BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Ubi jalar Ubi jalar

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teori
1. Ubi jalar
Ubi jalar memiliki nama latin Ipomoea batatas (L.) Lam., tergolong
family Convolvulaceae (suku kangkung-kangkungan) yang terdiri dari tidak
kurang 400 galur (species). Namun dari sekian banyak galur ini, menurut
Onwueme (1978) hanya ubi jalar yang mempunyai nilai ekonomis sebagai
bahan pangan. Nama ubi jalar berbeda-beda di tiap negara. Di Spanyol dan
Philipina dikenal dengan nama camote, di India shaharkuand, kara-imo di
Jepang, anamo di Nigeria, getica di Brazil, apichu di Peru dan ubitora di
Malaysia. Di Indonesia sendiri ada berbagai sebutan untuk ubi jalar seperti:
Mantang di Banjar Kalimantan; Hui atau Boled di Jawa Barat; Ketela rambat
atau Muntul di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tanaman ini dapat diusahakan di berbagai tempat, baik dataran rendah
maupun dataran tinggi/pegunungan, serta di segala macam tanah. Tetapi yang
paling cocok dan potensial, dengan hasil produksi yang bagus dan tinggi
adalah di tanah pasir berlempung yang gembur dan halus. Tanah dengan pH
5.6-6.6 lebih disukai untuk pertumbuhannya. Suhu rata-rata optimal 24-25°C
dengan distribusi hujan yang baik pada kisaran curah hujan 750-1250 mm.
Menurut beberapa referensi, sistematika tanaman Ubi jalar (Ipomoea
batatas (L.) ) adalah sebagai berikut:
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
6
Ordo
: Solanales
Famili
: Convolvulaceace
Genus
: Ipomoea
Spesies
: Ipomoea batatas
Berdasarkan jumlah total produksi ubi jalar dunia, Indonesia merupakan
negara penghasil kedua terbesar setelah Cina. Sekitar 98% pertanaman ubi
jalar dunia berada di negara-negara berkembang dengan distribusi : China
80%, negara negara Asia lainnya 6%, Afrika 5% dan Amerika Latin 2%.
Perkembangan produksi ubi jalar di Indonesia menunjukkan angka yang
kurang menggembirakan karena kurangnya dukungan dari industri pengolahan
ubi jalar menjadi produk yang lebih disukai masyarakat. Selain ubi jalar
berdaging putih dan merah yang sudah umum dimanfaatkan, pada saat ini
telah banyak pula dilakukan pengolahan ubi jalar berdaging ungu, terutama
sebagai makanan fungsional karena kandungan antioksidannya (berupa
antosianin) yang tinggi. Kandungan gizi ubi jalar segar dapat dilihat pada
Tabel 1.
2. Starter/Bibit nata (Acetobacter xylinum)
Klasifikasi ilmiah bakteri Acetobacter xylinum sebagai berikut:
Kerajaan : Bacteria
Filum
: Proteobacteria
Kelas
: Alpha Proteobacteria
Ordo
: Rhodospirillales
7
Familia
: Psedomonadaceae
Genus
: Acetobacter xylinum
Tabel 1. Kandungan gizi dalam 100 gram ubi jalar segar
No.
Komposisi
Jumlah
Ubi Putih
Ubi merah
1.
Kalori (kal)
123
123
2.
Protein (g)
1,80
1,80
3.
Lemak (g)
0,70
0,70
4.
Karbohidrat (g)
27,90
27,90
5.
Kalsium (mg)
30,00
30,00
6.
Fosfor (mg)
49,00
49,00
7.
Zat besi (mg)
0,70
0,70
8.
Vitamin A (SI)
60,00
7700,00
9.
Vitamin B1 (mg)
0,90
0,90
10.
Vitamin C (mg)
22,0
22,0
11.
Air (g)
68,50
68,50
Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI, 1981
Bibit murni bakteri Acetobacter xylinum dapat kita peroleh dibalai penelitian
kimia. Namun jauhnya letak balai penelitian dari pemukiman penduduk, ditambah
birokrasi yang terkesan berbelit dan panjang membuat masyarakat awam merasa
enggan (Marlinda, 2003: 18).
Pada Kenyataannya biakan murni bakteri dapat dibuat sendiri melalui
prosedur yang benar dengan menggunakan senyawa kimia sederhana atau
mengunakan ampas buah nanas yang masak atau juice buah nanas. Biakan murni
bakteri tersebut selanjutnya diinokulasikan dalam suatu media. Dari proses ini
akan terbentuk bibit yang disebut starter yang digunakan untuk menginokulasi air
kelapa agar menghasilkan nata (Marlinda, 2003: 18).
8
Namun selain dibalai penelitian kimia, kita dapat mendapatkan starter dengan
membeli kultur jaringan Acetobacter Xylinum. 1 ose dapat diperbanyak menjadi 1
liter starter. Cara membuat starter dari kultur jaringan sebagai berikut:
a. satu ose kultur jaringan dimasukan dalam Erlenmeyer yang telah berisi
media. Media kultur jaringan terdiri dari 100 ml air kelapa, gula pasir 510%, ammonium sulfat 0.03% dan kondisi pH sekitar 4-4,5 (Asam Cuka
5% 50 ml). Pastikan semua peralatan yang dipakai sudah steril dan bersih.
b. Kemudian tutup dengan kain Saug/kertas HVS.
c. Didihkan selama 15-30 menit.
d. Setelah mendidih, diinkubasi pada suhu kamar selama 3-4 hari. Kemudian
tumbuh pelikel (calon nata).
e. Setelah tumbuh pelikel, starter dapat diperbanyak sesuai kebutuhan.
3.
Selulosa bakteri (Nata)
Selulosa bakteri (nata) adalah polimer yang sebagian besar terdiri dari
selulosa, berbentuk agar dan berwarna putih. Massa ini berasal pertumbuhan
Acetobacter xylinum pada permukaan media cair yang asam dan
mengandung gula. (Afrizal, 2008).
Pemberian nama nata tergantung pada jenis substrat pertumbuhan
Acetobacter xylinum, sehingga nama dari nata yang berbahan baku dari ubi
jalar adalah nata de ipomoea. Nata merupakan bahan menyerupai gel (agaragar) yang terapung pada medium yang mengandung gula dan asam hasil
9
bentukan mikroorganisme Acetobacter xylinum. Struktur kimia selulosa
sebagai berikut:
Gambar 1. Struktur Kimia Selulosa
Nata merupakan substansi yang terbentuk di permukaan cairan nutrien,
yang sebenarnya merupakan polikel atau polisakarida ekstraseluler yang
dihasilkan oleh bakteri Acetobacter xylinum yang terakumulasi yang
terapung-apung di permukaan cairan nutrien. Adanya gas-gas CO2 yang
dikeluarkan oleh bakteri Acetobacter xylinum saat-saat metabolisme yang
menempel pada fibril-fibril polisakarida ekstraseluler yang menyebabkan
terapung. Nata akan tampak sebagai suatu massa fibril tidak beraturan yang
menyerupai benang atau kapas apabila dilihat di bawah mikroskop. Nata
dihasilkan dari proses fermentasi pada substrat yang mengandung gula dan
nitrogen pada pH yang sesuai dengan perkembangan Acetobacter xylinum
yaitu berkisar antara 4–4,5. Secara teknis nata dapat dibuat dari campuran
berbagai media, karena untuk pertumbuhan dari bakteri Acetobacter xylinum
dalam pembuatan massa nata diperlukan gula, asam organik dan mineral.
Mineral dan asam organik ini dibutuhkan sebagai komponen metabolisme
10
dalam pembentukan kofaktor enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh
bakteri Acetobacter xylinum (Pambayun, 2002). Nata merupakan makanan
berkalori rendah karena mengandung serat tinggi hasil sintesis gula oleh
bakteri Acetobacter xylinum berbentuk agar, berwarna putih dan mengandung
air (Jannur majesty, dkk., 2015).
4.
Adsorpsi
Adsorpsi adalah proses proses melekatnya partikel-partikel atau zat-zat
pada permukaan. Adsorpsi terjadi jika gaya tarik menarik antara zat terlarut
dengan permukaan penyerap dapat mengatasi gaya tarik menarik antara
pelarut dengan permukaan. Zat atau molekul yang terserap kepermukaan
disebut adsorbat sedangkan zat atau molekul yang menyerap disebut
adsorben. (Sukardjo, 1989 : 190). Pada proses adsorpsi dalam larutan jumlah
zat yang teradsorpsi tergantung dari jenis adsorben, temperatur, dan juga
tekanan (Atkin, 1997: 190-191). Adapun Adsorpsi dapat terjadi melalui dua
cara yaitu:
a. Adsorpsi fisik (fisisorpsi)
Adsorpsi fisika terjadi karena adanya gaya-gaya fisika. Pada jenis
adsorpsi fisika ini, terjadi beberapa lapisan gas. Besarnya energi adsorpsi
fisika sekitar 10 kj/mol. Molekul-molekul yang diadsorpsi secara fisika
tidak terikat kuat pada permukaan, dan biasanya terjadi proses balik yang
cepat, sehingga mudah untuk diganti dengan molekul yang lain. Adsorpsi
fisika didasarkan pada gaya Van der Waals, dan dapat terjadi pada
11
permukaan yang polar dan non polar. Adsorpsi juga mungkin terjadi
dengan
mekanisme
pertukaran
ion.
Permukaan
padatan
dapat
mengadsorpsi ion-ion dari larutan dengan mekanisme pertukaran ion.
Karena itu ion pada gugus senyawa permukaan padatan adsorbennya dapat
bertukar tempat dengan ion-ion adsorbat. Mekanisme pertukaran ini
merupakan penggabungan dari mekanisme kemisorpsi dan fisisorpsi,
karena adsorpsi jenis ini akan mengikat ion-ion yang diadsorpsi dengan
ikatan secara kimia, tetapi ikatan ini mudah dilepas kembali untuk dapat
terjadinya pertukaran ion (Atkin, 1982: 206). Banyak zat yang teradsorpsi
dalam proses adsorpsi fisik berupa lapisan monomolekul dan banyak
adsorpsi fisik akan makin kecil dengan naiknya suhu (atkins, 1997: 437).
b. Adsorpsi kimia (kemisorpsi)
Adsorpsi kimia dapat terjadi bila terdapat interaksi kimia antara
molekul zat yang teradsorpsi dengan molekul adsorben. Pada adsorpsi ini
melibatkan pertukaran elektron antara molekul yang teradsorpsi dengan
permukaan. Panas yang dihasilkan pada kemisorpsi lebih besar dari panas
yang dihasilkan pada fisisorpsi, yaitu 40 Kj/mol. Ikatan yang terjadi adalah
ikatan kovalen atau ionik, atau keduanya.
Adsorpsi kimia hanya membentuk lapisan tunggal pada permukaan
dan energi yang terlibat pada adsorpsi kimia jauh lebih besar daripada
adsorpsi fisik. Pemanfaatan proses adsorpsi pada proses kimia, contohnya
dalam dunia industri memiliki keuntungan seperti: biaya rendah, tidak ada
efek samping zat beracun, dan mampu menghilangkan bahan-bahan
12
organik lebih baik dibandingkan dengan perlakuan biologi yang
konvensional. Faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi ialah (Cornel
Miller, 1995: 25) struktur dan konsentrasi zat kimia (adsorbat), struktur
dan konsentrasi adsorben, pH media, ukuran partikel, kapasitas pertukaran
elektron, dan suhu.
Menurut Adamson (1990), faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi
antara lain:
1.) Luas permukaan adsorben
Luas permukaan berkaitan dengan struktur kristal, jumlah dan
ukuran pori yang ada pada adsorben. Jumlah pori yang banyak dan
lebar akan memperbesar kapasitas adsorpsi. Semakin besar luas
permukaan adsorben maka semakin besar pula kapasitas dan laju
adsorpsinya.
2.) Sifat dan konsentrasi adsorben
Adsorben yang berbeda akan mempunyai daya adsorpsi yang
berbeda terhadap suatu adsorbat. Perbedaan sifat adsorben dipengaruhi
oleh asal, struktur, gugus fungsional yang dimiliki, serta perlakuan
terhadap adsorben itu sendiri. Perlakuan terhadap adsorben ada 2 yaitu
fisik dan kimia. Perlakuan tersebut akan meningkatkan kapasitas
adsorpsi. Laju adsorpsi makin meningkat seiring meningkatnya
konsentrasi adsorben.
13
3.) Sifat dan konsentrasi adsorbat
Sifat-sifat adsorbat dapat dikatakan sebagai faktor terpenting yang
menentukan perilaku adsorpsi. Sifat-sifat adsorben antara lain: struktur
molekul, jumlah dan posisi gugus fungsi, dan jenis gugus fungsi
fungsional. Semakin tinggi konsentrasi adsorbat, maka laju adsorpsi
akan semakin cepat, namun pada kondisi tertentu akan stabil karena
sudah jenuh sehingga terjadi proses kesetimbangan.
4.) Temperatur/suhu
Perubahan suhu dapat mempengaruhi perilaku dengan cara
mengubah karakter komponen dasar sistem adsorpsi, seperti sifat
kimia adsorbat dan muatan permukaan adsorben. Adsorpsi merupakan
proses eksotermik, maka bila dalam kesetimbangan kapasitas adsorpsi
akan menurun sejalan dengan kenaikan. Suhu meningkat menyebabkan
reaktivitas energi ion semakin besar sehingga lebih banyak ion yang
dapat melewati tingkat energi untuk melakukan interaksi secara kimia
dengan pori-pori permukaan. Disamping itu reaktifitas ion yang
semakin besar akan meningkatkan pula difusi ion dalam pori-pori
adsorben.
5.) Pengaruh pH dan adsorpsi hidrolitik
Harga pH mempengaruhi perubahan distribusi muatan pada
permukaan mineral sebagai akibat terjadinya reaksi protonasi dan
deprotonasi pada pori aktif pada adsorben. Permukaan mineral relatif
lebih bermuatan positif pada pH rendah, maka anion akan mempunyai
14
afinitas lebih besar terhadap permukaan. Sebaliknya, pada pH tinggi
permukaan cenderung bermuatan negatif, dan afinitas anion menjadi
lemah karena tolakan elektrostatis, dan mengakibatkan rendahnya daya
adsorpsi adsorbat. Terjadinya hidrolisis adsorbat oleh pelarut akan
membentuk asam atau basa yang banyak teradsorpsi secara hidrolitik.
Menurut Adamson (1990), proses adsorpsi terbagi menjadi 4 tahap
yaitu:
1.) Transfer molekul-molekul zat terlarut yang teradsorpsi menuju
lapisan film yang mengelilingi adsorben.
2.) Difusi zat terlarut yang teradsorpsi melalui lapisan film (film
diffusion process).
3.) Difusi zat terlarut yang teradsorpsi melalui kapiler/pori dalam
adsorben (pore diffusion process).
4.) Adsorpsi zat terlarut yang teradsorpsi pada dinding pori atau
permukaan adsorben (proses adsorpsi sebenarnya).
5.
Pewarna Direct red teknis
Pada tahun 1876 Otto Witt mengusulkan teori tentang zat warna, bahwa
dalam suatu struktur molekul zat warna akan mengandung gugus tidak jenuh
yang disebut kromofor (contoh: -N=N-, >C=O, -NO2, -SO3H) (Dede karyana,
2010: 1-2).
15
Bila kromofor berikatan dengan sistem aromatik akan diperoleh senyawa
yang berwarna, contohnya azo benzena berwarna orange, gabungan sistem
aromatik dan kromofor tersebut disebut kromogen (Dede karyana, 2010: 1-2).
Kromogen seperti azo benzena belum bisa dipakai sebagai zat warna
karena intensitas warnanya rendah dan belum mempunyai daya celup tetapi
bila dimasukkan satu atau lebih gugus auksokrom maka akan menjadi zat
warna. Dilthey dan Wizinger mengemukakan bahwa auksokrom ada yang
bersifat donor elektron dan ada juga yang bersifat penarik elektron. Bila
auksokrom pemberi elektron diletakan pada arah berlawanan dengan
auksokrom penarik elektron dalam struktur molekul zat warna maka akan
memperbesar sistem konjugasi zat warna, sehingga selain meningkatkan
intensitas warna juga akan menimbulkan efek batokromik, yaitu panjang
gelombang maksimum (λ maks) zat warnanya akan semakin besar (Dede
karyana, 2010:1-2).
Pewarna direct bersifat larut dalam air, sehingga dapat langsung dipakai
dalam pencelupan serat selulosa seperti katun, rayon, dan rami. Zat warna
direct red relatif murah dan mudah dalam pemakaiannya, namun warnanya
kurang cerah dan tahan luntur hasil celupannya kurang baik. Pewarna direct
merupakan pewarna tekstil dengan komposisi 87% azo tanpa logam, 5% azo
kompleks logam, 5% stilben, oksazin 1% dan zat lain-lainnya 1% (Dede
karyana, 2010: 8-9).
Senyawa azo dan turunannya mempunyai gugus benzena. Gugus benzena
sangat sulit didegradasi. Apabila gugus benzena dapat didegradasi, proses
16
degradasinya dibutuhkan waktu yang lama. Senyawa azo bila terlalu lama
berada di lingkungan dapat menjadi sumber penyakit karena sifatnya
karsinogen dan mutagenik. Penggolongan limbah pewarna pada tekstil sulit
dilakukan karena struktur aromatis pada pewarna yang sulit dibiodegradasi,
khususnya zat warna reaktif karena terbentuknya ikatan kovalen yang kuat
antara atom C dari zat warna dengan atom C dari zat warna dengan atom O,
N, atau S dari gugus hidroksi, amina atau thiol dari polimer (Christie, 2001:
135).
Zat warna reaktif pertama kali diproduksi tahun 1956. Zat warna jenis ini
pada aplikasinya sulit dihilangkan karena adanya ikatan kovalen yang kuat
antara atom karbon dari zat warna dengan atom O, N, atau S dari gugus
hidroksi, amino atau thiol dari polimer. Zat warna reaktif mempunyai berat
molekul yang relatif kecil.
Keuntungan zat warna reaktif adalah spektra absorpsinya tajam dan jelas,
strukturnya relatif sederhana, dan warnanya lebih terang (Hunger K, 2003).
Zat warna reaktif adalah suatu zat warna yang dapat mengadakan reaksi
dengan serat, sehingga zat warna tersebut merupakan bagian dari serat. Oleh
karena itu hasil celupan zat warna reaktif mempunyai ketahanan cuci yang
sangat baik (Rasyid Djufri, 1976: 92).
Menurut pemakaiannya zat warna reaktif dapat pula dibagi menjadi:
a. Pemakaian secara dingin, yaitu zat warna reaktif yang mempunyai
kereaktifan tinggi.
b. Pemakaian secara panas, yaitu zat warna reaktif yang mempunyai
17
kereaktifan rendah.
Adapun struktur kimia zat warna direct red ditunjukkan pada gambar 2.
-
O Na
O
S
+
O
O Na
O
OH
O
Na
+
O
-
S
+
O
O
N
N
N
S
N
O
NH
O
H 3C
O
NH
O
S
O
-
O Na+
-
Gambar 2. Struktur Pewarna tekstil tipe Direct Red 79
6. Spektroskopi UV-Vis
Bila cahaya UV-tampak (UV-Vis) dikenakan pada senyawa, maka
sebagian dari cahaya tersebut diserap oleh molekul yang mempunyai tingkatan
energi yang spesifik (Marham Sitorus, 2009: 8). Spektrum cahaya oleh
molekul dalam daerah spektrum ultraviolet dan terlihat tergantung pada
struktur elektronik dari molekul. Spektra ultraviolet dan terlihat dari senyawasenyawa organik berkaitan erat erat dengan transisi-transisi diantara tingkatantingkatan tenaga elektronik (Hardjono, 1991: 11). Absorpsi radiasi oleh suatu
sampel diukur pada berbagai panjang gelombang dan informasi ini diteruskan
ke perekam untuk menghasilkan spektrum UV-Vis (Fessenden & Fessenden,
1999: 437).
Suatu spektrum UV-Vis menyatakan hubungan panjang gelombang dari
suatu serapan terhadap intensitas serapan. Letak dari serapan berhubungan
dengan panjang gelombang dari radiasi yang mempunyai energi yang sama
18
dengan yang dibutuhkan oleh transisi elektronik (Silverstein, Blassler, &
Morrill, 1986: 306-307). Absorbansi pada panjang gelombang tertentu
didefinisikan sebagai:
A = log
Keterangan:
A = absorbansi
I0 = intensitas radiasi yang datang
I
= intensitas radiasi yang diteruskan
Absorbansi suatu senyawa dengan panjang gelombang tertentu bertambah
dengan makin banyaknya molekul yang mengalami transisi (Fessenden &
Fessenden, 1999: 437-439).
Sinar ultraviolet (UV) mempunyai panjang gelombang antara 200-400
nm, sedangkan untuk sinar tampak (visibel) mempunyai panjang gelombang
400-750 nm. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan
mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan mengunakan
hokum Lambert-Beer (Rohman, 2007).
Hukum Lambert-Beer menyatakan hubungan antara serapan dan panjang
jalan melewati medium yang menyerap, dan hubungan antar konsentrasi
species penyerap dan tingkat absorpsi. Hukum ini menyatakan absorban zat
terlarut adalah proposional dengan konsentrasi. Hubungannya secara
matematis dapat dinyatakan sebagai berikut:
A = ε . b. C
19
Keterangan:
A : Absorbansi
ε : koefisien absorbansi molar
C : konsentrasi larutan (mol/L-1)
b : Tebal Kuvet
Dari persamaan lambert-beer, ada hubungan antara A (absorbansi) dan C
(konsentrasi) dengan adanya persamaan regresi larutan standar Y = bx + a,
dimana Y adalah absorbansi, dan X adalah konsentrasi. Dengan mengalurkan
Absorbansi yang terukur spektrometer UV-Vis, kita dapat mengetahui
konsentrasi sampel.
7. Spektroskopi Infra Merah
Bila sinar inframerah dilewatkan melalui cuplikan senyawa organik, maka
sejumlah frekuensi diserap sedang frekuensi yang lain diteruskan atau
ditransmisikan tanpa diserap (Hardjono, 2007: 45). Sinar inframerah berada
pada kisaran panjang gelombang 1–100 µm. Daerah 0,7–2,5 µm disebut
inframerah dekat dan daerah 14,3–50 µm disebut inframerah jauh. Daerah
yang paling berguna untuk mengenal struktur senyawa adalah daerah 2,5–15
µm (Silverstein, 1986: 95).
Pada
prakteknya
spektroskopi
inframerah
diperuntukkan
untuk
menentukan adanya gugus-gugus fungsional utama dalam suatu sampel yang
diperoleh berdasarkan bilangan gelombang yang dibutuhkan untuk vibrasi
tersebut (Marham, 2009: 29). Inti atom yang terikat oleh ikatan kovalen
20
mengalami vibrasi dan osilasi. Bila molekul tersebut menyerap radiasi
inframerah, maka Molekul akan terjadi kenaikan amplitudo vibrasi. Selain itu,
Molekul akan berada dalam keadaan vibrasi tereksitasi. Panjang gelombang
dari absorpsi oleh suatu tipe ikatan tertentu, tergantung pada macam vibrasi
dari ikatan tersebut. Oleh karena itu, tipe ikatan yang berbeda menyerap
radiasi inframerah pada panjang gelombang karakteristik yang berlainan
(Fessenden & Fessenden, 1999: 315). Pada suhu biasa molekul-molekul
organik dalam keadaan vibrasi yang tetap, setiap ikatan mempunyai frekuensi
rentangan/stretching dan bending yang karakteristik dan dapat menyerap pada
frekuensi tersebut (Hardjono, 2007: 48).
Untuk menginterpretasikan spektrum inframerah secara sederhana dapat
dilakukan dengan mengetahui harga dasar serapan gugus fungsional/ikatan.
Harga dasar serapan inframerah untuk beberapa tipe ikatan dapat dilihat pada
Tabel 2. (Hardjono, 1992:14).
Tabel 2. Harga Dasar Serapan Inframerah untuk Beberapa Tipe Ikatan
Tipe Ikatan
Frekuensi (cm-1)
Panjang Gelombang (µ)
OH
3600
2,8
NH
3500
2,9
CH
1100, 3000
9,1; 3,3
C≡N
2250
4,4
C≡C
2150
4,6
C=O
1715
5,8
C=C
1650
6,1
Setiap tipe ikatan yang berbeda akan mempunyai frekuensi yang berbeda,
karena tipe ikatan yang sama dalam dua senyawa berbeda terletak dalam
21
lingkungan yang sedikit berbeda, sehingga serapan infra merah atau spektrum
infra merahnya juga berbeda (Harjono Sastrohamidjojo, 1992: 3-4)
Menurut fengel dan Wegener (Astika, 2006) menyatakan bahwa gugus
fungsi pada rantai selulosa adalah gugus hidroksil yang terikat pada setiap unit
selulosa. Adanya gugus hidroksil ini akan menentukan sifat kimia dan kimia
bagi selulosa.
8. Isoterm Adsorpsi
Menurut Kusmiyati, dkk. (2012) isoterm adsorpsi menggambarkan
keadaan kesetimbangan adsorpsi dengan perbedaan konsentrasi adsorben
dalam larutan pada temperatur yang tetap. Keadaan setimbang adalah suatu
keadaan dinamis yang tercapai ketika laju partikel teradsorpsi ke permukaan
sama dengan laju desorpsinya (Lenny, 2012). Pola isoterm adsorpsi ada dua
yaitu isoterm adsorpsi Langmuir dan isoterm adsorpsi Freundlich.
a. Isoterm Adsorpsi Langmuir
Menurut Zawani (I. Hartati, dkk., 2011) isoterm adsorpsi Langmuir
mengasumsikan semua sisi permukaan adsorben mempunyai energi yang sama
dan penangkapan adsorbat hanya pada lapisan pertama serta tidak terjadi proses
migrasi adsorbat di permukaan adsorben. Persamaan isoterm adsorpsi
Langmuir dapat ditulis sebaigai berikut:
...................................................................................................... (7)
22
Persamaan (1) jika diubah menjadi bentuk linear maka akan diperoleh
persamaan sebagai berikut:
................................................................................................... (8)
Keterangan
qe = Jumlah zat terlarut yang teradsorps per gram Adsorben pada
kesetimbangan(mg/gram)
Qo = Jumlah zat terlarut yang teradsorps per gram Adsorben membentuk lapis
tunggal (mg/gram)
Ce = Konsentrasi larutan akhir atau pada kesetimbangan (ppm)
b = Konstanta kapasitas Langmuir
Grafik isoterm adsorpsi Langmuir didapatkan dengan mengalurkan C,/q,
dan Ce yang akan menghasilkan garis lurus dengan kemiringan atau slope 1/Qo
dan intersep 1/b Qo seperti pada Gambar 3.
Ce/qe
1/Q0 = tan α
1/b Q0
Gambar 3. Grafik isoterm adsorpsi Langmuir
23
Ce
b. Isoterm Adsorpsi Freundlich
Isoterm Freundlich biasanya digunakan untuk menggambarkan karakteristik
adsorpsi pada permukaan heterogen (I. Haryati, dkk., 2011: 28). Persamaan
isoterm adsorpsi Freundlich dapat ditulis sebagai berikut:
...........................................................................................(9)
Persamaan (3) jika diubah menjadi bentuk linear maka akan diperoleh
persamaan sebagai berikut:
………………………………...………..(10)
Keterangan
qe
= Jumlah zat terlarut yang teradsorp per gram adsorben pada
kesetimbangan (mg/gram)
Ce
= Konsentrasi larutan akhir atau pada kesetimbangan (ppm)
k
= Konstanta kapasitas Freundlich
n
= Konstanta intensitas adsorpsi
log qe
1/n= tan α
Log k
Gambar 4. Grafik isoterm adsorpsi Freundlich
24
log Ce
Grafik isoterm adsorpsi Freundlich didapatkan dengan mengalurkan log qe
dan log Ce yang akan menghasilkan garis lurus dengan kemiringan atau slope 1/n
dan intersep log k seperti pada Gambar 4.
B. Penelitian yang Relevan
Lijuan Wang dan Jian Li (2013) mengunakan selulosa dari jerami padi untuk
mengadsorpsi pewarna CI Reactive Red 228 yang memperoleh kapasitas
maksimum selulosa jerami padi untuk adsorpsi Reactive Red 228 adalah 190
mg/g pada pH 3 dengan konsentrasi 0,4 g/L dan konsentrasi awal 80 mg/L.
Proses adsorpsi dan keseimbangan CI Reactive Red 228 yang baik dilengkapi
model kinetik pseudo dan model langmuir masing-masing orde kedua.
Yusra Safa, dan Haq Nawaz Bhatti (2011) mengunakan arang sekam padi
untuk menghilangkan Direct red 31 dan direct orange 26 dalam model batch.
Penelitian dilakukan dengan fungsi dari pH, konsentrasi biosorben, ukuran
partikel biosorben, konsentrasi pewarna awal, waktu kontak dan suhu. Hasil
penelitian menunjukan bahwa model langmuir memberikan korelasi terbaik
dari data eksperimen untuk kedua pewarna.
C. Kerangka Berfikir
Pertambahan industri tekstil skala home industri, ternyata meningkatkan
limbah yang apabila tidak dikelola dengan baik berdampak pada pencemaran
lingkungan.
25
Penggunaan
pewarna
sintetik
dapat
menyebabkan
percemaran
lingkungan karena pewarna sintetik mengandung gugus amina seperti azo
yang sulit didegradasi.
Pengelolaan limbah multak diperlukan oleh sebab itu perlu dicari
pengelolaan limbah alternatif. Pengelolahan Adsorpsi merupakan salah satu
cara yang dipilih dalam penelitian ini. Pada proses adsorpsi ini mengunakan
adsorben yang dihasilkan dari bahan adsorben alternatif. Bahan adsorben
alternatif yang digunakan harus murah dan mudah didapatkan.
Limbah air tepung ubi jalar ialah bahan yang sudah terpakai dan
termasuk limbah rumah tangga. Limbah ini mengandung pati yang cukup
besar. Semua bahan yang mengandung pati sangat berpotensi untuk dijadikan
bahan dalam pembuatan selulosa bakteri (nata). Nata yang dihasilkan yang
terbuat dari pati yang berasal dari air limbah tepung ubi jalar dinamakan nata
de ipomoea. Nata de ipomoea mempunyai gugus-gugus alkohol yang
memiliki potensi untuk digunakan sebagai adsorben alternatif. Sehingga
adsorben pada penelitian ini adalah Nata de ipomoea.
Dalam Penelitian ini peneliti mengambil beberapa faktor untuk dijadikan
variabel penelitian. Variabel tersebut adalah waktu kontak dan konsentrasi
pewarna direct red teknis. Variasi waktu adsorpsi yaitu 10 menit; 20 menit;
30 menit; 60 menit; 90 menit; dan 120 menit, dan variasi konsentrasi pewarna
direct red teknis yaitu 50 ppm; 75 ppm; 100 ppm; 125 ppm dan 150 ppm.
Sehingga melalui penelitian ini akan diperoleh waktu kontak adsorpsi pada
saat kesetimbangan, konsentrasi pewarna direct red teknis optimum yang
26
digunakan untuk analisis adalah dengan spektroskopis UV-Vis karena sampel
pewarna merupakan pewarna yang dapat diadsorpsi pada daerah serapan
Visibel. Selain itu juga mengunakan Spektroskopis IR untuk mengetahui
gugus fungsi yang terdapat pada adsorben nata de ipomoea sebelum dan
sesudah adsorpsi untuk mengetahui kemungkinan interaksi/ikatan kimia
antara adsorben dan adsorbat yang terjadi. Selain itu dicari pola isoterm
adsorpsinya.
27
Download