BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Penerjemahan Kata penerjemahan berasal dari bahasa Arab yaitu Tarjammah yang berarti mengubah suatu bahasa ke bahasa lain. Sedangkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007), terjemahan/menerjemahkan berarti menyalin/memindahkan suatu bahasa ke bahasa lain atau mengalihbahasakan. Sedangkan menurut Sudarno (2011) penerjemahan berarti mengubah teks bahasa sumber ke dalam teks bahasa sasaran dengan mempertimbangkan makna kedua bahasa sehingga diusahakan semirip-miripnya. Selain itu penerjemahan harus mengikuti kaidah-kaidah yang berlaku dalam bahasa sasaran. Selain itu menurut Hoed (2006: 23), yang dimaksud dengan penerjemahan adalah kegiatan mengalihkan secara tertulis pesan dari teks suatu bahasa (contohnya bahasa Jepang) menjadi teks bahasa lain (contohnya bahasa Indonesia). Namun penerjemahan bukan hanya kegiatan untuk menerjemahkan suatu teks. Penyampaian pesan juga merupakan salah satu bagian dari penerjemahan yang tidak boleh sampai menghilang. Di sisi lain, Tanji Nobuharu (Mochida Kimiko, 1990: 218) juga menyebutkan bahwa: ほんやく 「 げんご ;翻訳 と は あ る げんご なか ;言語の お か たんご ;言語 の おな ;中で いみ ;同じ< ぶん ;単語 や も ;意味>を ;持つ い べつ ;文 を 、 たんご ;別 の ぶん ;単語や ;文に でき ;置き ;換えることだ、と ;言うことが ;出来るであろう。」 Terjemahan: "Yang disebut dengan penerjemahan, adalah mengubah kata atau kalimat dalam sebuah bahasa menjadi kata atau kalimat dalam bahasa lain dengan “arti” yang mirip.” Sedangkan Larson (1984) berpendapat bahwa penerjemahan ialah suatu perubahan bentuk dari suatu bahasa. Perubahan yang dimaksud dapat berupa frasa, klausa, kalimat, paragaf, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, selain membawa pesan, kegiatan penerjemahan juga merupakan kegiatan untuk mengubah bentuk bahasa dengan tujuan agar teks hasil terjemahan bisa dipahami dengan mudah oleh para penikmat hasil terjemahan, atau bahkan membuat para penikmatnya tidak merasa bahwa teks yang dimaksud merupakan sebuah teks hasil terjemahan. 7 8 Namun dalam proses penerjemahan, pesan atau makna yang terkandung di dalam sebuah teks terjemahan tidak boleh sampai berubah dari asalnya. Sekalipun dalam proses terjadi perubahan bentuk frasa, klausa, kalimat dan paragraf. Seperti yang dikemukakan oleh Nida dan Taber (1974: 12) bahwa penerjemahan harus bertujuan untuk menyampaikan pesan. Walau pesan yang bersangkutan ini akan mengalami penyesuaian bentuk leksikal dan gramatikal. Dalam memahami arti dari penerjemahan, Catford menekankan bahwa penerjemahan juga harus didasari oleh faktor kesesuaian atau keselarasan. menurut Catford (1965: 20), penerjemahan adalah kegiatan untu mengganti materi tekstual dari suatu bahasa secara selaras menjadi bahasa lain. Selain itu, Catford juga menyatakan bahwa terjemahan yang baik harus tidak terasa seperti sebuah teks hasil terjemahan saat dibaca. Dari teori-teori di atas, dapat disimpulkan bahwa empat inti utama dalam melakukan penerjemahan adalah: a. Adanya perubahan bentuk frasa, klausa, kalimat, paragraf dan sebagainya b. Penyampaian pesan yang tidak diubah/ dipertahankan c. Kesesuaian d. Teks terjemahan yang tidak terasa hasil penerjemahan. 2. 2 Metode Penerjemahan Melakukan penerjemahan bukanlah hal yang semudah kedengarannya. Bertolak belakang dengan definisi menurut KBBI, Luther dalam Simatupang (2000: 3) menyatakan bahwa bahwa “Translation is not everybody’s art”. Yang berarti Penerjemahan bukanlah hal yang bisa dilakukan oleh semua orang. Karena sama seperti sebuah karya seni, penerjemahan membutuhkan pengetahuan, latihan, serta pengalaman. Sebagai tambahan pernyataan di atas, Hidayat dalam Amalia (2007) juga mengemukakan bahwa kemahiran menerjemahkan tidak mungkin berkembang menjadi kemahiran profesional tanpa pengetahuan tentang teknik penerjemahan, latihan yang intensif serta pengalaman yang cukup. Sejalan dengan apa yang dikemukakan Hidayat, Robinson dalam Amalia (2007) juga menyatakan bahwa penerjemahan merupakan rangkaian proses belajar yang berjalan secara terus-menerus melalui tiga tahapan, yaitu naluri, pengalaman serta kebiasaan. 9 Saat melakukan penerjemahan, para penerjemah dihadapkan pada berbagai perbedaan bentuk frasa, klausa, kalimat dalam bahasa sumber, serta teks bahasa sasaran. Terlebih lagi setiap bahasa memiliki aturan masing-masing yang juga dipengaruhi oleh budaya masing-masing. Hal terpenting saat seorang penerjemah menerjemahkan sebuah kalimat, sang penerjemah harus menyadari bahwa akan ada perubahan bentuk frasa, klausa dan kalimat. Hal ini sesuai dengan pendapat Nida (2003) yang mengatakan: “Translating consist in producing in the receptor language the closest natural equivalent to the message of the source language, first in meaning and secondly in style.” Dari kutipan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep dari sebuah penerjemahan adalah mencari dan menentukan arti dalam bahasa sumber yang paling sesuai dengan makna dan gaya bahasa sasaran. Lebih lanjut, menurut De Maar dalam A. Widyamartaya (1989: 15) beberapa langkah yang dibutuhkan dalam melakukan penerjemahan ialah sebagai berikut: a. Membaca dan mengerti karya sastra yang akan diterjemahkan b.Menyerap serta memahami isi dari karya sastra tersebut, bahkan hingga sang penerjemah menemukan makna terpendam di balik karya sastra tersebut c. Mengubahnya menjadi bahasa tujuan dengan mencocokkannya dengan sistematika bahasa tujuan namun tanpa mengubah ide atau pemikiran utama dari karya sastra tersebut. 2.3 Ideologi Ideologi berasal dari kata idéologie, yang merupakan gabungan dari 2 kata yaitu, idéo yang berarti “gagasan” dalam bahasa Perancis, serta logie yang mengacu kepada logos, yaitu kata dalam bahasa Yunani yang berarti “logika”. Menurut Karl Max (1932), yang dimaksud dengan ideologi adalah alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama. Sedangkan Gunawan Setiardjo (1993: 32) berpendapat bahwa ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan yang melahirkan aturan dalam kehidupan bersama. Walau dari kedua kutipan di atas bisa terlihat bahwa kata ideologi sangat dekat dengan psikologi dan interaksi antar sesama manusia, dalam bidang kajian bahasa, budaya dan penerjemahan, pengertian ideologi bisa diperluas di luar konteks psikologi dan didefinisikan sebagai seperangkat ide yang mengatur kehidupan manusia yang dapat membantu memahami hubungan dengan lingkungan kita 10 (Karoubi, 2008: 5). Dengan kata lain, ideologi dari sisi penerjemahan adalah suatu metode atau pemikiran yang berguna untuk membantu seorang penerjemah merealisasikan terjemahannya menjadi bahasa tujuan sehingga dapat dipahami dengan mudah oleh para penikmat hasil terjemahan. Karoubi (2008) juga berpendapat bahwa saat ini, sebagian besar orang dalam komunitas penerjemahan masih menganggap ideologi hanya merupakan kata dalam kajian psikologi. Padahal seorang penerjemah seharusnya bisa memutuskan apakah ia akan mengambil atau mengabaikan sebuah ideologi pada saat melakukan penerjemahan. 2.4 Ideologi Penerjemahan Seperti yang telah disebutkan di atas, ideologi penerjemahan adalah suatu metode atau pemikiran yang berguna untuk membantu seorang penerjemah merealisasikan terjemahannya menjadi bahasa tujuan agar dapat dipahami dengan mudah oleh para pembaca hasil terjemahan. Untuk menganalisis sebuah ideologi penerjemahan, kita dapat melihatnya dari proses maupun hasil terjemahan yang bersangkutan. Sementara menurut Hoed (2003: 4), ideologi dalam bidang penerjemahan berarti prinsip atau keyakinan mengenai benar-salah dalam sebuah penerjemahan. Namun dari teori di atas muncul sebuah pertanyaan, yaitu “Apa yang menentukan benar-salah dalam sebuah penerjemahan?” Menurut Nida dan Taber (1974: 12), benar-salah dalam sebuah penerjemahan harus ditentukan oleh para penikmat hasil terjemahan. Dengan kata lain, untuk melihat apakah sebuah terjemahan bisa dipahami atau tidak, kita harus melihatnya dari sudut pandang penikmat terjemahan. Sedangkan Hatim dan Mason (1997: 83, 148, 162), mengemukakan konsep “Audience Design” sebagai salah satu prosedur untuk memulai suatu proses penerjemahan. “Audience Design” adalah suatu tindakan memperkirakan siapa calon pembaca terjemahan kita. Berbeda calon sidang pembaca kita, berbeda pula cara kita menerjemahkan. Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti akan memposisikan dirinya sebagai penonton hasil terjemahan anime awam. Namun sebelum maju lebih lanjut, perlu dijabarkan bahwa dalam sebuah penerjemahan, terdapat dua kutub ideologi yang saling bertentangan. (Kardimin, 2013) Ideologi pertama mengatakan bahwa penerjemahan yang baik adalah penerjemahan yang mengacu pada bahasa sasaran. Dengan kata lain, sebuah teks terjemahan akan dianggap baik, apabila bisa dipahami dan diterima oleh pembaca 11 bahasa sasaran. Teks tersebut harus terasa natural, dan tidak terdengar seperti sebuah teks hasil terjemahan; seakan-akan seperti seperti karya yang berasal dari bahasa sendiri. Ideologi ini disebut dengan ideologi penerjemahan domestifikasi, atau juga disebut dengan lokalisasi. Sedangkan ideologi kedua mengatakan bahwa terjemahan yang baik adalah terjemahan yang mengacu pada bahasa sumber atau masih mempertahankan bentukbentuk bahasa sumber termasuk unsur-unsur kebudayaannya. Ideologi ini disebut foreignisasi. 2.5 Ideologi Penerjemahan Domestifikasi Menurut Kardimin, (2013) ideologi penerjemahan domestifikasi adalah penerjemahan yang lebih condong mengacu pada bahasa sasaran. Ideologi ini meyakini bahwa penerjemahan yang baik, benar, dan bisa diterima, adalah penerjemahan yang sesuai dengan selera dan harapan para pembaca dengan cara mengubah istilah-istilah asing ke dalam bahasa sasaran. Tujuan dari ideologi ini adalah membuat para penikmat karya hasil terjemahan tidak merasa bahwa yang sedang mereka baca adalah karya hasil terjemahan. Melainkan karya asli dari bahasa sendiri. Biasanya domestifikasi digunakan dilakukan saat istilah asing dan tidak lazim dari teks bahasa sumber akan menjadi hambatan atau kesulitan bagi pembaca bahasa sasaran dalam memahami teks yang bersangkutan (Mazi-Leskovar, 2003: 5). Kesulitan pemahaman pembaca bahasa sasaran bisa diakibatkan oleh perbedaan cara pandang, perbedaan budaya, perbedaan bahasa, maupun pengalaman peristiwa sosial tertentu. Terkadang demi mencapai tujuan tersebut, beberapa karya terjemahan seperti novel atau film dilakukan dengan cara mendomestifikasikan nama-nama tokoh cerita dengan penggunaan nama dengan pengucapan yang lebih mudah diucapkan dan diingat oleh pembaca. Seperti dalam game “Gyakuten Saiban” ( 逆 転 裁 判 ) di Amerika yang mengalami berbagai proses domestifikasi yang tergolong sangat mencolok. Dari perubahan judul menjadi “Phoenix Wright: Ace Attorney”, serta perubahan nama karakter seperti Ryuichi Naruhodou menjadi Phoenix Wright, bahkan perubahan setting dari Jepang menjadi Los Angeles, Amerika. Walau pada awalnya tidak muncul masalah, belakangan penerjemah game tersebut sering kali merasa kebingungan akibat budaya Jepang yang kian bertambah dalam game tersebut. 12 Kembali menurut Kardimin (2013), ciri-ciri bahwa sebuah terjemahan menggunakan ideologi domestifikasi ialah sebagai berikut: 1. Hasil terjemahan sesuai dengan kebudayaan pada bahasa sasaran. 2. Penerjemah sendiri yang menentukan apa yang harus dia lakukan agar terjemahannya tidak terasa sebagai karya asing 3. Metode yang dipakai adalah penerjemahan adaptasi, penerjemahan bebas penerjemahan idiomatik, serta penerjemahan komunikatif. 4. Kata-kata asing seperti ―さん、―くん、―さま diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. 5. Penerjemah berusaha memperkenalkan budaya Indonesia pada dunia luar. Di samping itu, Kardimin (2013) juga mengemukakan bahwa penggunaan ideologi penerjemahan domestifikasi memiliki kelebihan serta kekurangan sebagai berikut: Kelebihan Pembaca teks bahasa sasaran bisa memahami teks terjemahan dengan mudah. Teks terjemahan terasa natural. Memungkinkan terjadinya asimilasi budaya. Kekurangan Aspek-aspek budaya dalam bahasa sumber sering kali pudar. Pembaca teks sasaran tidak bisa memberikan interpretasi terhadap teks, dilakukan oleh penerjemah. Pembaca teks bahasa sasaran tidak mendapatkan pengetahuan budaya bahasa sumber. Terkadang, domestifikasi bisa dilakukan untuk memenuhi kaidah sopan santun yang berlaku pasa masyarakat bahasa sasaran. Ada ungkapan-ungkapan tertentu yang bila diterjemahkan secara harfiah akan menimbulkan rasa tersinggung pada penikmatnya. Bila seorang penerjemah menjumpai kasus seperti ini, dia harus dengan pandai berusaha mencari padanan terdekat tanpa harus melanggar norma yang dituntut dalam masyarakat bahasa sasaran. 13 2.6 Dajyare serta Teknik Penerjemahannya Menurut Nakamura Akira, (2008: 23), yang dimaksud dengan dajyare adalah: ひと 「 おとよこしげる ;一 つ の ふくすう ;音横成 に ;複数 の い み を も た せ る 、 しゅうじぎほう ;修辞技法)。」 Terjemahan: “Sebuah kalimat bermajas retoris yang memiliki pengucapan yang mirip, namun memiliki lebih dari satu arti.” Apabila melihat dari struktur bahasanya, dajyare merupakan sebuah frase yang terdiri dari gabungan dari dua kata, yaitu da (駄) yang merupakan pemotongan dari kata dame (駄目) yang berarti jelek atau buruk, dan share (洒落). Kembali menurut Nakamura Akira, (2008:23), yang dimaksud dengan share adalah: おな 「 おと ;同じ に おと ;音や ;似た いみ ;音で ほうこう して、とんでもない でいみ ちが ;意味の べつご ;違う てんかい ;方向へ ちが りよう ;別語を ;利用 ちょうし ;展開したり、 ;調子だけそ もぞうひん っくり ;出意味のまったく ;違う ;模造品をつくるあげたり する。」 Terjemahan: “Menggunakan kata-kata yang berbeda namun memiliki bunyi yang sama/mirip, atau menggunakan kata-kata yang memiliki nada yang mirip namun maknanya sangat berbeda untuk menarik reaksi yang tertentu.” Definisi ini sesuai dengan deskripsi “pun ” menurut John Pollack (2011) yang berbunyi: “A play on words, either on different senses of the same word or on the similar sense or sound of different words.” Terjemahan: “Permainan kata-kata, dengan cara menggunakan kata yang memiliki bentuk yang sama namun makna yang berbeda, atau bunyi yang berbeda namun memiliki arti yang serupa.” Dari kedua pernyataan di atas, dapat kita lihat bahwa dajyare memiliki kesamaan dengan “pun” (pelesetan) yang merupakan salah satu bagian dari wordplay (permainan kata-kata) dalam bahasa Inggris, yakni permainan kata-kata yang menggunakan kata-kata yang memiliki bunyi yang sama atau mirip. Hal ini kembali ditegaskan kembali oleh Kawahara (2009) yang menyebutkan: 14 “Dajyare is a pun which created by pairing two identical or similar words to create a meaningful expression.” Terjemahan: “Dajyare adalah sebuah pelesetan yang disusun dengan cara membandingkan dua kata yang mirip untuk menciptakan sebuah kesan khusus.” Dari pernyataan tersebut, dapat kita ambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan dajyare adalah sejenis pelesetan yang dibuat dengan cara membandingkan dua kata yang terdengar mirip. Selanjutnya, Peter Farb, dalam bukunya yang berjudul Word Play (1973) menyebutkan: "All obscene puns have the same underlying construction in that they consist of two elements. The first element sets the stage for the pun by offering seemingly harmless material, such as the title of a book, The Tiger's Revenge. But the second element either is obscene in itself or renders the first element obscene as in the name of the author of The Tiger's Revenge--Claude Bawls." Terjemahan: “Pelesetan terbentuk dari dua elemen. Elemen pertama merupakan bagian dari pelesetan yang tidak memiliki arti yang signifikan, sebagai contoh, buku berjudul “Tiger’s Revenge”. Namun elemen kedua memiliki arti yang mengundang tawa, atau membuat elemen pertama menjadi pengundang tawa, seperti nama pengarang dari buku “The Tiger's Revenge”, Claude Bawls.” Dari deskripsi Peter Farb, dapat diambil kesimpulan bahwa sebuah pelesetan terdiri dari dua komponen. Komponen pertama adalah “inti” dari kalimat yang tidak berkesan apa pun. Namun, apabila dipasangkan dengan komponen kedua, maka salah satu, atau kedua komponen yang ada akan menjadi pengundang tawa. Otake dan Cutler dalam Takashi (2010) membagi dajyare menjadi 3 jenis, yaitu: 1. Dajyare Homofon Yaitu dajyare yang menggunakan 2 kata yang memiliki bunyi yang sama, namun arti dan/atau cara tulis yang berbeda. せんす Contoh: この ;扇子はセンスがいい。 Dalam kalimat di atas, kata sensu muncul sebanyak dua kali, kata sensu pertama bermakna “kipas” sedangkan kata sensu kedua berasal dari kata bahasa Inggris yaitu sense yang bermakna desain. 15 Apabila dajyare itu diterjemahkan secara literal, maka hasilnya kurang-lebih: “Kipas ini punya desain yang menarik.” 2. Dajyare Hampir-homofon Yaitu dajyare yang menggunakan 2 kata yang memiliki bunyi yang hampir sama. たいじゅう Contoh: ヘルシーに へ ;体重が ;減るし. Dalam kalimat di atas, kata herushii yang berasal dari kata bahasa Inggris healthy yang bermakna makanan sehat dan bergizi seperti salad, dipasangkan dengan kata herushi yang bermakna berkurang. Kedua kata yang dipasangkan, yaitu herushii dan herushi memiliki cara pengucapan yang hampir sama, hanya berbeda durasi huruf “i”. Apabila dajyare di atas diterjemahkan secara literal, maka hasilnya kurang-lebih: “Berat badanku turun karena makan makanan bergizi.” 3. Dajyare Sematan Yaitu dajyare yang memasangkan dua kata yang berbeda, namun dalam salah satu kata tersemat bagian yang mirip dengan kata yang dipasangkan. さけ Contoh: さけ ;鮭が ;叫んだ。 Dalam kalimat di atas, kata sake yang berarti ikan salmon, dipasangkan dengan kata sakenda yaing berasal dari kata sakebu yang berarti menjerit. Dalam kata sakebu, terdapat kata sake yang telah diberi garis bawah. Apabila dajyare di atas diterjemahkan secara literal, maka artinya kurang-lebih: “Ikan salmonnya menjerit. Sedangkan, Delabastita (1996), Gottlieb (1997), von Flotow (1997) dan Lefevere (1992) (dalam Balci (2005: 20-21) Schutte (2007: 5) dan Ade Indarta (2010: 3-5)) menuturkan bahwa ada beberapa metode yang dapat digunakan seorang penerjemah dalam menerjemahkan wordplay. Teori-teori tersebut, yakni: 1. Wordplay to Wordplay Yakni metode dengan cara menerjemahkan wordplay secara literal atau apa adanya, namun dalam bahasa sasaran sifat wordplay sebagai permainan katakata tetap terjaga. Walaupun nantinya terjadi sedikit perubahan pada hasil terjemahan, tidak terjadi ketaksetaraan makna pada bahasa sasaran. 16 2. Pelesapan Dalam metode ini, penerjemah menghapus sifat wordplay yang ada. Biasanya penerjemah tetap mempertahankan kata atau frase yang masih berhubungan dengan situasi. 3. Kompensasi Penerjemah menciptakan wordplay baru dalam bahasa sasaran yang berbeda dengan wordplay dalam bahasa sumber, namun wordplay yang baru tidak boleh berbenturan dengan situasi yang terjadi dalam teks terjemahan. 4. Peranti Retoris Penerjemah mempertahankan efek penarik perhatian pada sebuah wordplay, dengan cara menggunakan peranti retoris yakni kata atau frase yang menarik perhatian seperti pengulangan, rima, ironi, konotasi, dan lain sebagainya. 5. Situasional Penerjemah menjelaskan maksud dari sebuah wordplay dengan cara memasukkan teks tambahan pada hasil terjemahan. 6. Editorial Technique Penerjemah memberikan catatan kaki untuk menjelaskan maksud wordplay pada pembaca. 7. Terjemahan Literal Sama seperti Wordplay to Wordplay, penerjemah menerjemahkan sebuah wordplay secara apa adanya. Namun dalam kasus ini, sifat wordplay sebagai permainan kata-kata dalam bahasa sasaran menghilang sama sekali. 8. Peminjaman Dalam metode ini, penerjemah tidak menerjemahkan wordplay yang ada dan hanya mempertahankannya dalam bahasa sumber. Metode ini digunakan agar para pembaca dapat memahami bahwa terdapat wordplay dalam bahasa sumber. Biasanya penerjemah menggunakan metode ini apabila bahasa sumber adalah bahasa yang dinilai mudah dipahami oleh pembaca. Berkesinambungan dengan teori di atas, Ade Indarta (2010: 5) membagi metode-metode tersebut sesuai dengan dua ideologi penerjemahan yang ada dan merumuskannya dalam sebuah bagan alur aplikasi ideologi. 17 Ideologi Foreignsasi Domestifikasi Terjemahan Literal Peminjaman Wordplay to Wordplay Pelesapan Kompensasi Peranti Retoris Situasional Editorial Technique Teknik Penerjemahan Diagram 1. Alur Aplikasi Ideologi dengan Teknik Penerjemahan Diagram di atas menunjukkan langkah proses seorang penerjemah dalam melakukan penerjemahan. Setelah seorang penerjemah menganut ideologi tertentu, ia akan menentukan pilihan metode penerjemahan yang ingin diaplikasikan. Seorang penerjemah yang menganut ideologi domestifikasi misalnya, cenderung akan menggunakan teknik penerjemahan yang berkisar pada teknik wordplay to wordplay translation, pelesapan, peranti retoris, kompensasi, situasional, atau editorial technique. Sementara mereka yang menganut ideologi foreignsasi akan menggunakan teknik literal serta peminjaman (borrowing). Oleh karena itu, menurut diagram di atas, bila seorang penerjemah melakukan penerjemahan dengan urutan dari atas ke bawah, yakni dimulai dari memilih ideologi, lalu menentukan teknik mana yang akan dia gunakan, dan selanjutnya melakukan penerjemahan, maka dalam analisis untuk mencari tahu ideologi terjemahan yang dilakukan, kita harus melihatnya dari bawah ke atas, yakni menganalisis hasil terjemahan untuk mencari tahu teknik apakah yang penerjemah gunakan, dan mengelompokkannya dalam ideologi terjemahan yang ada di dalam bagan. Dengan teknik ini, dapat diambil kesimpulan ideologi manakah yang dianut oleh penerjemah pada saat dia menerjemahkan sebuah wordplay. 18