1 Beberapa Konsep Dasar Mengenai Kimia

advertisement
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
1 Beberapa Konsep Dasar Mengenai Kimia
1.1 PENDAHULUAN
Kita memulai studi mengenai kimia fisik dengan penyataan singkat mengenai beberapa ide dasar dan
penggunaan umumnya di bidang kimia. Hal ini merupakan hal yang familiar, tetapi akan sangat
berharga untuk mengingatnya kembali.
1.2 JENIS BENDA
Dari beragam berbeda yang ada secara umum kita dapat membaginya menjadi dua: (1) zat dan (2)
campuran zat.
Pada keadaan eksperimental tertentu zat menunjukkan suatu sifat fisik dan kimia tertentu dan tidak
dipengaruhi oleh metode preparasi dari zat.
Sebaliknya campuran sangat bervariasi pada komposisi kimianya.
1.3 JENIS ZAT
Terdapat dua jenis zat: unsur dan senyawa. Unsur tidak dapat dipecah lagi menjadi zat yang lebih
sederhana dengan metode kimai yang biasa, akan tetapi senyawa dapat.Metode kimai yang biasa
merupakan metode yang melibtakan energi tidak lebih dari 1000 kJ/mol.
1.4 MASSA ATOMIK DAN MASSA MOLAR
Setiap atom atau nuklida dapat digambrakan dengan dua angka yang spesifik, Z dan A, dimana Z
merupakan nomor atom, dan jumlah proton pada inti, dan A nomor massa yang sama dengan Z + N,
dimana N merupakan jumlah proton pada inti. Atom dari unsur yang berbeda dibedakan dengan nilai Z
yang berbeda. Atom dari satu unsur memiliki nilai Z yang sama tetapi dapat memiliki nilai A yang
berbeda dan disebut isotop dari unsur.
1.5 SIMBOL; RUMUS
Rumus dari senyawa dapat diinterpretasikan dengan banyak cara, tetapi biasanya merupakan
komposisi relatif dari senyawa. Pada zat seperti quartz dan garam, tidak terdapat molekul diskrit.
Sehingga rumus untuk SiO2 dan NACl hanya diberikan dalam bentuk empiris; rumus ini hnaya
menggambrakan jumlah relatif dari atom unsur yang terdapat dalam molekul dan tidak lebih dari itu.
1.6 MOL
Satuan SI untuk jumlah zat adalah mol. Mol didefinisikan sebagai jumlah zat pada 0,012 kg karbon12. Satu mol dari sebarang zat mengandung jumlah unsur yang entitasnya tepat dengan 0,012 kg
karbon-12. Angka ini merupakan konstanta Avogadro, NA = 6,022045 x 1023mol-1.
2 Sifat-sifat Empiris dari Gas
2.1 Hukum Boyle; Hukum Charles
Dari ketiga keadaan agregasi, hanya keadaan gas yang memberikan sifat –sifat dengan gambaran yang
sederhana. Untuk saat ini kita akan membatasi gambaran ini terhadap hubungannya dengan bebrapa
sifat seperti massa, tekanan, volume dan tekanan. Kita harus mengasumsikan bahwa sistem berada
dalam kesetimbangan sehingga nilai dari sifat-sifat tersebut tidak berubah seiring dengan waktu,
selama batasan eksternal dari sistem tidak berubah.
Persamaan keadaan dari sistem merupakan hubungan matematis antara nilai-nilai dari keempat sifat
diatas. Hanya diperlukan tiga nilai untuk menetapkan keadaan yang ada; nilai kempat dapat dihitung
Page 1 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
dari persamaan keadaan, yang diperoleh adri pengetahuan yang didapat dari perilaku eksperimental
dari sistem.
Pengukuran kuantitatif yang pertama perilaku tekanan-volume dari gas dilakukan oleh Robert
Boyle pada tahun 1662. data yang diperolehnya menunjukkan bahwa volume berhubungan terbalik
dengan tekanan; V =C/p, dimana p adalah tekanan, V volume, dan C merupakan konstanta. Gambar 2.1
menunjukan V sebagai fungsi dari p. Hukum Boyle dapat ditulis dalam bentuk
pV  C
(2.1)
persamaan ini hanya berlaku untuk gas dengan massa tetap pada temperatur konstan.
Eksperimen selanjutnya oleh Charles menunjukan bahwa konstanta C merupakan fungsi dari
temperatur. Hal ini merupakan bentuk kasar dari hukum Charles.
Gay Lussac melakukan pengukuran volume gas dengan massa tetap dan menemukan bahwa
volume merupakan suatu fungsi yang linier dengan temperatur. Hal ini diungkapkan dengan persamaan
(2.2)
V  a  bt
dimana t merupakan temperatur dan a serta b merupakan tetapan. Plot volume sebagai fungsi dari
temperatur ditunjukkan pada Gambar 2.2. Intersep pada sumbu vertikal adalah a = V0, volume pada
0OC.

Slope dari kurva merupakan turunan dari b  V
t
 sehingga persamaan 2.2 dapat ditulis
p
dalam bentuk
 V 
V  V0  
 t
 t  p
(2.3)
Eksperimen yang dilakukan Charles menunjukan bahwa untuk suatu gas dengan massa tetap di
bawah tekanan tetap, peningkatan relatif pada volume per derajat peningkatan temperatur sama
untuk semua gas yang dia ukur. Pada tekanan tetap peningkatan volume per derajat adalah
peningkatan volume per derajat adalah (∂V/∂t)p; sehingga peningkatan relatif volume perderajat pada
0oC adalah (1/Vo)(∂V/∂t)p. Kuantitas ini merupakan koefisien ekspansi termal pada 0oC, dimana kita
gunakan simbol α0:
0 
1  V 

 .
V0  t  p
(2.4)
Kemudian persamaan (2.3) dapat dituliskan dalam bentuk α0;
 1

V  V0 (1   0 t )  V0 0 
 t ,
 0

(2.5)
yang telah memadai, karena persamaan ini menunjukkan volume gas dalam bentuk volumenya pada nol
derajat dan suatu konstanta α0, yang sama untuk semua gas, sehingga hampir tidak dipengaruhi oleh
tekanan pada saat dilakukan pengukuran. Jika kita mengukur α0 pada tekanan yang berlainan kita akan
mendapatkan untuk semua gas α0 mendekati nilai pembatas yang sama pada p = 0. Bentuk dari pers.
(2.5) menunjukkan koordinat perubahan yang akan sangat berguna.; yang dinamakan sebagai T, suatu
ukuran temperatur baru, yanag didapatkan dari temperatur sebelumnya melalui persamaan
T
1
0
 t.
(2.6)
Persamaan (2.6) mendefinisikan sebuah skala temperatur yang baru, yang disebut temperatur dengan
skala gas, atau lebih tepatnya temperatur dengan skala gas ideal. Hal penting dari skala ini adalah
fakta bahwa nilai pembatas α0 dan juga 1/ α0 memiliki nilai yang sama untuk semua gas. Sebaliknya, α0
bergantung pada skala temperatur yang dipergunakan untuk t. Jika t dalam derajat Celsius (oC), maka
1/ α0 =273,15 oC. Skala T yang dihasilkan secra numerik identik dengan skala temperatur
termodinamik, yang akan kita bahas secara mendetail pada bab 8. Satuan SI untuk temperatur
Page 2 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
termodinamik adalah kelvin (K). Temperatur pada skala termodinamik seringkali disebut sebagai
temperatur absolut atau temperatur kelvin. Menurut pers. (2.6)
T  273,15  t .
(2.7)
Persamaan (2.5) dan (2.6) digabungkan untuk menghasilkan
V   0V0 T ,
(2.8)
yang menyatakan volume dari gas pada tekanan tetap sebanding dengan temperatur termodinamik.
2.2 MASSA MOLAR GAS. HUKUM AVOGADRO; HUKUM GAS IDEAL
Pers. (2.1) dan (2.8) dapat digabungkan menjadi
V
C0 0T
(massa tetap)
p
(2.9)
Karena C0 = Bw, dimana B adalah konstanta dan w adalah massa dari gas,. Dengan mempergunaka hasil
ini untuk pers (2.9) kita mendapatkan
V
B 0 wT
,
p
(2.10)
yang merupakan hubungan umum antara empat variabel V, w, T, dan p. Masing-masing gas memiliki nilai
yang berbeda untuk konstanta B.
Untuk gas pada keadaan standar massa gas , M dinyatakan sebagai
 1  p0V0 

.
M  
 B0  T0 
(2.11)
Karena keadaan standar sulit untuk dicapai, rasio R = p0 V0 /T0 memiliki nilai yang tetap dan sama
untuk semua gas dan disebut konstanta gas. Pers. (2.11) dapat ditulis dalam bentuk
M 
R
B 0
atau
B
R
.
M 0
Mempergunakan nilai B ini kta mendapatkan
 w  RT
V 
.
M p
(2.12)
Anggaplah jumlah massa karakteristik dari gas yang terdapat dalam massa w adalah n = w/M. Maka V
= nRT/p, atau
pV  nRT
(2.13)
Pers. (2.13) merupakan hukum gas ideal, yang sangat penting untuk studi semua gas. Hukum ini tidak
mengandung suatu bentuk khusus untuk suatu gas, akan tetapi dapat dipergunakan untuk semua gas.
2.3 PERSAMAAN KEADAAN; SIFAT EKSTENSIF DAN INTENSIF
Hukum gas ideal, pV = nRT, merupakan hubungan antara empat variabel yang menggambarkan keadaan
gas. Sehingga persamaan ini disebut persamaan keadaan. Variabel dari persamaan ini dibagi menjadi
dua golongan: n dan V merupakan variabel ekstensif (sifat ekstensif), sedangkan p dan T meruapakan
variabel intensif (sifat intensif).
Nilai dari sifat ekstensif didapat dengan menjumlahkan nilai yang terukur dari keseluruhan sistem.
Sedangkan sifat internsif meiliki nilai yang sama dimanapun di dalam sistem. Rasio dari dua variabel
ekstensif selalu merupakan variabel intensif. Dengan membagi V dengan n kita mendapatkan volume
molar V :
V 
V RT

.
n
p
(2.15)
Jika hukum gas ideal ditulis dalam bentuk
Page 3 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
pV  RT ,
(2.16)
yang merupakan hubungan dari tiga variabel intensif: tekanan, temperatur, dan volume molar. Hal ini
sangat penting karena sekarang kita tidak perlu lagi risau apakah kita sedang berurusan dengan 20 g
atau 20 ton bahan yang sedang dipelajari.
2.4 SIFAT GAS IDEAL
Jika nilai tertentu diberikan pada kedua variabel p, V ,dan T, nilai dari ketiga variabel dapat
ditentukan dari hukum gas ideal. Sehingga, dua buah variabel adalah variabel independen; variabel
yang tersisa adalah variabel dependen.
Isoterm dari gas ideal berbentuk hiperbola persegi (Gbr 2.4) ditentukan oleh hubungan
p
RT
.
V
(2.17)
Untuk setiap kurva T memiliki nilai konstan yang berbeda.
Pada gambar 2.5 semua titik berhubungan dengan koordinat V dan T dan dihubungkan pada tekanan
yang sama, dan dinamakan isobar. Isobar dari gas ideal digambarkan oleh persamaan
R
V   T ,
 p
(2.18)
dimana tekanan berada pada beragam tekanan konstan.
Gambar 2.6 menunjukan hubungan antara p dan T, garisnya merupakan garis volume molar konstan,
isometrik, dan digambarkan dengan persamaan
R
p   T ,
V 
(2.19)
Jika kita mengintai dengan seksama Gbr 2.4, 2.5, dan 2.6 dan pers. (2.17), (2.28), dan (2.19) mengarah
pada suatu kesimpulan yang aneh mengenai gas ideal. Sebagai contoh, Gbr 2.5 dan pers. (2.18)
menyatakan bahwa volume dari suatu gas ideal pada tekanan konstan bernilai nol pada T = 0 K.
Demikian juga pada gambar dan persamaan lainnya.
2.5 PENENTUAN MASSA MOLAR GAS DAN ZAT VOLATIL
Hukum gas ideal sangat berguna untuk menentukan massa molar dari zat volatil. Untuk maksud ini
suatu wadah yang volumenya diketahui diisi dengan gas dan tekanan serta temperatur diukur. Massa
dari gas dalam wadah diukur. Pengukuran ini dapat dipergunakan untuk massa molar dari zat. Dari
pers. (2.12) kita mendapatkan pV = (w/M)RT; maka
 w  RT   
M  
   RT ,
V  p  p 
(2.20)

M    RT .
 p 0
(2.21)
dimana ρ = w/V; dimana ρ adalah densitas. Semua nilai pada sisi kanan dari pers. (2.20) diketahui dari
pengukuran; sehingga M dapat diperhitungkan.
Kenyataan bahwa perilaku dari gas real medekati perilaku gas ideal jika tekanan diturunkan
dipergunakan sebagai dasar penetapan massa molar dari gas. Menurut pers. (2.20) rasio dari densitas
terhadap tekanan seharusnya tidak bergantung dari tekanan: ρ/p = M/RT. Hal ini benar untuk gas
ideal, akan tetapi densitas dari gas real diukur pada satu temperatur pada beragam tekanan, rasio
densitas terhadap tekanan ditemukan bergantung pada tekanan. Pada tekanan yang cukup rendah, ρ/p
merupakan fungsi linier dari tekanan. Garis lurus dapat diekstrapolasikan untuk menghasilkan satu
nilai ρ/p, yang dapat dipergunakan pada pers. (2.20) untuk memberikan nilai yang tepat dari M:
Prosedur ini digambarkan untuk amonia pada 25oC pada Gbr. 2.7.
Page 4 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
2.6 CAMPURAN; VARIABEL KOMPOSISI
Konsentrasi volume didapatkan dengan membagi jumlah dari masing-masing zat dengan volume dari
campuran.
ni
V
(2.22)
ni
.
n1
(2.23)
ci 
Rasio mol, ri , didapatkan dengan memilih salah satu jumlah mol dan membagi sisanya dengan jumlah
mol tersebut. Dengan memilih n1 sebagai pembagi kita mendapatkan
ri 
Fraksi mol, xi, didapatkan dengan membagi masing-masing jumlah mol dengan jumlah mol keseluruhan
dari zat yang ada, nt = n1 + n2 + …,
ni
.
nt
xi 
(2.24)
Jumlah dari fraksi mol dari keseluruhan zat dalam campuran haruslah satu
(2.25)
x1  x2  x3  ...  1.
2.7 PERSAMAAN KEADAAN UNTUK CAMPURAN GAS; HUKUM DALTON
Eksperimen menunjukkan bahwa untuk campuran gas, hukum gas ideal berlaku dalam bentuk
(2.26)
pV  nt RT .
Jika sistem terdiri atas campuran tiga gas dengan jumlah mol masing-masing n1, n2, dan n3 dalam suatu
wadah dengan volume V pada temperatur T. Jika n1 = n1 + n2 + n3, maka tekanan yang dikeluarkan oleh
campuran diberikan oleh
p
nt RT
V
(2.27)
Tekanan parsial untuk masing-masing gas adalah
p1 
n1 RT
,
V
p2 
n2 RT
,
V
p3 
Menambahkan persamaan ini, kita mendapatkan
p1  p 2  p3  (n1  n2  n3 )
n3 RT
V
(2.28)
RT
RT
 nt
V
V
(2.29)
Perbandingan pers ini dengan pers. (2.27) menunjukkan bahwa
p  p1  p2  p3 .
(2.30)
Pernyataan ini merupakan hukum tekanan parsial Dalton.
Hubungan tekanan parsial dengan fraksi mol dituliskan sebagai
p1 n1 RT

;
p
pV
(2.31)
tetapi dengan pers. (2.27), p = ntRT/V. Mempergunakan nilai untuk p pada sisi kanan persamaan (2.31)
kita mendapatkan
p1 n1

 x1 .
p nt
Sehingga
p1  x1 p ,
p 2  x2 p ,
p 3  x3 p .
Persamaan ini dapat disingkat menjadi
p i  xi p
(i = 1, 2, 3, …),
(2.32)
dimana pi merupakan tekanan parsial dari gas dengan fraksi mol xi.
Page 5 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
3 Gas Real
3.1 PENYIMPANGAN DARI PERILAKU IDEAL
Karena hukum gas ideal tidak dapat mereprensentasikan secara akurat perilaku dari gas real, kita
harus memformulasikan persamaan yang lebih realistis untuk keadaan dari gas dan menyelidiki
implikasi dari persamaan ini.
Jika pengukuran tekanan, volume molar, dan temperatur dari suatu gas tidak sesuai dengan hubungan
pV = RT, dengan pengukuran yang presisi, gas tersebut dikatakan menyimpang dari ideal dan
menujukkan perilaku yang non ideal. Untuk menujukkan penyimpangan tersebut dengan jelas, rasio
dari volume molar yang teramati terhadap volume molar ideal diplot sebagai fungsi dari tekanan
pada temperatur konstan. Rasio ini disebut faktor kompresibilitas Z. Kemudian,
Z
V
pV
.

V id RT
(3.1)
Untuk gas ideal, Z = 1 dan tidak bergantung pada tekanan dan temperatur. Untuk gas real Z = Z(T,p)
fungsi dari temperatur dan tekanan.
3.2 MEMODIFIKASI PERSAMAAN GAS IDEAL: PERSAMAAN GAS REAL
Pada pendinginan gas real mencair dan sepenuhnya memadat; setelah pencairan voume tidak banyak
berubah. Kita dapat menyusun persamaan baru yang dapat memprediksikan suatu nilai tertentu,
volume positif untuk gas pada 0 K dengan menambahkan suatu konstanta positif b untuk volume ideal:
V b
RT
p
(3.2)
Sesuai dengan pers. (3.2) volume molar pada 0 K adalah b dan dapat kita dapat mengharapkan bahwa
b secara kasar bisa dibandingkan dengan volume molar dari cairan atau padatan.
Tekanan yang dikeluarkan gas pada dinding kontainer mengarah keluar. Gaya tarik menarik antara
molekul cenderung untuk merapatkannya, yang oleh karenanya mengurangi tekanan keluar ke arah
dinding dan mengurangi tekanan dibandingkan yang dikeluarkan oleh gas ideal. Pengurangan pada
tekanan ini sebanding dengangaya tarik emnarik antara molekul gas.
Sangatlah menarik untuk melihat betapa baiknya pers. (3.2) memperkirakan kurva pada Gbr 3.1 dan
3.2. Karena definisi Z  pV / RT , perkalian pers. (3.2) dengan pV menghasilkan
Z  1
bp
.
RT
(3.3)
Anggaplah dua elemen volume kecil v1 dan v2 dalam suatu kontainer gas (Gbr 3.3). Anggaplah bahwa
setiap elemen volume terdiri dari satu molekul dan antar dua elemen kecil adalah suatu nilai kecil f.
Jika molekul lain ditambahkan pada v2, dan mempertahankan tetap satu molekul pada v1, gaya yang
terjadi antara kedua elemen haruslah 2f; penambahan molekul ketiga da v2 haruslah meningkatkan
gaya menjadi 3f, dan seterusnya. Gaya tarik menarik antara dua elemen volume oleh karenanya
sebanding dengan č2, konsentrasi dari molekul pada v2. Jika pada sebarang titik pada ungkapan,
jumlah molekul pada v2 dipertahankan konstan dan molekul ditambahkan pada v1, maka gayanya
haruslah menjadi dua kali, tiga kali lipat dan seterusnya. Gaya tersebut proporsional dengan č1,
konsentrasi molekul pada v1. Oleh karenanya, gaya yang terjadi antara dua elemen dapat ditulis
sebagai: gaya ∞ č1 č2. Karena konsentrasi dalam gas sam untuk semua titik, č1 = č2 = č, maka gaya ∞
2
č2. Akan tetapi č = n/V = 1/ V ; dengan demikian, gaya ∞ 1/ V .
Kita menulis kembali pers. 3.2 bentuk
Page 6 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
p
RT
.
V b
(3.4)
RT
a
 2 ,
V b V
(3.5)
Karena gaya tarik menarik molekul-molekul, tekanan menjadi kurang dari yang diberikan oleh
persamaan (3.4) denngan jumlah yang sebanding dengan 1/V2, kemudian satu variabel baru
ditambahkan pada sisi kanan persamaan untuk menghasilkan
p
dimana a merupakan suatu konstanta positif yang secara kasar berbanding lurus dengan energi
2
penguapan dari cairan. Terdapat dua hal yang harus diingat mengenai penggunaan variabel baru a/ V .
rjadi pada sembarang elemen volume pada bagian dalam menyeimbangkan mendekati nol, hanya elemen
volume didekat dinding kontainer mengalami ketidaksetimbangan gaya dan membuat kecenderungan
menarik molekul tersebut ke arah tengah. Oleh karenanya efek karena tarik menarik hanya dirasakan
pada dinding bejana. Kedua, penurunan rumus dibuat dengan asumsi jangkauan efektif dari gaya tarik
menarik ada pada orde sentimeter; kenyataannya jangkauan dari gaya ini ada dalam orde nanometer.
Persamaan (3.5) merupakan persamaan van der Waals, yang diajukan oleh van der Waals, yang
merupakan orang pertama yang menemukan pengaruh dari ukuran molekuler dan gaya antar molekul
pada tekanan dari suatu gas. Gaya lemah ini disebut gaya van der Waals. Konstanta van derWaals a
dan b untuk beberapa gas diberikan pada Tabel 3.1. Persamaan van der Waals seringkali ditulis dalam
bentuk


a 

 p  2  V  b  RT
V 

atau

n2a 
 p  2 V  nb  nRT ,
V 

(3.6)
dimana V =n V dipergunakan untuk bentuk kedua.
3.3 IMPLIKASI DARI PERSAMAAN VAN DER WAALS
Persamaan van der Waals memperhitungkan dua hal: pertama, efek dari ukuran molekular, pers (3.2),
p
RT
.
(V  b)
Karena penyebut pada persamaan diatas lebih kecil dari penyebut pada persamaan gas ideal, efek dari
ukuran itu sendiri meningkatkan tekanan di atas nilai yang ideal. Menurut persamaan ini terdapat
ruang kosong antara molekul, volume “bebas”, yang mengikuti hukum gas ideal. Kedua efek dari gaya
antar molekul, pers. (3.5),
p
RT
a
 2 ,
V b V
juga diperhitungkan. Efek dari gaya tarik menarik dengan sendirinya mengurangi tekanan dibawah
nilai dan diperhitungkan dengan mengeluarkan satu bentuk dari tekanan.
Untuk memperhitungkan Z untuk persamaan van der Waals kita mengalikan pers. (3.5) dengan V dan
membagi dengan RT; hal ini menghasilkan
Z
pV
V
a


.
RT V  b RT V
Penyebut dan pembilang pada sisi kanan dibagi dengan V:
Page 7 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
Z
1
a
.

1  b / V RT V
Pada tekanan rendah b/V lebih kecil dari satu, jadi bentuk pertama pada sisi kanan diubah menjadi
serangkaian pangkat dari 1/V; oleh karenanya 1/(1 – b/V)= 1 + (b/V) + (b/V)2 + …, kita mendapatkan
2
3
a 1 b b

Z  1 b 
        ... ,
RT  V  V   V 

(3.7)
yang mengungkapkan Z sebagai fungsi dari temperatur dan volume molar. Lebih disukai jika Z berada
sebagai fungsi temperatur dan tekanan; sehingga menghasilkan penyelesaian untuk V sebagai fungsi
dari T dan p, kemudian mengalikan hasilnya dengan p/RT untuk mendapatkan Z sebagai fungsi dari p
dan T menjadi hal yang penting. Karena persamaan van der Waals merupakan persamaan pangkat tiga
dalam V, penyelasaiannya menjadi sangat sulit walaupun sangat informatif. Kita menitik beratkan pada
pendekatan ungkapan untuk Z(T,p) yang kita dapatkan dari pers. (3.7) dengan menetapkan p 0. (1/V)
0, dan Z = 1. Ekspansi dari Z ini, mengubah bentuk menjadi p2,
1 
a 
a 
a  2
2b 
b 
p 
 p  ... . (3.8)
3 
RT 
RT 
RT 
RT 
Koefisien yang benar untuk p dapat diperoleh dengan menggantikan 1/ V dengan nilai ideal pada pers.
Z  1
(3.7); namun demikian hal ini akan menghasilkan nilai koefisien yang salah pada tekanan yang lebih
tinggi.
Persamaan (3.8) menujukkan bahwa bentuk yang bertanggung jawab untuk perilaku tidak ideal
menghilang tidak hanya ketika tekanan mendekati nol tetapi juga ketika temperatur sangat tinggi.
Oleh karenanya, sebagai suatu aturan umum, gas real mendekati perilaku ideal ketika berada pada
tekanan yang lebih rendah dan temperatur ditinggikan.
Bentuk kedua pada sisi kanan pers (3.8) haruslah dibandingkan dengan bentuk kedua pada sisi kanan
pers. (3.3), yang disadari sebagai akibat dari jumlah molekul yang tertentu. Slope dari kurva Z versus
p didapatkan dengan mendeferesiasikan pers. (3.8) terhadap tekanan, dengan temperatur konstan:
 Z 
1 
a 
a 
a  2

 
2b 
b 
p 
 p  ... .
3 
RT 
RT 
RT 
 p  T RT 
Pada p = 0, semua bentuk yang lebih tinggi dihilangkan dan penurunan ini dirubah menjadi lebih
sederhana
 Z 
1 
a 

 
b 
p ,
RT 
 p  T RT 
p = 0,
(3.9)
dimana turunan tersebut merupakan slope awal dari kurva Z versusu p. Jika b > a/RT, slope bernilai
positif; efek dari ukuran mendominasi perilaku dari gas. Sebaliknya, jika b < a/RT, slope awalnya
menjadi negatif; efek dari gaya tarik menarik mendominasi perilaku dari gas.
Pada temperatur tertentu TB, temperatur Boyle, slope awal haruslah nol. Persyaratan untuk hal ini
diberikan oleh pers. (3.9) dimana b – a/RT = 0. Hal ini menghasilkan
TB 
a
.
Rb
(3.10)
Pada temperatur Boyle kurva Z terhadap p meruapakan tangent dari kurva untuk gas ideal pada p = 0
dan naik diatas kurva gas ideal dengan perlahanTemperatur Boyle untuk beberapa gas diberikan pada
Tabel 3.2.
Page 8 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
3.4 ISOTERM GAS REAL
Jika hubungan tekanan-volume untuk gas real diukur pada temperatur yang berbeda-beda, diperoleh
sejumlah isoterm seperti yang ditunjukan pada Gbr.3.5. Pada temperatur yang tinggi isotermnya
terlihat mirip dengan gas ideal, sementara pada temperatur rendah terlihat cukup berbeda. Bagian
horizontal dari kurva temperatur rendah sebagian membelok. Anggaplah suatu kontainer gas pada
keadaan yang digambarkan oleh titik A pada Gbr. 3.5. Bayangkan bahwa salah satu bagian dinding
dapat digerakkan (piston); dengan mempertahankan temperatur pada T1, kita perlahan-lahan menekan
dinding ini yang akan menurunkan volume. Ketika volume menjadi lebih kecil, tekanan perlahan
meningkat sepanjang kurva hingga dicapai volume V2. Pengurangan volume hingga V2 tidak
menghasilkan perubahan tekanan hingga V3 tercapai. Sedikit pengurangan volume dari V3 hingga V4
menghasilkan peningkatan besar pada tekanan dari pe menjadi p’. Ini merupakan rangkaian yang sangat
penting dari serangkaian kejadian; khususnya penurunan volume pada suatu rentang volume yang besar
dimana tekanan bertahan pada nilai konstan pe.
Jika kita melihat kontainer pada saat hal ini berlangsung, kita menemukan bahwa pada V2 terbentuk
tetesan pertama cairan. Ketika volume berubah dari V2 menjadi V3 lebih banyak lagi cairan yang
terbentuk; tekanan konstan pe merupakan kesetimbangan tekanan uap dari dari cairan pada T1. Pada
V3 runutan terkahir gas menghilang. Pengurangan volume selanjutnya akan menekan cairan; dan
tekanan naik dengan sangat tajam, karena cairan hampir-hampir tidak dapat ditekan. Garis kenaikan
pada kiri diagram oleh karenanya merupakan isoterm dari cairan. Pada temperatur tertentu yang lebih
tinggi perilakunya secara kualitatif tetaplah sama, akan tetapi rentang dari volume dimana kondensasi
terjadi lebih kecil dan tekanan uap lebih besar. Jika kita teus menerus menaikkan temperatur, bagian
datarnya akhirnya menyempit menjadi suatu titik pada temperatur Tc, temperatur kritis. Jika
temperatur dinaikkan di atas Tc, isoterm terus menerus akan lebih mendekati isoterm gas ideal; tidak
terdapat daerah datar diatas Tc.
3.6 ISOTERM DARI PERSAMAAN VAN DER WAALS
Ingatlah persamaan van der Waals dalam bentuk
p
RT
a
 2
V b V
(3.12)
Saat V sangat besar persamaan ini mendekati persamaan gas ideal, karena V sangat besar jika
dibandingkan dengan b dan a/ V 2. Pernyataan ini benar pada semua temperatur. Pada temperatur
tinggi, bagian a/ V
2
dapat diabaikan, karena sangat kecil jika dibandingkan dengan RT/( V – b). Plot
dari isoterm, p versus V , yang diperhitungkan dari persamaan van der Waals, ditunjukan pada Gbr.
3.7.
Pada temperatur dan volume yang lebih rendah, tidak ada bagian dari persamaan yang dapat
diabaikan. Hasilnya lebih menarik. Pada temperatur Tc isoterm membentuk titik defleksi, yaitu titik E.
Pada temperatur yang lebih, isotermnya menunjukkan nilai maksimum dan minimum.
Perbandingan dari isoterm van der Waals dengan isoterm gas ideal menunjukkan kesamaan dalam
beberapa hal. Kurva Tc pada Gbr. 3.7 mengingatkan kita pada kurva temperatur kritis pada Gbr 3.5.
Kurva T2 pada Gbr 3.7 memprediksikan tiga nilai volume V ’, V ’’, V ’’’, pada tekanan pe. bagian datar
yang berhubungan pada Gbr. 3.5 memprediksikan dengan tepat banyak volume pada sistem pada
tekanan pe. Sangat penting untuk menyadari bahwa bahkan jika suatu fungsi yang rumit telah
dituliskan, maka bagian kanan tetap menunjukkan bagian datar seperti pada Gbr. 3.5. Osilasi dari
persamaan van der Waals pada bagian ini sebesar dari yang dapat diharapkan dari fungsi kontinyu
sederhana.
Page 9 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
Bagian AB dan DC dari kurva van der Waals pada T2 dapat dilihat secara eksperimental. Jika volume
dari gas pada temperatur T2 dikurangi secara bertahap, tekanan naik sepanjang isoterm hingga titik
D, saat tekanan pe tercapai. Pada titik ini kondensasi dapat terjadi, akan tetapi dapat juga terjadi
bahwa tidak terbentuk cairan, dan penurunan volume lebih lanjut menghasilkan kenaikan tekanan
sepanjang garis DC. Pada daerah (DC) tekanan gas melebihi kesetimbangan tekanan uap dari cairan,
pe, pada temperatur T2; titik ini karenanya merupakan titik-titik uap super jenuh (atau super dingin).
Sama halnya jika volume cairan pada temperatur T2 dinaikkan, tekanan turun hingga titik A, saat
tekanan pe dicapai. Pada titik ini seharusnya terbentuk uap, akan tetapi dapat juga tidak tebentuk,
sehingga peningkatan volume selanjutnya akan menghasilkan penurunan tekanan sepanjang garis AB.
Sepanjang garis AB cairan berada dibawah tekanan yang berhubungan dengan kesetimbangan tekanan
uap dari cairan pada temperatur di bawah T2. Cairan berada di T2 sehingga cairan tersebut
merupakan cairan super panas.
3.7 KEADAAN KRITIS
Jika persamaan van der Waals diambil dalam bentuk yang diberikan oleh pers. (3.6), bagian
tambahannya dihilangkan, dan hasilnya dikalikan dengan V 2/p, persamaan dapat disusun dalam bentuk
3

RT  2 a
ab
V  V 
V   b 
 0.
p 
p
p

(3.13)
Karena pers.(3.13) merupakan persamaan pangkat tiga, persaman tersebut dapat memiliki tiga akar
real untuk nilai tekanan dan temperatur tertentu. Pada Gbr. 3.7 ketiga akar untuk T2 dan pe
merupakan persinggungan dari garis horizontal pada pe dengan isoterm pada T2. Ketiga akar tersebut
terdapat pada batas dari atau didalam daerah dua fase. Seperti yang telah kita lihat pada Gbr. 3.6
dan 3.7 daerah dua fase menyempit dan akhirnya menutup pada bagian atas. Hal ini berarti bahwa
terdapat suatu tekanan maksimum tertentu pc dan temperatur maksimum tertentu Tc dimana baik
cairan maupun uap dapat ada bersama-sama. Temperatur dan tekanan ini merupakan titik kritis dan
volume yang berhubungan disebut volume kritis Vc. Ketika daerah dua fase menyempit, ketiga akar
dari persamaan van der Waals saling mendekati satu sama lain, karena akar-akar tersebut harus
berada pada batas atau dalam daerah dua fase. Pada titik kritis ketiga akar sama dengan V c.
Persamaan pangkat tiga tersebut dapat ditulis dalam bentuk akar-akarnya V ’, V ’’, V V’’’:
(V  V ' )(V  V ' ' )(V  V ' ' ' )  0.
Pada titik kritis V ’ = V ’’ = V ’’’ = V c, sehingga persamaan menjadi ( V – V c)3 = 0.
Dengan mengekspansikannya kita peroleh
3
2
2
3
V  3V c V  3V V c  V  0.
Pada kondisi yang sama, pers (3.13) menjadi
(3.14)

RT  2 a
ab
V 3   b  c V  V 
 0.
pc 
pc
pc

Persamaan (3.14) dan (3.15) merupakan cara sederhana yang berbeda untuk menuliskan persamaan
yang sama; oleh karenanya koefisien dari tiap pangkat V harus sama pada kedua persamaan. Dengan
menetapakan kedua koefisien bernilai sama, kita mendapatkan tiga persamaan:
3V c  b 
RTc
,
pc
2
3V c 
a
,
pc
3
Vc 
ab
.
pc
(3.16)
Page 10 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
Persamaan (3.16) dapat dilihat dalam dua bentuk. Pertama, rangkaian persamaan dapat diselesaikan
untuk Vc, pc, dan Tc dalam bentuk a, b dan R; oleh karenanya
V c  3b ,
pc 
a
,
27b 2
Tc 
8a
27 Rb
(3.17)
Jika nilai a dan b diketahui, pers. (3.17) dapat dipergunakan untuk memperhitungkan V c, pc, dan Tc.
Dengan mempergunakan sudut pandang kedua, kita menyelesaikan persamaan untuk a, b, dan R dalam
bentuk pc, V c, dan Tc. Maka,
b
Vc
,
3
a  3 pcVV2c ,
R
8 pc V c
3Tc
(3.18)
Mempergunakan persamaan (3.18) kita dapat memperhitungkan nilai konstanta a, b, dan R dari data
kritis. Namun demikian, nilai dari R yang didapat tidak sesuai dengan nilai R yang diketahui, dan
didapat beberapa kesulitan.
Karena V c sulit untuk ditentukan secara akurat dengan eksperimen, akan lebih baik jika a dan b
didapat hanya dari pc dan Tc. hal ini dilakukan dengan mengambil anggota ketiga dari persamaan (3.18)
dan menyelesaikannya untuk V c. Hal ini menghasilkan
Vc 
3RTc
.
8 pc
Nilai pc yang diperoleh diletakkan pada persamaan kedua dari pers (3.18) untuk menghasilkan
RT
b c ,
8 pc
27( RTc ) 2
.
a
64 p c
(3.19)
Mempergunakan pers. (3.19) dan nilai R yang biasa, kita dapat memperhitungkan a dan b dari pc, dan tc
saja. Hal ini merupakan prosedur yang lebih umum. Bagaimanpun juga, sejujurnya kita harus
membandingkan nilai V c = 3RTc/8pc, dengan nilai Vc yang terukur. Hasilnya sekali lagi akan sangat
buruk. Nilai yang diperoleh dan diperhitungkan dari Vc tidak sesuai lebih dari yang dapat
diperhitungkan oleh kesulitan eksperimental.
Keseluruhan permasalahannya adalah persamaan van der Waals tidak begitu akurat didekat titik
kritis. Kenyataan ini, bersama-sama dengan kenyataan bahwa nilai konstanta ini selalu hampir
diperhitungkan (satu cara atau lainnya) dari data kritis, berarti bahwa persamaan van der Waals
tidak dapat dipergunakan untuk perhitungan sifat gas secara presisi- walaupun persamaan ini
merupakan pengembangan dari persamaan gas ideal. Manfaat yang besar dari persamaan van der
Waals adalah bahwa studi mengenai prediksinya memberikan pandangan yang baik mengenai perilaku
dari gas dan hubungannya dengan fenomemna pencairan. Hal yang penting adalah bahwa persamaan
tersebut telah memprediksikan keadaan kritis; sayangnya persamaan tersebut tidak menggambarkan
enam sifat-sifat gas. Persamaan lain yang lebih tepat juga ada. Data kritis untuk beberapa gas
diberikan pada Tabel 3.3.
3.8 HUKUM KEADAAN-KEADAAN YANG BERHUBUNGAN
Mempergunakan nilai dari a, b, dan R yang diberikan oleh persamaan (3.18), kita dapat menuliskan
persamaan van der Waals dalam bentuk yang sama
Page 11 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
p
8 pc V cT
3Tc (V  V c / 3)
2

3 pc V c
V
2
.
Yang dapat disusun kembali dalam bentuk
8T / Tc
p
3
.


pc 3(V / V c )  1 (V / V c ) 2
(3.20)
Persamaan (3.20) hanya melibatkan rasio dari p/pc, T/Tc, dan V / V c. Hal ini menunjukan bahwa rasio
p, T dan V merupakan variabel yang penting untuk karakterisasi gas. Rasio ini disebut variabel
keadaan yang tereduksi π, τ, dan  .:
  T // Tc ,
  p / pc ,
  V /V c
Menuliskan dalam bentuk variabel-variabel tsb., persaman van der Waals berubah menjadi

8
3
 2
3  1 
(3.21)
Hal penting mengenai pers. (3.21) adalah bahwa persaman ini tidak mengandung konstanta yang asing
untuk setiap gas; oleh karenanya persamaan ini harus dapat menggambarkan semua gas. Dengan ini,
hilangnya pengumuman yang didapat ketika mempergunakan persamaan van der Waals, dibandingkan
dengan persamaan gas ideal sehingga dapat diperoleh kembali. Persamaan seperti pers. (3.21) yang
mengungkapakan variabel yang terduksi sebagai fungsi dari variabel tereduksi yang lain merupakan
bentuk dari hukum keadaan yang berhubungan.
Dua gas pada temperatur tereduksi yang sama dan tekanan tereduksi yang sama berada dalam
keadaan berhubungan. Dengan hukum keadaan berhubungan, keduanya seharusnya berada pada volume
tereduksi yang sama, Sebagai contoh, argon pada 320 K dan tekanan 16 atm, dan etana pada 381 K
dan tekanan 18 atm berada dalam keadaan berhubungan, karena masing-masing memiliki nilai τ = 2 dan
π = 1/3.
3.9 PERSAMAAN KEADAAN LAIN
Persaman van der Waals hanya merupakan satu dari sekian banyak persamaan yang telah diajukan
selama bertahun-tahun untuk memperhitungkan nilai data pVT untuk gas. Beberapa dari persaman ini
ditabelkan pada Tabel 3.4, bersama-sama dengan ungkapan untuk hukum keadan berhubungan untuk
persamaan dua konstanta, dan prediksi nilai rasio kritis dari RTc/pcVc. Dari persamaan ini, baik
persaman Beattie Bridgeman maupun persamaan virial merupakan persaman yang bekerja paling baik.
Persamaan Beattie-Bridgemann melibatkan lima konstanta tambahan selain R: Ao, a, Bo b, dan c. Nilai
untuk konstanta Beattie-Bridgemann untuk beberapa gas diberikan pada Tabel 3.5.
Akhirnya , haruslah diingat bahwa semua persaman keadaan untuk gas didasarkan pada dua ide dasar
yang pertama kali diajukan oleh van der Waals: (1) molekul memiliki ukuran, dan (2) terjadi gaya
antara molekul. Persamaan yang lebih modern melibatkan efek dari kebergantungan terhadap gaya
antarmolekul pada jarak pemisahan molekul.
4 Struktur Gas
Teori Kinetik Gas: Asumsi Dasar
Model yang dipergunakan pada teori kinetik gas dapat digambarkan dengan tiga asumsi dasar
mengenai struktur gas.
1. Gas tersusun dari sejumlah sangat besar partikel kecil (atom atau molekul).
Page 12 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
2. Tanpa adanya medan gaya, partikel-partikel ini bergerak dalam garis lurus. (sesuai dengan hukum
Newton pertama).
3. Partikel-partikel ini jarang berinteraksi (bertumbukan) satu dengan yang lainnya.
Sebagai tambahan untuk asumsi-asumsi ini kita menetapkan bahwa pada sembarang tumbukan energi
kinetik total dari dua molekul sama sebelum dan sesudah tumbukan. Tumbukan jenis ini merupakan
suatu tumbukan elastis.
PERHITUNGAN TEKANAN SUATU GAS
Jika suatu partikel bertumbukan dengan dinding dan akan memantul, suatu gaya akan dihasilkan pada
dinding pada saat tumbukan.
Pada faktanya pengukur tekanan yang merespon benturan dari satu molekul tidak tersedia. Pada
keadaan laboratorium, pegukur tekanan mengukur tekanan tetap, nilai rata-rata dari gaya per satuan
luas yang dihasilkan oleh benturan dari sejumlah besar molekul; hal ini ditunjukkan dengan garis
putus-putus pada Gbr. 4.2(b).
Untuk menghitung nilai rat-rat dari tekanan kita mulai dengan hukum kedua Newton mengenai gerak:
F  ma  m
du d mu 

,
dt
dt
(4.1)
dimana F adalah gaya yang bekerja pada partikel dengan massa m, a adalah percepatan, dan u adalah
laju dari partikel. Menurut pers. (4.1) gaya yang bekerja pada partikel sama dengan momentum per
satuan waktu. Gaya yang bekerja pada dinding sama dengan dan berlawanan tanda dengan ini. Untuk
partikel pada Gbr. 4.1, momentum sebelum tumbukan adalah mu1, sedangkan momentum sesudah
tumbukan adalah – mu1. Selanjutnya perubahan momentum dalam tumbukan sama dengan selisih
momentum akhir dan momentum awal. Oleh karenanya kita mendapatkan (–mu1) – mu1 = - 2mu1.
Perubahan momentum dalam satuan waktu merupakan perubahan momentum dalam satu tumbukan
dikalikan dengan jumlah tumbukan partikel dengan dinding per detik. Karena waktu antar tumbukan
sama dengan waktu yang diperlukan untuk bergerak sejauh 2l, t = 2l/u1. Kemudian jumlah tumbukan
perdetik adalah u1/2l. Oleh karenanya perubahan momentum per detik sama dengan – 2mu1(u1/2l).
Maka gaya yang terjadi pada satu partikel diberikan oleh F = – mu21/l, dan gaya yang bekerja pada
dinding diberikan oleh Fw = + mu21/l. Akan tetapi tekanan p’ adalah Fw/A; maka
Page 13 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
p' 
m12 m12

,
Al
V
(4.2)
dimana Al = V volume dari kotak.
Persamaan (4.2) hanya memberikan nilai tekanan untuk satu partikel saja; untuk partikel-partikel
dengan kecepatan u2, u3,…,gaya keseluruhan, dan juga tekanan total p merupakan penjumlahan dari
gaya yang dihasilkan oleh setiap partikel:
m(u12  u 22  u 32  ...)
p
,
V
(4.3)
Rata-rata dari kuadrat kecepatan, <u2>, didefinisikan dengan
u2 
(u12  u 22  u 32  ...)
,
N
(4.4)
dimana N adalah jumlah partikel dalam kotak. Mempergunakan pers. (4.4) dalam pers. (4.3) kita
mendapatkan
p
Nm  u 2 
,
V
(4.5)
persamaan akhir untuk tekanan dari gas satu dimensi. Sebelum mempergunakan pers. (4.5), kita harus
menguji penurunannya untuk melihat apakah akibat dari tumbukan dan arah yang beragam dari
tumbukan terhadap hasilnya.
Kenyataan bahwa molekul cenderung bergerak dengan arah yang berbeda dibandingkan dengan arah
yang sama memberikan pengaruh yang penting pada hasil. Akibatnya faktor N pada persamaan (4.5)
harus digantikan dengan ⅓ N, karena hanya sepertiga dari molekul yang bergerak ketiga arah.
Penggantian ini menghasilkan
p
1
3
Nm  u 2 
.
V
(4.6)
Tebakan sederhana ini memberikan hasil yang benar, akan tetapi alasannya jauh lebih kompleks
dibandingkan dengan apa yang telah dikemukakan sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang
lebih baik pers. (4.6) akan diturunkan dengan cara yang berbeda.
Vektor kecepatan c dari partikel dapat dibagi menjadi komponen normal terhadap dinding, u, dan dua
komponen tangensial v dan w. Anggaplah suatu partikel menumbuk dinding dengan sudut tertentu dan
dipantulkan (Gbr. 4.4). Satu-satunya komponen kecepatan yang dibalikkan pada tumbukan adalah
komponen normal, u. Komponen tangensial v dan w memiliki arah dan besar yang sama sebelum dan
sesudah tumbukan. Hal ini juga berlaku untuk komponen tangensial kedua w, tidak ditunjukkan pada
Gbr 4.4. Karena hanya pembalikan komponen normal yang bermakna, perubahan momentum
pertumbukan dengan dinding adalah –2mu; jumlah benturan per detik sama dengan u/2l. Sehingga
pers. (4.5) harus dibaca sebagai
Nm  u 2
p
V
(4.7)
Jika komponen diambil sepanjang tiga sumbu x, y, z, sebagaimana pada Gbr. 4.5, kemudian kuadrat
dari vektor kecepatan dihubungkan dengan kuadrat dari komponen melalui
c 2  u 2  v 2  w2 ,
(4.8)
Untuk sebarang molekul individual, komponen kecepatan seluruhnya berlainan, sehingga setiap suku
pada sisi kanan pers. (4.8) memiliki nilai yang berbeda. Akan tetapi jika pers. (4.8) merupakan ratarata dari keseluruhan molekul, kita mendapatkan
Page 14 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
c 2  u 2  v 2  w2
(4.9)
Tidaklah beralasan untuk mengharapkan salah satu dari ketiga arah lebih utama setelah kita merataratakan dari keseluruhan molekul. Oleh karenanya kita mengharapkan bahwa <u2> = <v2> = <w2>.
Mempergunakan hasil ini untuk pers. (4.9), kita mendapatkan
u2 
1
3
(4.10)
c2 .
Arah x dianggap sebagai arah normal terhadap dinding; maka, dengan memasukkan <u2> dari pers
(4.10), kita mendapatkan persamaan eksak untuk tekanan:
Nm  c 2 
p
.
V
1
3
(4.11)
sama dengan yang diperoleh dari perkiraan dengan pers. (4.6) u = c, karena v dan w bernilai nol pada
penurunan dari pers. (4.6).
Anggaplah energi kinetik dari sebarang molekul ε = ½ mc2. Jika kedua sisi dari persamaan ini dirataratakan untuk semua molekul, mkaka < ε > = ½ m<c>2. Mempergunakan hasil ini untuk pers. (4.11),
menghasilkan p = ⅔N< ε >/V, atau
(4.12)
pV  23 N    .
Jika wadah dalam Gbr. 4.1 sedikit diperpanjang, volume sedikit meningkat. Jika kelajuan dari partikel
tetap sama, diperlukan waktu lebih oleh satu untuk partikel untuk bergerak diantara dinding, sehingga
menurunkan jumlah tumbukan partikel dengan dinding per detik, dan menguragi tekanan pada dinding.
Sehingga peningkatan volume menurunkan tekanan sebagai akibat lebih sedikitnya tumbukan dalam
rentang waktu tertentu.
Kita sekarang membandingkan pers. (4.12) dengan hukum gas ideal,
pV  nRT
Jika pers. (4.12) menggambarkan gas ideal, maka pastilah bahwa
nRT  23 N    .
Sekarang n dan N dihubungkan oleh n = N/NA dimana NA merupakan konstanta Avogadro. Sehingga
RT  23 N A   
(4.13)
Anggaplah U sebagai keseluruhan energi kinetik yang berhubungan dengan gerakan acak molekul satu
mol gas. Maka U = NA <ε>, dan
U  23 RT .
(4.14)
Persamaan (4.14) menyatakan bahwa energi kinetik dari gerakan acak sebanding dengan temperatur
absolut. Untuk alasan ini, gerakan acak atau gerakan chaos seingkali disebut gerakan termal molekul.
Pada temperatur nol mutlak gerakan ini terhenti sepenuhnya. Oleh karenanya temperatur merupakan
ukuran dari energi kinetik rata-rata dari gerakan acak. Sangatlah penting untuk menyadari
temperatur tidak berhubungan dengan enrgi kinetik dari satu molekul, tetapi dengan rata-rata dari
energi kinetik dari sejumlah besar molekul; sehingga merupakan sebuah konsep statistik. Sistem yang
tersusun dari satu molekul atau sedikit molekul tidak akan menghasilkan temperatur seperti yang
sedang dibicarakan.
Kenyataan bahwa hukum gas ideal tidak memuat karakteristik khusus dari suatu gas tertentu
berakibat bahwa pada suatu temperatur tertentu semua gas memilki energi kinetik rata-rata yang
sama. Dengan mempergunakan pers (4.13) untuk dua gas yang berbeda, kita mendapatkan 3/2RT =
NA<ε1>, dan 3/2RT = NB<ε2>; maka <ε1>=<ε2>, atau
1
2
m1  c12  12 m2  c 22  . Kecepatan rms (root mean
square)nya, crms didefinisikan sebagai
Page 15 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
crms 
(4.15)
c2 .
Rasio dari crms dari dua molekul dengan massa yang berbeda sama dengan kebalikan akar kuadrat
perbandingan massanya:
(crms )1
m2


(crms ) 2
m1
M2
,
M1
(4.16)
dimana M = NAm merupakan massa molar. Gas yang lebih berat memiliki crms yang lebih kecil.
Nilai numerik untuk laju rms dari sebarang gas dihitung dengan menggabungkan pers. (4.13) dan
   12 m  c 2  ; maka, RT  23 N A 12 m  c 2 , atau  c 2  3RT / M , dan
3RT
.
M
crms 
(4.17)
HUKUM TEKANAN PARSIAL DALTON
Dalam suatu campuran gas tekanan total merupakan penjumlahan dari gaya per satuan luas yang
dihasilkan oleh benturan pada dinding dari wadah. Setiap jenis molekul berkontribusi pada satu suku
pada pers. (4.11) mengenai tekanan. Untuk suatu campuran gas kita mendapatkan
atau
N1 m1  c12  N 2 m2  c22  N 3 m3  c32 
p


 ...
3V
3V
3V
(4.18)
p  p1  p2  p3  ...,
(4.19)
EVALUASI DARI A DAN β
Konstanta A dan β ditentukan dengan distribusi yang menghasilkan nilai yang benar dari keseluruhan
molekul dan enrgi kinetik rata-rata. Nilai keseluruhan dari molekul didapatkan dengan menjumlahkan
dnc pada keseluruhan nilai yang mungkin untuk c diantara nol dan tak hingga:
N 
c 
c 0
(4.48)
dnc .
Energi kinetik rata-rata dihitung dengan mengalikan energi kinetik, ½ mc2, dengan jumlah molekul dnc,
yang memiliki energi kinetik, menjumlahkan untuk keseluruhan nilai c dan membagi dengan jumlah
molekul keseluruhan N.

  
c 
1
c 0 2
mc 2 dnc
N
(4.49)
.
Pers. (4.48) dan (4.49) menentukan A dan β.
Menggantikan dnc dalam pers. (4.48) dengan nilai yang diberikan oleh pers. (4.49) memberikan
N
3
c 
4πNA e  βc c 2 dc.
c 0
2
membagi keseluruhan pers. Dengan N dan mengeluarkan konstanta dari tanda integral menghasilkan
1  4A3 
c 
c 0
Dari Tabel 4.1 kita mendapatkan
c 2 e c dc.
2

c 
c 0
c 2 e c dc   2 / 4 2 . Sehingga, 1  4A 3
2
1
3
1
2
/ 4 2 . Sehingga
3
akhirnya
 
A   ,
 
3
3
2
(4.50)
yang memberikan nilai A dalam bentuk β.
Dalam keadaan kedua, pers. (4.49), kita mempergunakan nilai untuk nilai dnc dari pers. (4.34):
Page 16 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
c 
1
c 0 2

  
mc 2 4πNA3 e  βc c 2 dc
2
N
mempergunakan pers. (4.50) kita mendapatkan
 
   2m 
 
Dari Tabel 4.1, kita mendapatkan


0
3
2


0
c 4 e  c dc.
2
c 4 e c dc  3 2 / 8 2 . Sehingga <ε> menjadi <ε> = 3m/4β, dan
2
3
5
sehingga

3m
,
4 
(4.51)
yang menyatakan β dalam bentuk energi rata-rata per molekul <ε>. Persamaan (4.13) meenghubungkan
energi rata-rata per molekul dengan temperatur:
3 R 
T  32 kT ,
   
2  N A 
(4.13a)
Konstanta gas per molekul merupakan konstanta Boltzmann, k = R/NA = 1,3807 x 10-23 J/K.
Mempergunakan hubungan dalam pers. Memberikan β secara eksplisit dalam bentuk m dan T.

m
.
2kT
(4.52)
Mempergunakan pers. (4.52) dalam pers. (4.50), kita mendapatkan
3
1
2
 m 
A 
 ,
 2kT 
2
 m 
A
 .
 2kT 
3
(4.53)
Mempergunakan pers. (4.52) dan (4.53) untuk β dan A3 dalam pers. (4.34), kita mendapatkan
distribusi Maxwell dalam bentuk eksplisit:
3
2
 m  2  mc2 / 2 kT
dnc  4N 
dc.
 c e
 2kT 
(4.54)
Distribusi Maxwell menyatakan jumlah molekul dengan kecepatan antara c hingga c + dc dalam bentuk
jumlah keseluruhan molekul yang ada, massa molekul, temperatur, dan kecepatan. (untuk
menyederhanakan perhitungan yang melibatkan distribusi Maxwell, ingatlah bahwa rasio m/k = M/R,
dimana M merupakan massa molar.) Distribusi Maxwell diplot dengan fungsi (1/N)(dnc/dc) sebagai
ordinat dan c sebagai absis. Fraksi dari molekul dalam rentang kecepatan c hingga dc adalah dnc/N;
membagi nilai ini dengan dc memberikan fraksi molekul dalam rentang kecepatan ini per satuan lebar
interval.
3
2
1 dnc
 m  2  mc2 / 2 kT
 4 
.
 c e
N dc
 2kT 
(4.55)
Plot fungsi untuk nitrogen pada dua temperatur diberikan pada Gambar 4.9.
Fungsi yang ditunjukkan pada Gbr. 4.9 merupakan probabilitas untuk menemukan molekul dengan
kecepatan antara c dan c + dc, dibagi dengan lebar dc dari rentang. Ordinatnya merupakan
probabilitas untuk menemukan satu molekul dengan kecepatan c dan (c + 1) m/s. Kurvanya berbentuk
parabolik didekat awalnya, dan fungsi eksponensialnya mendekati satu; pada nilai c yang besar, fungsi
eksponensial mendominasi perilaku dari fungsi, dan menyebabkan penurunan nilainya dengan cepat.
Sebagai akibat dari perilaku yang kontras dari kedua faktor ini, fungsi yang dihasilkan memiliki nilai
maksimum pada cmp. Kecepatan ini disebut sebagai kecepatan yang paling mungkin (most probable), cmp
Page 17 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
dapat dihitung dengan menurunkan fungsi pada sebelah kanan pers. (4.55) dan menolkan turunannya
sehingga mendapatkan lokasi dari tangen horisontal. Prosedur ini menghasilkan
ce
 mc 2 / 2 kT

mc 2 
 2 
  0.
kT


Kurva ini memilki tiga tangen horisontal: pada c = 0; pada c
ketika 2 – mc2kT = 0. Kondisi terkahir ini memberikan cmp.
cmp 
2kT

m
∞, ketika exp(- ½ mc2/kT) = 0; dan
2 RT
.
M
(4.56)
PERHITUNGAN NILAI RATA-RATA MEMPERGUNAKAN DISTRIBUSI MAXWELL
Dari distiubusi Maxwell, nilai rata-rata dari kuantitas yang bergantung pada kecepatan dapat
diperhitungkan. Jika kita ingin menghitung nilai rata-rata dari <g> dari sebarang fungsi kecepatan <c>,
kita mengalikan fungsi g(c) dengan dnc, jumlah molekul yang memiliki kecepatan c; kemudian kita
menjumlahkan pada semua nilai c dari nol hingga tak hingga dan membagi dengan jumlah keseluruhan
molekul dalam gas.
 g 

c 
c 0
g (c)dnc
(4.57)
.
N
CONTOH
Sebagai suatu contoh untuk penggunaan pers. (4.57), kita dapat menghitung energi kinetik rata-rata
untuk molekul gas; untuk kasus ini g(c) = e = ½ mc2. Sehingga pers. (4.57) menjadi

 e 
c 
1
c 0 2
mc 2 dnc
,
N
yang identik dengan pers (4.49). Jika kita memasukkan nilai dnc dan mengintegrasikannya, kita tentu
saja akan mendapatkan bahwa <e> = 3/2 kT, karena kita mempergunakan hubungan ini untuk
menentukan konstanta β pada fungsi distribusi.
CONTOH
Nilai rata-rata lain yang penting adalah kecepatan rata-rata <c>. Mempergunakan pers. (4.57), kita
mendapatkan

 e 
c 
c 0
cdnc
N
.
Mempergunakan nilai dnc yang didapatkan dari pers (4.54), kita mendapatkan
 m 
 c  4 

 2kT 
3
2


0
c 3 e  mc
2
/ 2 kT
dc.
Integralnya dapat didapatkan dari Tabel 4.1 atau dapat dievaluasi dengan metode dasar melalui
perubahan pada variabel: x = ½ mc2/kT. Substitusi ini menghasilkan
 c 
Akan tetapi


0
8kT   x
xe dx.
m 0
xe x dx = 1; sehingga
 c 
8kT
8RT

.
m
m
(4.58)
Haruslah diingat bahwa kecepatan rata-rata tidak sama dengan crms akan tetapi biasanya memiliki nilai
yang lebih kecil.
Page 18 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
NILAI RATA-RATA DARI KOMPONEN INDIVIDUAL; EKUIPARTISI ENERGI
Sangatlah memudahkan jika kita dapat menghitung dari masing-masing komponen kecepatan. Untuk
maksud ini, bentuk distribusi Maxwell yang paling biasa adalah yang ada pada pers. (4.30). Nilai ratarata dari u diberikan oleh persamaan yang analog dengan pers. (4.57):


  
 u 

  
udnuvw
,
N
Integrasi ini dilakukan pada semua nilai yang mungkin dari ketiga komponen; ingatlah bahwa sebarang
komponen dapat memilki nilai dari negatif tak hingga sampai tak hingga. Mempergunakan duvw dari
pers. (4.30), kita mendapatkan
 u  A3 
A


 

ue  (u
  

3
 u 2


2
 v 2  w2 )

dudvdw

du  vev dv  we w dw.
ue
2

2
(4.65)

Dengan Rumus (6) dari Tabel 4.1, integral pertam pada sisi kanan pers. (4.65) bernilai nol; sehingga <u>
= 0. Hasil yang sama didapatkan untuk nilai rata-rata dari komponen lain:
(4.66)
 u  v  w  0.
Alasan fisik mengapa nilai rata-rata dari masing-masing komponen haruslah nol cukup jelas. Jika nilai
rata-rata salah atau komponen bernilai lebih dari nol, hal ini akan berhubungan dengan rangkaian
gerakan dari keseluruhan massa gas dalam arah yang bersangkutan; pembahasan saat ini hanya untuk
gas yang istirahat (rest?)
Fungsi distribusi dari komponen x dapat dituliskan sebagai
1
2
1 dnu
 m   mu 2 / 2 kT
 f (u 2 )  
,
 e
N du
 2kT 
(4.67)
yang diplotkan pada Gbr. 4.11.
Wlauapun nilai rata-rata dari komponen kecepatan dalam salah satu arah nol, karena jumlah komponen
yang memiliki nilai u dan –u adalah sama, nilai rata-rata dari energi kinetik yang berhubungan dengan
komponen tertentu memiliki nilai positif. Molekul dengan komponen kecepatan u mengkontribusikan
½mu2 terhadap rata-rata dan sama halnya dengan komponen –u mengkontribusikan ½ m(–u)2 = ½mu2.
Kontribusi partikel yang bergerak berlawanan menaikkan rata-rata energi, sementara merata-ratakan
kontribusi komponen kecepatan partikel yang arahnya berlawanan akan saling menghilangkan satu
sama lain. Untuk menghitung nilai dari εx = ½mu2, kita mempergunakan distribusi Maxwell dengan cara
yang sama seperti sebelumnya,

 x

  


1
   2
mu 2 dnuvw
N
.
Mempergunakan pers. (4.30) kita mendapatkan
  x  12 mA3 


 

u 2 e   (u
  

3
 u 2
 12 mA


2
 v 2  w2 )

dudvdw

du  vev dv  we w dw.
ue
2

2

Mempergunakan Rumus (1) dan (2) dari Tabel 4.1, kita mendapatkan
1



e
 v
2

dv   e
 w
2

 
dw    .
 
2
dan, dengan Rumus (1) dan (3), tabel 4.1,




du 
2
1
2
u e
 u 2
1
2
2
3
1

2
 
  .
 
2
Mempergunakan nilai ini untuk integral menghasilkan
Page 19 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
1
  x  12 mA
2
3
 
 
 
1
2
 
 
 
1
2
1
3
 
mA3   
  
  .
4   
 
2
2
Mempergunakan nilai A3 dari pers. (4.53) dan nilai β dari pers. (4.52), kita akhirnya mendapatkan
  x  12 kT.
Hasil yang sama didapatkan untuk <εy> dan <εz>; sehingga
  x   y   z  12 kT.
(4.68)
Karena rata-rata dari keseluruhan energi kinetik merupakan penjumlahan dari ketiga suku, nilainya
adalah 3/2 kT, nilai ini diberikan oleh pers (4.13a):
    x     y     z  12 kT  12 kT  12 kT  32 kT.
(4.69)
Persamaan (4.68) mengungkapkan hukum penting mengenai ekuipartisi energi. Persamaan ini
menyatakan rata-rata dari keseluruhan energi kinetik sama untuk ketiga komponen gerak yang
independen, yang disebut derajat kebebasan. Molekul memiliki tiga derajat kebebasan translasional.
Hukum ekuipartisi dapat dimulai dari hal ini. Jika dari molekul individual dapat ditulis sebagai
penjumlahan dari suku-suku, yang mana sebanding dengan akar dari komponen kecepatan atau
koordinat, sehingga setiap komponen akar ini mengkontribusikan ½ kT pada energi rata-rata. Sebagai
contoh, pada gas energi translasional dari masing-masing molekul adalah
e  12 mu 2  12 mv 2  12 mw2 .
(4.70)
Karena masing-masing suku sebanding dengan akar dari komponen kecepatan, masing-masing
mengkontribusikan ½ kT pada energi rata-rata; sehingga kita dapat menuliskan
(4.71)
   12 kT  12 kT  12 kT  32 kT.
EKUIPARTISI ENERGI DAN KUANTISASI
Suatu sistem mekanik yang terdiri dari N partikel digambarkan dengan menentukan tiga koordinat
untuk masing-masing partikel, atau total 3N koordinat. Oleh karena 3N merupakan komponen gerak
yang independen, atau derjat kebebasan dari sistem tersebut. Jika N partikel berikatan bersama
untuk membentuk suatu molekul poliatomik, maka koordinat 3N dan komponen gerak ditentukan
sebagai berikut,
Traslasional. Tiga koordinat menggambarkan posisi dari pusat massa; gerak dalam koordinat ini
berhubungan dengan translasi dari molekul secara keseluruhan. Energi yang disimpan dalam jensi
gerak ini adalah energi kinetik saja, εtrans = ½ mu2 + ½ mv2 + ½ mw2. Masing-masing suku mengandung
kuadrat dari komponen kecepatan dan karenanya sebagimana yang kita lihat sebelumnya, masingmasing mengkontribusikan ½ kT pada energi rata-rata.
Rotasional. Dua sudut diperlukan untuk menggambarkan orientasi dari molekul linier dalam ruang; tiga
sudut diperlukan untuk menggambarkan orientasi dari suatu molekul non linier. Gerak dalam koordinat
ini berhubungan terhadap rotasi pada dua sumbu (molekul linier) dan rotasi pada tiga sumbu (molekul
non linier) dalam ruang. Persamaan untuk energi rotasi memiliki bentuk
 rot  12 I x2  12 I y2
(molekul linier)
 rot  12 I x x2  12 I y y2  12 I z  z2
(molekul non linier)
dimana ωx, ωy, ωz, merupakan kecepatan sudut dan Ix, Iy, Iz merupakan inersia pada sudut x, y, dan z.
Karena tiap suku dalam ungkapan energi sebanding dengan kuadrat dari komponen kecepatan, masingmasing suku pada rata-rata membagi ½ kT energi yang sama. Sehingga rata-rata energi rotasional
dari suatu molekul diatomik digambarkan pada Gbr. 4.12.
Vibrasional. Terdapat sisa 3N – 5 koordinat untuk molekul linier dan 3N – 6 koordinat untuk molekul
non linier. Koordinat-koordinat ini menggambarkan panjang ikatan dan sudut ikatan dalam molekul.
Gerak dalam koordinat ini berhubunagn dengan vibrasi (tarikan atau uluran) dari molekul. Sehingga
Page 20 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
molekul linier memiliki 3N – 5 jenis vibrasi; dan molekul non linier memiliki 3N – 6 jenis vibrasi.
Dengan mengasumsikan bahwa vibrasinya harmonis, enrgi dari tiap-tiap jenis vibrasi dapat dituliskan
dalam bentuk
2
 dr 
2
  12 k (r  r0 ) ,
 dt 
 vib  12  
dimana μ merupakan massa yang bersangkutan, k merupakan konstanta gaya, r0 merupakan niali
kesetimbangan dari koordinat r, dan dr/dt merupakan kecepatan. Suku pertama dalam ungkapan ini
merupakan energi kinetik, suku pertama seharusnya mengkontribusikan energi rata-rata ½ kT, karena
mengandung kuadarat kecepatan. Suku kedua karena mengandung kuadrat dari koordinat r – r0,
seharusnya juga mengkontribusikan ½ kT terhadap energi rata-rata. Setiap jenis vibrasi seharusnya
mengkontribusikan ½ kT + ½ kT = kT terhadap energi rata-rata sistem. Sehingga energi rata-rata
dari vibrasi seharusnya bernilai (3N – 5)kT untuk molekul linier dan (3N – 6)kT untuk molekul non
linier. Maka energi rata-rata keseluruhan permolekul adalah
(molekul linier)
   32 kT  23 kT  (3N  5)kT
   32 kT  32 kT  (3N  6)kT
(molekul non linier).
Jika kita mengalikan nilai ini dengan bilangan Avogadro NA, untuk mengubahnya menjadi energi ratarata per mol, kita mendapatkan
Gas monoatomik:
U  32 RT
(4.72)
Gas poliatomik
U  32 RT  23 RT  (3N  5) RT
(molekul linier)
(4.73)
U  32 RT  32 RT  (3N  6) RT
(molekul non linier)
(4.74)
Jika kalor mengalir menuju gas yang volumenya dijaga konstan, energi dari gas meningkat sesuai
dengan jumlah kalor yang disalurkan oleh kalor yang mengalir. Rasio dari peningkatan energi terhadap
penigkatan temperatur pada volume konstan merupakan kapasitas kalor Cv. Sehingga dengan definisi,
 U 
Cv  
 .
 T V
(4.75)
Dengan menurunkan energi molar terhadap temperatur, kita mendapatkan kapasitas kalor molar, C v ,
yang dipredikasikan oleh hukum ekuipartisi.
Gas monoatomik:
C v  32 R
(4.76)
Gas poliatomik:
C v  32 R  23 R  (3N  5) R
C v  32 R  32 R  (3N  6) R
(molekul linier)
(molekul non linier)
(4.77)
(4.78)
Jika kita menguji kapasitas panas dari gas poliatomik, Tabel 4.3, kita menemukan dua ketidaksesuaian
antara data dan hukum ekuipartisi. Nilai kapasitas kalor yang didapatkan(1) selalu lebih rendah
dibandingkan yang diperkirakan, dan secara jelas bergantung pada temperatur. Prinsip ekuipartisi
merupakan hukum fisika klasik, dan perbedaan ini merupakan salah satu petunjuk awal bahwa fisika
klasik tidak memadai untuk menggambrakan sifat-sifat molekuler. Untuk menggambarkan kesulitan ini
kita memilih kasus untuk molekul diatomik yang pastinya linier. Untuk molekul diatomik, N = 2, dan
kita mendapatkan dari hukum ekuipartisi
Cv 3 2
7
   1   3,5
R
2 2
2
Page 21 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
Dengan pengecualian untuk H2, nilai yang ditemukan untuk molekul diatomik pada temperatur biasa
jatuh antara 2,5 dan 3,5, dan ada yang sangat dekat dengan 2,50. Karena nilai translasional 1,5
ditenukan dengan sangat akurat untuk molekul monoatomik kita mwnganggap kesulitan ada pada
gerakan rotasional dan vibrasional. Kita kita mengingat bahwa molekul nonlinier memiliki
C v / R  3,0 kita dapat menyempitkan kesulitan untuk gerakan vibrasional.
Penjelasan untuk perilaku yang teramati adalah bahwa gerakan vibrasional terkuantisasi. Energi dari
suatu osilator dibatasi pada suatu nilai diskrit. Hal ini berkebalikan dengan osilator klasik, yang dapat
memiliki nilai energi berapa saja. Sekarang disamping energi dari beragam osilator yang terdistribusi
secara kontinyu pada keseluruhan rentang energi, osilator juga terdistribusi dalam beragam keadaan
kuantum (tingkat energi). Tingkat energi terendah disebut sebagai keadaan dasar; sedang tingkat lain
disebut keadaan tereksitasi. Nilai yang diizinkanuntuk energi dari osilator harmonik diberikan oleh
ungkapan
 s  ( s  12 )hv
s = 0,1,2,…
(4.79)
dimana s, merupakan bilangan kuantum, nol atau integer positif, h adalah konstanta Planck, h = 6.626
x 10-34 J s; dan v merupakan frekuensi klasik dari osilator, v = (½ π)√k/μ dimana k merupakan
konstanta gaya dan μ merupakan masa tereduksi dari osilator.
Hukum ekuipartisi bergantung pada kemampuan dari dua molekul yang bertumbukan untuk
mempertukarkan energi melalui beragam jenis gerakan. Hal ini berlaku untuk gerak translasional
maupun rotasional karena molekul dapat menerima energi dalam mode ini dalam jumlah berapapun.
Tetapi karena mode vibrasional terkuantisasi maka, mode ini hanya dapat menerima energi yang sama
dengan kuantum vibrasional, hv. Untuk molekul seperti oksigen kuantumnya tujuh kali lebih besar dari
energi translasi rata-rata dari molekul pada 25oC. Sehingga, tumbukan antara dua molekul dengan
energi kinetik rata-rata tidak dapat menaikkan molekul ke keadaan vibrasional yang lebih tinggi
karena memerlukan lebih banyak energi lagi untuk melakukannya. Sehingga pada dasarnya semua
molekul tetap berada pada keadaan vibrasional dasar, dan gas tidak menunjukan kapasitas kalor
vibrasional. Ketika panas temperatur cukup tinggi energi termalnya dapat dibandingkan dengan
kuantum vibrasional hv, kapasitas kalor mendekati nilai yang diperkirakan oleh hukum ekuipartisi.
Temperatur yang diperlukan bergantung pada vibrasi tersebut.
5 Beberapa Sifat dari Cairan dan Padatan
5.1 FASE TERKONDENSASI
Padatan dan cairan secara kolektif dinamakan sebagai fase terkondensasi. Nama ini menggambarkan
densitas dari padatan dan cairan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan gas.
Pada gas volume yang ditempati oleh molekul-molekul lebih kecil jika dibandingkan dengan volume
keseluruhan, dan efek dari gaya antar molekul sangat kecil. Pada pendekatan pertama efek ini
diabaikan dan gas digambarkan dengan hukum gas ideal, yang hanya benar pada p = 0. Persyaratan ini
berakibat suatu pemisahan yang tak hingga dari molekul; gaya antar molekul akan bernilai nol, dan
volume molekuler sepenuhnya dapat diabaikan.
5.2 KOEFISIEN EKSPANSI TERMAL DAN KOMPRESIBILITAS
Pengaruh temperatur pada volume padatan dan cairan pada tekanan konstan dinyatakan dengan
persamaan
V  V0 (1  t ),
(5.1)
dimana t merupakan temperatur celcius, V0 merupakan volume dari padatan atau cairan pada 0oC, dan
α merupakan koefisien ekspansi termal. Persamaan (5.1) sama dengan pers. (2.5), merupakan dua
persamaan yang sama, yang menghubungkan volume gas dengan temperatur. Perbedaan penting
antara kedua persamaan ini adalah nilai α hampir sama untuk semua gas, sementara padatan dan
Page 22 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
cairan memiliki nilai α masing-masing. Zat tertentu memilki nilai α yang berbeda untuk padatan
dan cairan. α dapat bernilai sama pada rentang yang terbatas. Jika data ditampilkan dengan
presisi pada rentang temperatur yang luas, kita harus mempergunakan persamaan dengan pangkat t
yang lebih tinggi:
V  V0 (1  at  bt 2  ...),
(5.2)
dimaan a dan b merupakan konstanta. Untuk gas dan padatan α selalu bernilai positif sementara
untuk cairan α biasanya bernilai positif.
Pada pers. (5.1), V0 merupakan fungsi dari tekanan. Secara eksperimental ditemukan bahwa hubungan
antara volume dan tekana diberikan oleh
V0  V00 [1   ( p  1)],
(5.3)
dimana V merupakan volume pada 0oC pada tekana satu atmosfer, p merupakan tekanan dalam
0
0
atmosfer, dan κ merupakan koefisien kompresibilitas, yang bernilai konstan untuk zat tertentu pada
rentang tekana yang besar. Nilai κ berbeda-beda untuk masing-masing zat dan bentuk padatan dan
cairan dari zat yang sama.
Menurut pers. (5.3) volume dari padatan atau cairan menurun secara linier dengan tekanan. Perilaku
ini berlawanan dengan sifat gas dimana volume berbanding terbalik dengan tekanan. Lebih jauh lagi,
nilai κ untuk cairan dan padatan sangatlah kecil, nilainya diantara 10-6 hingga 10-5 atm-1. Jika kita
mengambil κ = 10-5, dan tekanan sebesar dua atmosfer, volume dari fase terkondensasi adalah,
dengan pers (5.3), V = V0 [1–10-5(1)]. Penurunan volume dari 1 atm ke 2 atm adalah sebesar 0,001%.
0
Jika perubahan tekanan yang sama dikenakan pada gas, volumenya akan menjadi setengahnya. Karena
perubahan yang cukup besar pada tekanan menghasilkan perubahan yang sangat kecil pada
volume cairan dan padatan, seringkali lebih mudah dengan menganggap cairan dan padatan
incompressible (tidak dapat ditekan) (κ = 0).
Koefisien α dan κ biasanya memberikan definisi yeng lebih umum dibandingkan yang diberikan oleh
pers (5.1) dan (5.3). Definis umumnya adalah

1  V 

 ,
V  T  p
 
1  V

V  p

 .
T
(5.4)
Jika peningkatan temperatur kecil, definisi umu dari α memperoleh hasil pada pers. (5.1), Menyusun
kembali pers (5.4) kita mendapatkan
dV
 dT
V
(5.5)
V  V00 [1   (T  T0 )][1   ( p  1)].
(5.6)
Menggabungkan pers. (5.1) dan (5.3) dengan mengeliminasikan V0 menghasilkan persamaan keadaan
untuk fase terkondensasi:
Untuk mempergunakan persamaan pada cairan dan padatan tertentu, nilai α dan κ untuk zat tertentu
harus diketahui. Nilai dari α dan κ untuk beberapa padatan dan cairan yang umum diberikan pada
Tabel 5.1.
5.3 PANAS PENCAIRAN; PENGUAPAN; PNEYUBLIMAN
Penyerapan atau pelepasan panas tanpa perubahan temperatur merupakan karakteristik dari
perubahan keadaan agregasi suatu zat. Jumlah panas yang diserap pada perubahan padatan menjadi
cairan adalah panas pencairan. Jumlah panas yang diserap pada perubahan cairan menjadi gas adalah
panas penguapan. Jumlah panas yang diserap pada perubahan cairan menjadi padatan adalah panas
sublimasi. Jumlah panas yang diserap pada panas sublimasi sama dengan penjumlahan panas pencairan
dan panas penguapan.
Page 23 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
5.4 TEKANAN UAP.
Tekanan yang dihasilkan oleh uap dari suatu cairan yang berada dalam suatu wadah dinamakan
tekanan uap. Tekanan uap merupakan fungsi dari temperatur dan khas untuk masing-masing cairan.
Temperatur dimana tekana uap sama dengan 1 atm adalah titik didih, Tb (b, boiling).
Dari distribusi umum Boltzmann, hubungan antara tekanan uap dengan panas penguapan dimungkinkan
untuk dapat dibuat. Suatu sistem yang mengandung cairan dan uap yang dalam kesetimbangan memiliki
dua wilayah dimana energi potensial dari molekul memiliki nilai yang berbeda. Efek antarmolekul yang
kuat membuat energi potensial menjadi lemah pada cairan; W = 0. Sebagai perbandingan energi
potensial pada gas sebaliknya tinggi, W. Dengan hukum Boltzmann, pers (4.90), jumlah molekul gas per
meter kubik, N  A exp( W / RT ) , diamana A merupakan konstanta. Pada gas jumlah dari molekul per
meter kubik sebanding dengan tekanan uap, sehingga kita mendapatkan p = B exp (– W/RT), dimana
B merupakan konstanta yang lain. Energi yang diperlukan untuk memindahkan molekul dari cairan dan
mengubahnya menjadi uap adalah W, energi penguapan. Seperti yang akan kita lihat selanjutnya,
panas penguapan, Qvap, dihubungkan dengan W melalui Qvap = W + RT. Memasukkan nilai W ini dalam
pernyataan untuk p kita mendapatkan
p  p e
 Qvap / RT
(5.7)
,
dimana p∞ merupakan konstanta. Pers. (5.7) menggabungkan tekanan uap, temperatur dan panas
penguapan; yang merupakan salah satu bentuk dari persamaan Clausius-Clapeyron. Konstanta p∞
memiliki satuan yang sama dengan p, dan dapat dievalusi dalam bentuk Qvap dan titik didih normal Tb.
Pada Tb tekanan uap bernilai 1 atm, sehingga 1 atm = p  e
p   (1atm )e
 Qvap / RTb
 Qva p / RTb
. Sehingga
.
(5.8)
Persamaan (5.8) dapat dipergunakan untuk mengevaluasi konstanta p∞.
Dengan mengambil logaritma, pers. (5.7) menjadi
ln p  
Qvap
RT
 ln p ,
(5.9)
yang sangat berguna untuk menampilkan grafik dari variasi tekanan uap dengan temperatur. Fungsi ln
p diplot terhadap fungsi 1/T. Pers. (5.9) kemudian menjadi persamaan garis lurus, dengan slope –
Qvap/R. Gbr 5.1 merupakan plot jenis ini; untuk data tekanan uap dari benzena.
5.5 SIFAT LAIN DARI CAIRAN
Viskositas atau lebih tepatnya koefisien viskositas merupakan ukuran ketahanan alir cairan
dibawah tekanan. Karena molekul cairan sangat dekat satu sama lain, cairan jauh lebih kental
dibandingkan dengan gas. Jarak yang dekat dan gaya antarmolekul berkontribusi pada ketahanan
aliran ini.
Molekul pada kumpulan cairan ditarik dengan gaya yang sama oleh molekul tetangganya, dan tidak
mengalami ketidakseimbangan gaya pada sebarang arah tertentu. Molekul pada lapisan permukaan
cairan ditarik oleh molekul tetangga, tetapi karena molekul ini hanya memiliki tetangga pada bagian
bawahnya, sehingga hanya tertarik kearah cairan, hal ini berkibat pada tingginya energi molekul pada
permukaan cairan. Untuk menggerakkan satu molekul badan cairan ke permukaan diperlukan energi
tambahan. Karena keberadaan dari molekul lain pada molekul lain meningkatkan luas permukaan, maka
energi harus diberikan untuk meningkatkan luas permukaan. Energi yang diperlukan untuk
megakibatkan perluasan sebesar 1 m2 dinamakan tegangan permukaan dari cairan.
5.6 TINJAUAN KEMBALI MENGENAI PERBEDAAN STRUKTURAL DARI PADATAN, CAIRAN,
DAN GAS
Kita telah menggambarkan sruktur gas dengan gerakan chaos molekul (gerakan termal), yang
memisahkan satu molekul dengan lainnya pada jarak yang sangat besar jika dibandingkan dengan
Page 24 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
diameter molekul. Gaya antar molekul dan ukuran molekular yang sangat kecil berpengaruh sangat
kecil dan menghilang pada batas tekanan nol.
Karena molekul cairan dipisahkan pada jarak yang sama besar dengan diameter molekulernya, volume
yang ditempati oleh cairan sama dengan volume molekul itu sendiri.
Page 25 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
6 Hukum-Hukum Termodinamik: Generalisasi dan Hukum KeNol
6.1 JENIS ENERGI DAN HUKUM PERTAMA TERMODINAMIK
Karena sistem fisik dapat memiliki energi dengan banyak cara, kita membicarakan mengenai banyak
jenis energi.
1. Energi kinetik: energi yang dihasilkan oleh suatu benda karena gerakannya.
2. Energi potensial: energi yang dihasilkan oleh suatu benda karena posisinya dalam medan gaya;
sebagai contoh, suatu massa dalam medan gravitasi, molekul bermuatan dalam medan listrik.
3. Energi termal: energi yang dihasilkan oleh suatu benda karena temperaturnya.
4. Energi yang dihasilkan oleh suatu benda dari penyusunnya; contoh, suatu senyawa memiliki
energi “kimia”, inti memiliki energi “inti”.
5. Energi yang dihasilkan oleh suatu benda karena massanya; persamaan relativitas massa-energi.
Hukum-hukum termodinamik mengatur perubahan satu bentuk energi menjadi bentuk yang lain. Hukum
pertama termodinamik merupakan bentuk yang paling umum dari hukum kekekalan energi; hukum ini
tidak memiliki pengecualian. Hukum kekekalan energi merupakan generalisasi dari pengalaman dan
tidak dapat diturunkan dari prinsip lain.
6.2 HUKUM KEDUA TERMODINAMIK
Hukum kedua termodinamik menyangkut arah dari suatu proses alami. Dengan kombinasi bersama
hukum pertama, hukum kedua ini memungkinkan kita untuk memprediksikan kita mengenai arah dari
sebarang proses, sehingga kita dapat pula memprediksikan keadaan kesetimbangan.
6.3 HUKUM KENOL TERMODINAMIK
Hukum kesetimbangan termal, hukum kenol termodinamik merupakan prinsip lain yang penting.
Pentingnya hukum ini pada konsep temperatur tidak disadari hingga bagian lain dari termodinamik
telah mencapai perkembangan di tingkat yang advance; sehingga dinamakan hukum kenol.
Untuk menggambarkan hukum kenol kta membayangkan dua sampel gas. Kedua sampel berada pada
wadah terpisah dan masing-masing memiliki volume dan tekanan V1, p1 dan V2, p2. Pada permulaan
kedua sistem diisolasi satu sama lain dan keduanya sepenuhnya berada dalam kesetimbangan. Kedua
wadah ini dilengkapi dengan pengukur tekanan. (Gbr 6.1 a)
Kedua sistem dihubungkan melalui suatu dinding. Muncul dua buah kemungkinan: ketika dihubungkan
melalui dinding sistem dapat saling mempengaruhi atau tidak saling mempengaruhi. Jika sistem tidak
saling mempengaruhi, maka dinding merupakan dinding pengisolasi, atau dinding adiabatik, akan tetapi
dalam situasi seperti tekanan tidak dipengaruhi. Jika sistem saling mempengaruhi satu sama lain dan
tekanan pada keduanya berubah menjadi p’1 dan p’2 (Gbr 6.1 b). Pada keadaan ini dinding merupakan
dinding penghantar termal (thermal conducting wall); dan sistem berada dalam kontak termal. Saat
dimana kedua nilai tekanan sistem tetap, maka kedua sistem berada dlam kesetimbangan termal.
Bayangkanlah tiga sistem A, B,dan C, disusun seperti pada Gbr 6.2(a). Sistem A dan B berada dalam
kontak termal, sementara sistem B mengalami kontak termal dengan sistem C. Sistem komposit ini
dibiarkan mencapai kesetimbangan termal, sehingga A berada dalam kesetimbangan temral dengan B
dan B berada dalam kesetimbangan termal dengan C. Sekarang kita memisahkan sistem A dan C
dengan B dan membiarkan keduanya kontak secara langsung satu sama lain (Gbr 6.2b). Kita mengamati
bahwa tidak ada perubahan baik pada A maupun C seiring dengan waktu. Sehingga dapat dikatakan
bahwa A dan B berada dalam kesetimbangan satu sama lain. Pengalaman ini merupakan penyusun dari
hukum kenol termodinamik: Dua sistem yang keduanya berada dalam kesetimbangan termal dengan
suatu sistem ketiga berada dalam kesetimbangan termal satu sama lainnya.
Page 26 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
Konsep mengenai temperatur dapat dinyatakan sebagai berikut: (1) Sistem yang berada dalam
kesetimbnagan termal satu sama lainnya memiliki temperatur yang sama; dan (2) sistem yang tidak
berada dalam kesetimbangan termal satu sama lain memiliki temperatur yang berbeda.
7 Termokimia; Energi dan Hukum Pertama Termodinamika
7.1 ISTILAH TERMODINAMIKA: BATASAN-BATASAN
Di awal ketika kita mempelajari termodinamika sangatlah penting untuk mengerti pemahaman
termodinamik dari istilah yang dipergunakan. Istilah-istilah yang dipergunakan oleh J. A. Beattie
berikut telah memberikan ungkapan yang singkat dan jelas.
Sistem, Batas, Lingkungan. Suatu sistem termodinamik merupakan bagian dari alam semesta yang
sifat-sifatnya sedang diselidiki….
Sistem terletak pada suatu tempat tertentu dalam suatu ruang dengan batas yang memisahkannya
dari bagian alam semesta yang lain, lingkungan…
Suatu sistem terisolasi ketika batasnya mencegah sembarang interaksi dengan lingkungannya.
Suatu sistem yang terisolasi tidak menghasilkan efek atau gangguan yang dapat dideteksi pada
lingkungannya.
Suatu sistem disebut terbuka jika massa dapat melewati batas, tertutup ketika tidak ada massa
yang melewati batas……
Sifat-sifat dari suatu Sistem. Sifat dari sistem merupakan penampakan fisik yang dapat
nampak oleh indra, atau dapat diketahui dengan metode tertentu. Sifat terbagi menjadi dua: (1)
tidak terukur, ketika jenis zat tertentu menyusun suatu sistem dan keadaan agregasi dari bagianbagiannya; dan (2) terukur; seperti tekanan dan volume, yang mana dapat dinyatakan dalam suatu nilai
numerik baik dengan perbandingan langsung maupun tidak langsung dengan standar.
Keadaan dari Sistem. Suatu sistem merupakan keadaan tertentu dimana setiap sifatnya memiliki
nilai tertentu. Kita harus mengetahuinya baik melalui suatu studi eksperimental dari sistem tersebut
atau dari pengalaman dengan sistem yang serupa, sifat-sifat yang harus diperhatikan untuk
mendefinisikan suatu sistem adalah……….
Perubahan Keadaan, Langkah, Siklus, Proses. Anggaplah suatu sistem mengalami perubahan
keadaan dari keadaan awal tertentu hingga suatu keadaan akhir tertentu.
Perubahan keadaan didefinisikan sepenuhnya ketika keadaan awal dan akhir ditentukan.
Langkah perubahan keadaan didefinisikan dengan menentukan keadaan awal, rangkaian keadaan
antara yang disusun oleh oleh sistem, dan keadaan akhir.
Proses merupakan metode operasi yang mempengaruhi oleh perubahan keadaan. Deskripsi
mengenai proses terdiri dari penyataan menganai hal-hal berikut ini: (1) batas; (2) perubahan
keadaan; langkah, efek yang dihasilkan oleh sistem pada setiap tahapan proses; dan (3) efek yang
dihasilkan pada lingkungan pada tiap langkah proses.
Anggaplah bahwa suatu sistem mengalami perubahan keadaan dan dikembalikan ke keadaan
awalnya. Langkah-langkah ini disebut sebagai sebuah siklus, dan proses yang terjadi disebut sebagai
proses siklik.
Variabel Keadaan, Suatu variabel keadaan merupakan variabel yang memiliki nilai tertentu ketika
suatu sistem ditetapkan……
7.2 KERJA DAN KALOR
Konsep mengenai kerja dan kalor merupakan dasar yang sangat penting dalam termodinamik dan
definisinya harus dapat dipahami secara keseluruhan; penggunaan istilah kalor dan kerja yang
dipergunakan dalam termodinamik sedikit berbeda dengan yang dipergunakan dalam kehidupan sehariPage 27 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
hari maupun dalam bidang ilmu yang lain. Pengertian kedua istilah ini kembali akan diberikan oleh J. A.
Beattie…
Kerja. Dalam termodinamik kerja didefinisikan sebagai sembarang kuantitas yang mengalir
melewati batas dari suatu sistem selama perubahan keadaan sistem tersebut dan sepenuhnya
dapat diubah menjadi peningkatan dari berat di lingkungannya.
Beberapa hal harus diperhatikan dalam pengertian kerja ini.
1. Kerja hanya terjadi di batas sistem.
2. Kerja hanya terjadi selama terjadi perubahan keadaan.
3. Kerja diwujudkan dengan suatu efek pada lingkungannya.
4. Kuantitas kerja sama dengan mgh, dimana m merupakan massa yang dipindahkan, g merupakan
percepatan gravitasi, h merupakan ketinggian yang dicapai oleh berat.
5. Kerja merupakan suatu jumlah aljabar, akan positif jika massa diangkat (h bernilai +), dimana hal
ini kita sebut kerja telah dihasilkan diskeliling; nilainya akan negatif jika jika massa diturunkan (h
bernilai -), dalam hal ini kerja kita anggap mengalir dari lingkungan.
Kalor. Kita menjelaskan pencapaian kesetimbangan termal dari dua sistem dengan menyatakan
bahwa suatu kuantitas kalor Q telah mengalir dari sistem dengan temperatur yang lebih tinggi ke
sistem dengan temperatur yang lebih rendah.
Dalam termodinamik kalor didefinisikan sebagai suatu kuantitas yang mengalir melewati
batasan dari suatu sistem selama perubahan keadaannya dengan jalan perbedaan temperatur
antara sistem dan lingkungannya dan mengalir dari titik dengan temperatur yang lebih tinggi
ke titik yang temperaturnya lebih rendah.
Beberapa hal yang harus diingat.
1. kalor hanya terjadi di batas sistem.
2. kalor hanya terjadi selama ada perubahan pada keadaan.
3. kalor dimanifestasikan dengan efek pada lingkungannya.
4. Kuantitas dari massa berbanding lurus dengan massa air dilingkungannya yang dinaikkan
temperaturnya pada suatu tekanan tertentu.
5. kalor merupakan suatu jumlah aljabar, bernilai positif jika massa air dilingkungannya didinginkan
dan sebaliknya bernilai negatif jika massa air dilingkungannya menghangat.
7.3 KERJA EKSPANSI
Jika suatu sistem menyesuaikan volumenya dengan suatu tekanan yang berlawanan, suatu akibat dari
kerja dihasilkan pada lingkungannya. Kerja ekspansi ini terjadi hampir pada semua keadaan pada
kehidupan sehari-hari. Sistemnya merupakan sekumpulan gas yang ditampung dalam suatu silinder
yang ditutup dengan suatu piston D. Piston tersebut diasumsikan tidak memiliki massa dan tidak
mengalami gesekan. Silinder tersebut dimasukkan kedalam suatu termostat sehingga suhunya konstan
selama terjadi perubahan keadaan. Terkecuali dibuat suatu pernyataan khusus yang berkebalikan,
dianggap tidak ada tekanan udara yang menekan piston ke bawah.
Pada keadaan awal piston D ditahan oleh serangkaian penahan S oleh tekanan dari gas. Suatu penahan
kedua S’ dipakai untuk menahan piston setelah rangkaian pertama ditarik. Keadaan awal dari sistem
digambarkan dengan T, p1,V1. Ketika menempatkan sejumlah kecil massa M pada piston; massa ini
haruslah cukup kecil sehingga ketika penahan S ditarik, piston akan naik dan disorong melawan
penahan S’. Keadaan akhir dari sistem adalah T, p2,V2. Batasnya merupakan dinding bagian dalam dari
silinder dan piston; dimana perubahan batas meningkatkan volume menjadi lebih besar V2. Kerja
Page 28 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
dihasilkan dalam perubahan ini, karena massa M disekelilingnya, telah diangkat vertikal ke atas sejauh
h melawan gaya gravitasi Mg. Jumlah kerja yang dihasilkan adalah
W =Mgh.
(7.1)
Jika luas dari piston adalah A, tekanan kearah bawah yang memberikan aksi pada piston adalah Mg/A
= Pop, tekanan yang melawan gerakan dari piston (op=opposite, lawan). Oleh karenanya Mg = PopA.
Mempergunakan nilai ini pada pers 7.1 kita peroleh,
W = PopAh.
Nilai Ah dapat didapatkan dari pertambahan volume sebagai akibat perubahan keadaan, dimana Ah =
V2 – V 1 , dan kita mendapatkan
W = Pop(V2 – V1).
(7.2)
Kerja yang dihasilkan pada perubahan keadaan dalam pers (7.2), digambarkan pada luas wilayah yang
diarsir dalam diagram p – V pada gambar 7.2(c). Kurva putus-putus merupakan isoterm dari gas
dimana ditunjukkan nilai awal dan akhirnya. Terbukti bahwa M dapat bernilai dari nol hingga batas
atas tertentu dan masih memungkinkan piston untuk naik hingga penahan S’. Hal ini sesuai dengan pop
yang dapat memiliki nilai antara 0≤ pop ≤ p2, dan oleh karenanya jumlah kerja yang dihasilkan dapat
bernilai nol hingga beberapa nilai yang lebih tinggi. Kerja merupakan fungsi dari langkah. Haruslah
diingat bahwa pop merupakan suatu perkiraan dan tidak berhubungan dengan tekanan dari sistem.
Oleh karena itu tanda dari W ditentukan oleh oleh tanda dari V, karena pop = mg/A selalu bernilai
positif. Pada ekspansi, V = + dan W = +; massa naik. Pada kompresi, V = - , W = -; massa turun.
7.3.1 Ekspansi Dua Tahap
Persamaan 7.2 hanya berlaku jika nilai pop tetap selama perubahan keadaan. Jika ekspansi terjadi
dalam dua tahap maka persaman akan berubah menjadi penjumlahan dari total kerja yang dihasilkan
untuk kedua tahap:
W = Wtahap 1 + Wtahap2 = pop’(V’ – V1) + pop”(V” – V2)
Jumlah kerja yang ditunjukan dengan daerah yang diarsir pada gambar 7.3 untuk p” = p2.
Perbandingan dari gambar 7.2 (c) dan gambar 7.3 menujukkan bahwa kerja yang dihasilkan oleh
ekspansi dengan dua tahap menghasilkan kerja lebih banyak dibandingkan dengan ekspansi satu tahap.
7.3.2 Ekspansi Multi Tahap
Suatu ekspansi multi tahap menghasilkan penjumlahan dari sejumlah kecil kerja yang dihasilkan pada
setiap tahapan. Jika Pop konstan dan volume meningkat dengan jumlah kecil dV, kemudian jumlah kerja
dW diberikan oleh
dW = PopdV
(7.3)
Jumlah keseluruhan kerja yang dihasilkan untuk ekspansi dari V1 hingga V2 merupakan integral dari
2
V2
W   dW   PopdV
1
V1
(7.4)
Page 29 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
yang merupakan ungkapan umum untuk ekspansi dari sembarang sistem. Jika Pop diketahui sebagai
fungsi dari volume, integralnya dapat dicari dengan mempergunakan cara biasa.
perhatikanlah bahwa diferensial dW tidak berintegrasi dengan cara yang biasa. Integral dari suatu
diferensial biasa dx antar limit menghasilkan suatu perbedaan tertentu, ∆x,

x2
x1
dx  x2  x1  x,
akan tetapi integral dari dW merupakan penjumlahan dari sejumlah kecil kerja yang dihasilkan oleh
setiap elemen dari rangkaian tersebut,

2
1
dW  W
dimana W merupakan jumlah total kerja yang dihasilkan. Diferensial dW merupakan diferensial tidak
eksak dan diferensial dx merupakan diferensial eksak.
7.4 KERJA KOMPRESI
Kerja yang dipergunakan pada kompresi diperhitungkan mempergunakan persamaan yang sama dengan
yang dipergunakan untuk memperhitungkan kerja yang dihasilkan oleh ekspansi. Volume akhir pada
kompresi lebih kecil dari volume awal, sehingga setiap tahapan ∆V bernilai negatif; sehingga kerja
yang dipergunakan bernilai negatif.
Kompresi satu tahap dapat digambarkan sebagai berikut, suatu sistem yang sama seperti sebelumnya,
dipertahankan pada suhu konstan –T, akan tetapi keadaan awalnya merupakan keadaan terekspansi
T,p2,V2, sementara keadaan akhirnya merupakan keadaan terekspansi T,p1,V1.
Kerja yang dpergunakan dalam kompresi satu tahap akan jauh lebih besar jika dibandingkan dengan
kerja yang dihasilkan dalam ekspansi satu tahap (Gbr. 7.2c).
7.5 KERJA MAKSIMUM DAN MINIMUM
Pada ekspansi dua tahap lebih banyak kerja dihasilkan dibandingkan dengan ekspansi satu tahap. Hal
ini cukup beralasan karena ekspansi dilakukan dalam banyak tahapan mempergunakan massa yang
besar pada awalnya dan membuatnya semakin kecil ketika ekspansi terlaksana, bahkan lebih banyak
kerja dapat dihasilkan. Hal ini merupakan sebuah kebenaran, akan tetapi terdapat pembatasan untuk
hal ini. Massa yang dipergunakan tidaklah terlalu besar sehingga dapat menekan sistem disamping
dapat membiarkannya untuk berekspansi. Dengan berekspansi melalui sejumlah besar tahapan akan
dihasilkan rangkaian tahapan yang terus menerus kerja yang dihasilkan dapat ditingkatkan hingga
suatu nilai maksimum tertentu. Sama halnya kerja yang dipakai dalam kompresi dua tahap kurang dari
yang yang dipergunakan dalam kompresi satu tahap. Dalam suatu kompresi banyak tahap dipergunakan
kerja yang lebih sedikit lagi.
Kerja ekspansi diberikan oleh
Vf
W   Pop dV
Vi
Agar integral menghasilkan suatu nilai maksimum, maka Pop haruslah memiliki nilai terbesar yang
mungkin untuk setiap tahapan dari proses. Akan tetapi jika gas berekspansi, Pop harus kurang dari
tekanan gas p. Oleh karenanya untuk menghasilkan kerja maksimum, kita menyesuaikan tekanan lawan
menjadi Pop = p – dp, suatu nilai yang lebih kecil dari tekanan gas. Kemudian
Vf
Vf
Vi
Vi
Wm   ( p  dp)dV   ( pdV  dpdV ) ,
Page 30 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
dimana Vi dan Vf merupakan volume awal dan volume akhir. Pernyataan kedua dalam integral adalah
suatu bentuk yang lebih besar dari pertama yang mempunyai limit nol. Oleh karenanya untuk kerja
maksimum pada ekspansi
Vf
Wm   pdV .
Vi
(7.5)
Sama halnya ketika kita mencari kerja minimum yang diperlukan untuk kompresi dengan menetapkan
nilai Pop untuk setiap tahapan sedikit lebih kecil dari tekanan dari gas;
Pop = p+ dp. Ungkapan ini
sebelumnya menghasilkan pers. (7.5) yang tentunya merupakan bentuk umum dan tidak dibatasi untuk
gas.
Untuk gas ideal, jumlah maksimum kerja yang dihasilkan pada ekspansi atau yang dipakai untuk
kompresi sama dengan daerah yang diarsir pada daerah dibawah isoterm pada Gbr. 7.6. Untuk gas
ideal kerja maksimum atau minimum pada suatu perubahan keadaan isotermal dapat dengan mudah
dievaluasi, karena p = nRT/V. Menggunakan nilai tekanan ini untuk pers. (7.5), kita mendapatkan
Vi
Wmax, min  
Vf
Vi dV
V
nRT
dV  nRT 
 nRT ln f .
Vf V
V
Vi
Pada kondisi yang digambarkan, n dan T akan bernilai konstan selama perubahan sehingga dapat
dikeluarkan dari tanda integral. Ingatlah bahwa pada ekspansi Vf > Vi, sehingga rasio logaritmanya
positif; pada kompresi Vf < Vi, rasionya lebih kecil dari satu sehingga logaritmanya negatif. Dengan
cara inilah tanda dari W berubah dengan sendirinya.
7.6 PERUBAHAN REVERSIBEL DAN IREVERSIBEL
Bayangkanlah suatu sistem yang sama dengan sistem sebelumnya; sejumlah gas yang berada di dalam
silinder pada temperatur konstan T. Kita mengekspansi gas dari keadaan T, p1,V1 ke keadaan T, p2,V2
dan kemudian kita mengkompresi gas ke keadaan asalnya. Gas telah dikenakan suatu perubahan siklik
yang mengembalikannya ke keadaan awalnya. Anggaplah bahwa kita melakukan siklus ini dengan dua
proses yang berbeda dan memperhitungkan efek langlah Wcy untuk setiap proses.
Proses 1. Ekspansi satu tahap dengan Pop = p2; kemudian ekspansi satu tahap dengan pop = p1.
Kerja yang dihasilkan dalam ekspansi oleh karenanya dengan pers (7.4),
Wexp  p 2 (V2  V1 ) ,
sedangkan kerja yang dihasilkan pada kompresi adalah
Wcomp  p1 (V1  V2 ) .
Efek jaringan pada siklus ini merupakan penjumlahan dari keduanya:
Wcy  p 2 (V2  V1 )  p1 (V1  V2 )  ( p 2  p1 )(V2  V1 ) .
Karena V1 – V2 bernilai positif, dan p2 – p1 bernilai negatif, maka Wcy bernilai negatif. Jaring kerja
telah dipergunakan dalam proses ini. Sistem telah dikembalikan ke keadaan semula, akan tetapi tidak
dengan lingkungannya; massa menjadi lebih kecil dilingkungannya setelah siklus.
Proses 2. Pembatasan ekspansi banyak tahap dengan Pop = p; kemudian membatasi kompresi multi
tahap dengan Pop = p.
Dengan pers. (7.5), kerja yang dihasilkan pada ekspansi adalah
Page 31 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
V2
Wexp   pdV ,
V1
sementara kerja yang dihasilkan pada kompresi adalah, dengan pers. (7.5),
V1
Wcomp   pdV .
V2
Efek langkah kerja pada siklus adalah
V2
V1
V2
V2
V1
V2
V1
V1
Wcy   pdV   pdV   pdV   pdV  0 ,
Jika perubahan dilakukan dengan metode kedua, sistem dikembalikan ke keadaan semula, dan
demikian juga dengan lingkungannya dikembalikan ke keadaan semula, karena tidak dihasilkan efek
kerja jaringan.
Bayangkan sistem mengalami perubahan keadaan melalui serangkaian keadaan intermediet tertentu
dan kemudian dikembalikan dengan melalui rangkaian keadaan yang sama dengan urutan yang
berkebalikan. Kemudian jika lingkungan juga dikembalikan ke keadaan semula, perubahan dalam kedua
arah reversibel. Proses yang demikian disebut proses reversibel. Jika lingkungan tidak dikembalikan
ke keadaan semula setelah siklus, perubahan dan prosesnya ireversibel.
Kita tidak dapat melakukan suatu perubahan secara reversibel. Suatu rentang waktu yang tidak tentu
diperlukan jika peningkatan volume pada setiap tahap sangat kecil. Proses reversibel karenanya
bukanlah merupakan proses yang sebenarnya, akan tetapi suatu proses ideal. Proses yang sebenarnya
selalu merupakan proses yang ireversibel
7.7 ENERGI DAN HUKUM PERTAMA TERMODINAMIK
Kerja yang dihasilkan pada perubahan siklik merupakan penjumlahan dari sejumlah kecil kerja dW
yang dihasilkan pada setiap tahap siklus. Sama halnya dengan kalor yang dihilangkan dari lingkungan
pada suatu perubahan siklik merupakan penjumlahan dari sejumlah kecil kalor dQ yang dipakai pada
setiap tahapan siklus. Penjumlahannya dilambangkan dengan integral siklik dari dW dan dQ:
Wcy   dW ,
Qcy   dQ .
Umumnya Wcy dan Qcy tidak bernilai nol; hal ini merupakan karakteristik dari fungsi langkah.
Sebaliknya, ingatlah jika kita menjumlahkan sembatang sifat keadaan dari sistem pada sembarang
perbedaan, intergral sikliknya haruslah nol. Karena pada sembarang siklus sistem pada akhirnya
kembali ke keadaan awalnya, perbedaan total untuk sembarang sifat keadaan adalah nol. Sebaliknya,
jika kita menemukan suatu penjumlahan diferensial dy dimana
 dy  0 (keseluruhan siklus),
(7.7)
 dW   dQ
(7.8)
dan dy merupakan diferensial dari sembarang sifat dari keadaan dari sistem. Hal ini merupakan murni
teorema matematika, yang dinyatakan disini dengan bahasa fisik. Mempergunakan teorema ini dan
hukum pertama termodinamik, kita menemukan adanya suatu sifat dari keadaan sistem, yaitu energi.
Hukum pertama termodinamik merupakan suatu penyataan dari pengalaman universal: Jika suatu
sistem mengalami transformasi siklik, kerja yang dihasilkan pada lingkungannya sama dengan kalor
yang diambil dari lingkungannya. Dalam bentuk matematis, hukum pertama menyatakan bahwa
(keseluruhan siklus)
Page 32 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
Sistem tidak mengalami perubahan jaringan selama siklus, tetapi kondisi dari lingkungannya berubah.
Jika massa dilingkungannya menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum siklus, maka ada benda
yang harus lebih kalor.
Menyusun kembali pers. (7.8) kita mendapatkan
 (dQ  dW )  0
(keseluruhan siklus)
(7.9)
Akan tetapi jika pers. (7.9) benar, teorema matematika mengharuskan jumlah dibawah tanda integral
haruslah merupakan diferensial dari beberap sifat dari keadaan pada sistem. Sifat dari keadaan ini
disebut energi, U, dari sisitem; diferensialnya adalah dU, yang didefinisikan dengan
dU = dQ – dW;
(7.10)
kemudian tentu saja,
 dU  0
(keseluruhan siklus)
(7.11)
Oleh karenanya dari hukum pertama, yang menghubungkan efek kalor dan kerja yang teramati pada
lingkungan dalam suatu transformasi siklik, kita menganggap adanya suatu sifat dari keadaan dari
sistem, yaitu energi. Pers. (7.10) merupakan suatu persamaan yang ekuivalen dengan pernyataan
hukum pertama.
Pers. (7.10) menunjukkan bahwa jika sejumlah kecil kalor dan kerja dQ dan dW terjadi pada bidang
batas, energi dari sistem mengalami perubahan dU. Untuk perubahan tertentu dari keadaan, kita
mengintegrasikan pers. (7.10):

i
f
f
f
dU   d   dW ,
i
i
U  Q  W
(7.12)
dimana ∆U = Uakhir – Uawal. Ingatlah bahwa hanya perbedaan kecil dari energi dU atau ∆U yang telah
didefinisikan, jadi kita dapat memperhitungkan dalam perubahan keadaan, akan tetapi kita tidak
dapat menetapakan suatu niali absolut pada energi dari sistem dalam keadaan tertentu.
Kita dapat menunjukkan bahwa energi dipertahankan selama sebarang perubahan keadaan. Anggaplah
suatu perubahan sistem pada sistem A; maka
U A  Q  W
dimana Q dan W merupakan kalor dan efek kerja yang diwujudkan dengan perubahan temperatur pada
benda dan perubahan ketinggian pada massa. Jika memungkinkan untuk memilih suatu batas yang
menutupi sistem A dan lingkungannya , dan tidak terjadi efek yang dihasilkan dari perubahan A yang
bisa diamati diluar batas ini. Batas ini memisahkan dua sistem komposit-dibuat dari sistem asli A dan
M, lingkungannya yang berdekatan-dari sisa alam semesta. Karena tidak ada kalor atau akibat dari
kerja yang teramati diluar sistem ini, sehingga perubahan energi pada sistem komposit adalah nol.
U AM  0
Tetapi perubahan energi pada sistem komposit merupakan penjumlahan dari perubahan energi
subsistem, A dan M. Sehingga
U AM  U A  U M  0
atau
U A  U M
Persamaan ini menyatakan bahwa dalam sebarang transformasi, sebarang peningkatan energi sistem A
diseimbangkan dengan tepat penurunan yang sama pada lingkungannya.
Hal ini sesuai dengan
U A (akhir)  U A (awal)  U M (akhir)  U A (awal)  0,
Page 33 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
atau
U A (akhir)  U A (awal)  U M (akhir)  U A (awal),
yang menyatakan bahwa energi dalam sistem komposit adalah konstan.
Jika kita membayangkan alam semesta disusun oleh banyak sistem komposit, yang masing-masing ΔU
nya = 0, maka kumpulannya mestinya juga ΔU = 0. Sehingga kita mendapatkankan pernyataan terkenal
dari hukum pertama Termodinamika oleh Clausius: “Energi dari alam semesta bernilai konstan.”
7.8 PERUBAHAN ENERGI DAN HUBUNGANNYA DENGAN SIFAT DARI SISTEM
Mempergunakan hukum pertama dalam bentuk
U  Q  W ,
kita dapat memperhitungkan ΔU untuk perubahan keadaan dari nilai Q dan W yang diukur, efek pada
lingkungannya. Akan tetapi suatu perubahan keadaan dari sistem berakibat perubahan sifat dari
sistem, seperti T dan V. Sifat dari sistem ini dapat diukur pada keadaan awal dan akhir, dan hal ini
sangat bermanfaat untuk menghubungkan perubahan energi, anggaplah perubahan pada temperatur
dan volume. Permasalahan inilah yang saat ini sedang menarik perhatian kita.
Dengan memilih sistem dengan massa tetap, kita dapat menggambarkan keadaan dengan T dan V.
Maka U = U(T, V), dan perubahan energi dU dihubungkan dengan perubahan temperatur dT dan
volume dV melalui ungkapan diferensial keseluruhan
 U 
 U 
dU  
 dT  
 dV .
 T V
 V T
(7.13)
Diferensial dari sebarang sifat keadaan, sebarang diferensial eksak, dapat dituliskan dalam bentuk
dari pers. (7.13). Ungkapan jenis ini seringkali dipergunakan sehingga sangat penting untuk memahami
pengertian fisik dan matematisnya. Pers. (7.13) menyatakan jika temperatur sistem meningkat
sejumlah dT dan volume sistem meningkat sejumlah dV, maka perubahan energi keseluruhan dU
merupakan penjumlahan dari kedua kontributor: suku pertama, (∂U∂T)V dT dikalikan dengan
perubahan temperatur dT.
7.8 PERUBAHAN KEADAAN PADA TEKANAN KONSTAN
Dalam praktek laboratorium kebanyakan perubahan keadaan dilakukan pada tekanan atmosferik yang
konstan. Perubahan keadaan pada tekanan konstan dapat dilihat dengan memasukkan sistem kedalam
suatu silinder yang tertutup oleh piston yang diberi pemberat dan dan dapat mengapung dengan bebas
(Gbr. 7.8), yang ditahan pada suatu kedudukan dengan serangkaian penahan.
Karena piston dapat bergerak dengan bebas, posisi kesetimbangnnya ditentukan oleh keseimbangan
dari tekanan lawan yang diberikan oleh massa M dan tekanan dari sistem. Tidak perduli apa yang kita
lakukan dengan sistem , piston akan bergerak hingga p = Pop terpenuhi. Tekanan p pada sistem dapat
disesuaikan menjadi suatu nilai konstan dengan mempergunakan massa M yang sesuai. Pada kondisi
laboratorium yang biasa massa dari kolom udara diatas sistem mengapung diatas sistem dan
mempertahankan tekanan pada niali konsatan p.
Karena Pop = p, untuk suatu perubahan pada tekanan konstan, pernyataan hukum pertama menjadi
dU  dQ p  pdV .
(7.25)
Karena p konstan, jika diintegrasikan sekali menghasilkan

2
1
2
V2
dU   dQ   pdV ,
1
p
V1
U 2  U 1  Q p  pV2  V1  .
Page 34 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
Menyusun kembali, kita dapatkan
(U 2  pV2 )  (U 1  pV1 )  Q p .
(7.26)
Karena p1 = p2 = p, dalam pers. (7.26) p yang pertama dapat digantikan oleh p2, dan yang kedua dengan
p1:
(U 2  p 2V2 )  (U 1  p1V1 )  Q p
(7.27)
Karena tekanan dan volume bergantung hanya pada keadaan, hasil dari pV hanya bergantung pada
keadan dari sistem. Fungsi U + pV, menjadi kombinasi dari variabel keadaan, yang merupakan variabel
keadaan H. Kita mendefiniskan
H  U  pV ;
(7.28)
H disebut entalpi dari sistem yang merupakan sifat ekstensif.
Dengan mempergunakan definisi H, kita dapat menuliskan pers. (7.27) sebagai
atau
H  Q p ,
H2 – H1 = Qp,
(7.29)
yang menunjukkan bahwa pada tekanan konstan kalor yang diserap dari lingkungan sebanding dengan
penigkatan entalpi sistem. Biasanya, efek panas diukur dari tekanan konstan; oleh karenanya akibat
dari kalor ini menunjukkan perubahan entalpi dari sistem, bukan perubahan pada energi sistem. Untuk
memperhitungkan perubahan energi pada tekanan konstan, pers (7.26) ditulis sebagai
U  pV  Q p .
(7.30)
Dengan mengetahui Qp dan perubahan volume V, kita dapat menghitung nilai U.
Persamaan (7.29) dapat dipergunakan pada penguapan cairan pada tekanan dan temperatur konsatan.
Panas yang diserap dari lingkungannya merupakan panas penguapan Qvap. Karena perubahan terjadi
pada tekanan konstan, Qvap = Hvap. Sama halnya kalor dari kalor penggabungan dari padatan
merupakan peningkatan entalpi selama penggabungan: Qfus = Hfus
Untuk suatu perubahan kecil pada keadaan sistem, pers (7.29) mengambil bentuk
dH = dQp.
(7.31)
Karena H merupakan fungsi keadaan, dH merupakan diferensial eksak; memilih T dan p sebagai
variabel yang sesuai untuk H, kita dapat menulisakan keseluruhan diferensial sebagai
 H 
 H 
 dp .
dH  
 dT  
 T  p
 p  T
(7.32)
Untuk perubahan pada tekanan konstan, dp = 0, dan pers. (7.32) menjadi dH  (H / T ) p dT .
Menggabungkan dengan pers. (7.31) menghasilkan
 H 
dQ p  
 dT ,
 T  p
yang menghubungkan kalor yang diserap dari lingkungan dengan peningkatan temperatur sistem. Rasio
dQp/dT merupakan Cp, kapasitas pan sistem pada tekanan konstan. Oleh karenanya kita mendapatkan
Page 35 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
 H 

 ,
dT
 T  p
dQ p
Cp 
(7.33)
yang mengidentifikasikan turunan parsial yang penting (∂H/∂T)p dengan jumlah Cp yang dapat diukur.
Dari hal ini, diferensial total pada pers.(7.32) akan dituliskan dalam bentuk
 H 
 dp .
dH  C p dT  
 p  T
(7.34)
Untuk sembarang perubahan pada tekanan konstan, karena dp = 0, pers. (7.34) direduksi menjadi
dH = CpdT,
(7.35)
atau untuk suatu perubahan keadaan tertentu dari T1 ke T2,
T2
H   C p dT .
(7.36)
T1
Jika Cp konstan pada rentang temperatur yang dipergunakan, pers. (7.36) menjadi
∆H = Cp∆T.
(7.37)
Persamaan pada bagian ini cukup umum dan dapat dipergunakan untuk sembarang perubahan pada
tekanan konstan dalam sistem dengan massa tetap, tanpa perubahan fase atau tanpa terjadinya
reaksi kimia.
CONTOH 7.2 Untuk perak C p/(J/Kmol) = 24,43+0,00628T. Hitunglah ∆H jika 3 mol perak tersebut
dinaikkan suhunya dari 25oC hingga titik didihnya 961oC, dibawah tekanan 1 atm.
Pada p konstan untuk 1 mol H 

T2
T1
T2
C p dT   (23,43  0,00628T )dT
T1
7.14 HUBUNGAN ANTARA Cp DAN Cv
Untuk suatu perubahan tertentu pada suatu sistem dengan perubahan temperatur tertentu dT, dan
hubungannya dengan perubahan temperatur itu, pnas yang diserap dari lingkunganya mungkin memiliki
nilai yang berbeda., karena hal ini bergantung pada pola dari perubahan keadaan. Olehkarenanya
tidaklah mengejutkan jika suatu sistem memiliki lebih dari satu kapasitas kalor. Kenyataannya,
kapasitas kalor dari suatu sistem dapat memiliki nilai dari negatif tak terbatas hingga positif tak
terbatas. Hanya dua nilai, Cp dan Cv yang memiliki arti penting. Karenan keduanya tidaklah sama,
sangatlah penting untuk mengetahui hubungan keduanya.
Kita memulai menyelesaikan persamaan ini dengan menghitung kalor yang diserap pada tekanan
konsatan dengan mempergunakan pers. (7.14) dalam bentuk
 U 
dQ  Cv dT  
 dT  Pop dV .
 V T
Untuk perubahan pada tekanan konstan dengan Pop = p, persamaan ini menjadi

 U  
dQ  Cv dT   p  
  dV ,
 V T 

karena Cp = dQp/dT, kita membagi dengan dT dan emperoleh
Page 36 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru

 U   V 
C p  Cv   p  
 

 V T  T  p

(7.38)
yang memerlukan hubungan antara Cp dan Cv. Dan biasanya ditulis dalam bentuk

 U   V 
C p  Cv   p  
 

 V  T  T  p

(7.39)
Persamaan ini merupakan hubungan umum antara Cp dan Cv. Selanjutnya akan diperlihatkan bahwa
jumlah disisi kanan persamaan akan selalu positif; oleh karena Cp selalu lebih besar dari Cv untuk
sembarang zat. Kelebihan Cp dibanding Cv terdiri dari penjumlahan dua bentuk. Bentuk pertama,
 V 
p
 ,
 T  p
yang merupakan kerja yang dihasilkan, pdV, persatuan peningkatan temperatur merupakan proses
tekanan konstan. Bentuk kedua,
 U   V 

 
 ,
 V  T  T  p
meruapakan energi yang diperlukan untuk menarik molekul saling menjauh melawan gaya tarik antar
molekul.
Jika suatu gas berekspansi, jarak rata-rata antara molekul meningkat. Sejumlah kecil energi harus
ditambahkan ke gas untuk menarik molekul gas ke pemisahan yang lebih jauh melawan gaya tarik;
energi yang diperlukan per kenaikan satuan dalam volume diberikan oleh turunan (∂U/∂V)T. Pada
proses dengan volume konstan, tidak ada kerja yang dihasilkan dan jarak rata-rata antar molekul
tetap sama. Oleh karenanya kapasitas kalornya kecil; semua kalor yang diserap berubah menjadi
gerakan chaos yang dicerminkan oleh kenaikan suhu. Pada proses dengan tekanan konstan, sistem
berekspansi melawan tekanan yang bertahan dan menghasilkan kerja pada lingkungannya; kalor yang
diserap dari lingkungan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama menghasilkan kerja pada
lingkungan, bagian kedua menyediakan energi yang diperlukan untuk memisahkan molekul lebih jauh,
bagian ketiga meningkatkan energi dari gerakan chaos. Hanya bagian terakhir ini yang dicerminkan
dngan peningkatan temperatur. Untuk menghasilkan peningkatan temperatur sebesar satu derajat,
lebih banyak kalor harus diserap pada tekanan konstan dibandingkan dengan yang diserap oleh proses
dengan volume konstan. Oleh karenanya Cp lebih besar dari Cv.
Suatu nilai lain yang juga berguna adalah rasio kapasitas kalor, γ, yang didefinisikan sebagai
 
Cp
Cv
.
(7.40)
Dari apa yang telah disebutkan, jelaslah bahwa γ selalu lebih besar dari satu.
Selisih kapasitas kalor untuk gas ideal memiliki bentuk yang sederhana karena
(hukum Joule). Maka pers. (7.39) menjadi
 V 
C p  C v  p
 .
 T  p
(∂U/∂V)T = 0
(7.41)
Jika kita membicarakan kapasitas kalor molar, volume pada turunan merupakan volume
molar; dari persamaan keadaan, V  RT / p . Menurunkan terhadap temperatur, dan mempertahankan
tekanan konstan, menghasilkan (V / T p ) =R/p. Memasukkkan nilai ini pada pers.(7.41) mereduksinya
menjadi hasil yang sederhana
Page 37 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
C p  Cv  R .
(7.42)
Walaupun pers. (7.42) benar hanya untuk gas ideal, pers. Ini merupakan pendekatan yang sangat
berguna untuk gas real.
Selisih kapasitas kalor untuk cairan dan padatan biasanya cukup kecil, dan kecuali kerja yang
memerlukan akurasi tinggi, memungkinkan untuk menyatakan
Cp = Cv,
(7.43)
Walaupun terdapat beberapa aturan pengecualian. Alasan fisik untuk kesamaan yang berdekatan
antara Cp dan Cv cukup jelas. Koefisien ekspansi termal dari cairan dan padatan sangatlah kecil: yang
berakibat kerja yang dihasilkan oleh ekspansi juga kecil dan hanya sedikit energi yang diperlukan
untuk peningkatan sedikit ruang antar molekul. Hampir semua kalor yang diserap lingkungan berubah
menjadi peningkatan energi gerakan chaos dan dicerminkan dengan kenaikan temperatur yang mirip
dengan yang terjadi pada poses dengan volume konstan. Untuk alasan yang telah disebutkan pada
akhir bagain 7.11, tidak memungkinkan untuk mengukur Cv dari cairan atau padatan secara langsung;
sementara Cp dapat diukur. Tabulasi dari nilai kapasitas kalor dari padatan cairan merupakan nilai Cp.
7.15 PENGUKURAN (∂H/∂p)T; EKSPERIMEN JOULE THOMPSON
Identifikasi dari turunan parsial (∂H/∂p)T dengan suatu nilai yang dapat diperoleh secara eksperimen
memiliki kesulitan yang sama ketika mencoba mendapatkan nilai (∂H/∂V)T pada bagian 7.12. Kedua
turunan ini saling berhubungan. Dengan menurunkan definisi dari H = U + pV, kita memperoleh
dH = dU + pdV + Vdp.
Dengan memasukkan nilai dari dH dan dU dari pers. (7.24) dan (7. 34), kita mendapatkan
 U 

 H 
 dp  Cv dT  
C p dT  
  p  dV  Vdp .
 p T
 V  T

(7.44)
Dengan membatasi persamaan yang menyulitkan pad temperatur konsatn, dT = 0, dan membagi dengan
dp, kita dapat menyederhanakannya menjadi

 H 
 U   V 

   p  
  V ,
 
 V T  p T
 p  T 
(7.45)
yang merupakan persamaan yang sangat baik.
Untuk cairan dan padatan pada bagian pertama pada sisi kanan pers. (7.45) biasanya sangat kecil jika
dibandingkan dengan bagian kedua, jadi sebuah pendekatan yang baik adalah
 H 

  V
 p  T
(padatan dan cairan). (7.46)
Karena volume molar dari cairan dan padatan sangat kecil, variasi dari entalpi dengan tekanan dapat
diabaikan-kecuali perubahan tekanannya sangat besar.
Untuk gas ideal,
 H 

  0 .
 p  T
(7.47)
Hasil ini paling mudah didapatkan dari definisi H = U + pV. Untuk gas ideal, pV  RT , maka
H  U  RT .
(7.48)
Page 38 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
Karena energi dari ga ideal hanya merupakan fungsi dari temperatur, dengan pers. (7.48) entalpi
merupakan fungsi dari temperatur saja, dan tidak bergantung pada tekanan. Hasil pada pers. (7.47)
juga dapat diperoleh dari pers. (7.45) dan hukum Joule.
Turunan (∂H/∂V)T sangat kecil untuk gas real, akan tetapi dapat diukur. Eksperimen Joule, dimana gas
dapat berekspansi dengan bebas, gagal untuk memperlihatkan perbedaan temperatur yang dapat
diukur dari keadaan awal dan akhir. Selanjutnya Joule dan Thompson melakukan eksperimen yang
berbeda, eksperimen Joule-Thompson. (Gbr. 7.9).
Gas yang mengalir melalui pipa yang disekat dengan arah yang sesuai dengan arah panah; pada posisi A
dihalangi, dengan piringan berpori atau diafragma dengan lubang kecil, atau sarung tangan sutra
seperti pada eksperimen aslinya. Karena adanya halangan terjadi penurunan tekanan, yang diukur oleh
jarum pengukur M dan M`, pada aliran dari kiri ke kanan. Penurunan temperatur diukur oleh
termometer t dan t`. Pembatas dari sistem bergerak dengan gas, selalu memndekati massa yang
sama. Bayangkanlah satu mol gas melalui pembatas tersebut. Volume pada sisi kiri menurun sebesar
volume molar V ; karena gas didepan didorong oleh gas dibelakangnya, yang akan meningkatkan
tekanan menjadi p1, kerja yang dihasilkan adalah
0
Wleft   p1 dV .
V1
Volume pada sisi kanan meningkat menjadi V 2 ; gas yang maju ke depan harus mendorong gas yang ada
didepannya, yang memberikan tekanan lawan sebesar, p2. Kerja yang dihasilkan adalah
V2
Wright  
0
p 2 dV .
Kerja jaringan yang dihasilkan adalah penjumlahan keduanya
0
V2


W   p1dV   p 2 dV  p1  V 1  p 2 V 2  p 2 V 2  p1V 1 .
V1
0
Karena pipa utamanya disekat, Q = 0, kita mendapatkan penyataan hukum pertama
U 2  U 1  Q  W  ( p 2 V 2  p1V 1 ,
H 2  H1.
Entalpi dari gas konstan selama ekspansi Joule-thompson. Penurunan temperatur yang terukur -∆T
dan penurunan tekanan ∆p dikombinasikan dalam rasio
  T 
 T 

  
 .


p

p

H 
H
Koefisien Joule-Thompson μJT didefinisikan sebagai nilai pembatas dari rasio ini ketika ∆p mendekati
nol:
 T 
 JT    .
 p  H
(7.49)
Penurunan temperatur (efek Joule-Thompson) dapat dengan mudah dihitung pada eksperimen ini,
khususnya jika perbedaan tekanan besar. Suatu demonstrasi yang berisik tetapi dramatis dari efek
ini dapat dilakukan dengan membuka sebagian dari katup tangki yang berisi nitrogen yang ditekan;
setelah bebarapa menit katup cukup dingin untuk membentuk salju penutup dengan
mengkondensasikan kelembaban dari udara. Jika tangki gas hampir penuh, tekanan yang terjadi
sekitar 150 atm dan tekanan yang keluar adalah 1 atm. Dengan adanya penurunan tekanan, penurunan
temperatur yang terjadi oleh karenanya akan cukup besar.
Page 39 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
Hubungan antara μJT dan turunan (∂H/∂V)T cukup sederhana. Diferensial keseluruhan dari H,
 H 
 dp ,
dH  C p dT  
 p  T
mengungkapkan perubahan H dalam bentuk perubahan T dan p. Memungkinkan untuk mengubah T dan
p dengan tetap mempertahankan H tidak berubah jika kita menetapakan syarat dH = 0. Pada kondisi
ini hubungannya berubah menjadi
 H
0  C p dT  
 p

 dp .
T
Membagi dengan dp, kita peroleh
 T 
 H 
  
 .
0  C p 
 p  H  p  T
Dengan mempergunakan definisi dari μJT dan menyusun kembali kita mendapatkan
 H

 p

  C p  JT .
T
(7.50)
Oleh karenanya, jika kita mengukur Cp dan μJT, nilai dari (∂H/∂V)T dapat diperhitungkan dari pers.
(7.50). Ingatlah dengan menggabungkan pers. (7.50)dan (7.45) suatu nilai dari (∂U/∂V)T dapat
diperoleh dari besaran yang dapat diukur.
Koefisin Joule-Thompson bernilai positif pad temperatur dibawah temperatur kamar dan pada
temperatur kamar untuk semua gas, kecuali hidrogen dan helium, yang memiliki koefisien JouleThompson negatif. Kedua gas ini akan menjadi lebih kalor setelah mengalami ekspansi seperti pada di
atas. Setiap gas memiliki temepratur karakteristik dimana koefisien Joule-Thompsonnya bernilai
negatif.
7.16 PERUBAHAN ADIABATIK KEADAAN
Jika tidak terdapat kalor yang mengalir selama perubahan keadaan, dQ = 0, maka perubahan keadaan
tersebut adiabatik. Kita memdekati keadaan ini dengan menutupi sistem dengan lapisan bahan
penyekat atau dengan mepergunakan botol vakum untuk mengemas sistem. Untuk perubahan keadaan
adiabatik, karena dQ = 0, pernyatan hukum pertama adalah
dU = -dW,
atau, untuk perubahan keadaan yang kecil,
∆U = -W.
Dengan membalikkan pers. (7.52), kita mendapatkan bahwaW = -∆U, yang berarti bahwa kerja yang
dihasilkan, W, merupakan luapan dari penurunan energi dari sistem., -∆U. Penurunan pada energi
sistem dibuktikan dengan menurunnya temperatur dari hampir keseluruhan sistem; oleh karenanya
jika kerja dihasilkan selama perubahan keadaan adiabatik , temperatur sistem akan turun.. Jika kerja
dipakai selama perubahan adiabatik, W bernilai – , dan ∆U bernilai; kerja yang dipakai menaikkan
energi dan temperatur dari sistem.
Jika kerja yang terlibat hanya kerja tekanan-volume, pers. (7.51) menjadi
dU   Pop dV
(7.53)
Page 40 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
dimana terlihat jelas dari persamaan bahwa pada ekspansi dV bernilai + dan dU bernilai –; energi
menurun demikian pula dengan temperatur. Jika sistem dikompresi secara adiabatik, dV bernilai – dan
dU bernilai +; dimana baik energi maupun temperatur mengalami kenaikan.
7.16.1 KASUS KHUSUS: PERUBAHAN ADIABATIK PADA GAS IDEAL
Karena hukum Joule untuk gas ideal adalah dU = CvdT. Dengan mempergunakan hubungan ini pada pers.
(7.53), kita memperoleh
CvdT = -PopdV,
(7.54)
yang menunjukkan dengan jelas bahwa dT dan dV memiliki tanda yang berlawanan. Penurunan
temperatur sebanding dengan Pop, dan untuk suatu peningkatan volume tertentu akan memiliki nilai
maksimum ketika Pop memiliki nilai maksimum; dimana hal itu terjadi ketika Pop = p. Akibatnya, untuk
suatu perubahan volume tetap, ekspansi adiabatik reversibel akan menghasilkan penurunan
temperatur yang paling besar; sebaliknya kompresi adiabatik reversibel antar dua buah volume
tertentu akan menghasilkan kenaikan temperatur terkecil.
Untuk perubahan adiabatik reversibel pada gas ideal, Pop = p, dan pers. (7.54) menjadi
CvdT = – p dV.
(7.55)
Untuk mengintegrasikan persamaan ini, Cv dan p harus diungkapkan sebagai variabel dari integrasi T
dan V. Karena U hanya merupakan fungsi dari temperatur, Cv juga hanya merupakan fungsi dari
temperatur; dari hukum gas ideal, p = nRT/V. Persamaan (7.55) menjadi
C v dT  nRT
dV
.
V
Membagi dengan T untuk variabel yang terpiash dan mempergunakan C v  Cv / n , kita mendapatkan
Cv
dT
dV
 R
.
T
V
Dengan menggambarkan keadaan awal dengan T1, V1, keadaan akhir dengan T2, V2, dan
mengintegrasikan, kita mendapatkan

T2
T1
Cv
V2 dV
dT
 R
.
V1 V
T
Jika C v merupakan suatu konsatanta, maka dapat dihilangakn dari integral. Integrasinya
menghasilkan
Karena R  C p  C v
T 
V
(7.56)
C v ln  2    R ln 2 .
V1
 T1 
, maka R / C v  (C p / C v )  1    1 . Nilai dari R / C v ini mereduksi pers. (7.56)
menjadi
T 
V
ln  2   (  1) ln 2 ,
V1
 T1 
yang dapat ditulis sebagai
Page 41 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
T2  V1 
 
T1  V2 
 1
atau
T1V1 1  T2V2 1 .
(7.57)
dengan mempergunakan hukum gas ideal kita dapat mengubah persamaan ini menjadi bentuk yang
ekuivalen
T1 p11  T2 p12 ,
(7.58)
p1V1  p 2V2 .
(7.59)
Persamaan (7.59) sebagai contoh menyatakan bahwa kedua keadaan dapat dihubungkan dengan suatu
proses adiabatik reversibel yang memnuhi persyaratan bahwa pVγ = konstanta. Persamaan (7.57) dan
(7.58) dapat memberikan penafsiran yang analog. Walaupun persamaan ini lebih khusus, akan tetapi
pengunaan yang cukup sering akan ditemui untuk kedua persamaan ini.
7.17 CATATAN MENGENAI PENGERJAAN SOAL
Sejauh ini kita telah mendapatkan lebih dari 50 persamaan. Mengerjakan suatu soal akan mejadi
pekerjaan yang sulit jika kita harus mencari diantara begitu banyak baris persamaan dengan harapan
untuk menemukan persamaan yang tepat dengan cepat. Oleh karenanya hanya persamaan dasar yang
dipergunakan untuk menyelesaikan suatu soal. Kondisi yang diberikan pada soal dengan segera
membatasi persamaan dasar ini menjadi bentuk yang sederhana yang cukup jelas untuk dipakai
memperhitungkan “hal yang tidak diketahui pada soal. Sejauh ini kita hanya memiliki tujuh persamaan
dasar:
1. Rumus untuk kerja ekspansi: dW = PopdV.
2. Definisi dari energi: dU = dQ – dW.
3. Definisi dari entalpi: H = U + pV.
4. Definisi dari kapasitas kalor:
Cv 
dQv  U 

 ,
dT  T  v
Cp 
 U 

 .
dT
 T  p
dQ p
5. Konsekuensi matematis murni:
 U 
dU  Cv dT  
 dV ,
 V  T
 H
dH  C v dT  
 p

 dp .
T
Tentu saja, sangat penting untuk memahami arti dari persamaan ini dan arti dari ungkapan seperti
isotermal, adiabatik, dan revesibel. Ungakapan ini memiliki konsekuensi matematis tertentu pada
persamaan. Untuk soal yang melibatkan gas ideal, persamaan keadaan, konsekuensi matematis dari
hukum Joule, dan hubungan antara kapasitas kalor harus diketahui. Persamaan yang menyelesaikan
setiap soal harus diturunkan dari beberapa persamaan dasar ini. Metode lain dalam menyelesaikannya
seperti menghafal sebanyak mungkin persamaan hanya menghasilkan kepanikan, paralisis dan paranoia.
Page 42 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
CONTOH 7.3 Suatu gas ideal, C v 
5
R , berekspansi melawan tekanan konsatan sebesar 1 atm
2
hingga volumenya dua kali lipat. Jika temperatur awalnya adalah 25oC, dan tekanan awal 5 atm,
hitunglah T2; kemudian hitunglah Q, W,∆U, dan ∆H per mol dari gas selama perubahan.
Diketahui: keadaan awal, T1, p1, V1.
keadaan awal, T2, p2, V2.
Mol gas = n (tidak diberikan):
Pop = 1 atm.
Hukum pertama: dU = dQ – PopdV.
Keadaan: adiabatik; karenanya dQ = 0, and Q = 0. Gas ideal, oleh karenanya, dU =
CvdT. Hal ini mereduksi hukum pertama menjadi CvdT =– PopdV.
Karena Cv dan Pop konstan, hukum pertama diintegrasikan menjadi
T2
V2
T1
V1
C v  dT   Pop  dV
atau
C v (T2  T1 )   Pop (V2  V1 ) .
Kemudian
5
C v  nC v  n R ;
2
V2  V1  2V1  V1  V1 
nRT1
.
p1
Hukum pertama berubah menjadi
Pop nRT1
5
n R
2
p1
Menyelesaikan untuk V2, kita mendapatkan
 2 Pop 
 2 1 atm 
  298K 1 - 
T2  T1 1 
  274 K .
5 p1 
 5  5 atm 

Mensubstitusi unutk T2,
U  C v (T2  T1 ) 
= -500 J/mol`
5
5
R(274 K  298K )  (8.314 J/K mol)(24 K)
2
2
Maka W = – ∆U = 500 J/mol.
T2
H   C v dT  (C v  R)(T2  T1 )
T1
= (5/2R + R)(-24K)=-7/2(8.314 J/Kmol)(24 K)
= - 700 K/mol.
Catatan 1: Karena gas merupakan gas ideal, maka C p  C v  R .
Catatan 2: nilai dari n tidak iperlukan untuk menghirung T2. Kaarena nilai n tidak diberikan, kita hanya
dpat emnghitung nilai W, ∆U, dan ∆H permol dari gas.
7.18 PENGGUNAAN HUKUM PERTAMA TERMODINAMIK: KALOR PEMBENTUKAN
Jika reaksi kimia terjadi dalam sistem, temperatur dari sistem setelah reaksi umumnya akan berbeda
dengan temperatur sistem sebelum reaksi. Untuk mengembalikan temperatur sistem ke temperatur
semula, kalor harus mengalir dari dari atau ke lingkungan. Jika sistem menjadi lebih dari sebelumnya,
kalor harus mengalir kelingkungan untuk mengembalikan sistem ke temperatur awalnya. Pada kejadian
ini reaksi bersifat eksoterm; dengan konvensi kalor yang mengalir, kalor reaksi adalah negatif. Jika
sistem menjadi lebih dingin setelah reaksi terjadi, kalor harus mengalir dari lingkungan untuk
mengembalikan sistem ke temperatur awalnya. Pada kejadian ini reaksi bersifat endoterm; dan pana
dari reaksi positif. kalor reaksi merupakan pnas yang diserap dari lingkungan dalam perubahan dari
reaktan menjadi produk pada T dan p yang sama.
Page 43 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
Di laboratorium kebanyakan reaksi kimia dilakukan pada tekanan konstan; oleh karenanya kalor yang
diserap dari lingkungan sebanding dengan perubahan entalpi sistem.Untuk menghindari rancunya
perubahan entalpi dengan reaksi kimia dan dihubungkan dengan perubahan temperatur atau tekanan
dari sistem, keadaan awal dan akhir pada sistem harus memiliki temperatur dan tekanan yang sama.
Sebagai contoh, pada reaksi
Fe2O3(s) + 3 H2(g)
2Fe(s) + 3H2O(l),
keadaan awal dan akhir adalah:
Keadaan awal
Keadaan akhir
T,p
T,p
1
mol
Fe2O3 2 mol Fe padat
padat
3 H2O cair
2 mol gas H2
Karena keadaan agregasi dari semua zat harus disebutkan, maka huruf s, l, dan g dituliskan setelah
rumus dari zat. Anggapalah bahwa perubahan keadaan terjadi dalam dua tahap. Pada langkah pertama,
reaktan pada T dan p, berubah secara adiabatik menjadi produk pada T’ dan p.
Langkah 1
Fe2O3(s) + 3 H2(g)
2Fe(s) + 3H2O(l).
T, p
T’, p
Pada tekanan konstan, DH = Qp; tetapi, karena langkah pertama adiabtik, (Qp)1 = 0 dan ∆H = 0. Pada
langkah kedua, sistem ditempatkan pada reservoir yang panas pada temperatur awal T. kalor mengalir
ke atau dari reservoir ketika produk dari reaksi kembali kembali ke temperatur awal.
Langkah 2
2Fe(s) + 3H2O(l)
Fe2O3(s) + 3 H2(g),
T’, p
T, p
Dimana ∆H = Qp. Penjumlahan dari kedua langkah merupakan perubahan keseluruhan dari keadaan.
Fe2O3(s) + 3 H2(g)
2Fe(s) + 3H2O(l)
Dan ∆H untuk keseluruhan reaksi merupakan penjumlahan dari perubahan entalpi pada kedua langkah:
∆H = ∆H1 + ∆H2 = 0 + QP,
∆H =Qp,
(7.60)
Dimana Qp merupakan kalor reaksi, peningkatan entalpi sistem dihasilkan dari reaksi kimia yang
terjadi.
Peningkatan entalpi pada reaksi kimia dapat dilihat dengan cara yang berbeda. Pada tekanan dan
temperatur tertentu, entalpi molar H dari setiap zat memiliki nilai tertentu. Untuk sembarang
reaksi kita dapat menuliskan
∆H = Hakhir - Hawal
(7.61)
Akan tetapi entalpi pada keadaan awal atau akhir merupakan penjumlahan entalpi zat yang ada pada
awal atau akhir. Sebagai contoh,
Page 44 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
∆Hakhir = 2 H (Fe,s) + 3H (H2O, l),
∆Hawal = H (Fe2O3,s) + 3H (H2, g),
Dan pers. (7.61) menjadi
H  [2H ( Fe, s)  3H ( H 2O, l )  [ H Fe2O3 , s)  3H ( H 2 , g )] .
(7.62)
Terlihat bahwa mengukur ∆H akan mengarah pada keempat entalpi molar pada pers. (7.62). Akan
tetapi, terdapat empat hal yang tidak diketahui dan hanya satu persamaan.
7.19 REAKSI PEMEBENTUKAN
Kita dapat menyederhanakan hasil pada persamaan (7.62) dengan mempergunakan reaksi pembentukan
dari senyawa. REaksi pembentukan dari suatu senyawa memiliki satu mol senyawa dan tidak terdapat
apa-apa pada sisi produk; hanya unsur pada keadaan atau agregasi yang stabil yang terdapat pada sisi
reaktan. Peningkatan entalpi pada reaksi semacam ini merupakan kalor pembentukan, atau entalpi
pembentukan senyawa, ∆Hf. Reaksi berikut merupakan contoh dari reaksi pemebntukan.
H2 + ½ O2
2Fe(s) 3/2O2(g)
½ H2(g) + ½ Br2(g)
½ N2 + 2H2(g) + ½ Cl2(g)
Jika ∆H untuk reaksi-reaksi ini dituliskan dalam bentuk
untuk dua persamaan pertama,
H2O (l)
Fe2O3(s)
HBr(g)
NH4Cl(s)
entalpi molar dari zat, kita mendapatkan
H f ( H 2 O, l )  H ( H 2 O, l )  H ( H 2 , g )  12 H (O2 , g )
H f ( Fe2 O3 , l )  H ( Fe2 O3 , l )  2H ( Fe, g )  32 H (O2 , g )
Menyelesaikan entalpi molar senyawa untuk setiap contoh, kita mendapatkan
H ( H 2 O, l )  H ( H 2 , g ) 
1
2
H (O2 , g )  H f ( H 2 O, l )
H ( Fe2 O3 , s)  2 H ( Fe, s)  32 H (O2 , g )  H f ( Fe2 O3 , s)
Persamaan ini menunjukkan bahwa entalpi molar dari senyawa sama denga jumlah keseruhan entalpi
dari unsur-unsur yang menyusun senyawa ditambah dengan entalpi dari pembentukan senyawa. Oleh
karenanya kita dapat menuliskan untuk sembarang senyawa,
H senyawa  H (unsur)  H f (senyawa) ,
(7.64)
dimana ∑∆H (unsur) merupakan keseluruhan entalpi dari unsur (dalam keadaan agregasi yang stabil)
dalam senyawa.
Selanjutnya kita menyisipakan nilai H (H2O, l) dan H (Fe2O3, s) yang didapatkan dari pers. (7.63)
kedalam pers. (7.62); hal ini menghasilkan
H  2 H ( Fe, s)  3[ H ( H 2 , g )  12 H (O2 , g )  H f ( H 2 O, l )]
 [2 H ( Fe, s)  32 H (O2 , g )  H f ( Fe2 O3 , s)]  3H ( H 2 , g )
Mengumpulkan bentuk-bentuk yang mirip, menjadi
H  3H f ( H 2 O, l )  H f ( Fe2 O3 , s )
(7.65)
Persamaan 7.65 menyatakan bahwa perubahan entalpi reaksi hanya bergantung pada kalor
pembentukan senyawa pada reaksi. Perubahan entalpi tidak bergantung pada entalpi entalpi pada
keadan agregasinya yang stabil. Entalpi dari pembentukan 1 mol senyawa pada tekana 1 atm merupakan
Page 45 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
entalpi pembentukan standar, ∆Hfo. Nilai dari ∆Hfo pada 25oC ditabelkan pada Appendix V,Tabel A-V,
untuk sejumlha senyawa.
7.20 NILAI KONVENSIONAL DARI ENTALPI MOLAR
Entalpi molar H dari sebarang senyawa merupakan fungsi dari T dan p; H = H (T,p). Menentukan p = 1
atm sebagai tekanan standar, kita mendefinisikan entlapi molar standar dari suatu senyawa sebagai
o
H  H (T ,1 atm) .
(7.66)
Jelaslah bahwa H o hanya merupakan fungsi dari temperatur. Entalpi dari setiap unsur pada keadaan
agregasi stabilnya pada tekanan 1 atm dan temperatur 298,15 K diberi nilai nol. Sebagai contoh, pada
pada tekanan 1 atm dan temperatur 298,15 K keadaan agregasi stabil brom adalah cairan.
Untuk unsur padatan yang memiliki lebih dari satu bentuk kristal, nilai H
o
= 0 diberikan pada
bentuk yang paling stabil demikian juga untuk spesies molekuler yang memiliki lebih dari satu
bentuk yang stabil; sebagai contoh untuk karbon dalam bentuk intan dan grafit, nilai nol
diberikan untuk grafit.
Jika nilai entalpi standar unsur pada 298, 15 K telah ditetapkan, nilai dari entalpi pada temperatur
lain dapat diperhitungkan. Karena pada tekanan konstan, d H
T

T
298
o
o
T
H T  H 298   C p dT
o
o
T
o
298
298
o
o
 C dT , maka
H T  H 298   C p dT ,
d H   C p dT ,
o
o
o
298
(7.67)
yang benar baik untuk unsur maupun senyawa; untuk unsur bagian pertama pada sisi kanan bernilai nol.
Menggunakan definisi dari kalor pembentukan, jika kita menggunakan penetapan yang biasa,
H o(unsur) = 0, pada ungkapan kalor pembentukan, pers. (7.63) atau (7.64), kita mendapatkan untuk
sebarang senyawa
o
H  H o f .
(7.68)
∆Hfo
kalor pembentukan standar
yang merupakan entalpi molar dari senyawa relatif terhadap unsur
yang menyusunnya. Sesuai dengan hal ini, kalor pembentukan ∆Hfo dari semua senyawa dalam rekasi
diketahui, kalor pemebntukan dapat diperhitungkan dari persamaan yang dirumuskan dalam bentuk
pers. (7.62).
7.21 PENENTUAN KALOR PEMBENTUKAN
Dalam beberapa hal dimungkinkan untuk mengukur pana pembentukan dari suatu senyawa secara
langsung dengan melangsungka reaksi pembentukan di dalam suatu kalorimeter dan mengukur kalor
yang dihasilkan.
Contoh:
C(grafit) + O2(g)
CO2(g),
∆Hfo = -393,51 kJ/mol
H2(g) + ½ O2(g)
H2O(l),
∆Hfo = -393,830 kJ/mol
Hal ini hanya dapat dilakukan untuk reaksi yang bisa dilangsungkan di dalam kalorimeter, sedangkan
untuk reaksi yang tidak memungkinkan untuk berlangsung didalam kalorimeter, maka kalor
pembentukan ditentukan secara tidak langsung.
Terdapat suatu metode yang secara umum dapat dipergunakanuntuk bahan-bahan yang mudah
terbakar untuk membentuk suatu produk tertentu. kalor pembentukan dari suatu senyawa dapat
diperhitungkan nilai yang terukur dari kalor pembakaran dari senyawa. Reaksi pembakaran
mempergunakan satu mol zat untuk dibakar pada sisi reaktan, dengan oksigen sejumlah yang
diperlukan untuk membakar zat seluruhnya; senyawa organik yang hanya mengandung karbon, hidrogen
dan oksigen terbakar menjadi gas karbon dioksida dan air.
Sebagai contoh, reaksi pembakaran untuk metana adalah
Page 46 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
CH4(g) + 2O2(g)
CO2(g) + 2H2O(l).
Nilai kalor pemakaran yang terukur adalah ∆Hocomb = - 890,36 kJ/mol. Dalam bentuk entalpi untuk
satu zat tunggal,
o
o
o
o
H comb
 H (CO2 , g )  2 H ( H 2 O, l )  H (CH 4 , g )
o
Menyelesaikan persamaan ini untuk H (CH 4 , g ) ,
o
o
o
(CH 4 , g )  H (CO2 , g )  2 H ( H 2 O, l )  H comb
H
o
(7.69)
Enalpi molar untuk CO2 dan H2O diketahui dengan ketepatan yang inggi; dari informasi ini dan
pengukuran kalor pembakaran,, entalpi molar dari metana (kalor pembentukan) dapat dihitung dengan
mempergunakan pers. (7.69).
o
H  393,51  2(285,8.)  (890,36)
 965,17  890,36  -74,81 kJ/mol
7.21 RANGKAIAN REAKSI; HUKUM HESS
Perubahan keadaan pada suatu reaksi kimia memiliki bentuk tertentu, demikian pula perubahan
entalpinya, karena entalpi merupakan fungsi dari keadaan. Oleh karenanya jika kita mengubah suatu
rangkaian reaksi tertentu menjadi rangkaian reaksi dengan bentuk lain, penjumlahan total entalpi
harus sama unstuk setiap rangkaian. Aturan ini merupakan konsekuensi dari hukum pertama
termodinamika, yang aslinya dikenal sebagai hukum penjumlahan kalor konstan Hess. Mari kita
bandingkan dua metode berbeda untuk mensintesis natrium klorida dari natrium dan klorida.
Metode 1
perubahan
keseluruhan
Na(s) + H2O(l)
NaOH(s) + ½ H2(g),
∆H = -139,78 kJ/mol
½ H2(g) + ½ Cl2(s)
HCl(g),
∆H = -92,31 kJ/mol
HCl(g) + NaOH(s)
NaCl(s) + H2O(l),
∆H = -179,06 kJ/mol
Na(s) + ½ Cl2(g)
NaCl(s),
∆H = -411,45 kJ/mol
½ H2(g) + ½ Cl2(s)
HCl(g),
∆H = -92,31 kJ/mol
Na(s) + HCl(g)
NaCl(s) + ½ H2(g),
∆H = -318,84 kJ/mol
Metode 2.
perubahan
Na(s) + ½ Cl2(g)
NaCl(s),
∆H = -411,45 kJ/mol
keseluruhan
Perubahan kimia keseluruhan didapatkan dengan menambahkan semua reaksi pada rangkaian;
perubahan entalpi keseluruhan harus sama untuk semua rangkaian yang menghasilkan perubahan kimia
yang sama. Sejumlah reaksi dapat ditambahkan atau dihilangkan untuk menghasilkan reaksi kimia yang
diinginkan; perubahan entalpi dalam reaksi ditambahkan dan dikurangkan secara aljabar.
Jika reaksi kimia tertentu digabungkan dalam suatu rangkaian dengan kebalikan dari reaksi yang
sama, maka hal ini tida akan menghasilkan efek, dan ∆H untuk penggabungan ini adalah nol. Hal ini
Page 47 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
menunjukkan bahwa ∆H untuk reaksi yang berkebalikan adalah sama akan tetapi dengan tanda yang
berkebalikan pula.
Penggunaan dari sifat ini, yang sebenarnya menunjukan bahwa perubahan entalpi dalam sistem tidak
bergantung pada jalur, ditunjukkan dengan rangkaian
1)
C (grafit) + ½ O2(g)
CO(g),
∆H1,
2)
CO(g) + ½ O2(g)
CO2(g)
∆H2.
Perubahan keseluruhan pada rangkaian reaksi adalah
3)
C(grafit) + O2(g)
CO2(g),
∆H3.
Oleh karenanya ∆H3 = ∆H1 + ∆H2. Cara ini memungkinkan ∆H2 dan ∆H3 dapat diukur dengan
kalorimeter, sedangkan ∆H1 tidak dapat diukur. Karena nilai ∆H dapat diperhitungakn dari kedua
nilai lainnya, sehingga pengukurannya tidak diperlukan.
4)
C(grafit) + CO2(g)
2CO(g)
7.24 KALOR REAKSI PADA VOLUME KONSTAN
Jika terdapat reaktan atau produk yang bersifat gas dalam suatu reaksi kalorimetrik, maka reaksi
tersebut harus dilangsungkan dalam wadah yang kedap. Kondisi ini menyebabkan sistem berada dalam
volme konstan pada awal dan akhir reaksi. Pengukuran kalor reaksi akan sebanding dengan peningkatan
energi:
(7.70)
QV  U
Perubahan keadaannya adalah
R(T, V, p)
P(T, V, p’),
dimana R(T, V, p) merepresentasikan reaktan pada keadaan awal T, V, p; dan P(T, V, p’)
merepresentasikan produk pada keadaan akhirnya T, V, p’. Temperatur dan volume tetap konstan,
tetapi tekanan dapat berubah dari p menjadi p’ selama perubahan.
Untuk menghubungkan ∆U pada pers. (7.70) dengan ∆H, kita mendefinisikan persamaan untuk H pada
keadaan awaldan akhir:
H akhir  U akhir  pV ' ,
H awal  U awal  pV .
Menggabungkan kedua persamaan kita mendapatkan
H  U  ( p' p)V .
(7.71)
Tekana awal dana khir dalam wadah ditentukan dengan jumlah mol dari gas yang ada pada awal dan
akhir; dengan mengasumsikan gas berperilaku ideal, kita mendapatkan
p
n R RT
,
V
p' 
nP RT
,
V
dimana nR dan nP merupakan jumlah mol total dari reaktan dan produk gas dalam reaksi. Persamaan
(7.71) menjadi
H  U  (nP  nR ) RT ,
H  U  nRT .
(7.72)
∆H dalam pers. (7.72) merupakan perubahan pada volume konstan. Untuk mengubahnya menjadi nilai
yang sesuai untuk perubahan pada tekanan konstan, kita harus menambahkannya pada perubahan
entalpi dari proses:
P(T, V, p’)
P(T, V’, p).
Untuk perubahan tekanan pada temperatur konstan, perubahan entalpi mendekati nol (Bagian 7.15)
dan tepat nol jika gas merupakan gas ideal. Oleh karenanya untuk maksud praktis ∆H dalam pers.
Page 48 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
(7.72) sama dengan ∆H pada proses dengan tekanan konstan, sedangkan ∆U mengarah pada
perubahan pada volume konstan. Pendekatan yang baik, pers. (7.72) dapat diinterpretasikan sebagai
Q p  QV  nRT .
(7.73)
Melalui pers. (7.72) dan (7.73) pengukuran pada kalorimeter bomb, QV = ∆U, dikonversi menjadi nilai
Qp = ∆H.
CONTOH 7.5 Perhatikanlah reaksi pembakaran asam benzoat dalam kalorimeter bomb:
C6H5COOH(s) + 152 O2(g)
7CO2(g) + 3H2O(l).
Pada reaksi ini, nP = 7, sedangkan nR =
15
2
. Oleh karenanya ∆n = 7 -
mendapatkan
Qp = QV – ½ (8,3144 J/K mol)(298,15 K),
15
2
= -½ , T = 298,15 K; kita
Qp = QV - 1239 J/mol.
7.25 KEBERGANTUNGAN KALOR REAKSI PADA TEMPERATUR
Jika kita mengetahui nilai dari ∆Ho untuk reaksi pada temperatur tertentu, katakanlah 25oC, maka
kita dapat menghitung kalor reaksi bagi temperatur lain jika kapasitas kalor dari semua zat yang
terlibat diketahui. ∆Ho untuk sebarang reaksi adalah
H o  H o (produk)  H o (reaktan) .
Untuk mendapatkan kebergantungan kuantitas ini pada temperatur kita mendeferensiasikan dengan
temperatur:
dH o dH o
dH o

(produk) 
(reaktan) .
dT
dT
dT
Dengan definisi, dHo/dT = Cop. Oleh karenanya,
dH o
 C po (produk)  C po (reaktan)
dT
dH o
 C po .
dT
(7.74)
Ingatlah bahwa karena Ho dan ∆Ho hanya merupakan fungsi dari temperatur (Bagian 7.20), maka
turunan ini merupakan turunan biasa dan bukan turunan parsial.
Menuliskan pers. (7.74) dalam bentuk diferensial, kita mendapatkan
dH o  C po dT .
Mengintegrasikan persamaan antara temperatur tertentu To dan T, kita mendapatkan

T
To
T
dH o   dC po dT .
To
Integral dari diferensial pada sisi kiri adalah ∆Ho, yang dievaluasi antara limit, menjadi
T
H To  H Too   dC po dT .
To
Menyusun kembali kita mendapatkan
T
H To  H Too   dC po dT .
To
(7.75)
Mengetahui nilai dari peningkatan entalpi pada temperatur tetap To, kita dapat memperhitungkan
bahwa nilai dari sebarang temperatur lain T, mempergunakan pers. (7.75). Jika zat mengalmi
perubahan keadaan agregasi pada rentang temperatur tersebut, perubahan entalpi yang berhubungan
juga harus dimasukkan.
Jika rentang temperatur terpenuhi dalam integrasi dari persamaan (7.75) cukup pendek, kapasitas
kalor dari semua zat yang terlibat harus dianggap konstan. Jika rentang temperatur sangat besar,
kapasitas kalor harus dianggap sebagai funsi dari temepratur. Untuk kebanyakan zat fungsi ini
memiliki bentuk
Page 49 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
C p  a  bT  cT 2  dT 3  ...,
(7.76)
dimana a, b, c. d,…merupakan kosntanta untuk bahan tertentu. Pada tabel 7.1 diberikan nilai dari
konstanta ini untuk beberapa zat.
7.26 ENTALPI IKATAN
Jika kita memperhatikan atomisasi dari molekul gas diatomik,
O2 (g)
2O(g)
o
H 298
 498,34 kJ/mol,
nilai 498,34 kJ disebut entalpi ikatan dari molekul oksigen.
Kita dapat menulis hal yang sama untuk
H2O (g)
2H(g) + O(g)
o
H 298
 926,98 kJ/mol,
dan ½ (926,98) = 463,49 kJ/mol merupakan entalpi ikatan rata-rata untuk ikatan O – H pada air.
Prosedur yang sama dapat juga dipergunakan untuk molekul dengan ikatan yang ekuivalen seperti H2O,
NH3, dan CH4.
Sebaliknya jika kita berhadapan dengan molekul yang memiliki dua ikatan yang berbeda seperti H2O2,
kita harus menggunakan beberapa asumsi baru. Asumsi yang bias adibuat adalah bahwa ikatan OH
rata-rata pada H2O2 sama dengan yang ada pada air. Entalpi untuk atomisasi H2O2 adalah
H2O2 (g)
2H(g) + 2O(g) H 298  1070,6 kJ/mol,
o
Jika mengurangkan dengan entalpi dua ikatan OH pada air kita mendapatkan: 1070,6 – 927,0 = 143,6
kJ.mol sebagai kekuatan dari iakatan tunggal O – O. Jelaslah bahwa metode ini tidak menjamin
pembagian ini, adankita mengatakan ikatan tunggal O – O memiliki kekuatan sekitar 144 kJ/mol.
kalor pembentukan dari atom harus diketahui sebelum kita dapat menghitung kekuatan ikatan.
Beberapa nilai ini diberikan pada Tabel 7.2
8 Pengenalan Pada Hukum Kedua Termodinamik
8.1 PENGANTAR UMUM
Hukum pertama telah memberitahu kita arah mana yang lebih dipilih dalam suatu reaksi kimia. Hukum
kedua akan lebih jauh menerangkan mengenai arah alami dan arah yang tidak alami dari suatu reaksi
kimia. Sifat sistem yang menentukan ini adalah entropi. Untuk memberikan landasan untuk definisi
matematis dari entropi kita harus mengkaji secara singkat mengenai karakteristik dari transformasi
siklik, dan selanjutnya barulah kita dapat mempergunakannya untuk sistem kimia dan implikasi hukum
kedua secara kimiawi
8.2 SIKLUS CARNOT
Sadi Carnot seorang insinyur Perancis meneliti prinsip yang mengatur perubahan energi termal,
“kalor,” menjadi energi mekanik, kerja. Ia mendasarkan pembahasannya pada perubahan siklik dari
sistem yang sekarang disebut siklus Carnot. Siklus Carnot terdiri dari empat langkah reversibel, dan
merupakan siklus reversibel. Sistem mengalami perubahan keadaan yang reversibel yang terus
menerus:
Langkah 1. Ekspansi isotermal.
Langkah 2. Ekspansi adiabatik.
Langkah 3. Kompresi isotermal.
Langkah 4. Kompresi adiabatik.
Karena massa dari sistem tetap, keadaan dapat dua dari tiga variabel T, p,V. Suatu sistem yang hanya
menghasilkan kerja dan kalor pada sekelilingnya disebut mesin kalor. Reservoir kalor merupakan suatu
sistem yang temperaturnya sama pada setiap bagiannya; temperatur ini tidak dipengaruhi oleh
transfer sejumlah kalor yang diinginkan dari dan kedalam reservoir.
Bayangkanlah bahwa bahan yang menyusun sistem, zat yang “bekerja”, dibatasi dalam suatu silinder
yang ditutup dengan piston. Pada langkah pertama silinder direndam dalam reservoir kalor pada
Page 50 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
temperaur T, dan diekspansi isotermal dari volume awal V1 ke volume V2. Kemudin silinder dikeluarkan
dari reservoir, disekat, dan langkah kedua, diekspansi secara adiabatik dari V2 ke V3; pada langkah ini
temperatur sistem turun dari T1 ke temperatur yang lebih rendah T2. Sekat dihilangkan dan silinder
ditempatkan dalam reservoir kalor pada T2. Pada langkah 3 sistem dikompresi secara isotermal dari
V3 menjadi V4. Silinder diangkat dari resevoir dan disekat lagi. Pada langkah 4 sistem dikompresi
secara adiabatik dari V4 ke volume awal V1. Pada kompresi adiabatik ini, temperatur naik dari T2
menjadi temperatur awal T1. Oleh karenanya, seperti pada siklus biasanya, sistem dikembalikan ke
keadaan awalnya.
Keadaan awal dan akhir serta aplikasi dari hukum pertama pada setiap langkah pada siklus Carnot
digambarkan pada Tabel 8.1. Untuk siklus, ΔU = 0 = Qcy – Qcy, atau
Wcy = Qcy.
Menjumlahkan pernyataan hukum pertama untuk keempat langkah menghasilkan
Wcy = W1 + W2 + W3 + W4,
Qcy = Q1 + Q2.
Menggabungkan pers. (8.1) dan (8.3), kita mendapatkan
(8.1)
(8.2)
(8.3)
Wcy = Q1 + Q2.
(8.4)
(Ingatlah bahwa subskrip pada Q telah dipilih untuk berhubungan dengan subsrip pada T). Jika Wcy
positif, kerja dihasilkan sebagai kelebihan energi termal dari sekeliling. Sistem tidak mengalami
perubahan total pada siklus.
8.3 HUKUM KEDUA TERMODINAMIK
Hal penting mengenai pers. (8.4) adalah bahwa Wcy merupakan penjumlahan dari kedua suku, yang
berhubungan dengan temperatur berbeda. Kita mungkin dapat membayangkan suatu proses siklik yang
rumit yang melibatkan banyak reservoir kalor pada temperatur berbeda; untuk kasus seperti ini
Wcy = Q1 + Q2 + Q3 + Q4 + …,
(8.4)
dimana Q1 merupakan kalor yang diserap dari reservoir pada T1, Q2 merupakan kalor yang diserap dari
reservoir pada T2, dan selanjutnya. Beberapa dari nilai Q akan memiliki tanda positif, beberapa akan
bertanda negatif; perubahan keseluruhan merupakan penjumlahan aljabar dari semmua nilai Q.
Memungkinkan untuk membagi proses siklik sehingga nilai Qcy positif; sehingga setelah siklus
sebenarnya massa lebih tinggi dari sebelumnya. Hak ini dapat dilakukan dengan cara yang rumit
mempergunakan banyak reservoir dengan temperatur yang berbeda-beda, atau dapat dilakukan hanya
dengan dua reservoir pada temperatur yang berbeda, seperti pada siklus Carnot. Akan tetapi
eksperimen telah menunjukkan bahwa tidak mungkin untuk membangun mesin dengan hanya
mempergunakan satu resevoir kalor (bandingkan dengan Bagian 7.6). Olehkarenanya, jika
Wcy = Q1,
Dimana Q merupakan kalor yang diserap dari reservoir kalor tunggal pada temperatur yang seragam,
maka Wcy haruslah bernilai negatif atau paling bagus nol; maka,
Wcy ≤ 0.
Eksperimen ini membuktikan hukum kedua termodinamik. Tidaklah mungkin untuk sebuah sistem yang
bekerja dalam siklus dan berhubungan dengan reservoir kalor tunggal untuk menghasilkan sejumlah
Page 51 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
kerja positif pada sekeliling. Pernyataan ini sama dengan yang diajukan oleh Kelvin sekitar tahun
1850.
8.4 KARAKTERISTIK DARI SIKLUS REVERSIBEL
Sesuai dengan hukum kedua, proses siklik sederhana dapat menghasilkan sejumlah kerja bernilai
positif pada sekeliling harus melibatkan setidaknya dua reservoir kalor pada temperatur yang
berbeda. Mesin Carnot beroperasi dengan siklus semacam itu; karena kesederhanaannya mesin ini
menjadi prototip dari mesin siklus kalor. Sifat penting dari siklus Carnot adalah kerevesibelannya.
Pada suatu transformasi siklik, disyaratkan adanya reversibilitas , setelah satu siklus penuh keadaan
harus dikembalikan ke awal
8.5
EFISIENSI MESIN KALOR
Efisiensi dari mesin kalor, e, didefinisikan sebagai rasio dari kerja yang dihasilkan terhadap kuantitas
kalor yang dikeluarkan dari reservoir temperatur tinggi:
e
W
Q1
(8.5)
Tetapi, karena W = Q1 + Q2,
e  1
8.6
Q1
Q2
(8.6)
MESIN LAIN YANG TIDAK MUNGKIN
Kita membayangkan dua buah mesin Er dan E’, keduanya beroperasi pada suatu siklus diantara dua
reservoir kalor yang sama. Pertanyaannya, apakah mungkin efisiensi dari kedua mesin ini berbeda?
Kedua mesin dapat memiliki desain yang berbeda dan bekerja dengan cara yang berbeda. Anggaplah Er
adalah mesin yang reversibel, dan mesin E’ bisa berupa mesin reversibel atau tidak. Reservoirnya
adalah T1 dan T2; T1 > T2. Untuk mesin Er kita dapat menuliskan
W = Q1 + Q2,
(siklus maju)
– W = – Q1 + (–Q2)
(siklus kebalikan).
Untuk mesin E’
W’ = Q’1 + Q’2 (siklus maju).
Anggaplah kita menjalankan mesin Er, dengan siklus terbaliknya dan memasangkannya dengan mesin E’
yang berjalan dengan siklus maju. Hal ini akan memberikan kita mesin siklik komposit yang
menghasilkan kalor dan efek kerja yang secara sederhana merupakan penjumlahan dari masing-masing
efek yang berasal dari tiap-tiap siklus:
– W + W’ = – Q1 + (–Q2) + Q’1 + Q’2.
(8.7)
Dengan membuat mesin Er pada ukuran yang sesuai, dan kita mencocokkan hingga – W + W’ = 0, atau
W = W’
(8.8)
Persamaan (8.7) dapat disusun kembali dalam bentuk
– Q1 - Q’1 = –(Q2 - Q’2).
(8.9)
Kita selanjutnya menguji efek kalor ini pada reservoir dengan asumsi bahwa efisiensi dari E’ lebih
besar dari Er, dimana,
ε’ > ε.
Dengan definisi efisiensi, hal berakibat
W' W

.
Q '1 Q1
Karena pers. (8.8), W = W’, pertidaksamaannya berubah menjadi
1
1

.
Q '1 Q1
Page 52 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
Yang ekuivalen dengan Q1 > Q’1, atau
Q’1 - Q1 < 0, (bernilai negatif).
Kalor yang diserap dari reservoir pada T1 adalah Q’1 dengan E’ berjalan maju, dan –Q1 dengan Er
berjalan terbalik. Total kalor yang diserap T1 merupakan penjumlahan dari keduanya, Q’1 - Q1 dan
sesuai dengan ungkapan diatas bernilai negatif. Jika kalor yang diserap dari reservoir bernilai
negatif, maka sebenarnya kalor mengalir menuju reservoir. Kalor yang diserap dari reservoir pada T2
adalah, Q’2 – Q2 dan sesuai dengan ungkapan pada pers. (8.9) bernilai positif. Kalor dilepaskan dari
reservoir pada T2. Jumlah yang beragam ditabulasikan pada Tabel 8.2.
Alasan yang mendasari mesin yang mustahil ini hanya berlandaskan pada hukum pertama dan sebuah
asumsi bahwa efisiensid ari E’ lebih besar dari Er merupakan sebuah kesalahan. Oleh karenanya kita
menyimpulkan bahwa efisiensi dari mesin E’ harus lebih kecil dari atau sama dengan efisiensi dari
mesin reversibel Er, kedua mesin beroperasi diantara dua reservoir temperatur yang sama:
(8.10)
 ' 
Hubungan pada pers. (8.10) merupakan konsekuensi penting lainnya dari hukum kedua. Mesin E’ bisa
berupa mesin apa saja, sedangkan mesin Er merupakan mesin reversibel. Bayangkanlah dua buah mesin,
dengan efisiensi ε1 dan ε2. Karena yang kedua reversibel, efisiensi dari yang pertama haruslah sama
atau kurang dari yang kedua, dengan pers. (8.10):
(8.11)
1   2 .
Akan tetapi mesin pertama reversibel; oleh karenanya dengan pers. (8.10) efisiensi dari yang kedua
harus sama atau kurang dari yang pertama:
(8.12)
 2  1 .
Persamaan (8.11) dan (8.12) keduanya akan terpenuhi jika
1   2 .
(8.13)
Persamaan (8.13), merupakan konsekuensi dari hukum kedua, yang berarti bahwa semua mesin
reversibel yang beroperasi diantara dua reservoir temperatur yang sama memiliki efisiensi yang
sama.
Menurut pers. (8.13) efisiensi tidak bergantung mesin, dan tidak bergantungd ari ranmcangan maupun
cara kerja mesin. Pengaruh hanya datang dari rservoir; nilai yang terdapat pada reservoir hanyalah
temperatur. Maka, efisiensi hanya merupakan fungsi dari temperatur:
Q2
 g (T1 , T2 ).
Q1
(8.15)
8.7 SKALA TEMPERATUR TERMODINAMIK
Untuk suatu mesin reversibel, efisiensi dan rasio Q2/Q1 dapat diperhitungkan secara langsung melalui
jumlah kerja yang terukur dan kalor yang mengalir ke sekeliling. Sehingga kita memperoleh sifat-sifat
yang hanya bergantung pada temperatur saja. Akibatnya dari sifat-sifat ini dimungkinkan untuk
menetapkan skala temperatur yang tidak bergantung pada sifat dari zat, skala baru ini bersifat
absolut atau skala temperatur termodinamik.
Jika kita menjalankan suatu mesin kalor pada temperatur empiris yang rendah t0, dan kalor yang
diserap dari reservoir adalah Q0. Jika mesin ini bekerja pada reservoir dengan temperatur empiris t
yang lebih tinggi, sejumlah Q kalor akan mengalir dari reservoir ini dan akan dihasilkan kerja dalam
jumlah positif. Dengan mempertahankan t0 dan Q0 konstan, kita meningkatkan temperatur dari
reservoir lain hingga t’. Secara eksperimental kita mendapatkan bahwa Q’ jumlah kalor yang diserap,
lebih banyak pada saat t’. Sehingga kalor yang diserap dari reservoir dengan temperatur yang tinggi
meningkat seiring dengan meningkatnya temperatur. Untuk alasan ini kita memilih kalor yang diserap
dari reservoir temperatur tinggi sebagai sifat termometrik. Kita dapat mendefinisikan temperatur
termodinamik θ dengan
Page 53 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
Q = aθ
(8.16)
dimana a merupakan konstanta dan Q merupakan kalor yang diserap dari reservoir. Dengan menuliskan
persamaan (8.15) dengan notasi untuk keadaan seperti ini, menjadi Q0/Q = g(t,t0). Dari hal ini jelaslah
bahwa Q0 dan t0 bernilai konstan, maka iQ akan hanya menjadi fungsi dari t saja. Pada pers. (8.16)
kita kita sepakat menetapkan Q sebagai fungsi yang sederhana dan tepat dari temperatur absolut.
Kerja yang dihasilkan dalam siklus ini adalah W = Q + Q0, yang mana mempergunakan pers. (8.16)
menjadi
W = aθ + Q0.
(8.17)
Jika reservoir dengan temperatur yang lebih tinggi didinginkan hingga mencapai θo, siklus tersebut
berubah menjadi siklus isotermal dan tidak ada kerja yang dapat dihasilkan. Karena ini merupakan
siklus yang reversibel, W = 0, maka 0 = aθ + Q0; karenanya;
Qo = - aθo. Maka pers. (8.17)
menjadi
(8.18)
W  a(   o ).
Untuk efisiensi kita mendapatkan

  o
.

(8.19)
Karena tidak terdapat hal istimewa mengenai temperatur dari reservoir yang dingin, kecuali bahwa
θ>θo, pers. (8.18) dan (8.19) berlaku untuk sebarang mesin kalor yang beroperasi diantara dua
temperatur termodinamik θ dan θo. Persamaan (8.18) menunjukkan bahwa kerja yang dihasilkan dari
mesin kalor reversibel proporsional terhadap selisih temperatur pada skala termodinamik, sedangkan
efisiensi sama dengan rasio dari selisih temperatur dengan temperatur reservoir panas. Rumus
Carnot, pers. (8.19), yang menghubungkan efisiensi dari mesin reversibel dengan temperatur dari
reservoir kemungkinan merupakan salah satu rumus termodinamika yang paling berharga.
Lord Kelvin merupakan orang pertama yang mendefinisikan skala temperatur termodinamik, yang
untuk penghormatan atas dirinya dinamakan serupa dengan namanya. Temperatur gas ideal dengan
temperatur skala Kelvin identik secara numerik. Akan tetapi skala Kelvin lebih mendasar dari skala
temperatur gas ideal. Mulai dari bab ini kita akan mempergunakan temperatur termodinamik T,
dimana θ = T.
8.8 SIKLUS CARNOT DENGAN SUATU GAS IDEAL
Jika gas ideal dipergunakan sebagai zat yang bekerja pada suatu mesin Carnot, penggunaan hukum
pertama pada setiap langkah dalam siklus dapat dituliskan seperti pada Tabel 8.3. Nilai dari W1 dan
W3, yang merrupakan jumlah kerja yang dihasilkan dalam ekspansi revrsibel isotermal dari suatu gas
ideal, didapatkan dari pers. (7.6). Nilai dari ∆U dihitung dengan mengintegrasikan persamaan dU =
CvdT. Total kerja yang dihasilkan dalam siklus adalah penjumlahan dari masing-masing bagian.
 V  T4
 V  T2
W  RT1 ln  2    Cv dT  RT2 ln  4    Cv dT .
 V1  T1
 V3  T3
Kedua integral dijumlahkan hingga nol, seperti yang dapat ditunjukkan dengan mengubah limit dan
mengubah tanda keduanya. Oleh karenanya
V 
V 
W  RT1 ln  2   RT2 ln  3 ,
 V1 
 V4 
(8.20)
dimana tanda dari suku kedua telah diubah dengan membalik argumen dari logaritma.
Persamaan (8.20) dapat disederhanakan jika kita menyadari bahwa volume V2 dan V3 dihubungkan
dengan perubahan adiabatik reversibel; hal yang sama juga benar untuk V4 dan V1. Dengan pers.
(7.57).
T1V2 1  T2V3 1 ,
T1V1 1  T2V4 1 .
Dengan membagi persamaan pertama dengan kedua, kita mendapatkan
Page 54 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
 V2

 V1



 1
V
  3
 V4



 1
atau
V2 V3
 .
V1 V4
Memasukkan hasilnya kedalam pers. (8.20) kita mendapatkan
V 
W  R(T1  T2 ) ln  2 .
 V1 
(8.21)
Dari persamaan untuk langkah pertama pada siklus kita mendapatkan
V 
Q1  RT ln  2 ,
 V1 
dan efisisensi diberikan oleh

T
W T1  T2

 1 2 .
Q
T1
T1
(8.22)
Persamaan (8.21) menunjukan bahwa total kerja yang dihasilkan bergantung pada perbedaan
temperatur antara dua reservoir [bandingkan dengan pers. (8.18)] dan rasio volume V1/V2 (rasio
kompresi). Efisiensi merupakan fungsi kedua temperatur [bandingkan terhadap pers. (8.19)]. Jelaslah
dari pers. (8.22) bahwa efisiensi mendekati satu, jika reservoir dingin, T2 = 0 dan reservoir panas T1
tidak terhingga. Kedua keadaan ini secara fisik tidak dapat direalisasikan.
8.9
PENDINGIN CARNOT
Jika suatu mesin kalor reversibel beroperrasi untuk menghasilkan kerja dengan nilai positif pada
sekelilingnya, sejumlah kalor bernilai positif dikeluarkan dari dalam reservoir panas dan kalor
dikeluarkan menuju reservoir dingin. Kita sebut arah siklus ini sebagai arah siklus maju dari mesin.
Jika mesin dibalik, tanda jumlah kerja dan aklor juga dibalik. Kerja dipakai, W < 0; kalor diserap dari
reservoir dingin dan dialihkan ke reservoir panas. Dalam siklus terbalik ini, dengan memakai kerja,
kalor dipompakan dari reservoir dingin menuju reservoir panas; mesin ini merupakan suatu pendingin.
Ingatlah bahwa pendingin cukup berbeda jika dibandingkan dengan mesin kita sebelumnya yang
mustahil, yang memompakan kalor dari ujung dingin menuju ujung panas dari mesin. Mesin yang
musatahil tersebut tidak mempergunakan kerja dalam prosesnya, sebagaimana pada pendingin. Tanda
dari jumlah kerja dan kalor dalam kedua jenis operasi ditunjukan pada Tabel 8.4 (T1 merupakan
temperatur yang lebih tinggi).
Koefisien performa, η, dari pendingin merupakan rasio dari kalor yang dikeluarkan dari reservoir
dengan temperatur rendah terhadap kerja yang dipergunakan:

Q2
Q2

,
 W  (Q1  Q2 )
(8.23)
karena W = Q1 + Q2. Juga karena (Q2/ Q1) = -(T2/ T1), kita mendapatkan

T2
.
T1  T2
(8.24)
8.10 POMPA KALOR
Bayangkanlah kita menjalankan mesin Carnot dalam arah kebalikan, sama seperti pendingin, tetapi
disamping interiornya yang dipergunakan sebagai reservoir dingin bagian eksteriornya juga berperan
sama dan eksterior dari rumah sebagai reservoir panas. Kemudian pendingin memompakan panas, Q2,
dari luar dan mengeluarkan kalor, - Q1, menuju ke dalam rumah. Koefisien performa dari pompa kalor,
Page 55 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
ηhp, merupakan jumlah kalor yang dipompakan menuju reservoir dengan temperatur tinggi, - Q1, per
satuan kerja yang dipergunakan, - W.
 hp 
 Q1 Q1
Q1


.
 W W Q1  Q2
(8.25)
 hp 
T1
.
T1  T2
(8.26)
Karena Q2/ Q1 = -T2/ T2,
Rumus ini dapat diilustrasikan sebagai berikut. Anggaplah temperatur eksterior adalah 5 oC dan
interior 20oC. Kemudian jika – W = 1 kJ jumlah dari kalor yang dipompakan ke dalam rumah adalah
 Q1 
T1
293K
(W ) 
(1kJ)  20kJ .
T1  T2
15K
8.11 DEFINISI ENTROPI
Sama seperti hukum pertama yang mengarah pada definisid ari energi, hukum kedua juga mengarah
pada definisi sifat keadaan dari sistem, yaitu entropi. Entropi merupakan karakteristik dari keadaan
yang menyatakan penjumlahan dari perubahan dalam satu siklus adalah nol. Sebagai contoh, jumlah
perubahan dalam sistem diberikan oleh
 dU  0. Kita sekarang bertanya-tanya apakah hukum kedua
mendefiniskan sebuah sifat baru yang mengubah penjumlahn menjadi nol dalam satu siklus.
Kita memulai dengan membandingkan dua ungkapan untuk efisiensi dari mesin klaor reversibel
sederhana yang beroperasi dianatar dua reservoir pada temperatur termodinamik θ1 dan θ2. Kita
melihat bahwa
  1
2
1
atau
  1
2
.
1
Menjumlahkan kedua ungkapan ini menghasilkan
Q2  2

 0,
Q1 1
yang dapat disusun kembali dalam bentuk
Q1
2

Q2
1
 0.
Sisi kiri dari pers. (8.27) merupakan penjumlahan sederhana dari keseluruhan siklus dari kuantitas
Q/θ:

dQ

0
(siklus revrsibel).
(8.28)
Karena penjumlahan dari keseluruhan siklus dQ/θ adalah nol, jumlah ini merupakan diferensial dari
sifat dari keadaan; sifat ini disebut sebagai entropi dari sistem dan diberi simbol S. Maka persamaan
yang mendefinisikan entropi adalah
dS 
dQrev
,
T
(8.29)
dimana subskrip”rev” dipergunakan untuk menunjukkan pembatasan pada siklus reversibel. Simbol θ
untuk temperatur termodinamik telah digantikan oleh simbol yang lebih biasa T. Ingatlah bahwa dQrev
bukanlah diferensial dari sifat keadaan, tetapi dQrev/T merupakan diferensial sifat keadaan sistem;
dQrev/T merupakan diferensial eksak.
8.12 BUKTI UMUM
Kita telah menunjukkan bahwa dQrev/T memiliki intergral siklik sama dengan nol hanya untuk siklus
yang melibatkan dua temperatur saja. Hasil ini dapat digeneralisasikan untuk sembarang siklus.
Page 56 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
Bayangkanlah suatu mesin Carnot. Maka dalam satu siklus
W   dQ,
(8.30)
dQ
 0.
T
(8.31)
W '   dQ ' ;
(8.32)
dQ'
 0.
T
(8.33)
dan kita telah menunjukkan untuk mesin Carnot bahwa

(Dengan definisi dari siklus Carnot, Q merupakan suatu Q yang reversibel.) Bayangkanlah mesin lain
E’. Maka menurut hukum pertama siklusnya adalah,
tetapi mari kita asumsikan untuk mesin ini,

Mesin kedua ini dapat dijalankan dengan siklus serumit yang kita inginkan; dapat memiliki banya
reservoir temperatur; dan dapat mempergunakan zat apa saja untuk bekerja.
Kedua mesin bekerja berpasangan untuk membuat mesin siklik komposit. Kerja yang dihasilkan oleh
mesin komposit dalam siklusnya adalah Wc = W + W’, dimana dengan pers. (8.30) dan (8.32) sama
dengan
Wc   (dQ  dQ' )   dQc
(8.34)
dimana dQc = dQ + dQ’.
Jika kita menambahkan pers. (8.31) dan (8.33), kita mendapatkan

dQ  dQ '
 0,
T
dQc
 T  0.
(8.35)
Kita sekarang mencocokkan arah operasi dan ukuran dari mesin Carnot sehingga mesin komposit tidak
menghasilkan kerja; kerja yang diperlukan untuk mengoperasikan E’ disuplai oleh mesin Carnot, atau
sebaliknya, dan pers. (8.34) menjadi
 dQ
c
 0.
(8.36)
Pada kondisi apakah pers. (8.35) dan (8.36) dapat dipergunakan?
Karena setiapintegral siklik dapat dianggap sebagai penjumlahan dari suku-suku, kita menuliskan pers.
(8.36) dan (8.35) dalam bentuk
Q1  Q2  Q3  Q4  ...  0,
(8.37)
dan
Q1 Q2 Q3 Q4



 ...  0.
T1 T2 T3 T4
(8.38)
maka penjumlahan dari sisi kiri pers. (8.37) terdiri dari sejumlah suku, bebrapa positif dan lainnya
negatif. Akan tetapi jumlah yang positif seimbang dengan negatif, dan penjumlahannya adalah nol.
Kita harus menemukan nilai (temperatur) yang dengan membagi semua suku pada pers. (8.37) dengan
nilai yang sesuai sehingga nilai positif menjadi lebih dominan, dan oleh karenanya akan memenuhi
pertidaksamaan (8.38). Kita dapat membuat suku positif menjadi lebih dominan (predominate?)jika
kita membagi suku positif pada pers. (8.37) dengan angka yang kecil dan suku negatif dengan angka
yang besar. Dengan ini kita mengasosiasikan nilai Q positif dengan temperatur rendah dan nilai Q
negatif dengan temperatur tinggi. Hal ini berarti kalor dikeluarkan dari reservoir pada temperatur
rendah dan ditolakkan menuju reservoir ketika temperatur tinggi ketika mesin komposit beroperasi.
Mesin komposit ini menjadi suatu mesin yang mustahil, dan asumsi kita, pers. (8.33) mestinya salah.
Hal ini sesuai, dimana untuk semua mesin E’,
Page 57 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
dQ '
 0.
T

(8.39)
Kita akan membedakan dua buah kasus:
Kasus I. Mesin E’ reversibel.
Kita telah mengeluarkan kemungkinan yang diungkapakan oleh pers. (8.33). Jika kita mengasumsikan
bahwa untuk E’
dQ '
 0,
T

dan kemudian kita dapat membalikkan mesin ini, yang merubah semua tanda akan tetapi tidak merubah
besarnya Q. Maka kita mendapatkan
dQ '
 0,
T

dan buktinya sama seperti sebelumnya. Hal ini memaksa kita untuk menyimpulkan bahwa untuk
sembarang sistem
dQrev
0
T

(semua siklus reversibel)
(8.40)
Oleh karenanya semua sistem memiliki sifat keadaan S, entropi, seperti
dS 
dQrev
.
T
(8.41)
Kasus II. Mesin E’ tidak reversibel.
Untuk sebarang mesin kita hanya memiliki kemungkinan yang diungkapkan oleh pers. (8.39). kita telah
menunjukan bahwa persamaan tersebut untuk mesin reversibel. Karena kalor dan kerja pada mesin
reversibel berbeda dengan yang ada pada mesin ireversibel, hal ini berakibat bahwa nilai dari
 dQ / T untuk mesin ireversibel tidaklah nol seperti pada mesin reversibel. Kita telah menunjukan
bahwa pada sebarang mesin nilainya tidak dapat lebih besar dari nol; sehingga akibatnya nilainya
ahruslah lebih kecil dari nol. Oleh karenan itu untuk siklus ireversibel kita mendapatkan
dQ
0
T

(semua siklus ireversibel)
(8.42)
8.13 PERTIDAKSAMAAN CLAUSIUS
Bayngkanlah dua sikus berikut ini: Suatu sistem ditransformasikans ecara ireversibel dari keadan 1
ke keadaan 2, kemudian dikembalikan secara reversibel dari keadaan 2 ke keadaan 1. Integral
sikliknya adalah
2 dQ
1 dQ
dQ
rev
rev


 T 1 T 2 T  0,
dan kurang dari nol, menurut pers (8.2). Mempergunakan definisi dS, hubungan ini menjadi

2
1
2
dQrev
  dS  0,
1
T
atau dengan menyusun kembali kita mendapatkan

2
1
dS  
2
1
dQrev
.
T
(8.43)
Jika perubahan dari keadaan 1 ke keadaan 2 cukup kecil, kita mendapatkan
dS 
dQrev
.
T
(8.44)
Ini merupakan pertidaksamaan Clausius, yang merupakan syarat fumdamental untuk perubahan yang
sebenarnya. Pertidaksamaan (8.44) memungkinkan kita untuk menetukan apakah suatu perubahan akan
Page 58 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
terjadi di alam. Kita tidak akan mempergunakan pers. (8.44) begitu saja, akan tetapi kita akan
meodifikasinya untuk mengekspresikan pertidaksamaan dalam bentuk sifat keadaan dari sistem,
daripada dalam bentuk sifat pola (path?) seperti dQrev.
Pertidaksamaan Clausius dapat dipergunakan secara langsung untuk perubahan pada sistem terisolasi.
Untuk sebarang perubahan keadaan dalam sistem terisolasi, dQirr = 0. Pertidaksamaannya berubah
menjadi
(8.45)
dS  0.
Persyaratan utnuk perubahan real dalam sistem terisolasi adalah nilai dari dS haruslah positif; yang
berarti entropi haruslah meningkat. Sebarang perubahan alamiah terjadi dalam suatu sistem
terisolasi dicapai dengan peningkatan entropi dari sistem. Entropi dari sistem terisolasi terus
menerus meningkat selama perubahan terjadi. Ketika perubahan terhenti, sistem berada dalam
kesetimbangand an entropi mencapai nilai maksimum. Oleh karenanya kondisi kesetimbangan pada
suatu sistem terisolasi adalah kondisi dimana nilai entropi maksimum.
Hal merupakan sifat dasar dari emtropi: (1) entropi dari sistem terisolasi meningkat seiring dengan
terjadinya perubahan alami yang terjadi pad sistem; dan (2) entropi dari sistem terisolasi bernilai
maksimum pada kesetimbangan. Perubahan pada sistem yang tak terisolasi memghasilkan efek pada
sistem dan sekelilingnya. Sistem dan sekelilingnya merupakan merupakan bagian dari sistem terisolasi
yang kompleks dimana entropi meningkat seiring dengan perubahan alami yang terjadi di dalamnya.
Oleh karenanya di alam semesta entropi terus menerus meningkat seiring dengan perubahan alami
yang terjadi.
Clausius mengungkapkan hukum kedua termodinamik dengan perkataannya yang termasyhur: ”Energi
dari alam semesta tetaplah konstan; tetapi entropi terus naik mencapai maksimum.”
8.14 KESIMPULAN
Entropi merupakan konsekuensi dari hukum kedua termodinamika. Hukum kenol mendefinisikan
temperatur dari suatu sistem; hukum pertama energi; dan hukumkedua entropi. Ketertarikan kita
pada hukum kedua bermula dari kenyataan bahwa hukum ini dapat menentukan arah dari perubahan.
Hukum ini mengenyampingkan kemungkinan untuk membangun mesin yang mengakibatkan kalor
mengalir dari suatu reservoir dingin menuju reservoir panas tanpa efeklain. Dengan cara yang sama,
hukum kedua dapat menunjukkan arah alami dari reaksi kimia. Dalam beberapa keadaan hukum kedua
menyatakan kedua arah dari reaksi kimia alami, dan reaksi pastinya berada dalam kesetimbangan.
Aplikasi hukum kedua termodinamik merupakan pendekatan yang peling berguna untuk kesetimbangan
kimia.
9 Sifat Entropi dan Hukum Ketiga Termodinamika
9.1 SIFAT ENTROPI
Entropi Berhubungan dengan “keacakan” dalam distribusi ruang maupun energi dari partikel-partikel
penyusun. Entropi didefinisikan dengan persamaan deferensial
dS 
dQrev
,
T
(9.1)
sehingga entropi menurut persamaan ini bernilai tunggal, dan merupakan sifat ekstensif dari sistem.
Diferensial dS merupakan diferensial eksak. Untuk perubahan kecil dari keadaan 1 menuju keadaan 2,
dari pers. (9.1) kita mendapatkan
ΔS  S1  S 2  
2
1
dQrev
.
T
(9.2)
Page 59 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
Nilai dari ∆S tidak bergantung dari apakah proses reversibel atau tidak, akan tetapi dari hanya dari
keadaan S1 dan S2. Akan tetapi jika kita mempergunakan pers. (9.2) kita harus mempergunakan kalor
yang diserap dari jalur reversibel yang menghubungkan kedua keadaan.
9.2 SYARAT KESTABILAN TERMAL DAN MEKANIK DARI SUATU SISTEM
Sebelum membicarakan lebih rinci mengenai entropi, terdapat dua hal yang harus kita tetapkan.
Pertama kapasitas panas pada volume konstan Cv selalu bernilai positif untuk senyawa murni dalam
keadaan agregasi tunggal, kedua koefisien kompresibilitas κ juga bernilai positif.
Koefisien kompresibilitas telah didefinisikan sebelumnya pada pers. (5.4) sebagai
 
1  V

V  p

 ;
T
(9.3)
sehingga pada temperatur konstan dp = -(dV/V κ).
9.3 PERUBAHAN ENTROPI PADA TRANSFORMASI ISOTERMAL
Pada sebarang perubahan keadaan isotermal, dimana nilai nilai T konstan sehingga dapat dikeluarkan
dari integral pada pers. (9.2), sehingga berubah menjadi
ΔS 
Qrev
.
T
(9.4)
Persamaan (9.4) dipergunakan untuk memperhitungkan perubahan entropi yang dihubungkan dengan
perubahan keadaan agregasi pada temperatur kesetimbangan. Bayangkanlah suatu cairan yang
berkesetimbangan dengan uapnya pada tekanan 1 atm. Temperaturnya merupakan temperatur
kesetimbangan, yaitu titik didih normal dari cairan. Bayangkanlah sistem dimasukkan kedalam sautu
silinder yang dibatasi dengan suatu piston yang melayang denmgan pemberat yang memberikan
tekanan ekuivalen dengan tekanan 1 atm (Gbr. 9.1a). Silinder direndam dalam suatu reservoir dengan
temperatur kesetimbangan Tb. Jika temperatur silinder dinaikan cukup besar, sejumlah kecil kalor
mengalir dari sistem menuju lingkungan, sejumlah cairan menguap, dan massa M naik (Gbr. 9.1b). Jika
temperatur reservoir diturunkan cukup kecil, sejumlah kalor yang sama mengalir kembali kedalam
sistem, dan massa pemberat kembali ke posisi asalnya. Baik sistem maupun reservoir keduanya
dikembalikan kekeadaan aslinya dalam siklus kecil ini, dan transformasinyapun reversibel; jumlah kalor
yang diperlukan adalah Qrev. Karena tekanan konstan Qp = ∆H; sehingga untuk penguapan cairan pada
titik didih, pers. (9.4) menjadi
S vap 
H vap
Tb
.
(9.5)
Dengan ungkapan yang sama, entropi penggabungan pada titik leleh diberikan oleh
S fus 
H fus
Tm
,
(9.6)
dimana ∆Hfus merupakan panas pembentukan pada titik leleh Tm. Untuk sebarang perubahan fase pada
temperatur kesetimbangan Te, entropi transisi diberikan oleh
S 
H
,
Tc
(9.7)
dimana ∆H merupakan kalor transisi pada Te.
9.4 Aturan Trouton
Untuk kebanyakan cairan, entropi penguapan pada titik didih normal mempunyai nilai yang hampir
sama:
S vap  90 J/K mol.
(9.8)
Page 60 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
Persamaan (9.8) merupakan aturan Trouton. Untuk cairan yang mematuhi aturan Trouton,
H vap  (90 J/K mol) Tb
(9.9)
persamaan ini sangat berguna untuk menetukan suatu nilai pendekatan untuk panas penguapan dari
cairan dari titik didihnya.
Aturan Trouton gagal untuk menggambarkan cairan seperti air, alkohol dan amina. Aturan ini juga
gagal menerangkan zat dengan titik didih dibawah 150 K. Untuk zat non cairan dengan titik didih
rendah dapat dipergunakan aturan Hildebrand.
9.5 PERUBAHAN ENTROPI DALAM HUBUNGANNYA TERHADAP PERUBAHAN VARIABEL
KEADAAN
Persamaan yang mendefinisikan entropi
dS 
dQrev
,
T
(9.10)
menghubungkan perubahan entropi dengan suatu efek, dQrev, pada lingkungan. Persamaan ini akan
sangat berguna jika dapat diubah dalam bentuk variabel-variabel sifat keadaan.
Jika yang terjadi hanya kerja tekanan-volume, dan transformasinay reversibel, kita mendapatkan Pop
= p, yang merupakan tekana dari sistem, sehinggan hukum pertama menjadi
dQrev  dU  pdV .
(9.11)
Dengan membagi pers. (9.11) dengan T dan mempergunakan definisi dS, kita mendapatkan
dS 
1
p
U  dV ,
T
T
(9.12)
yang menghubungkan perubahan entropi dengan energi dan volume. Pers. (9.12) merupakan gabungan
dari hukum pertama dan hukum kedua termodinamika yang merupakan dasar dari termodinamika.
Pembahasan kita selanjutnya tentang kesetimbangan keadaan sistem akan berawal dar persamaan ini
atau persamaan yang berhubungan langsung dengan persamaan ini.
Dari persamaan diatas dapat dilihat bahwa ada dua cara untuk meningkatkan entropi, yaitu dengan
menaikan energi atau menaikan volume dari sistem.
9.6 ENTROPI SEBAGAI FUNGSI TEMPERATUR DAN VOLUME
Dengan menganggap entropi sebagai suatu fungsi dari T dan V, kita mendapatkan
S(T,V);diferensial keseluruhannya ditulis sebagai
 S 
 S 
dS    dT  
 dV .
 T V
 V T
S =
(9.13)
Pers. (9.12) dapat dibuat dalam bentuk pers. (9.13) jika kita mengungkapkan dU dalam bentuk dT dan
dV. Dalam variabel ini,
 S 
dU  Cv dT  
 dV .
 V T
(9.14)
Mempergunakan nilai ini untuk dU kita mendapatkan
dS 
Cv
1
 U  
dT   p  
  dV .
T
T
 V T 
(9.15)
Karena pers. (9.15) mengungkapkan perubahan entropi dalam bentuk perubahan dalam T dan V,
persamaan ini akan identik dengan pers. (9.13). Dengan kesamaan ini kita dapat menuliskan
C
 S 

  v,
 T V dT
(9.16)
dan
Page 61 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
1
 S 
 U  

  p 
 .
 V T T 
 V T 
(9.17)
Karena Cv selalu bernilai positif (bagian 9.2) pers. (9.16) mengungkapkan fakta penting bahwa entropi
pada volume konstan meningkat seiring dengan peningkatan temperatur. Untuk perubahan kecil
temperatur pada volume konstan
Cv
dT .
T1 T
T1
S  
(9.18)
CONTOH 9.2 Satu mol argon dipanaskan pada volume konstan dari 300K hingga 500K; C v  23 R .
Hitunglah perubahan netropi untuk perubahan keadaan ini.
S  
500
300
2
3
R
500K
dT  23 R ln
 0,766R  0,766(8,314 J/Kmol)  6,37J/Kmol ).
T
300K
Ingatlah jika argon yang dipakai jumlhanya dua kali lipat, Cv-pun nilainya akan dua kali lipat sehingga
nilai entropinyapun akan dua kali lipat.
Kebergantungan entropi terhadap perubahan volume pada temperatur konstan diturunkan dengan cara
yang lebih rumit dibandingkan dengan kebergantungannya pada temperatur. Ingatlah kebergantungan
volume pada energi konstan, pada pers. (9.13) cukup sederhana. Kita dapat mendapatkan ungkapan
sederhana mengenai kebergantungan volume isotermal dari entropi dengan persamaan ini. Kita
mendeferensiasikan pers. (9.16) terhadap volume, dengan mempertahankan temperatur konstan; hal
ini menghasikan
2S
1 C v 1  2U


.
TV T V T VT
Pada sisi kanan kita mengantikan Cv dengan (∂U/∂T)V. kemudian kita mendeferensiasikan pers. (9.17)
terhadap temperatur dengan volume konstan, untuk mendapatkan
2S
1  C 
 2U  1
  v  

TV T  V V VT  T 2

 U  
 .
p 
 V T 

Karena S merupakan fungsi dari V dan T (dS adalah diferensial eksak) turunan campuran kedua
haruslah sama; karenanya kita mendapatkan
2S
2S

,
VT TV
atau
1
T2
  2U  1  p 
1   2U  1

     
  2
 VT  T  T V T  TV  T

 U  
 .
p 
 V T 

Sekarang hal yang sama berlaku untuk U; turunan campuran keduanya juga sama. Hal ini mereduksi
persamaan menjadi
 U 
 p 
p
  T  .
 V  T
 T V
(9.19)
Membandingkan pers. (9.18) dan (9.19) kita mendapatkan
 S 
 p 

   .
 V T  T V
(9.20)
Persamaan (9.20) merupakan ungkapan yang relatif sederhana untuk kebergantungan entropi
terhadap volume iostermal dalam bentuk turunan (∂p/∂T)V, yang dapat diukur untuk sebarang sistem.
Dari pers.(9.20), aturan siklik, kita mendapatkan (∂p/∂T)V = α/κ. Mempergunakan hasil ini, kita
mendapatkan
Page 62 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru

 S 

  .
 V  T 
(9.21)
Karena κ positif, tanda dari turunan bergantung dari α; untuk kebanyakan zat volume meningkat
seiring dengan kenaikan temperatur sehingga α bernilai positif. Sesuai dengan pers. (9.21) maka,
untuk kebanyakan senyawa entropi akan meningkat seiring dengan kenaikan temperatur. Akan tetapi
untuk air α antara 0-4oC bernilai negatif sehingga menyimpang dari aturan ini.
Persamaan yang ditulis pada bagian ini dapat dipergunakan untuk sebarang zat. Sehingga untuk
sebarang zat kita dapat menuliskan diferensial keseluruhan dari entropi dalam bentuk T dan V
dS 
Cv

dT  dV
T

(9.22)
Kecuali untuk gas, pengaruh dari volume pada temperatur konstan dalam kenyataannya dapat
diabaikan karena kecilnya.
9.7 ENTROPI SEBAGAI FUNGSI TEMPERATUR DAN TEKANAN
Jika entropi dianggap sebagai fungsi dari temperatur dan tekanan S =S(T,p), diferensial totalnya
ditulis sebagai
 S 
 S 
dS  
 dT    dp.
 T  p
 p  T
(9.23)
Untuk memasukkan pers. (9.12) dalam bentuk ini, kita mempergunakan hubungan antara energi dan
entalpi dalam bentuk U = H – pV; mendeferensiasikannya kita mendapatkan
dU  dH  pdV  Vdp.
Mempergunakan nilai ini untuk dU pada pers. (9.12), kita mendapatkan
1
V
dH  dp,
T
T
(9.24)
 H 
 dp.
dH  C p dT  
 p  T
(9.25)
dS 
yang merupakan versi lain dari persamaan dasar (9.12); persamaan ini menghubungkan dS dengan
perubahan entalpi dan tekanan. Kita dapat menyatakan dH dalam bentuk dT dan dp, seperti yang kita
lihat sebelumnya:
Mempergunakan nilai ini pada dH pada pers. (9.24) kita memperoleh
dS 
Cp
T
dT 
1
T
 H 

  V  dp.


 p  T
(9.26)
Karena pers. (9.24) dan (9.25) keduanya menyatakan dS dalam bentuk dT dan dp, keduanya mestinya
identik. Perbandingan kedua persamaan ini menunjukkan bahwa
dan
C
 S 
(9.27)
   v,
T
 T V

 S 
1  H 
   
  V .

 p  T T  p  T
(9.27)
Untuk sebarang zat, rasio Cp/T selalu positif. Sehingga, pers (9.26) menjadi menatakan bahwa pada
tekanan tetap entropi selalu naik jika temperatur ditingkatkan.rasio dari kapasitas panas dengan
temperatur.
Dalam pers. (9.27)kita mendapatkan suatu ungkapan yang sedikit menyulitkan untuk kebergatungan
entropi terhadap tekanan pada temperatur konstan. Untuk menyederhanakannya, sekali lagi kita
mencari turunan keduanya dan menyamakannya. Penurunan dari pers. (9.26) terhadap tekanan pada
temperatur menghasilkan
Page 63 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
2S
1  C p
 
pT T  p

1 2H
 
.
 T T pT
Untuk menyamakan dengan sisi kanan kita menetapkan Cp = (∂H/∂T)p. Sama halnya penurunan dari
pers. (9.27) terhadap temperatur menghasilkan

2S
1   2 H  V   1  H 
  V .
 

   
pT T  pT  T  p  T  p  T

Dengan menyamakan turunan campuran kita mendapatkan

1 2H
1  2 H 1  V 
1  H 
  V 

 
  2 
T pT T Tp T  T  p T  p  T

Karena pencampuran turunan kedua dari H juga sama persamaan ini tereduksi menjadi
 H 
 V 

  V  T 

 T  p
 p  T
(9.28)
Menggabungkan hasil ini dengan pers. (9.27) kita mendapatkan
 S 
 V 
   
  V .
 T  p
 p  T
(9.29)
Untuk mendapatkan kesamaan dengan sisi kanan dipergunakan definisi dari α. Dalam pers (9.29) kita
mendapatkan ungkapan mengenai kebergantungan entropi terhadap V dan α yang dapat diukur untuk
sebarang sistem. Entropi dapat dituliskan dalam bentuk temperatur dan tekanan
dS 
Cp
T
dT  Vdp
(9.30)
9.8 PENGARUH TEMPERATUR PADA ENTROPI
Jika sistem digambrakan dalam suku temperatur dan variabel lain yang disebut x, maka kapasitas
panas dari sistem pada transformasi reversibel pada x konstan adalah Cx = (dQrev)x/dT).
Menggabungkan persamaan ini dengan definisi dari dS, kita mendapatkan pada x konstan
dS 
Cx
dT
T
atau
C
 S 
   x,
 T  x T
(9.31)
sehingga pengaruh temperatur pada entropi menjadi sederhana; koefisien turunan dari kapasitas
panas yang dimaksudkan dibagi dengan temperatur. Dalam kebanyakan aplikasi praktis, x dapat
berupa V atau p. Sehingga kita dapat menyatakan suatu definisi ekuivalen dari kapasitas panas
 S 
Cv  T 

 T  v
atau
 S 
Cp  T

 T  p
(9.32)
9.9 PERUBAHAN ENTROPI PADA GAS IDEAL
Hubungan yang diturunkan dari bagian sebelumnya dapat dipakai untuk sebarang sistem. Turunan ini
mempunyai bentuk yang sederhana jika dipergunakan pada gas ideal, yang merupakan akibat dari
fakta bahwa pada gas ideal energi dan temperatur merupakan variabel yang ekuivalen: dU = CvdT.
Mempergunakan nilai dU ini kita mendapatkan
dS 
Cv
p
dT  dV .
T
T
(9.32)
Page 64 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
Hasil yang sama diperoleh dengan mempergunakan hukum Joule, (∂U/∂V)T = 0, pada pers. (9.12).
Untuk, mempergunakan pers. (9.32), semua kuantitas harus dinyatakan dalam bentuk fungsi dari
variabel T dan V. Sehingga kita menggantikan tekanan dengan p = nRT/V; dan pers. menjadi
dS 
Cv
nR
dT 
dV .
T
V
(9.33)
Dengan membandingkan pers. (9.33) dengan (9.13), kita melihat bahwa
nR
 S 
.

 
 V T V
(9.34)
Turunan ini selalu positif, pada perubahan iostermal, entropi dari gas ideal meningkat seiring dengan
peningkatan volume. Laju peningkatan berkurang pada volume yang besar, karena V menjadi penyebut.
Untuk perubahan keadaan yang kecil, kita mengintegrasikan pers. (9.33) menjadi
T2
S  
T1
V2 dV
Cv
dT  nR 
.
V1 V
T
Jika Cv merupakan suatu konstanta, persamaan ini terintegrasi menjadi
T 
V 
S  Cv ln  2   nR 2 
 T1 
 V1 
(9.35)
Entropi dari gas idela dinyatakan sebagai fungsi dari T dan p dengan mempergunakan sifat dari gas
ideal, dh = CpdT, pada pers. (9.35) yang tereduksi menjadi
dS 
Cp
T
dT 
V
dp.
T
(9.36)
nR
dp.
p
(9.37)
Untuk menyatakan semua variabel dalam bentuk T dan p, kita mempergunakan V = nRT/p, sehingga
dS 
Cp
T
dT 
Membandingkan pers. (9.36) dengan pers. (9.23), kita mendapatkan
 S 
nR
   
,
p
 p  T
(9.38)
yang menunjukkan bahwa entropi menurun sebanding dengan peningkatan tekanan isotermal, suatu
hasil yang diharapkan dari pengaruh volume pada entropi. Untuk perubahan kecil pada keadaan, pers.
(9.37) diintegrasikan menjadi
T 
V 
S  C p ln  2   nR 2 
 T1 
 V1 
9.9.1 Entropi Standar Untuk Gas Ideal
Karena untuk perubahan keadaan pada temperatur konstan, pers. (9.50) dapat ditulisakan
dS  
R
dp
p
Anggaplah bahwa kita mengintegrasikan persamaan dari p = 1atm untuk sebarang tekanan p. Maka
o
 p 
S  S   R ln 
,
 1 atm 
(9.39)
dimana xyz merupakan nilai entropi molar pada tekanan 1 atmosfer; sehingga nilai yang dicari adalah
nilai entropi pada temperatur tertentu.
Untuk menghitung nilai numerik dari logaritma pada sisi kanan pers. (9.39), nilai dari tekanan haruslah
dalam bentuk atm. Kemudian rasio dari (p/1atm) akan sepenuhnya berupa angka, dan operasi penarikan
logaritma menjadi mungkin. Sehingga persamaan diatas dapat berubah menjadi
Page 65 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
o
S  S   R ln p
(9.40)
Haruslah diingat bahwa dalam pers. (9.40) p sepenuhnya berupa angka, angka yang diperoleh dengan
membagi tekanan dalam atm dengan 1 atm.
9.10 HUKUM KETIGA TERMODINAMIK
Bayangkanlah suatu transformasi dari suatu padatan dari nol mutlak menuju temperatur T dibawah
titik lelehnya:
Padatan (0 K, p)
Perubahan entropi diberikan oleh pers. (9.38)
T
Cp
0
T
S  S T  S 0  
T
Cp
0
dT
ST  S 0  
Padatan (T, p)
dT
(9.54)
.
Karena Cp positif, integral dalam pers. (9.54) juga bernilai positif; oleh karenanya entropi hanya dapat
ditingkatkan dengan temperatur. Sehingga pada 0 K memiliki nilai aljabar terkecil yang mungkin S0.
Pada 1913 Planck menyarankan bahwa nilai S0 untuk semua zat murni, yang kristal sempurna adalah
nol. Hal ini merupakan hukum ketiga dari termodinamika: Entropi dari zat murni yang krisatal
sempurna bernilai nol pada temperatur nol mutlak.
Ketika kita mempergunakan hukum ketiga termodinamika pada pers. (9.54), pers. Ini tereduksi
menjadi
T
Cp
0
T
ST  
(9.55)
dT
dimana ST disebut sebagai entropi hukum ketiga, atau sederhananya entropi, dari padatan pada
temperatur T dan tekanan p. Jika tekanan adalah 1 atm, entropinya merupakan entropi standar S T .
o
Karena perubahan besar pada keadaan agregasi (pelelehan atau penguapan) menyangkut peningkatan
entropi, kontribusi ini harus dimasukkan untuk perhitungan entropi dari suatu cairan atau gas. Untuk
entropi standar dari suatu cairan di atas titik lelehnya, kita mendapatkan
S 
o
T
Tm

C po ( s)
T
o
dT 
H ofus
Tm
T
C po (l )
Tm
T
T
C po (l )
Tm
T

(9.56)
dT .
Sama halnya untuk gas diatas titik didihnya
S 
o
T
Tm

o
C po ( s)
T
dT 
H ofus
Tm

dT 
o
H vap
Tb
T
C po ( g )
Tb
T

dT . (9.57)
Jika padatan mengalami sebarang transisi antara satu modifikasi kristal dengan yang lainnya, maka
entropi dari transisi tersebut harus diikutkan juga. Untuk memperhitungkan entropi, kapasitas panas
dari zat dalam beragam keadaan agregasi harus diukur secara akurat pada rentang temperatur nol
mutlak hingga temperatur yang bersangkutan. Nilai panas transisi dan temperatur trasnsisi juga
harus diukur. Semu pengukuran ini dapat dilakukan secara kalorimetrik.
Pengukuran kapasitas panas dari beberapa padatan telah dilakukan hingga temperatur sekitar
seratus diatas nol mutlak. Akan tetapi, hal ini merupakan hal yang tidak biasa. Biasanya, pengukuran
kapasitas panas dilakukan dengan menurunkan temperatur hingga T’, yang biasanya bervariasi pada
rentang 10 hingga 15 K. Pada temeratur serendah ini, kapasitas panas dari padatan mematuhi dengan
akurat hukum “T-kubik(pangkat tiga)” Debye; dimana
C v  aT 3 ,
(9.58)
Page 66 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
dimana a merupakan konstanta untuk masing-masing zat. Pada temperatur ini Cp dan Cv tidak dapat
dibedakan , sehingga hukum Debye dipergunakan untuk mengevaluasi integral dari Cp/T pada rentang
0 K hingga temperatur terendah pada pengukuran T’. Konstanta a ditentukan dari nilai Cp(=Cv) yang
diukur pada T’. Dari hukum Debye, a = (Cp)T/T3.
Pada rentang temperatur diatas T’, integral
T
Cp
T'
T

T
T
T'
T'
dT   C p d (ln T )  2,303 C p d (log T )
dievaluasi secara grafis dengan memplot Cp/T versus T, atau Cp versus log T. Daerah dibawah kurva
merupakan nilai dari integral. Gambar 9.3 menunjukan plot C p versus log T untuk padatan dari 12 K
hinga 298 K. Keseluruhan daerah dibawah kurva ketika dikalikan dengan 2,303 menghasilkan nilai
o
S 298 = 32,6 J/Kmol.
Dalam kesimpulannya, kita harus mengingat penyataan pertama mengenai hukum ketiga termodinamika
yang dibuat oleh Nernst pada 1906, terorema panas Nernst, yang menyatakan bahwa dalam sebarang
reaksi kimia yang hanya melibatkan padatan kristalin yang murni, perubahannya entropinya dalah nol
pada 0 K. Pernyataan punya batasan yang sedikit lebih longgar dibandingkan pernyataan Planck.
Hukum ketiga termodinamik ini menutupi celah generalisasi dari hukum lain, karena hukum ini hanya
berlaku untuk kelas tertentu dari zat, yaitu zat kristalin yang murni, dan tidak untuk semua zat.
Dengan adanya pembatasan ini hukum ini menjadi sangat berguna. Alasan untuk pengecualian terhadap
hukum ini dapat dimengerti setelah kita membahas interpretasi statistik dari entropi.
Komentar umum berikut ini dapat dibuat mengenai nilai entropi yang ada pada Tabel 9.1
1. Entropi pada gas lebih besar dari entropi cairan, dan keduanya lebih besar dari padatan. Hal ini
merupakan konsekuensi dari pers. (9.57)
2. Entropi dari gas meningkat secara logaritmik sesuai dengan massa; hal ini diperlihatkan oleh gas
monoatomik, atau diatomik, HF, HCl, HBr, HI.
3. Dengan membandingkan gas yang memiliki massa yang sama-Ne, HF, H2O-kita melihat dari
kapasitas panas rotasional. Dua derajat kebebasan rotasional ditambahkan 3,202R = 27,45 J/K
mol dari Ne ke HF; satu rotasi tambahan pada H2O dibandingkan HF menambahkan 1,811R = 15,06
J/K mol. Sama halnya H2O dan NH3 memiliki entropi yang hampir sama. (Keduanya memiliki 3
derajat kebebasan rotasional.) Untuk molekul dengan massa dan kapasitas panas yang sama tetapi
memiliki bentuk yang berbeda, molekul yang lebih simetris akan memiliki nilai entropi yang lebih
rendah; contohnya tidak banyak, tetapi bandingkanlah N2 dengan Co dan NH3 dan CH4.
4. Pada kasus padatan yang terdiri dari satu unit struktural sederhana, kapasitas panasnya
merupakan kapasitas panas vibrasional. Suatu padatan yang sangat rapat (energi kohesif tinggi)
memiliki frekuensi karakteristik yang tinggi (Bagian 4.13), sehingga memiliki kapsitas panas yang
lebih rendah dan entropi yang rendah; sebagai contoh, intan memiliki energi kohesif yang sangat
tinggi, entropi yang sangat rendah; silikon memiliki energi kohesif yang lebih rendah (juga
frekuensi vibrasional yang lebih tinggi sebagai akibat massa yang lebih besar), sehinga memiliki
entropi yang lebih besar.
5. Padatan yang terdiri dari dua, tiga,…, unit sederhana memiliki entropi yang secara kasar dua, tiga,
…, kali lebih besar dibandingkan yang tersusun dari satu unit sederhana
6. Jika terdapat satu unit kompleks, gaya van der Waals (gaya kohesif yang sangat lemah) mengikat
padata tersebut. Entaropinya akan tinggi. Ingatlah massa ynag diberikan pada tabel cukup besar.
7. Jika terdapat unit yang kompleks pada kristal, entropi menjadi lebih besar karena kapasitas panas
yang lebih besar karena adanya tambahan derajat kebebasan yang berhubungan dengan unit ini.
Page 67 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
9.11 PERUBAHAN ENTALPI PADA REAKSI KIMIA
Perubahan entalpi standar pada suatu reaksi kimia dihitung dari data yang telah ditabulasi dengan
cara yang sama untuk perubahan standar pada entalpi. Akan tetapi terdapat suatu perbedaan penting:
Nilai entropi standar untuk unsur tidak diberikan sebagai nol. Nilai karakteristik untuk entropi untuk
setiap unsur pada 25oC dan tekanan 1 atm diketahui dari hukum ketiga. Sebagai contoh, pada reaksi
Fe2O3(g) + 3H2(g)
2Fe(s) + 3H2O(l),
Dan perubahan entropi standar diberikan oleh
o
o
S o  S awal
 S akhir
.
(9.59)
Karena entropi gas jauh lebih besar jika dibandingkan dengan fase terkondensasi, akan terjadi
penurunan entropi yang besar jika gas dipergunakan bereaksi untuk membentuk fase terkondensasi.
Sebaliknya juga akan terjadi peningkatan entropi jika fase terkondensasi bereaksi dan berubah
menjadi gas.
2Cu(s) + CO(g) S 298  158 J / Kmol
Cu2O(s) + C(s)
o
Nilai ∆So untuk reaksi ini didapatkan dengan
S o  S o ( produk )  S o (reak tan).
Dengan menurunkan persamaan ini terhadap temperatur pada tekanan konstan, kita mendapatkan
 S o

 T

 S o ( produk )   S o (reak tan) 
  
 

T
T
p 
p
p

C po ( produk )
T

C po (reak tan)
T

C po
T
.
(9.61)
Menuliskan pers. (9.61) dalam bentuk diferensial dan mengintegrasikannya antara temperatur T0 dan
T, kita dapatkan
T

T
d (S o ) 
C po
dT ;
T
o
T C p
o
o
ST  ST  
dT ,
To T
To
To
(9.62)
persamaan ini berlaku untuk sebarang reaksi kini yang mengalami perubahan keadaan agregasi pada
rentang temperatur T0 hingga T.
9.12 ENTROPI DAN PROBABILITAS
Entropi sistem pada keadaan tertentu dapat dihubungkan dengan sesuatu yang disebut sebagai
probabilitas dari keadaan tersebut dari sistem. Untuk membuat hubungan ini atau bahkan untuk
memahami hubungan ini diperlukan suatu model struktural dari sistem. Hal ini berlainan dengan
definisi entropi dari hukum kedua yang tidak bergantung pada dari apa model struktrural tersebut
tersusun.
Bayangkanlah suatu keadaan berikut. Suatu ruang besar berbentuk persegi yang benar-benar
tersekat serta vakum dan disalah satu sudutnya terdapat suatu kotak yang memuat gas dengan
tekanan atmosferik. Ketika kotak berisi gas dibuka setelah beberapa saat kita mendapatkan bahwa
gas telah tersebar merata keseluruh ruangan dan memiliki kecepatan dan posisi tertentu, sesuai
dengan sudut pandang klasik. Selanjutnya bayangkanalah molekul tersebut berbalik dari gerakan
aslinya, dan kemudian akan mengumpul pada salah satu sudut ruangan dan masuk kembali kedalam
kotak.
Hal yang aneh adalah kita tidak memiliki alasan mengapa gerakan menyebar keseluruh ruangan lebih
dipilih gas dibandingkan gerakan mengumpul disudut ruangan. Tetapi menmgapa kita tidak menemukan
gerakan mengumpul dari partikel gas? Fakta ini disebut sebagai paradoks Boltzmann.
Page 68 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
9.13 BENTUK UMUM UNTUK OMEGA
Untuk menghitung jumlah penataan dari tiga partikel dalam N sel, kita melakukan dengan cara yang
sama seperti sebelumnya. Terdapat N pilihan untuk menempatkan partikel pertama, N-1 pilihan untuk
menepatkan pilihan kedua, N-2 pilihan untuk menempatkan pilihan ketiga. Hal ini membuatnya
kelihatan seperti penataan N(N-1)(N-2); tetapi sekali lagi kita tidak dapat membedakan yang hanya
permutasi dari tiga partikel antara sel x, y, z. Terdapat 3! Permutasi: xyz, xzy, yxz, yzx, zxy, zyx.
Oleh karananya untuk tiga partikel dalam N sel jumlah complexion adalah

N ( N  1)( N  2)
.
3!
(9.67)
Jika jumlah sel jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah partikel, hal ini mereduksi tiga partikel
menjadi

N3
.
3!
Dari bentuk pendekatan ini kita dapat segera menyimpulkan bahwa untuk Na partikel , jika N jauh
lebih besar dari Na, maka, pendekatannya adalah
N Na

.
Na!
(9.68)
Sebaliknya, jika kita memerlukan bentuk eksak dari Ω, pers. (9.67) dapat digeneralisasi untuk Na
partikel menjadi

N ( N  1)( N  2)( N  3)...( N  N a  1)
.
Na!
Jika kita mengalikan persamaan terkahir dengan (N-Na) pada pembilang dan penyebut, persamaan ini
tereduksi menjadi

( N !)
.
N a !( N  N a )!
(9.69)
Entropi yang terjadi untuk ekspansi dari N menjadi N’ sel dapat dengan mudah dihitung dengan pers.
(9.68). Untuk N sel,
S  k[ln N N a  ln( N!)],
sedangkan untuk N’ sel,
S '  k[ln N ' N a  ln( N a !)] .
Nilai dari ∆S adalah
 N'
.
N
S = S’ – S = N a k ln 
Sebagaimana sebelumnya, kta mengambil rasio N’/N = V’/V; maka jika Na = NA, persamaan berubah
menjadi
V ' 
S  R ln  ,
V 
yang identik dengan pers. (9.66).
9.14 ENTROPI PENCAMPURAN DAN PENGECUALIAN UNTUK HUKUM KETIGA
TERMODINAMIKA
Hukum ketiga termodinamika hanya dapat dipakai untuk zat yang tersusun dalam konfigurasi yang
benar-benar teratur pada temperatur nol mutlak. Dalam suatu kristal murni, sebagai contoh, atom
terletak apda sis yang pasti dari lattice. Jika kita memperhitungkan jumlah complexion dari N atom
Page 69 of 70
Diktat Mata Kuliah Kimia Fisika I FMIPA Unlam Banjarbaru
yang disusun pada N sisi, kita mendapatkan bahwa walaupun terdapat N! cara penyusunan, karena
atom-atom tersebut identik, penyusunan ini hanay berlaku dibatas atom-atom yang dipilih. Karena
penyusunannya tidak dapat dibedakan, kita harus membagi dengan N!, dan kita mendapatkan Ω = 1
untuk kristal yang tersusun sempurna. Oleh karenanya entropi menjadi
S  k ln( 1)  0.
Anggaplah bahwa kita menyusun atom A dan B yang berbeda pada N sisi dari kristal. Jika Na
merupakan jumlah dari atom A, dan Nb merupakan jumlah dari atom B, maka
Na + Nb = N,
jumlah keseluruhan sisi. Jumlah cara yang dapat dipilih untuk menyusun atom A dalam Na sisi dan
atom B dalam Nb sisi adalah
  k ln
N!
.
N a!Nb!
(9.71)
Entropi untuk kristal campuran diberikan oleh
S  k ln
N!
.
N a!Nb!
(9.72)
Untuk mengevaluasi ungakapan ini kita mempergunakan pendekatan Stirling: ketika N sangat besar,
maka
(9.73)
ln N! N ln N  N.
Ungkapan untuk entropi menjadi
S  k ( N ln N  N  N a ln N a  N a  N b ln N b  N b ).
Karena N = Na + Nb, maka
S  k ( N a ln N a  N b ln N b  N ln N ).
Tetapi, Na = xaN, dan Nb = xbN, dimana xa merupakan fraksi mol dari A dan xb merupakan fraksi mol
dari B. Ungkapan untuk entropi direduksi menjadi
(9.74)
S mix   Nk ( xa ln xa  xb ln xb ).
Karena suku dalam kurung dalam pers. (9.74) bernilai negatif (logaritma dari fraksinya negatif),
emtropi dari kristal yang dicampur adalah positif. Jika kita membayangkan kristal campuran
terbentuk dari kristal murni A dan B, maka untuk proses pencampuran
A murni + B murni
kristal campuran.
Perubahan entropinya adalah
Smix  S(kristal campuran) - S(A murni ) - S(B murni) .
Entropi untuk kristal murni adalah nol, sehingga ∆S pencampuran disederhanakan menjadi
S mix   Nk ( xa ln xa  xb ln xb ),
(9.75)
dan bernilai positif.
Page 70 of 70
Download