LAPORAN PERTANGGUNGJAWABAN FORUM REGULASI “ Aspek Keselamatan Jiwa dlm Persyaratan Teknis Arsitektur Bangunan Gedung” IKATAN ARSITEK INDONESIA JAKARTA MEI 2016 FORUM REGULASI Topik: Aspek Keselamatan Jiwa dlm Persyaratan Teknis Arsitektur Bangunan Gedung Latar belakang Bangunan Gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya maupun kegiatan khusus. Dalam pada itu untuk memudahkan pengawasan perencanaan kegiatan pembangunan yang efektif guna mewujudkan penyelenggaraan bangunan gedung yang terjamin keandalan teknisnya, diperlukan pengaturan mengenai persyaratan teknis arsitektur bangunan gedung sehingga aspek keselamatan jiwa menjadi hal yang utama. Maksud dan Tujuan Acara ini dimaksudkan sebagai pedoman bagi penyelenggara bangunan gedung dan pengawas pelaksanaannya dalam pemenuhan persyaratan teknis bangunan gedung berkualitas yang memenuhi aspek keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan bagi penghuni dan/atau pengguna bangunan gedung di bidang arsitektur sesuai dengan fungsi, andal, serasi, selaras dengan lingkungannya Aktualisasinya berupa forum diskusi untuk menyerap informasi sebanyak mungkin terhadap beberapa kasus2 yang terjadi pada perencanaan bangunan gedung tinggi dan mendiskusikannya dgn tetap berada dlm koridor peraturan2 yang ada Tindak lanjutnya berupa catatan dan usulan forum diskusi untuk diajukan ke pemangku kepentingan dlm hal ini BPTSP,untuk melengkapi aturan perizinan bangunan Topik bahasan Dalam forum awal ini beberapa hal yang akan didiskusikan adalah mengenai Refugee Floor, Tangga Gunting, Akses Eksit Pelepasan - Pentingnya membahas persyaratan ketinggian diperlukannya lantai evakuasi (refugee floor) - Membahas juga Isu isu utama dlm lantai evakuasi yaitu penggunaan lantai evakuasi, apakah terbuka atau tertutup dsb Pada lantai berapa dan setiap kelipatan berapa Membahas persyaratan keterbatasan penggunaan tanga gunting a.l: Keberadaan tangga gunting untuk luasan area lantai yang terbatas dan kecil Keberadaan tangga gunting untuk ketinggian bangunan yang dibatasi - Membahas beberapa perbedaan pemahaman mengenai akses eksit pelepasan a.l: Keberadaan jalur koridor eksit pelepasan yang menghubungkan tangga kebakaran dengan area luar boleh ditembus atau digunakan sebagai koridor servis untuk menghubungkan area luar dengan area tenant melalui perantaraan pintu servis Keberadaan pintu eksit pelepasan yang membuka langsung ke area luar jika berada dibawah kantilever canopy, secondary skin/ facade, atau elemen bangunan lainnya Letak Ruang Pengendali Kebakaran terhadap Lobi Kedap asap Waktu dan Tempat Hari/Tanggal Tempat Waktu : Jumat 27 Mei 2016 : JDC Ruang Flamboyan Lt.6 : 13.30 s/d 17.00 Narasumber 1. 2. 3. 4. 5. Iwan Kurniawan (BPTSP) Panogu Silaban , IAI Tateng K D , IAI Ronald L Tambun , IAI Ardi Jahya, IAI Moderator 1. Martinus R Izaak, IAI Peserta Peserta terdiri dari anggota IAI Jakarta, calon anggota IAI Jakarta, anggota TABG-AP dam TABG -IB DKI Jakarta, Dinas Penaggulangan Kebakaran dan Penyelamatan, BPTSP, DPK dan umum Bentuk Acara Pada kesempatan ini diusulkan acara yang berbentuk Forum diskusi dlm panel dan kelompok 13.30 - 14.00 14.00 - 14.15 14.15 - 14.45 14.45 - 16.15 16.15 - 16.45 16.45 - 17.15 17.15- 17.45 17.45- 18.00 : Registrasi : Sambutan ketua IAI : Panel Utama dan bagi kelompok : Diskusi Kelompok : Coffee Break : Presentasi Produk oleh PT YKK AP Indonesia : Panel penutup dan Paparan Kelompok : Penutupan Susunan Panitia Acara Forum Regulasi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Nama Martinus R. Izaak, IAI M. Deni Desvianto, IAI Lioe Sen Fei, IAI William Buren Serworwora, IAI Angus Kurniawan Baskara Wisesa Somat Christine Mandagi Daniel Ade Christanto Dennis Musalim Dhira Pardi Emmy Lawrence Hutagaol Erik Kristanto Felandro Madjid Ibid Syahardian Ibnu Kurniawan Ifalen Ramadian Irwin Banumart Dhiat Jamila Zuraida Mahendra Ardiyanto Purwoko Pandan Seto Stefanus Adi Purnomo Stefanus Nihans Titis Nurabadi Endang Daryanti Keterangan Pengurus Bidang Regulasi Pengurus Bidang Regulasi Pengurus Bidang Regulasi Pengurus Bidang Regulasi Calon Anggota Baru Calon Anggota Baru Calon Anggota Baru Calon Anggota Baru Calon Anggota Baru Calon Anggota Baru Calon Anggota Baru Calon Anggota Baru Calon Anggota Baru Calon Anggota Baru Calon Anggota Baru Calon Anggota Baru Calon Anggota Baru Calon Anggota Baru Calon Anggota Baru Calon Anggota Baru Calon Anggota Baru Calon Anggota Baru Calon Anggota Baru Calon Anggota Baru Forum Regulasi Notulensi Kelompok A : Refuge Floor, Apakah Tebuka atau Tertutup Study Kasus (Pertamina Tower) : 1. Berdasarkan kasus Pertamina Tower, tertutup. Konsultannya menerapkan performance base, membuat analisis dan kajian tersendiri. Karena asap dapat masuk ke Refuge floor sehingga manusia dapat lemas kekurangan oksigen. Jika Refuge floor terbuka, sering kali pintu sulit dibuka karena tekanan angina dari luar (Stack Effect). Jika ruang Refuge floor tertutup, tekanan udara pintu dapat diatur pada 25 Pa hingga 27 Pa. 2. Studi di Singapura, Refuge floor terbuka, karena kajian mereka asap dari bawah tidak akan masuk kecuali ada arah angin frontal. Jadi dengan demikian harus mempertimbangkan arah angin. 3. Menurut TABG ME, Refuge floor dapat terbuka. Perencana harus tahu arah angin dan mengatur penutup atau bukaannya untuk dinding penghalang. 4. Menurut TABG AP, Refuge floor harus tertutup, karena arah angin akan berubah-ubah jika pada area urban atau airport. Pada Lantai Berapa dan Kelipatan Berapa? 1. Pada kasus Pertamina, 17 – 20 lantai, tergantung pada populasi/kepadatan di setiap lantai seperti adanya restoran atau lainnya. Analisis berdasarkan Performance Base. 2. Menurut Bpk. Ronald, adanya kajian dari HongKong, orang perlu 16 detik untuk berlari dari lantai kelantai dengan ketinggian 3,2m per lantai, diperkirakan pada 18 lantai. 3. Di HongKong 25 lantai, sedangkan Indonesia aturannya 20 – 24 lantai. 4. Perlu kajian untuk di Indonesia, memperhitungkan kecepatan para manula. Dapat Dipergunakan Untuk Ruang Apa Saja? 1. Kajian di Singapura, digunakan untuk area duduk penghuni dengan pilihan bahan yang tidak mudah terbakar, sebagai tempat bermain anak, kolam renang dan toilet. Tangga Gunting 1. Tangga gunting diperlukan keberadaannya, harus disekat dan punya pintu masing. ( lanjutan ) PERATURAN DI INDONESIA tentang keselamatan jiwa, al: 1. Peraturan di Indonesia tentang refugee floor diatur pada a. PerDa 1/2014, pasal 615 b. PerMen PU No.10/KPTS/2000\ c. PerGub No.200/2015, pasal 40& 42 d. PerKaDis No.3/2014, pasal 117 & 119 2. Peraturan di Indonesia tentang refugee floor adalah Terbuka 3. Pasal 42 PerGub 200/2015: a. Jumlah shaft pemadam kebakaran di syaratkan minimal 2 buah pada gedung dengan luas lantai 900 – 2000m2 b. Penambahan jumlah shaft pemadam kebakaran di mungkinkan selama tidak lebih dari panjang selang Damkar 38 m. 4. Peraturan tentang kewajiban refugee floor: Pasal 117 PerKaDis No.3 th 2014: Tiap bangunan gedung tinggi (24 lantai atau lebih) harus memiliki tempat berhimpun sementara untuk kondisi darurat yang terdiri dari tempat berhimpun sementara di dalam bangunan dan di luar bangunan. (Refugee Floor) Pasal 119 PerKaDis No.3 th 2014: Tempat berhimpun sementara sebagaimana dimaksud dalam pasal 117 ayat (3) huruf c merupakan lantai tempat berlindung sementara atau ru- ang evakuasi bencana (refuge floor), harus terdapat pada bangunan gedung dengan ketinggian lebih dari 24 (dua puluh empat) lantai di atas lantai dasar dan tidak dimanfaatkan untuk kegiatan lain kecualiuntuk fire service water tank and installation plant room; I. Studi oleh Konsultan Pertamina Tower, presentasi Bpk Ardi, mereka melakukan 2 kajian tentang keselamatan jiwa yakni: 1. Prescriptive Code, sesuai Hukum Indonesia, harus mengikuti apa yang sudah tertulis di peraturan. 2. Performance Based Design ( PBD ), dengan menelaah peraturan local terlebih dahulu. Ternyata hasilnya belum memenuhi aspek keselamatan pada proyek tersebut. Di lakukan analisa PBD dengan - Simulasi dengan software dan komputasi - Melakukan perbandingan antara peraturan lokal dengan peraturan lain / IBC & NFCA - Membandingkan dengan bangunan tinggi di dunia, apa saja kelengkapannya. Hasilnya menggunakan analisa IBC / NFCA karena: a. Consensus standard developed b. Adapted Local ( setiap lokasi akan berbeda analisanya ) c. Up date ( 3 tahun sekali ) Adanya sarana Life Boat Elevator, yang diaktifkan jika terjadi Full Building Evacuation, jika tidak, cukup hanya menggunakan tangga darurat dan refugee floor saja. Selain harus memperhitungkan faktor Movement Time, juga harus mempertimbangkan Pre Movement Time, waktu yang diperkirakan untuk orang bereaksi setelah mendengar tanda kebakaran kedalam keseluruhan proses evakuasi. Life Boat Elevator di buat hanya untuk melayani refugee floor tertentu tidak berhenti di setiap lantai atau refugee floor yang lain. Sehingga dapat di evakuasi keseluruhan pengguna gedung dalam 116 menit (< 2 jam). Jika tanpa Life Boat Elevation waktu evakuasi menjadi > 3,5 jam. Pemilihan refugee floor tertutup pada gedung ini, dasar pemikirannya adalah apabila menggunakan ventilasi alami, sulit mengontrol asap dan arah angin apabila lantai di bawah refugee floor terbakar. Jika refugee menggunakan ventilasi natural / alami atau terbuka, maka sering kali terjadi pintu darurat sulit dibuka karena tekanan angin dari luar yang besar. Pada refuge tertutup, menggunakan ventilasi mekanikal yang tekanannya di atur tertentu, sehingga mudah membuka pintu darurat dari area refugee floor, dan mencegah asap masuk kedalam. Pemanfaatan refugee yang tertutup di gedung ini, di pergunakan sebagian lantainya untuk Perpustakaan, office dan ME. Mereka mensyaratkan dengan bahan tahan api 2 jam dan sisa luas lantainya diperhitungkan cukup untuk evakuasi. Di peraturan Indonesia pemanfaatan area refuge floor di perbolehkan hanya untuk ME. Kajian beberapa bangunan baru di Singapura. Aturan Refugee floor di singapura adalah terbuka. Pemanfaatan area tersebut sebagian dipergunakan untuk fasiltas penghuni. Tapi sebagian lagi dipergunakan untuk unit apartement. Ada kolam, area duduk dengan bahan khusus yang tahan api, area bermain anak dan disediakan toilet. II. Presentasi bpk Ronald, A. Mengapa 24 lantai harus ada refugee floor. Kajian yg dilakukan beberapa Negara, berdasarkan Tingkat Kebugaran Dari Penghuni. Di Hongkong orang berlari dari floor to floor memakan waktu 16 detik. Tinggi floor to floor = 3,2 mtr. Orang berlari selama 5 menit sudah lelah. Dan didapat perhitungan = 18 lantai. Di Cina mengkaji, bahwa orang Cina mampu berlari 20 detik dari floor to floor. Di Indonesia belum ada kajian yang sesuai dengan kondisi fisik orang Indonesia. Developer cenderung membangun gedung hingga 23 lantai supaya tidak terkena kewajiban membuat refugee floor, karena biaya menjadi besar. Masyarakat perlu di yakinkan bahwa keberadaan refugee floor adalah tidak merugikan tetapi memberikan rasa aman kepada pengguna gedung. B. Penggunaan Refugee Floor. Di Negara Cina seperti juga di Indonesia, bahwa refugee floor tidak boleh dipergunakan keseluruhannya. Berbeda dengan Negara Singapura, Kanada, dan India. Mereka memperbolehkan penggunaan sebagian dari refugee floor tersebut. Ada Negara yang aturannya membolehkan pemanfaatan refugee floor untuk plant roof, kegiatan social, dan fasilitas penghuni. Kita belum membuat kajian itu. Sehingga nanti memiliki aturan dan syarat syarat yang khusus jika diperbolehkan memanfaatkan area refugee floor sesuai kondisi di Indonesia. Refugee yang tidak digunakan di khawatirkan akan menimbulkan masalah sosial dan kriminalitas. C. Tangga Gunting. Peraturan di Singapura bisa di hitung sebagai 2 tangga apabila antar tangga di sekat dan di pisah dinding yang bisa terproteksi 2 jam kebakaran. Dan antar pintu berjarak minimal 7 m diagonal. Sesi Tanya Jawab: Kewajiban membuat refugee floor aturannya berbeda pada beberapa Negara, spt a. Hongkong 25 lantai b. Korea 50 lantai c. Saudi Arabia 30 lantai d. India 24 lantai e. Indonesia sesuai perkadis no 3 thn 2012 adalah 24 lantai, dengan interval max per lantai. 20 Dinas Pemadam Kebakaran, Bpk. Jhon, Sedang disusun PerGub tentang Sarana Penyelamatan Jiwa, termasuk didalamnya mengatur keberadaan refugee floor. PerGub 200 thn 2015 sudah menjadi aturan perundangan dan harus dipatuhi, tentang akses pemadam kebakaran. Dimungkinkan untuk di revisi apabila ada masyarakat yang keberatan melalui biro hukum. Dan dimungkinkan pula untuk melakukan analisa berdasarkan performance base design, apabila peraturan yang ada tidak lengkap. Peserta 1, Di hongkong refuge floornya memiliki interval tiap 25 lantai. Aturan di Indonesia dengan batas 24 lantai ke atas dan dan penentuan interval tiap 20 lantai, menjadi permasalahan tersendiri utk menentukan letak refuge pada saat waktu itu mengajukan 30 lantai. Minta ada pengaturan yang standard soal interval tersebut. Berdasarkan riset di singapura yang aturan refugee nya terbuka, menyebutkan bahwa asap tidak akan masuk kecuali ada arah angin besar yang frontal. Mengenai tangga gunting minta di perjelas aturannya boleh atau tidak. Karena tangga gunting yang disekat dan kompartemennya bagus semestinya baik untuk sarana bila terjadi kebakaran. Peserta 2, Pengalaman di proyeknya, dengan refugee terbuka. Di TPAK disetujui, tapi di TPIB tidak disetujui. Mereka minta ada barrier tembok setinggi 3 m di refuge floor supaya api tidak masuk, konsekuensinya tinggi floor to floornya bertambah menjdi 5 mtr. Mengakibatkan biaya menjadi besar di konstruksinya. Semestinya ada standard aturan teknis mengenai mekanikal ventilasi atau natural ventilasi itu seperti apa, dengan syarat syarat tertentu. TABG-ME _ Bpk Sofyan Nur Bambang (Pinky) Setuju dengan refugee floor terbuka. Asap yang merambat di luar gedung belum tentu masuk kedalam bangunan, hal itu tergantung daerahnya dan mengenali arah anginnya. Arsitek harus mencari dulu karakter arah angin yang paling sering, di daerah tersebut. Serta tidak membuat bukaan yg menghadap arah angin. Contoh Negara terdekat singapura menggunakan refugee terbuka. Mengambil contoh kebakaran yang terjadi di gedung kosgoro. Dimana asap diluar gedung merayap di sepanjang dinding kaca bangunan. Setuju dengan keberadaan tangga gunting. Sebagai 2 tangga yang dipisahkan oleh sekat dinding dan masing masing tangga tertutup rapat tahan kebakaran selama 2 jam. Refugee floor di perlu di buat kajian yang sesuai dengan kondisi fisik orang Indonesia dan termasuk para manula nya. Moderator, Tangga gunting bisa menjadi solusi untuk luas bangunan yg sempit, sedangkan di dalam peraturannya di syaratkan harus menyediakan 2 tangga. Alasan ditolaknya tangga gunting di TPIB, anggota damkar sering bingung untuk memilih pintu masuk yang mana.. atau raisernya tidak ketemu di dalam shaft. Dinas Pemadam Kebakaran , Bpk Jon Vendri, Hal yang membingungkan anggota damkar jika ada 2 pintu dari shaft tangga gunting , di exit pintu pelepasan semestinya hanya ada 2 pintu sesuai aturan yg ada. Satu pintu exit yang berasal dari basement dan ada pintu exit yang lain berasal dari lantai atas. Lorongnya pun harus dibuat terpisah di lantai dasar. TABG-AP _ Bpk. Jatmiko Di Indonesia, masih harus Preciptive code, harus berdasarkan aturan tertulis. Karena jika hanya berdasarkan performance based design saja , di khawatirkan akan ada manipulasi angka sehingga hasilnya bisa berubah. Perlu ada juga fleksibelitas, seperti misalkan kelipatan 20 lantai untuk refugee floor. Apakah boleh kurang atau tidak? Apa alasannya? Untuk itu perlu kajiannya. Sistim Performance Based Design pada Pertamina Tower, bisa juga jadi acuan untuk kajian penelitian di Indonesia. Setuju dengan refugee tertutup, karena karakter angin di airport, misalkan, dan di wilayah urban dengan banyak gedung lain, maka arah anginpun akan berlainan, sehingga cukup sulit di prediksi. Kapasitas standard Indonesia 0,3 m2 per orang, untuk area refugee floor dipertanyakan ( Negara lain ada yang 0,5 m2) , mesti mempertimbangkan kerumunan orang yang sudah lelah turun tangga, berdiri semua,dan perku istirahat, sehingga itu perlu di kaji. Peraturan tentang existing building harus dibuat karena 90% bangunan yang ada di Jakarta adalah bangunan existing. TABG-AP _ Bpk Ronald Tambun, Evakuasi di Rumah Sakit seharusnya tidak ada yang menggunakan lift, jadi horizontal. Dipertanyakan, apakah luas lantai di bawah 900 m2 harus memiliki 2 shaft juga? Apa karena khawatir apabila salah satu shaft terblok atau apa… Mengingat akan menjadi biaya yang besar di konstruksinya. Bpk Zachri Zunaid, Prinsip 2 tangga terpisah, atau 2 tangga gunting, untuk keselamatan jiwa penghuni turun ke bawah, harus saling “mendukung” apabila salah satu terblok, tangga yang lain masih berfungsi. 2 tangga yang saling “melilit” dalam 1 shaft, selama tersekat, itu sudah memenuhi syarat sebagai di hitung 2 tangga yang terpisah. Tangga bersebelahan tanpa sekat hanya di hitung sebagai 1 tangga evakuasi. Bordes harus ada jika tinggi floor to floornya 3,60 mtr.s/d 3,70 mtr Perlu di kaji juga tentang peraturan anak tangga 18 – 20 cm tingginya, karena tidak ada yang menjelaskan tentang standard tangga evakuasi. Pijakan tangga sering salah diterapkan dari cara mengukurnya. Lebar 28 cm di ukur dari ujung ke ujung yg bersih dari proyeksi vertical di atasnya ( bukan ujung tepi anak tangga yang berbentuk miring). Tangga kebakaran harus massif raillingnya, jangan berjeruji. Karena di khawatirkan orang terjatuh pada proses evakuasi, maka tangga gunting bersekat dinding terpisah adalah lebih aman. Sangat setuju tangga gunting di terapkan di Indonesia. Yang perlu dikaji adalah jarak antar pintu masuk shaft (PERMEN PU = 9 mtr ) sekarang menjadi 1/3 diagonal, sebaiknya di kembalikan ke aturan minimum 9 mtr. Notulensi Kelompok B _ Exit Pelepasan : 1. Peraturan mana yang akan dipakai sehingga para konsultan tidak bingung dalam pengaplikasian dalam perancangan. Jawaban : 2. Mengenai jumlah saf pemadam kebakaran sebaiknya ditentukan juga berdasarkan tinggi bangunan ( 18 m) seperti tercantum dalam Permen PU No.26/2008 dan Pergub 200 tahun 2015, dan bukan hanya tergantung pada luas lantai. 3. Fire Staircase boleh ditransfer dengan protektif koridor dengan jarak maksimum 20 m. 4. Kompartementasi tidak diperlukan selama basement menggunakan sprinkler 5. TABG ME menyarankan lebar lift kebakaran = 2280mm 6. Terdapat dua versi tentang kedalaman resapan a. Versi 1 = 3m – menurut Perda 7/2001 ; terdapat masukan mengenai kedalaman 3m mempertimbangkan pertumbuhan akar tanaman hingga berumur 100 tahun. b. Versi 2 = 5m – menurut Permintan Gubernur DKI. Ketebalan ini menjadi isu jika terdapat plat basement di bawah tanah resapan yang berdampak pada ketebalan pelatatas basement tersebut guna menampung volume tanah setebal 3 atau 5 m. 7. Bangunan dengan ketinggian lebih dari 18m, lif kebakaran tidak harus mendarat pada level basement terbawah. 8. Salah satu upaya mengurangi luasan smoke lobby, adalah dengan memberikan tekanan udara positif pada area koridor sambil melengkapi koridor tersebut dengan bahan “fire proof” (TKA 2). 9. Dalam kasus ruangan dengan bentangan sangat lebar, yang tidak dapat menggunakan rumusan 1/3 kali panjang diagonal terpanjang, maka desain dapat disiasati dengan menyediakan lubang dan terowongan yang menyatu hingga bermuara pada eksit pelepasan di ujung bangunan. 10. Penelaahan pada lebar koridor kebakaran yang memiliki lebar 1800mm pada studi kasus tinjauan dan temuan pada gedung “Marina One” di Singapura, yang tidak memiliki lebar 1800 dan “protective corridor”. Pertanyaannya, apakah Indonesia harus serta merta berpatokan pada lebar 1800mm tersebut. 11. Forum menyarankan spesifikasi desain hendaknya diperhitungkan “performance base”ketimbang menurut secara kaku pada peraturan yang ada. berdasarkan 12. Meminta Pemangku Kebijakan untuk menetapkan aturan baku yang harus diikuti oleh semua Konsultan perencana dalam perencanaan teknis bangunan gedung Dokumentasi Forum Regulasi