BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori 1. Ubi jalar Ubi jalar memiliki nama latin Ipomoea batatas (L.) Lam., tergolong family Convolvulaceae (suku kangkung-kangkungan) yang terdiri dari tidak kurang 400 galur (species). Namun dari sekian banyak galur ini, menurut Onwueme (1978) hanya ubi jalar yang mempunyai nilai ekonomis sebagai bahan pangan. Nama ubi jalar berbeda-beda di tiap negara. Di Spanyol dan Philipina dikenal dengan nama camote, di India shaharkuand, kara-imo di Jepang, anamo di Nigeria, getica di Brazil, apichu di Peru dan ubitora di Malaysia. Di Indonesia sendiri ada berbagai sebutan untuk ubi jalar seperti: Mantang di Banjar Kalimantan; Hui atau Boled di Jawa Barat; Ketela rambat atau Muntul di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tanaman ini dapat diusahakan di berbagai tempat, baik dataran rendah maupun dataran tinggi/pegunungan, serta di segala macam tanah. Tetapi yang paling cocok dan potensial, dengan hasil produksi yang bagus dan tinggi adalah di tanah pasir berlempung yang gembur dan halus. Tanah dengan pH 5.6-6.6 lebih disukai untuk pertumbuhannya. Suhu rata-rata optimal 24-25°C dengan distribusi hujan yang baik pada kisaran curah hujan 750-1250 mm. Menurut beberapa referensi, sistematika tanaman Ubi jalar (Ipomoea batatas (L.) ) adalah sebagai berikut: Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida 6 Ordo : Solanales Famili : Convolvulaceace Genus : Ipomoea Spesies : Ipomoea batatas Berdasarkan jumlah total produksi ubi jalar dunia, Indonesia merupakan negara penghasil kedua terbesar setelah Cina. Sekitar 98% pertanaman ubi jalar dunia berada di negara-negara berkembang dengan distribusi : China 80%, negara negara Asia lainnya 6%, Afrika 5% dan Amerika Latin 2%. Perkembangan produksi ubi jalar di Indonesia menunjukkan angka yang kurang menggembirakan karena kurangnya dukungan dari industri pengolahan ubi jalar menjadi produk yang lebih disukai masyarakat. Selain ubi jalar berdaging putih dan merah yang sudah umum dimanfaatkan, pada saat ini telah banyak pula dilakukan pengolahan ubi jalar berdaging ungu, terutama sebagai makanan fungsional karena kandungan antioksidannya (berupa antosianin) yang tinggi. Kandungan gizi ubi jalar segar dapat dilihat pada Tabel 1. 2. Starter/Bibit nata (Acetobacter xylinum) Klasifikasi ilmiah bakteri Acetobacter xylinum sebagai berikut: Kerajaan : Bacteria Filum : Proteobacteria Kelas : Alpha Proteobacteria Ordo : Rhodospirillales 7 Familia : Psedomonadaceae Genus : Acetobacter xylinum Tabel 1. Kandungan gizi dalam 100 gram ubi jalar segar No. Komposisi Jumlah Ubi Putih Ubi merah 1. Kalori (kal) 123 123 2. Protein (g) 1,80 1,80 3. Lemak (g) 0,70 0,70 4. Karbohidrat (g) 27,90 27,90 5. Kalsium (mg) 30,00 30,00 6. Fosfor (mg) 49,00 49,00 7. Zat besi (mg) 0,70 0,70 8. Vitamin A (SI) 60,00 7700,00 9. Vitamin B1 (mg) 0,90 0,90 10. Vitamin C (mg) 22,0 22,0 11. Air (g) 68,50 68,50 Sumber: Direktorat Gizi Depkes RI, 1981 Bibit murni bakteri Acetobacter xylinum dapat kita peroleh dibalai penelitian kimia. Namun jauhnya letak balai penelitian dari pemukiman penduduk, ditambah birokrasi yang terkesan berbelit dan panjang membuat masyarakat awam merasa enggan (Marlinda, 2003: 18). Pada Kenyataannya biakan murni bakteri dapat dibuat sendiri melalui prosedur yang benar dengan menggunakan senyawa kimia sederhana atau mengunakan ampas buah nanas yang masak atau juice buah nanas. Biakan murni bakteri tersebut selanjutnya diinokulasikan dalam suatu media. Dari proses ini akan terbentuk bibit yang disebut starter yang digunakan untuk menginokulasi air kelapa agar menghasilkan nata (Marlinda, 2003: 18). 8 Namun selain dibalai penelitian kimia, kita dapat mendapatkan starter dengan membeli kultur jaringan Acetobacter Xylinum. 1 ose dapat diperbanyak menjadi 1 liter starter. Cara membuat starter dari kultur jaringan sebagai berikut: a. satu ose kultur jaringan dimasukan dalam Erlenmeyer yang telah berisi media. Media kultur jaringan terdiri dari 100 ml air kelapa, gula pasir 510%, ammonium sulfat 0.03% dan kondisi pH sekitar 4-4,5 (Asam Cuka 5% 50 ml). Pastikan semua peralatan yang dipakai sudah steril dan bersih. b. Kemudian tutup dengan kain Saug/kertas HVS. c. Didihkan selama 15-30 menit. d. Setelah mendidih, diinkubasi pada suhu kamar selama 3-4 hari. Kemudian tumbuh pelikel (calon nata). e. Setelah tumbuh pelikel, starter dapat diperbanyak sesuai kebutuhan. 3. Selulosa bakteri (Nata) Selulosa bakteri (nata) adalah polimer yang sebagian besar terdiri dari selulosa, berbentuk agar dan berwarna putih. Massa ini berasal pertumbuhan Acetobacter xylinum pada permukaan media cair yang asam dan mengandung gula. (Afrizal, 2008). Pemberian nama nata tergantung pada jenis substrat pertumbuhan Acetobacter xylinum, sehingga nama dari nata yang berbahan baku dari ubi jalar adalah nata de ipomoea. Nata merupakan bahan menyerupai gel (agaragar) yang terapung pada medium yang mengandung gula dan asam hasil 9 bentukan mikroorganisme Acetobacter xylinum. Struktur kimia selulosa sebagai berikut: Gambar 1. Struktur Kimia Selulosa Nata merupakan substansi yang terbentuk di permukaan cairan nutrien, yang sebenarnya merupakan polikel atau polisakarida ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri Acetobacter xylinum yang terakumulasi yang terapung-apung di permukaan cairan nutrien. Adanya gas-gas CO2 yang dikeluarkan oleh bakteri Acetobacter xylinum saat-saat metabolisme yang menempel pada fibril-fibril polisakarida ekstraseluler yang menyebabkan terapung. Nata akan tampak sebagai suatu massa fibril tidak beraturan yang menyerupai benang atau kapas apabila dilihat di bawah mikroskop. Nata dihasilkan dari proses fermentasi pada substrat yang mengandung gula dan nitrogen pada pH yang sesuai dengan perkembangan Acetobacter xylinum yaitu berkisar antara 4–4,5. Secara teknis nata dapat dibuat dari campuran berbagai media, karena untuk pertumbuhan dari bakteri Acetobacter xylinum dalam pembuatan massa nata diperlukan gula, asam organik dan mineral. Mineral dan asam organik ini dibutuhkan sebagai komponen metabolisme 10 dalam pembentukan kofaktor enzim ekstraseluler yang dihasilkan oleh bakteri Acetobacter xylinum (Pambayun, 2002). Nata merupakan makanan berkalori rendah karena mengandung serat tinggi hasil sintesis gula oleh bakteri Acetobacter xylinum berbentuk agar, berwarna putih dan mengandung air (Jannur majesty, dkk., 2015). 4. Adsorpsi Adsorpsi adalah proses proses melekatnya partikel-partikel atau zat-zat pada permukaan. Adsorpsi terjadi jika gaya tarik menarik antara zat terlarut dengan permukaan penyerap dapat mengatasi gaya tarik menarik antara pelarut dengan permukaan. Zat atau molekul yang terserap kepermukaan disebut adsorbat sedangkan zat atau molekul yang menyerap disebut adsorben. (Sukardjo, 1989 : 190). Pada proses adsorpsi dalam larutan jumlah zat yang teradsorpsi tergantung dari jenis adsorben, temperatur, dan juga tekanan (Atkin, 1997: 190-191). Adapun Adsorpsi dapat terjadi melalui dua cara yaitu: a. Adsorpsi fisik (fisisorpsi) Adsorpsi fisika terjadi karena adanya gaya-gaya fisika. Pada jenis adsorpsi fisika ini, terjadi beberapa lapisan gas. Besarnya energi adsorpsi fisika sekitar 10 kj/mol. Molekul-molekul yang diadsorpsi secara fisika tidak terikat kuat pada permukaan, dan biasanya terjadi proses balik yang cepat, sehingga mudah untuk diganti dengan molekul yang lain. Adsorpsi fisika didasarkan pada gaya Van der Waals, dan dapat terjadi pada 11 permukaan yang polar dan non polar. Adsorpsi juga mungkin terjadi dengan mekanisme pertukaran ion. Permukaan padatan dapat mengadsorpsi ion-ion dari larutan dengan mekanisme pertukaran ion. Karena itu ion pada gugus senyawa permukaan padatan adsorbennya dapat bertukar tempat dengan ion-ion adsorbat. Mekanisme pertukaran ini merupakan penggabungan dari mekanisme kemisorpsi dan fisisorpsi, karena adsorpsi jenis ini akan mengikat ion-ion yang diadsorpsi dengan ikatan secara kimia, tetapi ikatan ini mudah dilepas kembali untuk dapat terjadinya pertukaran ion (Atkin, 1982: 206). Banyak zat yang teradsorpsi dalam proses adsorpsi fisik berupa lapisan monomolekul dan banyak adsorpsi fisik akan makin kecil dengan naiknya suhu (atkins, 1997: 437). b. Adsorpsi kimia (kemisorpsi) Adsorpsi kimia dapat terjadi bila terdapat interaksi kimia antara molekul zat yang teradsorpsi dengan molekul adsorben. Pada adsorpsi ini melibatkan pertukaran elektron antara molekul yang teradsorpsi dengan permukaan. Panas yang dihasilkan pada kemisorpsi lebih besar dari panas yang dihasilkan pada fisisorpsi, yaitu 40 Kj/mol. Ikatan yang terjadi adalah ikatan kovalen atau ionik, atau keduanya. Adsorpsi kimia hanya membentuk lapisan tunggal pada permukaan dan energi yang terlibat pada adsorpsi kimia jauh lebih besar daripada adsorpsi fisik. Pemanfaatan proses adsorpsi pada proses kimia, contohnya dalam dunia industri memiliki keuntungan seperti: biaya rendah, tidak ada efek samping zat beracun, dan mampu menghilangkan bahan-bahan 12 organik lebih baik dibandingkan dengan perlakuan biologi yang konvensional. Faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi ialah (Cornel Miller, 1995: 25) struktur dan konsentrasi zat kimia (adsorbat), struktur dan konsentrasi adsorben, pH media, ukuran partikel, kapasitas pertukaran elektron, dan suhu. Menurut Adamson (1990), faktor-faktor yang mempengaruhi adsorpsi antara lain: 1.) Luas permukaan adsorben Luas permukaan berkaitan dengan struktur kristal, jumlah dan ukuran pori yang ada pada adsorben. Jumlah pori yang banyak dan lebar akan memperbesar kapasitas adsorpsi. Semakin besar luas permukaan adsorben maka semakin besar pula kapasitas dan laju adsorpsinya. 2.) Sifat dan konsentrasi adsorben Adsorben yang berbeda akan mempunyai daya adsorpsi yang berbeda terhadap suatu adsorbat. Perbedaan sifat adsorben dipengaruhi oleh asal, struktur, gugus fungsional yang dimiliki, serta perlakuan terhadap adsorben itu sendiri. Perlakuan terhadap adsorben ada 2 yaitu fisik dan kimia. Perlakuan tersebut akan meningkatkan kapasitas adsorpsi. Laju adsorpsi makin meningkat seiring meningkatnya konsentrasi adsorben. 13 3.) Sifat dan konsentrasi adsorbat Sifat-sifat adsorbat dapat dikatakan sebagai faktor terpenting yang menentukan perilaku adsorpsi. Sifat-sifat adsorben antara lain: struktur molekul, jumlah dan posisi gugus fungsi, dan jenis gugus fungsi fungsional. Semakin tinggi konsentrasi adsorbat, maka laju adsorpsi akan semakin cepat, namun pada kondisi tertentu akan stabil karena sudah jenuh sehingga terjadi proses kesetimbangan. 4.) Temperatur/suhu Perubahan suhu dapat mempengaruhi perilaku dengan cara mengubah karakter komponen dasar sistem adsorpsi, seperti sifat kimia adsorbat dan muatan permukaan adsorben. Adsorpsi merupakan proses eksotermik, maka bila dalam kesetimbangan kapasitas adsorpsi akan menurun sejalan dengan kenaikan. Suhu meningkat menyebabkan reaktivitas energi ion semakin besar sehingga lebih banyak ion yang dapat melewati tingkat energi untuk melakukan interaksi secara kimia dengan pori-pori permukaan. Disamping itu reaktifitas ion yang semakin besar akan meningkatkan pula difusi ion dalam pori-pori adsorben. 5.) Pengaruh pH dan adsorpsi hidrolitik Harga pH mempengaruhi perubahan distribusi muatan pada permukaan mineral sebagai akibat terjadinya reaksi protonasi dan deprotonasi pada pori aktif pada adsorben. Permukaan mineral relatif lebih bermuatan positif pada pH rendah, maka anion akan mempunyai 14 afinitas lebih besar terhadap permukaan. Sebaliknya, pada pH tinggi permukaan cenderung bermuatan negatif, dan afinitas anion menjadi lemah karena tolakan elektrostatis, dan mengakibatkan rendahnya daya adsorpsi adsorbat. Terjadinya hidrolisis adsorbat oleh pelarut akan membentuk asam atau basa yang banyak teradsorpsi secara hidrolitik. Menurut Adamson (1990), proses adsorpsi terbagi menjadi 4 tahap yaitu: 1.) Transfer molekul-molekul zat terlarut yang teradsorpsi menuju lapisan film yang mengelilingi adsorben. 2.) Difusi zat terlarut yang teradsorpsi melalui lapisan film (film diffusion process). 3.) Difusi zat terlarut yang teradsorpsi melalui kapiler/pori dalam adsorben (pore diffusion process). 4.) Adsorpsi zat terlarut yang teradsorpsi pada dinding pori atau permukaan adsorben (proses adsorpsi sebenarnya). 5. Pewarna Direct red teknis Pada tahun 1876 Otto Witt mengusulkan teori tentang zat warna, bahwa dalam suatu struktur molekul zat warna akan mengandung gugus tidak jenuh yang disebut kromofor (contoh: -N=N-, >C=O, -NO2, -SO3H) (Dede karyana, 2010: 1-2). 15 Bila kromofor berikatan dengan sistem aromatik akan diperoleh senyawa yang berwarna, contohnya azo benzena berwarna orange, gabungan sistem aromatik dan kromofor tersebut disebut kromogen (Dede karyana, 2010: 1-2). Kromogen seperti azo benzena belum bisa dipakai sebagai zat warna karena intensitas warnanya rendah dan belum mempunyai daya celup tetapi bila dimasukkan satu atau lebih gugus auksokrom maka akan menjadi zat warna. Dilthey dan Wizinger mengemukakan bahwa auksokrom ada yang bersifat donor elektron dan ada juga yang bersifat penarik elektron. Bila auksokrom pemberi elektron diletakan pada arah berlawanan dengan auksokrom penarik elektron dalam struktur molekul zat warna maka akan memperbesar sistem konjugasi zat warna, sehingga selain meningkatkan intensitas warna juga akan menimbulkan efek batokromik, yaitu panjang gelombang maksimum (λ maks) zat warnanya akan semakin besar (Dede karyana, 2010:1-2). Pewarna direct bersifat larut dalam air, sehingga dapat langsung dipakai dalam pencelupan serat selulosa seperti katun, rayon, dan rami. Zat warna direct red relatif murah dan mudah dalam pemakaiannya, namun warnanya kurang cerah dan tahan luntur hasil celupannya kurang baik. Pewarna direct merupakan pewarna tekstil dengan komposisi 87% azo tanpa logam, 5% azo kompleks logam, 5% stilben, oksazin 1% dan zat lain-lainnya 1% (Dede karyana, 2010: 8-9). Senyawa azo dan turunannya mempunyai gugus benzena. Gugus benzena sangat sulit didegradasi. Apabila gugus benzena dapat didegradasi, proses 16 degradasinya dibutuhkan waktu yang lama. Senyawa azo bila terlalu lama berada di lingkungan dapat menjadi sumber penyakit karena sifatnya karsinogen dan mutagenik. Penggolongan limbah pewarna pada tekstil sulit dilakukan karena struktur aromatis pada pewarna yang sulit dibiodegradasi, khususnya zat warna reaktif karena terbentuknya ikatan kovalen yang kuat antara atom C dari zat warna dengan atom C dari zat warna dengan atom O, N, atau S dari gugus hidroksi, amina atau thiol dari polimer (Christie, 2001: 135). Zat warna reaktif pertama kali diproduksi tahun 1956. Zat warna jenis ini pada aplikasinya sulit dihilangkan karena adanya ikatan kovalen yang kuat antara atom karbon dari zat warna dengan atom O, N, atau S dari gugus hidroksi, amino atau thiol dari polimer. Zat warna reaktif mempunyai berat molekul yang relatif kecil. Keuntungan zat warna reaktif adalah spektra absorpsinya tajam dan jelas, strukturnya relatif sederhana, dan warnanya lebih terang (Hunger K, 2003). Zat warna reaktif adalah suatu zat warna yang dapat mengadakan reaksi dengan serat, sehingga zat warna tersebut merupakan bagian dari serat. Oleh karena itu hasil celupan zat warna reaktif mempunyai ketahanan cuci yang sangat baik (Rasyid Djufri, 1976: 92). Menurut pemakaiannya zat warna reaktif dapat pula dibagi menjadi: a. Pemakaian secara dingin, yaitu zat warna reaktif yang mempunyai kereaktifan tinggi. b. Pemakaian secara panas, yaitu zat warna reaktif yang mempunyai 17 kereaktifan rendah. Adapun struktur kimia zat warna direct red ditunjukkan pada gambar 2. - O Na O S + O O Na O OH O Na + O - S + O O N N N S N O NH O H 3C O NH O S O - O Na+ - Gambar 2. Struktur Pewarna tekstil tipe Direct Red 79 6. Spektroskopi UV-Vis Bila cahaya UV-tampak (UV-Vis) dikenakan pada senyawa, maka sebagian dari cahaya tersebut diserap oleh molekul yang mempunyai tingkatan energi yang spesifik (Marham Sitorus, 2009: 8). Spektrum cahaya oleh molekul dalam daerah spektrum ultraviolet dan terlihat tergantung pada struktur elektronik dari molekul. Spektra ultraviolet dan terlihat dari senyawasenyawa organik berkaitan erat erat dengan transisi-transisi diantara tingkatantingkatan tenaga elektronik (Hardjono, 1991: 11). Absorpsi radiasi oleh suatu sampel diukur pada berbagai panjang gelombang dan informasi ini diteruskan ke perekam untuk menghasilkan spektrum UV-Vis (Fessenden & Fessenden, 1999: 437). Suatu spektrum UV-Vis menyatakan hubungan panjang gelombang dari suatu serapan terhadap intensitas serapan. Letak dari serapan berhubungan dengan panjang gelombang dari radiasi yang mempunyai energi yang sama 18 dengan yang dibutuhkan oleh transisi elektronik (Silverstein, Blassler, & Morrill, 1986: 306-307). Absorbansi pada panjang gelombang tertentu didefinisikan sebagai: A = log Keterangan: A = absorbansi I0 = intensitas radiasi yang datang I = intensitas radiasi yang diteruskan Absorbansi suatu senyawa dengan panjang gelombang tertentu bertambah dengan makin banyaknya molekul yang mengalami transisi (Fessenden & Fessenden, 1999: 437-439). Sinar ultraviolet (UV) mempunyai panjang gelombang antara 200-400 nm, sedangkan untuk sinar tampak (visibel) mempunyai panjang gelombang 400-750 nm. Konsentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan mengunakan hokum Lambert-Beer (Rohman, 2007). Hukum Lambert-Beer menyatakan hubungan antara serapan dan panjang jalan melewati medium yang menyerap, dan hubungan antar konsentrasi species penyerap dan tingkat absorpsi. Hukum ini menyatakan absorban zat terlarut adalah proposional dengan konsentrasi. Hubungannya secara matematis dapat dinyatakan sebagai berikut: A = ε . b. C 19 Keterangan: A : Absorbansi ε : koefisien absorbansi molar C : konsentrasi larutan (mol/L-1) b : Tebal Kuvet Dari persamaan lambert-beer, ada hubungan antara A (absorbansi) dan C (konsentrasi) dengan adanya persamaan regresi larutan standar Y = bx + a, dimana Y adalah absorbansi, dan X adalah konsentrasi. Dengan mengalurkan Absorbansi yang terukur spektrometer UV-Vis, kita dapat mengetahui konsentrasi sampel. 7. Spektroskopi Infra Merah Bila sinar inframerah dilewatkan melalui cuplikan senyawa organik, maka sejumlah frekuensi diserap sedang frekuensi yang lain diteruskan atau ditransmisikan tanpa diserap (Hardjono, 2007: 45). Sinar inframerah berada pada kisaran panjang gelombang 1–100 µm. Daerah 0,7–2,5 µm disebut inframerah dekat dan daerah 14,3–50 µm disebut inframerah jauh. Daerah yang paling berguna untuk mengenal struktur senyawa adalah daerah 2,5–15 µm (Silverstein, 1986: 95). Pada prakteknya spektroskopi inframerah diperuntukkan untuk menentukan adanya gugus-gugus fungsional utama dalam suatu sampel yang diperoleh berdasarkan bilangan gelombang yang dibutuhkan untuk vibrasi tersebut (Marham, 2009: 29). Inti atom yang terikat oleh ikatan kovalen 20 mengalami vibrasi dan osilasi. Bila molekul tersebut menyerap radiasi inframerah, maka Molekul akan terjadi kenaikan amplitudo vibrasi. Selain itu, Molekul akan berada dalam keadaan vibrasi tereksitasi. Panjang gelombang dari absorpsi oleh suatu tipe ikatan tertentu, tergantung pada macam vibrasi dari ikatan tersebut. Oleh karena itu, tipe ikatan yang berbeda menyerap radiasi inframerah pada panjang gelombang karakteristik yang berlainan (Fessenden & Fessenden, 1999: 315). Pada suhu biasa molekul-molekul organik dalam keadaan vibrasi yang tetap, setiap ikatan mempunyai frekuensi rentangan/stretching dan bending yang karakteristik dan dapat menyerap pada frekuensi tersebut (Hardjono, 2007: 48). Untuk menginterpretasikan spektrum inframerah secara sederhana dapat dilakukan dengan mengetahui harga dasar serapan gugus fungsional/ikatan. Harga dasar serapan inframerah untuk beberapa tipe ikatan dapat dilihat pada Tabel 2. (Hardjono, 1992:14). Tabel 2. Harga Dasar Serapan Inframerah untuk Beberapa Tipe Ikatan Tipe Ikatan Frekuensi (cm-1) Panjang Gelombang (µ) OH 3600 2,8 NH 3500 2,9 CH 1100, 3000 9,1; 3,3 C≡N 2250 4,4 C≡C 2150 4,6 C=O 1715 5,8 C=C 1650 6,1 Setiap tipe ikatan yang berbeda akan mempunyai frekuensi yang berbeda, karena tipe ikatan yang sama dalam dua senyawa berbeda terletak dalam 21 lingkungan yang sedikit berbeda, sehingga serapan infra merah atau spektrum infra merahnya juga berbeda (Harjono Sastrohamidjojo, 1992: 3-4) Menurut fengel dan Wegener (Astika, 2006) menyatakan bahwa gugus fungsi pada rantai selulosa adalah gugus hidroksil yang terikat pada setiap unit selulosa. Adanya gugus hidroksil ini akan menentukan sifat kimia dan kimia bagi selulosa. 8. Isoterm Adsorpsi Menurut Kusmiyati, dkk. (2012) isoterm adsorpsi menggambarkan keadaan kesetimbangan adsorpsi dengan perbedaan konsentrasi adsorben dalam larutan pada temperatur yang tetap. Keadaan setimbang adalah suatu keadaan dinamis yang tercapai ketika laju partikel teradsorpsi ke permukaan sama dengan laju desorpsinya (Lenny, 2012). Pola isoterm adsorpsi ada dua yaitu isoterm adsorpsi Langmuir dan isoterm adsorpsi Freundlich. a. Isoterm Adsorpsi Langmuir Menurut Zawani (I. Hartati, dkk., 2011) isoterm adsorpsi Langmuir mengasumsikan semua sisi permukaan adsorben mempunyai energi yang sama dan penangkapan adsorbat hanya pada lapisan pertama serta tidak terjadi proses migrasi adsorbat di permukaan adsorben. Persamaan isoterm adsorpsi Langmuir dapat ditulis sebaigai berikut: ...................................................................................................... (7) 22 Persamaan (1) jika diubah menjadi bentuk linear maka akan diperoleh persamaan sebagai berikut: ................................................................................................... (8) Keterangan qe = Jumlah zat terlarut yang teradsorps per gram Adsorben pada kesetimbangan(mg/gram) Qo = Jumlah zat terlarut yang teradsorps per gram Adsorben membentuk lapis tunggal (mg/gram) Ce = Konsentrasi larutan akhir atau pada kesetimbangan (ppm) b = Konstanta kapasitas Langmuir Grafik isoterm adsorpsi Langmuir didapatkan dengan mengalurkan C,/q, dan Ce yang akan menghasilkan garis lurus dengan kemiringan atau slope 1/Qo dan intersep 1/b Qo seperti pada Gambar 3. Ce/qe 1/Q0 = tan α 1/b Q0 Gambar 3. Grafik isoterm adsorpsi Langmuir 23 Ce b. Isoterm Adsorpsi Freundlich Isoterm Freundlich biasanya digunakan untuk menggambarkan karakteristik adsorpsi pada permukaan heterogen (I. Haryati, dkk., 2011: 28). Persamaan isoterm adsorpsi Freundlich dapat ditulis sebagai berikut: ...........................................................................................(9) Persamaan (3) jika diubah menjadi bentuk linear maka akan diperoleh persamaan sebagai berikut: ………………………………...………..(10) Keterangan qe = Jumlah zat terlarut yang teradsorp per gram adsorben pada kesetimbangan (mg/gram) Ce = Konsentrasi larutan akhir atau pada kesetimbangan (ppm) k = Konstanta kapasitas Freundlich n = Konstanta intensitas adsorpsi log qe 1/n= tan α Log k Gambar 4. Grafik isoterm adsorpsi Freundlich 24 log Ce Grafik isoterm adsorpsi Freundlich didapatkan dengan mengalurkan log qe dan log Ce yang akan menghasilkan garis lurus dengan kemiringan atau slope 1/n dan intersep log k seperti pada Gambar 4. B. Penelitian yang Relevan Lijuan Wang dan Jian Li (2013) mengunakan selulosa dari jerami padi untuk mengadsorpsi pewarna CI Reactive Red 228 yang memperoleh kapasitas maksimum selulosa jerami padi untuk adsorpsi Reactive Red 228 adalah 190 mg/g pada pH 3 dengan konsentrasi 0,4 g/L dan konsentrasi awal 80 mg/L. Proses adsorpsi dan keseimbangan CI Reactive Red 228 yang baik dilengkapi model kinetik pseudo dan model langmuir masing-masing orde kedua. Yusra Safa, dan Haq Nawaz Bhatti (2011) mengunakan arang sekam padi untuk menghilangkan Direct red 31 dan direct orange 26 dalam model batch. Penelitian dilakukan dengan fungsi dari pH, konsentrasi biosorben, ukuran partikel biosorben, konsentrasi pewarna awal, waktu kontak dan suhu. Hasil penelitian menunjukan bahwa model langmuir memberikan korelasi terbaik dari data eksperimen untuk kedua pewarna. C. Kerangka Berfikir Pertambahan industri tekstil skala home industri, ternyata meningkatkan limbah yang apabila tidak dikelola dengan baik berdampak pada pencemaran lingkungan. 25 Penggunaan pewarna sintetik dapat menyebabkan percemaran lingkungan karena pewarna sintetik mengandung gugus amina seperti azo yang sulit didegradasi. Pengelolaan limbah multak diperlukan oleh sebab itu perlu dicari pengelolaan limbah alternatif. Pengelolahan Adsorpsi merupakan salah satu cara yang dipilih dalam penelitian ini. Pada proses adsorpsi ini mengunakan adsorben yang dihasilkan dari bahan adsorben alternatif. Bahan adsorben alternatif yang digunakan harus murah dan mudah didapatkan. Limbah air tepung ubi jalar ialah bahan yang sudah terpakai dan termasuk limbah rumah tangga. Limbah ini mengandung pati yang cukup besar. Semua bahan yang mengandung pati sangat berpotensi untuk dijadikan bahan dalam pembuatan selulosa bakteri (nata). Nata yang dihasilkan yang terbuat dari pati yang berasal dari air limbah tepung ubi jalar dinamakan nata de ipomoea. Nata de ipomoea mempunyai gugus-gugus alkohol yang memiliki potensi untuk digunakan sebagai adsorben alternatif. Sehingga adsorben pada penelitian ini adalah Nata de ipomoea. Dalam Penelitian ini peneliti mengambil beberapa faktor untuk dijadikan variabel penelitian. Variabel tersebut adalah waktu kontak dan konsentrasi pewarna direct red teknis. Variasi waktu adsorpsi yaitu 10 menit; 20 menit; 30 menit; 60 menit; 90 menit; dan 120 menit, dan variasi konsentrasi pewarna direct red teknis yaitu 50 ppm; 75 ppm; 100 ppm; 125 ppm dan 150 ppm. Sehingga melalui penelitian ini akan diperoleh waktu kontak adsorpsi pada saat kesetimbangan, konsentrasi pewarna direct red teknis optimum yang 26 digunakan untuk analisis adalah dengan spektroskopis UV-Vis karena sampel pewarna merupakan pewarna yang dapat diadsorpsi pada daerah serapan Visibel. Selain itu juga mengunakan Spektroskopis IR untuk mengetahui gugus fungsi yang terdapat pada adsorben nata de ipomoea sebelum dan sesudah adsorpsi untuk mengetahui kemungkinan interaksi/ikatan kimia antara adsorben dan adsorbat yang terjadi. Selain itu dicari pola isoterm adsorpsinya. 27