Jurnal Kesehatan Kartika 16 FAKTOR

advertisement
FAKTOR-FAKTOR PADA IBU BERSALIN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN
HIPERBILLIRUBIN PADA BAYI BARU LAHIR DI RUMAH SAKIT DUSTIRA CIMAHI TAHUN 2009
Novie E. Mauliku dan Ade Nurjanah
ABSTRAK
Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah Ikterus yaitu warna kuning yang tampak pada
kulit dan mukosa karena peningkatan bilirubin. Hiperbillirubin merupakan suatu keadaan dimana kadar
billirubin mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi menimbulkan kern ikterus dan jika tidak
ditanggulangi dengan baik akan menyebabkan keterbelakangan mental. Angka kejadian hiperbillirubin
pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira Cimahi pada pada tahun 2009 mencapai 278 kasus dari
1.139 persalinan. Faktor risiko terjadinya hiperbillirubin diantaranya pada bayi kurang bulan dan jenis
persalinan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan faktor-faktor pada ibu bersalin dengan
kejadian hiperbillirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira Tingkat II Cimahi tahun 2009.
Penelitian ini mengunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan cross-sectional. Sampel dalam
penelitian ini sebanyak 92 ibu yang bersalin di Rumah Sakit Dustira Cimahi dengan teknik pengambilan
sampel random sampling melalui teknik lotere. Pengumpulan data berupa data sekunder yaitu dari
catatan rekam medik Ruang Perinatalogi Rumah Sakit Dustira Cimahi dan dianalisis secara univariat dan
bivariat melalui chi—square test.
Hasil penelitian diperoleh bahwa kejadian Hiperbillirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira
Tingkat II Cimahi pada tahun 2009 masih relatif tinggi (34,8%) dengan sebagian besar usia kehamilan
kurang bulan (77,2%), dan jenis persalinan normal (70,7%). Hasil uji statistik diperoleh p-value 0,001 yang
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara faktor usia kehamilan ibu bersalin dan
jenis persalinan dengan kejadian Hiperbillirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira Cimahi tahun
2009.
Disarankan bagi ibu hamil agar memeriksakan kehamilannya secara rutin dan teratur dan asupan gizi
yang seimbang, dan pada ibu bersalin disarankan untuk memberikan ASI Eksklusif sedini mungkin. Selain
itu, kepada petugas kesehatan di Rumah Sakit Dustira agar menganjurkan setiap ibu bersalin untuk
melakukan inisiasi menyusu dini (IMD) sebagai upaya pencegahan Hiperbillirubin pada bayi baru lahir.
Kata kunci
Kepustakaan
: Cross—sectional, Faktor-faktor Ibu Bersalin, Hiperbillirubin
: 29 (1995-2009)
A. PENDAHULUAN
Derajat kesehatan masyarakat dapat diukur dengan berbagai indikator kesehatan, antara lain
angka kematian perinatal, angka kematian bayi, dan angka kematian balita. Kematian bayi adalah
kematian yang terjadi saat setelah bayi lahir sampai bayi belum berusia tepat satu tahun. Banyak
faktor yang dikaitkan dengan kematian bayi. Secara garis besar, dari sisi penyebabnya kematian bayi
ada dua macam yaitu endogen dan eksogen. Kematian bayi endogen atau yang umum disebut
dengan kematian neonatal adalah kematian bayi yang terjadi pada bulan pertama setelah dilahirkan
dan umumnya disebabkan oleh faktor-faktor yang dibawa selama kehamilan. Kematian bayi eksogen
atau kematian post neonatal adalah kematian bayi yang terjadi setelah usia satu bulan sampai
menjelang usia satu tahun yang disebabkan oleh faktor-faktor yang berkaitan dengan pengaruh
lingkungan luar (Depkes RI, 2008).
Jurnal Kesehatan Kartika
16
Angka kematian bayi (AKB) merupakan indikator untuk menentukan derajat kesehatan
masyarakat. AKB merujuk kepada jumlah bayi yang meninggal pada fase antara kelahiran hingga
bayi belum mencapai umur 1 tahun per 1.000 kelahiran hidup. Menurut World Health Organization
(WHO) AKB sebagian besar disebabkan oleh asfiksia (20-60%), infeksi (25-30%), bayi dengan berat
lahir rendah (25-30%), dan trauma persalinan (5-10%) (Depkes RI, 2008).
Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah Ikterus yaitu warna kuning yang
tampak pada kulit dan mukosa karena peningkatan bilirubin. Biasanya mulai tampak pada kadar
bilirubin serum ≥5 mg/dL. Ikterus biasanya fisiologis, namun pada sebagian kasus dapat
menyebabkan masalah seperti yang paling ditakuti yaitu ensefalopati bilirubin (Sastroasmoro, 2007).
Ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai kemikterus) merupakan komplikasi ikterus
neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan
gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat
mempengaruhi kualitas hidup (Sukadi, 2002)
Hiperbillirubin adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada hasil
laboratorium, yang menunjukkan peningkatan kadar billrubin yaitu kehamilan >37 minggu dengan
hasil billirubin serum 12,5 mg/dL dan kehamilan <37 minggu dengan hasil serum >10 mg/dL.
Hiperbillirubin merupakan suatu keadaan dimana kadar billirubin mencapai suatu nilai yang
mempunyai potensi menimbulkan kemikterus dan jika tidak ditanggulangi dengan baik akan
menyebabkan keterbelakangan mental (Wiknjosastro, 2002).
Hiperbillirubin ditemukan dalam 24 jam pertama setelah lahir dengan mengenal faktor-faktor
risiko yang mempengaruhi ikterus. Diharapkan penatalaksanaan oleh tenaga kesehatan dapat
mencegah terjadinya ikterus yaitu dengan adanya pengawasan antenatal yang baik serta pertolongan
persalinan yang aman dengan berpedoman pada asuhan sayang ibu sehingga mampu menurunkan
angka kejadian ikterus neonatorum. Jika tidak ditanggulangi dengan baik maka 75% bayi
hiperbillirubin akan meninggal dan dampak yang akan terjadi apabila bayi mengalami hiperbillirubin
80% dari bayi yang hidup akan mengalami keterbelakangan mental (Behman, 2006).
Menurut Sukadi (2002) bahwa penyebab hiperbillirubin saat ini masih merupakan faktor
predisposisi. Yang sering ditemukan antara lain dari faktor maternal seperti komplikasi kehamilan
(inkontabilitas golongan darah ABO dan Rh), dan pemberian air susu ibu (ASI), faktor perinatal
seperti infeksi, dan trauma lahir (cephalhermaton), dan faktor neonatus seperti prematuritas,
rendahnya asupan ASI, hipoglikemia, dan faktor genetik (Sastroasmoro, 2007). Selain itu, faktor risiko
terjadinya hiperbillirubin diantaranya pada bayi kurang bulan atau kehamilan usia <37 minggu, bayi
dengan berat lahir rendah (BBLR) dan jenis persalinan (Sukadi, 2002).
Menurut studi penelitian didapatkan ikterus dan hiperbillirubinemia terjadi pada 82% dan 18,6%
bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus dan hiperbillirubinemia
ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128 kematian neonatal (8,5%)
dari 1509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait hiperbillirubinemia. Penerimaan
informasi bahwa alat vakum ekstraksi lebih aman dibandingkan forsep di Amerika Serikat lebih lambat
dibandingkan dengan di negara Eropa. Akan tetapi pada tahun 1992, di Amerika Serikat, angka
penggunaan vakum ekstraksi pada persalinan melebihi angka penggunaan forsep. Bagaimanapun,
secara keseluruhan pada akhir dua dekade terakhir angka kelahiran dengan operasi atau tindakan
persalinan pervaginam semakin menurun, sementara itu angka persalinan dengan seksio sesarea
juga mengalami peningkatan. Meskipun demikian 10% dari seluruh kelahiran di Amerika Serikat tiap
tahun menggunakan vakum ekstraksi (Widya, 2007).
Hiperbillirubin pada bayi baru lahir sampai saat ini masih banyak terjadi bukan hanya dari
persalinan yang ditolong oleh Bidan Praktek Swasta (BPS) dan atau dukun paraji saja, melainkan
Jurnal Kesehatan Kartika
17
juga persalinan yang ditolong oleh Dokter di Rumah Sakit pun masih terdapat kejadian bayi baru lahir
dengan hiperbillirubin, salah satunya adalah di Rumah Sakit Dustira Tingkat II Cimahi. Angka
kejadian hiperbillirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira Tingkat II Cimahi pada tahun 2008
mencapai 126 kasus dari 1.096 persalinan, sedangkan pada tahun 2009 mencapai 278 kasus dari
1.139 persalinan yang terdiri dari 197 kasus yang lahir Rumah Sakit Dustira dan 81 kasus dari
rujukan. Dari 278 kasus hiperbillirubin tersebut terdapat satu kasus kematian bayi yang diakibatkan
oleh Kern Ikterus (Ruang Perinatalogi Rumah Sakit Dustira Cimahi Tahun 2009).
Masih tingginya angka kejadian Hiperbillirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira
Cimahi, maka penulis tertarik untuk mengetahui “Apakah ada hubungan faktor-faktor pada ibu
bersalin dengan kejadian hiperbillirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira Cimahi tahun
2009”.
Tujuan penelitian ini adalah untuk 1). mengetahui gambaran kejadian hiperbillirubin pada bayi
baru lahir, frekuensi umur kehamilan pada ibu hamil, dan frekuensi jenis persalinan; 2). mengetahui
hubungan umur kehamilan dengan kejadian hiperbillirubin pada bayi baru lahir. 3). mengetahui
hubungan jenis persalinan dengan kejadian hiperbillirubin pada bayi baru lahir.
B. METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik yaitu suatu penelitian survei atau
penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan terjadi. Kemudian
melakukan analisis dinamika korelasi antara fenomena, baik antar faktor risiko dengan faktor efek
(Notoatmodjo, 2005). Sedangkan rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian
dengan pendekatan cross-sectional yaitu mempelajari hubungan antara faktor-faktor yang
berhubungan dengan kejadian hiperbillirubin pada bayi baru lahir. Observasi atau pengukuran
terhadap variabel bebas dan variabel tergantung dilakukan sekali dalam waktu bersamaan di Rumah
Sakit Dustira Tingkat II Cimahi pada tahun 2010.
Adapun kerangka konsep penelitian sebagai berikut di bawah ini:
Faktor Maternal:
Komplikasi kehamilan
-
Umur Kehamilan
Faktor Perinatal:
- Jenis Persalinan
-
HIPERBILLLIRUBIN
Infeksi dan trauma lahir
PADA BAYI BARU LAHIR
Faktor Neonatus:
Prematuritas
Rendahnya asupan ASI
Hipoalbuminemia
Asfiksia
Keterangan
:
: Diteliti
: Tidak Diteliti
Gambar 1 Bagan Kerangka Konsep Penelitian
Jurnal Kesehatan Kartika
18
Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara optimal berdasarkan karakteristik
yang diobservasi, memungkinkan peneliti melakukan observasi atau pengukuran secara cermat
terhadap suatu obyek atau fenomena (Notoatmodjo, 2003). Definisi operasional dari masing-masing
variabel penelitian di atas dapat dilihat pada tabel 3.1 di bawah ini.
Tabel 1. Definisi Operasional
Definisi
Operasional
Lamanya usia
kehamilan ibu sampai
dengan melahirkan
Alat
Hasil Ukur
Ukur
Rekam 1. Kurang bulan
medik
(<37 minggu)
2. Cukup bulan
(37-42 minggu)
Jenis
persalinan
Jenis persalinan
yang dilakukan ibu
di RS Dustira
Rekam 1. Normal/Spontan
medik 2. Tindakan
(SC & Vakum)
Nominal
Hiperbillirubin
pada bayi
baru lahir
Adanya
peningkatan
billirubin pada bayi
baru lahir
Rekam 1. Ya (>10 mg/dL)
medik 2. Tidak (≤10 mg/dL)
Ordinal
No.
Variabel
1.
Umur
kehamilan
(masa gestasi)
2.
3.
Skala
Ordinal
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari objek atau subjek yang menjadi kuantitas
dan karakterisik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya (Sugiyono, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu yang melahirkan di
Rumah Sakit Dustira Cimahi pada tahun 2009 yaitu sebanyak 1.139 orang. Sampel adalah sebagian
yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi
(Notoatmodjo, 2005). Berdasarkan hasil perhitungan, maka jumlah sampel dalam penelitian ini
berjumlah 92 orang.Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah random
sampling dengan cara mengundi anggota populasi (lottery technique).
Analisis data adalah mengolah data yang telah terkumpul dengan menggunakan rumus atau
aturan yang sesuai dengan desain penelitian yang digunakan sehingga diperoleh suatu kesimpulan
(Arikunto, 2006).
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua jenis analisis yaitu Analisis Univariat,
yaitu analisis dilakukan untuk mendapatkan gambaran distribusi frekuensi dan proporsi dari masingmasing variabel yang diteliti sehingga akan diperoleh hasil analisis untuk masing-masing variabel yang
diteliti dalam bentuk tabel univarian dan setelah itu dilakukan penafsiran dengan asumsi-asumsi
pribadi sehingga membentuk penemuan ilmiah (Scientific Finding) (Notoatmodjo, 2003). Sedangkan
Analisis bivariat adalah analisis untuk membuktikan adanya hubungan yang bermakna antara variabel
bebas dengan variabel terikat maka dilakukan uji statistik dengan metoda Chi Square (x2).
Jurnal Kesehatan Kartika
19
C. HASIL PENELITIAN dan PEMBAHASAN
1. Analisis Univariat
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kejadian Hiperbillirubin pada Bayi Baru Lahir dan Karakteristik Ibu
Bersalin di Rumah Sakit Dustira Cimahi Tahun 2009
Variabel
1. Kejadian Hiperbillirubin
Hiperbillirubin
Tidak Hiperbillirubin
Total
2. Usia Kehamilan
Kurang bulan (<37 minggu)
Cukup bulan (37-42 minggu)
Total
3. Jenis Persalinan
Normal
Tindakan
Total
Frekuensi (n)
Prosentase (%)
32
60
92
34,8
65,2
100
21
71
92
22,8
77,2
100
65
27
92
70,7
29,3
100
Tabel 1 menunjukkan bahwa dari 92 responden yang bersalin di RS Dustira sebanyak 32
orang (34,8%) bayinya mengalami Hiperbillirubin. Dan Berdasarkan karakteristik Ibu bersalin,
sebagian besar yaitu 71 orang (77,2%) bersalin dengan usia kehamilan cukup bulan (37-42
minggu), dan sebagian besar yaitu 65 orang (70,7%) bersalin secara normal atau spontan.
Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Behman (2006) bahwa Hiperbillirubin
ditemukan dalam 24 jam pertama setelah lahir dengan mengenal faktor-faktor risiko yang
mempengaruhi ikterus dan jika tidak langsung ditanggulangi dengan baik maka 75% bayi
Hiperbillirubin akan meninggal dan dampak yang akan terjadi apabila bayi mengalami
Hiperbillirubin 80% bayi yang hidup akan mengalami keterbelakangan mental. Selain itu,
Sastroasmoro (2007) menyebutkan bahwa salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir
adalah Ikterus yaitu warna kuning yang tampak pada kulit dan mukosa karena peningkatan
bilirubin. Biasanya mulai tampak pada kadar bilirubin serum ≥5 mg/dL. Ikterus biasanya fisiologis,
namun pada sebagian kasus dapat menyebabkan masalah seperti yang paling ditakuti yaitu
ensefalopati bilirubin.
Data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita
ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada neonatus
produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi
karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek (Surjono, 2007).
Menurut Sukadi (2002) bahwa penyebab hiperbillirubin saat ini masih merupakan faktor
predisposisi. Yang sering ditemukan antara lain dari faktor maternal seperti komplikasi
kehamilan (inkontabilitas golongan darah ABO dan Rh), dan pemberian air susu ibu (ASI), faktor
perinatal seperti infeksi, dan trauma lahir (cephalhermaton), dan faktor neonatus seperti
prematuritas, rendahnya asupan ASI, hipoglikemia, dan faktor genetik (Sastroasmoro, 2007).
Selain itu, faktor risiko terjadinya hiperbillirubin diantaranya pada bayi kurang bulan atau
kehamilan usia <37 minggu, bayi dengan berat lahir rendah (BBLR) dan jenis persalinan (Sukadi,
2002).
Jurnal Kesehatan Kartika
20
Kejadian Hiperbillirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira
berdasarkan catatan rekam medik sebagian besar disebabkan oleh
inkompatibilitas golongan darah. Sedangkan bayi kejadian Hiperbillirubin
sebagian besar disebabkan oleh penundaan pemberian makan atau
rendahnya asupan ASI.
Cimahi tahun 2009
trauma lahir dan
dari pasien rujukan
Late Feeding dan
2. Analisis Bivariat
a. Hubungan Faktor Usia Kehamilan dengan Kejadian Hiperbillirubin pada Bayi Baru
Lahir
Tabel 3. Hubungan Faktor Usia Kehamilan dengan Kejadian Hiperbillirubin pada Bayi
Baru Lahir di Rumah Sakit Dustira Cimahi Tahun 2009
Kelompok
Usia Kehamilan
Kurang bulan
Cukup bulan
Jumlah
Kejadian Hiperbillirubin
Tidak
HiperHiperbillirubin
billirubin
n
%
n
%
20 95,2
1
4,8
12 16,9 59 83,1
32 34,8 60 65,2
Total
n
21
71
92
%
100
100
100
p
value
OR
(95% CI)
0,001
0,010
(0,001-0,083)
Tabel 3 di atas menunjukkan bahwa dari 21 responden yang bersalin dengan umur
kehamilan kurang bulan (<37 minggu) sebagian besar yaitu sebanyak 20 orang (95,2%) bayinya
mengalami Hiperbillirubin, sedangkan pada 71 responden yang bersalin dengan umur kehamilan
cukup bulan (37-42 minggu) sebagian besar yaitu sebanyak 59 orang (83,1%) bayinya tidak
mengalami Hiprebillirubin.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,001 dimana lebih kecil dari nilai alpha (α=0,05), hal ini
berarti terdapat hubungan yang signifikan antara faktor umur kehamilan dengan kejadian
Hiperbillirubin pada bayi baru lahir. Pada tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai odd ratio (OR)
atau peluang risiko sebesar 0,010 dengan interval 0,001-0,083, hal ini berarti bayi baru lahir
dengan masa gestasi kurang bulan (37-42 minggu) mempunyai peluang risiko sebesar 0,010 kali
mengalami Hiperbillirubin.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden yang bersalin dengan usia kehamilan
kurang bulan (<37 minggu) sebagian besar (95,2%) bayinya mengalami Hiperbillirubin,
sedangkan responden yang bersalin dengan usia kehamilan cukup bulan (37-42 minggu)
sebagian besar (83,1%) bayinya tidak mengalami Hiprebillirubin. Hal ini menjelaskan bahwa usia
kehamilan ibu bersalin merupakan faktor risiko terhadap kejadian Hiperbillirubin pada bayi lahir,
karena usia kehamilan merupakan faktor yang penting dan penentu kualitas kesehatan bayi yang
dilahirkan, karena bayi baru lahir dari usia kehamilan yang kurang berkaitan dengan berat lahir
rendah dan tentunya akan berpengaruh kepada daya tahan tubuh bayi yang belum siap
menerima dan beradaptasi dengan lingkungan di luar rahim sehingga berpotensi terkena
berbagai komplikasi salah satunya adalah Ikterus Neonatorum yang dapat menyebabkan
Hiperbillirubin.
Hal ini sesuai dengan penelitian Widya (2007) bahwa ikterus dan hiperbillirubinemia terjadi
pada 82% dan 18,6% bayi cukup bulan. Sedangkan pada bayi kurang bulan, dilaporkan ikterus
dan hiperbillirubinemia ditemukan pada 95% dan 56% bayi. Tahun 2003 terdapat sebanyak 128
kematian neonatal (8,5%) dari 1.509 neonatus yang dirawat dengan 24% kematian terkait
Jurnal Kesehatan Kartika
21
Hiperbillirubinemia. Berdasarkan hal tersebut, maka umur kehamilan kurang bulan mempunyai
keeratan hubungan dengan kejadian Hiperbillirubin pada bayi baru lahir
Wiknjosastro (2002) menyebutkan bahwa bayi yang lahir dengan kehamilan kurang dari 37
minggu terjadi imaturitas enzimatik, karena belum sempurnanya pematangan hepar sehingga
menyebabkan hipotiroidismus, dan menurut Behman (2006) bahwa bayi prematur lebih sering
mengalami hiperbillirubin dibandingkan bayi cukup bulan. Hal ini disebabkan oleh faktor
kematangan hepar sehingga konjugasi billirubin indirek menjadi billirubin direk belum sempurna.
Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir <2500 gram atau usia
gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu-minggu pertama kehidupannya.
Hiperbillirubin pada bayi baru lahir terdapat pada 25-50% neonatus cukup bulan dan lebih tinggi
lagi pada neonatus kurang bulan. Ikterus pada bayi baru lahir merupakan suatu gejala fisiologis
atau dapat merupakan hal patologis (Saifuddin, 2002).
Menurut Siswono (2004) bahwa usia kehamilan sangat menentukan kualitas tumbuh
kembang bayi yang dilahirkan. Bayi yang dilahirkan pada usia kehamilan dini dengan berat lahir
yang sangat rendah berpotensi terkena berbagai komplikasi yang bisa dibawa hingga menjadi
manusia dewasa. Karena itu, memperpanjang kehidupan dalam rahim merupakan jalan terbaik
agar bayi dapat bertumbuh kembang secara optimal. Dua dari tiga kematian pada masa
neonatus (bayi baru lahir sampai usia empat minggu) biasanya terkait dengan kelahiran prematur
dan berat lahir rendah.
b. Hubungan Faktor Jenis Persalinan dengan Kejadian Hiperbillirubin pada Bayi Baru
Lahir
Tabel 4. Hubungan Faktor Jenis Persalinan dengan Kejadian Hiperbillirubin pada Bayi
Baru Lahir di Rumah Sakit Dustira Cimahi Tahun 2009
Jenis
Persalinan
Normal
Tindakan
Jumlah
Kejadian Hiperbillirubin
Tidak
HiperHiperbillirubin
billirubin
n
%
n
%
17
26,2 48 73,8
15
55,6 12 44,4
32
34,8 60 65,2
Total
n
65
27
92
%
100
100
100
p
value
OR
(95% CI)
0,014
0,283
(0,111-0,725)
Tabel 4 di atas menunjukkan bahwa dari 65 responden yang bersalin dengan proses
persalinan normal sebagian besar yaitu sebanyak 48 orang (73,8%) bayinya tidak mengalami
Hiperbillirubin, sedangkan pada 27 responden yang bersalin dengan dengan proses persalinan
tindakan sebagian besar yaitu sebanyak 15 orang (55,6%) bayinya mengalami Hiprebillirubin.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,014 dimana lebih kecil dari nilai alpha (α=0,05), hal ini
berarti terdapat hubungan yang signifikan antara faktor jenis persalinan dengan kejadian
Hiperbillirubin pada bayi baru lahir. Pada tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai odd ratio (OR)
atau peluang risiko sebesar 0,283 dengan interval 0,111-0,725, hal ini berarti ibu bersalin dengan
proses persalinan normal memiliki peluang risiko sebesar 0,283 kali terhadap kejadian
Hiperbillirubin pada bayi baru lahir.
Jurnal Kesehatan Kartika
22
Sesuai dengan penelitian Widya (2007) yang melaporkan bahwa ikterus neonatorum dan
Hiperbillirubin dapat terjadi pada setiap proses persalinan, baik persalinan normal maupun
persalinan dengan tindakan. Sedangkan menurut Savitri (2009) dalam penelitiannya melaporkan
bahwa persalinan dengan tindakan dapat menimbulkan komplikasi baik pada ibu maupun janin.
Komplikasi yang dapat terjadi pada ibu antara lain adanya perdarahan, trauma jalan lahir, dan
infeksi. Hal serupa dikemukakan oleh Indiarti (2006) dalam penelitiannya bahwa bayi yang
dilahirkan dengan tindakan, kemungkinan pada saat lahir tidak langsung manangis dan
keterlambatan menangis ini mengakibatkan kelainan hemodinamika sehingga depresi
pernapasan dapat menyebabkan hipoksia di seluruh tubuh yang berakibat timbulnya asidosis
respiratorik/metabolik yang dapat mengganggu metabolisme billirubin.
Sarjono (2007) menyebutkan bahwa komplikasi yang terjadi akibat persalinan dengan
tindakan dapat menimbulkan berbagai gangguan dalam masa perinatal, dimana pada masa ini
merupakan masa penting dalam awal kehidupan neonatus dan merupakan masa-masa rawan
karena organ-organ tubuh belum matur sehingga apabila terjadi gangguan pada masa perinatal
dapat mengakibatkan hambatan tumbuh kembang neonatus itu sendiri.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis mengasumsikan bahwa jenis persalinan dapat
mempengaruhi status kesehatan bayi yang akan lahir baik itu persalinan normal maupun
tindakan, karena kedua jenis persalinan tersebut mempunyai peluang risiko terhadap kejadian
Hiperbillirubin pada bayi baru lahir.
D. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan pada bab sebelumnya maka penulis dapat
menarik beberapa kesimpulan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
a.
b.
c.
Kejadian Hiperbillirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira Cimahi Tahun 2009
masih relatif tinggi yaitu sebesar 34,8% dengan sebagian besar usia kehamilan kurang
bulan (37 minggu) yaitu sebesar 77,2%, dan jenis persalinan normal sebesar 70,7%.
Terdapat hubungan yang signifikan (p=0,001) antara faktor usia kehamilan ibu bersalin
(kurang bulan) dengan kejadian Hiperbillirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira
Cimahi tahun 2009.
Terdapat hubungan yang signifikan (p=0,014) antara jenis persalinan (persalinan
tindakan) dengan kejadian Hiperbillirubin pada bayi baru lahir di Rumah Sakit Dustira
Cimahi tahun 2009.
2. Saran
a. Kepada ibu hamil disarankan untuk memeriksakan kehamilannya secara rutin dan teratur
dan asupan gizi yang seimbang, dan pada ibu bersalin disarankan untuk memberikan ASI
Eksklusif sedini mungkin sebagai upaya pencegahan Hiperbillirubin pada bayi baru lahir.
b. Kepada petugas kesehatan khususnya di Rumah Sakit Dustira disarankan agar
menganjurkan kepada setiap ibu bersalin untuk melakukan inisiasi menyusu dini (IMD)
dan memberikan pendidikan kesehatan pada ibu bersalin khususnya mengenai cara
menyusui yang benar, pemberian ASI Eksklusif tanpa jadwal, dan mengenai tanda
bahaya pada bayi baru lahir. Selain itu, dalam upaya mencegah dan mengantisipasi
timbulnya ikterus patologis yang akan menyebabkan Hiperbillirubin maka disarankan agar
melakukan berbagai penanganan yang cepat dan akurat sedini mungkin.
Jurnal Kesehatan Kartika
23
c.
Kepada peneliti lain diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai acuan untuk
melakukan penelitian berikutnya dan dalam penelitian selanjutnya diharapkan agar lebih
menggali faktor-faktor lain yang berhubungan dan mempengaruhi terhadap kejadian
Hiperbillirubin pada bayi baru lahir sehingga mendapatkan hasil penelitian yang lebih
komprehensif dan akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto (2003). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta : Rineka Cipta.
_______ (2006). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi V. Jakarta : Rineka Cipta.
Ayurai (2009). Ikterus Neonatorum. Tersedia di http://askep-askeb-kita.blogspot.com/ (diperoleh tanggal
23 Februari 2010).
Behman, dkk (2006). Nelson : Ilmu Kesehatan Anak. Jilid 1. Edisi Revisi. Jakarta EGC. Comprehensive
Maternity Nursing. Philadelphia : J.B. Lippincot Company.
Depkes RI (2007). Profil Kesehatan Indonesia 2006. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.
Tersedia di http://www.depkes.go.id.
_________ (2008). Profil Kesehatan Indonesia 2008. Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. Tersedia di
http://www.depkes.go.id
Dinkes Kab. Bandung (2009). Profil Kesehatan Kabupaten Bandung Tahun 2008. Dinas Kesehatan
Kabupaten Bandung.
Handoko, I.S. (2003). Hiperbilirubinemia. Klinikku. Cermin Dunia Kedokteran. Tersedia di
http://www.klinikku.com/pustaka/dasar/hati/hiperbilirubinemia3.html. (diakses tanggal 27
Februari 2010).
Harahap (2000). Kegawatan Medis Neonatus. Seminar Sehari Peranan Rujukan dalam Meningkatkan
Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta. Hal 1-13. Cermin Dunia Kedokteran (Nuchsan Umar Lubis)
: Penanggulangan Perinatal Risiko Tinggi. Staf Penanggulangan Bayi Risiko Tinggi, Bagian
Perinatologi Anak Rumah Sakit Umum Langsa, Aceh Timur (Diakses tanggal 8 Maret 2010).
Jumiarni (1995). Asuhan Perawatan Perinatal. Jakarta : EGC.
Justi (2010). Landasan Teori Persalinan. http://www.wordpress.com.weblog. (Diakses tanggal 02 Maret
2010).
Kartono (2000). Kembung pada Bayi Baru Lahir. Radiologi Klinis dan Ultrasonografi pada Bayi dan Anak.
Pendidikan Tambahan Berkala Ilmu Kesehatan Anak ke XII FKUI. Jakarta. Hal 45-55. Cermin
Dunia Kedokteran (Nuchsan Umar Lubis) : Penanggulangan Perinatal Risiko Tinggi. Staf
Penanggulangan Bayi Risiko Tinggi, Bagian Perinatologi Anak Rumah Sakit Umum Langsa,
Aceh Timur (Diakses tanggal 8 Maret 2010).
Kosim, dkk. (2008). Buku Ajar Neonatologi Anak. Edisi Pertama. Jakarta : Ikatan Dokter Indonesia.
Markum (2000). Ilmu Kesehatan Anak. Buku I. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jurnal Kesehatan Kartika
24
Milis (2004). Hubungan Bayi Kuning dengan Bilirubin. (Available at http://www.kafemuslimah.com. 22
Maret 2010)
Monintja, H.E. (2000). Peningkatan Pelayanan Kesehatan pada Janin dan Neonatus. Simposium
Perinatologi Nasional II. Semarang. Hal 72-3. Cermin Dunia Kedokteran (Nuchsan Umar
Lubis) : Penanggulangan Perinatal Risiko Tinggi. Staf Penanggulangan Bayi Risiko Tinggi,
Bagian Perinatologi Anak Rumah Sakit Umum Langsa, Aceh Timur (Diakses tanggal 8 Maret
2010).
Mochtar (2001). Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi dan Obstetri Patologi. Jakarta : EGC.
Notoatmodjo (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
Saifuddin (2002). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Jakarta : JNPKKR
– POGI bekerjasama dengan Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Sastrawinata (2005). Obstetri Fisiologi. Bandung : Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Solahudin,
G. (2006). Kapan Bayi Kuning Perlu Terapi?. Tersedia di http://tabloidnakita.com/artikel.php3?edisi=08392&rubrik=bayi. (diakses tanggal 27 Februari 2010).
Sukadi (2002). Diktat Kuliah Perinatologi: Ilmu Kesehatan Anak. Fakultas Kedokteran Universitas
Padjdjaran. Rumah Sakit Hasan Sadikin. Bandung.
Surjono, A. (2007). Hiperbilirubinemia pada Neonatus: Pendekatan Kadar Bilirubin Bebas. Berkala Ilmu
Kedokteran.
Suradi (2007). The Association of Neonatal Jaundice and Breast-Feeding. Paedatri Indonesia.
Surasmi (2003). Perawatan Bayi Risiko Tinggi. Cetakan I. Jakarta : EGC.
Wanamarta (2000). Diagnosa dan Penatalaksanaan Ileus Obstruktif Acut. Simposium Gastro Enterologi.
Surabaya. Hal 49-51. Cermin Dunia Kedokteran (Nuchsan Umar Lubis) : Penanggulangan
Perinatal Risiko Tinggi. Staf Penanggulangan Bayi Risiko Tinggi, Bagian Perinatologi Anak
Rumah Sakit Umum Langsa, Aceh Timur (Diakses tanggal 8 Maret 2010).
Widya (2007). Kelainan pada Bayi Baru Lahir : Dari Bayi Kuning Sampai Penyakit “Warisan”. http://askepaskeb-kita.blogspot.com/ (diperoleh tanggal 23 Februari 2010).
Wiknjosastro (2002). Ilmu Kebidanan. Jakarta : JNPKKR – POGI bekerjasama dengan Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
___________ (2005). Ilmu Kebidanan. Edisi Revisi. Jakarta : JNPKKR – POGI bekerjasama dengan
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Jurnal Kesehatan Kartika
25
Download