6 BAB II PEMUTAKHIRAN PETA LAUT 2.1 Peta Laut Peta laut

advertisement
BAB II
PEMUTAKHIRAN PETA LAUT
2.1 Peta Laut
Peta laut adalah representasi grafis dari permukaan bumi yang menggunakan
simbol, skala, dan sistem proyeksi tertentu yang mengandung informasi serta
menampilkan fitur-fitur alam dan buatan manusia yang disajikan secara dua
dimensi maupun tiga dimensi dalam suatu media penyampaian, baik cetak
maupun dijital.
Lebih kurang 70% permukaan bumi ditutupi oleh lautan sehingga kebutuhan
akan peta yang spesifik menyampaikan informasi tentang laut sangat
diperlukan
untuk
kebutuhan
navigasi,
eksplorasi,
eksploitasi,
serta
pengelolaan wilayah laut dan pesisir.
2.1.1
Fungsi dan Informasi Peta Laut
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang
garis pantai lebih dari 81.000 km, di mana 2/3 wilayah kedaulatannya
berupa perairan laut. Untuk dapat memfasilitasi kebutuhan atas informasi
tersebut dibutuhkan peta laut yang mutakhir untuk dapat menggambarkan
kondisi lapangan yang aktual. Fungsi utama dari peta laut adalah
menyampaikan informasi terkait wilayah laut dan pesisir dan perubahanperubahan yang terjadi di dalamnya untuk kebutuhan:
•
Keselamatan, efektivitas, dan efisiensi bidang navigasi;
•
Eksplorasi dan eksploitasi sumber daya laut;
•
Pembangunan dan pengelolaan wilayah pesisir;
•
Perlindungan lingkungan laut;
•
Pertahanan maritim.
6
Secara khusus untuk peta navigasi laut, informasi utama yang harus
dikomunikasikan terdiri atas (Poerbandono, 1998):
•
Kedalaman perairan dengan pokok perhatian pada bahaya navigasi
(kedangkalan, bangkai kapal tenggelam, daerah latihan militer, dan
sebagainya).
•
Sifat dan jenis garis pantai serta sifat material dasar laut dibawahnya.
•
Posisi, jenis, dan karakter sarana bantu navigasi pelayaran.
•
Bentuk atau unsur topografi khusus yang dapat dipakai untuk sarana
bantu navigasi (bangunan yang terlihat dari laut, puncak-puncak
daratan, dan sebagainya).
2.1.2
Jenis Peta Laut
Berdasarkan media penyampaiannya, peta laut dibagi atas dua jenis yaitu
peta laut analog/ kertas dan peta laut dijital (ENC/ Electronic Navigational
Chart). Secara umum peta laut yang digunakan terbagi atas tiga jenis,
yaitu peta navigasi laut, peta batas laut, dan peta kerekayasaan kelautan.
Untuk pemanfaatan dalam bidang navigasi, peta laut dikelompokkan lagi
ke dalam empat jenis dengan skala yang berbeda (Djunarsjah, 2005),
yaitu:
•
Peta Pelabuhan (skala > 1:50.000), untuk keperluan navigasi dalam
pelabuhan dengan alur pelayaran sempit, serta untuk tempat berlabuh.
•
Peta Pantai (skala 1:50.000 – 1:100.000), untuk keperluan navigasi
dekat pantai (agar kapal dapat berlayar melalui karang atau daerah
dangkal), memasuki teluk dan pelabuhan yang cukup besar, serta
bernavigasi di alur pedalaman.
•
Peta Umum (skala 1:100.000 – 1 600.000), untuk navigasi pada saat
kapal berada cukup jauh dari daratan namun posisi kapal masih dapat
ditentukan relatif terhadap tanda-tanda di darat, lampu-lampu suar,
serta pelampung-pelampung.
7
•
Peta Haluan (skala < 1:600.000), untuk navigasi antar pelabuhan yang
jauh dan untuk pengeplotan posisi kapal pada saat daratan belum
tampak.
2.1.3
Kartografi Kelautan
Peta navigasi laut dirancang khusus untuk menuntun perwira navigasi
dalam mengolahgerakkan kapalnya dari titik awal keberangkatan hingga
tujuan dengan aman dan efisien (Poerbandono, 1998).
Untuk menyajikan ragam informasi di dalam peta laut dibutuhkan proses
kartografi kelautan. Kartografi kelautan merupakan seni dan ilmu
pengetahuan dalam menyajikan informasi obyek-obyek fisis di laut dan
darat secara grafis dengan menggunakan simbol, skala, dan sistem
proyeksi tertentu ke dalam suatu peta. Penggunaan simbol dalam peta laut
mengikuti kaidah standar simbologi yang terdapat di dalam Peta Laut
Nomor 1 (Chart No. 1).
Kegiatan kartografi untuk pembuatan peta laut di Indonesia dilakukan oleh
Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL (Dishidros TNI-AL) sebagai kantor
hidrografi nasional. Urutan kegiatan pengumpulan informasi untuk
keperluan kartografi yang dilakukan oleh Dishidros TNI-AL dapat dilihat
pada Gambar 2.1.
8
Gambar 2.1 Pengumpulan Informasi untuk Keperluan Kartografi di Dishidros TNI-AL
(Djunarsjah, 2005)
2.2 Pemutakhiran Peta Laut
Pemutakhiran adalah kegiatan untuk memperbaharui informasi, secara
sebagian ataupun keseluruhan, yang terkandung dalam suatu sistem informasi
tertentu. Dalam konteks peta laut, pemutakhiran disebabkan karena
perubahan-perubahan yang terjadi di wilayah pesisir dan laut. Perubahan ini
dapat ditemukan dari pengamatan yang bersifat kebetulan/ accidental
(misalnya pelaut yang melintas dan menemukan gosong yang tidak ada di
peta), pengamatan berkala oleh kantor hidrografi pada suatu jalur pelayaran,
atau kecelakaan pelayaran yang mengakibatkan kapal kandas atau karam.
Penemuan obyek-obyek yang dinilai berbahaya bagi pelayaran tersebut
penting untuk diantisipasi dan informasinya harus ditambahkan dalam peta
laut untuk meningkatkan keselamatan pada saat berlayar di laut. Informasi
tentang pemutakhiran peta laut dapat diakses lewat Berita Pelaut (Notices to
9
Mariners) dan komunikasi radio yang disiarkan oleh pihak pengawas pantai
atau pelabuhan.
2.2.1
Landasan Hukum dalam Pelaksanaan Pemutakhiran Peta Laut
Terjaminnya kemutakhiran informasi yang terkandung dalam peta laut
memegang peranan yang sangat krusial karena ketika suatu informasi
tidak lagi aktual/ out-of-date maka manfaat informasi itu akan berkurang
atau bahkan dapat membahayakan penggunanya.
Mengingat pentingnya pemutakhiran peta laut untuk keselamatan navigasi
di laut, maka diperlukan adanya ketentuan-ketentuan yang mengatur
tentang pemutakhiran peta laut tersebut. Berikut ini adalah landasan
hukum yang mendasari dilakukannya pemutakhiran peta laut secara
periodik.
a. Undang-Undang No. 4/ 2011 tentang Informasi Geospasial (terlampir)
•
Pasal 2 UU-IG 2011 disebutkan bahwa informasi geospasial
diselenggarakan atas “azas kemutakhiran”.
•
Pasal 17 UU-IG 2011 disebutkan bahwa informasi geospasial dasar
harus dimutakhirkan secara periodik dan dalam jangka waktu
tertentu.
b. Safety of Life at The Sea (SOLAS) 1974 (terlampir)
Pada Chapter V Regulation 9 SOLAS 1974 disebutkan bahwa
pemerintah berusaha mengatur pengumpulan dan penyusunan data
hidrografi, publikasi, penyebaran dan pemutakhiran semua informasi
nautika yang penting dalam menunjang keselamatan navigasi.
2.2.2
Pelaksana Pemutakhiran Peta Laut
Setiap publikasi nautika diterbitkan oleh kantor hidrografi yang bekerja di
bawah naungan pemerintah dalam suatu negara. Di Indonesia, kantor
10
hidrografi yang berwenang menerbitkan peta laut dan publikasi kelautan
lainnya adalah Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL (Dishidros TNI-AL).
Dishidros TNI-AL merupakan lembaga survei dan pemetaan di bidang
kelautan dibawah TNI-AL yang bertugas membina dan melaksanakan
fungsi hidro-oseanografi di Indonesia yang meliputi survei, penelitian,
pemetaan laut, publikasi, pengawasan lingkungan laut, dan keselamatan
navigasi pelayaran baik untuk kepentingan militer maupun untuk
kepentingan umum.
Dishidros
TNI-AL
menjadi
anggota
International
Hydrographic
Organisaton (IHO) ke 64 pada tanggal 18 Oktober 1951 atas nama
Presiden Republik Indonesia. Dengan mengacu pada standar dan
spesifikasi IHO, Dishidros TNI-AL menyediakan peta dan informasi
kelautan dengan standar kualitas internasional yang ditujukan untuk
menjamin keselamatan navigasi di laut.
2.3 Periode Pemutakhiran Peta Laut
Wilayah laut dan pesisir merupakan wilayah yang dinamis dan selalu
mengalami perubahan, baik dikarenakan faktor alam maupun faktor aktivitas
manusia. Perubahan-perubahan ini menuntut adanya pemutakhiran informasi
yang terkandung di dalam peta laut secara periodik dan berkesinambungan
agar dapat merepresentasikan wilayah tersebut secara aktual. Menurut IHO,
periode pemutakhiran penuh sebuah lembar peta laut adalah 5 tahun sekali dan
maksimal 10 tahun sekali.
Periode pemutakhiran peta laut di Indonesia tidak dapat ditentukan dengan
seragam untuk semua wilayah laut karena frekuensi penemuan bahaya
pelayaran baru dan laju perubahan kondisi pesisir dan laut, yang diakibatkan
faktor alam maupun manusia, untuk masing-masing wilayah berbeda satu
sama lain. Luasnya wilayah laut yang merupakan kedaulatan Indonesia juga
11
menjadi faktor pertimbangan dalam menentukan periode pemutakhiran peta
laut.
2.3.1
Kemampuan Pelaksanaan Pemutakhiran
Permasalahan utama dalam pemutakhiran peta laut di Indonesia adalah
luasnya wilayah laut kedaulatan Indonesia dan keterbatasan kapal survei
dan pemetaan. Kapal yang digunakan Dishidros TNI-AL adalah kapal
perang yang dimodifikasi dengan peralatan survei dan belum memiliki
kapal yang dikhususkan untuk melaksanakan survei hidro-oseanografi
(Rampangilei, 2008).
Kemampuan Dishidros TNI-AL dalam memutakhirkan peta laut pada
rentang 5 tahun dalam periode 2000-2004 adalah 206 lembar peta atau
sekitar 40 lembar peta per tahun (Dishidros, 2004). Jumlah ini meningkat
menjadi 90 lembar peta per tahun pada tahun 2011 walaupun masih
mencapai 45% dari kemampuan ideal yaitu 200 lembar peta per tahun
(Dishidros, 2011).
2.4 Skala Prioritas untuk Pemutakhiran Peta Laut
Kendala pelaksanaan pemutakhiran yang dijabarkan di atas menjadi
penghambat sekaligus bahan pertimbangan dalam memutakhirkan peta laut.
Hal-hal itulah yang membuat diperlukannya ada skala prioritas dalam
melaksanakan pembaruan informasi peta laut karena pemutakhiran menjadi
tidak efisien dan memakan biaya yang sangat besar apabila dilakukan secara
seragam untuk semua lembar peta yang ada. Dengan menimbang hal tersebut,
digunakan 3 skala prioritas di dalam Tugas Akhir ini, yaitu:
1. Laporan bahaya navigasi,
2. Kecelakaan pelayaran,
3. Tingkat dinamika pesisir dan laut.
4. Skala peta
12
Download