1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini terdiri atas empat sub bab yaitu latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, dan manfaat penelitian. Latar belakang memuat gambaran tentang keberadaan konsep manajemen (IGM), pentingnya kajian tentang intergovernmental IGM dalam konteks manajemen pemerintahan, lebih khusus pada manajemen hubungan antarpemerintahan baik di negara dimana konsep ini berasal, maupun perkembangan konsep IGM di negara-negara berkembang seperti Indonesia. IGM tidak hanya berkembang di negara-negara federal, tetapi juga di negara-negara kesatuan. Selain itu, dikemukakan pula alasan pentingnya penelitian tentang IGM dalam Program Pendidikan Gratis di Sulawesi Selatan. Rumusan masalah dan tujuan penelitian setidaknya menunjukkan fokus kajian, sedangkan manfaat penelitian berkenaan dengan teoretik, metodologi, dan praktis. A. Latar Belakang Hubungan antarpemerintahan atau Intergovernmental Relation (IGR) terjadi di semua negara baik itu negara-negara federal maupun negaranegara kesatuan. Dimensi yang membedakan adalah kewenangan yang dimiliki atau disebut dengan “derajat desentralisasi” (Hendratno, 2009:72; Muluk, 2009:24) yang oleh Nugraha dan Prasojo (2006) disebut sebagai pendulum atau bandulan. 2 Di negara-negara federal seperti Jerman, Canada, USA, Australia dan Swiss perkembangan derajat hubungan antarpemerintahan pada masingmasing level pemerintahan bergerak dari desentralisasi ke sentralisasi (Nugraha dan Prasojo, antarpemerintahan tersebut 2006). juga Pergeseran dapat derajat dilihat pada hubungan sejarah perkembangan konsep yang mulai bergerak dari federalisme (FE) ke intergovernmental relations (IGR) dan sekarang pada konsep intergovernmental management (IGM). Wright and Stenberg (dalam Rabin, Hildreth, Miller- ed, 2007) memetakan fase perkembangan tersebut dalam tiga periode yaitu antara tahun 1790 – 1920 berkembang konsep FE, antara tahun 1930 – 1970 berkembang konsep IGR dan dari tahun 1970 sampai sekarang berkembang konsep IGM. Di negara-negara kesatuan seperti Indonesia, derajat hubungan antarpemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten/kota bergerak dari sentralisasi ke desentralisasi. Di bawah UU No 5 Tahun 1974 negara Indonesia lebih bersifat sentralistis dengan lebih mengedepankan asas dekonsentrasi daripada desentralisasi. Ketika Indonesia mengalami reformasi sistem pemerintahan yang kemudian melahirkan Amandemen UUD 1945, Indonesia memilih derajat desentralisasi yang tinggi dengan memberi otonomi seluas-luasnya kepada level pemerintahan kabupaten/kota. Hendtratno melalui penelitian disertasinya yang kemudian ditulis dalam buku berjudul Negara Kesatuan, Desentralisasi dan Federalisme 3 (2009:219-220) menjelaskan telah terjadi desentralisasi yang mengarah ke sistem federal dalam UUD 1945 (hasil Dijelaskannya, adanya federal arrangements perubahan kedua). di dalam kebijakan desentralisasi atau penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia terindikasi dengan jelas pada pasal 18 ayat (5) UUD 1945: “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat”. Frasa-frasa di dalam ketentuan tersebut menunjukkan pemberian sisa kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan kepada Daerah. Ketentuan ini menyiratkan kesamaan dengan prinsip pemberian reserve of power pada negara-negara bagian di dalam sistem negara federal. Desentralisasi yang mengarah ke sistem federal tersebut kemudian dijabarkan lebih jauh dalam UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian direvisi dalam UU No. 32 Tahun 2004. UU No. 22 Tahun 1999 memperjelas kesamaan ciri-ciri pembagian urusan pemerintahan dalam sistem federal. Kesesuaian ciri juga dapat dilihat dalam sistem penyerahan sisa kewenangan atau kekuasaan (reserve of power) di negara federal sebagaimana dikemukakan oleh Strong dalam Hendtratno (2009:222) bahwa di negara federal konstitusi memerinci satu per satu kekuasaan pemerintah federal, sedangkan sisa kekuasaan (reserve of power) yang tidak terinci diserahkan kepada negara-negara bagian. 4 Indonesia sebagai negara kesatuan mengatur hubungan antarpemerintahannya dengan menganut sistem pemerintahan federal. Hal ini telah menimbulkan perdebatan panjang, tidak saja di kalangan praktisi, tetapi juga di kalangan akademisi. Perdebatan inilah yang menjadi sebuah argumentasi logis timbulnya gagasan rancangan undangundang (RUU) tentang tata hubungan kewenangan pemerintah pusat dan daerah1. Tim penyusun RUU ini berangkat dari dua alasan utama mengapa konstruksi ulang hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah di Indonesia merupakan hal yang penting untuk dibahas. Pertama, hubungan tersebut merupakan masalah nasional yang sangat kritis yang selalu bergerak dari satu pendulum yang memusat (sentripetalis) ke arah pendulum yang menyebar (sentrifugalis). Hubungan dinamis yang kritis ini seringkali dapat menyebabkan gerakan separatis yang berujung pada situasi turbulens dan hancurnya eksistensi sebuah negara. Kedua, dalam wacana akademik gagasan dan konsep federalisme dan negara federal yang merupakan wujud gerakan negara yang bersifat menyebar telah memperoleh stigma buruk dalam sejarah perjalanan negara dan bangsa Indonesia. Federalisme dan negara federal dalam konteks hubungan pusat dan daerah telah dipahami semata-mata sebagai kontra negara kesatuan dan diduga kuat dengan keinginan untuk mendirikan negara federal. Tentusaja Pandangan yang keliru, sebab tendensi dinamika 1 Rancangan UU ini disusun oleh sebuah tim penyusun yang terdiri dari Safri Nugraha, Eko Prasojo, dkk., Kerjasama antara Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara dan Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota FISIP Universitas Indonesia. 5 perkembangan hubungan pusat dan daerah tidak saja terjadi pada negara kesatuan, seperti Indonesia, tetapi juga pada negara-negara dengan struktur federal seperti Jerman, Canada, USA, Australia dan Swiss. Terjadinya sentralisasi kewenangan di negara-negara federal membuktikan hubungan antara pusat dan daerah merupakan refleksi arel division of power (critical distribution of power) yang bersifat dinamik. Berada dalam suatu kontinum antara esktrim sentral unitaris dan esktrim Liberal-federalis, berada antara kekuatan sentrifugal yang mendorong keluar dan sentripetal yang menarik ke dalam seperti pada gambar berikut. 1 6 Unitaris 2 5 3 4 4 3 Federalis-Unitaris 5 2 6 1 Federalis Gambar 1. Kontinum Hubungan antara Pusat dan Daerah 2. Laufer dan Ursula (1998) dalam Nugraha, Prasojo, dkk., menjelaskan derajat hubungan antara Pusat dan Daerah dapat dijadikan sebagai indikasi pada posisi mana struktur suatu negara berada. Meskipun demikian tidak mungkin terdapat suatu negara yang sangat bersifat unitaris atau sebaliknya sangat bersifat federalis. Elemen hubungan 2 Dimodifikasi dari Nugraha, Prasojo,dkk, 2006:34 6 antara pusat dan daerah tidak bersifat monosentris, melainkan polisentris bergerak dari satu kontinum ke kontinum lainnya, dari kontinum unitaris ke kontinum federalis dan sebaliknya. Dalam praktek hubungan antara pusat dan daerah di berbagai negara, pendulum atau bandulan unitarisme dan federalisme saling bergerak ke arah yang berlawanan. Bahkan Bodo Denewitz dalam Nugraha, Prasojo, dkk (2006) mengatakan bahwa federalisme dan unitarisme adalah dua konsep kembar yang tidak mungkin membicarakan satu tanpa membicarakan yang lainnya. Gerakan dinamis sentripetal dan sentrifugal selalu terjadi dalam semua negara dari satu kurun waktu ke kurun waktu yang lain, baik di negara kesatuan maupun negara federal. Semakin jelaslah bahwa instrumen yang lazim dipergunakan di negara federal dapat saja diadopsi di negara kesatuan, jika dilakukan secara cermat dan berhati-hati. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemikiran untuk mengadopsi instrumen yang lazimnya dipergunakan di negara federal, tanpa merubah bentuk negara kesatuan menjadi federal, adalah sesuatu yang mungkin (Nugraha, Prasojo, dkk. 2006). Terlepas dari persoalan derajat hubungan antara pusat dan daerah yang mengindikasikan pada posisi dimana struktur suatu negara berada, hubungan tersebut harus dikelola atau dimanaj untuk menciptakan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan. Manajemen tidak mempersoalkan seberapa banyak kewenangan diberikan kepada level 7 pemerintah (pusat, provinsi, kabupaten/kota), tetapi lebih pada bagaimana mengelola dan menjamin kerjasama antar level pemerintahan. Dimensi manajemen dalam IGM berkenaan dengan penerapan prinsip-prinsip manajemen untuk mengimplementasikan kebijakan hubungan antarpemerintahan. Dimensi ini memusatkan perhatian pada bagaimana melaksanakan apa yang telah diputuskan melalui prinsipprinsip tertentu. Suatu kebijakan betapapun baiknya tetapi dalam pelaksanaannya kurang ditunjang dengan metode dan teknik implementasi yang memadai, maka kebijakan tersebut tidak akan sukses (Keban, 2008:91). Oleh karena itu baik negara-negara yang bergerak dari desentralisasi (sentrifugal) ke sentralisasi (sentripetal) maupun sebaliknya, semuanya membutuhkan aspek manajemen hubungan antar pemerintahan atau intergovernmental management (IGM). Konsep IGM diposisikan sebagai perkembangan tahap kerakhir/ketiga setelah Federalisme (FE) dan Intergovernmental Relations (IGR) (Wright and Stenberg dalam Rabin, Hildreth, Miller- ed, 2007). Wright and Stenberg selanjutnya menjelaskan bahwa terdapat empat komponen penting dalam IGM yaitu (1) aktor pemimpin (leading actors), (2) pusat/sasaran perhatian (central features), (3) model kewenangan (authority patterns), dan (4) metode penyelesaian konflik (conflict resolution methods). Tahap perkembangan pemerintahan dari FE, IGR ke IGM ini sangatlah sesuai dengan tahap perkembangan konsep manajemen. Konsep manajemen saat ini telah memasuki generasi manajemen kelima 8 dengan ciri utama adalah mengutamakan keunggulan perorangan dalam kerjasama jaringan, sumber kekuatannya pada jaringan antar profesional, dan tipe organisasi yang dikembangkan adalah organisasi jaringan, (Savage, 1990). Mengutamakan keunggulan perorangan dalam kerjasama jaringan menurut Savage sangatlah sesuai dengan komponen aktor dalam IGM (menurut Wright and Stenberg). Sebab aktorlah yang membangun kesepakatan tentang pusat/sasaran perhatian (central features) kerjasama, model kewenangan (authority patterns) masing-masing pihak, dan menyepakati metode penyelesaian konflik (conflict resolution methods) yang digunakan ketika terjadi konflik dalam kerjasama. Manajemen hubungan antarpemeritahan semakin diperlukan dalam hal urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar jenjang dan/atau susunan pemerintahan. Demikian pula halnya dengan urusan pendidikan sebagai salah satu urusan pemerintahan yang termasuk dalam urusan yang dibagi bersama antar jenjang pemerintahan sebagaimana diatur dalam PP No. 38 Tahun 2007 yaitu antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Pembagian kewenangan bermaksud untuk menghindari tumpang tindih tugastugas pemerintah dalam pelayanan pendidikan. Tetapi satu hal yang perlu disadari, pendidikan merupakan sebuah proses berjenjang yang harus dilalui oleh peserta didik. Output pendidikan anak usia dini menjadi input jenjang pendidikan dasar, output jenjang pendidikan dasar akan menjadi input jenjang pendidikan menengah, dan output jenjang pendidikan menengah akan menjadi input jenjang pendidikan tinggi. Oleh karena itu kualitas peserta didik, dan mutu 9 penyelenggaraan pendidikan tidak bisa terkungkung dengan kewenangan yang dibatasi pada masing-masing level pemerintahan. Untuk itulah dibutuhkan kerjasama antar jenjang pemerintahan dengan tujuan yang sama yaitu untuk mencerdasakan kehidupan bangsa dengan mencerdaskan peserta didik melalui sebuah proses secara utuh. Uraian di atas menunjukkan pembangunan di bidang pendidikan adalah sebuah sistem dan setiap pihak yang terlibat di dalamnya haruslah bekerjasama, termasuk kerjasama kabupaten/kota). antar Kerjasama level pemerintahan antarpemerintah (pusat, harus provinsi, dilandasi dan oleh keterkaitan kepentingan bersama dan keyakinan untuk memecahkan permasalahan secara bersama (Cho dan Ziemek dalam Haris 2005:29). Keterkaitan kepentingan haruslah menyadarkan para pihak yang bekerjasama bahwa mereka memiliki keterbatasan sumberdaya sehingga saling membutuhkan, saling bergantung antara satu dengan yang lain. Hal inilah yang dijelaskan oleh teori ketergantungan sumberdaya (Jones, 2004). Setiap organisasi berkepentingan membangun hubungan antar organisasi karena keterbatasan penguasaan/kepemilikan sumber daya. Hubungan ini untuk saling melengkapi (Simbosis mutualis) dalam rangka pencapaian tujuan bersama atau tujuan masing-masing organisasi yang bersangkutan. Jones kemudian menjelaskan bahwa ketergantungan sumber daya terhadap organisasi lain perlu dikelola dengan baik melalui, pertama, bahwa ia harus mempengaruhi organisasi lain agar dapat 10 memperoleh sumber-sumber daya; kedua, ia harus merespon kebutuhan dan tuntutan ketergantungan dari organisasi suatu lain organisasi dalam terhadap lingkungannya. Tingkat sumber tertentu daya merupakan suatu fungsi dari dua factor yaitu: pertama, bagaimana pentingnya sumber daya itu bagi kelangsungan hidup organisasi; kedua, sejauh mana sumber daya itu dikendalikan oleh organisasi-organisasi lain (Jones 2004). Sehubungan dengan ketergantungan sumber daya, Hodge dan Anthony (1988) mengemukakan delapan alasan yang mendorong organisasi membentuk hubungan kerjasama dengan organisasi lain. Kedelapan alasan tersebut yaitu (1) cost –benefit: keuntungan yang diperoleh lebih besar dari biaya dari kerjasama; (2) power: kerjasama akan membangun kekuatan/ kemampuan yang lebih besar; (3) resource scarcity performance distress: kerjasama dapat mengurangi ketergantungan sumber daya langka dari organisasi lain yang menguasai sumber-sumber daya tersbut; (4) reaction to superordinate goal or oudside force: kerjasama untuk menghadapi tekanan-tekanan dari kekuatan luar untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi; (5) structural condusiveness of the environment: dorongan dari lingkungan masyarakat berupa hukum, kebiasaan/tradisi; (6) boundary permeability: kerjasama dibutuhkan untuk selalu terbuka terhadap lingkungannya; (7) organization goals: kerjasama dibangun karena organisasi-organisasi itu memiliki tujuan atau 11 kepentingan yang sama; (8) opportunities to corporate: kerjasama dibangun atas peluang yang tersedia. Penjelasan dan alasan Jones, Hodge dan Anthony dalam konteks kerjasama/ hubungan kabupaten/kota adalah antar dalam pemerintah rangka pusat, simbosis provinsi mutualis dan untuk mempercepat pencapaian tujuan bersama. Salah satu tujuan bersama yang harus dicapai dari alasan pembentukan Negara Republik Indonesia adalah “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa” (Pembukaan UUD 1945). Dalam rangka pencapaian tujuan ini, maka kewenangan penyelenggaraan pendidikan, diberikan kepada departemen pendidikan nasional, dinas pendidikan di 33 provinsi dan dinas pendidikan di 440 kabupaten/kota di Indonesia. Bagi Provinsi Sulawesi Selatan, urusan pendidikan diserahkan kepada Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan dan 24 dinas pendidikan kabupaten/kota. Hal ini menunjukkan bahwa urusan pendidikan harus ada di masing-masing level pemerintahan dan diurus oleh masing-masing unit organisasi pemerintahan yang diberi kewenangan untuk itu. Pemerintah dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan. Selain itu, pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi, wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga 12 negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun (Pasal 10 dan 11 UU No. 20 Tahun 2003). Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dana pendidikan dari Pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah, begitu pula dengan dana pendidikan dari Pemerintah kepada pemerintah daerah. Kewenangan dan anggaran pemerintahan disediakan pada masingmasing jenjang pemerintahan, sementara sasaran penggunaan dana sama yaitu warganegara/rakyat khususnya peserta didik. Jika keduanya tidak diatur dan dikoordinasikan dengan baik, maka akan terjadi tumpang tindih kewenangan dan penggunaan anggaran pendidikan yang tidak efisien dan efektif. Untuk itulah maka pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya. 13 Urusan di bidang pendidikan yang kewenangannya diatur secara bersama mencakup kebijakan, pembiayaan, kurikulum, sarana dan prasarana, pendidik dan tenaga kependidikan. Berdasarkan urusan pada masing-masing level pemerintahan, maka dana pendidikan yang disediakan pada masing-masing level diharapkan dapat mendanai urusan tersebut. Dari pembagian urusan bersama di bidang pendidikan tersebut, dapat dikemukakan dua sub bidang dengan kewenangan pusat, provinsi dan kabupaten/kota seperti dalam tabel 1. Tabel 1. Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pendidikan3 Sub Pemerintah Bidang Pembiayaan Penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan tinggi sesuai kewenangannya. Pemerintahan Daerah Pemerintahan Daerah Kab./Kota Provinsi Penyediaan bantuan biaya Penyediaan bantuan biaya penyelengga-raan pendidikan penyelenggaraan pendidikan anak ber-taraf internasional sesuai usia dini, pendidikan dasar, kewenangannya. pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya. Pendidik dan Perencanaan kebutuhan Perencanaan kebutuhan Perencanaan kebutuhan pendidik dan Tenaga dan pengadaan pendidik dan tenaga tenaga kependidikan pendidikan anak Kependidik- pendidik dan tenaga kependi-dikan untuk usia dini, pendidikan dasar, an kependidikan secara pendidikan ber-taraf pendidikan menengah dan pendidikan nasional. internasional sesuai nonformal sesuai kewenangannya kewenangannya Peningkatan Peningkatan kesejahteraan, Peningkatan kesejahteraan, kesejahteraan, penghargaan, dan penghargaan, dan perlindungan penghargaan, dan perlindungan pendidik dan pendidik dan tenaga kependidikan perlindungan pendidik tenaga kependidikan pendidikan anak usia dini, pendidikan dan tenaga pendidikan bertaraf dasar, pendidikan menengah dan kependidikan. internasional. pendidikan nonformal. Berkenaan dengan pembiayaan pendidikan, Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Selatan telah mengeluarkan kebijakan penyelenggaraan pendidikaan gratis melalui Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2009. Di dalam Peraturan Daerah ini diatur beberapa hal prinsip sehubungan dengan hubungan antara level pemerintahan yaitu: - Pendidikan gratis adalah skema pembiayaan pendidikan dasar dan menengah yang ditanggulangi bersama oleh Pemerintah Daerah 3 Lampiran Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 14 Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota guna membebaskan atau meringankan biaya pendidikan peserta didik di Sulawesi Selatan. Penyelenggaraan pendidikan gratis adalah program terpadu di bidang pendidikan yang meliputi kebijaksanaan pembiayaan pendidikan, penataan, pengembangan, pengawasan, dan pengendalian pendidikan gratis. Pembebasan atau pengurangan biaya pendidikan meliputi tiga program yaitu bebas biaya pendidikan, subsidi biaya pendidikan, dan beasiswa pendidikan. - Ruang lingkup: penyelenggaraan pendidikan gratis diperuntukkan bagi masyarakat Sulawesi Selatan yang menyekolahkan anaknya pada sekolah dasar dan menengah yang ada di Sulawesi Selatan. Biaya pendidikan dasar dan menengah bagi anak usia sekolah dari keluarga yang tidak mampu ditanggulangi oleh pemerintah daerah. - Sasaran penyelenggaraan pendidikan gratis adalah jalur pendidikan formal dan jenjang pendidikan dasar dan menengah yang terdiri atas pendidikan dasar, meliputi sekolah dasar negeri dan swasta, madrasah ibtidaiyah (MI) negeri dan swasta, dan sekolah dasar luar biasa (SDLB); sekolah menengah pertama meliputi SMP negeri dan swasta, madrasah tsanawiyah (MTs) negeri dan swasta, SMP luar biasa (SMPLB); sekolah menengah atas meliputi SMA negeri dan swasta, SMK negeri dan swasta, madrasah aliyah (MA), dan SMALB. 15 - Sumber pembiayaan: dana penyelenggaraan pendidikan gratis bersumber dari pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota yang wajib telah dialokasikan dalam APBD. - Tata laksana pembiayaan: pengalokasian pembiayaan pendidikan didasarkan pada profil sekolah masing-masing satuan pendidikan. Pemerintah provinsi melakukan verifikasi terhadap profil sekolah. Atas dasar Perda tersebut, pemerintah provinsi Sulawesi Selatan membangun kerjasama dengan pemerintah kabupaten/kota dengan membuat Memorandum of Understanding (MoU). Bila memperhatikan ruang lingkup dan sasaran program dengan kewenangan dalam penyelenggaraan pendidikan yang telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007, terdapat ketidaksinkronan antara kedua kebijakan tersebut. Dari aspek pembiayaan, pemerintah provinsi diserahi kewenangan berkaitan penyelenggaraan dengan pendidikan penyediaan bertaraf bantuan internasional biaya sesuai kewenangannya dan pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya. Sementara pemerintah kabupaten/kota diserahi kewenangan berkenaan dengan penyediaan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal sesuai kewenangannya, pembiayaan penjaminan mutu satuan pendidikan sesuai kewenangannya. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 menggambarkan adanya eskalasi kewenangan pemerintah provinsi 16 dengan kabupaten/kota. Pemerintah provinsi menyediakan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan bertaraf internasional – pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal – sementara kabupaten/kota menyediakan bantuan biaya penyelenggaraan pendidikan kepada pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal yang tidak termasuk dalam taraf internasional. Berdasarkan kewenangan masing-masing, maka perlu diteliti sasaran MoU antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam implementasinya, karena penyediaan dana pendidikan secara bersama kepada pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan nonformal yang bertaraf internasional dan yang bukan bertaraf internasional. Pembiayaan pendidikan dasar dan menengah ditanggulangi bersama oleh Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota melalui nota kesepahaman. Dalam Nota kesepahaman 60 persen biaya ditanggung daerah sedangkan 40 persen ditanggung Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan. Temuan Inspektorat Provinsi Sulawesi Selatan di Kabupaten Maros total dana sharing yang harus disediakan tahun 2009 sebesar Rp 9.000.000.000,- ternyata hanya terealisir Rp 2.000.000.000,(22,22%). Selain itu, masih ada sejumlah kabupaten lain yang sering terlambat menyalurkan dana pendidikan gratis ke rekening sekolah (Pananrang dalam Tribun-Timur.Com, 7 Mei 2010). Antara (dalam pemberitaan Tribun-Timur.Com, 29 melaporkan, Mei 2010) Devi Santy Irawati anggota Komisi E DPRD Sulawesi 17 Selatan mengungkapkan, “Dukungan dana program pendidikan gratis di Sulawesi Selatan pada tingkat kabupaten/kota masih rendah dan hanya menggantungkan dana dari APBD Sulsel. Dari hasil reses Komisi E DPRD Sulsel diketahui, dukungan dana pendidikan gratis di tingkat kabupaten/kota belum sepenuhnya direalisasikan. Dari 24 kabupaten/kota di Sulsel, baru beberapa kabupaten/kota yang merealisasikan nota kesepahaman dengan Pemrov Sulsel pada 2008 tentang pembagian pendanaan program pendidikan gratis di daerah ini. Setelah dua tahun (2010) program itu berjalan, masih dihitung dengan jari kabupaten/kota yang melaksanakan sesuai yang tertulis dalam nota kesepahaman tersebut. Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan Sulsel – Patabai Pabokori – mengatakan, program pendidikan gratis yang sudah berjalan baik dan mendapat dukungan pendanaan dari APBD kabupaten/kota baru Kota Makassar, Parepare, Kabupaten Pangkep dan Sinjai. Anggaran untuk sektor pendidikan rata-rata sudah 20 persen dialokasi dari APBD kabupaten/kota bersangkutan. Ini sudah memenuhi ketentuan nasional dan nota kesepahaman yang sudah ditandatangani bersama untuk program pendidikan gratis di Sulsel. Walaupun demikian, Sampara, salah seorang wali siswa yang mendaftarkan anaknya di sekolah negeri favorit di Kabupaten Maros mengatakan, “meskipun program pendidikan gratis sudah disosialisasikan Pemkab Maros, bahwa semua biaya pendidikan sudah digratiskan mulai dari pendaftaran siswa baru, SPP dan biaya 18 semester, namun kenyataannya anak saya masih harus membayar uang pendaftaran siswa baru. Setelah dinyatakan lulus pun, masih ada biaya uang muka yang mencapai ratusan ribu rupiah." Berkaitan dengan hal tersebut, wali siswa tersebut meminta agar pihak terkait mengefektifkan pengawasan di lapangan untuk mencegah adanya pungutan lagi,…. Program pendidikan gratis belum menyentuh pendidikan luar sekolah (PLS). Dikatakan oleh Kepala Bidang Pendidikan Luar Sekolah Dinas Pendidikan Kota Makassar – Zainal Abidin – dalam pemberitaan Ikatan Pendidikan Luar Sekolah 8 April 2009 bahwa, “Selama program pendidikan gratis belum menyentuh peserta didik kesetaraan, kami yakin program itu belum tepat sasaran.” Dia menyayangkan, sikap pemegang kebijakan ditingkat Diknas pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota di Sulsel yang masih menganggap pendidikan luar sekolah (non-formal) tidak berhak diikutkan dalam program pendidikan gratis yang telah dicanangkan pemerintah provinsi Sulsel pada tahun ini. Komisi C Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulsel dalam pemberitaan http://www.makassarterkini.com/index Juli 10, 2010 menilai bahwa program pendidikan gratis yang dijalankan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulawesi Selatan tidak berjalan maksimal. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh model pembiayaan program berdasarkan perjanjian kerja sama (memorandum of understanding-MoU) antara Gubernur Syahrul Yasin Limpo dan pemerintah kabupaten (pemkab) atau pemerintah kota (pemkot) yang tidak berjalan sesuai kesepakatan. 19 Hasil temuan Komisi C DPRD Sulsel, selain Kabupaten Sinjai yang secara tegas menolak dana pembiayaan untuk pendidikan gratis dari Pemerintah provinsi Sulsel, nyaris di 23 kabupaten/ kota juga tidak merealisasikan anggaran pendidikan gratis. Padahal, komposisi sumber pembiayaan pendidikan gratis adalah 40% dana dari pemprov dan 60% disiapkan pemkab/pemkot dalam APBD masing-masing. Ketua Komisi C DPRD Sulsel Buhari Kahhar Muzakkar mengatakan, komposisi pembiayaan program 40% dari Pemprov Sulsel dan 60% dari APBD tidak berjalan.Hal tersebut juga disebabkan beberapa faktor penyebab, di antaranya dana APBD yang nilainya memang kecil. Ada juga pemkab/pemkot yang menilai program pendidikan gratis adalah program Pemprov Sulsel sehingga biaya harus disiapkan. ”Terdapat juga kabupaten/kota yang tetap mengakomodasi dana pendidikan gratis dalam APBD untuk memenuhi porsi 60% sesuai kesepakatan dengan gubernur. Tetapi, bagi daerah yang memiliki tingkat APBD yang terbatas, alokasi dana tersebut dapat menjadi SILPA fiktif.” Salah satu penyebab utama dari tidak terlaksananya program pendidikan gratis yang dicanangkan oleh pemerintah provinsi dan mengajak pemerintah kabupaten/kota untuk bekerjasama adalah terputusnya hirarki dalam struktur pemerintahan antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Kedua level pemerintahan (provinsi dan kabupaten/kota) masing-masing memiliki otonomi, dimana kabupaten/kota memiliki otonomi luas. Hal inilah yang membuat ada 20 kabupaten/kota yang berani menolak program pendidikan gratis, dan ada yang sudah bersama pemerintah provinsi Sulawesi Selatan membuat nota kesepahaman tetapi kemudian tidak mematuhinya. Menghadapi berbagai persoalan pelaksanaan program pendidikan gratis seolah pemerintah provinsi tidak berdaya menghadapi sepak terjang pemerintah kabupaten/kota. Banyak kasus yang ditemukan oleh lembaga pengawas – baik oleh eksekutif maupun legislative – di Sulawesi Selatan tetapi belum mampu diselesaikan secara efektif. Fenomena seperti inilah yang telah diingatkan oleh Laurence dan Lorsch (dalam Kreitner & Kinicki, 2005) melalui teorinya tentang diferensiasi dan integrasi. Pemerintah kabupaten/kota telah dberikan kewenangan yang luas melalui proses diferensiasi vertikal, sementara struktur pemerintahan di atasnya yang sebenarnya memiliki fungsi/kewenangan pengawasan dan koordinasi untuk menciptakan integrasi diperlemah oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kelemahan kewenangan struktural inilah yang menyebabkan integrasi antar level pemerintahan dalam penyelesaian urusan bersama di sektor pendidikan sebagaimana yang telah diatur dalam PP No 38 Tahun 2007 tidak berjalan efektif. Program pendidikan gratis di Sulawesi Selatan tidak berjalan efektif diasumsikan karena tidak berjalannya manajemen hubungan antarpemerintahan. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui kondisi antara lain kewenangan pembiayaan yang tidak sama antara pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, banyak kabupaten/kota yang tidak mematuhi 21 kesepakatan dalam MoU, terputusnya hirarki antara pemerintah provinsi dengan kabupaten/kota, dan persentasi pembiayaan pendidikan garatis yang ditanggung oleh pemerintah provinsi lebih kecil daripada yang ditanggung oleh pemerintah kabupaten/kota, padahal program pendidikan gratis adalah program pemerintah provinsi, bukan kabupaten/kota. Berbagai persoalan yang terjadi bersumber dari hubungan antar pemerintahan (IGR). Di banyak negara telah dilakukan penelitian perihal permasalahan IGR. Diantaranya penelitian Kathleen M. Dalton tentang “Federalism, Intergovernmental Relations and Implementation: A Broad Examination of the Politics of Medicaid Disenrollment” ketika menyelesaikan disertasinya di Universitas Albany di New York Amerika Serikat pada tahun 2009; Zachary A Callen tentang The Seams of the State: Infrastructure and Intergovernmental Relations in American State Building ketika menyelesaikan disertasinya di Universitas Chikago (Agustus 2009); Eric S. Zeemering tentang Who Collaborates? Local Decisions About Intergovernmental Relations ketika menyelesaikan disertanya di Universitas Indiana, (Mei 2007). Hasil dari berbagai penelitian tersebut menggambarkan berbagai kasus dalam program/proyek kerjasama antar level pemerintahan. Ada daerah yang berhasil diajak bekerjasama, tetapi ada pula daerah yang tidak berhasil diajak bekerjasama dan itu dinilai sebagai sebuah kegagalan negosiasi. Selain itu, ada pula penelitian yang mempersoalkan mengapa hubungan antar pemerintahan melalui kerja sama dalam kasus 22 kesehatan, pendidikan, rel kereta api dan yang lainnya sering menimbulkan masalah. Ditemukan bahwa hubungan yang dibangun tersebut tidak diikuti dengan manajemen yang baik. Di sinilah letak pentingnya perhatian terhadap kajian tentang manajemen hubungan antar pemerintahan (Intergovernmental Management). Penelitian tentang manajemen hubungan antar pemerintahan merupakan fase baru sebagai kelanjutan dari fase sebelumnya yaitu IGR yang belum banyak dilakukan, khusunya di Indonesia. Berbagai penelitian yang telah dilakukan di Indonesia, lebih banyak berkenaan dengan pembagian urusan pemerintahan antar jenjang dan hubungan pemerintah antara pemerintah pusat dan daerah. Diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Hendratno tentang “Negara Kesatuan, Desentralisasi dan Federalisme” (2009); Bhenjamin Hoessein (2005) tentang “Berbagai Faktor yang Mempengaruhi Besarnya Otonomi Daerah Tingkat II: Suatu Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah dari segi Ilmu administrasi Negara; Bagir Manan (1990) menulis disertasinya berjudul “Hubungan antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut Undang-Undang Dasar 1945”; Dwi Andayani Budisetyowati (2004) menulis disertanya tentang “Keberadaan Otonomi Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia”; Arief Mulyadi (2004) menulis disertasinya berjudul “Pengaturan Prinsip Negara Kesatuan dalam rangka Desentralisasi serta Pengaturan Sistem Pembagian Urusan 23 Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah di Indonesia. Keseluruhan disertasi yang dikemukakan tersebut lebih banyak membahas tentang derajat desentralisasi dan pemerintahan (pusat dan daerah). Dalam perspektif pemerintahan, kajian ini hubungan antar perkembangan masih berada pada fase intergovernmental relations. Berbagai persoalan yang terkait dengan manajemen hubungan antarpemerintahan belum banyak dikaji. Sementara berbagai fenomena yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan terutama antar jenjang pemerintahan membutuhkan manajemen hubungan antar pemerintahan (intergovernmental management) dengan mengedepankan empat komponen utama manajemen yaitu aktor utama (Leading actors), pusatpusat perhatian (Central Features), pola kewenangan (Authority Patterns) dan metode penyelesaian konflik (Conflict Resolution Method). Dengan demikian, perbedaan penting antara penelitian ini dengan penelitianpenelitian sebelumnya yaitu mengkaji aspek manajemen dengan empat komponen utama (Leading actors, Central Features, Authority Patterns, dan Conflict Resolution Method) dari hubungan antarpemerintahan yang sering tidak efisien dan efektif. Komponen penting dari Intergovenmental Management (IGM) ini bila digunakan untuk memotret program pendidikan gratis, dapat dipetakan sebagaimana terlihat dalam tabel 2. 24 Tabel 2. Pemetaan Komponen IGM dalam Pelaksanaan Pendidikan Gratis 4 KOMPONEN IGM DALAM Perda No. 4/2009 dan MoU. Komponen IGM Pemerintah Provinsi Pemerintah Kabupaten/Kota Leading Gubernur Bupati/Walikota actors Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Kepala Dinas Pendidikan Kab./Kota Tim Pengendali Pendidikan Gratis Tim Pengendali Pendidikan Gratis Tingkat Tingkat Provinsi Kab/Kota Komisi Pengawas Kepala sekolah Sasaran utama, pengukuran Sasaran utama, pengukuran Central Features Authority Melaksanakan program Melaksanakan program Patterns Membentuk Tim Pengendali Program Membentuk Tim Pengendali Program Tingkat Tingkat Provinsi Kab/Kota Melakukan koordinasi/konsultasi dgn Mengalokasikan pembiayaan program pada pihak kedua dalam melaksanaan pos bantuan dalam APBD program Membuka rekening atas nama Tim Pengendali Mengalokasikan Dana program ke Prog. Pendidikan Gratis dua pihak melalui Pos Bantuan pada Melakukan evaluasi terhadap RAPBS APBD Provinsi. Menetapkan sekolah penerima program Menyiapkan Juklak/juknis serta Menyalurkan dana ke sekolah mensosialisasikan program. Melakukan sosialisasi program Membuat laporan pendataan pokok sekolah Menerima laporan dari sekolah penerima program Melakukan pengawasan, monev terhadap pelaksanaan kegiatan program di sekolah. Conflict Penghentian pembiayaan penyelenggaraan pendidikan gratis (Perda No 4/2009): Resolution Pemkab/kota tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap pengalokasian dana Method penyelenggaraan pendidikan gratis Sekolah penyelenggara pendidikan gratis tdk dpt memenuhi syarat/kewajibannya lagi Diselesaikan secara musyawarah untuk mufakat (Psl 11 ayat 1 MoU) Menyerahkan penyelesaiannya kepada pihak ketiga atau badan arbitrase (Psl 11 ayat 2 MoU) Sepakat memilih penyelesaian pada pengadilan negeri kelas I Makassar (Psl 11 ayat 3 MoU). Bila keadaan memaksa: dilakukan addendum Wanprestasi (salah satu pihak melakukan cedera janji) (Psl 8 ayat 1 MoU). Untuk menjamin kinerja IGM, Conlan dan Posner (2008) mengemukakan sejumlah alat utama yaitu (1) Tujuan/sasaran, (2) pengukuran, (3) insentif, (4) program dana bantuan (Grant), dan (5) sanksi. Kelima alat penjamin kinerja ini akan dijelaskan lebih rinci di dalam tinjauan pustaka, tetapi perlu disampaikan ringkasannya di bagian pendahuluan ini dengan maksud untuk memetakan problem teoretik dari manajemen hubungan antar pemerintahan yang terjadi. 4 Peraturan Daerah Provinsi Sulawesi Selatan No. 4 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Gratis di Provinsi Sulawesi Selatan dan MoU. 25 Tabel 3. Pemetaan Tujuan/Sasaran dan Alat Ukur di Masing-masing Level Pemerintahan Sasaran Pembangunan Pendidikan Kabupaten/Kota Sasaran dan Pengukuran Pembangunan Pendidikan Provinsi Prioritas I Prioritas II Prioritas III Prioritas IV Prioritas V Prioritas I Prioritas II Prioritas III Prioritas IV Prioritas V Sumber: Model ini dimodifikasi dari pemikiran Conlan dan Posner (2008) tentang sasaran dan pengukuran. Model ini membantu mengidentifikasi sejumlah persoalan, apakah pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mempunyai sasaran dan prioritas yang sama, memiliki alat ukur dalam periode yang sama untuk menjelaskan kinerja/keberhasilan kerjasama. Kesamaan sasaran dengan kesamaan prioritas dan kesamaan alat ukur merupakan wujud keberhasilan manajemen hubungan antar pemerintahan yang dibangun. Sebaliknya perbedaan sasaran, prioritas dan alat ukur mengindikasikan kegagalan manajemen hubungan antar pemerintahan. Dengan latar pemikiran seperti ini mangantar peneliti kepada sejumlah pertanyaan penelitian seperti berikut. B. Pertanyaan Penelitian Penelitian ini memfokuskan diri pada bagaimana Model manajemen hubungan antarpemerintahan dalam program pendidikan gratis di provinsi Sulawesi Selatan dengan pertanyaan penelitian: Bagaimana (1) peran aktor, (2) pusat perhatian (tujuan/sasaran dan pengukuran), (3) pola kewenangan, (4) metode penyelesaian konflik, dan (5) model Intergovernmental Management dalam program pendidikan gratis di provinsi Sulawesi Selatan? 26 C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan Model manajemen hubungan antarpemerintahan dalam program pendidikan gratis di provinsi Sulawesi Selatan. Secara khusus menjelaskan (1) peran aktor, (2) pusat perhatian (tujuan/sasaran dan pengukuran), (3) pola kewenangan, (4) metode penyelesaian konflik, dan (5) model Intergovernmental Management dalam program pendidikan gratis di provinsi Sulawesi Selatan. D. Manfaat Penelitian 1. Signifikansi Teoritik Di semua negara pasti terdapat pemerintahan yang disusun secara berjenjang mulai dari pemerintahan pusat sampai ke pemerintahan lokal dan memiliki kewenangan masing-masing. Penelitian ini diharapkan dapat menemukan model manajemen hubungan antarpemerintahan yang dibangun oleh komponen aktor, sasaran utama, pola kewenangan dan metode penyelesaian konflik. 2. Signifikansi Praktis Kegunaan praktis dalam penelitian ini dapat dilihat terutama pada praktek manajemen hubungan antar pemerintahan – pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota – dalam program pendidikan gratis di Sulawesi Selatan. Model ini kiranya dapat dijadikan teladan dalam membangun manajemen hubungan antar pemerintahan di bidang-bidang yang lain. 27 3. Signifikansi Metodologis Fokus penelitian manajemen hubungan antara jenjang pemerintahan memiliki multi aktor dan multi level. Karena itu, pengungkapan fakta dan analisisnya juga harus memakai pendekatan yang multi level. Dari sisi ontologisnya, obyek dan realitas sosial yang diteliti belum melembaga dengan baik. Hal ini memerlukan kemampuan peneliti untuk menentukan dengan tepat siapa aktor yang relevan untuk menjadi key informan. Kesulitan ini membawa konsekuensi terhadap aspek metodologis terutama bagaimana cara memperoleh informasi/ pengetahuan terhadap obyek yang masih kurang jelas. Terakhir tentu berkaitan dengan value judgmen, etika dan pilihan moral dari peneliti, yaitu harus mampu merekonstruksi kembali fakta-fakta yang diungkapkan oleh nara sumber (key informan) dengan tidak menghilangkan konstruksi makna yang dibangun oleh pelaku sosial (realitas sosial).