TAPAL KUDA KEKUATAN BARU NUKLIR

advertisement
NUKLIR dan PERIMBANGAN TEROR
Surwandono1
Perbincangan nuklir semakin hari semakin intensif, dengan uji coba yang dilakukan
Korea Utara di bawah tanah yang kemudian sempat menimbulkan efek gempa di atas 4
SR.
Sedemikian
banyak
negara
non-nuklir
melakukan
peruntungan
dengan
mengembangkan nuklir sebagai sarana daya tawar terhadap kekuatan negara besar yang
selama ini diyakini berlaku tidak adil. Guns Diplomacy tampaknya menjadi pilihan paling
rasional bagi negara-negara yang sedang terjepit oleh kekuatan negara besar untuk bisa
keluar dari berbagai jerat dan perangkap.
Fenomena yang cukup menarik adalah negara-negara yang sedang mengembangkan
nuklir jika dipotret akan menyerupai tapal kuda Asia, bergerak dari Iran, Israel, India,
Pakistan dan Korea Utara. Dari 5 negara tersebut, hanya Israel-lah yang senantiasa
melenggang dan tidak dipersoalkan proses proliferasi nuklirnya oleh kekuatan negara
besar seperti AS dan Inggris.
Tulisan ini akan menyoroti kekuatan nuklir sebagai sarana bargaining negara-negara
yang terpinggirkan sekaligus akan memetakan peluang terciptanya tata keseimbangan
kekuatan yang baru dalam perspektif balance of terrors.
Nuklir dan Bargaining
5 tahun terakhir negara-negara non nuklir melakukan pengembangan secara masif
terhadap pengayaan uranium yang akan menghasilkan energi yang efisien dan ramah
lingkungan di tengah melambungnya harga minyak dunia yang bergerak di atas kisaran
50 US$ per barel. Sedangkan sebelum tahun 2000 harga minyak dunia hanya bergerak
antara 20-30 US$ per barel.
Namun pada sisi yang lain, peningkatan kapasitas nuklir ini justru dikembangkan oleh
kekuatan regional yang berada dalam posisi berseberangan dengan kepentingan AS dan
Inggris. Sehingga dengan sangat pongahnya George Bush melabeli dengan ungkapan
yang sangat sarkastik “poros kejahatan” atau “poros setan” terhadap negara-negara
pembangkang.
Pengembangan kapasitas nuklir ini dalam konteks hubungan internasional merupakan
salah satu sarana baru untuk melakukan politik bargaining terhadap kekuatan negaranegara besar. Pilihan pengembangan kapasitas nuklir ini diyakini akan meningkatkan
power suatu negara sampai berlipat-lipat. Artinya dengan kemampuan nuklir, maka suatu
negara bisa melakukan lompatan jauh ke depan dalam politik bargaining.
Negara kecil selama ini diyakini sebagai “keledai” yang bisa diperintahkan kemanamana, oleh negara-negara besar. Para “keledai” ini sekarang ini menjadi kekuatan
“Singa”, meskipun masih kecil namun memiliki daya gertak dengan aumannya. Dan
nuklir merupakan satu-satunya jalan, merubah performa politik “keledai” menjadi politik
“Singa”.
Balance of Terrors
Dalam literasi hubungan internasional, konsep balance of terrors merupakan sebuah
konsep yang mengambarkan proses menciptakan keseimbangan baru melalui instrumen
nuklir. Dengan kekuatan destruksinya yang sangat masif, nuklir telah menjadi teror yang
sangat mengerikan bagi setiap aktor hubungan internasional. Menguasai teknologi nuklir
secara masif akan mendongkrak kekuatan suatu negara menjadi negara yang powerful.
Setidaknya negara besar yang selama ini bisa mendikte perilaku politik negara kecil, akan
berfikir dua sampai tiga kali jika negara tersebut menguasai teknologi nuklir. Sedikit
1
Dosen Fisipol UMY dan Mahasiswa Doktoral Ilmu Hubungan Internasional UGM
gambarannya saja, kemampuan rudal Korea Utara sudah dalam kapasitas rudal jarak jauh
bahkan antar benua. Jika di hulu ledak rudal tersebut dipasang senjata nuklir, maka
negara AS, Inggris secara potensial sudah masuk daerah target yang bisa dihancurkan.
Konsep balance of terrors inilah yang tampaknya dipergunakan oleh Korea Utara untuk
menciptakan keseimbangan baru.
Kekuatan bargaining negara di Asia terhadap dominasi kekuatan negara AS dan Inggris
ditunjukkan dengan fenomena yang sangat berbeda dibandingkan dengan tipikal Amerika
Latin yang masih cenderung menggunakan kekuatan retorika dan idiologis. Memang
seorang Erik Morales dan Hugo Chaves merupakan tipikal pemimpin yang flamboyan
dalam menghadapi AS dan sekutu globalnya. Kritik pedas dan sikap berani berbeda
dengan negara lain menempatkan keduanya sebagai penerus nama besar Fidel Castro dari
Kuba.
Kekuatan pembangkang dari Asia memiliki nilai lebih, disamping memiliki kekuatan
diplomasi wacana namun juga memiliki guns yang cukup. Kim Jong Il dan Ahmadinejad
merupakan tokoh Asia yang sekarang sedang naik daun karena keberanian, kecerdasan
dan diiringi dengan “kenekatan” yang luar biasa untuk menghadapi penetrasi barat.
Keduanya memang berbeda dengan gaya pemimpin Pakistan Pervez Musharraf dan PM
India, yang cenderung mempergunakan nuklirnya untuk bargaining dalam persoalan
konflik perbatasan, khususnya masalah Kashmir. Keberanian Korea Utara dan Iran dalam
batas tertentu merupakan cerminan dari kuatnya legitimasi dua tokoh ini di negaranya
masing-masing. Sehingga ketika melakukan politik luar negeri, meminjam istilah
Sukarno –viveri veri colloso” (menyerempet bahaya), keduanya sedemikian percaya diri.
Dalam konteks menciptakan keseimbangan dan perdamaian, Iran ternyata lebih maju
dibandingkan dengan Korea Utara. Iran yang sudah hampir saja dieksekusi oleh DK
PBB senantiasa bisa mengkomunikasikan dengan baik, sehingga hasil dari negosiasi
tersebut semakin menguatkan posisi Iran. Alasan yang paling utama adalah nuklir yang
dikembangkan Iran senantiasa bergerak dalam arasy damai, nuklir Sipil. Sehingga
masyarakat Arab (Sunni) tidaklah terlalu khawatir dengan nuklir Iran, yang senantiasa
dipropagandakan AS bahwa dibalik Nuklir Iran adalah idiologi Syiah, keberhasilan nuklir
Iran akan diiringi dengan ekspor revolusi Syiah ke dunia Islam. Iran mempergunakan
nuklir sebagai balance terrors sebagai upaya membuat keseimbangan yang lebih fairness
dibandingkan dengan keseimbangan dan perdamaian sebelumnya yang diyakini
manipulatif.
Namun Korea Utara relatif memiliki masalah dengan negara sekitarnya, seperti Jepang
dan Korea Selatan yang sedemikian agresif terhadap uji coba nuklir Korea Utara.
Pengembangan nuklir Korea Utara jelas akan semakin merusak harmoni yang selama ini
sudah mulai menuju ke arah momentum yang tepat. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari
masih kuatnya pengaruh AS terhadap Korea Selatan, Taiwan dan Jepang di semenanjung
Asia Timur. Korea Utara sedemikian sulit untuk menjelaskan pada negara serumpunya,
bahwa nuklir Korea Utara adalah untuk menghadapi raksasa besar AS yang telah
mempurukkan Korea dan Asia Timur pada umumnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari
fakta bahwa kemakmuran Korea Selatan, Taiwan dan Jepang tidak bisa dilepaskan dari
asistensi AS. Artinya logika Korea Utara mempergunakan nuklir sebagai balance terrors
sebagai upaya membuat keseimbangan yang lebih fairness cenderung ditolak oleh negara
tetangganya.
Download