penentuan garis pantai berdasarkan undang

advertisement
Penentuan Garis Pantai Berdasarkan Undang-Undang Informasi Geospasial …………….………………….(Suhelmi, I.R., Afi, R.N. dan Prihatno, H.)
PENENTUAN GARIS PANTAI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG INFORMASI
GEOSPASIAL DALAM MENDUKUNG PENGELOLAAN PESISIR DAN LAUT
(Coastline Determination Based on Geospatial Information Act
Supporting Marine and Coastal Management)
1
2
3
Ifan R. Suhelmi , Restu Nur Afiati dan Hari Prihatno
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Balitbang KP
Jl Pasir Putih 1 Ancol Timur Jakarta Telp : (021) 64711583, Fax : (021) 64711654
E-mail : [email protected]
1,2,3
Diterima (received): 15 April 2013; Direvisi (revised): 3 Mei 2013; Disetujui untuk dipublikasikan (accepted): 15 Mei 2013
ABSTRAK
Garis pantai merupakan salah satu aspek teknis dalam penetapan dan penegasan batas daerah. Aspek teknis
tersebut memiliki peranan penting dalam penentuan batas wilayah laut suatu provinsi, kabupaten dan kota sebagai
perwujudan semangat otonomi daerah serta berkaitan dengan rencana pengelolaan sumberdaya alam dan
pelestarian lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pendefinisian legal coastline yang akan digunakan
dalam pemberian hak pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Pada saat ini masih terdapat berbagai macam penentuan
garis pantai yang digunakan oleh beberapa institusi yang ada di Indonesia. Garis muka air tinggi digunakan dalam
Peta Laut yang disusun oleh TNI AL, garis muka air rata-rata digunakan oleh BAKOSURTANAL dalam
menggambarkan garis pantai dalam Peta Rupabumi dan garis pantai muka air terendah digunakan oleh DEPDAGRI
dalam penentuan batas wilayah negara maupun daerah. Berdasarkan hasil kajian dengan mempertimbangkan
berbagai faktor yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah maka pemberian hak pengelolaan wilayah perairan
sebaiknya menggunakan garis pantai muka air tertinggi.
Kata Kunci: Informasi Geospasial, Garis Pantai, Pasang Surut, Digital Elevation Model.
ABSTRACT
Determination of coastline is one of technical aspects for regional boundaries establishment. It has an important
role for determining maritime boundary of a state, province and district. The aim of this research was to conduct a
legal coastline definition that will be used for HP-3 concept. Currently, there are three methods used for determining
coastline in Indonesia. High water levels coastline used in the Maritime Map compiled by the Navy. Mean Sea Level
(MSL) coastline used by BAKOSURTANAL at the Topographic Map, and lowest water level coastline used by the
Ministry of Home Affair (DEPDAGRI) in determining the state and regional boundaries. Based on the results of this
study, it is suggested to use the high water level coastline as a legal coastline to determine HP-3 boundary.
Key words: Geospatial Information, Legal Coastline, Tide, Digital Elevation Model.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki
keragaman potensi sumber daya alam dan penting
bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya,
lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa.
Wilayah pesisir (coastal zone) merupakan kawasan
pertemuan antara daratan dan lautan, ke arah darat
meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam
air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses yang
berkaitan dengan laut atau sifat-sifat laut (Sugandhy,
2000).
Pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki
ruang laut yang memungkinkan adanya pemanfaatan
ruang lebih dari satu peruntukan sehingga kondisi ini
menuntut adanya pengaturan pemanfaatan ruang laut
yang tegas. Lahirnya Undang-Undang No.27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil merupakan payung hukum bagi semua
stakeholder yang memanfaatkan kawasan perairan
pesisir dan pulau-pulau kecil agar terhindar dari konflik
pemanfaatan.
Garis pantai merupakan salah satu aspek teknis
dalam penetapan dan penegasan batas pengelolaan
wilayah pesisir dan laut. Aspek teknis tersebut memiliki
peranan penting dalam penentuan batas pengelolaan
wilayah laut sebagai perwujudan otonomi daerah
sesuai dengan Undang-undang No 32 tahun 2004
tentang pemerintahan daerah. Garis pantai ini akan
menjadi batas pengaturan kewenangan pengelolaan
sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan di laut.
Garis pantai merupakan garis pertemuan antara
daratan dengan lautan yang dipengaruhi oleh pasang
surut air laut (UU No 4 Tahun 2011). Garis pantai
terdiri atas 3 (tiga) jenis yaitu (a) garis pantai surut
terendah, (b) garis pantai pasang tertinggi, dan (c)
garis pantai tinggi muka air laut rata-rata. Adapun
penggunaan berbagai tipe garis pantai tersebut diatur
19
Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 19 No. 1 Agustus 2013 :19 -24
bahwa pada Peta Rupabumi Indonesia, garis pantai
ditetapkan berdasarkan garis kedudukan muka air laut
rata-rata. Sedangkan pada Peta Lingkungan Pantai
Indonesia dan Peta Lingkungan Laut Nasional, garis
pantai ditetapkan berdasarkan kedudukan muka air
laut surut terendah (UU No. 4 Tahun 2011).
Pengukuran garis pantai pada berbagai jenis
pasang dilakukan pada penelitian ini. Garis pantai ini
akan disebut sebagai legal coastline yang menjadi
garis awal ditariknya batas zonasi dan pengelolaan
wilayah pesisir dan laut. Kajian aspek yuridis dilakukan
untuk penetapan garis pantai yang menjadi batas
pemisah antara yuridiksi darat dan laut. Definisi legal
coastline harus ditegaskan dan keberadaan garis
tersebut harus ditentukan secara pasti dalam rangka
keterpaduan antara kadaster darat dan kadaster laut.
Andriani (2007) mengungkapkan bahwa selama ini
sering dipertanyakan mengenai kontinuitas antara
kadaster darat dan laut. Jika konsep keterpaduan
antara kadaster darat dan laut akan diwujudkan,
seharusnya terdapat kontinuitas antara kadaster darat
dan laut, serta tidak terjadi saling tumpang tindih
yurisdiksi antara keduanya.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah memetakan garis
pantai sesuai dengan amanat Undang-undang
Informasi Geospasial. Penetapan garis dilakukan pada
kedudukan muka air tinggi, rata-rata dan surut
terendah. Garis inilah yang akan dijadikan sebagai
batas garis legal coastline dalam rangka implementasi
kadaster laut sesuai dengan amanat Undang-undang
Pengelolaan Wilayah Pesisir. Metode penentuan garis
pantai inilah yang nantinya akan digunakan sebagai
garis pantai yang digunakan sebagai batas penarikan
batas pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.
METODE
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian di sebagian pesisir Kabupaten
Pati Provinsi Jawa Tengah tepatnya di Kecamatan
Dukuhseti dan Kecamatan Batangan seperti terlihat
pada Gambar 1.
20
110°55'
111°00'
111°5'
111°10'
111°15'
6
°2
0
'
'
0
°2
6
U
'
5
°2
6
5
0
5 Km
6
°2
5
'
'
0
°3
6
6
°3
0
'
'
5
3
°
6
6
°3
5
'
'
0
°4
6
6
°4
0
'
LOKASI PENELITIAN
'
5
°4
6
110°55'
111°00'
111°5'
111°10'
111°15'
6
°4
5
'
Gambar 1. Lokasi Penelitian.
Metode Penelitian
Data yang diperlukan dalam kajian ini dapat dibagi
menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder.
Kerja lapangan dilakukan untuk memperoleh data
dasar dalam penetapan legal coastline yang
didasarkan pada suatu tinggi muka air laut. Data dasar
penentuan legal coastline yang diperlukan meliputi:
• Penelusuran garis pantai pada kedudukan muka
air tinggi
• Pengukuran hidrografi
• Pengukuran pasang surut
Perolehan data garis pantai pada kedudukan muka
air tertinggi dilakukan dengan cara menyusuri garis
pantai sepanjang lokasi penelitian. Metode perekaman
posisi garis pantai dilakukan dengan metode “Stop
and Go”. Perekaman dengan menggunakan GPS
berhenti pada titik-titik tertentu dan di “marking” dan
disimpan sebagai titik detail garis pantai pada GPS.
Penelusuran garis pantai pada muka air tertinggi
ditunjukkan dengan jejak-jejak gelombang tertinggi
yaitu adanya bekas sampah, jejak abrasi pantai yang
menunjukkan bahwa air pernah mencapai lokasi
tersebut.
Pengamatan pasang surut dilakukan untuk
mengetahui profil pasang surut air laut di lokasi
penelitian. Pencatatan pasang surut dilakukan untuk
memperoleh data harian dengan interval 1 jam.
Profil batimetri lokasi penelitian diperoleh dengan
metode
akustik
dengan
cara
pemeruman
menggunakan echosounder (Garmin GPS sounder
tipe 178). Untuk penentuan posisi, metode yang
digunakan adalah metode penentuan posisi dengan
GPS secara kinematik absolut. Penentuan posisi
secara kinematik absolut adalah penentuan posisi dari
titik-titik yang bergerak dan penerima GPS tidak dapat
atau tidak punya kesempatan untuk berhenti pada titik
tersebut (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). Alat
selain merekam posisi secara kinematik absolut juga
merekam nilai kedalaman, posisi geografis yang
didapat merupakan posisi dengan datum WGS-1984.
Analisis data dilakukan dengan analisa spasial.
Data hasil survei lapangan selanjutnya disajikan dalam
Penentuan Garis Pantai Berdasarkan Undang-Undang Informasi Geospasial …………….………………….(Suhelmi, I.R., Afi, R.N. dan Prihatno, H.)
peta dan diplotkan dengan latar belakang citra
Quickbird. Analisa lanjutan dilakukan terhadap data
batimetri dan data pasang surut untuk mendapatkan
kedudukan muka air tinggi, muka air rata-rata dan
muka air rendah.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Garis pantai yang diperoleh melalui metode stop
and go merupakan titik-titik posisi yang direkam pada
alat GPS dan dikoreksi dengan satu titik referensi.
Hasil pengolahan berupa titik-titik posisi yang
merupakan garis pantai pada kondisi pasang tertinggi.
Perolehan data garis pantai pada kedukan pasang
tertinggi ini memiliki beberapa keterbatasan. Salah
satu hal yang menjadi kendala adalah lokasi wilayah,
apabila lokasi relatif rame dan aksesibilitas mudah
maka akan pengukuran akan mudah dilakukan, namun
bila lokasi berupa hutan bakau dan rawa, maka
penelusuran akan menghadapi kendala. Pada lokasi
kajian, pesisir Kabupaten Pati relatif mudah diakses,
karena hampir sepanjang pantai berupa tambak. Hasil
pengamatan garis pantai pada kedudukan muka air
tinggi tersaji dalam Gambar 2.
Untuk menghitung nilai kedalaman, terlebih dahulu
ditentukan nilai koreksi kedalaman berdasarkan
pengolahan data pasang surut selama 39 jam guna
menentukan Duduk Tengah Sementara (DTS) dan
muka surutan. Pada proses pemeruman di Dukuhseti
Kecamatan Tayu, hasil pengolahan data pasang surut
diperoleh nilai DTS adalah 110,9 cm di atas nol palem,
sedangkan muka surutan 56 cm di atas nol palem.
Perhitungan DTS tersebut, digunakan sebagai koreksi
untuk setiap waktu pengamatan pada proses
pemeruman, sehingga nilai koreksi pasut yang
diberikan merupakan nilai kedalaman terhadap waktu.
Untuk hasil pengamatan pasang surut selama proses
pemeruman dapat dilihat pada Gambar 3.
Berdasarkan perhitungan koreksi pada nilai
kedalaman hasil pemeruman maka diketahui profil
dasar laut perairan Dukuhseti Kabupaten Pati dengan
cakupan area survei, merupakan perairan landai,
dimana kedalaman mulai dari 1 meter hingga
kedalaman 4,6 meter berada pada jarak sekitar 2500
meter tegak lurus dari garis pantai. Berdasarkan hasil
koreksi dan pengeplotan titik-titik kedalaman,
selanjutnya disusun peta batimetri lokasi penelitian
seperti terlihat pada Gambar 4.
'
6
°2
6
111°00'
111°2'
111°4'
111°6'
111°8'
6
°2
6
'
N
1
0
'
8
2°
6
1
2
3 Km
Garis Pantai Kedudukan Muka Air Tinggi
6
°2
8
'
'0
3°
6
6
°3
0
'
'
2
3°
6
6
°3
2
'
111°00'
111°2'
111°4'
111°6'
111°8'
Gambar 2a. Garis pantai pada kedudukan muka air
tinggi Kec. Dukuhseti-Tayu
111°8'
111°10'
111°12'
111°14'
'8
3
°
6
6°
38
'
N
1
0
1
2 Km
Garis Pantai Kedudukan Muka Air Tinggi
'
0
4
°
6
6°
40
'
'
2
4
°
6
6°
42
'
111°8'
111°10'
111°12'
111°14'
Gambar 2b.Garis pantai pada kedudukan muka air
tinggi di Kec. Batangan.
Gambar 3. Grafik pasut saat pemeruman di Kec.
Dukuhseti – Tayu(30-31 Oktober 2010).
21
Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 19 No. 1 Agustus 2013 :19 -24
mulai menurun perlahan bahkan sangat landai ke
kedalaman 2 meter dengan rerata interval 260 meter.
Gambar 4a. Peta batimetri perairan laut Kec.
Dukuhseti Tayu Kabupaten Pati.
Gambar 5. Peta 3-D hasil pemeruman perairan laut
Kec. Dukuhseti Tayu Kabupaten Pati.
Gambar 4b.Peta batimetri perairan laut Kec. .
Batangan Kabupaten Pati.
Berdasarkan peta batimetri tersebut dapat disusun
kenampakan profil 3 dimensi dari lokasi penelitian.
Profil 3 dimensi pantai di Dukuhseti Kabupaten Pati
seperti terlihat pada Gambar
5. Gambar ini
menunjukkan profil kedalaman yang ada pada lokasi
penelitian. Berdasarkan kedua gambar tersebut,
terlihat bahwa profil kedalaman yang ada pada kedua
lokasi tersebut adalah landai.
Peta 3-Dimensi dan peta kontour hasil pemeruman
seperti terlihat pada Gambar 5 menunjukkan profil
dasar laut perairan Kabupaten Pati. Pada kedua
gambar terlihat jarak dari garis pantai yaitu nilai 0 (nol)
Mean Sea Level (MSL) hingga kedalaman 1 meter
relatif cukup jauh berkisar antara lebih dari 50 meter
hingga 370 meter.
Profil dasar laut terlihat menurun mulai dari
kedalaman 1 meter ke kedalaman 2 meter, 3 meter, 4
meter dan seterusnya dengan jarak interval antar
kedalaman yang bervariasi mulai dari 50 meter hingga
sekitar 500 meter. Pada kedalaman 1 meter profil
22
Gambar 5. Peta 3-D hasil pemeruman perairan laut
Kec. Batangan Kabupaten Pati.
Pada kedalaman 2 meter ke 3 meter interval rerata
hingga mencapai sejauh 450 meter, bahkan interval
antara kedalaman 4 meter menuju 5 meter memiliki
rerata sejauh lebih dari 500 meter. Jarak interval antar
kedalaman yang terlebar banyak di jumpai pada area
bagian utara, atau tepatnya di sekitar Tanjung Bugel.
Bagian selatan Tanjung Bugel memiliki profil dasar laut
kedalaman yang jarak intervalnya relatif seragam.
Berdasarkan survei batimetri yang dilakukan di
perairan Kabupaten Pati, selanjutnya dilakukan analisa
berdasarkan kontur batimetri dan kondisi pasang surut
lokasi kajian sehingga diperoleh garis kedudukan air
rendah. Pertemuan antara muka air rendah
Penentuan Garis Pantai Berdasarkan Undang-Undang Informasi Geospasial …………….………………….(Suhelmi, I.R., Afi, R.N. dan Prihatno, H.)
digambarkan sebagai garis pantai pada kedudukan
pasang rendah.
111°3'
111°6'
6
°2
7
'
7'2
°6
N
1
0
1
2 Km
Garis Pantai Muka Air Rendah
'
30°
6
6
°3
0
'
'
33
6°
6
°3
3
'
111°3'
111°6'
Gambar 6a. Peta 3-D hasil pemeruman perairan laut
Kec. Dukuhseti, Kabupaten Pati.
Gambar 6. Peta 3-D hasil pemeruman perairan laut
Kec. Batangan, Kabupaten Pati.
Garis muka air rendah merupakan hasil analisa
topografi bawah laut dan hasil pengamatan pasang
surut di daerah penelitian. Kontur 0 (nol) pada
batimetri merupakan bidang muka surutan peta laut
yang dapat digunakan sebagai muka air rendah untuk
penentuan garis pantai yang akan digunakan untuk
penetapan titik awal dan garis dasar serta untuk
penetapan dan pengukuran titik-titik batas. Penentuan
garis surut terendah ini memerlukan kajian yang
berasal dari pasang surut dan batimetri detail suatu
lokasi. Hasil analisa penentuan garis pantai surut
terendah tersaji dalam Gambar 6.
Dalam UU No. 32 Tahun 2004 mengenai
Pemerintah Daerah dan Permendagri No.1 Tahun
2006 mengenai Pedoman Penegasan Batas Daerah,
garis surut terendah inilah yang digunakan sebagai
garis dasar untuk penarikan batas. Garis pantai surut
terendah juga dilakukan untuk menentukan batasan
wilayah pengelolaan provinsi dan kabupaten/kota yang
masing-masing maksimal 12 mil untuk wilayah provinsi
dan 4 mil atau 1/3 dari kewenangan provinsi untuk
kabupaten/kota. Sejalan dengan hal tersebut, UU No 4
tahun 2011 yang mengatur mengenai Informasi
Geospasial menyebutkan bahwa garis pantai terdiri
atas 3 (tiga) jenis yaitu: (a) garis pantai surut terendah;
(b) garis pantai pasang tertinggi; dan (c) garis pantai
tinggi muka air laut rata-rata. Masing-masing jenis
garis pantai dipergunakan untuk keperluan yang
berbeda. Peta Rupabumi Indonesia menggunakan
garis pantai berdasarkan garis kedudukan muka air
laut rata-rata. Pada Peta Lingkungan Pantai Indonesia
dan Peta Lingkungan Laut Nasional terbitan
BAKOSURTANAL
menggunakan
garis
pantai
berdasarkan kedudukan muka air laut surut terendah
seperti terlihat pada Gambar 7.
Selain untuk
penentuan batas, BPN melakukan inventarisasi tanah
di wilayah pesisir mengunakan garis pantai surut
terendah (BPN, 2011).
Penentuan batas baik itu pengelolaan maupun
batas kadaster dapat menggunakan berbagai garis
pantai pada kedudukan air pasang terendah
mememiliki beberapa kendala, selain aspek teknis
penentuan batas yang diperlukan teknis dan metode
yang spesifik, penggunaan garis pantai muka air
rendah dalam pelaksanaan di lapangan akan
terkendala dengan aspek demarkasi, karena batas
yang ada tidak berada di tanah melainkan berada
pada wilayah perairan laut. Untuk lokasi dengan nilai
surut yang tinggi dan batimetri landai, akan diperoleh
wilayah pasang surut yang sangat luas. Sehingga
perbedaan antara garis pantai pasang tertinggi dan
garis pantai surut terendah sangat nyata.
Garis pantai pada kedudukan pasang tertinggi
merupakan salah satu garis pantai sesuai dengan UU
Geospasial. Garis pantai pada kedudukan pasang
tertinggi dapat diperoleh dengan mudah melalui
berbagai cara, baik secara langsung maupun secara
kartografis menggunakan bantuan peta dan citra
satelit. Dengan menggunakan kedudukan air pasang
tertinggi, akan mudah dilakukan tanpa bantuan data
pendukung lainnya.
Selain aspek teknis dalam penentuan garis pantai
pada kedudukan muka air tinggi, Andriati (2007)
mengemukakan bahwa penggunaan garis pantai pada
kedudukan muka air tinggi memiliki kelebihan dilihat
dari beberapa aspek antara lain: (1) faktor kebutuhan
akan kepastian hukum kepemilikan tanah, maka
penggunaan air tinggi lebih relevan jika dikaitkan
dengan peraturan perundangan yang berlaku.
Perundangan tersebut menegaskan status kepemilikan
tanah pantai, sempadan pantai maupun tanah timbul
sebagai tanah negara, yang tidak bisa dibebani hak
milik karena berfungsi sebagai zona perlindungan
setempat, (2) faktor kelestarian fungsi pantai, dimana
ditegaskan dalam beberapa perundangan mengenai
fungsi sempadan pantai sebagai kawasan lindung.
23
Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 19 No. 1 Agustus 2013 :19 -24
Garis Pantai pada
Peta Laut
Garis Pantai pada
UU no 32/2004
Garis Pantai pada
Garis Air Tinggi
Peta Topografi
Garis Air Rata-rata
Biasa digunakan sebagai Datum Vertikal Peta Topografi
Garis Air Rendah
Acuan Penarikan Garis Dasar
Titik Awal pada UU No 32/2004
Gambar 7. Titik Awal dan Garis Pantai sebagai acuan penarikan garis dasar (Sumber: Permendagri No 1
Tahun 2006).
Batas berakhirnya hak milik pada garis air tinggi
akan mendukung fungsi sempadan pantai tersebut, (3)
hak akses publik, yaitu berkaitan dengan fungsi pantai
sebagai kawasan open access, (4) zona aman di
pesisir, maka penggunaan air tinggi sebagai legal
coastline, secara tidak langsung telah mengantisipasi
bencana alam yang mungkin terjadi di wilayah pesisir,
(5) faktor dinamika pantai, maka penggunaan air tinggi
sebagai legal coastline, berarti mengantisipasi
karakteristik pesisir yang dinamis, terutama jika terjadi
abrasi terus-menerus pada wilayah pesisir, (6) faktor
keselamatan pelayaran, maka penggunaan air rendah
untuk menentukan kedalaman alur pelayaran yang
aman, memang tidak terkait secara langsung dengan
kepentingan kadaster, (7) faktor kepentingan negara,
yaitu berkaitan dengan batas wilayah laut teritorial
negara yang ditetapkan dari garis air rendah.
KESIMPULAN
Metode penentuan garis pantai pada kedudukan
muka air tinggi relatif mudah dilakukan, baik lewat
pengumpulan data secara langsung di lapangan,
maupun menggunakan bantuan interpretasi citra
satelit.
Penentuan garis pantai muka air laut rendah
memerlukan teknik dan metode yang khusus yaitu
pemetaan topografi dasar laut dan pengukuran pasang
surut. Hasil analisa kedua data tersebut dapat
menghasilkan garis pantai pada kedudukan air surut
rendah.
Diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai garis
pantai yang digunakan dalam penentuan batas,
sehingga kesinambungan antara kadaster darat dan
kadaster laut dapat terwujud.
24
UCAPAN TERIMAKASIH
Terimakasih kepada Kepala Puslitbang BPSDLP
yang memberikan kesempatan kepana peneliti. Juga
kepadaPusat
Penelitian
dan
Pengembangan
Sumberdaya Laut dan Pesisir Balitbang KP
Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah
membiayai penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Afi, R.N. dan I.R.Suhelmi. (2010). Buku Panduan Survei
Legal Coastline. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan
Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian
Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Andriati, V. (2007). Kajian Legal Coastline dalam mendukung
Pelaksanaan Kadaster Laut di Indonesia, Studi Kasus
Kabupaten Pati. Thesis Pascasarjana. Program Magister
Teknis Geodesi dan Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan
Lingkungan Institut Teknologi Bandung. Bandung
BPN. (2011). Tata Cara Kerja Inventarisasi Wilayah Pesisir.
Direktorat Pesisir, Pulau-pulau Kecil, Perbatasan dan
Wilayah Tertentu.Jakarta.
Haroen, T.S. dan I. Kusuma. (2006). Potensi Indonesia di
Era Sistem Kadastral Marine. Makalah pada FIT-ISI.
Balikpapan.
Poerbandono dan Djunarsjah. (2005). Survei Hidrografi. PT.
Refika Aditama. Bandung.
Sugandhy, A. (2000). Penataan Kawasan Pesisir Yang
Berkelanjutan.
Makalah
Seminar
Nasional
Pengembangan Wilayah dan Pengelolaan Sumber Daya
Alam di Kawasan Pesisir dalam rangka Penataan Ruang
yang Berkelanjutan. Fakultas Hukum Universitas
Padjajaran Bandung.
UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau–Pulau Kecil.
UU No 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.
Download