Bab IV Hasil dan Pembahasan

advertisement
Bab IV Hasil dan Pembahasan
IV.1 Menentukan Suhu dan Waktu Karbonisasi
Pada penentuan suhu dan waktu karbonisasi yang optimum, dilakukan
pemanasan sampel sekam pada berbagai suhu dan waktu pemanasan.
pemanasan disaring
Hasil
dengan ayakan 230 mesh kemudian diukur kapasitas
adsorpsinya terhadap yodin dengan waktu kontak 1 jam. Keaktifan arang hasil
pemanasan sekam padi yang dihasilkan adalah seperti terlihat pada gambar
berikut :
Gambar IV.1 Penentuan waktu dan suhu karbonisasi
Berdasarkan gambar IV.1 tersebut, maka kondisi optimum karbonisasi
sekam padi dicapai pada suhu 400˚C dalam waktu 1 jam. Pada suhu ini senyawa
karbon organik mengalami karbonisasi secara maksimal tapi pada saat yang
bersamaan karbon hasil karbonisasi juga akan teroksidasi lebih lanjut menjadi gas
CO atau CO2. Pada saat 1 jam pertama pemanasan, karbonisasi berjalan optimum
sedangkan oksidasi baru mulai berjalan. Hal ini ditandai dengan warna arang
yang hitam tanpa terlihat adanya abu. Setelah lebih dari 1 jam dan seterusnya
38
karbon yang telah terbentuk terus teroksidasi mengakibatkan jumlah karbonnya
semakin kecil dan abu semakin banyak, sehingga secara umum kualitas maupun
kuantitas karbon semakin
menurun. Karena dalam proses karbonisasi ini
ruang karbonisasi tidak benar-benar bebas udara, maka selain suhu, waktu
optimum untuk karbonisasi cukup penting untuk diperhatikan agar diperoleh
kualitas arang yang baik. Lain halnya jika pada proses karbonisasi ini dialiri gasgas inert seperti gas nitrogen atau karbon dioksida.
Pada suhu 350˚C, karbonisasi berjalan cukup baik namun agak sedikit
lambat sehingga dibutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai karbonisasi
maksimum, sementara itu pada saat yang bersamaan, proses oksidasi juga sudah
berlangsung. Pada pemanasan selam 2 jam teramati karbon berwarna hitam dan
kapasitas adsorpsinya maksimum, namun tidak sebaik pada 400˚C dalam waktu 1
jam.
Hal ini disebabkan karena karbonisasi belum betul-betul sempurna,
sementara itu karbon yang telah terbentuk sebagiannya telah teroksidasi sehingga
terbentuk abu yang akan menutupi pori dan menurunkan kapasitas adsorpsinya.
Setelah pemanasan 3 jam dan seterusnya jumlah karbon semakin kecil dan
sebaliknya abu bertambah banyak demikian pula dengan kapasitas adsorpsinya
semakin menurun.
Pada suhu 250˚C, karbonisasi berjalan sangat lambat.
pemanasan belum teramati adanya warna hitam karbon.
Sampai 2 jam
Setelah 3 jam dan
seterusnya baru mulai teramati ada warna hitam tapi jumlahnya sangat sedikit.
Pirolisis sempurna diperkirakan akan terjadi pada pemanasan lebih dari 8 jam,
dan tentu saja hal ini tidak efektif.
IV.2 Modifikasi Alat dan Aplikasinya
Pada penelitian ini digunakan dua variasi alat modifikasi yaitu alat
karbonisasi model I, dibuat dengan pemasangan 3 buah pipa masing-masing di
sebelah kanan, kiri dan atas dan pada dinding tabung diberi beberapa ventilasi,
dan alat karbonisasi model II, tabung dipasang satu pipa di samping atas
(Lampiran 1).
Karbonisasi pada suhu 400˚C selama 1 jam menggunakan alat model I,
ternyata memberikan hasil yang sangat baik. Karbon hasil karbonisasi berwarna
39
hitam dan sangat sedikit yang belum terkarbonisasi maupun yang mulai mengabu.
Alat ini diujicobakan berkali-kali dengan kondisi yang sama selalu memberikan
hasil yang kurang lebih tetap dengan rendemen arang antara 40% sampai dengan
45%. Hal ini disebabkan karena dinding tabung dari logam sehingga dengan sifat
hantaran panas yang baik menyebabkan distribusi panas relatif merata, sementara
asap hasil karbonisasi senyawa organik dapat keluar melalui pipa atas dengan baik
sehingga tidak mengganggu proses karbonisasi senyawa organik dalam sekam.
Hal yang sama diujicobakan dengan alat model II, ternyata hasilnya sangat
berbeda. Sekitar 90% sekam di bagian atas masih utuh, belum terkarbonisasi
sedangkan sisanya di bagian bawah terkarbonisasi secara tidak sempurna, masih
berwarna hitam kecoklatan. Hal ini disebabkan karena asap tidak bisa keluar
dengan bebas, menyebabkan uap air mengembun pada dinding atas kemudian
membasahi sekam di bawahnya sehingga sekam bagian atas mennjadi basah dan
sangat mengganggu proses karbonisasi secara keseluruhan.
Ketika proses
diperpanjang sampai 2 jam sekalipun belum memberikan hasil seperti yang
diinginkan.
Untuk menguji lebih lanjut efektivitas alat sederhana model I tersebut,
dilakukan karbonisasi terhadap beberapa bahan baku yang lain, ternyata
dihasilkan arang dengan kuantitas dan kualitas seperti pada tabel berikut :
Tabel IV.1 Aplikasi alat karbonisasi
Waktu
Rendemen
Kapasitas adsorpsi
Warna arang
400 mesh (mg I2/g )
No.
Bahan baku
(menit)
(%)
01.
Gergajian kayu
60
21,32
Sangat hitam
02.
Daun bambu
60
32,20
Hitam kecoklatan
03.
Jerami
20
27,30
Hitam
205,64
04.
Alang-alang
40
23,24
Hitam
232,80
05.
Sekam padi
60
40,10
Hitam
209,52
186,23
-
Berdasarkan data aplikasi tersebut, maka alat model I ini terbukti cukup
efektif untuk karbonisasi dari berbagai bahan baku terutama dari bahan baku
tumbuhan. Suhu yang ditetapkan yaitu sebesar 400˚C juga ternyata rata-rata
40
cocok untuk bahan baku dari tumbuhan, namun waktu yang diperlukan untuk
karbonisasi agak bervariasi tergantung tingkat kekerasan bahan baku. Misalnya
untuk bahan baku dari jerami cukup dengan waktu 20 menit saja untuk
karbonisasi. Rendemen arang yang dihasilkan juga cukup banyak yaitu sebesar
27,30% dan yang tidak kalah menariknya ternyata kapasitas adsorpsi arangnya
tidak jauh berbeda dengan arang dari sekam padi. Dengan karbonisasi yang benar
dan hati-hati, bahan baku dari jerami ini sangat prospektif.
Selain untuk karbonisasi, alat sederhana ini ternyata dapat digunakan
sekaligus sebagai alat aktivasi. Secara keseluruhan urutan kerja untuk pembuatan
karbon aktif dengan alat ini adalah sebagai berikut :
1. Sekam padi ditempatkan ke dalam alat ini sebanyak kurang lebih ¾
volum tabung, kemudian dipanaskan pada suhu 400˚C selama 1 jam.
2. Hasil pemanasan digerus dengan ukuran agak kasar, kemudian
ditambahkan larutan zat aktivator dalam cawan porselin, diaduk rata
hingga membentuk pasta kemudian dimasukan ke dalam alat ini dan
dipanaskan pada suhu aktivasi.
Untuk bahan baku sekam padi,
aktivasi menggunakan NaOH, aktivasi cukup dilakukan pada suhu
400˚C selama 1 jam.
3. Hasil pemanasan didinginkan sebentar, kemudian dicuci dengan air
sampai bersih.
4. Hasil cucian dipanaskan kembali dengan alat ini pada suhu 400˚C
selama kurang lebih setengah jam.
5. Setelah didinginkan, karbon digerus dan diayak sesuai dengan ukuran
partikel yang diinginkan.
IV.3 Aktivasi
Pada penelitian ini, digunakan dua jenis zat aktivator yaitu larutan NaOH
dan larutan H3PO4. Pada aktivasi dengan larutan NaOH, digunakan 100 mL
larutan
NaOH
28% terhadap
40 gram arang hasil karbonisasi.
Hal ini
didasarkan atas perhitungan secara stoikiometri, bahwa sekam padi mengandung
silika sekitar 15 – 21% atau rata-rata 18% sehingga dari karbonisasi 100 gram
sekam padi dengan rendemen sekitar 40%, diperkirakan dalam 40 gram arang
41
mengandung sekitar 18 gram abu silika atau 0,286 mol. Untuk bereaksi sempurna
menghasilkan natrium silikat, diperlukan 0,572 mol NaOH atau 22,88 gram
NaOH, sedangkan sisa dari 28 gram sebesar 5,12 gram digunakan sebagai zat
aktivator untuk melarutkan pengotor-pengotor yang lain misalnya dari kelompok
asam-asam organik.
Adapun zat aktivator H3PO4 digunakan larutan 20%
didasarkan pada hasil penelitian tentang pembuatan karbon aktif dari tempurung
kelapa di mana dihasilkan karbon aktif yang sangat baik dengan zat aktivator ini
pada konsentrasi 20%. 26
Pada kenyataannya, pada akhir aktivasi dengan larutan NaOH 28%, masih
ada
NaOH yang tersisa, terlihat dari teksturnya yang licin. Oleh karena itu
karbon hasil aktivasi dengan NaOH ini harus dicuci sampai bersih (air bilasan dari
berwarna merah kecoklatan menjadi jernih). Hal ini dimaksudkan agar semua
pengotor dan produk hasil reaksi dengan NaOH ataupun sisa NaOH larut dalam
air dan terpisah dari karbon aktif yang dihasilkan.
Pada proses aktivasi, selain terjadi interaksi antara zat aktivator dengan
senyawa-senyawa oksida, juga terjadi interaksi antara permukaan karbon dengan
uap air sehingga terjadi perubahan susunan morfologi permukaan yaitu
pembentukan pori yang baru atau pembesaran pori yang telah ada. Reaksi yang
terjadi menurut Smisek, M. adalah sebagai berikut :26
C + H2O
C(H2O)
C(H2O)
H2 + C(O)
C(O)
CO
C + H2
C(H2)
2C + H2O
C(H) + C(OH)
C(H) + C(OH)
C(H2) + C(O)
CO
+ H2 O
CO2 + H2
CO
+ C(O)
CO2 + C
Bila suhu terlalu rendah, reaksi : C(O)
CO tidak
terjadi. Demikian pula jika tekanan uap parsial uap air terlalu rendah, reaksi : CO
+
H2O juga tidak terjadi.
Pada penelitian ini proses aktivasi terjadi dalam
42
keadaan basah dan suhu yang digunakan juga tidak terlalu rendah, maka reaksireaksi tersebut diduga dapat berlangsung.
IV.4 Kadar Abu, Kadar Air, Kadar Zat Terbang dan Kadar
Karbon
Gambar IV.2 berikut ini mengilustrasikan kadar abu, kadar air dan kadar
zat terbang dari karbon hasil karbonisasi sekam padi (karbon A), karbon aktif
hasil aktivasi dengan larutan NaOH 28% (karbon B) dan karbon aktif hasil
aktivasi dengan larutan NaOH 28% dan
larutan H3PO4 20% (karbon C)
dibandingkan dengan karbon adsorben komersial (karbon II).
35
30
25
20
Kadar abu(%)
15
Kadar air(%)
10
Kadar zat terbang(%)
5
0
A
B
C
II
Karbon
Gambar IV.2 Kadar abu, kadar air dan kadar zat terbang
Karbon hasil karbonisasi memiliki kadar air 7,32%
aktivasi dengan NaOH 28% memiliki kadar air 5,70%
dan karbon hasil
relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan karbon yang diaktivasi dengan larutan H3PO4.
Hal ini
dimungkinkan karena karbon hasil karbonisasi sekam padi masih mengandung
silika dalam jumlah yang cukup banyak di mana silika dapat menyerap uap air
dari lingkungannya.
Sedangkan karbon hasil aktivasi dengan NaOH,
dimungkinkan masih ada dalam jumlah kecil sisa NaOH yang juga bersifat
higroskopis. Adapun karbon C, selain kadar abu baik silika maupun oksida logam
yang lain sudah sangat berkurang, sisa NaOH dalam karbon sudah tidak ada lagi,
43
maka kadar airnya sangat rendah yaitu 2,90%.
Menurut Standard Industri
Indonesia (SII), kadar air dalam suatu karbon aktif harus tidak lebih dari 10%,
maka semua karbon aktif yang dihasilkan dari sekam padi memenuhi syarat ini.
Kadar abu dalam karbon hasil karbonisasi sekam padi cukup tinggi yaitu
31,05%. Hal ini disebabkan karena tingginya kadar silika. Jika dilakukan aktivasi
dengan NaOH secara nyata kadar abu
turun menjadi 7,21%. Penurunan ini
diduga karena sebagian besar silika telah bereaksi dengan NaOH menghasilkan
natrium silikat yang kemudian terlarut dalam pencucian dengan air. Jika aktivasi
dilanjutkan dengan larutan H3PO4 20% kadar abunya turun lagi menjadi 0,98%.
Hal ini diduga karena oksida-oksida logam yang masih tersisa, larut dalam asam
posphat menghasilkan ion-ionnya membentuk garam-garam fosfat yang kemudian
akan terlarut dalam pencucian dengan air. Menurut SII, kadar abu dalam karbon
aktif tidak boleh lebih dari 2,5%. Berdasarkan syarat ini maka karbon aktif dari
sekam padi yang memenuhi SII adalah hanya karbon aktif hasil aktivasi dengan
NaOH 28% yang dilanjutkan dengan aktivasi dengan larutan H3PO4 20%.
Kadar zat terbang dalam karbon hasil karbonisasi sekam padi sangat tinggi
yaitu sebesar 33,26%. Tingginya kadar zat terbang ini mungkin karena adanya
sifat higroskopis dari silikanya sehingga mampu menyerap gas-gas dari
sekelilingnya dalam jumlah banyak seperti uap air, gas karbon dioksida, gas
karbon monoksida, gas hidrogen dan lain-lain. Aktivasi dengan larutan NaOH
28% dapat menurunkan kadar zat terbang menjadi 11,85%. Hal ini mungkin
disebabkan karena kandungan silikanya yang sudah jauh menurun sehingga sifat
higroskopisnya juga berkurang. Di samping itu karbon aktif sudah relatif bersih
dari berbagai pengotor, misalnya sisa senyawa organik yang belum terkarbonisasi
maupun pengotor-pengotor lain yang telah terlarut dalam NaOH. Menurut SII,
suatu karbon aktif tidak boleh mengandung zat terbang lebih dari 25%, maka
karbon aktif dari sekam padi yang dihasilkan memenuhi persyaratan SII kecuali
karbon hasil karbonisasi yang tanpa diaktivasi.
Berdasarkan harga kadar abu dan kadar zat terbang masing-masing, maka
kadar karbon dari karbon A, B dan C berturut-turut adalah sebesar 35,69%,
80,94% dan 88,65%.
Menurut SII, suatu karbon aktif sekurang-kurangnya
44
memiliki kadar karbon sebesar 65%, maka dari karbon aktif yang dihasilkan dapat
memenuhi persyaratan SII kecuali karbon hasil karbonisasi tanpa aktivasi.
Besar kecilnya kadar abu, kadar air dan kadar zat terbang tersebut belum
sepenuhnya menggambarkan kualitas karbon aktif yang dihasilkan.
Sifat
terpenting dari karbon aktif adalah daya serapnya terhadap adsorbat. Meskipun
kadar abu, kadar air dan kadar zat terbangnya rendah, namun daya serapnya
rendah maka kualitas karbon aktif juga rendah. Sebaliknya meskipun salah satu
dari kadar air, kadar abu atau kadar zat terbangnya mungkin masih terlalu tinggi,
namun ternyata daya serapnya tinggi, maka kualitasnya dapat dipertimbangkan.
IV.4 Rendemen
Rendemen karbon aktif yang dihasilkan juga merupakan hal yang penting
untuk diperhatikan, karena dalam suatu produksi secara komersial rendemen
merupakan salah satu pertimbangan yang penting karena berhubungan dengan
efektivitas produksi dan pertimbangan ekonomis. Pada penelitian ini rendemen
karbon aktif dihubungkan dengan kadar zat aktivator NaOH adalah seperti pada
gambar berikut :
Gambar IV.3 Hubungan antara %NaOH terhadap rendemen karbon aktif
Karbonisasi sekam padi kering pada penelitian ini menghasilkan rendemen
sekitar 40,10%. Aktivasi dengan air menurunkan rendemen sekitar 2,6% menjadi
45
37,36%. Hal ini diduga karena air dapat melarutkan sebagian pengotor yang
menempel pada permukaan arang hasil karbonisasi. Di samping itu, uap air juga
dapat mengalami reaksi dengan permukaan karbon menghasilkan gas karbon
dioksida dan gas hidrogen, seperti telah dikemukakan oleh Smisek, M. di atas.
Pada penambahan jumlah NaOH, ternyata semakin besar %NaOH akan semakin
kecil rendemen karbon aktif yang dihasilkan. Hal ini mungkin karena semakin
banyak jumlah NaOH yang ditambahkan akan semakin besar jumlah abu silika
yang dapat dipisahkan melalui reaksi menghasilkan natrium silikat, selain itu
semakin banyak jumlah NaOH yang ditambahkan juga dapat menurunkan jumlah
pengotor yang dapat larut di dalamnya. Aktivasi dengan larutan NaOH 28%
menurunkan rendemen menjadi 12,07% atau turun 28,03%. Sedangkan jika zat
aktivator yang digunakan adalah larutan H3PO4 20%, rendemen yang dihasilkan
adalah seperti pada gambar berikut :
Gambar IV.4 Rendemen karbon aktif hasil aktivasi dengan larutan H3PO4 20%
Karbon hasil karbonisasi (karbon A)
diaktivasi dengan H3PO4 20%,
ternyata rendemennya turun dari 40,10% menjadi 38,46% atau turun 1,64%.
Sedangkan karbon aktif hasil aktivasi dengan larutan NaOH 28%, jika diaktivasi
lanjut dengan larutan H3PO4 20%, rendemennya turun dari 12,07% menjadi
10,23%, atau turun 1,84%. Dari hasil ini ternyata aktivasi dengan larutan H3PO4
46
20% rata-rata penurunan rendemennya kurang dari 2%, jauh lebih kecil
dibandingkan dengan penambahan NaOH atau bahkan dengan pembahan air saja.
Hal ini mungkin penambahan H3PO4 hanya mampu menurunkan kadar abu dari
oksida-oksida logam saja, namun tidak mampu membersihkan pengotor-pengotor
lain dalam arang, atau mungkin menghasilkan zat hasil reaksi yang tidak larut
dalam air dan tidak menguap pada suhu 400˚C. Secara kuantitas mungkin ini
sangat menguntungkan, namun ternyata kualitasnya sangat rendah karena ternyata
daya serapnya terhadap adsorbat sangat rendah, mungkin karena residu
penambahan H3PO4 masih cukup banyak yang justru menutupi pori-pori yang
telah terbuka.
IV.5 Adsorpsi
Salah satu sifat terpenting dari karbon aktif adalah kapasitas adsorpsinya.
Hal ini berkaitan dengan aplikasi pemanfaatan karbon aktif yang umumnya
didasarkan pada kemampuan adsorpsinya. Standard Industri Indonesia (SII),
mempersyaratkan bahwa suatu karbon aktif sekurang-kurangnya harus memiliki
kapasitas adsorpsi sebesar 200 mg I2/g karbon aktif. Kapasitas adsorpsi karbon
aktif juga digunakan untuk menentukan besarnya luas permukaan tiap gram
karbon aktif. Suatu karbon aktif umumnya dapat memilki luas permukaan sekitar
300 m2 sampai dengan 1500 m2.
IV.5.1 Waktu Kontak
Menurut teori adsorpsi, partikel-partikel adsorbat akan mendekati poripori adsorben, kemudian terjadi interaksi lemah dengan gaya Van der Waals
antara partikel adsorbat dengan adsorben sehingga terjadi adsorpsi (tergantung
jenis adsorpsinya). Menurut anggapan Langmuir selama terjadi kontak antara
partikel adsorbat dan adsorben akan terjadi proses dua arah yaitu adsorpsi dan
desorpsi.
Pada saat terjadi kesetimbangan, laju adsorpsi sama dengan laju
desorpsi sehingga konsentrasi adsorbat dalam pelarutnya tetap.
Waktu yang
diperlukan dari mulai terjadi kontak adsorbat dengan adsorben sampai terjadi
kesetimbangan disebut waktu setimbang.
Pada saat terjadi kesetimbangan,
dianggap bahwa semua bagian pada permukaan adsorben telah terisi oleh partikel
adsorbat.
47
Uji waktu kontak pada penelitian ini menggunakan sampel karbon A230
(karbon hasil karbonisasi dengan ukuran 230 mesh) terhadap adsorbat yodin dan
metilen biru dengan mengukur kapasitas adsorpsinya atau absorbans filtratnya
pada waktu tertentu dengan hasil sebagai berikut :
Gambar IV.5 Hubungan antara waktu kontak dengan kapasitas adsorpsi terhadap
yod
Berdasarkan hasil pengukuran, dapat diketahui bahwa semakin besar
waktu kontak dengan adsorbat, semakin banyak partikel adsorbat yang diserap.
Untuk adsorbat yodin, sampai waktu 24 jam waktu kontak terlihat memiliki trend
yang cenderung adsorpsinya masih meningkat sekalipun dengan laju adsorpsi
yang makin kecil. Hal ini mungkin karena ukuran partikel yod relatif kecil dan
berada dalam triiodidanya yang stabil, maka ketika konsentrasinya dalam larutan
semakin kecil, interaksinya dengan ion iodida juga semakin stabil dan semakin
sulit untuk melepaskan diri sehingga pada konsentrasi yang kecil interaksi antara
partikel yod dengan bagian aktif pada permukaan adsorben sangat lambat dan
diperlukan waktu yang lebih besar untuk mencapai kesetimbangan.
48
Gambar IV.6 Penentuan waktu setimbang terhadap metilen biru
Berdasarkan kurva absorbans filtrat larutan metilen biru yang digunakan
untuk perendaman karbon A230 dalam waktu tertentu, dapat diketahui bahwa
adsorpsi terhadap metilen biru oleh karbon hasil karbonisasi sekam padi memiliki
laju adsorpsi yang lebih besar dibanding terhadap yodin.
Hal ini mungkin
disebabkan karena sifat metilen biru yang memiliki kepolaran lebih tinggi
dibandingkan dengan yodin, sehingga dengan sifatnya yang polar metilen biru
memiliki kemampuan yang besar untuk menginduksi permukaan karbon aktif
yang kurang polar untuk membentuk dipol-dipol terinduksi. Sedangkan interaksi
yodin dengan permukaan karbon aktif mungkin hanya menggunakan interaksi
dengan dipol-dipol sesaat sehingga afinitas adsorpsinya lebih kecil terutama pada
konsentrasi rendah.
Pada waktu kontak 24 jam dan 48 jam menunjukkan bahwa absorbans
filtrat sudah tidak menunjukkan adanya perubahan yang signifikan, maka dapat
ditetapkan bahwa waktu setimbang untuk adsorpsi metilen biru oleh karbon hasil
karbonisasi adalah 24 jam.
49
IV.5.2 Pengaruh Ukuran Partikel
Untuk menentukan pengaruh ukuran partikel, dilakukan pengukuran
kapasitas adsorpsi terhadap karbon A dengan ukuran 60, 80, 120, 170, 200 dan
230 mesh terhadap adsorbat
yodin.
Hasil pengukurannya adalah
sebagai
berikut :
Gambar IV.7 Hubungan antara ukuran partikel dengan kapasitas adsorpsi
Berdasarkan hasil pengukuran, dapat diketahui bahwa
ukuran mesh karbon,
kapasitas adsorpsinya semakin besar.
semakin tinggi
Hal ini karena
semakin tinggi ukuran mesh, ukuran partikelnya semakin halus sehingga luas
permukaan karbon aktif makin besar, dengan demikian maka semakin banyak
jumlah bagian aktif yang tersedia menyebabkan semakin banyak partikel adsorbat
yang dapat diserap.
IV.5.3 Isoterm Adsorpsi
Isoterm adsorpsi
menggambarkan volum atau berat gas atau zat cair
teradsorpsi sebagai fungsi dari tekanan atau konsentrasi adsorbat pada temperatur
tetap. Isoterm adsorpsi dapat digunakan untuk menentukan apakah adsorpsi oleh
50
suatu adsorben bersifat monomolekuler atau bersifat multimolekuler.
Pada
penelitian ini, isoterm adsorpsi oleh karbon hasil karbonisasi terhadap adsorbat
metilen biru dilakukan pada suhu kamar (298K), dan diperoleh grafik dengan
kelakuan sebagai berikut :
Gambar IV.8
Isoterm adsorpsi terhadap metilen biru
Berdasarkan kurva isoterm adsorpsi di atas, diperoleh informasi bahwa
karbon hasil karbonisasi sekam padi memiliki tipe adsorpsi HA (menurut Giles
dan Mac Ewan). Hal ini berarti bahwa metilen biru memilki afinitas adsorpsi
yang tinggi terhadap karbon hasil karbonisasi sekam padi ini baik pada
konsentrasi rendah maupun pada konsentrasi yang lebih tinggi.
Berdasarkan alur kurva pada gambar IV.4, maka dapat diprediksi bahwa
adsorpsi metilen biru oleh karbon hasil karbonisasi sekam padi adalah
multimolekuler. Untuk menguji kebenaran prediksi tersebut, digunakan kurva
dari persamaan Langmuir dan BET sebagai berikut :
51
1/x
(L.mg-1)
1/C (L.mg-1)
Gambar IV.9 Isoterm adsorpsi Langmuir terhadap metilen biru
Gambar IV.10 Isoterm adsorpsi BET terhadap metilen biru
Berdasarkan kurva dan persamaan isoterm adsorpsi Langmuir, diperoleh
kurva dengan kelinieran 0,970 dan harga xm sebesar 71,43 mg metilen biru/g
karbon. Sedangkan menurut persamaan isoterm BET diperoleh kurva dengan
kelinieran 0,841 dan harga xm sebesar 58,82 mg metilen biru/g karbon.
Berdasarkan dua persamaan tersebut, di mana tidak ada perbedaan harga xm yang
52
nyata, bahkan persamaan Langmuir memberikan kelinieran yang lebih baik, maka
dapat diasumsikan bahwa adsorpsi tersebut bukan multimolekuler, melainkan
monomolekuler, atau setidaknya pada batas konsentrasi larutan yang digunakan
pada uji ini masih menunjukkan tipe adsorpsi monomolekuler. Namun karena
pada konsentrasi kesetimbangan 775,38 mg/L metilen biru terjadi adsorpsi yang
mencolok, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa pada konsentrasi larutan
adsorbat yang lebih tinggi akan terjadi adsorpsi lagi pada lapisan berikutnya,
terutama pada konsentrasi yang sangat pekat.
Menurut aluran grafik pada gambar IV.4, kapasitas adsorpsi terhadap
metilen biru maksimal adalah 80,26 mg metilen biru/g karbon, maka melalui
pendekatan BET dan Langmuir diperoleh faktor BET dan faktor Langmuir
masing-masing sebesar 0,73 dan 0,89. Berdasarkan harga-harga tersebut, luas
permukaan karbon aktif pada penelitian ini dapat dibedakan menjadi luas
permukaan total monolayer (ST), luas permukaan menurut persamaan BET (SBET)
dan luas permukaan menurut persamaan langmuir (SL) seperti terlihat pada tabel
IV.6.
Adanya perbedaan harga antara SBET dengan SL disebabkan karena
perbedaan asumsi, di mana BET menganggap bahwa adsorpsi ini merupakan
adsorpsi multilayer sedangkan Langmuir menganggap adsorpsi ini adalah
monolayer.
Menurut persamaan Freundlich, isoterm adsorpsi terhadap metilen biru
memberikan kurva sebagai berikut :
Gambar IV.11 Isoterm adsorpsi Freundlich
53
Berdasarkan kurva dan persamaan isoterm adsorpsi Freundlich, diperoleh
harga n = 3,0 dan K = 15,0 serta ∆Hads = -1,60 kkal/mol metilen biru. Dengan
harga K yang cukup besar, maka adsorpsi metilen biru akan memberikan afinitas
adsorpsi yang tinggi, namun dengan harga n yang cukup besar (1/n kecil), maka
pada konsentrasi adsorbat yang lebih besar afinitasnya akan menurun sehingga
memiliki rentang konsentrasi setimbang pada daerah monolayer yang lebar. Hal
ini mungkin terjadi karena molekul metilen biru klorida memiliki ukuran yang
cukup besar, sehingga ketika permukaan sudah mulai jenuh, adsorbat berikutnya
yang akan mengisi bagian aktif yang masih kosong terhalang oleh adsorbat yang
terlebih dulu teradsorpsi. Apalagi dengan harga entalpi sebesar 1,60 kkal/mol,
berarti interaksi metilen biru dengan permukaan karbon aktif adalah adsorpsi fisik
saja sehingga interaksinya juga tidak kuat karena hanya menggunakan gaya Van
der Waals yang lemah.
Hubungan antara 1/S dengan konsentrasi kesetimbangan pada isoterm
adsorpsi karbon hasil karbonisasi terhadap metilen biru dapat digambarkan
dengan kurva sebagai berikut :
Gambar
IV.12
Hubungan antara 1/S dengan C pada adsorpsi karbon aktif
terhadap metilen biru
54
Dengan asumsi bahwa adsorpsi tersebut adalah monolayer, maka
berdasarkan harga S dapat diperoleh harga laju perubahan energi permukaan
menurut persamaan Gibbs, (dσ/dC) sebesar -182,32 kal/mol metilen biru. Dengan
harga perubahan energi permukaan yang kecil ini, semakin menegaskan bahwa
adsorpsi metilen biru oleh karbon aktif pada penelitian ini adalah adsorpsi fisika.
Hal ini terjadi mungkin karena isoterm adsorpsi berlangsung pada suhu kamar
(298K), sehingga energi yang tersedia tidak cukup untuk terjadinya reaksi kimia
antara metilen biru dengan permukaan karbon aktif, sehingga yang terjadi adalah
interaksi Van der Waals saja.
Isoterm adsorpsi karbon hasil karbonisasi sekam padi terhadap adsorbat yodin
memberikan kelakuan kurva sebagai berikut :
Gambar IV.13 Isoterm adsorpsi terhadap yodin
Adsorpsi yodin oleh karbon hasil karbonisasi sekam padi tampaknya
cenderung membentuk grafik tipe S, artinya pada konsentrasi rendah, yod relatif
sukar teradsorpsi tetapi pada konsentrasi yang lebih tinggi berangsur-angsur
55
semakin mudah teradsorpsi. Untuk menguji kebenaran asumsi ini, digunakan
persamaan isoterm adsorpsi Langmuir dan Freundlich, dengan mengabaikan
beberapa titik yang ekstrim, sebagai berkut :
1/x
(mg1)
1/C (M-1)
Gambar IV.14 Isoterm adsorpsi Langmuir terhadap yodin
Gambar IV.15 Isoterm adsorpsi Freundlich terhadap yodin
56
Berdasarkan persamaan isoterm adsorpsi langmuir diperoleh kelinieran
0,975 dan harga xm sebesar 341,29 mg yod/g karbon. Sedangkan menurut
persamaan isoterm adsorpsi Freundlich diperoleh kelinieran 0,963 dan harga n =
1,1 ; K=5,79 serta ∆Hads = -1,04 kkal/mol yodin. Berdasarkan hasil pengukuran
ini, maka adsorpsi
yodin oleh karbon hasil karbonisasi sekam padi dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a. Dengan harga K yang cukup kecil, adsorpsi berlangsung relatif lambat
pada konsentrasi rendah.
Hal ini mungkin disebabkan karena pada
konsentrasi yang rendah, kontak antara adsorbat dengan adsorben sangat
terbatas.
Di samping itu energi adsorpsinya juga kecil yaitu -1,04
kkal/mol sehingga interaksi Van der Waals yang terjadi dengan permukaan
karbon sangat lemah. Selain itu, yodin dalam larutannya memiliki afinitas
yang tinggi karena berada dalam keadaan anion triiodidanya yang stabil,
sehingga ketika akan teradsorpsi harus terlebih dahulu melepaskan ion
iodidanya dan ini dibutuhkan energi. Dengan demikian maka boleh jadi
waktu setimbang untuk adsorpsi yodin lebih besar dibandingkan untuk
adsorpsi metilen biru oleh karbon hasil karbonisasi sekam padi ini.
b. Dengan harga n = 1,1 maka pola adsorpsinya adalah mengikuti tipe Ln,
artinya jumlah adsorbat yang diserap mendekati linier terhadap konsentrasi
setimbangnya. Hal ini mungkin disebabkan karena molekul yodin relatif
kecil dan bentuknya linier sedangkan interaksinya dengan permukaan
adsorben menggunakan salah satu ujungnya, sehingga adsorbat yang telah
teradsorpsi tidak memberikan efek gangguan yang berarti terhadap
molekul adsorbat berikutnya.
IV.5.4 Keaktifan dan Luas Permukaan
Keaktifan suatu karbon aktif dapat ditunjukkan dari kapasitas adsorpsinya
terhadap suatu adsorbat tertentu (biasanya adsorbat yang digunakan adalah yodin)
selama waktu setimbang. Pada penelitian ini ditetapkan bahwa waktu setimbang
terhadap adsorbat yodin maupum metilen biru sebesar 24 jam. Penetapan ini
didasarkan pada uji waktu kontak terhadap metilen biru di mana secara umum
57
setelah waktu kontak 24 jam tidak terjadi panambahan yang berarti dari jumlah
adsorbat yang diserap oleh karbon aktif yang dihasilkan.
penentuan luas permukaan,
Sedangkan pada
selain didasarkan atas kapasitas adsorpsi selama
waktu setimbang juga didasarkan pada persamaan BET dan Langmuir.
Adapun keaktifan karbon-karbon
aktif hasil aktivasi dengan NaOH maupun
H3PO4 terhadap yodin pada penelitian ini dibandingkan dengan karbon aktif
komersial adalah sebagai berikut :
Tabel IV.2 Keaktifan karbon aktif
No.
Nama karbon
Ukuran partikel
(mesh)
Kapasitas adsorpsi
(mg I2/g karbon)
01.
A230
230
182,35
02.
A400
400
209,52
03.
B230
230
430,74
04.
B400
400
488,96
05.
C230
230
399,69
06.
C400
400
209,52
07.
D400
400
147,42
08.
Komersial I
-
85,32
09.
Komersial II
-
632,56
Karbon hasil karbonisasi tanpa treatmen lebih lanjut pada penelitian ini,
pada ukuran sieve 230 mesh memiliki kapasitas adsorpsi 182,35 mg I2/g karbon
dan pada ukuran 400 mesh memiliki kapasitas adsorpsi 209,52 mg I2/g karbon.
Hasil ini lebih baik daripada karbon hasil karbonisasi gergajian kayu mahoni yang
hanya memiliki kapasitas adsorpsi 186,29 mg I2/g karbon pada ukuran 400 mesh,
bahkan lebih baik jika dibandingkan dengan karbon komersial I yang hanya
memilki kapasitas adsorpsi 85,32 mg I2/g karbon. Hasil ini mungkin disebabkan
karena selain kondisi karbonisasi yang optimum, juga diketahui bahwa abu yang
terdapat dalam arang, sebagian besar adalah silika yang juga merupakan adsorben.
58
Karbon aktif hasil aktivasi dengan larutan NaOH 28%, ternyata memiliki
kapasitas adsorpsi yang paling besar. Pada ukuran partikel 230 mesh memilki
kapasitas adsorpsi 430,74 mg I2/g karbon, sedangkan pada ukuran parttikel 400
mesh memiliki kapasitas adsorpsi 488,96 mg I2/g karbon. Hal ini disebabkan
karena NaOH berfungsi ganda yaitu sebagai zat aktivator dengan cara
membersihkan pengotor-pengotor terutama dari sisa-sisa senyawa organik yang
belum terkarbonisasi sempurna.
Fungsi yang lain dari NaOH adalah untuk
mengurangi kadar abu (silika) dalam karbon aktif yang dihasilkan, melalui reaksi
menghasilkan natrium silikat.
Aktivasi dengan H3PO4 baik secara langsung atau setelah treatmen dengan
NaOH terbukti tidak memberikan manfaat seperti yang diharapkan. Meskipun
secara umum sedikit dapat menurunkan kadar abu, dengan cara melarutkan
oksida-oksida logam seperti Al2O3 dan Fe2O3, namun di sisi lain asam fosfat
ternyata tidak mampu melarutkan pengotor-pengotor non abu lainnya seperti tar
atau menghasilkan hasil reaksi yang tidak larut dalam air dan tidak menguap
sampai dengan suhu aktivasi 400˚C. Hal ini didasarkan pada data rendemen
karbon aktif yang dihasilkan dari aktivasi dengan asam fosfat yang besar
mencapai 38,46%.
Dari dua zat aktivator yang digunakan pada penelitian ini ternyata hanya
NaOH yang secara nyata dapat meningkatkan keaktifan karbon aktif dari sekam
padi. Selain NaOH, ternyata air (larutan NaOH 0%) dapat berfungsi dengan baik
untuk meningkatkan luas permukaan karbon hasil karbonisasi sekam padi. Hal ini
mungkin karena penambahan air mampu membersihkan beberapa pengotor dalam
arang yang dapat larut dalam air. Di samping itu penambahan air juga dapat
mempengaruhi luas permukaan dengan melakukan reaksi dengan permukaan pada
suhu tinggi menghasilkan gas karbon dioksida dan gas hidrogen dengan
meninggalkan karbon yang tersusun sedemikian rupa sehingga terjadi
penambahan atau perluasan pori. Proses ini mirip dengan proses aktivasi fisika.
Uji luas permukaan terhadap karbon aktif hasil aktivasi dengan NaOH
dengan berbagai konsentrasi dibandingkan dengan karbon aktif yang lain adalah
sebagai berikut :
59
Tabel IV.3 Luas Permukaan
No.
Nama karbon aktif
Luas permukaan(m2)
Zat aktivator
ST
SL
SBET
01.
Karbon A230
-
181,26
132,32
161,32
02.
Karbon A400
-
277,80
247,24
202,79
03.
Karbon B0% 400
Air
373,30
332,24
272,51
04.
Karbon B2% 400
NaOH 2%
396,81
353,16
289,67
05.
Karbon B5% 400
NaOH 5%
405,27
360,69
295,85
06.
Karbon B10% 400
NaOH 10%
422,41
375,94
308,36
07.
Karbon B15% 400
NaOH 15%
456,46
406,25
333,26
08.
Karbon B20% 400
NaOH 20%
461,73
410,94
337,06
09.
Karbon B28% 230/B
NaOH 28%
284,78
253,45
207,89
10.
Karbon B28% 400/B’
NaOH 28%
529,31
471,09
386,40
12.
Karbon C230
NaOH
257,85
229,49
188,23
284,52
253,22
207,70
658,21
-
-
28%
& H3PO4 20%
13.
Karbon D400
14.
Karbon II
H3PO4 20%
-
Berdasarkan uji keaktifan dan luas permukaan, dapat diperoleh informasi sebagai
berikut :
1. Semakin halus ukuran partikel karbon aktif, semakin besar luas
permukaannya dan keaktifannya semakin besar.
2. Air dapat berfungsi sebagai zat aktivator dengan cara melarutkan
pengotor-pengotor yang dapat larut di dalamnya. Berdasarkan uji luas
permukaan, aktivasi dengan air dapat meningkatkan luas permukaan
karbon aktif mencapai 34,38% luas permukaan semula. Dengan rendemen
yang besar, air merupakan salah satu alternatif zat aktivator yang murah
dan aman. Untuk mengoptimalkan keaktifan karbon aktif yang dihasilkan,
dapat dilakukan dengan memperhalus ukuran partikel.
3. Sebagai zat aktivator, secara nyata NaOH dapat meningkatkan keaktifan
dan luas permukaan karbon aktif.
60
Gambar IV.16 Hubungan antara %NaOH terhadap luas permukaan
Semakin besar konsentrasi NaOH semakin besar juga keaktifan dan luas
permukaannya, namun di sisi lain rendemen karbon aktif yang dihasilkan
menjadi semakin kecil. Misalnya pada aktivasi dengan larutan NaOH 28%
dihasilkan karbon aktif yang sangat baik, di mana pada ukuran partikel
400 mesh, memilki keaktifan sebesar 488,96 mg yodin/g karbon dan luas
permukaan sebesar 529,31 m2/g. Namun rendemen yang dihasilkannya
cukup rendah yaitu sebesar 12,07%.
4. Asam fosfat, pada prosedur penelitian ini belum dapat berperan sebagai zat
aktivator yang baik, bahkan cenderung menurunkan keaktifan dari
sebelumnya. Mungkin asam fosfat ini akan berperan sebagai zat aktivator
yang baik jika digunakan pada suhu aktivasi yang lebih tinggi dan waktu
lebih lama, serta alat aktivasi yang mendekati bebas udara atau dialiri gasgas inert.
5. Kapasitas adsorpsi selain dipengaruhi oleh luas permukaan karbon aktif
juga dipengaruhi oleh sifat adsorbat yang digunakan.
Sekalipun pada
aktivasi dengan asam fosfat mampu meningkatkan luas permukaan
61
mencapai 2,42% dari karbon hasil karbonisasi, namun kapasitas
adsorpsinya justru turun dari 209,52 mg/g menjadi 147,52 mg/g. Hal ini
mungkin karena adsorbat yang digunakan adalah yod yang berada dalam
triiodidanya yang bersifat basa, sedangkan karbon aktif hasil aktivasi
dengan asam fosfat dalam air memberikan lingkungan yang bersifat asam
sehingga dalam lingkungannya terjadi interaksi asam-basa yang dapat
mengganggu proses adsorpsi oleh permukaan.
6. Hubungan antara kapasitas adsorpsi terhadap metilen biru dan yodin
dengan luas permukaan adalah seperti pada gambar berikut :
Gambar IV.17 Hubungan luas permukaan dengan kapasitas adsorpsi terhadap
metilen biru
Gambar IV.18 Hubungan luas permukaan dengan kapasitas
adsorpsi terhadap yod
62
Berdasarkan grafik hubungan antara luas permukaan dengan kapasitas
adsorpsi, ternyata penambahan jumlah adsorbat yang teradsorpsi setiap
penambahan 1 m2 luas permukaan karbon aktif, untuk adsorbat metilen
biru dengan yodin berbanding 0,442 : 0,927 mg adsorbat/g karbon aktif.
Hal ini berarti dalam setiap 1 m2 luas permukaan karbon aktif, kapasitas
adsorptif
terhadap yodin adalah sekitar 2,1 kali lebih besar daripada
terhadap metilen biru. Hal ini dapat dimaklumi karena ukuran molekul
yodin lebih kecil (Mr = 253,8 g/mol) daripada metilen biru (Mr = 319,85
g/mol). Di samping itu yodin merupakan molekul diatomik dengan bentuk
molekul linier yang kemungkinan interaksinya dengan permukaan
adsorben hanya menggunakan salah satu ujungnya, berbeda dengan
metilen biru yang memilki multiatomik dan luas permukaan yang lebih
besar, dan interaksinya dengan permukaan karbon aktif dapat dianggap
menggunakan seluruh luas permukaannya.
IV.6 Titrasi Massa
Uji titrasi massa bertujuan untuk mengidentifikasi sifat keasaman secara
umum dari karbon aktif serta menentukan titik muatan nol (TMN) atau pzc
(potential zero charge), sehingga dapat diketahui potensial awal dari karbon aktif
yang disebabkan oleh gugus-gugus fungsi permukaan.
Hubungan antara pH suspensi dengan konsentrasi massa pada karbon hasil
karbonisasi adalah sebagai berikut :
Gambar IV.19 Titrasi massa terhadap karbon A
63
Karbon hasil karbonisasi sekam padi (karbon A), secara umum bersifat
basa lemah, dengan TMN pada pH sebesar 7,3. Sifat basanya ini dimungkinkan
karena dalam karbon hasil karbonisasi ini masih mengandung abu dalam kadar
yang cukup tinggi di mana abu mengandung oksida-oksida logam dan silika yang
bersifat basa lemah bila dilarutkan dalam air. Karena dalam karbon ini juga
mengandung zat terbang dengan kadar cukup tinggi yang boleh jadi bersifat asam
di dalam air, maka sangat mungkin dalam sistem suspensi terjadi reaksi asam-basa
menghasilkan garam-garamnya, namun secara keseluruhan sifat basa dari abu
sedikit lebih dominan sehingga TMN terjadi pada pH sedikit basa.
Hubungan pH suspensi dengan konsentrasi massa pada karbon aktif hasil
aktivasi dengan larutan NaOH 28% adalah sebagai berikut :
Gambar IV.20 Titrasi massa terhadap karbon B
Karbon hasil karbonisasi yang diaktivasi dengan NaOH 28% (karbon B)
memilki sifat basa yang lebih kuat dibandingkan tanpa aktivasi, dengan TMN
pada pH 9,6. Tingginya sifat basa ini mungkin disebabkan karena di samping
dalam karbon aktif ini masih terdapat oksida-oksida logam seperti Al2O3 dan
Fe2O3 yang dalam air bersifat basa lemah, juga mungkin penambahan NaOH
64
dapat meningkatkan jumlah gugus permukaan yang bersifat basa sehingga dalam
air mampu menarik molekul air dalam jumlah besar dan melepaskan ion OHdalam jumlah besar pula sehingga pH lingkungan besar.
Hubungan antara pH suspensi dengan konsentrasi massa pada karbon aktif
hasil aktivasi dengan larutan NaOH 28% yang dilanjutkan
aktivasi dengan
H3PO4 20% adalah sebagai berikut :
Gambar IV.21 Titrasi massa terhadap karbon C
Karbon hasil aktivasi dengan NaOH yang dilanjutkan dengan H3PO4
(karbon C), ternyata secara umum bersifat asam dengan TMN pada pH 2,5. Sifat
asam ini mungkin disebabkan karena sebagian besar abu dari oksida-oksida logam
terlarut oleh adanya asam fosfat.
Di samping itu mungkin
gugus-gugus
permukaan yang bersifat asam jumlahnya meningkat oleh penambahan asam
fosfat sehingga permukaan karbon aktif ini menarik ion OH- dari lingkungannya
dalam jumlah besar dan melepaskan ion H+ dalam jumlah besar pula sehingga pH
lingkungan kecil.
IV.7 Analisa FTIR
Analisa FTIR pada penelitian ini digunakan untuk melihat adanya serapanserapan karakteristik dari karbon aktif yang dihasilkan, sehingga dapat diprediksi
65
jenis gugus fungsi yang terdapat pada permukaan pelat-pelat karbon aktif tersebut.
Di samping itu, tidak tertutup kemungkinan akan adanya serapan-serapan
karakteristik yang disebabkan oleh adanya zat-zat lain yang bergabung
membentuk campuran dengan karbon aktif.
Spektrum IR dari karbon hasil karbonisasi sekam padi (karbon A), karbon
aktif hasil aktivasi dengan larutan NaOH 28% (karbon B) dan karbon aktif hasil
aktivasi dengan larutan NaOH 28% dilanjutkan aktivasi dengan larutan H3PO4
20% (karbon C) adalah sebagai berikut :
Multipoint Baselinecorrection
Multipoint Baselinecorrection
Multipoint Baselinecorrection
100
%T
Karbon B
60
462.92
798.53
1165.00 1155.36
1091.71
1087.85
1028.06
464.84
70
2360.87
2335.80
3429.43
3408.22
3408.22
80
1689.64
1658.78
1598.99 1593.20 1610.56
1566.20 1550.77
1548.84
1531.48
90
Karbon C
50
1095.57
Karbon A
30
408 91
40
20
4500
4000
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500
Gambar IV.22 Spektrum IR karbon A, karbon B dan karbon C
Berdasarkan uji ini, karbon hasil karbonisasi sekam padi (karbon A)
memiliki serapan-serapan karakteristik pada : 3429.43 cm-1(stretch O-H ikatan
hidrogen), 1610.56, 798.53, dan 454.84 cm-1 (ulur ikatan rangkap vinil), 1065,57
cm-1 lebar dan tajam (tumpang tindih ulur O-Si-O, -C-C- dan C-O). Berdasarkan
serapan-serapan ini, maka dalam karbon hasil karbonisasi diduga memiliki ikatan
hidrogen dari gugus alkohol maupun silika. Tingginya kadar silika dalam karbon
ini juga didasarkan pada serapan silika gel, SiO2.H2O yang ternyata memiliki
serapan karakteristik sangat mirip dengan serapan pada karbon ini. Gugus-gugus
66
fungsi pada permukaan pelat karbon diduga berupa gugus alkanol dan alkena.
Adapun cincin-cincin pelat karbon dari karbon ini belum nampak memberikan
serapan, dimungkinkan karena pelat-pelat karbon tersebut belum terbentuk pada
proses karbonisasi.
Karbon aktif hasil aktivasi dengan NaOH (karbon B) memberikan serapan
karakteristik pada daerah: 3408,22 cm-1(stretch O-H ikatan hidrogen), 1087.85,
1156.55, 1028.06 cm-1(ulur
-C-C- dan C-O), 1550,57 cm-1 (ulur ikatan C=C
aromatis). Berdasarkan serapan-serapan karakteristik tersebut, maka karbon aktif
hasil aktivasi dengan NaOH diduga memiliki cincin-cincin pelat karbon
menyerupai struktur grafit. Sementara itu serapan karakteristik dari silika tidak
nampak. Hal ini berarti kadar silika dalam karbon aktif ini menurun sangat
drastis. Adapun gugus-gugus permukaan yang terdapat pada pelat-pelat karbon
didominasi oleh gugus alkohol. Hal ini dimungkinkan karena penambahan NaOH
menyebabkan senyawa-senyawa pengotor seperti tar dan senyawa alkena yang
terdapat pada permukaan karbon terlarut dan keluar bersama air pada waktu
pencucian.
Karbon yang diaktivasi dengan NaOH dan dilanjutkan dengan H3PO4
memberikan serapan karakteristik pada daerah : 3408,22 cm-1(strech O-H ikatan
hidrogen),
1091,71 cm-1 (ulur
C-O dan C-C), 1165,00 cm-1(ulur P=O
alifatis/aromatis), 1658.78 dan 1689.61 cm-1 (ulur ikatan rangkap C=C alifatis),
1598.99, 1566.20, 1548.84 dan 1548.31 cm-1(ulur ikatan rangkap aromatis).
Berdasarkan serapan karakteristik tersebut, maka karbon yang diaktivasi dengan
NaOH dilanjutkan dengan aktivasi dengan H3PO4, diduga pada permukaan pelatpelat karbonnya di samping terdapat gugus-gugus alkohol, juga terdapat gugusgugus alkena maupun fosfat. Adanya ugus-gugus alkena mungkin disebabkan
oleh penambahan asam fosfat pada saat aktivasi yang mengakibatkan sebagian
gugus alkohol tereliminasi membentuk alkena (secara teoritis penambahan asam
phosphat 85% pada suhu 373 K terhadap senyawa alkohol menyebabkan
terjadinya reaksi eliminasi alkohol membentuk senyawa alkena).
67
IV.8 Analisa SEM
SEM pada penelititian ini bertujuan untuk melihat bentuk permukaan dan
pori karbon aktif yang dihasilkan. Pada penelitian ini, SEM hanya dilakukan
terhadap produk yang memiliki kualitas terbaik yaitu karbon aktif hasil aktivasi
dengan NaOH 28%. Gambar adalah SEM dari karbon aktif hasil aktivasi dengan
larutan NaOH 20% (karbon B) dengan perbesaran 10000x.
Gambar IV.23 Hasil SEM karbon aktif hasil aktivasi dengan larutan NaOH 28%
dengan ukuran partikel 400 mesh dan perbesaran 10000x
Pada perbesaran 10000x, tampak pada permukaan butiran karbon aktif hasil
aktivasi dengan larutan NaOH 28%, terdapat sangat banyak makropori dan
mesopori, adapun mikropori tidak terlihat jelas pada perbesaran ini. Namun dari
besarnya luas permukaan yang mencapai 529,31 m2/g maka dapat dipastikan
bahwa dalam karbon aktif ini terdapat mikropori dalam jumlah besar. Hal ini
menyebabkan karbon aktif ini memiliki bagian aktif permukaan yang sangat besar
sehingga memiliki kapasitas adsorpsi yang besar pula.
68
Download