BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Radikal Bebas
2.1.1
Definisi Radikal Bebas
Radikal bebas adalah suatu molekul yang pada lapisan
elektron terluarnya tidak mempunyai elektron berpasangan.
Akibatnya radikal bebas akan selalu berusaha mengambil elektron
dari molekul atau senyawa lain di sekitarnya. Apabila radikal bebas
mengambil elektron dari protein, lemak, asam nukleat dari suatu sel
maka komponen protein, lemak dan asam nukleat dari sel tersebut
akan berubah dan fungsi sel tersebut akan terganggu. Asam nukleat
seperti DNA jika terkena radikal bebas akan berubah basa Guanin
(G) menjadi 8-OhdG dimana akan berpotensi mengalami mutasi
(Munoz & Costa, 2013). Simbol untuk radikal bebas berupa sebuah
titik yang berada didekat simbol atom (R•). Reactive Oxygen
Species merupakan senyawa pengoksidasi turunan oksigen yang
bersifat sangat reaktif yang terdiri atas kelompok radikal bebas dan
kelompok non radikal. Kelompok radikal bebas misalnya
superoxide anion, hydroxyl radicals, dan peroxyl radicals.
Kelompok non radikal seperti hidrogen peroksida dan organic
peroxides. Selain itu terdapat pula radikal bebas lain seperti
5
6
hydroperoxyl, alkoxyl, karbonat, karbon dioksida, atomic chlorine
dan nitrogen dioksida (Ardhie, 2011).
2.1.2
Tahap Pembentukan Radikal Bebas
Secara umum terdapat tiga tahapan pembentukan radikal
bebas antara lain sebagai berikut (Winarsi, 2011):
1. Tahap Inisiasi adalah fase awal pembentukan radikal bebas,
misalnya:
Fe++ + H2O2Fe+++  OH- + •OH
2. Tahap Propagasi adalah fase pemanjangan rantai radikal,
misalnya:
R3_H + R2•  R3• + R2_H
3. Tahap Terminasi adalah tahap dimana terjadi reaksi antara
senyawa radikal satu dengan senyawa radikal lainnya atau
dengan penangkap radikal, misalnya:
R2• + R2•  R2_R2
2.1.3
Sumber Radikal Bebas dalam Sel
Sumber radikal bebas dapat dari lingkungan maupun
sumber endogen. Radikal bebas dari lingkungan dapat berupa
paparan sinar ultraviolet, asap rokok, asap dari pembakaran bahan
bakar fosil dan lain-lain. Sumber radikal bebas endogen berasal
dari metabolisme energi di mitokondria seperti peroksida
(Winarsi,2007). Perubahan oksigen yang kita hirup oleh sel tubuh
7
secara kontan menjadi senyawa reaktif dikenal sebagai senyawa
oksigen reaktif atau Reactive Oxygen Species (ROS). Hal ini dapat
berlangsung saat proses sintesa sinergi oleh mitokondria atau
proses detoksifikasi yang melibatkan enzim sitokrom P-450 di hati
(Halliwell dan Gutteridge,2007).
2.1.3.1 Membran sel
Protypic NADPH oksidase ditemukan pada fagosit
yang terlokalisasi di membran plasma dan fagosom. Hal ini
terdiri dari gp91 phox dan subunit kecil p22 phox yang
membentuk b558 flavocytochrome dimana merupakan inti
katalitik dari NADPH oksidase dalam menghasilkan O2.
Beberapa homolog dari gp91 phox sekarang disebut NOX2
(NOX1-5) dan yang lebih jauh terkait dengan DUOX1/2
(dualoksidase). NOX2 terutama diekspresikan di sel
polimorfonuklear, makrofag dan sel endotel, tetapi ekspresi
ini juga dibuktikan pada tipe sel lainnya termasuk sel dari
CNS, sel otot polos, fibroblast, kardiomiosit, otot rangka,
hepatosit, dan sel induk hematopoietik. NOX1 paling tinggi
diekspresikan di epitel kolon dan juga terdeteksi dalam
perut bagian bawah pada sel otot polos, sel endotel,
plasenta, sel pulau langerhans, dan sel jenis lainnya serta
terlokalisasi terutama pada membran plasma dari caveolae,
tetapi juga pada awal endosom atau inti sel (Winarsi,2007).
8
NOX3 diekspresikan di jaringan janin, tetapi juga
ditemukan pada telinga dalam, sel HepG2 pada makrofag
celline tikus RAW264.7 dan pada endotel paru mencit.
NOX4 diekspresikan sangat luas pada berbagai jaringan,
terutama di ginjal, tetapi juga pada kebanyakan jaringan dan
sel lain termasuk sel endotel, sel otot polos, fibroblast dan
hepatosit. Berbeda dengan kebanyakan NOX, NOX4
terutama terlokalisasi di retikulum endoplasma maupun di
luar membran inti. Ekspresi NOX5 telah terdeteksi di testis,
prostat, limpa, limfonodi, tetapi juga di sel endotel dan sel
otot
polos
dan
terutama
terlokalisasi
di
retikulum
endoplasma. Protein DUOX 1/2 paling tinggi diekspresikan
di tiroid, tetapi juga dalam epitel paru-paru dan saluran
pencernaan
terutama
di
retikulum
endoplasma
dan
membran plasma (Winarsi,2007).
Kebanyakan NOX dan dua anggota DUOX
membutuhkan subunit sitosol untuk aktivasi yang lengkap.
NOX2 merupakan subunit sitosol p40phox, p47phox,
p67phox maupun monomerik GTPaseRac. NOX1 dan
NOX3 dapat diatur oleh NOXO1 (homolog p67 phox) dan
NOXA1 (homolog p47 phox) sementara DUOX1 dan
DUOX2 membutuhkan regulator mereka yaitu DUOXA1
dan DUOXA2. Selain protein regulasi, aktivasi NOX5 dan
9
DUOX1/2
membutuhkan
kalsium
dan
NOX5
juga
membutuhkan calmodulin (Winarsi,2007).
2.1.3.2 Mitokondria
ROS terutama dihasilkan di mitokondria dengan
jumlah
ROS
yang
lebih
sedikit
pada
perempuan
dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan hal tersebut dapat
dilihat juga pada kadar enzim antioksidan perempuan yang
terinduksi oleh kerja estrogen. Rantai transport elektron
dalam mitokondria merupakan sumber penting dari
pembentukan O2 yang secara primer disebabkan oleh
bocornya elektron dari kompleks I (NADH-CoQ reduktase)
dan kompleks III (Sitokrom c reduktase). Selain itu asetil
KoA juga akan menghasilkan enzim piruvat dehidrogenase
(PDH) dan enzim-enzim pada siklus krebs seperti αketoglutarate dehidrogenase (KGDH) yang bersumber dari
O2-. Hal ini menunjukkan bahwa enzim redoks p66Shc
terlibat dalam reduksi langsung dari oksigen menjadi H2O2
di
dalam
ruang
intermembran
dengan
menurunkan
ekuivalen melalui oksidasi sitokrom C (Winarsi,2007).
2.1.3.3 Retikulum Endoplasmik
Retikulum endoplasmik merupakan tempat dengan
jumlah ROS yang tinggi. ROS yang terlokalisasi di
retikulum endoplasmik berasal dari hasil oksigenase yang
terlokalisasi di retikulum endoplasmik dan endoplasmic
10
oxidoreductin 1 (ERO1). Selain itu, disisi lain juga NADPH
yang terlokalisasi di retikulum endoplasmik seperti NOX4,
NOX5, dan DUOX1/2 dapat berkontribusi terhadap
pembentukan ROS di dalam retikulum endoplasmik
(Winarsi,2007).
2.1.3.4 Lisosom
Lisosom merupakan organel yang terlibat dalam
degradasi material ekstraseluler dan intraseluler yang
berhubungan
dengan
fagositosis,
endositosis,
dan
autophagy. Degradasi asam hidrolase memerlukan pH
sekitar 4,8 dan untuk menghasilkan pH tersebut lisosom
mengandung rantai redoks yang mirip dengan rantai
transport elektron pada mitokondria yang terlibat dalam
distribusi proton dan akan menghasilkan ROS sebagai
produk akhirnya (Winarsi,2007).
2.1.3.5 Peroksisom
Peroksisom
berperan
pada
beberapa
proses
metabolik termasuk beta oksidasi asam lemak rantai
panjang, bagian oksidatif dari jalur pentosa fosfat,
biosintesis fosfolipid, metabolisme purin dan poliamin
maupun oksidasi asam amino dan poliamin. Banyak enzim
yang terlibat dalam jalur ini yaitu flavin dependent oxidase
yang menghasilkan H2O2. Proses utama pembentukan
H2O2 adalah beta oksidasi asam lemak sedangkan
11
munculnya peroxisomal xanthine oxidase tidak hanya
untuk menyediakan H2O2 tetapi juga O2. Pembentukan
H2O2 ini dapat meningkatkan pembentukan ROS lain yang
dapat merusak sel sehingga harus didegradasi menjadi zat
non reaktif melalui enzim katalase yang mengubah H2O2
menjadi O2 dan H2O (Winarsi,2007).
2.1.4
Sifat Radikal Bebas
Radikal bebas memiliki dua sifat yaitu memiliki reaktivitas
yang tinggi karena memiliki kecenderungan menarik elektron dan
dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal. Sifat
kecenderungan untuk menarik elektron merupakan sifat radikal
bebas yang mirip dengan oksidan sehingga disebut juga penerima
elektron. Namun tidak setiap oksidan adalah radikal bebas. Reaksi
rantai (chain reaction) terbentuk karena kedua sifat radikal bebas
diatas yang apabila menjumpai molekul lain akan membentuk
radikal baru lagi. Radikal hidroksil merupakan senyawa yang
paling berbahaya karena memiliki reaktivitas yang sangat tinggi
(Halliwell dan Gutteridge,2007).
Awal dari kerusakan-kerusakan sel terjadi apabila radikal
bebas sempat bertemu dengan enzim atau asam lemak tak jenuh
yang disertai dengan penurunan mekanisme pertahanan tubuh.
Kerusakan tersebut dapat berupa kerusakan deoxyribonucleic acid
pada inti sel, kerusakan membran sel, kerusakan protein, kerusakan
12
lipid
peroksida,
dan
proses
penuaan
(Halliwell
dan
Gutteridge,2007).
2.2
Antioksidan
Antioksidan
merupakan
molekul
yang
bertindak
sebagai
pertahanan terhadap kerusakan oksidatif (Masaki, 2010). Berdasarkan
mekanisme pertahanannya, antioksidan dapat dibagi menjadi tiga yaitu
antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan primer menetralisir
dengan mendonasikan 1 elektronnya sehingga kehilangan 1 elektron dan
menjadi radikal bebas baru namun sifatnya relatif stabil dan akan
dinetralisir oleh antioksidan lainnya misalnya vitamin E, vitamin C, asam
α lipoat, CoQ10, dan flavonoid. Antioksidan sekunder bekerja dengan
mengikat logam, menyingkirkan berbagai logam transisi pemicu ROS dan
menyingkirkan ROS misalnya transferin, albumin, dan laktoferin.
Antioksidan tersier bekerja mencegah penumpukan molekul yang telah
rusak sehingga tidak menimbulkan kerusakan lebih lanjut misalnya enzim
metionin sulfaoksida reduktase memperbaiki kerusakan DNA, enzim
proteolitik memproses protein yang teroksidasi dan sebagainya (Ardhie,
2011).
Proses oksidasi dapat dihambat/diperlambat oleh antioksidan.
Proses oksidasi merupakan peristiwa alami yang terjadi di alam dan dapat
terjadi dimana-mana tak terkecuali di dalam tubuh kita. Apabila terjadi
reaksi oksidasi dimana menghasilkan radikal bebas (OH-) sebagai hasil
sampingannya maka tanpa adanya antioksidan, radikal bebas ini akan
13
menyerang molekul-molekul lain disekitarnya yang pada akhirnya akan
membentuk reaksi berantai yang sangat membahayakan. Berbeda halnya
apabila terdapat antioksidan, maka radikal bebas tersebut akan segera
bereaksi dengan antioksidan membentuk molekul yang stabil dan tidak
berbahaya sehingga reaksi pun berhenti sampai disini (Halliwell dan
Gutteridge,2007).
2.2.1
Klasifikasi Antioksidan
Antioksidan dapat diklasifikasikan berdasarkan sumbernya,
interaksinya, dan kelarutannya. Berdasarkan sumbernya terdapat
antioksidan endogen dan eksogen. Antioksidan endogen dapat
dibagi menjadi enzimatik (misalnya SOD, G6PD, dan sitokrom
oksidase serta peroksidase) dan non enzimatik (misalnya
glutathione,
bilirubin,
plasmin,
transferin
dan
lain-lain.
Antioksidan eksogen misalnya vitamin C, vitamin E, zinc,
selenium, dan lipoic acid.
Berdasarkan interaksinya dapat dibagi menjadi tiga yaitu
enzimatik, pencegah dan pemutus reaksi rantai. Antioksidan
enzimatik bekerja dengan cara mengkatalisasi pemusnahan radikal
bebas. Antioksidan pencegah bekerja mengikat ion logam transisi.
Antioksidan pemutus reaksi rantai bekerja sebagai donor elektron
yang kuat dan bereaksi dengan radikal bebas sebelum merusak
molekul sasaran.
Berdasarkan kelarutannya terdiri dari antioksidan larut
dalam lemak (vitamin A, vitamin E dan CoQ10), antioksidan yang
14
larut dalam air (vitamin C dan glutathione), antioksidan yang larut
dalam lemak dan air (alpha lipoic acid) (Krutmann dan Humbert,
2011).
2.2.2
Mekanisme Kerja Antioksidan
Antioksidan dapat dibagi menjadi dua golongan berdasarkan
mekanisme pencegahan dampak negatif oksidan antara lain sebagai
berikut (Murray, 2009):
1.
Antioksidan Pencegah
Merupakan antioksidan yang dapat mencegah terbentuknya
radikal yang paling berbahaya bagi tubuh yaitu radikal hidroksil.
Yang termasuk dalam golongan ini adalah:
a. Super Oxide Dismutase (SOD) berada di dalam mitokondria (Mn
SOD) dan dalam sitoplasma (Cu Zn SOD).
b. Catalase (Cat) dalam sitoplasma, dimana catalase ini mampu
mengkatalisir H2O2 menjadi H2O dan O2. Komplemen Cat adalah
Fe.
c. Gluthation peroxidase yang merupakan salah satu golongan
enzim peroksidase dimana enzim ini dapat meredam H2O2
menjadi H2O melalui siklus redoks glutation.
d. Senyawa yang mengandung gugus sulfhidril seperti glutation,
sistein, kaptopril yang dapat mencegah timbunan radikal
hidroksil dengan mengkatalisir menjadi H2O
2.
Antioksidan Pemutus Rantai (Chain Breaking)
15
Merupakan
zat
yang
dapat
memutus
rantai
reaksi
pembentukan radikal bebas asam lemak pada membran sel dan
mencegah peroksidasi lemak sehingga tidak terjadi kerusakan sel.
Antioksidan pemutus rantai ini dapat digolongkan menjadi
antioksidan endogen yaitu glutation, sistein dan eksogen yaitu
vitamin C, vitamin E serta beta karoten (Widowati,2010).
2.3
Stres Oksidatif
Jika radikal bebas jumlahnya melebihi antioksidan maka akan
menimbulkan keadaan yang disebut stres oksidatif. Keadaan ini
mengakibatkan jumlah radikal bebas menjadi berlebihan yang selanjutnya
akan bereaksi dengan lemak, protein, asam nukleat seluler, sehingga
terjadi kerusakan lokal dan disfungsi organ tertentu. Jadi, stres oksidatif
dapat dipandang sebagai gangguan keseimbangan antara produksi oksidan
dan pertahanan antioksidan atau destruksi oleh ROS seperti anion
superoksida (O2-), radikal hidroksil (OH•), hidrogen peroksida (H2O2),
radikal nitrit oksida (NO•) dan peroksinitrit (ONOO-•). Salah satu efek
lanjutan dari stres oksidatif adalah memicu terjadinya kanker.
Saat ini konsep stres oksidatif juga harus mencakup perubahan
stres nitrosative menjadi stres metabolik yang berperan dalam peristiwa
seluler dan ekstraseluler. Pada keadaan fisiologis Reactive Oxygen
Intermediate (ROI) dan Reactive Nitrogen Intermediate (RNI) secara
konstan diproduksi. ROI dan RNI dapat bereaksi dengan protein,
karbohidrat dan lemak yang mengakibatkan perubahan homeostasis
16
intraseluler dan interseluler yang memicu kematian sel dan regenerasi.
Sistem pertahanan antioksidan mungkin saja mengalami kewalahan oleh
berbagai faktor patologi atau lingkungan sehingga sebagian kecil ROS
dapat selamat dari kehancuran dan membentuk radikal hidroksil yang lebih
reaktif. Peningkatan ROS- menimbulkan kerusakan pada DNA dan
biomolekul lainnya sehingga dapat merusak fungsi normal sel dan
menyebabkan penuaan serta berbagai penyakit (Rahman dkk., 2012).
Studi di Framingham stres oksidatif dan resistensi insulin
berhubungan dengan panjang telomer dan perlu diketahui telomer yang
panjang berperan sebagai barier yang penting dalam kelainan pemisahan
saat mitosis sel (aberrant segregation) sehingga melindungi sel dari
aneuploidi yang merupakan salah satu hallmark dari kanker (Munoz &
Costa, 2013).
2.4
Telomer
Telomer merupakan struktur protektif pada ujung kromosom sel
eukaryotik yang terdiri dari tandem arrays of hexameric repeats
(TTAGGG) yang dapat berikatan dengan protein spesifik. Telomer
memiliki peran penting dalam mempertahankan integritas struktur dari
genom yang dapat mencegah kromosom dari nukleolitik mengalami
kerusakan, bergabung, dan rekombinasi atipikal. Telomer pada sel somatik
manusia dapat mengalami pemendekan sepanjang 30-200 bp setiap proses
mitosis sehingga panjang telomer dapat menjadi indikator riwayat mitosis
(Wang dkk.,2015)
17
Struktur telomer terdiri dari pengulangan TTAGGG pada ujung
kromosom. Urutan nukleotida ini universal dan konsisten diantara
sebagian besar spesies, namun panjang telomer spesifik terhadap spesies
dan bervariasi antara 4 ribu dan 15 ribu nukleotida. Pada ujung 3’ telomer
tidak mempunyai untai anti paralel dan panjang untai tesebut bervariasi
antara 100-200 nukleotida pada manusia. Untai tunggal tersebut
membentuk struktur hairpin loop yang dinamakan T-loop, dan dikelilingi
berbagai jenis protein yang bersama-sama berfungsi menutup DNA serta
membantu mencegah fusi ataupun kerusakan ujung kromosom. Struktur
penutup ini juga dapat membentuk struktur G-quadruplex dari 2 atau 4
untai tunggal. Struktur loop dari akhir telomer ini dipertahankan oleh
sejumlah protein telomer spesifik yang membentuk kompleks 6 protein
yang disebut telosome atau kompleks multiprotein shelterin. Shelterin
mengandung protein yang berikatan secara langsung dengan singlestranded TTAGGG seperti POT1 atau double-strand telomeric repeats
yakni faktor-faktor yang berikatan dengan telomer seperti TRF1 dan
TRF2. Protein ini dihubungkan oleh tiga protein tambahan yaitu TIN2,
TPP1, dan RAP1 (Gambar 1). Kompleks shelterin menentukan fungsi
proteksi telomer secara umum yang disebut ”capping function”, antara
lain: mencegah kromosom DNA dikenali sebagai double-stranded breaks
dan mulainya respon kerusakan DNA, menjaga kromosom akhir dari
degradasi enzimatik, mencegah end-to-end fusion kromosom (Hoffmann
dan Spyridopoulos, 2011).
18
Gambar 2.1. Struktur Telomer. Double-stranded telomeric repeats
diikat oleh kompleks multiprotein yang dikenal sebagai shelterin atau
telosome, terdiri dari TRF1, TRF2, TIN2, RAP1, POT1 dan TPP1
Pada saat replikasi telomer memendek karena ketidakmampuan
DNA polymerase bekerja pada ujung 3’ yang berupa untai tunggal.
Pemendekan telomer yang kritis dapat berupa hilangnya protein penutup
sehingga berakibat disfungsi telomer dengan konsekuensi fusi kromosom
dan instabilitas genomik. Namun ketika pemendekan telomer mencapai
titik kritis, maka terjadi cell cycle arrest, senescence dan apoptosis.
Peristiwa ini dapat dianggap sebagai mekanisme proteksi, namun jika sel
mampu melewati cell cycle arrest maka sel akan mengalami keganasan
(Bermadotte dkk., 2016). Kecepatan pemendekan telomer bergantung pada
keseimbangan
antara
stres
oksidatif
intraseluler
dan
pertahanan
antioksidan (Salpea.,dkk,2010).
Apabila suatu sel mengalami kondisi seperti inflamasi, stres
oksidatif dan penuaan maka akan menyebabkan terjadinya pemendekan
19
telomer. Pada telomer banyak terkandung guanin sehingga apabila
mengalami stres oksidatif akan menyebabkan telomer menjadi sangat
sensitif terhadap kerusakan terutama pada urutan GGG. Selain itu, telomer
juga sangat sensitif terhadap radikal hidroksil sehingga menyebabkan
pemecahan DNA (García-Calzón dkk., 2015).
2.5
Penyakit-Penyakit Berhubungan dengan Stres Oksidatif
Stres oksidatif mampu memberikan banyak efek terutama kearah
inflamasi, dimana secara molekuler radikal bebas yang tinggi dapat
mengaktifkan faktor-faktor transkripsi yang sensitif dengan reaksi redoks
sehingga pada akhirnya memicu reaksi kaskade inflamasi dan peningkatan
radikal bebas (Munoz & Costa, 2013).
Stres oksidatif diketahui berhubungan dengan stres pada sel-sel
yang berhubungan dengan penyakit seperti penyakit kardiovaskuler
diabetes melitus tipe 2, obesitas dan sindorm metabolik. Pada diabetes
mellitus tipe 2 terjadi stres oksidatif pada sel-sel beta pankreas yang
mengakibatkan menurunnya ekspresi glucose transporter 4 (GLUT4)
sehingga mempengaruhi onset penyakit (Munoz & Costa, 2013). Selain
itu, peningkatan stres oksidatif juga berhubungan dengan penyakit
pradiabetes dan sindrom metabolik. Pada kondisi hiperglikemi terjadi
peningkatan produksi reactive oxgen species (ROS) akibat meningkatnya
input menuju ke rantai transport elektron mitokondria. Produksi ROS yang
berlebih ini dapat memicu jalur yang bertanggung jawab terhadap
kerusakan sel yang diinduksi oleh hiperglikemia (Salpea.,dkk,2010).
20
Pada penyakit kardiovaskuler terjadi stres oksidatif pada sel-sel
endotel dalam pembuluh darah sehingga terbentuk peroksinitrit yang
mempengaruhi produksi nitrit oksida (NO) mengakibatkan terganggunya
vasodilatasi pembuluh darah dan pada akhirnya terjadi penyakit
kardiovaskuler. Selain itu stres oksidatif juga dapat mempengaruhi
ekspresi suatu gen melalui mekanisme epigenetik dimana stres oksidatif
berinteraksi dengan keluarga enzim dioksigenase sehingga mempengaruhi
status metilasi histon (Munoz & Costa, 2013).
Diabetes mellitus (DM) merupakan masalah besar karena berbagai
komplikasi yang ditimbulkan pada berbagai organ dimana komplikasi
tersebut disebabkan oleh meningkatnya pembentukan advanced glycation
end products (AGEs), dan radikal bebas yang lain (Kataya, 2007;
Srinivasan, 2007). Radikal bebas yang meningkat pada DM disertai
dengan penurunan fungsi
antioksidan endogen, seperti
misalnya
superoxide dismutase (SOD) dan catalase, sehingga terjadi stres oksidatif
(Maritim et al.,2003). Pemberian antioksidan pada penderita DM dapat
mengatasi komplikasi makrovaskular, mikrovaskular serta mengatasi
kerusakan jaringan akibat stres oksidatif (Lean, 1999; Kataya, 2007).
2.6
Apoptosis
2.6.1
Peran p53 Sebagai Sensor Stres Oksidatif
Protein p53 diinduksi oleh kerusakan DNA melalui aktivasi
ATM/ATR dan Chk1/Chk2 kinases, selanjutnya p53 akan
menginduksi terperangkapnya siklus sel, menstimulasi perbaikan
DNA dan melindungi stabilitas genomik produksi p53 yang disebut
21
“guardian of the genome”. Stres oksidatif, hipoksia, kehilangan
nutrisi atau aktivasi onkogen juga akan memicu p53 melalui
mekanisme pembentukan dan menstimulasi ekspresi gen p53dependent, serta memfasilitasi terjadinya stres. Paparan stres yang
terlalu sering menyebabkan p53 dapat menstimulasi jalur
pengeliminasian sel melalui induksi dari kematian sel. Hasil dari
pro-survival atau pro-death ditentukan oleh sensitivitas dari
promoter. Respon terhadap stres yang lemah atau sedang, p53
menstimulasi ekspresi dari gen pro-survival yang melindungi sel
dari kerusakan. Promoter dari gen ini sangat sensitif terhadap
aktivasi p53 yang rendah dan biasanya aktivasi ini terjadi sangat
cepat setelah terjadinya stres. gen pro-apoptosis teraktivasi sebagai
respon stres yang intens dan perlambatan yang signifikan jika
dibandingkan dengan gen pro-survival.
Meskipun protein p53 ditekan oleh Mdm2 dibawah kondisi
non stres dan mempunyai waktu paruh sekitar 20 menit, hal ini
dapat secara mudah diaktivasi oleh stres multiple. Stres ringan
dapat diinduksi oleh kesalahan dalam replikasi DNA, akumulasi
ROS atau penurunan kadar ATP. Hal ini menyebabkan modifikasi
p53 melalui fosforilasi dan beberapa mekanisme lainnya seperti
asetilasi, metilasi, ubiquitilasi, neddylasia atau summoylasi. p53
dapat juga diaktivasi oleh mekanisme redox-dependent yang
melibatkan faktor redoks Refl. Sebagai hasilnya, hal ini dapat
memicu stimulasi gen p53-dependent yang terlibat dalam supresi
22
ROS dan meningkatkan metabolisme. Aktivasi p53 oleh stres yang
berat dapat memicu kematian sel atau terperangkapnya siklus sel
secara permanen.
2.6.2
Fungsi p53 Sebagai Antioksidan
ROS menyebabkan kerusakan DNA oksidatif yang
meningkatkan
kecepatan
mutagenesis
dan
ketidakstabilan
kromosom. Selain itu p53 menghambat oksidasi DNA dan
mutagenesis melalui supresi ROS. ROS juga terlibat dalam aktivasi
jalur signaling pengontrol pertumbuhan sel, proliferasi, viabilitas,
dan transformasi seperti kaskade PI3K-AKT, JAK-STAT, PLCPKC, MAPK atau IKK-NF-κB. Mereka juga memiliki peran
penting dalam stimulasi angiogenesis dan transisi epitel-mesenkim
yang mana kedua hal ini merupakan tahap yang penting dari
perkembangan kanker. Dengan demikian akumulasi ROS pada sel
kanker bertanggung jawab untuk angka mutagenesis yang tinggi
dalam onkogen dan gen suppressor tumor, stimulasi proliferasi sel
dan transformasi malignant dan akhirnya untuk angiogenesis,
invasi dan metastasis.
2.6.2.1 Enzim Antioksidan
MnSOD merupakan enzim yang bertanggung jawab
dalam penguraian superoksida (O2-) menjadi bentuk H2O2
yang kurang toksik dalam reaksi 2O2- +H2+ = H2O2 + O2.
Superoksida diproduksi sebagai hasil dari fosforilasi
23
oksidatif mitokondria atau melalui aktivasi NADPH
oksidase.
Mitokondria
adalah
sumber
utama
dari
superoksida dan ROS lainnya, dan diperkirakan sekitar 2%
oksigen dikonsumsi oleh mitokondria yang sehat dan
diubah menjadi bentuk O2-.
Disfungsi mitokondria oleh stres atau kontrol
integritas mitokondria yang tidak tepat menyebabkan
peningkatan kebocoran elektron dari rantai pernafasan.
Superoksida yang sangat reaktif mengakibatkan dirinya
menjadi sangat tidak stabil. Hal ini dapat merusak
makromolekul yang berbeda dalam mitokondria termasuk
lemak,
protein
dan
DNA
yang
nantinya
akan
mempengaruhi fungsi mitokondria dan menstimulasi
kebocoran elektron yang luas dan produksi ROS.
MnSOD yang berada dalam matriks mitokondria,
berperan penting dalam detoksifikasi O2- sehingga akan
menghasilkan H2O2 yang kurang reaktif. p53 mengaktivasi
ekspresi MnSOD melalui pengenalan langsung promoter
MnSOD pada posisi -2032—2009 dari gen manusia
Enzim antioksidan lain yang penting dan diatur oleh
p53 adalah GPx1 (Glutathione peroksidase 1). Enzim ini
bertanggung jawab untuk penguraian H2O2 melalui reaksi 2
GSH + H2O2 = GS-SG + H2O dimana GSH dan GS-SG
mengalami
reduksi
dan
oksidasi
dan
merupakan
24
antioksidan seluler utama. Selenoprptein GPx1 memiliki
peran utama dalam penguraian H2O2, sebuah molekul yang
dapat berdifusi yang dapat bereaksi dengan makromolekul
yang berbeda termasuk membrane lipid, protein dan DNA.
p53 mengaktifkan ekpresi gen GPx1melalui ikatan -694—
720
dengan
promoternya
dan
menstimulasi
respon
antioksidan.
2.7
Sirsak (Annona muricata.L)
2.7.1
Taksonomi Sirsak dan Manfaat Daun Sirsak
Sirsak adalah anggota keluarga dari Annonaceae yang
terdiri dari 130 genus dan 2300 spesies. Sirsak berasal dari daerah
tropis di Amerika Selatan dan Utara dan saat ini sudah tersebar luas
di dunia baik daerah tropis maupun subtropis termasuk India,
Malaysia, dan Nigeria. Tanaman sirsak banyak hidup di daerah
dataran rendah dengan tinggi mencapai 5-8 meter di alam bebas
serta memiliki daun yang berwarna hijau tua. Selain itu tanaman
sirsak juga memiliki buah yang dapat dikonsumsi dan memiliki
ukuran yang besar dengan diameter yang bervariasi antara 15 dan
20 cm, berbentuk seperti jantung dan berwarna hijau (Gambar 1).
Klasifikasi dari tumbuhan sirsak adalah: (Maas, 1994)
Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
25
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Polycarpiceae
Familia
: Annonaceae
Genus
: Annona
Spesies
: Annona muricata L.
Gambar 2.2. (A) Annona muricata L.; (B) Daun ; (C) Bunga;
(D) Buah
A.squamosa dan A.reticulata merupakan spesies dari
tanaman sirsak yang banyak digunakan sebagai obat tradisional
dalam mengobati berbagai penyakit terutama kanker dan infeksi
parasit. Hampir semua bagian dari tanaman ini dapat dimanfaatkan
untuk kesehatan baik dari buah, daun, biji, akar dan bunga.
Daun sirsak secara tradisional digunakan untuk mengobati
nyeri kepala, insomnia, masalah hati, diabetes, hipertensi dan
sebagai antiinflasmasi, antispasmodik, dan antidisentri. Rebusan
daun sirsak memiliki
efek parasitisida, antireumatik,
dan
antineuralgia ketika digunakan secara internal. Daun yang telah di
26
masak tersebut secara topikal digunakan untuk abses dan reumatik
(de Sousa dkk., 2010). Selain itu di Amerika Selatan dan Afrika
tropis
termasuk
Nigeria,
daun
sirsak
digunakan
sebagai
ethnomedicine dalam melawan tumor dan kanker. Efek anti
inflamasi, hipoglikemi, sedatif, pelemas otot polos, hipotensi, dan
antispasmodik juga dikaitkan dengan daun, kulit pohon, dan akar
dari tanaman sirsak. (Maghadamtousi dkk.,2015)
2.7.2
Kandungan Daun Sirsak
Semua bagian dari tumbuhan sirsak memiliki beberapa
kandungan kimia antara lain alkaloid (ALK), megastigmanes
(MG), flavonol triglycosides (FTG), phenolics (PL), cyclopeptides
(CP),
dan
minyak
essensial
(Maghadamtousi
dkk.,2015).
Kandungan kimia yang menonjol dari A.muricata adalah alkaloid
(reticulin, coreximine, coclarine dan anomurine) dan minyak
essensial
(-caryophyllene, -cadinene, epi-α-cadinol and -
cadinol).
Kandungan acetogenin dari keluarga Annonaceae termasuk
A.muricata
saat
ini
telah banyak diteliti
misalnya
yang
teridentifikasi pada daun sirsak yaitu annomuricins A dan B,
gigantetrocin A, annonacin-10-one, muricatetrocins A dan B,
annonacin, goniothalamicin, muricatocins A dan B, annonacin A,
(2,4-trans)-isoannonacin, (2,4-cis)-isoannonacin, annomuricin C,
muricatocin C, gigantetronenin, annomutacin, (2,4-trans)-10R-
27
annonacin-A-one, (2,4-cis)-10R-annonacin-A-one, annopentocins
A, B dan C, cis- dan trans-annomuricin-D-ones, annomuricine,
muricapentocin, muricoreacins dan murihexocin C
serta
annocatacin A dan B. Acetogenin ini memiliki sifat sitotoksik
terhadap sel tumor dan aktivitas molluscicidal (de Sousa dkk.,
2010). Daun sirsak telah terbukti menjadi sumber yang kaya
senyawa
annonaceous
acetogenin
(AGEs)
(Tabel.1)
(Maghadamtousi dkk.,2015).
2.7.3 Antioksidan dan Anti Inflamasi dalam Ekstrak Etanol Daun
Sirsak
Identifikasi antioksidan dari produk alam saat ini menjadi
suatu ketertarikan pada studi-studi terutama yang berperan dalam
mencegah efek destruksi dari ROS (Moghadamtousi dkk., 2015).
Daun Sirsak mengandung alkaloid dan minyak esensial serta
mempunyai sifat antioksidan dan anti-inflamasi (de Sousa dkk.,
2010). Aktivitas antioksidan dari daun A.muricata ditemukan lebih
kuat dibandingkan A.squamosa dan A.reticulata yang ditunjukkan
pada model in vitro yang berbeda, seperti ATBS, nitric oxide dan
radikal hidroksil. Biji dan daun dari tanaman ini dilaporkan
memiliki antioksidan enzimatik, termasuk katalase dan superoxide
dismutase dan antioksidan non-enzimatik, termasuk vitamin C dan
E (Moghadamtousi dkk., 2015).
Efek anti-inflamasi dibuktikan melalui percobaan paw
edema yang diinduksi dengan carrageenan pada tikus. Paw edema
28
dihasilkan oleh pelepasan mediator seperti histamin, serotonin,
bradykinin, substance P dan
prostaglandin, namun pemberian
secara oral ekstrak daun sirsak dapat menghambat pembentukan
paw edema (de Sousa dkk., 2010).
29
Tabel 2.1.
Kandungan kimia isolat daun dari Annona muricata.
ALK: alkaloid; AGE: annonaceous acetogenin; MG:
megastigmane; FTG: flavonol triglycoside
Bagian
Tumbuhan
Daun, pericarp
Klas
Aktivitas Biologis
annomuricin A
AGE
Daun
annomuricin B
AGE
Daun
annomuricin C
AGE
Daun
annomuricin E
AGE
Daun
annomutacin
AGE
Daun
AGE
Daun
(2,4-cis)-10Rannonacin-A-one
(2,4-trans)-10Rannonacin-A-one
annohexocin
Daun
annocatacin B
AGE
Daun
Daun
anonaine
quercetin 3-Orutinosid
annoionoside
ALK
FTG
Toksisitas melawan, sel
kanker paru A549,
kanker payudara MCF7, kanker kolon HT-29
Toksisitas melawan sel
kanker paru A549,
kanker payudara MCF7, kanker kolon HT-29
Toksisitas melawan sel
kanker paru A549,
kanker payudara MCF7, kanker kolon HT-29
Toksisitas melawan sel
kanker pankreas MIA
PaCa-2 dan kanker
kolon HT-29
Toksisitas melawan sel
kanker paru A549
Toksisitas melawan sel
kanker paru A549
Toksisitas melawan sel
kanker paru A549
Toksisitas melawan sel
kanker yang berbeda
Toksisitas melawan sel
hepatoma
Neurotoksik
-
MG
-
Daun
Daun
Kandungan
Sumber: Moughadamtousi dkk., 2015, hal.15628
AGE
AGE
Download