humanisme universal kahlil gibran jurusan aqidah filsafat fakultas

advertisement
HUMANISME UNIVERSAL KAHLIL GIBRAN
SKRIPSI
Oleh
ASEP ROHMATULLAH
NIM: 101033121736
JURUSAN AQIDAH FILSAFAT
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1428 H/2007 M
LEMBAR PENGESAHAN MUNAQASAH
Skripsi yang berjudul "Humanisme Universal Kahlil Gibran" telah diujikan
dalam Sidang Munaqasah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 31 Mei 2007, skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Strata 1 (S1) pada Fakultas
Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Aqidah Filsafat.
Jakarta, 31 Mei 2007
Sidang Munasaqah
Ketua Merangkap Anggota
Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Agus Darmaji, M. Fil.
NIP. 150 262 447
Drs. Ramlan Abdul Gani, MA.
NIP. 150 254 185
Penguji I
Penguji II
Drs. Fakhrudin, MA.
NIP. 150 231 347
Drs. Syamsuri, MA
NIP. 150 240 089
Pembimbing
Dr. Fariz Fari, M. Fil.
NIP. 150 254 627
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Untaian puja-puji perlambang rasa syukur penulis panjatkan kehadirat
Ilahi Rabbi', Tuhan keseluruhan alam, karena berkat rahmat, hidayah serta inayahNya, penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tepat pada waktunya.
Shalawat teriring salam, senantiasa tercurah kepada pembawa risalah kenabian,
Sang Nabi akhir zaman, Muhammad SAW, seorang pribadi yang humanis, penuh
dengan pekerti yang luhur, serta sabda-sabda yang memiliki muatan universal.
Skripsi yang berada di tangan pembaca berjudul Humanisme Universal
Kahlil Gibran, kami menyusunnya sebagai syarat untuk memenuhi gelar sarjana
pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jurusan Aqidah
Filsafat.
Selanjutnya, dalam penulisan skripsi ini, tentu banyak kendala yang harus
dihadapi, terutama terkait dengan pengkajian pustaka, karenanya penulis
menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Namun
demikian, dengan bimbingan Yang Kuasa dan juga bimbingan serta bantuan baik
moril dan materil dari berbagai pihak, penulis menghaturkan banyak terima kasih.
Dengan kerendahan hati, izinkan penulis menyampaikan ucapan terima kasih
setulus-tulusnya kepada:
1. Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Bapak Dr. H. Amin Nurdin,
MA., beserta jajarannya, yang telah mengizinkan penulis untuk membahas
dan meneliti skripsi ini.
2. Ketua Jurusan Aqidah Filsafat, Drs. Agus Darmaji, M. Fil dan Sekretaris
Jurusan AF, Bapak Drs. Ramlan Abdul Gani, MA. yang telah
mempermudah dalam pengurusan akademik.
3. Ucapan terima kasih kami haturkan kepada Bapak Dr. Fariz Pari, M. Fil.,
selaku pembimbing skripsi, yang dengan 'setia' dan tak kenal lelah
memberikan arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa membalas-Nya, Amien.
4. Segenap
Dosen
Fakultas
Ushuluddin
dan
Filsafat
yang
telah
menyumbangkan 'ilmu' nya selama penulis menempuh pendidikan di
jurusan ini. Khususnya kepada Bapak Fakhrudin dan Bapak Syamsuri,
terima kasih atas bimbingannya
5. Pimpinan Perpustakaan UIN dan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, yang telah meminjamkan buku-buku dan tentu sangatlah berguna
dalam penelaahan skripsi ini. Ucapan terima kasih pula kami haturkan
kepada Asep Sopyan Corner, Hudri Corner, Sohib Corner, Muslim
Corner, Nabil Corner yang telah banyak meminjamkan koleksi
buku/novel Gibran.
6. Rasa terima kasih dan takdzim kami haturkan kepada Bapa' M. Sobari dan
Ema Babay Suharsih atas untaian do'a restu diberikan dengan tulus kepada
penulis. Tanpa motivasi dan do'a Ema-Bapa', sulit rasanya penulis
menyelesaikan studi ini. Mudah-mudahan niatan untuk ziarah ke Tanah
Suci tahun ini dapat terlaksana, Amien. Kepada Ende Hj. Nurnas,
Mamang/Bibi terima kasih atas do'anya. Kemudian, kaka'/teteh kami, Ka
Ence dan Teh Iroh, Teh Eyi dan Ka Khotib, Teh Nia dan A' Agus, Teh
Nunung, dan Adik-adik kami tercinta, "Yayang" Wulan Siti Maryam serta
"si cerdas" Adi Imam Taufik, yang kekuatan cinta dan sayang tetap terasa,
walau hanya bersua di Hari Fitri.
7. Secara khusus ucapan terima kasih kami haturkan kepada kokolot HMB
Jakarta, Pak Amin Suma, Mang Embay sareung Teh Ita, Kanda dr. Yandra
Doni yang telah memberi arahan dan motivasi sejak kami menginjakkan
kaki di Ciputat. Hatur nuhun oge ka Mamang sareung Teteh HMB Jakarta
sadayana, atas do’a dan bimbingannya selama ini.
8. Rasa terima kasih patut kami sampaikan kepada sahabat kami, Kang Lili
Nahriri, yang telah memberi tempat dan seluruh fasilitasnya, guna
menunjang penyelesaian skripsi ini. Semoga dapat secepatnya merampung
studi S2 nya, Amien.
9. Rekan-rekan kami di "Padepokan Ilmu Semanggi II No.20" yang
tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) Jakarta, Opan
Ketum, Elban, Mansur Jr, Endang, Alay doc, Fahmi tea, Kang Iji, Aldo
tea, Eko Kily, Iip Syahid, Mulyadi, Iin "ikhin" dan Muslim yang telah
setia antar-jemput pada saat bimbingan ke Bogor, serta seluruh anggota
HMB Jakarta. Semoga kita tetap Hangat Mesra dan Bahagia (HMB).
10. Wabil khusus untuk kawan abadi kami wa Kamal Mutamam, wa
Mutoharul Jannan serta Uus Badruzaman, hapunten abdi ti payun lulus na.
11. Segenap pengurus Banten Institute for Social Transformation (BaIST)
Serang, tempat di mana penulis sekarang belajar mencari "arti kehidupan",
Ka' Yandi, Ka' Icang, Kang Mimin, Kang Budi, wa Herdomz, wa Ubed,
Aip, Nana, Andri dan Teh Fafa, terima kasih atas saran dan bantuannya.
12. Kawan-kawan eks Pengurus HMB Jakarta periode 2004-2005, HIMATA
Jakarta Raya, BEM Aqidah Filsafat, HMI KOMFUF dan HMI Cabang
Ciputat serta PARMA UIN Jakarta. Saatnya kita berpaling ke "dunia lain".
13. Teman-teman AF angkatan 2001, semoga kesuksesan senantiasa bersama
kita.
14. To One Unnamed someday shall be named is dedicated together with this
little work the whole production of the outhor from the very beginning
(YE).
Serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga
Tuhan Yang Maha Kuasa membalas segala kebaikan. Akhirnya penulis hanya
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca umumnya dan
bagi penulis khususnya.
Ciputat, 22 Mei 2007
Asep Rohmatullah
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
...................................................................................................................................
i
DAFTAR ISI
...................................................................................................................................
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
4
D. Metode Penelitian
5
E. Tinjauan Pustaka
6
F. Sistematika Penyusunan
8
BAB II BIOGRAFI KAHLIL GIBRAN
A. Kahlil
Gibran:
Tunas
Cedar
dari
Lebanon
10
B. Karya-karya
20
Kahlil
Gibran
BAB III HUMANISME
A. Pengertian
Humanisme
dan
Universal
23
B. Perkembangan
Seputar
Humanisme
25
1. Humanisme
dalam
Filsafat
26
2. Humanisme
dalam
Religiositas
31
3. Humanisme
dalam
Sastra
dalam
Etika
37
4. Humanisme
41
C. Hubungan Antara Humanisme dengan Filsafat, Religiositas, Sastra dan
Etika
.................................................................................................................
44
BAB IV HUMANISME UNIVERSAL KAHLIL GIBRAN
A. Tiga
Kerangka
Nilai
46
1. Pesan
47
Etik
Kahlil
Gibran
a. Kedermawanan
48
b. Ketulusan
51
c. Kerendahan
Hati
53
2. Nilai-Nilai
Religiositas
Kahlil
Gibran
...........................................................................................................
55
3. Persaudaraan Antar-Sesama, Antar-Bangsa; Tanpa Sekat, Tanpa
Batas
...........................................................................................................
62
B. Humanisme
Universal
Kahlil
Gibran:
Sebuah
Cita-Cita
68
C. Tinjauan Kritis serta Relevansi karya terhadap kehidupan dewasa ini
69
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
72
B. Saran
73
DAFTAR
PUSTAKA
...................................................................................................................................
75
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di antara nama penyair dan pemikir menjelang akhir abad ini terukir nama
Gibran Kahlil Gibran (1883-1931), seorang putera Lebanon yang sejak usia muda
sudah menulis dan melukis. Karya Gibran dapat dinikmati dan dihayati oleh
pembaca dari berbagai kalangan di semua negara.
Gibran berkembang dalam rentangan dua kutub ranah budaya, Timur dan
Barat. Dalam rentangan itu terbentuk lah pribadinya yang merupakan ramuan
antara kedua ranah budaya tersebut. Sebagai seorang yang sejak kecil hidup dalam
lingkungan masyarakat yang multi-religius, Gibran tidak mengalami kesulitan
untuk memahami berbagai pandangan hidup, dan pada gilirannya sangat
menunjang perluasan wawasannya terhadap peri kehidupan manusia pada
umumnya.
Dalam bait puisi Gibran banyak sekali ungkapan-ungkapan yang sarat
dengan imbauan universal, terutama pada persoalan manusia dan kemanusiaan.
Gibran memandang kemanusiaan sebagai penjelmaan tunggal. Manusia dimanamana sama. Manusia dan sesamanya adalah salah satu ummat, tidak ada
perbedaan atasnya. Simak penuturan Gibran tentang ini.
"Manusia terbuat dari unsur yang sama, tidak ada yang berbeda kecuali
penampilan lahiriah, yang sebenarnya tidak punya arti apa-apa."1
1
Kahlil Gibran, Elegi Sang Penyair, (Yogyakarta: Penerbit Cupid, 2003), Cet. I, h. 32
Pandangan Gibran mengenai kemanusiaan tersebut, membawa kita pada
konsepsi Gibran tentang persaudaraan antar sesama yang dilandasi oleh
pengetahuan tentang Tuhan. Gibran mengatakan bahwa semua umat beragama
adalah bersaudara di hadapan Tuhan.
"Engkau adalah saudaraku, dan aku mencintai kau yang memuja di
gerejamu, kau yang berlutut di kuilmu, dan kau yang bersujud di masjidmu.
Kita semua adalah anak-anak dari agama yang tunggal, sebagai jalan agama
yang beragam hanyalah jari-jari tangan pengasih dari Yang Maha Tinggi,
yang diulurkan pada semua orang, menawarkan keutuhan jiwa pada semua
orang dengan harapan akan menerima semua orang”2
Tertarik dengan konsepsi Gibran tentang persoalan kemanusiaan yang
dibungkus nilai-nilai religiositas di atas, penulis melakukan penelusuran terhadap
rekam-jejak Gibran yang ditulis oleh Prof. Fuad Hassan yakni Menapak Jejak
Kahlil Gibran. Dalam buku tersebut, terdapat sub-bab yang mengangkat Gibran
sebagai penganjur humanisme universal. Prof. Fuad Hassan menyebut bahwa
humanisme universal yang dikembangkan Kahlil Gibran adalah konsep
persaudaraan antar sesama. Menurutnya, pandangan ini merupakan sebuah konsep
mapan untuk melihat kemanusiaan universal, sebagai sesuatu yang paripurna.3
Namun, cukup disayangkan tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang makna
keuniversalan manusia dan terkesan seperti sebuah 'project' yang belum selesai.
Paling tidak, hal itu cukup dimengerti karena banyaknya bahasan yang diungkap
dalam buku tersebut.
Sejatinya, pada penulisan skripsi ini kami melakukan penelitian dengan
menggunakan analisa isi (analisis konten)4 terhadap karya Kahlil Gibran. Hal ini
2
Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, diterjemahkan dari The Treasured Writings of Kahlil
Gibran, terj. Anton Kurnia ,h. 138
3
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2001), h. 45
tidak terlepas karena karya-karya Kahlil Gibran secara jelas menyingkap pesan
atau pun nilai yang mengandung makna universal terhadap manusia dan
kemanusiaan.
Berangkat dari analisis konten tersebut kami merumuskan 3 (tiga)
kerangka nilai sebagai sebuah pendekatan ilmiah untuk masuk ke dalam
humanisme universal. Tiga kerangka nilai yang dimaksud adalah pesan etik, nilainilai religiositas dan persaudaraan antar-sesama, antar-bangsa. Ketiganya saling
berhubungan satu sama lain, dan seterusnya akan terlihat Gibran sebagai seorang
pribadi humanis5 yang memiliki kematangan sebagai seorang penganjur
humanisme universal. Sekaligus akan terungkap Gibran sebagai seorang
sastrawan dan filsuf yang sangat peka dan tanggap terhadap nilai-nilai
kemasyarakatan dan kemanusiaan, keindahan, kesusilaan serta ketuhanan.
Keseluruhannya adalah bagian integral dari penulisan skripsi berjudul:
"HUMANISME UNIVERSAL KAHLIL GIBRAN".
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
4
Analisis konten dalam bidang sastra tergolong upaya pemahaman karya dari aspek
ekstrinsik. Aspek-aspek yang melingkupi di luar estetika struktur sastra tersebut, dibedah, dihayati
dan dibahas mendalam. Unsur ekstrinsik sastra yang menarik perhatian analisis konten cukup
banyak, antara lain meliputi: (1) pesan moral/etika, (b) nilai pendidikan (didaktis), (3) nilai
filosofis, (4) nilai religius, (5) nilai kesejarahan, dan sebagainya. Suwardi Endaswara, Metodologi
Penelitian Sastra, (Yogjakarta: Pustaka Widyatama, 2004), Cet. Ke 2, h. 160
5
Ciri-ciri pribadi yang humanis menurut Franz Magnis Suseno, yaitu 1). Ia bersifat
positif terhadap sesama, sebagai manusia, tidak terhadang oleh kepicikan primordialisme suku,
agama, etnik, warna kulit dan lain-lain; 2). Ia bijaksana; bertolak dari keterbatasannya, maka ia
mengambil sikap yang wajar, terbuka, melihat pelbagai kemungkinan; 3). Tahu diri (bahwa ia
tidak tahu); 4). Mutlak anti-kepicikan, fanatisme, kekerasan, penilaian-penilaian mutlak, ia tidak
mengutuk pandangan orang lain; 5). Sebaliknya, Ia terbuka, toleran, mampu menghormati pelbagai
keyakinan dan sikap, mampu melihat yang positif di belakang perbedaan. Franz Magnis Suseno,
"Manusia dan Kemanusiaan dalam Persepektif Agama", dalam Masa Depan Kemanusiaan,
(Jogjakarta: Penerbit Jendela, 2003), h. 11-12
Dalam berbagai karyanya, Gibran sering mengungkap konsepsi tentang
cinta, keindahan atau bahkan sayatan-sayatan hatinya yang menandakan “sayapsayap" kehidupannya telah patah.
Pada penulisan skripsi ini penulis membatasi penelitian dengan hanya
membahas persoalan seputar humanisme universal Kahlil Gibran, yang kami
rumuskan dalam 3 (tiga) kerangka nilai, diantaranya pesan etik, nilai religiositas
dan persaudaran antar sesama, antar bangsa.
Beranjak dari pembatasan masalah tersebut, ada beberapa hal yang
dijadikan rumusan masalah oleh penulis untuk mengangkat tema skripsi ini.
Rumusan masalah skripsi ini adalah:
1. Bagaimana kah bentuk imbauan Kahlil Gibran dalam menyuarakan tiga
kerangka nilai, yakni pesan etik, nilai religius dan persaudaraan antarasesama? Adakah hubungan antara ketiga kerangka nilai itu?
2. Apakah ketiga kerangka nilai, seperti yang dirumuskan penulis, adalah
cita-cita luhur dalam menggapai humanisme universal?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini tujuan yang ingin dicapai penulis adalah untuk
memperkaya khazanah intelektual, karena bagaimana pun tulisan-tulisan di
seputar pemikiran Kahlil Gibran masih sedikit dan sekaligus merupakan menjadi
tugas akhir dalam menyelesaikan perkuliahan di Strata Satu (S1) Jurusan Aqidah
Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedang manfaatnya adalah untuk
menyediakan ‘ruang baca’ bagi pembaca Gibran atau pun diluarnya, untuk dapat
melihat sisi lain dari Gibran, sebagai seorang penyair yang tidak hanya memuji
keindahan dengan cinta, namun ternyata konsepsi Gibran tentang kehidupan yang
humanis layak menjadi bahan ‘bacaan’ kemudian.
D. Metode Penelitian
Dalam memperoleh data, teknik pengumpulan data yang dipakai penulis
adalah penelitian kepustakaan (library research). Penulis melakukan penelaahan
terhadap buku Gibran yang sudah diterjemahkan, diantaranya Sang Nabi,
Nyanyian Cinta, Roh Pemberontak atau buku kumpulan puisinya: Trilogi Hikmah
Abadi; Cinta, Keindahan dan Kesunyian; Tetralogi Masterpiece dan God of Lost
Soul. Selain itu kami menelaah buku Menapak Jejak Khalil Gibran (Jakarta:
Pustaka Jaya, 2001), Cet. ke 2, karya Prof. Fuad Hassan. Serta beberapa literatur
lain seperti majalah, jurnal, surat kabar, buletin, dokumentasi, dan sebagainya
yang relevan.
Data-data dan informasi yang dikumpulkan tersebut, kemudian disusun
dan dianalisis dengan menggunakan dua pendekatan, yakni analisis konten
(analisa terhadap isi) dan kritis. Pendekatan analisis konten digunakan untuk
mengungkap, memahami dan menangkap pesan karya sastra.6 Sedang pendekatan
kritis adalah bagian dari upaya untuk memperlihatkan kritik relevansi dan
hubungan karya dengan kehidupan dewasa ini.
6
Pendekatan analisis konten dalam bidang sastra berangkat dari aksioma bahwa penulis
ingin menyampaikan pesan secara tersembunyi kepada pembaca. Pesan itu merupakan isi (makna)
yang harus dilacak. Penelitian ini merupakan cara strategis untuk mengungkap dan memahami
fenomena sastra, terutama untuk membuka tabir-tabir yang berupa simbol. Hal ini cukup
beralasan, karena setiap pemanfaatan bahasa oleh sastrawan sebenarnya memuat simbol-simbol
dan makna. Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra, h. 161
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman kepada
Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2005.
E. Tinjauan Pustaka
Seperti telah dijelaskan dalam metode penelitian, bahwa dalam upaya
memperoleh data, kami melakukan penelitian kepustakaan (library research),
yakni kami menelusuri sumber-sumber pustaka yang dapat menunjang
terealisasinya penulisan skripsi ini.
Sejatinya, kami dapat menampilkan dan melakukan penelaahan terhadap
sumber primer, dalam hal ini buku-buku Gibran yang ditulis dalam bahasa Arab
dan Inggris. Namun, dengan keterbatasan yang ada, kami hanya dapat melakukan
penelaahan terhadap sumber sekunder, yakni buku-buku hasil terjemahan dari
karya atau kumpulan karya Gibran, serta buku mengenai perjalanan hidup Gibran.
Sedangkan dari karya ilmiah (skripsi, tesis dan disertasi), kami tidak menemukan
sumber yang kami anggap relevan sebagai sebuah perbandingan, karena beberapa
karya ilmiah tersebut tidak ada yang secara langsung terkait dengan tema yang
kami angkat. Harapan kami, mudah-mudahan sumber-sumber yang kami baca,
tidak mengurangi 'bobot' dari penulisan skripsi ini.
Buku yang pertama kami telaah adalah Sang Nabi diterjemahkan dari The
Prophet oleh Sri Kusdyantinah (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002), Cet. Ke 12, tebal
buku 107 halaman. Dalam buku ini, terkandung pesan etis Gibran yang memuat
ajaran Gibran tentang moralitas dalam hubungan antar sesama manusia, apa pun
peran dan kedudukannya; bagaimana pandangan orang tua terhadap anaknya,
bagaimana sikap seorang guru, tentang cinta, kebebasan, keindahan, persahabatan,
bahkan tentang makan-minum, pakaian serta pemberian; pendeknya, tentang
ihwal eksistensi manusiawi yang patut menjadi renungan tentang kebijakan dan
kebajikan.
Buku lainnya adalah Roh Pemberontak, diterjemahkan dari "Spirit
Rebellious", oleh Arvin Saputra, (Batam: Classic Press, 2003), 159 halaman.
Karya ini pernah dibakar di negara asal Gibran, Lebanon, karena berisi kecaman
terhadap dominasi Gereja dan otoritas pemerintah pada masa itu. Terlepas dari
pandangan yang penuh dengan kontroversi itu, buku ini layak dibaca
keseluruhannya, karena mengandung nilai-nilai religiositas yang tinggi.
Berikutnya, kami menelaah buku Nyanyian Cinta, terjemahan dari “The
Treasured Writings of Kahlil Gibran”, oleh Anton Kurnia, (Bandung: Penerbit
Diwan, 2002), 158 halaman. Karya ini menghadirkan 'warna' lain dari corak yang
sebelumnya, karena lebih banyak dibahas seputar nilai-nilai persaudaraan
universal yang dilandasi Religiositas.
Kemudian, bacaan kami selanjutnya adalah kumpulan karya Gibran,
diantaranya Tetralogi Masterpiece; Sang Nabi, Sayap-Sayap Patah, Suara Sang
Guru, Taman Sang Nabi, (Jogjakarta: Tarawang Press, 2001), Cet. II, tebal buku
370 halaman. Trilogi Hikmah Abadi; Sang Nabi, Taman Sang Nabi, Suara
Sang Guru, terj. Adil Abdillah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, Cet. I, 266
halaman
Dalam penelusuran jejak kehidupan Gibran, kami membaca Menapak
Jejak Khalil Gibran, Jakarta: Pustaka Jaya, 2000, Cet. Ke-2, tebal buku 171
halaman, karya Prof. Fuad Hassan. Tulisan kami, Humanisme Universal Kahlil
Gibran, sesungguhnya terinspirasi oleh tulisan Fuad Hassan dalam Menapak Jejak
Khalil Gibran, sub bab Gibran sebagai Penganjur Humanisme Universal. Dalam
buku tersebut, Fuad Hassan tidak menjelaskan secara rigid maksud dari
humanisme universal. Dari 11 halaman yang Fuad Hassan tulis terkait tema ini
(halaman 45-54), Fuad Hassan hanya memberikan pengertian bahwa humanisme
universal yang dia maksud adalah kemanusiaan universal, tanpa disertai 'turunan'
penjelas setelahnya. Dalam buku ini pun, kami hanya mendapat sedikit
pembahasan seputar konsep persaudaraan antar sesama yang dibarengi nilai-nilai
religiositas.
Pada penelusuran terhadap karya ilmiah lainnya, utamanya skripsi, tesis
dan disertasi, kami tidak menemukan tema yang sama dengan tema yang kami
angkat. Di Fakultas Ushuludin dan Filsafat, hanya ada skripsi tentang Air Mata
Cinta Kahlil Gibran oleh A. Syaeful (skripsi tidak ditemukan di Perpustakaan
Ushuludin, sumber katalog). Selanjutnya, skripsi Tiga Puisi Prosa Khalil Gibran
yang ditulis Tb. Adli Hakim (Fakultas Sastra UI tahun 1990), memaparkan
analisis struktural dan semiotik pada tiga puisi Khalil Gibran. Begitu pun dalam
tesis dan disertasi PPS UIN Jakarta, dari tiga tulisan yang kami dapat hanya
menjelaskan macam ragam puisi Gibran. Singkatnya, baik dalam skripsi, tesis
maupun disertasi tidak ditemukan kesamaan tema. Hal ini mengandung pengertian
bahwa secara keseluruhan, karya ilmiah kami merupakan sesuatu yang baru.
Sumber-sumber di atas yang kami telaah dan pelajari secara seksama,
dikombinasikan dengan buku-buku lain, baik dalam nuansa filsafat, sastra atau
pun etika.
E. Sistematika Penyusunan
Agar pembahasan skripsi ini lebih terarah dan sistematis, penulis membagi
menjadi lima bab dengan perincian sebagai berikut:
BAB I
Berisi pendahuluan yang secara umum dan khusus meliputi latar
belakang masalah sampai sistematika penulisan skripsi ini.
BAB II
Akan dikemukakan secara singkat latar belakang historis Kahlil
Gibran sejak masa kecilnya hingga ia terkenal dalam karir
intelektualnya sebagai seorang seniman-filsuf dan juga sebagai
mistiskus terkemuka dewasa ini, berikut karya-karya yang pernah
ditulis dewasa ini.
BAB III
Memaparkan pengertian humanisme dan universal, kemudian
perkembangan diseputarnya, terlebih dalam Filsafat, Religiositas,
Sastra dan Etika. Selanjutnya akan dilihat hubungan antara
humanisme dengan dengan keempatnya itu.
BAB IV
Merupakan inti dari skripsi ini, berisi rumusan tiga kerangka nilai
Kahlil Gibran, meliputi tiga pesan etik Kahlil Gibran, yaitu
kedermawanan, ketulusan dan kerendahan hati. Kemudian nilainilai religiositas Gibran serta konsepsi Gibran tentang persaudaraan
antar-sesama, antar-bangsa. Kami akan menampilkan ketiga
kerangka nilai ini secara utuh dalam humanisme universal: sebuah
cita-cita Gibran. Selanjutnya, kami menyertakan tinjauan kritis dan
relevansi karya terhadap kehidupan dewasa ini.
BAB V
Adalah penutup sekaligus saran dan kesimpulan dari keseluruhan
skripsi ini.
BAB II
BIOGRAFI KAHLIL GIBRAN7
A. Kahlil Gibran: Tunas Cedar8 dari Lebanon
Gibran Kahlil Gibran lahir pada 6 Januari 1883 dekat Holy Cedar Grove di
tepian Wadi Qadisha (Lembah Kudus atau Lembah Suci), kota Beshari,
Lebanon.9 Gibran Kahlil Gibran, terkenal dengan sebutan Kahlil Gibran.
Sedangkan namanya sendiri adalah Gibran. Nama Gibran ini sama dengan nama
kakeknya. Pemberian nama dengan nama kakeknya semacam ini adalah
merupakan tradisi orang Lebanon pada waktu itu.10
Keluarga Gibran hidup dalam kemiskinan di tengah-tengah depresi
ekonomi yang tengah melanda Lebanon. Sang ayah, Kahlil Gibran (nama yang
kemudian disandingkan dengan namanya ketika bermukim di Amerika), adalah
seorang yang tegar tapi berpenghasilan terbatas dan tingkat pendidikannya pun tak
7
Salah satu perubahan yang dialami Gibran sejak merantau ke Amerika adalah cara
penulisan nama. Sejak Sekolah Dasar di Boston, ditanggalkannyalah nama pertama yang
sebenarnya ialah nama dirinya (Gibran), selanjutnya namanya dikenal dengan Khalil Gibran saja.
Dan berikutnya masyarakat Amerika suka sekali mengucapkan huruf kah dan nama Khalil yang
dalam ejaan Arab ditulis “‫ ”ليلخ‬kemudian dituliskannya Kahlil. Dan bahwa ucapan nama Gibran
dalam ejaan bahasa Indonesia ialah Jibran, yaitu transliterasi dari ejaan bahasa Arab “‫”ناربج‬.
Beberapa buku tentang dirinya dalam bahasa Perancis menuliskan namanya “Djibran Khalil
Djibran”. Tapi ejaan Gibran tidak terlalu keliru, karena di Mesir umpamanya, namanya diucapkan
“Gibran” walaupun ejaannya “‫”ناربج‬, karena di sana biasanya huruf jim diucapkan gim. Fuad
Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2001), h. 23-24. Sedikit berbeda
dengan Fuad Hassan yang menggunakan kata Khalil Gibran dalam tulisannya, penulisan skripsi ini
sepenuhnya memakai nama Kahlil Gibran.
8
Gibran terlahir di wilayah pegunungan Cedar (Cedar Mountain) atau dalam bahasa
aslinya Jabal al-Arz. Hingga kini pohon Cedar (Arz, jamak Arzah) digunakan sebagai lambang
Lebanon dan dicantumkan pada bendera nasional Lebanon. Pohon Arz termasuk golongan
pepohonan yang selalu hijau di segala musim (evergreen), sehingga seolah-olah mengesankan
ketegaran dan keabadian.
9
Kahlîl Gibran, Nyanyian Cinta, terjemahan dari “The Treasured Writings of Kahlîl
Gibrân” oleh Anton Kurnia, (Bandung: Penerbit Diwan, 2002), h. 5
10
Fahrudin Faiz, Filosofi Cinta Kahlil Gibran, (Yogyakarta: CV. Qalam, 2004), h. 48
berarti. Ia bekerja sebagai penagih pajak. Penampilannya yang gagah dan tegar,
tapi kecanduannya pada arak dan judi mengakibatkan keluarganya hidup dalam
kesempitan. Ia sering mabuk, suka berkelahi, dan berlaku kasar terhadap isteri dan
anak-anaknya. Gibran hampir tidak memperoleh pengaruh psikologis apapun dari
ayahnya. Beruntung Gibran punya Kamila, sang ibu, adalah seorang wanita
terpelajar dan penuh bakat.
Walaupun keadaan ayahnya demikian, Gibran sendiri-secara terselubungmenggambarkan kekerasan watak ayahnya sebagai seorang yang tetap
dikaguminya.
“I admired him for his power-his honesty and integrity. It was his daring to
be himself, his outspokenness and refusal to yield, that got him into trouble
eventually, if hundreds, were about him, he command them with a word.”
“Aku mengaguminya karena kekuatannya-kejujurannya dan integritasnya.
Keberaniannya untuk tampil dengan kesejatian dirinya, keterusterangannya
dan sifatnya yang pantang mengalah itulah yang sering menjerumuskannya
kedalam berbagai kesulitan. Jika beratus-ratus orang mengelilinginya, maka
dengan sepatah kata saja mereka dapat ditundukkan olehnya.”11
Beruntung Gibran punya Kamila Rahmi, sang ibu, adalah seorang wanita
terpelajar dan penuh bakat. Beliau anak seorang pendeta gereja Maronit12 di kota
kecilnya, yaitu pendeta Istifan Rahmi. Kamila digambarkan sebagai wanita, kurus
dengan pipi agak kemerah-meraham dan bayangan melankolis dalam matanya.
Kamila mempunyai suara yang merdu dan amat taat beribadah. Ketika mencapai
usia kawin, ia menikah dengan salah seorang sepupunya sendiri, Hanna ‘AbdSalam Rahmeh. Sebagaimana kebanyakan orang Lebanon pada masa itu, Abd’
Salam dan keluarganya berimigrasi ke Brazilia untuk mengadu nasib, tetapi
11
12
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 35
Golongan gereja Maronit merupakan mayoritas dari denominasi agama Kristen.
Lainnya terdapat golongan penganut Katolik Roma, Katolik Syria, Ortodox Yunani, Nestoria,
Chaeldea, Armenia dan sejumlah sekte lainnya. Hingga kini di Lebanon ada 3 (tiga) agama
monotheis yang diakui oleh pemerintah Lebanon, yakni Islam, Kristen dan Yahudi.
meninggal disana dan meninggalkan Kamila seorang putra bernama Boutros
(Peter). Sepeninggal suaminya, Kamila kehilangan sumber nafkah dan tidak
mungkin lagi baginya untuk bertahan hidup di Brazil sambil mengasuh anak
tunggalnya, maka Kamila memutuskan untuk pulang kembali ke Lebanon. Dan
setelah beberapa lama kemudian, janda muda ini menikah lagi dengan seorang
pria yang bernama Khalil Gibran. Dari buah perkawinannya yang kedua ini, maka
terlahirlah Gibran (1883), Marianna (1885) dan Sultanah (1887).13
Kamila terkenal dengan sebagai wanita yang berkemauan keras tapi lemah
lembut tutur katanya, ia juga tergolong wanita cerdas dan sangat mahir berbahasa.
Kepada anaknya, ia mengajarkan bahasa Arab, Inggris dan Prancis. Pada waktuwaktu senggang diceritakan kepadanya berbagai legenda dari dunia Arab,
termasuk cerita Seribu Satu Malam. Ayahnya sering mengajak berkunjung ke
beberapa kota kuno dengan banyak sekali peninggalan purbakalanya seperti
Balbeek, Homs dan Hamah. Adakalanya mereka bermalam di ketinggian Gunung
Cedar dan menginap di tenda pengembala sambil menikmati suasana kedamaian
dibawah cahaya bulan dan bintang yang gemerlapan dan amat mempesona. Segala
pengalamannya ini kelak nyata berpengaruh pada dirinya manakala sedang
kebingungan menghadapi peri-kehidupan di kota New York yang serba bising;
kedamaian di desanya itu sering membangkitkan kerinduannya pada tanah
airnya.14
Karena sulitnya kehidupan di Lebanon, maka Peter mohon izin kepada
ibunya untuk pindah ke Amerika. Karena ayahnya dianggap sudah tidak lagi bisa
13
Suheil Bushuri dan Joe Jenkins, Kahlil Gibran, Manusia dan Penyair, terj. (Jakarta:
Grasindo, 2000), h. 2
14
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 36-37
dijadikan sandaran keluarga karena sering mabuk dan sehari-hari menganggur
saja. Kamila menyetujui gagasan Peter untuk pindah ke Boston sebagai pangkalan
pertama karena di kota itu ada beberapa temannya. Tapi Kamila juga minta Peter
berjanji untuk berusaha agar ibu dan ketiga adiknya bisa selekasnya dapat
menyusul ke Amerika. Maka pada tahun 1894, Kamila dan semua anaknya tiba di
Boston. Mereka tinggal di sebuah apartemen kecil di daerah China-Town, suatu
daerah dengan rumah sewaan berhimpitan yang padat penghuninya serta loronglorong yang dikotori sampah; jauh berbeda dengan suasana kedamaian dan
kebersihan dalam lingkungan alam desa kecil mereka di lereng Gunung Cedar
dengan pemandangan yang menghadap ke laut lepas.15
Di tempat barunya ini, Gibran masuk sekolah yang memang disediakan
untuk anak-anak imigran. Di sekolah ini Gibran dengan cepat dikenal temantemannya karena kemampuannya yang sangat menonjol dalam hal menggambar.
Kemahiran yang dimiliki inilah yang menghantarkan Gibran dalam dunia seni di
Boston dan juga menarik perhatian para pekerja sosial di Denison House, sebuah
lembaga sosial yang bergerak di bidang pendampingan para imigran dan anakanak jalanan. Melalui lembaga inilah Gibran berhubungan dengan seorang
seniman bernama Fred Holland Day. Day yang melihat bakat luar biasa pada diri
Gibran, kemudian mendorongnya untuk mengembangkan bakat seninya,
khususnya dalam menggambar. Maka semakin intens lah keterlibatan Gibran
dalam dunia seniman di Boston.
Pada tahun 1896 Gibran tidak dapat menahan kerinduan pada Lebanon. Ia
merasa perlu untuk kembali ke tanah airnya guna menambah pengetahuan tentang
15
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 37
Bahasa dan Sastera Arab.16 Kali ini dia masuk Madrasah Al-Hikmah17 di Beirut,
sekolah yang diselenggarakan oleh gereja Maronit.
Di Lebanon, Gibran bertemu dengan Salim Dahir. Beliau adalah seorang
dokter, penyair sekaligus guru bagi Gibran. Sang guru pun banyak bercerita
tentang berbagai legenda dan dongeng lokal kepada sang penulis muda yang
berbakat ini. Karena terpesona oleh anak muda yang lembut dan sopan ini, maka
Salim Dahir mengijinkan Gibran membantu tugas-tugas kedua puterinya, Sai’di
dan Halla. Seiring dengan waktu yang berjalan, maka tumbuhlah benih cinta
diantara Gibran dan Halla. Namun hubungan mereka harus pupus dan kandas di
tengah jalan manakala keluarga Halla tidak merestui hubungan mereka. Konon
salah satu karya Gibran yang berjudul Al-Ajnihah al-Mutakassirah adalah
merupakan roman yang kisahnya diilhami oleh pengalaman pahitnya itu.18
Pada tahun 1901 Gibran lulus dari Madrasah Al-Hikmah dengan pujian
tinggi. Maka mulailah dia mengembara untuk belajar seni ke Yunani, Italia,
Spanyol dan akhirnya menetap di Paris. Di Paris inilah saat usianya baru delapan
belas tahun, Gibran melahirkan karyanya yang sangat megejutkan masyarakatnya
di Lebanon, khususnya kalangan penguasa dan serta gereja dan pendetanya, yaitu
Spirits Rebellious19. Sebagaimana terpantul dari tiga cerita yang diriwayatkan
16
Namun John Walbridge dalam Hidup dan Karya Gibran, memberi komentar lain.
Menurut dia, kekhawatiran Ibu dan keluarganya akan pengaruh buruk dari pergaulan Gibran lah
yang menjadi motif mengirim Gibran kembali ke Lebanon. Lihat John Walbridge dan Adel
Beshara, Hidup dan Karya Gibran, Terj. (Yogyakarta: Nirwana, 2003), cet 1, h. 46
17
Hingga kini Madrasah Al-Hikmah masih ada di Beirut, hanya berubah namanya
menjadi College de la Sagesse. Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 39
18
19
Fahrudin Faiz, Filosofi Cinta Kahlil Gibran, h. 52
Istilah ini lebih tepat diterjamahkan ‘Jiwa yang memberontak’ atau ‘Semangat
memberontak’, Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 31. Namun, tak jarang Spirits
Rebellious diartikan ‘Roh Pemberontak’ seperti halnya judul buku terjemahan L. Saputra. Buku
Roh Pemberontak ini memuat 3 rangkai judul diantaranya, Ibu Rose Hanie, Tangisan Kubur dan
dalam buku, Gibran bukan saja menyerang tatanan hukum yang tidak adil dan
menyerang keras kesewenangan para penguasa, melainkan juga melancarkan
kecaman pedas terhadap gereja.20
Pada tahun 1902 Gibran terpaksa meninggalkan Paris untuk pulang ke
Boston karena ibunya sakit keras. Selama mendampingi ibunya yang semakin
parah penyakitnya, terjadilah peristiwa yang sangat menghancurkan jiwanya,
yakni pada tanggal 4 April, adik yang sangat dicintainya, Sulthana, meninggal
dunia karena menderita Tuberkulosis (TBC). Namun, beruntung kesedihan Gibran
atas meninggalnya Sulthana bisa sedikit terobati oleh perkenalannya dengan
seorang seniman wanita yang bernama Josephine Preston Peabody. Josephine ini
akhirnya menjadi teman dekat Gibran dan banyak mendorong Gibran untuk
mengembangkan bakat-bakatnya, termasuk memperkenalkan Gibran dengan
seniman-seniman Boston yang terkenal. Ia adalah seorang yang memahami watak
dan jiwa Gibran, di samping sebagai salah seorang yang sangat mengagumi
lukisan-lukisan Gibran. Sayangnya, Gibran harus kembali menelan kesedihan
karena
Josephine
harus
menikah
dengan
orang
lain
dan
terpaksa
meninggalkannya.21 Kesedihan Gibran makin berlipat karena hampir setahun
kemudian, tepat tanggal 12 maret 1903, Peter, kakaknya yang menjadi andalan
nafkah mereka sekeluarga meninggal karena penyakit yang sama. Disusul empat
bulan kemudian, tanggal 28 juni 1903, oleh kematian ibunya, diduga karena TBC
juga.
Khalil Si Klenik Lihat dalam Kahlil Gibran, Roh Pemberontak, diterjemahkan dari "Spirit
Rebellious", terj. Arvin Saputra, (Batam: Classic Press, 2003), h. 1
20
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 40
21
Fahrudin Faiz, Filosofi Cinta Kahlil Gibran, h. 53
Dalam puncak rasa sedih saat ibunya meninggal itu-menurut Marianna,
adiknya-justeru Gibran tidak menangis, namun tiba-tiba saja darah mengalir dari
hidung dan mulutnya. Gibran merasakan kepedihan ini, karena bagi Gibran
pengaruh ibunya sangat kuat dalam membentuk kepribadiannya. Di dalam
karangannya, berjudul Broken Wings (Sayap-Sayap Patah), Gibran menulis:
“Mother is everything in this life; she is consolation in time of sorrowing
and hope in time of grieving and power in moments of weakness. She is the
fountain-head of compassion, for bearance, and forgiveness. He who loses
his mother loses a bosom upon which he can rest his head, the hand that
blesses, and eyes which watch over him.”
“Ibu adalah segalanya dalam hidup ini; dia adalah pelipur disaat kesedihan
dan pemberi harapan disaat kedukaan serta kekuatan disaat kelemahan. Ia
adalah pancaran kasih-sayang, ketangguhan, dan ampunan. Orang yang
kehilangan ibunya berarti kehilangan dada tempat menyandarkan kepalanya,
tangan yang memberkati, dan mata yang menjaga dirinya.”22
Dan dalam suratnya kepada sahabat penanya, May Ziadah, Gibran
menulis:
“Had it not been for the woman-mother, the woman-sister, and the womanfriend, I would have been sleeping among those who disturb the serenity of
the world with their snoring.”
“Kalau bukan karena ibu-perempuan, saudara-perempuan, temanperempuan, maka mungkin aku masih tertidur diantara mereka yang
menggangu ketenangan alam dengannya.”23
Itu sebabnya Gibran merasa sangat bersalah karena telah membujuk ibu
dan adik-adiknya untuk bermukim di Amerika, lalu tinggal di kawasan ChinaTown yang begitu tercemar lingkungannya. Gibran lagi-lagi berkata, andaikata
mereka sekeluarga menetap di Lebanon, khususnya di Bisharri yang bertengger
pada lereng Gunung Cedar dengan udaranya yang bersih dan segar, maka tidak
mungkin mereka dihinggapi penyakit yang mematikan itu. Dan hampir bersamaan
22
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 42
23
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 43
dengan serentetan peristiwa kematian keluarganya itu, seluruh lukisan yang
kebetulan sedang ditampilkan dalam sebuah pameran dimakan api bersama
terbakarnya gedung pameran tersebut; Gibran sangat terpukul oleh musnahnya
sekumpulan lukisannya dalam sekejap saja.
Namun Gibran tidak larut dalam kesedihan. Jiwa dan semangatnya
berkobar untuk menuangkan segala gagasan dan ide yang terkumpul kepadanya,
membuatnya segera bangkit dan mulai berkarya, baik dengan tulisan maupun
lukisan. Karyanya yang sudah mulai dirancang penulisannya ketika Gibran masih
bersekolah di Madrasah al-Hikmah dan baru berusia lima belas tahun, yaitu The
Prophet, kembali ditulis ulang.24
Tahun 1904, Gibran bertemu dengan dua orang yang sangat berarti dalam
hidupnya. Yang pertama adalah perkenalannya dengan Mary Elizabeth Haskell,
seorang ilmuwan yang menaruh perhatian terhadap bidang seni dan pendidikan. Ia
menjadi seorang pendorong dan penuntun bagi Gibran; bahkan ia yang mengirim
dan membiayai Gibran ke Paris untuk melanjutkan pendidikannya. Atas jasajasanya ini, pada hamper semua buku karya Gibran, nama Mary Elizabeth Haskell
yang biasa disingkat M.E.H. selalu tercantum pada halaman persembahan. Yang
kedua adalah Amin Ghuraib, pemilik majalah al-Muhajir. Perkenalannya dengan
Gibran dan ketertarikannya akan potensi pemuda itu, membuat Gibran dipercaya
sebagai pengelola majalah tersebut. Mulanya Gibran diberi wewenang untuk
mengurusi tata artistik, namun setelah melihat potensi Gibran dalam menulis, ia
pun lalu menyediakan kolom khusus bagi tulisan-tulisan Gibran di majalahnya.
Melalui majalah inilah Gibran mulai memperkanalkan ide-ide dan pemikirannya,
24
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 44
baik dalam bentuk puisi maupun dalam bentuk prosa. Nama Gibran pun mulai
terkenal. Gibran menjulang namanya, menggeser nama-nama lain yang sudah
lebih dahulu dikenal sebagai sastrawan mahjar.25
Kesuksesan Gibran semakin memuncak setelah diterbitkannya The
Prophet dan kesibukan-kesibukan yang dijalaninya, justeru mengundang
“penyakit” yang sejak lama telah diidapnya, yakni kesepian dan kesunyian. Orang
yang selama ini sangat dekat dengan Gibran, Mary Elizabeth Haskell, mulai
menjauh dari Gibran karena M.E.H. beranggapan bahwa Gibran sudah tidak
membutuhkannya lagi. Kemudian ia menikah dengan sahabat Gibran. Adiknya
yang tinggal satu, Mariana, menjadi seorang yang introvert kelas berat yang tidak
bisa bergaul dengan orang lain, bahkan memutuskan untuk tidak menikah dengan
orang lain.
Pada saat kesepian di tengah gemilang kariernya, Gibran berkenalan dan
menjalin cinta dengan seorang sastrawan dan kritikus asal Mesir yang bernama
May Ziadah. Perkenalan mereka berawal dari kritik May atas buku Gibran yang
berjudul (al-Ajinah al-Muatakssirah), di dalam buku ini Gibran terkesan
membenarkan perselingkuhan yang dilakukan Salma Karami26. Ini lah salah satu
kritik yang dilontarkan oleh May tentang karya Gibran:
25
Mahjar adalah ungkapan berbahasa Arab yang berarti tempat pindah atau tempat
perantauan. Lihat dalam Ahmad Wasrun Munawir, Al-Munawwir, (Yogyakarta: KP AlMunawwir, 1984), h. 1590. Fuad Hassan secara lugas mendefinisikan mahjar, yakni sastra Arab
yang dikembangkan oleh mereka yang memilih untuk merantau sebagai muhajir, karena peri
kehidupan di negerinya yang sarat dengan penderitaan akibat pemerintah jajahan yang sangat
otoriter. Daerah perantauan yang menjadi tujuan ialah terutama Amerika, baik Utara maupun
Selatan. Di Amerika Utara terdapat masyarakat muhajir yang bermukim di Boston dan New York.
(Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 30)
26
Salma Karami ialah tokoh dalam satu periwayatan Gibran dalam The Broken Wings;
Dia adalah seorang gadis cantik dari Beirut yang oleh orang tuanya yang kaya raya dipaksa kawin
dengan anak seorang pendeta, sehingga antara kedua pihak orang tua saling memetik keuntungan.
Padahal Salma sudah mencurahkan cintanya yang sejati pada seorang pemuda lain, dan sama
“I am in full accord with you on the fundamental principles that advocates
the freedom of woman. The woman should be free, like the man, the choose
her own spouse guided not by the advice and aid of neighbors and
acquaintances, but by her own personal inclinations.”
“Aku sepenuhnya setuju dengan kau mengenai asas-asas yang mendasari
perjuangan kebebasan bagi kaum wanita. Wanita harus bebas seperti pria,
untuk memilih sendiri pasangan hidupnya, bukan karena diarahkan oleh
nasehat atau bantuan para tetangga dan sahabatnya, melainkan oleh selera
pribadinya sendiri.”
Kendati demikian, dengan panjang lebar May menjelaskan bahwa dia
tidak mungkin membenarkan perselingkuhan Salma, apapun dan bagaimana pun
penyebabnya.
“Suppose wet let Salma Karami, the heroine of your novel. And very woman
that resembles her in affections and intelligence, meet secretly with an
honest man of noble character; would not this condone any woman’s
selecting herself a friend, other than her husband, to meet with secretly?
This would not work, even if the purpose of their secret meeting was ti pray
together before the shrine of the Crucified.”
“Seandainya kita benarkan Salma Karami, tokoh utama ceritamu itu, dan
setiap wanita yang mirip dirinya dalam hal perasaan dan kecerdasannya,
bertemu secara sembunyi-sembunyi dengan seorang laki-laki yang jujur dan
berwatak mulia. Bukankah itu berarti dibenarkannya setiap wanita memilih
bagi dirinya sendiri seorang teman, lain suaminya, untuk bertemu secara
rahasia? Ini tidak mungkin dibenarkan, sekalipun tujuannya pertemuan
rahasia mereka adalah berdoa bersama di hadapan kuil sang tersalib.”27
Demikian lah jalinan cinta yang berkembang antara Gibran dan May,
sekalipun hubungan diantara keduanya hanya berlangsung melalui saling kirim
surat belaka, sejak tahun 1912 sampai 1931; surat-surat itu lebih dari sekedar
pengungkap rasa cinta melainkan juga mencerminkan kemampuan sastera yang
tersimpan dalam diri mereka masing-masing. Sayang cita-cita Gibran untuk
sempat bertemu dambaan hatinya ini tidak juga tidak kesampaian karena penyakit
sekali tidak mencintai laki-laki yang dipaksakan menjadi suaminya. Akhirnya Salma diketahui
berselingkuh dengan pemuda pujaan hatinya, dari periwatannya terkesan bahwa Gibran tidak
menyalahkan perbuatan Salma, karena memandang perilau Salma sebagai akibat dari
dipaksakannya Salma menikah dengan seorang lelaki yang tidak dicintainya tetapi ‘apa boleh
buat’ diterimanya sekedar untuk menuruti kehendak orangtua. Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil
Gibran, h. 80
27
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 81
jantung dan liver terlebih dahulu merenggutnya dari alam fana ini. May Ziadah
sendiri tak lama setelah itu tutup usia.
Pada tanggal 10 April tahun 1931 pukul 22.50, Kahlil Gibran
menghembuskan nafas terakhir dengan diagnosis “cirrchois of the liver and
incipient in one of the lungs”. Jenazah Gibran disemayamkan di rumah duka
Universal Funeral Parlor di New York, dalam peti di bawah timbunan bunga yang
melimpah. Baru pada 23 Juli tahun itu juga jenazah Gibran diangkut dengan kapal
ke Lebanon, dan sebulan kemudian, 21 Agustus, Jenazah Gibran tiba di Beirut.
Iring-iringan pengantar jenazah menuju Katedral S.t. George diikuti oleh pejabatpejabat tinggi Negara dan wakil-wakil komisariat Negara asing; juga ikut serta
kaum muslimin baik Sunni, Shi’i, Druze, golongan penganut gereja Ortodox
Yunani, Katolik, Maronit, Yahudi, Armenia, pendeknya semua golongan dan
segala lapisan masyarakat tanpa kecuali menyertai prosesi yang mengatar jenazah
Gibran yang terakhir di Gua Mar Sarkis.
Pengabdiannya selama bertahun-tahun dalam mengembangkan dunia
pengetahuan dan sastera Arab, membuatnya mendapat penghargaan ‘Bintang
Seni’ dari pemerintah Lebanon.
B. Karya-karya Kahlil Gibran
Martin L. Wolf dalam bukunya yang berjudul “The Treasured Writing of
Kahlil Gibran”- sebagaimana dikutip oleh Fahrudin Faiz- berasumsi bahwa ada
maksud tertentu dari Gibran saat menulis karyanya dalam bahasa Arab atau
bahasa Inggris (non Arab).28 Kalau dia menulis dalam bahasa Arab, biasanya
28
Fahrudin Faiz, Filosofi Cinta Kahlil Gibran, h. 53
berisi ajakan atau menggugah bangsa-bangsa Arab agar sadar akan kondisi
mereka dan turut membantu menghapuskan penjajahan yang terjadi di negerinegeri mereka, termasuk Lebanon. Adapun apabila tulisan tersebut dalam bahasa
Inggris (non Arab) tujuannya adalah menyadarkan bangsa Barat akan pentingnya
perdamaian dan persaudaraan Di antara karya-karya sang penyair ini adalah
sebagai berikut29:
1905
Nubdah fi Fan al-Musiqa, New York: Al-Muhajir
1906
‘Ara’is al-Muruj, New York: Al-Muhajor.
Nymphs of Valley, terj. H.M. Nahmad, New York: Knopf, 1948
1908
Al-Arwah al-Mutamarridah, New York: Al-Muhajir. Spirit Rebellious, ter.
H.M. Nahmad, New York: Knopf, 1948
1912
Al-Ajnihah al-Mutakassirah, New York: Miratul Gharb. The Broken
Wings, dalam A Second Treasury of Kahlil Gibran
1914
Kitab Dam’ah wa al-Ibtisamah, New York: Atlantic. A Tear and A Smile,
atau dikenal juga dengan Tears and Laughter, terj. H.M. Nahmad, New
York: Knopf, 1950
1918
The Mad Man: His Parables and Poems, New York: Knopf. Al-Majnun,
terj. Antonius Bashir, Kairo: al-Hilal, 1924
1919
Al-Mawakib, New York: Miratul Gharb. The Procession, terj. George
Khaerullah, New York: Arab-America Press, 1947
Twenty Drawings, New York: Knopf
1920
Al-Awasif, Kairo: Al-Hilal. The Tempest, dalam A Treasury of Kahlil
Gibran.
29
Ahmad Norma (ed.), Kahlîl Gibran: Cinta, Keindahan dan Kesunyian, (Jogjakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 1997), cet I, h. 369-371
The Forerunner: His Parables and Poems, New York: Knopf. As-Sabi,
terj. Antonius Bashir, Kairo: Yusuf Bustani, 1925
1923
Al-Bada’i wa al-Thara’if, Kairo: Yusuf Bustani. Best Things and
Masterpiece, dalam A Treasury of Kahlil Gibran
The Prophet, New York: Knopf. An-Nabi, terj. Antonius Bashir, Kairo:
Yusuf Bustani, 1926
1926
Sand and Foam, New York: Knopf. Ramal wa Zabat, terj. Antonius
Bashir, Kairo: Yusf Bustani, 1927
1927
Kalimat Jubran, ed. Antonius Bashir, Kairo: Yusuf Bustani. Spiritual
Saying of Kahlil Gibran, terj. Anthony R. Ferris, New York: Citadel, 1964
1928
Jesus, The Son of Man, New York: Knopf.. Yasu’ Ibn al-Insan, terj.
Antonius Bashir, Kairo: Elias Modern Press, 1932
1929
Al-Sanabil, New York: As-Sa’ih.
1931
The Earth Gods, New York: Knopf. Alihat al-Arrd, terj. Antonius Bashir,
Kairo: Elias Modern Press, 1932
1932
The Wanderer: His Parables and His Sayings, New York: Knopf.
1933
The Garden of The Prophet, New York: Knopf.
1934
Prose Poems, ed. Andrew Gharib, New York: Knopf.
1951
A Treasury of Kahlil Gibran, ed. Martin L. Wolf, terj. Anthony R. Ferris,
New York: Citadel
Al-Majmu’ah al-Kamilah li Mu’allafat Jubran Khalil Jubran, ed. Mikhail
Naimy, Beirut: Dar Beirut
1962
A Second Treasury of Kahlil Gibran, ed. Anthony R. Ferris, New York:
Citadel
BAB III
HUMANISME
A. Pengertian Humanisme dan Universal
Humanisme memiliki pengertian sebagai gerakan pemikiran yang
menganggap individu rasional sebagai nilai paling tinggi, sebagai sumber nilai
terakhir, serta memberikan pengabdian kepada pemupukan untuk perkembangan
kreatif dan perkembangan moral individu secara rasional, tanpa acuan pada
konsep-konsep yang bersifat adi kodrati.30
Dalam Encyclopedia Britania, humanisme diartikan sebagai paham
kemanusiaan, atau sebuah doktrin, tingkah laku, atau jalan hidup yang
memusatkan diri pada nilai-nilai dan manusia.31 Nilai-nilai yang terdapat dalam
humanisme, seperti ditulis Muhammad Ali, adalah paradigma nilai, sikap, norma
dan praktek keagamaan (religiosity) yang mendukung kehidupan tanpa kekerasan
dan damai.32
Salah seorang tokoh humanisme, Pico, berpendapat bahwa manusia adalah
makhluk yang diberi kebebasan memilih oleh Tuhan dan menjadikannya pusat
perhatian dunia. Oleh karena itu, manusia bebas memandang dan memilih yang
terbaik.33
30
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002), Cet. III, h. 295
31
Encyclopedia Britania 2003 Ultimate Reference Suite CD Room, (Inggris, 2003,
dictionary 2), h. 1
32
33
Muhammad Ali, Paradigma Beragama Humanis, Kompas 18 Januari 2002
Nicola Abbagnano, “Humanisme”, dalam The Encyclopedia of Philosophy, vol. 3,
(New York: Macmillan Publishers, 1967), h. 70
Dengan lugas, Franz Magnis Suseno memberi pengertian terhadap
humanisme dan kemanusiaan. Bagi Romo Magnis, humanisme adalah sikap
prinsipil dan terurai (eksplisit) yang menempatkan manusia di pusat perhatian dan
sebagai titik tolak penilaian tentang kehidupan masyarakat yang baik; tuntutan
intinya adalah manusia harus dihormati dalam martabatnya. Sedangkan,
kemanusiaan (Jerman: Humanitat, Inggris: Humanness) merupakan sikap yang
diharapkan oleh gerakan humanisme tersebut, yakni: cita-cita pengembangan
kemanusiaan dan bakat-bakatnya hati dan jiwa manusia secara selaras dan
seimbang; mengembangkan budaya dan keluhuran pikiran; cita-cita itu terungkap
dalam sikap yang terbaik dan berbesar hati terhadap sesama manusia.34
Begitu pun seperti tertera dalam satu (dari sepuluh) kategori yang
ditawarkan Carliss Lamont dalam The Philosophy of Humanism, disebutkan
bahwa humanisme mencirikan sebagai sesuatu yang meyakini dan menjunjung
tinggi adanya sebuah etik atau moralitas yang melandasi semua nilai
kemanusiaan. Etik dan moralitas ini menunjuk pada adanya persaudaraan
kemanusiaan yang adalah dasar kebahagiaan paling hakiki dalam konsep
kebersamaan tersebut.35
Dari beberapa definisi dan gambaran yang ada di atas, dapat dipahami
bahwa humanisme berada dalam pemaknaan yang beragam; kiranya ada tiga hal
yang mungkin dapat penulis ungkap, pertama humanisme sekuler yakni
humanisme sebagai yang memiliki daya tolak kuat terhadap daya campur tangan
unsur Ilahiah ketuhanan, kedua humanisme yang mengacu pada nilai-nilai
34
Franz Magnis Suseno, "Manusia dan Kemanusiaan dalam Perspektif Agama", dalam
Masa Depan Kemanusiaan, (Jogjakarta: Penerbit Jendela, 2003), h. 7
35
Carlis Lamont, The Philosophy of Humanism, (London: Routledge, 1978), h. 11-15
religiositas, dan ketiga humanisme dalam pemahaman komunikasi intersubyektifitas, yang lebih menekan fokus pada ide-ide kemanusiaan yang
menjunjung tinggi nilai persaudaraan kemanusiaan, kreatifitas untuk menciptakan
prestasi kemanusiaan, penghormatan terhadap nilai-nilai dan hak asasi manusia
dan lainnya.
Sementara istilah universal (Inggris: universals, Latin universalis)
dikaitkan dengan konsep-konsep spesies, genus, dan klas, yang berlawanan
dengan istilah-istilah "particular" dan "individual". Problem universalia timbul
apabila
orang
mempertanyakan
statusnya
dalam
realitas
atau
status
ontologisnya.36
Secara mudah, 'universal' artinya umum. Sebagai contoh, konsep
kemanusiaan adalah konsep yang dipercaya berlaku universal, sebab konsep ini
dipercaya dimiliki oleh setiap manusia tanpa membedakan apakah manusia
tersebut berkulit hitam, berkulit putih, baragama Islam atau beragama Kristen,
apakah ia orang Tionghoa atau orang Amerika. Lawan kata dari universal bisa
khusus, bisa pula diskriminatif, dan sebagainya, tergantung pada konteks kalimat
yang memuat kata universal.37
B. Perkembangan Seputar Humanisme
Pada perkembangannya, pengaruh humanisme merambah bidang-bidang
kehidupan: filsafat, ekonomi, politik, Islam, religiositas, sastra, etika dan yang
lainnya. Mengingat banyaknya aliran seperti yang disebutkan di atas, dan
mempertimbangkan keterkaitan dengan tema yang penulis angkat, maka kami
36
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, h. 714
37
Diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Universal, kamis, 8 Juni 2007
akan membatasi proses perkembangan humanisme ke dalam empat pokok
pembahasan, yakni humanisme dalam Filsafat, Religiositas, Sastra dan Etika.
Berikut ini kami paparkan secara singkat bidang kaji humanisme.
1. Humanisme dalam Filsafat
Dalam filsafat, tempat persemaian wacana humanisme, cikal bakal
humanisme dimulai dari lahirnya pemikiran yang menekankan kelebihan utama
manusia sebagai makhluk berakal budi. Socrates (470-399 s.M.) membangun
pemikiran antroposentrisme secara tegas (setelah Protagoras) dalam mengenakan
ukuran kebajikan (virtue) dan kebenaran terletak pada akal manusia.38 Dia juga
mengungkap hakekat yang-baik sebagai sarana penting dan bersifat hakiki untuk
dapat mengenal manusia.39 Plato (428-347 s.M.) dan Aristoteles (348-322 s.M.),
masih mengembangkan kerangka berpikir antroposentrisme (mikrokosmos),
walaupun keduanya masih menunjukkan keterkaitannya dengan alam terbuka
(makrokosmos).
Aristoteles
sendiri
dalam
Nichomachean
Ethics
(Etika
Nichomacus) mengatakan bahwa yang-baik bagi setiap hal ialah mewujudkan
secara penuh kemampuannya sebagai manusia.40
Ketiga orang di atas adalah wakil dari masa kebudayaan Yunani-Romawi
yang menempatkan manusia sebagai subjek yang mulia dan bisa terhadap
segalanya. Filsafat Yunani, menampilkan manusia sebagai makhluk yang berpikir
terus menerus untuk memahami dan bagian lingkungannya serta menentukan
38
Robert C. Solomon dan Katheleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, terjemahan dari “A
Short History of Philosophy” oleh Saut Pasaribu, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002),
h. 95
39
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Seomargono, (Jogjakarta:
Tiara Wacana, 2004), Cet. IX, h. 317
40
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, h. 357
prinsip-prinsip bagi tindak-tanduknya sendiri untuk mencapai kebahagiaan hidup
(eudaimonia). Masa inilah yang disebut sebagai Humanisme Klasik.41
Keterbukaan dan keduniawian humanisme menjadi rangsangan untuk
suatu perkembangan pendalaman religiositas, yang di satu pihak terdorong
memformasikan gereja dari dalam, di lain pihak mencari kedalaman hidup batin.
Maka, pada abad ke-15 dan pada zaman Renaisans di abad ke-16, kita dapat
menyaksikan suatu gerak pembaharuan religius luar biasa di Eropa. Di Eropa
Utara "Devotia Moderne" mengusahakan pendalaman pengalaman mereka dan
mistik, kita misalnya dapat menyaksikan kelompok-kelompok yang bersama-sama
melakukan tapa.
Kehidupan rohani Katolik abad ke-16 ditandai oleh tokoh-tokoh mistik
dan hidup rohani Santa Theresia dari Avila, Santo Johannes da Cruz dan Santo
Ignasius dari Layola. Nama terakhir mendirikan orde Serikat Yesus (Orde Yesuit)
yang akan menjadi pembawa pembaruan katolik di semua front. Sedang peristiwa
yang paling dahsyat adalah Reformasi Protestan oleh Martin Luther (1483-1546),
Jean Calvin dan Ulrich Zwingli. melakukan gerakan Reformasi Gereja.42
Gerakan Humanisme kemudian mendapat hawa segar pada saat Revolusi
Perancis (k.l. 1789-1799) di mana kebebasan (liberté), kesetaraan (egalité) dan
persaudaraan (fraternité) menjadi tiga pilar pokok yang mendasari kesadaran tidak
hanya manusia sebagai individu yang bebas dan otonom (dalam artian
41
Simon Petrus L. Tjahjadi, Sejarah Filsafat Barat Modern, (Jakarta: STF Drijarkara,
1998), h. 6
42
Franz Magnis Suseno, "Manusia dan Kemanusiaan dalam Perspektif Agama", h. 9
menentukan dirinya sendiri), namun juga kesadaran akan nilai intrinsik dari
manusia itu sendiri dan tempatnya sebagai pusat dari realitas.43
Humanisme modern berkembang dalam dua bentuk, yakni sebagai
humanisme moderat atau seimbang dan sebagai humanisme anti-agama.44
Humanisme seimbang, menjunjung tinggi keutamaan-keutamaan manusiawi yang
luhur seperti kebaikan hati, kebesaran hati, wawasan yang luas, keterbukaan pada
seni, universalisme (di mana nilai-nilai budaya Timur dijunjung tinggi),
religiositas yang merasa dekat dengan alam, penolakan fanatisme dan toleransi
positif. Tokoh-tokohnya adalah antara lain, dua penyair Jerman terbesar, Goethe
dan Schiller, serta Wilhelm von Humbold.
Namun, humanisme muncul juga dalam bentuk anti-agama. Dalam bentuk
ini agama dipahami sebagai takhayul atau keterikatan manusia pada irasionalitas,
sehingga manusia hanya dapat menemukan dirinya apabila ia membebaskan diri
dari agama. Pelopor dan inspirator humanisme ateis adalah Ludwig Feuerbach
(1804-1872 M) yang memahami agama sebagai keterasingan manusia.45
Dalam tradisi filsafat Barat, perkembangan humanisme berada di ranah
filsafat eksistensial. Soren Kierkegaard (S.K.), seorang eksistensialis, mengatakan
bahwa manusia adalah pengambil keputusan dalam eksistensinya. Apapun
keputusan yang diambilnya, tak pernah ia mantap dan sempurna. Manusia akan
terus menerus dihadapkan pada pilihan-pilihan. Akan tetapi pilihannya yang
pertama haruslah diputuskan sejauh menyangkut apa yang baik dan apa buruk.
43
Hendra Puranto, Pemikiran Jean-Paul Sartre dalam Existensialism and Humanism,
http://filsafatkita.f2g.net/str7.html, data diakses 24 Januari 2007, h. 5
44
Franz Magnis Suseno, "Manusia dan Kemanusiaan dalam Perspektif Agama", h. 10
45
Franz Magnis Suseno, "Manusia dan Kemanusiaan dalam Perspektif Agama", h. 10
Kalau seseorang telah menetapkan baik dan buruk, tanpa pendirian yang tegas
mengenai pilihan dasar ini, sebenarnya ia tidak menjalani eksistensi yang ada.46
Kierkegaard berpendapat ada tiga macam wilayah eksistensi (sphers
existence) atau tahap jalan hidup (stages on life's way), yakni wilayah estetis (the
aesthetic), etis (the ethical) dan religius (the religious).47 Tahap estetis (the
aesthetic) dapat digambarkan sebagai usaha mendefinisikan dan menghayati
kehidupan tanpa merujuk pada yang baik (good) dan yang jahat (evil). Artinya,
ketika orang bertindak tertentu, ia tidak memikirkan apakah tindakan itu baik atau
jahat dan kemudian menilai apakah itu boleh dilakukan.48
Wilayah eksistensi kedua, yakni tahap etis (the ethical), orang mulai
memperhitungkan dan menggunakan kategori yang baik (good) dan yang jahat
(evil) dalam bertindak. Hidupnya secara hakiki tidak lagi ditandai oleh sifat
langsung (immediacy) tindakan-tindakannya, melainkan sudah memuat pilihanpilihan konkret berdasarkan pertimbangan rasio. Suara hati, dan refleksi tentu
saja, mulai memainkan peranan yang penting dalam tahap ini. Dengan
meninggalkan tahap estetis menuju tahap etis orang mencapai tingkat integrasi
apabila memenuhi kewajiban dan peranan sosialnya, serta menerima tanggung
jawab yang memberinya kesempatan memperlihatkan siapa dirinya di dunia.49
Dalam wilayah eksistensi ketiga, yakni tahap religius (the religious), orang
menyadari bahwa pertimbangan baik dan jahat sudah tidak memadai lagi untuk
46
Fuad Hassan, Berkenalan Dengan Eksistensialisme, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2005), Cet.
ke-9, h. 29
47
Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard Dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, (Jakarta:
KPG, 2004), h. 87
48
Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard Dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, h. 88
49
Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard Dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, h. 89-90
hidupnya. Yang bernilai adalah relasi dengan Yang Ilahi. Ia menyadari bahwa
tujuan hidupnya mestinya bukan miliknya, yakni tujuan temporal yang dirancang
untuk memuskan dirinya.50 Penjabaran dari Kierkegaard ini, paling tidak menjadi
keterwakilan dari seorang filsuf yang memiliki ragam humanisme, terutama dalam
penghayatan nilai-nilai religiositas.
Pada pemaparan di atas, bisa terlihat perkembangan humanisme dalam
ranah filsafat (atau berarti juga faham kemanusiaan dalam bidang-kaji filsafat)
diwakili enam periode yakni zaman klasik yang lebih berorientasi pada Akal
Budi; Abad ke-15 dan pada zaman Renaisans di abad ke-16, terekam suatu gerak
pembaharuan religius sampai pada reformasi gereja; pada Revolusi Perancis (k.l.
1789-1799),
kebebasan
(liberté),
kesetaraan
(egalité)
dan
persaudaraan
(fraternité); Masa Modern yang membelah bentuk humanisme menjadi dua, yakni
sebagai humanisme moderat atau seimbang dan sebagai humanisme anti-agama;
dan filsafat eksistensial sebagai 'kubang' perkembangan humanisme dalam tradisi
filsafat Barat, diwakili oleh Kierkegaard yang memperkenalkan tiga wilayah
eksistensi, yakni wilayah estetis (the aesthetic), etis (the ethical) dan religius (the
religious).
Kelima masa tersebut, paling tidak menjadi pembuka bagi masa depan
humanisme berikutnya. Pada bahasan selanjutnya kami paparkan perkembangan
humanisme dalam religiositas.
50
Thomas Hidya Tjaya, Kierkegaard Dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri, h. 90-91
2. Humanisme dalam Religiositas
Humanisme dalam religiositas berarti juga faham kemanusiaan pada ranah
religiositas. Pada perkembangannya, bidang-kaji ini sedikit banyak mengungkap
kedudukan (posisi) antara formalisme keagamaan dan nilai-nilai religiositas.
Terlihat misalnya, sebuah bentuk religiositas kaum humanis yang tidak ingin
mengikat diri pada suatu agama formal, namun berinti religius, percaya pada
kebaikan abadi.
Dalam Sastra dan Religiositas, Y. B. Mangunwijaya atau biasa disapa
Romo Mangun, tertarik untuk memberi pengertian lain pada agama dan
religiositas. Baginya, agama lebih menunjuk pada kelembagaan kebaktian kepada
Tuhan atau “Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturanperaturan dan hukum-hukumnya, serta keseluruhan organisasi tafsir al-Kitab dan
sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan (Geseltschaft, bahasa
Jerman). 51
Sedangkan religiositas lebih melihat aspek “yang didalam lubuk hati”, riak
getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang
lain, karena menafaskan intimitas jiwa, “du coeur” dalam arti Pascal, yakni cita
rasa yang mencakup totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi) kedalaman
pribadi manusia. Karena itu, pada dasarnya religiositas mengatasi, atau lebih
dalam dari agama yang tampak, formal dan resmi. Religiositas lebih bergerak
dalam tata paguyuban (Gemeinscahft) yang cirinya lebih intim. 52
51
Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), Cet. III, h.
52
Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 12
12
Jauh sebelum itu, seorang filsuf Paul-Tillich melontarkan pandangan
tentang agama dan religiositas. Menurutnya, sebagaimana dikutip Arif Budiman,
religi mempunyai pengertian yang lebih luas dari agama. Seorang yang religius
tidak selalu harus menganut agama tertentu, seperti Kristen, Islam atau Hindu.
Seorang yang religius menurutnya adalah mereka yang mencoba mengerti hidup
ini secara lebih jauh dari pada batas-batas yang lahiriah saja. Dia adalah orang
yang berusaha bergerak dalam dimensi yang vertikal dari kehidupan ini, dia
berusaha mentransendir hidup ini.53
Erich Fromm dalam To Have or To Be-seperti dikutip Mashuri- pernah
menegaskan, religiositas merupakan ornamen dari watak sosial yang harus
memenuhi kebutuhan-kebutuhan religius yang sudah melekat pada diri manusia,
sebagai kebutuhan asasi. Ia mesti tidak berkaitan dengan sistem yang
berhubungan dengan Tuhan atau berhala, melainkan pada sistem pemikiran atau
tindakan yang memberikan pada individu suatu kerangka orientasi dan suatu
objek kebaktian.54
Sekali pun religiositas sering dipahami sebagai sebuah kualitas
keagamaan, namun pada satu sisi religiositas berbeda dengan sistem religi.
Religiositas tidak hanya berkutat pada masalah ketuhanan yang digariskan agama
53
Arif Budiman, Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1976), Cet. I,
h. 27
54
Ditulis oleh Mashuri dalam "Menggagas Sastra Religius yang Berkualitas". Artikel ini
diakses dari http://islamlib.com/id/index, pada 27 Januari 2007
formal.
Religiositas
lebih
mengarah
pada
kesadaran
ketuhanan
yang
termanifestasikan dalam nilai-nilai dan asas kemanusiaan.55
Secara halus, Romo Mangun menghidangkan definisi abstrak tentang
perbedaan ataupun titik-titik singgung antara agama dan religiositas. Romo
mengambil contoh dalam sastra. Seperti yang ia kutip dalam resensi Umar Junus
di majalah Horison, buah karya A.A. Navis, Datangnya dan perginya
(Bukittinggi, 1956):56
"Seorang ayah runtuh hati karena istri pertamanya meninggal, sehingga ia
menghanyutkan diri dalam hidup serba maksiat dan mengabaikan anaknya
Masri. Pernah sang Ayah tertangkap basah oleh Masri dalam suatu tempat
pelacuran. Lalu pergi. Salah seorang dari sekian banyak isteri yang dikawini
dan dicerainya, melahirkan anak, Arni, yang (tanpa diketahui asal-usulnya
oleh sang Ayah dan Masri), menikah dengan Masri itu sendiri.
Timbul lah dilema bagi sang Ayah: Apakah ia harus mencegah sesuatu yang
menurut hukum agama adalah dosa (yaitu perkawinan antara dua insan yang
seayah sekandung), dengan memberitahukan kenyataan hubungan kakak
beradik, kepada Masri dan Arni; tentunya dengan akibat keluarga Masri
(yang sudah berbahagia itu) berantakan? Atau kah membiarkan kedua orang
tak bersalah itu tetap tidak tahu tentang hubungan mereka yang sebenarnya
dalam keadaan bonafide (penganggapan baik, menurut istilah moral), demi
keutuhan keluarga Masri, tetapi dengan pelanggaran hukum agama terus
menerus?
Sang ayah memilih alternatif terakhir demi peri kemanusiaan".
Jelaslah ini suatu kasus yang cukup menarik; namun juga menyangkut
pertanyaan yang tergolong paling dalam pada hidup konkret kita semua. Umar
Junus-seperti dikutip Romo Mangun- menyebut dilema itu persoalan "antara
agama dan kemanusiaan". Romo Mangun menambahkan bahwa persoalan itu
55
Ditulis oleh Mashuri dalam "Menggagas Sastra Religius yang Berkualitas". Artikel ini
diakses dari http://islamlib.com/id/index, pada 27 Januari 2007
56
Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 14
adalah antara hukum agama dan peri kemanusiaan. Bahkan lebih jauh lagi, antara
formalisme hukum agama dan religiositas otentik.57
Pada bagian ini tersentuhlah persoalan eksistensial dalam segala bidang
yang menjadi pertanyaan dasar manusia modern dan bangsa ini khususnya.
Bahkan dapat dikatakan, inilah tantangan yang dipikul semakin serius kepada
semua agama besar di masa kini dan hari depan: apakah arti agama bila tidak
mampu berperikemanusiaan? Dengan kata lain: apa arti agama tanpa religiositas,
tanpa "penuntun manusia ke arah segala makna yang baik".
Religiositas tidak bekerja dalam pengertian-pengertian (otak) tetapi dalam
pengalaman, penghayatan (totalitas diri) yang mendahului analisis atau
konseptualisasi. “Tuhan tidak meminta agar manusia menjadi kaum teolog, tetapi
menjadi manusia yang beriman”, begitulah dari sekian banyak varian yang kita
dengar. Bagi manusia “religius” ada sesuatu yang dihayatinya keramat, suci,
kudus dan adi kodrati. Atau dalam bahasa Aldous Huxley-seperti dikutip Emanuel
Wora-, manusia tersebut sudah masuk ke dalam apa yang disebut 'metafisika'.
Huxley mendefinisikan metafisika ini sebagai usaha untuk mengenal realitas Ilahi
sebagai dasar dari dunia bendawi, hayati maupun akali. Realitas Ilahi bersifat
substansial bagi dunia.58
Dambaan manusia religius hidup untuk hidup dalam kekudusan adalah
hasrat untuk hidup dalam realitas objektif, tidak cuma terkurung didalam
kejadian-kejadian subjektif, suatu kenisbian tiada hentinya.59 Pada dasarnya,
57
Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 14
58
Emanuel Wora. Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme,
(Yogyakarta: Penerbit Kanisus, 2006), h. 28-29
59
Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 17
religiositas mengatasi, atau lebih dalam dari agama yang tampak, formal dan
resmi. Beberapa lagu yang berkualitas religius, seperti “Tuhan” ciptaan Trio
Bimbo, “Surgamu” yang dilantunkan oleh Band Ungu, atau pun
lagu
"Perdamaian" yang dinyanyikan personel Gigi dengan penuh haru dapat
dinyanyikan, baik oleh orang-orang Muslim maupun Kristiani. Begitu juga, sikapsikap religius seperti berdiri khidmat, membungkuk dan mencium tanah selaku
ekspresi bakti menghadap Tuhan, mengatupkan mata selaku konsentrasi diri
penuh pasrah sumarah dan siap mendengarkan sabda Ilahi dalam hati, semua itu
solah-bawa manusia religius yang otentik, baik dalam agama Islam, Kristen,
Yahudi dan agama-agama lainnya juga.
Orang beragama banyak yang religius, dan seharusnya memang demikian,
paling tidak diandaikan seorang agamawan sepantasnya sekaligus homo religious
juga. Tetapi kenyataannya tidak selalu begitu. Ada orang yang menganut agama
tertentu karena motivasi jaminan material atau karir politik, ingin memperoleh
jodoh yang beragama lain dari dia punya, atau biasa karena tidak ada pilihan lain;
cukup beragama “statistik” belaka.
Sebaliknya, ada yang tidak beragama, tetapi cita rasanya, sikap dan
tindakannya sehari-hari pada hakekatnya religius. Dalam suatu wawancara dengan
majalah Time, pengarang roman dan cerpen Inggris terkenal Graham Greeneseperti dikutip Romo Mangun- pernah mengatakan, There is far more religious
faith in (communist) Russia than in (Christian) England.60 Demikian pula di
negeri kita dapat menjumpai koruptor-koruptor besar kecil, lintah-lintah darat dan
penipu yang rajin beragama; tanpa prihatin sedikit pun, apakah praktek
60
Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 13
keagamaannya itu cocok atau tidak dengan kehendak Allah yang Maha Baik dan
Maha Pengasih. Mereka agamawan, tetapi tidak atau bahkan jauh dari sikap
religius otentik.
Jika kita menelusuri jejak doktrin filsafat perenial di dalam berbagai tradisi
agama dunia, kita akan menemukan ajaran tentang kejatuhan (the fall). Dalam
tradisi Yahudi-Kristen misalnya, kejatuhan terjadi sesudah penciptaan. Kejatuhan
ini secara ekslusif disebabkan karena penggunaan kehendak bebas secara
egosentris, padahal kehendak bebas itu harus tetap terpusat pada dasar Ilahi, dan
bukan pada kedirian (self hood) yang terpisah. Dengan kata lain kejatuhan ini
merusak kesadaran atau pengetahuan manusia akan dasar imanen dan transenden
segala sesuatu, termasuk hidup dan dirinya sendiri. Kesadaran atau pengetahuan
ini hanya bisa diraih kembali melalui usaha kebajikan, terutama ketulusan,
kerendahan hati dan kedermawanan.61
Dengan demikian, pertanyaan-pertanyaan di atas seperti apakah arti agama
bila tidak mampu berperikemanusiaan? Atau apa arti agama tanpa religiositas,
tanpa penuntun manusia ke arah segala makna yang baik? Haruslah menjadi
pelajaran yang berarti terutama bagaimana upaya untuk menciptakan kehidupan
yang humanis dengan suasana religius seperti. Religiositas kaum humanis yang
tidak ingin mengikat diri pada suatu agama formal, namun berinti religius,
percaya pada kebaikan abadi.62 Bahkan religiositas akan menjelma ruh atau nyawa
dari konstruksi kebudayaan yang mengusung humanisme.
61
62
Emanuel Wora. Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme, h. 36
Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 94
3. Humanisme dalam Sastra
Sastra dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Sastra yang ditulis
pada kurun waktu tertentu langsung berkaitan dengan norma-norma dan adat
istiadat zaman itu. Pengarang mengubah karyanya selaku seorang masyarakat dan
menyapa pembaca yang sama-sama dengan dia merupakan warga masyarakat
tersebut. Dalam kisahnya tentang Gubug Paman Tom Harriet Beecher-Stow
membuka mata masyarakat terhadap nasib budak belian di Amerika Serikat. Hal
yang sama diperbuat Turgenyev di Rusia dengan Kisah-Kisah Pemburu. Multatuli
dengan Max Havelaar-nya mempengaruhi diskusi mengenai sistem kolonial
Belanda.63
Kecenderungan semacam ini didasarkan atas adanya suatu asumsi bahwa
tata kemasyarakatan bersifat normatif; maksudnya mengandung unsur-unsur
pengatur yang mau tak mau harus dipatuhi sehingga hubungan antar manusia
ditentukan untuk paling sedikit dipengaruhi oleh tata kemasyarakatan tersebut.
Dengan demikian, pandangan, sikap dan nilai-nilai termasuk kebutuhankebutuhan
seseorang,
termasuk
pengarang,
ditimba
dari
sumber
tata
kemasyarakatan yang ada dan berlaku. Dengan sendirinya, masyarakat merupakan
faktor yang menentukan apa yang harus ditulis orang, bagaimana menulisnya,
dan untuk siapa karya sastra ditulis, dan apa tujuan atau maksudnya.64
Hubungan antar manusia atau pun masyarakat yang tergambarkan dalam
karya sastra, sangat mendorong perkembangan humanisme dalam sastra. Secara
literal bidang kaji ini berarti suatu paham kemanusiaan dalam dunia
63
Jan Van Luxemburg dkk, Pengantar Ilmu Sastra, (Jakarta: PT. Gramedia, 1986), Cet.
Ke 2, h. 23
64
Ke 2, h. 70
Andre Hardjana, Kritik Sastra Sebuah Pengantar, (Jakarta: PT. Gramedia, 1983), Cet.
kesusasteraan. Manusia menjadi tema sentrum dalam karya sastra, selain
perbincangan mengenai formalisme agama dan religiositas.
Sejenak kita melihat ke belakang, tepatnya dalam tradisi sastra Islam dan
Kristen (Barat) kita sering menjumpai perpaduan menarik antara sastra religiositas
dan keagamaan formal dalam bingkai kemanusiaan. Pada tradisi sastra Islam,
tema yang sering kali dimunculkan adalah perjuangan pengakuan kembali
terhadap hak-hak wanita. Tema ini muncul karena di ranah Arab tradisi patriakal
begitu menggejala, maka sering terjadi diskriminasi terhadap wanita.
Cerita tentang seorang perempuan yang baru dinikahi oleh kepala suku
Morra, Harit bin Auf menolak untuk 'disentuh' sebelum sang kepala suku
menghentikan peperangan dan mengibarkan panji perdamaian, kiranya menarik
untuk disimak.
"….Datanglah malam. Maka Harit memerintahkan mengaso dan berkemah.
Akan tetapi, ketika ingin mendekati isteri muda itu, ia ditolak. "Apa?
Masksudmu ingin menggarapku seperti budak belaka, yang dibeli, atau
seperti tawanan perang? Demi Allah, kau tidak akan memelukku sebelum
kau menyambutku di tengah sukumu dan perkawinan kita rayakan dengan
onta-onta dan domba-domba yang disembelih untuk santapan perayaan.
Perayaan yang dihadiri oleh undangan-undangan semua suku Arab.
Mereka kemudian tiba di suku Harit. Tamu-tamu diundang, onta-onta dan
domba-domba disembelih dan mulai lah pesta. Maka mendekat lah Harit
kepada isterinya, tetapi masih ditolaknya. "Bagaimana? Kau punya waktu
untuk bercumbu-cumbuan dengan perempuan, padahal di luar semua orang
Arab saling membunuh dalam dendam kesumat berdarah, dan
menghancurkan kaum Dobyan dan Abs, suku ibuku! Lekaslah pergi keluar,
rujukkan kembali suku-suku, dan baru lah pulang kepada isterimu, yang
akan menunggumu penuh cinta!"
Harit keluar ke suku-suku musuh yang sudah empat puluh tahun saling
melabrak dalam darah dendam kesumat. Berkat pengorbanan diri yang besar
Harit mengadakan perdamaian antara mereka. Ia menyuruh menghitung
jumlah korban-korban yang gugur di kedua belah pihak; dan menjamin
bahwa suku yang kehilangan prajurit gugur lebih dari suku yang alin, dia
Harit, akan memberi imbalan kelebihan pertumpahan darah, berupa tiga ribu
unta dalam tiga tahun berikutnya. Berkat kemuliaan budi dan
kedermawanannya demi karya perdamaian itu Harit pulang ke sukunya,
terpuji oleh segala pihak. Istrinya, Bahisa menerimanya dengan kedua
tangan terbuka, dan melahirkan banyak putra dan putri." 65
Makna yang terkandung dalam cerita di atas begitu dalam. Si gadis Bahisa
merupakan wanita yang paling cocok dengan hati orang-orang Beduin padang
Pasir. Harit, tokoh pria dalam cerita itu adalah orang yang bijak dan mau
berkorban untuk kepentingan sesama.
Berikutnya, dalam dunia sastra Barat (alam Kristen), sastra yang langsung
menyerang agama Kristen sudah mempunyai "tradisi" yang lama sekali.
Sebenarnya yang diserang pertama-tama bukan isi agama Kristen itu, tetapi
pejabat-pejabat Gereja, khususnya dari Gereja Katolik Roma yang sejak abadabad Byzantium Konstantinopel terlalu mengindentifikasi kepentingan agama dan
Gereja dengan kepentingan-kepentingan politik dan kekuasaan.
Seperti diceritakan dalam roman Albert Camus, Sampar (La Peste), yang
menggambarkan betapa Tuhan tak berdaya (hanya diam saja) terhadap wabah
penyakit yang meresahkan masyarakat.
"…Situasi porak-poranda material spiritual suatu kota yang diserang wabah
sampar. Hanya dua orang, dokter Rieux dan seorang pastor, Paneloux, yang
dapat tabah dan mencoba menyelamatkan yang masih dapat diselamatkan
dari kota, yang justru melampiaskan kebejatan pada saat-saat menghadapi
maut. Kedua orang itu mencoba memperkuat iman dan keteguhan para
warga kota, yang sudah busuk fisik dan mental itu.tetapi orang-orang yang
sudah busuk tinggal menanti mati itu tetap seperti sedia kala, busuk. Dan di
dalam malapetaka serba memuakkan itu Tuhan diam saja."66
Roman Camus ini menggambarkan situasi bangsa modern yang busuk dan
serba serakah saling membunuh dan mengisap, juga masih tetap busuk pada saat
sekian ribu bom nitrogen siap menghancurkan seluruh dunia. Hanya Rieux sang
Dokter, sang tidak Dokter, yang tidak percaya pada akherat, masih mencoba untuk
65
Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 68
66
Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 87
mengatasi dan membuat hidup di dunia ini sedapat mungkin cukup baik untuk
dihuni. Rieux adalah personifikasi resi dan begawan zaman ilmu pengetahuan dan
teknologi modern. Manusia cendekiawan humanis yang a-religius, yang
kebanyakan masih percaya kepada Tuhan dan kewajiban hidup bermoral, tetapi
yang sudah tidak lagi dapat merasakan hubungan batin dengan agama formal atau
dunia mistik yang tidak dapat mereka ukur secara ilmiah.67
Jenis Dokter Rieux di masa kini semakin besar jumlahnya, dan di tanah air
kita pun dapat menemukan tipe sarjana-sarjana dan kaum intelek humanis seperti
Riuex itu; manusia-manusia budiman budiwati, yang tekun penuh pengorbanan
menyumbang pertolongan dan pengembangan bangsanya, setia dan sepi pamrih;
beragama hanya statis, bermoral cukup tinggi dan sukarelawan-sukarelawati
dalam amal membangun dunia yang lebih baik. Orang-orang baik itu tidak anti
Tuhan, tetapi formal beragama, namun praktis mereka a-religius, agnotikus.
Agama mereka ilmu pengetahuan atau ideal politik, ekonomi, teknologi dan
sebagainya. Mereka ibarat imam-imam rohis 'aam atau khatib-khatib baru gaya
modern kontemporer, merasa diri relevan dan efisien, demi peri kemanusiaan. Peri
kemanusiaan tanpa Tuhan. Sebab, meski Tuhan tidak mati, Tuhan hanya diam
saja.
Begitulah, baik dalam tradisi sastra Islam dan Kristen (Barat), keduanya
memiliki bentuk pengakuan dan penghargaan terhadap kemanusiaan yang sangat
tinggi. Terlebih didalamnya, tak pernah kurang terpancar nilai-nilai religiositas.
Semua sastra yang baik selalu religius, seperti dibilang Romo Mangun.68
67
Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 87-88
68
Y. B. Mangunwijaya, Sastra dan Religiositas, h. 11
4. Humanisme dalam Etika
Seperti halnya dalam filsafat, cikal bakal humanisme dalam etika atau
paham kemanusiaan pada ranah etika dimulai dari lahirnya pemikiran yang
menekankan kelebihan utama manusia sebagai makhluk berakal budi. Socrates
(470-399 s.M.) membangun pemikiran antroposentrisme secara tegas (setelah
Protagoras) dalam mengenakan ukuran kebajikan (virtue) dan kebenaran terletak
pada akal manusia.69 Aristoteles sendiri dalam Nichomachean Ethics (Etika
Nichomacus) mengatakan bahwa yang-baik bagi setiap hal ialah mewujudkan
secara penuh kemampuannya sebagai manusia.70
Cita-cita humanisme dalam etika berkembang pesat pada masa Stoa
dengan tokoh-tokoh Seneca dan Marcus Aurelius. Stoa adalah etika filosofis
pertama di dunia yang secara konsekuen mengakui dan meminati kesamaan
derajat semua orang. Stoa mengajarkan bahwa terhadap siapa pun kita hendaknya
bersikap baik hati. Perempuan berhak atas perlakuan sama dengan laki-laki
(sesuatu yang sudah menjadi anggapan Plato), budak harus dihormati hak-haknya
(sesuatu yang sama sekali baru), dan musuh berhak atas belas kasihan serta
pengampunan. Etika Stoa bersifat kosmopolitis; ia mengatasi segala batasan dan
merangkul seluruh umat manusia. Pada Stoa, kita untuk kali pertama dalam
sejarah moralitas manusia menemukan kesadaran akan hak-hak asasi setiap
69
Robert C. Solomon dan Katheleen M. Higgins, Sejarah Filsafat, terjemahan dari “A
Short History of Philosophy” oleh Saut Pasaribu, (Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2002),
h. 95
70
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, h. 357
sebagai manusia. Untuk pertama kalinya Stoa merumuskan negara sedunia dan
persaudaraan universal.71
Secara bahasa, etika (Yunani: ethikos, ethos) berarti adat, kebiasaan,
praktek.72 Pengertian lain dari etika adalah pengkajian sosial moralitas atau
terhadap tindakan moral.73 Istilah "etika" oleh Aristoteles (385-322 s.M) sudah
dipakai untuk menunjukkan filsafat moral.74 Etika mempertanyakan tanggung
jawab dan kewajiban manusia.75
Selanjutnya, perkembangan humanisme dalam etika diteruskan oleh filsuf
sosial, seorang psikoanalisis, Erich Fromm. Dalam buku Manusia Bagi Dirinya,
Erich Fromm menunjukkan bahwa struktur watak (character) personalitas yang
matang dan terpadu, karakter produktif, merupakan sumber dan basis dari
"kebaikan" dan bahwa "sifat buruk", pada hakekatnya adalah pengabdian terhadap
dirinya sendiri dan perusakan diri. Bukan penolakan diri atau bukan keadaan
mementingkan diri sendiri, melainkan "cinta diri", bukan peniadaan terhadap
individu, melainkan penegasan diri kemanusiaan yang sebenarnya, adalah nilainilai yang paling tinggi dari etika humanistis. Jika manusia harus mempunyai
71
Franz Magnis Suseno, 13 Tokoh Etika Sejak Jaman Yunani Kuno Sampai Abad 19,
(Jogjakarta: Kanisius, 2003), Cet. ke 7, h. 60
72
Lorens Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia, 2002), Cet. III, h. 217
73
Pius A. Purtanto dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Penerbit
Arkola, 1994), h. 161
74
K. Bertens, Etika, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001), Cet. Ke-6, h. 141
75
Franz Magins Suseno, Etika Politik, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), Cet.
Ke-7 h. 13
keyakinan terhadap nilai, maka ia harus mengetahui diri dan kapasitas dasarnya
bagi kebaikan dan keproduktifan.76
Erich Fromm menyebut secara terbalik humanisme dalam etika, sebagai
etika humanistik. Baginya, etika humanistik adalah antroporsentris; tentu saja
bukan dalam pengertian bahwa manusia adalah pusat alam semesta melainkan
dalam pengertian bahwa pertimbangan-pertimbangan nilai mengakar dalam
kekhususan eksistensinya dan bermakna jika berhubungan dengannya; 'manusia
sesungguhnya adalah ukuran semua benda.'77
Salah satu karakteristik sifat dasar manusia adalah bahwa manusia
mendapatkan pemenuhan dan kebahagiaannya hanya dalam keterkaitan pada
solidaritas sesamanya. Bagaimana pun, mencintai tetangga bukan lah sebuah
fenomena yang lebih penting dari pada manusia; ia adalah sesuatu yang inheren
dan memancar darinya. Cinta adalah bukan sebuah kekuatan yang lebih tinggi
yang turun ke manusia, juga bukan sebuah kewajiban yang dipikulkan di atas
pundaknya. Ia adalah kekuatannya sendiri yang dengannya dia menghubungkan
diri pada dunia dan membuat benar-benar menjadi miliknya.78
Selanjutnya, Erich Fromm mengungkapkan jika etika merupakan
kumpulan norma-norma untuk mencapai keunggulan dalam menampilkan seni
hidup, maka prinsipnya yang paling umum harus diturunkan dari sifat dasar
kehidupan pada umumnya dan dari sifat dasar eksistensi manusia pada khususnya.
Dalam syarat-syaratnya yang paling umum, sifat dasar semua kehidupan harus
76
Erich Fromm, Manusia Bagi Dirinya; Suatu Telaah Psikologis-Filosofis Tentang
Tingkah Laku Manusia Modern, diterjemahkan dari Man for Himself oleh Eno Syarifudien,
(Jakarta: AKADEMIKA, 1988), Cet. I, h. 6
77
Erich Fromm, Manusia Bagi Dirinya, h. 13
78
Erich Fromm, Manusia Bagi Dirinya, h. 13
memelihara dan memperkokoh eksistensinya sendiri. Semua organisme
mempunyai sebuah tendensi inhern untuk memelihara eksistensi mereka.79
Perkembangan humanisme dalam etika agaknya tidak akan 'surut', karena
hubungan kemanusiaan dan konsep etis senantiasa seiring-sejalan. Jika manusia
harus mempunyai keyakinan terhadap nilai, maka ia harus mengetahui diri dan
kapasitas dasarnya bagi kebaikan.
C. Hubungan Antara Humanisme dengan Filsafat, Religiositas, Sastra dan
Etika
Humanisme memiliki hubungan yang sangat erat dengan filsafat, karena
bagaimana pun ranah filsafat adalah tempat persemaian tradisi humanisme. Dalam
filsafat, humanisme berarti sebuah gerakan yang menjungjung tinggi nilai-nilai
kemanusiaan. Begitu pun dalam religiositas, seperti dipaparkan sebelumnya,
seorang yang berjiwa humanis (berperikemanusiaan) berarti nilai-nilai religiositas
diamalkan mendalam.
Humanisme pun memiliki hubungan yang kuat dengan sastra, karena
dalam tradisi sastra Timur dan Barat, senantiasa tersembul nilai-nilai humanistik.
Dalam ranah etika pun demikian, persoalan yang sering diungkap dalam etika
adalah mempertanyakan tindakan manusia sebagai manusia.
Hubungan di atas menggambarkan bahwa dalam tradisi mana pun
humanisme dapat memiliki hubungan yang sangat erat dan tentu memiliki
pengaruh yang kuat pula. Berikut kami lampirkan tabel hubungan antara
humanisme dengan filsafat, religiositas, sastra dan etika.
79
Erich Fromm, Manusia Bagi Dirinya, h. 17
BAB IV
HUMANISME UNIVERSAL KAHLIL GIBRAN
Dalam bahasan BAB IV, yang merupakan inti dari skripsi ini, penulis akan
menampilkan bait-puisi Kahlil Gibran yang menunjukkan kematangannya sebagai
penganjur humanisme universal.80 Humanisme universal adalah cita-cita luhur
Gibran, yang memiliki muatan imbauan universal bagi manusia dan kemanusiaan.
Penulis merumuskan humanisme universal Kahlil Gibran ini ke dalam 3
(tiga) kerangka nilai yang dikembangkan dalam bait-puisi Gibran, meliputi pesan
etik, nilai-nilai religiositas dan persaudaraan antar-sesama, antar-bangsa.
Sejatinya, dari ketiga kerangka nilai ini, penulis ingin memperlihatkan bahwa
Gibran
sesungguhnya
dibangkitkan
mempertimbangkan
kesadarannya
sebagai
betapa
keberadaan
umat
bersama
manusia
antar
perlu
sesama,
kebersamaan antar-manusia.
A. Tiga Kerangka Nilai
Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya, bahwa penulis menggunakan
metode analisis konten atau analisa terhadap isi karya Kahlil Gibran. Analisis
konten adalah strategi untuk menangkap pesan karya sastra81. Berangkat dari
pendekatan tersebut, kami merumuskan 3 (tiga) kerangka nilai yang terungkap
80
Perlu pembaca ketahui, Gibran sendiri tidak pernah menyebut bahwa dirinya adalah
tokoh atau pun bagian dari humanisme universal. Sebutan humanisme universal digagas oleh Fuad
Hassan dalam buku Menapak Jejak Khalil Gibran, sub tema Gibran sebagai penganjur
Humanisme Universal. Lihat Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, (Jakarta: Pustaka Jaya,
2001), h. 45-54
81
Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogjakarta: Pustaka Widyatama,
2004), Cet. Ke 2, h. 160
dalam karya-karya Gibran, diantaranya adalah pesan etik, nilai-nilai religiositas
dan persaudaraan antar-sesama, antar-bangsa. Ketiga kerangka nilai ini adalah
satu kesatuan, dan keseluruhannya menjadi bagian yang integral dalam
memahami humanisme universal Kahlil Gibran.
1. Pesan Etik Kahlil Gibran
Untuk masuk ke dalam bait-puisi Gibran yang memuat pesan etik, kami
meminjam pendekatan etika perenial. Aldous Huxley menawarkan konsep etika
perenial, yakni sebuah etika yang menempatkan tujuan akhir manusia pada
pengetahuan akan dasar iman dan transenden dari segala sesuatu.82 Etika ini
menekankan adanya proses transformasi diri yang mengantar pada pengetahuan
akan suatu realitas Ilahi.83
Isi dari etika perenial seperti ditulis Lewis dalam The Abolition of Man
adalah apa yang disebut sebagai Tao. Tao ini ialah sebuah sistem nilai yang
merupakan gabungan berbagai imperatif moral dari berbagai tradisi, yang
menggumpal dalam tiga kebajikan yakni: ketulusan, kerendahan hati dan
kedermawanan.84 Ketiga kebajikan tersebut kami angkat dalam pesan etik Kahlil
Gibran.
82
Aldous Huxley, Filsafat Perennial, terj. Ali Noer Zaman
Qalam, 2001), Cet. I h. 10
(Yogyakarta: Penerbit
83
Emanuel Wora, Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme,
(Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 34
84
Emanuel Wora, Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme, h. 35
a. Kedermawanan
Kedermawanan adalah akar dan substansi dari moralitas.85 Kedermawanan
dimulai dengan tindakan kemauan dan dilaksanakan sebagai sebuah kesadaran
spiritual yang murni, sebuah pengetahuan cinta unitif tentang esensi objeknya.86
Dalam kebajikan sosial (social virtue) universal, kedermawanan menempati
ranking tertinggi di antara kebajikan-kebajikan lain.
Berderma berarti melihat orang lain seperti diri sendiri. Kegiatan
memberikan ataupun membagi apa yang menjadi miliknya, adalah bentuk
perwujudan cinta-kasih dan memiliki makna sosial yang tinggi, terlebih bagi yang
menerima derma. Namun, bagi penderma pun, kebahagiaan yang tak terkira,
apabila dengan dorongan hati berupaya untuk mendapat orang yang benar-benar
sangat membutuhkannya. Sampai-sampai Gibran menggambarkan bahwa
kebahagiaan itu melebihi 'nilai' pemberiannya.
"Dan bagi si pemurah, mencari apa yang akan menerima,
Adalah bahagia, melebihi tindak pemberiannya."87
Paling tidak, ada dua kebahagiaan yang terpancar dalam diri sang pemberi.
Pertama, kebahagiaan dalam pengertian sosial. Yaitu, rasa bahagia bagi si
penderma yang sudah dapat meringankan beban hidup orang lain. Kedua,
kebahagiaan dalam pengertian spiritual. Yakni, konsep berbagi untuk sesama atas
kemauan diri-tidak ada paksaan dan tanpa pamrih- dan dilakukan semata-mata
karena Ilahi.
85
Aldous Huxley, Filsafat Perennial, h. 140
86
Aldous Huxley, Filsafat Perennial, h. 130
87
Kahlil Gibran, Sang Nabi, terj. Sri Kusdyantinah, (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002), Cet.
Ke 12, h. 22
Gibran pun memberi saran agar tidak berlarut-larut dalam memberikan
derma. Karenanya ketika memiliki 'sesuatu' yang lebih dan ada kesempatan untuk
berderma, maka lakukanlah dengan segera.
Adakah sesuatu yang masih kau sembunyikan?
Sekali waktu segala yang kau punya akan terbagi jua,
Karena itu berikanlah sekarang, selagi musim memberi belum lewat bagi
mu, belum beralih tangan pada pewarismu.88
Gibran menganjurkan untuk tidak memilah-milah objek pemberian, karena
memberi (berderma) adalah sebuah kebutuhan hakiki. Simak pesannya tentang
ini:
Seringkali engkau berkata, "Aku memberi, tetapi hanya pada mereka, yang
patut menerimanya"
Pohon-pohon di kebunmu tiada berkata demikian, begitu ternak di padang
rerumputan
Mereka memberi demi kelanjutan hidup sendiri,
Sebab menahan pemberian berarti mati.89
Pesan
ini
begitu
dalam
maknanya.
Gibran
menyarankan
agar
menghilangkan klasifikasi (pengelompokan) terhadap orang-orang yang 'harus'
diberi,90 terlebih hanya memberi kepada orang terdekat atau yang dikenal oleh
mereka. Baginya, seluruh manusia adalah sama, tidak ada pembeda atasnya.
Bahkan, seperti perumpamaan di atas, menahan pemberian berarti mati. Hal itu
mengandung pengertian bahwa pemberian adalah sebuah kebutuhan naluriah dan
'wajib' dimiliki seluruh makhluk.
88
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 21-22
89
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 22
90
Dalam tradisi Hindu, kasta misalnya menjadi salah satu yang mengidentifikasi orangorang yang yang diwajibkan untuk memberi dan orang-orang yang harus menerima. Ksatria dan
Vaisya dianjurkan untuk memberi, sedangkan kasta Barahmana diperintahkan untuk menerima.
Lihat Leona Anderson "Kontekstualisasi Filantropi di Asia Selatan", dalam Filantropi di Berbagai
Tradisi di Dunia, editor Amelia Fauzia dan Dick Van Derm Meij, (Jakarta: CSRC, 2006), Cet. I
hal 70-71
Selain sebagai sebuah kebutuhan, berderma merupakan perwujudan
keadilan dan kasih sayang antar sesama. Bila hal ini tidak dipelihara, maka akan
terjerumus dalam 'lubang' keserakahan. Seperti ditutur berikut ini.
"Di dalam pertukaran hasil kekayaan bumi lah,
Maka manusia mendapatkan pangan yang melimpah ruah,
Dan di situlah dia memperoleh kepuasan
Namun pabila pertukaran hasil bumi tak berdasarkan kasih sayang,
Serta tak dijiwai oleh semangat keadilan yang paramarta,
Maka dia akan menggelincirkan sebagian umat kepada keserakahan "91
.
Semangat keadilan yang terus menerus dipupuk Gibran adalah upaya
untuk menghindari sikap tamak dan serakah. Karena bagaimana pun, dampak
sosialnya begitu besar, akan ada jurang si kaya-si miskin. Alih-alihnya seperti
ditulis Gibran:
"Dan sebahagian lagi akan menderita kelaparan" 92
Hal ini bukan perkara mudah, karena sudah menyangkut
kemanusiaan.
Apalagi,
nyawa
manusia
yang
harus
menjadi
persoalan
taruhan
keserakahannya. Si korban (kaum papa) tidak hanya akan menderita kelaparan,
tapi lebih tragis, dia akan mati kelaparan karena 'buah' dari sikap serakah manusia.
Maka, untuk keluar dari persoalan ini, Gibran memberi pemahaman 'etis'
kepada segenap umat manusia bahwa kedermawanan adalah bentuk amaliah yang
mulia. Proses kesadaran diri untuk memelihara semangat kedermawanan ini
merupakan tanggung jawab bersama. Terlebih, untuk terus saling mengingatkan
bahwa memberi dan menerima, lagi-lagi adalah sebuah kebutuhan.
Buah pohon tak mungkin berkata pada akarnya:
"Jadilah seperti aku, yang masak dan ranum ini,
Senantisa memberikan kelimpahan hasilnya."
Sebab bagi sang buah, memberi adalah kebutuhannya,
91
Kahlil Gibran, Sang Nabi, hal 39
92
Kahlil Gibran, Sang Nabi, hal 39
Sedang bagi sang akar, menerima adalah kebutuhannya.93
b. Ketulusan
Ketulusan adalah kemampuan untuk mengetahui benda-benda dalam apa
yang disebut dalam buddhisme sebagai keadaan pada dirinya, yakni kondisi di
mana mereka berada secara aktual, objektif, dan akurat.94 Karena bersifat tanpa
pamrih (tulus), pastilah ia bersifat universal.95
Selain sebagai sebuah kebutuhan, berderma bagi Gibran harus dibarengi
dengan ketulusan. Ketulusan lahir dari dari dorongan pengertian diri, yang
terejawantahkan dalam bentuk aktus memberi, bahkan tanpa diminta. Seperti
ditutur Gibran dalam syair berikut ini.
"Sungguh utama untuk memberi bila diminta,
Namun lebih utama lagi adalah memberi tanpa diminta,
Karena dorongan pengertian."96
Gibran menaruh apresiasi kepada penderma yang secara ekonomi tidak lah
berkecukupan, namun karena dorongan untuk memberi sangat kuat, maka
penderma itu adalah orang-orang yang meyakini akan kehidupan dan anugerah
kehidupan.
"Adapula yang memiliki sedikit dan memberikan segalanya
Merekalah yang percaya akan kehidupan dan anugerah kehidupan
Dan peti mereka tiada mengalami kekosongan
Ada yang memberi dengan kegirangan di hati,
Kegirangan lah yang menjadi anugerah pengganti
Ada yang memberi dengan kepedihan di hati,
Maka kepedihan menjadi penyucian diri"97
93
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h.72
94
Emanuel Wora, Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme, h. 35
95
Aldous Huxley, Filsafat Perennial, h. 127
96
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 21
97
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 21
Tentu saja akan berkesan lebih dalam, jikalau 'sesuatu' yang diberikan itu
tanpa adanya tendensi apa pun. Terlebih, adanya rasa enggan dari si penderma
untuk mengingat-ingat apa yang sudah diberikan. Sebuah wujud pemberian tanpa
pamrih. Terkait hal ini, Gibran memberi perumpamaan, bagaikan bunga yang
menyebar wewangian di lembah nun jauh di sana.
Dan ada yang memberi tanpa rasa sakit didalamnya,
Tanpa mencari kegirangan dari pemberiannya,
Tanpa mengingat-ingat pemberiannya
"Mereka memberi, sebagaimana di lembah sana,
Bunga-bunga menyebarkan wewangiannya ke udara
Melalui mereka ini lah, Tuhan berbicara,
Dan dari sinar lembut tatapan mata mereka
Dia tersenyum kepada dunia."98
Gibran menambahkan:
“Bila kau memberi dari hartamu, tiada banyaklah pemberian itu
Bila kau memberi dari dirimu, itulah pemberian yang penuh arti”99
Ketulusan sendiri selalu dibenturkan dengan sifat pamrih. Bagi orang yang
memiliki sifat pamrih, segala sesuatu yang ia lakukan haruslah selalu menuai
untung atau mendapat imbalan. Biasanya imbalan yang ingin didapat adalah
ketenaran. Selalu merasa bangga bila menderma dan ingin diketahui khalayak
umum. Terhadap persoalan ini, Gibran dengan lantang menegaskan bahwa
pemberian orang tersebut sudah tidak murni lagi dermanya (tidak tulus).
"Ada orang yang memberi sedikit dari miliknya yang banyak
Dan pemberian itu dilakukan demi ketenaran,
Hasrat tersembunyi membuat tak murni dermanya."100
98
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 21
99
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 20
100
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 21
Sekali lagi, Gibran amat membenci segala pekerjaan yang "dibumbui"
sifat pamrih dan rasa enggan, karena bagi Gibran pekerjaan yang dilakukan akan
sia-sia dan tidak optimal. Simak syair Gibran tentang ini.
"…Dan jika kau tiada sanggup bekerja dengan cinta, hanya dengan enggan,
Maka lebih baiklah jika engkau meninggalkannya…",
Dan walau kau bernyanyi dengan suara bidadari,
Namun hatimu tidak menyukainya,
Maka tertutuplah telinga manusia dari segala
Bunyi-bunyian siang dan suara malam hari.101
Dari gambaran diatas, Gibran ingin menegaskan bahwa segala pekerjaan
(termasuk berderma) harus didasari oleh ketulusan atau ke-tanpa-pamrihan dan
dilandasi dengan cinta.
c. Kerendahan hati
Dalam etika perenial, kerendahan hati merupakan suatu kondisi yang
diperlukan bagi bentuk cinta yang tertinggi, dan bentuk cinta yang tertinggi
memungkinkan pelaksanaan kerendahan hati melalui peniadaan diri secara
total.102 Pada prinsipnya, kerendahan hati dapat dirumuskan sebagai kemampuan
menerima dan menilai diri sesuai dengan kebenaran atau kenyataan yang
sesungguhnya, yang tidak lebih dan tidak kurang.103
Gibran menyarankan agar setiap manusia bersikap rendah hati terhadap
sesama, sekali pun ia telah menabur 'benih' kebajikan. Perhatikan tulisan Gibran
tentang ini.
"Berusahalah dahulu hingga kau pantas jadi pemberi,
101
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 29
102
Aldous Huxley, Filsafat Perennial, h. 135
103
Dr. Al. Purwa Hadiwardaya, MSF, Nilai-Nilai Etis dan Kekuasaan Utopis,
(Jogjakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1992), Cet. I, h. 83
Dan sebuah alat untuk membagi
Sebab sesungguhnya, kehidupanlah yang memberi pada kehidupan" 23
Kerendahan hati adalah kapasitas untuk membuat jarak antara diri
seseorang dengan urusan pribadinya, menjauhkan ego sehingga ia dapat melihat
secara objektif dan akurat.104 Gibran mewanti-wanti agar si pemberi tidak terjebak
pada ego-personal dan si penerima tidak lah merasa utang budi secara berlebihan,
karena ini dapat merusak kebajikan yang telah diperbuat. Gibran dengan tegas
menulis.
"Sedangkan kau, yang mengira dirimu seorang pemberi,
Sebetulnya hanyalah seorang saksi
Dan kau, kaum penerima- ya engkau semuanya tergolong kaum penerima!
Jangan memberati diri dengan rasa utang budi,
Sebab kau akan membebani dirimu dan dan dia yang memberi…" 105
Walaupun jauh dari kesombongan hati, kerendahan hati itu memuat juga
kebesaran hati, yakni hati yang penuh syukur menerima diri sendiri apa adanya
dan sekaligus masih ingin untuk maju lebih jauh lagi.106 Berikut catatan Gibran.
Pabila kau sedang bergembira, mengacalah dalam-dalam ke lubuk hati,
Disanalah nanti engkau dapati, bahwa hanya yang pernah membuat derita,
Berkemampuan memberimu bahagia.
pabila engkau berduka cita, mengacalah lagi ke lubuk hati,
disanalah pula kau bakal menemui,
bahwa sesungguhnyalah engkau sedang menangisi,
sesuatu yang pernah engkau syukuri107
Tak syak, disinilah keindahan dari sikap rendah hati, ia tidak pernah
terbawa pada ego-personal yang hanya mementingkan pribadi, tapi sebaliknya, ia
104
Emanuel Wora, Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme, h. 35
105
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 23
106
Dr. Al. Purwa Hadiwardaya, MSF, Nilai-Nilai Etis dan Kekuasaan Utopis, h. 83
107
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 30-31
berusaha senantiasa mendatangkan kebaikan bagi orang lain. Juga, selalu
bersyukur atas nikmat yang didapatnya.
Dalam analisis konten atau analisa terhadap isi dari karya Gibran di atas,
tersingkap pesan etis yang berisi tiga konsep kebajikan, yakni kedermawanan,
ketulusan dan kerendahan hati. Terlihat secara jelas dalam bait-puisinya,
bagaimana Gibran memberi pemahaman etis yang teraktualisasi dalam bentuk
solidaritas antar sesama; sebuah perwujudan sosial antar manusia.
2. Nilai-Nilai Religiositas Kahlil Gibran
Salah satu daya tarik filsafat Gibranian yang dirasakan oleh pembacanya
adalah penekanannya yang mendalam terhadap spiritualitas (religiositas). Gibran
dianggap sebagai Sang Nabi oleh para pengikutnya, karena dalam abad keduapuluh yang teknokratis ini ajaran-ajarannya masih memainkan peran sosial efektif
dalam mengajarkan nilai-nilai religiositas, sebagaimana yang dilakukan oleh para
nabi pada masa mereka.
Nilai religiositas yang diungkap Gibran biasanya merupakan pertanyaan
sekaligus jawaban atas berbagai persoalan keagamaan, moral maupun sosialkemanusiaan. Simak khotbah 'almustafa' dalam karya utamanya, Sang Nabi,
Gibran membahas persoalan keagamaan.
"Bukankah agama sebenarnya meliputi,
Segenap gagasan dan tindak manusiawi?
Bahkan juga meliputi yang bukan gagasan maupun tindakan…"108
108
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 86
Bagi Gibran, agama tidak hanya menjamah kehidupan ide dan aksi
manusia, namun juga meliputi segenap 'relung' kehidupan manusia. Dan keduanya
(ide-aksi) tidak jalan sendiri-sendiri. Harus selaras dan serasa.
Gibran mewanti-wanti agar ritual keagamaan (ibadah) tidak laksanakan
setengah hati, ibarat jendela yang dibuka-tutup sesaat.
"Manusia yang menganggap ibadah sekadar jendela,
Yang kadang ditutup, hanya terkadang dibuka,
Agaknya belum mengunjungi rumah jiwanya,
Yang terbuka selalu sepanjang hari, sepanjang masa."109
Begitu pula Gibran menyarankan agar berusaha melihat kehidupan
sebagai rumah ibadah yang sekaligus memuat ritual ibadah. Maka selami lah
'keindahannya' dengan segenap jiwa-raga. Simak pesan manis tentang ini.
"Kehidupanmu sehari-hari adalah rumah ibadah, dan ibadah pula
Masukilah kehidupan itu dengan seluruh pribadi".110
Selanjutnya pada bagian lain, Gibran memberikan pemahaman tentang
do'a. Saran Gibran, seseorang memohon pertolongan pada Tuhan tidak hanya
pada saat mendapat kesulitan, namun pada waktu mendapat kesuksesan pun,
alangkah baiknya memanjatkan puja-puji pada-Nya, sebagai bentuk syukur atas
kelimpahan-Nya. Dalam syair yang cukup panjang Gibran mengingatkan hal ini.
Kalian berdo'a disaat kesulitan dan membutuhkan;
Alangkah baiknya kalian pun berdoa di puncak kegirangan
Dan di hari-hari rezekimu sedang berlimpahan
Karena, apalah doa itu selain pengembangan dirimu dalam ether yang
hidup?
Dan bila kau dapat merasa nyaman, bila sempat mencurahkan,
Kegelapan hatimu keharibaan ruang angkasa,
Maka kau pun dapat merasa nyaman, jika dapat memancarkan,
Fajar merekah di hatimu ke cakrawarti raya.111
109
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 87
110
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 87
111
Kahlil Gibran, Sang Nabi, h. 75
Dalam Suara Sang Guru, Gibran dengan bijak menjelaskan kearifan
(Wisdom).
"Seorang arif adalah dia yang mencintai dan mengagungkan Tuhan.
Kebaikan manusia ada pada pengetahuan dan perbuatan, dan bukan pada
warna kulit, ras atau keturunan."112
Pesan di atas mengandung makna bahwa nilai baik seseorang tidak diukur
dari warna kulit, ras ataupun keturunan. Tapi ukurannya adalah pengetahuan yang
ia peroleh dan perbuatan yang dikerjakannya. Keduanya adalah anugerah dari
Tuhan. Maka, tambah Gibran, biarkan pelita itu tetap menyala, dan jangan sampai
padam.
"Tuhan telah menganugerahkan kecerdasan dan pengetahuan kepadamu.
Janganlah kamu padamkan pelita cinta itu dan jangan biarkan lilin kearifan
mati dalam kegelapan nafsu dan kesalahan. Karena orang yang bijak
mendekati manusia dengan obornya untuk menerangi jalan umat
manusia."113
Pandangan Gibran yang sangat religius itu memang terbentuk sejak masa
kecilnya. Ibunya anak seorang pendeta terkemuka gereja Maronit. Namun kiranya
yang cukup dominan, nilai religiositas ini Gibran peroleh selama masa sekolahnya
di Madrasah Al-Hikmah, di mana Gibran diwajibkan dua kali dalam sehari
mengikuti acara di gereja, dan tentu saja sangat berpengaruh terhadap kentalnya
orientasi religius Gibran.114
Setiap mengikuti acara keagamaan itu, sikap kritis tak pernah luput dari
Gibran. Seolah-olah berkata pada dirinya sendiri, Gibran sering kali
112
Kahlil Gibran, Trilogi Hikmah Abadi; Sang Nabi, Taman Sang Nabi, Suara Sang
Guru, terj. Adil Abdillah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), Cet. I, h. 249
113
Kahlil Gibran, Trilogi Hikmah Abadi, h. 250
114
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 39
mempertanyakan apa esensi dari kegiatan tersebut. Berikut petikan penuturan
Mikhail Naimy, sahabat karib dan penulis biografi Gibran tentang hal ini.
"Surely you have prayed enough to last you to the end of your days, and
hence forth you shall not enter the church as a worshipper; for the Jesus you
love so dearly is not found in churches. Many are the places of worship, but
few indeed are thoe who worship in spirit and in truth."(Naimy, 43)
"Sembahyangmu pasti sudah cukup hingga mencakup hari akhirmu, maka
selanjutnya kau tak perlu lagi masuk gereja sebagai pemuja; karena Jesus
yang sangat kau cintai tidak terdapat dalam gereja-gereja. Memang banyak
tempat peribadatan, tapi sesungguhnya sedikit saja orang yang beribadah
dengan semangat dan kebenaran."115
Bagi Gibran, ritual keagamaan tidak lah harus diformalkan (melalui
kebaktian gereja), melainkan cukup dilakukan di luar sana, karena Jesus tidak
terdapat dalam gereja.116 Atau dalam bahasa lain, religiositas tidak lah hanya
berkutat pada masalah ketuhanan yang digariskan agama formal. Religiositas
lebih mengarah pada kesadaran ketuhanan yang termanifestasikan dalam nilainilai dan asas kemanusiaan.117
Puncaknya, Gibran melancarkan kritik pedas tehadap dominasi gereja. Di
Paris, saat usianya baru delapan belas tahun, Gibran melahirkan karyanya yang
sangat mengejutkan masyarakat Lebanon, khususnya kalangan penguasa serta
gereja dan pendetanya, yaitu Spirit Rebellious (Jiwa atau Roh Pemberontak).
Sebagaimana terpantul dari tiga cerita yang diriwayatkan dalam buku ini, Gibran
bukan saja menyerang tatanan hukum yang sangat tidak adil dan menyerang keras
kesewenangan para penguasa, melainkan juga melancarkan kecaman pedas
115
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 66-67
116
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 67
117
Ditulis oleh Mashuri dalam "Menggagas Sastra Religius yang Berkualitas". Artikel ini
diakses dari http://islamlib.com/id/index pada 27 Januari 2007
terhadap gereja.118 Berikut kami kutipkan gejolak pemberontakan Gibran terhadap
pemuka gereja dalam cerita 'Khalil si Klenik'.
"Untuk apa kalian menghabiskan hari-hari di sini dan menikmati derma
kaum miskin, sedang roti yang kalian makan dibuat dengan keringat tubuh
dan air mata hati mereka? Mengapa kalian hidup dalam bayangan
parasitisme, seraya memisahkan diri dari mereka yang mendambakan
pengetahuan? Mengapa tidak kalian berikan bantuan untuk negeri ini? Jesus
telah mengutus kalian sebagai anak-anak domba di antara serigala; lantas
apa yang menjadikan kalian ibarat serigala diantara domba-domba? "119
Selanjutnya,
dengan
nada
tinggi
namun
tetap
santun,
Gibran
memperingatkan bahwa apa yang selalu ditonjolkan para pemuka Gereja sebagai
sebuah kelebihan dan bentuk kemuliaan, bagi Gibran tidak memiliki arti apa-apa.
Air mata rakyat adalah lebih indah dan diberkati Allah dari pada
kenyamanan serta kedamaian terhadap mana kalian membiasakan diri di
tempat ini. Simpati yang menyentuh hati sesama adalah lebih tinggi dari
pada kebajikan tersembunyi di pojok-pojok biara yang tidak kelihatan. Kata
belas kasih kepada penjahat yang lemah atau pelacur adalah lebih mulia dari
pada doa-doa panjang yang kita ulangi dengan kosong setiap harinya di
bait.120
Merasa tersinggung dengan cerita dalam karya tersebut, para penguasa
Lebanon memerintahkan agar buku Spirit Rebellious dibakar dengan disaksikan
oleh keramaian umum. Bersama itu para penguasa memutuskan untuk
mengasingkannya
dari
Lebanon
serentak
dengan
keputusan
hukuman
eskomunikasi dari gereja maronit.121
Kiranya suatu anggapan yang amat keliru untuk menyebut Gibran sebagai
atheis semata-mata karena dirinya terkena hukuman eskomunikasi dari gerejanya
118
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 40
119
Kahlil Gibran, Roh Pemberontak, diterjemahkan dari "Spirit Rebellious", terj. Arvin
Saputra, (Batam: Classic Press, 2003), h. 74
120
Kahlil Gibran, Roh Pemberontak, h. 76
121
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 66
dan beberapa karyanya dimusnahkan di muka umum. Sebuah anggapan yang
keliru ketika sikap anti-pendetaisme Gibran merupakan ekspresi ketidakberagamaannya. Pada dasarnya, jujur saja, Gibran adalah seorang yang sangat
religius. Dia hanya keberatan atas pola “penggunaan” agama oleh pejabat gereja.
Dia beranggapan bahwa agama yang berada di tangan agen-kependetaan menjadi
sesuatu untuk “digunakan” namun bukan untuk “dihidupkan”.122 Bisa dilihat
kembali bagaimana pantulan sikap keberagamaan Gibran dalam cerita 'Khalil si
Klenik'.
"Aku percaya pada Allah yang mendengarkan seruan jiwa kalian yang
menderita, dan aku percaya kepada kitab yang menjadikan kita semua
saudara di hadapan sorga. Aku percaya kepada ajaran-ajaran yang
menjadikan kita semua sama,dan yang menjadikan kita tidak dipaku di bumi
ini, tempat berpijak kaki Allah yang hati-hati."123
Gibran terkesan mengibaratkan dirinya sebagai penjelmaan mikro-theos
dalam pelukan makro-theos yang penuh cinta. Dalam hubungan ini Gibran
tampaknya dipengaruhi oleh pantheisme kaum sufi yang menganggap kehadiran
Tuhan di mana saja. Kehadiran Tuhan terungkap melalui segala makhluknya,
termasuk manusia. Di bawah pengaruh sufisme ini Gibran tampaknya tidak
terbelenggu pada dogma keagamaan.124
"Religion? What is it? I khow only life. Life means the field, the vineyard,
the loom…The Church is within you. You yourself are your priest." (Young,
38)
Agama? Apa itu? Aku hanya tahu kehidupan. Kehidupan berarti ladang,
kebun anggur, alat tenun....Gereja ada dalam dirimu sendiri. Kau adalah
pendeta bagi dirimu sendiri.125
122
Kahlil Gibran, God of Lost Soul, diterjemahkan menjadi Tuhan bagi Jiwa yang
Hilang, oleh AS. Mangoenprasodjo, Endah Dwi Pratiwi, (Jogjakarta: Tarawang Press, 2002), Cet.
I, h. viii
123
Kahlil Gibran, Roh Pemberontak, h. 105-106
124
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 66
125
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 66
Pandangan demikian itu pula yang menyebabkan Gibran meninggalkan
gereja, karena menurut pendapatnya Tuhan tidak berada di gereja melainkan
berada dalam diri kita masing-masing. Betapa pun pandangan Gibran mengenai
agamanya, namun satu hal yang tidak dapat disangkal, yaitu bahwa Gibran adalah
seorang yang menghayati kehadiran Tuhan secara intensif; seorang homo
religious sejati. Dalam sajaknya berjudul “Nyanyian Seorang Lelaki”, Gibran
memberi kesan penghayatan keagamaan begitu mendalam.
“Aku dengar pengajaran Konghuchu, Aku dengar hikmat Brahmana, Aku
duduk di samping Sang Budha di bawah pohon pengetahuan, Tetapi inilah
Aku, ada dengan ketidaktahuan dan takhayul; Aku pernah berada di sini
ketika Yahwe mendekati Musa, kesuksesan mukjizat-mukjizat orang
Nazaret itu di Jordan, Aku pernah di Madina ketika Muhammad hijrah,
tetapi ini lah aku, tawanan kebingungan126
Simak pula sebuah ungkapan tulus Gibran tentang Yang Abadi, Tuhan.
"Sebuah hati yang meliputi segenap hati kalian, suatu cinta yang mencakup
seluruh cinta kalian, suatu jiwa yang merangkum segenap jiwa kalian, suatu
suara yang meliputi semua suara kalian, dan suatu keheningan yang lebih
dalam dari semua keheningan, yang abadi."127
Wujud penghayatan akan kehadiran Tuhan direfleksikan dengan bentuk
kecintaan Gibran pada sesama manusia. Menurutnya, manusia adalah putera Roh
Kudus, maka dari itu semuanya adalah saudara. Berikut ungkapan manis Gibran
tentang ini.
"Engkau adalah saudaraku karena engkau adalah manusia dan kita adalah
sama-sama putra Roh Kudus, dijadikan dari tanah yang sama. Engkau
berada disini sebagai temanku di sepanjang jalan kehidupan dan penolongku
126
Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, terjemahan dari “The Treasured Writings of Kahlil
Gibran” oleh Anton Kurnia, (Bandung: Penerbit Diwan, 2002), h. 98
127
Kahlil Gibran, Tetralogi Masterpiece: Sang Nabi, Sayap-Sayap Patah, Suara Sang
Guru, Taman Sang Nabi, Terj. AS. Mangoenprasodjo, (Jogjakarta, Tarawang Press, 2001), Cet.
III, h. 347
dalam memahami makna Kebenaran yang tersembunyi. Engkau manusia
dan fakta itu sudah cukup agar aku mengasihimu sebagai saudaraku."128
Kemudian, Gibran menggenapinya dengan menjelaskan hubungan antara
manusia dan Tuhan melalui kekuatan cinta.
“Kau dan aku, semuanya adalah anak-anak iman yang sama, karena
berbagai jalan agama yang beragam adalah jari-jari tangan cinta dari Wujud
Agung yang satu juga, tangan yang merengkuh semuanya, mengulurkan
kesempurnaan hati kepada semuanya, dan dengan penuh cinta menerima
semuanya…”129
Konsepsi Gibran mengenai persaudaraan antar sesama yang dilandasi oleh
pengetahuan tentang Tuhan ini, dipertegas lagi oleh Gibran dengan mengatakan
bahwa semua umat beragama adalah bersaudara di hadapan Tuhan. Semua agama
sama sebagai jalan menuju Tuhan yang sama pula.
"Engkau adalah saudaraku, dan aku mencintai kau yang memuja di
gerejamu, kau yang berlutut di kuilmu, dan kau yang bersujud di masjidmu.
Kita semua adalah anak-anak dari agama yang tunggal, sebagai jalan agama
yang beragam hanyalah jari-jari tangan pengasih dari Yang Maha Tinggi,
yang diulurkan pada semua orang, menawarkan keutuhan jiwa pada semua
orang dengan harapan akan menerima semua orang..”130
Kutipan bait-puisi Gibran di atas, semakin mengukuhkan Gibran sebagai
seorang humanis religius yang ingin menyampaikan imbauan bagi manusia secara
universal.
3. Persaudaraan antar-sesama, antar-bangsa; tanpa sekat, tanpa batas
Kerangka nilai terakhir yang menjadi perwujudan humanisme universal
Kahlil Gibran, dapat terlihat dari usaha Gibran dalam mengungkap konsepsinya
128
Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, h. 136-137
129
Kahlil Gibran, Cinta, Keindahan dan Kesunyian, h. 260
130
Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, h. 138
tentang persaudaraan antar-sesama, antar-bangsa; tanpa dibatasi suku, agama dan
ras; tanpa ada jarak ataupun dikotomi Barat-Timur; tidak ada kekerasan ataupun
penjajahan; benar-benar merdeka, penuh dengan cinta-kasih.
Dalam pengutaraan tentang dirinya, Gibran kentara sekali meyakini
kemanusiaan sebagai penjelmaan tunggal. Manusia dimana-mana sama. Manusia
dan sesamanya adalah salah satu ummat.131 Maka kemanusiaan adalah satu.132
Wujud kesatuan ini tak lain karena terbuat dari satu unsur yang sama.
"Manusia terbuat dari unsur yang sama, tidak ada yang berbeda kecuali
penampilan lahiriah, yang sebenarnya tidak punya arti apa-apa."133
Namun di balik ke-satu-an unsur itu, manusia sering kali merentang jarak
antara satu dengan yang lain. Bagi Gibran, terbentangnya jarak antara sesama
manusia adalah hasil ciptaan benak manusia sendiri.
"Benar kah aku memisahkan diri dari kalian? Tidak kah kau ketahui, jarak
itu nyata, kecuali yang direntang oleh khayalan rasa? Dan bila pun jarak
direntang oleh rasa, dia menjelma jadi irama dalam jiwa."134
Terlebih, jikalau terbentang jarak dengan orang paling dekat (tetangga).
Gibran menyebut rentang jarak antar mereka laksana terhalang tujuh benua dan
tujuh lautan.
"Jarak yang terbentang antaramu dan tetangga dekat, yang tidak dipupuk
perasaan bersahabat, memang lebih dari yang terpancang, antaramu dan para
tersayang, walau tujuh benua dan tujuh laut menghalang."135
131
Ummat adalah suatu masyarakat dimana sejumlah individu yang mempunyai
keyakinan dan tujuan yang sama menghimpun diri secara harmonis dengan maksud untuk
bergerak maju ke arah tujuan bersama, (Ali Syari’ati, on The Sociology Islam, terj. Saifullah
Mahyadi, Jogjakarta: Amanda, 1992), Cet. I, hal 159
132
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 52
133
Kahlil Gibran, Elegi Sang Penyair ,(Yogyakarta: Penerbit Cupid, 2003), Cet. I, h. 32
134
Kahlil Gibran, Tetralogi Masterpiece, h. 334
Gambaran di atas terlihat bahwa jarak yang terjadi dalam hubungan antara
sesama manusia sebenarnya disebabkan oleh berbagai kerangka praduga yang
mengakibatkan kita tidak siap untuk menerima sesama manusia dalam kesejatian
kehadirannya. Adanya prasangka, curiga, dengki, irihati dan berbagai praduga
lainnya menyebabkan manusia tidak lagi polos menghadapi sesamanya. Gibran
melihat peperangan di masa lalu pun, tidak lepas karena adanya praduga itu.
"Lewat kejahatan mereka kami dipecah-belah; dan untuk mempertahankan
takhta mereka serta hidup nyaman, mereka dipersenjatai bangsa Druze untuk
melawan bangsa Arab, dan mengusik bangsa Shiite untuk menyerang
bangsa Sunnite, dan mendorong bangsa Kurdi untuk membantai bangsa
Bedouin, dan menghasut pengikut Nabi Muhammad untuk bertikai dengan
pengikut Kristus. Sampai kapankah saudara saling membunuh saudaranya
sendiri di dada ibunya? Sampai kapankah Salib dipisahkan dari Sabit di
hadapan mata Allah? Ya, Kemerdekaan, dengarlah kami, dan berbicaralah
atas nama satu orang saja, sebab api yang besar dimulai dari persik yang
kecil."136
Kecenderungan manusia untuk membingkai sesamanya menimbulkan
jarak dalam hubungan antar-manusia dan antar-masyarakat maupun antar-bangsa.
Bingkai-bingkai keturunan, kesukuan, kebangsaan, keagamaan, kedudukan sosial,
dan lain sebagainya seringkali menentukan persepsi dan apresiasi manusia
terhadap sesamanya. Gibran tidak dapat membenarkan pemilahan umat manusia
dalam dikotomi penjuru Timur-Barat. Secara lugas, Gibran mengingatkan hal ini.
"...Tidak, saudaraku, Barat tidaklah lebih tinggi daripada Timur, juga Barat
tidak lebih rendah dari Timur, dan perbedaan antara keduanya tidaklah lebih
besar dari pada perbedaan antara harimau dan singa..."137
Gibran tidak setuju dengan ungkapan Mark Twain yang terkenal, yaitu
“East is east and west is west, and never the twain shall meet”.138 Pandangan
135
136
137
Kahlil Gibran, Tetralogi Masterpiece, h. 334
Kahlil Gibran, Roh Pemberontak, h. 132
Kahlil Gibran, Elegi Sang Penyair, Cet. I, h. 32
demikian itu jelas tidak patut dipilih sebagai pedoman pergaulan antar-manusia.
Dikotomi Timur-Barat itulah yang lama sekali menjadi sumber sengketa dalam
pergauln antar-bangsa. Satu pihak merasa superior terhadap pihak lainnya;
celakanya, yang direndahkan mau pula menerima citra keunggulan pihak yang
menganggap dirinya inferior. Simak paparan Gibran tentang ini.
"Keegoisan, saudaraku, adalah penyebab superioritas buta dan superioritas
menciptakan kesukuan, lalu kesukuan menciptakan kekuasaan yang
menuntun ketidakselarasan serta penaklukan."139
Dengan menaruh iba, Gibran mengatakan:
"Kasihan bangsa yang terpecah-pecah, dan masing-masing pecahan
menganggapnya sebagai bangsa."140
Keadilan,
menurut
Gibran,
kiranya
dapat
menjadi
asas
untuk
menjembatani setiap perbedaan yang ada.
"Ada hukum yang adil dan sempurna dibalik masyarakat lahiriah tersebut,
yang menyamaratakan penderitaan, kesejahteraan, dan kebodohan; ia tidak
melebihkan suatu bangsa di atas yang lainnya, juga tidak menindas satu
suku dan memakmurkan yang lainnya."141
Dalam memperjuangkan hak dan martabat manusia, Gibran terutama
tergugah oleh berbagai bentuk penindasan dan kekejaman manusia terhadap
manusia sesamanya. Dia tidak tahan menyaksikan penderitaan manusia yang
138
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 48
139
Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, h. 139
140
Ahmad Norma (ed.), Kahlil Gibran, Cinta, Keindahan dan Kesunyian, (Jogjakarta:
Yayasan Bentang Budaya, 1997), cet I, h. 185
141
Kahlil Gibran, Elegi Sang Penyair, h. 32
diakibatkan oleh tindakan manusia lain.142 Gibran bertanya-tanya, mengapa masih
saja manusia saling berperang untuk saling menaklukkan? Terhadap kekuatan
asing yang menjajah negerinya Gibran berkata:
"Engkau adalah saudaraku, tetapi mengapa kah engkau bertengkar
denganku? Mengapakah engkau menyerbu negaraku dan berusaha
menaklukan aku demi menyenangkan mereka yang mencari kemuliaan dan
kekuasaan?
Mengapakah engkau tinggalkan isteri dan anak-anakmu dan mengikuti Maut
ke negeri yang jauh demi mereka yang membeli kemuliaan dengan darahmu
dan kehormatan dengan air mata Ibumu?
Apakah suatu kehormatan, kalau seseorang membunuh saudaranya sendiri?
Kalau engkau menganggapnya kehormatan, biarlah itu menjadi ibadah, dan
dirikanlah sebuah kuil bagi Qabil yang membunuh adiknya, Habil." 143
Begitu pun sebaliknya, Gibran amat membenci ketika negaranya sendiri
harus menyerang negara lain, apa pun motifnya, karena akan menambah
kesengsaraan bagi mereka.
"Aku rindu akan negeriku yang indah dan mencintai bangsanya karena
kesengsaraan mereka. Tetapi kalau bangsaku bangkit, terdorong oleh apa
yang mereka sebut "semangat patriotik" untuk membunuh dan menyerbu
tetangga, mereka atas setiap kejahatan kemanusiaan aku akan membenci
bangsaku dan negaraku."144
Dengan suara lantang Gibran mengumandangkan pekik kemerdekaan.
"Dengarlah kami ya Kemerdekaan;
Kasihanilah, ya Puteri Athena;
Selamatkanlah kami, ya Suster Roma;
Nasihatilah kami, ya Sahabat Musa;
Tolonglah kami, ya Muhammad Terkasih;
Ajarilah kami, ya Mempelai Yesus;
Kuatkanlah hati kami agar kami boleh hidup,
Atau bereskanlah musuh-musuh kami
142
Fuad Hassan, Menapak Jejak Khalil Gibran, h. 47
143
Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, h. 139
144
Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, h. 134
Agar kami boleh binasa dan hidup dalam damai selamanya."145
Universalisme Gibran tidak terbelah-belah dalam penjuru angin, tidak juga
dalam perbedaan agama, atau batas-batas negara mau pun sekat-sekat antarbudaya. Pergaulan antar manusia adalah pergaulan antar sesama, terlepas dari
penjuru asal-usulnya, ranah budayanya maupun ajaran agamanya. Renungkan arti
pernyataan Gibran tentang ini.
"Manusia dibagi menjadi berbagai suku, menjadi milik negara dan kota-kota
namun kutemukan diriku bagi semua komunitas tanpa tempat menetap.
Alam semesta adalah negara ku dan keluargaku manusia adalah suku ku.146
Gibran tidak menyanggah kenyataan bahwa umat manusia terdiri atas
berbagai suku-bangsa. Namun ini tidak berarti harus dilakukannya pemisahan
yang bersifat diskriminatif antar manusia, karena sebenarnya perbedaan suku atau
ras justru akan memperkaya masyarakat.147 Hubungan antar manusia dilukiskan
Gibran sebagai pilihan antara hidup dalam keterasingan atau hidup dalam saling
keterjalinan. Perhatikan apa yang dituangkan dalam salah satu tulisannya, sebagai
berikut.
“Sahabatku, kau dan aku akan tetap asing terhadap kehidupan, dan antara
satu dan lainnya, dan masing-masing dengan dirinya, hingga pada suatu
ketika kau mau berbicara dan aku mau mendengarkan, menganggap suaramu
suaraku sendiri: dan ketika aku berdiri di hadapanmu membayangkan diriku
berdiri di hadapan cermin.”148
145
Kahlil Gibran, Roh Pemberontak, h. 133
146
Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, h. 133
147
Dr. Al. Purwa Hadiwardaya, MSF, Moral dan Masalahnya, (Jogjakarta: Kanisius,
1990), Cet. I, h. 85
148
Fuad Hassan, Menapak Jejak Kahlil Gibran, h. 152
Jelaslah bahwa universalisme Gibran adalah pandangan universalis
paripurna, tanpa pemisah dan tanpa pemilah dalam pergaulan manusia dan antarbangsa. Semangat yang menyertai pandangan ini sesuai dengan firman Allah yang
termuat dalam al-Qur’an (Qs. Al-Hujarat/49:13):
”Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal mengenal…”.149
Begitulah, kata ‘saling kenal-mengenal’ kiranya memuat penugasan, yaitu
agar manusia sanggup melakukan transendensi-diri melampaui perbedaan asal
kesukuan dan kebangsaannya, dan bersamanya itu juga ranah budayanya.150
Konsep persaudaraan antar sesama, antar bangsa yang dikembangkan
Gibran membuatnya semakin disegani dan diakui oleh khalayak, bahwa
sesungguhnya dalam pesan-pesan persaudaraan Gibran tersembul nilai-nilai
universalitas, tanpa sekat dan tanpa batas.
B. Humanisme Universal Gibran: Sebuah Cita-Cita
Tiga kerangka nilai yang disebutkan di atas, yakni pesan etik, nilai-nilai
religusitas dan persaudaraan antar-sesama, antar-bangsa, adalah sesuatu yang
berkaitan dan saling menunjang antara satu dan lainnya. Dari ketiga kerangka ini
Gibran menjelma menjadi seorang yang humanis yang sarat dengan imbauan
149
150
Al-Quran dan Terjemahannya, (Jakarta: Departemen Agama RI, 1994)
Fuad Hassan, dalam makalah "Catatan Pengantar Tentang Gibran Sebagai Penganjur
Humanisme Universal", diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina, pada tanggal 20 April
2001 di Regent Hotel Jakarta, h. 7
universal, yang bagi penulis, merupakan cita-cita luhur dari seorang Kahlil
Gibran, penganjur humanisme universal.
Pesan etik Gibran yang berisi kedermawanan, ketulusan dan kerendahan
hati memberi pemahaman etis yang teraktualisasi dalam bentuk solidaritas antar
sesama; sebuah wujud kepedulian sosial antar manusia. Dengan melakukan
serangkaian kegiatan filantropi (bahasa Yunani, Philos berarti Cinta, anthropos:
manusia, kemanusiaan) di atas, tentunya akan semakin merekatkan persaudaraan
antar sesama, dan tentunya semakin terbuka 'jalan' menuju Realitas Ilahi.
Kemudian, nilai religoisitas Gibran merupakan refleksi dari wujud
penghayatan akan kehadiran Tuhan sebagai bentuk kecintaan pada sesama
manusia. Simak sekali lagi penuturan Gibran tentang ini.
"Engkau adalah saudaraku karena engkau adalah manusia dan kita adalah
sama-sama putra Roh Kudus, dijadikan dari tanah yang sama. Engkau
berada disini sebagai temanku di sepanjang jalan kehidupan dan penolongku
dalam memahami makna Kebenaran yang tersembunyi. Engkau manusia
dan fakta itu sudah cukup agar aku mengasihimu sebagai saudaraku."151
Sesungguhnya, persaudaraan sejati adalah bahwa adanya sebuah rasa
persamaan sebagai seorang manusia yang satu, dan dicipta dari Tuhan yang sama
pula. Tanpa ada batas kesukuan, agama dan ras; tanpa ada jarak atau pun dikotomi
Barat-Timur; tidak ada kekerasan ataupun penjajahan; benar-benar merdeka,
penuh dengan cinta-kasih. Imbauan Gibran tersebut bermakna universal, bukan
hanya di tempat ini, tempat itu, tetapi di seluruh alam semesta.
Bagi Gibran, seperti telah dikutip di muka, seluruh manusia adalah saudara
dan karenanya manusia adalah satu. Maka tak salah kiranya, bagi penulis,
imbauan-imbauan universal Gibran yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan,
151
Kahlil Gibran, Nyanyian Cinta, h. 136-137
semakin mentasbihkan Gibran sebagai seorang penganjur humanisme universal.
Sebuah cita-cita luhur yang patut ditiru oleh manusia sejagad.
Sebagai penutup, humanisme sebagai sebuah cita-cita tinggi dan
mengandung nilai-nilai universal menempatkan keadilan terhadap manusia
sebagai bagian dari makhluk hidup. Adanya keadilan akan hak dan kewajibannya
memposisikan manusia sebagai jiwa yang selayaknya bebas, sederajat dan
bertanggung jawab atas dirinya sendiri. adanya keadilan hak dan kewajiban ini
juga akan memposisikan manusia sebagai jiwa merdeka dari belenggu.
C. Tinjauan Kritis Dan Relevansi Karya Terhadap Kehidupan Dewasa Ini
Ada beberapa hal, dari karya atau pun sosok Gibran di atas, yang kami kira
patut untuk diberikan catatan penting.
Pertama, ketika Gibran mengedepankan sikap (tindakan) religus sebagai
sesuatu yang terpisah dari agama formal, sebagai bentuk kekecewaan terhadap
dominasi Gereja dan terlebih pada tingkah laku pendetanya, penulis melihat
pemahaman akan makna keagamaan Gibran begitu kering. Bagaimana pun,
menurut kami, agama adalah sebuah jembatan untuk mengenal Tuhannya. Betul
bahwa Gibran begitu kecewa terhadap Gereja, tapi tidak harus dengan
meninggalkan gereja, melainkan dengan serta merta membangun semangat
'kebersamaan' di lembaga keagamaan tersebut. Semangat yang selalu hadir dalam
bait-puisinya. Ketika Gibran banyak mengungkap keuniversalan manusia,
seharusnya Gibran pun mengangkat makna universal dalam agama.
Kedua, Gibran bukanlah orang yang berjibaku dalam kehidupan Lebanon,
karena Gibran sendiri sudah meninggalkan tanah kelahirannya sedari kecil,
sekalipun 2-3 tahun pernah sekolah di sana. Maka, kami kira pandangan Gibran
terhadap tanah airnya terlampau subjektif. Gibran bukan pelaku melainkan hanya
sekedar pengamat. Gibran hanya sebatas menulis puisi, titik. Artinya, tidak ada
kesepahaman antara gerak langkah dengan kata. Misalnya, ketika Gibran
mengumandangkan pekik kemerdekaan, Gibran hanya dapat melakukan itu di
negeri nun jauh di sana.
Ketiga, apa yang Gibran wariskan, baru sebatas wacana, yang masih
berada "di langit" atau masih ”me-menara gading” belum membumi. Misalnya,
ketika Gibran menolak dikotomi Timur-Barat, Gibran tidak 'menjembatani'
persoalan tersebut pada satu ruang khusus semacam diskusi roundtable. Padahal
sebagai seorang yang memiliki pengaruh untuk mempersatukan dua 'kutub' yang
berlawanan, seharusnya Gibran mampu untuk mempertemukan keduanya dan
membahas sekaligus menyelesaikan persoalan tersebut sampai tuntas.
Sekalipun Gibran memiliki kekurangan terutama dalam keselarasan gerak
langkah dengan kata, namun Gibran adalah Gibran. Seorang seniman yang
memiliki kesan universal begitu dalam. Tentu, banyak hal penting dan bermakna
terkait hubungan (relevansi) dengan kehidupan dewasa ini.
Pertama,
karya
Gibran
tidak
dapat
dilepaskan
dari
nilai-nilai
keuniversalan. Dalam pesan etik yang memuat kedermawanan, ketulusan dan
kerendahan hati, selayaknya menjadi contoh baik, bahwa manusia harus
mengembangkan budaya ini, guna memupuk solidaritas antar sesama, yang sudah
banyak dilupakan. Di tengah krisis ekonomi yang sudah 10 tahun lebih melanda
republik persada, nilai-nilai etis tidak hanya diwacanakan, tapi menjadi cerminan
bagi semua, untuk bangkit dari keterpurukan.
Kedua, konsep persaudaraan antar sesama tanpa sekat tanpa batas yang
diwariskan Gibran, harus menjadi pelajaran berharga bagi kehidupan berbangsa
dan bernegara. Bagaimana pun, bangsa ini telah kehilangan ruh pemersatu, seakan
semua terkotak-kotak oleh kepentingan ras, suku, agama bahkan partai. Maka,
untuk lepas dari persoalan ini, tak lain kita harus merekatkan jalinan persaudaraan
dan menghilangkan bingkai yang merentang jarak. Kita adalah sama.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Membaca dan menganalisa isi dari karya Gibran, orang dengan mudah
akan sampai pada kesimpulan bahwa dia adalah representasi dari sosok serentak
tampil sebagai homo ethicus, homo religious. homo socius dan homo aestheticus.
Konfigurasi itu pula yang menjadikannya sebagai sastrawan dan filsuf yang
sangat peka dan tanggap terhadap nilai-nilai kemasyarakatan dan kemanusiaan,
keindahan, kesusilaan serta ketuhanan.
Gibran mengutarakan pandangannya dengan jelas dan konsisten mengenai
nilai-nilai yang menjadi acuannya dalam menanggapi berbagai masalah manusia
dan kemanusiaan. Bagi Gibran, manusia dimana-mana sama. Manusia dan
sesamanya adalah salah satu ummat. Maka kemanusiaan adalah satu.
Terbentangnya jarak antara sesama manusia adalah hasil ciptaan benak manusia
sendiri. Gibran tidak bisa membenarkan pemilahan umat manusia dalam dikotomi
penjuru Timur Barat
Gibran mengukuhkan sebagai seorang humanis religius yang ingin
menyampaikan imbauan bagi manusia secara universal. Gibran pun menunjukan
betapa umat manusia perlu dibangkitkan kesadarannya sebagai keberadaan
bersama antar sesama, kebersamaan antar-manusia. Karenanya, akan terlihat
kematangan Gibran sebagai penganjur humanisme universal.
Sampai di sini kita belum juga tuntas menguras khazanah Gibran; Gibran
terlalu kaya untuk dikemas dalam tulisan singkat ini. Maka skripsi ini tidak lebih
dari sekedar pembangkit minat untuk berkenalan lebih lanjut dengan Gibran
sebagai perasa dan pemikir; Gibran sebagai warisan kehidupan yang fana dan kini
menyepi di alam baka dalam sebuah gua di Mar Sarkis
B. Saran
Sebagai sastrawan dan filsuf yang sangat peka dan tanggap terhadap nilainilai kemasyarakatan dan kemanusiaan, keindahan, kesusilaan serta ketuhanan,
Gibran terlihat begitu sempurna. Sosok seperti Gibran mungkin tiada duanya,
terutama ketika Gibran mengungkap kemanusiaan universal.
Namun, kami melihat keseluruhan Gibran bukan tanpa celah kekurangan,
baik dalam karya atau pun pada sosok Gibran sendiri. Pandangan Gibran terhadap
persoalan yang melanda Lebanon di masa itu misalnya, tak lebih dari pandangan
seorang kritikus dan tentu tidak bisa lepas dari unsur subjektivitas. Harus diingat
bahwa Gibran bukan seorang yang bergulat secara langsung dalam kehidupan
Lebanon. Gibran melihat alam kehidupan Lebanon dari jauh dan penuh dengan
gejolak perasaan, sebagai seorang perasa.
Maka, untuk lepas dari pandangan subjektif, sebaiknya sastrawan atau
filsuf sekali pun, paling tidak harus turut berkecimpung menyelami dunia yang
ada. Selamilah dalamnya puisi (karya sastra) dengan kehidupan dan menyelami
kehidupan dengan puisi (karya sastra). Tentu hal ini bukan perkara mudah, seperti
hal nya penulis, namun untuk mendapatkan sesuatu yang maksimal dan jauh dari
kesan subjektif, kenapa tidak dicoba? Menurut kami, keseriusan dalam pengkajian
dan penelaahan sebuah karya sastra, dengan sendirinya akan tersembul nilai-nilai
yang utuh.
DAFTAR PUSTAKA
Abbagnano, Nicola. “Humanisme”, dalam The Encyclopedia of Philosophy,
vol. 3, New York: Macmillan Publishers, 1967
Anderson, Leona. "Kontekstualisasi Filantropi di Asia Selatan", dalam Filantropi
di Berbagai Tradisi di Dunia, Amelia Fauzia dan Dick Van Derm Meij
(ed.), Jakarta: CSRC, 2006, Cet. I
Ali, Muhammad. Paradigma Beragama Humanis, Kompas 18 Januari 2002
Bagus, Lorens. Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia, 2002, cet. III
Bertens, K. Etika, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001, Cet. Ke-6
Budiman, Arif. Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1976,
Cet. I
Bushuri, Suheil dan Jenkins, Joe. Kahlil Gibran, Manusia dan Penyair, terj.
Jakarta: Grasindo, 2000
Departemen Agama RI, Al-Quran Karim
Encyclopedia Britania 2003 Ultimate Reference Suite CD Room, Inggris, 2003
Endaswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra, Yogjakarta: Pustaka
Widyatama, 2004, Cet. Ke 2
Faiz, Fahrudin. Filosofi Cinta Kahlil Gibran, Yogyakarta: CV. Qalam, 2004
Gibran, Kahlil. Elegi Sang Penyair, Yogyakarta: Penerbit Cupid, 2003, Cet. I
____________.God of Lost Soul, diterjemahkan menjadi Tuhan bagi Jiwa yang
Hilang, oleh AS. Mangoenprasodjo, Endah Dwi Pratiwi, (Jogjakarta:
Tarawang Press, 2002, Cet. I
____________. Nyanyian Cinta, terjemahan dari “The Treasured Writings of
Kahlil Gibran ” oleh Anton Kurnia, Bandung: Penerbit Diwan, 2002
____________.Roh Pemberontak, diterjemahkan dari "Spirit Rebellious", terj.
Arvin Saputra, Batam: Classic Press, 2003
____________.Sang
Nabi,
diterjemahkan
dari
The
Prophet
oleh
Sri
Kusdiyantinah, Jakarta: Pustaka Jaya, 2002, Cet. ke xv
____________. Surat-Surat Cinta Kepada May Ziadah, diterjemahkan dari Blue
Flame: the Love Letters of Khalil Gibran to May Ziadah, terj. Sugiarta
Sriwibawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1997, Cet. V
_____________.Tetralogi Masterpiece; Sang Nabi, Sayap-Sayap Patah, Suara
Sang Guru, Taman Sang Nabi, Jogjakarta: Tarawang Press, 2001, Cet. II
____________.Trilogi Hikmah Abadi; Sang Nabi, Taman Sang Nabi, Suara Sang
Guru, terj. Adil Abdillah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, Cet. I
Hassan, Fuad. Berkenalan Dengan Eksistensialisme, Jakarta: Pustaka Jaya,
2005, Cet. ke-9
___________. Menapak Jejak Kahlil Gibran , Jakarta: Pustaka Jaya, 2000, Cet.
Ke-2
___________. Makalah "Catatan Pengantar Tentang Gibran Sebagai Penganjur
Humanisme
Universal",
diselenggarakan
Paramadina, pada tanggal 20 April 2001
oleh
Yayasan
Wakaf
Hadiwardaya,. Al. Purwa, Dr, MSF. Nilai-Nilai Etis dan Kekuasaan Utopis,
Jogjakarta: Kanisius dan Lembaga Studi Realino, 1992, Cet. I
_____________________________.
Moral
dan
Masalahnya,
Jogjakarta:
Kanisius, 1990, Cet. I
Hardjana, Andre. Kritik Sastra Sebuah Pengantar, Jakarta: PT. Gramedia, 1983,
Cet. Ke 2
Hidya Tjaya, Thomas. Kierkegaard Dan Pergulatan Menjadi Diri Sendiri,
Jakarta: KPG, 2004
Huxley, Aldous. Filsafat Perennial, terj. Ali Noer Zaman, Yogyakarta: Penerbit
Qalam, 2001, Cet. I
Lamont, Carlis. The Philosophy of Humanism, London: Routledge, 1978
Magnis Suseno, Franz. 13 Tokoh Etika Sejak Jaman Yunani Kuno Sampai Abad
19, Jogjakarta: Kanisius, 2003, Cet. ke 7
____________________. Etika Politik, Jakarta: Pt. Grameia Pustaka Utama, Cet.
Ke-7
____________________. "Manusia dan Kemanusiaan dalam Persepektif Agama",
dalam Masa Depan Kemanusiaan, Jogjakarta: Penerbit Jendela, 2003
Mangunwijaya, Y. B. Sastra dan Religiositas, Yogyakarta: Kanisius, 1994,
Cet. III
Mashuri dalam "Menggagas Sastra Religius yang Berkualitas". Artikel ini diakses
dari http://islamlib.com/id/index pada 27 Januari 2007
Norma, Ahmad (ed.). Kahlil Gibran: Cinta, Keindahan dan Kesunyian,
Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1997, cet I
O. Kattsoff Louis. Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Seomargono,
Jogjakarta: Tiara Wacana, 2004, Cet. IX
Purtanto, Pius A. dan M. Dahlan Al-Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya:
Penerbit Arkola, 1994
Petrus L. Tjahjadi, Simon. Sejarah Filsafat Barat Modern, Jakarta: STF
Drijarkara, 1998
Puranto, Hendra. Pemikiran Jean-Paul Sartre dalam Existensialism and
Humanism, http://filsafatkita.f2g.net/str7.html. Data diakses 24 Januari 2007
Solomon, Robeth C. dan Katheleen M. Higgins. Sejarah Filsafat, terjemahan dari
“A Short Hostory of Philoshopy” oleh Saut Pasaribu, Jogjakarta: Yayasan
Bentang Budaya, 2002
Syari’ati, Ali. On The Sociology Islam, terj. Saifullah Mahyadi, Jogjakarta:
Amanda, 1992, Cet. I
Van Luxemburg, Jan dkk. Pengantar Ilmu Sastra, Jakarta: PT. Gramedia, 1986,
Cet. Ke 2
Walbridge, John dan Beshara, Adel. Hidup dan Karya Gibran, Terj. Yogyakarta:
Nirwana, 2003, Cet. I
Wasrun Munawir, Ahmad. Al-Munawwir, Yogyakarta: KP Al-Munawwir, 1984
Wora, Emanuel. Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme,
Yogyakarta: Kanisius, 2006
http://id.wikipedia.org/wiki/Universal
Download