masalah papua dalam konteks hubungan indonesia – australia

advertisement
MASALAH PAPUA DALAM KONTEKS HUBUNGAN
INDONESIA – AUSTRALIA
SARTIKA MANGGABARANI
E 131 08 103
JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur penulis penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT, yang telah menganugerahkan begitu banyak karunia dan
telah memberikan kemudahan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Tak
lupa pula shalawat terhatur bagi Rasulullah SAW beserta sahabat-sahabatnya yang
telah menjadi suri teladan bagi seluruh umatnya selama ini.
Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orangtua penulis, Ayahanda
Sjam Ingmar Manggabarani he helped me to see that by trying hard, I was
doing my best. Thanks, dad. Ibunda Yuni Ramli who always been understanding
and patient with me. Tidak lupa pula untuk saudara-saudaraku Soraya, Jaluh,
Reyhan, Nabila dan Khalil, yang selama pengerjaan skripsi sering memberikan
support dan menghibur dikala mood drop.
Penulisan skripsi ini mengalami begitu banyak kendala dan halangan
hingga penulisan diselesaikan. Oleh karena itu, penulis menghaturkan banyak
terimakasih kepada pihak-pihak yang telah member bantuan dan motivasi hingga
skripsi ini dapat dirampungkan.
1. Bapak Rektor Universitas Hasanuddin beserta jajarannya.
2. Bapak Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNHAS beserta
jajarannya.
3. Bapak Ketua Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Dr. Adi Suryadi
Culla, MA
4. Bapak Prof. Dr. H. Mappa Nasrun, MA sebagai pembimbing I dan
Ibu Nur Isdah, S.IP, MA sebagai pembimbing II.
2
5. Seluruh staf pengajar Jurusan Ilmu Hubungan Internasional atas segala
ilmu yang telah diberikan dari semester awal hingga akhir.
6. Bunda dan Kak Rahma atas semua bantuan dan nasehatnya
7. Kantor Kementerian Luar Negeri khususnya Directorate of ASEAN
Political and Security Cooperation Bapak Dupito D. Simamora dan
juga bagian Directorate of Public Diplomacy Bapak Ari Wardhana
dan Kak Elvis Napitupulu atas bantuannya selama penulis melakukan
penelitian di sana. Serta Kantor Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia
yang telah terbuka memberikan informasi berupa data-data yang
penulis butuhkan selama proses penulisan skripsi.
8. Keluarga besarku di Makassar: Mama Indri my guardian angel yang
selalu ada ketika saya stuck and trapped in the hardest situation, Om
Dani, Tante Ani, Om Fitro, Furqan (my brother in crime) dan my
kiddosss Daril, Drifki, dan Fadlan yang selalu membuat weekend ku
rame dengan keberisikan-keberisikan dan permainan ajaibnya.
9. Keluarga besarku di Jakarta dan Kendari yang selalu memberikan
dukungannya lewat bbm dan telepon.
10. All my closest cousins yang jauh di brissy Kak Cher dan Kak Umar,
Derian si bappolo untuk dukungan lewat video chat nya dan Andru
Adiguna (partner makan eskrim dan salad terbaik!) for accompany me
dikala galau skripsi and period attack :’)
11. All my sisters from another mother: Clarissa Gabriella a.k.a Poeng
who always walk beside me even in a darkest way, Titin Melazi my
twinsie kesayangan se-jagad raya unhas, Riva, Ona, Odet, dan Mona
3
geng kepo yang tidak pernah meninggalkanku dan selalu memberikan
support serta guyonan penyemangat hidup sejak SMA.
12. Big brother-bestie-exboyf. Andi Rusmin, thanks for indirectly taught
me how to keep my head up after the worst disaster in between this
thesis making and thanks for your inspiring quote “It’s good to be
underestimated sometimes because we can prove people wrong later”.
13. HEGEMONY ’08 : Dirga my monkey kesayangan, anggota geng uno
ku Pulu dan Acong, Freddy dan Andi genduk informan terbaikku
tentang kampus, ketua angkatan yang paling saya banggakan Gilang,
the most intelligent boy Biondi who always inspired me to birth a son
like him in the future haha ;) Dua wanita ajaib nan sexy Ade dan
Farah, Wanita-wanita K-pop lovers Ayu, Kiko, Imel, Nilam. Wanita
lainnya Dede, Ayu monica, Maya, Yana, Weny, Chea, Nia, Deta,
Rara, Riri, Icha, Idha, Eka. Penghuni front row kelas yang
kontroversial dan berotak baja Nely, Marwah, Husnul, Muji, Tuti,
Riva. Para masbro Agung, Sabir, Iccank, Aci, Fathun, Irsum,
Memet. Keep our spirit and do not ever forget each other guys!
14. Senior-senior dan junior-junior yang baik hati, Kak Muchtar botak,
Ka Lala, Kak awal, Kak Ewing, Kak Cucam, Kak Syifa, Chalik, Fitri,
Muspid, dan yang lainnya. Terimakasih untuk saran-saran dan infonya
selama ini
15. Teman-teman se-ekskul KTI jilid I dan II yang tidak bisa saya sebut
namanya satu persatu.
4
16. Kawan-kawan sepergaulan yang juga tiada henti-hentinya mendukung
ku (Chabot, Ega, Tiwi, Apre, Mario dan Iky)
17. And the last but not least, my little lion Dody Endrayatna Siloy, you
are my biggest motivator, huge lover, and the best-est partner ever.
Anh yeu em, honey boo boo :*
Makassar, 17 Desember 2012
Penulis
5
ABSTRAKSI
Skripsi yang berjudul “Konflik Papua dalam Konteks Hubungan
Indonesia-Australia” yang disusun oleh Sartika Manggabarani (E 131 08
103) dibawah bimbingan Mappa Nasrun sebagai pembimbing I dan Nur
Isdah sebagai pembimbing II, pada jurusan Hubungan Internasional,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin.
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan konflik Papua dalam
konteks hubungan Indonesia Australia. Secara spesifik penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui (1) bentuk kepentingan-kepentingan Australia di Papua (2)
implikasi politis, keamanan, dan ekonomi konflik papua bagi hubungan Indonesia
– Australia.
Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, maka metode penelitian yang
penulis gunakan adalah tipe penelitian deskriptif dengan teknik pengumpulan data
melalui studi pustaka (library research) yang bersumber dari buku, jurnal,
dokumen dan website yang valid. Sedangkan untuk menganalisis data penulis
menggunakan teknik analisis kualitatif dengan teknik penulisan deduktif.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa, bentuk kepentingankepentingan Australia terhadap Papua berdasarkan nilai strategis geografis yaitu
Papua yang berada di wilayah utara Australia dapat menjadi buffer zone bagi
wilayahnya. Sementara berdasarkan nilai strategis ekonomi, Papua memiliki
sumber daya alam melimpah seperti logam dan minyak yang menjadi daya tarik
Australia.
Sementara itu, implikasi politis dari konflik Papua terhadap hubungan
Indonesia Australia yaitu hubungan politik Indonesia – Australia sempat memanas
di tahun 2006, sementara implikasi keamanan berupa terciptanya suatu perjanjian
keamanan pada tahun 2006 yang disebut Lombok treaty dan tidak terjadi
implikasi ekonomi yang signifikan dari konflik Papua bahkan dianggap membaik.
6
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL......................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................
ii
KATA PENGANTAR ...................................................................................
iii
ABSTRAKSI .................................................................................................
ix
DAFTAR ISI ..................................................................................................
x
BAB I
PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
E.
BAB II
Latar belakang masalah ...........................................................
Batasan dan rumusan masalah.................................................
Tujuan dan kegunaan penelitian ..............................................
Kerangka konseptual ...............................................................
Metode penelitian ....................................................................
1
5
6
7
14
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Konflik .......................................................................
B. Konsep Kepentingan Nasional ................................................
C. Konsep Hubungan Bilateral ....................................................
17
25
28
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KONFLIK PAPUA DAN
HUBUNGAN INDONESIA AUSTRALIA
A. Masalah Papua
1. Sejarah Konflik Papua .......................................................
2. Substansi Konflik Papua ...................................................
B. Hubungan Indonesia – Australia
1. Sejarah Hubungan Indonesia – Australia ..........................
2. Perkembangan Hubungan Indonesia – Australia dalam
Kaitan dengan Konflik Papua ...........................................
BAB IV BENTUK KEPENTINGAN AUSTRALIA DI PAPUA DAN
IMPLIKASI-IMPLIKASI KONFLIK PAPUA DALAM
HUBUNGAN INDONESIA – AUSTRALIA
A. Kepentingan Australia terhadap Papua ...................................
B. Implikasi-Implikasi Konflik Papua dalam Hubungan
Indonesia – Australia ...............................................................
1. Implikasi Politis.................................................................
2. Implikasi Keamanan ..........................................................
3. Implikasi Ekonomi ............................................................
32
43
48
55
58
63
63
67
71
7
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN
A. Kesimpulan..............................................................................
B. Saran-saran ..............................................................................
73
74
DAFTAR PUSTKA .......................................................................................
75
8
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Papua yang terletak di wilayah paling timur dari kesatuan Republik
Indonesia masuk dalam NKRI pada tanggal 19 November 1969 melalui
resolusi PBB No. 2504. Hal ini sekaligus menjadi pengakuan atas integrasi
Papua ke Indonesia menurut hukum internasional. Selanjutnya, Papua
menjadi daerah otonom yang absah bagi Indonesia pada tahun yang sama
melalui UU No.12 Tahun 1969 tentang pembentukan Daerah Otonom
Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat.1
Akan tetapi sejak menjadi bagian NKRI, sebagian penduduk Papua
merasa kurang puas karena secara fakta mereka masih marginal dan
miskin. Papua yang luasnya empat kali lipat pulau Jawa dan memiliki
sumber daya alam yang sangat besar seharusnya mempu membuat
rakyatnya hidup sejahtera. Namun kenyataanya kekayaan alam Papua
tidak sebanding dengan kesejahteraan masyarakatnya.
Ketidakpuasan secara ekonomis itulah yang menjadi salah satu
penyebab yang memunculkan semangat untuk memerdekakan diri.
Pemerintah pusat dinilai gagal dalam membangun kesejahteraan di Papua,
apalagi dengan diadakannya Operasi Militer oleh pemerintah pusat untuk
mengatasi pemberontakan separatisme di Papua yang dalam faktanya
1
Yan Pieter Rumbiak, 2005, Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua, Menyelesaikan Pelanggaran
Hak Asasi Manusia dan Membangun Nasionalisme Di Daerah Krisis Integrasi, Jakarta, Papua
Internal Education, h.36
9
justru banyak menimbulkan pelanggaran HAM. Hal ini memperkuat
rakyat Papua berkeinginan untuk melepaskan diri dari dari NKRI.
Selain aspek ekonomis, separatisme di Papua juga dipicu juga oleh
konflik yang berakar dari kekecewaan historis, peminggiran sosial budaya,
nasionalisme Papua dan dan diskriminasi politik dan hukum. Dalam
perspektif kekecewaan historis, Ferry Kareth (2000) mempersoalkan
keabsahan Pepera. Ia berpendapat bahwa Pepera itu tidak sah, sebab
dilaksanakan dibawah tekanan. Pepera yang dilaksanakan tahun 1969 itu,
dilaksanakan dengan perwakilan, bukan one man one vote sesuai New
York Agreement. Sejarah mencatat bahwa masuknya Papua ke NKRI
karena direbut bukan atas dasar keinginan rakyat sendiri 2 . Masalah
tersebut berakibat pada keluhan-keluhan yang bersejarah yang berakar dari
perbedaan persepsi mengenai integrasi Papua ke dalam NKRI. Hal ini
menjadikan penduduk Papua merasa tidak memiliki hubungan sejarah
dengan bagian Indonesia yang lain.
Beberapa kebijakan yang di ambil oleh pemerintah pusat juga
nampaknya hingga saat ini tidak menunjukkan adanya manfaat yang dapat
dirasakan
oleh
ketidakpuasan
rakyat
dan
Papua
menghasilkan
sehingga
sebuah
mendorong
tuntutan
timbulnya
kemerdekaan.
Separatisme di Papua dimotori oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM)
yang kemudian disusul pembentukan Presidium Dewan Papua (PDP).
2
Tuhana Andrianto Taufiq, 2001, Mengapa Papua Bergolak, Yogyakarta, Gama Global Media, h.
151
10
Gerakan ini telah ada sejak 1965 dengan melakukan gerakan secara
sporadis dalam gerakan militer yang melibatkan masyarakat. Perlawanan
yang dilakukan OPM ditandai dengan penyanderaan, demonstrasi massa,
pengibaran bendera, penempelan pamphlet, serta beberapa aksi perusakan.
Kompleksitas sumber konflik Papua menyebabkan pemerintah sulit
mencari model penyelesaian yang tepat untuk menyelesaikan konflik di
Papua. Hal ini diperparah dengan kalangan pemimpin Papua, baik di
lembaga negara maupun di tengah masyarakat sipil, tidak memiliki daya
tawar yang memadai untuk secara strategis memepengaruhi bentuk dan
arah kebijakan Jakarta yang sesuai dengan aspirasi masyarakat Papua. Hal
ini menjadikan suasana politik didominasi oleh hubungan yang tidak sehat
antara nasionalis Indonesia yang menonjolkan “NKRI sebagai harga mati”
dan kelompok nasionalis Papua juga menekankan “Papua Merdeka
sebagai harga mati.”3
Sementara, kondisi sosial dan politik yang tidak kondusif di dalam
Papua memaksa beberapa warga Papua keluar meninggalkan negaranya.
Inilah yang menjadi alasan utama 42 warga Papua meminta suaka Politik
ke pemerintahan Australia pada tahun 2006. Mereka keluar dari Papua
menggunakan perahu dan memanfaatkan kelemahan pengawasan perairan
di Indonesia. Mereka bertolak dari Merauke, berlayar selama lima hari dan
akhirnya mendarat di tepi pantai terpencil Cape York Australia.
4
3
Adriana Elisabeth, dkk., 2008, Papua Road Map; Negotiating the Past, Improving the Present
and Securing the Future, Jakarta, LIPI Press, hal.4
4
Kompas, “Visa Australia dan Penanganan Papua”, 24 Maret 2006,
http://kompas.com/utama/news/0603/24/183213.htm
11
Selanjutnya pada bulan Maret 2006, Departemen Imigrasi dan masalahmasalah penduduk asli Australia (DIMIA) memberikan Temporary
Protection Visa (visa tinggal sementara) kepada 42 dari 43 warga Papua
yang mencari suaka. Dengan demikian keputusan Australia di atas sangat
melecehkan Papua dalam integritas NKRI.
Keputusan yang diambil oleh pemerintah Australia tersebut bukan
tanpa alasan, karena Papua dalam kacamata Australia memiliki nilai
strategis sebagai buffer zone bagi pertahanan keamanannya. Oleh karena
itu Australia merasa lebih aman jika Papua menjadi merdeka dan berada
dalam
pengaruhnya
untuk
menjamin
stabilitas
pertahanan
dan
keamanannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Papua lebih baik berada
dalam pengaruh Australia daripada menjadi bagian NKRI yang sedang
mengalami krisis politik.
Selain itu, keberadaan Papua yang begitu dekat dengan Australia
ini membuat Australia sangat tertarik dengan potensi-potensi yang ada di
Pulau tersebut contohnya seperti Sumber Daya Alamnya sendiri sangat
berlimpah akan emas, tembaga, minyak, perak, dan juga biji besi. Hal-hal
tersebut begitu bernilai tinggi bagi Australia dan apabila dilihat secara
kinerja perkembangan pemerintah Indonesia yang sepertinya selalu
mengabaikan dalam hal ini mengenai perkembangan daerah bagian Timur
Indonesia yang bisa dilihat cukup lamban.
Pada tanggal 13 November 2006, pemerintah Indonesia dan
Australia menandatangani sebuah perjanjian kerjasama keamanan baru
12
yang dikenal dengan nama Perjanjian Lombok (The Lombok Treaty).
Dokumen ini mencakup bidang yang luas yakni; Pertahanan, Penegakan
Hukum, pemberantasan terorisme, kerjasama intelijen, kerjasama maritim,
keselamatan dan keamanan penerbangan, penyebaran senjata pemusnah
massal, tanggap darurat bencana alam, dan pengertian antar masyarakat
dan manusia (people to people link).5
Lebih lanjut, perjanjian kerjasama keamanan Indonesia dan
Australia tahun 2006 (The Lombok Treaty), sebagian isi perjanjiannya
menyebutkan butir larangan territorial Australia menjadi basis perjuangan
separatisme Papua. Perjanjian ini sebagian merupakan respon Indonesia
atas intervensi Australia terhadap gerakan separatisme di Papua dengan
memberikan ijin tinggal 42 orang warga Papua.
Meskipun secara resmi pemerintah Australia secara resmi
mengakui integritas Papua dalam NKRI semenjak disahkannya Resolusi
PBB No.2504 (XXIV) pada tanggal 19 November 1969, tentang status
Papua yang sah menurut hukum internasional menjadi bagian integral
NKRI.6
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Pemerintah Australia secara legal formal mendukung integritas
Papua dalam NKRI, tetapi di sisi lain terdapat bukti tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh aktor negara (state actor) dan aktor non negara (non5
“ Kerjasama Kerangka Keamanan Indonesia-Australia Ditandatangani” dalam
http://lomboknews.wordpress.com/2006/11/13/kerja-sama-kerangka-keamanan-indonesiaaustralia-ditanda-tangani/
6
Ikrar Nusa Bhakti, 2006, Merajut Jaring-Jaring Kerjasama Keamanan Indonesia – Australia;
Suatu Upaya Untuk Menstabilkan Hubungan Bilateral Kedua Negara, LIPI, Jakarta, h.58
13
state actor) dalam bentuk intervensi dan stimulasi gerakan-gerakan
separatisme di Papua. Dalam hal ini pemerintah Indonesia harus
mengambil kebijakan yang signifikan untuk menghentikan dinamika
tenatang Papua di Australia, mengingat kedekatan posisi geografis
Indonesia yang sangat berpengaruh dan penting bagi Australia.
Hal ini dipertegas oleh Hilman Adil (1997), yang menyatakan
bahwa politik luar negeri suatu negara harus senantiasa memperhatikan
kepentingan nasional dan posisi geografis negara bersangkutan, utamanya
adalah bagaimana mengamankan wilayah teritorialnya untuk menjaga
perdamaian di kawasan, yang secara geografis melingkupi negara
bersangkutan.7
Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan
masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana bentuk kepentingan-kepentingan Australia terhadap Papua?
2. Bagaimana Implikasi politis, keamanan, dan ekonomi konflik Papua
dalam hubungan Indonesia-Australia?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dari pertanyaan penelitian yang dikemukakan di atas, maka tujuan
dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kepentingan Australia terhadap
Papua
7
Hilman Adil, 1997, Kebijakan Australia Terhadap Indonesia 1962-1966; Studi keterlibatan
Australia dalam Konflik Bilateral, Jakarta, CSIS, h.2
14
2. Untuk mengetahui implikasi politis, keamanan, dan ekonomi konflik
Papua dalam hubungan Indonesia-Australia
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan yang diharapkan dapat diperoleh daripada
penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi
pengembangan studi Hubungan Internasional di masa mendatang.
2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menjadi
bahan kajian para mahasiswa, khususnya studi Hubungan Internasional
serta pemerhati masalah-masalah internasional.
3. Penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi masukan bagi berbagai
pihak dan para pengambil kebijakan, terutama dalam menangani suatu
masalah/konflik.
D. Kerangka Konseptual
Mempertahankan
wilayah
dalam
sebuah
negara
kesatuan
merupakan salah satu kepentingan nasional yang harus di penuhi.
Kepentingan nasional adalah sasaran kebijaan politik luar negeri. Konsep
kepentingan nasional yang dikemukakan oleh Wolfers (1952), sebagai
berikut:
Secara minimum, kepentingan nasional mencakup keutuhan
wilayah suatu bangsa, kemerdekaan dan kelangsungan hidup
nasional itu sendiri diberi bermacam-macam interpretasi oleh
15
bermacam-macam negara yang menghadapi kondisi yang berlainlainan.8
Dalam interaksi dengan negara atau aktor hubungan internasional,
suatu negara akan selalu berlandaskan pada pencapaian kepentingan
nasional. Kepentingan nasional dewasa ini mengarah pada perhatian
terhadap masalah internal dari suatu bangsa. Yusuf (1989), menjelaskan
mengenai kepentingan nasional yaitu:
Kepentingan nasional termasuk dalam visium dan diperjuangkan
oleh suatu bangsa atau negara untuk dipergunakan dalam rangka
ketertiban internasional. Konsep ini adalah buatan manusia yang
dirumuskan oleh para ahli teori politik dan dipatuhi oleh
kepentingan golongan dan juga kepentingan para perumusnya.9
Kepentingan nasional erat kaitannya dengan masalah keamanan,
integritas dan posisi negara melalui perimbangan kekuatan. Apabila
tercipta keamanan nasional maka kepentingan nasional akan mudah
terwujud. Keamanan nasional adalah bagian dari kepentingan nasional
yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan tujuan politik luar negeri untuk
mempertahankan
kepentingan
nasional
berkaitan
dengan
upaya
mempertahankan keamanan nasional.
Di dalam konsep ini, terdapat tiga kepentingan inti yang secara
mendasar dapat mendapatkan ancaman dari luar, yaitu; pertama, adalah
physical security atau keamanan fisik dari masyarakat suatu negara dan
hak milik pribadi mereka; yang kedua adalah rules and institution yang
dilaksanakan suatu masyarakat negara, khususnya konstitusi dan aturan
8
Arnold Wolfers, dalam Robert L.Pfatzgraff, Jr dan James E. Doughtery, 1997, Contending
theories in International Relations, JB. Lippncot CO, New York
9
Sufri Yusuf, 1989, Hubungan Internasional & Politik Luar Negeri, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan,
hal.10
16
formal lainnya; ketiga adalah prosperity yaitu sumber modal, barang
mentah, sistem keuangan dan lain-lain 10 . Gerakan Separatisme adalah
suatu paham yang mencari keuntungan dengan pemecah belahan suatu
golongan atau bangsa dengan tujuan untuk memperoleh dukungan. 11
Meningkatnya aksi separatisme dan etnis sebagian karena kenyataan
bahwa, berlawanan dengan keyakinan umum, prinsip penciptaan negara
tidak berhubungan dengan penentuan nasib sendiri.
Kompleksitas masalah yang terjadi di Papua mengundang reaksi
dari penduduk setempat. Penduduk Papua merasa asing di negeri sendiri
karena pemerintah kelihatannya tidak mendukung kesejahteraan bagi
penduduk setempat. Sejak melakukan perlawanan terhadap pemerintah
Indonesia
melalui
Organisasi
Papua
Merdeka,
penduduk
Papua
menciptakan konflik yang berkepanjangan dengan aparat TNI dan POLRI.
Dalam beberpa kasus OPM menyerang pos TNI dan POLRI serta
menimbulkan ketakutan bagi masyarakat. Hal ini membuat kondisi
keamanan di Papua rawan konflik bersenjata dan menimbulkan keresahan
bagi pemerintahan Indonesia baik yang berasa di Papua maupun pusat.
Menurut Abdul-Monem (1985) definisi mengenai keamanan
terbagi atas dua yaitu:
Defenisi yang pertama umumnya menempatkan “keamanan”
sebagai nilai abstrak terfokus pada upaya mempertahankan
10
T May Rudy, 2002, Studi Strategis, Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang
Dingin, Bandung, PT.Refika Aditama, hal.65
11
Tim Penyusun Kamus Pusat Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi 2
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, 1990, Jakarta, Balai Pustaka, hal.919
17
independensi dan kedaulatan negara, dan umumnya berdimensi
militer. Sementara definisi kedua terfokus pada penjagaan terhadap
sumber-sumber ekonomi dan aspek non-militer dari fungsi
negara.12
Sementara itu Barry Buzan (1998) menjelaskan bahwa, Keamanan
sering juga dipahami sebagai upaya negara untuk mencegah perang,
terutama melalui strategi pembangunan kekuatan militer yang memberikan
kemampuan penangkal (detterent).13
Dari dua definisi di atas menunjukkan persamaan dalam hal
kebebasan terhadap ancaman militer, namun konsepsi di atas juga secara
jelas mengindikasikan perbedaan atau aktor keamanan (individual,
nasional, atau internasional). Secara tradisional, konsep keamanan selama
ini memang hanya merujuk pada persoalan militer semata dan
memfokuskan pada aspek negara.
Teori Protracted Social Conflict (PSC) yang dikemukakan oleh
Edwar Azar (2008)
……..konteks internasional dari konflik yang terjadi sehingga baik
variable domestic maupun internasional saling berkaitan. Faktor
domestik dan internasional saling berinteraksi dalam menciptakan
konflik-konflik yang sulit diselesaikan.14
Setidaknya ada beberapa kondisi yang mengarah pada terjadinya
konflik internal. Pertama, pemicu konflik adalah ketidakharmonisan
kelompok identitas seperti suku, agama, dan budaya tertentu dengan
12
Abdul Monem M. Al-Mashat , 1985, National Security in the Third World Boulder Col, Westview
Press, hal. 19
13
Barry Buzan , “People, States and Fear: The National Security Problem in The Third
World,”dalam Azar dan Moon , ed. National Security , hal.15
14
Hermn Yulius, 2007, Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional: Actor, Isu, Metodologi,
Yogyakarta, Graham Ilmu, hal.88
18
negara Negara cenderung mengeliminasinya demi kepentingan eksistensi
dan keutuhan negara. Akibatnya terjadi dorongan kelompok identitas
tertentu untuk melawan kekuasaan negara atau lembaga-lembaga yang
mempresentasekannya.
Kedua, konflik dikaitkan dengan kegagalan pemerintah dalam
pemenuhan kebutuhan dasar kemanusiaan sehingga terjadi kemiskinan
secara sistematis. Proses tersebut telah melahirkan kantong-kantong
kemiskinan sementara kekuatan ekonomi dan politik dari pusat menikmati
surplus ekonomi sebagai hasil eksploitasi sumber daya alam daerah-daerah
yang dilnda konflik. Tetapi kebutuhan tidak hanya mencakup ekonomi
juga rasa aman dan pengakuan dalam proses penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan. Pengingkaran terhadap kebutuhan dasar rakyat Papua
melahirkan gerakan untuk memisahkan diri dari negara Indonesia.
Ketiga, karakteristik pemeritahan yang otoriter dan mengakibatkan
penekanan pada stabilitas politik dan keamanan yang kaku yang telah
mengabaikan hak sipil dan politik dari kelompok identitas tertentu
sehinggan mereka memendam rasa tidak puas dan frustasi yang
mendalam.
Keempat, sistem ketergantungan yang terjadi antara suatu negara
dengan sistem ekonomi global dimana pemerintah mengeluarkan
kebijakan yang lebih memihak kekuatan modal asing daripada
kepentingan penduduk lokal. Misalnya, dalam melindungi kepentingan
19
investor asing, negara rela menindas rakyatnya sendiri dan mengabaikan
hak-hak dasar sebagai manusia.
Dengan berbagai kompleksitas masalah Papua tentunya juga
menyita perhatian dunia Internasional dan terkhusus salah satu negara
tetangga Indonesia yakni Australia yang terbukti telah mengeluarkan
Temporary Protection Visa (visa tinggal sementara) kepada 42 dari 43
warga Papua yang mencari suaka beberapa tahun yang lalu. Dengan
adanya kasus lintas negara semacam ini tentunya akan menimbulkan
dampak bagi hubungan bilateral kedua negara.
Dilihat dalam jumlah negara yang melakukan interaksi maka
hubungan bilateral merupakan hubungan merupakan hubungan yang
paling sederhana karena hanya menyangkut dua negara. Hubungan
bilateral ini terjadi karena beberapa hal diantaranya letak geografis,
sumber-sumber kekayaan alam, kependudukan dan tenaga kerja, politik,
ekonomi dan juga militer. Namun dari seluruh kepentingan di atas
segalanya tetap bermuara kepada kepentingan nasional diperjuangkan oleh
suatu bangsa atau negara untuk dipergunakan dalam rangka kepentingan
nasional.
Istilah
hubungan
bilateral
biasanya
digunakan
untuk
mendeskripsikan hubungan yang terjadi antara kedua negara baik yang
secara geografis berdekatan ataupun yang berjauhan. Kusumohamidjojo
(1993) lebih lanjut lebih lanjut menjelaskan mengenai hubungan bilateral
yaitu:
20
Hubungan bilateral adalah suatu bentuk kerjasama diantara kedua
negara baik yang berdekatan secara geografis ataupun yang jauh
diseberang lautan dengan sasaran utama untuk menciptakan
perdamaian dengan memeperhatikan kesamaan politik, kebudayaan
dan struktur ekonomi.15
Dalam hubungan bilateral Indonesia dan Australia sangat
diperlukan sikap yang saling percaya diantara kedua negara untuk
mencapai kesepakatan di berbagai bidang. Menyangkut kepentingan kedua
negara serta berusaha mengurangi perbedaan pendapat yang dapat
dilakukan melalui dialog. Dengan adanya dialog akan mempertebal saling
pengertian dan kepercayaan sehingga dapat menghilangkan kecurigaan
diantara kedua belah pihak dan dapat mengubah persepsi yang berbeda
dan mencegah konflik yang lebih luas.
Tujuan untuk dilaksanakannya hubungan bilateral itu sendiri yakni
untuk semakin mempererat tali persahabatan dan kerjasama antar negara
serta menciptakan hubungan yang harmonis dan hidup berdampingan
secara damai. Dalam melakukan hubungan bilateral itu enderunag saling
mempengaruhi sebagaimana yang dijelaskan dalam kamus politik
internasional
yaitu:
“hubungan
bilateral
adalah
keadaan
yang
menggambarkan adanaya hubungan yang saling mempengaruhi atau
terjadi hubungan timbal-balik
diantara kedua belah pihak atau kedua
negara 16 . Suatu negara dalam melakukan hubungan bilateral dengan
negara lain didasarkan pada pertimbangan bahwa dengan melakukan
hubungan tersebut akan mendatangkan suatu keuntungan dan terutama
dalam rangka mewujudkan pencapaian kepentingan nasional dan tujuan
internasional suatu negara.
15
16
Kusumohamidjojo, 1993, Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Gramedia: Jakarta, hal.25
Didi Krisna, 2001, Politik Internasional, PT Grasindo: Jakarta, hal.18
21
E. Definisi Operasional
Untuk menghindari salah penafsiran terhadap berbagai istilah atau
konsep yang digunakan dalam penelitian ini, maka beberapa istilah atau
konsep diberi batasan pengertian dalam bentuk definisi operasional:

Pertama, Konflik merupakan suatu perbedaan cara pandang.
Bentuknya bisa berupa keluhan saja sampai pada tingkat kekerasan
dan perang.

Kedua, Papua merupakan pulau terbesar ke dua di dunia yang
terletak di sebelah utara Australia. Pulau ini dibagi menjadi dua
wilayah yang bagian baratnya dikuasai oleh Indonesia dan bagian
timurnya merupakan negara Papua Nugini.

Ketiga, Indonesia adalah negara di Asia Tenggara yang dilintasi
garis khatulistiwa dan berada diantara benua Asia dan Australia
serta antara Samudera Pasifik dan Samudera Indonesia.

Keempat, Australia merupakan negara persemakmuran yang
terletak belahan bumi bagian selatan yang terdiri dari daratan
utama benua Australia, Pulau Tasmania dan beberapa pulau kecil
di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik
22
F. METODE PENELITIAN
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang bertujuan
untuk menggambarkan bagaimana masalah yang terjadi di Papua
dalam kaitannya dengan hubungan antara Indonesia Australia
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang akan digunakan oleh penulis
adalah telaah pustaka (library research) yaitu pengumpulan data
dengan menelaah sejumlah literature baik berupa buku-buku, jurnal,
dokumen, surat kabar, makalah dan artikel yang berkaitan dengan
masalah tersebut.
Adapun tempat-tempat yang diharapkan dapat menjadi sumber
informasi dan data dalam penelitian, yakni:
a. Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin Makassar.
b. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia di Jakarta
c. Departemen Pertahanan Republik Indonesia di Jakarta
d. Pusat Politik LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) di
Jakarta
e. CSIS (Centre for Strategic and International Studies) di
Jakarta
3. Jenis Data
23
Data yang penulis gunakan dalam penulisan proposal ini adalah
data sekunder, yang bersumber dari pengumpulan data lapangan yang
penulis lakukan selama penelitian, yaitu dari berbagai sumber tertulis.
4. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang penulis gunakan adalah bersifat
kualitatif yaitu data yang penulis dapatkan bukan berbentuk numeric
atau data-data yang berbentuk angka melalui beberapa faktor-faktor
yang relevan dengan penelitian ini. Yakni menjelaskan dan
menganalisis data dengan cara menggambarkan hasil penelitian
melalui sejumlah data yang berhasil penulis temukan. Kemudian
penulis berusaha menyajikan hasil dari penelitian tersebut.
24
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Tentang Konflik
Manusia yang sejatinya merupakan makhluk sosial tentunya
senantiasa memerlukan interaksi dengan manusia lainnya. Bentuk interaksi
yang terjadi diantara manusia tentunya tidak selalu bersifat positif, ada
kalanya dimana kepentingan antara satu pihak dengan pihak yang lainnya
saling berbenturan. Baik itu antara individu dengan individu lainnya,
individu dan kelompok, bahkan antara kelompok dengan kelompok.
Benturan kepentingan inilah yang kemudian menghasilkan perselisihan
yang dapat berujung dengan terciptanya konflik.
Konflik merupakan suatu kepastian dalam kehidupan manusia di
dunia. Tidak dapat kita bayangkan jika suatu saat dunia akan menjadi
tempat yang damai dan bebas dari konflik. Kenyataan mengenai konflikkonflik yang terjadi selama ini, membuat konflik dilihat sebagai salah satu
budaya manusia, yang dimana selama manusia masih ada di muka bumi,
maka selama itu pula konflik masih eksis dan tidak dapat dihindari.
Namun konflik tidak selamanya bersifat negatif atau berdampak
buruk bagi kehidupan manusia. Seringkali bersifat positif yang membuat
suatu kelompok menjadi lebih solid ketika berkonflik dengan kelompok
lain. Persoalan lainnya adalah konflik sering muncul dalam bentuk
kekerasan dan dapat merugikan manusia.
25
Dalam upaya memahami permasalahan yang terjadi di dalam
penelitian ini, maka salah satu konsep yang tepat untuk dipakai dalam
upaya penyelesaian konflik Papua adalah konsep konflik. Konflik dapat
dipahami sebagai suatu proses sosial dimana dua orang atau dua kelompok
orang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan
atau membuatnya tidak berdaya. Pihak-pihak yang terlibat konflik dikuasai
oleh suatu keinginan untuk mencapai suatu hasil yang dipersengketakan.
Konflik merupakan suatu kenyataan hidup yang bersifat kreatif dan tidak
dapat dielakkan keberadaannya.
Konflik meliputi semua hubungan kemanusiaan, baik hubungan
sosial, hubungan ekonomi, maupun hubungan kekuasaan. Konflik muncul
akibat ketidakseimbangan pada hubungan-hubungan ini, misalnya status
sosial, kekayaan, dan akses terhadap sumber daya, serta kekuasaan yang
tidak adil mengakibatkan berbagai persoalan seperti diskriminasi,
pengangguran, kemiskinan, tekanan, dan kejahatan. Masing-masing
tingkatan berhubungan dengan tingkatan lainnya, dan membentuk rantai
kekuatan yang kukuh dan potensial untuk mencapai perubahan yang
konstruktif atau kekerasan yang destruktif.17
Konflik
yang terjadi
di
Papua merupakan konflik
yang
dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan masyarakat Papua secara ekonomis,
Papua yang memiliki luas empat kali lipat dari Pulau Jawa dan sumber
daya alamnya berlimpah seharusnya membuat masyarakat Papua hidup
sejahtera. Namun kenyataannya kekayaan alam Papua tidak sebanding
17
M. Mukhsin Jamil, 2007, Mengelola Konflik dan Membangun Damai: Teori, Strategi dan
Implementasi Resolusi Konflik. Walisongo, Semarang, hal.6
26
dengan kesejahteraan masyarakat di sana. Kondisi ini disertai oleh kinerja
pemerintah daerah yang dianggap gagal dalam menjalankan fungsinya dan
akhirnya memunculkan sentimen terhadap pemerintah pusat yang
dianggap bertanggung jawab atas kondisi yang ada.
Konflik juga dapat diartikan sebagai suatu proses yang dimana dua
atau lebih pelaku mencoba untuk mendapat tujuan yang saling berlawanan
dengan mengabaikan proses pencapaian tujuan dari pihak-pihak yang lain.
Sedangkan situasi konflik biasanya muncul dalam kondisi dimana:
sumber-sumber terbatas (dalam kasus kemiskinan, pekerjaan, perumahan,
air bersih); miskinnya dialog atau bahkan tidak adanya dialog diantara
pihak-pihak yang bertikai; pihak-pihak yang bertikai memiliki persepsi
yang salah tentang pihak yang lain; adanya ketidakpercayaan; adanya hal
yang tidak terselesaikan dimasa lalu; pihak yang bertikai tidak menghargai
hubungan yang ada diantara mereka; kekuasaan tidak terbagi dengan rata.
Papua sebagai salah satu pulau di Indonesia yang menyimpan
sumber daya alam yang berlimpah ruah tidak memperoleh hak mereka
yang semestinya. Tingkat kesejahteraan, akses infomasi, sarana dan
prasarana umum di bidang pendidikan dan kesehatan juga masih berada
pada status yang memprihatinkan. Hal tersebutlah yang menyebabkan
terjadinya ketidakseimbangan pembangunan dan kesejahteraan yang
terjadi antara wilayah atau pulau-pulau lain di Indonesia dan Papua
sehingga masyarakat Papua merasa kecewa dan tidak puas dan
menimbulkan perlawanan terhadap pemerintah.
27
Sebagian besar akar konflik yang terjadi berasal dari hubungan
antar komunitas/kelompok minoritas dan mayoritas. Tidak diragukan lagi
bahwa sistem yang tidak stabil dari perpecahan sosial antara kelompok
mayoritas dan minoritas lebih mungkin dipandang tidak sah dibandingkan
dengan sistem yang stabil; dan sebaliknya, bahwa sistem yang dipandang
tidak sah akan mengandung benih-benih ketidakstabilan. Hubungan antara
pandangan ketidakstabilan dan ketidaksahan sistem (pihak-pihak) yang
berbeda inilah yang kemungkinan menjadi bumbu yang ampuh terjadinya
peralihan dari penerimaan kelompok minoritas terhadap status quo
kepenolakannya. Akibatnya, kelompok-kelompok itu menempatkan
pentingnya pandangan keabsahan ke dalam lingkungan sosialnya.
Legitimasi (keabsahan) merupakan konsep yang penting bagi kelompokkelompok yang terlibat konflik karena mereka memandang negara tidak
sah.
Hubungan antara mayoritas dan minoritas di atas dapat
digambarkan oleh keadaan demografis Papua. Pada 1959 presentase
pendatang masih kurang dari 2%, menjadi 4% pada 1971, dan menjadi
lebih dari 35% pada 2000. Pada 2005 diperkirakan penduduk dan menjadi
41% dan melonjak menjadi 53,5% pada 2011.18
Transmigrasi yang pada hakekatnya bertujuan untuk memindahkan
penduduk dari daerah-daerah yang padat penduduknya seperti Jawa ke
daerah-daerah yang kurang padat penduduknya termasuk Papua. Namun
pertemuan antara kebudayaan penduduk asli Papua dengan kebudayaan
18
Muridan S. Widjojo, 2008, Papua Road Map: Negotiating the Past, improving the Present and
Securing the Future, Jakarta: LIPI, hal. 17
28
masyarakat pendatang yang berbenturan, lahan ekonomi yang semakin
berkurang bagi penduduk asli dan ketegangan sosial lainnya merupakan
akar dari timbulnya suatu konflik pula di tanah Papua.
Dalam perspektif sosiologi menurut Gillin and Gillin (1952),
seperti dikutip oleh Soerjono bahwa “konflik adalah suatu proses interaksi
sosial yang merupakan bentuk oposisi dari keragaman (operational
processes) atau disebut interaksi yang disosiatif”. Sementara itu Soerjono
mengemukakan bahwa “konflik adalah suatu proses sosial dimana
individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dnegan jalan
menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan kekerasan”.19
Hal serupa dikemukakan Minnery (1986) bahwa:
Konflik merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu
sama lain saling bergantung namun terpisahkan oleh perbedaan
tujuan dimana setidaknya salah satu dari pihak-pihak tersebut
menyadari perbedaan tersebut dan melakukan tindakan terhadap
tindakan tersebut.20
Pada tataran disiplin ilmu hubungan internasional, secara garis
besar konflik dapat dikategorikan menjadi dua kelompok besar yaitu
konflik antar negara (interstate) dan konflik dalam negara (intrastate).
Awalnya konflik interstate merupakan salah satu focus dalam dunia
internasional. Namun setelah berakhirnya perang dingin, kuantitas dan
kualitas konflik mengalami peningkatan secara drastis. Peningkatan ini
juga diikuti oleh akibat-akibat yang ditimbulkan dari aktor-aktor yang
terlibat di dalamnya. Sedangkan konflik intrastate (internal) dalam studi
hubungan internasional yang dikemukakan oleh Michael E. Brown (1996)
19
20
Soerjono Soekanto, 2000, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Press, hal.106
John R Minnery, 1986, Conflict Management in Urban Planning, Gower Pub Co, hal. 75
29
dalam bukunya yang berjudul The International Dimensions of Internal
Conflict mendefinisakan konflik internal sebagai violent or potencially
violent political disputes whose origin can be traced primarily domestic
rather than systemic factors, and where armed violence takes place or
threaten to take place primarly within the borders of a single state.21
Konflik di Papua adalah konflik interstate yang bersifat sangat
rumit karena melingkupi berbagai aspek seperti etnis, ras, politik,
ekonomi, dan aspek lainnya yang mempengaruhi kehidupan di Papua.
Permasalahan ekonomi dan kurangnya partisipasi politik masyarakat
Papua menjadi salah satu alasan bagi rakyat Papua berjuang untuk medeka
dan memisahkan diri dari NKRI. Permasalahan ini telah berlangsung
puluhan tahun, hal ini seperti dikemukakan oleh Edwar Azar (1990)
dengan teorinya mengenai konflik sosial yang terjadi berlarut/prottacted
social conflict, menyatakan bahwa,
Konflik merupakan representasi dari konflik yang berkepanjangan
yang seringkali penuh dengan kekerasan oleh kelompok komunal
untuk keperluan dasar seperti keamanan, pengakuan bahwa suatu
pemerintahan yang berlangsung tidak efektif lagi untuk
dijalankan.22
Konsep ini sangat relevan bila melihat latar belakang konflik di
Papua yang penuh dengan aksi kekerasan, terror, pembunuhan,
penculikan, peledakan bom, penyerangan pada proyek vital aparat dan
tempat umum.
Konflik dapat terjadi dalam wujud perlawanan senjata oleh pihak
yang
memberontak
dan
penumpasannya
dengan
kekerasan
oleh
21
Aleksius Jemadu, 2007, Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan
Metodologi. Graha Ilmu, Yogyakarta, 2007, hal.76
22
Ibid, hal. 88
30
pemerintah, atau konflik pada tataran elit politik yang tanpa menggunakan
kekerasan senjata. Robert burr (1970) dalam tulisannya Why Men Rebel
mengemukakan bahwa:
Biasanya konflik dengan kekerasan terjadi dalam masyarakat
karena adanya kekecewaan, frustasi timbul berkaitan dengan
meningkatnya harapan-harapan (expectations) yang tidak terpenuhi
dalam suatu sistem politik (suatu masyarakat atau Negara) frustasi
menimbulkan perasaan tertindas oleh kelompok lain atau oleh
pemerintah, lalu berlangsunglah konflik dengan menggunakan
kekerasan.23
Ada beberapa macam hal yang dapat menjadi pemicu terjadinya
konflik. Dari sudut pandang ilmu politik, konflik dapat terjadi akibat
adanya
kemajemukan
horizontal
dan
kemajemukan
vertical.
Kemajemukan horizontal yang dimaksud adalah struktur masyarakat yang
beraneka ragam dari segi suku, daerah, agama, budaya, dan juga bahasa.
Sedangkan kemajemukan vertical ialah struktur masyarakat yang
terpolarisasi menurut pemilihan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan.24
Dalam bidang keagamaan, menurut data tahun 2006 menunjukkan bahwa
umat Kristen protestan menjadi mayoritas agama yang dipeluk penduduk.
Presentasenya adalah Kristen protestan (50,7 persen), kemudian islam
(41,27 persen), Kristen katolik (7,70 persen), Hindu (0,12 persen), Budha
(0,08 persen) dan Konghucu (0,01 persen).25
Sebagai suatu bentuk pola interaksi yang tidak dapat dielakkan,
konflik tentunya memerlukan proses penanganan yang jelas dan akurat.
Adanya manajemen dan pengelolaan yang baik terhaddap konflik yang
terjadi akan menciptakan dinamika hubungan internasional yang stabil.
23
Leo Agustino, 1992, Analisis CSIS: Konflik Sosial: Tantangan Domestik dan Global xxx/2001 no.3
Ramlan Surbakti, 1992, Memahami Ilmu Politik, Jakarta, hal 151-152
25
Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat,
24
31
Dalam buku yang berjudul Ethnic Conflict In World Politics, Barbara
Harff & Tedd Robert Gurr (2004) menyebutkan lima prinsip yang bias
digunakan untuk mengelola konflik. Pertama, negara dan civil society
perlu mengakui dan menghormati hak-hak sipil dan politik kaum
minoritas, etnis maupun keagamaan. Kedua lembaga demokratis dan
pembagian kekuasaan merupakan cara terbaik untuk melindungi hak-hak
kelompok. Ketiga, pemberian otonomi yang luas bahkan konsep selfgovernment tetapi masih dalam kerangka negara induk. Keempat, aktor
internasional seperti PBB dan entitas internasional lainnya harus memiliki
komitmen untuk melindungi HAM dan penyelesaian konflik.26
Dalam strategi penyelesaian konflik, masalah sokongan dari
negara-negara lain serta pengakuan internasional cukup berperan. Negaranegara baru bermunculan akibat perpecahan yang terjadi dengan negara
induknya dan juga lenyapnya negara lain karena bersatu dengan negara
lainnya (integrasi). Timbulnya suatu negara baru akibat pemisahan diri
dengan negara induknya, tidak dengan begitu saja menjadi anggota
masyarakat internasional. Mereka harus mendapat pengakuan dari negaranegara laiun agar diterima sebagai komunitas masyarakat internasional.
Pengakuan itu bisa berupa:27
1. Pengakuan tidak langsung
Pengakuan tidak langsung atau diam-diam melebihi masalah kehendak
negara yang dinyatakan dalam pemberian pengakkuan. Kehndak
tersebut diungkapkan hanya apabila keadaan-keadaan secara tegas
26
27
Aleksius Jemadu, Op. Cit, hal.93
Ibid, hal. 78
32
mengindikasikan kemauan untuk menjalin hubungan resmi dengan
pemerintah baru.
2. Pengakuan bersyarat
Negara-negara diakui secara bersyarat, berupa suatu kewajiban yang
harus dipenuhi negara tersebut.
3. Pengakuan kolektif
Pengakuan diberikan secara terpisah antara pengakuan kepada suatu
negara, pengakuan terhadap kepala negara dan kepala pemerintahan
dari negara baru tersebut. Dalam praktek sebagian negara digambarkan
adanya perbedaan antara pengakuan de jure dan de facto. Pengakuan
de jure berarti menurut negara yang mengakui, negara maupun
pemerintah yang diakui secara formal telah memenuhi persyaratan
yang ditentukan hokum internasional untuk sementara dan secara
temporer serta dengan segala reservasi yang layak di masa mendatang,
sedangkan pengakuan de facto berarti negara atau pemerintah yang
diakui telah memenuhi syarat berdasarkan fakta.
B. Konsep Kepentingan Nasional
Seluruh Negara di dunia pada hakekatnya memiliki kepentingan
nasional yang terwujud dan akan dicapai melalui konsep dan pola politik
luar negerinya masing-masing. Setiap negara akan berusaha sejauh
mungkin agar kepentingan nasionalnya tidak sampai merugikan dalam
pergaulan baik dalam ruang lingkup regional maupun global. Bahkan
suatu negara akan berusaha sejauh mungkin untuk memperoleh
33
keuntungan yang sebesar-besarnya dari pergaulan internasional untuk
kepentingan nasionalnya tersebut.
Kepentingan nasional lahir dari adanya keterbatasan sumber daya
nasional atau kekuatan nasional. Kekuatan nasional meliputi berbagai
aspek yaitu sumber daya, jumlah penduduk, luas wilayah, kualitas
diplomasi, moral nasional, kesigapan militer, dan lain sebagainya.
Kondisi-kondisi dalam negeri akan tercerminkan dalam kepentingan
nasional yang juga sekaligus menjadi cita-cita atau tujuan nasional suatu
Negara. Sebagaimana yang diungkapkan Jack S. Plano dan Roy Olton
(1999):
Kepentingan nasional suatu Negara adalah kepentingankepentingan mempertahankan kelangsungan hidup (survival),
kemerdekaan dan kedaulatan Negara, keamanan militer, politk, dan
kesejahteraan ekonomi.28
Kepentingan nasional itu sendiri sangat erat kaitannya dengan
masalah keamanan, integritas dan posisi Negara melalui perimbangan
kekuatan. Apabila tercipta keamanan nasional maka kepentingan nasional
akan mudah tercapai. Keamanan nasional adalah bagian dari kepentingan
nasional yang tidak dapat dipishakan. Bahkan tujuan politik luar negeri
untuk mempertahankan kepentingan nasional berkaitan erat dengan upaya
mempertahankan keamanan nasional.
Kepentingan nasional merupakan konsep umum yang dapat
dirumuskan secara luas sehingga perlu memasukkan pertimbanganpertimbangan-pertimbangan moral, agama, kesejahteraan, dan hal-hal
28
Jack S. Plano dan Ray Olton, 1990, Kamus Hubungan Internasional (terjemahan), Putra A.
Bardin, Jakarta
34
yang bersifat altruistik lainnya, kadang kala dalam prakteknya interpretasi
atau penafsiran tentang kepentingan nasional ini tergantung pada kondisi
dan ideology yang dominan. Dengan penafsiran tertentu seorang
negarawan bias saja menjustifikasi tindakannya terhadap negara lain atas
nama kepentingan nasional. Morgenthou menyebutkan bahwa:
Kepentingan nasional adalah hasil kompromi dari kepentingankepentingan politik yang saling bertentangan; hasil dari persaingan
politik internal yang berlangsung terus menerus. Pemerintahlah
dengan segala institusinya yang akhirnya bertanggung jawab dalam
mendefenisikan dan menerapkan kebijaksanaan yang diarahkan
untuk mencapai kepentingan nasional.29
Selain itu, dalam bukunya Teuku May Rudy (2002) membagi
kepentingan nasional kedalam tiga macam kepentingan inti yang secara
mendasar dapat mendapatkan ancaman dari luar, yang pertama adalah
physical security atau keamanan fisik dari masyarakat suatu negara dan
hak milik pribadi mereka; yang kedua adalah rules and institution yang
dilaksanakan suatu masyarakat negara, khususnya konstitusi dan aturan
formal lainnya; ketiga adalah prosperity yaitu sumber modal, barang
mentah, sistem keuangan dan lain-lain.30
Dari beberapa pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa
kepentingan nasional merupakan konsepsi yang sangat umum, dalam
artian bahwa konsep tersebut senantiasa dipergunakan untuk merumuskan
kebijaksanaan politik luar negeri oleh suatu negara dalam percaturan politk
dunia internasional. Kepentingan nasional juga merupakanunsur yang
sangat penting bagi suatu negara yang meliputi kelangsungan hidup
29
Mochtar Mas’oed, 1994, Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi, Cetakan kedua
(Edisi revisi), Lp3Es, Jakarta, hal. 141
30
Teuku May Rudy, 2002, Studi Strategis Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang
Dingin, Bandung, PT. Refika Aditama, hal. 65
35
bangsa dan negara, kemerdekaan, keutuhan wilayah, keamanan militer dan
kesejahteraan ekonomi.
Dapat dikatakan bahwa kepentingan nasional merupakan faktor
determinan atau merupakan konstanta dalam perumusan kebijakan luar
negeri suatu negara. Arah dan kebijaksanaan luar negeri bias saja berubah
tergantung persepsi atau penafsiran terhadap fenomena internasional tetapi
kepentingan nasional merupakan faktor yang paling konstan dan tetap
menjadi pedoman bagi para pembuat keputusan dalam menentukan arah
kebijakan luar negeri.
C. Konsep Hubungan Bilateral
Hubungan Internasional dewasa ini tidak semata-mata hanya
terbatas pada hubungan politik yang terjadi antar pemerintah, tetapi sudah
melibatkan aktor lain bukan negara dengan objek hubungan yang lebih
beragam. Beberapa aktor yang turut serta berpartisipasi dalam politik
internasional meliputi organisasi internasional, organisasi non-pemerintah
serta individu-individu yang saling berinteraksi dalam berbagai ragam
dimensi.
Walaupun demikian, negara tetap menjadi subjek yang paling
mendominasi dalam interaksi hubungan internasional. Ragamnya dimensi
interaksi
negara-negara
ini
berangkat
dari
tingginya
tingkat
interdependensi yang disebabkan oleh adanya keterbatasan setiap negara
dalam hal sumber daya alam maupun sumber daya manusia sehingga
36
menjadi faktor pedoman bagi setiap negara untuk menjalin kerjasama
dengan negara lain dalam rangka pencapaian.
Interaksi antar dua negara dalam hubungan internasional selalu
berada dalam dua konteks konflik dan kerjasama. Kedua konteks
hubungan internasional berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan
dinamika hubungan internasional itu sendiri. Tidak jarang yang terjadi
adalah sebaliknya dimana hubungan antar dua negara justru memberikan
pengaruh terhadap hubungan internasional atau dengan kata lain terdapat
hubungan saling mempengaruhi antara hubungan dua negara dan
hubungan internasional.
Hubungan antar negara biasanya dimulai dari tingkat paling
sederhana yakni hubungan bilateral. Hubungan bilateral merupakan
kerangka hubungan yang hanya melibatkan dua negara sebagai aktornya,
baik itu yang berdekatan secara geografis maupun yang berjauhan
letaknya.
Sebagaimana
yang
diungkapkan
Kusumohidjojo
(1987)
mengenai hubungan bilateral:
Hubungan bilateral adalah suatu bentuk kerjasama diantara kedua
negara baik yang berdekatan secara geografis ataupun yang jauh di
seberang lautan dengan sasaran utama untuk menciptakan
perdamaian dengan memperhatikan kesamaan politik, kebudayaan
dan struktur ekonomi.31
Definisi di atas dapat menjelaskan bahwa tujuan dilaksanakannya
hubungan bilateral atau kerjasama adalah untuk mencapai kepentingan
nasional negaranya dan mempererat persahabatan dan kerjasama dengan
negara-negara lain. Oleh karena itu, dalam menentukan terjalinnya
31
Budiono Kusumohamidjojo, 1987, Hubungan Internasional: Kerangka Studi Analisis, Cetak I,
Bina Cipta, Jakarta, hal.3
37
kerjasama dengan negara lain maka diperlukan langkah yang tepat dalam
mengambil keputusan, mengingat dalam setiap hubungan bilateral
mengandung kepentingan-kepentingan strategis dan sasaran utama dari
negara-negara yang terlibat di dalamnya dalam pelaksanaan politk luar
negerinya.
Dalam hal hubungan Indonesia dan Australia sendiri, walaupun
memiliki banyak perbedaan, tetapi posisi geografis menjadi dasar
hubungan kedua negara untuk menciptakan hubungan yang harminis dan
juga hidup bertetangga yang baik. Karena tujuan untuk untuk
melaksanakan hubungan bilateral itu sendiri adalah untuk memberikan
keuntungan timbal balik kepada kedua belah pihak melalui hubungan yang
baik dan harmonis. Hal ini senada dengan yang dikemukakan
oleh
Mahmuddin (2001):
Bahwasanya hubungan bilateral merupakan interaksi antar dua
negara yang dikembangkan dan dimajukan dengan menghormati
hak-hak kedua negara untuk melakukan berbagai kerjasama pada
aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa
mengabaikan atau mengucilkan keberadaan negara tersebut, serta
mewujudkan perdamaian dan memberikan nilai tambah yang
menguntungkan dari hubungan bilateral ini.32
Adapun manfaat atau keuntungan yang diharapkan dapat diperoleh
setiap negara yang menjalin hubungan bilateral dengan negara lain,
diungkapkan oleh Mahmuddin sebagai berikut:
Bahwa setiap negara yang melakukan kerjasama bilateral memiliki
empat keuntungan dasar yang memperkuat kerjasama bilateral
tersebut yaitu; (1) saling memahami dan mengetahui keberadaan
masing0masing negara dalam melakukan hubungan bilateral, (2)
saling memberikan manfaat dan keuntungan di dalam mendukung
32
Mahmuddin, 2001, Perspektif Kerjasama Bilateral, Jakarta, Rajawali press, Hal.21
38
kelangsungan hidup dari masing-masing negara, (3) mencitakan
suatu kerjasama yang berkelanjutan dan berkesinambungan untuk
meciptakan adanya perdamaian dan (4) menumbuhkan dan
memperkuat aspek-aspek dominan yang dimiliki oelh kedua negara
tersebut.33
Bertolak dari keuntungan atau manfaat inilah yang menyatukan
satu negara dengan negara lain dalam suatu kerangka kerjasama. Dalam
kerangka pemahaman Holsti (1998) dalam bukunya Politik Internasional:
Kerangka Untuk Analisis dijelaskan bahwa terbentuknya suatu kerjasama
berdasar pada:
Dalam kebanyakan kasus, sejumlah pemerintah saling mendekati
dengan penyelesaian yang diusulkan atau membahas masalah,
mengemukakan bukti-bukti teknis untuk menyetujui satu
penyelesaian atau lainnya dan mengakhiri bperundingan dengan
perjanjian atau pengertian tertentu yang memuaskan kedua belah
pihak. Proses ini disebut kerjasama.34
Pada kenyataannya, pola interaksi antar negara tak hanya berupa
kerjasama
(cooperation).
Tetapi
juga
dapat
berupa
persaingan
(competition) dan pertentangan (conflict). Namun saat terjadi masalah,
yang paling penting adalah bagaimana memelihara, mempertahankan, dan
meningkatkan kerjasama yang adil dan saling menguntungkan; mencegah
dan menghindari konflik; serta mengubah kondisi-kondisi persaingan
(kompetisi) dan pertentangan (konflik) menjadi kerjasama. Jadi, dari
persaingan dan pertentangan juga dapat melahirkan kerjasama, tergantung
bagaimana pemerintah antar negara yang terlibat pertentangan itu
menyelesaikan masalah yang terjadi.
33
Ibid. Hal.93
K.J. Holsti, 1998, Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis. Terj. M. Tahir Azhary, Jakarta,
Erlangga, Hal.22
34
39
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Konflik Papua
1. Sejarah Konflik Papua
Konflik Papua merupakan konflik yang terjadi di tanah Papua yang
meliputi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat secara administratif.
Penyebab konflik ini terjadi sejak wilayah ini resmi menjadi bagian dari
NKRI dan berkembang menjadi konflik yang sangat kompleks dengan
berbagai faktor internal dan eksternal yang menunjang konflik ini.
Sumber konflik Papua mencakup empat isu strategis sebagai
berikut: sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI dan identitas politik
orang Papua; kekerasan politik dan pelanggaran HAM; gagalnya
pembangunan di Papua; dan inkonsistensi pemerintah dalam implementasi
Otsus serta marjinalisasi orang asli Papua. Secara historis, penafsiran
terhadap sejarah integrasi, status politik, dan identitas politik Papua
muncul sebagai hasil pertarungan politik kekuasaan pada masa
dekolonisasi Papua. Sedangkan kekerasan politik dan kegagalan
pembangunan merupakan implikasi dari rezim otoritarianisme Orde Baru.
Sementara itu, inkonsistensi pemerintah dalam imlementasi Otsus lebih
merupakan persoalan yang muncul pada masa pasca-Orde Baru.
40
a. Sejarah Integrasi dan Identitas
Konflik Papua lebih disebabkan oleh perbedaan tajam dalam
konstruksi nasionalisme Indonesia dan nasionalisme Papua. Bagi para
nasionalis Indonesia, Papua adalah bagian dari masyarakat Indonesia,
terlepas perbedaan-perbedaan ras maupun kebudayaan. Sementara
menurut nasionalsi Papua, ke-Papua-an didasarkan pada perbedaan ras
antara orang Indonesia ras melayu dengan orang Papua ras Melanesia.
Pada sisi lain, dapat dilihat bahwa ke-Papua-an merupakan
identitas politik yang dibentuk oleh pengalaman pada masa kolonial
dan dikonstruksi sebagai anti-tesis dari ke-Indonesiaan. Menurut
Chauvel, nasionalisme Papua dibentuk oleh empat faktor utama
sebagai berikut. Pertama, sebagian Papua berbagi kekecewaan sejarah
dimana tanah airnya diintegrasikan dengan Indonesia. Kedua, elite
Papua merasakan sebuah persaingan dengan pejabat Indonesia yang
telah mendominasi pemerintahan sejak periode Belanda. Ketiga,
pembangunan ekonomi dan pemerintahan di Papua melanjutkan sense
of difference (perasaan berbeda). Keempat, banyaknya pendatang dari
luar Papua yang memperbesar perasaan bahwa orang Papua
dimarjinalisasikan.35
Sementara itu, Mc Gibbon berpendapat bahwa berkembangnya
nasionalisme Papua di dorong oleh janji Pemerintah Belanda untuk
memberikan kemerdekaan kepada Papua. Namun karena posisi
35
Richard Chauvel, 2005, Constructing Papua Nasionalism: History, Etnicity and Adaption, hal. 40
41
Belanda lemah, Belanda menjadi segan untuk membicarakan
kemerdekaan dengan elite-elite Papua. Menurut McGibbon, walaupun
gagal mendeklarasikan kemerdekaan Papua, tindakan ini telah
dimajukan oleh nasionalis Papua kontemporer sebagai momen
mendasar yang menandai Papua sebagai negara merdeka. Penerimaan
hasil Pepera oleh sidang umum PBB menunjukkan bagaimana model
penyelesaian status politik Papua dalam konteks perang dingin tanpa
melibatkan peranan dari pemimpin-pemimpin Papua.36
Berdasarkan paparan di atas, dapat diketahui bahwa pengalaman
bersama
rakyat
Papua
pada
masa
kolonisasi
Belanda
telah
menumbuhkan identitas kolektif orang Papua dan pemahaman
mengenai sejarah Papua. Istilah Papua sendiri pada awalnya
merupakan terminologi politik yang dipopolerkan pada masa kolonial.
Wacana mengenai sejarah integrasi Papua dan status politik Papua oleh
pemerintah Indonesia merupakan wacana kolonial yang bersifat
politik. Historiografi dan status politik Papua harus dilihat sebagai
hasil pertarungan politik antara Indonesia dan Belanda di mana rakyat
Papua tidak dilibatkan di dalamnya. Namun, yang harus menjadi
catatan adalah bahwa konstruksi nasionalisme Papua ini telah dibentuk
pada masa kolonial Belanda yang mungkin saja ditujukan oleh
36
Rodd McGibbon, 2004, Plural Society in Perils: Migration, Economic Change, and the Papua
Conflict, Policy studies, hal. 9
42
Belanda untuk mengklaim perbedaan ras orang Papua dengan orang
Indonesia dan mempertahankan kekuasaan Belanda di Tanah Papua.37
b. Kekerasan Politik
Sebagai Implikasi dari konstruksi nasionalisme Indonesia yang
didefinisikan secara militeristik, maka upaya untuk mempertahankan
keutuhan NKRI serupa dan sebangun dengan perang melawan musuh
yang nyata dan bersenjata. Bagi para nasionalis Indonesia yang
didominasi oleh wacana patriotisme, keutuhan NKRI adalah harga
mati dan gagasan untuk memisahkan dari NKRI ialah bertentangan
dengan hokum. Konsepsi NKRI sampai sekarang ini adalah hegemonic
official text tentang nasionalisme yang absah dan mendapat legitimasi.
Pada masa Orde Baru, negara direpresentasikan oleh militer dan
kepentingan negara ialah kepentingan militer dengan formulasi poltik
NKRI.38
Ketika
kebijakan
politik
negara
gagal
mengakomodasi
kepentingan rakyat maka tindakan mengkritik institusi negara tidak
lain adalah mengkritik institusi militer. Implikasinya, gerakan protes
yang dilakukan oleh rakyat Papua terhadap kebijakan negara yang
meminggirkan mereka dihadapi dengan pendekatan keamanan. Selain
itu, gerakan separatis yang dipelopori oleh OPM dihadapi dengan
menggunakan kekuatan militer. Walaupun orde baru telah jatuh,
37
Arend Lipjhart, 1961, ‘The Indonesia Image of West Irian’, dalam Asian Survey Volume I issue 5,
hal. 9-16
38
Muridan S. Widjojo, Op. Cit, hal. 11
43
namun karakteristik militerisme yaitu kekerasan dan sentralisme,
dalam pendekatan negara terhadap rakyat Papua masih nampak.
Sejak Soeharto jatuh pada 1998 dan reformasi politik bergulir,
kekerasan oleh aparat negara tidak berhenti. Saat itu tuntutan
kemerdekaan Papua meluas dan dilakukan dengan terbuka. Tuntutan
ini mengundang represi yang juga meningkat. Tahun-tahun 1998
hingga 2006 adalah masa yang diwarnai secara dominan oleh
kekerasan politik, utamanya oleh aparat keamanan, baik TNI maupun
polisi.39
Jika ditelusuri lebih jauh, kekerasan terhadap rakyat Papua
memiliki dimensi yang sangat kompleks dan luas, yaitu tidak hanya
kekerasan fisik namun juga kekerasan psikologis dan struktural.
Berkaitan dengan konflik Papua, Theo Van Den Broek sebagaimana
dikutip oleh laporan penelitian LIPI tahun 2005, mengidentifikasi
kekerasan dan pelanggaran HAM secara lebih detail ke dalam
beberapa bentuk sebagai berikut:40 (1) kekerasan terhadap individu, (2)
kekerasan terhadap masyarakat pada suatu daerah, (3) kekerasan
psikologis, (4) kegiatan bisnis yang berpeluang melanggar HAM, dan
(5) kekerasan struktural dalam yaitu kebijakan-kebijakan negara yang
berpeluang melanggar HAM.
39
Muridan S. Widjojo, 2006, “Nationalist and Separatist Discourses in Cylical Violence in Papua,
Indonesia”, dalam Asian Jpurnal of Social Sciences, Vol 34, No.3, hal 410-430
40
Artikel Theo van den Broek dalam Lokakarya Genosida di tanah Papua tanggal 13 Maret 2004
di Abepura yang diselenggarakan oleh ELSAM Papua Barat dan GKI Tanah Papua
44
Pada masa reformasi, militer tidak lagi menjadi satu-satunya
representasi negara baik di Jakarta maupun di Papua. Tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan baik pada masa orde
baru maupun pasca orde baru sangat sulit untuk diselesaikan melalui
jalur hukum. Hal ini disebabkan oleh logika negara yang masih
didominasi oleh konsepsi NKRI dan konstruksi nasionalisme-militer.
Walaupun HAM di atur dalam undang-undang negara dan diberikan
tempat dalam wacana politik nasional, namun hanya menjadi simbol
yang tidak bermakna.
c. Kegagalan Pembangunan
Menurut hasil penelitian LIPI tahun 2004, disparitas ekonomi
dan pembangunan antara Papua dengan daerah-daerah lain di
Indonesia tidak terlepas dari adanya conflict of interest para pendatang
di Tanah Papua, diskriminasi kebijakan pusat kepada daerah, dan
eksploitasi budaya dan SDA Papua yang menyebabkan terjadinya
kesenjangan pembangunan di Papua.41
Kesenjangan
Pembangunan
juga
terlihat
dari
kondisi
pertumbuhan ekonomi yang rendah walaupun pada saat ini ada
otonomi khusus namun jumlah penduduk yang hidup di bawah garis
kemiskinan semakin meningkat. Dari 2.556.419 orang penduduk
Papua pada tahun 2004, jumlah penduduk miskin mencapai 43%.
Menurut keterangan ketua BPS Provinsi Papua terdapat 47,99%
41
Muridan S. Widjojo, Op. Cit, hal. 14
45
keluarga di Papua dan 36,85% keluarga di Papua Barat pada Maret
2006 dapat dikategorikan sebagai keluarga miskin. Selain itu
kempung-kampung (desa) di Papua juga termasuk dalam kategori
kampong (desa) miskin atau tertinggal. Mayoritas kampung di Papua
(82,83%) dan Papua Barat (81,29%) merupakan kampung tertinggal.42
Belum adanya pembangunan infrastruktur dasar seperti
pembangunan jalan dan jembatan yang dihubungkan antara wilayah
kota pesisir dan pedalaman menyebabkan kehidupan masyarakat Papua
yang tinggal di wilayah terpencil atau pedalaman tetap mengalami
keterisolasian. Kehidupan mereka jarang tersentuh dari perubahan
peradaban baru. Kondisi ketertinggalan kehidupan tersebut selalu
dieksploitasi oleh kelompok tertentu untuk kepentingan politik dan
ekonomi termasuk bahan kampanye yang mendiskreditkan pemerintah
Indonesia bahwa tidak mampu membangun rakyat Papua.
Pembangunan dibidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi
sejak Papua berintegrasi dengan republik Indonesia sampai dengan
saat ini tetap saja tertinggal jauh
dari kemajuan daerah lain di
Indonesia. Tercatat bahwa pada tahun 2001, 75% penduduk asli Papua
tidak memiliki akses terhadap pendidikan yang layak, 50% tidak
pernah mendapatkan pendidikan formal atau tidak lulus dari sekolah
dasar, 22% hanya lulus dari sekolah dasar, 10% lulus dari sekolah
42
Ibid, hal.14
46
menengah umum, dan 2% lulus dari universitas.43 Hal ini senantiasa
mendorong pemikiran kritis dari sebagian orang Papua bahwa
berintegrasi dengan Republik Indonesia ternyata membawa nasib
kurang beruntung bagi bangsa Papua, Pemikiran kritis tesebut
kadangkala mempengaruhi opini publik bagi orang Papua, kemudian
sewaktu-waktu muncul ekspresi penentangan yang berhadapan dnegan
aparat negara. Kondisi demikian, bisa diasumsikan bahwa ternyata
secara ideologis dan sosiologis orang Papua belum berintegrasi penuh
ke dalam NKRI. Hal ini juga ditegaskan oleh Sofyan Socrates Yoman,
bahwa pemerintah Indonesia hanya berhasil mengintegrasikan wilayah
dan ekonomi, tetapi gagal mengintegrasikan manusia Papua ke dalam
Indonesia, manusia Papua selalu menjadi lawan.44
Sebenarnya, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua hadir untuk menjawab semua
masalah termasuk kesenjangan pembangunan di tanah Papua. Akan
tetapi kenyataannya masih menunjukkan bahwa, pelaksanaan dari
undang-undang tersebut belum mampu menjawab semua masalah
termasuk kesenjangan pembangunan tadi. Kondisi kehidupan orang
Papua sebelum otonomi khusus sampai dengan diberlakukannya
otonomi khusus tetap sama, bahkan setelah otonomi khusus semakin
parah kehidupan orang Papua. Oleh sebab itu rakyat Papua merasa
43
Yulia Suganda, 2008, Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua, Jakarta, hal.
5
44
Sofyan Socrates Yoman, 2007, Pemusnahan Etnis Melanesia, Memecah Kebisuan Sejarah di
Papua Barat, Yogyakarta, Galang Press, hal. 6
47
bahwa tidak ada manfaatnya otonomi khusus bagi orang Papua, lalu
mereka beramai-ramai menyatakan menolak otonomi khusus dan
menawarkan solusi lain dengan mendesak dilakukannya dialog
nasional dan internasional antara Indonesia-Papua dan PBB bahkan
meminta dilakukan referendum.45
Data BPS (2010) menunjukkan angka kemiskinan Provinsi
Papua sampai dengan bulan Juli 2009 mencapai 34,77%, Provinsi
Papua Barat mencapai 34,88%, sedangkan Index Pembangunan
Manusia (IPM) terendah dari seluruh Provinsi di Indonesia yaitu 63,53
untuk Provinsi Papua dan 68,58 untuk Papua Barat. 46 Dari data
statistik tersebut menunjukkan bahwa walaupun saat ini di wilayah
Tanah Papebut menunjukkan bahwa walaupun saat ini di wilayah
Tanah Papua berlaku otonomi khusus dengan dibarengi pelimpahan
kewenangan Pemerintahan maupun peningkatan kapasitas keuangan
daerah untuk pembangunan Papua, ternyata tidak mensejahterakan
kehidupan rakyat Papua. Malahan kehidupan orang Papua tetap
tertinggal.
d. Marjinalisasi orang asli Papua
Ketika pemerintah RI berkuasa dan situasi politik semakin
stabil, jumlah dan arus migrasi mulai membesar sejak 1970-an.
Pendatang dari berbagai daerah di Indonesia, baik melalui transmigrasi
yang disponsori pemerintah maupun migrasi spontan, secara kualitatif
45
46
Paskalis Kossay, 2011, Konflik Papua: Akar masalah dan Solusi, Jakarta, Tollelegi, hal. 109
Ibid, hal.111
48
memang sudah lebih unggul daripada orang asli Papua. Marjinalisasi
sudah dimulai sejak awal. Di semua bidang mulai dari birokrasi sipil
dan militer, partai-partai plitik, ekonomi produksi, perdagangan,
hingga jasa. Secara simbolis ketersingkiran atau marjinalisasi orang
asli Papua seringkali ditunjukkan dengan kondisi para pedagang
eceran.47
Sebagian
besar
pendatang
lebih
berpengalaman
dan
berpendidikan daripada orang asli Papua. Selain itu mereka biasanya
juga memilki jaringan sosial dan ekonomi lebih baik. Kekalahan
bersaing, marjinalisasi dan perasaan terdiskriminasi menumbuhkan
perasaan kolektif orang asli Papua bahwa eksistensi mereka sebagai
entitas dan penduduk asli yang seharusnya menjadi tuan di tanah
Papua benar-benar terancam. Di kalangan elitnya, kenyataan ini
dipertajam dengan wacana yang intinya mengatakan bahwa orang asli
Papua sedang terancam kepunahan atau bahkan slow motion
genocide.48
Seperti dikatakan di atas bahwa angka migrasi meningkat
tajam sejak 1970. Secara kuantitatif, orang asli Papua yang
sebelumnya mayoritas di tanah Papua, kini menghadapi ancaman
perubahan atau pergeseran demografis. Pada 1959 presentase
pendatang masih kurang dari 2%, menjadi 4% pada 1971, dan menjadi
47
Suara Perempuan Papua, 26 Juni – 3 Juli 2007, “Kebijakan Harus dari Nurani” dan “Bertahan
Hidup dari Jualan Sayur”
48
Rodd Mc Gibbon, 2004, Papua: Plural Society in Perils, Washington, The East-West Centre,
hal.18
49
lebih dari 35% pada 2000.49 Pada 2005 penduduk pendatang berkisar
41% dan diperkirakan akan melonjak menjadi 53,5% pada 2011. 50
Akibatnya orang asli Papua mengalami dislokasi dan displacement.
Lambat tapi pasti orang asli Papua sedang menjadi minoritas di tanah
Papua.
Dari segi budaya, banyak orang asli Papua merasa ekspresi
budayanya selalu dicurigai terkait dengan praktik politik separatisme.
Misalnya kasus Arnold Up pada tahun 1980-an yang berusaha
menghidupkan kembali budaya asli orang Papua dalam bentuk lagulagu dan nyanyian tradisional dicurigai terkait dengan upaya melawan
simbol-simbol budaya dominan NKRI. Pengalaman Arnold Ap
merupakan pengalaman pahit orang Papua dalam berekspresi yakni
ketika karya-karya kesenian Papua dikaitkan dengan perlawanan
simbolis politis orang Papua terhadap kekuasaan Indonesia. Banyak
kasus terjadi dimana orang Papua berurusan dengan pihak militer
akibat simbol-simbol dan ekspresi kebudayaan yang digunakannya
terutama terkait dengan pengibaran bendera bintang kejora.
51
Kelahiran PP No 77/2008 tentang pelarangan penggunaan simbolsimbol budaya tertentu menjadi penanda utama kecurigaan pemerintah
pusat terhadap ekspresi budaya Papua.
49
McGibbon, op.cit, hal. 13, 25-26
Neles tebay, 2005, West Papua: The Struggle for Peace with Justice, London, Catholic Institute
for International Relations, hal. 11-12
51
Neles tebay, Op. Cit, hal. 11-12
50
50
Sementara marjinalisasi dalam ranah politik dapat dilihat pada
kurangnya orang-orang asli Papua yang menduduki jabatan-jabatan
politik di atas tanah Papua pada masa orde baru. Pada masa tersebut,
tercatat hanya tiga gubernur yang merupakan orang asli Papua yakni
Izaak Hindom, Barnabas Suaebu, dan Freddy Numberi. Selain itu,
gubernur Papua berasal dari kalangan pendatang dan militer.
2. Substansi Konflik Papua
Konflik telah mewarnai perjalanan Papua sebelum bergabung
dengan NKRI. Sejak lahirnya masa Orde Baru di tahun 1965, militer
Indonesia di bawah sandi operasi Wisnumurti I dan III semakin
meningkatkan serangannya untuk memaksa orang Papua berintegrasi
dengan NKRI. Sejak itu pula rangkaian kekerasan oleh militer terus
meningkat. Pada tahun-tahun sebelum Soeharto berkuasa, tercatat 23
orang ditembak mati di Kebar dan Monokwari dalam kurun waktu Juli
hingga Agustus 1965.52 Sementara itu, pada bulan Agustus 1966 hingga
1967 sekitar 500 orang ditahan dan 3 orang masyarakat Papua di eksekusi
oleh TNI di Teminabuan.
53
Hingga akhirnya tiba penyelenggaraan
Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969, dimana sekitar
seribu orang Papua dipaksa memilih integrasi dengan Indonesia.54
Pelaksanaan
Pepera
yang
bermasalah
dan
hasilnya
yang
menipulatif memunculkan aksi penentangan oleh masyarakat Papua yang
52
Sampari, 2006, “Menapaki Jejak Pelanggaran HAM di Papua”, hal. 9
Ibid
54
Hilmar Farid dan Rikardo Simarmata, Transnational Justice di Indonesia: Sebuah Laporan
Pemetaan, draft final, April 2003
53
51
tidak terlibat dalam proses tersebut. Aksi penentangan ini ditandai dengan
berbagai peristiwa lanjutan perlawanan di bawah organisasi Papua
Merdeka (OPM). Tercatat ada beberapa peristiwa pasca Pepera seperti
peristiwa Merauke pada tahun 1972 yang beraktivitas utama menanamkan
ideologi OPM kepada rakyat, melakukan pengacauan dan menyebarkan
rasa permusuhan dengan Indonesia. Selanjutnya peristiwa di Nabire tahun
1971, peristiwa di Jayawijaya tahun 1977 dan peristiwa di Jayapura tahun
1978 yang semuanya beraktifitas melakukan penyerangan ke pos-pos TNI
yang ada.55
Namun perlawanan ini justru menigkatkan operasi-operasi militer
di Papua untuk menumpas separatism. Di antaranya tahun 1970-1985
dilaksanakan Operasi Tumpas oleh TNI dengan target menggempur daerah
yang dianggap basis OPM. Tahun 1977 dikerahkan pesawat pembom,
helicopter dan pasukan darat ke wilayah Jayawijaya yang menghancurkan
17 desa.56
Konflik terus berlangsung antara pihak pro kemerdekaan Papua
dengan pihak pemerintah hingga tahun 1990-an. Sebagai hasil, pemerintah
melakukan operasi militer yang berakhir dengan pembunuhan dan
pembantaian yang mengakibatkan korban terus berjatuhan. Akibat
penerapan operasi militer selama kurun waktu di bawah rezim Orde Baru,
setidaknya telah 100 ribu lebih penduduk asli Papua terbunuh.57
55
Paskalis Kossay, Op. Cit, hal. 58-61
Sampari, Op. Cit, hal.9
57
Ibid
56
52
Perubahan politik negara yang terjadi pada tahun 1998 belum
membawa perubahan yang cukup berarti pada kondisi hak asasi manusia
di Papua. Aksi demonstrasi dan tuntutan kemerdekaan serta pengibaran
Bintang Kejora melegitimasi keberlanjutan operasi-operasi penumpasan
separatism di tahun-tahun sebelum era reformasi. Akibatnya, operasi
pembunuhan, penyisiran penculikan, penyergapan ke kampung-kampung
dan asrama mahasiswa serta bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia
lainnya masih kerap terjadi.
Selanjutnya, bergantinya presiden setelah Pemilu 2004 belum
merubah kondisi Papua. Rangkaian kekerasan masih terjadi, di antaranya
pada bulan Desember 2004 aparat polisi membubarkan aksi ratusan warga
Papua yang enamakan diri Parlemen Jalanan Rakyat Sipil untuk poltik di
Papua saat mengibarkan bendera Bintang Kejora di Lapangan Trikora,
Jayapura. Beberapa hari sebelumnya, aparat kepolisian telah mengeluarkan
larangan resmi.58 Operasi penumpasan terus terjadi sepanjang tahun 2005
dan awal 2006. Situasi yang buruk selama reformasi menjadi alasan bagi
43 warga Papua meminta suaka di Australia di awal bulan Januari 2006.59
Situasi Papua juga memanas pada tahun 2008, sedikit saja gerakan
massa sudah cukup untuk membuat aparat keamanan bertindak tegas.
Kapolresta Jayapura, bahkan mengerahkan 10 satuan setingkat kompi
(SSK)
atau
sekitar
1000
personel
gabungan
Polri/TNI
untuk
58
Koran Tempo, Kamis, 2 Desember 2004, “Polisi dan Warga Papua Bentrok Saat peringati 1
Desember”
59
Kompas, “Visa Australia dan Penanganan Papua”, 24 Maret 2006,
http://kompas.com/utama/news/0603/24/183213.htm
53
mengamankan Kota Jayapura.60 Pasukan gabungan tersebut membubarkan
setiap kumpulan warga, kendati hanya dalam kelompok kecil berjumlah 45 orang. Situasi tersebut menyebabkan sejumlah pertokoan di kota
Jayapura
terpaksa tutup karena khawatir
terjadi tindakan
yang
mengganggu stabilitas keamanan setempat.
Konflkik aparat keamanan dengan OPM tidak kunjung selesai.
Pada tanggal 7 Januari 2009, terjadi penyerangan yang dipimpin oleh
Dekilas Tabuni terhadap pos polisi di Tingginambut, Kabupaten Puncak
Jaya. 61 Dari laporan yang diterima Kapolda Papua Irjen pol Bagus Eko
Danto terungkap saat peristiwa terjadi sekitar 20-an warga menonton
televisi di pos polisi sedang anggota makan di ruang lain. Situasi tersebut
dimanfaatkan anggota OPM dengan menyerang dan mengambil empat
pucuk senjata dan 60 butir peluru. Para penyerang yang diduga kelompok
OPM pimpinan Goliat Tabuti itu juga mencederai Ny Irene Helen (21)
istri Bripda Ayub Ayer. Tingginambut merupakan salah satu daerah di
pedalaman Papua yang rawan terutama gangguan dari kelompok separatis.
Tembak menembak antara OPM dengan aparat keamanan TNI juga
terjadi di sekitar “Puncak Senyum” Distrik Mulia, Kabupaten Punck Jaya,
selasa dini hari, tanggal 23 Maret 2010.62Peristiwa penembakan tersebut
berawal ketika mobil aparat keamanan dari Yon 753 Nabire, Senin petang
dicegat OPM saat hendak kembali ke pos mereka di Puncak Senyum. 63
60
Jayapura, PAB-Online, Selasa, 21 Oktober 2008, “Situasi Papua semakin memanas”
Kompas, 12 Januari 2009, “Kapolda Papua: Penyerangan akibat Anggota Lengah”
62
Suara Papua Merdeka, 24 Maret 2010, “TNI dan OPM Kontak Senjata”
63
Ibid
61
54
Aparat keamanan yang berjumlah 13 orang di pimpin Lettu Inf.Syahputra
ketika berkendaraan dari Mulia menuju pos mereka di Puncak Senyum
yang berjarak sekitar 7000 meter dihadang kelompok OPM, sehingga
terjadi baku tembak. 64 Orang tak dikenal yang di duga kelompok OPM
melakukan penghadangan gterhadap anggota dengan menembaki kearah
mobil hingga serpihan peluru mengenai korban di bagian pinggangb.
Akibat baku tembak itu, salah seorang anggota TNI dari Yon 753
mengalami luka ringan di pinggang terkena serpihan peluru.
Pada 14 Januari 2011 penembakan terhadap Klemens Basik-Basik
dan anaknya di Merauke oleh anggota TNI penugasan perbatasan.
Peristiwa ini diisolir sedemikian rupa untuk tidak diketahui masyarakat
luas dan buru-buru menuduh korban sebagai anggota OPM yang
menyerang Pos Tentar penjaga perbatasan. 65 Dan puncak konflik terjadi
pada 16-19 Oktober 2011 ketika rakyat Papua menyelenggarakan Kongres
Papua III yang mendeklarasikan pembentukan pemerintahan transisi
dengan struktur presiden dan perdana menteri. Hal ini menimbulkan
konflik antara aparat TNI/ Polri dengan peserta kongres rakyat Papua yang
berujung pada pembunuhan tiga orang warga Papua dan penahanan enam
orang pimpinan kongres.66
64
Ibid
Paskalis Kossay, S.Pd. MM, Op. Cit hal. 92
66
Ibid
65
55
B. Hubungan Indonesia-Australia
1. Sejarah Hubungan Indonesia-Australia
Australia sudah menjalin hubungan dengan Indonesia sejak masa
menjelang kemerdekaan Indonesia 1945. Pada sikap Australia yang
bersimpati dengan Indonesia ditandai dengan pernyataan Menteri Luar
Negeri Australia, Dr Herbert Vere Evatt pada kunjungannya ke Amerika
Serikat yang menyarankan agar Hindia Belanda dan Australia dapat
menjadi mitra erat dalam mengembangkan dan mendatangkan cara hidup
yang lebih baik bagi rakyat Indonesia.67
Indonesia mendapatkan dukungan dari partai yang saat itu
menguasai pemerintahan yang ada di Australia, yaitu Partai Buruh
mengenai
pertikaian
menginginkan
antara
Belanda
harus
Belanda-Indonesia.
lebih
liberal
dan
Partai
Buruh
realistis
dalam
menyesuaikan tuntutan abash rakyat Indonesia.
Pada prinsipnya, Partai Buruh tidak ingin menjadi partai yang
mendukung
kolonialisme
yang
bersifat
menindas
atau
menekan
komunisme di Asia tenggara. Dengan menerima, mengakrabi dan
mendukung nasionalisme Indonesia, Partai Buruh percaya bahwa sikap ini
bisa melindungi keamanan Australia dan membantu stabilitas kawasan
Asia Tenggara.
Usaha-usaha pemerintah Belanda untuk meneguhkan kembali
kendali kolonialnya di Indonesia diantara tahun 1945 dan 1949 benar67
Susan Critchley, 1995, Hubungan Australia dengan Indonesia dan Strategi Keamanan
(Terjemahan Sugiarta Sriwibawa, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, hal. 26
56
benar dihalangi oleh serikat buruh dan oleh Pemerintah Australia yang
waktu itu dikuasai Partai Buruh. Kapal-kapal Belanda tidak diberi bahan
bakar dan para pekerja pelabuhan tidak mau menaikkan muatan bahan
persediaan ke atas kapal Belanda.68
Australia berperan penting dalam membantu para pejuang
nasionalis Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Hal ini merupakan
wujud perhatian politik luar negeri Australia dibawah kepemimpinan
Perdana Menteri Chifley dan antusiasme Menteri Luar Negerinya Dr. H.V
Evatt yang ketika itu menjabat sebagai dewan keamanan PBB mengecam
aksi militer Belanda pada 20 Juli 1947.69 Wakil-wakil Australia di PBB
mengusulkan dan mengajukan negaranya untuk bertindak sebagai arbitrase
di dalam persoalan Indonesia-Belanda. Usul itu ditolak, namun pada
Oktober 1947 Australia dipilih oleh Indonesia menjadi anggota Good
Offices Committee mewakili Indonesia yang diusahakan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa.70 Australia bersikap sangat kritis dalam memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia. Melalui keanggotaanya dalam United Nations
Committee on Indonesia, Australia mendesak Amerika Serikat agar
menggunakan pegaruhnya untuk mendesak Belanda segera merundingkan
penyelesaian tersebut. Pada akhir Januari 1949 Dewan Keamanan PBB
menuntut pembebasan kabinet Republik, pembentukan suatu pemerintah
sementara, dan penyerahan kedaulatan segera sebelum tanggal 1 Juli
68
http://www.dfat.gov.au/all/publications/bab11/index.html diunduh tanggal 15 Juli 2012
Zulkifli Hamid, 1999, Sistem Politik Australia, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, hal. 420
70
Critchley, Op. Cit., hal. 13
69
57
1950. 71 Akhirnya kedaulatan Indonesia diserahkan pada tanggal 27
Desember 1949 melalui Konfrensi Meja Bundar. Australia juga
mensponsori masuknya Indonesia ke PBB pada tahun 1950. Hal inilah
yang menyatukan hubungan kedua negara dan menempatkan Australia
sebagai kawan Indonesia.
Selanjutnya pada tahun 1950, pemerintahan Menzies menegaskan
bahwa Australia memiliki kepentingan strategis yang penting pada masa
depan administrasi Irian Barat. Menurut Percy Spender yang kemudian
menjadi Menlu Australia, wilayah tersebut tidak ikut membentuk wilayah
Indonesia, tetapi lebih memiliki kemiripan dengan wilayah Australia di
New Guinea dan Papua. Spender menyadari Australia memiliki
kepentingan dalam stabilitas politik dan ekonomi Indonesia. Masuknya
Irian Barat ke dalam Indonesia tidak akan menambah stabilitas regional,
tetapi merupakan bentuk kelemahan dalam perencanaan strategis Asia
Tenggara.
Australia
menginginkan
Belanda
mengambil
kembali
kedaulatannya atas daerah tersebut dan menawarkan bantuan ekonomi,
administrasi dan pertahanan sehingga Belanda tidak menyerah pada
tuntutan Indonesia.72
Di mata Indonesia, Australia yang tadinya kawan berubah menjadi
pendukung oposisinya yang paling jelas, Belanda. Indonesia pun
mengambil jalan keras dalam masalah Irian Barat, dimana kesatuan-
71
M. C Ricklefs, 2007, Sejarah Indonesia Modern, Terjemahan Drs. Dharmono Hardjowidjono;
Cetakan ke 9; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007 hal. 349
72
Richard Chauvel, 2005, Indonesia Australia: Tantangan dan Kesempatan dalam Hubungan
Politik Bilateral, Jakarta: Granit, hal. 62
58
kesatuan militer diturunkan untuk menguasai Irian Barat. Sementara
perjuangan diplomasi dilakukan oleh Soekarno dengan menggalang
dukungan dari negara dunia ketiga. Sikap agresif Soekarno semakin
membuat Australia yakin mengenai pentingnya Irian Barat berada dalam
kekuasaan Belanda. Australia dibawah pemerintahan Menzies melihat
tindakan Soekarno sebagai ekspansi teritori yang dikhawatirkan menjadi
ancaman keamanan Australia. 73 Keyakinan itu seolah dipertegas dengan
sikap Soekarno yang membina hubungan persahabatan dengan negaranegara komunis seperti Vietnam Utara, Korea Utara, RRC dan Uni Soviet.
Pada tahun 1961 sikap Australia terhadap Indonesia perlahan-lahan
melunak. Bila terjadi perjanjian yang damai dan sah antara Indonesia
dengan Belanda tentang masa depan Irian Barat, maka Australia akan
menyetujui keputusan tersebut. Kemudian pada tahun ittu pula Menteri
Luar Negeri Australia, Barwick menyatakan bahwa tidak ada alasan bagi
Australia untuk takut terhadap klaim Indonesia atas Irian Barat. Barwick
juga mengubah haluan Australia yang kemudian mendukung Indonesia
asal semua berjalan dengan damai. Menzies sepakat dengan Barwick dan
setuju atas kontrol Indonesia terhadap Irian Barat walaupun banyak
dikritik oleh opini publik. Pertimbangan Australia mendukung Indonesia
adalah karena kerjasama dengan Indonesia akan lebih menguntungkan
daripada dengan Belanda. Australia ingin menghindari peperangan dengan
negara tetangga terdekat dan mispersepsi tentang Indonesia.
73
Leo Suryadinata, 1998, Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto, Jakarta: LP3ES, hal.
115
59
Akhirnya memang Australia tidak bisa berbuat apa-apa setalah
Irian Barat kembali ke pangkuan Indonesia pada tahun 1962 dan menjadi
bagian dari Indonesia melalui Pepera di bawah supervise PBB pada tahun
1969.
Pada periode 1963-1965 ketika terjadi konfrontasi antara Malaysia
dan Indonesia, Australia berada pada posisi mendukung Malaysia dan
semakin mengkhawatirkan perkembangan komunisme di Indonesia.
Australia juga mengkhawatirkan adanya pendekatan konfrontasi yang
digunakan Indonesia untuk menghadapi Malaysia. Akhirnya tentara
Australia
yang mendukung pemerintah
Malaysia,
terlibat
dalam
pertempuran dengan tentara Indonesia di perbatasan Saawak-Borneo
(sekarang Kalimantan).
Masalah tersebut terpecahkan menyusul dengan adanya insiden
Gestapu yang gagal di Indonesia pada tahun 1965 dan dengan diangkatnya
Presiden Soeharto sebagai pemimpin. Sesudah tahun 1965 hubungan
antara Australia-Indonesia mulai berkembang lagi dan menjelang tahun
1967 Australia memberikan dana bantuan untuk membangun kembali
ekonomi Indonesia dengan bergabung dalam Inter-Governmental Group
on Indonesia.
Sementara antara tahun 1972-1988, hubungan Indonesia Australia
kembali merenggang karena adanya sengketa Timor-Timur. Sesudah
Portugis meninggalkan bekas daerah jajahannya tersebut di tahun 1975,
terjadi perselisihan di antara berbagai kelompok politik di Timor Timur.
60
Perdana menteri Australia, Whitlam telah membicarakan masalah ini
dengan Presiden Soeharto pada September 1974. 74 Menurutnya, Timor
Timur tidak akan menjadi negara merdeka yang berdiri sendiri, yang
menjadi ancaman bagi kestabilan kawasan tersebut. Namun ia juga
menghendaki agar rakyat Timor Timur deberikan hak sepenuhnya untuk
menentukan masa depannya sendiri.
Disamping itu, kematian lima wartawan Australia yang sedang
meliput Operasi Seroja di Timor-Timur pada 16 Oktober 1975 (peristiwa
Balibo Five) yang diduga dibunuh oleh tentara Indonesia telah menjadi
kenangan buruk bagi masyarakat Australia dan Media.75
Selanjutnya, peristiwa bom Bali yang juga banyak menelan korban
yang merupakan warga negara Australia membuat pemerintah Australia
mendesak peerintah Indonesia agar bertanggung jawab dan menemukan
pelaku pemboman tersebut. Kebijakan yang langsung diambil pemerintah
Australia sesaat setelah terjadinya pemboman tersebut adalah dengan
mengeluarkan travel warning kepada warga negaranya untuk tidak
melakukan perjalanan ke Indonesia.76
Setelah kejadian itu, Indonesia didorong oleh Australia dan
Amerika Serikat, mulai gencar menyelidiki siapa dalang dibalik peristiwa
Bom Bali. Australia yang warga negaranya turut menjadi korban juga ikut
melakukan
penyelidikan
di
Indonesia
yang
terkadang
terlalu
7474
Hamid, Op.Cit, hal. 423
Chris Manning, 2000, Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-Aspek Sosial Reformasi dan Krisis,
Yogyakarta: LkiS, hal. 111
76
http://repository.unikom.ac.id/repo/sector/perpus/view/jbptunikompp-gdl-deniyunard19669.html diakses pada tanggal 12 Juli 2012
75
61
mengintervensi Indonesia. Ahli dari Australia dan AS dikirim ke Indonesia
untuk membantu investigasi, mulai dari mengidentifikasi korban hingga
melacak aliran uang.77 Tak hanya sampai disitu, pemerintah Australia juga
melakukan tindakan-tindakan antiteroris di negaranya dengan melakukan
penggerebekan ataupun sweeping terhadap warga Indonesia di Australia
karena diduga terkait dengan jaringan teroris.78
Dari hal-hal tersebut, hubungan diplomatik Indonesia dengan
Australia justru semakin buruk. Melihat hal ini kedua negara lalu
berinisiatif untuk membuat sebuah kerjasama resmi dalam bidang
pertahanan demi kepentingan kedua belah pihak. Hubungan kerjasama
keamanan antara Indonesia dan Australia pasca peristiwa bom Bali I
diawali dengan adanya kesepakatan Memorandum of understanding (Mou)
pada 7 November 2002. Berdasarkan MoU yang telah disepakati, terlihat
bahwa adanya keinginan kedua negara untuk mengadakan kerjasama
dalam mencegah tindakan kejahtan terorisme.
Implementasi dari MoU ini adalah Indonesia dan Australia kerap
kali mengadakan latihan bersama dalam menangani terorisme, seperti yang
dilakukan oleh Komando Pasukan Khusus (Kopassus) dan Australian
Special Air Service (SAS) pada tanggal 28 September 2010. Latihan yang
77
http://www.dephan.go.id/modules.php?name=News&file=article&sid=5982 diakses pada
tanggal 12 Juli 2012
78
http://www.gatra.com/2002-11-14/artikel.php?id=22436 diakses pada tanggal 12 Juli 2012
62
diberi nama Dawn Komodo-10 ini dilakukan untuk menerapkan teknik
dan taktik dalam membebaskan sandera.79
2. Perkembangan Hubungan Indonesia-Australia dalam Kaitan dengan
Konflik Papua
Hubungan antara Indonesia dan Australia mengenai Papua telah
berlangsung sejak proses perebutan Irian Barat antara Belanda dan
Indonesia. Australia dibawah kepimimpian Menzies pada saat itu yang
lebih mendukung Irian Barat menjadi wilayah kekuasaan Belanda, namun
perlahan menjadi melunak merubah haluan dukungannya terhadap
Indonesia di tahun 1961 dan pada akhirnya Papua yang terletak di wilayah
paling timur dari kesatuan Republik Indonesia masuk dalam NKRI pada
tanggal 19 November 1969 melalui resolusi PBB No.2504, hal ini
sekaligus menjadi pengakuan atas integrasi Papua di Indonesia menurut
hukum internasional.80
Namun dengan munculnya gerakan separatisme di Papua, Australia
juga telah banyak melakukan bentuk-bentuk intervensi terhadap gerakan
separatisme di Papua yang mengakibatkan hubungan Indonesia dan
Australia menjadi merenggang. Puncak momentum terjadi pada tahun
2006 di saat 43 warga Papua mencari suaka ke Australia. Mereka bertolak
dari Merauke, berlayar selama lima hari dan akhirnya mendarat di tepi
79
http://english.peopledaily.com.cn/900001/90777/90851/7153015.html diakses pada tanggal
12 Juli 2012
80
Yan Pieter Rumbiak, 2005, Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua, Menyelesaikan Pelanggaran
Hak Asasi Manusia dan Membangun Nasionalisme di Daerah Krisis Integrasi, Jakarta, Papua
International Education, hal. 36
63
pantai terpencil Cape York Australia. 81 Selanjutnya pada bulan Maret
2006, Departemen Imigrasi dan masalah-masalah penduduk asli Australia
(DIMIA) memberikan Temporary Protection Visa (visa tinggal sementara)
kepada 42 dari 43 warga Papua yang mencari suaka. Peristiwa ini dinilai
pemerintah sangat melecehkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Pada tahun yang sama pemerintah Indonesia dan Australia
menandatangani sebuah perjanjian kerjasama keamanan baru yaitu
Perjanjian Lombok (The Lombok Treaty). Untuk pembahasan teknisnya
akan dilakukan melalui dialog forum tingkat menteri kedua negara
(Indonesia-Australia Ministerial Forum)82. Dari hasil The Lombok Treaty
dapat diambil kesimpulan mengenai pernyataan masing-masing pihak akan
saling menghormati kedaulatan, kemerdekaan politik, integritas territorial
tanpa mencampuri urusan dalam negeri masing-masing pihak.
Lebih lanjut, perjanjian kerjasama keamanan Indonesia dan
Australia tahun 2006 (The Lombok Treaty), sebagian isi perjanjiannya
menyebutkan butir larangan territorial Australia menjadi basis perjuangan
separatisme Papua. Perjanjian ini sebagian merupakan respon Indonesia
atas intervensi Australia terhadap gerakan separatisme di Papua dengan
memberikan ijin tinggal 42 warga Papua.
Ditahun-tahun berikutnya, meski masih sering terdengar isu-isu
yang menyebutkan beberapa NGO di Australia tetap mendukung gerakan
81
Kompas, “Visa Australia dan Penanganan Papua”, 24 Maret 2006,
http://kompas.com/utama/news/0603/24/183213.htm
82
“Kerjasama Kerangka Keamanan Indonesia-Australia Ditandatangani” dalam
http://lomboknews.wordpress.com/2006/11/13/kerja-sama-kerangka-keamanan-indonesiaaustralia-ditanda-tangani/ diakses pada tanggal 13 Juli 2012
64
separatisme di Papua, namun pemerintah Australia melalui pemerintahnya
menyediakan dana bantuan pembangunan sekitar 17 Juta dollar Australia
untuk Provinsi Papua dan Papua Barat pada tahun 2010 dan 2011 untuk
meningkatkan kesehatan, pendidikan dan infrastruktur.83
83
“Australia Kucurkan Dana ke Papua”
http://edukasi.kompas.com/read/2011/05/04/18403842/Australia.Kucurkan.Dana.ke.Papua.
diakses pada tanggal 13 Juli 2012
65
BAB IV
ANALISIS HASIL PENELITIAN
A. Kepentingan Australia Terhadap Papua
Separatisme merupakan ancaman utama terhadap keutuhan NKRI.
Ancaman separatisme di Indonesia tidak selalu berbentuk gerakan bersenjata
melainkan dapat juga berupa gerakan politik. Keterbukaan geografi Indonesia
sangat rawan terhadap adanya infiltrasi pihak asing yang banyak dimainkan
oleh Australia sebagai negara tetangga terdekat Indonesia.
Dalam faktanya, siapapun yang berkuasa di Australia akan tetap
memandang Indonesia sebagai negara yang penting bagi Australia. Hal ini
setidaknya bisa dilihat pada dua segi yakni, pertama, dari segi geografis,
Indonesia adalah negara Asia dan merupakan tetangga dekat bagi Australia.
Lebih-lebih pada partai Buuh yang berkuasa di Australia. Jika di masa lalu
Australia selalu “mencari keamanan dari Asia”, khususnya dengan berpayung
pada Ingrris dan AS (sebelum dan semenjak PD II), maka sejak Partai Buruh
berkuasa di tahun 1984, Australia berupaya mencari keamanan di dalam
Asia”. Yakni dengan mendekatkan diri pada negara-negara di Asia, termasuk
Indonesia. Biar bagaimanapun Asia lebih dekat daripada Eropa, penduduk
Asia juga lebih banyak dari Eropa. Eropa bagi Australia adalah hubungan
historis dan kultural masa lalu, sedang Asia adalah realitas politik, ekonomi
dan pertahanan keamanan sekarang dan masa depan.
Kedua, dilihat dari segi geostrategic, Indonesia merupakan benteng,
dan sekaligus bisa menjadi ancaman bagi Australia. Dalam aspek historis,
pada Perang Pasifik, Indonesia dulu masih merupakan wilayah Hindia66
Belanda dan merupakan benteng yang amat penting bagi Australia. Tapi pada
tahun 1960-1970 an, Indonesia dipandang sebagai ancaman karena dipandang
melakukan politik ekspansionis yang agresif. 84 Hal ini tampak pada upaya
pengembalian Irian Barat, konfrontasi dengan Malaysia dan integrasi TimorTimur.
Berdasarkan keterangan di atas, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa
Indonesia, khususnya Papua mempunyai nilai strategis bagi Australia, baik
yang berdimensi politik, ekonomi dan keamanan. Nilai strategis secara politik
dan keamanan, Australia lebih mudah dalam memberikan pengaruhnya jika
Papua lepas dari NKRI, selain itu Papua dianggap sebagai mata rantai yang
sangat essensial dalam garis pertahanan Australia. Oleh karena itu, setelah
pemerintah Australia berhasil memainkan proses referendum Timor-Timur
yang digelar PBB pada masa itu, maka dibentuklah Task Force Papua oleh
pemerintah Australia, yang diketuai Jenderal Peter Cosgrove, bersama tujuh
staf ahli untuk mengkaji permasalahan serta prospek kemerdekaan Papua.85
Nilai strategis secara ekonomi, di Papua potensi mineral logam
baik berupa logam mulia maupun logam dasar cukup besar. Mineral logam
yang cukup melimpah di Papua diantaranya logam mulia, emas dan perak.
Selain itu, terdapat pula deposit logam dasar, yakni tembaga serta logam besi
berupa besi laterit, kobalt, dan nikel. Deposit emas, perak dan tembaga
terdapat dalam jumlah besar di kompleks Pegunungan Tengah, yang meliputi
Kabupaten Mimika, Jayawijaya, Puncak Jaya, Yakuhimo, Pegunugan Bintang
84
Ikrar Nusa Bhakti, 1996, PM Australia John Howard ke Indonesia; Bisnis Pertahanan Yes, Politik
No, Kolom Edisi XXX, September,
85
Syamsul Hadi dan Andi Widjajanto, 2007, Disintegrasi Pasca Orde Baru, Negara, konflik Lokal
dan Dinamika Internasional, Jakarta, hal. 127-128
67
dan Lonijaya. Cadangan total emas primer di wilayah ini mencapai 2.878,6
juta ton.
Selanjutnya, jika dilihat dari segi geografis Australia yang dikelilingi
oleh dua samudera, yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Garis pantai
barat-laut dan utara Australia membentuk perbatasan terdekat dengan
kepulauan Indonesia. Garis pantai barat yang menjorok ke Samudera Hindia
memberikan posisi penting kepada Australia ditinjau dari hubungannya
dengan Afrika, subbenua India dan kawasan Asia Tenggara. Garis pantai
timur Australia seluruhnya dikelilingi oleh Samudera Pasifik yang
menghubungkan Australia dengan benua Amerika Utara dan Selatan.
Australia juga dapat dipandang sebagai pulau benua yang dikelilingi
dua samudera di ketiga sisinya. Dalam hal ini, posisi Papua dengan pulaupulau yang berdekatan dengannya membentuk atap bagi garis pantai utaranya.
Sisi utara itulah kunci strategis pertahanan Australia, sehingga tidaklah
berlebihan jika dikatakan bahwa kepulauan Indonesia memiliki arti penting
bagi Australia, utamanya letak Papua yang dianggap sebagai buffer zone bagi
pertahanan Australia serta memiliki kemungkinan untuk melakukan serangan
terhadap Australia lewat Papua. Argumen di atas juga diperkuat oleh hasil
penelitian Dr. Evatt (1943) yang menyebutkan bahwa Irian Barat merupakan
bagian dari “payung” strategis pulau-pulau yang oleh Australia dipandang
penting sekali yang juga merupakan bagian dari lingkungan pengaruhnya yang
strategis.86 Oleh karena itu, orang-orang Australia tidak akan toleran terhadap
86
George Margarret, 1980, Australia and The Indonesian Revolution, Melbourne University Press,
Victoria, hal. 68
68
penyerahan kedaulatan oleh pemerintah Belanda pada waktu itu, kepada
negara manapun kecuali Australia.
Terlebih lagi bahwa posisi Australia terhadap Irian Barat sangat
penting karena Australia mempunyai pengaruh politik di kalangan negaranegara Pasifik Selatan. Karena Australia tidak dapat mengubah geografinya,
maka penyerahan kedaulatan kepada Indonesia akan merupakan semacam
ancaman, sudah menjadi perkiraan yang tidak pernah diragukan oleh
Pemerintah maupun oposisi. Indonesia dilihat secara politis tampak tidak
stabil, secara administrasi kelihatan kacau, dan lemah secara militer. Jikalau
Irian Barat ditempatkan dibawah tanggung jawabnya, anggapan selanjutnya
ialah bahwa Australia akan kehilangan wilayah itu sebagai benteng garis
terdepan. Sebaliknya wilayah itu akan berubah menjadi pintu masuk yang
potensial bagi musuh dari Asia.
Dalam Pemerintahan koalisi pada waktu itu, Alexander Downer
menghimbu kepada pemerintah Indonesia untuk melepaskan Irian. Downer
menyatakn “Jika Belanda tidak ingin tetap disana, maka kita harus
menahannya demi kepentingan rakyat kita”87 Pandangan ini juga diamini oleh
banyak warga Australia dan beberapa media massa seperti The Sydney
Morning Herald tanggal 1 Februari 1950, dengan judul “Indonesia Tidak
Punya Hak di Irian”.
Dari beberapa keterangan di atas, tampak nyata bahwa Australia sangat
berkepentingan terhadap Papua sehingga akan mempengaruhi dinamika
87
Susan Crtchley, 1995, Hubungan Australia dengan Indonesia; Faktor Geografi Politik dan
Strategi Keamanan, Jakarta, UI Press, hal. 80
69
gerakan separatis Papua yang diperkuat dengan berbagai dukungan para pihak
di Australia.
Selanjutnya mengenai persoalan pemberian suaka kepada 42 warga
Papua yang diberikan oleh Australia, sangat jelas tergambar bahwa
pemerintah Australia tentu mempunyai kepentingan politik, dengan tujuan
untuk memecahkan masyarakat, dengan perpecahan ini maka menimbulkan
ketidakstabilan negara kesatuan Republik Indonesia. Pada sisi lain, terkadang
Australia mendukung Indonesia dalam melaksanakan program perencanaan
pembangunan di Papua , namun terkadang justru membantu masyarkat yang
ingin melakukan tindakan separatis dan mendukung Papua untuk merdeka dan
lepas dari wilayah NKRI.
Memang tidak banyak pilihan bagi Australia sebagai negara “kekuatan
menengah” yang terisolasi di selatan bumi dan dikelilingi samudera luas.
Isolasi dari dinamika kawasan regional maupun global merupakan skenario
terburuk Australia. Memainkan diplomasi “dua muka” merupakan strategi
yang dapat menaikkan posisi tawar Australia.
Keberhasilan demi keberhasilan Howard dalam memanfaatkan strategi
ini bisa membuatnya terlena. Memanfaatkan dukungan AS untuk terlibat
kasus Timor Leste berhasil membuahkan miliaran dollar dari lading minyak
Laut Timor. Menggunakan unilateralisme AS, Australia berhasil memperkuat
hegemoni atas Pasifik Selatan. Keterlibatan dalam aksi global antiterorisme
AS juga berhasil meningkatkan Australia menjadi pemain global. Kontribusi
dalam aksi antiteror ini nyaris tanpa resiko, tanpa korban dari serdadu
Australia.
70
Sama seperti AS, perdagangan Australia bergantung pada seaborne
trade dengan negara-negara mitra di Asia. Secara geografis terisolasi di
selatan, 80 persen komoditas perdagangan internasional Australia diangkut
lewat laut. Akibatnya, Australia bergantung pada akses ke jalur pelayaran
bagian hulu alur komunikasi laut (SLOC) Asia Tenggara dan Alur Laut
Kepulauan Indonesia (ALKI). Australia misalnya bergantung pada selat
Lombok untuk mengangkut biji besi ke China. Dapat dikatakan, sebagian
besar pelayaran antarkawasan yang melintasi Selat Lombok adalah kapalkapal niaga Australia. Karena itu, akses untuk melintasi ALKI dan SLOC
merupakan faktor penentu kesuksesan perdagangan Australia. Ketergantungan
terhadap akses ini cenderung meningkat seiring bertambahnya volume
perdagangan Australia dengan mitra dagang di Asia. Dengan kata lain,
menutup akses kapal niaga Australia ke Asia sama dengan memblokade
ekonomi Australia.
B. Implikasi Politis, Keamanan, dan Ekonomi Konflik Papua dalam
Hubungan Indonesia-Australia
a. Implikasi Politis
Hubungan antara Indonesia dan Australia sejak masa lalu hingga
saat ini diwarnai pasang surut (fluktuatif), yang terkadang memanas,
namun juga terkadang terealisasi secara harmonis. Beberapa kasus yang
menimbulkan hubungan kedua negara menjadi renggang bahkan memanas
antara lain karena Australia relatif sering menjalankan kebijakan campur
tangan yang berlebih terhadap masalah-masalah internal dalam negeri
71
Indonesia
yang
terkadang
menimbulkan
gesekan-gesekan
dengan
pemerintah Indonesia.
Salah satu kasus yang memberikan implikasi politis terbesar
dalam sejarah hubungan Indonesia Australia adalah kasus pemberian
suaka izin tinggal sementara kepada 42 warga Papua pada tahun 2006.
Kasus pemberian suaka kepada warga imigran Papua, akhirnya
menimbulkan berbagai problematika transnasional yang kompleks yang
ditengarai oleh pemerintah Indonesia sebagai bentuk upaya dalam
mendukung dan meningkatkan eksistensi terkait isu separatisme Papua
yang tidak puas atas kinerja Pemerintah Indonesia.88
Kasus pemberian suaka ini secara efektif telah memanaskan
hubungan antara Pemerintah Indonesia dan Australia, bahkan Dewan
Perwakilan
Rakyat
Indonesia
mengecam,
sekaligus
mengirimkan
utusannya ke Canberra untuk mengkonfirmasi kasus ini. Indonesia juga
menarik duta besar Indonesia untuk Australia, Teuku Mohammad Hamzah
Thayeb dan membatalkan undangan Menteri Pertahanan Brendan Nelson
untuk berpartisipasi dalam latihan militer internasional di perairan lepas
pantai Darwin pada pertengahan April 2006.89
Tindakan
Australia
memang
tak
dapat
ditolerir
karena
berdasarkan konvensi internasional, Canberra tidak boleh memberikan
visa resmi kepada para imigran gelap. Jadi jika Indonesia menghendaki,
maka para imigran tersebut harus diekstradisi kembali ke negaranya.
Bahkan setelah Presiden Yudhoyono meminta kepada PM Australia
88
89
Masalah Papua Menjadi Bahan Kampanye Politik di Australia, Media Indonesia, 23 Maret 2006
Ibid
72
Howard agar memulangkan 43 warga Papua tersebut dan menjamin
keamanan warga Papua tersebut namun kenyataanya jaminan Yudhoyono
itu tetap diabaikan.90 Ketika jaminan keamanan disampaikan oleh pejabat
tertinggi negara sudah tidak digubris, maka dapat disimpulkan bahwa
Canberra tidak mempercayai integritas pemerintahan dan bangsa
Indonesia.
Sekalipun pemerintah Australia melalui Perdana Menteri John
Howard dan Duta Besar Australia David Ritchie telah mengungkapkan
akan mendukung Negara Kesatuan Indonesia, namun kasus ini mampu
menjadi isu sentral dan membawa implikasi politis yang sangat besar bagi
hubungan Indonesia Australia.91
Protes keras juga tidak hanya di tingkat pemerintah dan DPRMPR, tetapi juga ditingkat masyarakat. Agaknya langkah tersebut
membuat Australia mulai memperhitungkan kembali hubungan baik yang
perlu dijalin dengan Indonesia. Upaya menurunkan ketegangan Jakarta –
Canberra atas persoalan pengungsi dari Papua, agaknya menjadi skala
prioritas bagi Howard dan Susilo Bambang Yudhoyono. Hal itu terbukti
dari pernyataan perdana menteri Howard di radio 3AW, yang disampaikan
secara tegas bahwa “I sent such a strong message to the people of West
Papua. Do not imagine for a moment we want you to come to Australia”
Hal itu dilanjutkan dengan pengiriman utusan khusus dari Canberra.
Michael L’Estrange pergi ke Jakarta untuk menemui Menteri Luar Negeri
Indonesia guna memperbaiki hubungan kedua negara tersebut. Meskipun
90
http://www.abatasya.net/view/523/95/ dalam “Indonesia, Australia, dan Isu Pemberian
Suaka.” Diakses pada tanggal 14 Juli 2012
91
Ibid
73
dinyatakan bahwa pertemuan tersebut belum dapat menghasilkan apa-apa,
tetapi pada tanggal 29 April 2006 Menteri Keimigrasian Vanstone,
merespon berita-berita tentang Papua dalam tulisannya di The Weekend
Australia bahwa “the Papuans separatism is a racist, toxic cause”. Kesan
menjaga perasaan Indonesia ditujukan pula dengan belum diprosesnya tiga
orang Papua yang pergi menggunakan perahu juga pada tanggal 5 Mei
2006 di Pulau Baigu di Torres Strait.92
Di sisi lain, tindakan pemberian suaka terhadap 42 warga Papua
2006, telah memicu berbagai reaksi keras dari kedua negara, bahkan hal
ini juga diwarnai perang propaganda pada surat kabar di masing-masing
negara, melalui karikatur yang menyinggung pemimpin dari kedua negara,
baik presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono ataupun Perdana
Menteri dan Menteri Luar Negeri Australia John Howard dan Alexander
Downer. Berdasarkan keterangan Bapak Presiden Republik Indonesia,
mengenai pemuatan karikatur dan pemberian visa warga negara Indonesia
menjelaskan sebagai berikut:
Saya harus meletakkan keprihatinan saya, kekesalan saya
terhadap pemuatan karikatur saya sebagai seorang kepala negara,
dengan tampilan seperti itu, di bawah kepentingan yang lebih
besar. Bagaimana kita harus menyelesaikan masalah ini secara
jujur, secara arif, dan secara tepat. Tepat dalam kerangka
tegaknya negara kedaulatan, harga diri, dan kehormatan bangsa
Indonesia yang tidak bisa ditawar-tawar dan juga dalam kerangka
memulihkan kembali hubungan kita, hubungn IndonesiaAustralia yang mengalami keretakan, karena keputusan sepihak
pemerintah Australia yang lalu.93
92
Amanada Vanstone, “Lets not Support Separatism”, Weekend Australia, 29 April 2006
http://www.Anothernews/5April2006/0048html dalam Transkrip Pernyataan Pers Presiden RI
Mengenai Hubungan RI-Australia dan Pemuatan Kartun Presiden SBY Istana Merdeka, 3 April
2006, hal.7 diakses pada tanggal 14 Juli 2012
93
74
Pemerintah Indonesia sangat menyesalkan dan prihatin atas
penerbitan karikatur tentang diri Bapak Presiden Republik Indonesia oleh
media Australia sehingga dampak dari itu pemerintah Indonesia dan rakyat
Indonesia melakukan protes bahkan diikuti demo. Walaupun di Australia
sendiri, karikatur semacam itu merupakan hal yang wajar dilakukan
mengingat kebebasan media di sana begitu terbuka, seperti Howard yang
juga pernah menjadi headline sebuah media dengan karikatur anjing.
Sementara Indonesia dengan kebebasan media yang terbatas menganggap
hal tersebut sebagai suatu pelecehan dan tidak akan memberikan toleransi
kepada elemen-elemen yang ingin memecah belah kesatuan Republik
Indonesia yang telah utuh dan menyatu berdasarkan ideology negara yaitu
Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
b. Implikasi Keamanan
Australia sebagai kekuatan menegah di Asia Pasifik tetap
memandang bahwa hubungan dengan wilayah utara, khususnya Indonesia
sebagai bagian sistem strategi di Asia Pasifik, memiliki nilai geo-ekonomi,
geo-politk dan keamanan yang strategis. Pemahaman akan ancaman dari
utara oleh Australia ini muncul ketika pasca perang dingin yang dapat
dilihat dalam buku putih pertahanan Australia tahun 1994 yang di
dalamnya menekankan bahwa ancaman keamanan tetap datang dari
utara.94 Walaupun pada kenyataannya negara-negara di negara-negara di
utara bukan hanya Indonesia, tetapi karena letak perairan dan laut
Indonesia yang berdekatan, maka praktis setiap persoalan domestik
94
Defending Australia: Defence White Paper, Australian Government Publishing Service,
Canberra, 1994, hal. 21
75
Indonesia yang berkaitan dengan gejolak politik, ekonomi dan keamanan
di Indonesia sudah pasti akan menjadi dan menyebabkan kekhawatiran
Australia.
Dalam hubungannya dengan konflik Papua, Australia merasa
lebih aman jika Papua menjadi merdeka dan berada dalam pengaruhnya
untuk menjamin stabilitas pertahanan keamanannya. Sehingga bisa
disimpulkan bahwa Papua lebih baik berada dalam pengaruh Australia
daripada menjadi bagian NKRI yang sedang mengalami krisis politik.
Papua dalam kacamata Australia memiliki nilai strategis sebagai buffer
zone bagi pertahanan keamanannya.
Pada tanggal 13 November 2006, pemerintah Australia dan
Indonesia menandatangai sebuah perjanjian kerjasama keamanan baru
yang dikenal dengan Perjanjian Lombok (The Lombok Treaty). Dokumen
ini mencakup bidang yang luas yakni; Pertahanan, Penegakan Hukum,
pemberantasan terorisme, kerjasama intelijen, kerjasama maritim,
keselamatan dan keamanan penerbangan, penyebaran senjata pemusnah
massal, tanggap darurat bencana alam, dan pengertian antar masyarakat
dan manusia (people to people link).95
Lebih lanjut, perjanjian kerjasama keamanan Indonesia dan
Australia tahun 2006 (The Lombok Treaty), sebagian isi perjanjiannya
menyebutkan butir larangan territorial Australia menjadi basis perjuangan
separatisme Papua. Perjanjian ini sebagian merupakan respon Indonesia
95
“Kerjasama Kerangka Keamanan Indonesia – Australia Ditandatangani” dalam
http://lomboknews.wordpress.com/2006/11/13/kerja-sama-kerangka-keamanan-indonesiaaustralia-ditanda-tangani/ diakses pada tanggal 14 Juli 2012
76
atas intervensi Australia terhadap gerakan separatisme di Papua dengan
memberikan ijin tinggal 42 warga Papua.
Perjanjian keamanan Indonesia – Australia 2006 memuat
beberapa prinsip, diantaranya prinsip pernyataan atas kedaulatan,
kesatuan, kemerdekaan, dan integritas wilayah masing-masing, pengakuan
atas prinsip bertetangga yang baik serta tidak mencampuri urusan dalam
negeri masing-masing, pengakuan akan adanya tantangan global, seperti
terorisme internasional, serta ancaman keamanan baik yang bersifat
militer maupun nirmiliter. Kesiapan bekerjasama menghadapi segala
tantangan dan ancaman, kesiapan untuk memperkuat kerjasama bilateral
dan dialog melalui diskusi teratur masalah-masalah strategis, kerjasama
maritim, pertahanan, intelejen, penegakan hukum, dll. Kesiapan
mempertahankan dan memperkuat kerjasama sosial, ekonomi, politik, dan
keamanan bilateral, serta kerjasama menuju stabilitas, kemajuan dan
kesejahteraan di kawasan Asia Pasifik, serta penghargaan pada hukum dan
peraturan yang berlaku pada masing-masing negara.96
Berdasar pada beberapa prinsip di atas, maka Indonesia sangat
berkepentingan terhadap Australia, khususnya dalam menjaga integritas
NKRI. Pertanyaan di atas tercantum dalam artikel 2 ayat (2) dan ayat (3),
yang berbunyi;
“Saling menghormati dan mendukung kedaulatan, integritas
territorial, kesatuan nasional, dan kemerdekaan politik masingmasing dan juga non-intervensi terhadap urusan dalam negeri
satu sama lain”
96
Naskah “Agreement Between The Republic of Indonesia and Australia on The Framework for
Security Cooperation.”, 2006, hal. 1
77
“Kedua belah pihak, sesuai dengan hukum nasional dan
kewajiban internasional yang berlaku, tidak akan mendukung
dan berpartisipasi dengan cara apapun dalm kegiatan yang
dilakukan baik oleh perorangan atau kelompok tertentu yang
bisa mengancam stabilitas, kedaulatan, atau integritas politik
pihak lainnya, termasuk menggunakan wilayah pihak lainnya
untuk melakukan separatisme”
Dengan penjelasan di atas, maka Indonesia mendapat beberapa
keuntungan diantaranya; pertama, Indonesia mendapat jaminan kedaulatan
dari pemerintah Australia atas integritas wilayah NKRI. Dengan
keberadaan perjanjian keamanan ini, maka pemerintah Australia berhak
untuk menindaklanjuti aktor non-negara di Australia, seperti penggiat
LSM, media massa, aktifis gereja, dan aktifis partai yang secara nyata
mendukung gerakan separatisme di Papua. Kedua, perjanjian keamanan
sebagai payung hukum atau kerangka kerjasama keamanan kedua negara
memberikan keuntungan khusus bagi Indonesia berupa peningkatan
kemampuan kontrol wilayah dan geografi, terkait dengan capacity
building, joint exercise, sharing intelijen, sebagai implementasi dari
kerjasama keamanan. Hal ini membuat Indonesia mampu dalam mencegah
proliferasi gerakan separatis di Indonesia Timur, khususnya di Papua.
Akan tetapi keefektifan perjanjian yang baru diratifikasi oleh
legislatif Indonesia tahun tahun 2008 kemarin, yang secara otomatis
mengikat
kedua
belah
pihak
masih
dikhawatirkan
kedepannya.
Kekhawatiran semacam ini muncul mengingat sebelumnya Australia juga
mengabaikan perjanjian keamanan yang ditandatangani oleh kedua belah
pihak di tahun 1996 dan dibatalkan sepihak oleh Indonesia tahun 1999,
78
karena Australia terbukti melakukan intervensi atas kemerdekaan TimorTimur pada waktu itu.97
c. Implikasi Ekonomi
Dalam melakukan hubungan internasional suatu negara, pada
dasarnya tidak dapat dilepaskan keterkaitan satu faktor dengan faktor
lainnya. Demikian pula Australia, kebijakan dan strategi keamanan dan
hubungan internasionalnya, baik itu hubungan bilateral maupun
multilateral tidak dapat dilepaskan dari hubungan interdependensi antar
negara di bidang sosial, ekonomi dan perdagangan. Australia sebagai
negara yang mengandalkan perdagangan internasional sangat menyadari
dan
merasa
perlu
melakukan
perlindungan
atas
jalur-jalur
perdagangannya, maka kegiatan ekonomi internasionalnya tidak dapat
berdiri sendiri tetapi haruslah mendapat dukungan kegiatan politik dan
keamanan di tingkat internasional pula. Stabilitas kawasan tidak hanya di
Australia saja, tetapi segala kawasan yang memberikan keuntungan secara
ekonomi bagi negeri tersebut. Asia Pasifik masih merupakan kawasan
yang paling besar berperan dalam perkembangan perekonomian Australia
dan ketergantungan negeri tersebut pada beberapa negara di kawasan
tersebut masih tinggi.
Di Indonesia sendiri, walaupun terjadi instabilitas politik akibat
adanya konflik Papua, hubungan bilateral Indonesia – Australia di bidang
ekonomi dan perdagangan bisa dikatakan berada dalam kondisi yang baik.
Berbagai bentuk kerjasama dan bantuan banyak dilakukan. Perdagangan
97
Ikrar Nusa Bhakti, 2006, Merajut Jaring-jaring Kerjasama Keamanan Indonesia – Australia;
Suatau Upaya Untuk Menstabilkan Hubungan Bilateral Kedua Negara, LIPI, Jakarta, hal. 58
79
dan perniagaan antara Australia dan Indonesia semakin tumbuh. Dengan
adanya perdagangan 2 arah senilai 10,3 miliar dollar AS selama 20072008, Indonesia merupakan mitra dagang terbesar ke-4 Australia di
ASEAN dan mitra dagang terbesar ke 13 dari seluruh mitra dagang
Australia. Investasi Australia di Indonesia berkembang pesat dan
mencapai 3,4 miliar dollar AS pada akhir 2007.98
Lebih
dari
400
perusahaan
Australia
sedang
melakukan
perniagaan di Indonesia mulai dari usaha pertambangan sampai
telekomunikasi. Perusahaan-perusahaan ini bekerja sebagai mitra dagang
dengan perusahaan dan pemerintah Indonesia.
Pada tahun 2009, Australia telah Australia telah memastikan
komitmen bantuan bagi Indonesia senilai 40 Juta dollar Australia lewat
International Forest Carbon Initiative atau Prakarsa Karbon Hutan
Internasional. Bantuan tersebut merupakan bagian dari bantuan senilai 200
juta dollar AS dan mencakup Kemitraan Hutan dan Iklim Kalimantan
yang ditujukan guna memangkas emisi gas rumah kaca akibat
penggundulan hutan.99
98
http://internasional.kompas.com/read/2009/02/19/15002251/Australia.Serius.Bentuk.Perdaga
nga n.Bebas.dengan.Indonesia. diakses pada tanggal 16 Juli 2012
99
http://internasional.kopas.com/read/200902/21/08251943/Australia.Turut.Atasi.Penebangan.
Hutan.di.Indonesia. diakses pada tanggal 17 Juli 2012
80
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Papua terjadi sejak wilayah ini resmi menjadi bagian dari NKRI dan
dengan seiring berjalannya waktu konflik ini berkembang menjadi konflik
yang sangat kompleks dengan berbagai macam faktor yang menunjang konflik
ini. Sumber konflik Papua mencakup empat isu, yakni sejarah integrasi Papua
ke wilayah NKRI dan identitas politik orang Papua, kekerasan politik dan
pelanggaran HAM, gagalnya pembangunan di Papua dan inkonsistensi
pemerintah dalam implementasi Otsus serta marjinalisasi orang asli Papua.
Berkali-kali Indonesia berganti pemerintahan sejak era Soekarno
hingga era reformasi di bawah kepemimpinan Susilo pun tetap tidak
ditemukannya solusi yang tepat bagi konflik Papua. Malah semakin menjadi
kompleks ketika negara-negara lain ikut campur dalam konflik internal
Indonesia. Salah satunya adalah Australia. Datang dengan berbagai bentuk
kepentingannya, baik itu kepentingan terhadap keamanan negaranya,
kepentingan poltik dan kepentingan ekonomi.
Berbagai bentuk campur tangan dan keterlibatan Australia yang
mendukung gerakan separatisme Papua dapat dilihat sejak dimulainya
pembebasan Irian Barat, hingga yang sangat fenomenal yaitu kasus pemberian
suaka terhadap 42 warga Papua yang mencari suaka ke pemerintah Australia
tahun 2006 yang sempat menyebabkan hubungan antar kedua negara ini
merenggang dan memberikan implikasi-implikasi politis, keamanan dan juga
eonomi bagi hubungan Indonesia – Australia.
81
B. Saran
1. Sebaiknya pemerintah harus membangun dialog-dialog terbuka dengan
seluruh komponen masyarakat Papua. Dialog itu sebagai upaya
memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Perlunya penempatan dan pemilihan birokrat yang tepat di Papua yang
sekaligus dapat berfungsi sebagai agen-agen pemersatu bangsa
3. Sebaiknya pemerintah Indonesia memperlihatkan ketegasan terhadap
perilaku pemerintah Australia yang selalu campur tangan terhadap
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia
82
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Chauvel, Richard. 2005. Constructing Papua Nationalism: History, Etnicity and
Adaption. Washington: East-West Center
Elisabeth Adriana. 2008. Papua Road Map; Negotiating the Past, Improving the
Present and Securing the Future. Jakarta: LIPI Press
Hamid, Zulkifli. 1999. Sistem Politik Australia. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
Hardjowidjono, Dharmono. 2007. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Holsti, K.J. 1998. Politik Intenasional: Keangka untuk Analisis. Jakarta: Elangga
Jamil, M. Mukhsin. 2007. Mengelola Konflik dan Membangun Damai: Teori,
Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik. Walisongo: Semarang
Jemadu, Aleksius. 2007. Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional:
Aktor, Isu dan Metodologi. Yogyakarta: Graha Ilmu
Kossay, Paskalis. 2011. Konflik Papua: Akar Masalah dan Solusi. Jakarta:
Tollelegi
Krisna, Didi. 1993. Politik Internasional. Jakarta: PT. Grasindo
Kusumohamidjojo. 1993. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Jakarta:
Gramedia
Kusumohamidjojo, Budiono. 1987. Hubungan Internasional: Kerangka Studi
Analisis. Jakarta: Bina Cipta
Mahmuddin. 2001. Perspektif Kerjasama Bilateral. Jakarta: Rajawali Press
Manning, Chris. 2000. Indonesia di Tengah Transisi: Aspek-Aspek Sosial
Reformasi dan Krisis. Yogyakarta: LkiS
Margarret, George. 1980. Australia and The Indonesian Revolution. Victoria:
Melbourne University Press
Mashat, Abdul Monem. 1985. National Security in the Third World. Boulder:
Westview Press
83
Mas’oed, Mochtar. 1994. Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodologi.
Jakarta: Lp3ES
McGibbon, Rodd. 2004. Plural Society in Perils: Migration, Economic Change,
and the Papua Conflict. Washington: East-West Center
Plano, Jack S dan Ray Olton. 2005. Kamus Hubungan Internasional. Jakarta:
Rudy T May. 2002. Studi Strategis; Dalam Transformasi Sistem Internasional
Pasca Perang Dingin. Bandung: PT. Rfika Aditama
Soekanto, Soerjono. 2000. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press
Sriwibawa, Sugiarta. 1995. Hubungan Australia dengan Indonesia dan Strategi
Keamanan. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia
Sufri, Yusuf. 1989. Hubungan Internasional & Politik Luar Negeri. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan
Surbakti, Ramlan. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta:
Suryadinata, Leo. 1998. Politik Luar Negeri Indonesia di Bawah Soeharto.
Jakarta: LP3ES
Taufiq, Tuhana Andrianto. 2001. Mengapa Papua Bergolak. Yogyakarta:
Tebay, Neles. 2005. West Papua: The Stuggle for Peace with Justice. London:
Catholic Institute for nternational Relations.
Widjojo, S. Muridan. 2008. Papua Road Map: Negotiating the Past, improving
the Present and Secuing the Future. Jakarta: LIPI
Wolferes, Arnold. 1971. Contending theories in International Relations. New
York: JB. Lippncot CO
Yoman, Sofyan Socrates. Pemusnahan Etnis Melanesia, Memecah Kebisuan
Sejarah di Papua Barat. Yogyakarta: Galang Press
Yulius Herman. 2007. Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional: Actor,
Isu, Metodologi. Yogyakarta: Graham Ilmu
Sumber Jurnal:
Hilman Adil. 2004. Kebijakan Australia Terhadap Indonesia 1962-1966; Studi
keterlibatan Australia dalam Konflik Bilateral. Jurnal Analisis CSIS hal.
84
Leo Agustino. 2001. Konflik Sosial: Tantangan Domestik dan Global. Analisis
CSIS. Vol 30
Ikrar Nusa Bhakti. 2006. Merajut Jaring-Jaring Kerjasama Keamanan Indonesia –
Australia; Suatu Upaya Untuk Menstabilkan Hubungan Bilateral Kedua
Negara. Jurnal Analisis LIPI hal.
Ikrar Nusa Bhakti. 1996. PM Australia John Howard ke Indonesia; Bisnis
Pertahanan Yes, Politik No. Edisi XXX
Lipjhart, Arend. 1961. “The Indonesia Image of West Irian”. Asian Survey Vol. I
hal 9-16
Rumbiak,Yan Pieter. 2006. Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua, Menyelesaikan
Pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Membangun Nasionalisme Di
Daerah Krisis Integrasi. Papua Internal Education: Jakarta
Suganda, Yulia. 2008. Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai
Papua. Jakarta
Widjojo, Muridan S. 2006. “Nationalist and Separatist Discourses in Cylical
Violance in Papua, Indonesia” Asian Journal Vol 34 hal. 410-430
Sumber Koran:
Kompas. 12 Januari 2009. Kapolda Papua: Penyerangan akibat Anggota Lengah,
hal. 7
Koran Tempo. 2 Desember 2004. Polisi dan Warga Papua Bentrok saat peringati
1 Desember, hal. 3
Media Indonesia. 23 Maret 2006. Masalah Papua Menjadi Bahan Kampanye
Politik di Australia, hal. 11
Suara Papua Merdeka. 24 Maret 2010. TNI dan OPM Kontak Senjata, hal. 8
Suara Perempuan Papua. 2007. Kebijakan Harus dari Nurani” dan “Bertahan
Hidup dari Jualan Sayur
Weekend Australia. 29 April 2006. Lets not Support Separatism, hal 9
Sumber Web:
Australia Kucurkan Dana ke Papua
http://edukasi.kompas.com/read/2011/05/04/18403842/Australia.Kucurkan
.Dana.ke.Papua 13 Juli 2012
85
Australia Serius Bentuk Perdagangan Bebas dengan Indonesia
http://international.kompas.com/read/2009/02/19/15002251/Australia.Seri
us.Bentuk.Perdagangan.Bebas.dengan.Indonesia. 16 Juli 2012
Australia Turut Atasi Penebangan Hutan di Indonesia
http://international.kompas.com/read/200902/21/08251943/Austalia.Turut.
Atasi.Penebangan.Hutan.di.Indonesia. 17 Juli 2012
Indonesia, Australia, dan Isu Pemberian Suaka.
http://www.abatasya.net/view/523/95/ 14 Juli 2012
Kerjasama Kerangka Keamanan Indonesia-Australia Ditandatangani.
http://lomboknews.wordpress.com/2006/11/13/kerja-sama-kerangkakeamanan-indonesia-australia-ditanda-tangani/ 25 Januari 2012
Transkrip Pernyataan Pers Presiden RI Mengenai Hubungan RI – Australia dan
Pemuatan Kartun Pesiden SBY Istana Merdeka.
http://www.Anothernews/5April2006/0048html 14 Juli 2012
Visa Australia dan Penanganan Papua.
http://kompas.com/utama/news/0603/24/183213.htm 27 Januari 2012
Agreement Between the Republic of Indonesia and Australia on the Framework
for Security Cooperation
http://www.dfat.gov.au./all/publications/bab11/index.html 15 Juli 2012
86
Download