Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru 1 Beberapa Konsep Dasar Mengenai Kimia 1.1 PENDAHULUAN Kita memulai studi mengenai kimia fisik dengan penyataan singkat mengenai beberapa ide dasar dan penggunaan umumnya di bidang kimia. Hal ini merupakan hal yang familiar, tetapi akan sangat berharga untuk mengingatnya kembali. 1.2 JENIS BENDA Dari beragam berbeda yang ada secara umum kita dapat membaginya menjadi dua: (1) zat dan (2) campuran zat. Pada keadaan eksperimental tertentu zat menunjukkan suatu sifat fisik dan kimia tertentu dan tidak dipengaruhi oleh metode preparasi dari zat. Sebaliknya campuran sangat bervariasi pada komposisi kimianya. 1.3 JENIS ZAT Terdapat dua jenis zat: unsur dan senyawa. Unsur tidak dapat dipecah lagi menjadi zat yang lebih sederhana dengan metode kimai yang biasa, akan tetapi senyawa dapat.Metode kimai yang biasa merupakan metode yang melibtakan energi tidak lebih dari 1000 kJ/mol. 1.4 MASSA ATOMIK DAN MASSA MOLAR Setiap atom atau nuklida dapat digambrakan dengan dua angka yang spesifik, Z dan A, dimana Z merupakan nomor atom, dan jumlah proton pada inti, dan A nomor massa yang sama dengan Z + N, dimana N merupakan jumlah proton pada inti. Atom dari unsur yang berbeda dibedakan dengan nilai Z yang berbeda. Atom dari satu unsur memiliki nilai Z yang sama tetapi dapat memiliki nilai A yang berbeda dan disebut isotop dari unsur. 1.5 SIMBOL; RUMUS Rumus dari senyawa dapat diinterpretasikan dengan banyak cara, tetapi biasanya merupakan komposisi relatif dari senyawa. Pada zat seperti quartz dan garam, tidak terdapat molekul diskrit. Sehingga rumus untuk SiO2 dan NACl hanya diberikan dalam bentuk empiris; rumus ini hnaya menggambrakan jumlah relatif dari atom unsur yang terdapat dalam molekul dan tidak lebih dari itu. 1.6 MOL Satuan SI untuk jumlah zat adalah mol. Mol didefinisikan sebagai jumlah zat pada 0,012 kg karbon12. Satu mol dari sebarang zat mengandung jumlah unsur yang entitasnya tepat dengan 0,012 kg karbon-12. Angka ini merupakan konstanta Avogadro, NA = 6,022045 x 1023mol-1. 2 Sifat-sifat Empiris dari Gas 2.1 Hukum Boyle; Hukum Charles Dari ketiga keadaan agregasi, hanya keadaan gas yang memberikan sifat –sifat dengan gambaran yang sederhana. Untuk saat ini kita akan membatasi gambaran ini terhadap hubungannya dengan bebrapa sifat seperti massa, tekanan, volume dan tekanan. Kita harus mengasumsikan bahwa sistem berada dalam kesetimbangan sehingga nilai dari sifat-sifat tersebut tidak berubah seiring dengan waktu, selama batasan eksternal dari sistem tidak berubah. Persamaan keadaan dari sistem merupakan hubungan matematis antara nilai-nilai dari keempat sifat diatas. Hanya diperlukan tiga nilai untuk menetapkan keadaan yang ada; nilai kempat dapat dihitung Page 1 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru dari persamaan keadaan, yang diperoleh adri pengetahuan yang didapat dari perilaku eksperimental dari sistem. Pengukuran kuantitatif yang pertama perilaku tekanan-volume dari gas dilakukan oleh Robert Boyle pada tahun 1662. data yang diperolehnya menunjukkan bahwa volume berhubungan terbalik dengan tekanan; V =C/p, dimana p adalah tekanan, V volume, dan C merupakan konstanta. Gambar 2.1 menunjukan V sebagai fungsi dari p. Hukum Boyle dapat ditulis dalam bentuk pV C (2.1) persamaan ini hanya berlaku untuk gas dengan massa tetap pada temperatur konstan. Eksperimen selanjutnya oleh Charles menunjukan bahwa konstanta C merupakan fungsi dari temperatur. Hal ini merupakan bentuk kasar dari hukum Charles. Gay Lussac melakukan pengukuran volume gas dengan massa tetap dan menemukan bahwa volume merupakan suatu fungsi yang linier dengan temperatur. Hal ini diungkapkan dengan persamaan (2.2) V a bt dimana t merupakan temperatur dan a serta b merupakan tetapan. Plot volume sebagai fungsi dari temperatur ditunjukkan pada Gambar 2.2. Intersep pada sumbu vertikal adalah a = V0, volume pada 0OC. Slope dari kurva merupakan turunan dari b V t sehingga persamaan 2.2 dapat ditulis p dalam bentuk V V V0 t t p (2.3) Eksperimen yang dilakukan Charles menunjukan bahwa untuk suatu gas dengan massa tetap di bawah tekanan tetap, peningkatan relatif pada volume per derajat peningkatan temperatur sama untuk semua gas yang dia ukur. Pada tekanan tetap peningkatan volume per derajat adalah peningkatan volume per derajat adalah (∂V/∂t)p; sehingga peningkatan relatif volume perderajat pada 0oC adalah (1/Vo)(∂V/∂t)p. Kuantitas ini merupakan koefisien ekspansi termal pada 0oC, dimana kita gunakan simbol α0: 0 1 V . V0 t p (2.4) Kemudian persamaan (2.3) dapat dituliskan dalam bentuk α0; 1 V V0 (1 0 t ) V0 0 t , 0 (2.5) yang telah memadai, karena persamaan ini menunjukkan volume gas dalam bentuk volumenya pada nol derajat dan suatu konstanta α0, yang sama untuk semua gas, sehingga hampir tidak dipengaruhi oleh tekanan pada saat dilakukan pengukuran. Jika kita mengukur α0 pada tekanan yang berlainan kita akan mendapatkan untuk semua gas α0 mendekati nilai pembatas yang sama pada p = 0. Bentuk dari pers. (2.5) menunjukkan koordinat perubahan yang akan sangat berguna.; yang dinamakan sebagai T, suatu ukuran temperatur baru, yanag didapatkan dari temperatur sebelumnya melalui persamaan T 1 0 t. (2.6) Persamaan (2.6) mendefinisikan sebuah skala temperatur yang baru, yang disebut temperatur dengan skala gas, atau lebih tepatnya temperatur dengan skala gas ideal. Hal penting dari skala ini adalah fakta bahwa nilai pembatas α0 dan juga 1/ α0 memiliki nilai yang sama untuk semua gas. Sebaliknya, α0 bergantung pada skala temperatur yang dipergunakan untuk t. Jika t dalam derajat Celsius (oC), maka 1/ α0 =273,15 oC. Skala T yang dihasilkan secra numerik identik dengan skala temperatur termodinamik, yang akan kita bahas secara mendetail pada bab 8. Satuan SI untuk temperatur Page 2 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru termodinamik adalah kelvin (K). Temperatur pada skala termodinamik seringkali disebut sebagai temperatur absolut atau temperatur kelvin. Menurut pers. (2.6) T 273,15 t . (2.7) Persamaan (2.5) dan (2.6) digabungkan untuk menghasilkan V 0V0 T , (2.8) yang menyatakan volume dari gas pada tekanan tetap sebanding dengan temperatur termodinamik. 2.2 MASSA MOLAR GAS. HUKUM AVOGADRO; HUKUM GAS IDEAL Pers. (2.1) dan (2.8) dapat digabungkan menjadi V C0 0T (massa tetap) p (2.9) Karena C0 = Bw, dimana B adalah konstanta dan w adalah massa dari gas,. Dengan mempergunaka hasil ini untuk pers (2.9) kita mendapatkan V B 0 wT , p (2.10) yang merupakan hubungan umum antara empat variabel V, w, T, dan p. Masing-masing gas memiliki nilai yang berbeda untuk konstanta B. Untuk gas pada keadaan standar massa gas , M dinyatakan sebagai 1 p0V0 . M B0 T0 (2.11) Karena keadaan standar sulit untuk dicapai, rasio R = p0 V0 /T0 memiliki nilai yang tetap dan sama untuk semua gas dan disebut konstanta gas. Pers. (2.11) dapat ditulis dalam bentuk M R B 0 atau B R . M 0 Mempergunakan nilai B ini kta mendapatkan w RT V . M p (2.12) Anggaplah jumlah massa karakteristik dari gas yang terdapat dalam massa w adalah n = w/M. Maka V = nRT/p, atau pV nRT (2.13) Pers. (2.13) merupakan hukum gas ideal, yang sangat penting untuk studi semua gas. Hukum ini tidak mengandung suatu bentuk khusus untuk suatu gas, akan tetapi dapat dipergunakan untuk semua gas. 2.3 PERSAMAAN KEADAAN; SIFAT EKSTENSIF DAN INTENSIF Hukum gas ideal, pV = nRT, merupakan hubungan antara empat variabel yang menggambarkan keadaan gas. Sehingga persamaan ini disebut persamaan keadaan. Variabel dari persamaan ini dibagi menjadi dua golongan: n dan V merupakan variabel ekstensif (sifat ekstensif), sedangkan p dan T meruapakan variabel intensif (sifat intensif). Nilai dari sifat ekstensif didapat dengan menjumlahkan nilai yang terukur dari keseluruhan sistem. Sedangkan sifat internsif meiliki nilai yang sama dimanapun di dalam sistem. Rasio dari dua variabel ekstensif selalu merupakan variabel intensif. Dengan membagi V dengan n kita mendapatkan volume molar V : V V RT . n p (2.15) Jika hukum gas ideal ditulis dalam bentuk Page 3 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru pV RT , (2.16) yang merupakan hubungan dari tiga variabel intensif: tekanan, temperatur, dan volume molar. Hal ini sangat penting karena sekarang kita tidak perlu lagi risau apakah kita sedang berurusan dengan 20 g atau 20 ton bahan yang sedang dipelajari. 2.4 SIFAT GAS IDEAL Jika nilai tertentu diberikan pada kedua variabel p, V ,dan T, nilai dari ketiga variabel dapat ditentukan dari hukum gas ideal. Sehingga, dua buah variabel adalah variabel independen; variabel yang tersisa adalah variabel dependen. Isoterm dari gas ideal berbentuk hiperbola persegi (Gbr 2.4) ditentukan oleh hubungan p RT . V (2.17) Untuk setiap kurva T memiliki nilai konstan yang berbeda. Pada gambar 2.5 semua titik berhubungan dengan koordinat V dan T dan dihubungkan pada tekanan yang sama, dan dinamakan isobar. Isobar dari gas ideal digambarkan oleh persamaan R V T , p (2.18) dimana tekanan berada pada beragam tekanan konstan. Gambar 2.6 menunjukan hubungan antara p dan T, garisnya merupakan garis volume molar konstan, isometrik, dan digambarkan dengan persamaan R p T , V (2.19) Jika kita mengintai dengan seksama Gbr 2.4, 2.5, dan 2.6 dan pers. (2.17), (2.28), dan (2.19) mengarah pada suatu kesimpulan yang aneh mengenai gas ideal. Sebagai contoh, Gbr 2.5 dan pers. (2.18) menyatakan bahwa volume dari suatu gas ideal pada tekanan konstan bernilai nol pada T = 0 K. Demikian juga pada gambar dan persamaan lainnya. 2.5 PENENTUAN MASSA MOLAR GAS DAN ZAT VOLATIL Hukum gas ideal sangat berguna untuk menentukan massa molar dari zat volatil. Untuk maksud ini suatu wadah yang volumenya diketahui diisi dengan gas dan tekanan serta temperatur diukur. Massa dari gas dalam wadah diukur. Pengukuran ini dapat dipergunakan untuk massa molar dari zat. Dari pers. (2.12) kita mendapatkan pV = (w/M)RT; maka w RT M RT , V p p (2.20) M RT . p 0 (2.21) dimana ρ = w/V; dimana ρ adalah densitas. Semua nilai pada sisi kanan dari pers. (2.20) diketahui dari pengukuran; sehingga M dapat diperhitungkan. Kenyataan bahwa perilaku dari gas real medekati perilaku gas ideal jika tekanan diturunkan dipergunakan sebagai dasar penetapan massa molar dari gas. Menurut pers. (2.20) rasio dari densitas terhadap tekanan seharusnya tidak bergantung dari tekanan: ρ/p = M/RT. Hal ini benar untuk gas ideal, akan tetapi densitas dari gas real diukur pada satu temperatur pada beragam tekanan, rasio densitas terhadap tekanan ditemukan bergantung pada tekanan. Pada tekanan yang cukup rendah, ρ/p merupakan fungsi linier dari tekanan. Garis lurus dapat diekstrapolasikan untuk menghasilkan satu nilai ρ/p, yang dapat dipergunakan pada pers. (2.20) untuk memberikan nilai yang tepat dari M: Prosedur ini digambarkan untuk amonia pada 25oC pada Gbr. 2.7. Page 4 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru 2.6 CAMPURAN; VARIABEL KOMPOSISI Konsentrasi volume didapatkan dengan membagi jumlah dari masing-masing zat dengan volume dari campuran. ni V (2.22) ni . n1 (2.23) ci Rasio mol, ri , didapatkan dengan memilih salah satu jumlah mol dan membagi sisanya dengan jumlah mol tersebut. Dengan memilih n1 sebagai pembagi kita mendapatkan ri Fraksi mol, xi, didapatkan dengan membagi masing-masing jumlah mol dengan jumlah mol keseluruhan dari zat yang ada, nt = n1 + n2 + …, ni . nt xi (2.24) Jumlah dari fraksi mol dari keseluruhan zat dalam campuran haruslah satu (2.25) x1 x2 x3 ... 1. 2.7 PERSAMAAN KEADAAN UNTUK CAMPURAN GAS; HUKUM DALTON Eksperimen menunjukkan bahwa untuk campuran gas, hukum gas ideal berlaku dalam bentuk (2.26) pV nt RT . Jika sistem terdiri atas campuran tiga gas dengan jumlah mol masing-masing n1, n2, dan n3 dalam suatu wadah dengan volume V pada temperatur T. Jika n1 = n1 + n2 + n3, maka tekanan yang dikeluarkan oleh campuran diberikan oleh p nt RT V (2.27) Tekanan parsial untuk masing-masing gas adalah p1 n1 RT , V p2 n2 RT , V p3 Menambahkan persamaan ini, kita mendapatkan p1 p 2 p3 (n1 n2 n3 ) n3 RT V (2.28) RT RT nt V V (2.29) Perbandingan pers ini dengan pers. (2.27) menunjukkan bahwa p p1 p2 p3 . (2.30) Pernyataan ini merupakan hukum tekanan parsial Dalton. Hubungan tekanan parsial dengan fraksi mol dituliskan sebagai p1 n1 RT ; p pV (2.31) tetapi dengan pers. (2.27), p = ntRT/V. Mempergunakan nilai untuk p pada sisi kanan persamaan (2.31) kita mendapatkan p1 n1 x1 . p nt Sehingga p1 x1 p , p 2 x2 p , p 3 x3 p . Persamaan ini dapat disingkat menjadi p i xi p (i = 1, 2, 3, …), (2.32) dimana pi merupakan tekanan parsial dari gas dengan fraksi mol xi. Page 5 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru 3 Gas Real 3.1 PENYIMPANGAN DARI PERILAKU IDEAL Karena hukum gas ideal tidak dapat mereprensentasikan secara akurat perilaku dari gas real, kita harus memformulasikan persamaan yang lebih realistis untuk keadaan dari gas dan menyelidiki implikasi dari persamaan ini. Jika pengukuran tekanan, volume molar, dan temperatur dari suatu gas tidak sesuai dengan hubungan pV = RT, dengan pengukuran yang presisi, gas tersebut dikatakan menyimpang dari ideal dan menujukkan perilaku yang non ideal. Untuk menujukkan penyimpangan tersebut dengan jelas, rasio dari volume molar yang teramati terhadap volume molar ideal diplot sebagai fungsi dari tekanan pada temperatur konstan. Rasio ini disebut faktor kompresibilitas Z. Kemudian, Z V pV . V id RT (3.1) Untuk gas ideal, Z = 1 dan tidak bergantung pada tekanan dan temperatur. Untuk gas real Z = Z(T,p) fungsi dari temperatur dan tekanan. 3.2 MEMODIFIKASI PERSAMAAN GAS IDEAL: PERSAMAAN GAS REAL Pada pendinginan gas real mencair dan sepenuhnya memadat; setelah pencairan voume tidak banyak berubah. Kita dapat menyusun persamaan baru yang dapat memprediksikan suatu nilai tertentu, volume positif untuk gas pada 0 K dengan menambahkan suatu konstanta positif b untuk volume ideal: V b RT p (3.2) Sesuai dengan pers. (3.2) volume molar pada 0 K adalah b dan dapat kita dapat mengharapkan bahwa b secara kasar bisa dibandingkan dengan volume molar dari cairan atau padatan. Tekanan yang dikeluarkan gas pada dinding kontainer mengarah keluar. Gaya tarik menarik antara molekul cenderung untuk merapatkannya, yang oleh karenanya mengurangi tekanan keluar ke arah dinding dan mengurangi tekanan dibandingkan yang dikeluarkan oleh gas ideal. Pengurangan pada tekanan ini sebanding dengangaya tarik emnarik antara molekul gas. Sangatlah menarik untuk melihat betapa baiknya pers. (3.2) memperkirakan kurva pada Gbr 3.1 dan 3.2. Karena definisi Z pV / RT , perkalian pers. (3.2) dengan pV menghasilkan Z 1 bp . RT (3.3) Anggaplah dua elemen volume kecil v1 dan v2 dalam suatu kontainer gas (Gbr 3.3). Anggaplah bahwa setiap elemen volume terdiri dari satu molekul dan antar dua elemen kecil adalah suatu nilai kecil f. Jika molekul lain ditambahkan pada v2, dan mempertahankan tetap satu molekul pada v1, gaya yang terjadi antara kedua elemen haruslah 2f; penambahan molekul ketiga da v2 haruslah meningkatkan gaya menjadi 3f, dan seterusnya. Gaya tarik menarik antara dua elemen volume oleh karenanya sebanding dengan č2, konsentrasi dari molekul pada v2. Jika pada sebarang titik pada ungkapan, jumlah molekul pada v2 dipertahankan konstan dan molekul ditambahkan pada v1, maka gayanya haruslah menjadi dua kali, tiga kali lipat dan seterusnya. Gaya tersebut proporsional dengan č1, konsentrasi molekul pada v1. Oleh karenanya, gaya yang terjadi antara dua elemen dapat ditulis sebagai: gaya ∞ č1 č2. Karena konsentrasi dalam gas sam untuk semua titik, č1 = č2 = č, maka gaya ∞ 2 č2. Akan tetapi č = n/V = 1/ V ; dengan demikian, gaya ∞ 1/ V . Kita menulis kembali pers. 3.2 bentuk Page 6 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru p RT . V b (3.4) RT a 2 , V b V (3.5) Karena gaya tarik menarik molekul-molekul, tekanan menjadi kurang dari yang diberikan oleh persamaan (3.4) denngan jumlah yang sebanding dengan 1/V2, kemudian satu variabel baru ditambahkan pada sisi kanan persamaan untuk menghasilkan p dimana a merupakan suatu konstanta positif yang secara kasar berbanding lurus dengan energi 2 penguapan dari cairan. Terdapat dua hal yang harus diingat mengenai penggunaan variabel baru a/ V . rjadi pada sembarang elemen volume pada bagian dalam menyeimbangkan mendekati nol, hanya elemen volume didekat dinding kontainer mengalami ketidaksetimbangan gaya dan membuat kecenderungan menarik molekul tersebut ke arah tengah. Oleh karenanya efek karena tarik menarik hanya dirasakan pada dinding bejana. Kedua, penurunan rumus dibuat dengan asumsi jangkauan efektif dari gaya tarik menarik ada pada orde sentimeter; kenyataannya jangkauan dari gaya ini ada dalam orde nanometer. Persamaan (3.5) merupakan persamaan van der Waals, yang diajukan oleh van der Waals, yang merupakan orang pertama yang menemukan pengaruh dari ukuran molekuler dan gaya antar molekul pada tekanan dari suatu gas. Gaya lemah ini disebut gaya van der Waals. Konstanta van derWaals a dan b untuk beberapa gas diberikan pada Tabel 3.1. Persamaan van der Waals seringkali ditulis dalam bentuk a p 2 V b RT V atau n2a p 2 V nb nRT , V (3.6) dimana V =n V dipergunakan untuk bentuk kedua. 3.3 IMPLIKASI DARI PERSAMAAN VAN DER WAALS Persamaan van der Waals memperhitungkan dua hal: pertama, efek dari ukuran molekular, pers (3.2), p RT . (V b) Karena penyebut pada persamaan diatas lebih kecil dari penyebut pada persamaan gas ideal, efek dari ukuran itu sendiri meningkatkan tekanan di atas nilai yang ideal. Menurut persamaan ini terdapat ruang kosong antara molekul, volume “bebas”, yang mengikuti hukum gas ideal. Kedua efek dari gaya antar molekul, pers. (3.5), p RT a 2 , V b V juga diperhitungkan. Efek dari gaya tarik menarik dengan sendirinya mengurangi tekanan dibawah nilai dan diperhitungkan dengan mengeluarkan satu bentuk dari tekanan. Untuk memperhitungkan Z untuk persamaan van der Waals kita mengalikan pers. (3.5) dengan V dan membagi dengan RT; hal ini menghasilkan Z pV V a . RT V b RT V Penyebut dan pembilang pada sisi kanan dibagi dengan V: Page 7 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru Z 1 a . 1 b / V RT V Pada tekanan rendah b/V lebih kecil dari satu, jadi bentuk pertama pada sisi kanan diubah menjadi serangkaian pangkat dari 1/V; oleh karenanya 1/(1 – b/V)= 1 + (b/V) + (b/V)2 + …, kita mendapatkan 2 3 a 1 b b Z 1 b ... , RT V V V (3.7) yang mengungkapkan Z sebagai fungsi dari temperatur dan volume molar. Lebih disukai jika Z berada sebagai fungsi temperatur dan tekanan; sehingga menghasilkan penyelesaian untuk V sebagai fungsi dari T dan p, kemudian mengalikan hasilnya dengan p/RT untuk mendapatkan Z sebagai fungsi dari p dan T menjadi hal yang penting. Karena persamaan van der Waals merupakan persamaan pangkat tiga dalam V, penyelasaiannya menjadi sangat sulit walaupun sangat informatif. Kita menitik beratkan pada pendekatan ungkapan untuk Z(T,p) yang kita dapatkan dari pers. (3.7) dengan menetapkan p 0. (1/V) 0, dan Z = 1. Ekspansi dari Z ini, mengubah bentuk menjadi p2, 1 a a a 2 2b b p p ... . (3.8) 3 RT RT RT RT Koefisien yang benar untuk p dapat diperoleh dengan menggantikan 1/ V dengan nilai ideal pada pers. Z 1 (3.7); namun demikian hal ini akan menghasilkan nilai koefisien yang salah pada tekanan yang lebih tinggi. Persamaan (3.8) menujukkan bahwa bentuk yang bertanggung jawab untuk perilaku tidak ideal menghilang tidak hanya ketika tekanan mendekati nol tetapi juga ketika temperatur sangat tinggi. Oleh karenanya, sebagai suatu aturan umum, gas real mendekati perilaku ideal ketika berada pada tekanan yang lebih rendah dan temperatur ditinggikan. Bentuk kedua pada sisi kanan pers (3.8) haruslah dibandingkan dengan bentuk kedua pada sisi kanan pers. (3.3), yang disadari sebagai akibat dari jumlah molekul yang tertentu. Slope dari kurva Z versus p didapatkan dengan mendeferesiasikan pers. (3.8) terhadap tekanan, dengan temperatur konstan: Z 1 a a a 2 2b b p p ... . 3 RT RT RT p T RT Pada p = 0, semua bentuk yang lebih tinggi dihilangkan dan penurunan ini dirubah menjadi lebih sederhana Z 1 a b p , RT p T RT p = 0, (3.9) dimana turunan tersebut merupakan slope awal dari kurva Z versusu p. Jika b > a/RT, slope bernilai positif; efek dari ukuran mendominasi perilaku dari gas. Sebaliknya, jika b < a/RT, slope awalnya menjadi negatif; efek dari gaya tarik menarik mendominasi perilaku dari gas. Pada temperatur tertentu TB, temperatur Boyle, slope awal haruslah nol. Persyaratan untuk hal ini diberikan oleh pers. (3.9) dimana b – a/RT = 0. Hal ini menghasilkan TB a . Rb (3.10) Pada temperatur Boyle kurva Z terhadap p meruapakan tangent dari kurva untuk gas ideal pada p = 0 dan naik diatas kurva gas ideal dengan perlahanTemperatur Boyle untuk beberapa gas diberikan pada Tabel 3.2. Page 8 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru 3.4 ISOTERM GAS REAL Jika hubungan tekanan-volume untuk gas real diukur pada temperatur yang berbeda-beda, diperoleh sejumlah isoterm seperti yang ditunjukan pada Gbr.3.5. Pada temperatur yang tinggi isotermnya terlihat mirip dengan gas ideal, sementara pada temperatur rendah terlihat cukup berbeda. Bagian horizontal dari kurva temperatur rendah sebagian membelok. Anggaplah suatu kontainer gas pada keadaan yang digambarkan oleh titik A pada Gbr. 3.5. Bayangkan bahwa salah satu bagian dinding dapat digerakkan (piston); dengan mempertahankan temperatur pada T1, kita perlahan-lahan menekan dinding ini yang akan menurunkan volume. Ketika volume menjadi lebih kecil, tekanan perlahan meningkat sepanjang kurva hingga dicapai volume V2. Pengurangan volume hingga V2 tidak menghasilkan perubahan tekanan hingga V3 tercapai. Sedikit pengurangan volume dari V3 hingga V4 menghasilkan peningkatan besar pada tekanan dari pe menjadi p’. Ini merupakan rangkaian yang sangat penting dari serangkaian kejadian; khususnya penurunan volume pada suatu rentang volume yang besar dimana tekanan bertahan pada nilai konstan pe. Jika kita melihat kontainer pada saat hal ini berlangsung, kita menemukan bahwa pada V2 terbentuk tetesan pertama cairan. Ketika volume berubah dari V2 menjadi V3 lebih banyak lagi cairan yang terbentuk; tekanan konstan pe merupakan kesetimbangan tekanan uap dari dari cairan pada T1. Pada V3 runutan terkahir gas menghilang. Pengurangan volume selanjutnya akan menekan cairan; dan tekanan naik dengan sangat tajam, karena cairan hampir-hampir tidak dapat ditekan. Garis kenaikan pada kiri diagram oleh karenanya merupakan isoterm dari cairan. Pada temperatur tertentu yang lebih tinggi perilakunya secara kualitatif tetaplah sama, akan tetapi rentang dari volume dimana kondensasi terjadi lebih kecil dan tekanan uap lebih besar. Jika kita teus menerus menaikkan temperatur, bagian datarnya akhirnya menyempit menjadi suatu titik pada temperatur Tc, temperatur kritis. Jika temperatur dinaikkan di atas Tc, isoterm terus menerus akan lebih mendekati isoterm gas ideal; tidak terdapat daerah datar diatas Tc. 3.6 ISOTERM DARI PERSAMAAN VAN DER WAALS Ingatlah persamaan van der Waals dalam bentuk p RT a 2 V b V (3.12) Saat V sangat besar persamaan ini mendekati persamaan gas ideal, karena V sangat besar jika dibandingkan dengan b dan a/ V 2. Pernyataan ini benar pada semua temperatur. Pada temperatur tinggi, bagian a/ V 2 dapat diabaikan, karena sangat kecil jika dibandingkan dengan RT/( V – b). Plot dari isoterm, p versus V , yang diperhitungkan dari persamaan van der Waals, ditunjukan pada Gbr. 3.7. Pada temperatur dan volume yang lebih rendah, tidak ada bagian dari persamaan yang dapat diabaikan. Hasilnya lebih menarik. Pada temperatur Tc isoterm membentuk titik defleksi, yaitu titik E. Pada temperatur yang lebih, isotermnya menunjukkan nilai maksimum dan minimum. Perbandingan dari isoterm van der Waals dengan isoterm gas ideal menunjukkan kesamaan dalam beberapa hal. Kurva Tc pada Gbr. 3.7 mengingatkan kita pada kurva temperatur kritis pada Gbr 3.5. Kurva T2 pada Gbr 3.7 memprediksikan tiga nilai volume V ’, V ’’, V ’’’, pada tekanan pe. bagian datar yang berhubungan pada Gbr. 3.5 memprediksikan dengan tepat banyak volume pada sistem pada tekanan pe. Sangat penting untuk menyadari bahwa bahkan jika suatu fungsi yang rumit telah dituliskan, maka bagian kanan tetap menunjukkan bagian datar seperti pada Gbr. 3.5. Osilasi dari persamaan van der Waals pada bagian ini sebesar dari yang dapat diharapkan dari fungsi kontinyu sederhana. Page 9 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru Bagian AB dan DC dari kurva van der Waals pada T2 dapat dilihat secara eksperimental. Jika volume dari gas pada temperatur T2 dikurangi secara bertahap, tekanan naik sepanjang isoterm hingga titik D, saat tekanan pe tercapai. Pada titik ini kondensasi dapat terjadi, akan tetapi dapat juga terjadi bahwa tidak terbentuk cairan, dan penurunan volume lebih lanjut menghasilkan kenaikan tekanan sepanjang garis DC. Pada daerah (DC) tekanan gas melebihi kesetimbangan tekanan uap dari cairan, pe, pada temperatur T2; titik ini karenanya merupakan titik-titik uap super jenuh (atau super dingin). Sama halnya jika volume cairan pada temperatur T2 dinaikkan, tekanan turun hingga titik A, saat tekanan pe dicapai. Pada titik ini seharusnya terbentuk uap, akan tetapi dapat juga tidak tebentuk, sehingga peningkatan volume selanjutnya akan menghasilkan penurunan tekanan sepanjang garis AB. Sepanjang garis AB cairan berada dibawah tekanan yang berhubungan dengan kesetimbangan tekanan uap dari cairan pada temperatur di bawah T2. Cairan berada di T2 sehingga cairan tersebut merupakan cairan super panas. 3.7 KEADAAN KRITIS Jika persamaan van der Waals diambil dalam bentuk yang diberikan oleh pers. (3.6), bagian tambahannya dihilangkan, dan hasilnya dikalikan dengan V 2/p, persamaan dapat disusun dalam bentuk 3 RT 2 a ab V V V b 0. p p p (3.13) Karena pers.(3.13) merupakan persamaan pangkat tiga, persaman tersebut dapat memiliki tiga akar real untuk nilai tekanan dan temperatur tertentu. Pada Gbr. 3.7 ketiga akar untuk T2 dan pe merupakan persinggungan dari garis horizontal pada pe dengan isoterm pada T2. Ketiga akar tersebut terdapat pada batas dari atau didalam daerah dua fase. Seperti yang telah kita lihat pada Gbr. 3.6 dan 3.7 daerah dua fase menyempit dan akhirnya menutup pada bagian atas. Hal ini berarti bahwa terdapat suatu tekanan maksimum tertentu pc dan temperatur maksimum tertentu Tc dimana baik cairan maupun uap dapat ada bersama-sama. Temperatur dan tekanan ini merupakan titik kritis dan volume yang berhubungan disebut volume kritis Vc. Ketika daerah dua fase menyempit, ketiga akar dari persamaan van der Waals saling mendekati satu sama lain, karena akar-akar tersebut harus berada pada batas atau dalam daerah dua fase. Pada titik kritis ketiga akar sama dengan V c. Persamaan pangkat tiga tersebut dapat ditulis dalam bentuk akar-akarnya V ’, V ’’, V V’’’: (V V ' )(V V ' ' )(V V ' ' ' ) 0. Pada titik kritis V ’ = V ’’ = V ’’’ = V c, sehingga persamaan menjadi ( V – V c)3 = 0. Dengan mengekspansikannya kita peroleh 3 2 2 3 V 3V c V 3V V c V 0. Pada kondisi yang sama, pers (3.13) menjadi (3.14) RT 2 a ab V 3 b c V V 0. pc pc pc Persamaan (3.14) dan (3.15) merupakan cara sederhana yang berbeda untuk menuliskan persamaan yang sama; oleh karenanya koefisien dari tiap pangkat V harus sama pada kedua persamaan. Dengan menetapakan kedua koefisien bernilai sama, kita mendapatkan tiga persamaan: 3V c b RTc , pc 2 3V c a , pc 3 Vc ab . pc (3.16) Page 10 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru Persamaan (3.16) dapat dilihat dalam dua bentuk. Pertama, rangkaian persamaan dapat diselesaikan untuk Vc, pc, dan Tc dalam bentuk a, b dan R; oleh karenanya V c 3b , pc a , 27b 2 Tc 8a 27 Rb (3.17) Jika nilai a dan b diketahui, pers. (3.17) dapat dipergunakan untuk memperhitungkan V c, pc, dan Tc. Dengan mempergunakan sudut pandang kedua, kita menyelesaikan persamaan untuk a, b, dan R dalam bentuk pc, V c, dan Tc. Maka, b Vc , 3 a 3 pcVV2c , R 8 pc V c 3Tc (3.18) Mempergunakan persamaan (3.18) kita dapat memperhitungkan nilai konstanta a, b, dan R dari data kritis. Namun demikian, nilai dari R yang didapat tidak sesuai dengan nilai R yang diketahui, dan didapat beberapa kesulitan. Karena V c sulit untuk ditentukan secara akurat dengan eksperimen, akan lebih baik jika a dan b didapat hanya dari pc dan Tc. hal ini dilakukan dengan mengambil anggota ketiga dari persamaan (3.18) dan menyelesaikannya untuk V c. Hal ini menghasilkan Vc 3RTc . 8 pc Nilai pc yang diperoleh diletakkan pada persamaan kedua dari pers (3.18) untuk menghasilkan RT b c , 8 pc 27( RTc ) 2 . a 64 p c (3.19) Mempergunakan pers. (3.19) dan nilai R yang biasa, kita dapat memperhitungkan a dan b dari pc, dan tc saja. Hal ini merupakan prosedur yang lebih umum. Bagaimanpun juga, sejujurnya kita harus membandingkan nilai V c = 3RTc/8pc, dengan nilai Vc yang terukur. Hasilnya sekali lagi akan sangat buruk. Nilai yang diperoleh dan diperhitungkan dari Vc tidak sesuai lebih dari yang dapat diperhitungkan oleh kesulitan eksperimental. Keseluruhan permasalahannya adalah persamaan van der Waals tidak begitu akurat didekat titik kritis. Kenyataan ini, bersama-sama dengan kenyataan bahwa nilai konstanta ini selalu hampir diperhitungkan (satu cara atau lainnya) dari data kritis, berarti bahwa persamaan van der Waals tidak dapat dipergunakan untuk perhitungan sifat gas secara presisi- walaupun persamaan ini merupakan pengembangan dari persamaan gas ideal. Manfaat yang besar dari persamaan van der Waals adalah bahwa studi mengenai prediksinya memberikan pandangan yang baik mengenai perilaku dari gas dan hubungannya dengan fenomemna pencairan. Hal yang penting adalah bahwa persamaan tersebut telah memprediksikan keadaan kritis; sayangnya persamaan tersebut tidak menggambarkan enam sifat-sifat gas. Persamaan lain yang lebih tepat juga ada. Data kritis untuk beberapa gas diberikan pada Tabel 3.3. 3.8 HUKUM KEADAAN-KEADAAN YANG BERHUBUNGAN Mempergunakan nilai dari a, b, dan R yang diberikan oleh persamaan (3.18), kita dapat menuliskan persamaan van der Waals dalam bentuk yang sama Page 11 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru p 8 pc V cT 3Tc (V V c / 3) 2 3 pc V c V 2 . Yang dapat disusun kembali dalam bentuk 8T / Tc p 3 . pc 3(V / V c ) 1 (V / V c ) 2 (3.20) Persamaan (3.20) hanya melibatkan rasio dari p/pc, T/Tc, dan V / V c. Hal ini menunjukan bahwa rasio p, T dan V merupakan variabel yang penting untuk karakterisasi gas. Rasio ini disebut variabel keadaan yang tereduksi π, τ, dan .: T // Tc , p / pc , V /V c Menuliskan dalam bentuk variabel-variabel tsb., persaman van der Waals berubah menjadi 8 3 2 3 1 (3.21) Hal penting mengenai pers. (3.21) adalah bahwa persaman ini tidak mengandung konstanta yang asing untuk setiap gas; oleh karenanya persamaan ini harus dapat menggambarkan semua gas. Dengan ini, hilangnya pengumuman yang didapat ketika mempergunakan persamaan van der Waals, dibandingkan dengan persamaan gas ideal sehingga dapat diperoleh kembali. Persamaan seperti pers. (3.21) yang mengungkapakan variabel yang terduksi sebagai fungsi dari variabel tereduksi yang lain merupakan bentuk dari hukum keadaan yang berhubungan. Dua gas pada temperatur tereduksi yang sama dan tekanan tereduksi yang sama berada dalam keadaan berhubungan. Dengan hukum keadaan berhubungan, keduanya seharusnya berada pada volume tereduksi yang sama, Sebagai contoh, argon pada 320 K dan tekanan 16 atm, dan etana pada 381 K dan tekanan 18 atm berada dalam keadaan berhubungan, karena masing-masing memiliki nilai τ = 2 dan π = 1/3. 3.9 PERSAMAAN KEADAAN LAIN Persaman van der Waals hanya merupakan satu dari sekian banyak persamaan yang telah diajukan selama bertahun-tahun untuk memperhitungkan nilai data pVT untuk gas. Beberapa dari persaman ini ditabelkan pada Tabel 3.4, bersama-sama dengan ungkapan untuk hukum keadan berhubungan untuk persamaan dua konstanta, dan prediksi nilai rasio kritis dari RTc/pcVc. Dari persamaan ini, baik persaman Beattie Bridgeman maupun persamaan virial merupakan persaman yang bekerja paling baik. Persamaan Beattie-Bridgemann melibatkan lima konstanta tambahan selain R: Ao, a, Bo b, dan c. Nilai untuk konstanta Beattie-Bridgemann untuk beberapa gas diberikan pada Tabel 3.5. Akhirnya , haruslah diingat bahwa semua persaman keadaan untuk gas didasarkan pada dua ide dasar yang pertama kali diajukan oleh van der Waals: (1) molekul memiliki ukuran, dan (2) terjadi gaya antara molekul. Persamaan yang lebih modern melibatkan efek dari kebergantungan terhadap gaya antarmolekul pada jarak pemisahan molekul. 4 Struktur Gas Teori Kinetik Gas: Asumsi Dasar Model yang dipergunakan pada teori kinetik gas dapat digambarkan dengan tiga asumsi dasar mengenai struktur gas. 1. Gas tersusun dari sejumlah sangat besar partikel kecil (atom atau molekul). Page 12 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru 2. Tanpa adanya medan gaya, partikel-partikel ini bergerak dalam garis lurus. (sesuai dengan hukum Newton pertama). 3. Partikel-partikel ini jarang berinteraksi (bertumbukan) satu dengan yang lainnya. Sebagai tambahan untuk asumsi-asumsi ini kita menetapkan bahwa pada sembarang tumbukan energi kinetik total dari dua molekul sama sebelum dan sesudah tumbukan. Tumbukan jenis ini merupakan suatu tumbukan elastis. PERHITUNGAN TEKANAN SUATU GAS Jika suatu partikel bertumbukan dengan dinding dan akan memantul, suatu gaya akan dihasilkan pada dinding pada saat tumbukan. Pada faktanya pengukur tekanan yang merespon benturan dari satu molekul tidak tersedia. Pada keadaan laboratorium, pegukur tekanan mengukur tekanan tetap, nilai rata-rata dari gaya per satuan luas yang dihasilkan oleh benturan dari sejumlah besar molekul; hal ini ditunjukkan dengan garis putus-putus pada Gbr. 4.2(b). Untuk menghitung nilai rat-rat dari tekanan kita mulai dengan hukum kedua Newton mengenai gerak: F ma m du d mu , dt dt (4.1) dimana F adalah gaya yang bekerja pada partikel dengan massa m, a adalah percepatan, dan u adalah laju dari partikel. Menurut pers. (4.1) gaya yang bekerja pada partikel sama dengan momentum per satuan waktu. Gaya yang bekerja pada dinding sama dengan dan berlawanan tanda dengan ini. Untuk partikel pada Gbr. 4.1, momentum sebelum tumbukan adalah mu1, sedangkan momentum sesudah tumbukan adalah – mu1. Selanjutnya perubahan momentum dalam tumbukan sama dengan selisih momentum akhir dan momentum awal. Oleh karenanya kita mendapatkan (–mu1) – mu1 = - 2mu1. Perubahan momentum dalam satuan waktu merupakan perubahan momentum dalam satu tumbukan dikalikan dengan jumlah tumbukan partikel dengan dinding per detik. Karena waktu antar tumbukan sama dengan waktu yang diperlukan untuk bergerak sejauh 2l, t = 2l/u1. Kemudian jumlah tumbukan perdetik adalah u1/2l. Oleh karenanya perubahan momentum per detik sama dengan – 2mu1(u1/2l). Maka gaya yang terjadi pada satu partikel diberikan oleh F = – mu21/l, dan gaya yang bekerja pada dinding diberikan oleh Fw = + mu21/l. Akan tetapi tekanan p’ adalah Fw/A; maka Page 13 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru p' m12 m12 , Al V (4.2) dimana Al = V volume dari kotak. Persamaan (4.2) hanya memberikan nilai tekanan untuk satu partikel saja; untuk partikel-partikel dengan kecepatan u2, u3,…,gaya keseluruhan, dan juga tekanan total p merupakan penjumlahan dari gaya yang dihasilkan oleh setiap partikel: m(u12 u 22 u 32 ...) p , V (4.3) Rata-rata dari kuadrat kecepatan, <u2>, didefinisikan dengan u2 (u12 u 22 u 32 ...) , N (4.4) dimana N adalah jumlah partikel dalam kotak. Mempergunakan pers. (4.4) dalam pers. (4.3) kita mendapatkan p Nm u 2 , V (4.5) persamaan akhir untuk tekanan dari gas satu dimensi. Sebelum mempergunakan pers. (4.5), kita harus menguji penurunannya untuk melihat apakah akibat dari tumbukan dan arah yang beragam dari tumbukan terhadap hasilnya. Kenyataan bahwa molekul cenderung bergerak dengan arah yang berbeda dibandingkan dengan arah yang sama memberikan pengaruh yang penting pada hasil. Akibatnya faktor N pada persamaan (4.5) harus digantikan dengan ⅓ N, karena hanya sepertiga dari molekul yang bergerak ketiga arah. Penggantian ini menghasilkan p 1 3 Nm u 2 . V (4.6) Tebakan sederhana ini memberikan hasil yang benar, akan tetapi alasannya jauh lebih kompleks dibandingkan dengan apa yang telah dikemukakan sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik pers. (4.6) akan diturunkan dengan cara yang berbeda. Vektor kecepatan c dari partikel dapat dibagi menjadi komponen normal terhadap dinding, u, dan dua komponen tangensial v dan w. Anggaplah suatu partikel menumbuk dinding dengan sudut tertentu dan dipantulkan (Gbr. 4.4). Satu-satunya komponen kecepatan yang dibalikkan pada tumbukan adalah komponen normal, u. Komponen tangensial v dan w memiliki arah dan besar yang sama sebelum dan sesudah tumbukan. Hal ini juga berlaku untuk komponen tangensial kedua w, tidak ditunjukkan pada Gbr 4.4. Karena hanya pembalikan komponen normal yang bermakna, perubahan momentum pertumbukan dengan dinding adalah –2mu; jumlah benturan per detik sama dengan u/2l. Sehingga pers. (4.5) harus dibaca sebagai Nm u 2 p V (4.7) Jika komponen diambil sepanjang tiga sumbu x, y, z, sebagaimana pada Gbr. 4.5, kemudian kuadrat dari vektor kecepatan dihubungkan dengan kuadrat dari komponen melalui c 2 u 2 v 2 w2 , (4.8) Untuk sebarang molekul individual, komponen kecepatan seluruhnya berlainan, sehingga setiap suku pada sisi kanan pers. (4.8) memiliki nilai yang berbeda. Akan tetapi jika pers. (4.8) merupakan ratarata dari keseluruhan molekul, kita mendapatkan Page 14 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru c 2 u 2 v 2 w2 (4.9) Tidaklah beralasan untuk mengharapkan salah satu dari ketiga arah lebih utama setelah kita merataratakan dari keseluruhan molekul. Oleh karenanya kita mengharapkan bahwa <u2> = <v2> = <w2>. Mempergunakan hasil ini untuk pers. (4.9), kita mendapatkan u2 1 3 (4.10) c2 . Arah x dianggap sebagai arah normal terhadap dinding; maka, dengan memasukkan <u2> dari pers (4.10), kita mendapatkan persamaan eksak untuk tekanan: Nm c 2 p . V 1 3 (4.11) sama dengan yang diperoleh dari perkiraan dengan pers. (4.6) u = c, karena v dan w bernilai nol pada penurunan dari pers. (4.6). Anggaplah energi kinetik dari sebarang molekul ε = ½ mc2. Jika kedua sisi dari persamaan ini dirataratakan untuk semua molekul, mkaka < ε > = ½ m<c>2. Mempergunakan hasil ini untuk pers. (4.11), menghasilkan p = ⅔N< ε >/V, atau (4.12) pV 23 N . Jika wadah dalam Gbr. 4.1 sedikit diperpanjang, volume sedikit meningkat. Jika kelajuan dari partikel tetap sama, diperlukan waktu lebih oleh satu untuk partikel untuk bergerak diantara dinding, sehingga menurunkan jumlah tumbukan partikel dengan dinding per detik, dan menguragi tekanan pada dinding. Sehingga peningkatan volume menurunkan tekanan sebagai akibat lebih sedikitnya tumbukan dalam rentang waktu tertentu. Kita sekarang membandingkan pers. (4.12) dengan hukum gas ideal, pV nRT Jika pers. (4.12) menggambarkan gas ideal, maka pastilah bahwa nRT 23 N . Sekarang n dan N dihubungkan oleh n = N/NA dimana NA merupakan konstanta Avogadro. Sehingga RT 23 N A (4.13) Anggaplah U sebagai keseluruhan energi kinetik yang berhubungan dengan gerakan acak molekul satu mol gas. Maka U = NA <ε>, dan U 23 RT . (4.14) Persamaan (4.14) menyatakan bahwa energi kinetik dari gerakan acak sebanding dengan temperatur absolut. Untuk alasan ini, gerakan acak atau gerakan chaos seingkali disebut gerakan termal molekul. Pada temperatur nol mutlak gerakan ini terhenti sepenuhnya. Oleh karenanya temperatur merupakan ukuran dari energi kinetik rata-rata dari gerakan acak. Sangatlah penting untuk menyadari temperatur tidak berhubungan dengan enrgi kinetik dari satu molekul, tetapi dengan rata-rata dari energi kinetik dari sejumlah besar molekul; sehingga merupakan sebuah konsep statistik. Sistem yang tersusun dari satu molekul atau sedikit molekul tidak akan menghasilkan temperatur seperti yang sedang dibicarakan. Kenyataan bahwa hukum gas ideal tidak memuat karakteristik khusus dari suatu gas tertentu berakibat bahwa pada suatu temperatur tertentu semua gas memilki energi kinetik rata-rata yang sama. Dengan mempergunakan pers (4.13) untuk dua gas yang berbeda, kita mendapatkan 3/2RT = NA<ε1>, dan 3/2RT = NB<ε2>; maka <ε1>=<ε2>, atau 1 2 m1 c12 12 m2 c 22 . Kecepatan rms (root mean square)nya, crms didefinisikan sebagai Page 15 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru crms (4.15) c2 . Rasio dari crms dari dua molekul dengan massa yang berbeda sama dengan kebalikan akar kuadrat perbandingan massanya: (crms )1 m2 (crms ) 2 m1 M2 , M1 (4.16) dimana M = NAm merupakan massa molar. Gas yang lebih berat memiliki crms yang lebih kecil. Nilai numerik untuk laju rms dari sebarang gas dihitung dengan menggabungkan pers. (4.13) dan 12 m c 2 ; maka, RT 23 N A 12 m c 2 , atau c 2 3RT / M , dan 3RT . M crms (4.17) HUKUM TEKANAN PARSIAL DALTON Dalam suatu campuran gas tekanan total merupakan penjumlahan dari gaya per satuan luas yang dihasilkan oleh benturan pada dinding dari wadah. Setiap jenis molekul berkontribusi pada satu suku pada pers. (4.11) mengenai tekanan. Untuk suatu campuran gas kita mendapatkan atau N1 m1 c12 N 2 m2 c22 N 3 m3 c32 p ... 3V 3V 3V (4.18) p p1 p2 p3 ..., (4.19) EVALUASI DARI A DAN β Konstanta A dan β ditentukan dengan distribusi yang menghasilkan nilai yang benar dari keseluruhan molekul dan enrgi kinetik rata-rata. Nilai keseluruhan dari molekul didapatkan dengan menjumlahkan dnc pada keseluruhan nilai yang mungkin untuk c diantara nol dan tak hingga: N c c 0 (4.48) dnc . Energi kinetik rata-rata dihitung dengan mengalikan energi kinetik, ½ mc2, dengan jumlah molekul dnc, yang memiliki energi kinetik, menjumlahkan untuk keseluruhan nilai c dan membagi dengan jumlah molekul keseluruhan N. c 1 c 0 2 mc 2 dnc N (4.49) . Pers. (4.48) dan (4.49) menentukan A dan β. Menggantikan dnc dalam pers. (4.48) dengan nilai yang diberikan oleh pers. (4.49) memberikan N 3 c 4πNA e βc c 2 dc. c 0 2 membagi keseluruhan pers. Dengan N dan mengeluarkan konstanta dari tanda integral menghasilkan 1 4A3 c c 0 Dari Tabel 4.1 kita mendapatkan c 2 e c dc. 2 c c 0 c 2 e c dc 2 / 4 2 . Sehingga, 1 4A 3 2 1 3 1 2 / 4 2 . Sehingga 3 akhirnya A , 3 3 2 (4.50) yang memberikan nilai A dalam bentuk β. Dalam keadaan kedua, pers. (4.49), kita mempergunakan nilai untuk nilai dnc dari pers. (4.34): Page 16 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru c 1 c 0 2 mc 2 4πNA3 e βc c 2 dc 2 N mempergunakan pers. (4.50) kita mendapatkan 2m Dari Tabel 4.1, kita mendapatkan 0 3 2 0 c 4 e c dc. 2 c 4 e c dc 3 2 / 8 2 . Sehingga <ε> menjadi <ε> = 3m/4β, dan 2 3 5 sehingga 3m , 4 (4.51) yang menyatakan β dalam bentuk energi rata-rata per molekul <ε>. Persamaan (4.13) meenghubungkan energi rata-rata per molekul dengan temperatur: 3 R T 32 kT , 2 N A (4.13a) Konstanta gas per molekul merupakan konstanta Boltzmann, k = R/NA = 1,3807 x 10-23 J/K. Mempergunakan hubungan dalam pers. Memberikan β secara eksplisit dalam bentuk m dan T. m . 2kT (4.52) Mempergunakan pers. (4.52) dalam pers. (4.50), kita mendapatkan 3 1 2 m A , 2kT 2 m A . 2kT 3 (4.53) Mempergunakan pers. (4.52) dan (4.53) untuk β dan A3 dalam pers. (4.34), kita mendapatkan distribusi Maxwell dalam bentuk eksplisit: 3 2 m 2 mc2 / 2 kT dnc 4N dc. c e 2kT (4.54) Distribusi Maxwell menyatakan jumlah molekul dengan kecepatan antara c hingga c + dc dalam bentuk jumlah keseluruhan molekul yang ada, massa molekul, temperatur, dan kecepatan. (untuk menyederhanakan perhitungan yang melibatkan distribusi Maxwell, ingatlah bahwa rasio m/k = M/R, dimana M merupakan massa molar.) Distribusi Maxwell diplot dengan fungsi (1/N)(dnc/dc) sebagai ordinat dan c sebagai absis. Fraksi dari molekul dalam rentang kecepatan c hingga dc adalah dnc/N; membagi nilai ini dengan dc memberikan fraksi molekul dalam rentang kecepatan ini per satuan lebar interval. 3 2 1 dnc m 2 mc2 / 2 kT 4 . c e N dc 2kT (4.55) Plot fungsi untuk nitrogen pada dua temperatur diberikan pada Gambar 4.9. Fungsi yang ditunjukkan pada Gbr. 4.9 merupakan probabilitas untuk menemukan molekul dengan kecepatan antara c dan c + dc, dibagi dengan lebar dc dari rentang. Ordinatnya merupakan probabilitas untuk menemukan satu molekul dengan kecepatan c dan (c + 1) m/s. Kurvanya berbentuk parabolik didekat awalnya, dan fungsi eksponensialnya mendekati satu; pada nilai c yang besar, fungsi eksponensial mendominasi perilaku dari fungsi, dan menyebabkan penurunan nilainya dengan cepat. Sebagai akibat dari perilaku yang kontras dari kedua faktor ini, fungsi yang dihasilkan memiliki nilai maksimum pada cmp. Kecepatan ini disebut sebagai kecepatan yang paling mungkin (most probable), cmp Page 17 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru dapat dihitung dengan menurunkan fungsi pada sebelah kanan pers. (4.55) dan menolkan turunannya sehingga mendapatkan lokasi dari tangen horisontal. Prosedur ini menghasilkan ce mc 2 / 2 kT mc 2 2 0. kT Kurva ini memilki tiga tangen horisontal: pada c = 0; pada c ketika 2 – mc2kT = 0. Kondisi terkahir ini memberikan cmp. cmp 2kT m ∞, ketika exp(- ½ mc2/kT) = 0; dan 2 RT . M (4.56) PERHITUNGAN NILAI RATA-RATA MEMPERGUNAKAN DISTRIBUSI MAXWELL Dari distiubusi Maxwell, nilai rata-rata dari kuantitas yang bergantung pada kecepatan dapat diperhitungkan. Jika kita ingin menghitung nilai rata-rata dari <g> dari sebarang fungsi kecepatan <c>, kita mengalikan fungsi g(c) dengan dnc, jumlah molekul yang memiliki kecepatan c; kemudian kita menjumlahkan pada semua nilai c dari nol hingga tak hingga dan membagi dengan jumlah keseluruhan molekul dalam gas. g c c 0 g (c)dnc (4.57) . N CONTOH Sebagai suatu contoh untuk penggunaan pers. (4.57), kita dapat menghitung energi kinetik rata-rata untuk molekul gas; untuk kasus ini g(c) = e = ½ mc2. Sehingga pers. (4.57) menjadi e c 1 c 0 2 mc 2 dnc , N yang identik dengan pers (4.49). Jika kita memasukkan nilai dnc dan mengintegrasikannya, kita tentu saja akan mendapatkan bahwa <e> = 3/2 kT, karena kita mempergunakan hubungan ini untuk menentukan konstanta β pada fungsi distribusi. CONTOH Nilai rata-rata lain yang penting adalah kecepatan rata-rata <c>. Mempergunakan pers. (4.57), kita mendapatkan e c c 0 cdnc N . Mempergunakan nilai dnc yang didapatkan dari pers (4.54), kita mendapatkan m c 4 2kT 3 2 0 c 3 e mc 2 / 2 kT dc. Integralnya dapat didapatkan dari Tabel 4.1 atau dapat dievaluasi dengan metode dasar melalui perubahan pada variabel: x = ½ mc2/kT. Substitusi ini menghasilkan c Akan tetapi 0 8kT x xe dx. m 0 xe x dx = 1; sehingga c 8kT 8RT . m m (4.58) Haruslah diingat bahwa kecepatan rata-rata tidak sama dengan crms akan tetapi biasanya memiliki nilai yang lebih kecil. Page 18 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru NILAI RATA-RATA DARI KOMPONEN INDIVIDUAL; EKUIPARTISI ENERGI Sangatlah memudahkan jika kita dapat menghitung dari masing-masing komponen kecepatan. Untuk maksud ini, bentuk distribusi Maxwell yang paling biasa adalah yang ada pada pers. (4.30). Nilai ratarata dari u diberikan oleh persamaan yang analog dengan pers. (4.57): u udnuvw , N Integrasi ini dilakukan pada semua nilai yang mungkin dari ketiga komponen; ingatlah bahwa sebarang komponen dapat memilki nilai dari negatif tak hingga sampai tak hingga. Mempergunakan duvw dari pers. (4.30), kita mendapatkan u A3 A ue (u 3 u 2 2 v 2 w2 ) dudvdw du vev dv we w dw. ue 2 2 (4.65) Dengan Rumus (6) dari Tabel 4.1, integral pertam pada sisi kanan pers. (4.65) bernilai nol; sehingga <u> = 0. Hasil yang sama didapatkan untuk nilai rata-rata dari komponen lain: (4.66) u v w 0. Alasan fisik mengapa nilai rata-rata dari masing-masing komponen haruslah nol cukup jelas. Jika nilai rata-rata salah atau komponen bernilai lebih dari nol, hal ini akan berhubungan dengan rangkaian gerakan dari keseluruhan massa gas dalam arah yang bersangkutan; pembahasan saat ini hanya untuk gas yang istirahat (rest?) Fungsi distribusi dari komponen x dapat dituliskan sebagai 1 2 1 dnu m mu 2 / 2 kT f (u 2 ) , e N du 2kT (4.67) yang diplotkan pada Gbr. 4.11. Wlauapun nilai rata-rata dari komponen kecepatan dalam salah satu arah nol, karena jumlah komponen yang memiliki nilai u dan –u adalah sama, nilai rata-rata dari energi kinetik yang berhubungan dengan komponen tertentu memiliki nilai positif. Molekul dengan komponen kecepatan u mengkontribusikan ½mu2 terhadap rata-rata dan sama halnya dengan komponen –u mengkontribusikan ½ m(–u)2 = ½mu2. Kontribusi partikel yang bergerak berlawanan menaikkan rata-rata energi, sementara merata-ratakan kontribusi komponen kecepatan partikel yang arahnya berlawanan akan saling menghilangkan satu sama lain. Untuk menghitung nilai dari εx = ½mu2, kita mempergunakan distribusi Maxwell dengan cara yang sama seperti sebelumnya, x 1 2 mu 2 dnuvw N . Mempergunakan pers. (4.30) kita mendapatkan x 12 mA3 u 2 e (u 3 u 2 12 mA 2 v 2 w2 ) dudvdw du vev dv we w dw. ue 2 2 Mempergunakan Rumus (1) dan (2) dari Tabel 4.1, kita mendapatkan 1 e v 2 dv e w 2 dw . 2 dan, dengan Rumus (1) dan (3), tabel 4.1, du 2 1 2 u e u 2 1 2 2 3 1 2 . 2 Mempergunakan nilai ini untuk integral menghasilkan Page 19 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru 1 x 12 mA 2 3 1 2 1 2 1 3 mA3 . 4 2 2 Mempergunakan nilai A3 dari pers. (4.53) dan nilai β dari pers. (4.52), kita akhirnya mendapatkan x 12 kT. Hasil yang sama didapatkan untuk <εy> dan <εz>; sehingga x y z 12 kT. (4.68) Karena rata-rata dari keseluruhan energi kinetik merupakan penjumlahan dari ketiga suku, nilainya adalah 3/2 kT, nilai ini diberikan oleh pers (4.13a): x y z 12 kT 12 kT 12 kT 32 kT. (4.69) Persamaan (4.68) mengungkapkan hukum penting mengenai ekuipartisi energi. Persamaan ini menyatakan rata-rata dari keseluruhan energi kinetik sama untuk ketiga komponen gerak yang independen, yang disebut derajat kebebasan. Molekul memiliki tiga derajat kebebasan translasional. Hukum ekuipartisi dapat dimulai dari hal ini. Jika dari molekul individual dapat ditulis sebagai penjumlahan dari suku-suku, yang mana sebanding dengan akar dari komponen kecepatan atau koordinat, sehingga setiap komponen akar ini mengkontribusikan ½ kT pada energi rata-rata. Sebagai contoh, pada gas energi translasional dari masing-masing molekul adalah e 12 mu 2 12 mv 2 12 mw2 . (4.70) Karena masing-masing suku sebanding dengan akar dari komponen kecepatan, masing-masing mengkontribusikan ½ kT pada energi rata-rata; sehingga kita dapat menuliskan (4.71) 12 kT 12 kT 12 kT 32 kT. EKUIPARTISI ENERGI DAN KUANTISASI Suatu sistem mekanik yang terdiri dari N partikel digambarkan dengan menentukan tiga koordinat untuk masing-masing partikel, atau total 3N koordinat. Oleh karena 3N merupakan komponen gerak yang independen, atau derjat kebebasan dari sistem tersebut. Jika N partikel berikatan bersama untuk membentuk suatu molekul poliatomik, maka koordinat 3N dan komponen gerak ditentukan sebagai berikut, Traslasional. Tiga koordinat menggambarkan posisi dari pusat massa; gerak dalam koordinat ini berhubungan dengan translasi dari molekul secara keseluruhan. Energi yang disimpan dalam jensi gerak ini adalah energi kinetik saja, εtrans = ½ mu2 + ½ mv2 + ½ mw2. Masing-masing suku mengandung kuadrat dari komponen kecepatan dan karenanya sebagimana yang kita lihat sebelumnya, masingmasing mengkontribusikan ½ kT pada energi rata-rata. Rotasional. Dua sudut diperlukan untuk menggambarkan orientasi dari molekul linier dalam ruang; tiga sudut diperlukan untuk menggambarkan orientasi dari suatu molekul non linier. Gerak dalam koordinat ini berhubungan terhadap rotasi pada dua sumbu (molekul linier) dan rotasi pada tiga sumbu (molekul non linier) dalam ruang. Persamaan untuk energi rotasi memiliki bentuk rot 12 I x2 12 I y2 (molekul linier) rot 12 I x x2 12 I y y2 12 I z z2 (molekul non linier) dimana ωx, ωy, ωz, merupakan kecepatan sudut dan Ix, Iy, Iz merupakan inersia pada sudut x, y, dan z. Karena tiap suku dalam ungkapan energi sebanding dengan kuadrat dari komponen kecepatan, masingmasing suku pada rata-rata membagi ½ kT energi yang sama. Sehingga rata-rata energi rotasional dari suatu molekul diatomik digambarkan pada Gbr. 4.12. Vibrasional. Terdapat sisa 3N – 5 koordinat untuk molekul linier dan 3N – 6 koordinat untuk molekul non linier. Koordinat-koordinat ini menggambarkan panjang ikatan dan sudut ikatan dalam molekul. Gerak dalam koordinat ini berhubunagn dengan vibrasi (tarikan atau uluran) dari molekul. Sehingga Page 20 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru molekul linier memiliki 3N – 5 jenis vibrasi; dan molekul non linier memiliki 3N – 6 jenis vibrasi. Dengan mengasumsikan bahwa vibrasinya harmonis, enrgi dari tiap-tiap jenis vibrasi dapat dituliskan dalam bentuk 2 dr 2 12 k (r r0 ) , dt vib 12 dimana μ merupakan massa yang bersangkutan, k merupakan konstanta gaya, r0 merupakan niali kesetimbangan dari koordinat r, dan dr/dt merupakan kecepatan. Suku pertama dalam ungkapan ini merupakan energi kinetik, suku pertama seharusnya mengkontribusikan energi rata-rata ½ kT, karena mengandung kuadarat kecepatan. Suku kedua karena mengandung kuadrat dari koordinat r – r0, seharusnya juga mengkontribusikan ½ kT terhadap energi rata-rata. Setiap jenis vibrasi seharusnya mengkontribusikan ½ kT + ½ kT = kT terhadap energi rata-rata sistem. Sehingga energi rata-rata dari vibrasi seharusnya bernilai (3N – 5)kT untuk molekul linier dan (3N – 6)kT untuk molekul non linier. Maka energi rata-rata keseluruhan permolekul adalah (molekul linier) 32 kT 23 kT (3N 5)kT 32 kT 32 kT (3N 6)kT (molekul non linier). Jika kita mengalikan nilai ini dengan bilangan Avogadro NA, untuk mengubahnya menjadi energi ratarata per mol, kita mendapatkan Gas monoatomik: U 32 RT (4.72) Gas poliatomik U 32 RT 23 RT (3N 5) RT (molekul linier) (4.73) U 32 RT 32 RT (3N 6) RT (molekul non linier) (4.74) Jika kalor mengalir menuju gas yang volumenya dijaga konstan, energi dari gas meningkat sesuai dengan jumlah kalor yang disalurkan oleh kalor yang mengalir. Rasio dari peningkatan energi terhadap penigkatan temperatur pada volume konstan merupakan kapasitas kalor Cv. Sehingga dengan definisi, U Cv . T V (4.75) Dengan menurunkan energi molar terhadap temperatur, kita mendapatkan kapasitas kalor molar, C v , yang dipredikasikan oleh hukum ekuipartisi. Gas monoatomik: C v 32 R (4.76) Gas poliatomik: C v 32 R 23 R (3N 5) R C v 32 R 32 R (3N 6) R (molekul linier) (molekul non linier) (4.77) (4.78) Jika kita menguji kapasitas panas dari gas poliatomik, Tabel 4.3, kita menemukan dua ketidaksesuaian antara data dan hukum ekuipartisi. Nilai kapasitas kalor yang didapatkan(1) selalu lebih rendah dibandingkan yang diperkirakan, dan secara jelas bergantung pada temperatur. Prinsip ekuipartisi merupakan hukum fisika klasik, dan perbedaan ini merupakan salah satu petunjuk awal bahwa fisika klasik tidak memadai untuk menggambrakan sifat-sifat molekuler. Untuk menggambarkan kesulitan ini kita memilih kasus untuk molekul diatomik yang pastinya linier. Untuk molekul diatomik, N = 2, dan kita mendapatkan dari hukum ekuipartisi Cv 3 2 7 1 3,5 R 2 2 2 Page 21 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru Dengan pengecualian untuk H2, nilai yang ditemukan untuk molekul diatomik pada temperatur biasa jatuh antara 2,5 dan 3,5, dan ada yang sangat dekat dengan 2,50. Karena nilai translasional 1,5 ditenukan dengan sangat akurat untuk molekul monoatomik kita mwnganggap kesulitan ada pada gerakan rotasional dan vibrasional. Kita kita mengingat bahwa molekul nonlinier memiliki C v / R 3,0 kita dapat menyempitkan kesulitan untuk gerakan vibrasional. Penjelasan untuk perilaku yang teramati adalah bahwa gerakan vibrasional terkuantisasi. Energi dari suatu osilator dibatasi pada suatu nilai diskrit. Hal ini berkebalikan dengan osilator klasik, yang dapat memiliki nilai energi berapa saja. Sekarang disamping energi dari beragam osilator yang terdistribusi secara kontinyu pada keseluruhan rentang energi, osilator juga terdistribusi dalam beragam keadaan kuantum (tingkat energi). Tingkat energi terendah disebut sebagai keadaan dasar; sedang tingkat lain disebut keadaan tereksitasi. Nilai yang diizinkanuntuk energi dari osilator harmonik diberikan oleh ungkapan s ( s 12 )hv s = 0,1,2,… (4.79) dimana s, merupakan bilangan kuantum, nol atau integer positif, h adalah konstanta Planck, h = 6.626 x 10-34 J s; dan v merupakan frekuensi klasik dari osilator, v = (½ π)√k/μ dimana k merupakan konstanta gaya dan μ merupakan masa tereduksi dari osilator. Hukum ekuipartisi bergantung pada kemampuan dari dua molekul yang bertumbukan untuk mempertukarkan energi melalui beragam jenis gerakan. Hal ini berlaku untuk gerak translasional maupun rotasional karena molekul dapat menerima energi dalam mode ini dalam jumlah berapapun. Tetapi karena mode vibrasional terkuantisasi maka, mode ini hanya dapat menerima energi yang sama dengan kuantum vibrasional, hv. Untuk molekul seperti oksigen kuantumnya tujuh kali lebih besar dari energi translasi rata-rata dari molekul pada 25oC. Sehingga, tumbukan antara dua molekul dengan energi kinetik rata-rata tidak dapat menaikkan molekul ke keadaan vibrasional yang lebih tinggi karena memerlukan lebih banyak energi lagi untuk melakukannya. Sehingga pada dasarnya semua molekul tetap berada pada keadaan vibrasional dasar, dan gas tidak menunjukan kapasitas kalor vibrasional. Ketika panas temperatur cukup tinggi energi termalnya dapat dibandingkan dengan kuantum vibrasional hv, kapasitas kalor mendekati nilai yang diperkirakan oleh hukum ekuipartisi. Temperatur yang diperlukan bergantung pada vibrasi tersebut. 5 Beberapa Sifat dari Cairan dan Padatan 5.1 FASE TERKONDENSASI Padatan dan cairan secara kolektif dinamakan sebagai fase terkondensasi. Nama ini menggambarkan densitas dari padatan dan cairan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan gas. Pada gas volume yang ditempati oleh molekul-molekul lebih kecil jika dibandingkan dengan volume keseluruhan, dan efek dari gaya antar molekul sangat kecil. Pada pendekatan pertama efek ini diabaikan dan gas digambarkan dengan hukum gas ideal, yang hanya benar pada p = 0. Persyaratan ini berakibat suatu pemisahan yang tak hingga dari molekul; gaya antar molekul akan bernilai nol, dan volume molekuler sepenuhnya dapat diabaikan. 5.2 KOEFISIEN EKSPANSI TERMAL DAN KOMPRESIBILITAS Pengaruh temperatur pada volume padatan dan cairan pada tekanan konstan dinyatakan dengan persamaan V V0 (1 t ), (5.1) dimana t merupakan temperatur celcius, V0 merupakan volume dari padatan atau cairan pada 0oC, dan α merupakan koefisien ekspansi termal. Persamaan (5.1) sama dengan pers. (2.5), merupakan dua persamaan yang sama, yang menghubungkan volume gas dengan temperatur. Perbedaan penting antara kedua persamaan ini adalah nilai α hampir sama untuk semua gas, sementara padatan dan Page 22 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru cairan memiliki nilai α masing-masing. Zat tertentu memilki nilai α yang berbeda untuk padatan dan cairan. α dapat bernilai sama pada rentang yang terbatas. Jika data ditampilkan dengan presisi pada rentang temperatur yang luas, kita harus mempergunakan persamaan dengan pangkat t yang lebih tinggi: V V0 (1 at bt 2 ...), (5.2) dimaan a dan b merupakan konstanta. Untuk gas dan padatan α selalu bernilai positif sementara untuk cairan α biasanya bernilai positif. Pada pers. (5.1), V0 merupakan fungsi dari tekanan. Secara eksperimental ditemukan bahwa hubungan antara volume dan tekana diberikan oleh V0 V00 [1 ( p 1)], (5.3) dimana V merupakan volume pada 0oC pada tekana satu atmosfer, p merupakan tekanan dalam 0 0 atmosfer, dan κ merupakan koefisien kompresibilitas, yang bernilai konstan untuk zat tertentu pada rentang tekana yang besar. Nilai κ berbeda-beda untuk masing-masing zat dan bentuk padatan dan cairan dari zat yang sama. Menurut pers. (5.3) volume dari padatan atau cairan menurun secara linier dengan tekanan. Perilaku ini berlawanan dengan sifat gas dimana volume berbanding terbalik dengan tekanan. Lebih jauh lagi, nilai κ untuk cairan dan padatan sangatlah kecil, nilainya diantara 10-6 hingga 10-5 atm-1. Jika kita mengambil κ = 10-5, dan tekanan sebesar dua atmosfer, volume dari fase terkondensasi adalah, dengan pers (5.3), V = V0 [1–10-5(1)]. Penurunan volume dari 1 atm ke 2 atm adalah sebesar 0,001%. 0 Jika perubahan tekanan yang sama dikenakan pada gas, volumenya akan menjadi setengahnya. Karena perubahan yang cukup besar pada tekanan menghasilkan perubahan yang sangat kecil pada volume cairan dan padatan, seringkali lebih mudah dengan menganggap cairan dan padatan incompressible (tidak dapat ditekan) (κ = 0). Koefisien α dan κ biasanya memberikan definisi yeng lebih umum dibandingkan yang diberikan oleh pers (5.1) dan (5.3). Definis umumnya adalah 1 V , V T p 1 V V p . T (5.4) Jika peningkatan temperatur kecil, definisi umu dari α memperoleh hasil pada pers. (5.1), Menyusun kembali pers (5.4) kita mendapatkan dV dT V (5.5) V V00 [1 (T T0 )][1 ( p 1)]. (5.6) Menggabungkan pers. (5.1) dan (5.3) dengan mengeliminasikan V0 menghasilkan persamaan keadaan untuk fase terkondensasi: Untuk mempergunakan persamaan pada cairan dan padatan tertentu, nilai α dan κ untuk zat tertentu harus diketahui. Nilai dari α dan κ untuk beberapa padatan dan cairan yang umum diberikan pada Tabel 5.1. 5.3 PANAS PENCAIRAN; PENGUAPAN; PNEYUBLIMAN Penyerapan atau pelepasan panas tanpa perubahan temperatur merupakan karakteristik dari perubahan keadaan agregasi suatu zat. Jumlah panas yang diserap pada perubahan padatan menjadi cairan adalah panas pencairan. Jumlah panas yang diserap pada perubahan cairan menjadi gas adalah panas penguapan. Jumlah panas yang diserap pada perubahan cairan menjadi padatan adalah panas sublimasi. Jumlah panas yang diserap pada panas sublimasi sama dengan penjumlahan panas pencairan dan panas penguapan. Page 23 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru 5.4 TEKANAN UAP. Tekanan yang dihasilkan oleh uap dari suatu cairan yang berada dalam suatu wadah dinamakan tekanan uap. Tekanan uap merupakan fungsi dari temperatur dan khas untuk masing-masing cairan. Temperatur dimana tekana uap sama dengan 1 atm adalah titik didih, Tb (b, boiling). Dari distribusi umum Boltzmann, hubungan antara tekanan uap dengan panas penguapan dimungkinkan untuk dapat dibuat. Suatu sistem yang mengandung cairan dan uap yang dalam kesetimbangan memiliki dua wilayah dimana energi potensial dari molekul memiliki nilai yang berbeda. Efek antarmolekul yang kuat membuat energi potensial menjadi lemah pada cairan; W = 0. Sebagai perbandingan energi potensial pada gas sebaliknya tinggi, W. Dengan hukum Boltzmann, pers (4.90), jumlah molekul gas per meter kubik, N A exp( W / RT ) , diamana A merupakan konstanta. Pada gas jumlah dari molekul per meter kubik sebanding dengan tekanan uap, sehingga kita mendapatkan p = B exp (– W/RT), dimana B merupakan konstanta yang lain. Energi yang diperlukan untuk memindahkan molekul dari cairan dan mengubahnya menjadi uap adalah W, energi penguapan. Seperti yang akan kita lihat selanjutnya, panas penguapan, Qvap, dihubungkan dengan W melalui Qvap = W + RT. Memasukkan nilai W ini dalam pernyataan untuk p kita mendapatkan p p e Qvap / RT (5.7) , dimana p∞ merupakan konstanta. Pers. (5.7) menggabungkan tekanan uap, temperatur dan panas penguapan; yang merupakan salah satu bentuk dari persamaan Clausius-Clapeyron. Konstanta p∞ memiliki satuan yang sama dengan p, dan dapat dievalusi dalam bentuk Qvap dan titik didih normal Tb. Pada Tb tekanan uap bernilai 1 atm, sehingga 1 atm = p e p (1atm )e Qvap / RTb Qva p / RTb . Sehingga . (5.8) Persamaan (5.8) dapat dipergunakan untuk mengevaluasi konstanta p∞. Dengan mengambil logaritma, pers. (5.7) menjadi ln p Qvap RT ln p , (5.9) yang sangat berguna untuk menampilkan grafik dari variasi tekanan uap dengan temperatur. Fungsi ln p diplot terhadap fungsi 1/T. Pers. (5.9) kemudian menjadi persamaan garis lurus, dengan slope – Qvap/R. Gbr 5.1 merupakan plot jenis ini; untuk data tekanan uap dari benzena. 5.5 SIFAT LAIN DARI CAIRAN Viskositas atau lebih tepatnya koefisien viskositas merupakan ukuran ketahanan alir cairan dibawah tekanan. Karena molekul cairan sangat dekat satu sama lain, cairan jauh lebih kental dibandingkan dengan gas. Jarak yang dekat dan gaya antarmolekul berkontribusi pada ketahanan aliran ini. Molekul pada kumpulan cairan ditarik dengan gaya yang sama oleh molekul tetangganya, dan tidak mengalami ketidakseimbangan gaya pada sebarang arah tertentu. Molekul pada lapisan permukaan cairan ditarik oleh molekul tetangga, tetapi karena molekul ini hanya memiliki tetangga pada bagian bawahnya, sehingga hanya tertarik kearah cairan, hal ini berkibat pada tingginya energi molekul pada permukaan cairan. Untuk menggerakkan satu molekul badan cairan ke permukaan diperlukan energi tambahan. Karena keberadaan dari molekul lain pada molekul lain meningkatkan luas permukaan, maka energi harus diberikan untuk meningkatkan luas permukaan. Energi yang diperlukan untuk megakibatkan perluasan sebesar 1 m2 dinamakan tegangan permukaan dari cairan. 5.6 TINJAUAN KEMBALI MENGENAI PERBEDAAN STRUKTURAL DARI PADATAN, CAIRAN, DAN GAS Kita telah menggambarkan sruktur gas dengan gerakan chaos molekul (gerakan termal), yang memisahkan satu molekul dengan lainnya pada jarak yang sangat besar jika dibandingkan dengan Page 24 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru diameter molekul. Gaya antar molekul dan ukuran molekular yang sangat kecil berpengaruh sangat kecil dan menghilang pada batas tekanan nol. Karena molekul cairan dipisahkan pada jarak yang sama besar dengan diameter molekulernya, volume yang ditempati oleh cairan sama dengan volume molekul itu sendiri. Page 25 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru 6 Hukum-Hukum Termodinamik: Generalisasi dan Hukum KeNol 6.1 JENIS ENERGI DAN HUKUM PERTAMA TERMODINAMIK Karena sistem fisik dapat memiliki energi dengan banyak cara, kita membicarakan mengenai banyak jenis energi. 1. Energi kinetik: energi yang dihasilkan oleh suatu benda karena gerakannya. 2. Energi potensial: energi yang dihasilkan oleh suatu benda karena posisinya dalam medan gaya; sebagai contoh, suatu massa dalam medan gravitasi, molekul bermuatan dalam medan listrik. 3. Energi termal: energi yang dihasilkan oleh suatu benda karena temperaturnya. 4. Energi yang dihasilkan oleh suatu benda dari penyusunnya; contoh, suatu senyawa memiliki energi “kimia”, inti memiliki energi “inti”. 5. Energi yang dihasilkan oleh suatu benda karena massanya; persamaan relativitas massa-energi. Hukum-hukum termodinamik mengatur perubahan satu bentuk energi menjadi bentuk yang lain. Hukum pertama termodinamik merupakan bentuk yang paling umum dari hukum kekekalan energi; hukum ini tidak memiliki pengecualian. Hukum kekekalan energi merupakan generalisasi dari pengalaman dan tidak dapat diturunkan dari prinsip lain. 6.2 HUKUM KEDUA TERMODINAMIK Hukum kedua termodinamik menyangkut arah dari suatu proses alami. Dengan kombinasi bersama hukum pertama, hukum kedua ini memungkinkan kita untuk memprediksikan kita mengenai arah dari sebarang proses, sehingga kita dapat pula memprediksikan keadaan kesetimbangan. 6.3 HUKUM KENOL TERMODINAMIK Hukum kesetimbangan termal, hukum kenol termodinamik merupakan prinsip lain yang penting. Pentingnya hukum ini pada konsep temperatur tidak disadari hingga bagian lain dari termodinamik telah mencapai perkembangan di tingkat yang advance; sehingga dinamakan hukum kenol. Untuk menggambarkan hukum kenol kta membayangkan dua sampel gas. Kedua sampel berada pada wadah terpisah dan masing-masing memiliki volume dan tekanan V1, p1 dan V2, p2. Pada permulaan kedua sistem diisolasi satu sama lain dan keduanya sepenuhnya berada dalam kesetimbangan. Kedua wadah ini dilengkapi dengan pengukur tekanan. (Gbr 6.1 a) Kedua sistem dihubungkan melalui suatu dinding. Muncul dua buah kemungkinan: ketika dihubungkan melalui dinding sistem dapat saling mempengaruhi atau tidak saling mempengaruhi. Jika sistem tidak saling mempengaruhi, maka dinding merupakan dinding pengisolasi, atau dinding adiabatik, akan tetapi dalam situasi seperti tekanan tidak dipengaruhi. Jika sistem saling mempengaruhi satu sama lain dan tekanan pada keduanya berubah menjadi p’1 dan p’2 (Gbr 6.1 b). Pada keadaan ini dinding merupakan dinding penghantar termal (thermal conducting wall); dan sistem berada dalam kontak termal. Saat dimana kedua nilai tekanan sistem tetap, maka kedua sistem berada dlam kesetimbangan termal. Bayangkanlah tiga sistem A, B,dan C, disusun seperti pada Gbr 6.2(a). Sistem A dan B berada dalam kontak termal, sementara sistem B mengalami kontak termal dengan sistem C. Sistem komposit ini dibiarkan mencapai kesetimbangan termal, sehingga A berada dalam kesetimbangan temral dengan B dan B berada dalam kesetimbangan termal dengan C. Sekarang kita memisahkan sistem A dan C dengan B dan membiarkan keduanya kontak secara langsung satu sama lain (Gbr 6.2b). Kita mengamati bahwa tidak ada perubahan baik pada A maupun C seiring dengan waktu. Sehingga dapat dikatakan bahwa A dan B berada dalam kesetimbangan satu sama lain. Pengalaman ini merupakan penyusun dari hukum kenol termodinamik: Dua sistem yang keduanya berada dalam kesetimbangan termal dengan suatu sistem ketiga berada dalam kesetimbangan termal satu sama lainnya. Page 26 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru Konsep mengenai temperatur dapat dinyatakan sebagai berikut: (1) Sistem yang berada dalam kesetimbnagan termal satu sama lainnya memiliki temperatur yang sama; dan (2) sistem yang tidak berada dalam kesetimbangan termal satu sama lain memiliki temperatur yang berbeda. 7 Termokimia; Energi dan Hukum Pertama Termodinamika 7.1 ISTILAH TERMODINAMIKA: BATASAN-BATASAN Di awal ketika kita mempelajari termodinamika sangatlah penting untuk mengerti pemahaman termodinamik dari istilah yang dipergunakan. Istilah-istilah yang dipergunakan oleh J. A. Beattie berikut telah memberikan ungkapan yang singkat dan jelas. Sistem, Batas, Lingkungan. Suatu sistem termodinamik merupakan bagian dari alam semesta yang sifat-sifatnya sedang diselidiki…. Sistem terletak pada suatu tempat tertentu dalam suatu ruang dengan batas yang memisahkannya dari bagian alam semesta yang lain, lingkungan… Suatu sistem terisolasi ketika batasnya mencegah sembarang interaksi dengan lingkungannya. Suatu sistem yang terisolasi tidak menghasilkan efek atau gangguan yang dapat dideteksi pada lingkungannya. Suatu sistem disebut terbuka jika massa dapat melewati batas, tertutup ketika tidak ada massa yang melewati batas…… Sifat-sifat dari suatu Sistem. Sifat dari sistem merupakan penampakan fisik yang dapat nampak oleh indra, atau dapat diketahui dengan metode tertentu. Sifat terbagi menjadi dua: (1) tidak terukur, ketika jenis zat tertentu menyusun suatu sistem dan keadaan agregasi dari bagianbagiannya; dan (2) terukur; seperti tekanan dan volume, yang mana dapat dinyatakan dalam suatu nilai numerik baik dengan perbandingan langsung maupun tidak langsung dengan standar. Keadaan dari Sistem. Suatu sistem merupakan keadaan tertentu dimana setiap sifatnya memiliki nilai tertentu. Kita harus mengetahuinya baik melalui suatu studi eksperimental dari sistem tersebut atau dari pengalaman dengan sistem yang serupa, sifat-sifat yang harus diperhatikan untuk mendefinisikan suatu sistem adalah………. Perubahan Keadaan, Langkah, Siklus, Proses. Anggaplah suatu sistem mengalami perubahan keadaan dari keadaan awal tertentu hingga suatu keadaan akhir tertentu. Perubahan keadaan didefinisikan sepenuhnya ketika keadaan awal dan akhir ditentukan. Langkah perubahan keadaan didefinisikan dengan menentukan keadaan awal, rangkaian keadaan antara yang disusun oleh oleh sistem, dan keadaan akhir. Proses merupakan metode operasi yang mempengaruhi oleh perubahan keadaan. Deskripsi mengenai proses terdiri dari penyataan menganai hal-hal berikut ini: (1) batas; (2) perubahan keadaan; langkah, efek yang dihasilkan oleh sistem pada setiap tahapan proses; dan (3) efek yang dihasilkan pada lingkungan pada tiap langkah proses. Anggaplah bahwa suatu sistem mengalami perubahan keadaan dan dikembalikan ke keadaan awalnya. Langkah-langkah ini disebut sebagai sebuah siklus, dan proses yang terjadi disebut sebagai proses siklik. Variabel Keadaan, Suatu variabel keadaan merupakan variabel yang memiliki nilai tertentu ketika suatu sistem ditetapkan…… 7.2 KERJA DAN KALOR Konsep mengenai kerja dan kalor merupakan dasar yang sangat penting dalam termodinamik dan definisinya harus dapat dipahami secara keseluruhan; penggunaan istilah kalor dan kerja yang dipergunakan dalam termodinamik sedikit berbeda dengan yang dipergunakan dalam kehidupan sehariPage 27 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru hari maupun dalam bidang ilmu yang lain. Pengertian kedua istilah ini kembali akan diberikan oleh J. A. Beattie… Kerja. Dalam termodinamik kerja didefinisikan sebagai sembarang kuantitas yang mengalir melewati batas dari suatu sistem selama perubahan keadaan sistem tersebut dan sepenuhnya dapat diubah menjadi peningkatan dari berat di lingkungannya. Beberapa hal harus diperhatikan dalam pengertian kerja ini. 1. Kerja hanya terjadi di batas sistem. 2. Kerja hanya terjadi selama terjadi perubahan keadaan. 3. Kerja diwujudkan dengan suatu efek pada lingkungannya. 4. Kuantitas kerja sama dengan mgh, dimana m merupakan massa yang dipindahkan, g merupakan percepatan gravitasi, h merupakan ketinggian yang dicapai oleh berat. 5. Kerja merupakan suatu jumlah aljabar, akan positif jika massa diangkat (h bernilai +), dimana hal ini kita sebut kerja telah dihasilkan diskeliling; nilainya akan negatif jika jika massa diturunkan (h bernilai -), dalam hal ini kerja kita anggap mengalir dari lingkungan. Kalor. Kita menjelaskan pencapaian kesetimbangan termal dari dua sistem dengan menyatakan bahwa suatu kuantitas kalor Q telah mengalir dari sistem dengan temperatur yang lebih tinggi ke sistem dengan temperatur yang lebih rendah. Dalam termodinamik kalor didefinisikan sebagai suatu kuantitas yang mengalir melewati batasan dari suatu sistem selama perubahan keadaannya dengan jalan perbedaan temperatur antara sistem dan lingkungannya dan mengalir dari titik dengan temperatur yang lebih tinggi ke titik yang temperaturnya lebih rendah. Beberapa hal yang harus diingat. 1. kalor hanya terjadi di batas sistem. 2. kalor hanya terjadi selama ada perubahan pada keadaan. 3. kalor dimanifestasikan dengan efek pada lingkungannya. 4. Kuantitas dari massa berbanding lurus dengan massa air dilingkungannya yang dinaikkan temperaturnya pada suatu tekanan tertentu. 5. kalor merupakan suatu jumlah aljabar, bernilai positif jika massa air dilingkungannya didinginkan dan sebaliknya bernilai negatif jika massa air dilingkungannya menghangat. 7.3 KERJA EKSPANSI Jika suatu sistem menyesuaikan volumenya dengan suatu tekanan yang berlawanan, suatu akibat dari kerja dihasilkan pada lingkungannya. Kerja ekspansi ini terjadi hampir pada semua keadaan pada kehidupan sehari-hari. Sistemnya merupakan sekumpulan gas yang ditampung dalam suatu silinder yang ditutup dengan suatu piston D. Piston tersebut diasumsikan tidak memiliki massa dan tidak mengalami gesekan. Silinder tersebut dimasukkan kedalam suatu termostat sehingga suhunya konstan selama terjadi perubahan keadaan. Terkecuali dibuat suatu pernyataan khusus yang berkebalikan, dianggap tidak ada tekanan udara yang menekan piston ke bawah. Pada keadaan awal piston D ditahan oleh serangkaian penahan S oleh tekanan dari gas. Suatu penahan kedua S’ dipakai untuk menahan piston setelah rangkaian pertama ditarik. Keadaan awal dari sistem digambarkan dengan T, p1,V1. Ketika menempatkan sejumlah kecil massa M pada piston; massa ini haruslah cukup kecil sehingga ketika penahan S ditarik, piston akan naik dan disorong melawan penahan S’. Keadaan akhir dari sistem adalah T, p2,V2. Batasnya merupakan dinding bagian dalam dari silinder dan piston; dimana perubahan batas meningkatkan volume menjadi lebih besar V2. Kerja Page 28 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru dihasilkan dalam perubahan ini, karena massa M disekelilingnya, telah diangkat vertikal ke atas sejauh h melawan gaya gravitasi Mg. Jumlah kerja yang dihasilkan adalah W =Mgh. (7.1) Jika luas dari piston adalah A, tekanan kearah bawah yang memberikan aksi pada piston adalah Mg/A = Pop, tekanan yang melawan gerakan dari piston (op=opposite, lawan). Oleh karenanya Mg = PopA. Mempergunakan nilai ini pada pers 7.1 kita peroleh, W = PopAh. Nilai Ah dapat didapatkan dari pertambahan volume sebagai akibat perubahan keadaan, dimana Ah = V2 – V 1 , dan kita mendapatkan W = Pop(V2 – V1). (7.2) Kerja yang dihasilkan pada perubahan keadaan dalam pers (7.2), digambarkan pada luas wilayah yang diarsir dalam diagram p – V pada gambar 7.2(c). Kurva putus-putus merupakan isoterm dari gas dimana ditunjukkan nilai awal dan akhirnya. Terbukti bahwa M dapat bernilai dari nol hingga batas atas tertentu dan masih memungkinkan piston untuk naik hingga penahan S’. Hal ini sesuai dengan pop yang dapat memiliki nilai antara 0≤ pop ≤ p2, dan oleh karenanya jumlah kerja yang dihasilkan dapat bernilai nol hingga beberapa nilai yang lebih tinggi. Kerja merupakan fungsi dari langkah. Haruslah diingat bahwa pop merupakan suatu perkiraan dan tidak berhubungan dengan tekanan dari sistem. Oleh karena itu tanda dari W ditentukan oleh oleh tanda dari V, karena pop = mg/A selalu bernilai positif. Pada ekspansi, V = + dan W = +; massa naik. Pada kompresi, V = - , W = -; massa turun. 7.3.1 Ekspansi Dua Tahap Persamaan 7.2 hanya berlaku jika nilai pop tetap selama perubahan keadaan. Jika ekspansi terjadi dalam dua tahap maka persaman akan berubah menjadi penjumlahan dari total kerja yang dihasilkan untuk kedua tahap: W = Wtahap 1 + Wtahap2 = pop’(V’ – V1) + pop”(V” – V2) Jumlah kerja yang ditunjukan dengan daerah yang diarsir pada gambar 7.3 untuk p” = p2. Perbandingan dari gambar 7.2 (c) dan gambar 7.3 menujukkan bahwa kerja yang dihasilkan oleh ekspansi dengan dua tahap menghasilkan kerja lebih banyak dibandingkan dengan ekspansi satu tahap. 7.3.2 Ekspansi Multi Tahap Suatu ekspansi multi tahap menghasilkan penjumlahan dari sejumlah kecil kerja yang dihasilkan pada setiap tahapan. Jika Pop konstan dan volume meningkat dengan jumlah kecil dV, kemudian jumlah kerja dW diberikan oleh dW = PopdV (7.3) Jumlah keseluruhan kerja yang dihasilkan untuk ekspansi dari V1 hingga V2 merupakan integral dari 2 V2 W dW PopdV 1 V1 (7.4) Page 29 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru yang merupakan ungkapan umum untuk ekspansi dari sembarang sistem. Jika Pop diketahui sebagai fungsi dari volume, integralnya dapat dicari dengan mempergunakan cara biasa. perhatikanlah bahwa diferensial dW tidak berintegrasi dengan cara yang biasa. Integral dari suatu diferensial biasa dx antar limit menghasilkan suatu perbedaan tertentu, ∆x, x2 x1 dx x2 x1 x, akan tetapi integral dari dW merupakan penjumlahan dari sejumlah kecil kerja yang dihasilkan oleh setiap elemen dari rangkaian tersebut, 2 1 dW W dimana W merupakan jumlah total kerja yang dihasilkan. Diferensial dW merupakan diferensial tidak eksak dan diferensial dx merupakan diferensial eksak. 7.4 KERJA KOMPRESI Kerja yang dipergunakan pada kompresi diperhitungkan mempergunakan persamaan yang sama dengan yang dipergunakan untuk memperhitungkan kerja yang dihasilkan oleh ekspansi. Volume akhir pada kompresi lebih kecil dari volume awal, sehingga setiap tahapan ∆V bernilai negatif; sehingga kerja yang dipergunakan bernilai negatif. Kompresi satu tahap dapat digambarkan sebagai berikut, suatu sistem yang sama seperti sebelumnya, dipertahankan pada suhu konstan –T, akan tetapi keadaan awalnya merupakan keadaan terekspansi T,p2,V2, sementara keadaan akhirnya merupakan keadaan terekspansi T,p1,V1. Kerja yang dpergunakan dalam kompresi satu tahap akan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kerja yang dihasilkan dalam ekspansi satu tahap (Gbr. 7.2c). 7.5 KERJA MAKSIMUM DAN MINIMUM Pada ekspansi dua tahap lebih banyak kerja dihasilkan dibandingkan dengan ekspansi satu tahap. Hal ini cukup beralasan karena ekspansi dilakukan dalam banyak tahapan mempergunakan massa yang besar pada awalnya dan membuatnya semakin kecil ketika ekspansi terlaksana, bahkan lebih banyak kerja dapat dihasilkan. Hal ini merupakan sebuah kebenaran, akan tetapi terdapat pembatasan untuk hal ini. Massa yang dipergunakan tidaklah terlalu besar sehingga dapat menekan sistem disamping dapat membiarkannya untuk berekspansi. Dengan berekspansi melalui sejumlah besar tahapan akan dihasilkan rangkaian tahapan yang terus menerus kerja yang dihasilkan dapat ditingkatkan hingga suatu nilai maksimum tertentu. Sama halnya kerja yang dipakai dalam kompresi dua tahap kurang dari yang yang dipergunakan dalam kompresi satu tahap. Dalam suatu kompresi banyak tahap dipergunakan kerja yang lebih sedikit lagi. Kerja ekspansi diberikan oleh Vf W Pop dV Vi Agar integral menghasilkan suatu nilai maksimum, maka Pop haruslah memiliki nilai terbesar yang mungkin untuk setiap tahapan dari proses. Akan tetapi jika gas berekspansi, Pop harus kurang dari tekanan gas p. Oleh karenanya untuk menghasilkan kerja maksimum, kita menyesuaikan tekanan lawan menjadi Pop = p – dp, suatu nilai yang lebih kecil dari tekanan gas. Kemudian Vf Vf Vi Vi Wm ( p dp)dV ( pdV dpdV ) , Page 30 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru dimana Vi dan Vf merupakan volume awal dan volume akhir. Pernyataan kedua dalam integral adalah suatu bentuk yang lebih besar dari pertama yang mempunyai limit nol. Oleh karenanya untuk kerja maksimum pada ekspansi Vf Wm pdV . Vi (7.5) Sama halnya ketika kita mencari kerja minimum yang diperlukan untuk kompresi dengan menetapkan nilai Pop untuk setiap tahapan sedikit lebih kecil dari tekanan dari gas; Pop = p+ dp. Ungkapan ini sebelumnya menghasilkan pers. (7.5) yang tentunya merupakan bentuk umum dan tidak dibatasi untuk gas. Untuk gas ideal, jumlah maksimum kerja yang dihasilkan pada ekspansi atau yang dipakai untuk kompresi sama dengan daerah yang diarsir pada daerah dibawah isoterm pada Gbr. 7.6. Untuk gas ideal kerja maksimum atau minimum pada suatu perubahan keadaan isotermal dapat dengan mudah dievaluasi, karena p = nRT/V. Menggunakan nilai tekanan ini untuk pers. (7.5), kita mendapatkan Vi Wmax, min Vf Vi dV V nRT dV nRT nRT ln f . Vf V V Vi Pada kondisi yang digambarkan, n dan T akan bernilai konstan selama perubahan sehingga dapat dikeluarkan dari tanda integral. Ingatlah bahwa pada ekspansi Vf > Vi, sehingga rasio logaritmanya positif; pada kompresi Vf < Vi, rasionya lebih kecil dari satu sehingga logaritmanya negatif. Dengan cara inilah tanda dari W berubah dengan sendirinya. 7.6 PERUBAHAN REVERSIBEL DAN IREVERSIBEL Bayangkanlah suatu sistem yang sama dengan sistem sebelumnya; sejumlah gas yang berada di dalam silinder pada temperatur konstan T. Kita mengekspansi gas dari keadaan T, p1,V1 ke keadaan T, p2,V2 dan kemudian kita mengkompresi gas ke keadaan asalnya. Gas telah dikenakan suatu perubahan siklik yang mengembalikannya ke keadaan awalnya. Anggaplah bahwa kita melakukan siklus ini dengan dua proses yang berbeda dan memperhitungkan efek langlah Wcy untuk setiap proses. Proses 1. Ekspansi satu tahap dengan Pop = p2; kemudian ekspansi satu tahap dengan pop = p1. Kerja yang dihasilkan dalam ekspansi oleh karenanya dengan pers (7.4), Wexp p 2 (V2 V1 ) , sedangkan kerja yang dihasilkan pada kompresi adalah Wcomp p1 (V1 V2 ) . Efek jaringan pada siklus ini merupakan penjumlahan dari keduanya: Wcy p 2 (V2 V1 ) p1 (V1 V2 ) ( p 2 p1 )(V2 V1 ) . Karena V1 – V2 bernilai positif, dan p2 – p1 bernilai negatif, maka Wcy bernilai negatif. Jaring kerja telah dipergunakan dalam proses ini. Sistem telah dikembalikan ke keadaan semula, akan tetapi tidak dengan lingkungannya; massa menjadi lebih kecil dilingkungannya setelah siklus. Proses 2. Pembatasan ekspansi banyak tahap dengan Pop = p; kemudian membatasi kompresi multi tahap dengan Pop = p. Dengan pers. (7.5), kerja yang dihasilkan pada ekspansi adalah Page 31 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru V2 Wexp pdV , V1 sementara kerja yang dihasilkan pada kompresi adalah, dengan pers. (7.5), V1 Wcomp pdV . V2 Efek langkah kerja pada siklus adalah V2 V1 V2 V2 V1 V2 V1 V1 Wcy pdV pdV pdV pdV 0 , Jika perubahan dilakukan dengan metode kedua, sistem dikembalikan ke keadaan semula, dan demikian juga dengan lingkungannya dikembalikan ke keadaan semula, karena tidak dihasilkan efek kerja jaringan. Bayangkan sistem mengalami perubahan keadaan melalui serangkaian keadaan intermediet tertentu dan kemudian dikembalikan dengan melalui rangkaian keadaan yang sama dengan urutan yang berkebalikan. Kemudian jika lingkungan juga dikembalikan ke keadaan semula, perubahan dalam kedua arah reversibel. Proses yang demikian disebut proses reversibel. Jika lingkungan tidak dikembalikan ke keadaan semula setelah siklus, perubahan dan prosesnya ireversibel. Kita tidak dapat melakukan suatu perubahan secara reversibel. Suatu rentang waktu yang tidak tentu diperlukan jika peningkatan volume pada setiap tahap sangat kecil. Proses reversibel karenanya bukanlah merupakan proses yang sebenarnya, akan tetapi suatu proses ideal. Proses yang sebenarnya selalu merupakan proses yang ireversibel 7.7 ENERGI DAN HUKUM PERTAMA TERMODINAMIK Kerja yang dihasilkan pada perubahan siklik merupakan penjumlahan dari sejumlah kecil kerja dW yang dihasilkan pada setiap tahap siklus. Sama halnya dengan kalor yang dihilangkan dari lingkungan pada suatu perubahan siklik merupakan penjumlahan dari sejumlah kecil kalor dQ yang dipakai pada setiap tahapan siklus. Penjumlahannya dilambangkan dengan integral siklik dari dW dan dQ: Wcy dW , Qcy dQ . Umumnya Wcy dan Qcy tidak bernilai nol; hal ini merupakan karakteristik dari fungsi langkah. Sebaliknya, ingatlah jika kita menjumlahkan sembatang sifat keadaan dari sistem pada sembarang perbedaan, intergral sikliknya haruslah nol. Karena pada sembarang siklus sistem pada akhirnya kembali ke keadaan awalnya, perbedaan total untuk sembarang sifat keadaan adalah nol. Sebaliknya, jika kita menemukan suatu penjumlahan diferensial dy dimana dy 0 (keseluruhan siklus), (7.7) dW dQ (7.8) dan dy merupakan diferensial dari sembarang sifat dari keadaan dari sistem. Hal ini merupakan murni teorema matematika, yang dinyatakan disini dengan bahasa fisik. Mempergunakan teorema ini dan hukum pertama termodinamik, kita menemukan adanya suatu sifat dari keadaan sistem, yaitu energi. Hukum pertama termodinamik merupakan suatu penyataan dari pengalaman universal: Jika suatu sistem mengalami transformasi siklik, kerja yang dihasilkan pada lingkungannya sama dengan kalor yang diambil dari lingkungannya. Dalam bentuk matematis, hukum pertama menyatakan bahwa (keseluruhan siklus) Page 32 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru Sistem tidak mengalami perubahan jaringan selama siklus, tetapi kondisi dari lingkungannya berubah. Jika massa dilingkungannya menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum siklus, maka ada benda yang harus lebih kalor. Menyusun kembali pers. (7.8) kita mendapatkan (dQ dW ) 0 (keseluruhan siklus) (7.9) Akan tetapi jika pers. (7.9) benar, teorema matematika mengharuskan jumlah dibawah tanda integral haruslah merupakan diferensial dari beberap sifat dari keadaan pada sistem. Sifat dari keadaan ini disebut energi, U, dari sisitem; diferensialnya adalah dU, yang didefinisikan dengan dU = dQ – dW; (7.10) kemudian tentu saja, dU 0 (keseluruhan siklus) (7.11) Oleh karenanya dari hukum pertama, yang menghubungkan efek kalor dan kerja yang teramati pada lingkungan dalam suatu transformasi siklik, kita menganggap adanya suatu sifat dari keadaan dari sistem, yaitu energi. Pers. (7.10) merupakan suatu persamaan yang ekuivalen dengan pernyataan hukum pertama. Pers. (7.10) menunjukkan bahwa jika sejumlah kecil kalor dan kerja dQ dan dW terjadi pada bidang batas, energi dari sistem mengalami perubahan dU. Untuk perubahan tertentu dari keadaan, kita mengintegrasikan pers. (7.10): i f f f dU d dW , i i U Q W (7.12) dimana ∆U = Uakhir – Uawal. Ingatlah bahwa hanya perbedaan kecil dari energi dU atau ∆U yang telah didefinisikan, jadi kita dapat memperhitungkan dalam perubahan keadaan, akan tetapi kita tidak dapat menetapakan suatu niali absolut pada energi dari sistem dalam keadaan tertentu. Kita dapat menunjukkan bahwa energi dipertahankan selama sebarang perubahan keadaan. Anggaplah suatu perubahan sistem pada sistem A; maka U A Q W dimana Q dan W merupakan kalor dan efek kerja yang diwujudkan dengan perubahan temperatur pada benda dan perubahan ketinggian pada massa. Jika memungkinkan untuk memilih suatu batas yang menutupi sistem A dan lingkungannya , dan tidak terjadi efek yang dihasilkan dari perubahan A yang bisa diamati diluar batas ini. Batas ini memisahkan dua sistem komposit-dibuat dari sistem asli A dan M, lingkungannya yang berdekatan-dari sisa alam semesta. Karena tidak ada kalor atau akibat dari kerja yang teramati diluar sistem ini, sehingga perubahan energi pada sistem komposit adalah nol. U AM 0 Tetapi perubahan energi pada sistem komposit merupakan penjumlahan dari perubahan energi subsistem, A dan M. Sehingga U AM U A U M 0 atau U A U M Persamaan ini menyatakan bahwa dalam sebarang transformasi, sebarang peningkatan energi sistem A diseimbangkan dengan tepat penurunan yang sama pada lingkungannya. Hal ini sesuai dengan U A (akhir) U A (awal) U M (akhir) U A (awal) 0, Page 33 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru atau U A (akhir) U A (awal) U M (akhir) U A (awal), yang menyatakan bahwa energi dalam sistem komposit adalah konstan. Jika kita membayangkan alam semesta disusun oleh banyak sistem komposit, yang masing-masing ΔU nya = 0, maka kumpulannya mestinya juga ΔU = 0. Sehingga kita mendapatkankan pernyataan terkenal dari hukum pertama Termodinamika oleh Clausius: “Energi dari alam semesta bernilai konstan.” 7.8 PERUBAHAN ENERGI DAN HUBUNGANNYA DENGAN SIFAT DARI SISTEM Mempergunakan hukum pertama dalam bentuk U Q W , kita dapat memperhitungkan ΔU untuk perubahan keadaan dari nilai Q dan W yang diukur, efek pada lingkungannya. Akan tetapi suatu perubahan keadaan dari sistem berakibat perubahan sifat dari sistem, seperti T dan V. Sifat dari sistem ini dapat diukur pada keadaan awal dan akhir, dan hal ini sangat bermanfaat untuk menghubungkan perubahan energi, anggaplah perubahan pada temperatur dan volume. Permasalahan inilah yang saat ini sedang menarik perhatian kita. Dengan memilih sistem dengan massa tetap, kita dapat menggambarkan keadaan dengan T dan V. Maka U = U(T, V), dan perubahan energi dU dihubungkan dengan perubahan temperatur dT dan volume dV melalui ungkapan diferensial keseluruhan U U dU dT dV . T V V T (7.13) Diferensial dari sebarang sifat keadaan, sebarang diferensial eksak, dapat dituliskan dalam bentuk dari pers. (7.13). Ungkapan jenis ini seringkali dipergunakan sehingga sangat penting untuk memahami pengertian fisik dan matematisnya. Pers. (7.13) menyatakan jika temperatur sistem meningkat sejumlah dT dan volume sistem meningkat sejumlah dV, maka perubahan energi keseluruhan dU merupakan penjumlahan dari kedua kontributor: suku pertama, (∂U∂T)V dT dikalikan dengan perubahan temperatur dT. 7.8 PERUBAHAN KEADAAN PADA TEKANAN KONSTAN Dalam praktek laboratorium kebanyakan perubahan keadaan dilakukan pada tekanan atmosferik yang konstan. Perubahan keadaan pada tekanan konstan dapat dilihat dengan memasukkan sistem kedalam suatu silinder yang tertutup oleh piston yang diberi pemberat dan dan dapat mengapung dengan bebas (Gbr. 7.8), yang ditahan pada suatu kedudukan dengan serangkaian penahan. Karena piston dapat bergerak dengan bebas, posisi kesetimbangnnya ditentukan oleh keseimbangan dari tekanan lawan yang diberikan oleh massa M dan tekanan dari sistem. Tidak perduli apa yang kita lakukan dengan sistem , piston akan bergerak hingga p = Pop terpenuhi. Tekanan p pada sistem dapat disesuaikan menjadi suatu nilai konstan dengan mempergunakan massa M yang sesuai. Pada kondisi laboratorium yang biasa massa dari kolom udara diatas sistem mengapung diatas sistem dan mempertahankan tekanan pada niali konsatan p. Karena Pop = p, untuk suatu perubahan pada tekanan konstan, pernyataan hukum pertama menjadi dU dQ p pdV . (7.25) Karena p konstan, jika diintegrasikan sekali menghasilkan 2 1 2 V2 dU dQ pdV , 1 p V1 U 2 U 1 Q p pV2 V1 . Page 34 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru Menyusun kembali, kita dapatkan (U 2 pV2 ) (U 1 pV1 ) Q p . (7.26) Karena p1 = p2 = p, dalam pers. (7.26) p yang pertama dapat digantikan oleh p2, dan yang kedua dengan p1: (U 2 p 2V2 ) (U 1 p1V1 ) Q p (7.27) Karena tekanan dan volume bergantung hanya pada keadaan, hasil dari pV hanya bergantung pada keadan dari sistem. Fungsi U + pV, menjadi kombinasi dari variabel keadaan, yang merupakan variabel keadaan H. Kita mendefiniskan H U pV ; (7.28) H disebut entalpi dari sistem yang merupakan sifat ekstensif. Dengan mempergunakan definisi H, kita dapat menuliskan pers. (7.27) sebagai atau H Q p , H2 – H1 = Qp, (7.29) yang menunjukkan bahwa pada tekanan konstan kalor yang diserap dari lingkungan sebanding dengan penigkatan entalpi sistem. Biasanya, efek panas diukur dari tekanan konstan; oleh karenanya akibat dari kalor ini menunjukkan perubahan entalpi dari sistem, bukan perubahan pada energi sistem. Untuk memperhitungkan perubahan energi pada tekanan konstan, pers (7.26) ditulis sebagai U pV Q p . (7.30) Dengan mengetahui Qp dan perubahan volume V, kita dapat menghitung nilai U. Persamaan (7.29) dapat dipergunakan pada penguapan cairan pada tekanan dan temperatur konsatan. Panas yang diserap dari lingkungannya merupakan panas penguapan Qvap. Karena perubahan terjadi pada tekanan konstan, Qvap = Hvap. Sama halnya kalor dari kalor penggabungan dari padatan merupakan peningkatan entalpi selama penggabungan: Qfus = Hfus Untuk suatu perubahan kecil pada keadaan sistem, pers (7.29) mengambil bentuk dH = dQp. (7.31) Karena H merupakan fungsi keadaan, dH merupakan diferensial eksak; memilih T dan p sebagai variabel yang sesuai untuk H, kita dapat menulisakan keseluruhan diferensial sebagai H H dp . dH dT T p p T (7.32) Untuk perubahan pada tekanan konstan, dp = 0, dan pers. (7.32) menjadi dH (H / T ) p dT . Menggabungkan dengan pers. (7.31) menghasilkan H dQ p dT , T p yang menghubungkan kalor yang diserap dari lingkungan dengan peningkatan temperatur sistem. Rasio dQp/dT merupakan Cp, kapasitas pan sistem pada tekanan konstan. Oleh karenanya kita mendapatkan Page 35 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru H , dT T p dQ p Cp (7.33) yang mengidentifikasikan turunan parsial yang penting (∂H/∂T)p dengan jumlah Cp yang dapat diukur. Dari hal ini, diferensial total pada pers.(7.32) akan dituliskan dalam bentuk H dp . dH C p dT p T (7.34) Untuk sembarang perubahan pada tekanan konstan, karena dp = 0, pers. (7.34) direduksi menjadi dH = CpdT, (7.35) atau untuk suatu perubahan keadaan tertentu dari T1 ke T2, T2 H C p dT . (7.36) T1 Jika Cp konstan pada rentang temperatur yang dipergunakan, pers. (7.36) menjadi ∆H = Cp∆T. (7.37) Persamaan pada bagian ini cukup umum dan dapat dipergunakan untuk sembarang perubahan pada tekanan konstan dalam sistem dengan massa tetap, tanpa perubahan fase atau tanpa terjadinya reaksi kimia. CONTOH 7.2 Untuk perak C p/(J/Kmol) = 24,43+0,00628T. Hitunglah ∆H jika 3 mol perak tersebut dinaikkan suhunya dari 25oC hingga titik didihnya 961oC, dibawah tekanan 1 atm. Pada p konstan untuk 1 mol H T2 T1 T2 C p dT (23,43 0,00628T )dT T1 7.14 HUBUNGAN ANTARA Cp DAN Cv Untuk suatu perubahan tertentu pada suatu sistem dengan perubahan temperatur tertentu dT, dan hubungannya dengan perubahan temperatur itu, pnas yang diserap dari lingkunganya mungkin memiliki nilai yang berbeda., karena hal ini bergantung pada pola dari perubahan keadaan. Olehkarenanya tidaklah mengejutkan jika suatu sistem memiliki lebih dari satu kapasitas kalor. Kenyataannya, kapasitas kalor dari suatu sistem dapat memiliki nilai dari negatif tak terbatas hingga positif tak terbatas. Hanya dua nilai, Cp dan Cv yang memiliki arti penting. Karenan keduanya tidaklah sama, sangatlah penting untuk mengetahui hubungan keduanya. Kita memulai menyelesaikan persamaan ini dengan menghitung kalor yang diserap pada tekanan konsatan dengan mempergunakan pers. (7.14) dalam bentuk U dQ Cv dT dT Pop dV . V T Untuk perubahan pada tekanan konstan dengan Pop = p, persamaan ini menjadi U dQ Cv dT p dV , V T karena Cp = dQp/dT, kita membagi dengan dT dan emperoleh Page 36 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru U V C p Cv p V T T p (7.38) yang memerlukan hubungan antara Cp dan Cv. Dan biasanya ditulis dalam bentuk U V C p Cv p V T T p (7.39) Persamaan ini merupakan hubungan umum antara Cp dan Cv. Selanjutnya akan diperlihatkan bahwa jumlah disisi kanan persamaan akan selalu positif; oleh karena Cp selalu lebih besar dari Cv untuk sembarang zat. Kelebihan Cp dibanding Cv terdiri dari penjumlahan dua bentuk. Bentuk pertama, V p , T p yang merupakan kerja yang dihasilkan, pdV, persatuan peningkatan temperatur merupakan proses tekanan konstan. Bentuk kedua, U V , V T T p meruapakan energi yang diperlukan untuk menarik molekul saling menjauh melawan gaya tarik antar molekul. Jika suatu gas berekspansi, jarak rata-rata antara molekul meningkat. Sejumlah kecil energi harus ditambahkan ke gas untuk menarik molekul gas ke pemisahan yang lebih jauh melawan gaya tarik; energi yang diperlukan per kenaikan satuan dalam volume diberikan oleh turunan (∂U/∂V)T. Pada proses dengan volume konstan, tidak ada kerja yang dihasilkan dan jarak rata-rata antar molekul tetap sama. Oleh karenanya kapasitas kalornya kecil; semua kalor yang diserap berubah menjadi gerakan chaos yang dicerminkan oleh kenaikan suhu. Pada proses dengan tekanan konstan, sistem berekspansi melawan tekanan yang bertahan dan menghasilkan kerja pada lingkungannya; kalor yang diserap dari lingkungan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama menghasilkan kerja pada lingkungan, bagian kedua menyediakan energi yang diperlukan untuk memisahkan molekul lebih jauh, bagian ketiga meningkatkan energi dari gerakan chaos. Hanya bagian terakhir ini yang dicerminkan dngan peningkatan temperatur. Untuk menghasilkan peningkatan temperatur sebesar satu derajat, lebih banyak kalor harus diserap pada tekanan konstan dibandingkan dengan yang diserap oleh proses dengan volume konstan. Oleh karenanya Cp lebih besar dari Cv. Suatu nilai lain yang juga berguna adalah rasio kapasitas kalor, γ, yang didefinisikan sebagai Cp Cv . (7.40) Dari apa yang telah disebutkan, jelaslah bahwa γ selalu lebih besar dari satu. Selisih kapasitas kalor untuk gas ideal memiliki bentuk yang sederhana karena (hukum Joule). Maka pers. (7.39) menjadi V C p C v p . T p (∂U/∂V)T = 0 (7.41) Jika kita membicarakan kapasitas kalor molar, volume pada turunan merupakan volume molar; dari persamaan keadaan, V RT / p . Menurunkan terhadap temperatur, dan mempertahankan tekanan konstan, menghasilkan (V / T p ) =R/p. Memasukkkan nilai ini pada pers.(7.41) mereduksinya menjadi hasil yang sederhana Page 37 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru C p Cv R . (7.42) Walaupun pers. (7.42) benar hanya untuk gas ideal, pers. Ini merupakan pendekatan yang sangat berguna untuk gas real. Selisih kapasitas kalor untuk cairan dan padatan biasanya cukup kecil, dan kecuali kerja yang memerlukan akurasi tinggi, memungkinkan untuk menyatakan Cp = Cv, (7.43) Walaupun terdapat beberapa aturan pengecualian. Alasan fisik untuk kesamaan yang berdekatan antara Cp dan Cv cukup jelas. Koefisien ekspansi termal dari cairan dan padatan sangatlah kecil: yang berakibat kerja yang dihasilkan oleh ekspansi juga kecil dan hanya sedikit energi yang diperlukan untuk peningkatan sedikit ruang antar molekul. Hampir semua kalor yang diserap lingkungan berubah menjadi peningkatan energi gerakan chaos dan dicerminkan dengan kenaikan temperatur yang mirip dengan yang terjadi pada poses dengan volume konstan. Untuk alasan yang telah disebutkan pada akhir bagain 7.11, tidak memungkinkan untuk mengukur Cv dari cairan atau padatan secara langsung; sementara Cp dapat diukur. Tabulasi dari nilai kapasitas kalor dari padatan cairan merupakan nilai Cp. 7.15 PENGUKURAN (∂H/∂p)T; EKSPERIMEN JOULE THOMPSON Identifikasi dari turunan parsial (∂H/∂p)T dengan suatu nilai yang dapat diperoleh secara eksperimen memiliki kesulitan yang sama ketika mencoba mendapatkan nilai (∂H/∂V)T pada bagian 7.12. Kedua turunan ini saling berhubungan. Dengan menurunkan definisi dari H = U + pV, kita memperoleh dH = dU + pdV + Vdp. Dengan memasukkan nilai dari dH dan dU dari pers. (7.24) dan (7. 34), kita mendapatkan U H dp Cv dT C p dT p dV Vdp . p T V T (7.44) Dengan membatasi persamaan yang menyulitkan pad temperatur konsatn, dT = 0, dan membagi dengan dp, kita dapat menyederhanakannya menjadi H U V p V , V T p T p T (7.45) yang merupakan persamaan yang sangat baik. Untuk cairan dan padatan pada bagian pertama pada sisi kanan pers. (7.45) biasanya sangat kecil jika dibandingkan dengan bagian kedua, jadi sebuah pendekatan yang baik adalah H V p T (padatan dan cairan). (7.46) Karena volume molar dari cairan dan padatan sangat kecil, variasi dari entalpi dengan tekanan dapat diabaikan-kecuali perubahan tekanannya sangat besar. Untuk gas ideal, H 0 . p T (7.47) Hasil ini paling mudah didapatkan dari definisi H = U + pV. Untuk gas ideal, pV RT , maka H U RT . (7.48) Page 38 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru Karena energi dari ga ideal hanya merupakan fungsi dari temperatur, dengan pers. (7.48) entalpi merupakan fungsi dari temperatur saja, dan tidak bergantung pada tekanan. Hasil pada pers. (7.47) juga dapat diperoleh dari pers. (7.45) dan hukum Joule. Turunan (∂H/∂V)T sangat kecil untuk gas real, akan tetapi dapat diukur. Eksperimen Joule, dimana gas dapat berekspansi dengan bebas, gagal untuk memperlihatkan perbedaan temperatur yang dapat diukur dari keadaan awal dan akhir. Selanjutnya Joule dan Thompson melakukan eksperimen yang berbeda, eksperimen Joule-Thompson. (Gbr. 7.9). Gas yang mengalir melalui pipa yang disekat dengan arah yang sesuai dengan arah panah; pada posisi A dihalangi, dengan piringan berpori atau diafragma dengan lubang kecil, atau sarung tangan sutra seperti pada eksperimen aslinya. Karena adanya halangan terjadi penurunan tekanan, yang diukur oleh jarum pengukur M dan M`, pada aliran dari kiri ke kanan. Penurunan temperatur diukur oleh termometer t dan t`. Pembatas dari sistem bergerak dengan gas, selalu memndekati massa yang sama. Bayangkanlah satu mol gas melalui pembatas tersebut. Volume pada sisi kiri menurun sebesar volume molar V ; karena gas didepan didorong oleh gas dibelakangnya, yang akan meningkatkan tekanan menjadi p1, kerja yang dihasilkan adalah 0 Wleft p1 dV . V1 Volume pada sisi kanan meningkat menjadi V 2 ; gas yang maju ke depan harus mendorong gas yang ada didepannya, yang memberikan tekanan lawan sebesar, p2. Kerja yang dihasilkan adalah V2 Wright 0 p 2 dV . Kerja jaringan yang dihasilkan adalah penjumlahan keduanya 0 V2 W p1dV p 2 dV p1 V 1 p 2 V 2 p 2 V 2 p1V 1 . V1 0 Karena pipa utamanya disekat, Q = 0, kita mendapatkan penyataan hukum pertama U 2 U 1 Q W ( p 2 V 2 p1V 1 , H 2 H1. Entalpi dari gas konstan selama ekspansi Joule-thompson. Penurunan temperatur yang terukur -∆T dan penurunan tekanan ∆p dikombinasikan dalam rasio T T . p p H H Koefisien Joule-Thompson μJT didefinisikan sebagai nilai pembatas dari rasio ini ketika ∆p mendekati nol: T JT . p H (7.49) Penurunan temperatur (efek Joule-Thompson) dapat dengan mudah dihitung pada eksperimen ini, khususnya jika perbedaan tekanan besar. Suatu demonstrasi yang berisik tetapi dramatis dari efek ini dapat dilakukan dengan membuka sebagian dari katup tangki yang berisi nitrogen yang ditekan; setelah bebarapa menit katup cukup dingin untuk membentuk salju penutup dengan mengkondensasikan kelembaban dari udara. Jika tangki gas hampir penuh, tekanan yang terjadi sekitar 150 atm dan tekanan yang keluar adalah 1 atm. Dengan adanya penurunan tekanan, penurunan temperatur yang terjadi oleh karenanya akan cukup besar. Page 39 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru Hubungan antara μJT dan turunan (∂H/∂V)T cukup sederhana. Diferensial keseluruhan dari H, H dp , dH C p dT p T mengungkapkan perubahan H dalam bentuk perubahan T dan p. Memungkinkan untuk mengubah T dan p dengan tetap mempertahankan H tidak berubah jika kita menetapakan syarat dH = 0. Pada kondisi ini hubungannya berubah menjadi H 0 C p dT p dp . T Membagi dengan dp, kita peroleh T H . 0 C p p H p T Dengan mempergunakan definisi dari μJT dan menyusun kembali kita mendapatkan H p C p JT . T (7.50) Oleh karenanya, jika kita mengukur Cp dan μJT, nilai dari (∂H/∂V)T dapat diperhitungkan dari pers. (7.50). Ingatlah dengan menggabungkan pers. (7.50)dan (7.45) suatu nilai dari (∂U/∂V)T dapat diperoleh dari besaran yang dapat diukur. Koefisin Joule-Thompson bernilai positif pad temperatur dibawah temperatur kamar dan pada temperatur kamar untuk semua gas, kecuali hidrogen dan helium, yang memiliki koefisien JouleThompson negatif. Kedua gas ini akan menjadi lebih kalor setelah mengalami ekspansi seperti pada di atas. Setiap gas memiliki temepratur karakteristik dimana koefisien Joule-Thompsonnya bernilai negatif. 7.16 PERUBAHAN ADIABATIK KEADAAN Jika tidak terdapat kalor yang mengalir selama perubahan keadaan, dQ = 0, maka perubahan keadaan tersebut adiabatik. Kita memdekati keadaan ini dengan menutupi sistem dengan lapisan bahan penyekat atau dengan mepergunakan botol vakum untuk mengemas sistem. Untuk perubahan keadaan adiabatik, karena dQ = 0, pernyatan hukum pertama adalah dU = -dW, atau, untuk perubahan keadaan yang kecil, ∆U = -W. Dengan membalikkan pers. (7.52), kita mendapatkan bahwaW = -∆U, yang berarti bahwa kerja yang dihasilkan, W, merupakan luapan dari penurunan energi dari sistem., -∆U. Penurunan pada energi sistem dibuktikan dengan menurunnya temperatur dari hampir keseluruhan sistem; oleh karenanya jika kerja dihasilkan selama perubahan keadaan adiabatik , temperatur sistem akan turun.. Jika kerja dipakai selama perubahan adiabatik, W bernilai – , dan ∆U bernilai; kerja yang dipakai menaikkan energi dan temperatur dari sistem. Jika kerja yang terlibat hanya kerja tekanan-volume, pers. (7.51) menjadi dU Pop dV (7.53) Page 40 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru dimana terlihat jelas dari persamaan bahwa pada ekspansi dV bernilai + dan dU bernilai –; energi menurun demikian pula dengan temperatur. Jika sistem dikompresi secara adiabatik, dV bernilai – dan dU bernilai +; dimana baik energi maupun temperatur mengalami kenaikan. 7.16.1 KASUS KHUSUS: PERUBAHAN ADIABATIK PADA GAS IDEAL Karena hukum Joule untuk gas ideal adalah dU = CvdT. Dengan mempergunakan hubungan ini pada pers. (7.53), kita memperoleh CvdT = -PopdV, (7.54) yang menunjukkan dengan jelas bahwa dT dan dV memiliki tanda yang berlawanan. Penurunan temperatur sebanding dengan Pop, dan untuk suatu peningkatan volume tertentu akan memiliki nilai maksimum ketika Pop memiliki nilai maksimum; dimana hal itu terjadi ketika Pop = p. Akibatnya, untuk suatu perubahan volume tetap, ekspansi adiabatik reversibel akan menghasilkan penurunan temperatur yang paling besar; sebaliknya kompresi adiabatik reversibel antar dua buah volume tertentu akan menghasilkan kenaikan temperatur terkecil. Untuk perubahan adiabatik reversibel pada gas ideal, Pop = p, dan pers. (7.54) menjadi CvdT = – p dV. (7.55) Untuk mengintegrasikan persamaan ini, Cv dan p harus diungkapkan sebagai variabel dari integrasi T dan V. Karena U hanya merupakan fungsi dari temperatur, Cv juga hanya merupakan fungsi dari temperatur; dari hukum gas ideal, p = nRT/V. Persamaan (7.55) menjadi C v dT nRT dV . V Membagi dengan T untuk variabel yang terpiash dan mempergunakan C v Cv / n , kita mendapatkan Cv dT dV R . T V Dengan menggambarkan keadaan awal dengan T1, V1, keadaan akhir dengan T2, V2, dan mengintegrasikan, kita mendapatkan T2 T1 Cv V2 dV dT R . V1 V T Jika C v merupakan suatu konsatanta, maka dapat dihilangakn dari integral. Integrasinya menghasilkan Karena R C p C v T V (7.56) C v ln 2 R ln 2 . V1 T1 , maka R / C v (C p / C v ) 1 1 . Nilai dari R / C v ini mereduksi pers. (7.56) menjadi T V ln 2 ( 1) ln 2 , V1 T1 yang dapat ditulis sebagai Page 41 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru T2 V1 T1 V2 1 atau T1V1 1 T2V2 1 . (7.57) dengan mempergunakan hukum gas ideal kita dapat mengubah persamaan ini menjadi bentuk yang ekuivalen T1 p11 T2 p12 , (7.58) p1V1 p 2V2 . (7.59) Persamaan (7.59) sebagai contoh menyatakan bahwa kedua keadaan dapat dihubungkan dengan suatu proses adiabatik reversibel yang memnuhi persyaratan bahwa pVγ = konstanta. Persamaan (7.57) dan (7.58) dapat memberikan penafsiran yang analog. Walaupun persamaan ini lebih khusus, akan tetapi pengunaan yang cukup sering akan ditemui untuk kedua persamaan ini. 7.17 CATATAN MENGENAI PENGERJAAN SOAL Sejauh ini kita telah mendapatkan lebih dari 50 persamaan. Mengerjakan suatu soal akan mejadi pekerjaan yang sulit jika kita harus mencari diantara begitu banyak baris persamaan dengan harapan untuk menemukan persamaan yang tepat dengan cepat. Oleh karenanya hanya persamaan dasar yang dipergunakan untuk menyelesaikan suatu soal. Kondisi yang diberikan pada soal dengan segera membatasi persamaan dasar ini menjadi bentuk yang sederhana yang cukup jelas untuk dipakai memperhitungkan “hal yang tidak diketahui pada soal. Sejauh ini kita hanya memiliki tujuh persamaan dasar: 1. Rumus untuk kerja ekspansi: dW = PopdV. 2. Definisi dari energi: dU = dQ – dW. 3. Definisi dari entalpi: H = U + pV. 4. Definisi dari kapasitas kalor: Cv dQv U , dT T v Cp U . dT T p dQ p 5. Konsekuensi matematis murni: U dU Cv dT dV , V T H dH C v dT p dp . T Tentu saja, sangat penting untuk memahami arti dari persamaan ini dan arti dari ungkapan seperti isotermal, adiabatik, dan revesibel. Ungakapan ini memiliki konsekuensi matematis tertentu pada persamaan. Untuk soal yang melibatkan gas ideal, persamaan keadaan, konsekuensi matematis dari hukum Joule, dan hubungan antara kapasitas kalor harus diketahui. Persamaan yang menyelesaikan setiap soal harus diturunkan dari beberapa persamaan dasar ini. Metode lain dalam menyelesaikannya seperti menghafal sebanyak mungkin persamaan hanya menghasilkan kepanikan, paralisis dan paranoia. Page 42 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru CONTOH 7.3 Suatu gas ideal, C v 5 R , berekspansi melawan tekanan konsatan sebesar 1 atm 2 hingga volumenya dua kali lipat. Jika temperatur awalnya adalah 25oC, dan tekanan awal 5 atm, hitunglah T2; kemudian hitunglah Q, W,∆U, dan ∆H per mol dari gas selama perubahan. Diketahui: keadaan awal, T1, p1, V1. keadaan awal, T2, p2, V2. Mol gas = n (tidak diberikan): Pop = 1 atm. Hukum pertama: dU = dQ – PopdV. Keadaan: adiabatik; karenanya dQ = 0, and Q = 0. Gas ideal, oleh karenanya, dU = CvdT. Hal ini mereduksi hukum pertama menjadi CvdT =– PopdV. Karena Cv dan Pop konstan, hukum pertama diintegrasikan menjadi T2 V2 T1 V1 C v dT Pop dV atau C v (T2 T1 ) Pop (V2 V1 ) . Kemudian 5 C v nC v n R ; 2 V2 V1 2V1 V1 V1 nRT1 . p1 Hukum pertama berubah menjadi Pop nRT1 5 n R 2 p1 Menyelesaikan untuk V2, kita mendapatkan 2 Pop 2 1 atm 298K 1 - T2 T1 1 274 K . 5 p1 5 5 atm Mensubstitusi unutk T2, U C v (T2 T1 ) = -500 J/mol` 5 5 R(274 K 298K ) (8.314 J/K mol)(24 K) 2 2 Maka W = – ∆U = 500 J/mol. T2 H C v dT (C v R)(T2 T1 ) T1 = (5/2R + R)(-24K)=-7/2(8.314 J/Kmol)(24 K) = - 700 K/mol. Catatan 1: Karena gas merupakan gas ideal, maka C p C v R . Catatan 2: nilai dari n tidak iperlukan untuk menghirung T2. Kaarena nilai n tidak diberikan, kita hanya dpat emnghitung nilai W, ∆U, dan ∆H permol dari gas. 7.18 PENGGUNAAN HUKUM PERTAMA TERMODINAMIK: KALOR PEMBENTUKAN Jika reaksi kimia terjadi dalam sistem, temperatur dari sistem setelah reaksi umumnya akan berbeda dengan temperatur sistem sebelum reaksi. Untuk mengembalikan temperatur sistem ke temperatur semula, kalor harus mengalir dari dari atau ke lingkungan. Jika sistem menjadi lebih dari sebelumnya, kalor harus mengalir kelingkungan untuk mengembalikan sistem ke temperatur awalnya. Pada kejadian ini reaksi bersifat eksoterm; dengan konvensi kalor yang mengalir, kalor reaksi adalah negatif. Jika sistem menjadi lebih dingin setelah reaksi terjadi, kalor harus mengalir dari lingkungan untuk mengembalikan sistem ke temperatur awalnya. Pada kejadian ini reaksi bersifat endoterm; dan pana dari reaksi positif. kalor reaksi merupakan pnas yang diserap dari lingkungan dalam perubahan dari reaktan menjadi produk pada T dan p yang sama. Page 43 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru Di laboratorium kebanyakan reaksi kimia dilakukan pada tekanan konstan; oleh karenanya kalor yang diserap dari lingkungan sebanding dengan perubahan entalpi sistem.Untuk menghindari rancunya perubahan entalpi dengan reaksi kimia dan dihubungkan dengan perubahan temperatur atau tekanan dari sistem, keadaan awal dan akhir pada sistem harus memiliki temperatur dan tekanan yang sama. Sebagai contoh, pada reaksi Fe2O3(s) + 3 H2(g) 2Fe(s) + 3H2O(l), keadaan awal dan akhir adalah: Keadaan awal Keadaan akhir T,p T,p 1 mol Fe2O3 2 mol Fe padat padat 3 H2O cair 2 mol gas H2 Karena keadaan agregasi dari semua zat harus disebutkan, maka huruf s, l, dan g dituliskan setelah rumus dari zat. Anggapalah bahwa perubahan keadaan terjadi dalam dua tahap. Pada langkah pertama, reaktan pada T dan p, berubah secara adiabatik menjadi produk pada T’ dan p. Langkah 1 Fe2O3(s) + 3 H2(g) 2Fe(s) + 3H2O(l). T, p T’, p Pada tekanan konstan, DH = Qp; tetapi, karena langkah pertama adiabtik, (Qp)1 = 0 dan ∆H = 0. Pada langkah kedua, sistem ditempatkan pada reservoir yang panas pada temperatur awal T. kalor mengalir ke atau dari reservoir ketika produk dari reaksi kembali kembali ke temperatur awal. Langkah 2 2Fe(s) + 3H2O(l) Fe2O3(s) + 3 H2(g), T’, p T, p Dimana ∆H = Qp. Penjumlahan dari kedua langkah merupakan perubahan keseluruhan dari keadaan. Fe2O3(s) + 3 H2(g) 2Fe(s) + 3H2O(l) Dan ∆H untuk keseluruhan reaksi merupakan penjumlahan dari perubahan entalpi pada kedua langkah: ∆H = ∆H1 + ∆H2 = 0 + QP, ∆H =Qp, (7.60) Dimana Qp merupakan kalor reaksi, peningkatan entalpi sistem dihasilkan dari reaksi kimia yang terjadi. Peningkatan entalpi pada reaksi kimia dapat dilihat dengan cara yang berbeda. Pada tekanan dan temperatur tertentu, entalpi molar H dari setiap zat memiliki nilai tertentu. Untuk sembarang reaksi kita dapat menuliskan ∆H = Hakhir - Hawal (7.61) Akan tetapi entalpi pada keadaan awal atau akhir merupakan penjumlahan entalpi zat yang ada pada awal atau akhir. Sebagai contoh, Page 44 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru ∆Hakhir = 2 H (Fe,s) + 3H (H2O, l), ∆Hawal = H (Fe2O3,s) + 3H (H2, g), Dan pers. (7.61) menjadi H [2H ( Fe, s) 3H ( H 2O, l ) [ H Fe2O3 , s) 3H ( H 2 , g )] . (7.62) Terlihat bahwa mengukur ∆H akan mengarah pada keempat entalpi molar pada pers. (7.62). Akan tetapi, terdapat empat hal yang tidak diketahui dan hanya satu persamaan. 7.19 REAKSI PEMEBENTUKAN Kita dapat menyederhanakan hasil pada persamaan (7.62) dengan mempergunakan reaksi pembentukan dari senyawa. REaksi pembentukan dari suatu senyawa memiliki satu mol senyawa dan tidak terdapat apa-apa pada sisi produk; hanya unsur pada keadaan atau agregasi yang stabil yang terdapat pada sisi reaktan. Peningkatan entalpi pada reaksi semacam ini merupakan kalor pembentukan, atau entalpi pembentukan senyawa, ∆Hf. Reaksi berikut merupakan contoh dari reaksi pemebntukan. H2 + ½ O2 2Fe(s) 3/2O2(g) ½ H2(g) + ½ Br2(g) ½ N2 + 2H2(g) + ½ Cl2(g) Jika ∆H untuk reaksi-reaksi ini dituliskan dalam bentuk untuk dua persamaan pertama, H2O (l) Fe2O3(s) HBr(g) NH4Cl(s) entalpi molar dari zat, kita mendapatkan H f ( H 2 O, l ) H ( H 2 O, l ) H ( H 2 , g ) 12 H (O2 , g ) H f ( Fe2 O3 , l ) H ( Fe2 O3 , l ) 2H ( Fe, g ) 32 H (O2 , g ) Menyelesaikan entalpi molar senyawa untuk setiap contoh, kita mendapatkan H ( H 2 O, l ) H ( H 2 , g ) 1 2 H (O2 , g ) H f ( H 2 O, l ) H ( Fe2 O3 , s) 2 H ( Fe, s) 32 H (O2 , g ) H f ( Fe2 O3 , s) Persamaan ini menunjukkan bahwa entalpi molar dari senyawa sama denga jumlah keseruhan entalpi dari unsur-unsur yang menyusun senyawa ditambah dengan entalpi dari pembentukan senyawa. Oleh karenanya kita dapat menuliskan untuk sembarang senyawa, H senyawa H (unsur) H f (senyawa) , (7.64) dimana ∑∆H (unsur) merupakan keseluruhan entalpi dari unsur (dalam keadaan agregasi yang stabil) dalam senyawa. Selanjutnya kita menyisipakan nilai H (H2O, l) dan H (Fe2O3, s) yang didapatkan dari pers. (7.63) kedalam pers. (7.62); hal ini menghasilkan H 2 H ( Fe, s) 3[ H ( H 2 , g ) 12 H (O2 , g ) H f ( H 2 O, l )] [2 H ( Fe, s) 32 H (O2 , g ) H f ( Fe2 O3 , s)] 3H ( H 2 , g ) Mengumpulkan bentuk-bentuk yang mirip, menjadi H 3H f ( H 2 O, l ) H f ( Fe2 O3 , s ) (7.65) Persamaan 7.65 menyatakan bahwa perubahan entalpi reaksi hanya bergantung pada kalor pembentukan senyawa pada reaksi. Perubahan entalpi tidak bergantung pada entalpi entalpi pada keadan agregasinya yang stabil. Entalpi dari pembentukan 1 mol senyawa pada tekana 1 atm merupakan Page 45 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru entalpi pembentukan standar, ∆Hfo. Nilai dari ∆Hfo pada 25oC ditabelkan pada Appendix V,Tabel A-V, untuk sejumlha senyawa. 7.20 NILAI KONVENSIONAL DARI ENTALPI MOLAR Entalpi molar H dari sebarang senyawa merupakan fungsi dari T dan p; H = H (T,p). Menentukan p = 1 atm sebagai tekanan standar, kita mendefinisikan entlapi molar standar dari suatu senyawa sebagai o H H (T ,1 atm) . (7.66) Jelaslah bahwa H o hanya merupakan fungsi dari temperatur. Entalpi dari setiap unsur pada keadaan agregasi stabilnya pada tekanan 1 atm dan temperatur 298,15 K diberi nilai nol. Sebagai contoh, pada pada tekanan 1 atm dan temperatur 298,15 K keadaan agregasi stabil brom adalah cairan. Untuk unsur padatan yang memiliki lebih dari satu bentuk kristal, nilai H o = 0 diberikan pada bentuk yang paling stabil demikian juga untuk spesies molekuler yang memiliki lebih dari satu bentuk yang stabil; sebagai contoh untuk karbon dalam bentuk intan dan grafit, nilai nol diberikan untuk grafit. Jika nilai entalpi standar unsur pada 298, 15 K telah ditetapkan, nilai dari entalpi pada temperatur lain dapat diperhitungkan. Karena pada tekanan konstan, d H T T 298 o o T H T H 298 C p dT o o T o 298 298 o o C dT , maka H T H 298 C p dT , d H C p dT , o o o 298 (7.67) yang benar baik untuk unsur maupun senyawa; untuk unsur bagian pertama pada sisi kanan bernilai nol. Menggunakan definisi dari kalor pembentukan, jika kita menggunakan penetapan yang biasa, H o(unsur) = 0, pada ungkapan kalor pembentukan, pers. (7.63) atau (7.64), kita mendapatkan untuk sebarang senyawa o H H o f . (7.68) ∆Hfo kalor pembentukan standar yang merupakan entalpi molar dari senyawa relatif terhadap unsur yang menyusunnya. Sesuai dengan hal ini, kalor pembentukan ∆Hfo dari semua senyawa dalam rekasi diketahui, kalor pemebntukan dapat diperhitungkan dari persamaan yang dirumuskan dalam bentuk pers. (7.62). 7.21 PENENTUAN KALOR PEMBENTUKAN Dalam beberapa hal dimungkinkan untuk mengukur pana pembentukan dari suatu senyawa secara langsung dengan melangsungka reaksi pembentukan di dalam suatu kalorimeter dan mengukur kalor yang dihasilkan. Contoh: C(grafit) + O2(g) CO2(g), ∆Hfo = -393,51 kJ/mol H2(g) + ½ O2(g) H2O(l), ∆Hfo = -393,830 kJ/mol Hal ini hanya dapat dilakukan untuk reaksi yang bisa dilangsungkan di dalam kalorimeter, sedangkan untuk reaksi yang tidak memungkinkan untuk berlangsung didalam kalorimeter, maka kalor pembentukan ditentukan secara tidak langsung. Terdapat suatu metode yang secara umum dapat dipergunakanuntuk bahan-bahan yang mudah terbakar untuk membentuk suatu produk tertentu. kalor pembentukan dari suatu senyawa dapat diperhitungkan nilai yang terukur dari kalor pembakaran dari senyawa. Reaksi pembakaran mempergunakan satu mol zat untuk dibakar pada sisi reaktan, dengan oksigen sejumlah yang diperlukan untuk membakar zat seluruhnya; senyawa organik yang hanya mengandung karbon, hidrogen dan oksigen terbakar menjadi gas karbon dioksida dan air. Sebagai contoh, reaksi pembakaran untuk metana adalah Page 46 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru CH4(g) + 2O2(g) CO2(g) + 2H2O(l). Nilai kalor pemakaran yang terukur adalah ∆Hocomb = - 890,36 kJ/mol. Dalam bentuk entalpi untuk satu zat tunggal, o o o o H comb H (CO2 , g ) 2 H ( H 2 O, l ) H (CH 4 , g ) o Menyelesaikan persamaan ini untuk H (CH 4 , g ) , o o o (CH 4 , g ) H (CO2 , g ) 2 H ( H 2 O, l ) H comb H o (7.69) Enalpi molar untuk CO2 dan H2O diketahui dengan ketepatan yang inggi; dari informasi ini dan pengukuran kalor pembakaran,, entalpi molar dari metana (kalor pembentukan) dapat dihitung dengan mempergunakan pers. (7.69). o H 393,51 2(285,8.) (890,36) 965,17 890,36 -74,81 kJ/mol 7.21 RANGKAIAN REAKSI; HUKUM HESS Perubahan keadaan pada suatu reaksi kimia memiliki bentuk tertentu, demikian pula perubahan entalpinya, karena entalpi merupakan fungsi dari keadaan. Oleh karenanya jika kita mengubah suatu rangkaian reaksi tertentu menjadi rangkaian reaksi dengan bentuk lain, penjumlahan total entalpi harus sama unstuk setiap rangkaian. Aturan ini merupakan konsekuensi dari hukum pertama termodinamika, yang aslinya dikenal sebagai hukum penjumlahan kalor konstan Hess. Mari kita bandingkan dua metode berbeda untuk mensintesis natrium klorida dari natrium dan klorida. Metode 1 perubahan keseluruhan Na(s) + H2O(l) NaOH(s) + ½ H2(g), ∆H = -139,78 kJ/mol ½ H2(g) + ½ Cl2(s) HCl(g), ∆H = -92,31 kJ/mol HCl(g) + NaOH(s) NaCl(s) + H2O(l), ∆H = -179,06 kJ/mol Na(s) + ½ Cl2(g) NaCl(s), ∆H = -411,45 kJ/mol ½ H2(g) + ½ Cl2(s) HCl(g), ∆H = -92,31 kJ/mol Na(s) + HCl(g) NaCl(s) + ½ H2(g), ∆H = -318,84 kJ/mol Metode 2. perubahan Na(s) + ½ Cl2(g) NaCl(s), ∆H = -411,45 kJ/mol keseluruhan Perubahan kimia keseluruhan didapatkan dengan menambahkan semua reaksi pada rangkaian; perubahan entalpi keseluruhan harus sama untuk semua rangkaian yang menghasilkan perubahan kimia yang sama. Sejumlah reaksi dapat ditambahkan atau dihilangkan untuk menghasilkan reaksi kimia yang diinginkan; perubahan entalpi dalam reaksi ditambahkan dan dikurangkan secara aljabar. Jika reaksi kimia tertentu digabungkan dalam suatu rangkaian dengan kebalikan dari reaksi yang sama, maka hal ini tida akan menghasilkan efek, dan ∆H untuk penggabungan ini adalah nol. Hal ini Page 47 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru menunjukkan bahwa ∆H untuk reaksi yang berkebalikan adalah sama akan tetapi dengan tanda yang berkebalikan pula. Penggunaan dari sifat ini, yang sebenarnya menunjukan bahwa perubahan entalpi dalam sistem tidak bergantung pada jalur, ditunjukkan dengan rangkaian 1) C (grafit) + ½ O2(g) CO(g), ∆H1, 2) CO(g) + ½ O2(g) CO2(g) ∆H2. Perubahan keseluruhan pada rangkaian reaksi adalah 3) C(grafit) + O2(g) CO2(g), ∆H3. Oleh karenanya ∆H3 = ∆H1 + ∆H2. Cara ini memungkinkan ∆H2 dan ∆H3 dapat diukur dengan kalorimeter, sedangkan ∆H1 tidak dapat diukur. Karena nilai ∆H dapat diperhitungakn dari kedua nilai lainnya, sehingga pengukurannya tidak diperlukan. 4) C(grafit) + CO2(g) 2CO(g) 7.24 KALOR REAKSI PADA VOLUME KONSTAN Jika terdapat reaktan atau produk yang bersifat gas dalam suatu reaksi kalorimetrik, maka reaksi tersebut harus dilangsungkan dalam wadah yang kedap. Kondisi ini menyebabkan sistem berada dalam volme konstan pada awal dan akhir reaksi. Pengukuran kalor reaksi akan sebanding dengan peningkatan energi: (7.70) QV U Perubahan keadaannya adalah R(T, V, p) P(T, V, p’), dimana R(T, V, p) merepresentasikan reaktan pada keadaan awal T, V, p; dan P(T, V, p’) merepresentasikan produk pada keadaan akhirnya T, V, p’. Temperatur dan volume tetap konstan, tetapi tekanan dapat berubah dari p menjadi p’ selama perubahan. Untuk menghubungkan ∆U pada pers. (7.70) dengan ∆H, kita mendefinisikan persamaan untuk H pada keadaan awaldan akhir: H akhir U akhir pV ' , H awal U awal pV . Menggabungkan kedua persamaan kita mendapatkan H U ( p' p)V . (7.71) Tekana awal dana khir dalam wadah ditentukan dengan jumlah mol dari gas yang ada pada awal dan akhir; dengan mengasumsikan gas berperilaku ideal, kita mendapatkan p n R RT , V p' nP RT , V dimana nR dan nP merupakan jumlah mol total dari reaktan dan produk gas dalam reaksi. Persamaan (7.71) menjadi H U (nP nR ) RT , H U nRT . (7.72) ∆H dalam pers. (7.72) merupakan perubahan pada volume konstan. Untuk mengubahnya menjadi nilai yang sesuai untuk perubahan pada tekanan konstan, kita harus menambahkannya pada perubahan entalpi dari proses: P(T, V, p’) P(T, V’, p). Untuk perubahan tekanan pada temperatur konstan, perubahan entalpi mendekati nol (Bagian 7.15) dan tepat nol jika gas merupakan gas ideal. Oleh karenanya untuk maksud praktis ∆H dalam pers. Page 48 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru (7.72) sama dengan ∆H pada proses dengan tekanan konstan, sedangkan ∆U mengarah pada perubahan pada volume konstan. Pendekatan yang baik, pers. (7.72) dapat diinterpretasikan sebagai Q p QV nRT . (7.73) Melalui pers. (7.72) dan (7.73) pengukuran pada kalorimeter bomb, QV = ∆U, dikonversi menjadi nilai Qp = ∆H. CONTOH 7.5 Perhatikanlah reaksi pembakaran asam benzoat dalam kalorimeter bomb: C6H5COOH(s) + 152 O2(g) 7CO2(g) + 3H2O(l). Pada reaksi ini, nP = 7, sedangkan nR = 15 2 . Oleh karenanya ∆n = 7 - mendapatkan Qp = QV – ½ (8,3144 J/K mol)(298,15 K), 15 2 = -½ , T = 298,15 K; kita Qp = QV - 1239 J/mol. 7.25 KEBERGANTUNGAN KALOR REAKSI PADA TEMPERATUR Jika kita mengetahui nilai dari ∆Ho untuk reaksi pada temperatur tertentu, katakanlah 25oC, maka kita dapat menghitung kalor reaksi bagi temperatur lain jika kapasitas kalor dari semua zat yang terlibat diketahui. ∆Ho untuk sebarang reaksi adalah H o H o (produk) H o (reaktan) . Untuk mendapatkan kebergantungan kuantitas ini pada temperatur kita mendeferensiasikan dengan temperatur: dH o dH o dH o (produk) (reaktan) . dT dT dT Dengan definisi, dHo/dT = Cop. Oleh karenanya, dH o C po (produk) C po (reaktan) dT dH o C po . dT (7.74) Ingatlah bahwa karena Ho dan ∆Ho hanya merupakan fungsi dari temperatur (Bagian 7.20), maka turunan ini merupakan turunan biasa dan bukan turunan parsial. Menuliskan pers. (7.74) dalam bentuk diferensial, kita mendapatkan dH o C po dT . Mengintegrasikan persamaan antara temperatur tertentu To dan T, kita mendapatkan T To T dH o dC po dT . To Integral dari diferensial pada sisi kiri adalah ∆Ho, yang dievaluasi antara limit, menjadi T H To H Too dC po dT . To Menyusun kembali kita mendapatkan T H To H Too dC po dT . To (7.75) Mengetahui nilai dari peningkatan entalpi pada temperatur tetap To, kita dapat memperhitungkan bahwa nilai dari sebarang temperatur lain T, mempergunakan pers. (7.75). Jika zat mengalmi perubahan keadaan agregasi pada rentang temperatur tersebut, perubahan entalpi yang berhubungan juga harus dimasukkan. Jika rentang temperatur terpenuhi dalam integrasi dari persamaan (7.75) cukup pendek, kapasitas kalor dari semua zat yang terlibat harus dianggap konstan. Jika rentang temperatur sangat besar, kapasitas kalor harus dianggap sebagai funsi dari temepratur. Untuk kebanyakan zat fungsi ini memiliki bentuk Page 49 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru C p a bT cT 2 dT 3 ..., (7.76) dimana a, b, c. d,…merupakan kosntanta untuk bahan tertentu. Pada tabel 7.1 diberikan nilai dari konstanta ini untuk beberapa zat. 7.26 ENTALPI IKATAN Jika kita memperhatikan atomisasi dari molekul gas diatomik, O2 (g) 2O(g) o H 298 498,34 kJ/mol, nilai 498,34 kJ disebut entalpi ikatan dari molekul oksigen. Kita dapat menulis hal yang sama untuk H2O (g) 2H(g) + O(g) o H 298 926,98 kJ/mol, dan ½ (926,98) = 463,49 kJ/mol merupakan entalpi ikatan rata-rata untuk ikatan O – H pada air. Prosedur yang sama dapat juga dipergunakan untuk molekul dengan ikatan yang ekuivalen seperti H2O, NH3, dan CH4. Sebaliknya jika kita berhadapan dengan molekul yang memiliki dua ikatan yang berbeda seperti H2O2, kita harus menggunakan beberapa asumsi baru. Asumsi yang bias adibuat adalah bahwa ikatan OH rata-rata pada H2O2 sama dengan yang ada pada air. Entalpi untuk atomisasi H2O2 adalah H2O2 (g) 2H(g) + 2O(g) H 298 1070,6 kJ/mol, o Jika mengurangkan dengan entalpi dua ikatan OH pada air kita mendapatkan: 1070,6 – 927,0 = 143,6 kJ.mol sebagai kekuatan dari iakatan tunggal O – O. Jelaslah bahwa metode ini tidak menjamin pembagian ini, adankita mengatakan ikatan tunggal O – O memiliki kekuatan sekitar 144 kJ/mol. kalor pembentukan dari atom harus diketahui sebelum kita dapat menghitung kekuatan ikatan. Beberapa nilai ini diberikan pada Tabel 7.2 8 Pengenalan Pada Hukum Kedua Termodinamik 8.1 PENGANTAR UMUM Hukum pertama telah memberitahu kita arah mana yang lebih dipilih dalam suatu reaksi kimia. Hukum kedua akan lebih jauh menerangkan mengenai arah alami dan arah yang tidak alami dari suatu reaksi kimia. Sifat sistem yang menentukan ini adalah entropi. Untuk memberikan landasan untuk definisi matematis dari entropi kita harus mengkaji secara singkat mengenai karakteristik dari transformasi siklik, dan selanjutnya barulah kita dapat mempergunakannya untuk sistem kimia dan implikasi hukum kedua secara kimiawi 8.2 SIKLUS CARNOT Sadi Carnot seorang insinyur Perancis meneliti prinsip yang mengatur perubahan energi termal, “kalor,” menjadi energi mekanik, kerja. Ia mendasarkan pembahasannya pada perubahan siklik dari sistem yang sekarang disebut siklus Carnot. Siklus Carnot terdiri dari empat langkah reversibel, dan merupakan siklus reversibel. Sistem mengalami perubahan keadaan yang reversibel yang terus menerus: Langkah 1. Ekspansi isotermal. Langkah 2. Ekspansi adiabatik. Langkah 3. Kompresi isotermal. Langkah 4. Kompresi adiabatik. Karena massa dari sistem tetap, keadaan dapat dua dari tiga variabel T, p,V. Suatu sistem yang hanya menghasilkan kerja dan kalor pada sekelilingnya disebut mesin kalor. Reservoir kalor merupakan suatu sistem yang temperaturnya sama pada setiap bagiannya; temperatur ini tidak dipengaruhi oleh transfer sejumlah kalor yang diinginkan dari dan kedalam reservoir. Bayangkanlah bahwa bahan yang menyusun sistem, zat yang “bekerja”, dibatasi dalam suatu silinder yang ditutup dengan piston. Pada langkah pertama silinder direndam dalam reservoir kalor pada Page 50 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru temperaur T, dan diekspansi isotermal dari volume awal V1 ke volume V2. Kemudin silinder dikeluarkan dari reservoir, disekat, dan langkah kedua, diekspansi secara adiabatik dari V2 ke V3; pada langkah ini temperatur sistem turun dari T1 ke temperatur yang lebih rendah T2. Sekat dihilangkan dan silinder ditempatkan dalam reservoir kalor pada T2. Pada langkah 3 sistem dikompresi secara isotermal dari V3 menjadi V4. Silinder diangkat dari resevoir dan disekat lagi. Pada langkah 4 sistem dikompresi secara adiabatik dari V4 ke volume awal V1. Pada kompresi adiabatik ini, temperatur naik dari T2 menjadi temperatur awal T1. Oleh karenanya, seperti pada siklus biasanya, sistem dikembalikan ke keadaan awalnya. Keadaan awal dan akhir serta aplikasi dari hukum pertama pada setiap langkah pada siklus Carnot digambarkan pada Tabel 8.1. Untuk siklus, ΔU = 0 = Qcy – Qcy, atau Wcy = Qcy. Menjumlahkan pernyataan hukum pertama untuk keempat langkah menghasilkan Wcy = W1 + W2 + W3 + W4, Qcy = Q1 + Q2. Menggabungkan pers. (8.1) dan (8.3), kita mendapatkan (8.1) (8.2) (8.3) Wcy = Q1 + Q2. (8.4) (Ingatlah bahwa subskrip pada Q telah dipilih untuk berhubungan dengan subsrip pada T). Jika Wcy positif, kerja dihasilkan sebagai kelebihan energi termal dari sekeliling. Sistem tidak mengalami perubahan total pada siklus. 8.3 HUKUM KEDUA TERMODINAMIK Hal penting mengenai pers. (8.4) adalah bahwa Wcy merupakan penjumlahan dari kedua suku, yang berhubungan dengan temperatur berbeda. Kita mungkin dapat membayangkan suatu proses siklik yang rumit yang melibatkan banyak reservoir kalor pada temperatur berbeda; untuk kasus seperti ini Wcy = Q1 + Q2 + Q3 + Q4 + …, (8.4) dimana Q1 merupakan kalor yang diserap dari reservoir pada T1, Q2 merupakan kalor yang diserap dari reservoir pada T2, dan selanjutnya. Beberapa dari nilai Q akan memiliki tanda positif, beberapa akan bertanda negatif; perubahan keseluruhan merupakan penjumlahan aljabar dari semmua nilai Q. Memungkinkan untuk membagi proses siklik sehingga nilai Qcy positif; sehingga setelah siklus sebenarnya massa lebih tinggi dari sebelumnya. Hak ini dapat dilakukan dengan cara yang rumit mempergunakan banyak reservoir dengan temperatur yang berbeda-beda, atau dapat dilakukan hanya dengan dua reservoir pada temperatur yang berbeda, seperti pada siklus Carnot. Akan tetapi eksperimen telah menunjukkan bahwa tidak mungkin untuk membangun mesin dengan hanya mempergunakan satu resevoir kalor (bandingkan dengan Bagian 7.6). Olehkarenanya, jika Wcy = Q1, Dimana Q merupakan kalor yang diserap dari reservoir kalor tunggal pada temperatur yang seragam, maka Wcy haruslah bernilai negatif atau paling bagus nol; maka, Wcy ≤ 0. Eksperimen ini membuktikan hukum kedua termodinamik. Tidaklah mungkin untuk sebuah sistem yang bekerja dalam siklus dan berhubungan dengan reservoir kalor tunggal untuk menghasilkan sejumlah Page 51 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru kerja positif pada sekeliling. Pernyataan ini sama dengan yang diajukan oleh Kelvin sekitar tahun 1850. 8.4 KARAKTERISTIK DARI SIKLUS REVERSIBEL Sesuai dengan hukum kedua, proses siklik sederhana dapat menghasilkan sejumlah kerja bernilai positif pada sekeliling harus melibatkan setidaknya dua reservoir kalor pada temperatur yang berbeda. Mesin Carnot beroperasi dengan siklus semacam itu; karena kesederhanaannya mesin ini menjadi prototip dari mesin siklus kalor. Sifat penting dari siklus Carnot adalah kerevesibelannya. Pada suatu transformasi siklik, disyaratkan adanya reversibilitas , setelah satu siklus penuh keadaan harus dikembalikan ke awal 8.5 EFISIENSI MESIN KALOR Efisiensi dari mesin kalor, e, didefinisikan sebagai rasio dari kerja yang dihasilkan terhadap kuantitas kalor yang dikeluarkan dari reservoir temperatur tinggi: e W Q1 (8.5) Tetapi, karena W = Q1 + Q2, e 1 8.6 Q1 Q2 (8.6) MESIN LAIN YANG TIDAK MUNGKIN Kita membayangkan dua buah mesin Er dan E’, keduanya beroperasi pada suatu siklus diantara dua reservoir kalor yang sama. Pertanyaannya, apakah mungkin efisiensi dari kedua mesin ini berbeda? Kedua mesin dapat memiliki desain yang berbeda dan bekerja dengan cara yang berbeda. Anggaplah Er adalah mesin yang reversibel, dan mesin E’ bisa berupa mesin reversibel atau tidak. Reservoirnya adalah T1 dan T2; T1 > T2. Untuk mesin Er kita dapat menuliskan W = Q1 + Q2, (siklus maju) – W = – Q1 + (–Q2) (siklus kebalikan). Untuk mesin E’ W’ = Q’1 + Q’2 (siklus maju). Anggaplah kita menjalankan mesin Er, dengan siklus terbaliknya dan memasangkannya dengan mesin E’ yang berjalan dengan siklus maju. Hal ini akan memberikan kita mesin siklik komposit yang menghasilkan kalor dan efek kerja yang secara sederhana merupakan penjumlahan dari masing-masing efek yang berasal dari tiap-tiap siklus: – W + W’ = – Q1 + (–Q2) + Q’1 + Q’2. (8.7) Dengan membuat mesin Er pada ukuran yang sesuai, dan kita mencocokkan hingga – W + W’ = 0, atau W = W’ (8.8) Persamaan (8.7) dapat disusun kembali dalam bentuk – Q1 - Q’1 = –(Q2 - Q’2). (8.9) Kita selanjutnya menguji efek kalor ini pada reservoir dengan asumsi bahwa efisiensi dari E’ lebih besar dari Er, dimana, ε’ > ε. Dengan definisi efisiensi, hal berakibat W' W . Q '1 Q1 Karena pers. (8.8), W = W’, pertidaksamaannya berubah menjadi 1 1 . Q '1 Q1 Page 52 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru Yang ekuivalen dengan Q1 > Q’1, atau Q’1 - Q1 < 0, (bernilai negatif). Kalor yang diserap dari reservoir pada T1 adalah Q’1 dengan E’ berjalan maju, dan –Q1 dengan Er berjalan terbalik. Total kalor yang diserap T1 merupakan penjumlahan dari keduanya, Q’1 - Q1 dan sesuai dengan ungkapan diatas bernilai negatif. Jika kalor yang diserap dari reservoir bernilai negatif, maka sebenarnya kalor mengalir menuju reservoir. Kalor yang diserap dari reservoir pada T2 adalah, Q’2 – Q2 dan sesuai dengan ungkapan pada pers. (8.9) bernilai positif. Kalor dilepaskan dari reservoir pada T2. Jumlah yang beragam ditabulasikan pada Tabel 8.2. Alasan yang mendasari mesin yang mustahil ini hanya berlandaskan pada hukum pertama dan sebuah asumsi bahwa efisiensid ari E’ lebih besar dari Er merupakan sebuah kesalahan. Oleh karenanya kita menyimpulkan bahwa efisiensi dari mesin E’ harus lebih kecil dari atau sama dengan efisiensi dari mesin reversibel Er, kedua mesin beroperasi diantara dua reservoir temperatur yang sama: (8.10) ' Hubungan pada pers. (8.10) merupakan konsekuensi penting lainnya dari hukum kedua. Mesin E’ bisa berupa mesin apa saja, sedangkan mesin Er merupakan mesin reversibel. Bayangkanlah dua buah mesin, dengan efisiensi ε1 dan ε2. Karena yang kedua reversibel, efisiensi dari yang pertama haruslah sama atau kurang dari yang kedua, dengan pers. (8.10): (8.11) 1 2 . Akan tetapi mesin pertama reversibel; oleh karenanya dengan pers. (8.10) efisiensi dari yang kedua harus sama atau kurang dari yang pertama: (8.12) 2 1 . Persamaan (8.11) dan (8.12) keduanya akan terpenuhi jika 1 2 . (8.13) Persamaan (8.13), merupakan konsekuensi dari hukum kedua, yang berarti bahwa semua mesin reversibel yang beroperasi diantara dua reservoir temperatur yang sama memiliki efisiensi yang sama. Menurut pers. (8.13) efisiensi tidak bergantung mesin, dan tidak bergantungd ari ranmcangan maupun cara kerja mesin. Pengaruh hanya datang dari rservoir; nilai yang terdapat pada reservoir hanyalah temperatur. Maka, efisiensi hanya merupakan fungsi dari temperatur: Q2 g (T1 , T2 ). Q1 (8.15) 8.7 SKALA TEMPERATUR TERMODINAMIK Untuk suatu mesin reversibel, efisiensi dan rasio Q2/Q1 dapat diperhitungkan secara langsung melalui jumlah kerja yang terukur dan kalor yang mengalir ke sekeliling. Sehingga kita memperoleh sifat-sifat yang hanya bergantung pada temperatur saja. Akibatnya dari sifat-sifat ini dimungkinkan untuk menetapkan skala temperatur yang tidak bergantung pada sifat dari zat, skala baru ini bersifat absolut atau skala temperatur termodinamik. Jika kita menjalankan suatu mesin kalor pada temperatur empiris yang rendah t0, dan kalor yang diserap dari reservoir adalah Q0. Jika mesin ini bekerja pada reservoir dengan temperatur empiris t yang lebih tinggi, sejumlah Q kalor akan mengalir dari reservoir ini dan akan dihasilkan kerja dalam jumlah positif. Dengan mempertahankan t0 dan Q0 konstan, kita meningkatkan temperatur dari reservoir lain hingga t’. Secara eksperimental kita mendapatkan bahwa Q’ jumlah kalor yang diserap, lebih banyak pada saat t’. Sehingga kalor yang diserap dari reservoir dengan temperatur yang tinggi meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur. Untuk alasan ini kita memilih kalor yang diserap dari reservoir temperatur tinggi sebagai sifat termometrik. Kita dapat mendefinisikan temperatur termodinamik θ dengan Page 53 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru Q = aθ (8.16) dimana a merupakan konstanta dan Q merupakan kalor yang diserap dari reservoir. Dengan menuliskan persamaan (8.15) dengan notasi untuk keadaan seperti ini, menjadi Q0/Q = g(t,t0). Dari hal ini jelaslah bahwa Q0 dan t0 bernilai konstan, maka iQ akan hanya menjadi fungsi dari t saja. Pada pers. (8.16) kita kita sepakat menetapkan Q sebagai fungsi yang sederhana dan tepat dari temperatur absolut. Kerja yang dihasilkan dalam siklus ini adalah W = Q + Q0, yang mana mempergunakan pers. (8.16) menjadi W = aθ + Q0. (8.17) Jika reservoir dengan temperatur yang lebih tinggi didinginkan hingga mencapai θo, siklus tersebut berubah menjadi siklus isotermal dan tidak ada kerja yang dapat dihasilkan. Karena ini merupakan siklus yang reversibel, W = 0, maka 0 = aθ + Q0; karenanya; Qo = - aθo. Maka pers. (8.17) menjadi (8.18) W a( o ). Untuk efisiensi kita mendapatkan o . (8.19) Karena tidak terdapat hal istimewa mengenai temperatur dari reservoir yang dingin, kecuali bahwa θ>θo, pers. (8.18) dan (8.19) berlaku untuk sebarang mesin kalor yang beroperasi diantara dua temperatur termodinamik θ dan θo. Persamaan (8.18) menunjukkan bahwa kerja yang dihasilkan dari mesin kalor reversibel proporsional terhadap selisih temperatur pada skala termodinamik, sedangkan efisiensi sama dengan rasio dari selisih temperatur dengan temperatur reservoir panas. Rumus Carnot, pers. (8.19), yang menghubungkan efisiensi dari mesin reversibel dengan temperatur dari reservoir kemungkinan merupakan salah satu rumus termodinamika yang paling berharga. Lord Kelvin merupakan orang pertama yang mendefinisikan skala temperatur termodinamik, yang untuk penghormatan atas dirinya dinamakan serupa dengan namanya. Temperatur gas ideal dengan temperatur skala Kelvin identik secara numerik. Akan tetapi skala Kelvin lebih mendasar dari skala temperatur gas ideal. Mulai dari bab ini kita akan mempergunakan temperatur termodinamik T, dimana θ = T. 8.8 SIKLUS CARNOT DENGAN SUATU GAS IDEAL Jika gas ideal dipergunakan sebagai zat yang bekerja pada suatu mesin Carnot, penggunaan hukum pertama pada setiap langkah dalam siklus dapat dituliskan seperti pada Tabel 8.3. Nilai dari W1 dan W3, yang merrupakan jumlah kerja yang dihasilkan dalam ekspansi revrsibel isotermal dari suatu gas ideal, didapatkan dari pers. (7.6). Nilai dari ∆U dihitung dengan mengintegrasikan persamaan dU = CvdT. Total kerja yang dihasilkan dalam siklus adalah penjumlahan dari masing-masing bagian. V T4 V T2 W RT1 ln 2 Cv dT RT2 ln 4 Cv dT . V1 T1 V3 T3 Kedua integral dijumlahkan hingga nol, seperti yang dapat ditunjukkan dengan mengubah limit dan mengubah tanda keduanya. Oleh karenanya V V W RT1 ln 2 RT2 ln 3 , V1 V4 (8.20) dimana tanda dari suku kedua telah diubah dengan membalik argumen dari logaritma. Persamaan (8.20) dapat disederhanakan jika kita menyadari bahwa volume V2 dan V3 dihubungkan dengan perubahan adiabatik reversibel; hal yang sama juga benar untuk V4 dan V1. Dengan pers. (7.57). T1V2 1 T2V3 1 , T1V1 1 T2V4 1 . Dengan membagi persamaan pertama dengan kedua, kita mendapatkan Page 54 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru V2 V1 1 V 3 V4 1 atau V2 V3 . V1 V4 Memasukkan hasilnya kedalam pers. (8.20) kita mendapatkan V W R(T1 T2 ) ln 2 . V1 (8.21) Dari persamaan untuk langkah pertama pada siklus kita mendapatkan V Q1 RT ln 2 , V1 dan efisisensi diberikan oleh T W T1 T2 1 2 . Q T1 T1 (8.22) Persamaan (8.21) menunjukan bahwa total kerja yang dihasilkan bergantung pada perbedaan temperatur antara dua reservoir [bandingkan dengan pers. (8.18)] dan rasio volume V1/V2 (rasio kompresi). Efisiensi merupakan fungsi kedua temperatur [bandingkan terhadap pers. (8.19)]. Jelaslah dari pers. (8.22) bahwa efisiensi mendekati satu, jika reservoir dingin, T2 = 0 dan reservoir panas T1 tidak terhingga. Kedua keadaan ini secara fisik tidak dapat direalisasikan. 8.9 PENDINGIN CARNOT Jika suatu mesin kalor reversibel beroperrasi untuk menghasilkan kerja dengan nilai positif pada sekelilingnya, sejumlah kalor bernilai positif dikeluarkan dari dalam reservoir panas dan kalor dikeluarkan menuju reservoir dingin. Kita sebut arah siklus ini sebagai arah siklus maju dari mesin. Jika mesin dibalik, tanda jumlah kerja dan aklor juga dibalik. Kerja dipakai, W < 0; kalor diserap dari reservoir dingin dan dialihkan ke reservoir panas. Dalam siklus terbalik ini, dengan memakai kerja, kalor dipompakan dari reservoir dingin menuju reservoir panas; mesin ini merupakan suatu pendingin. Ingatlah bahwa pendingin cukup berbeda jika dibandingkan dengan mesin kita sebelumnya yang mustahil, yang memompakan kalor dari ujung dingin menuju ujung panas dari mesin. Mesin yang musatahil tersebut tidak mempergunakan kerja dalam prosesnya, sebagaimana pada pendingin. Tanda dari jumlah kerja dan kalor dalam kedua jenis operasi ditunjukan pada Tabel 8.4 (T1 merupakan temperatur yang lebih tinggi). Koefisien performa, η, dari pendingin merupakan rasio dari kalor yang dikeluarkan dari reservoir dengan temperatur rendah terhadap kerja yang dipergunakan: Q2 Q2 , W (Q1 Q2 ) (8.23) karena W = Q1 + Q2. Juga karena (Q2/ Q1) = -(T2/ T1), kita mendapatkan T2 . T1 T2 (8.24) 8.10 POMPA KALOR Bayangkanlah kita menjalankan mesin Carnot dalam arah kebalikan, sama seperti pendingin, tetapi disamping interiornya yang dipergunakan sebagai reservoir dingin bagian eksteriornya juga berperan sama dan eksterior dari rumah sebagai reservoir panas. Kemudian pendingin memompakan panas, Q2, dari luar dan mengeluarkan kalor, - Q1, menuju ke dalam rumah. Koefisien performa dari pompa kalor, Page 55 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru ηhp, merupakan jumlah kalor yang dipompakan menuju reservoir dengan temperatur tinggi, - Q1, per satuan kerja yang dipergunakan, - W. hp Q1 Q1 Q1 . W W Q1 Q2 (8.25) hp T1 . T1 T2 (8.26) Karena Q2/ Q1 = -T2/ T2, Rumus ini dapat diilustrasikan sebagai berikut. Anggaplah temperatur eksterior adalah 5 oC dan interior 20oC. Kemudian jika – W = 1 kJ jumlah dari kalor yang dipompakan ke dalam rumah adalah Q1 T1 293K (W ) (1kJ) 20kJ . T1 T2 15K 8.11 DEFINISI ENTROPI Sama seperti hukum pertama yang mengarah pada definisid ari energi, hukum kedua juga mengarah pada definisi sifat keadaan dari sistem, yaitu entropi. Entropi merupakan karakteristik dari keadaan yang menyatakan penjumlahan dari perubahan dalam satu siklus adalah nol. Sebagai contoh, jumlah perubahan dalam sistem diberikan oleh dU 0. Kita sekarang bertanya-tanya apakah hukum kedua mendefiniskan sebuah sifat baru yang mengubah penjumlahn menjadi nol dalam satu siklus. Kita memulai dengan membandingkan dua ungkapan untuk efisiensi dari mesin klaor reversibel sederhana yang beroperasi dianatar dua reservoir pada temperatur termodinamik θ1 dan θ2. Kita melihat bahwa 1 2 1 atau 1 2 . 1 Menjumlahkan kedua ungkapan ini menghasilkan Q2 2 0, Q1 1 yang dapat disusun kembali dalam bentuk Q1 2 Q2 1 0. Sisi kiri dari pers. (8.27) merupakan penjumlahan sederhana dari keseluruhan siklus dari kuantitas Q/θ: dQ 0 (siklus revrsibel). (8.28) Karena penjumlahan dari keseluruhan siklus dQ/θ adalah nol, jumlah ini merupakan diferensial dari sifat dari keadaan; sifat ini disebut sebagai entropi dari sistem dan diberi simbol S. Maka persamaan yang mendefinisikan entropi adalah dS dQrev , T (8.29) dimana subskrip”rev” dipergunakan untuk menunjukkan pembatasan pada siklus reversibel. Simbol θ untuk temperatur termodinamik telah digantikan oleh simbol yang lebih biasa T. Ingatlah bahwa dQrev bukanlah diferensial dari sifat keadaan, tetapi dQrev/T merupakan diferensial sifat keadaan sistem; dQrev/T merupakan diferensial eksak. 8.12 BUKTI UMUM Kita telah menunjukkan bahwa dQrev/T memiliki intergral siklik sama dengan nol hanya untuk siklus yang melibatkan dua temperatur saja. Hasil ini dapat digeneralisasikan untuk sembarang siklus. Page 56 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru Bayangkanlah suatu mesin Carnot. Maka dalam satu siklus W dQ, (8.30) dQ 0. T (8.31) W ' dQ ' ; (8.32) dQ' 0. T (8.33) dan kita telah menunjukkan untuk mesin Carnot bahwa (Dengan definisi dari siklus Carnot, Q merupakan suatu Q yang reversibel.) Bayangkanlah mesin lain E’. Maka menurut hukum pertama siklusnya adalah, tetapi mari kita asumsikan untuk mesin ini, Mesin kedua ini dapat dijalankan dengan siklus serumit yang kita inginkan; dapat memiliki banya reservoir temperatur; dan dapat mempergunakan zat apa saja untuk bekerja. Kedua mesin bekerja berpasangan untuk membuat mesin siklik komposit. Kerja yang dihasilkan oleh mesin komposit dalam siklusnya adalah Wc = W + W’, dimana dengan pers. (8.30) dan (8.32) sama dengan Wc (dQ dQ' ) dQc (8.34) dimana dQc = dQ + dQ’. Jika kita menambahkan pers. (8.31) dan (8.33), kita mendapatkan dQ dQ ' 0, T dQc T 0. (8.35) Kita sekarang mencocokkan arah operasi dan ukuran dari mesin Carnot sehingga mesin komposit tidak menghasilkan kerja; kerja yang diperlukan untuk mengoperasikan E’ disuplai oleh mesin Carnot, atau sebaliknya, dan pers. (8.34) menjadi dQ c 0. (8.36) Pada kondisi apakah pers. (8.35) dan (8.36) dapat dipergunakan? Karena setiapintegral siklik dapat dianggap sebagai penjumlahan dari suku-suku, kita menuliskan pers. (8.36) dan (8.35) dalam bentuk Q1 Q2 Q3 Q4 ... 0, (8.37) dan Q1 Q2 Q3 Q4 ... 0. T1 T2 T3 T4 (8.38) maka penjumlahan dari sisi kiri pers. (8.37) terdiri dari sejumlah suku, bebrapa positif dan lainnya negatif. Akan tetapi jumlah yang positif seimbang dengan negatif, dan penjumlahannya adalah nol. Kita harus menemukan nilai (temperatur) yang dengan membagi semua suku pada pers. (8.37) dengan nilai yang sesuai sehingga nilai positif menjadi lebih dominan, dan oleh karenanya akan memenuhi pertidaksamaan (8.38). Kita dapat membuat suku positif menjadi lebih dominan (predominate?)jika kita membagi suku positif pada pers. (8.37) dengan angka yang kecil dan suku negatif dengan angka yang besar. Dengan ini kita mengasosiasikan nilai Q positif dengan temperatur rendah dan nilai Q negatif dengan temperatur tinggi. Hal ini berarti kalor dikeluarkan dari reservoir pada temperatur rendah dan ditolakkan menuju reservoir ketika temperatur tinggi ketika mesin komposit beroperasi. Mesin komposit ini menjadi suatu mesin yang mustahil, dan asumsi kita, pers. (8.33) mestinya salah. Hal ini sesuai, dimana untuk semua mesin E’, Page 57 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru dQ ' 0. T (8.39) Kita akan membedakan dua buah kasus: Kasus I. Mesin E’ reversibel. Kita telah mengeluarkan kemungkinan yang diungkapakan oleh pers. (8.33). Jika kita mengasumsikan bahwa untuk E’ dQ ' 0, T dan kemudian kita dapat membalikkan mesin ini, yang merubah semua tanda akan tetapi tidak merubah besarnya Q. Maka kita mendapatkan dQ ' 0, T dan buktinya sama seperti sebelumnya. Hal ini memaksa kita untuk menyimpulkan bahwa untuk sembarang sistem dQrev 0 T (semua siklus reversibel) (8.40) Oleh karenanya semua sistem memiliki sifat keadaan S, entropi, seperti dS dQrev . T (8.41) Kasus II. Mesin E’ tidak reversibel. Untuk sebarang mesin kita hanya memiliki kemungkinan yang diungkapkan oleh pers. (8.39). kita telah menunjukan bahwa persamaan tersebut untuk mesin reversibel. Karena kalor dan kerja pada mesin reversibel berbeda dengan yang ada pada mesin ireversibel, hal ini berakibat bahwa nilai dari dQ / T untuk mesin ireversibel tidaklah nol seperti pada mesin reversibel. Kita telah menunjukan bahwa pada sebarang mesin nilainya tidak dapat lebih besar dari nol; sehingga akibatnya nilainya ahruslah lebih kecil dari nol. Oleh karenan itu untuk siklus ireversibel kita mendapatkan dQ 0 T (semua siklus ireversibel) (8.42) 8.13 PERTIDAKSAMAAN CLAUSIUS Bayngkanlah dua sikus berikut ini: Suatu sistem ditransformasikans ecara ireversibel dari keadan 1 ke keadaan 2, kemudian dikembalikan secara reversibel dari keadaan 2 ke keadaan 1. Integral sikliknya adalah 2 dQ 1 dQ dQ rev rev T 1 T 2 T 0, dan kurang dari nol, menurut pers (8.2). Mempergunakan definisi dS, hubungan ini menjadi 2 1 2 dQrev dS 0, 1 T atau dengan menyusun kembali kita mendapatkan 2 1 dS 2 1 dQrev . T (8.43) Jika perubahan dari keadaan 1 ke keadaan 2 cukup kecil, kita mendapatkan dS dQrev . T (8.44) Ini merupakan pertidaksamaan Clausius, yang merupakan syarat fumdamental untuk perubahan yang sebenarnya. Pertidaksamaan (8.44) memungkinkan kita untuk menetukan apakah suatu perubahan akan Page 58 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru terjadi di alam. Kita tidak akan mempergunakan pers. (8.44) begitu saja, akan tetapi kita akan meodifikasinya untuk mengekspresikan pertidaksamaan dalam bentuk sifat keadaan dari sistem, daripada dalam bentuk sifat pola (path?) seperti dQrev. Pertidaksamaan Clausius dapat dipergunakan secara langsung untuk perubahan pada sistem terisolasi. Untuk sebarang perubahan keadaan dalam sistem terisolasi, dQirr = 0. Pertidaksamaannya berubah menjadi (8.45) dS 0. Persyaratan utnuk perubahan real dalam sistem terisolasi adalah nilai dari dS haruslah positif; yang berarti entropi haruslah meningkat. Sebarang perubahan alamiah terjadi dalam suatu sistem terisolasi dicapai dengan peningkatan entropi dari sistem. Entropi dari sistem terisolasi terus menerus meningkat selama perubahan terjadi. Ketika perubahan terhenti, sistem berada dalam kesetimbangand an entropi mencapai nilai maksimum. Oleh karenanya kondisi kesetimbangan pada suatu sistem terisolasi adalah kondisi dimana nilai entropi maksimum. Hal merupakan sifat dasar dari emtropi: (1) entropi dari sistem terisolasi meningkat seiring dengan terjadinya perubahan alami yang terjadi pad sistem; dan (2) entropi dari sistem terisolasi bernilai maksimum pada kesetimbangan. Perubahan pada sistem yang tak terisolasi memghasilkan efek pada sistem dan sekelilingnya. Sistem dan sekelilingnya merupakan merupakan bagian dari sistem terisolasi yang kompleks dimana entropi meningkat seiring dengan perubahan alami yang terjadi di dalamnya. Oleh karenanya di alam semesta entropi terus menerus meningkat seiring dengan perubahan alami yang terjadi. Clausius mengungkapkan hukum kedua termodinamik dengan perkataannya yang termasyhur: ”Energi dari alam semesta tetaplah konstan; tetapi entropi terus naik mencapai maksimum.” 8.14 KESIMPULAN Entropi merupakan konsekuensi dari hukum kedua termodinamika. Hukum kenol mendefinisikan temperatur dari suatu sistem; hukum pertama energi; dan hukumkedua entropi. Ketertarikan kita pada hukum kedua bermula dari kenyataan bahwa hukum ini dapat menentukan arah dari perubahan. Hukum ini mengenyampingkan kemungkinan untuk membangun mesin yang mengakibatkan kalor mengalir dari suatu reservoir dingin menuju reservoir panas tanpa efeklain. Dengan cara yang sama, hukum kedua dapat menunjukkan arah alami dari reaksi kimia. Dalam beberapa keadaan hukum kedua menyatakan kedua arah dari reaksi kimia alami, dan reaksi pastinya berada dalam kesetimbangan. Aplikasi hukum kedua termodinamik merupakan pendekatan yang peling berguna untuk kesetimbangan kimia. 9 Sifat Entropi dan Hukum Ketiga Termodinamika 9.1 SIFAT ENTROPI Entropi Berhubungan dengan “keacakan” dalam distribusi ruang maupun energi dari partikel-partikel penyusun. Entropi didefinisikan dengan persamaan deferensial dS dQrev , T (9.1) sehingga entropi menurut persamaan ini bernilai tunggal, dan merupakan sifat ekstensif dari sistem. Diferensial dS merupakan diferensial eksak. Untuk perubahan kecil dari keadaan 1 menuju keadaan 2, dari pers. (9.1) kita mendapatkan ΔS S1 S 2 2 1 dQrev . T (9.2) Page 59 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru Nilai dari ∆S tidak bergantung dari apakah proses reversibel atau tidak, akan tetapi dari hanya dari keadaan S1 dan S2. Akan tetapi jika kita mempergunakan pers. (9.2) kita harus mempergunakan kalor yang diserap dari jalur reversibel yang menghubungkan kedua keadaan. 9.2 SYARAT KESTABILAN TERMAL DAN MEKANIK DARI SUATU SISTEM Sebelum membicarakan lebih rinci mengenai entropi, terdapat dua hal yang harus kita tetapkan. Pertama kapasitas panas pada volume konstan Cv selalu bernilai positif untuk senyawa murni dalam keadaan agregasi tunggal, kedua koefisien kompresibilitas κ juga bernilai positif. Koefisien kompresibilitas telah didefinisikan sebelumnya pada pers. (5.4) sebagai 1 V V p ; T (9.3) sehingga pada temperatur konstan dp = -(dV/V κ). 9.3 PERUBAHAN ENTROPI PADA TRANSFORMASI ISOTERMAL Pada sebarang perubahan keadaan isotermal, dimana nilai nilai T konstan sehingga dapat dikeluarkan dari integral pada pers. (9.2), sehingga berubah menjadi ΔS Qrev . T (9.4) Persamaan (9.4) dipergunakan untuk memperhitungkan perubahan entropi yang dihubungkan dengan perubahan keadaan agregasi pada temperatur kesetimbangan. Bayangkanlah suatu cairan yang berkesetimbangan dengan uapnya pada tekanan 1 atm. Temperaturnya merupakan temperatur kesetimbangan, yaitu titik didih normal dari cairan. Bayangkanlah sistem dimasukkan kedalam sautu silinder yang dibatasi dengan suatu piston yang melayang denmgan pemberat yang memberikan tekanan ekuivalen dengan tekanan 1 atm (Gbr. 9.1a). Silinder direndam dalam suatu reservoir dengan temperatur kesetimbangan Tb. Jika temperatur silinder dinaikan cukup besar, sejumlah kecil kalor mengalir dari sistem menuju lingkungan, sejumlah cairan menguap, dan massa M naik (Gbr. 9.1b). Jika temperatur reservoir diturunkan cukup kecil, sejumlah kalor yang sama mengalir kembali kedalam sistem, dan massa pemberat kembali ke posisi asalnya. Baik sistem maupun reservoir keduanya dikembalikan kekeadaan aslinya dalam siklus kecil ini, dan transformasinyapun reversibel; jumlah kalor yang diperlukan adalah Qrev. Karena tekanan konstan Qp = ∆H; sehingga untuk penguapan cairan pada titik didih, pers. (9.4) menjadi S vap H vap Tb . (9.5) Dengan ungkapan yang sama, entropi penggabungan pada titik leleh diberikan oleh S fus H fus Tm , (9.6) dimana ∆Hfus merupakan panas pembentukan pada titik leleh Tm. Untuk sebarang perubahan fase pada temperatur kesetimbangan Te, entropi transisi diberikan oleh S H , Tc (9.7) dimana ∆H merupakan kalor transisi pada Te. 9.4 Aturan Trouton Untuk kebanyakan cairan, entropi penguapan pada titik didih normal mempunyai nilai yang hampir sama: S vap 90 J/K mol. (9.8) Page 60 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru Persamaan (9.8) merupakan aturan Trouton. Untuk cairan yang mematuhi aturan Trouton, H vap (90 J/K mol) Tb (9.9) persamaan ini sangat berguna untuk menetukan suatu nilai pendekatan untuk panas penguapan dari cairan dari titik didihnya. Aturan Trouton gagal untuk menggambarkan cairan seperti air, alkohol dan amina. Aturan ini juga gagal menerangkan zat dengan titik didih dibawah 150 K. Untuk zat non cairan dengan titik didih rendah dapat dipergunakan aturan Hildebrand. 9.5 PERUBAHAN ENTROPI DALAM HUBUNGANNYA TERHADAP PERUBAHAN VARIABEL KEADAAN Persamaan yang mendefinisikan entropi dS dQrev , T (9.10) menghubungkan perubahan entropi dengan suatu efek, dQrev, pada lingkungan. Persamaan ini akan sangat berguna jika dapat diubah dalam bentuk variabel-variabel sifat keadaan. Jika yang terjadi hanya kerja tekanan-volume, dan transformasinay reversibel, kita mendapatkan Pop = p, yang merupakan tekana dari sistem, sehinggan hukum pertama menjadi dQrev dU pdV . (9.11) Dengan membagi pers. (9.11) dengan T dan mempergunakan definisi dS, kita mendapatkan dS 1 p U dV , T T (9.12) yang menghubungkan perubahan entropi dengan energi dan volume. Pers. (9.12) merupakan gabungan dari hukum pertama dan hukum kedua termodinamika yang merupakan dasar dari termodinamika. Pembahasan kita selanjutnya tentang kesetimbangan keadaan sistem akan berawal dar persamaan ini atau persamaan yang berhubungan langsung dengan persamaan ini. Dari persamaan diatas dapat dilihat bahwa ada dua cara untuk meningkatkan entropi, yaitu dengan menaikan energi atau menaikan volume dari sistem. 9.6 ENTROPI SEBAGAI FUNGSI TEMPERATUR DAN VOLUME Dengan menganggap entropi sebagai suatu fungsi dari T dan V, kita mendapatkan S(T,V);diferensial keseluruhannya ditulis sebagai S S dS dT dV . T V V T S = (9.13) Pers. (9.12) dapat dibuat dalam bentuk pers. (9.13) jika kita mengungkapkan dU dalam bentuk dT dan dV. Dalam variabel ini, S dU Cv dT dV . V T (9.14) Mempergunakan nilai ini untuk dU kita mendapatkan dS Cv 1 U dT p dV . T T V T (9.15) Karena pers. (9.15) mengungkapkan perubahan entropi dalam bentuk perubahan dalam T dan V, persamaan ini akan identik dengan pers. (9.13). Dengan kesamaan ini kita dapat menuliskan C S v, T V dT (9.16) dan Page 61 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru 1 S U p . V T T V T (9.17) Karena Cv selalu bernilai positif (bagian 9.2) pers. (9.16) mengungkapkan fakta penting bahwa entropi pada volume konstan meningkat seiring dengan peningkatan temperatur. Untuk perubahan kecil temperatur pada volume konstan Cv dT . T1 T T1 S (9.18) CONTOH 9.2 Satu mol argon dipanaskan pada volume konstan dari 300K hingga 500K; C v 23 R . Hitunglah perubahan netropi untuk perubahan keadaan ini. S 500 300 2 3 R 500K dT 23 R ln 0,766R 0,766(8,314 J/Kmol) 6,37J/Kmol ). T 300K Ingatlah jika argon yang dipakai jumlhanya dua kali lipat, Cv-pun nilainya akan dua kali lipat sehingga nilai entropinyapun akan dua kali lipat. Kebergantungan entropi terhadap perubahan volume pada temperatur konstan diturunkan dengan cara yang lebih rumit dibandingkan dengan kebergantungannya pada temperatur. Ingatlah kebergantungan volume pada energi konstan, pada pers. (9.13) cukup sederhana. Kita dapat mendapatkan ungkapan sederhana mengenai kebergantungan volume isotermal dari entropi dengan persamaan ini. Kita mendeferensiasikan pers. (9.16) terhadap volume, dengan mempertahankan temperatur konstan; hal ini menghasikan 2S 1 C v 1 2U . TV T V T VT Pada sisi kanan kita mengantikan Cv dengan (∂U/∂T)V. kemudian kita mendeferensiasikan pers. (9.17) terhadap temperatur dengan volume konstan, untuk mendapatkan 2S 1 C 2U 1 v TV T V V VT T 2 U . p V T Karena S merupakan fungsi dari V dan T (dS adalah diferensial eksak) turunan campuran kedua haruslah sama; karenanya kita mendapatkan 2S 2S , VT TV atau 1 T2 2U 1 p 1 2U 1 2 VT T T V T TV T U . p V T Sekarang hal yang sama berlaku untuk U; turunan campuran keduanya juga sama. Hal ini mereduksi persamaan menjadi U p p T . V T T V (9.19) Membandingkan pers. (9.18) dan (9.19) kita mendapatkan S p . V T T V (9.20) Persamaan (9.20) merupakan ungkapan yang relatif sederhana untuk kebergantungan entropi terhadap volume iostermal dalam bentuk turunan (∂p/∂T)V, yang dapat diukur untuk sebarang sistem. Dari pers.(9.20), aturan siklik, kita mendapatkan (∂p/∂T)V = α/κ. Mempergunakan hasil ini, kita mendapatkan Page 62 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru S . V T (9.21) Karena κ positif, tanda dari turunan bergantung dari α; untuk kebanyakan zat volume meningkat seiring dengan kenaikan temperatur sehingga α bernilai positif. Sesuai dengan pers. (9.21) maka, untuk kebanyakan senyawa entropi akan meningkat seiring dengan kenaikan temperatur. Akan tetapi untuk air α antara 0-4oC bernilai negatif sehingga menyimpang dari aturan ini. Persamaan yang ditulis pada bagian ini dapat dipergunakan untuk sebarang zat. Sehingga untuk sebarang zat kita dapat menuliskan diferensial keseluruhan dari entropi dalam bentuk T dan V dS Cv dT dV T (9.22) Kecuali untuk gas, pengaruh dari volume pada temperatur konstan dalam kenyataannya dapat diabaikan karena kecilnya. 9.7 ENTROPI SEBAGAI FUNGSI TEMPERATUR DAN TEKANAN Jika entropi dianggap sebagai fungsi dari temperatur dan tekanan S =S(T,p), diferensial totalnya ditulis sebagai S S dS dT dp. T p p T (9.23) Untuk memasukkan pers. (9.12) dalam bentuk ini, kita mempergunakan hubungan antara energi dan entalpi dalam bentuk U = H – pV; mendeferensiasikannya kita mendapatkan dU dH pdV Vdp. Mempergunakan nilai ini untuk dU pada pers. (9.12), kita mendapatkan 1 V dH dp, T T (9.24) H dp. dH C p dT p T (9.25) dS yang merupakan versi lain dari persamaan dasar (9.12); persamaan ini menghubungkan dS dengan perubahan entalpi dan tekanan. Kita dapat menyatakan dH dalam bentuk dT dan dp, seperti yang kita lihat sebelumnya: Mempergunakan nilai ini pada dH pada pers. (9.24) kita memperoleh dS Cp T dT 1 T H V dp. p T (9.26) Karena pers. (9.24) dan (9.25) keduanya menyatakan dS dalam bentuk dT dan dp, keduanya mestinya identik. Perbandingan kedua persamaan ini menunjukkan bahwa dan C S (9.27) v, T T V S 1 H V . p T T p T (9.27) Untuk sebarang zat, rasio Cp/T selalu positif. Sehingga, pers (9.26) menjadi menatakan bahwa pada tekanan tetap entropi selalu naik jika temperatur ditingkatkan.rasio dari kapasitas panas dengan temperatur. Dalam pers. (9.27)kita mendapatkan suatu ungkapan yang sedikit menyulitkan untuk kebergatungan entropi terhadap tekanan pada temperatur konstan. Untuk menyederhanakannya, sekali lagi kita mencari turunan keduanya dan menyamakannya. Penurunan dari pers. (9.26) terhadap tekanan pada temperatur menghasilkan Page 63 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru 2S 1 C p pT T p 1 2H . T T pT Untuk menyamakan dengan sisi kanan kita menetapkan Cp = (∂H/∂T)p. Sama halnya penurunan dari pers. (9.27) terhadap temperatur menghasilkan 2S 1 2 H V 1 H V . pT T pT T p T p T Dengan menyamakan turunan campuran kita mendapatkan 1 2H 1 2 H 1 V 1 H V 2 T pT T Tp T T p T p T Karena pencampuran turunan kedua dari H juga sama persamaan ini tereduksi menjadi H V V T T p p T (9.28) Menggabungkan hasil ini dengan pers. (9.27) kita mendapatkan S V V . T p p T (9.29) Untuk mendapatkan kesamaan dengan sisi kanan dipergunakan definisi dari α. Dalam pers (9.29) kita mendapatkan ungkapan mengenai kebergantungan entropi terhadap V dan α yang dapat diukur untuk sebarang sistem. Entropi dapat dituliskan dalam bentuk temperatur dan tekanan dS Cp T dT Vdp (9.30) 9.8 PENGARUH TEMPERATUR PADA ENTROPI Jika sistem digambrakan dalam suku temperatur dan variabel lain yang disebut x, maka kapasitas panas dari sistem pada transformasi reversibel pada x konstan adalah Cx = (dQrev)x/dT). Menggabungkan persamaan ini dengan definisi dari dS, kita mendapatkan pada x konstan dS Cx dT T atau C S x, T x T (9.31) sehingga pengaruh temperatur pada entropi menjadi sederhana; koefisien turunan dari kapasitas panas yang dimaksudkan dibagi dengan temperatur. Dalam kebanyakan aplikasi praktis, x dapat berupa V atau p. Sehingga kita dapat menyatakan suatu definisi ekuivalen dari kapasitas panas S Cv T T v atau S Cp T T p (9.32) 9.9 PERUBAHAN ENTROPI PADA GAS IDEAL Hubungan yang diturunkan dari bagian sebelumnya dapat dipakai untuk sebarang sistem. Turunan ini mempunyai bentuk yang sederhana jika dipergunakan pada gas ideal, yang merupakan akibat dari fakta bahwa pada gas ideal energi dan temperatur merupakan variabel yang ekuivalen: dU = CvdT. Mempergunakan nilai dU ini kita mendapatkan dS Cv p dT dV . T T (9.32) Page 64 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru Hasil yang sama diperoleh dengan mempergunakan hukum Joule, (∂U/∂V)T = 0, pada pers. (9.12). Untuk, mempergunakan pers. (9.32), semua kuantitas harus dinyatakan dalam bentuk fungsi dari variabel T dan V. Sehingga kita menggantikan tekanan dengan p = nRT/V; dan pers. menjadi dS Cv nR dT dV . T V (9.33) Dengan membandingkan pers. (9.33) dengan (9.13), kita melihat bahwa nR S . V T V (9.34) Turunan ini selalu positif, pada perubahan iostermal, entropi dari gas ideal meningkat seiring dengan peningkatan volume. Laju peningkatan berkurang pada volume yang besar, karena V menjadi penyebut. Untuk perubahan keadaan yang kecil, kita mengintegrasikan pers. (9.33) menjadi T2 S T1 V2 dV Cv dT nR . V1 V T Jika Cv merupakan suatu konstanta, persamaan ini terintegrasi menjadi T V S Cv ln 2 nR 2 T1 V1 (9.35) Entropi dari gas idela dinyatakan sebagai fungsi dari T dan p dengan mempergunakan sifat dari gas ideal, dh = CpdT, pada pers. (9.35) yang tereduksi menjadi dS Cp T dT V dp. T (9.36) nR dp. p (9.37) Untuk menyatakan semua variabel dalam bentuk T dan p, kita mempergunakan V = nRT/p, sehingga dS Cp T dT Membandingkan pers. (9.36) dengan pers. (9.23), kita mendapatkan S nR , p p T (9.38) yang menunjukkan bahwa entropi menurun sebanding dengan peningkatan tekanan isotermal, suatu hasil yang diharapkan dari pengaruh volume pada entropi. Untuk perubahan kecil pada keadaan, pers. (9.37) diintegrasikan menjadi T V S C p ln 2 nR 2 T1 V1 9.9.1 Entropi Standar Untuk Gas Ideal Karena untuk perubahan keadaan pada temperatur konstan, pers. (9.50) dapat ditulisakan dS R dp p Anggaplah bahwa kita mengintegrasikan persamaan dari p = 1atm untuk sebarang tekanan p. Maka o p S S R ln , 1 atm (9.39) dimana xyz merupakan nilai entropi molar pada tekanan 1 atmosfer; sehingga nilai yang dicari adalah nilai entropi pada temperatur tertentu. Untuk menghitung nilai numerik dari logaritma pada sisi kanan pers. (9.39), nilai dari tekanan haruslah dalam bentuk atm. Kemudian rasio dari (p/1atm) akan sepenuhnya berupa angka, dan operasi penarikan logaritma menjadi mungkin. Sehingga persamaan diatas dapat berubah menjadi Page 65 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru o S S R ln p (9.40) Haruslah diingat bahwa dalam pers. (9.40) p sepenuhnya berupa angka, angka yang diperoleh dengan membagi tekanan dalam atm dengan 1 atm. 9.10 HUKUM KETIGA TERMODINAMIK Bayangkanlah suatu transformasi dari suatu padatan dari nol mutlak menuju temperatur T dibawah titik lelehnya: Padatan (0 K, p) Perubahan entropi diberikan oleh pers. (9.38) T Cp 0 T S S T S 0 T Cp 0 dT ST S 0 Padatan (T, p) dT (9.54) . Karena Cp positif, integral dalam pers. (9.54) juga bernilai positif; oleh karenanya entropi hanya dapat ditingkatkan dengan temperatur. Sehingga pada 0 K memiliki nilai aljabar terkecil yang mungkin S0. Pada 1913 Planck menyarankan bahwa nilai S0 untuk semua zat murni, yang kristal sempurna adalah nol. Hal ini merupakan hukum ketiga dari termodinamika: Entropi dari zat murni yang krisatal sempurna bernilai nol pada temperatur nol mutlak. Ketika kita mempergunakan hukum ketiga termodinamika pada pers. (9.54), pers. Ini tereduksi menjadi T Cp 0 T ST (9.55) dT dimana ST disebut sebagai entropi hukum ketiga, atau sederhananya entropi, dari padatan pada temperatur T dan tekanan p. Jika tekanan adalah 1 atm, entropinya merupakan entropi standar S T . o Karena perubahan besar pada keadaan agregasi (pelelehan atau penguapan) menyangkut peningkatan entropi, kontribusi ini harus dimasukkan untuk perhitungan entropi dari suatu cairan atau gas. Untuk entropi standar dari suatu cairan di atas titik lelehnya, kita mendapatkan S o T Tm C po ( s) T o dT H ofus Tm T C po (l ) Tm T T C po (l ) Tm T (9.56) dT . Sama halnya untuk gas diatas titik didihnya S o T Tm o C po ( s) T dT H ofus Tm dT o H vap Tb T C po ( g ) Tb T dT . (9.57) Jika padatan mengalami sebarang transisi antara satu modifikasi kristal dengan yang lainnya, maka entropi dari transisi tersebut harus diikutkan juga. Untuk memperhitungkan entropi, kapasitas panas dari zat dalam beragam keadaan agregasi harus diukur secara akurat pada rentang temperatur nol mutlak hingga temperatur yang bersangkutan. Nilai panas transisi dan temperatur trasnsisi juga harus diukur. Semu pengukuran ini dapat dilakukan secara kalorimetrik. Pengukuran kapasitas panas dari beberapa padatan telah dilakukan hingga temperatur sekitar seratus diatas nol mutlak. Akan tetapi, hal ini merupakan hal yang tidak biasa. Biasanya, pengukuran kapasitas panas dilakukan dengan menurunkan temperatur hingga T’, yang biasanya bervariasi pada rentang 10 hingga 15 K. Pada temeratur serendah ini, kapasitas panas dari padatan mematuhi dengan akurat hukum “T-kubik(pangkat tiga)” Debye; dimana C v aT 3 , (9.58) Page 66 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru dimana a merupakan konstanta untuk masing-masing zat. Pada temperatur ini Cp dan Cv tidak dapat dibedakan , sehingga hukum Debye dipergunakan untuk mengevaluasi integral dari Cp/T pada rentang 0 K hingga temperatur terendah pada pengukuran T’. Konstanta a ditentukan dari nilai Cp(=Cv) yang diukur pada T’. Dari hukum Debye, a = (Cp)T/T3. Pada rentang temperatur diatas T’, integral T Cp T' T T T T' T' dT C p d (ln T ) 2,303 C p d (log T ) dievaluasi secara grafis dengan memplot Cp/T versus T, atau Cp versus log T. Daerah dibawah kurva merupakan nilai dari integral. Gambar 9.3 menunjukan plot C p versus log T untuk padatan dari 12 K hinga 298 K. Keseluruhan daerah dibawah kurva ketika dikalikan dengan 2,303 menghasilkan nilai o S 298 = 32,6 J/Kmol. Dalam kesimpulannya, kita harus mengingat penyataan pertama mengenai hukum ketiga termodinamika yang dibuat oleh Nernst pada 1906, terorema panas Nernst, yang menyatakan bahwa dalam sebarang reaksi kimia yang hanya melibatkan padatan kristalin yang murni, perubahannya entropinya dalah nol pada 0 K. Pernyataan punya batasan yang sedikit lebih longgar dibandingkan pernyataan Planck. Hukum ketiga termodinamik ini menutupi celah generalisasi dari hukum lain, karena hukum ini hanya berlaku untuk kelas tertentu dari zat, yaitu zat kristalin yang murni, dan tidak untuk semua zat. Dengan adanya pembatasan ini hukum ini menjadi sangat berguna. Alasan untuk pengecualian terhadap hukum ini dapat dimengerti setelah kita membahas interpretasi statistik dari entropi. Komentar umum berikut ini dapat dibuat mengenai nilai entropi yang ada pada Tabel 9.1 1. Entropi pada gas lebih besar dari entropi cairan, dan keduanya lebih besar dari padatan. Hal ini merupakan konsekuensi dari pers. (9.57) 2. Entropi dari gas meningkat secara logaritmik sesuai dengan massa; hal ini diperlihatkan oleh gas monoatomik, atau diatomik, HF, HCl, HBr, HI. 3. Dengan membandingkan gas yang memiliki massa yang sama-Ne, HF, H2O-kita melihat dari kapasitas panas rotasional. Dua derajat kebebasan rotasional ditambahkan 3,202R = 27,45 J/K mol dari Ne ke HF; satu rotasi tambahan pada H2O dibandingkan HF menambahkan 1,811R = 15,06 J/K mol. Sama halnya H2O dan NH3 memiliki entropi yang hampir sama. (Keduanya memiliki 3 derajat kebebasan rotasional.) Untuk molekul dengan massa dan kapasitas panas yang sama tetapi memiliki bentuk yang berbeda, molekul yang lebih simetris akan memiliki nilai entropi yang lebih rendah; contohnya tidak banyak, tetapi bandingkanlah N2 dengan Co dan NH3 dan CH4. 4. Pada kasus padatan yang terdiri dari satu unit struktural sederhana, kapasitas panasnya merupakan kapasitas panas vibrasional. Suatu padatan yang sangat rapat (energi kohesif tinggi) memiliki frekuensi karakteristik yang tinggi (Bagian 4.13), sehingga memiliki kapsitas panas yang lebih rendah dan entropi yang rendah; sebagai contoh, intan memiliki energi kohesif yang sangat tinggi, entropi yang sangat rendah; silikon memiliki energi kohesif yang lebih rendah (juga frekuensi vibrasional yang lebih tinggi sebagai akibat massa yang lebih besar), sehinga memiliki entropi yang lebih besar. 5. Padatan yang terdiri dari dua, tiga,…, unit sederhana memiliki entropi yang secara kasar dua, tiga, …, kali lebih besar dibandingkan yang tersusun dari satu unit sederhana 6. Jika terdapat satu unit kompleks, gaya van der Waals (gaya kohesif yang sangat lemah) mengikat padata tersebut. Entaropinya akan tinggi. Ingatlah massa ynag diberikan pada tabel cukup besar. 7. Jika terdapat unit yang kompleks pada kristal, entropi menjadi lebih besar karena kapasitas panas yang lebih besar karena adanya tambahan derajat kebebasan yang berhubungan dengan unit ini. Page 67 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru 9.11 PERUBAHAN ENTALPI PADA REAKSI KIMIA Perubahan entalpi standar pada suatu reaksi kimia dihitung dari data yang telah ditabulasi dengan cara yang sama untuk perubahan standar pada entalpi. Akan tetapi terdapat suatu perbedaan penting: Nilai entropi standar untuk unsur tidak diberikan sebagai nol. Nilai karakteristik untuk entropi untuk setiap unsur pada 25oC dan tekanan 1 atm diketahui dari hukum ketiga. Sebagai contoh, pada reaksi Fe2O3(g) + 3H2(g) 2Fe(s) + 3H2O(l), Dan perubahan entropi standar diberikan oleh o o S o S awal S akhir . (9.59) Karena entropi gas jauh lebih besar jika dibandingkan dengan fase terkondensasi, akan terjadi penurunan entropi yang besar jika gas dipergunakan bereaksi untuk membentuk fase terkondensasi. Sebaliknya juga akan terjadi peningkatan entropi jika fase terkondensasi bereaksi dan berubah menjadi gas. 2Cu(s) + CO(g) S 298 158 J / Kmol Cu2O(s) + C(s) o Nilai ∆So untuk reaksi ini didapatkan dengan S o S o ( produk ) S o (reak tan). Dengan menurunkan persamaan ini terhadap temperatur pada tekanan konstan, kita mendapatkan S o T S o ( produk ) S o (reak tan) T T p p p C po ( produk ) T C po (reak tan) T C po T . (9.61) Menuliskan pers. (9.61) dalam bentuk diferensial dan mengintegrasikannya antara temperatur T0 dan T, kita dapatkan T T d (S o ) C po dT ; T o T C p o o ST ST dT , To T To To (9.62) persamaan ini berlaku untuk sebarang reaksi kini yang mengalami perubahan keadaan agregasi pada rentang temperatur T0 hingga T. 9.12 ENTROPI DAN PROBABILITAS Entropi sistem pada keadaan tertentu dapat dihubungkan dengan sesuatu yang disebut sebagai probabilitas dari keadaan tersebut dari sistem. Untuk membuat hubungan ini atau bahkan untuk memahami hubungan ini diperlukan suatu model struktural dari sistem. Hal ini berlainan dengan definisi entropi dari hukum kedua yang tidak bergantung pada dari apa model struktrural tersebut tersusun. Bayangkanlah suatu keadaan berikut. Suatu ruang besar berbentuk persegi yang benar-benar tersekat serta vakum dan disalah satu sudutnya terdapat suatu kotak yang memuat gas dengan tekanan atmosferik. Ketika kotak berisi gas dibuka setelah beberapa saat kita mendapatkan bahwa gas telah tersebar merata keseluruh ruangan dan memiliki kecepatan dan posisi tertentu, sesuai dengan sudut pandang klasik. Selanjutnya bayangkanalah molekul tersebut berbalik dari gerakan aslinya, dan kemudian akan mengumpul pada salah satu sudut ruangan dan masuk kembali kedalam kotak. Hal yang aneh adalah kita tidak memiliki alasan mengapa gerakan menyebar keseluruh ruangan lebih dipilih gas dibandingkan gerakan mengumpul disudut ruangan. Tetapi menmgapa kita tidak menemukan gerakan mengumpul dari partikel gas? Fakta ini disebut sebagai paradoks Boltzmann. Page 68 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru 9.13 BENTUK UMUM UNTUK OMEGA Untuk menghitung jumlah penataan dari tiga partikel dalam N sel, kita melakukan dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Terdapat N pilihan untuk menempatkan partikel pertama, N-1 pilihan untuk menepatkan pilihan kedua, N-2 pilihan untuk menempatkan pilihan ketiga. Hal ini membuatnya kelihatan seperti penataan N(N-1)(N-2); tetapi sekali lagi kita tidak dapat membedakan yang hanya permutasi dari tiga partikel antara sel x, y, z. Terdapat 3! Permutasi: xyz, xzy, yxz, yzx, zxy, zyx. Oleh karananya untuk tiga partikel dalam N sel jumlah complexion adalah N ( N 1)( N 2) . 3! (9.67) Jika jumlah sel jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah partikel, hal ini mereduksi tiga partikel menjadi N3 . 3! Dari bentuk pendekatan ini kita dapat segera menyimpulkan bahwa untuk Na partikel , jika N jauh lebih besar dari Na, maka, pendekatannya adalah N Na . Na! (9.68) Sebaliknya, jika kita memerlukan bentuk eksak dari Ω, pers. (9.67) dapat digeneralisasi untuk Na partikel menjadi N ( N 1)( N 2)( N 3)...( N N a 1) . Na! Jika kita mengalikan persamaan terkahir dengan (N-Na) pada pembilang dan penyebut, persamaan ini tereduksi menjadi ( N !) . N a !( N N a )! (9.69) Entropi yang terjadi untuk ekspansi dari N menjadi N’ sel dapat dengan mudah dihitung dengan pers. (9.68). Untuk N sel, S k[ln N N a ln( N!)], sedangkan untuk N’ sel, S ' k[ln N ' N a ln( N a !)] . Nilai dari ∆S adalah N' . N S = S’ – S = N a k ln Sebagaimana sebelumnya, kta mengambil rasio N’/N = V’/V; maka jika Na = NA, persamaan berubah menjadi V ' S R ln , V yang identik dengan pers. (9.66). 9.14 ENTROPI PENCAMPURAN DAN PENGECUALIAN UNTUK HUKUM KETIGA TERMODINAMIKA Hukum ketiga termodinamika hanya dapat dipakai untuk zat yang tersusun dalam konfigurasi yang benar-benar teratur pada temperatur nol mutlak. Dalam suatu kristal murni, sebagai contoh, atom terletak apda sis yang pasti dari lattice. Jika kita memperhitungkan jumlah complexion dari N atom Page 69 of 70 Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru yang disusun pada N sisi, kita mendapatkan bahwa walaupun terdapat N! cara penyusunan, karena atom-atom tersebut identik, penyusunan ini hanay berlaku dibatas atom-atom yang dipilih. Karena penyusunannya tidak dapat dibedakan, kita harus membagi dengan N!, dan kita mendapatkan Ω = 1 untuk kristal yang tersusun sempurna. Oleh karenanya entropi menjadi S k ln( 1) 0. Anggaplah bahwa kita menyusun atom A dan B yang berbeda pada N sisi dari kristal. Jika Na merupakan jumlah dari atom A, dan Nb merupakan jumlah dari atom B, maka Na + Nb = N, jumlah keseluruhan sisi. Jumlah cara yang dapat dipilih untuk menyusun atom A dalam Na sisi dan atom B dalam Nb sisi adalah k ln N! . N a!Nb! (9.71) Entropi untuk kristal campuran diberikan oleh S k ln N! . N a!Nb! (9.72) Untuk mengevaluasi ungakapan ini kita mempergunakan pendekatan Stirling: ketika N sangat besar, maka (9.73) ln N! N ln N N. Ungkapan untuk entropi menjadi S k ( N ln N N N a ln N a N a N b ln N b N b ). Karena N = Na + Nb, maka S k ( N a ln N a N b ln N b N ln N ). Tetapi, Na = xaN, dan Nb = xbN, dimana xa merupakan fraksi mol dari A dan xb merupakan fraksi mol dari B. Ungkapan untuk entropi direduksi menjadi (9.74) S mix Nk ( xa ln xa xb ln xb ). Karena suku dalam kurung dalam pers. (9.74) bernilai negatif (logaritma dari fraksinya negatif), emtropi dari kristal yang dicampur adalah positif. Jika kita membayangkan kristal campuran terbentuk dari kristal murni A dan B, maka untuk proses pencampuran A murni + B murni kristal campuran. Perubahan entropinya adalah Smix S(kristal campuran) - S(A murni ) - S(B murni) . Entropi untuk kristal murni adalah nol, sehingga ∆S pencampuran disederhanakan menjadi S mix Nk ( xa ln xa xb ln xb ), (9.75) dan bernilai positif. Page 70 of 70