BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Politik luar negeri Amerika Serikat seringkali diwujudkan dengan kebijakan yang kontroversial dan memengaruhi arah kebijakan luar negeri negara lain. Untuk itu, penting bagi Amerika Serikat agar tidak keliru dalam memutuskan kebijakan luar negerinya. Pada proses ini, ada keterlibatan think tank sebagai salah satu aktor penting. Bahkan, think tank di Amerika Serikat semakin hari semakin memperlihatkan signifikansi pengaruhnya pada proses pengambilan kebijakan luar negeri. Cara yang ditempuh think tank dalam memengaruhi para pengambil kebijakan adalah dengan memberikan rekomendasi dari riset dan fakta-fakta yang mereka temukan dan pelajari.1 Tidak jarang, think tank secara sengaja diminta untuk terlibat dalam proses pengambilan sebuah kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Ditinjau secara kuantitas, jumlah think tank di Amerika Serikat pun semakin hari semakin bertambah dan memiliki jenis yang bervariasi. Banyak dorongan permintaan untuk keterlibatan think tank datang dari pemerintah secara langsung. Salah satu kasus yang dapat digunakan untuk mengamati peran serta think tank adalah kebijakan pertahanan rudal Amerika Serikat. Isu yang berlangsung sejak tahun 1973 ini melibatkan salah satu think tank, yaitu The Heritage Foundation, pada proses pengambilan keputusan. Melalui esai berjudul Defending America yang ia terbitkan, The Heritage Foundation mendorong pengambilan keputusan untuk menarik diri dari perjanjian ABM (Anti Ballistic Missile) dan merekomendasikan pembangunan pertahanan rudal berbasis laut yang pada akhirnya diimplementasikan oleh pemerintah.2 Dalam kasus ini, The Heritage Foundation yang memang berfokus pada bidang pertahanan militer Amerika Serikat banyak terlibat dalam perdebatan mengenai isu pertahanan rudal dan telah berhasil memberikan pengaruhnya. Bahkan, sampai saat ini, sebagai salah satu bentuk peran yang berkelanjutan, The Heritage Foundation masih aktif mengeksplorasi isu pertahanan rudal Amerika Serikat. 1 H.J. Wiarda, Foreign Policy Without Illusion: How Foreign Policy-Making Works and Fails to Work in the United States, A Division of Scott Foresman and Company, Glenview, 1990, pp. 154-155. 2 B. Spring, ‘The Heritage Foundation: Influencing the Debate on Missile Defense,’ An Electronic Journal of the U.S. Department of State, vol. 7, no. 3, November 2002, pp. 32-34. Isu pertahanan rudal Amerika Serikat cenderung kontroversial dan seringkali mengundang perdebatan dalam setiap pembahasannya. Tindakan Amerika Serikat yang melepaskan diri dari ABM Treaty menimbulkan respon dari negara lain. Beberapa negara, misalnya Rusia, memandang langkah pengunduran diri Amerika Serikat sebagai ancaman yang dapat memicu munculnya perlombaan senjata. Padahal, Amerika Serikat semata-mata hanya ingin keleluasaan untuk mengembangkan persenjataan mereka demi mencegah munculnya serangan. Terlebih, serangan terorisme 11 September 2001 (9/11) semakin menguatkan Amerika Serikat untuk mundur dari perjanjian ABM demi membangun pertahanan nasional yang lebih kuat. Dapat dikatakan di sini bahwa peran The Heritage Foundation telah menjadi catatan kesuksesan tersendiri dalam sejarah think tank di Amerika Serikat. Keberhasilan tersebut membuktikan bahwa The Heritage Foundation sebagai think tank dapat berperan signifikan untuk memengaruhi proses pengambilan kebijakan, bahkan pada cakupan permasalahan yang rawan dan kontroversial sekalipun. Walaupun bukan merupakan satusatunya aktor yang terlibat dalam isu pertahanan rudal Amerika Serikat, namun, di dalam skripsi ini, penulis memfokuskan penelitian pada peranan yang dilakukan oleh The Heritage Foundation. 1.2 Pertanyaan penelitian Bagaimana The Heritage Foundation sebagai think tank memengaruhi proses perumusan kebijakan luar negeri Amerika Serikat terkait pertahanan rudal? 1.3 Landasan konseptual Think tank Sekitar tahun 1900-an, terdapat kemunculan aktor baru dalam politik luar negeri Amerika Serikat, yaitu think tank. Penggunaan istilah think tank di Amerika Serikat dimulai saat Perang Dunia II untuk merujuk pada sebuah tempat yang aman bagi para pejabat militer guna menyusun perencanaan dan strategi perang. Kemudian, konotasi sempit ini telah secara luas digunakan dalam era kontemporer untuk menggambarkan lebih dari dua ribu organisasi penelitian di Amerika Serikat.3 Perkembangan think tank gelombang pertama di Amerika NIRA’s World Directory of Think Tanks 2005, Center for Policy Research Information, National Institute for Research Advancement (NIRA), Tokyo, 2005 – sebagaimana dikutip dalam M. Ahmad, ‘Behind The Scene: The Contributions of Think Tanks in U.S. Policy-Making,’ The Dialogue, vol. 2, no. 2, 2007, p. 101. 3 Serikat diawali oleh pendirian Carnegie Endowment for International Peace (CEIP) pada tahun 1910; Hoover Institution on War, Revolution and Peace pada tahun 1919; dan Council on Foreign Relations (CFR) di tahun 1921.4 Pendirian ketiga think tank pada gelombang pertama inilah yang mengawali pertumbuhan think tank lainnya yang dewasa ini telah semakin beragam. Andrew Rich mendefinisikan think tank sebagai “independent, non-interest based, nonprofit organizations that produce and principally rely on expertise and ideas to obtain support and to influence the policymaking process.”5 Think tank berfokus pada pelaksanaan riset dengan berpikir, berdiskusi, menulis, menerbitkan, dan menyebarkan hasil riset yang mereka lakukan. Think tank dapat dikatakan sebagai sebuah pusat pembelajaran dan riset yang mengadakan berbagai seminar serta forum diskusi untuk membahas isu kebijakan publik. Akan tetapi, dalam meninjau peran think tank, mereka tidak dapat disamakan dengan kelompok kepentingan karena aktivitas yang dilakukan bukanlah kegiatan melobi pemerintah – meskipun beberapa think tank melakukannya. Think tank bukanlah yayasan maupun korporasi yang ditujukan untuk mencari keuntungan dari menjual produk. Meskipun think tank memiliki produk berupa hasil riset, tetapi hasil riset tersebut tidak digunakan untuk mendapatkan keuntungan. Jika dibandingkan dengan institusi lain, rekomendasi yang disuarakan oleh think tank umumnya akan lebih mendapat perhatian dan dipertimbangkan oleh para pengambil kebijakan.6 Hal ini dilatarbelakangi oleh profesionalitas think tank dalam penulisan riset yang dianggap lebih mendekati realitas politik dan berorientasi pada kebijakan publik. Tidak hanya itu, para profesional di dalam think tank memiliki pemahaman yang lebih mengenai keterbatasan birokrasi dan hal-hal lainnya yang dihadapi oleh para pembuat kebijakan. Menurut Strobe Talbott, terdapat lima cara kerja think tank dalam memengaruhi proses pengambilan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Think tank berperan dalam: (1) menghasilkan ide-ide orisinil dan menyediakan berbagai pilihan kebijakan, (2) menyiapkan para ahli untuk berperan dalam masing-masing fungsi pemerintahan yang spesifik, (3) memberikan tawaran berupa wadah untuk melaksanakan diskusi penting mengenai kebijakan publik, (4) mengedukasi rakyat serta para pengambil kebijakan mengenai masalah yang sedang 4 Ahmad, p. 101. A. Rich, Think Tanks, Public Policy and The Politics of Expertise, Cambridge University Press, Cambridge, 2004, p. 11. 6 Wiarda, pp. 154-157. 5 dihadapi, dan (5) berkontribusi terhadap upaya resmi yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik. Di samping kelima aktivitas ini, terdapat peran penting lainnya dari think tank yang lebih ditujukan untuk mengidentifikasi isu terbaru yang mungkin akan dihadapi oleh Amerika Serikat serta memberikan edukasi kepada para pengambil kebijakan melalui riset dan rekomendasi kebijakan.7 Ide dan ilmu pengetahuan merupakan sumber kekuatan think tank. Dengan begitu, think tank dapat membantu negara untuk menentukan kepentingan yang diwujudkan dalam sebuah kebijakan.8 Sehingga, think tank tidak perlu duduk dalam kursi pemerintahan untuk bisa memengaruhi proses perumusan kebijakan. Melalui ide dan ilmu pengetahuan yang diproduksi, think tank mampu membangun sebuah struktur baru dalam hubungannya dengan negara. Hal ini merupakan salah satu dimensi dalam structural power. Untuk bisa membawa ide serta gagasannya masuk dalam agenda pemerintah, think tank menerapkan strategi yakni revolving doors and networks, publishing and marketing, niching and branding, reputation and profile.9 Keempat strategi tersebut digunakan think tank untuk memaksimalkan pengaruh ide dalam perumusan kebijakan. Inilah yang kemudian memungkinkan adanya peranan think tank dalam isu tertentu. Perkembangan think tank di Amerika Serikat telah mengalami transformasi yang sedemikian pesat hingga menghasilkan berbagai jenis think tank. Setidaknya terdapat tiga macam think tank di Amerika Serikat, yakni academic think tank, contract think tank, dan advocacy think tank (lihat tabel berikut). Tabel 1. Jenis-jenis Think Tank di Amerika Serikat10 Jenis Academic think tank Pendanaan Sumber dana beragam (individu, organisasi, Agenda Setting Ideologi Penelitian Riset memainkan peranan yang besar Cenderung netral Didorong oleh ide, berorientasi pada masa depan, dan bertujuan untuk menyiapkan para S. Talbott, ‘The Brookings Institution: How A Think Tank Works,’ US Foreign Policy Agenda, vol. 7, no. 3, 2002, pp. 19-21. 8 A. Hasenclever, dkk., ‘Integrating Theories of International Regimes,’ Review of International Studies, vol. 26, no. 1, Januari 2000, pp. 25-26. 9 L. Nicander, ‘The Recipe for Think Tank Success: The Perspective of Insiders,’ International Journal of Intelligence and CounterIntelligence (daring), 13 Juni 2016, <https://www.academia.edu/26353502/The_Recipe_for_Think_Tank_Success_The_Perspective_of_Insiders?auto=d ownload>, diakses pada 3 Desember 2016. 10 Ahmad, p. 107. 7 pemberian orang lain, dan sebagainya) ahli untuk membantu para pengambil keputusan. Contract think tank Utamanya berasal dari pemerintah Menyesuaikan kebutuhan pemerintah Advocacy think tank Berasal dari para konstituen Sesuai dengan ideologi Cenderung netral Didorong oleh kebutuhan pemerintah, berorientasi pada masa depan, dan bertujuan untuk menyiapkan para ahli untuk membantu para pengambil keputusan. Liberal atau Didorong oleh konservatif ideologi, berfokus pada keadaan saat ini, bertujuan untuk menyiapkan para ahli guna membantu para pengambil keputusan dengan melakukan penelitian yang berbasis ideologi. Academic think tank dikenal independen, biasanya mempekerjakan akademisi yang berkualitas dan berpengalaman dalam melakukan penelitian serta telah memiliki karya-karya yang dipublikasikan dalam berbagai jurnal ilmiah. Misi utama dari academic think tank ialah untuk mempromosikan pemahaman yang lebih baik mengenai masalah sosial, ekonomi, dan politik. Contract think tank juga mempekerjakan staf yang memiliki latar belakang akademik yang baik dan melakukan penelitian dengan obyektif. Tetapi, yang membedakan dengan academic think tank adalah seluruh kegiatan dari contract think tank umumnya disponsori oleh departemen pemerintah. Para investor memainkan peranan besar dalam mengatur kerja think tank tersebut. Sementara itu, advocacy think tank berfokus untuk menyediakan informasi yang harus diketahui oleh para pembuat kebijakan mengenai isu-isu yang sedang dihadapi. Berbeda dengan kedua jenis think tank sebelumnya, advocacy think tank lebih berupaya untuk mencoba memasarkan ide-ide mereka kepada masyarakat tertentu daripada hanya sekedar mempertahankan pendekatan yang lebih obyektif.11 The Heritage Foundation merupakan salah satu advocacy think tank konservatif. The Heritage Foundation lebih menaruh fokus pada isu tradisional seputar militer dan pertahanan 11 Ahmad, pp. 104-107. keamanan Amerika Serikat.12 Dalam hal ini, the Heritage Foundation berusaha memengaruhi proses pengambilan keputusan terkait kebijakan pertahanan rudal Amerika Serikat melalui produksi ide, informasi dan rekomendasi kebijakan yang diberikan kepada para pengambil kebijakan.13 Komunitas epistemik Isu-isu dalam hubungan internasional yang semakin berkembang melatarbelakangi pertumbuhan aktor-aktor non-negara. Hal tersebut mendorong keterlibatan para profesional untuk turut andil di dalam perumusan kebijakan terkait isu-isu yang spesifik. Selain itu, terdapat ketidakpastian dalam politik internasional yang semakin mendukung kemunculan kelompok profesional untuk membantu menyediakan informasi yang diperlukan sebagai rekomendasi dalam proses pembuatan kebijakan. Kompleksitas sebuah isu berpotensi mengurangi kapabilitas seorang pengambil kebijakan sehingga memberikan celah bagi kelompok profesional untuk berperan. Kelompok profesional ini biasa dikenal dengan nama “komunitas epistemik.” Konsepsi komunitas epistemik pertama kali diperkenalkan dua dekade lalu oleh Peter Haas.14 Komunitas epistemik adalah jaringan atau kelompok yang berisikan para profesional dengan latar belakang keahlian maupun kompetensi dalam sebuah area isu yang berbeda-beda. Komunitas epistemik hadir untuk membantu mengartikulasikan penyebab dan efek dalam sebuah masalah yang kompleks, mendefinisikan kepentingan negara, serta membantu para pengambil kebijakan dalam merumuskan kebijakan tertentu. Sekalipun komunitas epistemik terdiri dari para profesional dengan beragam disiplin ilmu dan latar belakang yang berbeda, namun mereka memiliki karakter serupa: (1) satu set keyakinan normatif dan prinsip bersama, (2) keyakinan kausal untuk menjadi dasar penjelasan dari masalah yang berhubungan dengan pengambilan kebijakan dan hasil yang diinginkan, (3) intersubjektifitas sebagai kriteria yang ditetapkan secara internal untuk memvalidasi dan menimbang pengetahuan dalam bidang keahlian mereka, serta (4) kebijakan berupa praktik umum dalam menyelesaikan beragam J.G. McGan, ‘Think Tanks and Policy Advice in the US,’ Foreign Policy Research Institute (daring), August 2005, <http://www.kas.de/wf/doc/kas_7042-1522-1-30.pdf?050810140439>, diakses pada 21 Desember 2015. 13 ‘About Heritage,’ The Heritage Foundation (daring), <http://www.heritage.org/about>, diakses pada 8 Januari 2016. 14 C.A. Dunlop, ‘Chapter 19: Epistemic Communities,’ Routledge Handbook of Public Policy (daring), 12 August 2011, <https://ore.exeter.ac.uk/repository/bitstream/handle/10036/4098/Dunlop%20Epistemic%20 Communities%20Routledge%20Preprint.pdf?sequence=4>, diakses pada 19 Juni 2016. 12 masalah yang ada sesuai bidang mereka dengan memungkinkan peningkatan kesejahteraan manusia.15 Dengan penguasaan pada bidang-bidang tertentu, komunitas epistemik memiliki kapasitas dalam membangun sebuah alasan yang masuk akal secara teknis. Akan tetapi, komunitas epistemik pun memiliki mekanisme tersendiri dalam upayanya memengaruhi proses pengambilan kebijakan, yakni inovasi kebijakan (policy innovation), difusi kebijakan (policy diffusion), pemilihan kebijakan (policy selection), dan penekunan kebijakan (policy persistence). Inovasi kebijakan dilakukan dengan menentukan tujuan kebijakan dan membingkai masalah yang terhubung dengan kepentingan negara. Kemudian, dalam tahapan difusi kebijakan, anggota komunitas epistemik terlibat dalam kegiatan pertukaran informasi dan berbagi ide kebijakan baik di level nasional maupun transnasional. Setelah melakukan pembingkaian masalah dan penyebaran ide-ide kepada masyarakat, komunitas epistemik masuk dalam tahapan pemilihan kebijakan. Di sini, komunitas epistemik memfasilitasi para perumus kebijakan dengan pilihan atau rekomendasi saran mengenai alternatif kebijakan yang dapat diambil. Komunitas epistemik juga akan membujuk para perumus kebijakan untuk “berlangganan” rekomendasi kebijakan tertentu. Tahap akhir inilah yang merupakan kelanjutan dari konsensus ide, keyakinan, dan tujuan di antara anggota komunitas epistemik dalam berkontribusi. Kredibilitas tahap akhir ini menentukan berapa lama pengaruh sebuah komunitas epistemik dapat bertahan.16 Ketidakpastian yang dihadapi oleh para perumus kebijakan cenderung meningkatkan permintaan atas informasi ilmiah, teknis, maupun keahlian yang akan digunakan sebagai landasan informasi dalam proses perumusan kebijakan. Dalam kondisi ini, komunitas epistemik dinilai mampu untuk menyediakan informasi yang dibutuhkan. Pengetahuan yang relevan dan keahlian yang dimiliki, didukung dengan akses kepada para pengambil kebijakan, memberikan peluang bagi komunitas epistemik untuk mengambil peran. Hal ini juga menjadi nilai tambah bagi komunitas epistemik jika dibandingkan dengan aktor lainnya.17 P.M. Haas, ‘Introduction: Epistemic Communities and International Policy Coordination,’ International Organization, vol. 46, no. 1, 1992, p. 3. 16 E. Adler & P.M. Haas, ‘Epistemic Communities, World Order, and the Creation of a Reflective Research Program,’ International Organization, vol. 46, no. 1, 1992, pp. 375-387. 17 S.Z. Kutchesfahani, ‘Who Shapes the Politics of the Bomb? The Role of Epistemic Communities in Creating Nuclear Non-Proliferation Policies,’ LSE Global Governance Working Paper (daring), December 2010, <http://www.lse.ac.uk/globalGovernance/publications/workingPapers/WP032010.pdf>, diakses pada 19 Juni 2016. 15 Komunitas epistemik dapat menyelesaikan masalah dengan kompleksitas tinggi yang berhubungan dengan berbagai isu lain, khususnya dalam tahap desain kebijakan awal di mana masalah tersebut berada pada puncak ketidakpastian. Dalam merumuskan kebijakan, komunitas epistemik memiliki tiga cara utama yang biasa dilakukan, yakni dengan menjelaskan hubungan sebab-akibat dan memberikan saran mengenai tindakan yang mungkin untuk diambil, memberikan pencerahan atau jalan keluar terkait masalah dengan kompleksitas tinggi, dan membantu mendefinisikan kepentingan negara.18 Pada perkembangannya, komunitas epistemik melembaga di dalam setiap pusat penelitian, laboraturium di universitas, perusahaan swasta, lembaga pemerintah, think tank, dan NGO. Komunitas epistemik dan think tank memiliki perspektif yang sama, yaitu sebagai wadah produksi ilmu pengetahuan yang ditujukan untuk administrasi proses pengambilan kebijakan. Layaknya komunitas epistemik, think tank juga terlibat dalam struktur pemerintahan yang kompleks tanpa dibatasi oleh proses perumusan kebijakan.19 Kebijakan Anti Ballistic Missile antara Amerika Serikat dan Uni Soviet merupakan salah satu masalah kompleks yang dapat dijadikan contoh. Kebijakan tersebut dibentuk dan diakhiri atas peran serta dari beberapa komunitas epistemik yang berkontribusi secara langsung di dalam proses perumusan kebijakannya. Masalah ini menghadapi banyak ketidakpastian; kaitannya dengan isu-isu lain seperti keamanan, politik, dan ekonomi semakin meningkatkan kompleksitas dari masalah ini. Karena itu, untuk mengakhiri perjanjian tersebut, permintaan atas informasi, ide, dan rekomendasi dilayangkan pada salah satu komunitas epistemik yang lebih dikenal sebagai sebuah think tank konservatif, yakni the Heritage Foundation. Selanjutnya, the Heritage Foundation memainkan peran dengan menjalankan tiga cara utama dalam merumuskan kebijakan, dengan memengaruhi proses pengambilan kebijakan terkait mundurnya Amerika Serikat dari perjanjian Anti Ballistic Missile tersebut. 1.4 Argumentasi utama The Heritage Foundation adalah salah satu aktor yang memengaruhi proses pengambilan keputusan pengunduran diri Amerika Serikat dari Perjanjian ABM. Dalam memengaruhi proses pengambilan keputusan, the Heritage Foundation menghasilkan “ide-ide orisinil” melalui 18 Dunlop, pp. 2-3. J.D. Kelstrup, ‘Four Think Tank Perspectives,’ London School of Economics (daring), <http://www.lse.ac.uk/europeanInstitute/pdfs/Kelstrup_EILS.pdf>, diakses pada 12 Juni 2016. 19 pelaksanaan riset, penulisan esai, dan pelaksanaan diskusi sebagai sumber informasi untuk dipertimbangkan dalam proses pengambilan kebijakan. Selanjutnya, the Heritage Foundation terlibat dalam beberapa perdebatan dan diskusi secara langsung bersama pengambil kebijakan. The Heritage Foundation juga membuat Homeland Security Task Force yang direkomendasikan sebagai sistem perlindungan terbaik untuk Amerika Serikat merespon peristiwa 9/11 dan dipublikasikan melalui 250 surat kabar, siaran 185 radio, dan tayangan di televisi. Upaya-upaya di atas ditempuh oleh Heritage Foundation sebagai langkah mengedukasi masyarakat dan para pengambil kebijakan. Bahkan, pasca mundurnya Amerika Serikat dari Perjanjian ABM, publikasi esai serta riset milik Heritage Foundation masih terus berjalan sampai sekarang. 1.5 Sistematika penulisan Skripsi ini akan dibagi ke dalam empat bab. Setelah Bab Pendahuluan ini, Bagian Kedua akan menguraikan the Heritage Foundation sebagai think tank dan kebijakan pertahanan rudal di Amerika Serikat. Inti dari skripsi akan dituliskan pada Bab Ketiga, yakni analisis tentang bagaimana the Heritage Foundation memengaruhi proses perumusan kebijakan rudal Amerika Serikat. Skripsi akan ditutup dengan Bab Keempat yang berisikan kesimpulan dan inferens yang bisa ditarik dari temuan penelitian.