Jogjakarta Terbaik, Surabaya Terburuk

advertisement
14
PRO OTONOMI
Jawa Pos
Selasa 5 Januari 2010
KOKI
Iklim Usaha setelah Sembilan Tahun Otonomi Daerah
Investor Tak Peduli Birokrasi
Jogjakarta Terbaik, Surabaya Terburuk
DOK JAWA POS
Kinerja birokrasi pemda diindikasikan turut memengaruhi
iklim perekonomian suatu
daerah. Seberapa besar pengaruhnya? Berikut wawancara
dengan M. Ikhsan Modjo, ekonom INDEF dan dosen Fakultas
Ekonomi Universitas Airlangga.
Bagaimana Anda melihat laporan Doing Business dan Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah ini?
Sebenarnya, ini sudah menjadi rahasia umum bagi kita yang
mengamati perkembangan ekonomi, bisnis, dan investasi di daerah.
Misalnya, Surabaya. Investor datang ke Surabaya sebenarnya karena
faktor captive market. Artinya, pasar dan peluang bisnis di Surabaya
selalu menarik investor untuk masuk. Investor pun tidak ambil pusing
dengan kondisi birokrasi pemda. Ekstremnya, tanpa kerja birokrasi
pemda pun, investor akan datang dengan sendirinya.
Jadi, faktor birokrasi tidak berdampak terhadap iklim investasi?
Dalam kasus Kota Surabaya, itu yang terjadi. Hal ini sebenarnya
yang disayangkan. Jika saja ada upaya yang lebih keras dan pembenahan lebih dari pemerintah kota untuk memperbaiki kondisi
birokrasi, iklim investasi akan semakin pesat.
Upaya itu, konkretnya bagaimana?
Misalnya dalam soal pelayanan memulai usaha (starting business). Di Sidoarjo jauh lebih maju karena sudah ada pelayanan
terpadu satu pintu (PTSP). Sedangkan di Surabaya justru belum
ada pelayanan yang one-stop tersebut. Ini yang perlu dipertanyakan.
Menurut saya, inilah yang menjadi titik lemah Kota Surabaya.
Dengan kata lain, Anda memercayai hasil survei ini?
Saya berpendapat, survei ini sedikit banyak akurat dan semakin menunjukkan bahwa motivasi pemerintah kota masih kurang dalam hal melayani
investor. Sebab, Kota Surabaya sudah diuntungkan dengan daya tarik
market yang sangat besar. Kondisi ini saya kira menjadi tugas rumah
bagi wali kota berikutnya. Misalnya, siapa pun nanti yang menjadi wali
kota harus berani memasukkan masalah penyederhanaan dalam memulai
usaha itu dalam program seratus harinya. Menurut saya, momentumnya
saat ini juga tepat. Sebab, pemerintah pusat juga sedang berupaya memangkas birokrasi perizinan investasi di daerah. (redhi/agm)
Infrastruktur Paling Dikeluhkan
PADA 2008 Komite Pemantau
Pelaksanaan Otonomi Daerah
(KPPOD) dan The Asia Foundation (TAF) juga merilis laporan
indeks tata kelola ekonomi daerah.
Laporan itu berisi tentang peringkat 243 kabupaten-kota yang tersebar di 15 provinsi.
Survei itu mewawancarai 12.187
perusahaan.Sampel terdiri atas 51
persen perusahaan kecil, 43 persen
perusahaan menengah (sedang),
dan 6 persen perusahaan besar.
Bagaimana hasilnya? Temuannya
cukup menarik. Survei itu berhasil
memetakan sekaligus me-ranking
tingkat kerumitan berusaha di daerah. Empat hal terbanyak yang dipersepsikan oleh kalangan dunia
usaha sebagai kendala dalam berusaha di daerah adalah infrastruktur,
ketersediaan lahan, interaksi pemda
dengan sektor bisnis, dan perizinan
usaha.
Temuan tentang kendala perizinan
usaha, tampaknya, sejalan dengan
hasil laporan Doing Business 2010
versi Indonesia. Jenis perizinan
usaha yang dimaksud dalam survei
itu meliputi tanda daftar perusahaan
(TDP), tanda daftar industri (TDI),
surat izin usaha perdagangan (SIUP),
izin gangguan/HO, dan izin mendi-
rikan bangunan (IMB). Kalangan
dunia usaha masih mengeluhkan
perizinan usaha di daerah karena
prosedurnya rumit, mengurusnya
terlalu lama, biayanya terlalu mahal,
dan persyaratannya banyak.
Selain itu, pengusaha mengeluhkan
banyaknya pungutan liar oleh aparat
pemda serta masih kurangnya informasi tentang pelayanan perizinan.
Lalu, bagaimana dengan posisi
kabupaten-kota di Jawa Timur dalam
soal perizinan usaha? Survei itu
mengabarkan berita baik. Empat
kabupaten-kota di Jawa Timur masuk
dalam sepuluh besar terbaik.
Kota Blitar menduduki peringkat
terbaik pertama, berikutnya Kabupaten Lumajang pada peringkat
ketiga, kemudian Kabupaten Pacitan pada peringkat keempat, dan
Kabupaten Sidoarjo menduduki
peringkat keenam.
Namun, apakah baiknya perizinan
usaha itu berkorelasi positif dengan
mengalirnya investasi ke daerahdaerah tersebut? Tampak diperlukan
riset lebih lanjut untuk mengungkapnya. Faktanya, investasi tetap mengalir deras ke daerah-daerah yang
mempunyai sumber daya ekonomi
(SDE) yang besar seperti Surabaya
dan Gresik. (redhi/jpip)
Bagaimana daya pikat terhadap investor setelah era
desentralisasi? Laporan Doing
Business 2010 yang dilansir
Bank Dunia dan International
Finance Corporation (IFC)
layak menjadi teropong persoalan itu. Inilah intisari riset
yang ditulis Redhi Setiadi,
peneliti The Jawa Pos Institute
of Pro-Otonomi (JPIP) .
SELAMA ini IFC hanya meriset Jakarta
yang kemudian dibandingkan dengan kota
besar dunia dalam keramahan investasi.
Riset kali ini menjadi sangat penting karena
melibatkan empat belas kota di tanah air.
Ada empat belas kota yang diriset. Yakni,
Balikpapan, Banda Aceh, Bandung, Denpasar, Jakarta, Makassar, Manado, Palangkaraya, Palembang, Pekanbaru, Semarang,
Surabaya, Surakarta, dan Jogjakarta. Melihat jumlah kota serta kombinasi Jawa-Luar
Jawa serta kombinasi kapasitas kota, baik
dalam demografi maupun kapasitas ekonomi, riset ini sangat komprehensif.
Doing Business versi Indonesia ini menganalisis peraturan-peraturan yang mendukung
maupun menghambat kegiatan usaha.
Peraturan-peraturan yang memengaruhi tiga
tahap kehidupan usaha diukur di tingkat daerah.
Tiga tahap yang sekaligus dijadikan indikator
itu ialah dalam hal mendirikan usaha (starting
business), mengurus izin mendirikan bangunan
(dealing with construction permits), dan
mendaftarkan properti (registering property).
Salah satu kebijakan yang dipuji dalam laporan Doing Business di Indonesia 2010
adalah dalam hal desentralisasi. Namun, karena desentralisasi pula, jumlah kabupatenkota membengkak dari 292 menjadi 480 dalam 11 tahun terakhir.
Laporan setebal 95 halaman itu juga mencatat bahwa desentralisasi bukan tanpa masa-
M. ALI/JAWA POS
PROBISNIS: Industri sepatu perlu didorong dengan penyerdehanaan perizinan.
lah dalam suatu perekonomian yang besar dan
rumit. Ilustrasi masalah desentralisasi itu
ditampilkan dengan mengutip laporan
Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi
Daerah (KPPOD) dan the Asia Foundation
(TAF) tentang Indeks Tata Kelola Ekonomi Daerah yang dirilis Oktober 2008.
Ditemukan sekitar 85 persen peraturan daerah
tidak sejalan dengan peraturan di tingkat pusat
dan tidak lengkap atau mengganggu kegiatan
ekonomi. Biaya-biaya dan retribusi meningkat
pesat karena para pemerintah daerah menggunakan wewenang pengaturannya sebagai
sebuah mekanisme untuk menaikkan pendapatan asli daerah (PAD). Dengan kata lain, saat ini
pemerintah daerah berperan sangat signifikan
terhadap baik-buruknya kondisi berusaha atau
iklim investasi di Indonesia.
Kembali ke hasil riset Doing Business 2010
versi Indonesia. Dari tiga indikator yang diukur, hasilnya tidaklah mengejutkan jika di-
hubungkan dengan pelaksanaan otonomi
daerah yang berjalan sembilan tahun ini.
Dalam kondisi pemerintah kabupaten-kota
memiliki kewenangan kuat, tidak ditemukan
satu prosedur usaha yang baku. Selain itu,
kualitas administrasi kebijakan sangat beraneka ragam. (Lihat grafis peringkat kota)
Dari 14 kota besar di Indonesia, Jogjakarta
adalah kota yang paling mudah mendirikan
usaha dan memperoleh izin mendirikan
bangunan. Sementara pendaftaran properti
paling gampang dilakukan di Bandung.
Sebaliknya, prosedur mendirikan usaha yang
paling rumit ada di Manado. Sedangkan prosedur tersulit untuk memperoleh izin mendirikan
bangunan dan pendaftaran properti masingmasing di Surabaya dan Balikpapan.
Apa yang dapat disimpulkan dari tabel peringkat daerah tersebut? Laporan Doing Business memberikan dua catatan. Pertama, tidak
ada kota yang memiliki kinerja baik untuk
tiga topik tersebut. Contohnya, Jogjakarta
memimpin dalam klasifikasi kemudahan
mendirikan usaha dan memperoleh izin mendirikan bangunan. Tetapi, Kota Gudeg itu
tertinggal dalam hal pendaftaran properti.
Kedua, tidak terdapat hubungan langsung
antara ukuran kota dan kualitas kebijakan
yang mengatur bidang usaha. Jogjakarta dan
Palangkaraya yang termasuk kota kecil
malah berada pada posisi tiga teratas dalam
beberapa indikator.
Kota-kota yang lebih besar, seperti Bandung
dan Palembang, juga berada pada posisi menengah untuk tiga topik yang diukur. Pendaftaran properti di Bandung lebih mudah daripada di kota lain. Demikian juga Jakarta, menjadi
kota kedua yang memiliki prosedur termudah
untuk mendaftarkan properti.
Sebaliknya, kota-kota besar seperti Surabaya, Jakarta, dan Semarang cenderung memiliki jumlah permintaan layanan usaha yang
lebih tinggi. Kondisi ini menyebabkan hambatan dan keterlambatan dalam proses perizinan. Karena itu, peringkatnya lebih rendah
daripada kota-kota lain yang lebih kecil.
Meski demikian, investasi dan peluang berusaha tetap saja akan datang ke kota-kota besar
tersebut. Sebab, kota besar umumnya mempunyai potensi sumber daya ekonomi yang menggiurkan para investor jika dibandingkan dengan
kondisi kota-kota lain yang lebih kecil.
Lalu, apa signifikansi laporan Doing Business bagi pelaku usaha, pemerintah pusat,
dan daerah? Tim pembuat laporan tersebut
memberikan analogi menarik. Disebutkan
bahwa Doing Business di Indonesia 2010
berfungsi sebagai semacam pengukur kadar
”kolesterol” untuk lingkungan kebijakan
bagi pelaku usaha dalam negeri.
Ukuran kadar kolesterol tidak memberikan
informasi menyeluruh mengenai kondisi kesehatan seseorang. Namun, alat penguji tersebut
mengukur suatu hal yang penting bagi kesehatan kita. Alat penguji tersebut mendorong
kita untuk waspada dan mengubah perilaku
sedemikian rupa sehingga tidak hanya kadar
kolesterol kita yang mengalami perbaikan, tapi
juga kesehatan secara keseluruhan. (*/tof)
Mengapa Metropolis Paling Jeblok?
BAGI pemerintah Kota Surabaya (populer kita sebut Metropolis), riset ini bisa menjadi
cermin untuk reformasi birokrasi ke depan. Sebab, kota yang
mempunyai tagline ”Smart and
Care” itu jeblok dalam peringkat
indikator mendirikan usaha
(starting business) dan pengurusan izin mendirikan bangunan.
Untuk indikator starting business,
Surabaya berada pada peringkat ke11. Surabaya kalah jauh jika dibandingkan dengan Jogjakarta dan Surakarta yang masing-masing menempati peringkat pertama dan kedua.
Kekalahan Surabaya atas kotakota lainnya di Indonesia itu disebabkan banyaknya prosedur yang
harus dilalui, lamanya waktu pengurusan izin, dan besarnya biaya
yang harus dikeluarkan. Untuk
mendirikan sebuah usaha di Surabaya, seorang pengusaha harus
melewati sepuluh prosedur, me-
merlukan waktu 50 hari, dan harus
mengeluarkan uang hingga 32
persen dari pendapatan per kapita
atau setara dengan Rp 6,6 juta.
Bandingkan, misalnya, dengan
Kota Jogjakarta. Di Jogjakarta untuk
mendirikan usaha baru, pengusaha
hanya menempuh delapan prosedur,
membutuhkan waktu 43 hari, dan
ongkosnya hanya Rp 6 juta (29
persen pendapatan per kapita).
Peringkat Surabaya paling jeblok
pada indikator pengurusan izin
mendirikan bangunan. Surabaya
berada pada posisi paling bawah di
antara 14 kota di Indonesia. Namun, yang harus dicatat dalam
survei Doing Business tersebut
bahwa pengurusan izin mendirikan
bangunan tidak hanya berhubungan dengan pelayanan pemerintah
kota, tetapi juga melibatkan instansi
swasta, seperti PT Telkom, PDAM,
dan PT PLN.
Riset itu menampilkan contoh
GRAFIS: HERI OWEL/JAWA POS
kasus, yaitu mendirikan sebuah
bangunan gudang. Di Surabaya,
untuk membangun sebuah gudang
senilai Rp 4,6 miliar, pengusaha
harus melalui 14 prosedur, memerlukan waktu 230 hari, dan mengha-
biskan biaya 190 persen dari pendapatan per kapita atau setara dengan
Rp 39,6 juta. Di Jogjakarta yang
menduduki peringkat pertama,
pengusaha hanya melewati delapan
prosedur, prosesnya 67 hari, dengan
biaya hanya Rp 27,7 juta (133,7
persen pendapatan per kapita).
Di Surabaya, prosedur paling
lama adalah ketika pelaku usaha
harus mendapatkan izin penggunaan bangunan (IPB) dari dinas tata kota. Meski tidak dipungut biaya, prosesnya hingga 46
hari. Di Jogjakarta prosedur
tersebut tidak diperlukan.
Biaya terbesar yang harus dikeluarkan oleh pengusaha adalah
ketika mengurus IMB di dinas
tata kota. Biayanya mencapai Rp
13 juta dan prosesnya berlangsung
30 hari. Di Jogjakarta, biayanya
hanya Rp 7 juta dan bisa diselesaikan dalam waktu 25 hari di Kantor
Pelayanan Terpadu. (redhi)
Ekonom Melihat Tindakan yang Dilakukan Pengusaha
■ SELEPAS...
Sambungan dari hal 1
Bagaimana kenyataan dan realitasnya
sepanjang tahun? Di pengujung 2009, kita
sudah sama-sama melihat bahwa ketiga
prediksi kami itu benar-benar akurat.
Dunia memang dilanda krisis besar, tapi
Indonesia bersama Tiongkok dan India
hanya mengalami economic downturn.
Bahkan, ketiga negara inilah yang sekarang
disebut ”pemimpin” kebangkitan kembali
Ekonomi Global di 2010.
Bagaimana integrasi ekonomi ASEAN? Ternyata, penurunan banyak tarif
impor di berbagai sektor industri dapat
diimbangi dengan peningkatan daya
saing beberapa pelaku industri. Malah,
saya mencatat ada berbagai investasi dari
beberapa perusahaan multinasional di
Indonesia di tengah krisis dunia. Sebab,
mereka justru ingin memanfaatkan skala ekonomi yang besar di Indonesia.
Tentang pemilu, kita semua bangga
bahwa masyarakat Indonesia ternyata
sangat dewasa. Mereka tidak mudah diprovokasi. Walaupun kampanye berjalan
sangat ”panas”, semuanya berakhir dengan
sangat ”adem”. Yang pasti, di saat pemilu
kemarin, ada banyak uang mengalir, masuk
ke masyarakat lewat para politisi.
Marketing in Indonesia 2009:
Ideas vs Applications
Sejalan dengan prediksi yang tergambar
dengan simbol lampu lalu lintas itu, kami
juga memprediksi bahwa pertumbuhan
perekonomian Indonesia hanya akan
menurun di kuartal I (Q1) dan kuartal II
(Q2) untuk kemudian naik lagi di kuartal
III (Q3) dan kuartal IV (Q4) pada 2009.
Prediksi seperti ini di akhir 2008 banyak diragukan para ahli ekonomi makro.
Tapi, seperti kita sama-sama lihat, itulah
yang terjadi di Indonesia pada 2009.
Bahkan terasa bahwa tingkat kepercayaan konsumen di Indonesia sudah
bangkit mulai Q2. Lebih cepat daripada
yang diperkirakan. Dengan demikian,
mulai pertengahan 2009, kata krisis sudah “tidak laku” di Indonesia.
Selain itu, kami membagi 2009 menjadi tiga tahap yaitu Urgency di Q1,
Critical Point di Q2-Q3, serta Take-Off
di Q4. Sejalan dengan itu pula, kami
lantas memberikan ”Proposed-Ideas”
di Product Management, Brand Management, dan Customer Management
untuk tiap-tiap tahap. Kenapa? Karena
buat kami, Strategic Marketingnya
memang punya tiga elemen tadi.
Di tahap Q1, kami menganjurkan untuk
Keep the Good Customer dengan cara
memberikan solution, bukan cuma produk.
Dengan demikian, kami ingin supaya pada
tahap Urgency, marketer justru memperlihatkan Brand Intimacy-nya!
Jangan memaksa diri untuk menggenjot penjualan, karena customer lagi
”worry” untuk belanja. Ini waktunya
untuk justru meningkatkan ”keintiman”
pada customer, terutama yang termasuk
”best and good customers”.
Pada Q2-Q3, ramalan kami adalah
bahwa akan terjadi pembalikan, sehingga kami mengusulkan kepada para
marketer untuk mulai aktif meluncurkan ”creative product”. Get new customer, terutama pada para customer dari
pesaing yang merasa kurang diperhatikan. Hal ini untuk menunjukkan bahwa
marketer yang bersangkutan bisa jadi
”active brand”. Bukan hanya jadi brand
yang ”terima nasib.”
Pada akhirnya untuk Q4 yang diprediksikan untuk take-off, kami mengusulkan
kepada para marketer untuk menjadi
sebuah brand yang mau meng excite
dengan cara memberikan nilai tambah
(added –value) pada produk. Dengan
melakukan hal tersebut diharapkan
marketer yang bersangkutan akan bisa
”grow the customer”.
Lantas apa yang terjadi? Dahsyat! Berbagai
perusahaan yang ”smart” ternyata melakukan hal tersebut secara brilian! Lihat saja
bagaimana Garuda Indonesia di bawah
pimpinan Emirsyah Satar bisa melewati
tahun ini dengan gemilang. Ketika sang
juara, Singapore Airlines, merugi karena
memang bergantung pada rute internasional, Garuda justru meningkat pesat
profitnya di tahun ini. Ketika, hampir semua local airlines banting harga, Garuda
justru ”memelihara” good customer-nya
sejak ”zaman susah” di Qi 2009.
Mulai Q2, kreativitas terus ditunjukkan
dengan memperkenalkan banyak ”service
baru” yang akhirnya bisa merebut kembali customer yang sudah pindah ke Low
Cost Airlines. Dan akhirnya, pada Q4,
kita sama-sama bisa melihat bahwa
added-value berupa business class lounge
yang makin ”maknyus” dan bagasi di
counter khusus membuat penumpang
business class jadi tambah loyal.
Selain itu, ketepatan waktu yang makin
bagus dan ”sense of safety” kalau naik Garuda, menyebabkan penumpang kelas
ekonomi tidak terlalu sensitif terhadap harga.
Masih banyak lagi yang dilakukan Garuda
di bawah kepemimpinan Emirsyah Satar dan
tim pada tahun ini. Karena itulah, akhirnya
kami menetapkan Emirsyah Satar menjadi
Marketer of the Year Indonesia 2009!
Tentu bukan cuma Garuda yang secara sengaja atau tidak ”mengaplikasikan” marketing pada 2009 seperti yang
kami usulkan. Ternyata ada banyak
marketer dari berbagai sektor industri
yang berhasil melewati 2009 dengan
gemilang. Misalnya, ketiga Marketer
of the Year (MOTY) yang lalu.
Dyonisius Bed, MOTY 2006, berhasil memimpin kenaikan penjualan
Yamaha walaupun industri motor turun. Setelah lebih dari 30 tahun, Yamaha Indonesia berhasil menjadi
market-leader dan sekaligus profitleader di sini dan bahkan di dunia.
Begitu juga Chairul Tanjung, MOTY
2007. Beliau bergeming sekali dengan
krisis global. Trans TV dan Trans 7
tetap paling profitable, tidak perlu
banting harga. Demikian pula bisnis
perbankan miliknya, Bank Mega dan
Mega Syariah, terus berkembang.
Selain itu, Trans Studio di Makassar
juga diresmikan pda 2009. Suatu keberanian luar biasa namun tetap dengan
perhitungan cermat untuk menyinergikan edutainment, branded retail, dan
banking. Itu semua masih belum termasuk berbagai bisnis beliau lainnya.
Sedangkan Sofyan Basir, MOTY 2008,
melaju terus dengan BRI-nya. Pada 2009
BRI merupakan bank dengan profit terbesar dan city grip-nya pun semakin kuat
dengan tetap solid di desa. Luar biasa!
Marketing in Indonesia 2010
Nah sekarang, apa yang kami lihat pada
2010? Ide-ide apa yang kami ajukan untuk
tahun ini? Di Cover Story ini, saya mencoba memberikan ringkasan terhadap
White Paper tim MarkPlus Inc, mengenai
“Marketing in Indonesia 2010.”
The Sky Looks Brighter in 2010! Berbagai ramalan ahli ekonomi makro sudah menyatakan hal tersebut. Negara
maju yang tahun ini mengalami pertumbuhan negatif diramal akan positif
pertumbuhannya tahun depan. Apalagi
negara berkembang!
Tiongkok akan tumbuh 10 persen, India 8 persen, Indonesia bisa lebih dari 5
persen. Ahli ekonomi makro juga mengatakan tidak akan terjadi U-Curve, di
mana perekonomian dunia stagnan untuk
tujuh sampai delapan tahun sebelum
bangkit kembali pelan-pelan, seperti
terjadi pada 1930-an dulu. Sekarang
grafiknya lebih mirip Kurva V, cepat
turun cepat naik lagi.
Salah satu sebab adalah hampir semua
pemerintah di dunia yang berbeda sistem politik sekalipun, kompak bersatu
melawan krisis. Pemimpin ekonomi
dunia bergeser dari G-7 jadi G-8 dan
akhirnya sekarang jadi G-20, dan Indonesia ada di dalamnya.
Bagi Indonesia sendiri, pada 2010
tentu juga looks brighter karena selain
mesin ekonomi domestik merupakan
motor utama, ekspor dan investasi
diperkirakan meningkat.
Pemerintah, logikanya lebih leluasa
melakukan ”intervensi positif”. Apalagi
Kabinet Bersatu Jilid Dua ini didukung
kekuatan politik besar di DPR.
Seharusnya, walaupun di pengujung
2009 terasa adanya upaya menggoyang
pemerintah, sebagian besar pengusaha
maupun investor lokal dan asing tetap
percaya bahwa perekonomian Indonesia
2010 lebih baik. Lihat saja Economic
Forecast dari berbagai kalangan. Tapi,
situasi itu patut juga diwaspadai. Seperti yang ditulis Philip Kotler dan Paul
Caslione di buku Chaotics, pada zaman
ini ”apa pun bisa terjadi”. Di zaman internet ”berkuasa”, informasi yang mengalir multiarah secara cepat sering
menimbulkan kekacauan.
Sering terjadi ”euforia” atau ”panics”
yang berlebihan atas suatu informasi yang
beredar. Apalagi, internet tidak hanya digunakan oleh para ”angels”, tapi juga oleh
para ”demons”. Lihat juga, harga energi
dan komoditas yang naik turun seperti
roller coaster tanpa sebab yang jelas.
Semua pemain bergantung satu sama
lain, karena saling terkoneksi. Keputusan
yang harus diambil secara cepat dan
lebih cepat lagi sering menimbulkan
kontra keputusan pihak lain yang reaktif
dan proaktif secara berlebihan.
Dengan demikian, sebuah fundamental
rasional akan sering ”tertutup” oleh situasi spekulatif emosional. Akibatnya,
kekacauan dapat meluas ke seluruh jagat
dengan mudah. Itulah yang menyebabkan
ramalan ekonomi pada saat ini menjadi
semakin sering salah, atau paling tidak
harus semakin sering di-review.
Dulu, para pengusaha harus mengerti
situasi ekonomi makro sebelum membuat startegi perusahaan. Sekarang,
sering yang terjadi sebaliknya. Para
ekonom ”terpaksa” melihat apa yang
sedang dikerjakan pengusaha besar dan
para spekulator pasar uang, pasar modal,
dan pasar komoditas. Kejadian harga
minyak yang pernah naik dari USD 40
ke USD 140 per barel dan balik lagi ke
USD 80 per barel bukan tidak mungkin
bisa terjadi lagi pada 2010.
Hal tersebut bisa terjadi di komoditas
apa pun, baik yang tergolong keras maupun lunak, sehingga bisa menggoncang
ekonomi dunia. Bukan itu aja!
Perhatian orang sekarang juga pada G-2,
yaitu Amerika dan Tiongkok. Ekonomi
Amerika defisit USD 1,4 trilliun pada 2009
dan masih harus mengalami defisit besar
pada 2010. Pertanyaannya, siapa yang
harus membiayai defisit tersebut?
Tiongkok mulai ogah membeli surat
utang Amerika. Sementara Tiongkok
sendiri yang merupakan negara paling
kaya di dunia pada saat ini, tetap punya
banyak penduduk miskin.
Tiongkok mengalami dilema! Di satu
sisi, Tiongkok menyerukan supaya
dunia tidak terlalu bergantung pada dolar
Amerika. Di sisi lain, Tiongkok ketakutan kalau dolar makin lemah, nilai Surat
Hutang Amerika yang dipegangnya
menjadi makin tidak bernilai.
Bagaimana kira-kira G-2 (AS dan
Tiongkok) menyelesaikan masalah rumit
ini pada 2010? Sementara itu, kawasan
Timur Tengah dengan cadangan minyak
dunia yang hampir 70 persen itu diperkirakan tetap bergolak pada 2010. Sementara Eropa berjuang mati-matian
untuk mengonsolidasikan diri tanpa
kepastian hasil pada 2010.
Sementara itu, ada yang sudah berubah
pada kata BRIC menjadi BRIIC (Brazil,
Russia, India, Indonesia, China) sebagai
apresiasi terhadap Indonesia sebagai emerging countries yang perlu diperhitungkan.
Meski demikian, sebagai ”negara kecil” di
pentas ekonomi dunia yang begitu besar
dan penuh ketidakpastian, Indonesia pantas
berhati-hati pada 2010. The Sky looks
Brighter, however Uncertainty is the New
Normality! Selamat Tahun Baru 2010!
*) Hermawan Kartajaya, pakar
marketing terkemuka; Pendiri dan
presiden MarkPlus&Co
Download