam, Juz III (Mesir: Daar Fikr, 1991), h.228 46 Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.169. 44 baik dalam perbuatan hukum dalam menjaga anak dan segala yang berkaitan dengan muamalah-nya. Adapun mengenai seorang ayah yang dikenal dengan keadilannya dan baik akhlaknya, namun terkadang hal tersebut tidak diketahui secara nampak, maka ayah tersebut dianggap sebagai seorang yang adil dan hak perwalian baginya adalah tetap atas harta anaknya. Para ulama membagi hak dan kewajiban ayah terhadap perwalian harta anak yang belum cukup umur sebagi berikut: 47 a. Menjaga harta anaknya yang belum cakap hukum b. Mengembangkan dan berbuat hukum darinya, seperti jual beli c. Tidak dibolehkan tabarru atau mengambil kontribusi untuk dirinya dari harta yang diampu. d. Memanfaatkan harta tersebut serta mengembalikannya atas apa yang telah dijadikan nafkah bagi mereka secara khusus. e. Menggadai atau menahan harta tersebut. Orang tua secara langsung mendapatkan hak dan berkewajiban sebagai wali, apabila mereka mampu dan cakap hukum. Adapun permohonan penetapan orang tua sebagai wali bagi anak-anak mereka, Atharablusi menjelaskan dengan membagi perkara pengadilan kepada sesuatu yang harus dengan hukum hakim dan sesuatu yang tidak termasuk ke dalam hukum hakim. Sesuatu yang membutuhkan kepada hukum hakim seperti seorang yang muflis dari hutang yang mana hijr terhadap dirinya membutuhkan ketetapan hakim. Adapun perkara yang telah jelas dari syariat, 47 Mustafa al-Ba’i Dan Abdurrahman as-Shabuni, al-Ahwal as-Syakhsiyyah, h.60. 45 seperti keharaman mahram dalam nikah yang disepakati, permasalahan ibadah, thaharah adalah tidak diperlukan adanya penetapan hakim. 48 orang tua yang cakap hukum sebagai wali bagi anaknya adalah permasalahan yang telah jelas dari syariat dan telah disepakati oleh ulama seperti penulis terangkan pada bab orang yang berhak menjadi wali, bahwa beberapa ulama sepakat akan orang tua, terutama pihak laki-laki secara otomatis adalah wali terhadap anaknya yang belum dewasa. Disamping itu, apabila penetapannya dalam ranah kepentingan yang lain, seperti izin membelanjakan harta anak, atau seorang orang tua yang diri atau harta anaknya dalam kekuasaan orang lain, dan ia meminta penetapan bahwa anak dan harta tersebut dibawah perwaliannya, maka hal tersebut termasuk perkara yang membutuhkan penetapan perwalian, dalam hal ini, menurut Atharablusi termasuk permohonan atau perkara yang mengandung hukum dan tujuan yang jelas, yang mana hal tersebut adalah salah satu syarat adanya permohonan. 49 Dari aspek subjek hukumnya, permohonan tersebut termasuk permohonan untuk orang yang dalam hijr atau perwaliannya. 50 hal tersebut juga termasuk perkara yang mengandung hukum dengan tujuan yang jelas. E. Berakhirnya Perwalian 48 Ala’uddin abu al-Hasan Ali bin Khalil Atharablusi, Muayyanul Hukkam Fi Ma Yataraddadu Bayna al-Khasmayni Min al-Ahkam , Jilid I(Beirut: Dar Kutub Ilmiyah, 1995). h. 109-109. 49 Ibid., h. 148-149 50 Ibid., h.240. 46 Wewenang perwalian akan, baik yang menyangkut masalah pribadi maupun masalah harta yang diampu, akan berakhir apabila penyebab seseorang ditetapkan di bawah pengampuan walinya hilang. 51 Berakhirnya perwalian terhadap diri seseorang menurut ulama Hanafiyah dengan sampai umurnya 15 (lima belas) tahun atau dengan nampaknya tanda-tanda balighnya secara alami serta orang tersebut cerdas dan dapat dipercaya terhadap dirinya, jika tidak, maka ia tetap dalam penguasaan seorang pengampu. Adapun untuk anak kecil perempuan, maka hak wilayahnya akan berakhir apabila ia nikah, dan apabila ia nikah, maka hak tanggungannya menjadi kepada suami dan jika ia tidak menikah, maka wilayahnya akan berakhir pada umur yang dapat dipercaya, dan ia boleh tinggal sendirian atau tetap bersama orang tuanya. Ulama Hanafyah tidak menetapkan batasan umur dalam hal ini. 52 Adapun Ulama Malikiyah berpendapat berakhirnya perwalian seseorang terhadap dirinya dengan hilang sebabnya. Adapun sebabnya yaitu belum dewasa (masih kecil) dan yang semakna dengan itu, yaitu gila dan sakit. Adapu untuk wanita, maka berakhirnya dengan pernikahannya. 53 51 Syamsu dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak, h.170. 52 Zuhaili, al-Fiqhu al-Islamy, h.7330. 53 Ibid., h.7331 47 Pengadilan mesir dan suriah membolehkan seorang wanita berdiri sndiri pada umur rusyd (21 tahun di mesir, dan 18 tahun di suriah) untuk tinggal sendirian jika telah dipercaya dan tidak menimbulkan fitnah. 54 F. Hikmah Dan Tujuan Perwalian Anak Allah SWT sebagai penetap syariat bagi umat manusia memberikan suatu hukum bagi seorang yang tidak cakap hukum, seperti gila atau lemah akalnya dengan menahan hartanya atau hijr, sehingga hartanya terjaga dari tangan yang membawa kepada negatif, tipu daya, kebatilan dan curang, serta untuk menjaga dari perbuatan hukum yang jelek dari dirinya. 55 Mengenai hal tersebut diatas, Allah SWT memberikan amanah kepada seseorang sebagai wakil dalam menjalankan tugas untuk menjaga, mengelola dan sebagainya yang membawa kepada kemaslahatan bagi seorang yang diampu, hal ini sejalan dengan diantara tujuan hukum syariat, yaitu hifz al-nafs (menjaga diri) serta hifz al-mal (menjaga harta) yang mana kedua hal tersebut merupakan hal yang pokok dalam kehidupan seseorang untuk menjaga dari memakan harta orang lain dengan tidak benar, melarang orang bodoh dan pelupa bermuamalah, menolak bahaya dan mengharamkan riba. 56 Selain hal diatas, menurut penulis perwalian juga sebagai ukhuwah islamiyah (persaudaraan muslim) bagi seseorang tidak memiliki kedua orang tua atau kerabat 54 Ibid., h.7331 55 Ali al-Jurjani, Hikmah al-Tasyri Wa Falsafatihi, Jilid II (Mesir: Daar al-Fikr), h.170. 56 Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul Fikih, Penerjemah Ma’ruf Asrori (Jakarta: Pustaka Amani, 2003), h.296. 48 dekat, memupuk rasa kasih sayang terhadap seseorang yang membutuhkan, terlebih terhadap ayat yatim sesuai dengan hadis keutamaan memelihara dan menjaganya. BAB III PERWALIAN ANAK DALAM PANDANGAN HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Pengertian dan Dasar Hukum Perwalian Dalam perundang-undangan di Indonesia pengertian perwalian terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 1 poin (h), yang menjelaskan bahwa perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum. 1 Nampaknya perwalian yang dimaksud peraturan ini adalah perwalian secara khusus, yaitu apabila seorang anak tidak mempunyai kedua orang tua, atau mempunyai kedua orang tua yang tidak cakap bertindak hukum. Dalam Undangundang Perlindungan Anak, Pasal 1 poin lima (5), wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak. 2 Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata ada juga disebutkan pengertian dari Perwalian itu, yaitu pada pasal 330 ayat (3) menyatakan perwalian dengan: “Mereka yang belum dewasa dan tidak berada dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar dan cara sebagaimana teratur dalam bagian ketiga,keempat, kelima dan keenam bab ini”. 1 2 Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2008), h.2 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 Poin (5) 48 49 Perwalian diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata bab XV tentang kebelum dewasaan dan perwalian pasal 330-432, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 50-54, Kompilasi Hukum Islam pasal 1 poin (h), pasal 107-112, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Perlindungan Anak, pasal 30-36. Pembagian perwalian nampaknya dibedakan menjadi dua bagian, pertama wali nikah secara khusus dan kedua perwalian terhadap anak, baik terhadap dirinya maupun hartanya. 3 B. . Hak dan Tanggung Jawab Perwalian Anak Kompilasi Hukum Islam pasal 98, poin (3), menerangkan bahwa pemeliharaan anak yang mana kedua orang tuanya tidak mampu, pengadilan dapat menunjuk salah seorang dari kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut, namun di pasal yang lain, yaitu pasal 108 menerangkan bahwa orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia. Namun hal tersebut tampaknya untuk perwalian masalah diri dan harta, adapun untuk wali nikah, berdasarkan pada pasal 21, yaitu kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas (ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya), kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka, kelompok kerabat paman, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah 3 Kompilasi Hukum Islam, pasal 19 dan 107 50 dan keturunan laki-laki mereka. 4 Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pada pasal 51 ayat (1) dinyatakan bahwa wali dapat ditunjuk oleh salah satu orang tua yang menjalankan kekusaan orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan di hadapan 2 (dua) orang saksi. Dan pada pasal yang sama ayat (2) dinyatakan, bahwa wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik. 5 Peraturan di Indonesia ini mengatur, bahwa yang berhak menjadi wali adalah kedua belah pihak orang tua, kemudian seseorang yang ditunjuk atau diwasiatkan oleh orang tua, kerabat dekat kemudian seseorang atau badan hukum yang ditunjuk pengadilan. 6 Adapun persyaratan seorang wali dalam masalah diri secara umum serta masalah harta adalah, dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur, dan berkelakuan baik. 7 Peraturan tersebut tidak mensyaratkan seorang wali harus seagama dengan orang yang diampunya, hanya saja dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 51 ayat 3, mengharuskan seorang wali untuk menghormati agama dan kepercayaan seorang anak yang diampunya. Namun dalam perwalian nikah 4 Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia,2009) 5 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Bandung: Nuansa Aulia,2009) 6 Ibid. h.32 7 Islam pasal Kompilasi Hukum Pasal 107 (4),Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 51 (2), (Bandung: Nuansa Aulia,2009) 51 secara khusus, berdasarkan pada pasal 20 Kompilasi Hukum Islam, bahwa seorang wali nikah harus memenuhi syarat seorang laki-laki, muslim, aqil dan baligh. 8 C. Orang Yang Berhak Mendapat Perwalian Mengenai seseorang yang harus mendapat perwalian adalah terbagi menjadi dua, perwalian nikah serta perwalian diri secara umum dan harta. Dalam perwalian nikah (diri secara khusus), berdasar pada pasal 19 Kompilasi Hukum Islam, yaitu sebagian rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak menikahinya. Adapun perwalian terhadap masalah diri secara umum dan dalam masalah harta yaitu terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam, dan anak yang belum mencapai 18 tahun atau belum pernah melangsungkan pernikahan, yang tidak dibawah kekuasaan orang tua menurut Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 50 ayat (1). 9 D. Ruang Lingkup Dan Batasan Perwalian. Objek perwalian meliputi perwalian nikah, perwalian terhadap diri dan harta terhadap anak yang belum cakap umur. Dalam perwalian terhadap diri dan harta terhadap anak yang belum atau tidak cakap hukum yaitu seorang wali berkewajiban utuk mengurus diri dan harta, memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untu masa 8 9 Kompilasi Hukum Islam, Pasal 20. (Bandung: Nuansa Aulia,2009) h.7 Kompilasi Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. (Bandung: Nuansa Aulia,2009) h.7, 95 52 depannya, dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang ada di bawah perwaliannya kecuali perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada dibawah perwaliannya, mengganti harta tersebut akibat kesalahan atau kelalaiannya serta wali dapat menggunakan harta tersebut sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma’ruf kalau wali fakir. 10 E. Penetapan Orang Tua Sebagai Wali Terahadap Anak Peraturan di Indonesia menetapakan bahwa pada dasarnya orang tua adalah yang berhak dan secara otomatis menjadi wali bagi anaknya, orang tua mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan luar pengadilan, orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi, serta orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut. Perwalian itu ada, begitu juga dengan penetapannya berdasarkan pada Pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yaitu apabila: 1. Anak laki-laki dan perempuan yang belum berusia 18 tahun. 2. Anak-anak yang belum kawin. 3. Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan orang tua. 10 Kompilasi Hukum Islam, pasal 110. (Bandung: Nuansa Aulia,2009) h.34 53 4. Anak tersebut tidak berada dibawah kekuasaan wali. 5. Perwalian menyangkut pemeliharaan anak tersebut dan harta bendanya. Menurut Undang-undang Nomor.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 51, perwalian terjadi karena : 1. Wali dapat ditunjuk oleh salah seorang orang tua yang menjalankan kekuasaan orang tua sebelum ia meninggal dengan surat wasiat atau dengan lisan dengan dua orang saksi. 2. Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. Dengan demikian, bahwa penetapan seseorang untuk menjadi wali untuk seorang anak yang belum atau tidak cakap hukum, salah satu syaratnya adalah anak tersebut tidak dibawah kekuasaan orang tua, maka penetapan orang tua untuk menjadi wali bagi anaknya adalah bertentangan dengan konsep perwalian yang ada dalam perundang-undangan di Indonesia. Disamping itu subjek wali yang dimaksud undang-undang dalam perwalian, yaitu kepada selain orang tua, baik itu kerabat, orang lain maupun lembaga. F. Berakhirnya Perwalian Berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua keadaan,yaitu : 54 1. Dalam hubungan dengan keadaan anak, dalam hal ini perwalian berakhir karena : a. Anak telah menjadi dewasa (meerderjarig), 18 tahun menurut KUHPerdata dan 21 tahun menurut Kompilasi Hukum Islam. b. Anak melangsungkan perkawinan. c. Matinya si anak. d. Timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya. e. Pengesahan seorang anak di luar kawin yang diakui. 2. Dalam hubungan dan tugas wali, dalam hal ini perwalian dapat berakhir karena : a. Ada pemecatan atau pembebasan atas diri si wali. b. Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian (pasal 380 KUHP Perdata). Syarat utama untuk pemecatan adalah .karena lebih mementingkan kepentingan anak minderjarig itu sendiri. Alasan lain yang dapat memintakan pemecatan atas wali didalam pasal 382 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, menyatakan : a. Jika wali berkelakuan buruk. b. Jika dalam melaksanakan tugasnya wali tidak cakap atau menyalahgunakan kecakapannya. 55 c. Jika wali dalam keadaan pailit. d. Jika wali untuk dirinya sendiri atau keluarganya melakukan perlawanan terhadap si anak tersebut. e. Jika wali dijatuhi hukuman pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. f. Jika wali alpa memberitahukan terjadinya perwalian kepada Balai Hart Peninggalan (pasal 368 KUHPerdata). g. Jika wali tidak memberikan pertanggung jawaban kepada Balai Harta Peninggalan (pasal 372 KUHPerdata). Dalam Kompilasi Hukum Islam, wali dapat dimintakan pemecatan oleh permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalahgunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya. Kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keluarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya, berkelakuan buruk, tetapi meskipun orang tua dicabut kekuasannya mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. 11 11 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, pasal 49. (Bandung: Nuansa Aulia,2009) h.94 BAB IV PERKARA PERMOHONAN ORANG TUA SEBAGAI WALI TERHADAP ANAK KANDUNG A. Perkara Putusan Pengadilan Agama Depok No 22/pdt.P/2010/PA.Dpk 1. Duduk Perkara Pemohon telah mengajukan permohonan pada tanggal 03 Maret 2010 terdapat di kepaniteraan Pengadilan Agama Depok No.22/Pdt.P/2010. PA.Dpk. telah mengajukan hal-hal dengan perubahan serta tambahan olehnya sendiri di muka sidang. Pemohon I dengan Pemohon II telah menikah pada tanggal 04 Maret 1990 yang dicatat di Kantor Urusan Agama. Setelah pernikahan tersebut Pemohon I dan Pemohon II bertempat tinggal di rumah tempat kediaman rumah bersama Pemohon I dan Pemohon II dan telah dikaruniai 2 orang anak, dua orang anak laki-laki, masingmasing 17 dan 10 tahun. Bahwa terdapat kepemilikan atas sebidang tanah seluas 279 M2 yang terletak di kota Depok, Provinsi Jawa Barat berdasarkan Sertifikat Hak Milik, tercatat atas nama Pemohon II dan kedua anak Pemohon I dan Pemohon II Pemohon I dan Pemohon II bermaksud akan mengajukan permohonan kredit ke Bank demi keperluan rumah tangga Pemohon I dan Pemohon II. Namun terdapat 56 57 permasalahan atau kendala karena kedua anak Pemohon I dan Pemohon II masih dibawah umur. Selama dalam pemeliharaan atau pengasuhan pemohon I dan Pemohon II, anak tersebut hidup sejahtera lahir dan batin dan tidak ada pihak lain, baik para keluarga dari kedua belah pihak serta pihak ketiga yang mengganggu gugat pemeliharaan dan pengasuhan anak tersebut. Berdasarkan pada alasan dan dalil di atas, Pemohon I dan Pemohon II memohon agar ketua Pengadilan Agama Depok segera memeriksa dan mengadili perkara ini, selanjutnya menjatuhkan penetapan yang amarnya adalah mengabulkan permohonan Pemohon I dan Pemohon II, menetapkan Pemohon I dan Pemohon II adalah Wali dari kedua anaknya, mengizinkan para pemohon untuk mengagunkan sebidang tanah seluas 279 M2 yang terdapat di Kota Depok berdasarkan Sertifikat Hak Milik, tercatat atas nama Pemohon II dan kedua anak Pemohon I dan Pemohon II, membebankan seluruh biaya menurut hukum atau menjatuhkan penetapan lain yang seadil-adilnya. 2. Pemeriksaan Dalam Persidangan Pada hari persidangan, Pemohon telah hadir dan menghadap sendiri di muka Pengadilan, serta untuk meneguhkan dalil-dalilnya, para Pemohon di muka sidang telah mengajukan bukti surat-surat, diantaranya fotokopi KTP kedua Pemohon dan bermaterai cukup, fotokopi dari Buku Kutipan Akta Kelahiran atas nama kedua anak 58 Pemohon, fotokopi dari Kartu Keluarga Pemohon, fotokopi dari Sertifikat (Tanda Bukti Hak) atas nama Pemohon II dan kedua anak Pemohon I dan Pemohon II yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor, bermaterai cukup. Selain bukti surat-surat di atas, Pemohon juga telah mengajukan bukti saksisaksi, yaitu dua orang saksi, pertama adalah keponakan Pemohon I dan dalam kesaksiaannya saksi mengakui pernikahan para Pemohon, Pemohon dikaruniai 2 orang anak, para Pemohon hidup rukun, dan mengetahui bahwa para Pemohon mengajukan perwalian anak ini tujuannya adalah untuk memenuhi persyaratn agunan ke Bank, dengan agunannya berupa tanah yang mana tanah tersebut atas nama Pemohon II dan anak-anaknya, bahwa kehendak para Pemohon mangagunkan tanah tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan biaya pendidikan bagi anak-anaknya, saksi tahu posisi tanah tersebut berada di wilayah Kota Depok dan saksi tidak tahu mengenai asal-usul tanah tersebut. Adapun saksi kedua adalah teman dari Pemohon I dan dalam kesaksiaanya saksi mengenal Pemohon I sejak 1 tahun 6 bulan yang lalu, bahwa saksi tahu para Pemohon adalah suami istri yang sah dan telah dikaruniai 2 orang anak , masing masing 17 dan 10 tahun, bahwa saksi tahu para Pemohon hidup berumah tangga dan himgga kini masih rukun, bahwa setahu saksi para Pemohon mengajukan perwalian anak ini tujuannya adalah untuk memenuhi persyaratan agunan ke Bank dengan agunannya berupa tanah yang mana tanah tersebut atas nama Pemohon II dan anak-anaknya, bahwa saksi tahu posisi tanah tersebut berada di daerah Depok, dan saksi tidak tahu mengenai asal-usuk tanah tersebut. 59 Para Pemohon membenarkan seluruh keterangan saksi-saksi tersebut di atas, dan para Pemohon menyampaikan kesimpulan di muka sidang, telah merasa cukup dangan bukti-bukti yang disampaikan dan mohon penetapan pengadilan. Majlis hakim menimbang bahwa pemeriksaan perkara ini dipandang cukup dan dapat diputuskan serta mengenai lengkapnya pemeriksaan di muka sidang, semuanya telah dicatat dalam Berita Acara Persidangan Perkara yang tidak terpisahkan dari putusan ini. 3. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Majelis hakim menimbang, bahwa maksud dan tujuan para pemohon adalah sebagaimana terurai di atas dan untuk menegukan dalil-dalinya para pemohon di muka sidang telah mengajukan bukti-bukti sebagaimana terurai diatas serta menimbang bahwa saksi-saksi yang diajukan oleh para Pemohon di muka sidang telah memberikan keterangan di bawah sumpah, kesemuanya mendukung dalil-dalil Pemohon yang disimpulakan majelis terbukti sebagai berikut: 1. Bahwa Pemohon I telah menikah dengan Pemohon II (bukti P.2), dan dari hasil perkawinannya itu telah dikaruiai 2 (dua) orang anak (bukti P3.a, P.3b dan P.4) 2. Bahwa anak-anak para Pemohon si fulan, laki-laki sekarang berumur 17 tahun dan fulan, laki-laki, sekarang berumur 10 tahun (bukti P.3.a dan P.3.b). 60 3. Bahwa Pemohon II dan anak-anak Pemohon mempunyai sebidang tanah seluas 279 M2 terletak di daerah Depok (bukti P.5) 4. Bahwa para Pemohon berkehendak mengajukan kredit ke Bank demi keperluan rumah tangga para Pemohon yang juga demi kepentingan anakanak mereka, dengan mengagunkan sebidang tanah tersebut. Menimbang , bahwa karena terbukti bahwa para Pemohon adalah suami istri yang sah dan telah dikaruniai 2 oranh anak yang tetap dipelihara oleh para Pemohon sebagai orang tuanya, dengan demikian secara hukum barada di bawah kekuasaan orang tuanya. Menimbang bahwa ketentuan Pasal 47 ayat (1) dan Pasal (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur delapan belas tahun (18) atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya, dan orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan. Menimbang, bahwa karena kedua anak-anak tersebut bersama dengan Pemohon II disebutkan turut serta memiliki harta berupa sebidang tanah seluas 279 M2 (dua ratus sembilan meter persegi) yang terletak di Depok, sedangkan berdasarkan ketentuan Pasal 48 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 “Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang 61 dimiliki anaknya yang berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya”. Pasal 106 Kompilasi Hukum Islam ayat (1) “Orang tua berkewajiban merwaat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau dibawah pengampuan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan kemaslahatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi” dan dalam ayat (2) “Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1)’. Demikian pula ketentuan Pasal 309 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Berdasarkan pernyataan para Pemohon dan keterangan saksi-saksi di muka sidang, majelis meyakini bahwa para Pemohon berkehendak mengajukan kredit ke Bank dengan mengagunkan tanah milik Pemohon II dan anaknya tersebut di atas demi kepentingan rumah tangga dan pendidikan anak-anak itu sendiri yang tidak dapat dihindari lagi. Menimbang, bahwa disamping itu, sebagai orang tua yang berkewajiban untuk mengurus dan memelihara serta membiayai kehidupan anak-anak yang belum dewasa. Mempunyai hak untuk bertindak terhadap harta benda anak tersebut dan menikmatinya sesuai ketentuan Pasal 312 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, terkecuali kekuasaannya sebagai orang tua dicabut. 62 Menimbang, bahwa terbukti bahwa para Pemohon adalah ayah dan ibu kandung dari kedua orang anak tersebut yang berfiiran sehat, berkelakuan baik dan bertanggung jawab. Menimbang, bahwa berdasarkan hal-hal terurai di atas, Majelis tidak dapat mengabulkan permohonan para Pemohon pada petitum angka 2 (dua) agar mereka ditunjuk wali dari anak-anak hasil perkawinan mereka tersebut mengingat anak-anak tersebut berada dibawah kekuasaan mereka sendiri sehingga bertentangan dengan ketentuan Pasal 50 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 107 Kompilasi Hukum Islam serta Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Menimbang, bahwa akan tetapi Majelis akan lebih menegaskan mereka sebagai orang tua yang berhak untuk melakukan tindakan hukum mewakili anakanaknya yang belum dewasa terhadap diri dan harta bendanya baik di dalam maupun diluar pengadilan karena itu Majelis akan mengabulkan permohonan para Pemohon dengan menjatuhkan penetapan sebagaimana termuat dalam poin 3 (tiga) amar penetapan perkara ini. 4. Penetapan Putusan Perkara Dalam putusannya, Majelis hakim menetapkakan beberapa perkara: 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon sebagian 63 2. Menyatakan, para Pemohon sebagai orang tua dari kedua anaknya yang berwenang untuk melakukan tindakan hukum terhadap diri anak-anak tersebut dan harta bendanya. 3. Mengizinkan para Pemohon untuk mengagunkan sebidang tanah seluas 279 M2 yang terletak di Depok, berdasarkan Sertifikat Hak Milik yang tercatat atas nama Pemohon II dan kedua anak Pemohon I dan Pemohon II. 4. Menolak permohonan para Pemohon selebihnya. 5. Membebankan kepada Pemohon I dan Pemohon II untuk membayar perkara ini. B. Perkara Putusan Perkara Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 0046/Pdt.P/2009/PA.JP. 1. Duduk Perkara Pemohon telah mengajukan perkaranya sebagaimana diuraikan dalam surat permohonannya tertanggal 06 Oktober 2009 yang telah terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Pusat pada tanggal yang sama dengan register Perkara Nomor : 0046/Pdt.P/2009/PA.JP. mengemukakan dalil-dalilnya sebagai berikut: 1. Bahwa pada tanggal 06 Juli 1993, Pemohon dengan saudara fulan telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam di San Francisco California (USA), selanjutnya dari perkawinan tersebut telah didaftarkan sesuai dengan 64 Merriege Certificate dari Masjid Altwaheed tertanggal 01 September 1999 Nomor: 02 2. Bahwa dari perkawinan tersebut telah dukaruniai 2 (dua) orang anak yang masih dibawah umur atau belum dewasa, yaitu satu anak laki-laki lahir 21 Agustus 1994 dan satu anak perempuan lahir pada tanggal 06 November 1998. 3. Bahwa dalam perjalanan membina rumah tangga, Pemohon dan suaminya tidak dapat mempertahankan perkawinannya dan akhirnya pada tanggal 27 November 2001 telah resmi bercerai sesuai dengan Penetapan Pengadilan Agama bekasi. 4. Bahwa perceraian antara Pemohon dengan suaminya telah dicatatkan dalam daftar perceraian. 5. Setelah bercerai, kedua anak yang masih di bawah umur ikut tinggal bersama dengan Pemohon sebagai Ibu, karena kedua anak tersebut mempunyai ikatan batin yang lebih kuat kepada Pemohon dibanding kepada suaminya selaku ayah kandung. 6. Bahwa sebelum diajukan permohonan perceraian di Pengadilan Agama Bekasi, Pemohon dengan suaminya telah membuat kesepakatan di hadapan Notaris di Jakarta yang dituangkan ke dalam dua akta, yaitu: a. Akta Pengakuan tanggal 12 Januari 2001 b. Akta Pengakuan dan Persetujuan tanggal 12 Januari 2001 65 Isi dari kedua akta tersebut pada pokoknya mengatur kesepakatan bilamana terjadi perceraian, maka pihak suami akan memberikan hak asuh kepada anak kepada Pemohon sebagai ibu kandung sebagai wali dari kedua anak tersebut. 7. Berdasarkan kesepakatan yang tertuang dalam akta vide, maka pada saat pemeriksaan perkara perceraian di Pengadilan Agama Bekasi, dengan alasan untuk mempercepat proses perceraian, Pemohon sengaja hadir dalam persidangan dan tidak mengajukan permohonan Perwalian dan Hak Asuh terhadap kedua anak, karena pada saat itu Pemohon beranggapan kedua akta tersebut sudah cukup untuk memberikan legalitas hukum bagi pemohon sebagai wali dari anak-anak, sehingga dalam putusan/penetapan Pengadilan Agama Bekasi, perceraian diputus dengan verstek dan tidak ada amar putusan yang menyebutkan mengenai penetapan perwalian anak. 8. Bahwa, seiring dengan jalannya waktu dan makin banyaknya kegiatan yang dilakukan oleh kedua anak tersebut, ternyata penetapan perwalian dan hak asuh kedua anak dari Pengadilan sangat dibutuhkan, sebab bukti kesepakatan antara Pemohon dengan mantan suaminya secara yuridis belumlah cukup. Pengakatan wali dan hak asuh anak baru mempunyai lagalitas hukum yang kuat, bilaman ada penetapan dari pengadilan. 9. Bahwa, berdasarkan Pasal 98 ayat (2) Jo. Pasal 107 ayat (1) dan ayat (2) Jo Pasal 156 huruf a Kompilasi Hukuk Islam (KHI), orang tua akan menjadi 66 wali bagi kepentingan anak yang belum dewasa (21 tahun) yaitu mengenai segala perbuatan hukum di dalam maupun luar pengadilan, dalam hal karena hubungan perkawinan orang tua si anak sudah putus karena perceraian, maka secara yuridis hak perwalian dan asuh anak akan diberikan kepada ibu kandung si anak. 10. Berdasarkan alasan dan pertimbangan tersebut diatas, maka Pemohon selaku ibu kandung dari kedua anakyang belum dewasa, mengajukan permohonan penetapan perwalian dan hak asuh terhadap kedua anak tersebut kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusat, dengan tujuan agar Pemohon memiliki Legalitas hukum yang kuat sebagai wali dan hak asuh (pemeliharaan) kedua anak tersebut. Wali adalah untuk mewakili segala perbuatan hukum atau kepentingan hukum kedua anak tersebut sampai anak tersebut dewasa secara hukum, antara lain untuk pengurusan paspor, untuk perjalanan ke luar negeri, untuk mengurus pendidikan dan perbuatan hukum anak lainnya yang memerlukan peranan seorang wali sampai kedua anak tersebut dapat melakukan perbuatan hukum sendiri atau dewasa hukum. Sedangkan hak asuh anak adalah hak untuk mengasuh, memelihara dan mendidik dengan nilainilai yang benar samapai kedua anak tersebut dewasa. 11. Dalam petitum, Pemohon mengajukan mengabulkan permohonan Pemohon seluruhnya, menetapkan Pemohon menjadi wali bagi kedua anak kandungnya 67 yang belum dewasa, menetapkan hak asuh terhadap kedua anak kandungnya, menetapkan biaya permohonan ini dibebankan kepada Pemohon. 2. Pemeriksaan Dalam Persidangan Pada hari persidangan, Pemohon datang dengan kuasa hukumnya, kemudin ketua Majelis memberikan nasehat sehubungan dengan permohonannya tersebut, lalu dibacakanlah permohonan Pemohon, yang isinya tetap dipertahankan oleh Pemohon. Pemohon telah mengajukan bukti-bukti berupa Certificate Of Live California and Country Of San Francisco, Surat Kenal Lahir, Salinan Putusan Pengadilan Agama Bekasi, Akta Cerai, 2 buah Akta Pengakuan dan Persetujuan. Pemohon mengajukan 2 (dua) orang saksi, keduanya adalah keponakan Pemohon yang inti dalam kesaksiannya adalah, kenal kepada Pemohon, mengetahui pernikahan dan perceraian Pemohon, kedua anak tersebut di asuh ibunya, dan mengetahui permohonan tersebut untuk keperluan sekolah anaknya di luar negeri (USA) 3. Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Majelis hakim menimbang bahwa oleh karena permohonan terdiri dari dua pokok parkara yakni tentang perwalian dan pengasuhan anak (hadlanoah), maka Majelis harus terlebih dahulu mempertimbangkan tentang Komulasi antara kedua perkara tersebut yang ternyata setelah diteliti mempunyai hubungan yang erat dan terdapat hubungan hukum, baik subjek maupun objeknya, maka pada dasarnya kedua 68 jenis perkara ini dapat digabungkan, namun oleh karena perkara hadlonah harus diajukan secara Volunter, maka menurut Majelis kedua perkara tersebut tidak dapat dikomulasikan dan oleh karena itu Majelis hanya akan mempertimbangkan perkara perwalian saja, sedangkan untuk perkara hadlonah harus dinyatakan tidak dapat diterima Majelis hakim menimbang bahwa berdasarkan Pasal 45 ayat (2) Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sesungguhnya orang tua dengan sendirinya atau secara otomatis menurut hukum berkedudukan dan berkapasitas sebagai wali anak-anak sampai mereka dewasa. Jadi orang tua adalah kuasa yang mewakili kepentingan anak yang belum dewasa kepada pihak ketiga. Namun ternyata berdasarkan kebiasaan yang berlaku di dunia Internasional mencukupkan dengan otomatisasi di atas tidak cukup. Sehingga untuk pengurusan kepentingan anak, baik dalam pendidikan, pengurusan paspor dan administrasi kewarnegaraan lainnya, kepada Pemohon selalu dituntut untuk menunjukkan perwalian tersebut dengan Putusan Pengadilan. Oleh karena itu Majelis berpendapat, bahwa dalam rangka memberi kepastian hukum demi kepentingan kehidupan kedua anak-anak tersebut di San Francisco, maka Permohonan Pemohon dapat dipertimbangkan. Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan Pemohon dalam hal hadlonah dinyatakan tidak dapat diterima dan oleh karena permohonan ini diajukan oleh pemohon secara volunteir, maka kepada Pemohon dibebani biaya perkara. Mengingat 69 dan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan ketentuan Syariat Islam yang berlaku yang berkaitan dengan perkara ini. 4. Penetapan Putusan Perkara Majelis hakim dalam amar putusannya menetapkan mengabulkan permohonan Pemohon sebagian, menetapkan Pemohon sebagai wali bagi kedua anaknya, menyatakan permohonan Pemohon yang selebihnya tidak dapat diterima. B. Analisis Penulis Melihat permasalahan dalam perkara Pengadilan Agama Depok dan perkara Pengadilan Agama di atas, ada beberapa hal yang menarik perhatian untuk penulis pelajari yaitu subjek atau orang yang berperkara, alasan permohonan serta pertimbangan majelis hakim. Hal tersebut penulis pelajari dengan menggunakan pendekatan ushuliyah dan perundang-undangan di Indonesia. 1. Analisis dengan pendekatan Ushuliyah Subjek atau orang yang berperkara, yaitu pemohon atau termohon dalam perkara Pengadilan Agama Depok adalah dua orang, yaitu suami istri atau ayah dan ibu terhadap anak yang dimohonkan perwaliaannya. Sedangkan dalam perkara Pengadilan Agama Jakarta Pusat adalah satu orang, yaitu istri atau ibu dari anak yang dimohonkan perwaliannya. Dalam khazanah fikih pihak yang berhak dan wajib secara langsung (Wilayah Ijbariyah) untuk mewakilkan anak yang belum cakap 70 hukum adalah seseorang atau lembaga yang di delegasikan oleh syara’ atau hakim, yaitu ayah atau kake sebagai orang tua mereka, dalam kata lain ayah atau keke adalah pihak yang diwakilkan oleh syara’ secara paksa tanpa mempertimbangkan keridhaannya dengan catatan ayah tersebut cakap secara hukum. Adapun mengenai gender (jenis kelamin), menurut fikih empat madzhab kecuali Abu Hanifah, mereka sepakat bahwa hak perwalian hanya diperuntukkan bagi laki-laki kecuali jika ada wasiat dari ayah atau qadhi. Jadi menurut penulis pemohon dalam perkara Pengadilan Agama Depok adalah orang yang berhak dan berkewajiaban untuk mewakilkan anaknya. Sedangkan pemohon dalam perkara Pengadilan Agama Jakarta Pusat adalah orang yang berhak menjadi wali (Wilayah Ikhtiyariyah), dikarenakan ibu tersebut diberi wasiat melalui notaris serta diangkat oleh qadhi atau hakim untuk menjadi wali. Adapun alasan permohonan perkara tersebut dalam perkara Pengadilan Agama Depok mengajukan permohonan mereka untuk ditetapkan menjadi wali bagi bagi kedua anaknya yang belum cakap hukum untuk mengurus persyaratan agun sebidang tanah dalam mengajukan kredit Bank untuk keperluan pendidikan anak, yang mana sebidang tanah tersebut atas nama Pemohon II (ibu dari anak-anak) dan kedua anak mereka yang belum dewasa menurut hukum. Sedangkan dalam perkara Pengadilan Agama Jakarta Pusat adalah untuk mengurus persyaratan pendidikan. Dalam kajian fikih permohonan penetapan orang tua sebagai wali bagi anak mereka pada dasarnya adalah perkara yang tidak membutuhkan hukum hakim (pengadilan), 71 karena hal tersebut menurut Atharablusi, adalah perkara yang sudah jelas dan disepakati oleh ulama, seperti akan halnya kewajiban shalat, thaharah dan lain sebagainya, namun jika dicermati perkara di atas bukanlah murni untuk menjadi wali si anak, tetapi mereka mengajukan perkara tersebut untuk mengagunkan tanah atas nama kedua anak mereka serta untuk kepentingan pendidikan anak, maka hal tersebut adalah dalam ranah kepentingan hukum yang lain dan membutuhkan kepada penetapan perwalian, sebagaiman dalam kaidah fikhiyyah : 1 ٌﺐ إﻟﱠﺎ ِﺑ ِﻪ َﻓ ُﻬ َﻮ وَاﺟِﺐ ُ ﺟ ِ ﻣﺎ ﻟَﺎ َﻳ ِﺘ ﱡﻢ اﻟْﻮَا “Sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengannya, maka hal tersebut adalah wajib” Dari kaidah diatas, dapat dipahami bahwa permohonan dalam perwalian adalah sesuatu yang harus ada dalam menyempurnakan kewajiaban persyaratan pengagunan tanah, dan dengan tidak adanya, maka tidak dapat terpenuhi kewajiban tersebut, dengan demikian perkara Pengadilan Agama Depok yang menolak penetapan di atas adalah kurang tepat, akan tetapi tidak berarti putusan tersebut menyalahi fikih, karena seperti diketahui, bahwa undang-undang yang berlaku merupakan unifikasi fikih yang mempunyai kekuatan legalitas. Adapun perkara Pengadilan Jakarta Pusat, yaitu permohonan ibu untuk menjadi wali bagi kedua anak mereka yang belum dewasa hukum dimana pemohon menikah di USA kemudian cerai dengan suaminya dengan mengadakan perjanjian di depan notaris bahwa setelah 1 Badruddin Muhammad Bin Abdullah al-Zarkasyi, al-Bahru al-Muhith Fi Ushul al-Fikh, Juz I (Beirut: Dar Kutub al-Islamiyah, 2000), h.192. 72 perceraian, hak hadhanah dan perwalian disepakati jatuh ke pemohon. Dalam perjalanannya, untuk berbagai keperluan, akta perjanjian tersebut tidak cukup berkekuatan hukum hingga pemohon meminta penetapan pengadilan. Hal tersebut juga merupakan dalam ranah kepentingan hukum yang lain dan membutuhkan kepada penetapan perwalian. Jadi dikabulkannya permohonan tersebut dalam perkara Pengadilan Agama Jakarta pusat menurut khazanah fikih adalah tepat. Adapun mengenai pertimbangan majelis hakim. Majelis hakim Pengadilan Agama Depok menolak permohonan tersebut berdasarkan kepada Pasal 50 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 107 Kompilasi Hukuk Islam serta Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa konsep perwalian adalah bagi anak yang belum dewasa atau belum pernah melangsungkan perkawinan serta tidak dibawah kekuasaan orang tua. Majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pemohon dengan berlandaskan pada Pasal 45 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa orang tua secara otomatis menjadi wali bagi anaknya, namun Majelis mempertimbangkan kebiasaan yang berlaku di dunia internasional, bahwa otomatisasi tersebut tidaklah cukup, dengan alasan tersebut, Majelis mengabulkan permohonan pemohon. Dalam kahazanah fikih dikenal dengan adanya unifikasi dan kodifikasi fikih, yaitu mengambil beberapa pendapat untuk dijadikan sebagai peraturan suatu penguasa atau negara. Adanya konsep perwalian dalam peraturan di Indonesia merupakan pijakan bagi qadhi atau hakim untuk menetapkan suatu perkara. Pertimbangan majelis hakim 73 yang berdasar pada peraturan yang berlaku di Indonesia, yaitu pertimbanagan majelis hakim Pengadilan Agama Depok adalah tepat, disamping itu penulis ketika meminta pendapat hakim Pengadilan Agama Depok akan hal tersebut, beliau mengatakan bahwa kami (Majelis Hakim), memutuskan suatu perkara dengan peraturan yang berlaku, dalam hal ini adalah sesuai dengan beberapa pasal seperti diterangkan diatas selama pasal tersebut sesuai dengan permasalahan yang diajukan, kemudian beliau melanjutkan dengan menjelaskan bahwa konsep perwalian dalam peraturan di Indonesia adalah terhadap anak yang tidak dibawah kekuasaan orang tuanya. 2 sedangkan pertimbangan Majelis diluar peraturan yang berlaku adalah kurang tepat menurut penulis. 2. Analisis dengan pendekatan perundang-undangan di Indonesia Dilahat dari subjek atau pihak yang berperkara dimana dalam perkara Pengadilan Agama Depok adalah dua pemohon sebagai ayah dan ibu bagi anaknya dan dalam perkara Pengadilan Agama Jakarta Pusat adalah satu pemohon, yaitu ibu. Dalam perundang-undangan di Indonesia, pasal 106 Kompilasi Hukum Islam dan pasal 45 da pasal 47 (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa orang tua, yaitu kedua belah pihak berhak dan wajib dalam mmemelihara serta mengembangkan harta anak yang belum cakap hukum seta mwakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan. Jadi 2 Wawancara Hakim Pengadilan Agama Depok Drs. H. Toha Mansyur, SH, MH Tanggal 18 Agustus 2010 Di Pengadilan Agama Depok 74 secara langsung kedua orang tua adalah yang menjadi wakil bagi anak tersebut dan mereka bukan dalam ranah perwalian menurt undang-undang, karena perwalian adalah dimana anak tersebut tidak dalam kekuasaan orang tua. Dalam permohonan perkara Pengadilan Agama Depok dan Jakarta pusat pemohon adalah orang tua yang sah dan cakap hukum sehingga mereka adalah pihak yang berkewajiban dan berhak untuk memelihara, mengembangkan serta mewakili anak dalam perbuatan hukum baik di dalam maupun luar pengadilan. Dari aspek alasan permohonan perkara Pengadilan Agama Depok mengajukan permohonan mereka untuk ditetapkan menjadi wali bagi bagi kedua anaknya yang belum cakap hukum untuk mengurus persyaratan agun sebidang tanah dalam mengajukan kredit Bank untuk keperluan pendidikan anak, yang mana sebidang tanah tersebut atas nama Pemohon II (ibu dari anak-anak) dan kedua anak mereka yang belum dewasa menurut hukum. Sedangkan dalam perkara Pengadilan Agama Jakarta Pusat adalah untuk mengurus persyaratan pendidikan. Dalam perundang-undangan di Indonesia, pasal 47 dan 48 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, menyatakan bahwa orang tua dapat mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan serta tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barangbarang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali kepentingan anak itu menghendakinya. Mengagunkan tanah atas nama ibu dan kedua anak mereka dalam perkara Pengadilan Agama Depok serta persyaratan pendidikan bagi anak dalam perkara Pengadilan 75 Agama Jakarta Pusat adalah terbukti demi rumah tangga dan kepentingan anak-anak mereka, yaitu untuk kepentingan pendidikan anak, maka hal tersebut dibolehkan. Adapun dalam pertimbangan majelis hakim. Majelis hakim Pengadilan Agama Depok menolak permohonan tersebut berdasarkan kepada Pasal 50 Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 jo. Pasal 107 Kompilasi Hukuk Islam serta Pasal 330 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa konsep perwalian adalah bagi anak yang belum dewasa atau belum pernah melangsungkan perkawinan serta tidak dibawah kekuasaan orang tua. Majelis hakim Pengadilan Agama Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pemohon dengan berlandaskan pada Pasal 45 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa orang tua secara otomatis menjadi wali bagi anaknya, namun Majelis mempertimbangkan kebiasaan yang berlaku di dunia internasional, bahwa otomatisasi tersebut tidaklah cukup, dengan alasan tersebut. Dalam perundang-undangan di Indonesia, Kitab Undangundang Hukum Perdata Pasal 330, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 50, Kompilasi Hukum Islam Pasal 107 menyatakan bahwa, yang dimaksud dengan perwalian adalah apabila seseorang yang belum dewasa dan tidak dalam kekuasaan orang tuannya, berada dalam kekuasaan wali, maka penetapan orang tua untuk menjadi wali bagi anaknya dalam perkara diatas adalah bertentangan dengan dengan ketentuan perwalian yang dimaksud dalam peraturan di Indonesia. Begitu juga 76 dengan azas hukum perdata yang menyatakan bahwa perwalian merupakan hak yang di dapat secara langsung akibat adanya suatu perbuatan hukum, yaitu perkawinan. 3 Anak yang dibawah kekuasaan orang tua adalah pemelihara bagi anaknya. Disamping itu, orang tua secara hukum, menurut Pasal 47 dan 48 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, dapat mewakili anak tersebut mengenai perbuatan hukum di dalam dan diluar pengadilan serta tidak boleh memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali kepentingan anak itu menghendakinya. Permohonan untuk mengagunkan tanah atas nama ibu dan kedua anak mereka adalah terbukti demi rumah tangga dan kepentingan anak-anak mereka, yaitu untuk kepentingan pendidikan anak, maka hal tersebut dibolehkan. Dari uraian diatas, penulis simpulkan bahwa penolakan permohonan perwalian oleh Majelis dalam Perkara Pengadilan Agama Depok adalah tepat, hal tersebut sesuai dengan konsep perwalian yang ada dalam perundang-undangan di Indonesia yang mengatur bahwa perwalian adalah terhadap anak yang tidak di bawah kekuasaan orang tua. Adapun Majelis mengganti dengan penetapan orang tua sebagai anak mereka kurang tepat, dikarenakan mereka adalah anak yang sah secara hukum yang tidak memerlukan penetapan, dan orang tua berhak untuk berbuat hukum atas 3 Arief Masduki dan Tirtaatmaja, Azas Dan Dasar Hukum Perdata (Jakarta: Djambatan, 1963), h.17. 77 nama anaknya baik di dalam maupun diluar pengadilan, hal tersebut sesuai dengan pasal 47 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Adapun perkara Pengadilan Agama Jakarta Pusat di atas, menrut penulis, dikabulkannya permohonan tersebut kurang tepat, karena orang tua bersama-sama (keduanya, baik suami dan istri) menjadi wali bagi anak-anak mereka yang belum cakap hukum, termasuk ibu dan ayah, hal tersebut sesuai dengan pasal 47 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tua selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Anak yang belum cakap hukum tersebut adalah anak yang sah dari orang tuanya, belum pernah melangsungkan perkawinan serta orang tuanya tidak dicabut kekuasaannya, maka anak tersebut secara langsung dibawah kekuasaan orang tuanya. Adapun permohonannya yang dikabulkan untuk menjadi wali bagi anaknya adalah bertentangan dengan pasal 330 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer) dan pasal 50 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, yang menyatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak dibawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali. Hal tersebut juga tidak sesuai dengan pasal 108 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang menyatakan bahwa wali yang dimaksud pada undang-undang ini bukanlah orang tua, yaitu dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan 78 hukum. Adapun perjanjian yang menyatakan hak perwalian kepada ibu adalah tidak berkekuatan hukum, karena yang berhak mencabut kekuasaan seseorang yang menjadi wali adalah pengadilan. BAB V PENUTUP Dari uraian pembahasan yang bertitik tolak pada permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini, maka sampailah pada tahap akhir pembahasan, yaitu kesimpulan dan rekomendasi A. Kesimpulan Setelah penulis analisis dari pokok permasalahan ini, maka kesimpulan yang dapat penulis ambil adalah : 1. Permohonan penetapan orang tua sebagai wali terhadap anak kandung adalah bertentangan dengan peraturan di Indonesia dimana orang tua secara otomatis menjadi wali bagi anak-anak mereka, yaitu hak yang di dapat akibat hukum dari perkawinan dan mereka berhak secar langsung untuk mewakili anak baik di dalam maupun luar pengadilan. Konsep perwalian dalam perundang-undangan di Indonesia dkhususkan kepada anak yang belum cakap hukum dan belum melangsungkan perkawinan yang tidak dibawah kekuasaan orang tua atau dibawah kekuasaan orang tua yang tidak cakap hukum, dalam kata lain perwalian ditetapkan hanya bagi orang lain selain orang tua anak tersebut, maka permohonan perwalian bagi orang tua yang cakap hukum bagi anak mereka yang belum dewasa dan belum pernah melangsungkan perkawinan adalah tidak tepat. 79 80 2. Hal yang menyebabkan permohonan orang tua sebagai wali bagi anaknya pada dasarnya adalah kepentingan anak itu sendiri, yaitu untuk mewakili anak dalam berbuat hukum yang mana hukum tersebut adalah untuk kepentingan diri anak tersebut, seperti menggadaikan sebidang tanah untuk pendidikan anak, persyaratan pendidikan yang mengaharuskan adanya penetapan wali dari pengadilan, paspor dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kepentingan anak. 3. Pertimbangan Majelis hakim menolak permohonan orang tua untuk menjadi wali berlandaskan pada konsep perwalian yang berlaku di Indonesia, yaitu bahwa perwalian dikhususkan terhadap selain orang tua. Adapun pertimbangan Majelis Hakim yang menerima permohonan orang tua tersebut sebagai wali terhadap anak kandungnya dengan berlandaskan kepada hukum internasional, persyaratan tertentu seperti pengurusan paspor, pendidikan diluar negeri dan lain sebagainya yang tidak mencukupkan dengan otomatisasi hak wali kepada orang tua. B. Rekomendasi 1. Perlu disosialisasikan kepada masyarakat, terutama pihak atau lembaga keuangan (Bank), lembaga pendidikan,lembaga sosial dan sebagainya, bahwa orang tua berhak untuk mewakili anak dalam segala perbuatan hukum baik di dalam maupun diluar pengadilan selama hal tersebut utuk kepentingan anak. 81 2. Bagi para hakim diharapkan dapat memberikan penjelasan kepada permohonan orang tua sebagai wali bagi anak, bahwa mereka adalah wali secara otomatis dan berhak mewakili anaknya di dalam dan luar pengadilan. dan kepada lembaga peradilan untuk mengeluarkan surat edaran akan hal tersebut kepada lembaga-lembaga yang lain sperti lembaga pendidikan, keuangan, dan lain sebagainya. 3. Bagi akademisi disarankan agar memformulasikan konsep perwalian agar dapat diatur dalam perundang-undangan yang dapat dipahami oleh berbagai pihak. DAFTAR PUSTAKA Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedi Hukum Islam. Jilid IV, Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003 Abdurahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. cet, ke-2, Jakarta: Akademi Pressindo, 1995. Ali, Zainuddin, Hukum Perdata Islam di Ind onesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006 Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. jakarta : Rineka Cipta, 2006 Barry, Zakariya Ahmad. Hukum Anak-anak Dalam ChadijahNasution. Jakarta: Bulan Bintang, 1977 Islam. Penerjemah Ba’i, Mustafa Dan Abdurrahman as-Shabuni, al-Ahwal as-Syakhsiyyah Fi alAhliyyah Wa al-Washiyyah Wa at-Tirkaah, Damaskus: Daar Fikr, 1965 Effendi Satria, problematika hukum keluarga islam kontemporer analisis yurisprudensi dengan pendekatan ushuliyah, cet ke-2, jakarta: Kencana Prenada Group, 2005 Hafiz, Ibn Rusyd., Bidayatu al Mujtahid wa nihayatu al-muqtasid. Beirut : Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, t.t Hasani al-Maqdisi, Faydullah, Fathu ar-Raahman Li a-Thalib Ayat al-Quran, Bandung: Maktabah Dahlan, t,th Ibrahim, Johny, Penelitian Hukum Normatif. Jawa Timur : Bayumedia, 2008 Jaziri, Abdurrahman., AlFiqh ‘Ala Mazahib Al-Arba’ah. Beirut : Dar 1990 cet Ke 1 Al-Fikr, Jones, Jamilah dan Abu Aminah Bilal Philip, Monogami dan Poligami Dalam Islam, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2001 Jurjani, Ali, Hikmah al-Tasyri Wa Falsafatihi, Jilid II Mesir: Daar al-Fikr, 1997 Katjasung kana, nug, Wacana Keadilan Dalam Islam. jakarta : Elsam, 1998 Khalaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fikih, Penerjemah Ma’ruf Asrori,Jakarta: Pustaka Amani, 2003 82 83 Lajnah Pentashih Mushaf al-Quran Departemen Agama, Tarjamatu Alfadzi al Quran, Inayatan Li al-Mubtadiin, jilid IV , Jakarta: Tri Burnama Utama Jakarta,1980 Manzur, Ibnu. Lisan al-Arab, Mesir: Daar al-Hadist,2003 Mughniyah, Muhammad Jawad, Fikih Lima Madzhab, Penerjemah Masykur A.B, dkk. Jakarta : Lentera Basritama, 2000, Cet Ke-5 Nawawi, Syaikh Muhammad Nawawi, Uqud al-Lujayn Fi Bayan huquq Zawjayn, Surabaya : Dar al-Abidin, t.t Nursobah, Asep “Data Perkara Peradilan Agama Tingkat Pertama Yang Diterima Tahun 2007”. artikel diakses pada 6 Juni 2010 dari http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=4 073 Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah Akidah dan Ibadah, jakarta : Paramadina, 2002 Sabiq, Sayyid., Fiqh al Sunnnah juz II, Beirut : Dar Assaqafah Al-Islamiyah, t.t Shabuni, Muhammad Ali. Tafsir Ayat Ahkam. Penerjemah Saleh Bandung : Al-Ma’arif, 1994 cet Ke 1 Mahfud, Shan’ani, Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram Min Jam’i Adillah al-Ahkam, Juz III , Mesir: Daar Fikr, 1991 Syamsu, Andi dan Muhammad Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, Jakarta: Prenada Media Group,2008 Syarifuddin, Amir, Garis-gais Besar Fiqih. jakarta : Prenada media, 2003 cet.ke-1 Suyuti, jalaluddin, Lubab Annuqul Fi Asbab Annuzul (Terjemahan Oleh Abdul Mujib. Surabaya : Mutiara Ilmu, 1986 Tahido Yanggo, Huzemah, Fikih Anak, Metode Islam Dalam Mengasuh Dan Mendidik Anak Serta Hukum-Hukum Yang Berkaitan Dengan Aktifitas Anak, Jakarta: Almawardi Prima, 2004 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Bandung: Nuansa Aulia, 2009 Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktik. jakarta : Sinar Grafika, 2008 84 Zahra, Abu, al-Ahwal al-Syakshiyyah, Mesir: Daar al-Fikr, 2005 Zarkasyi, Badruddin Muhammad Bin Abdullah, al-Bahru al-Muhith Fi Ushul al-Fikh, Juz I. Beirut: Dar Kutub al-Islamiyah, 2000 Zuhaily, Wahbah., Al Fiqh al-Islami wa Adillatuhu juz IX. Damsyiq : Dar El Fikr,1989 DATA HASIL WAWANCARA (Wawancara diajukan sebagai data penelitian skripsi yang berjudul “Permohonan Orang tua Sebagai Wali Bagi Anak Kandung”) Oleh:Muhammad Farid Wajdi Nama : Drs. H. Toha Mansyur, SH, MH Jabatan : Hakim Pengadilan Agama Depok, Wakil Ketua Pengadilan Agama depok Tanggal wawancara : 18 Agustus 2010 Tempat Wawancara : Pengadilan Agama depok 1. Apakah definisi perwalian dalam khazanah fikih? 2. Adakah perbedaan konsep perwalian dalam fikih dan perundang-undangan di Indonesia?Apakah perbedaan tersebut? 3.Bagaimana menurut peraturan yang berlaku di Indonesia mengenai permohonan orang tua untuk menjadi wali bagi anak kandungnya sendiri? 4. Faktor apa saja yang menyebabkan orang tua mengajukan permohonan untuk menjadi wali bagi anak kandung mereka? 5. Apakah peraturan tentang perwalian di Indonesia sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat serta dapat menampung permasalahan perwalian yang selama ini ada? 1. Perwalian menurut fikih adalah suatu bentuk perlindungan dengan otoritas penuh atas dasar tanggung jawab dan cinta kasih, untuk memberikan pertolongan atas ketidakmampuan seseorang dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum, baik yang berhubungan dengan harta maupun dengan dirinya 2. Pada dasarnya sama, yaitu perlindungan terhadap seseorang yang belum mampu dalam melakukan perbuatan hukum, hanya saja dalam perundang-undangan di Indonesia, sesuai dengan pasal 1 (h) Kompilasi Hukum Islam, Pasal 5o Undangundang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan pasal 330 ayat 3 Kitab Undangundang Hukum Perdata, bahwa konsep perwalian mempunyai makna yang khusus, yaitu terhadap anak yang tidak dibawah kekuasaan orang tuanya, dengan kata lain perwalian adalah hak dan tanggung jawab yang diberikan kepada selain orang tua, baik dari keluarga dekat, orang lain, atau lembaga yang memenuhi syarat. Orang tua secara langsung mendapatkan hak dan kewajiaban mengenai penjagaan dan untuk mewakili diri dan harta anak yang mana dalam kepentingan anak tersebut, serta dapat berbuat hukum dengannya baik di dalam maupun diluar pengadilan. 3.Permohonan orang tua untuk menjadi wali bagi anak kandungnya adalah tidak sesuai dengan konsep perwalian dalam perundang-undangan di Indonesia yang menyatakan bahwa perwalian adalah terhadap anak yang belum dewasa atau belum pernah melangsungkan perkawinan dan anak tersebut tidak dibawah kekuasaan orang tuanya sebagaimana penjelasan sebelumnya. 4.Meskipun dalm perundang-undangan dikatakan bahwa orang tua dapat mewakili anak, baik dalam diri maupun hartanya dalam berbuat hukum baik di dalam maupun luar pengadilan, tetapi banyak orang tua terutama lembaga yang tidak memahaminya, karena mayoritas permohonan orang tua adalah karena adanya tuntutan dari suatu lembaga seperti keharusan menghadirkan penetapan pengadilan untuk menyekolahkan anak di sekolah internasional atau sekolah di luar negeri, adanya tuntutan keharusan adanya penetapan pengadilan dari bank ketika berbuat hukum atas nama anak, ataupun alasan lainnya yang sifatnya datang dari luar orang tua tersebut meskipun ada beberapa yang mengajukan permohonan untuk dapat mewakili anaknya dalam berbuat hukum karena adanya perceraian. 5.ya, hanya saja perlu lebih disosialisasikan dalam memberikan pemahaman akan konsep konsep perwalian di Indonesia, terutama terhadap lembaga-lembaga yang menyangkut akan hal tersebut.