HUMANISME UNIVERSAL KAHLIL GIBRAN SKRIPSI Oleh ASEP ROHMATULLAH NIM: 101033121736 JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1428 H/2007 M LEMBAR PENGESAHAN MUNAQASAH Skripsi yang berjudul "Humanisme Universal Kahlil Gibran" telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Mei 2007, skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Strata 1 (S1) pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Aqidah Filsafat. Jakarta, 31 Mei 2007 Sidang Munasaqah Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota Drs. Agus Darmaji, M. Fil. NIP. 150 262 447 Drs. Ramlan Abdul Gani, MA. NIP. 150 254 185 Penguji I Penguji II Drs. Fakhrudin, MA. NIP. 150 231 347 Drs. Syamsuri, MA NIP. 150 240 089 Pembimbing Dr. Fariz Fari, M. Fil. NIP. 150 254 627 KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Untaian puja-puji perlambang rasa syukur penulis panjatkan kehadirat Ilahi Rabbi', Tuhan keseluruhan alam, karena berkat rahmat, hidayah serta inayahNya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada waktunya. Shalawat teriring salam, senantiasa tercurah kepada pembawa risalah kenabian, Sang Nabi akhir zaman, Muhammad SAW, seorang pribadi yang humanis, penuh dengan pekerti yang luhur, serta sabda-sabda yang memiliki muatan universal. Skripsi yang berada di tangan pembaca berjudul Humanisme Universal Kahlil Gibran, kami menyusunnya sebagai syarat untuk memenuhi gelar sarjana pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jurusan Aqidah Filsafat. Selanjutnya, dalam penulisan skripsi ini, tentu banyak kendala yang harus dihadapi, terutama terkait dengan pengkajian pustaka, karenanya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun demikian, dengan bimbingan Yang Kuasa dan juga bimbingan serta bantuan baik moril dan materil dari berbagai pihak, penulis menghaturkan banyak terima kasih. Dengan kerendahan hati, izinkan penulis menyampaikan ucapan terima kasih setulus-tulusnya kepada: 1. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Bapak Dr. H. Amin Nurdin, MA., beserta jajarannya, yang telah mengizinkan penulis untuk membahas dan meneliti skripsi ini. 2. Ketua Jurusan Aqidah Filsafat, Drs. Agus Darmaji, M. Fil dan Sekretaris Jurusan AF, Bapak Drs. Ramlan Abdul Gani, MA. yang telah mempermudah dalam pengurusan akademik. 3. Ucapan terima kasih kami haturkan kepada Bapak Dr. Fariz Pari, M. Fil., selaku pembimbing skripsi, yang dengan 'setia' dan tak kenal lelah memberikan arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas-Nya, Amien. 4. Segenap Dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat yang telah menyumbangkan 'ilmu' nya selama penulis menempuh pendidikan di jurusan ini. Khususnya kepada Bapak Fakhrudin dan Bapak Syamsuri, terima kasih atas bimbingannya 5. Pimpinan Perpustakaan UIN dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, yang telah meminjamkan buku-buku dan tentu sangatlah berguna dalam penelaahan skripsi ini. Ucapan terima kasih pula kami haturkan kepada Asep Sopyan Corner, Hudri Corner, Sohib Corner, Muslim Corner, Nabil Corner yang telah banyak meminjamkan koleksi buku/novel Gibran. 6. Rasa terima kasih dan takdzim kami haturkan kepada Bapa' M. Sobari dan Ema Babay Suharsih atas untaian do'a restu diberikan dengan tulus kepada penulis. Tanpa motivasi dan do'a Ema-Bapa', sulit rasanya penulis menyelesaikan studi ini. Mudah-mudahan niatan untuk ziarah ke Tanah Suci tahun ini dapat terlaksana, Amien. Kepada Ende Hj. Nurnas, Mamang/Bibi terima kasih atas do'anya. Kemudian, kaka'/teteh kami, Ka Ence dan Teh Iroh, Teh Eyi dan Ka Khotib, Teh Nia dan A' Agus, Teh Nunung, dan Adik-adik kami tercinta, "Yayang" Wulan Siti Maryam serta "si cerdas" Adi Imam Taufik, yang kekuatan cinta dan sayang tetap terasa, walau hanya bersua di Hari Fitri. 7. Secara khusus ucapan terima kasih kami haturkan kepada kokolot HMB Jakarta, Pak Amin Suma, Mang Embay sareung Teh Ita, Kanda dr. Yandra Doni yang telah memberi arahan dan motivasi sejak kami menginjakkan kaki di Ciputat. Hatur nuhun oge ka Mamang sareung Teteh HMB Jakarta sadayana, atas do’a dan bimbingannya selama ini. 8. Rasa terima kasih patut kami sampaikan kepada sahabat kami, Kang Lili Nahriri, yang telah memberi tempat dan seluruh fasilitasnya, guna menunjang penyelesaian skripsi ini. Semoga dapat secepatnya merampung studi S2 nya, Amien. 9. Rekan-rekan kami di "Padepokan Ilmu Semanggi II No.20" yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) Jakarta, Opan Ketum, Elban, Mansur Jr, Endang, Alay doc, Fahmi tea, Kang Iji, Aldo tea, Eko Kily, Iip Syahid, Mulyadi, Iin "ikhin" dan Muslim yang telah setia antar-jemput pada saat bimbingan ke Bogor, serta seluruh anggota HMB Jakarta. Semoga kita tetap Hangat Mesra dan Bahagia (HMB). 10. Wabil khusus untuk kawan abadi kami wa Kamal Mutamam, wa Mutoharul Jannan serta Uus Badruzaman, hapunten abdi ti payun lulus na. 11. Segenap pengurus Banten Institute for Social Transformation (BaIST) Serang, tempat di mana penulis sekarang belajar mencari "arti kehidupan", Ka' Yandi, Ka' Icang, Kang Mimin, Kang Budi, wa Herdomz, wa Ubed, Aip, Nana, Andri dan Teh Fafa, terima kasih atas saran dan bantuannya. 12. Kawan-kawan eks Pengurus HMB Jakarta periode 2004-2005, HIMATA Jakarta Raya, BEM Aqidah Filsafat, HMI KOMFUF dan HMI Cabang Ciputat serta PARMA UIN Jakarta. Saatnya kita berpaling ke "dunia lain". 13. Teman-teman AF angkatan 2001, semoga kesuksesan senantiasa bersama kita. 14. To One Unnamed someday shall be named is dedicated together with this little work the whole production of the outhor from the very beginning (YE). Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas segala kebaikan. Akhirnya penulis hanya berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan bagi penulis khususnya. Ciputat, 22 Mei 2007 Asep Rohmatullah DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ................................................................................................................................... i DAFTAR ISI ................................................................................................................................... v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 3 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 4 D. Metode Penelitian 5 E. Tinjauan Pustaka 6 F. Sistematika Penyusunan 8 BAB II BIOGRAFI KAHLIL GIBRAN A. Kahlil Gibran: Tunas Cedar dari Lebanon 10 B. Karya-karya 20 Kahlil Gibran BAB III HUMANISME A. Pengertian Humanisme dan Universal 23 B. Perkembangan Seputar Humanisme 25 1. Humanisme dalam Filsafat 26 2. Humanisme dalam Religiositas 31 3. Humanisme dalam Sastra dalam Etika 37 4. Humanisme 41 C. Hubungan Antara Humanisme dengan Filsafat, Religiositas, Sastra dan Etika ................................................................................................................. 44 BAB IV HUMANISME UNIVERSAL KAHLIL GIBRAN A. Tiga Kerangka Nilai 46 1. Pesan 47 Etik Kahlil Gibran a. Kedermawanan 48 b. Ketulusan 51 c. Kerendahan Hati 53 2. Nilai-Nilai Religiositas Kahlil Gibran ........................................................................................................... 55 3. Persaudaraan Antar-Sesama, Antar-Bangsa; Tanpa Sekat, Tanpa Batas ........................................................................................................... 62 B. Humanisme Universal Kahlil Gibran: Sebuah Cita-Cita 68 C. Tinjauan Kritis serta Relevansi karya terhadap kehidupan dewasa ini 69 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 72 B. Saran 73 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................... 75 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Di antara nama penyair dan pemikir menjelang akhir abad ini terukir nama Gibran Kahlil Gibran (1883-1931), seorang putera Lebanon yang sejak usia muda sudah menulis dan melukis. Karya Gibran dapat dinikmati dan dihayati oleh pembaca dari berbagai kalangan di semua negara. Gibran berkembang dalam rentangan dua kutub ranah budaya, Timur dan Barat. Dalam rentangan itu terbentuk lah pribadinya yang merupakan ramuan antara kedua ranah budaya tersebut. Sebagai seorang yang sejak kecil hidup dalam lingkungan masyarakat yang multi-religius, Gibran tidak mengalami kesulitan untuk memahami berbagai pandangan hidup, dan pada gilirannya sangat menunjang perluasan wawasannya terhadap peri kehidupan manusia pada umumnya. Dalam bait puisi Gibran banyak sekali ungkapan-ungkapan yang sarat dengan imbauan universal, terutama pada persoalan manusia dan kemanusiaan. Gibran memandang kemanusiaan sebagai penjelmaan tunggal. Manusia dimanamana sama. Manusia dan sesamanya adalah salah satu ummat, tidak ada perbedaan atasnya. Simak penuturan Gibran tentang ini. "Manusia terbuat dari unsur yang sama, tidak ada yang berbeda kecuali penampilan lahiriah, yang sebenarnya tidak punya arti apa-apa."1 1 Kahlil Gibran, Elegi Sang Penyair, (Yogyakarta: Penerbit Cupid, 2003), Cet. I, h. 32 Pandangan Gibran mengenai kemanusiaan tersebut, membawa kita pada konsepsi Gibran tentang persaudaraan antar sesama yang dilandasi oleh pengetahuan tentang Tuhan. Gibran mengatakan bahwa semua umat beragama adalah bersaudara di hadapan Tuhan. "Engkau adalah saudaraku, dan aku mencintai kau yang memuja di gerejamu, kau yang berlutut di kuilmu, dan kau yang bersujud di masjidmu. Kita semua adalah anak-anak dari agama yang tunggal, sebagai jalan agama yang beragam hanyalah jari-jari tangan pengasih dari Yang Maha Tinggi, yang diulurkan pada semua orang, menawarkan keutuhan jiwa pada semua orang dengan harapan akan menerima semua orang”2 Tertarik dengan konsepsi Gibran tentang persoalan kemanusiaan yang dibungkus nilai-nilai religiositas di atas, penulis melakukan penelusuran terhadap rekam-jejak Gibran yang ditulis oleh Prof. Fuad Hassan yakni Menapak Jejak Kahlil Gibran. Dalam buku tersebut, terdapat sub-bab yang mengangkat Gibran sebagai penganjur humanisme universal. Prof. Fuad Hassan menyebut bahwa humanisme universal yang dikembangkan Kahlil Gibran adalah konsep persaudaraan antar sesama. Menurutnya, pandangan ini merupakan sebuah konsep mapan untuk melihat kemanusiaan universal, sebagai sesuatu yang paripurna.3 Namun, cukup disayangkan tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang makna keuniversalan manusia dan terkesan seperti sebuah 'project' yang belum selesai. Paling tidak, hal itu cukup dimengerti karena banyaknya bahasan yang diungkap dalam buku tersebut. Sejatinya, pada penulisan skripsi ini kami melakukan penelitian dengan menggunakan analisa isi (analisis konten)4 terhadap karya Kahlil Gibran. Hal ini 2 Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, diterjemahkan dari The Treasured Writings of Kahlil Gibran, terj. Anton Kurnia ,h. 138 3 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2001), h. 45 tidak terlepas karena karya-karya Kahlil Gibran secara jelas menyingkap pesan atau pun nilai yang mengandung makna universal terhadap manusia dan kemanusiaan. Berangkat dari analisis konten tersebut kami merumuskan 3 (tiga) kerangka nilai sebagai sebuah pendekatan ilmiah untuk masuk ke dalam humanisme universal. Tiga kerangka nilai yang dimaksud adalah pesan etik, nilainilai religiositas dan persaudaraan antar-sesama, antar-bangsa. Ketiganya saling berhubungan satu sama lain, dan seterusnya akan terlihat Gibran sebagai seorang pribadi humanis5 yang memiliki kematangan sebagai seorang penganjur humanisme universal. Sekaligus akan terungkap Gibran sebagai seorang sastrawan dan filsuf yang sangat peka dan tanggap terhadap nilai-nilai kemasyarakatan dan kemanusiaan, keindahan, kesusilaan serta ketuhanan. Keseluruhannya adalah bagian integral dari penulisan skripsi berjudul: "HUMANISME UNIVERSAL KAHLIL GIBRAN". B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 4 Analisis konten dalam bidang sastra tergolong upaya pemahaman karya dari aspek ekstrinsik. Aspek-aspek yang melingkupi di luar estetika struktur sastra tersebut, dibedah, dihayati dan dibahas mendalam. Unsur ekstrinsik sastra yang menarik perhatian analisis konten cukup banyak, antara lain meliputi: (1) pesan moral/etika, (b) nilai pendidikan (didaktis), (3) nilai filosofis, (4) nilai religius, (5) nilai kesejarahan, dan sebagainya. Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogjakarta: Pustaka Widyatama, 2004), Cet. Ke 2, h. 160 5 Ciri-ciri pribadi yang humanis menurut Franz Magnis Suseno, yaitu 1). Ia bersifat positif terhadap sesama, sebagai manusia, tidak terhadang oleh kepicikan primordialisme suku, agama, etnik, warna kulit dan lain-lain; 2). Ia bijaksana; bertolak dari keterbatasannya, maka ia mengambil sikap yang wajar, terbuka, melihat pelbagai kemungkinan; 3). Tahu diri (bahwa ia tidak tahu); 4). Mutlak anti-kepicikan, fanatisme, kekerasan, penilaian-penilaian mutlak, ia tidak mengutuk pandangan orang lain; 5). Sebaliknya, Ia terbuka, toleran, mampu menghormati pelbagai keyakinan dan sikap, mampu melihat yang positif di belakang perbedaan. Franz Magnis Suseno, "Manusia dan Kemanusiaan dalam Persepektif Agama", dalam Masa Depan Kemanusiaan, (Jogjakarta: Penerbit Jendela, 2003), h. 11-12 Dalam berbagai karyanya, Gibran sering mengungkap konsepsi tentang cinta, keindahan atau bahkan sayatan-sayatan hatinya yang menandakan “sayapsayap" kehidupannya telah patah. Pada penulisan skripsi ini penulis membatasi penelitian dengan hanya membahas persoalan seputar humanisme universal Kahlil Gibran, yang kami rumuskan dalam 3 (tiga) kerangka nilai, diantaranya pesan etik, nilai religiositas dan persaudaran antar sesama, antar bangsa. Beranjak dari pembatasan masalah tersebut, ada beberapa hal yang dijadikan rumusan masalah oleh penulis untuk mengangkat tema skripsi ini. Rumusan masalah skripsi ini adalah: 1. Bagaimana kah bentuk imbauan Kahlil Gibran dalam menyuarakan tiga kerangka nilai, yakni pesan etik, nilai religius dan persaudaraan antarasesama? Adakah hubungan antara ketiga kerangka nilai itu? 2. Apakah ketiga kerangka nilai, seperti yang dirumuskan penulis, adalah cita-cita luhur dalam menggapai humanisme universal? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Dalam penulisan skripsi ini tujuan yang ingin dicapai penulis adalah untuk memperkaya khazanah intelektual, karena bagaimana pun tulisan-tulisan di seputar pemikiran Kahlil Gibran masih sedikit dan sekaligus merupakan menjadi tugas akhir dalam menyelesaikan perkuliahan di Strata Satu (S1) Jurusan Aqidah Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedang manfaatnya adalah untuk menyediakan ‘ruang baca’ bagi pembaca Gibran atau pun diluarnya, untuk dapat melihat sisi lain dari Gibran, sebagai seorang penyair yang tidak hanya memuji keindahan dengan cinta, namun ternyata konsepsi Gibran tentang kehidupan yang humanis layak menjadi bahan ‘bacaan’ kemudian. D. Metode Penelitian Dalam memperoleh data, teknik pengumpulan data yang dipakai penulis adalah penelitian kepustakaan (library research). Penulis melakukan penelaahan terhadap buku Gibran yang sudah diterjemahkan, diantaranya Sang Nabi, Nyanyian Cinta, Roh Pemberontak atau buku kumpulan puisinya: Trilogi Hikmah Abadi; Cinta, Keindahan dan Kesunyian; Tetralogi Masterpiece dan God of Lost Soul. Selain itu kami menelaah buku Menapak Jejak Khalil Gibran (Jakarta: Pustaka Jaya, 2001), Cet. ke 2, karya Prof. Fuad Hassan. Serta beberapa literatur lain seperti majalah, jurnal, surat kabar, buletin, dokumentasi, dan sebagainya yang relevan. Data-data dan informasi yang dikumpulkan tersebut, kemudian disusun dan dianalisis dengan menggunakan dua pendekatan, yakni analisis konten (analisa terhadap isi) dan kritis. Pendekatan analisis konten digunakan untuk mengungkap, memahami dan menangkap pesan karya sastra.6 Sedang pendekatan kritis adalah bagian dari upaya untuk memperlihatkan kritik relevansi dan hubungan karya dengan kehidupan dewasa ini. 6 Pendekatan analisis konten dalam bidang sastra berangkat dari aksioma bahwa penulis ingin menyampaikan pesan secara tersembunyi kepada pembaca. Pesan itu merupakan isi (makna) yang harus dilacak. Penelitian ini merupakan cara strategis untuk mengungkap dan memahami fenomena sastra, terutama untuk membuka tabir-tabir yang berupa simbol. Hal ini cukup beralasan, karena setiap pemanfaatan bahasa oleh sastrawan sebenarnya memuat simbol-simbol dan makna. Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra, h. 161 Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman kepada Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2005. E. Tinjauan Pustaka Seperti telah dijelaskan dalam metode penelitian, bahwa dalam upaya memperoleh data, kami melakukan penelitian kepustakaan (library research), yakni kami menelusuri sumber-sumber pustaka yang dapat menunjang terealisasinya penulisan skripsi ini. Sejatinya, kami dapat menampilkan dan melakukan penelaahan terhadap sumber primer, dalam hal ini buku-buku Gibran yang ditulis dalam bahasa Arab dan Inggris. Namun, dengan keterbatasan yang ada, kami hanya dapat melakukan penelaahan terhadap sumber sekunder, yakni buku-buku hasil terjemahan dari karya atau kumpulan karya Gibran, serta buku mengenai perjalanan hidup Gibran. Sedangkan dari karya ilmiah (skripsi, tesis dan disertasi), kami tidak menemukan sumber yang kami anggap relevan sebagai sebuah perbandingan, karena beberapa karya ilmiah tersebut tidak ada yang secara langsung terkait dengan tema yang kami angkat. Harapan kami, mudah-mudahan sumber-sumber yang kami baca, tidak mengurangi 'bobot' dari penulisan skripsi ini. Buku yang pertama kami telaah adalah Sang Nabi diterjemahkan dari The Prophet oleh Sri Kusdyantinah (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002), Cet. Ke 12, tebal buku 107 halaman. Dalam buku ini, terkandung pesan etis Gibran yang memuat ajaran Gibran tentang moralitas dalam hubungan antar sesama manusia, apa pun peran dan kedudukannya; bagaimana pandangan orang tua terhadap anaknya, bagaimana sikap seorang guru, tentang cinta, kebebasan, keindahan, persahabatan, bahkan tentang makan-minum, pakaian serta pemberian; pendeknya, tentang ihwal eksistensi manusiawi yang patut menjadi renungan tentang kebijakan dan kebajikan. Buku lainnya adalah Roh Pemberontak, diterjemahkan dari "Spirit Rebellious", oleh Arvin Saputra, (Batam: Classic Press, 2003), 159 halaman. Karya ini pernah dibakar di negara asal Gibran, Lebanon, karena berisi kecaman terhadap dominasi Gereja dan otoritas pemerintah pada masa itu. Terlepas dari pandangan yang penuh dengan kontroversi itu, buku ini layak dibaca keseluruhannya, karena mengandung nilai-nilai religiositas yang tinggi. Berikutnya, kami menelaah buku Nyanyian Cinta, terjemahan dari “The Treasured Writings of Kahlil Gibran”, oleh Anton Kurnia, (Bandung: Penerbit Diwan, 2002), 158 halaman. Karya ini menghadirkan 'warna' lain dari corak yang sebelumnya, karena lebih banyak dibahas seputar nilai-nilai persaudaraan universal yang dilandasi Religiositas. Kemudian, bacaan kami selanjutnya adalah kumpulan karya Gibran, diantaranya Tetralogi Masterpiece; Sang Nabi, Sayap-Sayap Patah, Suara Sang Guru, Taman Sang Nabi, (Jogjakarta: Tarawang Press, 2001), Cet. II, tebal buku 370 halaman. Trilogi Hikmah Abadi; Sang Nabi, Taman Sang Nabi, Suara Sang Guru, terj. Adil Abdillah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, Cet. I, 266 halaman Dalam penelusuran jejak kehidupan Gibran, kami membaca Menapak Jejak Khalil Gibran, Jakarta: Pustaka Jaya, 2000, Cet. Ke-2, tebal buku 171 halaman, karya Prof. Fuad Hassan. Tulisan kami, Humanisme Universal Kahlil Gibran, sesungguhnya terinspirasi oleh tulisan Fuad Hassan dalam Menapak Jejak Khalil Gibran, sub bab Gibran sebagai Penganjur Humanisme Universal. Dalam buku tersebut, Fuad Hassan tidak menjelaskan secara rigid maksud dari humanisme universal. Dari 11 halaman yang Fuad Hassan tulis terkait tema ini (halaman 45-54), Fuad Hassan hanya memberikan pengertian bahwa humanisme universal yang dia maksud adalah kemanusiaan universal, tanpa disertai 'turunan' penjelas setelahnya. Dalam buku ini pun, kami hanya mendapat sedikit pembahasan seputar konsep persaudaraan antar sesama yang dibarengi nilai-nilai religiositas. Pada penelusuran terhadap karya ilmiah lainnya, utamanya skripsi, tesis dan disertasi, kami tidak menemukan tema yang sama dengan tema yang kami angkat. Di Fakultas Ushuludin dan Filsafat, hanya ada skripsi tentang Air Mata Cinta Kahlil Gibran oleh A. Syaeful (skripsi tidak ditemukan di Perpustakaan Ushuludin, sumber katalog). Selanjutnya, skripsi Tiga Puisi Prosa Khalil Gibran yang ditulis Tb. Adli Hakim (Fakultas Sastra UI tahun 1990), memaparkan analisis struktural dan semiotik pada tiga puisi Khalil Gibran. Begitu pun dalam tesis dan disertasi PPS UIN Jakarta, dari tiga tulisan yang kami dapat hanya menjelaskan macam ragam puisi Gibran. Singkatnya, baik dalam skripsi, tesis maupun disertasi tidak ditemukan kesamaan tema. Hal ini mengandung pengertian bahwa secara keseluruhan, karya ilmiah kami merupakan sesuatu yang baru. Sumber-sumber di atas yang kami telaah dan pelajari secara seksama, dikombinasikan dengan buku-buku lain, baik dalam nuansa filsafat, sastra atau pun etika. E. Sistematika Penyusunan Agar pembahasan skripsi ini lebih terarah dan sistematis, penulis membagi menjadi lima bab dengan perincian sebagai berikut: BAB I Berisi pendahuluan yang secara umum dan khusus meliputi latar belakang masalah sampai sistematika penulisan skripsi ini. BAB II Akan dikemukakan secara singkat latar belakang historis Kahlil Gibran sejak masa kecilnya hingga ia terkenal dalam karir intelektualnya sebagai seorang seniman-filsuf dan juga sebagai mistiskus terkemuka dewasa ini, berikut karya-karya yang pernah ditulis dewasa ini. BAB III Memaparkan pengertian humanisme dan universal, kemudian perkembangan diseputarnya, terlebih dalam Filsafat, Religiositas, Sastra dan Etika. Selanjutnya akan dilihat hubungan antara humanisme dengan dengan keempatnya itu. BAB IV Merupakan inti dari skripsi ini, berisi rumusan tiga kerangka nilai Kahlil Gibran, meliputi tiga pesan etik Kahlil Gibran, yaitu kedermawanan, ketulusan dan kerendahan hati. Kemudian nilainilai religiositas Gibran serta konsepsi Gibran tentang persaudaraan antar-sesama, antar-bangsa. Kami akan menampilkan ketiga kerangka nilai ini secara utuh dalam humanisme universal: sebuah cita-cita Gibran. Selanjutnya, kami menyertakan tinjauan kritis dan relevansi karya terhadap kehidupan dewasa ini. BAB V Adalah penutup sekaligus saran dan kesimpulan dari keseluruhan skripsi ini. BAB II BIOGRAFI KAHLIL GIBRAN7 A. Kahlil Gibran: Tunas Cedar8 dari Lebanon Gibran Kahlil Gibran lahir pada 6 Januari 1883 dekat Holy Cedar Grove di tepian Wadi Qadisha (Lembah Kudus atau Lembah Suci), kota Beshari, Lebanon.9 Gibran Kahlil Gibran, terkenal dengan sebutan Kahlil Gibran. Sedangkan namanya sendiri adalah Gibran. Nama Gibran ini sama dengan nama kakeknya. Pemberian nama dengan nama kakeknya semacam ini adalah merupakan tradisi orang Lebanon pada waktu itu.10 Keluarga Gibran hidup dalam kemiskinan di tengah-tengah depresi ekonomi yang tengah melanda Lebanon. Sang ayah, Kahlil Gibran (nama yang kemudian disandingkan dengan namanya ketika bermukim di Amerika), adalah seorang yang tegar tapi berpenghasilan terbatas dan tingkat pendidikannya pun tak 7 Salah satu perubahan yang dialami Gibran sejak merantau ke Amerika adalah cara penulisan nama. Sejak Sekolah Dasar di Boston, ditanggalkannyalah nama pertama yang sebenarnya ialah nama dirinya (Gibran), selanjutnya namanya dikenal dengan Khalil Gibran saja. Dan berikutnya masyarakat Amerika suka sekali mengucapkan huruf kah dan nama Khalil yang dalam ejaan Arab ditulis “ ”ليلخkemudian dituliskannya Kahlil. Dan bahwa ucapan nama Gibran dalam ejaan bahasa Indonesia ialah Jibran, yaitu transliterasi dari ejaan bahasa Arab “”ناربج. Beberapa buku tentang dirinya dalam bahasa Perancis menuliskan namanya “Djibran Khalil Djibran”. Tapi ejaan Gibran tidak terlalu keliru, karena di Mesir umpamanya, namanya diucapkan “Gibran” walaupun ejaannya “”ناربج, karena di sana biasanya huruf jim diucapkan gim. Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2001), h. 23-24. Sedikit berbeda dengan Fuad Hassan yang menggunakan kata Khalil Gibran dalam tulisannya, penulisan skripsi ini sepenuhnya memakai nama Kahlil Gibran. 8 Gibran terlahir di wilayah pegunungan Cedar (Cedar Mountain) atau dalam bahasa aslinya Jabal al-Arz. Hingga kini pohon Cedar (Arz, jamak Arzah) digunakan sebagai lambang Lebanon dan dicantumkan pada bendera nasional Lebanon. Pohon Arz termasuk golongan pepohonan yang selalu hijau di segala musim (evergreen), sehingga seolah-olah mengesankan ketegaran dan keabadian. 9 Kahlîl Gibran, Nyanyian Cinta, terjemahan dari “The Treasured Writings of Kahlîl Gibrân” oleh Anton Kurnia, (Bandung: Penerbit Diwan, 2002), h. 5 10 Fahrudin Faiz, Filosofi Cinta Kahlil Gibran, (Yogyakarta: CV. Qalam, 2004), h. 48 berarti. Ia bekerja sebagai penagih pajak. Penampilannya yang gagah dan tegar, tapi kecanduannya pada arak dan judi mengakibatkan keluarganya hidup dalam kesempitan. Ia sering mabuk, suka berkelahi, dan berlaku kasar terhadap isteri dan anak-anaknya. Gibran hampir tidak memperoleh pengaruh psikologis apapun dari ayahnya. Beruntung Gibran punya Kamila, sang ibu, adalah seorang wanita terpelajar dan penuh bakat. Walaupun keadaan ayahnya demikian, Gibran sendiri-secara terselubungmenggambarkan kekerasan watak ayahnya sebagai seorang yang tetap dikaguminya. “I admired him for his power-his honesty and integrity. It was his daring to be himself, his outspokenness and refusal to yield, that got him into trouble eventually, if hundreds, were about him, he command them with a word.” “Aku mengaguminya karena kekuatannya-kejujurannya dan integritasnya. Keberaniannya untuk tampil dengan kesejatian dirinya, keterusterangannya dan sifatnya yang pantang mengalah itulah yang sering menjerumuskannya kedalam berbagai kesulitan. Jika beratus-ratus orang mengelilinginya, maka dengan sepatah kata saja mereka dapat ditundukkan olehnya.”11 Beruntung Gibran punya Kamila Rahmi, sang ibu, adalah seorang wanita terpelajar dan penuh bakat. Beliau anak seorang pendeta gereja Maronit12 di kota kecilnya, yaitu pendeta Istifan Rahmi. Kamila digambarkan sebagai wanita, kurus dengan pipi agak kemerah-meraham dan bayangan melankolis dalam matanya. Kamila mempunyai suara yang merdu dan amat taat beribadah. Ketika mencapai usia kawin, ia menikah dengan salah seorang sepupunya sendiri, Hanna ‘AbdSalam Rahmeh. Sebagaimana kebanyakan orang Lebanon pada masa itu, Abd’ Salam dan keluarganya berimigrasi ke Brazilia untuk mengadu nasib, tetapi 11 12 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 35 Golongan gereja Maronit merupakan mayoritas dari denominasi agama Kristen. Lainnya terdapat golongan penganut Katolik Roma, Katolik Syria, Ortodox Yunani, Nestoria, Chaeldea, Armenia dan sejumlah sekte lainnya. Hingga kini di Lebanon ada 3 (tiga) agama monotheis yang diakui oleh pemerintah Lebanon, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. meninggal disana dan meninggalkan Kamila seorang putra bernama Boutros (Peter). Sepeninggal suaminya, Kamila kehilangan sumber nafkah dan tidak mungkin lagi baginya untuk bertahan hidup di Brazil sambil mengasuh anak tunggalnya, maka Kamila memutuskan untuk pulang kembali ke Lebanon. Dan setelah beberapa lama kemudian, janda muda ini menikah lagi dengan seorang pria yang bernama Khalil Gibran. Dari buah perkawinannya yang kedua ini, maka terlahirlah Gibran (1883), Marianna (1885) dan Sultanah (1887).13 Kamila terkenal dengan sebagai wanita yang berkemauan keras tapi lemah lembut tutur katanya, ia juga tergolong wanita cerdas dan sangat mahir berbahasa. Kepada anaknya, ia mengajarkan bahasa Arab, Inggris dan Prancis. Pada waktuwaktu senggang diceritakan kepadanya berbagai legenda dari dunia Arab, termasuk cerita Seribu Satu Malam. Ayahnya sering mengajak berkunjung ke beberapa kota kuno dengan banyak sekali peninggalan purbakalanya seperti Balbeek, Homs dan Hamah. Adakalanya mereka bermalam di ketinggian Gunung Cedar dan menginap di tenda pengembala sambil menikmati suasana kedamaian dibawah cahaya bulan dan bintang yang gemerlapan dan amat mempesona. Segala pengalamannya ini kelak nyata berpengaruh pada dirinya manakala sedang kebingungan menghadapi peri-kehidupan di kota New York yang serba bising; kedamaian di desanya itu sering membangkitkan kerinduannya pada tanah airnya.14 Karena sulitnya kehidupan di Lebanon, maka Peter mohon izin kepada ibunya untuk pindah ke Amerika. Karena ayahnya dianggap sudah tidak lagi bisa 13 Suheil Bushuri dan Joe Jenkins, Kahlil Gibran, Manusia dan Penyair, terj. (Jakarta: Grasindo, 2000), h. 2 14 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 36-37 dijadikan sandaran keluarga karena sering mabuk dan sehari-hari menganggur saja. Kamila menyetujui gagasan Peter untuk pindah ke Boston sebagai pangkalan pertama karena di kota itu ada beberapa temannya. Tapi Kamila juga minta Peter berjanji untuk berusaha agar ibu dan ketiga adiknya bisa selekasnya dapat menyusul ke Amerika. Maka pada tahun 1894, Kamila dan semua anaknya tiba di Boston. Mereka tinggal di sebuah apartemen kecil di daerah China-Town, suatu daerah dengan rumah sewaan berhimpitan yang padat penghuninya serta loronglorong yang dikotori sampah; jauh berbeda dengan suasana kedamaian dan kebersihan dalam lingkungan alam desa kecil mereka di lereng Gunung Cedar dengan pemandangan yang menghadap ke laut lepas.15 Di tempat barunya ini, Gibran masuk sekolah yang memang disediakan untuk anak-anak imigran. Di sekolah ini Gibran dengan cepat dikenal temantemannya karena kemampuannya yang sangat menonjol dalam hal menggambar. Kemahiran yang dimiliki inilah yang menghantarkan Gibran dalam dunia seni di Boston dan juga menarik perhatian para pekerja sosial di Denison House, sebuah lembaga sosial yang bergerak di bidang pendampingan para imigran dan anakanak jalanan. Melalui lembaga inilah Gibran berhubungan dengan seorang seniman bernama Fred Holland Day. Day yang melihat bakat luar biasa pada diri Gibran, kemudian mendorongnya untuk mengembangkan bakat seninya, khususnya dalam menggambar. Maka semakin intens lah keterlibatan Gibran dalam dunia seniman di Boston. Pada tahun 1896 Gibran tidak dapat menahan kerinduan pada Lebanon. Ia merasa perlu untuk kembali ke tanah airnya guna menambah pengetahuan tentang 15 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 37 Bahasa dan Sastera Arab.16 Kali ini dia masuk Madrasah Al-Hikmah17 di Beirut, sekolah yang diselenggarakan oleh gereja Maronit. Di Lebanon, Gibran bertemu dengan Salim Dahir. Beliau adalah seorang dokter, penyair sekaligus guru bagi Gibran. Sang guru pun banyak bercerita tentang berbagai legenda dan dongeng lokal kepada sang penulis muda yang berbakat ini. Karena terpesona oleh anak muda yang lembut dan sopan ini, maka Salim Dahir mengijinkan Gibran membantu tugas-tugas kedua puterinya, Sai’di dan Halla. Seiring dengan waktu yang berjalan, maka tumbuhlah benih cinta diantara Gibran dan Halla. Namun hubungan mereka harus pupus dan kandas di tengah jalan manakala keluarga Halla tidak merestui hubungan mereka. Konon salah satu karya Gibran yang berjudul Al-Ajnihah al-Mutakassirah adalah merupakan roman yang kisahnya diilhami oleh pengalaman pahitnya itu.18 Pada tahun 1901 Gibran lulus dari Madrasah Al-Hikmah dengan pujian tinggi. Maka mulailah dia mengembara untuk belajar seni ke Yunani, Italia, Spanyol dan akhirnya menetap di Paris. Di Paris inilah saat usianya baru delapan belas tahun, Gibran melahirkan karyanya yang sangat megejutkan masyarakatnya di Lebanon, khususnya kalangan penguasa dan serta gereja dan pendetanya, yaitu Spirits Rebellious19. Sebagaimana terpantul dari tiga cerita yang diriwayatkan 16 Namun John Walbridge dalam Hidup dan Karya Gibran, memberi komentar lain. Menurut dia, kekhawatiran Ibu dan keluarganya akan pengaruh buruk dari pergaulan Gibran lah yang menjadi motif mengirim Gibran kembali ke Lebanon. Lihat John Walbridge dan Adel Beshara, Hidup dan Karya Gibran, Terj. (Yogyakarta: Nirwana, 2003), cet 1, h. 46 17 Hingga kini Madrasah Al-Hikmah masih ada di Beirut, hanya berubah namanya menjadi College de la Sagesse. Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 39 18 19 Fahrudin Faiz, Filosofi Cinta Kahlil Gibran, h. 52 Istilah ini lebih tepat diterjamahkan ‘Jiwa yang memberontak’ atau ‘Semangat memberontak’, Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 31. Namun, tak jarang Spirits Rebellious diartikan ‘Roh Pemberontak’ seperti halnya judul buku terjemahan L. Saputra. Buku Roh Pemberontak ini memuat 3 rangkai judul diantaranya, Ibu Rose Hanie, Tangisan Kubur dan dalam buku, Gibran bukan saja menyerang tatanan hukum yang tidak adil dan menyerang keras kesewenangan para penguasa, melainkan juga melancarkan kecaman pedas terhadap gereja.20 Pada tahun 1902 Gibran terpaksa meninggalkan Paris untuk pulang ke Boston karena ibunya sakit keras. Selama mendampingi ibunya yang semakin parah penyakitnya, terjadilah peristiwa yang sangat menghancurkan jiwanya, yakni pada tanggal 4 April, adik yang sangat dicintainya, Sulthana, meninggal dunia karena menderita Tuberkulosis (TBC). Namun, beruntung kesedihan Gibran atas meninggalnya Sulthana bisa sedikit terobati oleh perkenalannya dengan seorang seniman wanita yang bernama Josephine Preston Peabody. Josephine ini akhirnya menjadi teman dekat Gibran dan banyak mendorong Gibran untuk mengembangkan bakat-bakatnya, termasuk memperkenalkan Gibran dengan seniman-seniman Boston yang terkenal. Ia adalah seorang yang memahami watak dan jiwa Gibran, di samping sebagai salah seorang yang sangat mengagumi lukisan-lukisan Gibran. Sayangnya, Gibran harus kembali menelan kesedihan karena Josephine harus menikah dengan orang lain dan terpaksa meninggalkannya.21 Kesedihan Gibran makin berlipat karena hampir setahun kemudian, tepat tanggal 12 maret 1903, Peter, kakaknya yang menjadi andalan nafkah mereka sekeluarga meninggal karena penyakit yang sama. Disusul empat bulan kemudian, tanggal 28 juni 1903, oleh kematian ibunya, diduga karena TBC juga. Khalil Si Klenik Lihat dalam Kahlil Gibran, Roh Pemberontak, diterjemahkan dari "Spirit Rebellious", terj. Arvin Saputra, (Batam: Classic Press, 2003), h. 1 20 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 40 21 Fahrudin Faiz, Filosofi Cinta Kahlil Gibran, h. 53 Dalam puncak rasa sedih saat ibunya meninggal itu-menurut Marianna, adiknya-justeru Gibran tidak menangis, namun tiba-tiba saja darah mengalir dari hidung dan mulutnya. Gibran merasakan kepedihan ini, karena bagi Gibran pengaruh ibunya sangat kuat dalam membentuk kepribadiannya. Di dalam karangannya, berjudul Broken Wings (Sayap-Sayap Patah), Gibran menulis: “Mother is everything in this life; she is consolation in time of sorrowing and hope in time of grieving and power in moments of weakness. She is the fountain-head of compassion, for bearance, and forgiveness. He who loses his mother loses a bosom upon which he can rest his head, the hand that blesses, and eyes which watch over him.” “Ibu adalah segalanya dalam hidup ini; dia adalah pelipur disaat kesedihan dan pemberi harapan disaat kedukaan serta kekuatan disaat kelemahan. Ia adalah pancaran kasih-sayang, ketangguhan, dan ampunan. Orang yang kehilangan ibunya berarti kehilangan dada tempat menyandarkan kepalanya, tangan yang memberkati, dan mata yang menjaga dirinya.”22 Dan dalam suratnya kepada sahabat penanya, May Ziadah, Gibran menulis: “Had it not been for the woman-mother, the woman-sister, and the womanfriend, I would have been sleeping among those who disturb the serenity of the world with their snoring.” “Kalau bukan karena ibu-perempuan, saudara-perempuan, temanperempuan, maka mungkin aku masih tertidur diantara mereka yang menggangu ketenangan alam dengannya.”23 Itu sebabnya Gibran merasa sangat bersalah karena telah membujuk ibu dan adik-adiknya untuk bermukim di Amerika, lalu tinggal di kawasan ChinaTown yang begitu tercemar lingkungannya. Gibran lagi-lagi berkata, andaikata mereka sekeluarga menetap di Lebanon, khususnya di Bisharri yang bertengger pada lereng Gunung Cedar dengan udaranya yang bersih dan segar, maka tidak mungkin mereka dihinggapi penyakit yang mematikan itu. Dan hampir bersamaan 22 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 42 23 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 43 dengan serentetan peristiwa kematian keluarganya itu, seluruh lukisan yang kebetulan sedang ditampilkan dalam sebuah pameran dimakan api bersama terbakarnya gedung pameran tersebut; Gibran sangat terpukul oleh musnahnya sekumpulan lukisannya dalam sekejap saja. Namun Gibran tidak larut dalam kesedihan. Jiwa dan semangatnya berkobar untuk menuangkan segala gagasan dan ide yang terkumpul kepadanya, membuatnya segera bangkit dan mulai berkarya, baik dengan tulisan maupun lukisan. Karyanya yang sudah mulai dirancang penulisannya ketika Gibran masih bersekolah di Madrasah al-Hikmah dan baru berusia lima belas tahun, yaitu The Prophet, kembali ditulis ulang.24 Tahun 1904, Gibran bertemu dengan dua orang yang sangat berarti dalam hidupnya. Yang pertama adalah perkenalannya dengan Mary Elizabeth Haskell, seorang ilmuwan yang menaruh perhatian terhadap bidang seni dan pendidikan. Ia menjadi seorang pendorong dan penuntun bagi Gibran; bahkan ia yang mengirim dan membiayai Gibran ke Paris untuk melanjutkan pendidikannya. Atas jasajasanya ini, pada hamper semua buku karya Gibran, nama Mary Elizabeth Haskell yang biasa disingkat M.E.H. selalu tercantum pada halaman persembahan. Yang kedua adalah Amin Ghuraib, pemilik majalah al-Muhajir. Perkenalannya dengan Gibran dan ketertarikannya akan potensi pemuda itu, membuat Gibran dipercaya sebagai pengelola majalah tersebut. Mulanya Gibran diberi wewenang untuk mengurusi tata artistik, namun setelah melihat potensi Gibran dalam menulis, ia pun lalu menyediakan kolom khusus bagi tulisan-tulisan Gibran di majalahnya. Melalui majalah inilah Gibran mulai memperkanalkan ide-ide dan pemikirannya, 24 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 44 baik dalam bentuk puisi maupun dalam bentuk prosa. Nama Gibran pun mulai terkenal. Gibran menjulang namanya, menggeser nama-nama lain yang sudah lebih dahulu dikenal sebagai sastrawan mahjar.25 Kesuksesan Gibran semakin memuncak setelah diterbitkannya The Prophet dan kesibukan-kesibukan yang dijalaninya, justeru mengundang “penyakit” yang sejak lama telah diidapnya, yakni kesepian dan kesunyian. Orang yang selama ini sangat dekat dengan Gibran, Mary Elizabeth Haskell, mulai menjauh dari Gibran karena M.E.H. beranggapan bahwa Gibran sudah tidak membutuhkannya lagi. Kemudian ia menikah dengan sahabat Gibran. Adiknya yang tinggal satu, Mariana, menjadi seorang yang introvert kelas berat yang tidak bisa bergaul dengan orang lain, bahkan memutuskan untuk tidak menikah dengan orang lain. Pada saat kesepian di tengah gemilang kariernya, Gibran berkenalan dan menjalin cinta dengan seorang sastrawan dan kritikus asal Mesir yang bernama May Ziadah. Perkenalan mereka berawal dari kritik May atas buku Gibran yang berjudul (al-Ajinah al-Muatakssirah), di dalam buku ini Gibran terkesan membenarkan perselingkuhan yang dilakukan Salma Karami26. Ini lah salah satu kritik yang dilontarkan oleh May tentang karya Gibran: 25 Mahjar adalah ungkapan berbahasa Arab yang berarti tempat pindah atau tempat perantauan. Lihat dalam Ahmad Wasrun Munawir, Al-Munawwir, (Yogyakarta: KP AlMunawwir, 1984), h. 1590. Fuad Hassan secara lugas mendefinisikan mahjar, yakni sastra Arab yang dikembangkan oleh mereka yang memilih untuk merantau sebagai muhajir, karena peri kehidupan di negerinya yang sarat dengan penderitaan akibat pemerintah jajahan yang sangat otoriter. Daerah perantauan yang menjadi tujuan ialah terutama Amerika, baik Utara maupun Selatan. Di Amerika Utara terdapat masyarakat muhajir yang bermukim di Boston dan New York. (Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 30) 26 Salma Karami ialah tokoh dalam satu periwayatan Gibran dalam The Broken Wings; Dia adalah seorang gadis cantik dari Beirut yang oleh orang tuanya yang kaya raya dipaksa kawin dengan anak seorang pendeta, sehingga antara kedua pihak orang tua saling memetik keuntungan. Padahal Salma sudah mencurahkan cintanya yang sejati pada seorang pemuda lain, dan sama “I am in full accord with you on the fundamental principles that advocates the freedom of woman. The woman should be free, like the man, the choose her own spouse guided not by the advice and aid of neighbors and acquaintances, but by her own personal inclinations.” “Aku sepenuhnya setuju dengan kau mengenai asas-asas yang mendasari perjuangan kebebasan bagi kaum wanita. Wanita harus bebas seperti pria, untuk memilih sendiri pasangan hidupnya, bukan karena diarahkan oleh nasehat atau bantuan para tetangga dan sahabatnya, melainkan oleh selera pribadinya sendiri.” Kendati demikian, dengan panjang lebar May menjelaskan bahwa dia tidak mungkin membenarkan perselingkuhan Salma, apapun dan bagaimana pun penyebabnya. “Suppose wet let Salma Karami, the heroine of your novel. And very woman that resembles her in affections and intelligence, meet secretly with an honest man of noble character; would not this condone any woman’s selecting herself a friend, other than her husband, to meet with secretly? This would not work, even if the purpose of their secret meeting was ti pray together before the shrine of the Crucified.” “Seandainya kita benarkan Salma Karami, tokoh utama ceritamu itu, dan setiap wanita yang mirip dirinya dalam hal perasaan dan kecerdasannya, bertemu secara sembunyi-sembunyi dengan seorang laki-laki yang jujur dan berwatak mulia. Bukankah itu berarti dibenarkannya setiap wanita memilih bagi dirinya sendiri seorang teman, lain suaminya, untuk bertemu secara rahasia? Ini tidak mungkin dibenarkan, sekalipun tujuannya pertemuan rahasia mereka adalah berdoa bersama di hadapan kuil sang tersalib.”27 Demikian lah jalinan cinta yang berkembang antara Gibran dan May, sekalipun hubungan diantara keduanya hanya berlangsung melalui saling kirim surat belaka, sejak tahun 1912 sampai 1931; surat-surat itu lebih dari sekedar pengungkap rasa cinta melainkan juga mencerminkan kemampuan sastera yang tersimpan dalam diri mereka masing-masing. Sayang cita-cita Gibran untuk sempat bertemu dambaan hatinya ini tidak juga tidak kesampaian karena penyakit sekali tidak mencintai laki-laki yang dipaksakan menjadi suaminya. Akhirnya Salma diketahui berselingkuh dengan pemuda pujaan hatinya, dari periwatannya terkesan bahwa Gibran tidak menyalahkan perbuatan Salma, karena memandang perilau Salma sebagai akibat dari dipaksakannya Salma menikah dengan seorang lelaki yang tidak dicintainya tetapi ‘apa boleh buat’ diterimanya sekedar untuk menuruti kehendak orangtua. Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 80 27 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 81 jantung dan liver terlebih dahulu merenggutnya dari alam fana ini. May Ziadah sendiri tak lama setelah itu tutup usia. Pada tanggal 10 April tahun 1931 pukul 22.50, Kahlil Gibran menghembuskan nafas terakhir dengan diagnosis “cirrchois of the liver and incipient in one of the lungs”. Jenazah Gibran disemayamkan di rumah duka Universal Funeral Parlor di New York, dalam peti di bawah timbunan bunga yang melimpah. Baru pada 23 Juli tahun itu juga jenazah Gibran diangkut dengan kapal ke Lebanon, dan sebulan kemudian, 21 Agustus, Jenazah Gibran tiba di Beirut. Iring-iringan pengantar jenazah menuju Katedral S.t. George diikuti oleh pejabatpejabat tinggi Negara dan wakil-wakil komisariat Negara asing; juga ikut serta kaum muslimin baik Sunni, Shi’i, Druze, golongan penganut gereja Ortodox Yunani, Katolik, Maronit, Yahudi, Armenia, pendeknya semua golongan dan segala lapisan masyarakat tanpa kecuali menyertai prosesi yang mengatar jenazah Gibran yang terakhir di Gua Mar Sarkis. Pengabdiannya selama bertahun-tahun dalam mengembangkan dunia pengetahuan dan sastera Arab, membuatnya mendapat penghargaan ‘Bintang Seni’ dari pemerintah Lebanon. B. Karya-karya Kahlil Gibran Martin L. Wolf dalam bukunya yang berjudul “The Treasured Writing of Kahlil Gibran”- sebagaimana dikutip oleh Fahrudin Faiz- berasumsi bahwa ada maksud tertentu dari Gibran saat menulis karyanya dalam bahasa Arab atau bahasa Inggris (non Arab).28 Kalau dia menulis dalam bahasa Arab, biasanya 28 Fahrudin Faiz, Filosofi Cinta Kahlil Gibran, h. 53 berisi ajakan atau menggugah bangsa-bangsa Arab agar sadar akan kondisi mereka dan turut membantu menghapuskan penjajahan yang terjadi di negerinegeri mereka, termasuk Lebanon. Adapun apabila tulisan tersebut dalam bahasa Inggris (non Arab) tujuannya adalah menyadarkan bangsa Barat akan pentingnya perdamaian dan persaudaraan Di antara karya-karya sang penyair ini adalah sebagai berikut29: 1905 Nubdah fi Fan al-Musiqa, New York: Al-Muhajir 1906 ‘Ara’is al-Muruj, New York: Al-Muhajor. Nymphs of Valley, terj. H.M. Nahmad, New York: Knopf, 1948 1908 Al-Arwah al-Mutamarridah, New York: Al-Muhajir. Spirit Rebellious, ter. H.M. Nahmad, New York: Knopf, 1948 1912 Al-Ajnihah al-Mutakassirah, New York: Miratul Gharb. The Broken Wings, dalam A Second Treasury of Kahlil Gibran 1914 Kitab Dam’ah wa al-Ibtisamah, New York: Atlantic. A Tear and A Smile, atau dikenal juga dengan Tears and Laughter, terj. H.M. Nahmad, New York: Knopf, 1950 1918 The Mad Man: His Parables and Poems, New York: Knopf. Al-Majnun, terj. Antonius Bashir, Kairo: al-Hilal, 1924 1919 Al-Mawakib, New York: Miratul Gharb. The Procession, terj. George Khaerullah, New York: Arab-America Press, 1947 Twenty Drawings, New York: Knopf 1920 Al-Awasif, Kairo: Al-Hilal. The Tempest, dalam A Treasury of Kahlil Gibran. 29 Ahmad Norma (ed.), Kahlîl Gibran: Cinta, Keindahan dan Kesunyian, (Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997), cet I, h. 369-371 The Forerunner: His Parables and Poems, New York: Knopf. As-Sabi, terj. Antonius Bashir, Kairo: Yusuf Bustani, 1925 1923 Al-Bada’i wa al-Thara’if, Kairo: Yusuf Bustani. Best Things and Masterpiece, dalam A Treasury of Kahlil Gibran The Prophet, New York: Knopf. An-Nabi, terj. Antonius Bashir, Kairo: Yusuf Bustani, 1926 1926 Sand and Foam, New York: Knopf. Ramal wa Zabat, terj. Antonius Bashir, Kairo: Yusf Bustani, 1927 1927 Kalimat Jubran, ed. Antonius Bashir, Kairo: Yusuf Bustani. Spiritual Saying of Kahlil Gibran, terj. Anthony R. Ferris, New York: Citadel, 1964 1928 Jesus, The Son of Man, New York: Knopf.. Yasu’ Ibn al-Insan, terj. Antonius Bashir, Kairo: Elias Modern Press, 1932 1929 Al-Sanabil, New York: As-Sa’ih. 1931 The Earth Gods, New York: Knopf. Alihat al-Arrd, terj. Antonius Bashir, Kairo: Elias Modern Press, 1932 1932 The Wanderer: His Parables and His Sayings, New York: Knopf. 1933 The Garden of The Prophet, New York: Knopf. 1934 Prose Poems, ed. Andrew Gharib, New York: Knopf. 1951 A Treasury of Kahlil Gibran, ed. Martin L. Wolf, terj. Anthony R. Ferris, New York: Citadel Al-Majmu’ah al-Kamilah li Mu’allafat Jubran Khalil Jubran, ed. Mikhail Naimy, Beirut: Dar Beirut 1962 A Second Treasury of Kahlil Gibran, ed. Anthony R. Ferris, New York: Citadel BAB III HUMANISME A. Pengertian Humanisme dan Universal Humanisme memiliki pengertian sebagai gerakan pemikiran yang menganggap individu rasional sebagai nilai paling tinggi, sebagai sumber nilai terakhir, serta memberikan pengabdian kepada pemupukan untuk perkembangan kreatif dan perkembangan moral individu secara rasional, tanpa acuan pada konsep-konsep yang bersifat adi kodrati.30 Dalam Encyclopedia Britania, humanisme diartikan sebagai paham kemanusiaan, atau sebuah doktrin, tingkah laku, atau jalan hidup yang memusatkan diri pada nilai-nilai dan manusia.31 Nilai-nilai yang terdapat dalam humanisme, seperti ditulis Muhammad Ali, adalah paradigma nilai, sikap, norma dan praktek keagamaan (religiosity) yang mendukung kehidupan tanpa kekerasan dan damai.32 Salah seorang tokoh humanisme, Pico, berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang diberi kebebasan memilih oleh Tuhan dan menjadikannya pusat perhatian dunia. Oleh karena itu, manusia bebas memandang dan memilih yang terbaik.33 30 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002), Cet. III, h. 295 31 Encyclopedia Britania 2003 Ultimate Reference Suite CD Room, (Inggris, 2003, dictionary 2), h. 1 32 33 Muhammad Ali, Paradigma Beragama Humanis, Kompas 18 Januari 2002 Nicola Abbagnano, “Humanisme”, dalam The Encyclopedia of Philosophy, vol. 3, (New York: Macmillan Publishers, 1967), h. 70 Dengan lugas, Franz Magnis Suseno memberi pengertian terhadap humanisme dan kemanusiaan. Bagi Romo Magnis, humanisme adalah sikap prinsipil dan terurai (eksplisit) yang menempatkan manusia di pusat perhatian dan sebagai titik tolak penilaian tentang kehidupan masyarakat yang baik; tuntutan intinya adalah manusia harus dihormati dalam martabatnya. Sedangkan, kemanusiaan (Jerman: Humanitat, Inggris: Humanness) merupakan sikap yang diharapkan oleh gerakan humanisme tersebut, yakni: cita-cita pengembangan kemanusiaan dan bakat-bakatnya hati dan jiwa manusia secara selaras dan seimbang; mengembangkan budaya dan keluhuran pikiran; cita-cita itu terungkap dalam sikap yang terbaik dan berbesar hati terhadap sesama manusia.34 Begitu pun seperti tertera dalam satu (dari sepuluh) kategori yang ditawarkan Carliss Lamont dalam The Philosophy of Humanism, disebutkan bahwa humanisme mencirikan sebagai sesuatu yang meyakini dan menjunjung tinggi adanya sebuah etik atau moralitas yang melandasi semua nilai kemanusiaan. Etik dan moralitas ini menunjuk pada adanya persaudaraan kemanusiaan yang adalah dasar kebahagiaan paling hakiki dalam konsep kebersamaan tersebut.35 Dari beberapa definisi dan gambaran yang ada di atas, dapat dipahami bahwa humanisme berada dalam pemaknaan yang beragam; kiranya ada tiga hal yang mungkin dapat penulis ungkap, pertama humanisme sekuler yakni humanisme sebagai yang memiliki daya tolak kuat terhadap daya campur tangan unsur Ilahiah ketuhanan, kedua humanisme yang mengacu pada nilai-nilai 34 Franz Magnis Suseno, "Manusia dan Kemanusiaan dalam Perspektif Agama", dalam Masa Depan Kemanusiaan, (Jogjakarta: Penerbit Jendela, 2003), h. 7 35 Carlis Lamont, The Philosophy of Humanism, (London: Routledge, 1978), h. 11-15 religiositas, dan ketiga humanisme dalam pemahaman komunikasi intersubyektifitas, yang lebih menekan fokus pada ide-ide kemanusiaan yang menjunjung tinggi nilai persaudaraan kemanusiaan, kreatifitas untuk menciptakan prestasi kemanusiaan, penghormatan terhadap nilai-nilai dan hak asasi manusia dan lainnya. Sementara istilah universal (Inggris: universals, Latin universalis) dikaitkan dengan konsep-konsep spesies, genus, dan klas, yang berlawanan dengan istilah-istilah "particular" dan "individual". Problem universalia timbul apabila orang mempertanyakan statusnya dalam realitas atau status ontologisnya.36 Secara mudah, 'universal' artinya umum. Sebagai contoh, konsep kemanusiaan adalah konsep yang dipercaya berlaku universal, sebab konsep ini dipercaya dimiliki oleh setiap manusia tanpa membedakan apakah manusia tersebut berkulit hitam, berkulit putih, baragama Islam atau beragama Kristen, apakah ia orang Tionghoa atau orang Amerika. Lawan kata dari universal bisa khusus, bisa pula diskriminatif, dan sebagainya, tergantung pada konteks kalimat yang memuat kata universal.37 B. Perkembangan Seputar Humanisme Pada perkembangannya, pengaruh humanisme merambah bidang-bidang kehidupan: filsafat, ekonomi, politik, Islam, religiositas, sastra, etika dan yang lainnya. Mengingat banyaknya aliran seperti yang disebutkan di atas, dan mempertimbangkan keterkaitan dengan tema yang penulis angkat, maka kami 36 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, h. 714 37 Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Universal, kamis, 8 Juni 2007 akan membatasi proses perkembangan humanisme ke dalam empat pokok pembahasan, yakni humanisme dalam Filsafat, Religiositas, Sastra dan Etika. Berikut ini kami paparkan secara singkat bidang kaji humanisme. 1. Humanisme dalam Filsafat Dalam filsafat, tempat persemaian wacana humanisme, cikal bakal humanisme dimulai dari lahirnya pemikiran yang menekankan kelebihan utama manusia sebagai makhluk berakal budi. Socrates (470-399 s.M.) membangun pemikiran antroposentrisme secara tegas (setelah Protagoras) dalam mengenakan ukuran kebajikan (virtue) dan kebenaran terletak pada akal manusia.38 Dia juga mengungkap hakekat yang-baik sebagai sarana penting dan bersifat hakiki untuk dapat mengenal manusia.39 Plato (428-347 s.M.) dan Aristoteles (348-322 s.M.), masih mengembangkan kerangka berpikir antroposentrisme (mikrokosmos), walaupun keduanya masih menunjukkan keterkaitannya dengan alam terbuka (makrokosmos). Aristoteles sendiri dalam Nichomachean Ethics (Etika Nichomacus) mengatakan bahwa yang-baik bagi setiap hal ialah mewujudkan secara penuh kemampuannya sebagai manusia.40 Ketiga orang di atas adalah wakil dari masa kebudayaan Yunani-Romawi yang menempatkan manusia sebagai subjek yang mulia dan bisa terhadap segalanya. Filsafat Yunani, menampilkan manusia sebagai makhluk yang berpikir terus menerus untuk memahami dan bagian lingkungannya serta menentukan 38 Robert C. Solomon dan Katheleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, terjemahan dari “A Short History of Philosophy” oleh Saut Pasaribu, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002), h. 95 39 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Seomargono, (Jogjakarta: Tiara Wacana, 2004), Cet. IX, h. 317 40 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, h. 357 prinsip-prinsip bagi tindak-tanduknya sendiri untuk mencapai kebahagiaan hidup (eudaimonia). Masa inilah yang disebut sebagai Humanisme Klasik.41 Keterbukaan dan keduniawian humanisme menjadi rangsangan untuk suatu perkembangan pendalaman religiositas, yang di satu pihak terdorong memformasikan gereja dari dalam, di lain pihak mencari kedalaman hidup batin. Maka, pada abad ke-15 dan pada zaman Renaisans di abad ke-16, kita dapat menyaksikan suatu gerak pembaharuan religius luar biasa di Eropa. Di Eropa Utara "Devotia Moderne" mengusahakan pendalaman pengalaman mereka dan mistik, kita misalnya dapat menyaksikan kelompok-kelompok yang bersama-sama melakukan tapa. Kehidupan rohani Katolik abad ke-16 ditandai oleh tokoh-tokoh mistik dan hidup rohani Santa Theresia dari Avila, Santo Johannes da Cruz dan Santo Ignasius dari Layola. Nama terakhir mendirikan orde Serikat Yesus (Orde Yesuit) yang akan menjadi pembawa pembaruan katolik di semua front. Sedang peristiwa yang paling dahsyat adalah Reformasi Protestan oleh Martin Luther (1483-1546), Jean Calvin dan Ulrich Zwingli. melakukan gerakan Reformasi Gereja.42 Gerakan Humanisme kemudian mendapat hawa segar pada saat Revolusi Perancis (k.l. 1789-1799) di mana kebebasan (liberté), kesetaraan (egalité) dan persaudaraan (fraternité) menjadi tiga pilar pokok yang mendasari kesadaran tidak hanya manusia sebagai individu yang bebas dan otonom (dalam artian 41 Simon Petrus L. Tjahjadi, Sejarah Filsafat Barat Modern, (Jakarta: STF Drijarkara, 1998), h. 6 42 Franz Magnis Suseno, "Manusia dan Kemanusiaan dalam Perspektif Agama", h. 9 menentukan dirinya sendiri), namun juga kesadaran akan nilai intrinsik dari manusia itu sendiri dan tempatnya sebagai pusat dari realitas.43 Humanisme modern berkembang dalam dua bentuk, yakni sebagai humanisme moderat atau seimbang dan sebagai humanisme anti-agama.44 Humanisme seimbang, menjunjung tinggi keutamaan-keutamaan manusiawi yang luhur seperti kebaikan hati, kebesaran hati, wawasan yang luas, keterbukaan pada seni, universalisme (di mana nilai-nilai budaya Timur dijunjung tinggi), religiositas yang merasa dekat dengan alam, penolakan fanatisme dan toleransi positif. Tokoh-tokohnya adalah antara lain, dua penyair Jerman terbesar, Goethe dan Schiller, serta Wilhelm von Humbold. Namun, humanisme muncul juga dalam bentuk anti-agama. Dalam bentuk ini agama dipahami sebagai takhayul atau keterikatan manusia pada irasionalitas, sehingga manusia hanya dapat menemukan dirinya apabila ia membebaskan diri dari agama. Pelopor dan inspirator humanisme ateis adalah Ludwig Feuerbach (1804-1872 M) yang memahami agama sebagai keterasingan manusia.45 Dalam tradisi filsafat Barat, perkembangan humanisme berada di ranah filsafat eksistensial. Soren Kierkegaard (S.K.), seorang eksistensialis, mengatakan bahwa manusia adalah pengambil keputusan dalam eksistensinya. Apapun keputusan yang diambilnya, tak pernah ia mantap dan sempurna. Manusia akan terus menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan. Akan tetapi pilihannya yang pertama haruslah diputuskan sejauh menyangkut apa yang baik dan apa buruk. 43 Hendra Puranto, Pemikiran Jean-Paul Sartre dalam Existensialism and Humanism, http://filsafatkita.f2g.net/str7.html, data diakses 24 Januari 2007, h. 5 44 Franz Magnis Suseno, "Manusia dan Kemanusiaan dalam Perspektif Agama", h. 10 45 Franz Magnis Suseno, "Manusia dan Kemanusiaan dalam Perspektif Agama", h. 10 Kalau seseorang telah menetapkan baik dan buruk, tanpa pendirian yang tegas mengenai pilihan dasar ini, sebenarnya ia tidak menjalani eksistensi yang ada.46 Kierkegaard berpendapat ada tiga macam wilayah eksistensi (sphers existence) atau tahap jalan hidup (stages on life's way), yakni wilayah estetis (the aesthetic), etis (the ethical) dan religius (the religious).47 Tahap estetis (the aesthetic) dapat digambarkan sebagai usaha mendefinisikan dan menghayati kehidupan tanpa merujuk pada yang baik (good) dan yang jahat (evil). Artinya, ketika orang bertindak tertentu, ia tidak memikirkan apakah tindakan itu baik atau jahat dan kemudian menilai apakah itu boleh dilakukan.48 Wilayah eksistensi kedua, yakni tahap etis (the ethical), orang mulai memperhitungkan dan menggunakan kategori yang baik (good) dan yang jahat (evil) dalam bertindak. Hidupnya secara hakiki tidak lagi ditandai oleh sifat langsung (immediacy) tindakan-tindakannya, melainkan sudah memuat pilihanpilihan konkret berdasarkan pertimbangan rasio. Suara hati, dan refleksi tentu saja, mulai memainkan peranan yang penting dalam tahap ini. Dengan meninggalkan tahap estetis menuju tahap etis orang mencapai tingkat integrasi apabila memenuhi kewajiban dan peranan sosialnya, serta menerima tanggung jawab yang memberinya kesempatan memperlihatkan siapa dirinya di dunia.49 Dalam wilayah eksistensi ketiga, yakni tahap religius (the religious), orang menyadari bahwa pertimbangan baik dan jahat sudah tidak memadai lagi untuk 46 Fuad Hassan, Berkenalan Dengan Eksistensialisme, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2005), Cet. ke-9, h. 29 47 Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard Dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, (Jakarta: KPG, 2004), h. 87 48 Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard Dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, h. 88 49 Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard Dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, h. 89-90 hidupnya. Yang bernilai adalah relasi dengan Yang Ilahi. Ia menyadari bahwa tujuan hidupnya mestinya bukan miliknya, yakni tujuan temporal yang dirancang untuk memuskan dirinya.50 Penjabaran dari Kierkegaard ini, paling tidak menjadi keterwakilan dari seorang filsuf yang memiliki ragam humanisme, terutama dalam penghayatan nilai-nilai religiositas. Pada pemaparan di atas, bisa terlihat perkembangan humanisme dalam ranah filsafat (atau berarti juga faham kemanusiaan dalam bidang-kaji filsafat) diwakili enam periode yakni zaman klasik yang lebih berorientasi pada Akal Budi; Abad ke-15 dan pada zaman Renaisans di abad ke-16, terekam suatu gerak pembaharuan religius sampai pada reformasi gereja; pada Revolusi Perancis (k.l. 1789-1799), kebebasan (liberté), kesetaraan (egalité) dan persaudaraan (fraternité); Masa Modern yang membelah bentuk humanisme menjadi dua, yakni sebagai humanisme moderat atau seimbang dan sebagai humanisme anti-agama; dan filsafat eksistensial sebagai 'kubang' perkembangan humanisme dalam tradisi filsafat Barat, diwakili oleh Kierkegaard yang memperkenalkan tiga wilayah eksistensi, yakni wilayah estetis (the aesthetic), etis (the ethical) dan religius (the religious). Kelima masa tersebut, paling tidak menjadi pembuka bagi masa depan humanisme berikutnya. Pada bahasan selanjutnya kami paparkan perkembangan humanisme dalam religiositas. 50 Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard Dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, h. 90-91 2. Humanisme dalam Religiositas Humanisme dalam religiositas berarti juga faham kemanusiaan pada ranah religiositas. Pada perkembangannya, bidang-kaji ini sedikit banyak mengungkap kedudukan (posisi) antara formalisme keagamaan dan nilai-nilai religiositas. Terlihat misalnya, sebuah bentuk religiositas kaum humanis yang tidak ingin mengikat diri pada suatu agama formal, namun berinti religius, percaya pada kebaikan abadi. Dalam Sastra dan Religiositas, Y. B. Mangunwijaya atau biasa disapa Romo Mangun, tertarik untuk memberi pengertian lain pada agama dan religiositas. Baginya, agama lebih menunjuk pada kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau “Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturanperaturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir al-Kitab dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan (Geseltschaft, bahasa Jerman). 51 Sedangkan religiositas lebih melihat aspek “yang didalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menafaskan intimitas jiwa, “du coeur” dalam arti Pascal, yakni cita rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman pribadi manusia. Karena itu, pada dasarnya religiositas mengatasi, atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal dan resmi. Religiositas lebih bergerak dalam tata paguyuban (Gemeinscahft) yang cirinya lebih intim. 52 51 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), Cet. III, h. 52 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 12 12 Jauh sebelum itu, seorang filsuf Paul-Tillich melontarkan pandangan tentang agama dan religiositas. Menurutnya, sebagaimana dikutip Arif Budiman, religi mempunyai pengertian yang lebih luas dari agama. Seorang yang religius tidak selalu harus menganut agama tertentu, seperti Kristen, Islam atau Hindu. Seorang yang religius menurutnya adalah mereka yang mencoba mengerti hidup ini secara lebih jauh dari pada batas-batas yang lahiriah saja. Dia adalah orang yang berusaha bergerak dalam dimensi yang vertikal dari kehidupan ini, dia berusaha mentransendir hidup ini.53 Erich Fromm dalam To Have or To Be-seperti dikutip Mashuri- pernah menegaskan, religiositas merupakan ornamen dari watak sosial yang harus memenuhi kebutuhan-kebutuhan religius yang sudah melekat pada diri manusia, sebagai kebutuhan asasi. Ia mesti tidak berkaitan dengan sistem yang berhubungan dengan Tuhan atau berhala, melainkan pada sistem pemikiran atau tindakan yang memberikan pada individu suatu kerangka orientasi dan suatu objek kebaktian.54 Sekali pun religiositas sering dipahami sebagai sebuah kualitas keagamaan, namun pada satu sisi religiositas berbeda dengan sistem religi. Religiositas tidak hanya berkutat pada masalah ketuhanan yang digariskan agama 53 Arif Budiman, Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976), Cet. I, h. 27 54 Ditulis oleh Mashuri dalam "Menggagas Sastra Religius yang Berkualitas". Artikel ini diakses dari http://islamlib.com/id/index, pada 27 Januari 2007 formal. Religiositas lebih mengarah pada kesadaran ketuhanan yang termanifestasikan dalam nilai-nilai dan asas kemanusiaan.55 Secara halus, Romo Mangun menghidangkan definisi abstrak tentang perbedaan ataupun titik-titik singgung antara agama dan religiositas. Romo mengambil contoh dalam sastra. Seperti yang ia kutip dalam resensi Umar Junus di majalah Horison, buah karya A.A. Navis, Datangnya dan perginya (Bukittinggi, 1956):56 "Seorang ayah runtuh hati karena istri pertamanya meninggal, sehingga ia menghanyutkan diri dalam hidup serba maksiat dan mengabaikan anaknya Masri. Pernah sang Ayah tertangkap basah oleh Masri dalam suatu tempat pelacuran. Lalu pergi. Salah seorang dari sekian banyak isteri yang dikawini dan dicerainya, melahirkan anak, Arni, yang (tanpa diketahui asal-usulnya oleh sang Ayah dan Masri), menikah dengan Masri itu sendiri. Timbul lah dilema bagi sang Ayah: Apakah ia harus mencegah sesuatu yang menurut hukum agama adalah dosa (yaitu perkawinan antara dua insan yang seayah sekandung), dengan memberitahukan kenyataan hubungan kakak beradik, kepada Masri dan Arni; tentunya dengan akibat keluarga Masri (yang sudah berbahagia itu) berantakan? Atau kah membiarkan kedua orang tak bersalah itu tetap tidak tahu tentang hubungan mereka yang sebenarnya dalam keadaan bonafide (penganggapan baik, menurut istilah moral), demi keutuhan keluarga Masri, tetapi dengan pelanggaran hukum agama terus menerus? Sang ayah memilih alternatif terakhir demi peri kemanusiaan". Jelaslah ini suatu kasus yang cukup menarik; namun juga menyangkut pertanyaan yang tergolong paling dalam pada hidup konkret kita semua. Umar Junus-seperti dikutip Romo Mangun- menyebut dilema itu persoalan "antara agama dan kemanusiaan". Romo Mangun menambahkan bahwa persoalan itu 55 Ditulis oleh Mashuri dalam "Menggagas Sastra Religius yang Berkualitas". Artikel ini diakses dari http://islamlib.com/id/index, pada 27 Januari 2007 56 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 14 adalah antara hukum agama dan peri kemanusiaan. Bahkan lebih jauh lagi, antara formalisme hukum agama dan religiositas otentik.57 Pada bagian ini tersentuhlah persoalan eksistensial dalam segala bidang yang menjadi pertanyaan dasar manusia modern dan bangsa ini khususnya. Bahkan dapat dikatakan, inilah tantangan yang dipikul semakin serius kepada semua agama besar di masa kini dan hari depan: apakah arti agama bila tidak mampu berperikemanusiaan? Dengan kata lain: apa arti agama tanpa religiositas, tanpa "penuntun manusia ke arah segala makna yang baik". Religiositas tidak bekerja dalam pengertian-pengertian (otak) tetapi dalam pengalaman, penghayatan (totalitas diri) yang mendahului analisis atau konseptualisasi. “Tuhan tidak meminta agar manusia menjadi kaum teolog, tetapi menjadi manusia yang beriman”, begitulah dari sekian banyak varian yang kita dengar. Bagi manusia “religius” ada sesuatu yang dihayatinya keramat, suci, kudus dan adi kodrati. Atau dalam bahasa Aldous Huxley-seperti dikutip Emanuel Wora-, manusia tersebut sudah masuk ke dalam apa yang disebut 'metafisika'. Huxley mendefinisikan metafisika ini sebagai usaha untuk mengenal realitas Ilahi sebagai dasar dari dunia bendawi, hayati maupun akali. Realitas Ilahi bersifat substansial bagi dunia.58 Dambaan manusia religius hidup untuk hidup dalam kekudusan adalah hasrat untuk hidup dalam realitas objektif, tidak cuma terkurung didalam kejadian-kejadian subjektif, suatu kenisbian tiada hentinya.59 Pada dasarnya, 57 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 14 58 Emanuel Wora. Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme, (Yogyakarta: Penerbit Kanisus, 2006), h. 28-29 59 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 17 religiositas mengatasi, atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal dan resmi. Beberapa lagu yang berkualitas religius, seperti “Tuhan” ciptaan Trio Bimbo, “Surgamu” yang dilantunkan oleh Band Ungu, atau pun lagu "Perdamaian" yang dinyanyikan personel Gigi dengan penuh haru dapat dinyanyikan, baik oleh orang-orang Muslim maupun Kristiani. Begitu juga, sikapsikap religius seperti berdiri khidmat, membungkuk dan mencium tanah selaku ekspresi bakti menghadap Tuhan, mengatupkan mata selaku konsentrasi diri penuh pasrah sumarah dan siap mendengarkan sabda Ilahi dalam hati, semua itu solah-bawa manusia religius yang otentik, baik dalam agama Islam, Kristen, Yahudi dan agama-agama lainnya juga. Orang beragama banyak yang religius, dan seharusnya memang demikian, paling tidak diandaikan seorang agamawan sepantasnya sekaligus homo religious juga. Tetapi kenyataannya tidak selalu begitu. Ada orang yang menganut agama tertentu karena motivasi jaminan material atau karir politik, ingin memperoleh jodoh yang beragama lain dari dia punya, atau biasa karena tidak ada pilihan lain; cukup beragama “statistik” belaka. Sebaliknya, ada yang tidak beragama, tetapi cita rasanya, sikap dan tindakannya sehari-hari pada hakekatnya religius. Dalam suatu wawancara dengan majalah Time, pengarang roman dan cerpen Inggris terkenal Graham Greeneseperti dikutip Romo Mangun- pernah mengatakan, There is far more religious faith in (communist) Russia than in (Christian) England.60 Demikian pula di negeri kita dapat menjumpai koruptor-koruptor besar kecil, lintah-lintah darat dan penipu yang rajin beragama; tanpa prihatin sedikit pun, apakah praktek 60 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 13 keagamaannya itu cocok atau tidak dengan kehendak Allah yang Maha Baik dan Maha Pengasih. Mereka agamawan, tetapi tidak atau bahkan jauh dari sikap religius otentik. Jika kita menelusuri jejak doktrin filsafat perenial di dalam berbagai tradisi agama dunia, kita akan menemukan ajaran tentang kejatuhan (the fall). Dalam tradisi Yahudi-Kristen misalnya, kejatuhan terjadi sesudah penciptaan. Kejatuhan ini secara ekslusif disebabkan karena penggunaan kehendak bebas secara egosentris, padahal kehendak bebas itu harus tetap terpusat pada dasar Ilahi, dan bukan pada kedirian (self hood) yang terpisah. Dengan kata lain kejatuhan ini merusak kesadaran atau pengetahuan manusia akan dasar imanen dan transenden segala sesuatu, termasuk hidup dan dirinya sendiri. Kesadaran atau pengetahuan ini hanya bisa diraih kembali melalui usaha kebajikan, terutama ketulusan, kerendahan hati dan kedermawanan.61 Dengan demikian, pertanyaan-pertanyaan di atas seperti apakah arti agama bila tidak mampu berperikemanusiaan? Atau apa arti agama tanpa religiositas, tanpa penuntun manusia ke arah segala makna yang baik? Haruslah menjadi pelajaran yang berarti terutama bagaimana upaya untuk menciptakan kehidupan yang humanis dengan suasana religius seperti. Religiositas kaum humanis yang tidak ingin mengikat diri pada suatu agama formal, namun berinti religius, percaya pada kebaikan abadi.62 Bahkan religiositas akan menjelma ruh atau nyawa dari konstruksi kebudayaan yang mengusung humanisme. 61 62 Emanuel Wora. Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme, h. 36 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 94 3. Humanisme dalam Sastra Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu. Pengarang mengubah karyanya selaku seorang masyarakat dan menyapa pembaca yang sama-sama dengan dia merupakan warga masyarakat tersebut. Dalam kisahnya tentang Gubug Paman Tom Harriet Beecher-Stow membuka mata masyarakat terhadap nasib budak belian di Amerika Serikat. Hal yang sama diperbuat Turgenyev di Rusia dengan Kisah-Kisah Pemburu. Multatuli dengan Max Havelaar-nya mempengaruhi diskusi mengenai sistem kolonial Belanda.63 Kecenderungan semacam ini didasarkan atas adanya suatu asumsi bahwa tata kemasyarakatan bersifat normatif; maksudnya mengandung unsur-unsur pengatur yang mau tak mau harus dipatuhi sehingga hubungan antar manusia ditentukan untuk paling sedikit dipengaruhi oleh tata kemasyarakatan tersebut. Dengan demikian, pandangan, sikap dan nilai-nilai termasuk kebutuhankebutuhan seseorang, termasuk pengarang, ditimba dari sumber tata kemasyarakatan yang ada dan berlaku. Dengan sendirinya, masyarakat merupakan faktor yang menentukan apa yang harus ditulis orang, bagaimana menulisnya, dan untuk siapa karya sastra ditulis, dan apa tujuan atau maksudnya.64 Hubungan antar manusia atau pun masyarakat yang tergambarkan dalam karya sastra, sangat mendorong perkembangan humanisme dalam sastra. Secara literal bidang kaji ini berarti suatu paham kemanusiaan dalam dunia 63 Jan Van Luxemburg dkk, Pengantar Ilmu Sastra, (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), Cet. Ke 2, h. 23 64 Ke 2, h. 70 Andre Hardjana, Kritik Sastra Sebuah Pengantar, (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), Cet. kesusasteraan. Manusia menjadi tema sentrum dalam karya sastra, selain perbincangan mengenai formalisme agama dan religiositas. Sejenak kita melihat ke belakang, tepatnya dalam tradisi sastra Islam dan Kristen (Barat) kita sering menjumpai perpaduan menarik antara sastra religiositas dan keagamaan formal dalam bingkai kemanusiaan. Pada tradisi sastra Islam, tema yang sering kali dimunculkan adalah perjuangan pengakuan kembali terhadap hak-hak wanita. Tema ini muncul karena di ranah Arab tradisi patriakal begitu menggejala, maka sering terjadi diskriminasi terhadap wanita. Cerita tentang seorang perempuan yang baru dinikahi oleh kepala suku Morra, Harit bin Auf menolak untuk 'disentuh' sebelum sang kepala suku menghentikan peperangan dan mengibarkan panji perdamaian, kiranya menarik untuk disimak. "….Datanglah malam. Maka Harit memerintahkan mengaso dan berkemah. Akan tetapi, ketika ingin mendekati isteri muda itu, ia ditolak. "Apa? Masksudmu ingin menggarapku seperti budak belaka, yang dibeli, atau seperti tawanan perang? Demi Allah, kau tidak akan memelukku sebelum kau menyambutku di tengah sukumu dan perkawinan kita rayakan dengan onta-onta dan domba-domba yang disembelih untuk santapan perayaan. Perayaan yang dihadiri oleh undangan-undangan semua suku Arab. Mereka kemudian tiba di suku Harit. Tamu-tamu diundang, onta-onta dan domba-domba disembelih dan mulai lah pesta. Maka mendekat lah Harit kepada isterinya, tetapi masih ditolaknya. "Bagaimana? Kau punya waktu untuk bercumbu-cumbuan dengan perempuan, padahal di luar semua orang Arab saling membunuh dalam dendam kesumat berdarah, dan menghancurkan kaum Dobyan dan Abs, suku ibuku! Lekaslah pergi keluar, rujukkan kembali suku-suku, dan baru lah pulang kepada isterimu, yang akan menunggumu penuh cinta!" Harit keluar ke suku-suku musuh yang sudah empat puluh tahun saling melabrak dalam darah dendam kesumat. Berkat pengorbanan diri yang besar Harit mengadakan perdamaian antara mereka. Ia menyuruh menghitung jumlah korban-korban yang gugur di kedua belah pihak; dan menjamin bahwa suku yang kehilangan prajurit gugur lebih dari suku yang alin, dia Harit, akan memberi imbalan kelebihan pertumpahan darah, berupa tiga ribu unta dalam tiga tahun berikutnya. Berkat kemuliaan budi dan kedermawanannya demi karya perdamaian itu Harit pulang ke sukunya, terpuji oleh segala pihak. Istrinya, Bahisa menerimanya dengan kedua tangan terbuka, dan melahirkan banyak putra dan putri." 65 Makna yang terkandung dalam cerita di atas begitu dalam. Si gadis Bahisa merupakan wanita yang paling cocok dengan hati orang-orang Beduin padang Pasir. Harit, tokoh pria dalam cerita itu adalah orang yang bijak dan mau berkorban untuk kepentingan sesama. Berikutnya, dalam dunia sastra Barat (alam Kristen), sastra yang langsung menyerang agama Kristen sudah mempunyai "tradisi" yang lama sekali. Sebenarnya yang diserang pertama-tama bukan isi agama Kristen itu, tetapi pejabat-pejabat Gereja, khususnya dari Gereja Katolik Roma yang sejak abadabad Byzantium Konstantinopel terlalu mengindentifikasi kepentingan agama dan Gereja dengan kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan. Seperti diceritakan dalam roman Albert Camus, Sampar (La Peste), yang menggambarkan betapa Tuhan tak berdaya (hanya diam saja) terhadap wabah penyakit yang meresahkan masyarakat. "…Situasi porak-poranda material spiritual suatu kota yang diserang wabah sampar. Hanya dua orang, dokter Rieux dan seorang pastor, Paneloux, yang dapat tabah dan mencoba menyelamatkan yang masih dapat diselamatkan dari kota, yang justru melampiaskan kebejatan pada saat-saat menghadapi maut. Kedua orang itu mencoba memperkuat iman dan keteguhan para warga kota, yang sudah busuk fisik dan mental itu.tetapi orang-orang yang sudah busuk tinggal menanti mati itu tetap seperti sedia kala, busuk. Dan di dalam malapetaka serba memuakkan itu Tuhan diam saja."66 Roman Camus ini menggambarkan situasi bangsa modern yang busuk dan serba serakah saling membunuh dan mengisap, juga masih tetap busuk pada saat sekian ribu bom nitrogen siap menghancurkan seluruh dunia. Hanya Rieux sang Dokter, sang tidak Dokter, yang tidak percaya pada akherat, masih mencoba untuk 65 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 68 66 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 87 mengatasi dan membuat hidup di dunia ini sedapat mungkin cukup baik untuk dihuni. Rieux adalah personifikasi resi dan begawan zaman ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Manusia cendekiawan humanis yang a-religius, yang kebanyakan masih percaya kepada Tuhan dan kewajiban hidup bermoral, tetapi yang sudah tidak lagi dapat merasakan hubungan batin dengan agama formal atau dunia mistik yang tidak dapat mereka ukur secara ilmiah.67 Jenis Dokter Rieux di masa kini semakin besar jumlahnya, dan di tanah air kita pun dapat menemukan tipe sarjana-sarjana dan kaum intelek humanis seperti Riuex itu; manusia-manusia budiman budiwati, yang tekun penuh pengorbanan menyumbang pertolongan dan pengembangan bangsanya, setia dan sepi pamrih; beragama hanya statis, bermoral cukup tinggi dan sukarelawan-sukarelawati dalam amal membangun dunia yang lebih baik. Orang-orang baik itu tidak anti Tuhan, tetapi formal beragama, namun praktis mereka a-religius, agnotikus. Agama mereka ilmu pengetahuan atau ideal politik, ekonomi, teknologi dan sebagainya. Mereka ibarat imam-imam rohis 'aam atau khatib-khatib baru gaya modern kontemporer, merasa diri relevan dan efisien, demi peri kemanusiaan. Peri kemanusiaan tanpa Tuhan. Sebab, meski Tuhan tidak mati, Tuhan hanya diam saja. Begitulah, baik dalam tradisi sastra Islam dan Kristen (Barat), keduanya memiliki bentuk pengakuan dan penghargaan terhadap kemanusiaan yang sangat tinggi. Terlebih didalamnya, tak pernah kurang terpancar nilai-nilai religiositas. Semua sastra yang baik selalu religius, seperti dibilang Romo Mangun.68 67 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 87-88 68 Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 11 4. Humanisme dalam Etika Seperti halnya dalam filsafat, cikal bakal humanisme dalam etika atau paham kemanusiaan pada ranah etika dimulai dari lahirnya pemikiran yang menekankan kelebihan utama manusia sebagai makhluk berakal budi. Socrates (470-399 s.M.) membangun pemikiran antroposentrisme secara tegas (setelah Protagoras) dalam mengenakan ukuran kebajikan (virtue) dan kebenaran terletak pada akal manusia.69 Aristoteles sendiri dalam Nichomachean Ethics (Etika Nichomacus) mengatakan bahwa yang-baik bagi setiap hal ialah mewujudkan secara penuh kemampuannya sebagai manusia.70 Cita-cita humanisme dalam etika berkembang pesat pada masa Stoa dengan tokoh-tokoh Seneca dan Marcus Aurelius. Stoa adalah etika filosofis pertama di dunia yang secara konsekuen mengakui dan meminati kesamaan derajat semua orang. Stoa mengajarkan bahwa terhadap siapa pun kita hendaknya bersikap baik hati. Perempuan berhak atas perlakuan sama dengan laki-laki (sesuatu yang sudah menjadi anggapan Plato), budak harus dihormati hak-haknya (sesuatu yang sama sekali baru), dan musuh berhak atas belas kasihan serta pengampunan. Etika Stoa bersifat kosmopolitis; ia mengatasi segala batasan dan merangkul seluruh umat manusia. Pada Stoa, kita untuk kali pertama dalam sejarah moralitas manusia menemukan kesadaran akan hak-hak asasi setiap 69 Robert C. Solomon dan Katheleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, terjemahan dari “A Short History of Philosophy” oleh Saut Pasaribu, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002), h. 95 70 Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, h. 357 sebagai manusia. Untuk pertama kalinya Stoa merumuskan negara sedunia dan persaudaraan universal.71 Secara bahasa, etika (Yunani: ethikos, ethos) berarti adat, kebiasaan, praktek.72 Pengertian lain dari etika adalah pengkajian sosial moralitas atau terhadap tindakan moral.73 Istilah "etika" oleh Aristoteles (385-322 s.M) sudah dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.74 Etika mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia.75 Selanjutnya, perkembangan humanisme dalam etika diteruskan oleh filsuf sosial, seorang psikoanalisis, Erich Fromm. Dalam buku Manusia Bagi Dirinya, Erich Fromm menunjukkan bahwa struktur watak (character) personalitas yang matang dan terpadu, karakter produktif, merupakan sumber dan basis dari "kebaikan" dan bahwa "sifat buruk", pada hakekatnya adalah pengabdian terhadap dirinya sendiri dan perusakan diri. Bukan penolakan diri atau bukan keadaan mementingkan diri sendiri, melainkan "cinta diri", bukan peniadaan terhadap individu, melainkan penegasan diri kemanusiaan yang sebenarnya, adalah nilainilai yang paling tinggi dari etika humanistis. Jika manusia harus mempunyai 71 Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Jaman Yunani Kuno Sampai Abad 19, (Jogjakarta: Kanisius, 2003), Cet. ke 7, h. 60 72 Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002), Cet. III, h. 217 73 Pius A. Purtanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Penerbit Arkola, 1994), h. 161 74 K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), Cet. Ke-6, h. 141 75 Franz Magins Suseno, Etika Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), Cet. Ke-7 h. 13 keyakinan terhadap nilai, maka ia harus mengetahui diri dan kapasitas dasarnya bagi kebaikan dan keproduktifan.76 Erich Fromm menyebut secara terbalik humanisme dalam etika, sebagai etika humanistik. Baginya, etika humanistik adalah antroporsentris; tentu saja bukan dalam pengertian bahwa manusia adalah pusat alam semesta melainkan dalam pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan nilai mengakar dalam kekhususan eksistensinya dan bermakna jika berhubungan dengannya; 'manusia sesungguhnya adalah ukuran semua benda.'77 Salah satu karakteristik sifat dasar manusia adalah bahwa manusia mendapatkan pemenuhan dan kebahagiaannya hanya dalam keterkaitan pada solidaritas sesamanya. Bagaimana pun, mencintai tetangga bukan lah sebuah fenomena yang lebih penting dari pada manusia; ia adalah sesuatu yang inheren dan memancar darinya. Cinta adalah bukan sebuah kekuatan yang lebih tinggi yang turun ke manusia, juga bukan sebuah kewajiban yang dipikulkan di atas pundaknya. Ia adalah kekuatannya sendiri yang dengannya dia menghubungkan diri pada dunia dan membuat benar-benar menjadi miliknya.78 Selanjutnya, Erich Fromm mengungkapkan jika etika merupakan kumpulan norma-norma untuk mencapai keunggulan dalam menampilkan seni hidup, maka prinsipnya yang paling umum harus diturunkan dari sifat dasar kehidupan pada umumnya dan dari sifat dasar eksistensi manusia pada khususnya. Dalam syarat-syaratnya yang paling umum, sifat dasar semua kehidupan harus 76 Erich Fromm, Manusia Bagi Dirinya; Suatu Telaah Psikologis-Filosofis Tentang Tingkah Laku Manusia Modern, diterjemahkan dari Man for Himself oleh Eno Syarifudien, (Jakarta: AKADEMIKA, 1988), Cet. I, h. 6 77 Erich Fromm, Manusia Bagi Dirinya, h. 13 78 Erich Fromm, Manusia Bagi Dirinya, h. 13 memelihara dan memperkokoh eksistensinya sendiri. Semua organisme mempunyai sebuah tendensi inhern untuk memelihara eksistensi mereka.79 Perkembangan humanisme dalam etika agaknya tidak akan 'surut', karena hubungan kemanusiaan dan konsep etis senantiasa seiring-sejalan. Jika manusia harus mempunyai keyakinan terhadap nilai, maka ia harus mengetahui diri dan kapasitas dasarnya bagi kebaikan. C. Hubungan Antara Humanisme dengan Filsafat, Religiositas, Sastra dan Etika Humanisme memiliki hubungan yang sangat erat dengan filsafat, karena bagaimana pun ranah filsafat adalah tempat persemaian tradisi humanisme. Dalam filsafat, humanisme berarti sebuah gerakan yang menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Begitu pun dalam religiositas, seperti dipaparkan sebelumnya, seorang yang berjiwa humanis (berperikemanusiaan) berarti nilai-nilai religiositas diamalkan mendalam. Humanisme pun memiliki hubungan yang kuat dengan sastra, karena dalam tradisi sastra Timur dan Barat, senantiasa tersembul nilai-nilai humanistik. Dalam ranah etika pun demikian, persoalan yang sering diungkap dalam etika adalah mempertanyakan tindakan manusia sebagai manusia. Hubungan di atas menggambarkan bahwa dalam tradisi mana pun humanisme dapat memiliki hubungan yang sangat erat dan tentu memiliki pengaruh yang kuat pula. Berikut kami lampirkan tabel hubungan antara humanisme dengan filsafat, religiositas, sastra dan etika. 79 Erich Fromm, Manusia Bagi Dirinya, h. 17 BAB IV HUMANISME UNIVERSAL KAHLIL GIBRAN Dalam bahasan BAB IV, yang merupakan inti dari skripsi ini, penulis akan menampilkan bait-puisi Kahlil Gibran yang menunjukkan kematangannya sebagai penganjur humanisme universal.80 Humanisme universal adalah cita-cita luhur Gibran, yang memiliki muatan imbauan universal bagi manusia dan kemanusiaan. Penulis merumuskan humanisme universal Kahlil Gibran ini ke dalam 3 (tiga) kerangka nilai yang dikembangkan dalam bait-puisi Gibran, meliputi pesan etik, nilai-nilai religiositas dan persaudaraan antar-sesama, antar-bangsa. Sejatinya, dari ketiga kerangka nilai ini, penulis ingin memperlihatkan bahwa Gibran sesungguhnya dibangkitkan mempertimbangkan kesadarannya sebagai betapa keberadaan umat bersama manusia antar perlu sesama, kebersamaan antar-manusia. A. Tiga Kerangka Nilai Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, bahwa penulis menggunakan metode analisis konten atau analisa terhadap isi karya Kahlil Gibran. Analisis konten adalah strategi untuk menangkap pesan karya sastra81. Berangkat dari pendekatan tersebut, kami merumuskan 3 (tiga) kerangka nilai yang terungkap 80 Perlu pembaca ketahui, Gibran sendiri tidak pernah menyebut bahwa dirinya adalah tokoh atau pun bagian dari humanisme universal. Sebutan humanisme universal digagas oleh Fuad Hassan dalam buku Menapak Jejak Khalil Gibran, sub tema Gibran sebagai penganjur Humanisme Universal. Lihat Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2001), h. 45-54 81 Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogjakarta: Pustaka Widyatama, 2004), Cet. Ke 2, h. 160 dalam karya-karya Gibran, diantaranya adalah pesan etik, nilai-nilai religiositas dan persaudaraan antar-sesama, antar-bangsa. Ketiga kerangka nilai ini adalah satu kesatuan, dan keseluruhannya menjadi bagian yang integral dalam memahami humanisme universal Kahlil Gibran. 1. Pesan Etik Kahlil Gibran Untuk masuk ke dalam bait-puisi Gibran yang memuat pesan etik, kami meminjam pendekatan etika perenial. Aldous Huxley menawarkan konsep etika perenial, yakni sebuah etika yang menempatkan tujuan akhir manusia pada pengetahuan akan dasar iman dan transenden dari segala sesuatu.82 Etika ini menekankan adanya proses transformasi diri yang mengantar pada pengetahuan akan suatu realitas Ilahi.83 Isi dari etika perenial seperti ditulis Lewis dalam The Abolition of Man adalah apa yang disebut sebagai Tao. Tao ini ialah sebuah sistem nilai yang merupakan gabungan berbagai imperatif moral dari berbagai tradisi, yang menggumpal dalam tiga kebajikan yakni: ketulusan, kerendahan hati dan kedermawanan.84 Ketiga kebajikan tersebut kami angkat dalam pesan etik Kahlil Gibran. 82 Aldous Huxley, Filsafat Perennial, terj. Ali Noer Zaman Qalam, 2001), Cet. I h. 10 (Yogyakarta: Penerbit 83 Emanuel Wora, Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 34 84 Emanuel Wora, Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme, h. 35 a. Kedermawanan Kedermawanan adalah akar dan substansi dari moralitas.85 Kedermawanan dimulai dengan tindakan kemauan dan dilaksanakan sebagai sebuah kesadaran spiritual yang murni, sebuah pengetahuan cinta unitif tentang esensi objeknya.86 Dalam kebajikan sosial (social virtue) universal, kedermawanan menempati ranking tertinggi di antara kebajikan-kebajikan lain. Berderma berarti melihat orang lain seperti diri sendiri. Kegiatan memberikan ataupun membagi apa yang menjadi miliknya, adalah bentuk perwujudan cinta-kasih dan memiliki makna sosial yang tinggi, terlebih bagi yang menerima derma. Namun, bagi penderma pun, kebahagiaan yang tak terkira, apabila dengan dorongan hati berupaya untuk mendapat orang yang benar-benar sangat membutuhkannya. Sampai-sampai Gibran menggambarkan bahwa kebahagiaan itu melebihi 'nilai' pemberiannya. "Dan bagi si pemurah, mencari apa yang akan menerima, Adalah bahagia, melebihi tindak pemberiannya."87 Paling tidak, ada dua kebahagiaan yang terpancar dalam diri sang pemberi. Pertama, kebahagiaan dalam pengertian sosial. Yaitu, rasa bahagia bagi si penderma yang sudah dapat meringankan beban hidup orang lain. Kedua, kebahagiaan dalam pengertian spiritual. Yakni, konsep berbagi untuk sesama atas kemauan diri-tidak ada paksaan dan tanpa pamrih- dan dilakukan semata-mata karena Ilahi. 85 Aldous Huxley, Filsafat Perennial, h. 140 86 Aldous Huxley, Filsafat Perennial, h. 130 87 Kahlil Gibran, Sang Nabi, terj. Sri Kusdyantinah, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002), Cet. Ke 12, h. 22 Gibran pun memberi saran agar tidak berlarut-larut dalam memberikan derma. Karenanya ketika memiliki 'sesuatu' yang lebih dan ada kesempatan untuk berderma, maka lakukanlah dengan segera. Adakah sesuatu yang masih kau sembunyikan? Sekali waktu segala yang kau punya akan terbagi jua, Karena itu berikanlah sekarang, selagi musim memberi belum lewat bagi mu, belum beralih tangan pada pewarismu.88 Gibran menganjurkan untuk tidak memilah-milah objek pemberian, karena memberi (berderma) adalah sebuah kebutuhan hakiki. Simak pesannya tentang ini: Seringkali engkau berkata, "Aku memberi, tetapi hanya pada mereka, yang patut menerimanya" Pohon-pohon di kebunmu tiada berkata demikian, begitu ternak di padang rerumputan Mereka memberi demi kelanjutan hidup sendiri, Sebab menahan pemberian berarti mati.89 Pesan ini begitu dalam maknanya. Gibran menyarankan agar menghilangkan klasifikasi (pengelompokan) terhadap orang-orang yang 'harus' diberi,90 terlebih hanya memberi kepada orang terdekat atau yang dikenal oleh mereka. Baginya, seluruh manusia adalah sama, tidak ada pembeda atasnya. Bahkan, seperti perumpamaan di atas, menahan pemberian berarti mati. Hal itu mengandung pengertian bahwa pemberian adalah sebuah kebutuhan naluriah dan 'wajib' dimiliki seluruh makhluk. 88 Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 21-22 89 Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 22 90 Dalam tradisi Hindu, kasta misalnya menjadi salah satu yang mengidentifikasi orangorang yang yang diwajibkan untuk memberi dan orang-orang yang harus menerima. Ksatria dan Vaisya dianjurkan untuk memberi, sedangkan kasta Barahmana diperintahkan untuk menerima. Lihat Leona Anderson "Kontekstualisasi Filantropi di Asia Selatan", dalam Filantropi di Berbagai Tradisi di Dunia, editor Amelia Fauzia dan Dick Van Derm Meij, (Jakarta: CSRC, 2006), Cet. I hal 70-71 Selain sebagai sebuah kebutuhan, berderma merupakan perwujudan keadilan dan kasih sayang antar sesama. Bila hal ini tidak dipelihara, maka akan terjerumus dalam 'lubang' keserakahan. Seperti ditutur berikut ini. "Di dalam pertukaran hasil kekayaan bumi lah, Maka manusia mendapatkan pangan yang melimpah ruah, Dan di situlah dia memperoleh kepuasan Namun pabila pertukaran hasil bumi tak berdasarkan kasih sayang, Serta tak dijiwai oleh semangat keadilan yang paramarta, Maka dia akan menggelincirkan sebagian umat kepada keserakahan "91 . Semangat keadilan yang terus menerus dipupuk Gibran adalah upaya untuk menghindari sikap tamak dan serakah. Karena bagaimana pun, dampak sosialnya begitu besar, akan ada jurang si kaya-si miskin. Alih-alihnya seperti ditulis Gibran: "Dan sebahagian lagi akan menderita kelaparan" 92 Hal ini bukan perkara mudah, karena sudah menyangkut kemanusiaan. Apalagi, nyawa manusia yang harus menjadi persoalan taruhan keserakahannya. Si korban (kaum papa) tidak hanya akan menderita kelaparan, tapi lebih tragis, dia akan mati kelaparan karena 'buah' dari sikap serakah manusia. Maka, untuk keluar dari persoalan ini, Gibran memberi pemahaman 'etis' kepada segenap umat manusia bahwa kedermawanan adalah bentuk amaliah yang mulia. Proses kesadaran diri untuk memelihara semangat kedermawanan ini merupakan tanggung jawab bersama. Terlebih, untuk terus saling mengingatkan bahwa memberi dan menerima, lagi-lagi adalah sebuah kebutuhan. Buah pohon tak mungkin berkata pada akarnya: "Jadilah seperti aku, yang masak dan ranum ini, Senantisa memberikan kelimpahan hasilnya." Sebab bagi sang buah, memberi adalah kebutuhannya, 91 Kahlil Gibran, Sang Nabi, hal 39 92 Kahlil Gibran, Sang Nabi, hal 39 Sedang bagi sang akar, menerima adalah kebutuhannya.93 b. Ketulusan Ketulusan adalah kemampuan untuk mengetahui benda-benda dalam apa yang disebut dalam buddhisme sebagai keadaan pada dirinya, yakni kondisi di mana mereka berada secara aktual, objektif, dan akurat.94 Karena bersifat tanpa pamrih (tulus), pastilah ia bersifat universal.95 Selain sebagai sebuah kebutuhan, berderma bagi Gibran harus dibarengi dengan ketulusan. Ketulusan lahir dari dari dorongan pengertian diri, yang terejawantahkan dalam bentuk aktus memberi, bahkan tanpa diminta. Seperti ditutur Gibran dalam syair berikut ini. "Sungguh utama untuk memberi bila diminta, Namun lebih utama lagi adalah memberi tanpa diminta, Karena dorongan pengertian."96 Gibran menaruh apresiasi kepada penderma yang secara ekonomi tidak lah berkecukupan, namun karena dorongan untuk memberi sangat kuat, maka penderma itu adalah orang-orang yang meyakini akan kehidupan dan anugerah kehidupan. "Adapula yang memiliki sedikit dan memberikan segalanya Merekalah yang percaya akan kehidupan dan anugerah kehidupan Dan peti mereka tiada mengalami kekosongan Ada yang memberi dengan kegirangan di hati, Kegirangan lah yang menjadi anugerah pengganti Ada yang memberi dengan kepedihan di hati, Maka kepedihan menjadi penyucian diri"97 93 Kahlil Gibran, Sang Nabi, h.72 94 Emanuel Wora, Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme, h. 35 95 Aldous Huxley, Filsafat Perennial, h. 127 96 Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 21 97 Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 21 Tentu saja akan berkesan lebih dalam, jikalau 'sesuatu' yang diberikan itu tanpa adanya tendensi apa pun. Terlebih, adanya rasa enggan dari si penderma untuk mengingat-ingat apa yang sudah diberikan. Sebuah wujud pemberian tanpa pamrih. Terkait hal ini, Gibran memberi perumpamaan, bagaikan bunga yang menyebar wewangian di lembah nun jauh di sana. Dan ada yang memberi tanpa rasa sakit didalamnya, Tanpa mencari kegirangan dari pemberiannya, Tanpa mengingat-ingat pemberiannya "Mereka memberi, sebagaimana di lembah sana, Bunga-bunga menyebarkan wewangiannya ke udara Melalui mereka ini lah, Tuhan berbicara, Dan dari sinar lembut tatapan mata mereka Dia tersenyum kepada dunia."98 Gibran menambahkan: “Bila kau memberi dari hartamu, tiada banyaklah pemberian itu Bila kau memberi dari dirimu, itulah pemberian yang penuh arti”99 Ketulusan sendiri selalu dibenturkan dengan sifat pamrih. Bagi orang yang memiliki sifat pamrih, segala sesuatu yang ia lakukan haruslah selalu menuai untung atau mendapat imbalan. Biasanya imbalan yang ingin didapat adalah ketenaran. Selalu merasa bangga bila menderma dan ingin diketahui khalayak umum. Terhadap persoalan ini, Gibran dengan lantang menegaskan bahwa pemberian orang tersebut sudah tidak murni lagi dermanya (tidak tulus). "Ada orang yang memberi sedikit dari miliknya yang banyak Dan pemberian itu dilakukan demi ketenaran, Hasrat tersembunyi membuat tak murni dermanya."100 98 Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 21 99 Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 20 100 Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 21 Sekali lagi, Gibran amat membenci segala pekerjaan yang "dibumbui" sifat pamrih dan rasa enggan, karena bagi Gibran pekerjaan yang dilakukan akan sia-sia dan tidak optimal. Simak syair Gibran tentang ini. "…Dan jika kau tiada sanggup bekerja dengan cinta, hanya dengan enggan, Maka lebih baiklah jika engkau meninggalkannya…", Dan walau kau bernyanyi dengan suara bidadari, Namun hatimu tidak menyukainya, Maka tertutuplah telinga manusia dari segala Bunyi-bunyian siang dan suara malam hari.101 Dari gambaran diatas, Gibran ingin menegaskan bahwa segala pekerjaan (termasuk berderma) harus didasari oleh ketulusan atau ke-tanpa-pamrihan dan dilandasi dengan cinta. c. Kerendahan hati Dalam etika perenial, kerendahan hati merupakan suatu kondisi yang diperlukan bagi bentuk cinta yang tertinggi, dan bentuk cinta yang tertinggi memungkinkan pelaksanaan kerendahan hati melalui peniadaan diri secara total.102 Pada prinsipnya, kerendahan hati dapat dirumuskan sebagai kemampuan menerima dan menilai diri sesuai dengan kebenaran atau kenyataan yang sesungguhnya, yang tidak lebih dan tidak kurang.103 Gibran menyarankan agar setiap manusia bersikap rendah hati terhadap sesama, sekali pun ia telah menabur 'benih' kebajikan. Perhatikan tulisan Gibran tentang ini. "Berusahalah dahulu hingga kau pantas jadi pemberi, 101 Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 29 102 Aldous Huxley, Filsafat Perennial, h. 135 103 Dr. Al. Purwa Hadiwardaya, MSF, Nilai-Nilai Etis dan Kekuasaan Utopis, (Jogjakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1992), Cet. I, h. 83 Dan sebuah alat untuk membagi Sebab sesungguhnya, kehidupanlah yang memberi pada kehidupan" 23 Kerendahan hati adalah kapasitas untuk membuat jarak antara diri seseorang dengan urusan pribadinya, menjauhkan ego sehingga ia dapat melihat secara objektif dan akurat.104 Gibran mewanti-wanti agar si pemberi tidak terjebak pada ego-personal dan si penerima tidak lah merasa utang budi secara berlebihan, karena ini dapat merusak kebajikan yang telah diperbuat. Gibran dengan tegas menulis. "Sedangkan kau, yang mengira dirimu seorang pemberi, Sebetulnya hanyalah seorang saksi Dan kau, kaum penerima- ya engkau semuanya tergolong kaum penerima! Jangan memberati diri dengan rasa utang budi, Sebab kau akan membebani dirimu dan dan dia yang memberi…" 105 Walaupun jauh dari kesombongan hati, kerendahan hati itu memuat juga kebesaran hati, yakni hati yang penuh syukur menerima diri sendiri apa adanya dan sekaligus masih ingin untuk maju lebih jauh lagi.106 Berikut catatan Gibran. Pabila kau sedang bergembira, mengacalah dalam-dalam ke lubuk hati, Disanalah nanti engkau dapati, bahwa hanya yang pernah membuat derita, Berkemampuan memberimu bahagia. pabila engkau berduka cita, mengacalah lagi ke lubuk hati, disanalah pula kau bakal menemui, bahwa sesungguhnyalah engkau sedang menangisi, sesuatu yang pernah engkau syukuri107 Tak syak, disinilah keindahan dari sikap rendah hati, ia tidak pernah terbawa pada ego-personal yang hanya mementingkan pribadi, tapi sebaliknya, ia 104 Emanuel Wora, Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme, h. 35 105 Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 23 106 Dr. Al. Purwa Hadiwardaya, MSF, Nilai-Nilai Etis dan Kekuasaan Utopis, h. 83 107 Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 30-31 berusaha senantiasa mendatangkan kebaikan bagi orang lain. Juga, selalu bersyukur atas nikmat yang didapatnya. Dalam analisis konten atau analisa terhadap isi dari karya Gibran di atas, tersingkap pesan etis yang berisi tiga konsep kebajikan, yakni kedermawanan, ketulusan dan kerendahan hati. Terlihat secara jelas dalam bait-puisinya, bagaimana Gibran memberi pemahaman etis yang teraktualisasi dalam bentuk solidaritas antar sesama; sebuah perwujudan sosial antar manusia. 2. Nilai-Nilai Religiositas Kahlil Gibran Salah satu daya tarik filsafat Gibranian yang dirasakan oleh pembacanya adalah penekanannya yang mendalam terhadap spiritualitas (religiositas). Gibran dianggap sebagai Sang Nabi oleh para pengikutnya, karena dalam abad keduapuluh yang teknokratis ini ajaran-ajarannya masih memainkan peran sosial efektif dalam mengajarkan nilai-nilai religiositas, sebagaimana yang dilakukan oleh para nabi pada masa mereka. Nilai religiositas yang diungkap Gibran biasanya merupakan pertanyaan sekaligus jawaban atas berbagai persoalan keagamaan, moral maupun sosialkemanusiaan. Simak khotbah 'almustafa' dalam karya utamanya, Sang Nabi, Gibran membahas persoalan keagamaan. "Bukankah agama sebenarnya meliputi, Segenap gagasan dan tindak manusiawi? Bahkan juga meliputi yang bukan gagasan maupun tindakan…"108 108 Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 86 Bagi Gibran, agama tidak hanya menjamah kehidupan ide dan aksi manusia, namun juga meliputi segenap 'relung' kehidupan manusia. Dan keduanya (ide-aksi) tidak jalan sendiri-sendiri. Harus selaras dan serasa. Gibran mewanti-wanti agar ritual keagamaan (ibadah) tidak laksanakan setengah hati, ibarat jendela yang dibuka-tutup sesaat. "Manusia yang menganggap ibadah sekadar jendela, Yang kadang ditutup, hanya terkadang dibuka, Agaknya belum mengunjungi rumah jiwanya, Yang terbuka selalu sepanjang hari, sepanjang masa."109 Begitu pula Gibran menyarankan agar berusaha melihat kehidupan sebagai rumah ibadah yang sekaligus memuat ritual ibadah. Maka selami lah 'keindahannya' dengan segenap jiwa-raga. Simak pesan manis tentang ini. "Kehidupanmu sehari-hari adalah rumah ibadah, dan ibadah pula Masukilah kehidupan itu dengan seluruh pribadi".110 Selanjutnya pada bagian lain, Gibran memberikan pemahaman tentang do'a. Saran Gibran, seseorang memohon pertolongan pada Tuhan tidak hanya pada saat mendapat kesulitan, namun pada waktu mendapat kesuksesan pun, alangkah baiknya memanjatkan puja-puji pada-Nya, sebagai bentuk syukur atas kelimpahan-Nya. Dalam syair yang cukup panjang Gibran mengingatkan hal ini. Kalian berdo'a disaat kesulitan dan membutuhkan; Alangkah baiknya kalian pun berdoa di puncak kegirangan Dan di hari-hari rezekimu sedang berlimpahan Karena, apalah doa itu selain pengembangan dirimu dalam ether yang hidup? Dan bila kau dapat merasa nyaman, bila sempat mencurahkan, Kegelapan hatimu keharibaan ruang angkasa, Maka kau pun dapat merasa nyaman, jika dapat memancarkan, Fajar merekah di hatimu ke cakrawarti raya.111 109 Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 87 110 Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 87 111 Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 75 Dalam Suara Sang Guru, Gibran dengan bijak menjelaskan kearifan (Wisdom). "Seorang arif adalah dia yang mencintai dan mengagungkan Tuhan. Kebaikan manusia ada pada pengetahuan dan perbuatan, dan bukan pada warna kulit, ras atau keturunan."112 Pesan di atas mengandung makna bahwa nilai baik seseorang tidak diukur dari warna kulit, ras ataupun keturunan. Tapi ukurannya adalah pengetahuan yang ia peroleh dan perbuatan yang dikerjakannya. Keduanya adalah anugerah dari Tuhan. Maka, tambah Gibran, biarkan pelita itu tetap menyala, dan jangan sampai padam. "Tuhan telah menganugerahkan kecerdasan dan pengetahuan kepadamu. Janganlah kamu padamkan pelita cinta itu dan jangan biarkan lilin kearifan mati dalam kegelapan nafsu dan kesalahan. Karena orang yang bijak mendekati manusia dengan obornya untuk menerangi jalan umat manusia."113 Pandangan Gibran yang sangat religius itu memang terbentuk sejak masa kecilnya. Ibunya anak seorang pendeta terkemuka gereja Maronit. Namun kiranya yang cukup dominan, nilai religiositas ini Gibran peroleh selama masa sekolahnya di Madrasah Al-Hikmah, di mana Gibran diwajibkan dua kali dalam sehari mengikuti acara di gereja, dan tentu saja sangat berpengaruh terhadap kentalnya orientasi religius Gibran.114 Setiap mengikuti acara keagamaan itu, sikap kritis tak pernah luput dari Gibran. Seolah-olah berkata pada dirinya sendiri, Gibran sering kali 112 Kahlil Gibran, Trilogi Hikmah Abadi; Sang Nabi, Taman Sang Nabi, Suara Sang Guru, terj. Adil Abdillah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), Cet. I, h. 249 113 Kahlil Gibran, Trilogi Hikmah Abadi, h. 250 114 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 39 mempertanyakan apa esensi dari kegiatan tersebut. Berikut petikan penuturan Mikhail Naimy, sahabat karib dan penulis biografi Gibran tentang hal ini. "Surely you have prayed enough to last you to the end of your days, and hence forth you shall not enter the church as a worshipper; for the Jesus you love so dearly is not found in churches. Many are the places of worship, but few indeed are thoe who worship in spirit and in truth."(Naimy, 43) "Sembahyangmu pasti sudah cukup hingga mencakup hari akhirmu, maka selanjutnya kau tak perlu lagi masuk gereja sebagai pemuja; karena Jesus yang sangat kau cintai tidak terdapat dalam gereja-gereja. Memang banyak tempat peribadatan, tapi sesungguhnya sedikit saja orang yang beribadah dengan semangat dan kebenaran."115 Bagi Gibran, ritual keagamaan tidak lah harus diformalkan (melalui kebaktian gereja), melainkan cukup dilakukan di luar sana, karena Jesus tidak terdapat dalam gereja.116 Atau dalam bahasa lain, religiositas tidak lah hanya berkutat pada masalah ketuhanan yang digariskan agama formal. Religiositas lebih mengarah pada kesadaran ketuhanan yang termanifestasikan dalam nilainilai dan asas kemanusiaan.117 Puncaknya, Gibran melancarkan kritik pedas tehadap dominasi gereja. Di Paris, saat usianya baru delapan belas tahun, Gibran melahirkan karyanya yang sangat mengejutkan masyarakat Lebanon, khususnya kalangan penguasa serta gereja dan pendetanya, yaitu Spirit Rebellious (Jiwa atau Roh Pemberontak). Sebagaimana terpantul dari tiga cerita yang diriwayatkan dalam buku ini, Gibran bukan saja menyerang tatanan hukum yang sangat tidak adil dan menyerang keras kesewenangan para penguasa, melainkan juga melancarkan kecaman pedas 115 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 66-67 116 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 67 117 Ditulis oleh Mashuri dalam "Menggagas Sastra Religius yang Berkualitas". Artikel ini diakses dari http://islamlib.com/id/index pada 27 Januari 2007 terhadap gereja.118 Berikut kami kutipkan gejolak pemberontakan Gibran terhadap pemuka gereja dalam cerita 'Khalil si Klenik'. "Untuk apa kalian menghabiskan hari-hari di sini dan menikmati derma kaum miskin, sedang roti yang kalian makan dibuat dengan keringat tubuh dan air mata hati mereka? Mengapa kalian hidup dalam bayangan parasitisme, seraya memisahkan diri dari mereka yang mendambakan pengetahuan? Mengapa tidak kalian berikan bantuan untuk negeri ini? Jesus telah mengutus kalian sebagai anak-anak domba di antara serigala; lantas apa yang menjadikan kalian ibarat serigala diantara domba-domba? "119 Selanjutnya, dengan nada tinggi namun tetap santun, Gibran memperingatkan bahwa apa yang selalu ditonjolkan para pemuka Gereja sebagai sebuah kelebihan dan bentuk kemuliaan, bagi Gibran tidak memiliki arti apa-apa. Air mata rakyat adalah lebih indah dan diberkati Allah dari pada kenyamanan serta kedamaian terhadap mana kalian membiasakan diri di tempat ini. Simpati yang menyentuh hati sesama adalah lebih tinggi dari pada kebajikan tersembunyi di pojok-pojok biara yang tidak kelihatan. Kata belas kasih kepada penjahat yang lemah atau pelacur adalah lebih mulia dari pada doa-doa panjang yang kita ulangi dengan kosong setiap harinya di bait.120 Merasa tersinggung dengan cerita dalam karya tersebut, para penguasa Lebanon memerintahkan agar buku Spirit Rebellious dibakar dengan disaksikan oleh keramaian umum. Bersama itu para penguasa memutuskan untuk mengasingkannya dari Lebanon serentak dengan keputusan hukuman eskomunikasi dari gereja maronit.121 Kiranya suatu anggapan yang amat keliru untuk menyebut Gibran sebagai atheis semata-mata karena dirinya terkena hukuman eskomunikasi dari gerejanya 118 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 40 119 Kahlil Gibran, Roh Pemberontak, diterjemahkan dari "Spirit Rebellious", terj. Arvin Saputra, (Batam: Classic Press, 2003), h. 74 120 Kahlil Gibran, Roh Pemberontak, h. 76 121 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 66 dan beberapa karyanya dimusnahkan di muka umum. Sebuah anggapan yang keliru ketika sikap anti-pendetaisme Gibran merupakan ekspresi ketidakberagamaannya. Pada dasarnya, jujur saja, Gibran adalah seorang yang sangat religius. Dia hanya keberatan atas pola “penggunaan” agama oleh pejabat gereja. Dia beranggapan bahwa agama yang berada di tangan agen-kependetaan menjadi sesuatu untuk “digunakan” namun bukan untuk “dihidupkan”.122 Bisa dilihat kembali bagaimana pantulan sikap keberagamaan Gibran dalam cerita 'Khalil si Klenik'. "Aku percaya pada Allah yang mendengarkan seruan jiwa kalian yang menderita, dan aku percaya kepada kitab yang menjadikan kita semua saudara di hadapan sorga. Aku percaya kepada ajaran-ajaran yang menjadikan kita semua sama,dan yang menjadikan kita tidak dipaku di bumi ini, tempat berpijak kaki Allah yang hati-hati."123 Gibran terkesan mengibaratkan dirinya sebagai penjelmaan mikro-theos dalam pelukan makro-theos yang penuh cinta. Dalam hubungan ini Gibran tampaknya dipengaruhi oleh pantheisme kaum sufi yang menganggap kehadiran Tuhan di mana saja. Kehadiran Tuhan terungkap melalui segala makhluknya, termasuk manusia. Di bawah pengaruh sufisme ini Gibran tampaknya tidak terbelenggu pada dogma keagamaan.124 "Religion? What is it? I khow only life. Life means the field, the vineyard, the loom…The Church is within you. You yourself are your priest." (Young, 38) Agama? Apa itu? Aku hanya tahu kehidupan. Kehidupan berarti ladang, kebun anggur, alat tenun....Gereja ada dalam dirimu sendiri. Kau adalah pendeta bagi dirimu sendiri.125 122 Kahlil Gibran, God of Lost Soul, diterjemahkan menjadi Tuhan bagi Jiwa yang Hilang, oleh AS. Mangoenprasodjo, Endah Dwi Pratiwi, (Jogjakarta: Tarawang Press, 2002), Cet. I, h. viii 123 Kahlil Gibran, Roh Pemberontak, h. 105-106 124 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 66 125 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 66 Pandangan demikian itu pula yang menyebabkan Gibran meninggalkan gereja, karena menurut pendapatnya Tuhan tidak berada di gereja melainkan berada dalam diri kita masing-masing. Betapa pun pandangan Gibran mengenai agamanya, namun satu hal yang tidak dapat disangkal, yaitu bahwa Gibran adalah seorang yang menghayati kehadiran Tuhan secara intensif; seorang homo religious sejati. Dalam sajaknya berjudul “Nyanyian Seorang Lelaki”, Gibran memberi kesan penghayatan keagamaan begitu mendalam. “Aku dengar pengajaran Konghuchu, Aku dengar hikmat Brahmana, Aku duduk di samping Sang Budha di bawah pohon pengetahuan, Tetapi inilah Aku, ada dengan ketidaktahuan dan takhayul; Aku pernah berada di sini ketika Yahwe mendekati Musa, kesuksesan mukjizat-mukjizat orang Nazaret itu di Jordan, Aku pernah di Madina ketika Muhammad hijrah, tetapi ini lah aku, tawanan kebingungan126 Simak pula sebuah ungkapan tulus Gibran tentang Yang Abadi, Tuhan. "Sebuah hati yang meliputi segenap hati kalian, suatu cinta yang mencakup seluruh cinta kalian, suatu jiwa yang merangkum segenap jiwa kalian, suatu suara yang meliputi semua suara kalian, dan suatu keheningan yang lebih dalam dari semua keheningan, yang abadi."127 Wujud penghayatan akan kehadiran Tuhan direfleksikan dengan bentuk kecintaan Gibran pada sesama manusia. Menurutnya, manusia adalah putera Roh Kudus, maka dari itu semuanya adalah saudara. Berikut ungkapan manis Gibran tentang ini. "Engkau adalah saudaraku karena engkau adalah manusia dan kita adalah sama-sama putra Roh Kudus, dijadikan dari tanah yang sama. Engkau berada disini sebagai temanku di sepanjang jalan kehidupan dan penolongku 126 Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, terjemahan dari “The Treasured Writings of Kahlil Gibran” oleh Anton Kurnia, (Bandung: Penerbit Diwan, 2002), h. 98 127 Kahlil Gibran, Tetralogi Masterpiece: Sang Nabi, Sayap-Sayap Patah, Suara Sang Guru, Taman Sang Nabi, Terj. AS. Mangoenprasodjo, (Jogjakarta, Tarawang Press, 2001), Cet. III, h. 347 dalam memahami makna Kebenaran yang tersembunyi. Engkau manusia dan fakta itu sudah cukup agar aku mengasihimu sebagai saudaraku."128 Kemudian, Gibran menggenapinya dengan menjelaskan hubungan antara manusia dan Tuhan melalui kekuatan cinta. “Kau dan aku, semuanya adalah anak-anak iman yang sama, karena berbagai jalan agama yang beragam adalah jari-jari tangan cinta dari Wujud Agung yang satu juga, tangan yang merengkuh semuanya, mengulurkan kesempurnaan hati kepada semuanya, dan dengan penuh cinta menerima semuanya…”129 Konsepsi Gibran mengenai persaudaraan antar sesama yang dilandasi oleh pengetahuan tentang Tuhan ini, dipertegas lagi oleh Gibran dengan mengatakan bahwa semua umat beragama adalah bersaudara di hadapan Tuhan. Semua agama sama sebagai jalan menuju Tuhan yang sama pula. "Engkau adalah saudaraku, dan aku mencintai kau yang memuja di gerejamu, kau yang berlutut di kuilmu, dan kau yang bersujud di masjidmu. Kita semua adalah anak-anak dari agama yang tunggal, sebagai jalan agama yang beragam hanyalah jari-jari tangan pengasih dari Yang Maha Tinggi, yang diulurkan pada semua orang, menawarkan keutuhan jiwa pada semua orang dengan harapan akan menerima semua orang..”130 Kutipan bait-puisi Gibran di atas, semakin mengukuhkan Gibran sebagai seorang humanis religius yang ingin menyampaikan imbauan bagi manusia secara universal. 3. Persaudaraan antar-sesama, antar-bangsa; tanpa sekat, tanpa batas Kerangka nilai terakhir yang menjadi perwujudan humanisme universal Kahlil Gibran, dapat terlihat dari usaha Gibran dalam mengungkap konsepsinya 128 Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, h. 136-137 129 Kahlil Gibran, Cinta, Keindahan dan Kesunyian, h. 260 130 Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, h. 138 tentang persaudaraan antar-sesama, antar-bangsa; tanpa dibatasi suku, agama dan ras; tanpa ada jarak ataupun dikotomi Barat-Timur; tidak ada kekerasan ataupun penjajahan; benar-benar merdeka, penuh dengan cinta-kasih. Dalam pengutaraan tentang dirinya, Gibran kentara sekali meyakini kemanusiaan sebagai penjelmaan tunggal. Manusia dimana-mana sama. Manusia dan sesamanya adalah salah satu ummat.131 Maka kemanusiaan adalah satu.132 Wujud kesatuan ini tak lain karena terbuat dari satu unsur yang sama. "Manusia terbuat dari unsur yang sama, tidak ada yang berbeda kecuali penampilan lahiriah, yang sebenarnya tidak punya arti apa-apa."133 Namun di balik ke-satu-an unsur itu, manusia sering kali merentang jarak antara satu dengan yang lain. Bagi Gibran, terbentangnya jarak antara sesama manusia adalah hasil ciptaan benak manusia sendiri. "Benar kah aku memisahkan diri dari kalian? Tidak kah kau ketahui, jarak itu nyata, kecuali yang direntang oleh khayalan rasa? Dan bila pun jarak direntang oleh rasa, dia menjelma jadi irama dalam jiwa."134 Terlebih, jikalau terbentang jarak dengan orang paling dekat (tetangga). Gibran menyebut rentang jarak antar mereka laksana terhalang tujuh benua dan tujuh lautan. "Jarak yang terbentang antaramu dan tetangga dekat, yang tidak dipupuk perasaan bersahabat, memang lebih dari yang terpancang, antaramu dan para tersayang, walau tujuh benua dan tujuh laut menghalang."135 131 Ummat adalah suatu masyarakat dimana sejumlah individu yang mempunyai keyakinan dan tujuan yang sama menghimpun diri secara harmonis dengan maksud untuk bergerak maju ke arah tujuan bersama, (Ali Syari’ati, on The Sociology Islam, terj. Saifullah Mahyadi, Jogjakarta: Amanda, 1992), Cet. I, hal 159 132 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 52 133 Kahlil Gibran, Elegi Sang Penyair ,(Yogyakarta: Penerbit Cupid, 2003), Cet. I, h. 32 134 Kahlil Gibran, Tetralogi Masterpiece, h. 334 Gambaran di atas terlihat bahwa jarak yang terjadi dalam hubungan antara sesama manusia sebenarnya disebabkan oleh berbagai kerangka praduga yang mengakibatkan kita tidak siap untuk menerima sesama manusia dalam kesejatian kehadirannya. Adanya prasangka, curiga, dengki, irihati dan berbagai praduga lainnya menyebabkan manusia tidak lagi polos menghadapi sesamanya. Gibran melihat peperangan di masa lalu pun, tidak lepas karena adanya praduga itu. "Lewat kejahatan mereka kami dipecah-belah; dan untuk mempertahankan takhta mereka serta hidup nyaman, mereka dipersenjatai bangsa Druze untuk melawan bangsa Arab, dan mengusik bangsa Shiite untuk menyerang bangsa Sunnite, dan mendorong bangsa Kurdi untuk membantai bangsa Bedouin, dan menghasut pengikut Nabi Muhammad untuk bertikai dengan pengikut Kristus. Sampai kapankah saudara saling membunuh saudaranya sendiri di dada ibunya? Sampai kapankah Salib dipisahkan dari Sabit di hadapan mata Allah? Ya, Kemerdekaan, dengarlah kami, dan berbicaralah atas nama satu orang saja, sebab api yang besar dimulai dari persik yang kecil."136 Kecenderungan manusia untuk membingkai sesamanya menimbulkan jarak dalam hubungan antar-manusia dan antar-masyarakat maupun antar-bangsa. Bingkai-bingkai keturunan, kesukuan, kebangsaan, keagamaan, kedudukan sosial, dan lain sebagainya seringkali menentukan persepsi dan apresiasi manusia terhadap sesamanya. Gibran tidak dapat membenarkan pemilahan umat manusia dalam dikotomi penjuru Timur-Barat. Secara lugas, Gibran mengingatkan hal ini. "...Tidak, saudaraku, Barat tidaklah lebih tinggi daripada Timur, juga Barat tidak lebih rendah dari Timur, dan perbedaan antara keduanya tidaklah lebih besar dari pada perbedaan antara harimau dan singa..."137 Gibran tidak setuju dengan ungkapan Mark Twain yang terkenal, yaitu “East is east and west is west, and never the twain shall meet”.138 Pandangan 135 136 137 Kahlil Gibran, Tetralogi Masterpiece, h. 334 Kahlil Gibran, Roh Pemberontak, h. 132 Kahlil Gibran, Elegi Sang Penyair, Cet. I, h. 32 demikian itu jelas tidak patut dipilih sebagai pedoman pergaulan antar-manusia. Dikotomi Timur-Barat itulah yang lama sekali menjadi sumber sengketa dalam pergauln antar-bangsa. Satu pihak merasa superior terhadap pihak lainnya; celakanya, yang direndahkan mau pula menerima citra keunggulan pihak yang menganggap dirinya inferior. Simak paparan Gibran tentang ini. "Keegoisan, saudaraku, adalah penyebab superioritas buta dan superioritas menciptakan kesukuan, lalu kesukuan menciptakan kekuasaan yang menuntun ketidakselarasan serta penaklukan."139 Dengan menaruh iba, Gibran mengatakan: "Kasihan bangsa yang terpecah-pecah, dan masing-masing pecahan menganggapnya sebagai bangsa."140 Keadilan, menurut Gibran, kiranya dapat menjadi asas untuk menjembatani setiap perbedaan yang ada. "Ada hukum yang adil dan sempurna dibalik masyarakat lahiriah tersebut, yang menyamaratakan penderitaan, kesejahteraan, dan kebodohan; ia tidak melebihkan suatu bangsa di atas yang lainnya, juga tidak menindas satu suku dan memakmurkan yang lainnya."141 Dalam memperjuangkan hak dan martabat manusia, Gibran terutama tergugah oleh berbagai bentuk penindasan dan kekejaman manusia terhadap manusia sesamanya. Dia tidak tahan menyaksikan penderitaan manusia yang 138 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 48 139 Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, h. 139 140 Ahmad Norma (ed.), Kahlil Gibran, Cinta, Keindahan dan Kesunyian, (Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997), cet I, h. 185 141 Kahlil Gibran, Elegi Sang Penyair, h. 32 diakibatkan oleh tindakan manusia lain.142 Gibran bertanya-tanya, mengapa masih saja manusia saling berperang untuk saling menaklukkan? Terhadap kekuatan asing yang menjajah negerinya Gibran berkata: "Engkau adalah saudaraku, tetapi mengapa kah engkau bertengkar denganku? Mengapakah engkau menyerbu negaraku dan berusaha menaklukan aku demi menyenangkan mereka yang mencari kemuliaan dan kekuasaan? Mengapakah engkau tinggalkan isteri dan anak-anakmu dan mengikuti Maut ke negeri yang jauh demi mereka yang membeli kemuliaan dengan darahmu dan kehormatan dengan air mata Ibumu? Apakah suatu kehormatan, kalau seseorang membunuh saudaranya sendiri? Kalau engkau menganggapnya kehormatan, biarlah itu menjadi ibadah, dan dirikanlah sebuah kuil bagi Qabil yang membunuh adiknya, Habil." 143 Begitu pun sebaliknya, Gibran amat membenci ketika negaranya sendiri harus menyerang negara lain, apa pun motifnya, karena akan menambah kesengsaraan bagi mereka. "Aku rindu akan negeriku yang indah dan mencintai bangsanya karena kesengsaraan mereka. Tetapi kalau bangsaku bangkit, terdorong oleh apa yang mereka sebut "semangat patriotik" untuk membunuh dan menyerbu tetangga, mereka atas setiap kejahatan kemanusiaan aku akan membenci bangsaku dan negaraku."144 Dengan suara lantang Gibran mengumandangkan pekik kemerdekaan. "Dengarlah kami ya Kemerdekaan; Kasihanilah, ya Puteri Athena; Selamatkanlah kami, ya Suster Roma; Nasihatilah kami, ya Sahabat Musa; Tolonglah kami, ya Muhammad Terkasih; Ajarilah kami, ya Mempelai Yesus; Kuatkanlah hati kami agar kami boleh hidup, Atau bereskanlah musuh-musuh kami 142 Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 47 143 Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, h. 139 144 Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, h. 134 Agar kami boleh binasa dan hidup dalam damai selamanya."145 Universalisme Gibran tidak terbelah-belah dalam penjuru angin, tidak juga dalam perbedaan agama, atau batas-batas negara mau pun sekat-sekat antarbudaya. Pergaulan antar manusia adalah pergaulan antar sesama, terlepas dari penjuru asal-usulnya, ranah budayanya maupun ajaran agamanya. Renungkan arti pernyataan Gibran tentang ini. "Manusia dibagi menjadi berbagai suku, menjadi milik negara dan kota-kota namun kutemukan diriku bagi semua komunitas tanpa tempat menetap. Alam semesta adalah negara ku dan keluargaku manusia adalah suku ku.146 Gibran tidak menyanggah kenyataan bahwa umat manusia terdiri atas berbagai suku-bangsa. Namun ini tidak berarti harus dilakukannya pemisahan yang bersifat diskriminatif antar manusia, karena sebenarnya perbedaan suku atau ras justru akan memperkaya masyarakat.147 Hubungan antar manusia dilukiskan Gibran sebagai pilihan antara hidup dalam keterasingan atau hidup dalam saling keterjalinan. Perhatikan apa yang dituangkan dalam salah satu tulisannya, sebagai berikut. “Sahabatku, kau dan aku akan tetap asing terhadap kehidupan, dan antara satu dan lainnya, dan masing-masing dengan dirinya, hingga pada suatu ketika kau mau berbicara dan aku mau mendengarkan, menganggap suaramu suaraku sendiri: dan ketika aku berdiri di hadapanmu membayangkan diriku berdiri di hadapan cermin.”148 145 Kahlil Gibran, Roh Pemberontak, h. 133 146 Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, h. 133 147 Dr. Al. Purwa Hadiwardaya, MSF, Moral dan Masalahnya, (Jogjakarta: Kanisius, 1990), Cet. I, h. 85 148 Fuad Hassan, Menapak Jejak Kahlil Gibran, h. 152 Jelaslah bahwa universalisme Gibran adalah pandangan universalis paripurna, tanpa pemisah dan tanpa pemilah dalam pergaulan manusia dan antarbangsa. Semangat yang menyertai pandangan ini sesuai dengan firman Allah yang termuat dalam al-Qur’an (Qs. Al-Hujarat/49:13): ”Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal…”.149 Begitulah, kata ‘saling kenal-mengenal’ kiranya memuat penugasan, yaitu agar manusia sanggup melakukan transendensi-diri melampaui perbedaan asal kesukuan dan kebangsaannya, dan bersamanya itu juga ranah budayanya.150 Konsep persaudaraan antar sesama, antar bangsa yang dikembangkan Gibran membuatnya semakin disegani dan diakui oleh khalayak, bahwa sesungguhnya dalam pesan-pesan persaudaraan Gibran tersembul nilai-nilai universalitas, tanpa sekat dan tanpa batas. B. Humanisme Universal Gibran: Sebuah Cita-Cita Tiga kerangka nilai yang disebutkan di atas, yakni pesan etik, nilai-nilai religusitas dan persaudaraan antar-sesama, antar-bangsa, adalah sesuatu yang berkaitan dan saling menunjang antara satu dan lainnya. Dari ketiga kerangka ini Gibran menjelma menjadi seorang yang humanis yang sarat dengan imbauan 149 150 Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1994) Fuad Hassan, dalam makalah "Catatan Pengantar Tentang Gibran Sebagai Penganjur Humanisme Universal", diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina, pada tanggal 20 April 2001 di Regent Hotel Jakarta, h. 7 universal, yang bagi penulis, merupakan cita-cita luhur dari seorang Kahlil Gibran, penganjur humanisme universal. Pesan etik Gibran yang berisi kedermawanan, ketulusan dan kerendahan hati memberi pemahaman etis yang teraktualisasi dalam bentuk solidaritas antar sesama; sebuah wujud kepedulian sosial antar manusia. Dengan melakukan serangkaian kegiatan filantropi (bahasa Yunani, Philos berarti Cinta, anthropos: manusia, kemanusiaan) di atas, tentunya akan semakin merekatkan persaudaraan antar sesama, dan tentunya semakin terbuka 'jalan' menuju Realitas Ilahi. Kemudian, nilai religoisitas Gibran merupakan refleksi dari wujud penghayatan akan kehadiran Tuhan sebagai bentuk kecintaan pada sesama manusia. Simak sekali lagi penuturan Gibran tentang ini. "Engkau adalah saudaraku karena engkau adalah manusia dan kita adalah sama-sama putra Roh Kudus, dijadikan dari tanah yang sama. Engkau berada disini sebagai temanku di sepanjang jalan kehidupan dan penolongku dalam memahami makna Kebenaran yang tersembunyi. Engkau manusia dan fakta itu sudah cukup agar aku mengasihimu sebagai saudaraku."151 Sesungguhnya, persaudaraan sejati adalah bahwa adanya sebuah rasa persamaan sebagai seorang manusia yang satu, dan dicipta dari Tuhan yang sama pula. Tanpa ada batas kesukuan, agama dan ras; tanpa ada jarak atau pun dikotomi Barat-Timur; tidak ada kekerasan ataupun penjajahan; benar-benar merdeka, penuh dengan cinta-kasih. Imbauan Gibran tersebut bermakna universal, bukan hanya di tempat ini, tempat itu, tetapi di seluruh alam semesta. Bagi Gibran, seperti telah dikutip di muka, seluruh manusia adalah saudara dan karenanya manusia adalah satu. Maka tak salah kiranya, bagi penulis, imbauan-imbauan universal Gibran yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan, 151 Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, h. 136-137 semakin mentasbihkan Gibran sebagai seorang penganjur humanisme universal. Sebuah cita-cita luhur yang patut ditiru oleh manusia sejagad. Sebagai penutup, humanisme sebagai sebuah cita-cita tinggi dan mengandung nilai-nilai universal menempatkan keadilan terhadap manusia sebagai bagian dari makhluk hidup. Adanya keadilan akan hak dan kewajibannya memposisikan manusia sebagai jiwa yang selayaknya bebas, sederajat dan bertanggung jawab atas dirinya sendiri. adanya keadilan hak dan kewajiban ini juga akan memposisikan manusia sebagai jiwa merdeka dari belenggu. C. Tinjauan Kritis Dan Relevansi Karya Terhadap Kehidupan Dewasa Ini Ada beberapa hal, dari karya atau pun sosok Gibran di atas, yang kami kira patut untuk diberikan catatan penting. Pertama, ketika Gibran mengedepankan sikap (tindakan) religus sebagai sesuatu yang terpisah dari agama formal, sebagai bentuk kekecewaan terhadap dominasi Gereja dan terlebih pada tingkah laku pendetanya, penulis melihat pemahaman akan makna keagamaan Gibran begitu kering. Bagaimana pun, menurut kami, agama adalah sebuah jembatan untuk mengenal Tuhannya. Betul bahwa Gibran begitu kecewa terhadap Gereja, tapi tidak harus dengan meninggalkan gereja, melainkan dengan serta merta membangun semangat 'kebersamaan' di lembaga keagamaan tersebut. Semangat yang selalu hadir dalam bait-puisinya. Ketika Gibran banyak mengungkap keuniversalan manusia, seharusnya Gibran pun mengangkat makna universal dalam agama. Kedua, Gibran bukanlah orang yang berjibaku dalam kehidupan Lebanon, karena Gibran sendiri sudah meninggalkan tanah kelahirannya sedari kecil, sekalipun 2-3 tahun pernah sekolah di sana. Maka, kami kira pandangan Gibran terhadap tanah airnya terlampau subjektif. Gibran bukan pelaku melainkan hanya sekedar pengamat. Gibran hanya sebatas menulis puisi, titik. Artinya, tidak ada kesepahaman antara gerak langkah dengan kata. Misalnya, ketika Gibran mengumandangkan pekik kemerdekaan, Gibran hanya dapat melakukan itu di negeri nun jauh di sana. Ketiga, apa yang Gibran wariskan, baru sebatas wacana, yang masih berada "di langit" atau masih ”me-menara gading” belum membumi. Misalnya, ketika Gibran menolak dikotomi Timur-Barat, Gibran tidak 'menjembatani' persoalan tersebut pada satu ruang khusus semacam diskusi roundtable. Padahal sebagai seorang yang memiliki pengaruh untuk mempersatukan dua 'kutub' yang berlawanan, seharusnya Gibran mampu untuk mempertemukan keduanya dan membahas sekaligus menyelesaikan persoalan tersebut sampai tuntas. Sekalipun Gibran memiliki kekurangan terutama dalam keselarasan gerak langkah dengan kata, namun Gibran adalah Gibran. Seorang seniman yang memiliki kesan universal begitu dalam. Tentu, banyak hal penting dan bermakna terkait hubungan (relevansi) dengan kehidupan dewasa ini. Pertama, karya Gibran tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai keuniversalan. Dalam pesan etik yang memuat kedermawanan, ketulusan dan kerendahan hati, selayaknya menjadi contoh baik, bahwa manusia harus mengembangkan budaya ini, guna memupuk solidaritas antar sesama, yang sudah banyak dilupakan. Di tengah krisis ekonomi yang sudah 10 tahun lebih melanda republik persada, nilai-nilai etis tidak hanya diwacanakan, tapi menjadi cerminan bagi semua, untuk bangkit dari keterpurukan. Kedua, konsep persaudaraan antar sesama tanpa sekat tanpa batas yang diwariskan Gibran, harus menjadi pelajaran berharga bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagaimana pun, bangsa ini telah kehilangan ruh pemersatu, seakan semua terkotak-kotak oleh kepentingan ras, suku, agama bahkan partai. Maka, untuk lepas dari persoalan ini, tak lain kita harus merekatkan jalinan persaudaraan dan menghilangkan bingkai yang merentang jarak. Kita adalah sama. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Membaca dan menganalisa isi dari karya Gibran, orang dengan mudah akan sampai pada kesimpulan bahwa dia adalah representasi dari sosok serentak tampil sebagai homo ethicus, homo religious. homo socius dan homo aestheticus. Konfigurasi itu pula yang menjadikannya sebagai sastrawan dan filsuf yang sangat peka dan tanggap terhadap nilai-nilai kemasyarakatan dan kemanusiaan, keindahan, kesusilaan serta ketuhanan. Gibran mengutarakan pandangannya dengan jelas dan konsisten mengenai nilai-nilai yang menjadi acuannya dalam menanggapi berbagai masalah manusia dan kemanusiaan. Bagi Gibran, manusia dimana-mana sama. Manusia dan sesamanya adalah salah satu ummat. Maka kemanusiaan adalah satu. Terbentangnya jarak antara sesama manusia adalah hasil ciptaan benak manusia sendiri. Gibran tidak bisa membenarkan pemilahan umat manusia dalam dikotomi penjuru Timur Barat Gibran mengukuhkan sebagai seorang humanis religius yang ingin menyampaikan imbauan bagi manusia secara universal. Gibran pun menunjukan betapa umat manusia perlu dibangkitkan kesadarannya sebagai keberadaan bersama antar sesama, kebersamaan antar-manusia. Karenanya, akan terlihat kematangan Gibran sebagai penganjur humanisme universal. Sampai di sini kita belum juga tuntas menguras khazanah Gibran; Gibran terlalu kaya untuk dikemas dalam tulisan singkat ini. Maka skripsi ini tidak lebih dari sekedar pembangkit minat untuk berkenalan lebih lanjut dengan Gibran sebagai perasa dan pemikir; Gibran sebagai warisan kehidupan yang fana dan kini menyepi di alam baka dalam sebuah gua di Mar Sarkis B. Saran Sebagai sastrawan dan filsuf yang sangat peka dan tanggap terhadap nilainilai kemasyarakatan dan kemanusiaan, keindahan, kesusilaan serta ketuhanan, Gibran terlihat begitu sempurna. Sosok seperti Gibran mungkin tiada duanya, terutama ketika Gibran mengungkap kemanusiaan universal. Namun, kami melihat keseluruhan Gibran bukan tanpa celah kekurangan, baik dalam karya atau pun pada sosok Gibran sendiri. Pandangan Gibran terhadap persoalan yang melanda Lebanon di masa itu misalnya, tak lebih dari pandangan seorang kritikus dan tentu tidak bisa lepas dari unsur subjektivitas. Harus diingat bahwa Gibran bukan seorang yang bergulat secara langsung dalam kehidupan Lebanon. Gibran melihat alam kehidupan Lebanon dari jauh dan penuh dengan gejolak perasaan, sebagai seorang perasa. Maka, untuk lepas dari pandangan subjektif, sebaiknya sastrawan atau filsuf sekali pun, paling tidak harus turut berkecimpung menyelami dunia yang ada. Selamilah dalamnya puisi (karya sastra) dengan kehidupan dan menyelami kehidupan dengan puisi (karya sastra). Tentu hal ini bukan perkara mudah, seperti hal nya penulis, namun untuk mendapatkan sesuatu yang maksimal dan jauh dari kesan subjektif, kenapa tidak dicoba? Menurut kami, keseriusan dalam pengkajian dan penelaahan sebuah karya sastra, dengan sendirinya akan tersembul nilai-nilai yang utuh. DAFTAR PUSTAKA Abbagnano, Nicola. “Humanisme”, dalam The Encyclopedia of Philosophy, vol. 3, New York: Macmillan Publishers, 1967 Anderson, Leona. "Kontekstualisasi Filantropi di Asia Selatan", dalam Filantropi di Berbagai Tradisi di Dunia, Amelia Fauzia dan Dick Van Derm Meij (ed.), Jakarta: CSRC, 2006, Cet. I Ali, Muhammad. Paradigma Beragama Humanis, Kompas 18 Januari 2002 Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2002, cet. III Bertens, K. Etika, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, Cet. Ke-6 Budiman, Arif. Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1976, Cet. I Bushuri, Suheil dan Jenkins, Joe. Kahlil Gibran, Manusia dan Penyair, terj. Jakarta: Grasindo, 2000 Departemen Agama RI, Al-Quran Karim Encyclopedia Britania 2003 Ultimate Reference Suite CD Room, Inggris, 2003 Endaswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra, Yogjakarta: Pustaka Widyatama, 2004, Cet. Ke 2 Faiz, Fahrudin. Filosofi Cinta Kahlil Gibran, Yogyakarta: CV. Qalam, 2004 Gibran, Kahlil. Elegi Sang Penyair, Yogyakarta: Penerbit Cupid, 2003, Cet. I ____________.God of Lost Soul, diterjemahkan menjadi Tuhan bagi Jiwa yang Hilang, oleh AS. Mangoenprasodjo, Endah Dwi Pratiwi, (Jogjakarta: Tarawang Press, 2002, Cet. I ____________. Nyanyian Cinta, terjemahan dari “The Treasured Writings of Kahlil Gibran ” oleh Anton Kurnia, Bandung: Penerbit Diwan, 2002 ____________.Roh Pemberontak, diterjemahkan dari "Spirit Rebellious", terj. Arvin Saputra, Batam: Classic Press, 2003 ____________.Sang Nabi, diterjemahkan dari The Prophet oleh Sri Kusdiyantinah, Jakarta: Pustaka Jaya, 2002, Cet. ke xv ____________. Surat-Surat Cinta Kepada May Ziadah, diterjemahkan dari Blue Flame: the Love Letters of Khalil Gibran to May Ziadah, terj. Sugiarta Sriwibawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1997, Cet. V _____________.Tetralogi Masterpiece; Sang Nabi, Sayap-Sayap Patah, Suara Sang Guru, Taman Sang Nabi, Jogjakarta: Tarawang Press, 2001, Cet. II ____________.Trilogi Hikmah Abadi; Sang Nabi, Taman Sang Nabi, Suara Sang Guru, terj. Adil Abdillah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, Cet. I Hassan, Fuad. Berkenalan Dengan Eksistensialisme, Jakarta: Pustaka Jaya, 2005, Cet. ke-9 ___________. Menapak Jejak Kahlil Gibran , Jakarta: Pustaka Jaya, 2000, Cet. Ke-2 ___________. Makalah "Catatan Pengantar Tentang Gibran Sebagai Penganjur Humanisme Universal", diselenggarakan Paramadina, pada tanggal 20 April 2001 oleh Yayasan Wakaf Hadiwardaya,. Al. Purwa, Dr, MSF. Nilai-Nilai Etis dan Kekuasaan Utopis, Jogjakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1992, Cet. I _____________________________. Moral dan Masalahnya, Jogjakarta: Kanisius, 1990, Cet. I Hardjana, Andre. Kritik Sastra Sebuah Pengantar, Jakarta: PT. Gramedia, 1983, Cet. Ke 2 Hidya Tjaya, Thomas. Kierkegaard Dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, Jakarta: KPG, 2004 Huxley, Aldous. Filsafat Perennial, terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2001, Cet. I Lamont, Carlis. The Philosophy of Humanism, London: Routledge, 1978 Magnis Suseno, Franz. 13 Tokoh Etika Sejak Jaman Yunani Kuno Sampai Abad 19, Jogjakarta: Kanisius, 2003, Cet. ke 7 ____________________. Etika Politik, Jakarta: Pt. Grameia Pustaka Utama, Cet. Ke-7 ____________________. "Manusia dan Kemanusiaan dalam Persepektif Agama", dalam Masa Depan Kemanusiaan, Jogjakarta: Penerbit Jendela, 2003 Mangunwijaya, Y. B. Sastra dan Religiositas, Yogyakarta: Kanisius, 1994, Cet. III Mashuri dalam "Menggagas Sastra Religius yang Berkualitas". Artikel ini diakses dari http://islamlib.com/id/index pada 27 Januari 2007 Norma, Ahmad (ed.). Kahlil Gibran: Cinta, Keindahan dan Kesunyian, Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997, cet I O. Kattsoff Louis. Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Seomargono, Jogjakarta: Tiara Wacana, 2004, Cet. IX Purtanto, Pius A. dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit Arkola, 1994 Petrus L. Tjahjadi, Simon. Sejarah Filsafat Barat Modern, Jakarta: STF Drijarkara, 1998 Puranto, Hendra. Pemikiran Jean-Paul Sartre dalam Existensialism and Humanism, http://filsafatkita.f2g.net/str7.html. Data diakses 24 Januari 2007 Solomon, Robeth C. dan Katheleen M. Higgins. Sejarah Filsafat, terjemahan dari “A Short Hostory of Philoshopy” oleh Saut Pasaribu, Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002 Syari’ati, Ali. On The Sociology Islam, terj. Saifullah Mahyadi, Jogjakarta: Amanda, 1992, Cet. I Van Luxemburg, Jan dkk. Pengantar Ilmu Sastra, Jakarta: PT. Gramedia, 1986, Cet. Ke 2 Walbridge, John dan Beshara, Adel. Hidup dan Karya Gibran, Terj. Yogyakarta: Nirwana, 2003, Cet. I Wasrun Munawir, Ahmad. Al-Munawwir, Yogyakarta: KP Al-Munawwir, 1984 Wora, Emanuel. Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisius, 2006 http://id.wikipedia.org/wiki/Universal