Penentuan Garis Pantai Berdasarkan Undang-Undang Informasi Geospasial …………….………………….(Suhelmi, I.R., Afi, R.N. dan Prihatno, H.) PENENTUAN GARIS PANTAI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG INFORMASI GEOSPASIAL DALAM MENDUKUNG PENGELOLAAN PESISIR DAN LAUT (Coastline Determination Based on Geospatial Information Act Supporting Marine and Coastal Management) 1 2 3 Ifan R. Suhelmi , Restu Nur Afiati dan Hari Prihatno Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Balitbang KP Jl Pasir Putih 1 Ancol Timur Jakarta Telp : (021) 64711583, Fax : (021) 64711654 E-mail : [email protected] 1,2,3 Diterima (received): 15 April 2013; Direvisi (revised): 3 Mei 2013; Disetujui untuk dipublikasikan (accepted): 15 Mei 2013 ABSTRAK Garis pantai merupakan salah satu aspek teknis dalam penetapan dan penegasan batas daerah. Aspek teknis tersebut memiliki peranan penting dalam penentuan batas wilayah laut suatu provinsi, kabupaten dan kota sebagai perwujudan semangat otonomi daerah serta berkaitan dengan rencana pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan pendefinisian legal coastline yang akan digunakan dalam pemberian hak pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Pada saat ini masih terdapat berbagai macam penentuan garis pantai yang digunakan oleh beberapa institusi yang ada di Indonesia. Garis muka air tinggi digunakan dalam Peta Laut yang disusun oleh TNI AL, garis muka air rata-rata digunakan oleh BAKOSURTANAL dalam menggambarkan garis pantai dalam Peta Rupabumi dan garis pantai muka air terendah digunakan oleh DEPDAGRI dalam penentuan batas wilayah negara maupun daerah. Berdasarkan hasil kajian dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah maka pemberian hak pengelolaan wilayah perairan sebaiknya menggunakan garis pantai muka air tertinggi. Kata Kunci: Informasi Geospasial, Garis Pantai, Pasang Surut, Digital Elevation Model. ABSTRACT Determination of coastline is one of technical aspects for regional boundaries establishment. It has an important role for determining maritime boundary of a state, province and district. The aim of this research was to conduct a legal coastline definition that will be used for HP-3 concept. Currently, there are three methods used for determining coastline in Indonesia. High water levels coastline used in the Maritime Map compiled by the Navy. Mean Sea Level (MSL) coastline used by BAKOSURTANAL at the Topographic Map, and lowest water level coastline used by the Ministry of Home Affair (DEPDAGRI) in determining the state and regional boundaries. Based on the results of this study, it is suggested to use the high water level coastline as a legal coastline to determine HP-3 boundary. Key words: Geospatial Information, Legal Coastline, Tide, Digital Elevation Model. PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki keragaman potensi sumber daya alam dan penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa. Wilayah pesisir (coastal zone) merupakan kawasan pertemuan antara daratan dan lautan, ke arah darat meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air yang masih dipengaruhi oleh proses-proses yang berkaitan dengan laut atau sifat-sifat laut (Sugandhy, 2000). Pada wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki ruang laut yang memungkinkan adanya pemanfaatan ruang lebih dari satu peruntukan sehingga kondisi ini menuntut adanya pengaturan pemanfaatan ruang laut yang tegas. Lahirnya Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil merupakan payung hukum bagi semua stakeholder yang memanfaatkan kawasan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil agar terhindar dari konflik pemanfaatan. Garis pantai merupakan salah satu aspek teknis dalam penetapan dan penegasan batas pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Aspek teknis tersebut memiliki peranan penting dalam penentuan batas pengelolaan wilayah laut sebagai perwujudan otonomi daerah sesuai dengan Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Garis pantai ini akan menjadi batas pengaturan kewenangan pengelolaan sumberdaya alam dan pelestarian lingkungan di laut. Garis pantai merupakan garis pertemuan antara daratan dengan lautan yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut (UU No 4 Tahun 2011). Garis pantai terdiri atas 3 (tiga) jenis yaitu (a) garis pantai surut terendah, (b) garis pantai pasang tertinggi, dan (c) garis pantai tinggi muka air laut rata-rata. Adapun penggunaan berbagai tipe garis pantai tersebut diatur 19 Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 19 No. 1 Agustus 2013 :19 -24 bahwa pada Peta Rupabumi Indonesia, garis pantai ditetapkan berdasarkan garis kedudukan muka air laut rata-rata. Sedangkan pada Peta Lingkungan Pantai Indonesia dan Peta Lingkungan Laut Nasional, garis pantai ditetapkan berdasarkan kedudukan muka air laut surut terendah (UU No. 4 Tahun 2011). Pengukuran garis pantai pada berbagai jenis pasang dilakukan pada penelitian ini. Garis pantai ini akan disebut sebagai legal coastline yang menjadi garis awal ditariknya batas zonasi dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Kajian aspek yuridis dilakukan untuk penetapan garis pantai yang menjadi batas pemisah antara yuridiksi darat dan laut. Definisi legal coastline harus ditegaskan dan keberadaan garis tersebut harus ditentukan secara pasti dalam rangka keterpaduan antara kadaster darat dan kadaster laut. Andriani (2007) mengungkapkan bahwa selama ini sering dipertanyakan mengenai kontinuitas antara kadaster darat dan laut. Jika konsep keterpaduan antara kadaster darat dan laut akan diwujudkan, seharusnya terdapat kontinuitas antara kadaster darat dan laut, serta tidak terjadi saling tumpang tindih yurisdiksi antara keduanya. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah memetakan garis pantai sesuai dengan amanat Undang-undang Informasi Geospasial. Penetapan garis dilakukan pada kedudukan muka air tinggi, rata-rata dan surut terendah. Garis inilah yang akan dijadikan sebagai batas garis legal coastline dalam rangka implementasi kadaster laut sesuai dengan amanat Undang-undang Pengelolaan Wilayah Pesisir. Metode penentuan garis pantai inilah yang nantinya akan digunakan sebagai garis pantai yang digunakan sebagai batas penarikan batas pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. METODE Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di sebagian pesisir Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah tepatnya di Kecamatan Dukuhseti dan Kecamatan Batangan seperti terlihat pada Gambar 1. 20 110°55' 111°00' 111°5' 111°10' 111°15' 6 °2 0 ' ' 0 °2 6 U ' 5 °2 6 5 0 5 Km 6 °2 5 ' ' 0 °3 6 6 °3 0 ' ' 5 3 ° 6 6 °3 5 ' ' 0 °4 6 6 °4 0 ' LOKASI PENELITIAN ' 5 °4 6 110°55' 111°00' 111°5' 111°10' 111°15' 6 °4 5 ' Gambar 1. Lokasi Penelitian. Metode Penelitian Data yang diperlukan dalam kajian ini dapat dibagi menjadi dua yaitu data primer dan data sekunder. Kerja lapangan dilakukan untuk memperoleh data dasar dalam penetapan legal coastline yang didasarkan pada suatu tinggi muka air laut. Data dasar penentuan legal coastline yang diperlukan meliputi: • Penelusuran garis pantai pada kedudukan muka air tinggi • Pengukuran hidrografi • Pengukuran pasang surut Perolehan data garis pantai pada kedudukan muka air tertinggi dilakukan dengan cara menyusuri garis pantai sepanjang lokasi penelitian. Metode perekaman posisi garis pantai dilakukan dengan metode “Stop and Go”. Perekaman dengan menggunakan GPS berhenti pada titik-titik tertentu dan di “marking” dan disimpan sebagai titik detail garis pantai pada GPS. Penelusuran garis pantai pada muka air tertinggi ditunjukkan dengan jejak-jejak gelombang tertinggi yaitu adanya bekas sampah, jejak abrasi pantai yang menunjukkan bahwa air pernah mencapai lokasi tersebut. Pengamatan pasang surut dilakukan untuk mengetahui profil pasang surut air laut di lokasi penelitian. Pencatatan pasang surut dilakukan untuk memperoleh data harian dengan interval 1 jam. Profil batimetri lokasi penelitian diperoleh dengan metode akustik dengan cara pemeruman menggunakan echosounder (Garmin GPS sounder tipe 178). Untuk penentuan posisi, metode yang digunakan adalah metode penentuan posisi dengan GPS secara kinematik absolut. Penentuan posisi secara kinematik absolut adalah penentuan posisi dari titik-titik yang bergerak dan penerima GPS tidak dapat atau tidak punya kesempatan untuk berhenti pada titik tersebut (Poerbandono dan Djunarsjah, 2005). Alat selain merekam posisi secara kinematik absolut juga merekam nilai kedalaman, posisi geografis yang didapat merupakan posisi dengan datum WGS-1984. Analisis data dilakukan dengan analisa spasial. Data hasil survei lapangan selanjutnya disajikan dalam Penentuan Garis Pantai Berdasarkan Undang-Undang Informasi Geospasial …………….………………….(Suhelmi, I.R., Afi, R.N. dan Prihatno, H.) peta dan diplotkan dengan latar belakang citra Quickbird. Analisa lanjutan dilakukan terhadap data batimetri dan data pasang surut untuk mendapatkan kedudukan muka air tinggi, muka air rata-rata dan muka air rendah. HASIL DAN PEMBAHASAN Garis pantai yang diperoleh melalui metode stop and go merupakan titik-titik posisi yang direkam pada alat GPS dan dikoreksi dengan satu titik referensi. Hasil pengolahan berupa titik-titik posisi yang merupakan garis pantai pada kondisi pasang tertinggi. Perolehan data garis pantai pada kedukan pasang tertinggi ini memiliki beberapa keterbatasan. Salah satu hal yang menjadi kendala adalah lokasi wilayah, apabila lokasi relatif rame dan aksesibilitas mudah maka akan pengukuran akan mudah dilakukan, namun bila lokasi berupa hutan bakau dan rawa, maka penelusuran akan menghadapi kendala. Pada lokasi kajian, pesisir Kabupaten Pati relatif mudah diakses, karena hampir sepanjang pantai berupa tambak. Hasil pengamatan garis pantai pada kedudukan muka air tinggi tersaji dalam Gambar 2. Untuk menghitung nilai kedalaman, terlebih dahulu ditentukan nilai koreksi kedalaman berdasarkan pengolahan data pasang surut selama 39 jam guna menentukan Duduk Tengah Sementara (DTS) dan muka surutan. Pada proses pemeruman di Dukuhseti Kecamatan Tayu, hasil pengolahan data pasang surut diperoleh nilai DTS adalah 110,9 cm di atas nol palem, sedangkan muka surutan 56 cm di atas nol palem. Perhitungan DTS tersebut, digunakan sebagai koreksi untuk setiap waktu pengamatan pada proses pemeruman, sehingga nilai koreksi pasut yang diberikan merupakan nilai kedalaman terhadap waktu. Untuk hasil pengamatan pasang surut selama proses pemeruman dapat dilihat pada Gambar 3. Berdasarkan perhitungan koreksi pada nilai kedalaman hasil pemeruman maka diketahui profil dasar laut perairan Dukuhseti Kabupaten Pati dengan cakupan area survei, merupakan perairan landai, dimana kedalaman mulai dari 1 meter hingga kedalaman 4,6 meter berada pada jarak sekitar 2500 meter tegak lurus dari garis pantai. Berdasarkan hasil koreksi dan pengeplotan titik-titik kedalaman, selanjutnya disusun peta batimetri lokasi penelitian seperti terlihat pada Gambar 4. ' 6 °2 6 111°00' 111°2' 111°4' 111°6' 111°8' 6 °2 6 ' N 1 0 ' 8 2° 6 1 2 3 Km Garis Pantai Kedudukan Muka Air Tinggi 6 °2 8 ' '0 3° 6 6 °3 0 ' ' 2 3° 6 6 °3 2 ' 111°00' 111°2' 111°4' 111°6' 111°8' Gambar 2a. Garis pantai pada kedudukan muka air tinggi Kec. Dukuhseti-Tayu 111°8' 111°10' 111°12' 111°14' '8 3 ° 6 6° 38 ' N 1 0 1 2 Km Garis Pantai Kedudukan Muka Air Tinggi ' 0 4 ° 6 6° 40 ' ' 2 4 ° 6 6° 42 ' 111°8' 111°10' 111°12' 111°14' Gambar 2b.Garis pantai pada kedudukan muka air tinggi di Kec. Batangan. Gambar 3. Grafik pasut saat pemeruman di Kec. Dukuhseti – Tayu(30-31 Oktober 2010). 21 Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 19 No. 1 Agustus 2013 :19 -24 mulai menurun perlahan bahkan sangat landai ke kedalaman 2 meter dengan rerata interval 260 meter. Gambar 4a. Peta batimetri perairan laut Kec. Dukuhseti Tayu Kabupaten Pati. Gambar 5. Peta 3-D hasil pemeruman perairan laut Kec. Dukuhseti Tayu Kabupaten Pati. Gambar 4b.Peta batimetri perairan laut Kec. . Batangan Kabupaten Pati. Berdasarkan peta batimetri tersebut dapat disusun kenampakan profil 3 dimensi dari lokasi penelitian. Profil 3 dimensi pantai di Dukuhseti Kabupaten Pati seperti terlihat pada Gambar 5. Gambar ini menunjukkan profil kedalaman yang ada pada lokasi penelitian. Berdasarkan kedua gambar tersebut, terlihat bahwa profil kedalaman yang ada pada kedua lokasi tersebut adalah landai. Peta 3-Dimensi dan peta kontour hasil pemeruman seperti terlihat pada Gambar 5 menunjukkan profil dasar laut perairan Kabupaten Pati. Pada kedua gambar terlihat jarak dari garis pantai yaitu nilai 0 (nol) Mean Sea Level (MSL) hingga kedalaman 1 meter relatif cukup jauh berkisar antara lebih dari 50 meter hingga 370 meter. Profil dasar laut terlihat menurun mulai dari kedalaman 1 meter ke kedalaman 2 meter, 3 meter, 4 meter dan seterusnya dengan jarak interval antar kedalaman yang bervariasi mulai dari 50 meter hingga sekitar 500 meter. Pada kedalaman 1 meter profil 22 Gambar 5. Peta 3-D hasil pemeruman perairan laut Kec. Batangan Kabupaten Pati. Pada kedalaman 2 meter ke 3 meter interval rerata hingga mencapai sejauh 450 meter, bahkan interval antara kedalaman 4 meter menuju 5 meter memiliki rerata sejauh lebih dari 500 meter. Jarak interval antar kedalaman yang terlebar banyak di jumpai pada area bagian utara, atau tepatnya di sekitar Tanjung Bugel. Bagian selatan Tanjung Bugel memiliki profil dasar laut kedalaman yang jarak intervalnya relatif seragam. Berdasarkan survei batimetri yang dilakukan di perairan Kabupaten Pati, selanjutnya dilakukan analisa berdasarkan kontur batimetri dan kondisi pasang surut lokasi kajian sehingga diperoleh garis kedudukan air rendah. Pertemuan antara muka air rendah Penentuan Garis Pantai Berdasarkan Undang-Undang Informasi Geospasial …………….………………….(Suhelmi, I.R., Afi, R.N. dan Prihatno, H.) digambarkan sebagai garis pantai pada kedudukan pasang rendah. 111°3' 111°6' 6 °2 7 ' 7'2 °6 N 1 0 1 2 Km Garis Pantai Muka Air Rendah ' 30° 6 6 °3 0 ' ' 33 6° 6 °3 3 ' 111°3' 111°6' Gambar 6a. Peta 3-D hasil pemeruman perairan laut Kec. Dukuhseti, Kabupaten Pati. Gambar 6. Peta 3-D hasil pemeruman perairan laut Kec. Batangan, Kabupaten Pati. Garis muka air rendah merupakan hasil analisa topografi bawah laut dan hasil pengamatan pasang surut di daerah penelitian. Kontur 0 (nol) pada batimetri merupakan bidang muka surutan peta laut yang dapat digunakan sebagai muka air rendah untuk penentuan garis pantai yang akan digunakan untuk penetapan titik awal dan garis dasar serta untuk penetapan dan pengukuran titik-titik batas. Penentuan garis surut terendah ini memerlukan kajian yang berasal dari pasang surut dan batimetri detail suatu lokasi. Hasil analisa penentuan garis pantai surut terendah tersaji dalam Gambar 6. Dalam UU No. 32 Tahun 2004 mengenai Pemerintah Daerah dan Permendagri No.1 Tahun 2006 mengenai Pedoman Penegasan Batas Daerah, garis surut terendah inilah yang digunakan sebagai garis dasar untuk penarikan batas. Garis pantai surut terendah juga dilakukan untuk menentukan batasan wilayah pengelolaan provinsi dan kabupaten/kota yang masing-masing maksimal 12 mil untuk wilayah provinsi dan 4 mil atau 1/3 dari kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota. Sejalan dengan hal tersebut, UU No 4 tahun 2011 yang mengatur mengenai Informasi Geospasial menyebutkan bahwa garis pantai terdiri atas 3 (tiga) jenis yaitu: (a) garis pantai surut terendah; (b) garis pantai pasang tertinggi; dan (c) garis pantai tinggi muka air laut rata-rata. Masing-masing jenis garis pantai dipergunakan untuk keperluan yang berbeda. Peta Rupabumi Indonesia menggunakan garis pantai berdasarkan garis kedudukan muka air laut rata-rata. Pada Peta Lingkungan Pantai Indonesia dan Peta Lingkungan Laut Nasional terbitan BAKOSURTANAL menggunakan garis pantai berdasarkan kedudukan muka air laut surut terendah seperti terlihat pada Gambar 7. Selain untuk penentuan batas, BPN melakukan inventarisasi tanah di wilayah pesisir mengunakan garis pantai surut terendah (BPN, 2011). Penentuan batas baik itu pengelolaan maupun batas kadaster dapat menggunakan berbagai garis pantai pada kedudukan air pasang terendah mememiliki beberapa kendala, selain aspek teknis penentuan batas yang diperlukan teknis dan metode yang spesifik, penggunaan garis pantai muka air rendah dalam pelaksanaan di lapangan akan terkendala dengan aspek demarkasi, karena batas yang ada tidak berada di tanah melainkan berada pada wilayah perairan laut. Untuk lokasi dengan nilai surut yang tinggi dan batimetri landai, akan diperoleh wilayah pasang surut yang sangat luas. Sehingga perbedaan antara garis pantai pasang tertinggi dan garis pantai surut terendah sangat nyata. Garis pantai pada kedudukan pasang tertinggi merupakan salah satu garis pantai sesuai dengan UU Geospasial. Garis pantai pada kedudukan pasang tertinggi dapat diperoleh dengan mudah melalui berbagai cara, baik secara langsung maupun secara kartografis menggunakan bantuan peta dan citra satelit. Dengan menggunakan kedudukan air pasang tertinggi, akan mudah dilakukan tanpa bantuan data pendukung lainnya. Selain aspek teknis dalam penentuan garis pantai pada kedudukan muka air tinggi, Andriati (2007) mengemukakan bahwa penggunaan garis pantai pada kedudukan muka air tinggi memiliki kelebihan dilihat dari beberapa aspek antara lain: (1) faktor kebutuhan akan kepastian hukum kepemilikan tanah, maka penggunaan air tinggi lebih relevan jika dikaitkan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Perundangan tersebut menegaskan status kepemilikan tanah pantai, sempadan pantai maupun tanah timbul sebagai tanah negara, yang tidak bisa dibebani hak milik karena berfungsi sebagai zona perlindungan setempat, (2) faktor kelestarian fungsi pantai, dimana ditegaskan dalam beberapa perundangan mengenai fungsi sempadan pantai sebagai kawasan lindung. 23 Jurnal Ilmiah Geomatika Volume 19 No. 1 Agustus 2013 :19 -24 Garis Pantai pada Peta Laut Garis Pantai pada UU no 32/2004 Garis Pantai pada Garis Air Tinggi Peta Topografi Garis Air Rata-rata Biasa digunakan sebagai Datum Vertikal Peta Topografi Garis Air Rendah Acuan Penarikan Garis Dasar Titik Awal pada UU No 32/2004 Gambar 7. Titik Awal dan Garis Pantai sebagai acuan penarikan garis dasar (Sumber: Permendagri No 1 Tahun 2006). Batas berakhirnya hak milik pada garis air tinggi akan mendukung fungsi sempadan pantai tersebut, (3) hak akses publik, yaitu berkaitan dengan fungsi pantai sebagai kawasan open access, (4) zona aman di pesisir, maka penggunaan air tinggi sebagai legal coastline, secara tidak langsung telah mengantisipasi bencana alam yang mungkin terjadi di wilayah pesisir, (5) faktor dinamika pantai, maka penggunaan air tinggi sebagai legal coastline, berarti mengantisipasi karakteristik pesisir yang dinamis, terutama jika terjadi abrasi terus-menerus pada wilayah pesisir, (6) faktor keselamatan pelayaran, maka penggunaan air rendah untuk menentukan kedalaman alur pelayaran yang aman, memang tidak terkait secara langsung dengan kepentingan kadaster, (7) faktor kepentingan negara, yaitu berkaitan dengan batas wilayah laut teritorial negara yang ditetapkan dari garis air rendah. KESIMPULAN Metode penentuan garis pantai pada kedudukan muka air tinggi relatif mudah dilakukan, baik lewat pengumpulan data secara langsung di lapangan, maupun menggunakan bantuan interpretasi citra satelit. Penentuan garis pantai muka air laut rendah memerlukan teknik dan metode yang khusus yaitu pemetaan topografi dasar laut dan pengukuran pasang surut. Hasil analisa kedua data tersebut dapat menghasilkan garis pantai pada kedudukan air surut rendah. Diperlukan pengaturan lebih lanjut mengenai garis pantai yang digunakan dalam penentuan batas, sehingga kesinambungan antara kadaster darat dan kadaster laut dapat terwujud. 24 UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kepada Kepala Puslitbang BPSDLP yang memberikan kesempatan kepana peneliti. Juga kepadaPusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir Balitbang KP Kementerian Kelautan dan Perikanan yang telah membiayai penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Afi, R.N. dan I.R.Suhelmi. (2010). Buku Panduan Survei Legal Coastline. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta. Andriati, V. (2007). Kajian Legal Coastline dalam mendukung Pelaksanaan Kadaster Laut di Indonesia, Studi Kasus Kabupaten Pati. Thesis Pascasarjana. Program Magister Teknis Geodesi dan Geomatika Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung. Bandung BPN. (2011). Tata Cara Kerja Inventarisasi Wilayah Pesisir. Direktorat Pesisir, Pulau-pulau Kecil, Perbatasan dan Wilayah Tertentu.Jakarta. Haroen, T.S. dan I. Kusuma. (2006). Potensi Indonesia di Era Sistem Kadastral Marine. Makalah pada FIT-ISI. Balikpapan. Poerbandono dan Djunarsjah. (2005). Survei Hidrografi. PT. Refika Aditama. Bandung. Sugandhy, A. (2000). Penataan Kawasan Pesisir Yang Berkelanjutan. Makalah Seminar Nasional Pengembangan Wilayah dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Kawasan Pesisir dalam rangka Penataan Ruang yang Berkelanjutan. Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau–Pulau Kecil. UU No 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial.