MASALAH PAPUA DALAM KONTEKS HUBUNGAN INDONESIA – AUSTRALIA SARTIKA MANGGABARANI E 131 08 103 JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012 1 KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur penulis penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah menganugerahkan begitu banyak karunia dan telah memberikan kemudahan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa pula shalawat terhatur bagi Rasulullah SAW beserta sahabat-sahabatnya yang telah menjadi suri teladan bagi seluruh umatnya selama ini. Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orangtua penulis, Ayahanda Sjam Ingmar Manggabarani he helped me to see that by trying hard, I was doing my best. Thanks, dad. Ibunda Yuni Ramli who always been understanding and patient with me. Tidak lupa pula untuk saudara-saudaraku Soraya, Jaluh, Reyhan, Nabila dan Khalil, yang selama pengerjaan skripsi sering memberikan support dan menghibur dikala mood drop. Penulisan skripsi ini mengalami begitu banyak kendala dan halangan hingga penulisan diselesaikan. Oleh karena itu, penulis menghaturkan banyak terimakasih kepada pihak-pihak yang telah member bantuan dan motivasi hingga skripsi ini dapat dirampungkan. 1. Bapak Rektor Universitas Hasanuddin beserta jajarannya. 2. Bapak Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNHAS beserta jajarannya. 3. Bapak Ketua Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Dr. Adi Suryadi Culla, MA 4. Bapak Prof. Dr. H. Mappa Nasrun, MA sebagai pembimbing I dan Ibu Nur Isdah, S.IP, MA sebagai pembimbing II. 2 5. Seluruh staf pengajar Jurusan Ilmu Hubungan Internasional atas segala ilmu yang telah diberikan dari semester awal hingga akhir. 6. Bunda dan Kak Rahma atas semua bantuan dan nasehatnya 7. Kantor Kementerian Luar Negeri khususnya Directorate of ASEAN Political and Security Cooperation Bapak Dupito D. Simamora dan juga bagian Directorate of Public Diplomacy Bapak Ari Wardhana dan Kak Elvis Napitupulu atas bantuannya selama penulis melakukan penelitian di sana. Serta Kantor Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia yang telah terbuka memberikan informasi berupa data-data yang penulis butuhkan selama proses penulisan skripsi. 8. Keluarga besarku di Makassar: Mama Indri my guardian angel yang selalu ada ketika saya stuck and trapped in the hardest situation, Om Dani, Tante Ani, Om Fitro, Furqan (my brother in crime) dan my kiddosss Daril, Drifki, dan Fadlan yang selalu membuat weekend ku rame dengan keberisikan-keberisikan dan permainan ajaibnya. 9. Keluarga besarku di Jakarta dan Kendari yang selalu memberikan dukungannya lewat bbm dan telepon. 10. All my closest cousins yang jauh di brissy Kak Cher dan Kak Umar, Derian si bappolo untuk dukungan lewat video chat nya dan Andru Adiguna (partner makan eskrim dan salad terbaik!) for accompany me dikala galau skripsi and period attack :’) 11. All my sisters from another mother: Clarissa Gabriella a.k.a Poeng who always walk beside me even in a darkest way, Titin Melazi my twinsie kesayangan se-jagad raya unhas, Riva, Ona, Odet, dan Mona 3 geng kepo yang tidak pernah meninggalkanku dan selalu memberikan support serta guyonan penyemangat hidup sejak SMA. 12. Big brother-bestie-exboyf. Andi Rusmin, thanks for indirectly taught me how to keep my head up after the worst disaster in between this thesis making and thanks for your inspiring quote “It’s good to be underestimated sometimes because we can prove people wrong later”. 13. HEGEMONY ’08 : Dirga my monkey kesayangan, anggota geng uno ku Pulu dan Acong, Freddy dan Andi genduk informan terbaikku tentang kampus, ketua angkatan yang paling saya banggakan Gilang, the most intelligent boy Biondi who always inspired me to birth a son like him in the future haha ;) Dua wanita ajaib nan sexy Ade dan Farah, Wanita-wanita K-pop lovers Ayu, Kiko, Imel, Nilam. Wanita lainnya Dede, Ayu monica, Maya, Yana, Weny, Chea, Nia, Deta, Rara, Riri, Icha, Idha, Eka. Penghuni front row kelas yang kontroversial dan berotak baja Nely, Marwah, Husnul, Muji, Tuti, Riva. Para masbro Agung, Sabir, Iccank, Aci, Fathun, Irsum, Memet. Keep our spirit and do not ever forget each other guys! 14. Senior-senior dan junior-junior yang baik hati, Kak Muchtar botak, Ka Lala, Kak awal, Kak Ewing, Kak Cucam, Kak Syifa, Chalik, Fitri, Muspid, dan yang lainnya. Terimakasih untuk saran-saran dan infonya selama ini 15. Teman-teman se-ekskul KTI jilid I dan II yang tidak bisa saya sebut namanya satu persatu. 4 16. Kawan-kawan sepergaulan yang juga tiada henti-hentinya mendukung ku (Chabot, Ega, Tiwi, Apre, Mario dan Iky) 17. And the last but not least, my little lion Dody Endrayatna Siloy, you are my biggest motivator, huge lover, and the best-est partner ever. Anh yeu em, honey boo boo :* Makassar, 17 Desember 2012 Penulis 5 ABSTRAKSI Skripsi yang berjudul “Konflik Papua dalam Konteks Hubungan Indonesia-Australia” yang disusun oleh Sartika Manggabarani (E 131 08 103) dibawah bimbingan Mappa Nasrun sebagai pembimbing I dan Nur Isdah sebagai pembimbing II, pada jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan konflik Papua dalam konteks hubungan Indonesia Australia. Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) bentuk kepentingan-kepentingan Australia di Papua (2) implikasi politis, keamanan, dan ekonomi konflik papua bagi hubungan Indonesia – Australia. Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, maka metode penelitian yang penulis gunakan adalah tipe penelitian deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka (library research) yang bersumber dari buku, jurnal, dokumen dan website yang valid. Sedangkan untuk menganalisis data penulis menggunakan teknik analisis kualitatif dengan teknik penulisan deduktif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa, bentuk kepentingankepentingan Australia terhadap Papua berdasarkan nilai strategis geografis yaitu Papua yang berada di wilayah utara Australia dapat menjadi buffer zone bagi wilayahnya. Sementara berdasarkan nilai strategis ekonomi, Papua memiliki sumber daya alam melimpah seperti logam dan minyak yang menjadi daya tarik Australia. Sementara itu, implikasi politis dari konflik Papua terhadap hubungan Indonesia Australia yaitu hubungan politik Indonesia – Australia sempat memanas di tahun 2006, sementara implikasi keamanan berupa terciptanya suatu perjanjian keamanan pada tahun 2006 yang disebut Lombok treaty dan tidak terjadi implikasi ekonomi yang signifikan dari konflik Papua bahkan dianggap membaik. 6 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL...................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ ii KATA PENGANTAR ................................................................................... iii ABSTRAKSI ................................................................................................. ix DAFTAR ISI .................................................................................................. x BAB I PENDAHULUAN A. B. C. D. E. BAB II Latar belakang masalah ........................................................... Batasan dan rumusan masalah................................................. Tujuan dan kegunaan penelitian .............................................. Kerangka konseptual ............................................................... Metode penelitian .................................................................... 1 5 6 7 14 TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Konflik ....................................................................... B. Konsep Kepentingan Nasional ................................................ C. Konsep Hubungan Bilateral .................................................... 17 25 28 BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KONFLIK PAPUA DAN HUBUNGAN INDONESIA AUSTRALIA A. Masalah Papua 1. Sejarah Konflik Papua ....................................................... 2. Substansi Konflik Papua ................................................... B. Hubungan Indonesia – Australia 1. Sejarah Hubungan Indonesia – Australia .......................... 2. Perkembangan Hubungan Indonesia – Australia dalam Kaitan dengan Konflik Papua ........................................... BAB IV BENTUK KEPENTINGAN AUSTRALIA DI PAPUA DAN IMPLIKASI-IMPLIKASI KONFLIK PAPUA DALAM HUBUNGAN INDONESIA – AUSTRALIA A. Kepentingan Australia terhadap Papua ................................... B. Implikasi-Implikasi Konflik Papua dalam Hubungan Indonesia – Australia ............................................................... 1. Implikasi Politis................................................................. 2. Implikasi Keamanan .......................................................... 3. Implikasi Ekonomi ............................................................ 32 43 48 55 58 63 63 67 71 7 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN A. Kesimpulan.............................................................................. B. Saran-saran .............................................................................. 73 74 DAFTAR PUSTKA ....................................................................................... 75 8 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Papua yang terletak di wilayah paling timur dari kesatuan Republik Indonesia masuk dalam NKRI pada tanggal 19 November 1969 melalui resolusi PBB No. 2504. Hal ini sekaligus menjadi pengakuan atas integrasi Papua ke Indonesia menurut hukum internasional. Selanjutnya, Papua menjadi daerah otonom yang absah bagi Indonesia pada tahun yang sama melalui UU No.12 Tahun 1969 tentang pembentukan Daerah Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat.1 Akan tetapi sejak menjadi bagian NKRI, sebagian penduduk Papua merasa kurang puas karena secara fakta mereka masih marginal dan miskin. Papua yang luasnya empat kali lipat pulau Jawa dan memiliki sumber daya alam yang sangat besar seharusnya mempu membuat rakyatnya hidup sejahtera. Namun kenyataanya kekayaan alam Papua tidak sebanding dengan kesejahteraan masyarakatnya. Ketidakpuasan secara ekonomis itulah yang menjadi salah satu penyebab yang memunculkan semangat untuk memerdekakan diri. Pemerintah pusat dinilai gagal dalam membangun kesejahteraan di Papua, apalagi dengan diadakannya Operasi Militer oleh pemerintah pusat untuk mengatasi pemberontakan separatisme di Papua yang dalam faktanya 1 Yan Pieter Rumbiak, 2005, Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua, Menyelesaikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Membangun Nasionalisme Di Daerah Krisis Integrasi, Jakarta, Papua Internal Education, h.36 9 justru banyak menimbulkan pelanggaran HAM. Hal ini memperkuat rakyat Papua berkeinginan untuk melepaskan diri dari dari NKRI. Selain aspek ekonomis, separatisme di Papua juga dipicu juga oleh konflik yang berakar dari kekecewaan historis, peminggiran sosial budaya, nasionalisme Papua dan dan diskriminasi politik dan hukum. Dalam perspektif kekecewaan historis, Ferry Kareth (2000) mempersoalkan keabsahan Pepera. Ia berpendapat bahwa Pepera itu tidak sah, sebab dilaksanakan dibawah tekanan. Pepera yang dilaksanakan tahun 1969 itu, dilaksanakan dengan perwakilan, bukan one man one vote sesuai New York Agreement. Sejarah mencatat bahwa masuknya Papua ke NKRI karena direbut bukan atas dasar keinginan rakyat sendiri 2 . Masalah tersebut berakibat pada keluhan-keluhan yang bersejarah yang berakar dari perbedaan persepsi mengenai integrasi Papua ke dalam NKRI. Hal ini menjadikan penduduk Papua merasa tidak memiliki hubungan sejarah dengan bagian Indonesia yang lain. Beberapa kebijakan yang di ambil oleh pemerintah pusat juga nampaknya hingga saat ini tidak menunjukkan adanya manfaat yang dapat dirasakan oleh ketidakpuasan rakyat dan Papua menghasilkan sehingga sebuah mendorong tuntutan timbulnya kemerdekaan. Separatisme di Papua dimotori oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kemudian disusul pembentukan Presidium Dewan Papua (PDP). 2 Tuhana Andrianto Taufiq, 2001, Mengapa Papua Bergolak, Yogyakarta, Gama Global Media, h. 151 10 Gerakan ini telah ada sejak 1965 dengan melakukan gerakan secara sporadis dalam gerakan militer yang melibatkan masyarakat. Perlawanan yang dilakukan OPM ditandai dengan penyanderaan, demonstrasi massa, pengibaran bendera, penempelan pamphlet, serta beberapa aksi perusakan. Kompleksitas sumber konflik Papua menyebabkan pemerintah sulit mencari model penyelesaian yang tepat untuk menyelesaikan konflik di Papua. Hal ini diperparah dengan kalangan pemimpin Papua, baik di lembaga negara maupun di tengah masyarakat sipil, tidak memiliki daya tawar yang memadai untuk secara strategis memepengaruhi bentuk dan arah kebijakan Jakarta yang sesuai dengan aspirasi masyarakat Papua. Hal ini menjadikan suasana politik didominasi oleh hubungan yang tidak sehat antara nasionalis Indonesia yang menonjolkan “NKRI sebagai harga mati” dan kelompok nasionalis Papua juga menekankan “Papua Merdeka sebagai harga mati.”3 Sementara, kondisi sosial dan politik yang tidak kondusif di dalam Papua memaksa beberapa warga Papua keluar meninggalkan negaranya. Inilah yang menjadi alasan utama 42 warga Papua meminta suaka Politik ke pemerintahan Australia pada tahun 2006. Mereka keluar dari Papua menggunakan perahu dan memanfaatkan kelemahan pengawasan perairan di Indonesia. Mereka bertolak dari Merauke, berlayar selama lima hari dan akhirnya mendarat di tepi pantai terpencil Cape York Australia. 4 3 Adriana Elisabeth, dkk., 2008, Papua Road Map; Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future, Jakarta, LIPI Press, hal.4 4 Kompas, “Visa Australia dan Penanganan Papua”, 24 Maret 2006, http://kompas.com/utama/news/0603/24/183213.htm 11 Selanjutnya pada bulan Maret 2006, Departemen Imigrasi dan masalahmasalah penduduk asli Australia (DIMIA) memberikan Temporary Protection Visa (visa tinggal sementara) kepada 42 dari 43 warga Papua yang mencari suaka. Dengan demikian keputusan Australia di atas sangat melecehkan Papua dalam integritas NKRI. Keputusan yang diambil oleh pemerintah Australia tersebut bukan tanpa alasan, karena Papua dalam kacamata Australia memiliki nilai strategis sebagai buffer zone bagi pertahanan keamanannya. Oleh karena itu Australia merasa lebih aman jika Papua menjadi merdeka dan berada dalam pengaruhnya untuk menjamin stabilitas pertahanan dan keamanannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Papua lebih baik berada dalam pengaruh Australia daripada menjadi bagian NKRI yang sedang mengalami krisis politik. Selain itu, keberadaan Papua yang begitu dekat dengan Australia ini membuat Australia sangat tertarik dengan potensi-potensi yang ada di Pulau tersebut contohnya seperti Sumber Daya Alamnya sendiri sangat berlimpah akan emas, tembaga, minyak, perak, dan juga biji besi. Hal-hal tersebut begitu bernilai tinggi bagi Australia dan apabila dilihat secara kinerja perkembangan pemerintah Indonesia yang sepertinya selalu mengabaikan dalam hal ini mengenai perkembangan daerah bagian Timur Indonesia yang bisa dilihat cukup lamban. Pada tanggal 13 November 2006, pemerintah Indonesia dan Australia menandatangani sebuah perjanjian kerjasama keamanan baru 12 yang dikenal dengan nama Perjanjian Lombok (The Lombok Treaty). Dokumen ini mencakup bidang yang luas yakni; Pertahanan, Penegakan Hukum, pemberantasan terorisme, kerjasama intelijen, kerjasama maritim, keselamatan dan keamanan penerbangan, penyebaran senjata pemusnah massal, tanggap darurat bencana alam, dan pengertian antar masyarakat dan manusia (people to people link).5 Lebih lanjut, perjanjian kerjasama keamanan Indonesia dan Australia tahun 2006 (The Lombok Treaty), sebagian isi perjanjiannya menyebutkan butir larangan territorial Australia menjadi basis perjuangan separatisme Papua. Perjanjian ini sebagian merupakan respon Indonesia atas intervensi Australia terhadap gerakan separatisme di Papua dengan memberikan ijin tinggal 42 orang warga Papua. Meskipun secara resmi pemerintah Australia secara resmi mengakui integritas Papua dalam NKRI semenjak disahkannya Resolusi PBB No.2504 (XXIV) pada tanggal 19 November 1969, tentang status Papua yang sah menurut hukum internasional menjadi bagian integral NKRI.6 B. Batasan dan Rumusan Masalah Pemerintah Australia secara legal formal mendukung integritas Papua dalam NKRI, tetapi di sisi lain terdapat bukti tindakan-tindakan yang dilakukan oleh aktor negara (state actor) dan aktor non negara (non5 “ Kerjasama Kerangka Keamanan Indonesia-Australia Ditandatangani” dalam http://lomboknews.wordpress.com/2006/11/13/kerja-sama-kerangka-keamanan-indonesiaaustralia-ditanda-tangani/ 6 Ikrar Nusa Bhakti, 2006, Merajut Jaring-Jaring Kerjasama Keamanan Indonesia – Australia; Suatu Upaya Untuk Menstabilkan Hubungan Bilateral Kedua Negara, LIPI, Jakarta, h.58 13 state actor) dalam bentuk intervensi dan stimulasi gerakan-gerakan separatisme di Papua. Dalam hal ini pemerintah Indonesia harus mengambil kebijakan yang signifikan untuk menghentikan dinamika tenatang Papua di Australia, mengingat kedekatan posisi geografis Indonesia yang sangat berpengaruh dan penting bagi Australia. Hal ini dipertegas oleh Hilman Adil (1997), yang menyatakan bahwa politik luar negeri suatu negara harus senantiasa memperhatikan kepentingan nasional dan posisi geografis negara bersangkutan, utamanya adalah bagaimana mengamankan wilayah teritorialnya untuk menjaga perdamaian di kawasan, yang secara geografis melingkupi negara bersangkutan.7 Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk kepentingan-kepentingan Australia terhadap Papua? 2. Bagaimana Implikasi politis, keamanan, dan ekonomi konflik Papua dalam hubungan Indonesia-Australia? C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Dari pertanyaan penelitian yang dikemukakan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kepentingan Australia terhadap Papua 7 Hilman Adil, 1997, Kebijakan Australia Terhadap Indonesia 1962-1966; Studi keterlibatan Australia dalam Konflik Bilateral, Jakarta, CSIS, h.2 14 2. Untuk mengetahui implikasi politis, keamanan, dan ekonomi konflik Papua dalam hubungan Indonesia-Australia 2. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan yang diharapkan dapat diperoleh daripada penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi pengembangan studi Hubungan Internasional di masa mendatang. 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menjadi bahan kajian para mahasiswa, khususnya studi Hubungan Internasional serta pemerhati masalah-masalah internasional. 3. Penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi masukan bagi berbagai pihak dan para pengambil kebijakan, terutama dalam menangani suatu masalah/konflik. D. Kerangka Konseptual Mempertahankan wilayah dalam sebuah negara kesatuan merupakan salah satu kepentingan nasional yang harus di penuhi. Kepentingan nasional adalah sasaran kebijaan politik luar negeri. Konsep kepentingan nasional yang dikemukakan oleh Wolfers (1952), sebagai berikut: Secara minimum, kepentingan nasional mencakup keutuhan wilayah suatu bangsa, kemerdekaan dan kelangsungan hidup nasional itu sendiri diberi bermacam-macam interpretasi oleh 15 bermacam-macam negara yang menghadapi kondisi yang berlainlainan.8 Dalam interaksi dengan negara atau aktor hubungan internasional, suatu negara akan selalu berlandaskan pada pencapaian kepentingan nasional. Kepentingan nasional dewasa ini mengarah pada perhatian terhadap masalah internal dari suatu bangsa. Yusuf (1989), menjelaskan mengenai kepentingan nasional yaitu: Kepentingan nasional termasuk dalam visium dan diperjuangkan oleh suatu bangsa atau negara untuk dipergunakan dalam rangka ketertiban internasional. Konsep ini adalah buatan manusia yang dirumuskan oleh para ahli teori politik dan dipatuhi oleh kepentingan golongan dan juga kepentingan para perumusnya.9 Kepentingan nasional erat kaitannya dengan masalah keamanan, integritas dan posisi negara melalui perimbangan kekuatan. Apabila tercipta keamanan nasional maka kepentingan nasional akan mudah terwujud. Keamanan nasional adalah bagian dari kepentingan nasional yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan tujuan politik luar negeri untuk mempertahankan kepentingan nasional berkaitan dengan upaya mempertahankan keamanan nasional. Di dalam konsep ini, terdapat tiga kepentingan inti yang secara mendasar dapat mendapatkan ancaman dari luar, yaitu; pertama, adalah physical security atau keamanan fisik dari masyarakat suatu negara dan hak milik pribadi mereka; yang kedua adalah rules and institution yang dilaksanakan suatu masyarakat negara, khususnya konstitusi dan aturan 8 Arnold Wolfers, dalam Robert L.Pfatzgraff, Jr dan James E. Doughtery, 1997, Contending theories in International Relations, JB. Lippncot CO, New York 9 Sufri Yusuf, 1989, Hubungan Internasional & Politik Luar Negeri, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, hal.10 16 formal lainnya; ketiga adalah prosperity yaitu sumber modal, barang mentah, sistem keuangan dan lain-lain 10 . Gerakan Separatisme adalah suatu paham yang mencari keuntungan dengan pemecah belahan suatu golongan atau bangsa dengan tujuan untuk memperoleh dukungan. 11 Meningkatnya aksi separatisme dan etnis sebagian karena kenyataan bahwa, berlawanan dengan keyakinan umum, prinsip penciptaan negara tidak berhubungan dengan penentuan nasib sendiri. Kompleksitas masalah yang terjadi di Papua mengundang reaksi dari penduduk setempat. Penduduk Papua merasa asing di negeri sendiri karena pemerintah kelihatannya tidak mendukung kesejahteraan bagi penduduk setempat. Sejak melakukan perlawanan terhadap pemerintah Indonesia melalui Organisasi Papua Merdeka, penduduk Papua menciptakan konflik yang berkepanjangan dengan aparat TNI dan POLRI. Dalam beberpa kasus OPM menyerang pos TNI dan POLRI serta menimbulkan ketakutan bagi masyarakat. Hal ini membuat kondisi keamanan di Papua rawan konflik bersenjata dan menimbulkan keresahan bagi pemerintahan Indonesia baik yang berasa di Papua maupun pusat. Menurut Abdul-Monem (1985) definisi mengenai keamanan terbagi atas dua yaitu: Defenisi yang pertama umumnya menempatkan “keamanan” sebagai nilai abstrak terfokus pada upaya mempertahankan 10 T May Rudy, 2002, Studi Strategis, Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin, Bandung, PT.Refika Aditama, hal.65 11 Tim Penyusun Kamus Pusat Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 2 Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1990, Jakarta, Balai Pustaka, hal.919 17 independensi dan kedaulatan negara, dan umumnya berdimensi militer. Sementara definisi kedua terfokus pada penjagaan terhadap sumber-sumber ekonomi dan aspek non-militer dari fungsi negara.12 Sementara itu Barry Buzan (1998) menjelaskan bahwa, Keamanan sering juga dipahami sebagai upaya negara untuk mencegah perang, terutama melalui strategi pembangunan kekuatan militer yang memberikan kemampuan penangkal (detterent).13 Dari dua definisi di atas menunjukkan persamaan dalam hal kebebasan terhadap ancaman militer, namun konsepsi di atas juga secara jelas mengindikasikan perbedaan atau aktor keamanan (individual, nasional, atau internasional). Secara tradisional, konsep keamanan selama ini memang hanya merujuk pada persoalan militer semata dan memfokuskan pada aspek negara. Teori Protracted Social Conflict (PSC) yang dikemukakan oleh Edwar Azar (2008) ……..konteks internasional dari konflik yang terjadi sehingga baik variable domestic maupun internasional saling berkaitan. Faktor domestik dan internasional saling berinteraksi dalam menciptakan konflik-konflik yang sulit diselesaikan.14 Setidaknya ada beberapa kondisi yang mengarah pada terjadinya konflik internal. Pertama, pemicu konflik adalah ketidakharmonisan kelompok identitas seperti suku, agama, dan budaya tertentu dengan 12 Abdul Monem M. Al-Mashat , 1985, National Security in the Third World Boulder Col, Westview Press, hal. 19 13 Barry Buzan , “People, States and Fear: The National Security Problem in The Third World,”dalam Azar dan Moon , ed. National Security , hal.15 14 Hermn Yulius, 2007, Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional: Actor, Isu, Metodologi, Yogyakarta, Graham Ilmu, hal.88 18 negara Negara cenderung mengeliminasinya demi kepentingan eksistensi dan keutuhan negara. Akibatnya terjadi dorongan kelompok identitas tertentu untuk melawan kekuasaan negara atau lembaga-lembaga yang mempresentasekannya. Kedua, konflik dikaitkan dengan kegagalan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan dasar kemanusiaan sehingga terjadi kemiskinan secara sistematis. Proses tersebut telah melahirkan kantong-kantong kemiskinan sementara kekuatan ekonomi dan politik dari pusat menikmati surplus ekonomi sebagai hasil eksploitasi sumber daya alam daerah-daerah yang dilnda konflik. Tetapi kebutuhan tidak hanya mencakup ekonomi juga rasa aman dan pengakuan dalam proses penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Pengingkaran terhadap kebutuhan dasar rakyat Papua melahirkan gerakan untuk memisahkan diri dari negara Indonesia. Ketiga, karakteristik pemeritahan yang otoriter dan mengakibatkan penekanan pada stabilitas politik dan keamanan yang kaku yang telah mengabaikan hak sipil dan politik dari kelompok identitas tertentu sehinggan mereka memendam rasa tidak puas dan frustasi yang mendalam. Keempat, sistem ketergantungan yang terjadi antara suatu negara dengan sistem ekonomi global dimana pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih memihak kekuatan modal asing daripada kepentingan penduduk lokal. Misalnya, dalam melindungi kepentingan 19 investor asing, negara rela menindas rakyatnya sendiri dan mengabaikan hak-hak dasar sebagai manusia. Dengan berbagai kompleksitas masalah Papua tentunya juga menyita perhatian dunia Internasional dan terkhusus salah satu negara tetangga Indonesia yakni Australia yang terbukti telah mengeluarkan Temporary Protection Visa (visa tinggal sementara) kepada 42 dari 43 warga Papua yang mencari suaka beberapa tahun yang lalu. Dengan adanya kasus lintas negara semacam ini tentunya akan menimbulkan dampak bagi hubungan bilateral kedua negara. Dilihat dalam jumlah negara yang melakukan interaksi maka hubungan bilateral merupakan hubungan merupakan hubungan yang paling sederhana karena hanya menyangkut dua negara. Hubungan bilateral ini terjadi karena beberapa hal diantaranya letak geografis, sumber-sumber kekayaan alam, kependudukan dan tenaga kerja, politik, ekonomi dan juga militer. Namun dari seluruh kepentingan di atas segalanya tetap bermuara kepada kepentingan nasional diperjuangkan oleh suatu bangsa atau negara untuk dipergunakan dalam rangka kepentingan nasional. Istilah hubungan bilateral biasanya digunakan untuk mendeskripsikan hubungan yang terjadi antara kedua negara baik yang secara geografis berdekatan ataupun yang berjauhan. Kusumohamidjojo (1993) lebih lanjut lebih lanjut menjelaskan mengenai hubungan bilateral yaitu: 20 Hubungan bilateral adalah suatu bentuk kerjasama diantara kedua negara baik yang berdekatan secara geografis ataupun yang jauh diseberang lautan dengan sasaran utama untuk menciptakan perdamaian dengan memeperhatikan kesamaan politik, kebudayaan dan struktur ekonomi.15 Dalam hubungan bilateral Indonesia dan Australia sangat diperlukan sikap yang saling percaya diantara kedua negara untuk mencapai kesepakatan di berbagai bidang. Menyangkut kepentingan kedua negara serta berusaha mengurangi perbedaan pendapat yang dapat dilakukan melalui dialog. Dengan adanya dialog akan mempertebal saling pengertian dan kepercayaan sehingga dapat menghilangkan kecurigaan diantara kedua belah pihak dan dapat mengubah persepsi yang berbeda dan mencegah konflik yang lebih luas. Tujuan untuk dilaksanakannya hubungan bilateral itu sendiri yakni untuk semakin mempererat tali persahabatan dan kerjasama antar negara serta menciptakan hubungan yang harmonis dan hidup berdampingan secara damai. Dalam melakukan hubungan bilateral itu enderunag saling mempengaruhi sebagaimana yang dijelaskan dalam kamus politik internasional yaitu: “hubungan bilateral adalah keadaan yang menggambarkan adanaya hubungan yang saling mempengaruhi atau terjadi hubungan timbal-balik diantara kedua belah pihak atau kedua negara 16 . Suatu negara dalam melakukan hubungan bilateral dengan negara lain didasarkan pada pertimbangan bahwa dengan melakukan hubungan tersebut akan mendatangkan suatu keuntungan dan terutama dalam rangka mewujudkan pencapaian kepentingan nasional dan tujuan internasional suatu negara. 15 16 Kusumohamidjojo, 1993, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Gramedia: Jakarta, hal.25 Didi Krisna, 2001, Politik Internasional, PT Grasindo: Jakarta, hal.18 21 E. Definisi Operasional Untuk menghindari salah penafsiran terhadap berbagai istilah atau konsep yang digunakan dalam penelitian ini, maka beberapa istilah atau konsep diberi batasan pengertian dalam bentuk definisi operasional: Pertama, Konflik merupakan suatu perbedaan cara pandang. Bentuknya bisa berupa keluhan saja sampai pada tingkat kekerasan dan perang. Kedua, Papua merupakan pulau terbesar ke dua di dunia yang terletak di sebelah utara Australia. Pulau ini dibagi menjadi dua wilayah yang bagian baratnya dikuasai oleh Indonesia dan bagian timurnya merupakan negara Papua Nugini. Ketiga, Indonesia adalah negara di Asia Tenggara yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada diantara benua Asia dan Australia serta antara Samudera Pasifik dan Samudera Indonesia. Keempat, Australia merupakan negara persemakmuran yang terletak belahan bumi bagian selatan yang terdiri dari daratan utama benua Australia, Pulau Tasmania dan beberapa pulau kecil di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik 22 F. METODE PENELITIAN 1. Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan bagaimana masalah yang terjadi di Papua dalam kaitannya dengan hubungan antara Indonesia Australia 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang akan digunakan oleh penulis adalah telaah pustaka (library research) yaitu pengumpulan data dengan menelaah sejumlah literature baik berupa buku-buku, jurnal, dokumen, surat kabar, makalah dan artikel yang berkaitan dengan masalah tersebut. Adapun tempat-tempat yang diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan data dalam penelitian, yakni: a. Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin Makassar. b. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia di Jakarta c. Departemen Pertahanan Republik Indonesia di Jakarta d. Pusat Politik LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) di Jakarta e. CSIS (Centre for Strategic and International Studies) di Jakarta 3. Jenis Data 23 Data yang penulis gunakan dalam penulisan proposal ini adalah data sekunder, yang bersumber dari pengumpulan data lapangan yang penulis lakukan selama penelitian, yaitu dari berbagai sumber tertulis. 4. Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang penulis gunakan adalah bersifat kualitatif yaitu data yang penulis dapatkan bukan berbentuk numeric atau data-data yang berbentuk angka melalui beberapa faktor-faktor yang relevan dengan penelitian ini. Yakni menjelaskan dan menganalisis data dengan cara menggambarkan hasil penelitian melalui sejumlah data yang berhasil penulis temukan. Kemudian penulis berusaha menyajikan hasil dari penelitian tersebut. 24 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Tentang Konflik Manusia yang sejatinya merupakan makhluk sosial tentunya senantiasa memerlukan interaksi dengan manusia lainnya. Bentuk interaksi yang terjadi diantara manusia tentunya tidak selalu bersifat positif, ada kalanya dimana kepentingan antara satu pihak dengan pihak yang lainnya saling berbenturan. Baik itu antara individu dengan individu lainnya, individu dan kelompok, bahkan antara kelompok dengan kelompok. Benturan kepentingan inilah yang kemudian menghasilkan perselisihan yang dapat berujung dengan terciptanya konflik. Konflik merupakan suatu kepastian dalam kehidupan manusia di dunia. Tidak dapat kita bayangkan jika suatu saat dunia akan menjadi tempat yang damai dan bebas dari konflik. Kenyataan mengenai konflikkonflik yang terjadi selama ini, membuat konflik dilihat sebagai salah satu budaya manusia, yang dimana selama manusia masih ada di muka bumi, maka selama itu pula konflik masih eksis dan tidak dapat dihindari. Namun konflik tidak selamanya bersifat negatif atau berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Seringkali bersifat positif yang membuat suatu kelompok menjadi lebih solid ketika berkonflik dengan kelompok lain. Persoalan lainnya adalah konflik sering muncul dalam bentuk kekerasan dan dapat merugikan manusia. 25 Dalam upaya memahami permasalahan yang terjadi di dalam penelitian ini, maka salah satu konsep yang tepat untuk dipakai dalam upaya penyelesaian konflik Papua adalah konsep konflik. Konflik dapat dipahami sebagai suatu proses sosial dimana dua orang atau dua kelompok orang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Pihak-pihak yang terlibat konflik dikuasai oleh suatu keinginan untuk mencapai suatu hasil yang dipersengketakan. Konflik merupakan suatu kenyataan hidup yang bersifat kreatif dan tidak dapat dielakkan keberadaannya. Konflik meliputi semua hubungan kemanusiaan, baik hubungan sosial, hubungan ekonomi, maupun hubungan kekuasaan. Konflik muncul akibat ketidakseimbangan pada hubungan-hubungan ini, misalnya status sosial, kekayaan, dan akses terhadap sumber daya, serta kekuasaan yang tidak adil mengakibatkan berbagai persoalan seperti diskriminasi, pengangguran, kemiskinan, tekanan, dan kejahatan. Masing-masing tingkatan berhubungan dengan tingkatan lainnya, dan membentuk rantai kekuatan yang kukuh dan potensial untuk mencapai perubahan yang konstruktif atau kekerasan yang destruktif.17 Konflik yang terjadi di Papua merupakan konflik yang dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan masyarakat Papua secara ekonomis, Papua yang memiliki luas empat kali lipat dari Pulau Jawa dan sumber daya alamnya berlimpah seharusnya membuat masyarakat Papua hidup sejahtera. Namun kenyataannya kekayaan alam Papua tidak sebanding 17 M. Mukhsin Jamil, 2007, Mengelola Konflik dan Membangun Damai: Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik. Walisongo, Semarang, hal.6 26 dengan kesejahteraan masyarakat di sana. Kondisi ini disertai oleh kinerja pemerintah daerah yang dianggap gagal dalam menjalankan fungsinya dan akhirnya memunculkan sentimen terhadap pemerintah pusat yang dianggap bertanggung jawab atas kondisi yang ada. Konflik juga dapat diartikan sebagai suatu proses yang dimana dua atau lebih pelaku mencoba untuk mendapat tujuan yang saling berlawanan dengan mengabaikan proses pencapaian tujuan dari pihak-pihak yang lain. Sedangkan situasi konflik biasanya muncul dalam kondisi dimana: sumber-sumber terbatas (dalam kasus kemiskinan, pekerjaan, perumahan, air bersih); miskinnya dialog atau bahkan tidak adanya dialog diantara pihak-pihak yang bertikai; pihak-pihak yang bertikai memiliki persepsi yang salah tentang pihak yang lain; adanya ketidakpercayaan; adanya hal yang tidak terselesaikan dimasa lalu; pihak yang bertikai tidak menghargai hubungan yang ada diantara mereka; kekuasaan tidak terbagi dengan rata. Papua sebagai salah satu pulau di Indonesia yang menyimpan sumber daya alam yang berlimpah ruah tidak memperoleh hak mereka yang semestinya. Tingkat kesejahteraan, akses infomasi, sarana dan prasarana umum di bidang pendidikan dan kesehatan juga masih berada pada status yang memprihatinkan. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan pembangunan dan kesejahteraan yang terjadi antara wilayah atau pulau-pulau lain di Indonesia dan Papua sehingga masyarakat Papua merasa kecewa dan tidak puas dan menimbulkan perlawanan terhadap pemerintah. 27 Sebagian besar akar konflik yang terjadi berasal dari hubungan antar komunitas/kelompok minoritas dan mayoritas. Tidak diragukan lagi bahwa sistem yang tidak stabil dari perpecahan sosial antara kelompok mayoritas dan minoritas lebih mungkin dipandang tidak sah dibandingkan dengan sistem yang stabil; dan sebaliknya, bahwa sistem yang dipandang tidak sah akan mengandung benih-benih ketidakstabilan. Hubungan antara pandangan ketidakstabilan dan ketidaksahan sistem (pihak-pihak) yang berbeda inilah yang kemungkinan menjadi bumbu yang ampuh terjadinya peralihan dari penerimaan kelompok minoritas terhadap status quo kepenolakannya. Akibatnya, kelompok-kelompok itu menempatkan pentingnya pandangan keabsahan ke dalam lingkungan sosialnya. Legitimasi (keabsahan) merupakan konsep yang penting bagi kelompokkelompok yang terlibat konflik karena mereka memandang negara tidak sah. Hubungan antara mayoritas dan minoritas di atas dapat digambarkan oleh keadaan demografis Papua. Pada 1959 presentase pendatang masih kurang dari 2%, menjadi 4% pada 1971, dan menjadi lebih dari 35% pada 2000. Pada 2005 diperkirakan penduduk dan menjadi 41% dan melonjak menjadi 53,5% pada 2011.18 Transmigrasi yang pada hakekatnya bertujuan untuk memindahkan penduduk dari daerah-daerah yang padat penduduknya seperti Jawa ke daerah-daerah yang kurang padat penduduknya termasuk Papua. Namun pertemuan antara kebudayaan penduduk asli Papua dengan kebudayaan 18 Muridan S. Widjojo, 2008, Papua Road Map: Negotiating the Past, improving the Present and Securing the Future, Jakarta: LIPI, hal. 17 28 masyarakat pendatang yang berbenturan, lahan ekonomi yang semakin berkurang bagi penduduk asli dan ketegangan sosial lainnya merupakan akar dari timbulnya suatu konflik pula di tanah Papua. Dalam perspektif sosiologi menurut Gillin and Gillin (1952), seperti dikutip oleh Soerjono bahwa “konflik adalah suatu proses interaksi sosial yang merupakan bentuk oposisi dari keragaman (operational processes) atau disebut interaksi yang disosiatif”. Sementara itu Soerjono mengemukakan bahwa “konflik adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dnegan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan kekerasan”.19 Hal serupa dikemukakan Minnery (1986) bahwa: Konflik merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain saling bergantung namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan dimana setidaknya salah satu dari pihak-pihak tersebut menyadari perbedaan tersebut dan melakukan tindakan terhadap tindakan tersebut.20 Pada tataran disiplin ilmu hubungan internasional, secara garis besar konflik dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar yaitu konflik antar negara (interstate) dan konflik dalam negara (intrastate). Awalnya konflik interstate merupakan salah satu focus dalam dunia internasional. Namun setelah berakhirnya perang dingin, kuantitas dan kualitas konflik mengalami peningkatan secara drastis. Peningkatan ini juga diikuti oleh akibat-akibat yang ditimbulkan dari aktor-aktor yang terlibat di dalamnya. Sedangkan konflik intrastate (internal) dalam studi hubungan internasional yang dikemukakan oleh Michael E. Brown (1996) 19 20 Soerjono Soekanto, 2000, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Press, hal.106 John R Minnery, 1986, Conflict Management in Urban Planning, Gower Pub Co, hal. 75 29 dalam bukunya yang berjudul The International Dimensions of Internal Conflict mendefinisakan konflik internal sebagai violent or potencially violent political disputes whose origin can be traced primarily domestic rather than systemic factors, and where armed violence takes place or threaten to take place primarly within the borders of a single state.21 Konflik di Papua adalah konflik interstate yang bersifat sangat rumit karena melingkupi berbagai aspek seperti etnis, ras, politik, ekonomi, dan aspek lainnya yang mempengaruhi kehidupan di Papua. Permasalahan ekonomi dan kurangnya partisipasi politik masyarakat Papua menjadi salah satu alasan bagi rakyat Papua berjuang untuk medeka dan memisahkan diri dari NKRI. Permasalahan ini telah berlangsung puluhan tahun, hal ini seperti dikemukakan oleh Edwar Azar (1990) dengan teorinya mengenai konflik sosial yang terjadi berlarut/prottacted social conflict, menyatakan bahwa, Konflik merupakan representasi dari konflik yang berkepanjangan yang seringkali penuh dengan kekerasan oleh kelompok komunal untuk keperluan dasar seperti keamanan, pengakuan bahwa suatu pemerintahan yang berlangsung tidak efektif lagi untuk dijalankan.22 Konsep ini sangat relevan bila melihat latar belakang konflik di Papua yang penuh dengan aksi kekerasan, terror, pembunuhan, penculikan, peledakan bom, penyerangan pada proyek vital aparat dan tempat umum. Konflik dapat terjadi dalam wujud perlawanan senjata oleh pihak yang memberontak dan penumpasannya dengan kekerasan oleh 21 Aleksius Jemadu, 2007, Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi. Graha Ilmu, Yogyakarta, 2007, hal.76 22 Ibid, hal. 88 30 pemerintah, atau konflik pada tataran elit politik yang tanpa menggunakan kekerasan senjata. Robert burr (1970) dalam tulisannya Why Men Rebel mengemukakan bahwa: Biasanya konflik dengan kekerasan terjadi dalam masyarakat karena adanya kekecewaan, frustasi timbul berkaitan dengan meningkatnya harapan-harapan (expectations) yang tidak terpenuhi dalam suatu sistem politik (suatu masyarakat atau Negara) frustasi menimbulkan perasaan tertindas oleh kelompok lain atau oleh pemerintah, lalu berlangsunglah konflik dengan menggunakan kekerasan.23 Ada beberapa macam hal yang dapat menjadi pemicu terjadinya konflik. Dari sudut pandang ilmu politik, konflik dapat terjadi akibat adanya kemajemukan horizontal dan kemajemukan vertical. Kemajemukan horizontal yang dimaksud adalah struktur masyarakat yang beraneka ragam dari segi suku, daerah, agama, budaya, dan juga bahasa. Sedangkan kemajemukan vertical ialah struktur masyarakat yang terpolarisasi menurut pemilihan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan.24 Dalam bidang keagamaan, menurut data tahun 2006 menunjukkan bahwa umat Kristen protestan menjadi mayoritas agama yang dipeluk penduduk. Presentasenya adalah Kristen protestan (50,7 persen), kemudian islam (41,27 persen), Kristen katolik (7,70 persen), Hindu (0,12 persen), Budha (0,08 persen) dan Konghucu (0,01 persen).25 Sebagai suatu bentuk pola interaksi yang tidak dapat dielakkan, konflik tentunya memerlukan proses penanganan yang jelas dan akurat. Adanya manajemen dan pengelolaan yang baik terhaddap konflik yang terjadi akan menciptakan dinamika hubungan internasional yang stabil. 23 Leo Agustino, 1992, Analisis CSIS: Konflik Sosial: Tantangan Domestik dan Global xxx/2001 no.3 Ramlan Surbakti, 1992, Memahami Ilmu Politik, Jakarta, hal 151-152 25 Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat, 24 31 Dalam buku yang berjudul Ethnic Conflict In World Politics, Barbara Harff & Tedd Robert Gurr (2004) menyebutkan lima prinsip yang bias digunakan untuk mengelola konflik. Pertama, negara dan civil society perlu mengakui dan menghormati hak-hak sipil dan politik kaum minoritas, etnis maupun keagamaan. Kedua lembaga demokratis dan pembagian kekuasaan merupakan cara terbaik untuk melindungi hak-hak kelompok. Ketiga, pemberian otonomi yang luas bahkan konsep selfgovernment tetapi masih dalam kerangka negara induk. Keempat, aktor internasional seperti PBB dan entitas internasional lainnya harus memiliki komitmen untuk melindungi HAM dan penyelesaian konflik.26 Dalam strategi penyelesaian konflik, masalah sokongan dari negara-negara lain serta pengakuan internasional cukup berperan. Negaranegara baru bermunculan akibat perpecahan yang terjadi dengan negara induknya dan juga lenyapnya negara lain karena bersatu dengan negara lainnya (integrasi). Timbulnya suatu negara baru akibat pemisahan diri dengan negara induknya, tidak dengan begitu saja menjadi anggota masyarakat internasional. Mereka harus mendapat pengakuan dari negaranegara laiun agar diterima sebagai komunitas masyarakat internasional. Pengakuan itu bisa berupa:27 1. Pengakuan tidak langsung Pengakuan tidak langsung atau diam-diam melebihi masalah kehendak negara yang dinyatakan dalam pemberian pengakkuan. Kehndak tersebut diungkapkan hanya apabila keadaan-keadaan secara tegas 26 27 Aleksius Jemadu, Op. Cit, hal.93 Ibid, hal. 78 32 mengindikasikan kemauan untuk menjalin hubungan resmi dengan pemerintah baru. 2. Pengakuan bersyarat Negara-negara diakui secara bersyarat, berupa suatu kewajiban yang harus dipenuhi negara tersebut. 3. Pengakuan kolektif Pengakuan diberikan secara terpisah antara pengakuan kepada suatu negara, pengakuan terhadap kepala negara dan kepala pemerintahan dari negara baru tersebut. Dalam praktek sebagian negara digambarkan adanya perbedaan antara pengakuan de jure dan de facto. Pengakuan de jure berarti menurut negara yang mengakui, negara maupun pemerintah yang diakui secara formal telah memenuhi persyaratan yang ditentukan hokum internasional untuk sementara dan secara temporer serta dengan segala reservasi yang layak di masa mendatang, sedangkan pengakuan de facto berarti negara atau pemerintah yang diakui telah memenuhi syarat berdasarkan fakta. B. Konsep Kepentingan Nasional Seluruh Negara di dunia pada hakekatnya memiliki kepentingan nasional yang terwujud dan akan dicapai melalui konsep dan pola politik luar negerinya masing-masing. Setiap negara akan berusaha sejauh mungkin agar kepentingan nasionalnya tidak sampai merugikan dalam pergaulan baik dalam ruang lingkup regional maupun global. Bahkan suatu negara akan berusaha sejauh mungkin untuk memperoleh 33 keuntungan yang sebesar-besarnya dari pergaulan internasional untuk kepentingan nasionalnya tersebut. Kepentingan nasional lahir dari adanya keterbatasan sumber daya nasional atau kekuatan nasional. Kekuatan nasional meliputi berbagai aspek yaitu sumber daya, jumlah penduduk, luas wilayah, kualitas diplomasi, moral nasional, kesigapan militer, dan lain sebagainya. Kondisi-kondisi dalam negeri akan tercerminkan dalam kepentingan nasional yang juga sekaligus menjadi cita-cita atau tujuan nasional suatu Negara. Sebagaimana yang diungkapkan Jack S. Plano dan Roy Olton (1999): Kepentingan nasional suatu Negara adalah kepentingankepentingan mempertahankan kelangsungan hidup (survival), kemerdekaan dan kedaulatan Negara, keamanan militer, politk, dan kesejahteraan ekonomi.28 Kepentingan nasional itu sendiri sangat erat kaitannya dengan masalah keamanan, integritas dan posisi Negara melalui perimbangan kekuatan. Apabila tercipta keamanan nasional maka kepentingan nasional akan mudah tercapai. Keamanan nasional adalah bagian dari kepentingan nasional yang tidak dapat dipishakan. Bahkan tujuan politik luar negeri untuk mempertahankan kepentingan nasional berkaitan erat dengan upaya mempertahankan keamanan nasional. Kepentingan nasional merupakan konsep umum yang dapat dirumuskan secara luas sehingga perlu memasukkan pertimbanganpertimbangan-pertimbangan moral, agama, kesejahteraan, dan hal-hal 28 Jack S. Plano dan Ray Olton, 1990, Kamus Hubungan Internasional (terjemahan), Putra A. Bardin, Jakarta 34 yang bersifat altruistik lainnya, kadang kala dalam prakteknya interpretasi atau penafsiran tentang kepentingan nasional ini tergantung pada kondisi dan ideology yang dominan. Dengan penafsiran tertentu seorang negarawan bias saja menjustifikasi tindakannya terhadap negara lain atas nama kepentingan nasional. Morgenthou menyebutkan bahwa: Kepentingan nasional adalah hasil kompromi dari kepentingankepentingan politik yang saling bertentangan; hasil dari persaingan politik internal yang berlangsung terus menerus. Pemerintahlah dengan segala institusinya yang akhirnya bertanggung jawab dalam mendefenisikan dan menerapkan kebijaksanaan yang diarahkan untuk mencapai kepentingan nasional.29 Selain itu, dalam bukunya Teuku May Rudy (2002) membagi kepentingan nasional kedalam tiga macam kepentingan inti yang secara mendasar dapat mendapatkan ancaman dari luar, yang pertama adalah physical security atau keamanan fisik dari masyarakat suatu negara dan hak milik pribadi mereka; yang kedua adalah rules and institution yang dilaksanakan suatu masyarakat negara, khususnya konstitusi dan aturan formal lainnya; ketiga adalah prosperity yaitu sumber modal, barang mentah, sistem keuangan dan lain-lain.30 Dari beberapa pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa kepentingan nasional merupakan konsepsi yang sangat umum, dalam artian bahwa konsep tersebut senantiasa dipergunakan untuk merumuskan kebijaksanaan politik luar negeri oleh suatu negara dalam percaturan politk dunia internasional. Kepentingan nasional juga merupakanunsur yang sangat penting bagi suatu negara yang meliputi kelangsungan hidup 29 Mochtar Mas’oed, 1994, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, Cetakan kedua (Edisi revisi), Lp3Es, Jakarta, hal. 141 30 Teuku May Rudy, 2002, Studi Strategis Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin, Bandung, PT. Refika Aditama, hal. 65 35 bangsa dan negara, kemerdekaan, keutuhan wilayah, keamanan militer dan kesejahteraan ekonomi. Dapat dikatakan bahwa kepentingan nasional merupakan faktor determinan atau merupakan konstanta dalam perumusan kebijakan luar negeri suatu negara. Arah dan kebijaksanaan luar negeri bias saja berubah tergantung persepsi atau penafsiran terhadap fenomena internasional tetapi kepentingan nasional merupakan faktor yang paling konstan dan tetap menjadi pedoman bagi para pembuat keputusan dalam menentukan arah kebijakan luar negeri. C. Konsep Hubungan Bilateral Hubungan Internasional dewasa ini tidak semata-mata hanya terbatas pada hubungan politik yang terjadi antar pemerintah, tetapi sudah melibatkan aktor lain bukan negara dengan objek hubungan yang lebih beragam. Beberapa aktor yang turut serta berpartisipasi dalam politik internasional meliputi organisasi internasional, organisasi non-pemerintah serta individu-individu yang saling berinteraksi dalam berbagai ragam dimensi. Walaupun demikian, negara tetap menjadi subjek yang paling mendominasi dalam interaksi hubungan internasional. Ragamnya dimensi interaksi negara-negara ini berangkat dari tingginya tingkat interdependensi yang disebabkan oleh adanya keterbatasan setiap negara dalam hal sumber daya alam maupun sumber daya manusia sehingga 36 menjadi faktor pedoman bagi setiap negara untuk menjalin kerjasama dengan negara lain dalam rangka pencapaian. Interaksi antar dua negara dalam hubungan internasional selalu berada dalam dua konteks konflik dan kerjasama. Kedua konteks hubungan internasional berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan dinamika hubungan internasional itu sendiri. Tidak jarang yang terjadi adalah sebaliknya dimana hubungan antar dua negara justru memberikan pengaruh terhadap hubungan internasional atau dengan kata lain terdapat hubungan saling mempengaruhi antara hubungan dua negara dan hubungan internasional. Hubungan antar negara biasanya dimulai dari tingkat paling sederhana yakni hubungan bilateral. Hubungan bilateral merupakan kerangka hubungan yang hanya melibatkan dua negara sebagai aktornya, baik itu yang berdekatan secara geografis maupun yang berjauhan letaknya. Sebagaimana yang diungkapkan Kusumohidjojo (1987) mengenai hubungan bilateral: Hubungan bilateral adalah suatu bentuk kerjasama diantara kedua negara baik yang berdekatan secara geografis ataupun yang jauh di seberang lautan dengan sasaran utama untuk menciptakan perdamaian dengan memperhatikan kesamaan politik, kebudayaan dan struktur ekonomi.31 Definisi di atas dapat menjelaskan bahwa tujuan dilaksanakannya hubungan bilateral atau kerjasama adalah untuk mencapai kepentingan nasional negaranya dan mempererat persahabatan dan kerjasama dengan negara-negara lain. Oleh karena itu, dalam menentukan terjalinnya 31 Budiono Kusumohamidjojo, 1987, Hubungan Internasional: Kerangka Studi Analisis, Cetak I, Bina Cipta, Jakarta, hal.3 37 kerjasama dengan negara lain maka diperlukan langkah yang tepat dalam mengambil keputusan, mengingat dalam setiap hubungan bilateral mengandung kepentingan-kepentingan strategis dan sasaran utama dari negara-negara yang terlibat di dalamnya dalam pelaksanaan politk luar negerinya. Dalam hal hubungan Indonesia dan Australia sendiri, walaupun memiliki banyak perbedaan, tetapi posisi geografis menjadi dasar hubungan kedua negara untuk menciptakan hubungan yang harminis dan juga hidup bertetangga yang baik. Karena tujuan untuk untuk melaksanakan hubungan bilateral itu sendiri adalah untuk memberikan keuntungan timbal balik kepada kedua belah pihak melalui hubungan yang baik dan harmonis. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh Mahmuddin (2001): Bahwasanya hubungan bilateral merupakan interaksi antar dua negara yang dikembangkan dan dimajukan dengan menghormati hak-hak kedua negara untuk melakukan berbagai kerjasama pada aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan atau mengucilkan keberadaan negara tersebut, serta mewujudkan perdamaian dan memberikan nilai tambah yang menguntungkan dari hubungan bilateral ini.32 Adapun manfaat atau keuntungan yang diharapkan dapat diperoleh setiap negara yang menjalin hubungan bilateral dengan negara lain, diungkapkan oleh Mahmuddin sebagai berikut: Bahwa setiap negara yang melakukan kerjasama bilateral memiliki empat keuntungan dasar yang memperkuat kerjasama bilateral tersebut yaitu; (1) saling memahami dan mengetahui keberadaan masing0masing negara dalam melakukan hubungan bilateral, (2) saling memberikan manfaat dan keuntungan di dalam mendukung 32 Mahmuddin, 2001, Perspektif Kerjasama Bilateral, Jakarta, Rajawali press, Hal.21 38 kelangsungan hidup dari masing-masing negara, (3) mencitakan suatu kerjasama yang berkelanjutan dan berkesinambungan untuk meciptakan adanya perdamaian dan (4) menumbuhkan dan memperkuat aspek-aspek dominan yang dimiliki oelh kedua negara tersebut.33 Bertolak dari keuntungan atau manfaat inilah yang menyatukan satu negara dengan negara lain dalam suatu kerangka kerjasama. Dalam kerangka pemahaman Holsti (1998) dalam bukunya Politik Internasional: Kerangka Untuk Analisis dijelaskan bahwa terbentuknya suatu kerjasama berdasar pada: Dalam kebanyakan kasus, sejumlah pemerintah saling mendekati dengan penyelesaian yang diusulkan atau membahas masalah, mengemukakan bukti-bukti teknis untuk menyetujui satu penyelesaian atau lainnya dan mengakhiri bperundingan dengan perjanjian atau pengertian tertentu yang memuaskan kedua belah pihak. Proses ini disebut kerjasama.34 Pada kenyataannya, pola interaksi antar negara tak hanya berupa kerjasama (cooperation). Tetapi juga dapat berupa persaingan (competition) dan pertentangan (conflict). Namun saat terjadi masalah, yang paling penting adalah bagaimana memelihara, mempertahankan, dan meningkatkan kerjasama yang adil dan saling menguntungkan; mencegah dan menghindari konflik; serta mengubah kondisi-kondisi persaingan (kompetisi) dan pertentangan (konflik) menjadi kerjasama. Jadi, dari persaingan dan pertentangan juga dapat melahirkan kerjasama, tergantung bagaimana pemerintah antar negara yang terlibat pertentangan itu menyelesaikan masalah yang terjadi. 33 Ibid. Hal.93 K.J. Holsti, 1998, Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis. Terj. M. Tahir Azhary, Jakarta, Erlangga, Hal.22 34 39 BAB III GAMBARAN UMUM A. Konflik Papua 1. Sejarah Konflik Papua Konflik Papua merupakan konflik yang terjadi di tanah Papua yang meliputi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat secara administratif. Penyebab konflik ini terjadi sejak wilayah ini resmi menjadi bagian dari NKRI dan berkembang menjadi konflik yang sangat kompleks dengan berbagai faktor internal dan eksternal yang menunjang konflik ini. Sumber konflik Papua mencakup empat isu strategis sebagai berikut: sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI dan identitas politik orang Papua; kekerasan politik dan pelanggaran HAM; gagalnya pembangunan di Papua; dan inkonsistensi pemerintah dalam implementasi Otsus serta marjinalisasi orang asli Papua. Secara historis, penafsiran terhadap sejarah integrasi, status politik, dan identitas politik Papua muncul sebagai hasil pertarungan politik kekuasaan pada masa dekolonisasi Papua. Sedangkan kekerasan politik dan kegagalan pembangunan merupakan implikasi dari rezim otoritarianisme Orde Baru. Sementara itu, inkonsistensi pemerintah dalam imlementasi Otsus lebih merupakan persoalan yang muncul pada masa pasca-Orde Baru. 40 a. Sejarah Integrasi dan Identitas Konflik Papua lebih disebabkan oleh perbedaan tajam dalam konstruksi nasionalisme Indonesia dan nasionalisme Papua. Bagi para nasionalis Indonesia, Papua adalah bagian dari masyarakat Indonesia, terlepas perbedaan-perbedaan ras maupun kebudayaan. Sementara menurut nasionalsi Papua, ke-Papua-an didasarkan pada perbedaan ras antara orang Indonesia ras melayu dengan orang Papua ras Melanesia. Pada sisi lain, dapat dilihat bahwa ke-Papua-an merupakan identitas politik yang dibentuk oleh pengalaman pada masa kolonial dan dikonstruksi sebagai anti-tesis dari ke-Indonesiaan. Menurut Chauvel, nasionalisme Papua dibentuk oleh empat faktor utama sebagai berikut. Pertama, sebagian Papua berbagi kekecewaan sejarah dimana tanah airnya diintegrasikan dengan Indonesia. Kedua, elite Papua merasakan sebuah persaingan dengan pejabat Indonesia yang telah mendominasi pemerintahan sejak periode Belanda. Ketiga, pembangunan ekonomi dan pemerintahan di Papua melanjutkan sense of difference (perasaan berbeda). Keempat, banyaknya pendatang dari luar Papua yang memperbesar perasaan bahwa orang Papua dimarjinalisasikan.35 Sementara itu, Mc Gibbon berpendapat bahwa berkembangnya nasionalisme Papua di dorong oleh janji Pemerintah Belanda untuk memberikan kemerdekaan kepada Papua. Namun karena posisi 35 Richard Chauvel, 2005, Constructing Papua Nasionalism: History, Etnicity and Adaption, hal. 40 41 Belanda lemah, Belanda menjadi segan untuk membicarakan kemerdekaan dengan elite-elite Papua. Menurut McGibbon, walaupun gagal mendeklarasikan kemerdekaan Papua, tindakan ini telah dimajukan oleh nasionalis Papua kontemporer sebagai momen mendasar yang menandai Papua sebagai negara merdeka. Penerimaan hasil Pepera oleh sidang umum PBB menunjukkan bagaimana model penyelesaian status politik Papua dalam konteks perang dingin tanpa melibatkan peranan dari pemimpin-pemimpin Papua.36 Berdasarkan paparan di atas, dapat diketahui bahwa pengalaman bersama rakyat Papua pada masa kolonisasi Belanda telah menumbuhkan identitas kolektif orang Papua dan pemahaman mengenai sejarah Papua. Istilah Papua sendiri pada awalnya merupakan terminologi politik yang dipopolerkan pada masa kolonial. Wacana mengenai sejarah integrasi Papua dan status politik Papua oleh pemerintah Indonesia merupakan wacana kolonial yang bersifat politik. Historiografi dan status politik Papua harus dilihat sebagai hasil pertarungan politik antara Indonesia dan Belanda di mana rakyat Papua tidak dilibatkan di dalamnya. Namun, yang harus menjadi catatan adalah bahwa konstruksi nasionalisme Papua ini telah dibentuk pada masa kolonial Belanda yang mungkin saja ditujukan oleh 36 Rodd McGibbon, 2004, Plural Society in Perils: Migration, Economic Change, and the Papua Conflict, Policy studies, hal. 9 42 Belanda untuk mengklaim perbedaan ras orang Papua dengan orang Indonesia dan mempertahankan kekuasaan Belanda di Tanah Papua.37 b. Kekerasan Politik Sebagai Implikasi dari konstruksi nasionalisme Indonesia yang didefinisikan secara militeristik, maka upaya untuk mempertahankan keutuhan NKRI serupa dan sebangun dengan perang melawan musuh yang nyata dan bersenjata. Bagi para nasionalis Indonesia yang didominasi oleh wacana patriotisme, keutuhan NKRI adalah harga mati dan gagasan untuk memisahkan dari NKRI ialah bertentangan dengan hokum. Konsepsi NKRI sampai sekarang ini adalah hegemonic official text tentang nasionalisme yang absah dan mendapat legitimasi. Pada masa Orde Baru, negara direpresentasikan oleh militer dan kepentingan negara ialah kepentingan militer dengan formulasi poltik NKRI.38 Ketika kebijakan politik negara gagal mengakomodasi kepentingan rakyat maka tindakan mengkritik institusi negara tidak lain adalah mengkritik institusi militer. Implikasinya, gerakan protes yang dilakukan oleh rakyat Papua terhadap kebijakan negara yang meminggirkan mereka dihadapi dengan pendekatan keamanan. Selain itu, gerakan separatis yang dipelopori oleh OPM dihadapi dengan menggunakan kekuatan militer. Walaupun orde baru telah jatuh, 37 Arend Lipjhart, 1961, ‘The Indonesia Image of West Irian’, dalam Asian Survey Volume I issue 5, hal. 9-16 38 Muridan S. Widjojo, Op. Cit, hal. 11 43 namun karakteristik militerisme yaitu kekerasan dan sentralisme, dalam pendekatan negara terhadap rakyat Papua masih nampak. Sejak Soeharto jatuh pada 1998 dan reformasi politik bergulir, kekerasan oleh aparat negara tidak berhenti. Saat itu tuntutan kemerdekaan Papua meluas dan dilakukan dengan terbuka. Tuntutan ini mengundang represi yang juga meningkat. Tahun-tahun 1998 hingga 2006 adalah masa yang diwarnai secara dominan oleh kekerasan politik, utamanya oleh aparat keamanan, baik TNI maupun polisi.39 Jika ditelusuri lebih jauh, kekerasan terhadap rakyat Papua memiliki dimensi yang sangat kompleks dan luas, yaitu tidak hanya kekerasan fisik namun juga kekerasan psikologis dan struktural. Berkaitan dengan konflik Papua, Theo Van Den Broek sebagaimana dikutip oleh laporan penelitian LIPI tahun 2005, mengidentifikasi kekerasan dan pelanggaran HAM secara lebih detail ke dalam beberapa bentuk sebagai berikut:40 (1) kekerasan terhadap individu, (2) kekerasan terhadap masyarakat pada suatu daerah, (3) kekerasan psikologis, (4) kegiatan bisnis yang berpeluang melanggar HAM, dan (5) kekerasan struktural dalam yaitu kebijakan-kebijakan negara yang berpeluang melanggar HAM. 39 Muridan S. Widjojo, 2006, “Nationalist and Separatist Discourses in Cylical Violence in Papua, Indonesia”, dalam Asian Jpurnal of Social Sciences, Vol 34, No.3, hal 410-430 40 Artikel Theo van den Broek dalam Lokakarya Genosida di tanah Papua tanggal 13 Maret 2004 di Abepura yang diselenggarakan oleh ELSAM Papua Barat dan GKI Tanah Papua 44 Pada masa reformasi, militer tidak lagi menjadi satu-satunya representasi negara baik di Jakarta maupun di Papua. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan baik pada masa orde baru maupun pasca orde baru sangat sulit untuk diselesaikan melalui jalur hukum. Hal ini disebabkan oleh logika negara yang masih didominasi oleh konsepsi NKRI dan konstruksi nasionalisme-militer. Walaupun HAM di atur dalam undang-undang negara dan diberikan tempat dalam wacana politik nasional, namun hanya menjadi simbol yang tidak bermakna. c. Kegagalan Pembangunan Menurut hasil penelitian LIPI tahun 2004, disparitas ekonomi dan pembangunan antara Papua dengan daerah-daerah lain di Indonesia tidak terlepas dari adanya conflict of interest para pendatang di Tanah Papua, diskriminasi kebijakan pusat kepada daerah, dan eksploitasi budaya dan SDA Papua yang menyebabkan terjadinya kesenjangan pembangunan di Papua.41 Kesenjangan Pembangunan juga terlihat dari kondisi pertumbuhan ekonomi yang rendah walaupun pada saat ini ada otonomi khusus namun jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan semakin meningkat. Dari 2.556.419 orang penduduk Papua pada tahun 2004, jumlah penduduk miskin mencapai 43%. Menurut keterangan ketua BPS Provinsi Papua terdapat 47,99% 41 Muridan S. Widjojo, Op. Cit, hal. 14 45 keluarga di Papua dan 36,85% keluarga di Papua Barat pada Maret 2006 dapat dikategorikan sebagai keluarga miskin. Selain itu kempung-kampung (desa) di Papua juga termasuk dalam kategori kampong (desa) miskin atau tertinggal. Mayoritas kampung di Papua (82,83%) dan Papua Barat (81,29%) merupakan kampung tertinggal.42 Belum adanya pembangunan infrastruktur dasar seperti pembangunan jalan dan jembatan yang dihubungkan antara wilayah kota pesisir dan pedalaman menyebabkan kehidupan masyarakat Papua yang tinggal di wilayah terpencil atau pedalaman tetap mengalami keterisolasian. Kehidupan mereka jarang tersentuh dari perubahan peradaban baru. Kondisi ketertinggalan kehidupan tersebut selalu dieksploitasi oleh kelompok tertentu untuk kepentingan politik dan ekonomi termasuk bahan kampanye yang mendiskreditkan pemerintah Indonesia bahwa tidak mampu membangun rakyat Papua. Pembangunan dibidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi sejak Papua berintegrasi dengan republik Indonesia sampai dengan saat ini tetap saja tertinggal jauh dari kemajuan daerah lain di Indonesia. Tercatat bahwa pada tahun 2001, 75% penduduk asli Papua tidak memiliki akses terhadap pendidikan yang layak, 50% tidak pernah mendapatkan pendidikan formal atau tidak lulus dari sekolah dasar, 22% hanya lulus dari sekolah dasar, 10% lulus dari sekolah 42 Ibid, hal.14 46 menengah umum, dan 2% lulus dari universitas.43 Hal ini senantiasa mendorong pemikiran kritis dari sebagian orang Papua bahwa berintegrasi dengan Republik Indonesia ternyata membawa nasib kurang beruntung bagi bangsa Papua, Pemikiran kritis tesebut kadangkala mempengaruhi opini publik bagi orang Papua, kemudian sewaktu-waktu muncul ekspresi penentangan yang berhadapan dnegan aparat negara. Kondisi demikian, bisa diasumsikan bahwa ternyata secara ideologis dan sosiologis orang Papua belum berintegrasi penuh ke dalam NKRI. Hal ini juga ditegaskan oleh Sofyan Socrates Yoman, bahwa pemerintah Indonesia hanya berhasil mengintegrasikan wilayah dan ekonomi, tetapi gagal mengintegrasikan manusia Papua ke dalam Indonesia, manusia Papua selalu menjadi lawan.44 Sebenarnya, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua hadir untuk menjawab semua masalah termasuk kesenjangan pembangunan di tanah Papua. Akan tetapi kenyataannya masih menunjukkan bahwa, pelaksanaan dari undang-undang tersebut belum mampu menjawab semua masalah termasuk kesenjangan pembangunan tadi. Kondisi kehidupan orang Papua sebelum otonomi khusus sampai dengan diberlakukannya otonomi khusus tetap sama, bahkan setelah otonomi khusus semakin parah kehidupan orang Papua. Oleh sebab itu rakyat Papua merasa 43 Yulia Suganda, 2008, Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua, Jakarta, hal. 5 44 Sofyan Socrates Yoman, 2007, Pemusnahan Etnis Melanesia, Memecah Kebisuan Sejarah di Papua Barat, Yogyakarta, Galang Press, hal. 6 47 bahwa tidak ada manfaatnya otonomi khusus bagi orang Papua, lalu mereka beramai-ramai menyatakan menolak otonomi khusus dan menawarkan solusi lain dengan mendesak dilakukannya dialog nasional dan internasional antara Indonesia-Papua dan PBB bahkan meminta dilakukan referendum.45 Data BPS (2010) menunjukkan angka kemiskinan Provinsi Papua sampai dengan bulan Juli 2009 mencapai 34,77%, Provinsi Papua Barat mencapai 34,88%, sedangkan Index Pembangunan Manusia (IPM) terendah dari seluruh Provinsi di Indonesia yaitu 63,53 untuk Provinsi Papua dan 68,58 untuk Papua Barat. 46 Dari data statistik tersebut menunjukkan bahwa walaupun saat ini di wilayah Tanah Papebut menunjukkan bahwa walaupun saat ini di wilayah Tanah Papua berlaku otonomi khusus dengan dibarengi pelimpahan kewenangan Pemerintahan maupun peningkatan kapasitas keuangan daerah untuk pembangunan Papua, ternyata tidak mensejahterakan kehidupan rakyat Papua. Malahan kehidupan orang Papua tetap tertinggal. d. Marjinalisasi orang asli Papua Ketika pemerintah RI berkuasa dan situasi politik semakin stabil, jumlah dan arus migrasi mulai membesar sejak 1970-an. Pendatang dari berbagai daerah di Indonesia, baik melalui transmigrasi yang disponsori pemerintah maupun migrasi spontan, secara kualitatif 45 46 Paskalis Kossay, 2011, Konflik Papua: Akar masalah dan Solusi, Jakarta, Tollelegi, hal. 109 Ibid, hal.111 48 memang sudah lebih unggul daripada orang asli Papua. Marjinalisasi sudah dimulai sejak awal. Di semua bidang mulai dari birokrasi sipil dan militer, partai-partai plitik, ekonomi produksi, perdagangan, hingga jasa. Secara simbolis ketersingkiran atau marjinalisasi orang asli Papua seringkali ditunjukkan dengan kondisi para pedagang eceran.47 Sebagian besar pendatang lebih berpengalaman dan berpendidikan daripada orang asli Papua. Selain itu mereka biasanya juga memilki jaringan sosial dan ekonomi lebih baik. Kekalahan bersaing, marjinalisasi dan perasaan terdiskriminasi menumbuhkan perasaan kolektif orang asli Papua bahwa eksistensi mereka sebagai entitas dan penduduk asli yang seharusnya menjadi tuan di tanah Papua benar-benar terancam. Di kalangan elitnya, kenyataan ini dipertajam dengan wacana yang intinya mengatakan bahwa orang asli Papua sedang terancam kepunahan atau bahkan slow motion genocide.48 Seperti dikatakan di atas bahwa angka migrasi meningkat tajam sejak 1970. Secara kuantitatif, orang asli Papua yang sebelumnya mayoritas di tanah Papua, kini menghadapi ancaman perubahan atau pergeseran demografis. Pada 1959 presentase pendatang masih kurang dari 2%, menjadi 4% pada 1971, dan menjadi 47 Suara Perempuan Papua, 26 Juni – 3 Juli 2007, “Kebijakan Harus dari Nurani” dan “Bertahan Hidup dari Jualan Sayur” 48 Rodd Mc Gibbon, 2004, Papua: Plural Society in Perils, Washington, The East-West Centre, hal.18 49 lebih dari 35% pada 2000.49 Pada 2005 penduduk pendatang berkisar 41% dan diperkirakan akan melonjak menjadi 53,5% pada 2011. 50 Akibatnya orang asli Papua mengalami dislokasi dan displacement. Lambat tapi pasti orang asli Papua sedang menjadi minoritas di tanah Papua. Dari segi budaya, banyak orang asli Papua merasa ekspresi budayanya selalu dicurigai terkait dengan praktik politik separatisme. Misalnya kasus Arnold Up pada tahun 1980-an yang berusaha menghidupkan kembali budaya asli orang Papua dalam bentuk lagulagu dan nyanyian tradisional dicurigai terkait dengan upaya melawan simbol-simbol budaya dominan NKRI. Pengalaman Arnold Ap merupakan pengalaman pahit orang Papua dalam berekspresi yakni ketika karya-karya kesenian Papua dikaitkan dengan perlawanan simbolis politis orang Papua terhadap kekuasaan Indonesia. Banyak kasus terjadi dimana orang Papua berurusan dengan pihak militer akibat simbol-simbol dan ekspresi kebudayaan yang digunakannya terutama terkait dengan pengibaran bendera bintang kejora. 51 Kelahiran PP No 77/2008 tentang pelarangan penggunaan simbolsimbol budaya tertentu menjadi penanda utama kecurigaan pemerintah pusat terhadap ekspresi budaya Papua. 49 McGibbon, op.cit, hal. 13, 25-26 Neles tebay, 2005, West Papua: The Struggle for Peace with Justice, London, Catholic Institute for International Relations, hal. 11-12 51 Neles tebay, Op. Cit, hal. 11-12 50 50 Sementara marjinalisasi dalam ranah politik dapat dilihat pada kurangnya orang-orang asli Papua yang menduduki jabatan-jabatan politik di atas tanah Papua pada masa orde baru. Pada masa tersebut, tercatat hanya tiga gubernur yang merupakan orang asli Papua yakni Izaak Hindom, Barnabas Suaebu, dan Freddy Numberi. Selain itu, gubernur Papua berasal dari kalangan pendatang dan militer. 2. Substansi Konflik Papua Konflik telah mewarnai perjalanan Papua sebelum bergabung dengan NKRI. Sejak lahirnya masa Orde Baru di tahun 1965, militer Indonesia di bawah sandi operasi Wisnumurti I dan III semakin meningkatkan serangannya untuk memaksa orang Papua berintegrasi dengan NKRI. Sejak itu pula rangkaian kekerasan oleh militer terus meningkat. Pada tahun-tahun sebelum Soeharto berkuasa, tercatat 23 orang ditembak mati di Kebar dan Monokwari dalam kurun waktu Juli hingga Agustus 1965.52 Sementara itu, pada bulan Agustus 1966 hingga 1967 sekitar 500 orang ditahan dan 3 orang masyarakat Papua di eksekusi oleh TNI di Teminabuan. 53 Hingga akhirnya tiba penyelenggaraan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969, dimana sekitar seribu orang Papua dipaksa memilih integrasi dengan Indonesia.54 Pelaksanaan Pepera yang bermasalah dan hasilnya yang menipulatif memunculkan aksi penentangan oleh masyarakat Papua yang 52 Sampari, 2006, “Menapaki Jejak Pelanggaran HAM di Papua”, hal. 9 Ibid 54 Hilmar Farid dan Rikardo Simarmata, Transnational Justice di Indonesia: Sebuah Laporan Pemetaan, draft final, April 2003 53 51 tidak terlibat dalam proses tersebut. Aksi penentangan ini ditandai dengan berbagai peristiwa lanjutan perlawanan di bawah organisasi Papua Merdeka (OPM). Tercatat ada beberapa peristiwa pasca Pepera seperti peristiwa Merauke pada tahun 1972 yang beraktivitas utama menanamkan ideologi OPM kepada rakyat, melakukan pengacauan dan menyebarkan rasa permusuhan dengan Indonesia. Selanjutnya peristiwa di Nabire tahun 1971, peristiwa di Jayawijaya tahun 1977 dan peristiwa di Jayapura tahun 1978 yang semuanya beraktifitas melakukan penyerangan ke pos-pos TNI yang ada.55 Namun perlawanan ini justru menigkatkan operasi-operasi militer di Papua untuk menumpas separatism. Di antaranya tahun 1970-1985 dilaksanakan Operasi Tumpas oleh TNI dengan target menggempur daerah yang dianggap basis OPM. Tahun 1977 dikerahkan pesawat pembom, helicopter dan pasukan darat ke wilayah Jayawijaya yang menghancurkan 17 desa.56 Konflik terus berlangsung antara pihak pro kemerdekaan Papua dengan pihak pemerintah hingga tahun 1990-an. Sebagai hasil, pemerintah melakukan operasi militer yang berakhir dengan pembunuhan dan pembantaian yang mengakibatkan korban terus berjatuhan. Akibat penerapan operasi militer selama kurun waktu di bawah rezim Orde Baru, setidaknya telah 100 ribu lebih penduduk asli Papua terbunuh.57 55 Paskalis Kossay, Op. Cit, hal. 58-61 Sampari, Op. Cit, hal.9 57 Ibid 56 52 Perubahan politik negara yang terjadi pada tahun 1998 belum membawa perubahan yang cukup berarti pada kondisi hak asasi manusia di Papua. Aksi demonstrasi dan tuntutan kemerdekaan serta pengibaran Bintang Kejora melegitimasi keberlanjutan operasi-operasi penumpasan separatism di tahun-tahun sebelum era reformasi. Akibatnya, operasi pembunuhan, penyisiran penculikan, penyergapan ke kampung-kampung dan asrama mahasiswa serta bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia lainnya masih kerap terjadi. Selanjutnya, bergantinya presiden setelah Pemilu 2004 belum merubah kondisi Papua. Rangkaian kekerasan masih terjadi, di antaranya pada bulan Desember 2004 aparat polisi membubarkan aksi ratusan warga Papua yang enamakan diri Parlemen Jalanan Rakyat Sipil untuk poltik di Papua saat mengibarkan bendera Bintang Kejora di Lapangan Trikora, Jayapura. Beberapa hari sebelumnya, aparat kepolisian telah mengeluarkan larangan resmi.58 Operasi penumpasan terus terjadi sepanjang tahun 2005 dan awal 2006. Situasi yang buruk selama reformasi menjadi alasan bagi 43 warga Papua meminta suaka di Australia di awal bulan Januari 2006.59 Situasi Papua juga memanas pada tahun 2008, sedikit saja gerakan massa sudah cukup untuk membuat aparat keamanan bertindak tegas. Kapolresta Jayapura, bahkan mengerahkan 10 satuan setingkat kompi (SSK) atau sekitar 1000 personel gabungan Polri/TNI untuk 58 Koran Tempo, Kamis, 2 Desember 2004, “Polisi dan Warga Papua Bentrok Saat peringati 1 Desember” 59 Kompas, “Visa Australia dan Penanganan Papua”, 24 Maret 2006, http://kompas.com/utama/news/0603/24/183213.htm 53 mengamankan Kota Jayapura.60 Pasukan gabungan tersebut membubarkan setiap kumpulan warga, kendati hanya dalam kelompok kecil berjumlah 45 orang. Situasi tersebut menyebabkan sejumlah pertokoan di kota Jayapura terpaksa tutup karena khawatir terjadi tindakan yang mengganggu stabilitas keamanan setempat. Konflkik aparat keamanan dengan OPM tidak kunjung selesai. Pada tanggal 7 Januari 2009, terjadi penyerangan yang dipimpin oleh Dekilas Tabuni terhadap pos polisi di Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya. 61 Dari laporan yang diterima Kapolda Papua Irjen pol Bagus Eko Danto terungkap saat peristiwa terjadi sekitar 20-an warga menonton televisi di pos polisi sedang anggota makan di ruang lain. Situasi tersebut dimanfaatkan anggota OPM dengan menyerang dan mengambil empat pucuk senjata dan 60 butir peluru. Para penyerang yang diduga kelompok OPM pimpinan Goliat Tabuti itu juga mencederai Ny Irene Helen (21) istri Bripda Ayub Ayer. Tingginambut merupakan salah satu daerah di pedalaman Papua yang rawan terutama gangguan dari kelompok separatis. Tembak menembak antara OPM dengan aparat keamanan TNI juga terjadi di sekitar “Puncak Senyum” Distrik Mulia, Kabupaten Punck Jaya, selasa dini hari, tanggal 23 Maret 2010.62Peristiwa penembakan tersebut berawal ketika mobil aparat keamanan dari Yon 753 Nabire, Senin petang dicegat OPM saat hendak kembali ke pos mereka di Puncak Senyum. 63 60 Jayapura, PAB-Online, Selasa, 21 Oktober 2008, “Situasi Papua semakin memanas” Kompas, 12 Januari 2009, “Kapolda Papua: Penyerangan akibat Anggota Lengah” 62 Suara Papua Merdeka, 24 Maret 2010, “TNI dan OPM Kontak Senjata” 63 Ibid 61 54 Aparat keamanan yang berjumlah 13 orang di pimpin Lettu Inf.Syahputra ketika berkendaraan dari Mulia menuju pos mereka di Puncak Senyum yang berjarak sekitar 7000 meter dihadang kelompok OPM, sehingga terjadi baku tembak. 64 Orang tak dikenal yang di duga kelompok OPM melakukan penghadangan gterhadap anggota dengan menembaki kearah mobil hingga serpihan peluru mengenai korban di bagian pinggangb. Akibat baku tembak itu, salah seorang anggota TNI dari Yon 753 mengalami luka ringan di pinggang terkena serpihan peluru. Pada 14 Januari 2011 penembakan terhadap Klemens Basik-Basik dan anaknya di Merauke oleh anggota TNI penugasan perbatasan. Peristiwa ini diisolir sedemikian rupa untuk tidak diketahui masyarakat luas dan buru-buru menuduh korban sebagai anggota OPM yang menyerang Pos Tentar penjaga perbatasan. 65 Dan puncak konflik terjadi pada 16-19 Oktober 2011 ketika rakyat Papua menyelenggarakan Kongres Papua III yang mendeklarasikan pembentukan pemerintahan transisi dengan struktur presiden dan perdana menteri. Hal ini menimbulkan konflik antara aparat TNI/ Polri dengan peserta kongres rakyat Papua yang berujung pada pembunuhan tiga orang warga Papua dan penahanan enam orang pimpinan kongres.66 64 Ibid Paskalis Kossay, S.Pd. MM, Op. Cit hal. 92 66 Ibid 65 55 B. Hubungan Indonesia-Australia 1. Sejarah Hubungan Indonesia-Australia Australia sudah menjalin hubungan dengan Indonesia sejak masa menjelang kemerdekaan Indonesia 1945. Pada sikap Australia yang bersimpati dengan Indonesia ditandai dengan pernyataan Menteri Luar Negeri Australia, Dr Herbert Vere Evatt pada kunjungannya ke Amerika Serikat yang menyarankan agar Hindia Belanda dan Australia dapat menjadi mitra erat dalam mengembangkan dan mendatangkan cara hidup yang lebih baik bagi rakyat Indonesia.67 Indonesia mendapatkan dukungan dari partai yang saat itu menguasai pemerintahan yang ada di Australia, yaitu Partai Buruh mengenai pertikaian menginginkan antara Belanda harus Belanda-Indonesia. lebih liberal dan Partai Buruh realistis dalam menyesuaikan tuntutan abash rakyat Indonesia. Pada prinsipnya, Partai Buruh tidak ingin menjadi partai yang mendukung kolonialisme yang bersifat menindas atau menekan komunisme di Asia tenggara. Dengan menerima, mengakrabi dan mendukung nasionalisme Indonesia, Partai Buruh percaya bahwa sikap ini bisa melindungi keamanan Australia dan membantu stabilitas kawasan Asia Tenggara. Usaha-usaha pemerintah Belanda untuk meneguhkan kembali kendali kolonialnya di Indonesia diantara tahun 1945 dan 1949 benar67 Susan Critchley, 1995, Hubungan Australia dengan Indonesia dan Strategi Keamanan (Terjemahan Sugiarta Sriwibawa, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, hal. 26 56 benar dihalangi oleh serikat buruh dan oleh Pemerintah Australia yang waktu itu dikuasai Partai Buruh. Kapal-kapal Belanda tidak diberi bahan bakar dan para pekerja pelabuhan tidak mau menaikkan muatan bahan persediaan ke atas kapal Belanda.68 Australia berperan penting dalam membantu para pejuang nasionalis Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Hal ini merupakan wujud perhatian politik luar negeri Australia dibawah kepemimpinan Perdana Menteri Chifley dan antusiasme Menteri Luar Negerinya Dr. H.V Evatt yang ketika itu menjabat sebagai dewan keamanan PBB mengecam aksi militer Belanda pada 20 Juli 1947.69 Wakil-wakil Australia di PBB mengusulkan dan mengajukan negaranya untuk bertindak sebagai arbitrase di dalam persoalan Indonesia-Belanda. Usul itu ditolak, namun pada Oktober 1947 Australia dipilih oleh Indonesia menjadi anggota Good Offices Committee mewakili Indonesia yang diusahakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa.70 Australia bersikap sangat kritis dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Melalui keanggotaanya dalam United Nations Committee on Indonesia, Australia mendesak Amerika Serikat agar menggunakan pegaruhnya untuk mendesak Belanda segera merundingkan penyelesaian tersebut. Pada akhir Januari 1949 Dewan Keamanan PBB menuntut pembebasan kabinet Republik, pembentukan suatu pemerintah sementara, dan penyerahan kedaulatan segera sebelum tanggal 1 Juli 68 http://www.dfat.gov.au/all/publications/bab11/index.html diunduh tanggal 15 Juli 2012 Zulkifli Hamid, 1999, Sistem Politik Australia, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal. 420 70 Critchley, Op. Cit., hal. 13 69 57 1950. 71 Akhirnya kedaulatan Indonesia diserahkan pada tanggal 27 Desember 1949 melalui Konfrensi Meja Bundar. Australia juga mensponsori masuknya Indonesia ke PBB pada tahun 1950. Hal inilah yang menyatukan hubungan kedua negara dan menempatkan Australia sebagai kawan Indonesia. Selanjutnya pada tahun 1950, pemerintahan Menzies menegaskan bahwa Australia memiliki kepentingan strategis yang penting pada masa depan administrasi Irian Barat. Menurut Percy Spender yang kemudian menjadi Menlu Australia, wilayah tersebut tidak ikut membentuk wilayah Indonesia, tetapi lebih memiliki kemiripan dengan wilayah Australia di New Guinea dan Papua. Spender menyadari Australia memiliki kepentingan dalam stabilitas politik dan ekonomi Indonesia. Masuknya Irian Barat ke dalam Indonesia tidak akan menambah stabilitas regional, tetapi merupakan bentuk kelemahan dalam perencanaan strategis Asia Tenggara. Australia menginginkan Belanda mengambil kembali kedaulatannya atas daerah tersebut dan menawarkan bantuan ekonomi, administrasi dan pertahanan sehingga Belanda tidak menyerah pada tuntutan Indonesia.72 Di mata Indonesia, Australia yang tadinya kawan berubah menjadi pendukung oposisinya yang paling jelas, Belanda. Indonesia pun mengambil jalan keras dalam masalah Irian Barat, dimana kesatuan- 71 M. C Ricklefs, 2007, Sejarah Indonesia Modern, Terjemahan Drs. Dharmono Hardjowidjono; Cetakan ke 9; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007 hal. 349 72 Richard Chauvel, 2005, Indonesia Australia: Tantangan dan Kesempatan dalam Hubungan Politik Bilateral, Jakarta: Granit, hal. 62 58 kesatuan militer diturunkan untuk menguasai Irian Barat. Sementara perjuangan diplomasi dilakukan oleh Soekarno dengan menggalang dukungan dari negara dunia ketiga. Sikap agresif Soekarno semakin membuat Australia yakin mengenai pentingnya Irian Barat berada dalam kekuasaan Belanda. Australia dibawah pemerintahan Menzies melihat tindakan Soekarno sebagai ekspansi teritori yang dikhawatirkan menjadi ancaman keamanan Australia. 73 Keyakinan itu seolah dipertegas dengan sikap Soekarno yang membina hubungan persahabatan dengan negaranegara komunis seperti Vietnam Utara, Korea Utara, RRC dan Uni Soviet. Pada tahun 1961 sikap Australia terhadap Indonesia perlahan-lahan melunak. Bila terjadi perjanjian yang damai dan sah antara Indonesia dengan Belanda tentang masa depan Irian Barat, maka Australia akan menyetujui keputusan tersebut. Kemudian pada tahun ittu pula Menteri Luar Negeri Australia, Barwick menyatakan bahwa tidak ada alasan bagi Australia untuk takut terhadap klaim Indonesia atas Irian Barat. Barwick juga mengubah haluan Australia yang kemudian mendukung Indonesia asal semua berjalan dengan damai. Menzies sepakat dengan Barwick dan setuju atas kontrol Indonesia terhadap Irian Barat walaupun banyak dikritik oleh opini publik. Pertimbangan Australia mendukung Indonesia adalah karena kerjasama dengan Indonesia akan lebih menguntungkan daripada dengan Belanda. Australia ingin menghindari peperangan dengan negara tetangga terdekat dan mispersepsi tentang Indonesia. 73 Leo Suryadinata, 1998, Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, Jakarta: LP3ES, hal. 115 59 Akhirnya memang Australia tidak bisa berbuat apa-apa setalah Irian Barat kembali ke pangkuan Indonesia pada tahun 1962 dan menjadi bagian dari Indonesia melalui Pepera di bawah supervise PBB pada tahun 1969. Pada periode 1963-1965 ketika terjadi konfrontasi antara Malaysia dan Indonesia, Australia berada pada posisi mendukung Malaysia dan semakin mengkhawatirkan perkembangan komunisme di Indonesia. Australia juga mengkhawatirkan adanya pendekatan konfrontasi yang digunakan Indonesia untuk menghadapi Malaysia. Akhirnya tentara Australia yang mendukung pemerintah Malaysia, terlibat dalam pertempuran dengan tentara Indonesia di perbatasan Saawak-Borneo (sekarang Kalimantan). Masalah tersebut terpecahkan menyusul dengan adanya insiden Gestapu yang gagal di Indonesia pada tahun 1965 dan dengan diangkatnya Presiden Soeharto sebagai pemimpin. Sesudah tahun 1965 hubungan antara Australia-Indonesia mulai berkembang lagi dan menjelang tahun 1967 Australia memberikan dana bantuan untuk membangun kembali ekonomi Indonesia dengan bergabung dalam Inter-Governmental Group on Indonesia. Sementara antara tahun 1972-1988, hubungan Indonesia Australia kembali merenggang karena adanya sengketa Timor-Timur. Sesudah Portugis meninggalkan bekas daerah jajahannya tersebut di tahun 1975, terjadi perselisihan di antara berbagai kelompok politik di Timor Timur. 60 Perdana menteri Australia, Whitlam telah membicarakan masalah ini dengan Presiden Soeharto pada September 1974. 74 Menurutnya, Timor Timur tidak akan menjadi negara merdeka yang berdiri sendiri, yang menjadi ancaman bagi kestabilan kawasan tersebut. Namun ia juga menghendaki agar rakyat Timor Timur deberikan hak sepenuhnya untuk menentukan masa depannya sendiri. Disamping itu, kematian lima wartawan Australia yang sedang meliput Operasi Seroja di Timor-Timur pada 16 Oktober 1975 (peristiwa Balibo Five) yang diduga dibunuh oleh tentara Indonesia telah menjadi kenangan buruk bagi masyarakat Australia dan Media.75 Selanjutnya, peristiwa bom Bali yang juga banyak menelan korban yang merupakan warga negara Australia membuat pemerintah Australia mendesak peerintah Indonesia agar bertanggung jawab dan menemukan pelaku pemboman tersebut. Kebijakan yang langsung diambil pemerintah Australia sesaat setelah terjadinya pemboman tersebut adalah dengan mengeluarkan travel warning kepada warga negaranya untuk tidak melakukan perjalanan ke Indonesia.76 Setelah kejadian itu, Indonesia didorong oleh Australia dan Amerika Serikat, mulai gencar menyelidiki siapa dalang dibalik peristiwa Bom Bali. Australia yang warga negaranya turut menjadi korban juga ikut melakukan penyelidikan di Indonesia yang terkadang terlalu 7474 Hamid, Op.Cit, hal. 423 Chris Manning, 2000, Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis, Yogyakarta: LkiS, hal. 111 76 http://repository.unikom.ac.id/repo/sector/perpus/view/jbptunikompp-gdl-deniyunard19669.html diakses pada tanggal 12 Juli 2012 75 61 mengintervensi Indonesia. Ahli dari Australia dan AS dikirim ke Indonesia untuk membantu investigasi, mulai dari mengidentifikasi korban hingga melacak aliran uang.77 Tak hanya sampai disitu, pemerintah Australia juga melakukan tindakan-tindakan antiteroris di negaranya dengan melakukan penggerebekan ataupun sweeping terhadap warga Indonesia di Australia karena diduga terkait dengan jaringan teroris.78 Dari hal-hal tersebut, hubungan diplomatik Indonesia dengan Australia justru semakin buruk. Melihat hal ini kedua negara lalu berinisiatif untuk membuat sebuah kerjasama resmi dalam bidang pertahanan demi kepentingan kedua belah pihak. Hubungan kerjasama keamanan antara Indonesia dan Australia pasca peristiwa bom Bali I diawali dengan adanya kesepakatan Memorandum of understanding (Mou) pada 7 November 2002. Berdasarkan MoU yang telah disepakati, terlihat bahwa adanya keinginan kedua negara untuk mengadakan kerjasama dalam mencegah tindakan kejahtan terorisme. Implementasi dari MoU ini adalah Indonesia dan Australia kerap kali mengadakan latihan bersama dalam menangani terorisme, seperti yang dilakukan oleh Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dan Australian Special Air Service (SAS) pada tanggal 28 September 2010. Latihan yang 77 http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=5982 diakses pada tanggal 12 Juli 2012 78 http://www.gatra.com/2002-11-14/artikel.php?id=22436 diakses pada tanggal 12 Juli 2012 62 diberi nama Dawn Komodo-10 ini dilakukan untuk menerapkan teknik dan taktik dalam membebaskan sandera.79 2. Perkembangan Hubungan Indonesia-Australia dalam Kaitan dengan Konflik Papua Hubungan antara Indonesia dan Australia mengenai Papua telah berlangsung sejak proses perebutan Irian Barat antara Belanda dan Indonesia. Australia dibawah kepimimpian Menzies pada saat itu yang lebih mendukung Irian Barat menjadi wilayah kekuasaan Belanda, namun perlahan menjadi melunak merubah haluan dukungannya terhadap Indonesia di tahun 1961 dan pada akhirnya Papua yang terletak di wilayah paling timur dari kesatuan Republik Indonesia masuk dalam NKRI pada tanggal 19 November 1969 melalui resolusi PBB No.2504, hal ini sekaligus menjadi pengakuan atas integrasi Papua di Indonesia menurut hukum internasional.80 Namun dengan munculnya gerakan separatisme di Papua, Australia juga telah banyak melakukan bentuk-bentuk intervensi terhadap gerakan separatisme di Papua yang mengakibatkan hubungan Indonesia dan Australia menjadi merenggang. Puncak momentum terjadi pada tahun 2006 di saat 43 warga Papua mencari suaka ke Australia. Mereka bertolak dari Merauke, berlayar selama lima hari dan akhirnya mendarat di tepi 79 http://english.peopledaily.com.cn/900001/90777/90851/7153015.html diakses pada tanggal 12 Juli 2012 80 Yan Pieter Rumbiak, 2005, Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua, Menyelesaikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Membangun Nasionalisme di Daerah Krisis Integrasi, Jakarta, Papua International Education, hal. 36 63 pantai terpencil Cape York Australia. 81 Selanjutnya pada bulan Maret 2006, Departemen Imigrasi dan masalah-masalah penduduk asli Australia (DIMIA) memberikan Temporary Protection Visa (visa tinggal sementara) kepada 42 dari 43 warga Papua yang mencari suaka. Peristiwa ini dinilai pemerintah sangat melecehkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada tahun yang sama pemerintah Indonesia dan Australia menandatangani sebuah perjanjian kerjasama keamanan baru yaitu Perjanjian Lombok (The Lombok Treaty). Untuk pembahasan teknisnya akan dilakukan melalui dialog forum tingkat menteri kedua negara (Indonesia-Australia Ministerial Forum)82. Dari hasil The Lombok Treaty dapat diambil kesimpulan mengenai pernyataan masing-masing pihak akan saling menghormati kedaulatan, kemerdekaan politik, integritas territorial tanpa mencampuri urusan dalam negeri masing-masing pihak. Lebih lanjut, perjanjian kerjasama keamanan Indonesia dan Australia tahun 2006 (The Lombok Treaty), sebagian isi perjanjiannya menyebutkan butir larangan territorial Australia menjadi basis perjuangan separatisme Papua. Perjanjian ini sebagian merupakan respon Indonesia atas intervensi Australia terhadap gerakan separatisme di Papua dengan memberikan ijin tinggal 42 warga Papua. Ditahun-tahun berikutnya, meski masih sering terdengar isu-isu yang menyebutkan beberapa NGO di Australia tetap mendukung gerakan 81 Kompas, “Visa Australia dan Penanganan Papua”, 24 Maret 2006, http://kompas.com/utama/news/0603/24/183213.htm 82 “Kerjasama Kerangka Keamanan Indonesia-Australia Ditandatangani” dalam http://lomboknews.wordpress.com/2006/11/13/kerja-sama-kerangka-keamanan-indonesiaaustralia-ditanda-tangani/ diakses pada tanggal 13 Juli 2012 64 separatisme di Papua, namun pemerintah Australia melalui pemerintahnya menyediakan dana bantuan pembangunan sekitar 17 Juta dollar Australia untuk Provinsi Papua dan Papua Barat pada tahun 2010 dan 2011 untuk meningkatkan kesehatan, pendidikan dan infrastruktur.83 83 “Australia Kucurkan Dana ke Papua” http://edukasi.kompas.com/read/2011/05/04/18403842/Australia.Kucurkan.Dana.ke.Papua. diakses pada tanggal 13 Juli 2012 65 BAB IV ANALISIS HASIL PENELITIAN A. Kepentingan Australia Terhadap Papua Separatisme merupakan ancaman utama terhadap keutuhan NKRI. Ancaman separatisme di Indonesia tidak selalu berbentuk gerakan bersenjata melainkan dapat juga berupa gerakan politik. Keterbukaan geografi Indonesia sangat rawan terhadap adanya infiltrasi pihak asing yang banyak dimainkan oleh Australia sebagai negara tetangga terdekat Indonesia. Dalam faktanya, siapapun yang berkuasa di Australia akan tetap memandang Indonesia sebagai negara yang penting bagi Australia. Hal ini setidaknya bisa dilihat pada dua segi yakni, pertama, dari segi geografis, Indonesia adalah negara Asia dan merupakan tetangga dekat bagi Australia. Lebih-lebih pada partai Buuh yang berkuasa di Australia. Jika di masa lalu Australia selalu “mencari keamanan dari Asia”, khususnya dengan berpayung pada Ingrris dan AS (sebelum dan semenjak PD II), maka sejak Partai Buruh berkuasa di tahun 1984, Australia berupaya mencari keamanan di dalam Asia”. Yakni dengan mendekatkan diri pada negara-negara di Asia, termasuk Indonesia. Biar bagaimanapun Asia lebih dekat daripada Eropa, penduduk Asia juga lebih banyak dari Eropa. Eropa bagi Australia adalah hubungan historis dan kultural masa lalu, sedang Asia adalah realitas politik, ekonomi dan pertahanan keamanan sekarang dan masa depan. Kedua, dilihat dari segi geostrategic, Indonesia merupakan benteng, dan sekaligus bisa menjadi ancaman bagi Australia. Dalam aspek historis, pada Perang Pasifik, Indonesia dulu masih merupakan wilayah Hindia66 Belanda dan merupakan benteng yang amat penting bagi Australia. Tapi pada tahun 1960-1970 an, Indonesia dipandang sebagai ancaman karena dipandang melakukan politik ekspansionis yang agresif. 84 Hal ini tampak pada upaya pengembalian Irian Barat, konfrontasi dengan Malaysia dan integrasi TimorTimur. Berdasarkan keterangan di atas, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Indonesia, khususnya Papua mempunyai nilai strategis bagi Australia, baik yang berdimensi politik, ekonomi dan keamanan. Nilai strategis secara politik dan keamanan, Australia lebih mudah dalam memberikan pengaruhnya jika Papua lepas dari NKRI, selain itu Papua dianggap sebagai mata rantai yang sangat essensial dalam garis pertahanan Australia. Oleh karena itu, setelah pemerintah Australia berhasil memainkan proses referendum Timor-Timur yang digelar PBB pada masa itu, maka dibentuklah Task Force Papua oleh pemerintah Australia, yang diketuai Jenderal Peter Cosgrove, bersama tujuh staf ahli untuk mengkaji permasalahan serta prospek kemerdekaan Papua.85 Nilai strategis secara ekonomi, di Papua potensi mineral logam baik berupa logam mulia maupun logam dasar cukup besar. Mineral logam yang cukup melimpah di Papua diantaranya logam mulia, emas dan perak. Selain itu, terdapat pula deposit logam dasar, yakni tembaga serta logam besi berupa besi laterit, kobalt, dan nikel. Deposit emas, perak dan tembaga terdapat dalam jumlah besar di kompleks Pegunungan Tengah, yang meliputi Kabupaten Mimika, Jayawijaya, Puncak Jaya, Yakuhimo, Pegunugan Bintang 84 Ikrar Nusa Bhakti, 1996, PM Australia John Howard ke Indonesia; Bisnis Pertahanan Yes, Politik No, Kolom Edisi XXX, September, 85 Syamsul Hadi dan Andi Widjajanto, 2007, Disintegrasi Pasca Orde Baru, Negara, konflik Lokal dan Dinamika Internasional, Jakarta, hal. 127-128 67 dan Lonijaya. Cadangan total emas primer di wilayah ini mencapai 2.878,6 juta ton. Selanjutnya, jika dilihat dari segi geografis Australia yang dikelilingi oleh dua samudera, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Garis pantai barat-laut dan utara Australia membentuk perbatasan terdekat dengan kepulauan Indonesia. Garis pantai barat yang menjorok ke Samudera Hindia memberikan posisi penting kepada Australia ditinjau dari hubungannya dengan Afrika, subbenua India dan kawasan Asia Tenggara. Garis pantai timur Australia seluruhnya dikelilingi oleh Samudera Pasifik yang menghubungkan Australia dengan benua Amerika Utara dan Selatan. Australia juga dapat dipandang sebagai pulau benua yang dikelilingi dua samudera di ketiga sisinya. Dalam hal ini, posisi Papua dengan pulaupulau yang berdekatan dengannya membentuk atap bagi garis pantai utaranya. Sisi utara itulah kunci strategis pertahanan Australia, sehingga tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kepulauan Indonesia memiliki arti penting bagi Australia, utamanya letak Papua yang dianggap sebagai buffer zone bagi pertahanan Australia serta memiliki kemungkinan untuk melakukan serangan terhadap Australia lewat Papua. Argumen di atas juga diperkuat oleh hasil penelitian Dr. Evatt (1943) yang menyebutkan bahwa Irian Barat merupakan bagian dari “payung” strategis pulau-pulau yang oleh Australia dipandang penting sekali yang juga merupakan bagian dari lingkungan pengaruhnya yang strategis.86 Oleh karena itu, orang-orang Australia tidak akan toleran terhadap 86 George Margarret, 1980, Australia and The Indonesian Revolution, Melbourne University Press, Victoria, hal. 68 68 penyerahan kedaulatan oleh pemerintah Belanda pada waktu itu, kepada negara manapun kecuali Australia. Terlebih lagi bahwa posisi Australia terhadap Irian Barat sangat penting karena Australia mempunyai pengaruh politik di kalangan negaranegara Pasifik Selatan. Karena Australia tidak dapat mengubah geografinya, maka penyerahan kedaulatan kepada Indonesia akan merupakan semacam ancaman, sudah menjadi perkiraan yang tidak pernah diragukan oleh Pemerintah maupun oposisi. Indonesia dilihat secara politis tampak tidak stabil, secara administrasi kelihatan kacau, dan lemah secara militer. Jikalau Irian Barat ditempatkan dibawah tanggung jawabnya, anggapan selanjutnya ialah bahwa Australia akan kehilangan wilayah itu sebagai benteng garis terdepan. Sebaliknya wilayah itu akan berubah menjadi pintu masuk yang potensial bagi musuh dari Asia. Dalam Pemerintahan koalisi pada waktu itu, Alexander Downer menghimbu kepada pemerintah Indonesia untuk melepaskan Irian. Downer menyatakn “Jika Belanda tidak ingin tetap disana, maka kita harus menahannya demi kepentingan rakyat kita”87 Pandangan ini juga diamini oleh banyak warga Australia dan beberapa media massa seperti The Sydney Morning Herald tanggal 1 Februari 1950, dengan judul “Indonesia Tidak Punya Hak di Irian”. Dari beberapa keterangan di atas, tampak nyata bahwa Australia sangat berkepentingan terhadap Papua sehingga akan mempengaruhi dinamika 87 Susan Crtchley, 1995, Hubungan Australia dengan Indonesia; Faktor Geografi Politik dan Strategi Keamanan, Jakarta, UI Press, hal. 80 69 gerakan separatis Papua yang diperkuat dengan berbagai dukungan para pihak di Australia. Selanjutnya mengenai persoalan pemberian suaka kepada 42 warga Papua yang diberikan oleh Australia, sangat jelas tergambar bahwa pemerintah Australia tentu mempunyai kepentingan politik, dengan tujuan untuk memecahkan masyarakat, dengan perpecahan ini maka menimbulkan ketidakstabilan negara kesatuan Republik Indonesia. Pada sisi lain, terkadang Australia mendukung Indonesia dalam melaksanakan program perencanaan pembangunan di Papua , namun terkadang justru membantu masyarkat yang ingin melakukan tindakan separatis dan mendukung Papua untuk merdeka dan lepas dari wilayah NKRI. Memang tidak banyak pilihan bagi Australia sebagai negara “kekuatan menengah” yang terisolasi di selatan bumi dan dikelilingi samudera luas. Isolasi dari dinamika kawasan regional maupun global merupakan skenario terburuk Australia. Memainkan diplomasi “dua muka” merupakan strategi yang dapat menaikkan posisi tawar Australia. Keberhasilan demi keberhasilan Howard dalam memanfaatkan strategi ini bisa membuatnya terlena. Memanfaatkan dukungan AS untuk terlibat kasus Timor Leste berhasil membuahkan miliaran dollar dari lading minyak Laut Timor. Menggunakan unilateralisme AS, Australia berhasil memperkuat hegemoni atas Pasifik Selatan. Keterlibatan dalam aksi global antiterorisme AS juga berhasil meningkatkan Australia menjadi pemain global. Kontribusi dalam aksi antiteror ini nyaris tanpa resiko, tanpa korban dari serdadu Australia. 70 Sama seperti AS, perdagangan Australia bergantung pada seaborne trade dengan negara-negara mitra di Asia. Secara geografis terisolasi di selatan, 80 persen komoditas perdagangan internasional Australia diangkut lewat laut. Akibatnya, Australia bergantung pada akses ke jalur pelayaran bagian hulu alur komunikasi laut (SLOC) Asia Tenggara dan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Australia misalnya bergantung pada selat Lombok untuk mengangkut biji besi ke China. Dapat dikatakan, sebagian besar pelayaran antarkawasan yang melintasi Selat Lombok adalah kapalkapal niaga Australia. Karena itu, akses untuk melintasi ALKI dan SLOC merupakan faktor penentu kesuksesan perdagangan Australia. Ketergantungan terhadap akses ini cenderung meningkat seiring bertambahnya volume perdagangan Australia dengan mitra dagang di Asia. Dengan kata lain, menutup akses kapal niaga Australia ke Asia sama dengan memblokade ekonomi Australia. B. Implikasi Politis, Keamanan, dan Ekonomi Konflik Papua dalam Hubungan Indonesia-Australia a. Implikasi Politis Hubungan antara Indonesia dan Australia sejak masa lalu hingga saat ini diwarnai pasang surut (fluktuatif), yang terkadang memanas, namun juga terkadang terealisasi secara harmonis. Beberapa kasus yang menimbulkan hubungan kedua negara menjadi renggang bahkan memanas antara lain karena Australia relatif sering menjalankan kebijakan campur tangan yang berlebih terhadap masalah-masalah internal dalam negeri 71 Indonesia yang terkadang menimbulkan gesekan-gesekan dengan pemerintah Indonesia. Salah satu kasus yang memberikan implikasi politis terbesar dalam sejarah hubungan Indonesia Australia adalah kasus pemberian suaka izin tinggal sementara kepada 42 warga Papua pada tahun 2006. Kasus pemberian suaka kepada warga imigran Papua, akhirnya menimbulkan berbagai problematika transnasional yang kompleks yang ditengarai oleh pemerintah Indonesia sebagai bentuk upaya dalam mendukung dan meningkatkan eksistensi terkait isu separatisme Papua yang tidak puas atas kinerja Pemerintah Indonesia.88 Kasus pemberian suaka ini secara efektif telah memanaskan hubungan antara Pemerintah Indonesia dan Australia, bahkan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia mengecam, sekaligus mengirimkan utusannya ke Canberra untuk mengkonfirmasi kasus ini. Indonesia juga menarik duta besar Indonesia untuk Australia, Teuku Mohammad Hamzah Thayeb dan membatalkan undangan Menteri Pertahanan Brendan Nelson untuk berpartisipasi dalam latihan militer internasional di perairan lepas pantai Darwin pada pertengahan April 2006.89 Tindakan Australia memang tak dapat ditolerir karena berdasarkan konvensi internasional, Canberra tidak boleh memberikan visa resmi kepada para imigran gelap. Jadi jika Indonesia menghendaki, maka para imigran tersebut harus diekstradisi kembali ke negaranya. Bahkan setelah Presiden Yudhoyono meminta kepada PM Australia 88 89 Masalah Papua Menjadi Bahan Kampanye Politik di Australia, Media Indonesia, 23 Maret 2006 Ibid 72 Howard agar memulangkan 43 warga Papua tersebut dan menjamin keamanan warga Papua tersebut namun kenyataanya jaminan Yudhoyono itu tetap diabaikan.90 Ketika jaminan keamanan disampaikan oleh pejabat tertinggi negara sudah tidak digubris, maka dapat disimpulkan bahwa Canberra tidak mempercayai integritas pemerintahan dan bangsa Indonesia. Sekalipun pemerintah Australia melalui Perdana Menteri John Howard dan Duta Besar Australia David Ritchie telah mengungkapkan akan mendukung Negara Kesatuan Indonesia, namun kasus ini mampu menjadi isu sentral dan membawa implikasi politis yang sangat besar bagi hubungan Indonesia Australia.91 Protes keras juga tidak hanya di tingkat pemerintah dan DPRMPR, tetapi juga ditingkat masyarakat. Agaknya langkah tersebut membuat Australia mulai memperhitungkan kembali hubungan baik yang perlu dijalin dengan Indonesia. Upaya menurunkan ketegangan Jakarta – Canberra atas persoalan pengungsi dari Papua, agaknya menjadi skala prioritas bagi Howard dan Susilo Bambang Yudhoyono. Hal itu terbukti dari pernyataan perdana menteri Howard di radio 3AW, yang disampaikan secara tegas bahwa “I sent such a strong message to the people of West Papua. Do not imagine for a moment we want you to come to Australia” Hal itu dilanjutkan dengan pengiriman utusan khusus dari Canberra. Michael L’Estrange pergi ke Jakarta untuk menemui Menteri Luar Negeri Indonesia guna memperbaiki hubungan kedua negara tersebut. Meskipun 90 http://www.abatasya.net/view/523/95/ dalam “Indonesia, Australia, dan Isu Pemberian Suaka.” Diakses pada tanggal 14 Juli 2012 91 Ibid 73 dinyatakan bahwa pertemuan tersebut belum dapat menghasilkan apa-apa, tetapi pada tanggal 29 April 2006 Menteri Keimigrasian Vanstone, merespon berita-berita tentang Papua dalam tulisannya di The Weekend Australia bahwa “the Papuans separatism is a racist, toxic cause”. Kesan menjaga perasaan Indonesia ditujukan pula dengan belum diprosesnya tiga orang Papua yang pergi menggunakan perahu juga pada tanggal 5 Mei 2006 di Pulau Baigu di Torres Strait.92 Di sisi lain, tindakan pemberian suaka terhadap 42 warga Papua 2006, telah memicu berbagai reaksi keras dari kedua negara, bahkan hal ini juga diwarnai perang propaganda pada surat kabar di masing-masing negara, melalui karikatur yang menyinggung pemimpin dari kedua negara, baik presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono ataupun Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Australia John Howard dan Alexander Downer. Berdasarkan keterangan Bapak Presiden Republik Indonesia, mengenai pemuatan karikatur dan pemberian visa warga negara Indonesia menjelaskan sebagai berikut: Saya harus meletakkan keprihatinan saya, kekesalan saya terhadap pemuatan karikatur saya sebagai seorang kepala negara, dengan tampilan seperti itu, di bawah kepentingan yang lebih besar. Bagaimana kita harus menyelesaikan masalah ini secara jujur, secara arif, dan secara tepat. Tepat dalam kerangka tegaknya negara kedaulatan, harga diri, dan kehormatan bangsa Indonesia yang tidak bisa ditawar-tawar dan juga dalam kerangka memulihkan kembali hubungan kita, hubungn IndonesiaAustralia yang mengalami keretakan, karena keputusan sepihak pemerintah Australia yang lalu.93 92 Amanada Vanstone, “Lets not Support Separatism”, Weekend Australia, 29 April 2006 http://www.Anothernews/5April2006/0048html dalam Transkrip Pernyataan Pers Presiden RI Mengenai Hubungan RI-Australia dan Pemuatan Kartun Presiden SBY Istana Merdeka, 3 April 2006, hal.7 diakses pada tanggal 14 Juli 2012 93 74 Pemerintah Indonesia sangat menyesalkan dan prihatin atas penerbitan karikatur tentang diri Bapak Presiden Republik Indonesia oleh media Australia sehingga dampak dari itu pemerintah Indonesia dan rakyat Indonesia melakukan protes bahkan diikuti demo. Walaupun di Australia sendiri, karikatur semacam itu merupakan hal yang wajar dilakukan mengingat kebebasan media di sana begitu terbuka, seperti Howard yang juga pernah menjadi headline sebuah media dengan karikatur anjing. Sementara Indonesia dengan kebebasan media yang terbatas menganggap hal tersebut sebagai suatu pelecehan dan tidak akan memberikan toleransi kepada elemen-elemen yang ingin memecah belah kesatuan Republik Indonesia yang telah utuh dan menyatu berdasarkan ideology negara yaitu Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. b. Implikasi Keamanan Australia sebagai kekuatan menegah di Asia Pasifik tetap memandang bahwa hubungan dengan wilayah utara, khususnya Indonesia sebagai bagian sistem strategi di Asia Pasifik, memiliki nilai geo-ekonomi, geo-politk dan keamanan yang strategis. Pemahaman akan ancaman dari utara oleh Australia ini muncul ketika pasca perang dingin yang dapat dilihat dalam buku putih pertahanan Australia tahun 1994 yang di dalamnya menekankan bahwa ancaman keamanan tetap datang dari utara.94 Walaupun pada kenyataannya negara-negara di negara-negara di utara bukan hanya Indonesia, tetapi karena letak perairan dan laut Indonesia yang berdekatan, maka praktis setiap persoalan domestik 94 Defending Australia: Defence White Paper, Australian Government Publishing Service, Canberra, 1994, hal. 21 75 Indonesia yang berkaitan dengan gejolak politik, ekonomi dan keamanan di Indonesia sudah pasti akan menjadi dan menyebabkan kekhawatiran Australia. Dalam hubungannya dengan konflik Papua, Australia merasa lebih aman jika Papua menjadi merdeka dan berada dalam pengaruhnya untuk menjamin stabilitas pertahanan keamanannya. Sehingga bisa disimpulkan bahwa Papua lebih baik berada dalam pengaruh Australia daripada menjadi bagian NKRI yang sedang mengalami krisis politik. Papua dalam kacamata Australia memiliki nilai strategis sebagai buffer zone bagi pertahanan keamanannya. Pada tanggal 13 November 2006, pemerintah Australia dan Indonesia menandatangai sebuah perjanjian kerjasama keamanan baru yang dikenal dengan Perjanjian Lombok (The Lombok Treaty). Dokumen ini mencakup bidang yang luas yakni; Pertahanan, Penegakan Hukum, pemberantasan terorisme, kerjasama intelijen, kerjasama maritim, keselamatan dan keamanan penerbangan, penyebaran senjata pemusnah massal, tanggap darurat bencana alam, dan pengertian antar masyarakat dan manusia (people to people link).95 Lebih lanjut, perjanjian kerjasama keamanan Indonesia dan Australia tahun 2006 (The Lombok Treaty), sebagian isi perjanjiannya menyebutkan butir larangan territorial Australia menjadi basis perjuangan separatisme Papua. Perjanjian ini sebagian merupakan respon Indonesia 95 “Kerjasama Kerangka Keamanan Indonesia – Australia Ditandatangani” dalam http://lomboknews.wordpress.com/2006/11/13/kerja-sama-kerangka-keamanan-indonesiaaustralia-ditanda-tangani/ diakses pada tanggal 14 Juli 2012 76 atas intervensi Australia terhadap gerakan separatisme di Papua dengan memberikan ijin tinggal 42 warga Papua. Perjanjian keamanan Indonesia – Australia 2006 memuat beberapa prinsip, diantaranya prinsip pernyataan atas kedaulatan, kesatuan, kemerdekaan, dan integritas wilayah masing-masing, pengakuan atas prinsip bertetangga yang baik serta tidak mencampuri urusan dalam negeri masing-masing, pengakuan akan adanya tantangan global, seperti terorisme internasional, serta ancaman keamanan baik yang bersifat militer maupun nirmiliter. Kesiapan bekerjasama menghadapi segala tantangan dan ancaman, kesiapan untuk memperkuat kerjasama bilateral dan dialog melalui diskusi teratur masalah-masalah strategis, kerjasama maritim, pertahanan, intelejen, penegakan hukum, dll. Kesiapan mempertahankan dan memperkuat kerjasama sosial, ekonomi, politik, dan keamanan bilateral, serta kerjasama menuju stabilitas, kemajuan dan kesejahteraan di kawasan Asia Pasifik, serta penghargaan pada hukum dan peraturan yang berlaku pada masing-masing negara.96 Berdasar pada beberapa prinsip di atas, maka Indonesia sangat berkepentingan terhadap Australia, khususnya dalam menjaga integritas NKRI. Pertanyaan di atas tercantum dalam artikel 2 ayat (2) dan ayat (3), yang berbunyi; “Saling menghormati dan mendukung kedaulatan, integritas territorial, kesatuan nasional, dan kemerdekaan politik masingmasing dan juga non-intervensi terhadap urusan dalam negeri satu sama lain” 96 Naskah “Agreement Between The Republic of Indonesia and Australia on The Framework for Security Cooperation.”, 2006, hal. 1 77 “Kedua belah pihak, sesuai dengan hukum nasional dan kewajiban internasional yang berlaku, tidak akan mendukung dan berpartisipasi dengan cara apapun dalm kegiatan yang dilakukan baik oleh perorangan atau kelompok tertentu yang bisa mengancam stabilitas, kedaulatan, atau integritas politik pihak lainnya, termasuk menggunakan wilayah pihak lainnya untuk melakukan separatisme” Dengan penjelasan di atas, maka Indonesia mendapat beberapa keuntungan diantaranya; pertama, Indonesia mendapat jaminan kedaulatan dari pemerintah Australia atas integritas wilayah NKRI. Dengan keberadaan perjanjian keamanan ini, maka pemerintah Australia berhak untuk menindaklanjuti aktor non-negara di Australia, seperti penggiat LSM, media massa, aktifis gereja, dan aktifis partai yang secara nyata mendukung gerakan separatisme di Papua. Kedua, perjanjian keamanan sebagai payung hukum atau kerangka kerjasama keamanan kedua negara memberikan keuntungan khusus bagi Indonesia berupa peningkatan kemampuan kontrol wilayah dan geografi, terkait dengan capacity building, joint exercise, sharing intelijen, sebagai implementasi dari kerjasama keamanan. Hal ini membuat Indonesia mampu dalam mencegah proliferasi gerakan separatis di Indonesia Timur, khususnya di Papua. Akan tetapi keefektifan perjanjian yang baru diratifikasi oleh legislatif Indonesia tahun tahun 2008 kemarin, yang secara otomatis mengikat kedua belah pihak masih dikhawatirkan kedepannya. Kekhawatiran semacam ini muncul mengingat sebelumnya Australia juga mengabaikan perjanjian keamanan yang ditandatangani oleh kedua belah pihak di tahun 1996 dan dibatalkan sepihak oleh Indonesia tahun 1999, 78 karena Australia terbukti melakukan intervensi atas kemerdekaan TimorTimur pada waktu itu.97 c. Implikasi Ekonomi Dalam melakukan hubungan internasional suatu negara, pada dasarnya tidak dapat dilepaskan keterkaitan satu faktor dengan faktor lainnya. Demikian pula Australia, kebijakan dan strategi keamanan dan hubungan internasionalnya, baik itu hubungan bilateral maupun multilateral tidak dapat dilepaskan dari hubungan interdependensi antar negara di bidang sosial, ekonomi dan perdagangan. Australia sebagai negara yang mengandalkan perdagangan internasional sangat menyadari dan merasa perlu melakukan perlindungan atas jalur-jalur perdagangannya, maka kegiatan ekonomi internasionalnya tidak dapat berdiri sendiri tetapi haruslah mendapat dukungan kegiatan politik dan keamanan di tingkat internasional pula. Stabilitas kawasan tidak hanya di Australia saja, tetapi segala kawasan yang memberikan keuntungan secara ekonomi bagi negeri tersebut. Asia Pasifik masih merupakan kawasan yang paling besar berperan dalam perkembangan perekonomian Australia dan ketergantungan negeri tersebut pada beberapa negara di kawasan tersebut masih tinggi. Di Indonesia sendiri, walaupun terjadi instabilitas politik akibat adanya konflik Papua, hubungan bilateral Indonesia – Australia di bidang ekonomi dan perdagangan bisa dikatakan berada dalam kondisi yang baik. Berbagai bentuk kerjasama dan bantuan banyak dilakukan. Perdagangan 97 Ikrar Nusa Bhakti, 2006, Merajut Jaring-jaring Kerjasama Keamanan Indonesia – Australia; Suatau Upaya Untuk Menstabilkan Hubungan Bilateral Kedua Negara, LIPI, Jakarta, hal. 58 79 dan perniagaan antara Australia dan Indonesia semakin tumbuh. Dengan adanya perdagangan 2 arah senilai 10,3 miliar dollar AS selama 20072008, Indonesia merupakan mitra dagang terbesar ke-4 Australia di ASEAN dan mitra dagang terbesar ke 13 dari seluruh mitra dagang Australia. Investasi Australia di Indonesia berkembang pesat dan mencapai 3,4 miliar dollar AS pada akhir 2007.98 Lebih dari 400 perusahaan Australia sedang melakukan perniagaan di Indonesia mulai dari usaha pertambangan sampai telekomunikasi. Perusahaan-perusahaan ini bekerja sebagai mitra dagang dengan perusahaan dan pemerintah Indonesia. Pada tahun 2009, Australia telah Australia telah memastikan komitmen bantuan bagi Indonesia senilai 40 Juta dollar Australia lewat International Forest Carbon Initiative atau Prakarsa Karbon Hutan Internasional. Bantuan tersebut merupakan bagian dari bantuan senilai 200 juta dollar AS dan mencakup Kemitraan Hutan dan Iklim Kalimantan yang ditujukan guna memangkas emisi gas rumah kaca akibat penggundulan hutan.99 98 http://internasional.kompas.com/read/2009/02/19/15002251/Australia.Serius.Bentuk.Perdaga nga n.Bebas.dengan.Indonesia. diakses pada tanggal 16 Juli 2012 99 http://internasional.kopas.com/read/200902/21/08251943/Australia.Turut.Atasi.Penebangan. Hutan.di.Indonesia. diakses pada tanggal 17 Juli 2012 80 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Papua terjadi sejak wilayah ini resmi menjadi bagian dari NKRI dan dengan seiring berjalannya waktu konflik ini berkembang menjadi konflik yang sangat kompleks dengan berbagai macam faktor yang menunjang konflik ini. Sumber konflik Papua mencakup empat isu, yakni sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI dan identitas politik orang Papua, kekerasan politik dan pelanggaran HAM, gagalnya pembangunan di Papua dan inkonsistensi pemerintah dalam implementasi Otsus serta marjinalisasi orang asli Papua. Berkali-kali Indonesia berganti pemerintahan sejak era Soekarno hingga era reformasi di bawah kepemimpinan Susilo pun tetap tidak ditemukannya solusi yang tepat bagi konflik Papua. Malah semakin menjadi kompleks ketika negara-negara lain ikut campur dalam konflik internal Indonesia. Salah satunya adalah Australia. Datang dengan berbagai bentuk kepentingannya, baik itu kepentingan terhadap keamanan negaranya, kepentingan poltik dan kepentingan ekonomi. Berbagai bentuk campur tangan dan keterlibatan Australia yang mendukung gerakan separatisme Papua dapat dilihat sejak dimulainya pembebasan Irian Barat, hingga yang sangat fenomenal yaitu kasus pemberian suaka terhadap 42 warga Papua yang mencari suaka ke pemerintah Australia tahun 2006 yang sempat menyebabkan hubungan antar kedua negara ini merenggang dan memberikan implikasi-implikasi politis, keamanan dan juga eonomi bagi hubungan Indonesia – Australia. 81 B. Saran 1. Sebaiknya pemerintah harus membangun dialog-dialog terbuka dengan seluruh komponen masyarakat Papua. Dialog itu sebagai upaya memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2. Perlunya penempatan dan pemilihan birokrat yang tepat di Papua yang sekaligus dapat berfungsi sebagai agen-agen pemersatu bangsa 3. Sebaiknya pemerintah Indonesia memperlihatkan ketegasan terhadap perilaku pemerintah Australia yang selalu campur tangan terhadap keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia 82 DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku Chauvel, Richard. 2005. Constructing Papua Nationalism: History, Etnicity and Adaption. Washington: East-West Center Elisabeth Adriana. 2008. Papua Road Map; Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future. Jakarta: LIPI Press Hamid, Zulkifli. 1999. Sistem Politik Australia. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Hardjowidjono, Dharmono. 2007. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Holsti, K.J. 1998. Politik Intenasional: Keangka untuk Analisis. Jakarta: Elangga Jamil, M. Mukhsin. 2007. Mengelola Konflik dan Membangun Damai: Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik. Walisongo: Semarang Jemadu, Aleksius. 2007. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi. Yogyakarta: Graha Ilmu Kossay, Paskalis. 2011. Konflik Papua: Akar Masalah dan Solusi. Jakarta: Tollelegi Krisna, Didi. 1993. Politik Internasional. Jakarta: PT. Grasindo Kusumohamidjojo. 1993. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Jakarta: Gramedia Kusumohamidjojo, Budiono. 1987. Hubungan Internasional: Kerangka Studi Analisis. Jakarta: Bina Cipta Mahmuddin. 2001. Perspektif Kerjasama Bilateral. Jakarta: Rajawali Press Manning, Chris. 2000. Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis. Yogyakarta: LkiS Margarret, George. 1980. Australia and The Indonesian Revolution. Victoria: Melbourne University Press Mashat, Abdul Monem. 1985. National Security in the Third World. Boulder: Westview Press 83 Mas’oed, Mochtar. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi. Jakarta: Lp3ES McGibbon, Rodd. 2004. Plural Society in Perils: Migration, Economic Change, and the Papua Conflict. Washington: East-West Center Plano, Jack S dan Ray Olton. 2005. Kamus Hubungan Internasional. Jakarta: Rudy T May. 2002. Studi Strategis; Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin. Bandung: PT. Rfika Aditama Soekanto, Soerjono. 2000. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press Sriwibawa, Sugiarta. 1995. Hubungan Australia dengan Indonesia dan Strategi Keamanan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Sufri, Yusuf. 1989. Hubungan Internasional & Politik Luar Negeri. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Suryadinata, Leo. 1998. Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto. Jakarta: LP3ES Taufiq, Tuhana Andrianto. 2001. Mengapa Papua Bergolak. Yogyakarta: Tebay, Neles. 2005. West Papua: The Stuggle for Peace with Justice. London: Catholic Institute for nternational Relations. Widjojo, S. Muridan. 2008. Papua Road Map: Negotiating the Past, improving the Present and Secuing the Future. Jakarta: LIPI Wolferes, Arnold. 1971. Contending theories in International Relations. New York: JB. Lippncot CO Yoman, Sofyan Socrates. Pemusnahan Etnis Melanesia, Memecah Kebisuan Sejarah di Papua Barat. Yogyakarta: Galang Press Yulius Herman. 2007. Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional: Actor, Isu, Metodologi. Yogyakarta: Graham Ilmu Sumber Jurnal: Hilman Adil. 2004. Kebijakan Australia Terhadap Indonesia 1962-1966; Studi keterlibatan Australia dalam Konflik Bilateral. Jurnal Analisis CSIS hal. 84 Leo Agustino. 2001. Konflik Sosial: Tantangan Domestik dan Global. Analisis CSIS. Vol 30 Ikrar Nusa Bhakti. 2006. Merajut Jaring-Jaring Kerjasama Keamanan Indonesia – Australia; Suatu Upaya Untuk Menstabilkan Hubungan Bilateral Kedua Negara. Jurnal Analisis LIPI hal. Ikrar Nusa Bhakti. 1996. PM Australia John Howard ke Indonesia; Bisnis Pertahanan Yes, Politik No. Edisi XXX Lipjhart, Arend. 1961. “The Indonesia Image of West Irian”. Asian Survey Vol. I hal 9-16 Rumbiak,Yan Pieter. 2006. Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua, Menyelesaikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Membangun Nasionalisme Di Daerah Krisis Integrasi. Papua Internal Education: Jakarta Suganda, Yulia. 2008. Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua. Jakarta Widjojo, Muridan S. 2006. “Nationalist and Separatist Discourses in Cylical Violance in Papua, Indonesia” Asian Journal Vol 34 hal. 410-430 Sumber Koran: Kompas. 12 Januari 2009. Kapolda Papua: Penyerangan akibat Anggota Lengah, hal. 7 Koran Tempo. 2 Desember 2004. Polisi dan Warga Papua Bentrok saat peringati 1 Desember, hal. 3 Media Indonesia. 23 Maret 2006. Masalah Papua Menjadi Bahan Kampanye Politik di Australia, hal. 11 Suara Papua Merdeka. 24 Maret 2010. TNI dan OPM Kontak Senjata, hal. 8 Suara Perempuan Papua. 2007. Kebijakan Harus dari Nurani” dan “Bertahan Hidup dari Jualan Sayur Weekend Australia. 29 April 2006. Lets not Support Separatism, hal 9 Sumber Web: Australia Kucurkan Dana ke Papua http://edukasi.kompas.com/read/2011/05/04/18403842/Australia.Kucurkan .Dana.ke.Papua 13 Juli 2012 85 Australia Serius Bentuk Perdagangan Bebas dengan Indonesia http://international.kompas.com/read/2009/02/19/15002251/Australia.Seri us.Bentuk.Perdagangan.Bebas.dengan.Indonesia. 16 Juli 2012 Australia Turut Atasi Penebangan Hutan di Indonesia http://international.kompas.com/read/200902/21/08251943/Austalia.Turut. Atasi.Penebangan.Hutan.di.Indonesia. 17 Juli 2012 Indonesia, Australia, dan Isu Pemberian Suaka. http://www.abatasya.net/view/523/95/ 14 Juli 2012 Kerjasama Kerangka Keamanan Indonesia-Australia Ditandatangani. http://lomboknews.wordpress.com/2006/11/13/kerja-sama-kerangkakeamanan-indonesia-australia-ditanda-tangani/ 25 Januari 2012 Transkrip Pernyataan Pers Presiden RI Mengenai Hubungan RI – Australia dan Pemuatan Kartun Pesiden SBY Istana Merdeka. http://www.Anothernews/5April2006/0048html 14 Juli 2012 Visa Australia dan Penanganan Papua. http://kompas.com/utama/news/0603/24/183213.htm 27 Januari 2012 Agreement Between the Republic of Indonesia and Australia on the Framework for Security Cooperation http://www.dfat.gov.au./all/publications/bab11/index.html 15 Juli 2012 86