PEMBERIAN REHABILITASI TERHADAP TERDAKWA YANG DIPUTUS BEBAS DAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM OLEH PENGADILAN (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta) Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh: JOHANS SETIAWAN NIM.E. 0003210 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2007 i PENGESAHAN Penulisan Hukum (Skripsi) ini telah diterima dan disahkan Oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Pada : Hari : Tanggal : DEWAN PENGUJI (1) ( ) Ketua (2) ( ) Sekretaris (3) ( ) Anggota Mengetahui : Dekan Moh. Jamin, S.H., M.Hum NIP. 131 570 154 ii MOTO Sesungguhnya Allah tidak akan merubah suatu kaum kecuali mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri (Q.S. Ar-Ra’d: 11) Barang siapa berjalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan jalan baginya menuju Syorga. (HR. Bukhari Muslim) Hari bekerja bagi si pemalas adalah besok, dan hari liburnya adalah sekarang (John Wesley) Kemarin adalah sebuah kenangan, hari ini adalah kenyataan dan cobaan yang harus dihadapi, dan esok adalah doa dan harapan. (Penulis) iii PERSEMBAHAN Karya tulis ini aku persembahkan kepada: 1. Ayah dan ibu tercinta yang selalu memberi doa dan kasih sayang. 2. Adik-adik aku tersayang yang selalu memberi semangat dan banyak harapan 3. Teman-temanku yang paling aku banggakan. 4. almamaterku. iv KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah melimpahkan berkat dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (Skripsi) yang berjudul ‘ PEMBERIAN REHABILITASI TERHADAP TERDAKWA YANG DIPUTUS BEBAS DAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM OLEH PENGADILAN “ (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta). Penulisan hukum ini membahas tentang bagaimana pemberian rehabilitasi yang diterima terdakwa apabila dalam suatu persidangan dia diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Dan bagaimana bila sampai terjadi kelalaian dalam pencantuman rehabilitasi tersebut dalam amar putusan. Pada saat ini belum banyak penelitian yang mengangkat mengenai pemberian rehabilitasi kepada terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh pengadilan. Pemberian rehabilitasi bagi mereka yang telah diajukan dalam persidangan sangatlah penting bagi mereka yang telah diajukan dalam persidangan. Karena banyak orang yang berpendapat bahwa orang yang sudah masuk pemeriksaan pengadilan maka dia dicap orang yang tidak baikdan bila mau melamar pekerjaan maka dia akan mendapat kesulitan. Dengan adanya rehabilitasi tersebut semoga saja hak-hak terdakwea yang sudah dirampas karena prosese pengadilan dapat dipulihkan kembali. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hukum ini terdapat banyak kekurangan sehingga kritik dan saran yang membangun diharapkan agar dapat menyempurnakan isi penulisan hukum ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, saran, dan dorongan bagi penulis dalam menyelesaikan penulisan hukum ini. Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan terutama kepada : v 1. Bapak Moh. Jamin, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin dan kesempatan bagi penulis untuk menyelesaikan penulisan hukum ini. 2. Bapak Edy Herdyanto, S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing Pertama pada penulisan hukum ini, atas segala bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini. 3. Bapak Soehartono, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing Kedua pada penulisan hukum ini, atas segala bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum ini. 4. Bapak Hernawan Hadi S.H.,M.H. selaku Pembimbing Akademik penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan nasehat kepada penulis. 5. Bapak Roba’a, S.H. selaku Ketua Pengadilan Negeri Surakarta yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian di Pengadilan Negeri Surakarta.. 6. Bapak Ganjar Susila, S.H.,M.H. selaku Hakim di Pengadilan Negeri Surakarta yang bersedia meluangkan waktunya dan memberikan keterangan mengenai kasus yang diteliti oleh penulis 7. Bapak Agus, Bapak Sutarto, Bapak Ari beserta seluruh staf di Pengadilan Negeri Surakarta, terima kasih atas bantuannya selama ini. 8. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah membantu penulis dalam menempuh pendidikan di Fakultas Hukum UNS. 9. PPH Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang berkenan memberikan kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian serta menyelesaikan penulisan hukum ini. 10. Seluruh staf tata usaha dan karyawan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta yang ada di bagian transit, perpustakaan, pendidikan, pengajaran dan bagian-bagian yang lain, terima kasih atas bantuannya. vi 11. Ayahnda dan Ibunda yang tidak pernah melepaskan kasih sayangnya kepada penulis serta adik-adikku tersayang (Kres & lidya) yang memberikan semangat sehingga skipsi ini terselesaikan. 12. Dek Bintang makasih banget “Kerlip itu selalu ada padaku tuk terangi langkahku dan temani malamku.” 13. Joko Yuluianto, S.H, makasih semuanya saran, ide, nasehat dan bantuanya sehingga aku di FH ini bisa menyelesaikan semuanya. 14. Teman-teman seperjuangan di FH UNS, Rini, Budi, Fajar, Dedi, iwan (tanpa kalian aku sindiri di sisni)Yunus, S.H, Antok, S.H, (yang sudah membantu sehingga skisi ini selesai), Atreek (teman seperjuangan nunggu pak Edy) Ichank, Ulin, Dina,Nana, Tia, Ria, Susi, Ndaru, Kiki’k, Adi, Ratna, Pandu, Reyan, dan semuanya yang tidak bisa disebut satu persatu, terima kasih atas semua bantuannya dan juga untuk persahabatan kita. 15. Teman-teman kost Imanunuel I Tommy, Raka (bantuin ngetik skipsi ini) Zaynuronk, Adhe jue”, Marjoko, Demmi, Bos Him, Salakatur, Harya, Adi, Ragil makasih banget buat semuanya. 16. Semuanya yang tidak dapat disebutkan satu persatu semoga segala bantuan Bapak, Ibu, Saudara yang telah diberikan kepada penulis akan mendapat balasan dari Allah SWT. Semoga penulisan hukum ini dapat berguna bagi kita semua, terutama untuk penulisan, kalangan akademisi, praktisi serta masyarakat umum. Tuhan Memberkati. Surakarta, Juli 2007 Penulis vii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL. ............................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN .............................................................................. ii HALAMAN PENGESAHAN. .............................................................................. iii HALAMAN MOTTO. .......................................................................................... iv HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... v KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi DAFTAR ISI ....................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ x DAFTAR LAMPIRAN.. ....................................................................................... xi ABSTRAK….. ...................................................................................................... xii BAB I BAB II PENDAHULUAN. .............................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah. ................................................................ 1 B. Perumusan Masalah. ....................................................................... 4 C. Tujuan Penelitian.. .......................................................................... 4 D. Manfaat Penelitian.......................................................................... 5 E. Metode Penelitian. .......................................................................... 6 F. Sistimatika Skripsi .......................................................................... 12 TINJAUAN PUSTAKA.. .................................................................... 14 A. Kerangka Teoritik .......................................................................... 14 1. Tinjauan Tentang Pengertian Rehabilitasi… .......................... 14 2. Tinjauan Tentang Tersangka dan Terdakwa ........................... 17 a. Pengertian Tersangka dan Terdakwa ................................. 17 b. Hak Tersangka dan Terdakwa.. ......................................... 18 3. Tinjauan Mengenai Putusan Pengadilan.. ............................... 20 a. Pengertian Putusan Pengadilan ......................................... 20 viii b. Macam Putusan Pengadilan.. ............................................ 21 c. Bentuk Putusan Pengadilan ............................................... 21 d. Syarat dan Isi Putusan Pengadilan. ................................... 27 e. Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Berat Ringannya BAB III Putusan Pemidanaan.......................................................... 30 B. Kerangka Pemikiran.. ..................................................................... 35 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN.. ................................ 37 A. Pemberian rehabilitasi terhadap terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh pengadilan ................ 37 1. Pelaksanaan pemberian rehabilitasi terhadap terdakwa Rukidi yang diputus bebas oleh pengadilan ........................... 68 B. Implikasi yang timbul apabila rehabilitasi tidak dicantumkan dalam Amar Putusan oleh Pengadilan ............................................................................. 72 1. Kelalaian hakim dalam mencantumkan rehabilitasi dalam amar putusan................................................................. 72 2. Tata Cara Pengajuan Rehabilitasi yang Tidak Dicantumkan Dalam Amar Putusan ........................................ 75 3. Yang Berhak Mengajukan Rehabilitasi Bila Tidak Dicantumkan Dalam Amar Putusan ........................................ 77 4. Tenggang Waktu Mengajukan Rehabilitasi Bila Tidak Dicantumkan Dalam Amar Putusan ........................................ 78 PENUTUP. ........................................................................................ 80 A. Kesimpulan.. ................................................................................. 80 B. Saran-saran .................................................................................... 81 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 83 LAMPIRAN-LAMPIRAN.................................................................................... 85 BAB IV ix DAFTAR GAMBAR Bagan 1. Model Analisis Interaktif 12 Bagan 2. Kerangka Pemikiran 35 x DAFTAR LAMPIRAN Lampiran I Surat Izin Penelitian dari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Lampiran II Surat Keterangan telah melakukan Penelitian dari Pengadilan Negeri Surakarta Lampiran II Daftar Pertanyaan Wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta Ganjar Susila, S.H. Lampiran IV Fotokopi Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Surakarta atas Terdakwa Rukidi dengan Nomor : 94/pid.B/1999/PN. Ska. xi ABSTRAK JOHANS SETIAWAN, E 0003210, PEMBERIAN REHABILITASI TERHADAP TERDAKWA YANG DIPUTUS BEBAS DAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM OLEH PENGADILAN Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi). 2007. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pemberian rehabilitasi terdahap terdakwa yang atau lepas dari segala tuntutan hukum. Dan bagaimana bila sampai terjadi kelalian dalam pencantuman rehabilitasi tersebut dalam amar putusan. Untuk melindungi hak-hak terdakwa yang telah diambil karena proses pengadilan yang membut namanya jadi jelek. Dengan adanya rehabilitasi dirasa bisa memulihkan hak-hak terdakwa yang diambil. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dan jika dilihat dari tujuannya termasuk dalam penelitian hukum empiris. Lokasi penelitian di Pengadilan Negeri Surakarta. Jenis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah melalui wawancara, observasi (pengamatan), dan melalui studi kepustakaan baik berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen seperti berkas perkara, dan sebagainya. Analisis data dengan menggunakan analisis data kualitatif dan mempergunakan model analisis interaktif. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa Pemberiaan rehabilitasi yang diberikan terhadap RUKIDI dilakukan berdasarkan Pasal 97 ayat (2) dengan mencantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan. Pencantuman itu sekaligus dipertegas dalam Pasal 14 ayat PP No. 27 Tahun 1983. Pemberian rehabilitasi didasarkan atas putusan pengadilan atau prapengadilan, yang rumusan redaksinya telah ditentukan dalam pasal 14 PP No. 27 Tahun 1983. Pasal ini memuat du jenis redaksi, semata-mata didasarkan atas alasan perbedaan status pemohon serta instansi yang memeriksa permintaan rehabilitasi yang diajukan. Penyampaian petikan dan salinan pemberian putusan rehabilitasi diatur dalam Pasal 13 PP No. 27 Tahun 1983. Pasal ini mengatur kewajiban panitera Pengadilan negeri untuk menyampaikan petikan dan salinan putusan rehabilitasi kepada pemohon dan pihak instansi tertentu. Tujuanya, agar pemberian rehabilitasi tersebut diketahui pihak yang berkepentingan, instansipenegak hukum yang bersangkutan serta masyarakat lingkungan dimana pemohon rehabilitasi bertempat tinggal dan bekerja. Implikasi teoritis penelitian ini adalah adanya pemahaman kepada masyarakat bahwa setiap putusan yang di putus bebas atau lepas dari segaala tuntutan hukum haruslah selalu dicantumkan pemberian rehabilitasi karena sudah diatur dalam Pasal 97 KUHAP. Dan bila terjadi rehabilitasi tidak dicantumkan maka terdakwa bisa mengajukan karena itu merupakan hak terdakwa dan putusan bisa diancam batal demi hukum. xii BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia adalah Negara hukum hal ini bisa dilihat dalam Undang-undang Dasar negara Republik Indonesia. Hal ini dapat dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 . Tujuan hukum menurut teori etis adalah untuk hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis kita mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil (CST. Kansil, 2002:16). Intinya mengatakan hukum semata-mata menghendaki keadilan. Jika dilihat sekarang ini keadilan antara kedua belah pihak tidak sama, contoh keadilan bagi seorang pembunuh dengan keluarga yang dibunuh pasti keadilan yang diminta pasti akan berbeda hal ini bisa dlihat ketika pelaku itu meminta hukuman yang seringanringannya sedangkan keluarga korban pasti meminta untuk pembunuh itu juga dihukum mati. Hukum tersebut mempunyai tujuan yang lain yaitu untuk membuat atau menjadi penengah antara kedua belah pihak yang bersengketa mengenai benturan hak yang terjadi diantara keduanya. Sangatlah jelas yang terpenting dalam hukum adalah faktor keadilan, namun yang menjadi masalah adalah bagaiamana bisa menwujudkan keadilan yang dirasakan adil bagi semua pihak. Tujuan tersebut mengatakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mencapai atau mendekati kepada keadilan yang sesungguhnya walaupun hal itu mustahil dicapai karena keadilan yang hakiki hanya berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Di samping mengetahui tujuan hukum, maka juga harus mengetahui ciriciri negara hukum yaitu adanya perintah dan laranggan dan juga perintah atau laranggan itu harus ditaati berarti perintah itu harus ditaat untuk mewujudkan keadilan supaya benturan antara kedua belah pihak yang bersengeta ini dapat terselesaikan (CST. Kansil, 2002:12). xiii Keadilan bagi seorang yang telah menjadi tersangka, terdakwa maupun orang yang sudah menjadi narapidana yang sebenanya bukan dia pelakunya mereka ini harus diberkan rehabilitasi atau yang sering dikenal dengan pemulihan nama baik. Mereka yang telah menjadi tersangaka atau terdakwa ini sering kali hanya dibebaskan begitu saja dan juga apakah rehabilitasi itu hanya sebuah kertas yang menyatakan orang yang tersebut namanya didalam surat itu dinyatakan tidak bersalah, padahal untuk mencapai putusan tak bersalah ini mereka harus melalui berbulan-bulan proses dari proses penyelidikan maupun penyidikan dari mulai penyusunan BAP (Berkas Acara Pemeriksaan) sampai pada pelimpahan berkas ke Pengadilan dan menjalani proses persidanggan sampai mereka mendengar putusan. Hal ini merupakan proses yang sangat panjang dimana korban ini apa mendapat ganti rugi dalam proses itu bagaimana dengan anak dan tanggungan yang lain jika mereka sebagai kepala keluarga. Apakah cukup dengan hanya selembar kertas yang mengatakan bahwa mereka tak bersalah dengan hal ini mereka juga bisa dituduh dengan menelantarkan keluarganya. Lalu bagaimana jika dilihat kasus dari sengkon dan karta yang telah menjadi narapidana dalam kasus pembunuhan yang telah menjalani hukuman itu bertahun-tahun dengan keluarga yang ditinggalkannya dan apakah itu hanya akan dibayar dengan surat yang mengatakan bahwa mereka tak bersalah? Namun yang menjadi masalah adalah apakah rehabilitasi itu tidak penting dalam pernyataan tidak bersalahnya seseorang dimana orang itu jika sudah ditangkap polisi hal ini menjadikan opini yang buruk dalam masyarakat. Bagi pegawai negeri, pada kenyataannya belum ada masalah karena posisi sebagai pegawai negeri dengan rehabilitasi, tetap dapat dipulihkan. Paling rumit pada perusahaan swasta, karena secara murni, asas praduga tak bersalah, tidak terlaksana dengan baik dalam masyarakat, bahkan berurusan dengan polisi saja, telah dianggap perbuatan tercela, apalagi ditangkap atau ditahan. Pada umumnya manusia sering dihinggapi kecenderungan berprasangka jelek. Jika hendak mencari pekerjaan ini akan dipersulit dkarenkan mereka telah xiv dicap sebagai orang jahat. Oleh sebab itu orang yang telah tercemar namanya sangatlah dirugikan sampai kasus tersebut selesai. Jadi pada prinsipnya rehabilitasi itu penting yang manjadi masalah disini rehabilitasi tak selalu menyelesaikan masalah yang ada dikarenakan mereka hanya mendapatkan pernyataan tak bersalah mengenai ganti kerugian dengan dia di tahan atau dipenjara ini tak mendapatkan ganti kerugian yang pantas. Apakah mereka yang melakukan salah penangkapan itu mendapatkan teguran atau hukuman? Padahal dalam kasus pidana, jika tersangka dapat bebas atau lepas dari segala tuntuan hukum itu jaksa dan perkaranya akan dieksaminasi. Juga apakah masyarakat mengerti bahwa mereka mempunyai hak untuk mendapatkan rehabilitasi jika mereka dinyatakan tak bersalah. Hal ini terjadi dikarenakan minimnya pengetahuan masyarakat mengenai hukum yang ada juga didukung oleh masyarakat yang takut akan melangkah jika berurusan dengan dunia hukum sehingga mereka ragu-ragu dan terkesan tak mendapatkan haknya Pada akhirnya pemberian rehabilitasi kepada terdakwa mempunyai arti yang sangat penting. Rehabilitasi tersebut tersebut nantinya akan digunakan terdakwa yang telah diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh Pengadilan, karena rehabilitasi tersebut merupakan hak yang dimiliki terdakwa apabila mereka dirugikan. Hal inilah yang ingin diteliti oleh penulis dalam suatu penulisan hukum dengan mengambil judul : “PEMBERIAN REHABILITASI TERHADAP TERDAKWA YANG DIPUTUS BEBAS DAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM OLEH PENGADILAN ( Studi Kasus PN Surakarta )”. xv B. PERUMUSAN MASALAH Dalam melakukan penelitian, terlebih lagi akan digunakan dalam penulisan hukum maka sangat diperlukan sekali suatu perumusan masalah. Suatu masalah sebenarnya merupakan suatu proses yang mengalami halangan di dalam mencapai tujuannya. Biasanya halangan tersebut hendak diatasi, dan hal inilah yang antara lain menjadi tujuan penelitian. (Soerjono Soekanto, 1986: 109) Perumusan masalah adalah segala sesuatu yang akan dijadikan sasaran atau mengenai hal apa yang sebenarnya akan diteliti dalam suatu penelitian. Perumusan masalah akan memudahkan bagi penulis untuk mengerjakan dan dapat mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan. Perumusan masalah dapat juga dikatakan sebagai inti dari suatu penelitian karena akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, maka permasalahan yang dikaji atau diteliti lebih lanjut dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana pemberian rehabilitasi terhadap terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh pengadilan? 2. Bagaimana implikasi kalau rehabilitasi tidak dicantumkan dalam putusan pengadilan? C. TUJUAN PENELITIAN Penelitian yang dilakukan oleh penulis ini memiliki dua tujuan pokok, yaitu tujuan obyktik dan tujuan subyektif, dengan penjelasannya adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Obyektif a) Untuk mengetahui bagaimana pemberian rehabilitasi terhadap terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh Pengadilan. Apakah pemberian rehabilitasi itu benar-benar xvi diberikan kepada para terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh Pengadilan b) Untuk mengetahui bagaimana kalau rehabilitasi tidak dicantumkan dalam putusan pengadilan. 2. Tujuan Subyektif a) Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman penulis terutama mengenai teori-teori yang telah diperoleh oleh penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. b) Untuk memperoleh data yang selengkap-lengkapnya sebagai bahan dalam melakukan penyusunan penulisan hukum guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. D. MANFAAT PENELITIAN Di dalam melakukan penelitian ini, penulis mengharapkan ada manfaat yang dapat diambil baik bagi diri penulis sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya. Manfaat penelitian ini dibedakan ke dalam dua bentuk, yaitu : 1. Manfaat Teoritis a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengetahui bagaimana tata cara pemberian rehabilitasi yang mengandung unsurunsur seperti : yang berhak memperoleh rehabilitasi, siapa yang berhak mengajukan rehabilitasi, cara pengajuan rehabilitasi, dan pelaksanaan rehabilitasi. b) Hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Hukum Acara Pidana. 2. Manfaat Praktis a) Hasil penelitian ini akan berguna dalam memberikan jawaban terhadap masalah yang akan diteliti. b) Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk memberikan informasi dan gambaran kepada masyarakat pada umumnya dan semua pihak yang berkepentingan pada khususnya dalam memahami pertimbangan xvii hakim dalam memutus perkara tindak pidana lalu lintas jalan mengenai pemberian santunan kepada korban meninggal atau luka berat tindak pidana lalu lintas sebagai alasan yang meringankan. E. Metode Penelitian Dalam melakukan suatu penelitian, metode merupakan suatu hal yang sangat penting. Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan kontruksi yang dilakukan dengan metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis berarti susuai dengan metode atau cara tertentu, sisitematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dalam suatu kerangka tertentu. (Soerjono Soekanto, 1986: 42) Metode penelitian adalah suatu cara atau jalan untuk memecahkan masalah yang ada dengan cara, mengumpulkan, menyusun, mengklarifikasi, dan menginterpretasikan data. Sehingga dalam metode penelitian termasuk juga di dalamnya cara mengolah data yang diperoleh maupun tata cara penyusunan laporannya agar penelitian dapat dilaksanakan dengan baik dan dapat hasil yang diinginkan. Metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Penelitian hukum yang dilakukan oleh penulis ini adalah termasuk dalam jenis penelitian hukum empiris. Hal ini disebabkan peneliti langsung memperoleh data primer atau data yang pertama kali didapatkan di lapangan atau dalam masyarakat. Pengertian penelitian hukum empiris sendiri adalah penelitian hukum positif tidak tertulis mengenai perilaku anggota masyarakat yaitu hakim dalam hubungan hidup bermasyarakat. Penelitian ini mengungkapkan hukum yang hidup dalam masyarakat melalui perbuatan masyarakat. . xviii 2. Sifat Penelitian Penelitian yang dilakukan oleh penulis ini mempunyai sifat deskriptif. Pengertian penelitian deskriptif adalah suatu penelitian untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan menggambarkan gejalagejala tertentu. Berdasarkan hal itu penulis akan berupaya semaksimal mungkin untuk menyajikan data yang diperlukan dalam mungungkap mengenai pemberian rehabilitasi terhadap terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh Pengadilan. 3. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan oleh penulis untuk melakukan penelitian hukum ini adalah dengan pendekatan penelitian secara kualitatif. Di sini memusatkan perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia, atau pola-pola yang dianalisis gejala-gejala sosial budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai pola-pola yang berlaku. (Burhan Ashshofa, 2004: 20-21) 4. Lokasi Penelitian Lokasi yang digunakan oleh peneliti untuk mengadakan penelitian ini adalah di Pengadilan Negeri Surakarta, yang beralamat di Jl. Brigjend. Slamet Riyadi Nomor 290 Surakarta. Di lembaga peradilan umum dengan wilayah hukum Kota Surakarta ini, peneliti mencari data-data yang diperlukan dalam penyelesaian penelitiannya 5. Jenis Data Data yang digunakan dalam penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah dengan menggunakan data primer dan data sekunder. a) Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya. Data primer ini berupa fakta atau keterangan yang diperoleh secara langsung xix dari sumber data untuk tujuan penelitian sehingga diharapkan nantinya penulis dapat memperoleh hasil yang sebenarnya dari obyek yang diteliti. b) Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka atau dengan kata lain data tersebut sudah ada sebelumnya. Data sekunder bisa diperoleh dari studi pustaka maupun turun langsung ke lapangan seperti dalam dokumen-dokumen yang dimiliki oleh suatu instansi seperti data tentang suatu kejahatan pada instansi Kepolisian Republik Indonesia. 6. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam mengadakan penelitian ini ada dua yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder. c) Sumber data primer adalah sumber data yang diperoleh secara langsung dari lapangan. Dalam hal ini data yang dipergunakan adalah data hasil penelitian atau riset di lokasi penelitian yaitu di Pengadilan Negeri Surakarta. d) Sumber data sekunder adalah data yang digunakan sebagai bahan penunjang data primer, termasuk di dalamnya pendapat para ahli, putusan pengadilan, dokumen-dokumen, tulisan-tulisan dalam buku ilmiah, dan literatur yang mendukung data dalam menunjang pelaksanaan penelitian ini. Menurut Soerjono Soekanto, data sekunder ini meliputi : (1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari : a) Undang-Undang No. 8 tahun 1981, tentang Hukum Acara Pidana. b) Undang-Undang No. 4 tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman c) Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1983 tentang Pelaksanaan kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. xx (2) Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti misalnya rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, dan seterusnya. (3) Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya adalah kamus, ensiklopedia, indeks komulatif dan seterusnya.(Soerjono Soekanto, 1986: 52) 7. Instrumen Pengumpul Data Instrumen dalam pengumpulan data adalah dengan melakukan identifikasi terhadap segala hal yang sudah diperoleh tersebut. Artinya data-data yang telah diperoleh tadi akan diuraikan, dianalisis sehimgga data-data yang telah terkumpul tadi dapat tersusun dengan baik dan dapat dipahami dengan jelas tanpa berakibat pada adanya salah tafsir. Dalam instrumen pengumpul data ini, penulis menggunakan dua teknik, yaitu : a) Instrumen pengumpul data primer, yang merupakan penelitian secara langsung terhadap obyek penelitian dalam rangka mengumpulkan data primer, yaitu dengan cara : 1. Wawancara, yang merupakan teknik pengumpulan data yang diperoleh dengan melakukan tanya jawab secara langsung dengan pihak yang berkompeten dengan apa yang menjadi inti dari penelititan tersebut yaitu dengan Hakim Pengadilan Negeri Surakarta. Metode wawancara yang digunakan oleh penulis adalah dengan teknik wawancara bebas terpimpin yaitu pada saat melakukan wawancara menggunakan catatan-catatan dan kerangka pertanyaan yang telah ditentukan sebelumnya tentang pokok permasalahannya, namun masih dimungkinkan adanya variasi dan tambahan-tambahan dalam memberikan pertanyaan berdasarkan pada situasi yang ada. xxi b) Instrumen pengumpul data sekunder yaitu instrumen yang pengumpulannya secara studi kepustakaan atau sering disebut dengan studi dokumen. Studi dokumen merupakan suatu alat pengumpul data yang dilakukan melalui data tertulis dengan mempergunakan content analysis. Content analysis mempunyai arti sebuah teknik untuk menarik suatu kesimpulan dengan melakukan identifikasi pasal-pasal secara obyektif dan sistematis yaitu dengan mempelajari buku-buku ilmiah maupun peraturan perundangundangan yang memiliki hubungan dengan pokok permasalahan yang diteliti oleh penulis. 8. Analisis Data Data yang sudah diperoleh tersebut kemudian dianalisis. Sesuai dengan pendekatan penelitian yang digunakan yaitu secara kualitatif maka penulis akan menganalisis data secara kualitatif. Pengertian sistem kualitatif adalah menguraikan data-data tersebut dalam bentuk kalimat yang baik dan benar, sehingga mudah dibaca dan diberi arti atau dilakukan interpretasi. Karena data-data yang kita peroleh merupakan data dalam bentuk tulisan atau kata-kata dan bukan data dalam bentuk numerik atau angka. Analisis data kualitatif sebagai cara penjabaran data berdasarkan hasil temuan di lapangan dan studi kepustakaan. Data yang berupa deskripsi kalimat yang dikumpulkan lewat observasi dan wawancara, mencatat dokumen, dan lain-lainnya, yang kemudian sudah disusun secara teratur, tetap merupakan susunan kata berupa kalimat yang amat besar jumlahnya sebelum siap digunakan dalam analisis akhir. Data yang telah diperoleh tersebut disusun dalam bentuk penyusunan data kemudian dilakukan reduksi atau pengolahan data, menghasilkan sajian data dan seterusnya diambil kesimpulan, yang dilakukan saling menjalin dengan proses pengumpulan data di lapangan. Menurut HB Sutopo analisis data dengan model seperti tersebut diatas dinamakan dengan model analisis interaktif. Dalam bentuk ini xxii peneliti tetap bergerak diantara tiga komponen analisis dengan pengumpulan data berlangsung. Sesudah pengumpulan data berakhir, peneliti bergerak diantara tiga komponen analisisnya dengan menggunakan waktu yang masih tersisa bagi penelitiannya. (HB Sutopo, 2002: 95) Sistem model analisis interaktif dapat digambarkan sebagai berikut : Pengumpulan Data Reduksi Data Penyajian Data Penarikan Kesimpulan Bagan 1. Model Analisis Interaktif F. Sistematika Skripsi Sistematika laporan yang disusun oleh penulis adalah sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN Pada Bab ini akan diuraikan mengenai pendahuluan dari proposal penelitian ini yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan Hukum. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA xxiii Pada Bab ini akan diuraikan mengenai tinjauan kepustakaan yang terdiri dari Kerangka Teori dan Kerangka Pemikiran. Dalam Kerangka Teori berisi tentang Tinjauan Mengenai Pengertian Rehabilitasi, Tinjauan Mengenai Tersangka dan Terdakwa, dan Tinjauan Mengenai Putusan Pengadilan. Sedang pada kerangka pemikiran berisi mengenai pemikiran penulis tentang pemberian rehabilitasi terhadap terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh Pengadilan yang disertai dengan bagan supaya lebih jelas. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Dalam Bab ini akan dijelaskan mengenai hasil penelitian penulis, yang meliputi pemberian rehabilitasi terhadap terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh Pengadilandan bagaimana kalau rehabilitasi tersebut tidak dicantumkan dalam putusan Pengadilan BAB IV : PENUTUP Dalam Bab ini akan dikemukakan mengenai kesimpulan dari semua permasalahan yang telah diuraikan dan juga mengenai saran-saran terhadap adanya pemberian rehabilitasi terhadap terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh Pengadilan. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xxiv BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. kerangka Teori a. Tinjauan tentang pengertian rehabilitasi Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka, merumuskan arti “rehabilitasi” sebagai berikut : 1. Pemulihan kepada kedudukan (keadaan) yang dahulu (semula) 2. Perbaikan individu, pasien rumah sakit atau korban bencana supaya menjadi manusia yang berguna dan memiliki tempat dalam masyarakat. Rumusan Kamus Besar Bahasa Indonesia :”pemulihan kepada keadaan semula “, nampaknya pengertian yang tepat tetapi masih belum lengkap karena belum secara rinci dimuat tentang apa yang dipulihkan kepada keadaan semula. Para pakar sependapat bahwa rehabilitasi bermakna “pemulihan”. Sebagai pemulihan, tentu tidak persis (sama benar). Hampir sama atau serupa dengan semula, merupakan pengertian yang rasionil. Rehabilitasi, diatur oleh Pasal 9 UU No 4 Tahun 2004 yang rumusanya sebagai berikut : 1. Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alasan kekeliruan berdasarkan mengenai undang-undang orangnya atau atau hukum karena yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi. 2. Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana. 3. Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam Undang-undang. xxv Penjelasan resmi Pasal 9 tersebut dirumuskan arti rehabilitasi sebagai berikut : “Pengertian rehabilitasi dalam undang-undang ini adalah pemulihan hak seseorang dalam kemampuan atau posisi semula yang diberikan oleh Pengadilan.” Butir 22 Pasal 1 KUHAP memuat pengertian “rehabilitasi” sebagai berikut: “Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan dan peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.” Mengamati rumusan penjelasan resmi Pasal 9 Undang-undang No 4 Tahun 2004, “diberikan oleh Pengadilan”, kurang tepat, karena mengandung arti seolah-olah hal tersebut dimiliki Pengadilan. Seyogianya kata tersebut mempergunakan kata “ditetapkan Pengadilan”. Jika diamati penjelasan Pasal 9 Undang-undang No 4 Tahun 2004 dengan rumusan butir 22 pasal 1 KUHAP, maka rumusan “ posisi semula” pada pejelasan Pasal 9 tersebut diganti pada butir 22 pasal 1 KUHAP dengan “kedudukan dan harkat serta martabat.” Hal ini mengandung arti bahwa posisi tersebut dimaksudkan sebagai kedudukan dan kehormatan. Dengan demikian kata “posisi” dijabarkan oleh KUHAP secara rinci sehingga tidak menimbulkan keragu-raguan. Sesuai dengan rumusan tersebut, memulihkan hak dalam: 1. Kemampuan; Pengertian kemampuan seseorang yaitu dimana dengan kemampuanya itu seorang dapat berbuat sesuatu, sehingga seseorang dapat menjamin kehidupan keluarganya. 2. Kedudukan; Pengertian kedudukan adalah tempat seorang di dalam suatu sistem, misalnya ia menjabat sebagai ketua partai, sebagai pegawai xxvi negeri, sebagai direktur, maka apabila ia tidak bersalah, maka kedudukanya itu harus dikembalikan kepada tempatnya semula 3. Harkat dan martabat, Pengertian harkat dan martabat adalah kedudukanya seseorang di dalam masyarakat, sehingga orang tersebut merupakan orang yang terpandang di lingkunganya. Harkat dan martabat berkaitan erat dengan nama baik seseorang, karena dengan nama baik itu seseorang dihargai oleh masyarakat, dapat dijadikan panutan oleh masyarakat. Dalam hal kesalahan yang bersangkutan tindak terbukti dalam suatu perkara, Hal tersebut mencemarkan nama baiknya, maka nama baik yang tercemar itu harus direhabilitasi, sehingga yang bersangkutan dihargai kembali oleh masyarakat lingkungannya. Pada kenyataan dalam masyarakat, selalu menjadi masalah adalah kedudukan, karena yang bersangkutan belum menjadi kasus/perkara, kedudukan tertentu dalam suatu badan atau badan hukum atau badan usaha atau organisasi tertentu, tak dapat dipulihkan. Meskipun ada asas praduga tak bersalah sebagaimana dirumuskan Pasal 8 Undang-undang No 4 tahun 2004 yang menyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili dimuka sidang peradilan, wajib dianggap tak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan mempunyai kekuatan hukum tetap, namun pada kenyataannya, kedudukan yang bersangkutan telah diduduki orang lain. Persepsi tentang “kedudukan” menurut Undang-undang No 4 Tahun 2004, jelas dimuat kata “posisi semula “. Hal ini dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dirumuskan “Keadaan semula”. Kedua rumusan tersebut, baik “posisi” maupun “keadaan semula” merupaka hal yang dimengerti oleh masyarakat umum tetapi pelaksanaannya dalam praktek, xxvii sering menimbulkan masalah. Bagi pegawai negeri, pada kenyataannya belum ada masalah karena posisi sebagai pegawai negeri dengan rehabilitasi, tetap dapat dipulihkan. Paling rumit pada perusahaan swasta, karena secara murni, asas praduga tak bersalah, tidak terlaksana dengan baik dalam masyarakat, bahkan berurusan dengan polisi saja, telah dianggap perbuatan tercela, apalagi ditangkap atau ditahan. Pada umumnya manusia sering dihinggapi kecenderungan berprasangka jelek. b. Tinjauan tentang tersangka dan terdakwa. 1. Pengertian tersangka dan terdakwa. Tersangka atau terdakwa adalah orang-orang yang diduga telah melakukan tindak pidana. Hal ini dijelaskan dalam KUHAP Pasal 1 butir 14 dan butir 15, dalam Pasal 1 butir 14 KUHAP dijelaskan: “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Sementara Pasal 1 butir 15 KUHAP, menjelaskan: “Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili dalam sidang pengadilan”. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa seorang tersangka atau terdakwa adalah orang yang diduga melakukan tindak pidana sesuai dengan bukti permulaan yang cukup, sehinnga orang tersebut harus dilidik, disidik, dan diperiksa oleh penyidik. Kemudian harus dilakukan tindakan penuntutan dimuka sidang oleh penuntut umum dan hakim dan jika perlu dapat dilakukan tindakan upaya paksa seperti penangkapan, penggeledahan, penahanan, penyitaan sesuai cara yang diatur dalam Undang-Undang. Pada saat ini tersangka atau terdakwa tidak lebih dari objek pemeriksaan yang dapat diperlakukan sekehendak hati oleh aparat penegak hukum. Hak asasi, harkat dan martabat dari tersangka atau terdakwa tidak pernah dihargai. xxviii 2. Hak-hak tersangka dan terdakwa. a) Hak untuk segera mendapat pemeriksaan. Seorang terdakwa atau tersangka mempunyai hak untuk segera mendapatkan pemeriksaan baik dalam penyidikan atau dalam persidangan. Seperti disebutkan dalam KUHAP Pasal 50 disebutkan bahwa seorang tersangka berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dihadapkan pada penuntut umum. Kemudian hak tersangka untuk perkaranya segera diajukan ke Pengadilan dan berhak segera diadili oleh Pengadilan. b) hak untuk melakukan pembelaan. Seorang tersangka atau terdakwa mempunyai hak untuk membela diri baik dengan penasehat hukum atau tidak. Berbagai pembelaan yang dapat dilakukan oleh tersangka atau terdakwa diatur dalam KUHAP Pasal 51-57, yang dapat diuraikan sebagai berikut: (1). Berhak diberitahukan dengan jelas dan dengan bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya. (2). Berhak memberikan keterangan secara bebas dalam berbagai tingkat pemeriksaan, mulai dari penyidikan sampai pemeriksaan di Pengadilan. (3). Berhak untuk mendapatkan juru bahasa dalam semua tingkat pemeriksaan baik dari penyidikan sampai proses pengadilan. (4). Berhak untuk mendapatkan bantuan hukum oleh seorang atau beberapa penasehat hukum dalam semua tingkat pemeriksaan. c) Hak untuk melakukan upaya hukum. Berdasarkan pada Undang-Undang seorang terdakwa yang dijatuhi hukuman dapat menerima atau menolak putusan yang dijatuhkan. xxix Ketidak puasan atas putusan pengadilan bisa dimanfaatkan untuk melakukan upaya hukum yang di bagi menjadi dua, yaitu: (1). Upaya hukum biasa. Upaya hukum biasa dapat berupa permintaan banding kepada Pengadilan Tinggi dan Upaya permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung. (2). Upaya hukum luar biasa. Upaya hukum luar biasa dapat berupa permintaan pemeriksaan Peninjauan kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. d) Hak untuk mendapat ganti rugi dan rehabilitasi. Ganti rugi atau rehabilitasi dapat dilakukan oleh tersangka atau terdakwa apabila; (1). Penangkapan, penahanan, penggeledahan, atau penyitaan yang dilakukan tanpa alasan hukum yang sah. (2). Apabila putusan pengadilan menyatakan terdakwa bebas karena tindak pidana yang didakwakan tidak terbukti atau tindak pidana yang didakwakan kepadanya bukan merupakan suatu kejahatan atau pelanggaran. c. Tinjauan Mengenai Putusan pengadilan 1. Pengertian Putusan Pengadilan Berdasarkan Pasal 1 butir 11 KUHAP pengertian putusan pengadilan adalah pernyataan Hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang datui dalam undang-undang. Sedangkan Kejaksaan Agung Republik Indonesia memberikan pengertian tentang putusan yaitu hasil atau kesimpulan dari suatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai xxx semasak-masaknya yang dapat berbentuk tulisan ataupun lisan. Mengenai putusan yang diterjemahkan dari vonis adalah hasil akhir dari pemeriksaan perkara di sidang Pengadilan. (Leden Marpaung, 1992: 406) Dalam mengambil putusan tersebut, hakim harus melakukan musyawarah terlebih dahulu. Musyawarah dilakukan dengan hakim lain yang menangani perkara tersebut yang disebut dengan majelis hakim, yang terdiri dari seorang hakim ketua dan dua orang hakim anggota. Jika terjadi perbedaan pandangan dalam memutus perkara maka akan diambil dengan suara terbanyak dan jika tidak diperoleh, maka putusan yang dipilih adalah pendapat hakim yang paling menguntungkan bagi terdakwa (Pasal 182 ayat (6) KUHAP). Putusan tersebut haruslah diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka untuk umum agar keputusan tersebut dapat sah dan mempunyai kekuatan hukum. Maksud yang lain adalah supaya masyarakat mengetahui bahwa yang diputuskan oleh hakim itu berdasarkan undang-undang dan telah memenuhi rasa keadilan, tidak memihak salah satu pihak dan juga tidak adanya intervensi yang dilakukan oleh pihak lain. 2. Macam Putusan Pengadilan Ada dua macam putusan pengadilan dalam memutus suatu perkara, yaitu putusan akhir dan putusan sela. a) Putusan akhir adalah keputusan yang diambil dengan memeriksa perkara secara keseluruhan atau keputusan untuk mengakhiri proses pidana di sidang pengadilan. Dasar hukum putusan akhir ini adalah pada Pasal 182 ayat (3) dan ayat (8) KUHAP. xxxi b) Putusan sela adalah keputusan yang diambil oleh hakim selama proses pemeriksaan perkara dan belum masuk pada pokok perkara. Dasar hukumnya adalah terdapat dalam Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Keputusan sela berbentuk penetapan (Imam Soetikno dan Robby Khrismanaha, 1996: 61). 3. Bentuk Putusan Pengadilan Bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan pada umumnya tergantung dari hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan (M. Yahaya Harahap, 2000: 346), berupa : a) Putusan Bebas Putusan bebas ini menyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang telah didakwakan oleh jaksa penuntut umum. Terdakwa yang berada dalam status tahanan akan dibebaskan seketika itu juga kecuali jika ada alasan lain yang sah yang menyebabkan terdakwa perlu ditahan (Pasal 191 ayat (3) KUHAP). Putusan bebas ini diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yang bunyinya : “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti Yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan,maka terdakwa diputus diputus bebas”. ] Dimaksud dengan ‘pebuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan menyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut hakim atas dasar pembuktian dengan mengunkan alat bukti dengan ketentuan hukum acara pidana. Dalam hal menyimpulkan putusan tidak bebas, terdapat xxxii pengadilan bukti-bukti atau yang sah hakim dan meyakinkan, bahwa terdakwalah yang melakukan perbuatan yang didakwakan itu. Hal ini tercantum dalam pasal 183 KUHAP : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana bebar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Menurut pasal 185 ayat (2) KUHAP, mengenai adanya seorang saksi saja, tanpa dikuatkan alat bukti lain bukanlah merupakan suatu kesaksian. Dengan demikian, apabila dituduhkan apa yang didakwakan kepada seorang terdakwa sedangkan hanya seorang saksi saja yang memberikan keterangan yang bertentangan dengan keterangan terdakwa, tanpa dikuatkan alat bukti lain, maka hakim harus memutus membebaskan terdakwa dari segala tuduhan atau vrijspraak. b) Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Pengaturan terhadap dijatuhkannya putusan ini terdapat dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP, yang bunyinya : “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum berdasar kriteria-kruteria sebagai berikut : a) Apa yang didakwakan kepada terdakwa memeng terbukti secara sah dan meyakinkan, sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan tidak merupakan tindak pidana. b) Terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa tidak dapat dijatuhi suatu hukuman pidana menurut beberapa pasal dari KUHAP atau karena adanya alasan pemaaf. xxxiii Apabila pada saat penjatuhan putusan, status terdakwa dalam tahanan, maka padas saat penjatuhan putusan harus dibarengi dengab perintah untuk membebaskan terdakwa dari tahanan sesuai dengan cara yang diatur dalam pasal 191 ayat (3) dan pasal 192. Dari hal tersebut maka terdakwa memang terbukti melakukan suatu perbuatan. Hanya saja perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana, sehingga tidak mungkin untuk dijatuhi sanksi pidana. Kepada terdakwa yang ada dalam status tahanan akan dibebaskan seketika itu juga kecuali jika ada alasan lain yang sah yang menyebabkan terdakwa perlu ditahan. (Pasal 191 ayat (3) KUHAP) Untuk melihat lebih jelas apa yang dimaksud dengan putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, ada baiknya putusan itu dibandingkan dengan putusan pembebasan. Perbandinggan tersebut dapat dilihat dari beberapa segi, antara lain: a) Ditinjau dari segi pembuktian Pada putusan pembebasan, pembuktian tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa “tidak terbukti’ secara sah dan meyakinkan. Jadi, tidak memenuhi asas pembuktian menurut undang-undang secara negatif serta tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian yang diatur dalam pasal 183 KUHAP. Lain halnya pada putusan lepas dari segala tuntutan hukum, apa yang didakwakan kepada terdakwa cukup terbukti secara sah baik dinilai dari segi pembuktian menurut undang-undang maupun dari segi batas minimum pembuktian yang diatur dalam pasal183. akan tetapi, perbuatan yang terbukti itu “tidak merupakan tindak pidana”. Tegasnya perbuatan yang didakwakan dan xxxiv yang telah terbukti itu tidak diatur dan tidak termasuk ruang lingkup hukum pidana b) Ditinjau dari segi penuntutan Pada putusan pembebasan, perbuatan yang dilakukan dan didakwakan kepada terdakwa benar-benar perbuatan tindak pidana yang harus dituntut dan diperiksa di sidang “pengadilan pidana”. Cuma dari segi penilaian pembuktian, peembuktian yang ada tidak cukup mendukung keterbukaan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu kesalahan terdakwa tidak terbukti, terdakwa “diputus bebas”, dan membebaskan dirinya dari ancaman pidana yang diancamkan pada pasal tindak pidana yang diancamkan kepadanya. Sedangkan pada putudan lepas dari segala tuntutan hukum, pada hakikatnya apa yang didakwakan kepadanya bukan merupakan perbuatan tindak pidana. Barangkali hanya berupa quasi tindak pidana, seolah-olah penyidik dan penuntut umum melihatnya sebagai perbuatan tindak pidana. c) Putusan Pemidanaan Putusan pidana yang akan dijatuhkan Hakim tidaklah melebihi dari apa yang telah dituntut jaksa penuntut umum dalam tuntutannya. Selain itu putusan pidana hanya dijatuhkan apabila karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggug jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya (Pasal 6 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman). Putusan pidana ini diatur dalam Pasal 193 ayat (1) KUHAP, yang bunyinya : “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”. xxxv Dari keterangan pasal diatas berarti penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian pengadilan. Jika pengadilan berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan hukuman kepada terdakwa. Atau dengan penjelasan lain, apabila menurut pendapat dan penilaian pengadilan terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan asas minimum pembuktian yang ditentukan dalam pasal 183, kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak pidana. Pemidanaan berarti terdakwa dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan ancaman yang ditentukan dalam pasal tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa. Adapun yang dapat dijatuhkan hakim adalah suatu penghukuman seperti dalam pasal 10 KUHP yaitu ; a) Hukuman Pokok - Hukuman mati - Hukuman penjara - Hukuman kurungan - Hukuman denda b) Hukuman Tambahan - pencabutan beberapa hak tertentu - perampasan barang tertentu - pengumuman keputusan hakim Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan tersendiri tapi hanya dapat dikenakan disamping hukum pokok. Terhadap suatu putusan yang mengandung penghukuman terdakwa, pihak-pihak xxxvi yang merasa tidak puas tidak ada larangan untuk naik banding. Oleh karena itu, baik terdakwa ataupun penuntut umum dapat mengunakan upaya hukum apabila putusan hakim kurang memuaskan. Putusan yang menjatuhkan hukuman pemidanaan kepada seorang terdakwa tidak lain daripada putusan yang berisi perintah untuk menghukum terdakwa sesuai dengan ancaman pidana yang disebut dalam pasal pidana yang didakwakan.Undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menjatuhkan pidana antara hukuman “minimum” dan “maksimum” yang diancamkan dalam pasal pidana yang bersangkutan. sesuai dengan apa yang diatur dalam Pasal 12 KUHP. Namun demikian, titik tolak hakim menjatuhkan putusan pemidanaan harus didasarkan pada ancaman yang disebutkan dalam pasal pidana yang didakwakan. Berdasarkan pasal 193 ayat (1) KUHAP tersebut apabila kesalahan tidak cukup terbukti seperti dalam surat dakwaan dan perbuatan tersebut oleh hakim harus dijatuhi hukuman atau pidana terhadap terdakwa, kecuali terdakwa saat melakukan tindak pidana itu belum berumur 16 tahun. Maka hakim dapat mengambil kebijakan dan memutuskan : a) Anak itu dikembalikan kepada orang tuanya atau walinya dengan tidak dijatuhkan hukuman. b) Pada anak itu dinyatakan sebagai anak negara, maksudnya tidak dijatuhi hukuman, namun diserahkan kepada rumah pendidikan anak-anak nakal. c) Anak itu dijatuhi hukuman sepe rti biasa apabila perbuatanya sudah merupakan bakat. Untuk melihat status terdakwa yang dapat diperintahkan pengadilan berbarengan dengan saat putusan diucapkan, berpedoman pada Pasal 193 ayat (2) menyatakan bahwa ada xxxvii berbagai status yang dapat diperintahkan pengadilan terhadap seorang terdakwa yang dijatuhi dengan putusan pidana. d). Syarat dan Isi Putusan Pengadilan Dalam menjatuhkan putusannya, hakim harus memperhatikan hal-hal yang menjadi syarat sahnya dijatuhkan putusan tersebut. Hal ini penting agar putusan yang dijatuhkan Hakim mempunyai kekuatan hukum dan tidak batal demi hukum. Syarat tersebut telah diatur dalam Pasal 195 KUHAP, yang bunyinya : “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum”. Pada dasarnya putusan pengadilan itu terdiri dari beberapa hal, yaitu : (1) Pendahuluan Pendahuluan ini terdiri dari kepala putusan, yang berbunyi DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, nama pengadilan negeri yang memutus, identitas terdakwa, keterangan terdakwa, keterangan status penahanan terdakwa, pernyataan pengadilan negeri telah mempelajari berkas perkara, telah mendengar keterangan saksi-saksi, memperhatikan barang bukti dan keterangan terdakwa, telah mendengarkan tuntutan dari penuntut umum serta telah mendengarkan pembelaan dari terdakwa atau penasehat hukumnya. (2) Pertimbangan a) Pertimbangan pengadilan mengenai peristiwa dan fakta yang telah diperoleh pada pemeriksaan di depan persidangan yang mempunyai hubungan dengan upaya pembuktian terhadap kesalahan terdakwa yang didakwakan, adanya keterangan saksi serta barang bukti, pokok-pokok tuntutan dari penuntut umum serta adanya pembelaan terdakwa atau penasehat hukumnya. xxxviii b) Pertimbangan hukum yaitu pertimbangan yang menjadi dasar dari dijatuhkannya putusan yang berisi dasar-dasar hukum bagi hakim dalam memutus perkara. (1) Amar Putusan Amar putusan ini sering juga disebut bunyi putusan karena berisi terbukti atau tidaknya dakwaan yang didakwakan serta hukuman yang dijatuhkan. (2) Penutup Ketentuan penutup ini memuat hari dan tanggal diadakannya musyawarah Hakim, hari dan tanggal putusan diucapkan, namanama dan susunan Majelis Hakim, nama Panitera/Panitera Pengganti, nama Penuntut Umum serta nama terdakwa dan Penasehat Hukumnya. Dan kemudian akan ditandatangani oleh Majelis Hakim dan Panitera/Panitera Pengganti. Menurut Pasal 197 ayat (1) KUHAP suatu putusan pemidanaan memuat : a) Kepala putusan yang berbunyi : DEMI KEADIALAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. b) Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa. c) Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan. d) Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. e) Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan. f) Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa. xxxix g) Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali diperiksa oleh hakim tunggal. h) Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasi dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. i) Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti. j) Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik yang dianggap palsu. k) Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. l) Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus, dan nama panitera. Pada Pasal 197 ayat (2) KUHAP disebutkan mengenai putusan yang mempunyai akibat batal demi hukum yaitu jika tidak memenuhi ketentuan pada huruf a, b, c, d, e, f, g, h, i, j, k, dan l yang tersebut diatas. Tetapi jikalau terjadi kekhilafan dan/atau kekeliruan dalam penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan tersebut, kecuali yang tersebut pada huruf a, e, f, dan h (Penjelasan Pasal 197 ayat (2) KUHAP). e) Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Berat Ringannya Putusan Pemidanaan Berdasarkan hal yang telah dikemukakan tersebut mengenai diberinya kebebasan bagi hakim dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan, tentunya juga harus berdasarkan alat bukti yang sah. Ini merupakan penjabaran dari Pasal 183 Kitab xl Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyatakan secara tegas bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidan kepada sesorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benarbenar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Di dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP dijelaskan mengenai tujuannya adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum. Pada Pasal 193 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa pengadilan menjatuhkan pidana apabila pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Hal ini sesuai dengan asas tiada pidana tanpa adanya kesalahan (geenstraf zonder sculd) di dalam hukum pidana yang memiliki arti bahwa pidana hanya dapat dijatuhkan apabila terdakwa benar-benar terbukti melakukan suatu kesalahan yang dibuktikan pada sidang pengadilan. Maksud dari sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah adalah adanya minimal dua alat bukti dari lima alat bukti yang sah menurut KUHAP. Mengenai alat bukti yang sah ini dijelaskan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, meliputi : (1) Keterangan saksi Saksi adalah orang yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri atas suatu tindak pidana. Pada umumnya setiap orang dapat menjadi saksi, tetapi dalam Pasal 186 KUHAP diatur mengenai kekecualiannya, yaitu : a) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b) Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang xli mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c) Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. Dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP dikatakan bahwa sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Bagi saksi yang tidak mau disumpah maka dalam penjelasan Pasal 161 ayat (2) KUHAP memberikan keterangan yaitu seorang saksi yang tidak mau disumpah maka keterangannya tidak dianggap sebagai alat bukti, tetapi hanyalah merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. Ini berarti tidak merupakan kesaksian menurut undang-undang, bahkan juga tidak merupakan petunjuk, karena hanya dapat memperkuat keyakinan hakim. (Andi Hamzah 2002 :259) (2) Keterangan ahli Keterangan ahli adalah pendapat yang diberikan oleh seseorang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya. (Andi Hamzah 2002 :268) Seorang ahli mempunyai ciri bahwa ia menguasai suatu ilmu pengetahuan tertentu sesuai dengan yang dipelajari dan ia akan didengar keterangannya mengenai persoalan tertentu yang menurut pertimbangan hakim orang itu mengetahui bidang tersebut secara khusus dan mendalam. (3) Surat Alat bukti surat ini diatur dalam Pasal 187 KUHAP, yaitu : a) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang xlii didengar, dilihat, atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; b) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain. Jadi yang dikualifikasikan sebagai surat yang dapat dijadikan alat bukti adalah surat yang sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 187 KUHAP seperti tersebut di atas. (4) Petunjuk Pengertian petunjuk menurut Pasal 188 ayat (1) adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Pengertian ini dipandang tidak begitu jelas karena tidak dijelaskan mengenai perbuatan apa, kejadian, atau keadaan apa. Sehingga dalam prakteknya alat bukti petunjuk ini jarang digunakan. (5) Keterangan terdakwa Dalam KUHAP tidak dijelaskan mengenai keterangan terdakwa sebagai salah satu alat bukti. Keterangan terdakwa merupakan penjelasan yang diberikan oleh terdakwa pada saat dilakukan pemeriksaan terdakwa didepan persidangan. Sehingga keterangan disini termasuk yang berupa pengakuan, penyangkalan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. xliii Di dalam bukunya yang berjudul Hukum Hakim Pidana, Oemar Seno Adji menyatakan bahwa dalam kerangka kebebasan hakim untuk menentukan berat ringannya hukuman dimana ia dapat bergerak dalam batas-batas maxima hukuman ataupun untuk memilih jenis hukuman, maka dapat ditegaskan disini bahwa alasan-alasan tersebut, baik ia dijadikan landasan untuk memberatkan hukuman ataupun untuk meringankannya, tidak merupakan arti yang essensial lagi. Dalam maxima dan minima tersebut, hakim pidana bebas dalam mencari hukuman yang dijatuhkan terhadap terdakwa secara tepat. Suatu kebebasan yang berarti kebebasan mutlak secara tidak terbatas. Seorang hakim harus memperhitungkan sifat dan seriusnya delik yang dilakukan, keadaan yang meliputi perbuatan-perbuatan yang dihadapkan kepadanya. Hakim harus melihat kepribadian dari pelaku perbuatan, dengan umurnya, tingkatan pendidikan, apakah pria atau wanita, lingkungannya, sifatnya sebagai bangsa dan hal-hal lain (Oemar Seno Adji, 1984: 8). Selain alat bukti yang sah sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) KUHAP, untuk menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa, ada faktor lain di luar faktor yuridis yang harus diperhatikan oleh hakim. Hal tersebut antara lain melihat juga dari faktor modus operandi dan sosiologis yaitu hal-hal yang meringankan dan hal-hal yang memberatkan. Faktor yang meringankan adalah terdakwa berlaku sopan selama persidangan, mengakui perbuatannya dan terdakwa masih muda. Sedangkan faktor yang memberatkan adalah keterangan yang berbelit-belit, tidak mengakui perbuatannya, meresahkan masyarakat, merugikan negara, dan lain-lain. (Bambang Waluyo, 2000: 89) xliv Dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 28 ayat (2) juga mengatur mengenai kewajiban hakim untuk mempertimbangkan berat ringannya pidana bagi terdakwa dengan melihat sifat yang baik dan jahat dari terdakwa tersebut. Bahkan hal tersebut ditegaskan kembali dalam penjelasannya yaitu agar putusan yang dijatuhkan setimpal dan adil sesuai dengan kesalahannya. Selain itu hal-hal yang meringankan dan memberatkan diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP yang menyatakan bahwa surat putusan pemidanaan memuat pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan meringankan bagi terdakwa. Hal ini bertujuan agar tercipta keadilan bagi seluruh rakyak Indonesia, terutama dalam hal terciptanya persamaan dan kedudukan dalam bidang hukum dan tidak ada diskriminasi. 2. KERANGKA PEMIKIRAN Tindak Pidana Tersangka / Terdakwa xlv Proses Pengadilan Bagan 2. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran adalah pola pikir yang dimiliki oleh penulis dalam melakukan penelitian ini. Kerangka pemikiran berisi hal-hal yang menjadi pokok penelitian yang dilakukan oleh penulis sehingga nantinya dapat mencapai sasaran sesuai dengan tujuan penelitian tersebut. Kerangka pemikiran ini diwujudkan dalam suatu skema atau bagan agar lebih mudah dipahami. Dari bagan tersebut dapat dijelaskan bahwa adanya tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Dengan adanya tindak pidana dan adanya proses-proses yang mencari siapa pelaku tindak pidana tersebut maka akan ditemukan tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana tersebut. Setelah terdakwa ditentukan maka adanya proses peradilan yang dilakukan xlvi oleh petugas pengadilan. Proses peradilan ini dilakukan untuk mencari kebenaran apakah benar terdakwa itu melakukan tindak pidana yang didakwakan. Apabila terdakwa tersebut ternyata tidak terbuktimelakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka ia akan diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Dengan adanya keputusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Maka terdakwa tersebut berhak mendapatkan rehabilitasi untuk memulihkan namanya yang tercemar karena tindak pidana yang didakwakan kepadanya. xlvii BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pemberian rehabilitasi terhadap terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan huukum oleh pengadilan Untuk membahas bagaimana pemberian rehabilitasi terhadap terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh pengadilan, berikut ini disajikan satu putusan bebas dan mendapat rehabilitasi yang dibacakan dalam Amar Putusan sebagai berikut: a) Kasus Posisi Nama : Rukidi Tempat Lahir : Surakarta Umur/Tanggal Lahir : 49 Tahun, 17 Juli 1951 Jenis Kelamin : Laki-laki Kebangsaan : Indonesia Alamat : Komplek SD Bonorejo Rt.06/Rw. XVI, Kelurahan Nusukan, Banjarsari, Surakarta. Agama : Islam Pekerjaan : PNS/ Penjaga Sekolah SD Bonorejo, Surakarta Pendidikan : SD Bahwa terdakwa Rukidi di dakwa oleh Jaksa Penuntut Umum pada hari minggu, tanggal 9 janyari 2000, sekitar pukul 20.00wib atau setidak-tidaknya pada salah satu hari dalam bulan januari 2000, berada dikawasan Ngempak Rejosari Rt. 02, Rw. XV, kel. Gilingan Kec. Banjarsari, kotamadya Surakarta, atau setidak-tidaknya masih bertempat di daerah hukum Pengadilan Negeri Surakarta, dengan sengaja merampas nyawa orang lain yang bernama ibu Gito alias Mendes dengan cara: terdakwa datang kerumah ibu Gito atas xlviii permintaan ibu Gito alias Mendes beberapa hari sebelumnya dan terdakwa masuk kerumah ibu Gito melalui pintu depan dan akhirnya bercakap-cakap dengan ibu Gito di ruang tengah.dan tak lama keduanya terjadi pertengkaran oleh karena ibu Gito alias mendes mengungkit hutang hutang terdakwa yang belum lunas terhadap alm. Narto Suwarno sejumlah Rp. 500.000,00 dan terdakwa mengatakan sudah melunasinya. Karena ibu Gito bersikeras maka terdakwa mengambil sebuah ALU dan dipukulkan ke kepala sebanyak 3 kali , dan terdakwa mengambil sebuah toples lalu dipukulkan kewajah korban satu kali. Kemudian terdakwa mengambil leher toples yang sudah pecah lalu ditusukkan keler korban dekat telinga kiri sebanyak dua kali. Lalu terdakwa mengambil sebuah rit dan di bacokkan ke muka korban dua kali sehingg korban meninggal. b) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Berdasarkan keterangan tersebut, Jaksa Penuntut Umum mengajukan Rukudi sebagai terdakwa di pengadilan Negeri Surakarta dengan dakwaan sebagai berikut : 1. Primair Bahwa terdakwa bersalah telah melanggar tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 338` KUHP yang berbunyi: barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun 2. Subsidair Bahwa terdakwa bersalah telah melanggar tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 351 ayat (3) KUHP yang berbunyi: penganiayaan yang menebabkan kematian diancam pidana paling lama tujuh tahun. xlix c) Upaya Pembuktian bahwa untuk membuktikan dakwaaan Penuntut Umum tersebut, dipersidangan telah dihadapkan tujuh belas orang saksi masing-masing telah memberikan keterangan di bawah sumpah yang pada pokoknya sebagai berikut; 1. Ny. ARSAD a) Bahwa kejadian penganiayaan ibu gito alias mendes terjadi pada hari Senin tanggal 10 januari 2000 sekitar pukul 20.00wib b) Bahwa kejadian tersebut terjadi di Ngemplak, rejosari Rt. 02 Rw. XV Kelurahan Gilingan, Banjarsari, Surakarta c) Bahwa saksi tahu bahwa korban bernama ibu Gito alias mendes d) Bahwa jarak rumah antara saksi dengan korban kira-kira 10 meter, rumahnya hanya dibelakang adu tembok e) Bahwa saksi kenal dengan terdakwa Rukidi f) Bahwa saksi tidak pernah mengobrol dengan terdakwa g) Bahwa sebelum kejadian peristiwa tersebut, sekitar pukul 20.00 WIB saksi dirumah mendengarkan teriakan menanyakan kepada tetangga sebelah, tetapi tetangga saksi tersebut tidak mendengar suara apa-apa, lalu saksi ngobrol sampai pukul 23. 00 WIB, karena sudah malam lalu saksi masuk rumah untuk beristirahat. h) Bahwa yang ada dirumah korban adalah hanya ibu Gito sendiri i) Bahwa pekerjaan ibu Gito adalah bergadang jualan bumbon j) Bahwa saksi tidak tau terdakwa masuk rumah bu Gito alias mendes k) Bahwa saksi tahu bu Gito meninggal, setelah ada orang yang minta tolong kepada saksi untuk membangunkan bu Gito karena membeli arang, akan tetapi pintunya tertutup, l lalu saksi membukakan pintu dan setelah pintunya dibuka ternyata bu Gito telah meninggal keluar darah, lalu saksi teriak-teriak kemudian orang-orang disekitar datang. l) Bahwa posisi bu Gito mujur keselatan karena banyak orang berdatangan lalu memanggil polisi m) Bahwa yang sering datang ketempat korban adalah terdakwa Rukidi n) Bahwa saksi tidak pernah melihat barang bukti o) Bahwa pada malam kejadian tersebut ditempat sekitarnya tidak ada orang lewat karena takut pada orang mabukmabukan dan minum-minuman p) Bahwa jarak rumah terdakwa Rukidi dengan rumah korban, jauh naik becak masih bayar seribu q) Bahwa saksi tidak tahu datangnya dan keluarnya terdakwa dari rumah korban r) Bahwa terdakwa ditangkap oleh polisi setelah 2 hari kejadian s) Bahwa rumah korban bu Gito alias mendes kosong t) Bahwa sebelum kejadian peristiwa, pukul 06. 00 sore korban pernah ngobrol dengan saksi, lalu saksi pulang kerumah ngerebus air u) Bahwa saksi tidak melihat luka-luka korban v) Bahwa sebenarnya saksi akan menolong korban, karena tahu darah korban banyak yang keluar lalu saksi takut w) Bahwa saksi tidak tahu terdakwa melakukan penganiayaan 2. Ny. SETRO TARUNO a) Bahwa saksi kenal dengan ibu Gito b) Bahwa jarak rumah korban dengan rumah saksi kira-kira 20 meter li c) Bahwa saksi tidak mendengar teriakan, hanya pagi harinya saksi mau titip beli bumbon, berhubung pintunya masih tutup lalu saksi langsung kepasar d) Bahwa saksi tidak pernah ngobrol dengan ibu Gito e) Bahwa saksi tidak pernah melihat barang buktinya f) Bahwa bu Gito meninggal saksi tidak melayat, karena tidak dapat lelayu, karena saksi dari rumah sakit langsung ketempat anaknya g) Bahwa bu Gito meninggal saksi tidak tahu, tahunya bu gito ada dipasar, lalu saksi kepasar tidak ada, kenyataanya korban telah lama tidak jualan h) Bahwa bu Gito meninggal saksi diberi tahu oleh teman matinya dibunuh orang 3. Ny. GIYONO a) Bahwa saksi mendengar teriakan minta tolong pada hari Senin tanggal 10 januari 2000 sekitar pukul 20.00 b) Bahwa saksi mendengar teriakan teriakan tersebut satu kali lalu saksi ketempat ibu arsad sampai pukul 21.00 WIB tidak ada apa-apa, lalu saksi pulang kerumah kemudian pagi harinya bu Arsad teriak bu Gito meninggal dunia saksi tidak melihat korban karena takut matinya dibunuh c) Bahwa jarak rumah saksi dan bu Gito kira-kira 10 meter d) Bahwa saksi mendengar teriakan dari arah timur e) Bahwa saksi tidak dengan terdakwa f) Bahwa saksi tidak pernah melihat barang bukti g) Bahwa saksi tidak pernah melihat orang di luar rumah, karena gelap tidak kelihatan sama sekali, saksi tidak turun dan saksi bilang paling orang mabuk-mabukan, karena ditempat daerah itu tempat orang mabuk 4. Ny. WAGIYO a) Bahwa saksi kenal dengan terdakwa sejak tahun 1990 lii b) Bahwa kenalnya karena suami saksi pengajar SD dan selalu bertemu dengan terdakwa c) Bahwa terdakwa sering datang kerumah saksi d) Bahwa saksi kenal dengan bu Gito, karena saksi sering belanja kerumah korban, kebetulan terdakwa disitu e) Bahwa saksi tidak tahu kejadian peristiwa terebut, karena saksi waktu peristiwa itu di sragen f) Bahwa saksi bertemu dengan terdakwa pada bulan puasa, terdakwa mengantar surat ke SD Rejosari g) Bahwa setelah tahu kejadian tersebut, tepatnya lebaran kedua, lalu saksi pulang dari sragen di hari Senin pukul 09.00 WIB setelah sampai dirumah saksi mendengar bahwa mbah gito alias mendes meninngal dibunuh orang h) Bahwa pada waktu itu mayatnya belum dimakamkan i) Bahwa jarak rumah saksi dengan tempat kejadian kira-kira 50 meter j) Bahwa saksi saksi pernah ngobrol dengan terdakwa pada bulan puasa tanggalnya lupa, saksi berkata kepada terdakwa Pakde Rukidi diarep-arep mbah mendes, pakde rukidi kon dolan k) Bahwa saksi sering tahu terdakwa ditempat korban karena sering belanja disitu 15 hari sebelum kejadian itu terjadi l) Bahwa pelakunya ditangkap polisi selang 7 hari saksi tahu membaca koran ditulis RKD m) Bahwa bu Gito selagi masih hidup orangnya ramah dan sumeh 5. SUWARNO AL a) bahwa saksi kenal dengan terdakwa satu kampung lain RT, dan kenalnya sejak kecil b) bahwa jarak rumah saksi dan terdakwa adalah 500 meter liii c) bahwa pekerjaan terdakwa adalah penjaga SD yang tugasnya siang, malam dan rumahnya satu komplek dengan SD d) bahwa saksi diperiksa polisi tidak mengerti seperti apa e) bahwa saksi tidak tahu kejadianya, katanya sehabis lebaran tahun lalu f) bahwa saksi mendengar ada pembunuhan, katanya yang dibunuh bu Gito alias mendes g) bahwa saksi tahu kejadian itu awal februari 2000, tahunya dari adik saksi pulang ke desa katanya mendes dibunuh orang h) bahwa saksi tidak menengok korban, dan tidak tahu siapa yang membunuh, hanya saksi mendengar berita Rukidi dituduh membunuh ibu Gito i) bahwa saksi mendengar berita tersebut dari adiknya j) bahwa ibu Gito alias mendes dibunuh masalah tanah berbentuk kebon kira-kira 200 meter atas nama MARTO SUWARNO, pak Marto minta 200 meter perorang dan terdakwa dituduh beli tanah 150 meter sama pak Marrto Suwarno k) bahwa saksi tahu hubungan masalah tanah dengan kejadian tersebut l) bahwa Marto Suwarno itu masih kakak sambungan dengan terdakwa m) bahwa saksi tahu pak Marto Suwarno masih satu rumah dengan ibu Gito n) bahwa saksi tidak pernah tahu terdakwa main kerumah ibu Gito o) bahwa dalam acara pemeriksaan polisi menjawab masalah tanah, karena ditanya polisi masalah tanah liv p) bahwa hubungan terdakwa dengan Manto Suwarno adalah anak angkat q) bahwa saksi kenal dengan ibu Gito alias mendes waktu ada ajab saksi itu kesitu r) bahwa terdakwa pernah beli tanah dari mbok Marto Suwrno 150 meter dan sudah dibayar lunas s) bahwa terdakwa anak angkat pak Marno Suwarno tetapi terdakwa ikut ibu aslinya yang rumahnya dekat t) bahwa saksi tidak kenal dengan barang bukti itu sama sekali 6. SUDARMAN WIRO MARTONO a) Bahwa saksi kenal dengan terdakwa karena tetangga b) Bahwa ibu Gito alias mendes meninggal dunia, saksi tidak tahu c) Bahwa hubungan pak Manto Suwarno dengan ibu Gito saksi tidak tahu d) Bahwa saksi tidak kenal dengan ibu Gito alias mendes e) Bahwa hubungan dengan kejadian tersebut saksi tidak mengerti f) Bahwa saksi kenal dengan pak Marto Suwarno dulu pernah tinggal di Kp sawahan gedng dan sekarang tidak tahu g) Bahwa KTP saksi pernah dipinjam pak Marto Suwarno 10 tahun yang lalu h) Bahwa saksi tidak kenal sekali dengan barang bukti yang diajukan dalam persidangan 7. KASIMAN BIN KARTODIREJO a) Bahwa yang saksi ketahui dalam perkara ini adalah pembunuhan dengan korban ibu Gito alias mendes b) Bahwa ibu Gito alias mendes adalah ibu mertua saksi c) Bahwa saksi tahu ibu Gito meninggal karena diberi tahu tetangga bu gito pukul 07.00 pagi lv d) Bahwa sebelum kejadian itu terjadi, saksi siang harinya kerumah korban e) Bahwa permasalahan ibu Gito dibunuh saksi tidak tahu f) Bahwa saksi tidak pernah diajak membicarakan sesuatu dengan ibu Gito g) Bahwa terdakwa adalah anak angkat pak Manto Suwarno, dan saksi kenal dengan terdakwa h) Bahwa meninggalnya ibu Gito alias mendes pada lebaran hari kedua dirumah sendiri, dan saksi melihat korban sudah meninggal i) Bahwa siapa yang membunuh korban saksi tidak tahu j) Bahwa setelah ibu Gito alias mendes dibunuh lalu korban dibawa dirumah sakit k) Bahwa selanjutnya yang saksi lakukan adalah mempersiapkan pemakaman l) Bahwa ibu Gito dimakamkan di Pajang m) Bahwa setelah pemakaman keluarga terdakwa datang ke rumah sakit, istri terdakwa datang dan meminta maaf untuk meringankan hukuman, lalu saksi katakan hukuman yang memutuskan pengadilan n) Bahwa istri terdakwa datang kerumah saksi satu kali o) Bahwa pada waktu istri terdakwa datang, terdakwa sudah ditahan polisi p) Bahwa datangnya istri terdakwa kerumah saksi kira-kira 50 hari setelah kejadian meninggalnya ibu Gito. q) Bahwa istri terdakwa datang kerumah saksi tidak pesan apa-apa dan atas inisiatif sendiri r) Bahwa barang bukti yang diajukan dipersidangan adalah milik korban lvi 8. RAJIYO a) Bahwa saksi pernah dipanggil polisi sehubungan dengan meninggalnya ibu Gito alias mendes b) Bahwa ibu Gito itu adalah ibu saksi sendiri c) Bahawa saksi meninggal ibu Gito meninggal dunia dari adik saksi sekitar pukul 06.00 pagi, ibu mengalami kecelakaan, laliu saksi kerumah ibu ke Ngemplak setelah sampai disana ternyata sudah banyak orang yang berkerumun, lalu saksi menanyakan kepada orang-orang disitu ada apa, lalu dijawab ibu dibunuh orang dengan kepala dibacok, lalu saksi menemui petugas, lalu saksi disuruh masuk dan diberi tahu ibu Gito telah meninggal d) Bahwa saksi tidak sampai hati melihat jenasah karena luka bacokan dan berlumur darah e) Bahwa barang bukti yang diperlihatkan di persidangan adalah alu milik ibu itu sendiri, tetapi kotak tidak tahu milik siapa f) Bahwa saksi melihat terakhir ibu masih hidup 1 minggu sebelum kejadiaan g) Bahwa saksi pada waktu lebaran tidak kerumah ibu gito karena repot h) Bahwa setelah jenazah dari rumah sakit lalu disemayamkan dirumah adik sanggrahan, lalu dimakamkan di pajang i) Bahwa dengan keluarga atau istri terdakwa masih ada hubungan keluarga, saksi bilang kok terjadi begitu to mbak datang kerumah berdua j) Bahwa istri terdakwa lalu bilang saya minta maaf ya dik lalu saksi menjawab ya dan kata-kata lain dari istri terdakwa adalah maafkanlah kakakmu. lvii k) Bahwa korban tidak pernah bercerita kepada saksi, kelihatanya setelah bapaknya meninggal sering di teror orang, pintu rumah diketuk-ketuk dari belakang l) Bahwa pintnya sering diketuk-ketuk orang 3 kali dan siapa yang mengetuk saksi tidak tahu serta tidak masalahnya karena ibu saksi tidak pernah cerita m) Bahwa pada waktu ibu Gito alias mendes meninggal terdakwa maupun istri terdakwa tidak melayat 9. Ny. MARTIYEM a) Bahwa yang saksi ketahui pada waktu itu, hari minggu tanggal 9 januari 2000, sewaktu saksi berada di rumahnya mendapatkan telepon dari ngemplak sekitar jam 07.00 pagi dengan pesan agar segera datang ke ngemplak ditunggu orang b) Bahwa setelah saksi datang ke Ngemplak, saksi dirumah ibu saksi banyak orang, ternyata setelah masuk kerumah, saksi menjerit-jerit karena melihat ibu Gito dibunuh orang c) Bahwa kemudian bu Gito di bawa ke rumah sakit, setelah dari rumah sakit disemayamkan dirumah disanggahan dan malam itu dimakamkan di pajang d) Bahwa saksi tidak melhat keadaan korban e) Bahwa saksi tidak tahu yang membunuh ibu gito, baru tahu setelah 40 hari setelah meningalnya bu Gito, saksi membaca koran yang membunuh pak Rukidi f) Bahwa pada hari Sabtu malam Minggu saksi menginap di rumah bu Gito, baru sorenya saksi pulang kerumah sanggrahan g) Bahwa sebelumnya ibu Gito meninggal tidak ada keluhan dan tidak mengatakan sesuatu apa-apa h) Bahwa bu Gito dirumah sendirian i) Bahwa keluhan bu Gito paling-paling kalau masuk angin lviii j) Bahwa setelah suami bu Gito meninngal sering ada yang menggangu, pintu rumah diketuk sampai 4 kali dan yang mengetuki pintu tersebut saksi tidak tahu k) Bahwa yang diceritakan korban kepada tetangga, bahwa korban diancam patinya oleh keponakanya l) Bahwa keadaan korban dalam sepintas sudah diperbanan berada dalam peti, bahwa setelah korban dimakamkan beberapa hari kemudian Ny. Rukidi datang kerumah saksi untuk memintra maaf m) Bahwa yang dikatakan Ny. Rukidi minta maaf, lalu maaf yang bagaimana, lalu Ny. Rukidi menjawab bahwa suaminya diancam hukuman 4 tahun minta keringanan 3 tahun ditulis secara tertulis n) Bahwa Ny. Rukidi datang kerumah saksi 40 hari setelah meninggalnya ibu Gito bersama adik iparnya bernama pak manto o) Bahwa barang bukti yang diperlihatkan dipersidangan adalah benar milik bu Gito 10. Ny. SRI RAHAYU a) Bahwa korban yang meninngal adalah mertua saksi b) Bahwa pada waktu hari lebaran suami saksi yang menengok ke Ngemplak, saksi menunggu di rumah c) Bahwa saksi tidak pernah kerumah korban, hanya pada waktu 100 harinya pak Manto Suwarno, yang sebelum meninggal serumah dengan korban d) Bahwa saksi akan melihat jenazah yang akan dibuka, tetapi disarankan oleh tetangga tidak usah dibuka, katanya muka korban sudah rusak e) Bahwa pintunya pernah diketuk orang 3 kali dan siapa yang diketuk saksi tidak tahu lix f) Bahwa barang bukti yang diperlihatkan dipersidangan saksi tidak tahu milik siapa 11. Ny. MURWANI a) Bahwa bu Gito meninggal saksi tidak melayat b) Bahwa saksi belum pernah kerumah bu Gito alias mendes c) Bahwa saksi tahu pak Manto Suwarno itu bapak angkat terdakwa, tetapi tidak serumah karena tempat tinggalnya berdekatan d) Bahwa saksi kerumah Sri Rahayu yang menyuruh pak polisi yang bernama Sukarno, untuk minta maaf e) Bahwa saksi datang kerumah Sri Rahayu bersama dengan adiknya bernama pak Manto, setelah sampai disana yang dibicarakan cuma maaf f) Bahwa saksi kesana membawa pisang, saksi tidak ngomong apa-apa, karena sudah diwakilkan sama adik iparnya yang pokoknya minta maaf; g) Bahwa saksi pertama minta maaf, lalu marah dan katakatanya menyakitkan hati kemudian saksi pulang sambil menangis; h) Bahwa saksi tidak mendengarkan apa yang adik iparnya katakan kepada bu Martiyem; i) Bahwa kemudian yang dibicarakan adalah surat pernyataan yang diminta oleh saksi, adik ipar saksi juga minta hal yang sama, tetapi kelihatannya keluarga korban enggan untuk membuat surat pernyataan, lalu bu Martiyem mengatakan kalau minta maaf ya sama Tuhan, padahal saksi ke rumah korban atas anjuran polisi; j) Bahwa saksi ke rumah saksi Martiyem sebanyak 3 (tiga) kali dan ditolak satu kali dan yang dibicarakan sama; lx k) Bahwa saksi tahu bu Gito meninggal, setelah membaca surat kabar beberapa hari kemudian setelah kejadian; l) Bahwa pada hari minggu pada tanggal 9 Januari 2000 di rumah saksi ada tamu dari purwodadi bernama Saino bersama dengan anak kecil namanya Ida dan yang menerima Rukini (terdakwa); m) Bahwa kira-kira jam 06.00 sore tamu sudah berada di rumah lalu ngobrol sampai jam 07.00 malam, lalu makan bersama sekitar jam 07.30 malam, kemudian nonton TV sampai pukul 08.30 malam lalu tidur; n) Bahwa pada waktu itu terdakwa tidak keluar rumah, esok harinya saksi diajak Saino ke Purwodadi, kemudian kembali ke Solo jam 09.00 malam; o) Bahwa Rukidi diperiksa polisi tanggal 28 Pebruari 2000 didatangi polisi, kemudian kira-kira satu jam kemudian pulang, polisinya bernama Pak Karno; p) Bahwa kemudian pak Rukidi dipanggil polisi kedua pada tanggal 13 Pebruari 2000 dan sejak saat itu Rukidi tidak pulang; 12. SUMARNO ( saksi yang meringankan) a) Bahwa saksi sering berteman dengan terdakwa; b) Bahwa sebelumnya saksi sama sekali tidak tahu kejadian tersebut, saksi mulai tahu karena diberi tahu oleh ibu mertua, dia bilang bahwa pak Rukidi dipanggil polisi; c) Bahwa saksi tahu hal tersebut 2 hari setelah kejadian; d) Bahwa keluarganya setelah diberitahu lalu bingung dan ketakutan, kemudian hari berikutnya, kemudian hari berikutnya Pak Rukidi dibesuk dan bertemu dengan bapak polisi yang bernama pak Karno, lalu pak Karno memberi nomor tilpun supaya kalau ada hal-hal yang diketahui tilpun kerumah, dan kalau perlu datang kerumah pak Karno, lalu lxi kontak pukul 06.00 sore (18.00 WIB) keluarganya datang kerumah; e) Bahwa setelah itu diberi nomor handphone-nya pak Karno di kantor Polresta Surakarta, waktu itu juga saksi menemui pak Karno dan menanyakan dakwaan kepada Pak Rukidi; f) Bahwa dakwaannya adalah bahwa pak Rukidi menganiaya orang yang namanya bu Mendes; g) Bahwa yang saksi lakukan adalah datang kerumah pak Radiyo untuk minta penjelasan tertulis yang isinya mohon keringanan hukuman kepada Kapolresta Surakarta; h) Bahwa saksi datang lagi 2 hari kemudian untuk minta surat Permyataan maaf secara tertulis, maaf dalam arti untuk surat dakwaannya; i) Bahwa hasilnya tidak bisa mengasih surat, dirumah diterima oleh isterinya, dan isterinya bilang bapaknya tidak ada dirumah; j) Bahwa minta surat pernyataan tersebut adalah saran dari pak Karno; k) Bahwa pendidikan saksi adalah SD ; l) Bahwa pekerjaan saksi adalah sopir mobil barang untuk dalam dan luar kota ; m) Bahwa saksi datang kerumah pak Radiyo adalah untuk minta maaf, karena dakwaan polisi sudah masuk mass media ; n) Bahwa pada waktu bu Gito meninggal saksi tidak melayat, karena waktu itu saksi bingung ; o) Bahwa saksi tidak tahu pesan setelah 100 harinya pak Marto Suwarno ; p) Bahwa saksi tidak tahu bu Gito alias Mendes satu rumah dengan pak Marto Suwarno ; lxii q) Bahwa saksi diberi saran oleh pak polisi supaya minta maaf, karena saksi tidak sempat berembug dengan bu Rukidi ; r) Bahwa sebab minta maaf karena salah ; s) Bahwa saksi tidak rahu sama sekali pak Rukidi menganiaya bu Mendes, karena saksi hanya mewakili bu Rukidi minta maaf, tidak bisa datang melayat waktu bu Gito alias Mendes meninggal ; t) Bahwa kedatangan saksi kerumah pak Radiyo untuk memintakan penangguhan penahan pak Rukidi ; 13. CHOLID GALIH DWI PAP (Saksi Yang Meringankan) : a) Bahwa saksi kenal dengan terdakwa ; b) Bahwa saksi sering main kerumah, karena disitu ada mesjidnya ; c) Bahwa jarak rumah saksi dengan rumah terdakwa hanya selang satu rumah ; d) Bahwa saksi datang kerumah pak Rukidi tanggal 9 Januari 2000, bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri, dan waktu itu saudaranya dari Purwodadi yang bernama Saino dan anaknya bernama Novi datang sebagai tamu pak Rukidi, saksi bertemu dengan pak Rukidi pukul 4.30 sore, di mesjid pukul 06.00 sore, setelah dari mesjid kembali ngobrol lagi sampai pukul 07.00 malam, lalu kembali ke mesjid, setelah pulang pukul 7.00 makan malam bersama pak Rukidi , dan setelah makan malam ngobrol lagi sambil nonton TV, pak Rukidi dengan tamunya membicarakan keberangkatan ke Madiun ; e) Bahwa saksi yakin melihat pak Rukidi dirumah, karena pukul 06.00 – 07.00 malam keluarganya bersama saksi ke masjid, selain ke masjid tidak pernah keluar, terdakwa nonton TV bersama tamunya, waktu itu acaranya srimulat ; lxiii f) Bahwa ukuran rumah pak Rukidi 4 x 6 meter, tanpa disekat, bicara di dapur sama didepan dan kalau ada orang lewat pasti kelihatan ; g) Bahwa saksi sudah lulusan sarjana farmasi tahun 1996 di Jakarta ; h) Bahwa saksi tinggal di Solo ikut famili di Bonorejo namanya Haryanto ; i) Bahwa saksi bermain kerumah pak Rukidi untuk ngobrol, mondar – mandir ke dapur ambil minum sendiri ; j) Bahwa saksi tidak tahu kejadiannya, tahu-tahu setelah mebaca surat kabar ; k) Bahwa pintu depan rumah pak Rukidi hanya 1 pintu ; l) Bahwa orang tua saksi tinggal di Jakarta ; m) Bahwa saksi pada waktu itu tidak pulang ke Jakarta ; n) Bahwa pada lebaran pertama saksi pergi ke Boyolali, pulang jam 06.00 sore langsung ke rumah pak Rukidi ; o) Bahwa saksi tinggal di solo dan kenal dengan pak Rukidi sudah 5 tahun ; p) Bahwa pekerjaan pak Rukidi adalah sebagai penjaga SD Bonorejo ; q) Bahwa sehari-hari pak Rukidi kalau bepergian naik sepeda angin, karena tidak dapat naik sepeda motor ; r) Bahwa setelah mendengar berita kejadian tersebut saksi sangat prihatin ; s) Bahwa saksi tahu kejadian di Ngemplak Surakarta ; t) Bahwa jarak rumah pak Rukidi dengan rumah korban 2 (dua) km ; u) Bahwa saksi berada dirumah pak Rukidi dari jam 5.30 sore sampai jam 11.30 malam ; v) Bahwa dirumah pak Rukidi menonton TV dan ngobrol dengan pak Rukidi ; lxiv w) Bahwa saksi selama disitu, pernah meninggalkan tempat, tetapi tidak lebih dari 5 (lima) menit, paling kebelakang, kemudian setelah sholat Ishak saksi tidak pernah meninggalkan sampai jam 11.00 malam ; x) Bahwa kegiatan saksi selama di rumah pak Rukidi ngobrol, gojek dengan pak Rukidi dan temannya ; y) Bahwa setelah pukul 11.30 saksi pamitan pulang tidak dari masjid sampai subuh ; z) Bahwa yang bepergian ke Madiun adalah pak Rukidi, pak Saino, Novi dan adiknya pak Rukidi ; aa) Bahwa sikap pak Rukidi akan berangkat ke Madiun biasabiasa saja ; 14. NOVA EKO MURTIONO (Saksi Yang Meringankan) : a) Bahwa saksi kenal akrab dengan terdakwa ; b) Bahwa saksi waktu masih di SMA sering main ke rumah pak Rukidi, tetapi akhir-akhir ini jarang pulang karena kuliah di Yogyakarta ; c) Bahwa saksi bermain dirumah pak Rukidi pada hari Minggu tanggal 9 Januari 2000, karena bertepatan dengan Hari Raya Lebaran, disitu ngobrol dengan anaknya pak Rukidi yang bernama Hananto ; d) Bahwa saksi pulang pukul 11.30 malam sendirian ; e) Bahwa waktu datang kerumah saksi bertemu dengan pak Rukidi, ibu Rukidi dan Hananto, lalu bersalaman dan pada waktu itu datang temannya bernama Cholid dan tamunya pak Rukidi yang bernama Saino dan anaknya Novi ; f) Bahwa selama disitu saksi pernah keluar, beli baju kepasar Nusukan lalu pulang lagi ngobrol-ngobrol lagi membawa pakaian, hanya sebentar lalu pukul 7.00 malam makan malam dan pak Rukidi ada, saksi tidak makan tapi ada lxv disitu menemani, setelah itu saksi gojek di depan rumah sampai pukul 11.30 malam ngobrol dengan Hananto ; g) Bahwa sewaktu saksi akan pulang pamit sengan pak dan ibu Rukidi ; h) Bahwa setelah pulang saksi tidak tahu kegiatannya pak Rukidi ; i) Bahwa saksi selama disitu tidak pernah melihat pak Rukidi keluar, karena saksi di depan, bila ada orang keluar atau masuk saksi pasti tahu, kalau pintu belakang tidak tahu tetapi akhirnya kedepan karena kondisinya pasti lewat pintu depan ; j) Bahwa jarak rumah saksi dengan rumah pak Rukidi 50 meter ; k) Bahwa di depan rumah ada atapnya, dan tempat duduk besar ukuran 2 x 11/2 meter ; l) Bahwa luas ruang tamu 2 x 3 meter ; m) Bahwa rumahnya tidak ada sekatnya, makan dan ruang tamu menjadi satu ; n) Bahwa luas dapur 2 x 5 meter karena ada tambahan ; o) Bahwa besar rumah pak rukidi 6 x 8 meter ; p) Bahwa saksi ngobrol dirumah pak Rukidi mulai pukul 6.00 sore s/d 11.30 malam bersama hananto ; q) Bahwa saksi tidak tahu kegiatan sehari-hari pak Rukidi ; r) Bahwa pak Rukidi mempunyai 2 kendaraan, yaitu satu sepeda motor dan 1 sepeda onthel ; s) Bahwa saksi tidak tahu pak Rukidi keluar, yang saksi tahu pak Rukidi dirumah bersama tamunya ; t) Bahwa saksi melihat bahwa pak Rukidi sedang tiduran bersama tamunya, waktu ngobrol sambil tiduran nonton TV u) Bahwa rumah pak Rukidi dipagar keliling dan pintu gerbangnya 1 (satu) dan pintu belakang tidak ada ; lxvi v) Bahwa pagarnya terbuat dari kawat berduri dan pepohonan ; 15. TUMIJO (saksi yang memeriksa di Kepolisian) ; a) Bahwa saksi kenal terdakwa setelah memeriksa tersangka Rukidi ; b) Bahwa saksi memeriksa terdakwa 2 (dua) kali ; c) Bahwa pemeriksaan dilakukan di Polresta Surakarta ; d) Bahwa cara memeriksanya setelah sebelum diproses verbal, ditulis dengan tangan setelah itu diketik ; e) Bahwa satu pertanyaan dijawab oleh tersangka dan diketik dalam berita acara ; f) Bahwa keterangan/pertanyaan yang diberikan tersangka yang menyangkut perbuatannya ; g) Bahwa saksi tidak menganiaya tersangka ; h) Bahwa setelah selesai dibait berita acara lalu tersangka disuruh membaca dulu, setelah itu ditanda tangani ; i) Bahwa benar barang buktinya adalah dilihatkan di persidangan ; j) Bahwa pada waktu tersangka diperiksa di kepolisian didampingi oleh Penasehat Hukum Siswoyo, SH dari Boyolali ; k) Bahwa rekontraksi tempatnya tidak di TKP karena untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan ; l) Bahwa alu, lodong milik korban dan kaos milik tersangka yang terdapat ditempat kejadian peristiwa ; m) Bahwa kaos tersebut belum dicuci, itu milik tersangka tinggal di TKP ; n) Bahwa milik tersangka, karena menurut pemeriksaan tersangka mengakui sendiri waktu pemeriksaan ; lxvii o) Bahwa waktu diperiksa polisi, tersangka tidak bermaksud membunuh, setelah dipukul alu lalu dipukul linggis, lalu mengambil arit ; p) Bahwa saksi dalam menyusun berita acara pemeriksaan tidak mengarang ; q) Bahwa pemeriksaan saksi adalah Eko Budiono ; r) Bahwa pemeriksaan pendahuluan yang diperiksa adalah saksi-saksi dulu ; s) Bahwa sebelum menjadi tersangka, terdakwa diperiksa sebagai saksi lalu dikembangkan unit Operasional diserahi, baru memeriksa tersangka ; t) Bahwa bukti-bukti telah diperlihatkan pada waktu diperiksa dan tersangka mengakui ; u) Bahwa keterangan saksi-saksi adalah dari Ny. Wagiyo ; v) Bahwa masalahnya hutang dengan pak Marto Suwarno sudah dibayar lunas ; w) Bahwa tersangka tidak pernah menolak, tidak ada keberatan saat tersangka diperiksa ; x) Bahwa pada waktu pemeriksaan tersangka sehat jasmani dan rohani ; y) Bahwa pemeriksaan pertama, tersangka tidak didampingi oleh Penasehat Hukum baru pemeriksaan kedua tersangka didampingi Penasehat Hukum ; z) Bahwa dari keluarga bu Gito belum pernah melihat kaos dan belum tahu dipakai oleh terdakwa ; 16. SISWOYO, SH : a) Bahwa saksi adalah Ketua Pusat Pengkajian Pemberdayaan Pengawasan Pengaduan Masyarakat dan Bantuan Hukum di Boyolali ; b) Bahwa di kantor saksi tidak pernah menerima surat dari Polresta Surakarta untuk mendampingi tersangka Rukidi ; lxviii c) Bahwa saksi belum pernah dengar Rukidi ; d) Bahwa direkturnya dikantor adalah saksi sendiri ; e) Bahwa saksi belum pernah melihat surat dari Polresta Surakarta untuk Bantuan Hukum mendampingi tersangka Rukidi ; f) Bahwa saksi tidak pernah mendampingi tersangka Rukidi di Polresta Surakarta tertanggal 21 Pebruari 2000 ; g) Bahwa saksi belum pernah melihat tersangka, mendampinginya, saksi melihat baru sekarang tanggal 17 Juli 2000 ; 17. TUR NURNININGSIH, SH : a) Bahwa saksi tidak pernah mendampingi terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan di Kepolisian ; b) Bahwa petugas yang menangani surat-surat adalah saksi sendiri ; c) Bahwa saksi belum pernah menerima/mengolah surat dari Kepala Reserse Polresta Surakarta ; Menimbang, bahwa atas keterangan saksi-saksi dipersidangan, terdakwa menyatakan tidak keberatan ; Menimbang, bahwa selanjutnya terdakwa memberikan keterangan yang pada pokoknya adalah sebagai berikut : a) Bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang dibacakan didepan persidangan adalah tidak benar/salah ; b) Bahwa terdakwa memberikan keterangan di kepolisian karena terpaksa ; c) Bahwa terdakwa tidak kenal dengan tukang ojek ; d) Bahwa terdakwa belum kenal dengan bu Arsad ; e) Bahwa terdakwa disuruh oleh polisi untuk mengakui kotak sebagai barang bukti; f) Bahwa polisi tidak tahu siapa yang menganiaya korban, tetapi terdakwa ditahan ; lxix g) Bahwa pada tanggal 16 Februari 2000 terdakwa diajak ke tempat kejadian untuk rekonstruksi, tetapi terdakwa tidak mau karena terdakwa tidak berbuat apa-apa ; h) Bahwa keterangan singkatnya terdakwa tidak melakukan penganiayaan dan tidak memukul bu Mendes ; i) Bahwa benar pada tanggal 17 April 2000 terdakwa di periksa dikejaksaan dengan ketawa-ketawa tanpa ada paksaan, tetapi sekarang dalam persidangan tidak mengakuinya, karena terdakwa pada waktu itu berada dalam keadaan takut sama Jaksa dan kilaf ; j) Bahwa terdakwa setelah itu selama 2 (dua) hari 2 (dua) malam tidak bisa tidur ; k) Bahwa pembuatan Berita Acara Pemeriksaan setelah selesai tidak diulangi lagi ; l) Bahwa selama diperiksa di Kepolisian terdakwa tidak didampingi oleh Penasehat Hukum ; m) Bahwa benar terdakwa bertemu dengan Penuntut Umum di Kantor Kejaksaan Negeri Surakarta dan diterima dengan baik ; n) Bahwa benar terdakwa ditanya oleh Penuntut Umum dan dijawab oleh terdakwa dengan tertawa-tertawa, tetapi sebenarnya terdakwa merasa ketakutan, sehingga kilap dalam memberikan jawaban ; o) Bahwa benar berita acara pendahuluan yang memuat pertanyaan dan jawaban diketik, sekali ketik dan langsung.terdakwa tanpa tanda tangani Bahwa dalam menandatangani berita acara pemeriksaan pendahuluan tersebut terdakwa dipaksa oleh polisi, dan karena takut terdakwa terpaksa harus menandatangani berita acara tersebut. lxx d) Pertimbangan-Pertimbangan Hakim Dalam Pembuktian Kasus Tersebut Menimbang, bahwa dari keterangan saksi-saksi, kerangan terdakwa,Visum et Repertum serta barang bukti, apabila satu dengan lainnya dihubungkan serta dilihat persesuaiannya, maka dapat disimpulkan tentang adanya fakta-fakta sebagai berikut : 1. bahwa benar pada hari minggu tanggal 9 januari 2000 sekitar pukul 20.00 WIB terdengar suara mengaduh yang berasal dari rumah korban Ibu Gito alias Mendes di Kawasan Ngemplak Rejosari Rt.02 Rw..XV, Kelurahan Gilingan, Banjasari, Kodya Surakarta ; 2. bahwa benar pada hari Senin tanggal 10 Januari 2000 sekitar 06.00 WIB, korban Ibu Gito alias Mendes diketemukan telah meninggal dunia didalam rumahnya ; 3. bahwa benar korban mengalami luka-luka dibeberapa bagian serta banyak mengeluarkan darah dan matinya korban disebabkan oleh kekerasan benda tumpul yang mengakibatkan mengalami kerusakan jaringan otak ; 4. bahwa benar korban Ibu Gito alias Mendes telah dimakamkan di Pemakaman Umum daerah Makamhaji, Kartosuro, Sukoharjo pada hari Senin, tanggal 10 Januari 2000 sekitar pukul 24.00 WIB ; 5. bahwa benar kurang lebih 1 bulan sebelumnya korban meningal dunia, terdakwa dipanggil supaya datang kerumah korban melalui pesan yang disampaikan oleh Ny. R. WGIYO ; 6. bahwa benar terdakwa adalah anak angkat Marto Suwarno almarhum, yang terakhir hidup bersama dengan Ibu Gito alias Mendes ; 7. bahwa terdakwa sering datang kerumah korban Ibu Gito alias Mendes, ketika pak Marto Suwarno masih hidup ; lxxi 8. bahwa korban Ibu Gito alias Mendes tinggal dirumahnya sendiri dan pekerjaan jualan bumbon ; 9. bahwa dibelakang rumah korban yang berupa kebon kosong bila malam hari sering ditempati untuk mangkal anak-anak muda untuk mabuk-mabukan ; 10. bahwa para saksi tidak ada yang melihat maupun tahu siapa yang melakukan pembunuhan atas diri korban ; 11. bahwa barang bukti yang diajukan dipersidangan adalah milik korban kecuali sabit ; 12. bahwa benar isteri terdakwa, yaitu saksi Muwarni, dua kali mendatangi rumah saksi Partiyem dan Sri Rahayu anak korban dengan keperluan meminta maaf dan meminta untuk menanda tangani sebuah surat dan perginya saksi Muwarni tersebut tanpa pengetahuan terdakwa Rukidi ; Menimbang, bahwa apakah dari fakta-fakta yang terungkap dipersidangan kesalahan terdakwa sebagaimana dakwaan Jaksa Penuntut Umum terbukti, perlu dipertimbangkan lebih lanjut ; Menimbang, bahwa terdakwa diajukan kedepan persidangan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan dakwaan : 1. Primair : 2. Subsidair : Melanggar pasal 338 KUHP ; Melanggar pasal 351 ayat (3) KUHP ; Menimbang, bahwa oleh karena surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum disusun secara subsidairitas, maka haruslah dipertimbangkan tentang dakwaan primair terlebih dahulu ; Menimbang, bahwa dalam dakwaan primair terdakwa didakwa melanggar pasal 338 KUHP dimana Pasal tersebut memuat unsur-unsur sebagai berikut : 1. Dengan sengaja ; 2. Menghilangkan nyawa orang lain ; Menimbang, bahwa terhadap unsur-unsur pasal tersebut, majelis hakim mempertimbangkan terlebih dahulu unsur “menghilangkan nyawa lxxii orang lain“, dan untuk membuktikan unsur tersebut, maka perlu dipertimbangan hal-hal sebagai berikut : Apakah korban telah meninggal dunia ; Menimbang, bahwa dari fakta yang terungkap dipersidangan sebagaimana keterangan saksi-saksi, ternyata bahwa korban Ibu Gito alias Mendes telah dimakamkan pada hari Senin tanggal 10 Januari 2000 sekitar jam 24.00 WIB di daerah Makamhaji, Kecamatan Kartosuro, Kabupaten Sukoharjo ; Menimbang bahwa selanjutnya “Apa yang menjadi penyebab meninggalnya korban ?” ; Menimbang, bahwa sebagaimana dalam Visum et Repertum No.074/II/MF/2000 tertanggal 10 Januari 2000, yang dalam kesimpulannya menyatakan bahwa korban atas nama Ibu Gito alias Mendes meninggal karena kerusakan jaringan otak yang disebabkan Counter Cop akibat kekerasan benda tumpul ; Menimbang, bahwa sebagaimana keterangan saksi Partiyem, Sri Rahayu, Rajiyo, Ny. Arsyad dan lain-lain, menyatakan bahwa korban pada hari Minggu tanggal 9 Januari 2000 masih dalam keadaan sehat wal’afiat, dan baru pada pagi harinya tanggal 10 Januari 2000 korban diketemukan tergeletak didalam rumah dengan berlumuran darah dan mengalami luka-luka serta tidak bernyawa lagi ; Menimbang, bahwa dengan demikian jelas, bahwa kematian korban Ibu Gito alias Mendes disebabkan bukan karena sakit, akan tetapi karena luka-luka sedemikian rupa, sehingga mengalami kerusakan jaringan otak akibat kekerasan benda tumpul ; Menimbang, bahwa selanjutnya siapakah yang melakukan pembunuhan atas diri korban ? Menimbang, bahwa dari fakta-fakta yang terungkap dipersidangan, para saksi seluruhnya menyatakan tidak melihat siapa yang melakukan, bahkan para saksi tidak tahu siapa orang yang datang kerumah korban sebelum korban ditemukan terbujur pada pagi harinya ; lxxiii Menimbang, bahwa dari keterangan saksi Ny. Arsyad dan Mariaty Giyono, yang mendengar teriakan aduh aduh yang berasal dari rumah korban pada malam hari sekitar pukul 20.00 WIB hari Minggu tanggal 9 Januari 2000, akan tetapi sebelumnya tidak melihat siapa yang datang kerumah korban ; Menimbang, bahwa keterangan terdakwa dipersidangan menyangkal bahwa dirinya yang melakukan penganiayaan atau pembunuhan atas diri korban ; Menimbang, bahwa sebagaimana pasal 189 (1) KUHAP, dimana keterangan terdakwa yang dapat dipakai sebagai bukti adalah keterangan yang diberikan dipersidangan Menimbang, bahwa keterangan terdakwa sebagaimana yang termuat dalam Berita Acara Pendahuluan yang dibuat didepan Penyidik tertanggal 18 Pebruari 2000 dan tanggal 21 Pebruari 2000 dan dikatakan oleh verbalisan dipersidangan, bahwa keterangan tersebut diberikan oleh tersangka tanpa ada paksaan, akan mencabut semua keterangan yang tetapi dipersidangan terdakwa diberikan didepan penyidik dengan alasan karena dipenyidik terdakwa merasa tertekan dan dianiaya sebelumnya, sehingga mengalami pingsan 2 kali ; Menimbang, bahwa dalam rangka mendapatkan petunjuk, apakah keterangan terdakwa yang diberikan didepan penyidik sebagaimana termuat dalam BAP adalah benar uraian keterangan terdakwa sendiri, Majelis memerintahkan supaya didengarkan para Penasihat Hukum yang mendampingi terdakwa ketika diperiksa didepan penyidik, sebagaimana termuat dalam pertanyaan dan jawaban pada butir ke 27 BAP tertanggal 18 pebruari 2000 ; Menimbang, bahwa setelah didengar keterangan saksi SISWONO, SH dan TUR MUNINGSIH, SH dipersidangan, ternyata kedua orang saksi tersebut menyatakan tidak pernah mendampingi terdakwa ketika diperiksa didepan penyidik pada Kepolisian Resort Kota Surakarta dan baru melihat terdakwa dipersidangan ini dan isi pertanyaan dan jawaban No.27 BAP lxxiv tersebut adalah tidak benar ; Dengan demikian, maka keterangan terdakwa yang diberikan di depan penyidikan meragukan untuk dapat dijadikannya sebagai petunjuk, disamping tidak adanya persesuaian dengan keterangan para saksi yang mengetahui bahwa terdakwalah sebagai pelaku pembunuhan ; Menimbang, bahwa barang-barang bukti yang diajukan di persidangan yang juga disangkal sebagai alat yang digunakan terdakwa untuk melakukan penganiayaan atau pembunuhan, adalah tidak dapat dipakai sebagai petunjuk untuk menambah keyakinan hakim, hal ini mana mungkin akan sangat berbeda, apabila terhadap barang-barang bukti tersebut dilakukan test uji sidik jari sebelum disentuh orang lain dan setelah digunakan terdakwa, maupun dilakukan uji darah antara darah korban dengan darah yang menempel di baju kaos milik tersangka, namun hal tersebut ternyata tidak dilakukan oleh penyidik ; Menimbang, bahwa keterangan saksi Partiyem dan Ny. Sri Rahayu yang menerangkan bahwa isteri terdakwa yaitu saksi Muwarni pernah berkunjung kerumah saksi sebanyak 2 (dua) kali untuk meminta maaf atas musibah yang dialami korban yang sebagai orang tua saksi Partiyem dan mertua saksi Sri Rahayu, hal tersebut juga belum menunjukan apakah terdakwa merupakan atau sebagai pelaku pembunuhan atas diri korban ; Menimbang, bahwa dari uraian tersebut, maka Majelis berpendapat bahwa tidaklah terdapat cukup bukti yang meyakinkan bahwa terdakwalah sebagai pelaku pemunuhan atas diri korban, oleh karenanya maka unsur menghilangkan nyawa orang antara lain sebagai salah satu unsur dalam dakwaan primair tidak terbukti, terdakwa harus dibebas dari dakwaan primair tersebut ; Menimbang, bahwa atas unsur-unsur tersebut, maka Majelis akan mempertimbangkan atas dakwaan subsidair Jaksa Penuntut Umum, dimana terdakwa didakwa melanggar pasal 351 ayat 3 KUHP yang memuat unsur-unsur : lxxv 1. Dengan sengaja ; 2. Menganiaya ; 3. Mengakibatkan matinya orang lain ; 4. Menimbang, bahwa atas unsur-unsur tersebut diatas maka Majelis akan mempertimbangkan terlebih dahulu atas unsur menganiaya orang lain yang menjadi unsur utama dalam pasal 351 ayat (3) KUHP ; Menimbang, bahwa sebagaimana fakta-fakta yang terungkap dipersidangan telah ternyata bahwa korban Ibu Gito alias Mondes telah mengalami luka-luka sedemikian rupa sebagaimana keterangan para saksi dan uraian hasil Vissum et Repertum No. 07 A/II/MF/2000 tertanggal 10 januari 2000 yang intinnya korban mengalami banyak lukaluka di beberapa bagian, dengan demikian terbukti bahwa korban Bu Gito alias Mendes telah mengalami penganiayaan ; Menimbang, bahwa selnjutnya perlu dipertimbangkan tentang siapa yang melakukan penganiayaan tersebut? Menimbang, bahwa sari fakta-fakta yang terungkap dipersidangan ternyata, bahwa tidak ada seorang saksipun yang melihat siapa yang melakukan penganiayaan atas diri korban ; Menimbang, bahwa dipersidangan terdakwa telah menyangkal bahwa dirinya melakukan penganiayaan atas diri korban, sedangkan keterangan di depan penyidik adalah tidak benar, sedangkan keterangan terdakwa yang dapat dipakai sebagai salah satu alat bukti adalah yang diberikan di depan persidangan ; Menimbang, bahwa keterangan terdakwa di-luar persidangan termasuk yang diberikan di depan penyidik yang termuat dalam BAP baru dapat dipakai sebagai petunjuk, apabila ada persesuaian dengan keterangan para saksi, sedangkan dalam perkara ini saksipun yang menerangkan perihal terdakwa tidak seorang sebagai pelaku penganiayaan, sehingga dari hasil pemeriksaan perkara ini tidak diketemukannya secara kuat adanya bukti petunjuk ; lxxvi Menimbang, bahwa oleh karena tidak terdapatnya cukup 2 (dua) alat bukti yang menyatakan bahwa terdakwa sebagai pelaku penganiayaan atas diri korban, maka Majelis berpendapat bahwa unsur telah menganiaya orang lain dalam pasal dimaksud adalah tidak terpenuhi ; Menimbang, bahwa oleh karena salah satu unsur dalam pasal 351 ayat (3) tidak terpenuhi, maka terdakwa haruslah dibebaskan dari dakwaan subsidair tersebut ; Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa tidak terbukti bersalah sebagaimana dalam semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum, maka terdakwa harus dibebaskan dari semua dakwaan dan harus pula dikembalikan harkat dan martabat serta kedudukannya ; Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa dibebaskan maka terdakwa haruslah diperintahkan untuk dikeluarkan dari tahanan ; Menimbang, bahwa oleh karena terdakwa dibebaskan, maka biaya dalam perkara ini dibebankan kepada negara ; Menimbang, bahwa terhadap barang bukti yang berupa alu, sebuah arit lengkap dengan gagangnya, sebuah kaos biru, 1 (satu) buah peti kotak berisi kertas-kertas dan satu buah pecahan toples oleh karena disita dari saksi Ny. Arsad, maka haruslah dikembalikan kepada saksi Ny. Arsad ; Mengingat pasal 197 KUHAP, serta pasal-pasal lain dari ketentuan perundang-undangan yang bersangkutan ; MENGADILI : 1. Menyatakan terdakwa RUKIDI tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindakan pidana sebagaimana dalam dakwaan primair maupun dakwaan subsidair ; 2. Membebaskan terdakwa tersebut dari semua dakwaan Jaksa Penuntut Umum ; 3. Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan kedudukan dan harkat serta martabatnya ; lxxvii 4. Memerintahkan supaya terdakwa dikeluarkan dari dalam tahanan ; 5. Memerintahkan supaya barang bukti yang berupa 1(satu) kaos biru, 1(satu) batang kayu (alu) sepanjang _+60 cm, 1(satu ) bilah sabit lengkap dengan gagangnya yang sudah lepas, 1(satu) peti kotak berisi kertas, 1(satu) buah pecahan toples dikembalikan kepada saksi Ny. Arsad ; 6. Membebankan biaya perkara ini kepada negara Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Surakarta tersebut maka Jaksa Penuntut Umum langsung minta Kasasi. Berdasarkan pemeriksaan kasasi terdapat pertimbangan- pertimbangan Pengadilan Negeri telah tidak salah menerapkan hukum dan juga ternyata pemohon kasasi tidak dapat membuktikan bahwa putusan tersebut adalah merupakan pembebasan yang tidak murni, karena pemohon kasasi tidak dapat mengajukan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar pertimbangan mengenai dimana letak sifat tidak murni dari putusan bebas tersebut dan hanya mengajukan alasan semata-mata tentang penilaian hasil pembuktian yang sebenarnya bukan merupakan alasan untuk memohon kasasi terhadap putusan bebas ; Menimbang, bahwa di samping itu Mahkamah Agung berdasarkan wewenang pengawasannya juga tidak melihat bahwa putusan tersebut dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri dengan telah melampaui batas wewenangnya, oleh karena itu permohonan kasasi Jaksa/pemohon kasasi berdasarkan pasal 244 Undang-undang No. 8 tahun 1981 (KUHP) harus dinyatakan tidak dapat diterima ; Menimbang, bahwa oleh karena permohonan kasasi dari Penuntut Umum dinyatakan tidak diterima dan terdakwa dibebaskan, maka biaya perkara dibebankan kepada Negara ; Memperhatikan selain Undang-undang yang tersebut di atas, juga Undangundang No.14 tahun 1970, dan Undang-undang No. 14 tahun 1985 serta Undang-undang lain yang bersangkutan ; lxxviii MENGADILI : Menyatakan permohonan kasasi dari pemohon kasasi : PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI DI SURAKARTA tersebut tidak diterima Membebankan biaya perkara dalam semua tingkat peradilan ini kepada Negara ; Pembahasan 1. Pelaksanaan pemberian rehabilitasi terhadap terdakwa RUKIDI yang diputus bebas oleh pengadilan Pemberiaan rehabilitasi yang diberikan terhadap Rukidi dilakukan berdasarkan Pasal 97 ayat (2) dengan mencantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan. Pencantuman itu sekaligus dipertegas dalam Pasal 14 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1983. Perumusan redaksi ini dalam peraturan, memperlancar pelayanan pemberian rehabilitasi. Sebab dengan ditentukan rumusan standar dalam pemberian rehabilitasi, baik pemohon maupun pengadilan tidak memperdebatkan rumusan redaksi. Pengadilan dan pemohon terikat, dan harus tunduk menerima rumusan yang ditentukan dalam Pasal 14 PP No. 27 Tahun 1983. Jika terjadi kelalaian dalam amar putusan kasus yang telah diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka putusan diancam batal demi hukum. Seperti yang sudah pernah dikemukakan, tujuan utama pemberian rehabilitasi sebagai upaya hukum yang sah untuk memulihkan nama baik serta harkat dan martabat seseorang yang bersangkutan yang diperiksa di sidang pengadilan. Arang yang sempat tercoreng di dahinya akibat tindakan penangkapan, penahanan atau pemeriksaan pengadilan dibersihkan dengan jalan pengadilan. Pemberian rehabilitasi didasarkan atas putusan pengadilan atau prapengadilan, yang rumusan redaksinya telah ditentukan dalam Pasal 14 PP No. 27 Tahun 1983. Pasal ini memuat dua jenis redaksi, semata-mata didasarkan atas alasan perbedaan status lxxix pemohon serta instansi yang memeriksa permintaan rehabilitasi yang diajukan : a) Yang memeriksa Pengadilan Apabila yang berwenang memberikan adalah pengadilan atas alasan pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum sesuai yang diatur dalam Pasal 97 ayat (1) KUHAP, amar putusan pemberian rehabilitasi berbunyi : “Memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat martabatnya”. b) Yang memeriksa Praperadilan Apabila permintaan rehabilitasi didasarkan atas alasan penangkapan atau penahanan yang tidak sah, yang berwenang memeriksa permintaan rehabilitasi adalah Praperadilan, berdasar Pasal 97 ayat (3). Bunyi amar putusan Praperadilan dalam pemberian rehabilitasi : “Memulihkan hak pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat martabatnya”. Penyampaian petikan dan salinan pemberian putusan rehabilitasi diatur dalam Pasal 13 PP No. 27 Tahun 1983. Pasal ini mengatur kewajiban panitera Pengadilan negeri untuk menyampaikan petikan dan salinan putusan rehabilitasi kepada pemohon dan pihak instansi tertentu. Tujuanya, agar pemberian rehabilitasi tersebut diketahui pihak yang berkepentingan, instansipenegak hukum yang bersangkutan serta masyarakat lingkungan dimana pemohon rehabilitasi bertempat tinggal dan bekerja. Adapun pihak dan instansi yang berhak mendapat petikan dan salinan putusan rehabilitasi: a) Petikan penetapan disampaikan kepada pihak pemohon Hal ini diatur dalam pasal 13 ayat (1) PP No.27 Tahun 1983. Kepada pemohon cukup disampaikan petikan penetapan, namun tidak mengurangi haknya untuk mendapatkan salinan penwtapan jika ia menghendakinya. Untuk itu pemohon dapat meminta salinan lxxx penetapan kepada panitera pengadilan. Hak pemohon untuk mendapatkan salinan petikan rehabilitasi bertitik tolak dari ketentuan Pasal 226 ayat (3) KUHAP. b) Salinan penetapan disampaikan kepada beberapa instansi Mengenai pemberian salinan penetapan rehabilitasi diatur dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) PP No.27 Tahun 1983. Berdasarkan ketentuan ini, pemberian atau pengiriman salinan penetapan rehabilitasi : 1. Diberikan kepada penyidik 2. Diberikan kepada penuntut umum 3. Instansi tempat pemohon bekerja 4. Kepada Ketua Rukun Warga (RW) dimana pemohon tinggal Apa yang digariskan dalam Pasal 13 PP No. 27 Tahun 1983, tidak menentukan berapa lama jangka waktu penyampaian atau pengiriman petikan dan salinan itu kepada pihak yang berkepentingan. Walaupun demikian, pemberian atau pengiriman petikan dan salinan sepatutnya segera dilaksanakan panitera, terutama kepada instansi tempat pemohon bekerja serta kepada Ketua Rukun Warga, guna secepat mungkin pemulihan nama baik, kedudukan, harkat, dan martabat dilingkungan masyarakat tempat dimana ia hidup dan bekerja. Untuk memenuhi maksud yang terkandung dalam pemberian rehabilitasi, tidak cukup hanya dengan pemberian petikan atau salinan penetapan saja. Agar pemulihan dan pembersihan kembali nama baik tersangka atau terdakwa, pemberian rehabilitasi yang dituangkan dalam putusan Pengadilan atau Praperadilan, perlu disebarluaskan supaya masyarakat dapat mengetahui. Apalagi bila mau berguru kepada kenyataan dan pengalaman hidup, sungguh sangat penting penyebarluasan pemberian rehabilitasi. Kenyataan dan pengalaman hidup telah memberi pelajaran kepada kita, betapa mudah memburukkan dan meruntuhkan nama baik lxxxi seseorang, yang jelek sangat mudah tersebar luas dalam waktu sekejap. Akan tetapi alangkah sulitnya memulihkan nama baik, diperlukan jangka waktu relatif lama. Bertitik tolak dari kenyataan hidup yang pahit itu diperlukan cara pendekatan yang benar-benar berdaya guna dan berhasil guna, yang benar-benar seimbang demgan tujuan pemulihan itu sendiri. Kalau pada saat dilakukan penangkapan atau penahanan maupun pada saat perkaranya di sidangkan di pengadilan diberitakan di beberapa surat kabar, upaya yang seimbang untuk memulihkan nama baik tersangka atau terdakwa, harus disebarkan dan diberitakan dalam surat kabar. Cara yang demikian seimbang dengan tujuan pemberian rehabilitasi tersebut. Berdasarkan Pasal 15 PP No. 27 Tahun 1983, pengumuman putusan rehabilitasi cukup ‘ditempelkan’ pada papan pengumuman pengadilan. Pemulihan nama baik apa yang dapat diharapkan dari papan pengumuman tersebut? Papan pengumuman itu diam dan mati, tidak bisa bicara apa-apa. Paling-paling hanya satu dua orang yang kebetulan membacanya. Masyarakat luas tidak tertarik datang ke pengadilan untuk melihat dan membaca pengumuman yang tertempel dalam papan pengumuman Bukanlah sepantasnya pemberian rehabilitasi diumumkan dalam surat kabar. Minimal diumumkan dalam satu surat kabar yang terbit di daerah hukum pengadilan yang bersangkutan. Mungkin alasan pemerintah membuat aturan yang seperti itu, sehubungan dengan masalah pembiayaan, jika pengumuman dilakukan di surat kabar. Memang pengumuman melalui surat kabar menelan biaya yang relatif mahal. Akan tetapi jika kita bandingkan ketentuan Pasal 15 tersebut dengan ketentuan Pasal 243 ayat (5) KUHAP, benar-benar ketentuan Pasal 15 kurang adil serta meremehkan nasib tersangka atau terdakwa yang telah sempat tercemar nama baiknya. Jika seandainya ketentuan Pasal 15 sengaja ditetapkan demikian atas alasan penghematan biaya, kenapa pemberitahuan putusan banding atau kasasi terhadap terdakwa yang tidak lxxxii diketahui tempat tinggalnya, dipanggil atau diberitahukan dua kali berturut-turut melalui dua buah surat kabar. Terhadap Pasal 243 ayat (5) KUHAP tidak mempersoalkan masalah biaya, dan mengenai pengumuman rehabilitasi hanya ditempelkan di atas papan pengumuman Pengadilan Negeri. Terlepas dari kepincangan tersebut, ketentuan Pasal 15 tidak menutup kemungkinan untuk mengumumkan pemberian rehabilitasi dalam surat kabar. Akan tetapi biaya ditanggung sendiri oleh yang berkepentingan, tidak dibebankan kepada Negara. Jadi dapat saja diumumkan dalam beberapa surat kabar, asalkan biayanya ditanggung sendiri oleh orang yang bersangkutan. Memang berbau diskriminasi. Orang yang mempunyai kemampuan keuangan, tidak merasa berat memikul biaya pengumuman di surat kabar, tetapi bagi yang tidak mampu, tidak sanggup mengeluarkan biaya untuk itu. B. Apabila rehabilitasi tidak dicantumkan dalam Amar Putusan oleh Pengadilan 5. Kelalaian hakim dalam mencantumkan rehabilitasi dalam amar putusan. Seperti yang sudah disinggung, dalam praktek peradilan sering terjadi kelalaian mencantumkan pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Padahal pemberian rehabilitasi dalam putusan yang sedemikian: 1. Merupakan perlindungan terhadap hak asasi terdakwa. Hal ini sesuai dengan salah satu asas yang menjadi tujuan KUHAP yakni disamping KUHAP bertujuan melindungi kepentingan umum, sekaligus harus melindungi hak asasi terdakwa. 2. Dengan demikian pemberian dan pencantuman amar rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum merupakan “kewajiban” bagi pengadilan dalam semua tingkat, mulai dari tingkat pertama, banding, dan kasasi. lxxxiii Oleh karena pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum merupakan perlindungan terhadap hak asasi terdakwa, pencantuman dalam putusan yang demikian adalah bersifat “imperatif”. Ketentuan Pasal 97 ayat (1) jo. Ayat (2) bersifat memaksa bagi semua tingkat pemeriksaan untuk mencantumkan pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari semua tuntutan hukum sesuai dengan redaksi rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 14 PP No. 27/1983. Oleh karena itu, putusan yang lalai mencantumkan pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum memperkosa hak asasi terdakwa serta sekaligus pula mengandung kesalahan penerapan hukum, selayaknya perkosaan dan kekeliruan itu dapat diperbaiki apabila putusan yang bersangkutan sudah sempat memperoleh kekuatan hukum tetap. Sekiranya putusan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap, dan terhadap putusan diminta lagi upaya kasasi, masih ada kemngkinan untuk memperbaiki kelalaian dalam tingkat kasasi. Akan tetapi yang dipermasalahkan, apabila putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Umpamanya Pengadilan Negeri menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tanpa mencantumkan pemberian rehabilitasi kepada terdakwa. Jaksa tidak mengajukan kasasi, berarti putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Padahal putusan jelas mengandung perkosaan dan kesalahan penerapan hukum karena lalai mencantumkan pemberian rehabilitasi. Hal yang seperti ini bisa juga terjadi pada tingkat banding, Misalnya, Pengadilan Negeri menjatuhkan hukuman pidana terhadap terdakwa atau jaksa mengajukan banding. Pengadilan Tinggi dalam tingkat lxxxiv banding menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tanpa mencantumkan pemberian rehabilitasi kepada terdakwa. Terhadap putusan itu jaksa tidak menjatuhkan kasasi, sehingga putusan yang mengandung perkosaan dan kekeliruan penerapan hukum itu memperoleh penerapan hukum tetap. Demikian juga misal dalam tingkat kasasi, kelalaian yang disebut diatas bisa saja terjadi. Umpamanya Pengadilan Negeri atau pengasilan tinggi menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum tanpa mencantumkan pemberian rehabilitasi. Dalam tingkat kasasi putusan dikuatkan oleh putusan Makamah Agung tanpa memperbaiki kekeliruan dimaksud. Atau dalam Tingkat Kasasi Makamah Agung menjatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dengan jalan membatalkan putusan Pengadilan timggi yang menjatuhkan putusan hukum pidana terhasap terdakwa. Akan tetepi, Makamah Agung lalai dalam mencantumkan pemberian rehabilitasikepada terdakwa. Bertitik tolak dari ketentuan Undang-Undang dan peraturan, sama sekali tidak ada diatur tata cara memperoleh rehabilitasi dalam kasus kasus tersebut. Akibatnya, jika semata-mata bertitik tolak dari ketentuan peraturan perundang-undangan “tertutup” hak terdakwa untuk mendapatkan rehabilitasi. Berarti atas kelelaian pengadilan menerapkan hukum sesuai denag Pasal 97 ayat (2), hilang dan lenyapnya hak terdakwa memperoleh rehabiitasi. Tentu hal ini tidak patut dan tidak adil. Sebab keteledoran dan kelalaian pengadilan dijadikan alasan untuk pembenaran perkosaan terhadap hak asasi terdakwa. Hal ini tidak adil, dan sangat merugikan kepentingan terdakwa. Oleh karena itu praktek hukum mesti menciptakan upaya hukum yang praktis dan memadai demi untuk memulihkan hak dan perlindungan kepentingan terdakwa. Praktek hukum mesti membuka jalan yang memberi hak bagi terdakwa untuk memperbaiki kelalaian lxxxv pengadilan, pemberian hukum ini sangat prinsipil sebagai sarana memperbaiki kesalahan yang dilakukan pengadilan sendiri. 6. Tata Cara Pengajuan Rehabilitasi yang Tidak Dicantumkan Dalam Amar Putusan Tata Cara Pengajuan rehabilitasi ditempuh dengan upaya hukum yang praktis dan sederhana Upaya hukum atau proses apa yang dapat ditempuh terdakwa atas kelalaian pengadilan ini. Melalui upaya peninjauan kembali, jelas buntu, karena terbentur pada ketentuan pasal 263 ayat (1), peninjauan kembali tidak diperbolehkan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Dengan demikian upaya peninjauan kembali tidak mungkin ditempuh oleh terdakwa. Lagi pula sekiranya pun upaya peninjauan kembali yang akan ditempuh terdakwa, kurang praktis, dan terlampau panjang prosesnya. Prosedurnya terlampau berliku-liku, mulai dari pengajuan permohonan, pemeriksaan di sidang yang dihadiri penuntut umum, pembuatan berita acara sidang, pembuatan berita acara pendapat. Sesudah itu selesai, baru permohonan disampaikan kepada Makhamah Agung. Lebih logis jika ditempuh upaya hukum yang praktis dan sederhana, dengan cara pendekatan “konsistensi” terhadap ketentuan tata cara dan proses pemeriksaan rehabilitasi yang diatur bagi Praperadilan, yakni tata cara permintaan rehabilitasi yang diatur dalam Pasal 97 ayat (3) jo. Pasal 77 huruf b, jo. Pasal 82 dan jo. Pasal 83 ayat (1) KUHAP. Dengan cara pendekatan ini, permohonan rehabilitasi berdasar putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang lalai mencantumkan pemberian rehabilitasi, dapat diajukan terdakwa denagn ketentuan permintaan rehabilitasi yang diatur Pasal 97 ayat (3), dengan cara mengajukan: a) Kepada Pengadilan Negeri yang semula memeriksa dan memutus perkara itu dalam tingkat pertama. lxxxvi b) Permohonan diajukan kepada pengadilan yang memeriksa dan memutus perkara pada tingkat pertama, tanpa mempersoalkan kelalaian itu terjadi pada tingkat banding atau kasasi. Kewenangan untuk memeriksa permohonan, memeriksa, dan mengutus diberikan kepada pengadilan negeri yang memeriksa dan memutus perkara itu dalam tingkat pertama. Pemberian kewenangan yang demikian demi menyederhanakan prosedur dan proses. c) Proses pemeriksaan berpedoman kepada pemeriksaan Praperadilan, d) Tata cara pemeriksaan rehabilitasi dalam kasus ini disamakan dengan pemeriksaan rehabilitasi yang diatur Pasal 97 ayat (3), mengikuti acara Praperadilan yang ditentukan Pasal 82 KUHAP. Namun tidak mutlak diterapkan cara pemeriksaan yang diatur pasal 82, terutama yang menyangkut ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf b. Jadi tidak perlu memaksa pejabat yang bersangkutan atau hakim yang lalai menyantumkan pemberian rehabilitasi. Pengadilan negeri cukup memeriksa putusan pengadilan yang telah lalai mencantumkan pemberian rehabilitasi. e) Bentuk putusan berpedoman kepada putusan Praperadilan. Putusan yang dijatuhkan sama dengan putusan Praperadilan yakni bentuk “penetapan” sebagaiman yang ditentukan Pasal 82 ayat (3) huruf c jo. Pasal 83 ayat (2) KUHAP. f) Tenggang waktu mengajukan permohonan 14 hari, g) Sekalipun kelalaian pengadilan dalam kasus ini merupakan perkosaan dan pelanggaran hak asai terdakwa, janganlah sampai alasan ini menghilangkan ketertiban peradilan dan kepastian hukum. Oleh karena itu perlu dibatasi jangka waktu pengajuan. Tenggang waktu mengajukan sebaiknya berpedoman secara konsisten dengan ketentuan Pasal 12 PP No. 27/1983, yakni dalam waktu 14 hari sejak putusan pengadilan yang bersangkutan memperoleh lxxxvii kekuatan hukum tetap, patut dan layak bagi terdakwa yang benar-benar ingin memperoleh perlindungan hak asasi. Terdakwa yang lalai dianggap tidak serius untuk memulihkan hak yang diberikan undang-undang kepadanya. 7. Pihak Yang Berhak Mengajukan Rehabilitasi, Apabila Tidak Dicantumkan Dalam Amar Putusan Mengenai orang yang berhak mengajukan permintaan rehabilitasi tidak begitu jelas diatur dalam Pasal 97. hanya dalam Pasal 97 ayat (3) ada disinggung sepintas lalu orang yang berhak mengajukan permintaan. Berdasarkan ayat (3) tersebut, hanya tersangka saja yang disebut berhak mengajukan. Untung Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983, memperjelas masalah ini. Berpedoman kepada ketentuan Pasal 97 ayat (3) KUHAP dan Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983, orang yang berhak mengajukan permintaan rehabilitasi adalah: a) Tersangka Memperhatikan tentang orang yang berhak mengajukan permintaan rehabilitasi yaitu terdakwa yang tidak termasuk ke dalam kelompok orang yang berhak mengajukanya. Karena undang-undang dan peraturan hanya menyebutkan tersangka saja, dan menyampingkan terdakwa untuk mengajukan permintaan rehabilitasi. Padahal Pasal 97 ayat (1) KUHAP sudah menegaskan bahwa seseorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan dijatuhkan kepadanya putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Jadi yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1) ialah orang yang didakwa atau diperiksa dalam siding pengadilan, oleh pengadilan dijatuhkan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Berarti Pasal 97 ayat (1) telah membenarkan sendiri adanya hak terdakwa untuk memperoleh rehabilitasi, apabila pengadilan menjatuhkan pytusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum kepadanya. Pasal 97 ayat (3) dan Pasal 12 lxxxviii PP No. 27 Tahun 1983 tidak mencantumkan terdakwa sebagai orang yang berhak mengajukan rehabilitasi. Karena bagi terdakwa yang kepadanya dijatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, tanpa mengajukan permintaan kepadanya meski diberikan secara langsung dalam pembcaan amar putusan. Demikian pula Pengadilan Tinggi dan Makamah Agung, harus memberikan dan mencantumkan rehabilitasi jika terdakwa dijatuhkan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. b) Keluarga Tersangka Hak mengajukan rehabilitasi yang diberikan undang-undang kepada keluarga tersangka meerupakan hak yang sederajat dengan yang diberikan kepada tersangka. Sejak semula keluarga tersangka berhak mengajukan permintaan rehabilitasi, sekalipun tersangka masih hidup atau sehat. Tidak ada hak prioritas antara tersangka tersangka dengan keluarganya. Masing-masing mempunyai hak sederajat untuk mengajukan permintaan rehabilitasi. Siapa yang dimaksud dengan keluarga adalah sesuai yang diatur dalam Pasal 168 KUHAP yaitu: 1. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau kebawah 2. Saudaranya 3. Suami atau istrinya. c) Kuasa hukum tersangka Rehabilitasi diberikan kepada kuasa hukum mengajukan permintaan rehabilitasi. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 14 PP No. 27 Tahun 1983 yang menentukan bahwa permohonan rehabilitasi yang diajukan keluarga atau kuasanya, untuk yang dimohonkan. 4. Tenggang Waktu Mengajukan Rehabilitasi Bila Tidak Dicantumkan Dalam Amar Putusan Tenggang waktu mengajukan permintaan rehabilitasi ditentukan dalam Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983 yang berbunyi: lxxxix Permintaan rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 97 ayat (3) KUHAP diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada pengadilan yang berwenang, selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan mengenai sah tidaknya penangkapan atau penahanan diberitahukan kepada pemohon. Berdasarkan bunyi ketentuan Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983, tenggang waktu mengajukan permintaan rehabilitasi adalah 14 hari terhitung sejak putusan mengenai penangkapan atau penahanan diberitahukan. Jika pasal 12 tersebut diteliti lebih lanjut, tenggang waktu yang diatur didalamnya hanya yang berkenaan dengan permintaan rehabilitasi, yang disebut dalm Pasal 97 ayat (3) KUHAP, yakni tenggang waktu mengenai rehabilitasi atas alasan penangkapan atau penahanan yang tidak sah, yang perkaranya tidak diajukan didalam persidangan pengadilan. Sedangkan tenggang waktu untuk alasan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum sebagaimana yang disebut dalam Pasal 97 ayat (1) KUHAP, tidak ada disinggung dalam Pasal 12 PP No. 27 Tahun 1983. alasanya, setiap putusan pengadilan yang merupakan pembebasan atau pelepasan dari segala tuntutan hukum, harus sekaligus memberikan dan mencantumkan rehabilitai. Itu sebabnya tidak ada tenggang waktu untuk perberian rehabilitasi terhadap terdakwa yng diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum xc BAB IV PENUTUP A. KESIMPULAN Setelah menguraikan apa yang menjadi perumusaan masalah di dalam penelitian hukum ini, penulis mengambil kesimpulan untuk lebih memperjelas apa yang menjadi pokok permasalahan dan jawaban terhadap pokok permasalahan tersebut. Kesimpulan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pemberiaan rehabilitasi yang diberikan terhadap terdakwa yang diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum oleh pengadilan dilakukan berdasarkan Pasal 97 ayat (2) dengan mencantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan. Pencantuman itu sekaligus dipertegas dalam Pasal 14 ayat (1) PP No. 27 Tahun 1983. Perumusan redaksi ini dalam peraturan, memperlancar pelayanan pemberian rehabilitasi a) Penyampaian petikan dan salinan pemberian putusan rehabilitasi diatur dalam Pasal 13 PP No. 27 Tahun 1983. Pasal ini mengatur kewajiban panitera Pengadilan negeri untuk menyampaikan petikan dan salinan putusan rehabilitasi kepada pemohon dan pihak instansi tertentu. Tujuanya, agar pemberian rehabilitasi tersebut diketahui pihak yang berkepentingan, instansipenegak hukum yang bersangkutan serta masyarakat lingkungan dimana pemohon rehabilitasi bertempat tinggal dan bekerja. Pihak dan instansi yang berhak mendapat petikan dan salinan putusan rehabilitasi: c) Petikan penetapan disampaikan kepada pihak pemohon Hal ini diatur dalam Pasal 13 ayat (1) PP No.27 Tahun 1983. Kepada pemohon cukup disampaikan petikan penetapan, namun tidak mengurangi haknya untuk mendapatkan salinan penetapan jika ia menghendakinya. Untuk itu pemohon dapat meminta salinan penetapan xci kepada panitera pengadilan. Hak pemohon untuk mendapatkan salinan petikan rehabilitasi bertitik tolak dari ketentuan Pasal 226 ayat (3) KUHAP. d) Salinan penetapan disampaikan kepada beberapa instansi Mengenai pemberian salinan penetapan rehabilitasi diatur dalam Pasal 13 ayat (2) dan ayat (3) PP No.27 Tahun 1983. Berdasarkan ketentuan ini, pemberian atau pengiriman salinan penetapan rehabilitasi : a) Diberikan kepada penyidik b) Diberikan kepada penuntut umum c) Instansi tempat pemohon bekerja d) Kepada Ketua Rukun Warga (RW) dimana pemohon tinggi 2). Putusan yang lalai mencantumkan pemberian rehabilitasi dalam putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum memperkosa hak asasi terdakwa serta sekaligus pula mengandung kesalahan penerapan hukum yang sangat merugikan terdakwa. Jika terjadi kelalaian dalam amar putusan kasus yang telah diputus bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, maka putusan diancam batal demi hukum. Orang yang berhak mengajukan permintaan rehabilitasi adalah: a) Tersangka b) Keluarga Tersangka c) Kuasa Hukum Tersangka B. SARAN 1. Bahwa pengaturan rehabilitasi baik berdasarkan KUHAP maupaun berdasarkan PP No. 27 Tahun 1983 belum padu. Pengajuan rehabilitasi akan lebih efisien jika diajukan sendiri dengan acara praperadilan sehingga dapat disatukan dengan tuntutan ganti rugi. Hal ini dapat menghilangkan kerancuan, karena hak rehabilitasi itu baru ada jika putusan telah berkekuatan hukum tetap xcii 2. Sebaiknya penempatan penetapan atau putusan rehabilitasi tersebut tidak hanya pada papan pengumuman pengadilan, tetapi bisa dalam papan Pengumuman Pemerintahan daerah, misalnya Kelurahan/Kepala Desa, Kecamatan dan Kabupaten. Jika dikaji dengan seksama maka hal lebih tepat karena papan Pengumuman Pemerintah Daerah, lebih bersifat memasyarakat atau lebih merakyat dari pada papan Pengumuman Pengadilan xciii DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah. 2002. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika. Bambang Waluyo. 2000. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta : Sinar Grafika. Burhan Ashshofa. 2004. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Rineka Cipta. C. S. T .Kansil. 1992. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta : Balai Pustaka. Erni Widhayanti. 1988. Hak-hak Tersangka/ Terdakwa didalam KUHAP. Yogyakarta: Liberty. HB. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press. Imam Soetikno dan Robby Khrismanaha. 1996. Pokok-Pokok Hukum Acara Pidana. Surakarta : UNS Press. Leden Marpaung. 1992. Proses Penanganan Perkara Pidana. Jakarta : Sinar Grafika. ______________. 1997. Proses Tuntutan Ganti Rugi dan rehabilitasi dalam hukum Pidana. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. M. Yahya Harahap. 2000. Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta : Sinar Grafika. M. Hanafi Asmawie.1990. Ganti Rugi dan Rehabitasi menurut KUHAP. Jakarta : Pradnya Paramita. Mangasa Sidabutar. 1999. Hak Terdakwa, Terpidana, Penuntut umum Menempuh Upaya Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Moch. Faisal Salam. 2001. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Bandung.: Mandar Maju. Moeljatno. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Jakarta : PT. Bumi Aksara. . 2002. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Oemar Seno Adji. 1984. Hukum Hakim Pidana. Jakarta : Erlangga. _________. 1989. KUHAP Sekarang. Jakarta :Erlangga. R. Wirjono Prodjodikoro. 1983. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung. xciv Soerjono Soekanto. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : Universitas Indonesia. Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana xcv