SKEMA MANFAAT DAN PENGGUNAAN BABI Oleh Nanung Danar Dono, S.Pt., M.P. Dosen Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta dan Sekretaris Eksekutif/Auditor Halal LPPOM MUI Propinsi DIY LEMAK DAGING × Lemak & gliserin : softdrink, bahan kosmetik (facial, hand & body lotion), sabun, bahan roti, dll. × Sumber protein hewani yang murah (lebih murah dari daging sapi), banyak tersedia di pasaran. × Emulsifier : Lesitin, E471, dll. × Daging babi empuk, serat halus, dan rasanya lezat. × Lard (lemak babi) : coklat, pengempuk / pelezat rerotian, masakan, dll.. × Minyak : penyedap masakan × Dapat dipakai sebagai campuran bakso, siomay, bakmi goreng, dll. TULANG × Industri pariwisata : patung, dll. × Industri makanan/minuman : arang tulang sebagai filter penyaring air mineral. × Industri obat : gelatin sebagai bahan soft capsule dan soft candy (permen). × Industri pertukangan : bahan lem, dll × Bahan starter Vetsin (kasus Ajinomoto) ORGAN DALAM BULU × Transplantasi : ginjal, hati, jantung × Bahan kuas (BRISTLE): kuas roti, kuas cat tembok, kuas lukis. × Plasenta : kosmetika (facial, hand & body lotion), sabun, dll. Laporan Badan Pusat Statistik (2002) : × Usus : sosis, benang jahit luka, dll. Periode Januari – Juni 2001, Indonesia mengimpor boar bristle & pig/boar hair se-jumlah 282,983 ton (senilai 1.713.309 US $) KOTORAN Bulu kuas : plastik atau bulu babi? × Pupuk tanaman apel di Jepang Ambil 1 helai, bakar! Bagaimana baunya? Bila baunya sama dengan bau rambut/kuku binatang yang terbakar, maka itu adalah bulu binatang (bau protein keratin) × Pupuk sayuran (Baturraden,, Temanggung, Wonosobo, dll.) For further information, please contact : mobile (HP) 07707 398 546 or email : [email protected], [email protected]. × Enzim pencernaan : amilase, lipase, tripsin, pankreatin, pepsin, dll. KULIT × Industri kulit (leather handicrafts): tas, sepatu, dompet, dll. MADHOROT (KEJELEKAN) BABI Apa saja madhorot babi? Mengapa Allah melarang umat Islam mengkonsumsi daging babi dan atau memanfaatkan seluruh anggota tubuh babi? Berikut disajikan beberapa alasan kenapa babi diharamkan : 1. Babi adalah kontainer (tempat penampung) penyakit. Beberapa bibit penyakit yang dibawa babi : a. Cacing pita Taenia solium b. Cacing spiral Trichinella spiralis c. Cacing tambang Ancylostoma duodenale d. Cacing paru Paragonimus pulmonaris e. Cacing usus Fasciolopsis buski f. Cacing Schistosoma japonicum g. Bakteri Tuberculosis (TBC) h. Bakteri kolera Salmonella choleraesuis i. Bakteri Brucellosis suis j. Virus cacar (Small pox) k. Virus kudis (Scabies) l. Parasit protozoa Balantidium coli m. Parasit protozoa Toxoplasma gondii n. dll. 2. Daging babi empuk. Meskipun empuk dan terkesan lezat, namun karena banyak mengandung lemak, daging babi sulit dicerna. Akibatnya, nutrien (zat gizi) tidak dapat dimanfaatkan tubuh. 3. Prof. A.V. Nalbandov (Penulis buku : Adaptif Physiology on Mammals and Birds) menyebutkan : kantung urine (vesica urinaria) babi sering bocor, sehingga urine babi merembes ke dalam daging. Akibatnya, daging babi tercemar kotoran yang mestinya dibuang bersama urine. 4. Lemak punggung (back fat) tebal dan mudah rusak oleh proses ransiditas oksidatif (tengik), tidak layak dikonsumsi manusia. 5. Babi merupakan carier virus/penyakit Flue Burung (Avian influenza) dan Flu Babi (Swine Influenza). Di dalam tubuh babi, virus AI (H1N1 dan H2N1) yang semula tidak ganas bermutasi menjadi H1N1/H5N1 yang ganas/mematikan dan menular ke manusia. 6. Prof. Abdul Basith Muh. Sayid menuturkan berbagai penyakit yang ditularkan babi: a. Pengerasan urat nadi. b. Naiknya tekanan darah. c. Nyeri dada yang mencekam (Angina pectoris). d. Radang (nyeri) pada sendi-sendi tubuh. 7. Dr. Murad Hoffman (Doktor ahli & penulis dari Jerman) menulis : a. Memakan babi yang terjangkiti cacing babi tidak hanya berbahaya, tapi juga menyebabkan peningkatan kholesterol tubuh dan memperlambat proses penguraian protein dalam tubuh. b. Mengakibatkan penyakit kanker usus, iritasi kulit, eksim, dan rheumatik. c. Virus-virus influenza yang berbahaya hidup dan berkembang di musim panas karena medium (dibawa oleh) babi. 8. Penelitian ilmiah di Cina dan Swedia menyebutkan bahwa daging babi merupakan penyebab utama kanker anus dan usus besar. 9. Dr. Muhammad Abdul Khair (penulis buku : Ijtihaadaat fi at Tafsir Al Qur’an al Kariim) menuliskan bahwa daging babi mengandung bemih-benih cacing pita dan Trachenea lolipia. Cacing tersebut berpindah kepada manusia yang mengkonsumsi daging babi. Penyakit lain yang ditularkan : a. Kholera babi (penyakit menular berbahaya yang disebabkan bakteri). b. Keguguran nanah (disebabkan bakteri prosilia babi). c. Kulit kemerahan yang ganas (mematikan) dan menahun. d. Penyakit pengelupasan kulit. e. Benalu Askaris, berbahaya bagi manusia. 10. DNA babi mirip dengan manusia, sehingga sifat buruk babi dapat menular ke manusia. Beberapa sifat buruk babi : a. Binatang paling rakus, kotor, dan jorok di kelasnya. × Kerakusannya tidak tertandingi hewan lain. × Suka memakan bangkai dan kotorannya sendiri. × Kotoran manusia pun dimakannya. × Sangat suka berada di tempat yang basah dan kotor. × Untuk memuaskan sifat rakusnya, bila tidak ada lagi yang dimakan, ia muntahkan isi perutnya, lalu dimakan kembali. × Kadang ia mengencingi pakannya terlebih dahulu sebelum dimakan. b. Babi adalah binatang pemalas, tidak agresif, tidak suka mencari pakan, suka dengan sejenis & tidak pencemburu, tidak tahan sinar matahari, pemalas & tidak punya hasrat membela diri. c. Ust. Muhammad Umar Abduh (Perancis) menuturkan bahwa babi menularkan sifat suka berzina. MENGKAJI AYAT SECARA LEBIH BERHATI-HATI BENARKAH ALKOHOL HARAM? BENARKAH ALKOHOL HALAL Oleh : Nanung Danar Dono, S.Pt., MP. Sekretaris Eksekutif LPPOM MUI DIY (07707 398 546, [email protected]) Kenapa kita sibuk dengan istilah Alkohol, padahal tidak ada satu pun ayat Qur’an maupun Hadits Nabi yang menyebutkan bahwa Alkohol diharamkan! Bahkan di jaman Sahabat Nabi pun istilah ini belum dikenal. Bila dicermati, larangan yang ada adalah mengkonsumsi KHAMR! Allah Swt. berfirman dalam Kitab Suci Al Qur’an sebagai berikut : Ketika kita ditanya, “Apakah bir haram?” Maka kita dapat dengan mudah menjawab : “Oh, jelas HARAM…!” Mengapa? Karena mengandung alkohol yang cukup tinggi dan memabukkan. Karena sangat jelas hukumnya, maka tentu seorang muslim yang biasa ke masjid akan merasa risih berdekatan dengan minuman beralkohol tersebut. Akan tetapi, ketika kita ditanya bagaimana hukum Bir Bintang 0% Alkohol dan Greensand 0% Alkohol? Sebagian kita langsung mengatakan keduanya “HALAL” karena tidak mengandung alkohol. Akan tetapi, sebagian yang lain mengatakan dengan tegas: “HARAM”, bukan memabukkan! Lalu, bagaimana dengan TAPE, baik tape ketela (maupun peuyeum Bandung) dan tape ketan? Hampir spontan seluruh orang di sekitar kita mengatakan tape halal! Tapi, begitu disodori informasi bahwa kandungan alkohol tape sekitar 7 % (bahkan bisa sampai 10%), maka sebagian di antara kita akan mengatakan “Ohh…berarti haram?!” Sebagian lagi bimbang karena sering memakan tape tidak pernah ada masalah. Kita sering bingung dengan makhluk yang namanya ALKOHOL ini. Bagaimana sebenarnya Syari’at Islam mengatur mengenai masalah ini? Sampai berapa persen alkohol masih diijinkan berada dalam bahan makanan? “Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu sholat , sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…”. QS. An Nisaa’ (4) : 43 “Mereka bertanya kepadamu tentang Khamr dan judi. Katakanlah : “Pada keduanya terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya…” QS. Al Baqoroh (2) : 219 “Hai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syaithon! Maka jauhilah perbuatan-perbuatan tersebut agar kamu mendapat keberuntungan”. QS. Al Maa’idah (5) : 90 Nah, ternyata kata kuncinya adalah AlKhamru dan bukannya Al-Kohol. Menurut pengertian bahasa, al khamru (khamr) berarti sesuatu yang menutup akal pikiran. Al khamru berarti tertutup, dan khamarahu berarti satarahu (menutupi). Khamr sendiri berarti minuman keras yang memabukkan. Umar ra. berkata : “Setiap (makanan dan minuman) yang bisa menutupi (menghilangkan) akal fikiran disebut khamr/arak” (HR. Bukhary dan Muslim). Pada hadits lain, Nabi SAW. menambahkan: “Setiap yang memabukkan berarti khamr, dan setiap khamr hukumnya haram” (HR. Bukhary dan Muslim). Mengacu pada sabda Kanjeng Nabi SAW. tersebut, maka berarti setiap sesuatu yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr hukumnya adalah haram. Islam memandang bahwa khamr adalah ummul khaba’its (sumber dari segala perbuatan keji), serta miftahu kulli syarrin (kunci segala kemaksiatan). Buanyak sekali terjadi berbagai jenis kejahatan yang diawali dengan kondisi mabuk. Untuk itu, kita mesti sangat berhati-hati dengan khamr ini! ADA BERAPA MACAM KHAMR? Khamr terdiri dari 2 jenis, yaitu khamr yang mengandung alkohol dan khamr yang tidak mengandung alkohol. Contoh khamr yang mengandung alkohol adalah : beraneka macam bir (Whisky, Scotch, Brandy, Wine Bir, Stella Artois, Tennent’s, Tequilla, dll.), aneka jenis arak masak (ang ciu/arak merah, arak putih, arak mie, arak gentong, sake, sari tape, dll.), aneka bahan roti beralkohol (rhum, essence beralkohol, dll.), beraneka cairan yang mengandung alkohol dan sejenisnya (metanol, etanol, butanol/spiritus, propanol, dll.), serta produk-produk lain, seperti : kirsch, spirits, dll. Kemudian, contoh khamr yang tidak mengandung alkohol adalah : ganja, morfin, opium, marijuana, sabu-sabu, extacy, serta beraneka jenis obat yang tergolong psikotropika. Psikotropika ini termasuk mukhadirot dan masuk dalam golongan al khamr. Seluruh produk tersebut di atas mengakibatkan mabuk atau hilangnya kemampuan mengendalikan diri. BAGAIMANA HUKUM TAPE DAN MINUMAN BIR 0% ALKOHOL MUI telah meneliti permasalahan ini, dan meskipun mengandung alkohol sampai 7-10%, ternyata tidak ada satupun pihak yang melaporkan bahwa tape memabukkan. Oleh sebab itu, MUI Pusat mem-fatwakan bahwa tape (tape ketela, tape ketan, brem Madiun, dll.) hukumnya adalah halal dikonsumsi. Begitu pula dengan buah-buahan yang mengandung alkohol tinggi (4-8%) seperti : durian, lengkeng, sirsak, nangka, dll. Ternyata tidak ada satupun ayat Qur’an maupun Hadits Nabi SAW. yang mengharamkan buah-buahan tersebut. Mengapa? Karena ketika kita konsumsi dalam jumlah banyak, ternyata hal tersebut tidak menjadikan kita mabuk atau kehilangan akal/kesadaran. Sebaliknya, meskipun tidak mengandung senyawa alkohol sama sekali (benarkah?!), namun karena tetap ada unsur memabukkan, maka Komisi Fatwa MUI Pusat menyatakan bahwa Bir Bintang 0% alkohol dan Greensand 0% alkohol haram. Mengapa MUI Pusat menghukumi kedua jenis produk tersebut haram? Alasannya adalah kedua jenis produk tersebut memenuhi salah satu kaidah fiqih dalam penetapan hukum (haram) : 1. Al hukmu yadluru ma’al illati (Hukum itu ditetapkan karena ada sebab). Karena beberapa pihak melaporkan bahwa ternyata ketika mengkonsumsi Bir Bintang 0% alkohol atau Greensand 0% alkohol tetap merasa mabuk, maka kedua jenis produk tersebut akhirnya dihukumi haram! 2. Al washilatu illa haramun haram (Segala sesuatu yang menyerupai suatu produk haram maka dihukumi haram). Oleh sebab itu, pengimitasian pada produk haram (bir) menjadikan kedua jenis produk tersebut dihukumi haram! BAGAIMANA KALAU SEDIKIT Beberapa jenis obat flue cair, seperti : OBH, OBH Combi Plus, Woods, Benadryl, Vicks, Vicks Formula 44, Tonikum Bayer, dll. ternyata mengandung alkohol atau etanol. Di antara produk tersebut ternyata ada yang mengandung alkohol atau etanol hingga 6 % (bahkan ada yang lebih). Untuk itu, MUI Pusat meminta umat Islam untuk memilih jenis obat lain yang tidak menggunakan alkohol sebagai pelarut. Dengan kata lain, obatobat jenis tersebut di atas digolongkan haram. Mengapa? Khan, alkoholnya hanya sedikit dan pasti tidak memabukkan. Hal tersebut memang benar, tetapi harap dicatat bahwa asal dari bahan alkohol (atau etanol) yang dicampurkan adalah alkohol/ etanol murni yang bila dikonsumsi memabukkan. Nah, meskipun sedikit, tetapi karena ditambahkan pada obat tersebut, maka obat flue cair tersebut dihukumi haram. Hal ini mengacu pada hadits Nabi SAW. yang menyebutkan : “Minuman apapun kalau banyaknya memabukkan, maka (minum) sedikit (dari minuman itu) juga haram” (HR. Bukhary dan Muslim) Selain itu, Rasulullah SAW. juga bersabda : “Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit dan obatnya, dan menjadikan untuk kamu bahwa tiap-tiap penyakit ada obatnya. Oleh karena itu, berobatlah, tetapi janganlah berobat dengan sesuatu yang haram” (HR. Abu Daud). Serta dikuatkan oleh hadits : “Khamr itu bukan obat, tapi penyakit” (HR. Muslim, Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi). Kanjeng Nabi SAW. sendiri mengatakan bahwa khamr bukanlah obat (tapi penyakit). Lalu mengapa kita lebih percaya kepada teman (yang bukan Rasul utusan Allah), lebih-lebih dukun! Na’udzu billaahi min dzaalika! Sebagai hamba Allah yang beriman, maka sudah sepatutnyalah kita mempercayai sabda Rasulullah SAW. Kita harus selalu haqqul yaqin (sangat yakin) bahwa Sabda Nabi SAW. selalu benar. ADAKAH PRODUK LAIN YANG MENGGUNAKAN KHAMR Ada beberapa produk yang tidak kita sangka ternyata mengandung khamr. Produk-produk tersebut di antaranya adalah : 1. COKLAT yang mengandung khamr, seperti alkohol, etanol, brandy, whisky, kirsch, spirit, wine, dll. 2. KUE & ROTI yang menggunakan khamr berupa RHUM, seperti yang sering dipergunakan pada : roti Black Forest, cake, sus fla, dll. 3. BAKMIE & SEA FOOD yang menggunakan khamr berupa ANGCIU, seperti pada : masakan ikan (sea food), Chinese food, Japanese food, bakmie ikan, dll. Selain Ang Ciu (Arak Merah), jenis khamr lain yang sering dipergunakan dalam aneka masakan adalah : Peng Ciu (Arak Putih), Arak Mie, Arak Gentong, Sari Tape, serta Mirin dan Sake (di Jepang). Tentunya, karena termasuk dalam golongan khamr, seluruh jenis arak tersebut di atas HARAM dipakai sebagai salah satu bahan dalam masakan (QS. Al Maa’idah : 90). Wahai Saudaraku seiman! Marilah kita lebih berhati-hati dengan setiap makanan/minuman yang masuk ke dalam tubuh kita dan keluarga kita. Janganlah sampai kita menyesal karena telah melakukan perbuatan nista tanpa kita sadari (karena kita mabuk). Satu-satunya jalan untuk selamat adalah mengikuti Syari’at Islam secara kaffah. Janganlah kita mengikuti langkah-langkah Syaiton, karena syaiton adalah musuh yang nyata bagi kita semua. Allahu a’lam bish-showwab. HATI-HATI TERHADAP BAHAN HARAM PADA KOSMETIKA Oleh : Nanung Danar Dono, S.Pt., MP. Titik kritis kehalalan produk kosmetika Beberapa macam bahan baku kosmetika dan produk kecantikan yang harus diperhatikan status kehalalannya adalah: 1. Kolagen dan elastin Kolagen adalah sejenis protein jaringan ikat yang liat dan bening kekuning-kuningan. apabila kena panas, kolagen akan mencair menjadi cairan yang agak kental seperti lem. Kosmetika saat ini menjadi kebutuhan yang tidak terpisahkan dari dunia kaum hawa (akhwat). Kosmetika ini seakan-akan menjawab kegelisahan kaum hawa yang sering merasa kurang cantik bila belum bersentuhan dengan kosmetika. Setelah menggunakan kosmetika, para wanita akan merasa lebih percaya diri, merasa lebih cantik, dan lebih menarik perhatian. Kosmetika adalah bahan yang sengaja dipakai untuk tujuan lebih mempercantik penampilan diri si pemakai. Diharapkan oleh pemakai, bagian tubuh yang dikenai kosmetika akan tampil lebih cantik, lebih menarik, lebih lembut, lebih muda, lebih segar, dan lebih menawan. Apabila dikelompokkan, maka terdapat bermacam-macam kosmetika. Menurut bentuknya, kosmetika dapat dibedakan menjadi kosmetika yang berbentuk bedak, lotion, gel, dan padat. Kosmetika yang berbentuk bedak (serbuk) dapat dipakai pada seluruh anggota tubuh, terutama muka, badan, dan anggota gerak (tangan dan kaki). Kosmetika yang berbentuk lotion (cair) dapat dipakai pada seluruh anggota tubuh, terutama muka, badan, dan anggota gerak (tangan dan kaki). Kosmetika dengan bentuk konsistensi gel terutama dipakai untuk dioleskan pada rambut, dll. Kosmetika yang berbentuk padat sering kali dalam bentuk sabun, lipstik, dll. Kolagen dan elastin sangat penting untuk proses pertumbuhan sel/jaringan (regenerasi), makanya kolagen sangat penting untuk proses regenerasi sel, menjaga kelenturan kulit, serta mencegah kekeriputan kulit. Karena fungsinya yang sangat signifikan pada peremajaan kulit, maka saat ini kedua macam protein tersebut banyak dipakai sebagai bahan kosmetik. Kolagen memiliki efek melembabkan karena kolagen tidak larut air, tetapi sebaliknya, mampu menahan air. Oleh karena itu, senyawa protein ini banyak dipakai pada produkproduk pelembab. Selain untuk beberapa fungsi di atas, kolagen juga penting untuk menjaga kekebalan tubuh, serta mencegah infeksi dan alergi. Kemampuan kolagen tersebut disebabkan karena kolagen memiliki antigen yang bersifat imunogenik. Antigen yang imunogenik ini mampu berikatan dengan antibodi spesifik, tetapi juga mampu menghasilkan antibodi spesifik terhadap antigen. Nah, antibodi terhadap antigen inilah yang perlu dirangsang bagi penderita rematik. Kolagen bisa berasal dari sapi atau babi. Oleh karena itu, harus dipastikan apakah kolagen dan elastin tersebut berasal dari hewan haram (babi) atau bukan. 2. Ekstrak plasenta Saat ini di pasaran banyak beredar kosmetika berplasenta. Mengapa kosmetika berplasenta sangat digemari produsen kosmetika dan begitu diminati konsumen? Hal ini disebabkan karena kosmetika berplasenta memiliki efek yang signifikan untuk mencegah penuaan kulit, serta mampu meremajakan kulit, mengatasi keriput kulit, menghaluskan dan melembutkan kulit, dan membuat kulit lebih nampak segar sebagaimana layaknya kulit bayi. Plasenta adalah organ tubuh yang berkembang pada saat manusia atau hewan mengandung anaknya. Ketika janin masih berada dalam kandungan, janin belum mampu makan dan minum sebagaimana manusia yang sudah lahir. Untuk mencukupi kebutuhan gizi bagi pertumbuhannya, maka Allah menciptakan plasenta sebagai sumber makanannya. Plasenta ini berisi zat-zat gizi dan zat-zat pertumbuhan yang sangat dibutuhkan bayi sebagai makanan. Pemasukan nutrien (zat gizi) ke dalam tubuh si bayi dilakukan melalui saluran plasenta yang bermuara pada pusar. Pada saat bayi dilahirkan, plasenta ikut keluar. Saluran yang menghubungkan antara plasenta dan pusar bayi dipotong. Di Pulau Jawa (DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur), plasenta dikuburkan di suatu tempat, bahkan dengan ritual dan tradisi tertentu. Akan tetapi, di tempat lain, plasenta tidak pernah diistimewakan. Plasenta (dikenal pula dengan istilah ‘ari-ari’) memiliki bobot sekitar 600 g dengan diameter 16-18 cm, mengandung 200 ml darah yang mengisi cairan spon. Plasenta kaya akan darah dan protein (albumin), hormon (oestrogen), serta senyawa lain (DNA dan RNA). Albumin sendiri adalah senyawa pengganti plasma darah yang mengandung γ-globulin, immuno- globulin (IgA dan IgG), dan asam amino. Hasil riset menunjukkan bahwa zat-zat tersebut terbukti cukup efektif untuk merawat kulit, seperti mencegah kerut, mencegah penuaan dini, dan mempertahankan kesegaran kulit. Bahkan dii Jepang dan Switzerland, kolagen dan plasenta manusia telah lama dimanfaatkan sebagai bahan dasar pembuatan kosmetika. LPPOM MUI Pusat pernah menemukan beberapa perusahaan kosmetika menggunakan plasenta manusia, seperti : La Tulipe (PT. Rembaka, Sidoarjo, Jawa Timur), Musk by Alyssa Ashley, StYves, Snow White Lily (Yoshihiro Clinic, Tokyo-Japan). Kosmetika dan obat-obatan yang terbuat dari plasenta binatang yang diharamkan atau dari manusia hukumnya haram. Kosmetika dan obat-obatan yang terbuat dari plasenta bina-tang yang halal hukumnya halal (Fatwa MUI No. 2, Munas IV 30 Juli 2000). Alhamdulillah, saat ini La Tulipe telah memiliki Sertifikat Halal. 3. Cairan Amnion Cairan amnion (amniotic liquid) adalah cairan ketuban yang berada di sekitar janin dalam kandungan yang berfungsi melindungi janin dari benturan fisik. Pada saat kelahiran, selaput ketuban pecah dan cairan amnion keluar mendahului janin. Selain sebagai buffer, cairan ini juga berfungsi sebagai pelicin (lubricant) pada saat janin dilahirkan. Keuntungan penggunaan cairan amnion kurang lebih sama dengan plasenta, tetapi penggunaannya terbatas pada pelembab, lotion rambut, shampo, serta produk perawatan kulit dan kepala. Sebagai konsumen muslim, maka hendaknya kita lebih berhati-hati. Kita harus pastikan dari mana asal cairan amnion ini. Apabila berasal dari saluran reproduksi (rahim) manusia dan atau hewan haram, maka produk kosmetika ini tidak boleh dipakai. produk hewani. Selanjutnya, apabila, apakah berasal dari hewan halal atau hewan haram. 4. Lemak Lemak dan turunannya (terutama Gliserin) banyak dipakai sebagai bahan baku pembuatan kosmetika, seperti pada pembuatan : lipstik, sabun mandi, krim, lotion (facial lotion, hand & body lotion). Penggunaan kosmetika yang mengandung lemak diyakini banyak membantu menghaluskan kulit. Tentunya tidak menjadi masalah apabila bahan lemak yang dipergunakan berasal dari hewan yang dihalalkan. Akan tetapi, apabila lemak (dan turunannya) yang dipakai adalah lemak hewan yang diharamkan (babi), maka penggunaan kosmetika berlemak babi tersebut tentunya juga diharamkan. 6. Asam Alfa Hidroksi Asam Alfa Hidroksi (AHA) adalah suatu senyawa kimia yang sangat berguna untuk mengurangi keriput dan memperbaiki tekstur kulit. Kosmetika yang menggunakan AHA akan membuat kulit terasa lebih halus, kenyal, dan mantap. Senyawa AHA banyak macamnya. Salah satu senyawa AHA yang banyak dipakai pada industri kecantikan adalah asam laktat (lactic acid). Dalam pembuatannya, senyawa ini menggunakan media yang berasal dari hewan. Nah, oleh karena itu, harus dipastikan apakah media yang dipergunakan adalah hewan halal atau hewan haram. 5. Vitamin Vitamin A, B1, B3, B6, B12, D, E, dan K banyak dipakai dalam kosmetika. Produsen kosmetika menganggap vitamin mampu mensuplai kebutuhan gizi bagi kulit. Meskipun demikian, Stanley R. Milstein, Ph.D. (Direktur FDA Divisi Kosmetika) tidak menemukan adanya bukti klinis bahwa vitamin dapat mensuplai gizi secara langsung melalui kulit. Vitamin-vitamin tersebut di atas memiliki sifat tidak stabil. Oleh karena itu, agar keadaannya tidak berubah-ubah, vitamin harus distabilkan dengan bahan pelapis tertentu (coated agents). Bahan penstabil yang sering dipakai di antaranya adalah gelatin, karagenan, gum arab, atau pati dimodifikasi. Gelatin umumnya berasal dari tulang sapi atau babi. Apabila bahan pelapis yang dipakai adalah gelatin, maka harus diperhatikan apakah berasal dari produk nabati atau dari 7. Hormon Untuk memberikan hasil yang lebih memuaskan, pada beberapa produk kosmetika sering ditambahkan hormon, seperti : hormon estrogen, ekstrak timus, maupun hormon melantonin. Hormon-hormon yang sering dipakai adalah animal origin hormone (hormon yang berasal dari hewan). Oleh karena itu, harus kita pastikan apakah hormon yang dipergunakan berasal dari hewan halal atau hewan haram. Jika berasal dari hewan haram, maka tentu tidak boleh kita pakai. Catatan : á Penulis adalah Sekretaris Eksekutif LPPOM MUI Propinsi DIY dan Dosen Fak. Peternakan UGM. á Informasi lebih lanjut hub. Mobile : 07707 398 546 HATI-HATI TERHADAP BAHAN HARAM PADA OBAT Oleh : Nanung Danar Dono, S.Pt., MP. Saat ini teknologi farmasi telah berkembang dengan sangat pesat. Temuan-temuan medis menunjukkan bahwa beberapa jenis obat cukup akurat menyembuhkan penyakit. Sayangnya, ada beberapa jenis obat yang beredar di pasaran yang menggunakan unsur/bahan yang diharamkan oleh Syari’at Islam. Beberapa macam bahan haram dalam obat Beberapa macam bahan haram yang terdeteksi dipakai sebagai penyusun obat adalah : 1. Khamr Khamr adalah segala jenis bahan (makanan, minuman, dll.) yang dapat menutup akal pikiran (memabukkan) orang yang mengkonsumsinya. Khamr diharamkan karena memiliki efek memabukkan (melemahkan kesadaran) dan merusak sistem saraf sehingga orang yang mengkonsumsinya bisa kehilangan akal sehatnya (lalu berbuat yang tidak baik). Dalam industri farmasi, khamr sering dipakai sebagai bahan pengencer dan atau pelarut bahan obat, sebagai penyegar, sebagai pemberi sensasi tertentu (jamu), dll. Beberapa senyawa beralkohol yang memiliki sifat khamr (sehingga diharamkan) adalah alkohol, methanol (methyl alcohol), ethanol (ethyl alcohol), anggur (kolesom), arak, dll. Ulama mengharamkan penggunaan khamr dalam industri obat. Hal ini didasarkan pada hadits : “Minuman apapun kalau banyaknya memabukkan, maka (minum) sedikit (dari minuman itu) juga haram” (HR. Bukhary dan Muslim). Contoh obat yang menggunakan tambahan khamr adalah : OBH, OBH Combi Plus, Vicks, Vicks Formula 44, Woods, Benadryl, Tonicum Bayer, dll. 2. Gelatin Gelatin sangat bermanfaat dalam industri farmasi. Keberadaan gelatin sebagai bahan penyusun kapsul pembungkus obat memungkinkan bahan obat bisa sampai pada tempat (target site) yang dikehendaki tanpa dirusak oleh enzym pencernaan pada saluran pencernaan yang dilaluinya. Misalnya, obat diminum untuk menyembuhkan sakit hati. Maka agar obat bisa sampai ke hati dan tidak dirusak atau tercerna oleh enzim di lambung, usus, atau organ pencernaan lainnya, maka isi obat tsb harus dibungkus oleh kapsul. Agar tidak melukai dinding saluran pencernaan, kapsul pembungkus obat haruslah lunak, tidak bisa melukai dinding saluran pencernaan, tapi dapat dilunakkan oleh bagian yang dituju. Kapsul banyak dipakai untuk membungkus obat, VCO, vitamin, dll. Contoh kapsul obat yang menggunakan bahan dari babi adalah kapsul produk Yunnan Baiyyao (China). Gelatin ini memberikan tekstur kenyal dan banyak dipakai sebagai bahan kapsul obat. Gelatin dapat berasal dari sapi, kuda, maupun babi. Akan tetapi, umumnya gelatin yang beredar di pasaran adalah gelatin dari babi. Alhamdulillah, saat ini Malaysia telah berhasil membuat gelatin halal dari sapi dan atau kuda. 3. Gliserin (Glycerine) Gliserin adalah senyawa turunan lemak (atau merupakan hasil samping pengolahan sabun), sering dipakai dalam industri farmasi. Senyawa ini biasa dipakai sebagai perekat kapsul obat dan vitamin, seperti : obat anti-coagulant (pembekuan darah), anti-hypertensive, antiatherosclerotic, anti-thrombotic (anti platelet), anti-lipemic (penurun kolesterol darah), dll. Gliserin bisa berasal dari lemak nabati (tanaman) atau lemak hewani. Tentu akan menjadi masalah apabila berasal dari hewan haram (babi) atau hewan halal (sapi, kuda, ayam) yang tidak disembelih secara Syari’at Islam. 4. Plasenta Plasenta adalah selaput pembungkus janin dalam kandungan (rahim) ibu. Selain itu, plasenta juga menyuplai janin dengan nutrien, hormon, dll. Organ ini sering dipakai sebagai bahan obat pada luka bakar dan atau obat yang mempercepat proses penyembuhan luka, seperti obat jahit luka sobek (operasi sesar, dll). Plasenta bisa berasal dari hewan (sapi, domba/kambing, babi, dll.), bisa pula berasal dari manusia. Pada Munas IV tahun 2000 di Jawa Barat, MUI Pusat mengharamkan penggunaan plasenta yang berasal dari manusia dan atau hewan haram sebagai bahan obat dan atau kosmetik. Saat ini, plasenta manusia juga dipakai sebagai bahan aktif beberapa macam obat (pil dan kapsul). Di antara obat yang menggunakan plasenta adalah obat perangsang atau pelancar ASI. Obat ini digunakan untuk menstimulasi aktivitas kelenjar air susu (kelenjar mammae) ibu agar setelah melahirkan produksi ASI-nya lancar. 5. Urine Ternyata daging babi juga banyak berperan dalam dunia medis. Salah satu jenis obat jantung diketahui menggunakan bahan dari babi. Untuk itu, karena menggunakan unsur dari babi, maka dihukumi haram. Urine adalah kotoran cair yang dikeluarkan dari tubuh sebagai senyawa buangan (limbah) sisa metabolisme tubuh. Urine banyak mengandung racun dan berbagai senyawa berbahaya, seperti : amonia, asam urat, ureum, dll. yang harus dikeluarkan dari tubuh. Saat ini ada beberapa golongan masyarakat yang mempercayai urine sebagai obat. Terlepas dari hal tersebut, ulama mengharamkan penggunaan urine sebagai obat. Dasar utamanya adalah bahwa urine manusia bersifat najis (najis sedang). Bagian tubuh yang terkena (kecipratan) bahan najis harus dicuci hingga hilang warna, bau, dan rasa. Selain itu, para ahli urine (urolog) RSCM Jakarta tidak percaya bahwa di dalam urine terdapat bahan obat. 6. Sodium Heparin (Na-Heparin) Sodium heparin adalah senyawa komplek yang dihasilkan oleh hati. Senyawa ini sering dipakai untuk mencegah reaksi pembekuan darah (anti-coagulant) pada dinding pembuluh darah, seperti pada kasus penanganan endapan (kolesterol, platelet gula, dll). Sebagai bahan tambahan obat, senyawa ini sering dipakai untuk terapi penderita penyakit jantung, stroke, dll. Tentu tidak masalah bila Na-Heparin dipakai berasal dari bahan halal. Contoh produk yang menggunakan bahan dari babi adalah Lovenox 4000 yang diproduksi oleh Aventis Pharma Speciatities, Perancis. Berdasarkan QS. Al Baqoroh : 173, dalam keadaan darurat, obat yang menggunakan bahan dari babi diijinkan. Akan tetapi, jika ditemukan bahan lain yang lebih halal, maka pasien harus diberikan bahan yang halal. 7. Hormon Insulin Insulin adalah hormon yang penting untuk mengubah glukosa darah menjadi glukogen. Hormon ini dihasilkan oleh sistem kelenjar pada Pulau Langerhans yang terdapat pada pankreas. Injeksi insulin penting bagi penderita Diabetes mellitius akut karena tubuh penderita tidak mampu mengubah glukosa menjadi glukogen dalam jumlah cukup. Prof. Sugiyanto – Direktur LPPOM MUI Propinsi Jawa Timur menyebutkan bahwa International Diabetic Federation (1993) melaporkan bahwa umumnya insulin yang dipasarkan dari manusia (70%), lalu babi (17%), sapi (8%), dan sisanya kombinasi sapi dan babi (5%). Contoh produk yang menggunakan insulin babi adalah Mixtard 30 Novolet produksi Novonordisk. Oleh karena itu, para pengguna insulin sangat disarankan untuk meminta dokter Muslim meresepkan insulin yang halal (saja). 8. Vaksin Vaksin adalah kuman penyakit yang telah dimatikan (inactive vaccine) atau kuman yang dilemahkan (active vaccine) yang dimasukkan ke dalam tubuh untuk tujuan memicu kekebalan. Suatu vaksin hanya efektif dipakai untuk mencegah satu jenis penyakit tertentu saja (spesifik). Masalah muncul manakala di Indonesia masih banyak vaksin yang dibuat dengan perantara (media) dari bahan yang diharamkan, seperti enzim babi, daging babi, dll. Beberapa produk vaksin yang beredar di Indonesia yang masih menggunakan bahan yang tidak halal adalah Inactive Polio Vaccine (IPV) dan Active Polio Vaccine (APV), vaksin Meningitis, dll. Alhamdulillah, Biofarmaka Bandung sudah memproduksi vaksin polio yang tidak menggunakan bahan dari babi. Kita turut berdoa semoga di Tahun 2010 ini, Biofarmaka berhasil memproduksi vaksin Meningitis jama’ah haji dari bahan halal. Tentu informasi penting sangat menggembirakan buat kita. 9. Transplantasi organ dalam Transplantasi adalah usaha mencangkokan organ tubuh tertentu ke dalam tubuh (host/inang) yang baru. Efek positif transplantasi yang diharapkan tentu memperbaiki sistem organ tertentu. Organ baru yang ditransplantasikan diharapkan menggantikan atau menguatkan organ (jantung, ginjal)lama yang telah rusak. Masalah muncul manakala bahan cangkok jantung kebanyakan adalah jantung manusia atau babi. Informasi yang kita peroleh dari Prof. Mulatno (IPB), di Tahun 1976 di AS dan Jepang telah berhasil dilakukan ribuan kali xeno-transplantasi jantung babi ke manusia. Apakah diharamkan? Semua berpulang pada keadaan darurat (QS. Al Baqoroh : 173). Apapun bahannya, kita tetap berharap semoga kita senantiasa dianugerahi Allah kesehatan, sehingga dapat terhindar dari penggunaan bahan-bahan obat yang diragukan kehalalannya. PELUANG PENCEMARAN BAHAN HARAM PADA PRODUK BAKERY Oleh : Nanung Danar Dono, S.Pt., MP. Sekretaris LPPOM MUI Propinsi DIY 081 2277 6763 – 584036 Toko roti (bakery) di Yogyakarta sangat banyak dan beragam. Ada yang laris karena terkenal, ada yang diburu pembeli karena enak, ada pula yang dibeli karena terjamin status kehalalannya. Sebagai konsumen Muslim, mestinya kita tidak membeli produk hanya karena rasanya, karena enak baunya, karena kemurahannya, atau karena terkenal merknya. Akan tetapi, mestinya status kehalalan menjadi alasan utama dan pertama dalam membeli sebuah produk roti, apa pun itu merknya. 1. Kuas berbulu babi Kuas sering dipakai untuk mengoleskan mentega, margarin, telur, cokelat, dll. Hati-hati dengan bahan bulu kuas, karena umumnya berasal dari bulu babi (bisa mencapai 80-90%). Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor boar bristle dan pig/boar hair periode Januari-Juni 2001 sejumlah 282.983 kg atau senilai US $ 1.713.309 (Jurnal LPPOM-MUI HALAL, N0. 41/VII/2002). Pada gagang kuas berbulu babi sering tertulis kata : Bristle, Pure Bristle, 100% China Bristle, dll. Salah satu makna kata Bristle adalah Pig Hair atau bulu babi (Webster’s Dictionary) yang berstatus najis apabila basah. Oleh karena itu, roti yang terkena sapuan kuas najis menjadi terkena najis, sehingga haram dimakan. Pengganti kuas bulu babi adalah kuas dari bahan plastik (polyester). Perusahaan kuas merk Ken Master dan Selery juga meproduksi kuas dari bahan halal ini. Titik kritis bahan haram Di DIY yang mayoritas penduduknya beragama Islam ini (sekitar 88%) mestinya seluruh produk makanan dan rerotian terjamin kehalalannya. Namun pada kenyataannya, tidak semua produk roti yang dipasarkan terjamin kehalalannya. Bahkan ada beberapa perusahaan yang secara terang-terangan menggunakan bahan haram. Banyak pula bahan tambahan makanan (BTM) yang diragukan kehalalannya dipakai dalam industri roti ini. Ada beberapa titik kritis peluang masuknya bahan haram ke dalam produk bakery : 2. Rhum Rhum banyak dipakai untuk membuat adonan tercampur dengan baik, agar cake lebih awet, serta untuk mengikat aroma. Rhum diharamkan karena memiliki sifat khamer. Bahkan kandungan alkohol rhum bisa mencapai 38-40%. Hati-hati dengan roti Black Forest, Sus Fla, Cake, dll. Rhum essence (rhum sintetis) juga diharamkan karena membuat konsumen tidak dapat membedakan rhum ‘asli’ dan rhum ‘sintetis’. 3. Daging dan Produk Olahannya Daging haram (khususnya : babi) dapat masuk dalam berbagai bahan dan produk rerotian. Produk daging dan olahannya dapat masuk dalam bentuk : daging, sosis, abon, dll. 4. Emulsifier (Cake Emulsifier) Emulsifier adalah bahan penstabil adonan roti. Selain sebagai bahan pengemulsi, beberapa jenis emulsifier yang dijual di pasaran berfungsi pula sebagai bahan pelembut roti. Ada beberapa jenis emulsifier yang lazim dipakai di pasaran, seperti : lesitin, lesitin kedelai (soya/soy lechitine), dan emulsifier lain yang menggunakan kode Enumber (Exxx). Lesitin bersifat syubhat karena bisa berasal dari bahan nabati maupun hewani (sapi, babi, dll). Lesitin kedelai halal karena berasal dari kedelai. Hati-hati dengan E-number, karena beberapa emulsifier (seperti : E471, E476, E72, dll.) ada yang menggunakan bahan dari babi. 5. Ovalet Ovalet dipakai sebagai pengembang dan pelembut produk bakery. Bahan ini dibuat dari asam lemak, bisa berasal dari asam lemak hewani maupun nabati (tumbuhan). Apabila berasal dari tumbuhan, tentu tidak masalah. Namun apabila dibuat dari produk hewani, maka harus dipastikan berasal dari hewan halal atau hewan haram (babi). 6. Shortening Shortening sering dikenal dengan istilah mentega putih. Bahan ini berasal dari lemak, bisa dari lemak hewan, tanaman, maupun campuran keduanya. Shortening sering dipakai untuk membuat sensasi lembut dan renyah (crispy). Oleh karena bisa berasal dari lemak hewan, maka shortening bersifat syubhat. Selain itu, sudah lama dikenal di masyarakat bahwa lemak hewan (animal fat) yang paling enak adalah lemak babi (Lard). Meskipun kadang ditulis dengan huruf Arab, namun karena berasal dari babi, maka lard hukumnya haram. 7. Margarin Margarin dibuat dengan bahan dasar lemak tumbuhan. Dalam proses pembuatannya, sering kali ada bahan penstabil (stabilizer), pewarna, maupun penambah rasa (flawour) yang ditambahkan. Oleh karena itu, apabila bahan penstabil yang dipakai dari tanaman tentu tidak masalah. Namun apabila berasal dari produk hewan, maka harus dipastikan dari hewan halal atau haram. Penggunaan lesitin babi, membuat produk roti menjadi haram. 8. Bakers Yeast Instant (Ragi) Yeast banyak dipakai pada produkproduk rerotian sebagai bahan pengembang (bread improver). Dalam pembuatannya, adakalanya ditambahkan bahan pengemulsi (emulsifier). Nah, kalau emulsifier yang dipakai berasal dari bahan haram (misal : lesitin babi), maka yeast ini tentu menjadi tidak halal. 9. Keju Keju berasal dari susu hewan, bisa berasal dari susu sapi, domba/kambing, unta, dll. Merk keju yang dipasarkan di masyarakat, contohnya : Cheddar, Edam, Emmental (Emmenthal), Beaufort, Gloucester, Cheshire, Fontina, Leyden, Derby, Gruyere, dll. Perbedaan penamaan keju didasarkan pada asal bahan, asal daerah, dan proses pembuatannya. Dalam pembuatannya, untuk memperoleh curd/padatan, susu digumpalkan dengan bantuan enzyme dan starter. Apabila enzim yang dipakai berasal dari saluran pencernaan hewan haram, maka tentu statusnya menjadi haram. Hati-hati dengan keju edam, karena dalam standar pembuatannya, Keju Edam sering dibuat dengan bantuan enzim rennet yang diambil dari lambung anak babi. Starter yang dipakai dalam penggumpalan susu berasal dari mikro organisme (umumnya bakteri asam laktat). Nah, media yang dipakai untuk menumbuhkan bakteri tersebut bisa berasal dari media halal maupun media yang haram. 10. Creamer Creamer dibuat dari susu. Titik kritisnya terdapat pada bahan enzim yang dipakai untuk memisahkan keju dan whey. Apabila menggunakan enzim haram, maka status creamer yang bersangkutan haram. 11. Cokelat Dalam proses pembuatan cokelat batangan dari buah cokelat segar kadang dibutuhkan emulsifier. Emulsifier dapat berasal dari lesitin nabati (dari biji kedelai, bunga matahari, jagung, dll.) maupun dari produk hewani. Adakalanya lesitin hewani dibuat secara enzimatis menggunakan enzim Phospholipase A2 yang bisa berasal dari pankreas babi. 12. Gelatin Umumnya, gelatin dipakai sebagai gelling agent (bahan pengental), bahan penegar (penguat), atau untuk topping kue atau es krim. Gelatin pasti berasal dari produk hewani (sapi, babi). Jika berasal dari babi, maka status hukumnya haram. Sebagai pengganti, bahan lain yang dapat dipakai sebagai pengental adalah : rumput laut (agar-agar), karagenan, pati yang dimodifikasi, gom arab, dll. 13. TBM Bahan ini sering digunakan untuk melembutkan tekstur cake yang dihasilkan. Sebagai sebuah merk dagang, TBM ini umumnya berasal dari mono-glyseride (MG) dan di-glyseride (DG). MG dan DG berasal dari lemak, tentunya bisa berasal dari hewani maupun nabati. Apabila berasal dari bahan nabati, tentu TBM ini tidak masalah. Namun apabila dibuat dari asam lemak hewan, maka harus dipastikan apakah berasal dari hewan halal atau hewan haram. HATI-HATI DENGAN BAHAN TAMBAHAN MAKANAN YANG BERBAHAYA Oleh : Nanung Danar Dono, S.Pt., MP. Sekretaris Eksekutif LPPOM MUI Propinsi DIY (081 2277 6763, [email protected]) Kondisi di lapangan : Saat ini di pasaran masih banyak terdapat bahan-bahan tambahan makanan berbahaya pada sejumlah produk pangan olahan industri rumah tangga dan industri kecil. Hal itu terjadi karena kurangnya wawasan pengusaha terhadap keamanan pangan (food safety). Banyak contoh pelanggaran telah terjadi di lapangan, sebagai wujud ketidaktahuan akan resiko bahaya yang tersembunyi di balik tindakan tersebut. Beberapa saat yang lalu, malahan ada pedagang ikan asin yang menyemprotkan obat pembasmi serangga (nyamuk) ke ikan-ikan asin dagangannya dengan tujuan agar dagangannya tidak dikerubungi lalat. Akhirnya, zat berracun obat nyamuk tersebut malahan menempel pada ikan asinnya. Praktisi di Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) beberapa kali menemukan produk-produk seperti sirup, mie, tahu, bakso mengandung bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan manusia, seperti : pengawet berbahaya (benzoat, formalin, dll.), pengenyal berbahaya (boraks, dll.), pewarna berbahaya (Rhodamin-B, Methanyl Yellow, dll.), Pemanis buatan (aspartame, sorbitol, dll.) dan bahan tambahan lain dengan dosis yang berlebihan. Secara kasat mata memang agak sulit untuk menentukan apakah produk pangan olahan yang ditemukan mengandung bahan-bahan kimia berbahaya atau tidak. Apalagi bila dosisnya sangat sedikit. Akan tetapi, apabila dosisnya cukup banyak, maka kita bisa mengetahuinya dari penampilan luar yang nampak nyata (penampilan visual). 2. Pewarna Berbahaya Biasanya terdapat dalam bentuk : pewarna merah Rhodamin-B, pewarna kuning Methanyl Yellow, dll. Dasar hukum pelarangan : 4. Pengenyal (Bakso) Berbahaya Biasanya dalam bentuk : Boraks, dll. Untuk menjaga kesehatan manusia, maka ada beberapa regulasi pemerintah yang mengatur hal ini, seperti : 1. Undang-undang Pangan No. 8 Tahun 1999, tentang Perlindungan Konsumen. 2. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) RI No. 208/Menkes/Per/IV/85, tentang Pemanis Buatan. Pemanis buatan hanya digunakan untuk penderita diabetes (sakit gula dan penderita yang memerlukan diet rendah kalori, yaitu : aspartame, Na-sakarin, Na-siklamat, dan sorbitol. 3. Pemanis Buatan Biasanya terdapat dalam bentuk : Natrium (sodium) – Saccharine (sakarin), Na-Cyclamate (siklamat), aspartame, sorbitol, dll. Dampak negatif bagi kesehatan manusia: Terdapat banyak efek (dampak) negatif penyalahgunaan (kontaminasi) bahan kimia berbahaya yang dipakai sebagai bahan tambahan pangan. Di antara efek negatif yang sering muncul adalah : 1. Keracunan, mulai gejala ringan hingga efek yang fatal (kematian). 2. Kanker, seperti kanker leher rahim, paruparu, payudara, prostat, otak, dll. 3. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1998, tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan), 3. Kejang-kejang, mulai tremor hingga berat. 4. Peraturam Pemerintah No. 69 Tahun 1999, tentang Label dan Iklan Pangan. 5. Gejala lain, seperti : muntah-muntah, diare berlendir, depresi, gangguan saraf, dll. Macam-macam bahan kimia berbahaya: 6. Gangguan berat, seperti : kencing darah, muntah darah, kejang-kejang, dll. Bahan kimia yang digunakan sebagai tambahan makanan yang dikategorikan berbahaya di antaranya adalah sebagai berikut : 1. Pengawet Berbahaya Biasanya terdapat dalam bentuk : Formalin, Benzoat (bila terlalu banyak), dll., 4. Kegagalan peredaran darah (gangguan fungsi jantung, otak, reproduksi, endokrin). MARI KITA LEBIH BERHATI-HATI Sesungguhnya kehati-hatian adalah senjata paling ampuh untuk mencegah resiko negatif di masa yang akan datang. A. FORMALIN Apakah formalin itu? Formalin adalah nama populer dari zat kimia formaldehid yang dicampur dengan air. Larutan formalin tidak berwarna, berbau menyengat, larut dalam air dan alkohol. Larutan formalin mengandung 37% formalin gas dan methanol. Peruntukkan sebenarnya? Pengawet mayat, disinfektan, antiseptik, anti jamur, fiksasi jaringan, industri tekstil dan kayu lapis, juga sebagai germisida dan fungisida (pada tanaman/sayuran), sebagai pembasmi lalat dan serangga lainnya. Penyimpangan pada industri pangan? Formalin sering dipakai untuk mengawetkan produk mie basah, tahu, dan ikan segar. Tanda-tanda penyimpangan pada produk? a. Tahu : lebih kenyal, bisa tahan hingga 2 hari, tidak dikerubungi lalat, terdapat bau khas formalin, dll. b. Mie kuning : lebih kenyal, bisa tahan 23 hari (kalau tidak pakai hanya bertahan 4-6 jam), tidak dikerubungi lalat, memiliki warna lebih terang dari biasanya, terdapat bau khas formalin. c. Ikan segar : lebih awet, nampak sekilas lebih segar, tekstur awet, tidak dikerubungi lalat, dll. Bau khas formalin membuat lalat enggan mendekat. Efek (dampak) negatif bagi tubuh? Jika terhirup, formalin akan menyebabkan rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan, sukar bernapas, napas pendek, sakit kepala, dan kanker paru-paru. Di antara efek formalin pada kulit adalah munculnya warna kemerahan, gatal, dan terbakar. Pada mata, senyawa ini akan menyebabkan kemerahan, gatal, berair, kerusakan, pandangan kabur, s.d. kebutaan. Kalau kandungannya sudah sangat tinggi, formalin akan mengakibatkan iritasi pada lambung, alergi, muntah, diare bercampur darah, dan kencing bercampur darah. Bukan itu saja, formalin juga bisa mengakibatkan kematian karena kegagalan peredaran darah B. BORAKS Apakah boraks itu? Boraks (asam borat) adalah senyawa berbentuk kristal putih, tidak berbau, dan stabil pada suhu serta tekanan normal. Peruntukkan sebenarnya? Banyak dipakai untuk mematri logam, proses pembuatan gelas dan enamel, sebagai pengawet kayu, dan pembasmi kecoa. Penyimpangan pada industri pangan? Banyak dipakai pada : bakso, kerupuk karaks, mie bakso, tahu, batagor, pangsit. Efek (dampak) negatif bagi tubuh? Pemakaian yang sedikit dan lama akan terjadi akumulasi (penimbunan) pada jaringan otak, hati, lemak, dan ginjal. Pemakaian dalam jumlah banyak mengakibatkan demam, anuria, koma, depresi, dan apatis (gangguan yang bersifat sarafi). C. RHODAMIN – B Apakah Rhodamin – B itu? Rhodamin – B (Rhodamin – B) adalah pewarna sintetis berbentuk kristal, tidak ber- bau, berwarna merah keunguan, dalam larutan berwarna merah terang berpendar. Peruntukkan sebenarnya? Pewarna kertas, tekstil, dan cat tembok. Penyimpangan pada industri pangan? Banyak dipakai pada : minuman (es mambo, limun, syrup), lipstik, permen, obat, saos. Efek (dampak) negatif bagi tubuh? Jika terhirup dapat menimbulkan iritasi pada saluran pernafasan. Dapat pula menimbulkan iritasi pada kulit, iritasi pada mata (kemerahan, oedema pada kelopak), iritasi pada saluran pencernaan (keracunan, air seni berwarna merah, kerusakan ginjal), dll. Akumulasi dalam waktu lama berakibat gangguan fungsi hati hingga kanker hati, merusak kulit wajah, pengelupasan kulit, hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dll. D. METHANYL YELLOW Apakah Methanyl yellow itu? Methanyl yellow adalah pewarna sintetis berwarna kuning menyala. Peruntukkan sebenarnya? Pewarna kertas, tekstil, dan cat tembok. Penyimpangan pada industri pangan? Banyak dipakai pada : minuman (syrup, limun), agar-agar (jelly), limun, manisan (pisang, mangga, kedondong, dll.), permen. Efek (dampak) negatif bagi tubuh? (lihat : Rhodamin – B). Tanda-tanda penyimpangan pada produk? Warnanya terlihat homogen/seragam, cerah, penampakannya mengkilat, dll. KAJIAN FIKIH HALAL-HARAM DAGING BINATANG Oleh : Nanung Danar Dono, S.Pt., MP. (Direct contact : 584036, 081 2277 6763) Islam memerintahkan kepada pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi makanan haram. Rasulullah bersabda : "Dari Abu Hurairah ra berkata : Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah baik tidak menerima kecuali hal-hal yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang mu'min sebagaimana yang diperintahkan kepada para rasul”. Allah berfirman: "Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shaleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan". Dan firman-Nya yang lain: "Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baikbaik yang Kami berikan kepadamu" Kemudian beliau mencontohkan seorang laki-laki, dia telah menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut serta berdebu, ia menengadahkan kedua tangannya ke langit: “Yaa Rabbi! Yaa Rabbi!” Sedangkan ia memakan makanan yang haram, dan pakaiannya yang ia pakai dari harta yang haram, dan ia meminum dari minuman yang haram, dan dibesarkan dari hal-hal yang haram, bagaimana mungkin akan diterima do'anya". (HR Muslim no. 1015) KAIDAH FIQIH HALAL-HARAM : Ada beberapa kaidah fiqih yang dipakai para ulama dalam menentukan status kehalalan suatu jenis hewan, yaitu : Kaidah Pertama : Semua jenis makanan (daging) hukumnya halal, kecuali ada dalil yang mentakhsiskannya (secara khusus menyebutkan pengharamannya). Kaidah Kedua : Makanan halal memberikan pengaruh baik dan makanan haram memberikan pengaruh buruk (madhorot) bagi manusia yang memakannya. Kaidah Ketiga : Hukum halal-haram ditetapkan karena ada sebabnya (Al hukmu yadluru ma’al illati). Kaidah Keempat : Segala penyerupaan (mendekat-dekati) dengan bahan haram maka diharamkan (Al washilatu ila haromun harom). Kaidah Kelima : Tidak ada hubungannya antara halal-haram suatu daging dengan anggapan (buruk) suatu kaum (Arab). Kaidah Keenam : Setiap jenis hewan buas (karnivora) yang bertaring dan berkuku tajam adalah haram dimakan. Kaidah Ketujuh : Meskipun bertaring dan berkuku tajam, namun apabila ia adalah binatang jinak (herbivora) maka tidak diharamkan. Kaidah Kedelapan : Setiap jenis hewan yang diperintahkan agama untuk dibunuh, maka dagingnya haram. Kaidah Kesembilan : Setiap jenis hewan yang dilarang dibunuh, maka dagingnya haram. Kaidah Kesepuluh : Setiap jenis hewan yang hidup di laut, maka ia halal dimakan (baik ditemukan dalam keadaan hidup maupun telah mati). Kaidah Kesebelas : Setiap jenis hewan pemakan kotoran (bangkai dan najis), maka dagingnya haram dimakan (jallaalah). Kaidah Kedua belas : Dalam keadaan terpaksa, semua jenis makanan haram dapat menjadi halal. 1 PENJELASAN : 1. SEMUA MAKANAN HALAL, KECUALI YANG DIHARAMKAN 1.1 Bangkai : Yaitu hewan yang mati bukan karena disembelih atau diburu. Macam-macam bangkai : a. Al-Munkhaniqoh yaitu hewan yang mati karena tercekik baik secara sengaja atau tidak. b. Al-Mauqudhah yaitu hewan yang mati karena dipukul dengan alat/benda keras hingga mati olehnya atau disetrum dengan alat listrik. c. Al-Mutaraddiyah yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat tinggi atau jatuh ke dalam sumur sehingga mati. d. An-Nathihah yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya. 1.2 Darah : Yaitu darah yang mengalir (QS. 2:173, 5:3, 6:145, dll.). Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: "Pendapat yang benar, bahwa darah yang diharamkan oleh Allah adalah darah yang mengalir”. Syaikh Dr. Shahih Al-Fauzan (Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/461) mengatakan bahwa tidak ada satupun ulama' yang mengharamkan darah yang diam (yang menempel pada daging). Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa'id bin Jubair. Diceritakan bahwa orangorang jahiliyyah dahulu apabila seorang diantara mereka merasa lapar, maka dia mengambil sebilah alat tajam yang terbuat dari tulang atau sejenisnya, lalu digunakan untuk memotong unta atau hewan yang kemudian darah yang keluar dikumpulkan dan dibuat makanan/minuman. 1.3 Daging Babi : Babi baik peliharaan maupun liar, jantan maupun betina. Dan mencakup seluruh anggota tubuh babi sekalipun minyaknya. Tentang keharamannya, telah ditandaskan dalam alQur'an, hadits dan ijma' ulama. 1.4 Sembelihan untuk selain Allah Swt. : Yakni setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya haram, karena Allah mewajibkan agar setiap makhluk-Nya disembelih dengan nama-Nya yang mulia. Oleh karenanya, apabila seorang tidak mengindahkan hal itu bahkan menyebut nama selain Allah baik patung, taghut, berhala dan lain sebagainya , maka hukum sembelihan tersebut adalah haram dengan kesepakatan ulama. Belalang : a. Ibnu Abu Aufa ra. berkata: “Kami berperang bersama Rasulullah SAW. sebanyak tujuh kali, kami selalu makan belalang”. (Muttafaq ‘Alaihi). Kuda dan khimar ahliyyah (keledai jinak) a. Dari Jabir ra. berkata: "Rasulullah melarang pada perang khaibar dari (makan) daging khimar dan memperbolehkan daging kuda". (HR Bukhori no. 4219 dan Muslim no. 1941) 2 b. Dari Jabir ra. berkata: "Pada perang Khaibar, mereka menyembelih kuda, bighal dan khimar. Lalu Rasulullah melarang dari bighal dan khimar dan tidak melarang dari kuda.” (Shahih. HR Abu Daud (3789), Nasa'i (7/201), Ahmad (3/356), Ibnu Hibban (5272), Baihaqi (9/327), Daraqutni (4/288-289) dan Al-Baghawi dalam Syarhu Sunnah no. 2811). c. Dari Atha' ra. bahwa beliau berkata kepada Ibnu Juraij : "Salafmu biasa memakannya (daging kuda)". Ibnu Juraij berkata : "Apakah beliau sahabat Rasulullah?” Jawabnya : “Ya.” (HR. Bukhari-Muslim; Subulus Salam (4/146-147) oleh Imam As-Shan'ani). d. Asma’ ra. berkata : “Kami menyembelih kuda pada jaman Rasulullah SAW. dan memakan dagingnya. Pada saat itu, kami telah berada di Madinah.” (HR. Bukhary-Muslim). Kelinci dan sejenisnya a. Dari Anas bin Malik ra. berkata : “Kami mencari kelinci di Marr az-Zahran dan aku pun mendapatkannya. Lalu aku bawa kelinci itu kepada Abu Thalhah ra., beliau pun menyembelihnya dan mengirimkan daging paha kelinci tersebut kepada Rasulullah SAW., dan beliau pun menerimanya” (HR. Bukhary-Muslim) 2. MAKANAN HALAL MEMBERIKAN PENGARUH BAIK DAN MAKANAN HARAM MEMBERIKAN PENGARUH BURUK Jika Allah melarang kita mengkonsumsi bangkai, darah, daging babi, khamr, dll itu tentu karena bahan-bahan tersebut (secara fisiologi/medis) bisa merusak kesehatan kita. 3. AL HUKMU YADLURU MA’AL ILLATI Hukum dalam Syari’at Islam ditetapkan karena ada sebab-sebab yang melatarbelakanginya. 4. AL WASHILATU ILA HAROMUN HAROM Segala penyerupaan (mendekat-dekati) dengan bahan haram maka diharamkan 5. TIDAK ADA HUBUNGANNYA ANTARA HALAL-HARAM SUATU DAGING DENGAN ANGGAPAN (BURUK) SUATU KAUM Ad-dhab (hewan sejenis biawak) bagi yang merasa jijik darinya a. Dari Ibnu Abbas ra. dari Khalid bin Walid ra. bahwa : Beliau pernah masuk bersama Rasulullah SAW. ke rumah Maimunah. Di sana telah dihidangkan dhab panggang. Rasulullah SAW. berkehendak untuk mengambilnya. Sebagian wanita berkata : “Khabarkanlah pada Rasulullah tentang daging yang hendak beliau makan!”, lalu mereka pun berkata : “Wahai Rasulullah, ini adalah daging dhab!” Serta merta Rasulullah mengangkat tangannya. Aku (Khalid bin Walid) bertanya : “Apakah daging ini haram wahai Rasulullah?” Beliau menjawab : "Tidak, tetapi hewan ini tidak ada di kampung kaumku sehingga akupun merasa tidak enak (merasa jijik) memakannya!” Khalid berkata : Lantas aku mengambil dan memakannya sedangkan Rasulullah melihat. (HR. Bukhari no. 5537 dan Muslim no. 1946). b. Hadits Abdullah bin Umar secara marfu' (sampai pada nabi). "Dhob, saya tidak memakannya dan saya juga tidak mengharamkannya." (HR. Bukhari no.5536 dan Muslim no. 1943) Kesimpulan : Apabila kita jijik terhadap suatu makanan (biawak, cacing, belut, bekicot, dll.), maka kita tidak boleh memakannya. 3 6. SEMUA BINATANG BUAS (YANG BERTARING DAN BERKUKU TAJAM) DIHARAMKAN a. Dari Abu Hurairah, Nabi SAW. bersabda: "Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan" (HR. Muslim no. 1933). Hadits mutawatir menurut Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/125) dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam I'lamul Muwaqqi'in (2/118119). b. Imam Ibnu Abdil Barr juga mengatakan dalam At-Tamhid (1/127): "Saya tidak melihat adanya persilangan pendapat di kalangan ulama kaum muslimin bahwa kera tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijual karena tidak ada manfaatnya. Dan kami tidak mengetahui seorang ulama'pun yang membolehkan untuk memakannya. Demikian pula anjing,gajah dan seluruh binatang buas yang bertaring. Semuanya sama saja bagiku (keharamannya). Dan hujjah adalah sabda Nabi saw bukan pendapat orang....". c. Dari Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam." (HR Muslim no. 1934) d. Dari Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam." (HR Muslim no. 1934) e. Abi Tsa’labah ra. berkata : “Sesungguhnya Rasulullah SAW. melarang untuk memakan daging binatang buas yang bertaring” (HR. Bukhary dan Muslim). f. Imam Ahmad berkata : “Setiap binatang yang menggigit dengan taringnya, maka ia termasuk binatang buas!” Hukum Daging Anjing dan Kucing : a. Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Bila seekor anjing minum dari wadah milik kalian, maka cucilah 7 kali”. b. Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sucinya wadah kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali salah satunya dengan tanah”. c. Bahwasanya Rasulullah SAW. diundang ke rumah suatu kaum, lalu baginda memenuhi undangan tersebut, kemudian baginda diundang ke rumah satu kaum yang lain namun tidak beliau penuhi. Lalu ditanya kepada Baginda Nabi kenapa? Baginda menjawab: "Sesungguhnya pada rumah si fulan itu ada anjing." Lalu dikatakan kepada baginda: "Dalam rumah si fulan (undangan pertama) ada kucing”. Baginda menjawab: "Sesungguhnya kucing bukan najis." (HR. Al-Daruquthni dan Al-Hakim). Hukum memelihara anjing : d. Abu Hurairah ra. berkata : Rasulullah SAW. bersabda: "Barangsiapa memelihara anjing kecuali anjing penjaga ternak, anjing pemburu, atau anjing penjaga tanaman- pahalanya akan dikurangi satu qirath setiap hari." (Muttafaq ‘Alaihi). Hukum berburu dengan anjing : e. 'Adiy Ibnu Hatim ra. berkata : Rasulullah SAW. bersabda: "Jika engkau melepaskan anjingmu (untuk berburu), maka sebutlah nama Allah padanya. Bila ia menangkap buruan untukmu dan engkau mendapatkannya masih hidup, maka sembelihlah. Bila engkau mendapatkannya telah mati dan anjing itu tidak memakannya sama sekali, maka makanlah. Bila engkau menemukan anjing lain selain anjingmu, sedang buruan itu telah mati, maka jangan engkau makan sebab engkau tidak mengetahui anjing mana yang membunuhnya. Apabila engkau melepaskan panahmu, sebutlah nama Allah. Bila engkau baru menemukan buruan itu setelah sehari dan tidak engkau temukan selain bekas panahmu, makanlah jika 4 engkau mau. Jika engkau menemukannya tenggelam di dalam air, janganlah engkau memakannya." (Muttafaq ‘Alaihi; lafadznya menurut Muslim). BURUNG YANG BERKUKU TAJAM a. Ibnu Abbas ra. Menambahkan : "Dan setiap burung yang mempunyai kaki penerkam (kuku yang tajam)." (HR. Muslim) b. Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234): "Demikian juga setiap burung yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang, dan sejenisnya". c. Imam Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73: "Dalam hadits ini terdapat dalil bagi madzab Syafi'i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama tentang haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam." 7. MESKIPUN BERTARING DAN BERKUKU TAJAM, NAMUN JIKA IA BUKAN BINATANG BUAS, MAKA TIDAK DIHARAMKAN Binatang yang bertaring dan berkuku tajam, tapi bukan binatang buas (misal: herbivora) a. Dari Ibnu Abi Ammar berkata: “Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang musang, apakah ia termasuk hewan buruan ?” Jawabnya: "Ya". Lalu aku bertanya: “Apakah boleh dimakan?” Beliau menjawab: “Ya!”. Aku bertanya lagi : “Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah?” Jawabnya: “Ya!” (Shahih. HR. Abu Daud (3801), Tirmidzi (851), Nasa'i (5/191) dan dishahihkan Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, AlBaihaqi, Ibnu Qoyyim serta Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Habir (1/1507). Catatan : Musang adalah binatang pemakan kopi, bukan pemakan ayam. Terkadang orang keliru menyamakan musang dengan kucing liar (Jawa : belacan, garangan) 8. SETIAP HEWAN YANG DIPERINTAHKAN AGAMA UNTUK DIBUNUH, MAKA DAGINGNYA HARAM a. Dari Aisyah ra. berkata: Rasulullah bersabda: “Lima hewan fasik (al-hayyawan alfawwasik) yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus, anjing hitam." (HR. Muslim no. 1198 dan Bukhari no. 1829 dengan lafadz "kalajengking: gantinya "ular"). b. Rasulullah SAW. bersabda : “Ada 5 macam binatang fawwasik yang hendaknya dibunuh di tanah halal maupun di tanah haram, yaitu : rajawali, burung gagak, tikus, kalajengking, dan anjing gila!” (HR. Bukhary-Muslim). c. Dari Ummu Syarik ra. berkata bahwa : “Nabi memerintahkan supaya membunuh tokek / cecak" (HR. Bukhari no. 3359 dan Muslim 2237). Imam Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid (6/129)" Tokek/cecak telah disepakati keharaman memakannya". d. Rasulullah SAW. bersabda : “Bunuhlah ular!” (HR. Bukhary-Muslim) Imam ibnu Hazm mengatakan dalam Al-Muhalla (6/73-74): "Setiap binatang yang diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada sembelihan baginya, karena Rasulullah melarang dari menyia-nyiakan harta dan tidak halal membunuh binatang yang dimakan" (Lihat pula Al-Mughni (13/323) oleh Ibnu Qudamah dan Al-Majmu' Syarh Muhadzab (9/23) oleh Nawawi). 5 9. SETIAP JENIS HEWAN YANG DILARANG DIBUNUH, MAKA DAGINGNYA HARAM a. Dari Ibnu Abbas ra. beliau berkata: “Rasulullah melarang membunuh 4 hewan, yaitu : semut, tawon, burung hud-hud dan burung surad." (HR Ahmad (1/332,347), Abu Daud (5267), Ibnu Majah (3224), Ibnu Hibban (7/463) dan dishahihkan Baihaqi dan Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 4/916). b. Imam syafi'i dan para sahabatnya mengatakan: "Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang membunuhnya." (Lihat Al-Majmu' (9/23) oleh An Nawawi). c. Dari Abdur Rahman bin Utsman Al-Qurasyi ra. mengisahkan bahwasanya : “Seorang tabib pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kodok/katak dijadikan obat, lalu Rasulullah melarang membunuhnya.” (HR Ahmad (3/453), Abu Daud (5269), Nasa'i (4355), Al-Hakim (4/410-411), Baihaqi (9/258,318) dan dishahihkan Ibnu Hajar dan Al-Albani). d. Dari Abu Hurairah ra. beliau berkata: “Rasulullah SAW. melarang membunuh shurod (burung Suradi), kodok, semut, dan burung hud-hud!” (HR. Ibnu Majah; shahih). e. Dari Ibnu Umar ra. beliau berkata : “Janganlah kalian membunuh katak, karena bunyi yang dikeluarkan katak adalah merupakan tasbih!” 10. SEMUA JENIS HEWAN YANG HIDUP DI LAUT (IKAN) HALAL DIMAKAN a. Firman Allah Swt. : “Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.” (QS. Al-Maa`idah: 96) b. Dari Ibnu Umar berkata: "Dihalalkan untuk kalian 2 bangkai dan 2 darah. Adapun 2 bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang 2 darah yaitu hati dan limpa." (Shahih. Lihat Takhrijnya dalam Al-Furqan hal 27 edisi 4/Th.11) c. Rasululah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda: "Laut itu suci airnya dan halal bangkainya." (Sahih; HR. Daraqutni: 538). d. Rasulullah ditanya tentang air laut, maka jawab beliau : “Dia (laut) adalah pensuci airnya dan halal bangkainya”. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah; dishahihkan oleh Imam Al-Bukhary). e. Syaikh Muhammad Nasiruddin Al--Albani berkata dalam Silsilah As-Shahihah (no.480): "Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut sekalipun terapung di atas air (laut)?”. Beliau menjawab: "Sesungguhnya yang terapung itu termasuk bangkainya.” 11. SETIAP HEWAN PEMAKAN KOTORAN, MAKA DAGINGNYA HARAM DIMAKAN Setiap jenis hewan jallaalah (pemakan kotoran : bangkai dan najis), maka dagingnya haram dimakan a. Dari Ibnu Umar ra. berkata: “Rasulullah melarang dari jalalah unta untuk dinaiki!” (Sahih, HR. Abu Daud no. 2558). b. Dalam riwayat lain disebutkan: “Rasulullah melarang dari memakan jallalah (binatang pemakan kotoran) dan memerah susunya." (HR. Abu Daud : 3785, Tirmidzi: 1823 dan Ibnu Majah: 3189). c. Dari Amr bin Syu'aib ra. dari ayahnya dari kakeknya berkata: “Rasulullah melarang dari keledai jinak dan jalalah, menaiki dan memakan dagingnya. "(HR Ahmad (2/219) dan dihasankan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648). 6 Al-Jalalah yaitu setiap hewan baik hewan berkaki empat maupun berkaki dua yang makanan pokoknya adalah kotoran-kotoran seperti kotoran manuasia/hewan dan sejenisnya (Fathul Bari; 9/648). Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf (5/147/24598) meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau mengurung ayam yang makan kotoran selama tiga hari. (Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648). Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (11/254) juga berkata: "Kemudian menghukumi suatu hewan yang memakan kotoran sebagai jalalah perlu diteliti. Apabila hewan tersebut memakan kotoran hanya bersifat kadang-kadang, maka ini tidak termasuk kategori jalalah dan tidak haram dimakan seperti ayam dan sejenisnya..." 7 KUMPULAN HADITS HALAL – HARAM HEWAN EKSOTIS Oleh : Nanung Danar Dono, S.Pt., MP. (Direct contact : 584036, 081 2277 6763) Rasulullah SAW. bersabda : “Wahai Sa’ad, perbaikilah (murnikanlah) makananmu, niscaya kamu menjadi orang yang terkabul do’anya. Demi yang jiwa Muhammad ada dalam genggamannya, sesungguhnya seorang hamba yang melontarkan sesuap makanan yang haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal kebaikannya selama 40 hari. Siapa pun yang dagingnya tumbuh dari barang yang haram, maka api neraka lebih layak membakarnya “(HR. ATh Thabrany). 1. IKAN DAN BELALANG Termasuk : Hiu, Singa laut, Anjing laut, dll (pemakan ikan) a. Firman Allah Swt. : “Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut.” (QS. Al-Maa`idah: 96) b. Dari Ibnu Umar berkata: "Dihalalkan untuk kalian 2 bangkai dan 2 darah. Adapun 2 bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang 2 darah yaitu hati dan limpa." (HR. Ahmad dan Ibnu Majjah; Shahih). c. Rasululah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda: "Laut itu suci airnya dan halal bangkainya." (Sahih; HR. Daraqutni: 538). d. Rasulullah ditanya tentang air laut, maka jawab beliau : “Dia (laut) adalah pensuci airnya dan halal bangkainya”. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah; dishahihkan oleh Imam Al-Bukhary). e. Syaikh Muhammad Nasiruddin Al--Albani berkata dalam Silsilah As-Shahihah (no.480): "Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut sekalipun terapung di atas air (laut)?”. Beliau menjawab: "Sesungguhnya yang terapung itu termasuk bangkainya.” Belalang : a. Ibnu Abu Aufa ra. berkata: “Kami berperang bersama Rasulullah SAW. sebanyak tujuh kali, kami selalu makan belalang”. (Muttafaq ‘Alaihi). 2. BINATANG BUAS (YANG BERTARING DAN BERKUKU TAJAM) Singa, Harimau, Beruang, Anjing, Kucing, Tikus, Serigala, dll. : a. Dari Abu Hurairah, Nabi SAW. bersabda: "Setiap binatang buas yang bertaring adalah haram dimakan" (HR. Muslim no. 1933). Hadits mutawatir menurut Imam Ibnu Abdil Barr dalam At-Tamhid (1/125) dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam I'lamul Muwaqqi'in (2/118119). b. Imam Ibnu Abdil Barr juga mengatakan dalam At-Tamhid (1/127): "Saya tidak melihat adanya persilangan pendapat di kalangan ulama kaum muslimin bahwa kera tidak boleh dimakan dan tidak boleh dijual karena tidak ada manfaatnya. Dan kami tidak mengetahui seorang ulama'pun yang membolehkan untuk memakannya. Demikian pula anjing,gajah dan seluruh binatang buas yang bertaring. Semuanya sama saja bagiku (keharamannya). Dan hujjah adalah sabda Nabi saw bukan pendapat orang....". c. Dari Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan berkuku tajam." (HR Muslim no. 1934) 1 d. Dari Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam." (HR Muslim no. 1934) e. "Setiap binatang yang bertaring dan binatang buas haram dimakan." (HR Muslim dan Tirmidzi) f. Abi Tsa’labah al Khusyani ra. berkata : “Sesungguhnya Rasulullah SAW. melarang untuk memakan daging binatang buas yang bertaring” (HR. Bukhary no. 5530 dan Muslim no. 1932). g. Imam Ahmad berkata : “Setiap binatang yang menggigit dengan taringnya, maka ia termasuk binatang buas!” Hukum Daging Anjing dan Kucing : a. Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Bila seekor anjing minum dari wadah milik kalian, maka cucilah 7 kali”. b. Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sucinya wadah kalian yang dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali salah satunya dengan tanah”. c. Bahwasanya Rasulullah SAW. diundang ke rumah suatu kaum, lalu baginda memenuhi undangan tersebut, kemudian baginda diundang ke rumah satu kaum yang lain namun tidak beliau penuhi. Lalu ditanya kepada Baginda Nabi kenapa? Baginda menjawab: "Sesungguhnya pada rumah si fulan itu ada anjing." Lalu dikatakan kepada baginda: "Dalam rumah si fulan (undangan pertama) ada kucing”. Baginda menjawab: "Sesungguhnya kucing bukan najis." (HR. Al-Daruquthni dan Al-Hakim). Hukum memelihara anjing : d. Abu Hurairah ra. berkata : Rasulullah SAW. bersabda: "Barangsiapa memelihara anjing kecuali anjing penjaga ternak, anjing pemburu, atau anjing penjaga tanaman- pahalanya akan dikurangi satu qirath setiap hari." (Muttafaq ‘Alaihi). Hukum berburu dengan anjing : e. 'Adiy Ibnu Hatim ra. berkata : Rasulullah SAW. bersabda: "Jika engkau melepaskan anjingmu (untuk berburu), maka sebutlah nama Allah padanya. Bila ia menangkap buruan untukmu dan engkau mendapatkannya masih hidup, maka sembelihlah. Bila engkau mendapatkannya telah mati dan anjing itu tidak memakannya sama sekali, maka makanlah. Bila engkau menemukan anjing lain selain anjingmu, sedang buruan itu telah mati, maka jangan engkau makan sebab engkau tidak mengetahui anjing mana yang membunuhnya. Apabila engkau melepaskan panahmu, sebutlah nama Allah. Bila engkau baru menemukan buruan itu setelah sehari dan tidak engkau temukan selain bekas panahmu, makanlah jika engkau mau. Jika engkau menemukannya tenggelam di dalam air, janganlah engkau memakannya." (Muttafaq ‘Alaihi; lafadznya menurut Muslim). 3. BURUNG YANG BERKUKU TAJAM : Elang, Garuda, dll. a. Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234): "Demikian juga setiap burung yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang, dan sejenisnya". b. Abdullah bin Abbas r.a. berkata : "Rasulullah saw. melarang memakan daging binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam (bercakar)" (HR Muslim no. 1934). c. Imam Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73: "Dalam hadits ini terdapat dalil bagi madzab Syafi'i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama tentang haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam." 2 4. BINATANG YANG BERTARING DAN BERKUKU TAJAM, TAPI BUKAN BINATANG BUAS : Musang (luwak), Tupai (bajing), Kelelawar (codot/lowo), dll. a. Dari Ibnu Abi Ammar berkata: “Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang musang, apakah ia termasuk hewan buruan ?” Jawabnya: "Ya". Lalu aku bertanya: “Apakah boleh dimakan?” Beliau menjawab: “Ya!”. Aku bertanya lagi : “Apakah engkau mendengarnya dari Rasulullah?” Jawabnya: “Ya!” (Shahih. HR. Abu Daud (3801), Tirmidzi (851), Nasa'i (5/191) dan dishahihkan Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, AlBaihaqi, Ibnu Qoyyim serta Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Habir (1/1507). 5. KUDA DAN KHIMAR AHLIYYAH (keledai jinak) a. Dari Jabir ra. berkata: "Rasulullah melarang pada perang khaibar dari (makan) daging khimar dan memperbolehkan daging kuda". (HR Bukhori no. 4219 dan Muslim no. 1941) b. Asma’ ra. berkata : “Kami menyembelih kuda pada jaman Rasulullah SAW. dan memakan dagingnya. Pada saat itu, kami telah berada di Madinah.” (HR. Bukhary-Muslim). c. Dari Atha' ra. bahwa beliau berkata kepada Ibnu Juraij : "Salafmu biasa memakannya (daging kuda)". Ibnu Juraij berkata : "Apakah beliau sahabat Rasulullah?” Jawabnya : “Ya.” (HR. Bukhari-Muslim; Subulus Salam (4/146-147) oleh Imam As-Shan'ani). d. Dari Jabir ra. berkata: "Pada perang Khaibar, mereka menyembelih kuda, bighal dan khimar. Lalu Rasulullah melarang dari bighal dan khimar dan tidak melarang dari kuda.” (Shahih. HR Abu Daud (3789), Nasa'i (7/201), Ahmad (3/356), Ibnu Hibban (5272), Baihaqi (9/327), Daraqutni (4/288-289) dan Al-Baghawi dalam Syarhu Sunnah no. 2811). 6. AL-JALLALAH (yaitu hewan pemakan kotoran dan bangkai) a. Dari Ibnu Umar ra. berkata: “Rasulullah melarang dari jalalah unta untuk dinaiki!” (Sahih, HR. Abu Daud no. 2558). b. Dalam riwayat lain disebutkan: “Rasulullah melarang dari memakan jallalah dan susunya." (HR. Abu Daud : 3785, Tirmidzi: 1823 dan Ibnu Majah: 3189). c. Dari Amr bin Syu'aib ra. dari ayahnya dari kakeknya berkata: “Rasulullah melarang dari keledai jinak dan jalalah, menaiki dan memakan dagingnya. "(HR Ahmad (2/219) dan dihasankan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648). Al-Jalalah yaitu setiap hewan baik hewan berkaki empat maupun berkaki dua yang makanan pokoknya adalah kotoran-kotoran seperti kotoran manuasia/hewan dan sejenisnya (Fathul Bari; 9/648). Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf (5/147/24598) meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa beliau mengurung ayam yang makan kotoran selama tiga hari. (Sanadnya shahih sebagaimana dikatakan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648). Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (11/254) juga berkata: "Kemudian menghukumi suatu hewan yang memakan kotoran sebagai jalalah perlu diteliti. Apabila hewan tersebut memakan kotoran hanya bersifat kadang-kadang, maka ini tidak termasuk kategori jalalah dan tidak haram dimakan seperti ayam dan sejenisnya..." 7. AD-DHAB (HEWAN MIRIP BIAWAK) BAGI YANG MERASA JIJIK DARINYA a. Dari Ibnu Abbas ra. dari Khalid bin Walid ra. bahwa : Beliau pernah masuk bersama Rasulullah SAW. ke rumah Maimunah. Di sana telah dihidangkan dhab panggang. Rasulullah SAW. berkehendak untuk mengambilnya. Sebagian wanita berkata : “Khabarkanlah pada Rasulullah tentang daging yang hendak beliau makan!”, lalu mereka 3 pun berkata : “Wahai Rasulullah, ini adalah daging dhab!” Serta merta Rasulullah mengangkat tangannya. Aku (Khalid bin Walid) bertanya : “Apakah daging ini haram wahai Rasulullah?” Beliau menjawab : "Tidak, tetapi hewan ini tidak ada di kampung kaumku sehingga akupun merasa tidak enak (merasa jijik) memakannya!” Khalid berkata : Lantas aku mengambil dan memakannya sedangkan Rasulullah melihat. (HR. Bukhari no. 5537 dan Muslim no. 1946). b. Hadits Abdullah bin Umar secara marfu' (sampai pada nabi). "Dhob, saya tidak memakannya dan saya juga tidak mengharamkannya." (HR. Bukhari no.5536 dan Muslim no. 1943) 8. HEWAN YANG DIPERINTAHKAN AGAMA SUPAYA DIBUNUH Ular, Burung Gagak, Tikus, Anjing, Burung Elang/Rajawali : a. Dari Aisyah ra. berkata: Rasulullah bersabda: “Lima binatang jahat yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu: ular, burung gagak, tikus, anjing galak, dan burung elang." (HR. Muslim). b. Rasulullah SAW. bersabda : “Ada 5 macam binatang fawwasik yang hendaknya dibunuh di tanah halal maupun di tanah haram, yaitu : rajawali, burung gagak, tikus, kalajengking, dan anjing gila!” (HR. Bukhary-Muslim). Imam ibnu Hazm mengatakan dalam Al-Muhalla (6/73-74): "Setiap binatang yang diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada sembelihan baginya, karena Rasulullah melarang dari menyia-nyiakan harta dan tidak halal membunuh binatang yang dimakan" (Lihat pula Al-Mughni (13/323) oleh Ibnu Qudamah dan Al-Majmu' Syarh Muhadzab (9/23) oleh Nawawi). Tikus (haram dan najis) : a. Dari Aisyah ra. berkata: Rasulullah bersabda: “Lima hewan fasik (al-hayyawan alfawwasik) yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus, anjing hitam." (HR. Muslim no. 1198 dan Bukhari no. 1829 dengan lafadz "kalajengking: gantinya "ular"). b. Maimunah ra. berkata bahwa Nabi SAW. ditanya tentang lemak (mentega) yang kejatuhan tikus. Maka beliau bersabda : “Buanglah tikusnya dan buang juga lemak yang berada di sekitarnya, lalu makanlah lemak kalian.” (HR. Bukhary). Tokek dan cicak : a. Dari Ummu Syarik ra. berkata bahwa : “Nabi memerintahkan supaya membunuh tokek / cecak" (HR. Bukhari no. 3359 dan Muslim 2237). Imam Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid (6/129) “Tokek/cecak telah disepakati keharaman memakannya". Ular : a. Rasulullah SAW. bersabda : “Bunuhlah ular!” (HR. Bukhary-Muslim) 9. HEWAN YANG DILARANG UNTUK DIBUNUH Katak (kodok), Semut, Burung Suroud, Burung Hud-hud : a. Dari Ibnu Abbas ra. beliau berkata: “Rasulullah melarang membunuh 4 hewan, yaitu : semut, tawon (lebah), burung hud-hud dan burung surad." (HR Ahmad (1/332,347), Abu Daud (5267), Ibnu Majah (3224), Ibnu Hibban (7/463) dan dishahihkan Baihaqi dan Ibnu Hajar dalam At-Talkhis 4/916). 4 b. Imam syafi'i dan para sahabatnya mengatakan: "Setiap hewan yang dilarang dibunuh berarti tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang membunuhnya." (Lihat Al-Majmu' (9/23) oleh An Nawawi). c. Dari Abdur Rahman bin Utsman Al-Qurasyi ra. mengisahkan bahwasanya : “Seorang tabib pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kodok/katak dijadikan obat, lalu Rasulullah melarang membunuhnya.” (HR Ahmad (3/453), Abu Daud (5269), Nasa'i (4355), Al-Hakim (4/410-411), Baihaqi (9/258,318) dan dishahihkan Ibnu Hajar dan Al-Albani). d. Dari Abu Hurairah ra. beliau berkata: “Rasulullah SAW. melarang membunuh shurod (burung Suradi), kodok, semut, dan burung hud-hud!” (HR. Ibnu Majah; shahih). e. Dari Ibnu Umar ra. beliau berkata : “Janganlah kalian membunuh katak, karena bunyi yang dikeluarkan katak adalah merupakan tasbih!” 10. KELINCI DAN SEJENISNYA Dari Anas bin Malik ra. berkata : “Kami mencari kelinci di Marr az-Zahran dan aku pun mendapatkannya. Lalu aku bawa kelinci itu kepada Abu Thalhah ra., beliau pun menyembelihnya dan mengirimkan daging paha kelinci tersebut kepada Rasulullah SAW., dan beliau pun menerimanya” (HR. Bukhary-Muslim) 11. LANDAK Abu Hurairah ra. berkata : “Dia (landak) haram dimakan.” 12. BINATANG YANG HIDUP DI 2 (DUA) ALAM Kepiting, Kura-kura, Penyu, Keong mas, Anjing laut, dll. Sejauh ini belum ada dalil dari al qur'an dan hadits yang shahih yang menjelaskan tentang haramnya hewan yang hidup di dua alam (laut dan darat). Dengan demikian binatang yang hidup di dua alam dasar hukumnya "asal hukumnya adalah halal kecuali ada dalil yang mengharamkannya”. Berikut contoh beberapa dalil hewan hidup di dua alam : a. KEPITING - hukumnya HALAL sebagaimana pendapat Atha' dan Imam Ahmad. (Lihat Al-Mughni 13/344 oleh Ibnu Qudamah dan Al-Muhalla 6/84 oleh Ibnu Hazm). b. KURA-KURA dan PENYU - juga HALAL sebagaimana madzab Abu Hurairah, Thawus, Muhammad bin Ali, Atha', Hasan Al-Bashri dan fuqaha' Madinah. (Lihat Al-Mushannaf (5/146) Ibnu Abi Syaibah dan Al-Muhalla (6/84). c. ANJING LAUT - juga HALAL sebagaimana pendapat Imam Malik, Syafi'i, Laits, Syai'bi dan Al-Auza'i (lihat Al-Mughni 13/346). Hewan ini pemakan ikan, bukan pemakan daging. d. KATAK/KODOK - hukumnya HARAM secara mutlak menurut pendapt yang rajih karena termasuk hewan yang dilarang dibunuh sebagaimana penjelasan di atas. 13. JANIN DALAM KANDUNGAN a. Abu Said al-Khudry ra. berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda: "(Cara) penyembelihan untuk janin adalah dengan menyembelih induknya." (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan, kecuali An-Nasa’i; shahih menurut Ibnu Hibban). Maksudnya, janin yang terdapat dalam hewan yang mati karena disembelih, maka halal hukumnya (tanpa harus disembelih). 5 14. BAGIAN YANG TERPOTONG DARI HEWAN HIDUP ADALAH BANGKAI a. Nabi SAW. bersabda : “Daging yang terpotong dari binatang yang masih hidup, maka ia (yang terpotong itu) adalah bangkai.” (HR. Ahmad). b. Nabi SAW. bersabda : “Bagian yang terpotong dari binatang yang masih hidup, maka ia adalah bangkai.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At Tirmidzi). 15. BERBURU a. 'Ady bin Hatim ra. berkata : Aku bertanya kepada Rasulullah SAW. tentang berburu dengan tombak. Beliau bersabda: "Jika engkau mengenakan dengan ujungnya yang tajam, makanlah; dan jika engkau mengenakan dengan tangkainya, kemudian ia terbunuh, maka ia adalah mati terkena pukulan dan jangan dimakan." (HR. Bukhary). b. Abu Tsa'labah berkata bahwa Nabi SAW. bersabda: "Jika engkau melepaskan panahmu, lalu buruan itu menghilang darimu, kemudian engkau temukan, maka makanlah selama ia belum membusuk." (HR. Muslim). c. Abdullah Ibnu Mughoffal ra. berkata bahwa Rasulullah SAW. melarang (berburu dengan cara) melempar batu. Beliau bersabda: "Ia tidak dapat memburu buruan, tidak menyakiti musuh, ia hanya meretakkan gigi dan membutakan mata." (Muttafaq ‘Alaihi; lafadznya menurut HR. Muslim). d. Ibnu Abbas ra. berkata bahwa Nabi SAW. bersabda: "Janganlah engkau jadikan sesuatu yang berjiwa itu sebagai sasaran." (HR. Muslim). e. Ka'ab Ibnu Malik ra. berkata bahwa ada seorang perempuan menyembelih seekor kambing dengan batu. Nabi SAW. ditanya tentang hal tersebut dan beliau menyuruh (mengijinkan) untuk memakannya. (HR. Bukhari). f. Rafi' Ibnu Khodij ra. berkata bahwa Nabi SAW. bersabda: "Apa yang dapat menumpahkan darah dengan diiringi sebutan nama Allah, makanlah, selain gigi dan kuku, sebab gigi adalah tulang sedang kuku adalah pisau bangsa Habasyah." (Muttafaq ‘Alaihi). g. Jabir Ibnu Abdullah ra. berkata: Rasulullah SAW. melarang membunuh suatu binatang dengan cara mengikatnya lalu memanahnya. (HR. Muslim). h. Syaddad Ibnu ‘Aus ra. berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda: "Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat kebaikan (ihsan) terhadap segala sesuatu. Maka jika engkau membunuh, maka hendaklah membunuh dengan cara yang baik dan jika engkau menyembelih, hendaklah menyembelih dengan cara yang baik, dan hendaklah di antara kamu mempertajam pisaunya dan memudahkan (kematian) binatang sembelihannya." (HR. Muslim). 6 SEPATU DAN TAS DARI KULIT BABI, TAWARAN MENGGIURKAN BAGI PARA HARTAWAN Oleh : Nanung Danar Dono, S.Pt., MP. Hati-hati bila membeli produk sepatu dan tas. Periksa dengan hati-hati, pastikan apakah bahan yang dipakai berasal dari kulit sintetis atau dari kulit binatang asli. Bila dari kulit binatang asli, pastikan apakah ia berasal dari kulit binatang yang diharamkan, seperti kulit babi. Cek terlebih dahulu dengan teliti, jangan sampai salah beli. Beberapa merk yang sebagian produknya memakai kulit babi, di antaranya adalah : Clarks , Hush Puppies, Kickers, Puma, Polo Club, Next, Beebug (anak-anak), dan Anyo (anak-anak). Informasi ini juga pernah dibahas di mailist Kibar (Keluarga Islam Indonesia di Brittania Raya). Kulit sepatu merk Beebug dan Anyo punya pola seperti kulit babi walaupun sudah diberi warna yang berlainan (pink, purple dll). Ketika ditanyakan kepada salesgirl-nya apakah bahan yang dipakai adalah kulit babi (pigskin), maka dijawab dengan bangga bahwa itu memang kulit babi. Dengan bangga dikatakan pula bahwa itulah keunggulan produknya. Pemakaian pig-skin akan menciptakan kenyamanan bagi pemakai, di samping tentunya empuk dan keringat tidak berbau. Sepatu merk-merk tersebut di atas banyak pula dijual di beberapa mall terkemuka di Indonesia, seperti di Plaza Indonesia (Jakarta). Sepatu Kickers pun punya pola yang sama. Pabrik sepatu Merk Next juga memberikan konfirmasi sama bahwa ada beberapa produknya yang memakai kulit babi. Mereka meminta konsumen bertanya sebelum membeli. Memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum penggunaan kulit babi sebagai bahan pembuatan produk-produk sepatu, tas, ikat pinggang, maupun dompet. Imam Syafi’i berpendapat bahwa apabila telah disamak, maka semua kulit binatang yang halal dagingnya boleh dipakai. Oleh karena itu, kulit babi tidak boleh dipakai, meski telah disamak terlebih dahulu. Oleh karena itu, kulit babi tidak boleh dipakai sebagai bahan sepatu. Selain dipakai sebagai bahan untuk membuat sepatu, kulit babi juga dipakai sebagai bahan pembuatan jaket, sarung tangan, tas, dll. Sarung tangan dengan bahan kulit babi pernah ditemukan di Sarinah Thamrin (Jakarta). Sementara belum ada laporan mengenai tas dan jaket berkulit babi dijual di Indonesia. Di luar negeri, termasuk di Tokyo, dijual secara terbuka. Imam Abu Hanifah memiliki pendapat yang sedikit berbeda. Beliau mengijinkan kulit dari semua jenis hewan (termasuk hewan haram) boleh dipakai setelah disamak, dengan satu pengecualian, yaitu : kulit babi. Oleh karena itu, kulit babi tidak boleh dipakai sebagai bahan sepatu. Ciri kulit babi dapat dilihat dengan jelas. Apalagi apabila dilihat secara langsung. Ada polanya, seperti ada poriporinya. Selain itu, ada tiga titik-titik kecil seperti tusukan jarum yang berdeketan. Ada yang membentuk garis lurus, setengah lingkaran atau segitiga. Sedangkan Daud az-Zahiri berpendapat lain. Beliau berpendapat bahwa setelah disamak, semua kulit hewan, baik yang dagingnya halal maupun yang diharamkan (termasuk kulit babi), dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, kulit babi boleh dipakai sebagai bahan sepatu. Apabila kita lihat secara langsung, maka Insya Allah kita akan langsung faham. Tanda titik 3 berpola segitiga (lubang tersebut mirip bekas tusukan jarum) merupakan tanda khas kulit babi, dan tidak dapat hilang mesti telah diolah/disamak. Allaahu a’laam bish-showwab. KHUTBAH SHOLAT IDUL FITHRI 1428 H DI MASJID KAMPUS – UNIVERSITAS GADJAH MADA BENARKAH SYARI’AT ISLAM TIDAK MANUSIAWI? Oleh : Nanung Danar Dono, S.Pt., M.P.1 Assalaamu ’alaikum Wr. Wb. Allaahu akbar 3X. Laa ilaaha illallaahu, Huwa-llaahu akbar! Allaahu akbar wa lillaahil hamdu. Segala puji bagi Allah Swt. yang telah melimpahkan kemudahan, barokah, kemuliaan, kebahagiaan, serta keselamatan bagi kita semua. Semoga Sholawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada Rasul Utusan Allah Muhammad SAW., beserta keluarga, shohabat, thobi’in, para alim ulama, serta para pengikut beliau hingga akhir jaman. Allaahu akbar 3X. Laa ilaaha illallaahu, Huwa-llaahu akbar! Allaahu akbar wa lillaahil hamdu. Hadirin jama’ah Sholat ‘Ied rahimakumullaah, Setiap tahun, umat Islam di seluruh belahan dunia merayakan Hari Raya Idul Fithri. Hari raya ini adalah salah satu hadiah Allah Swt. bagi umat Islam. Pada Hari Raya Idul Fithri, seluruh umat Islam merayakan kemenangan atas latihan pengendalian hawa nafsu. Selama sebulan penuh, latihan dilakukan dengan memasang rem yang sangat kuat dan memanfaatkannya untuk menahan agar nafsu perut (makan) dan nafsu di bawah perut (seksual) dapat dikendalikan. Tentunya, tidak banyak manfaatnya, bila kita memiliki rem, namun tidak kita manfaatkan sebagaimana mestinya. Maka bisa saja nafsu kita menjadi liar, segala sasuatu yang ‘terasa’ nikmat dilakukan, bahkan berzina dilakukan, mencuri dilakukan, berjudi dilakukan, korupsi dilakukan, bahkan memakan makanan dan harta haram juga dilakukan. Na’udzu billaahi min dzaalika! 1 Sekretaris Eksekutif LPPOM Majelis Ulama Indonesia Propinsi DIY dan Dosen Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta. Mobile phone : 081 2277 6763, [email protected] Syari’at Islam menuntunkan bahwa ibadah puasa dijalankan sematamata ditujukan untuk mendekatkan diri kita kepada Allah Swt. dan untuk mencapai predikat manusia yang bertakwa kepada Allah (QS. Al Baqoroh (2): 183). Untuk itu, bukanlah dikatakan sebagai ibadah bila seseorang berpuasa, namun hanya diniatkan untuk sekedar ikut-ikutan (taqlid) atau malu kepada atasan, malu kepada mertua, atau malu kepada besan. Allaahu akbar 3X. Laa ilaaha illallaahu, Huwa-llaahu akbar! Allaahu akbar wa lillaahil hamdu. Hadirin, jama’ah Sholat Idul Fithri 1428 H, yang kami hormati dan yang senantiasa dimuliakan Allah Swt. Sampai saat ini, umat Islam banyak dihadapkan pada tudingantudingan orang Barat, bahwa orang Islam adalah teroris, pengacau, anti ketenteraman, dll. Lihat saja, dimana-mana bom meledak!? Pelakunya (setidaknya, begitu yang ditudingkan) adalah orang Islam? Setiap pelaku yang tertangkap, selalu menggunakan identitas ‘ala’ orang Islam, seperti berjenggot, berkopiah, berbaju taqwa, atau dengan nama pelaku yang terkesan Islami (misal : Ali Imron, Imam Samudera, Nurdin M. Top, Dr. Azahari, dll.), atau orang yang berasal dari jazirah Arab (seperti : Abu Nidal, Usamah bin Laden, dll.). Hal tersebut seakan menguatkan justifikasi (tuduhan) mereka, bahwa Syari’at Islam memang tidak manusiawi! Begitulah tuduhan yang selalu dilontarkan oleh orang-orang Barat, Yahudi, dan Nashrani terhadap (penerapan) Syari’at Islam. Hujatan mereka ‘nampaknya’ seakan bukanlah omong kosong belaka. Akan tetapi, tuduhan tersebut sering disertai contoh-contoh riil yang membuat sebagian besar umat Islam kikuk dalam menjawabnya. Sebagai contoh, kita semua tahu bahwa setiap tahun masyarakat Islam merayakan ibadah Qurban. Ibadah tersebut merupakan perwujudan persembahan terbaik kita kepada Allah Swt. Ibadah Qurban dilaksanakan melalui prosesi penyembelihan hewan qurban (sapi, kambing, domba, unta, dll.) dengan cara tertentu. Daging-daging binatang qurban tersebut dibagibagikan kepada fakir miskin, masyarakat, dan sanak kerabat. Akan tetapi, kelebihan ini sering dikaitkan dengan suatu hadits ‘unik’ yang sering ‘diartikan lain’ oleh kaum misionaris. Hadist tersebut berbunyi: Rasulullah SAW. bersabda : “Sesungguhnya Allah menetapkan kebaikan (ihsan) pada segala sesuatu, maka jika kalian membunuh hendaklah kalian berbuat ihsan dalam membunuh, dan apabila kalian menyembelih, maka hendaklah berbuat ihsan dalam menyembelih, (yaitu) hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya agar meringankan binatang yang disembelihnya” (HR. Muslim). Hadits ini nampaknya agak sulit untuk dijelaskan. Betapa tidak, di dalamnya terkandung kalimat bahwa seakan Allah memerintahkan kita untuk ‘membunuh’, apalagi ada kata-kata, “…tajamkanlah pisaunya…!” Bukankah ini menunjukkan bahwa umat Islam memang dilatih untuk membunuh dengan kejam. Bahkan yang lebih nyata lagi, ada kalimat, “…meringankan binatang yang disembelih!” (Aneh, bukan?! Masak membunuh koq pakai kalimat basa-basi ‘meringankan binatang yang disembelih’! Padahal kita tahu, disembelih khan tentunya sakit sekali!?). Bagi kita, apapun haditsnya, bagaimanapun isinya, apapun konteksnya, yang jelas hadits ini adalah sebuah hadits shahih. Sebagai umat Islam, kita harus meyakini bahwa Syari’at Islam adalah syari’at yang ya’lu walaa yu’la ‘alaihi (yang terbaik dan paling baik dibandingkan yang lain). Akan tetapi, keyakinan kita sangat berbeda dengan pendapat orangorang Barat (Yahudi dan Nashrani). Menurut mereka, Syari’at Islam adalah contoh nyata betapa Islam betul-betul tidak manusiawi dan kelompok Islam adalah kelompok orang bejat, bengis, suka berbuat kejam, dan suka menganiaya binatang ternak. Bisa dibayangkan bahwa setiap tahun umat Islam mengikat sekelompok ternak, kemudian membantainya secara beramai-ramai. Ternak-ternak tersebut tidak berdaya, hanya bisa merontaronta, hanya mengerang-erang kesakitan. Betapa teganya orang Islam…! Menurut mereka, kalau kita ingin mengkonsumsi daging binatang ternak, maka haruslah dengan cara yang baik, tidak dengan menyiksa atau menganiaya ternak semacam itu. Cara yang terbaik, menurut mereka, adalah dengan memingsankan ternak terlebih dahulu, untuk selanjutnya disembelih setelah tidak sadar (pingsan). Pemingsanan dapat dilakukan dengan berbagai alat pemingsan, seperti : stunning gun, pembiusan, atau menggunakan arus listrik. Setelah pingsan, hewan tersebut tidak akan merasa kesakitan. Cara seperti ini mereka yakini sebagai cara yang terbaik, karena hewan tidak meronta-ronta, tidak nampak kesakitan, tidak nampak teraniaya, dan ‘sepertinya’ tidak merasakan sakit (karena telah pingsan). Metode pemingsanan yang dikatakan terbaik yang sering mereka lakukan adalah dengan cara memukul bagian tertentu di kepala ternak dengan kecepatan tertentu dan beban tertentu. Alat yang dipakai untuk membuat pingsan adalah Captive Bolt Pistol (CBP). Cara inilah yang mereka klaim sebagai cara terbaik dan paling manusiawi. Selain itu, cara ini dapat melindungi pekerja dari kemungkinan kecelakaan. Begitulah tuduhan dan hujatan mereka, dan nampaknya sangat sulit bagi kita untuk ‘membela diri’. Bahkan mungkin kita pun tidak bisa mengelak, atau bahkan mungkin sebagian dari kita malah membenarkan tuduhan tersebut! Na’udzu billaahi min dzaalika! Lalu, bagaimana cara menyikapinya? Menolak tanpa bisa memberi argumen (bantahan) atau menerima dengan setengah hati? Sebegitusulitkah kita meyakinkan diri bahwa Syari’at Islam adalah syari’at yang terbaik? Ingatlah akan firman Allah Swt. dalam QS. Al Baqoroh (2) : 120 yang artinya : “Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak akan pernah rela, hingga kamu mengikuti millah (keinginan) mereka…!” Secara nyata dalam ayat tersebut Allah tegaskan bahwa orang-orang Barat (terutama Yahudi dan Nashrani) selalu mencari-cari peluang dan kelemahan Islam. Berbagai upaya mereka lakukan untuk menjatuhkan wibawa (izzah) Islam. Berbagai cara mereka lakukan untuk mengalahkan Islam. Apabila kita terlena, maka sangatlah mungkin kita terbawa. Untuk itu, marilah kita berdo’a, berikhtiar, serta bertawakkal kepada Allah untuk menjawab masalah ini. Begitulah Kanjeng Nabi SAW. menuntun kita. Subhaanallah, di tengah-tengah kegundahan umat Islam, dengan sengaja Allah Swt. telah kirimkan jawabannya. Allah Swt. mengutus 2 orang staf ahli peternakan dari Hanover University, sebuah universitas terkenal di Jerman. Beliau berdua adalah Prof. Dr. Schultz dan koleganya, Dr. Hazim. Berdua beliau memimpin suatu tim penelitian yang terstruktur untuk menjawab pertanyaan: manakah yang lebih manusiawi dan paling tidak sakit, penyembelihan secara Syari’at Islam (tanpa proses pemingsanan), atau penyembelihan dengan cara Barat (dengan pemingsanan). Beliau berdua merancang penelitian sangat canggih mempergunakan sekelompok sapi yang telah cukup umur (dewasa). Pada permukaan otak kecil sapi-sapi tersebut dipasang elektroda tertentu (microchip) yang disebut Electro-Encephalograph (EEG). EEG dipasang pada permukaan otak yang menyentuh titik (panel) rasa sakit di permukaan otak. Alat ini dipakai untuk merekam dan mencatat derajat rasa sakit sapi ketika disembelih. Pada jantung sapi-sapi tersebut juga dipasang ElectroCardiograph (ECG) untuk merekam aktivitas jantung saat darah keluar. Untuk menekan kesalahan, sapi dibiarkan beradaptasi dengan EEG dan ECG (yang telah terpasang) beberapa pekan. Setelah masa adaptasi dianggap cukup, separuh sapi disembelih secara Syari’at Islam dan separuh sisanya disembelih secara Metode Barat. Syari’at Islam menuntunkan penyembelihan dilakukan dengan menggunakan pisau yang sangat tajam dengan memotong 3 saluran pada leher bagian depan (saluran makanan, saluran nafas, serta 2 saluran pembuluh darah, yaitu : arteri karotis dan vena jugularis). Syari’at Islam tidak merekomendasikan pemingsanan. Sebaliknya, Metode Barat (Western Method) mengajarkan ternak dipingsankan dahulu sebelum disembelih. Selama penelitian, grafik EEG dan ECG pada seluruh ternak dicatat untuk merekam keadaan otak dan jantung semenjak sebelum pemingsanan (atau penyembelihan) hingga hewan ternak benar-benar mati. Nah, hasil penelitian inilah yang kita tunggu-tunggu! Hasil penelitian Prof. Schultz dan Dr. Hazim di Hanover University Jerman adalah sebagai berikut : Penyembelihan menurut Tuntunan Syari’at Islam Pertama, pada 3 detik pertama setelah disembelih (dan ketiga saluran pada leher sapi bagian depan terputus), tercatat bahwa tidak ada perubahan pada grafik EEG. Hal ini berarti bahwa pada 3 detik pertama setelah disembelih tidak ada indikasi rasa sakit. Kedua, pada 3 detik berikutnya, EEG pada otak kecil merekam adanya penurunan grafik secara gradual (bertahap) yang sangat mirip dengan kejadian deep sleep (tidur nyenyak) hingga sapi-sapi tersebut unconsciousness (benar-benar kehilangan kesadaran). Pada saat tersebut, tercatat pula oleh ECG bahwa jantung mulai meningkat aktivitasnya. Ketiga, setelah 6 detik pertama tersebut, ECG merekam adanya aktivitas luar biasa dari jantung untuk menarik sebanyak mungkin darah dari seluruh anggota tubuh dan memompanya keluar. Hal ini merupakan refleks gerakan koordinasi antara otak kecil dan jantung melalui sumsum tulang belakang (spinal cord). Subhaanallah, pada saat darah keluar melalui ketiga saluran yang terputus di bagian leher, grafik EEG tidak naik, tapi justeru drop sampai ke zero – level (angka nol). Kedua ahli tersebut menterjemahkan sebagai : “No feeling of pain at all!” (tidak ada rasa sakit sama sekali!) Allaahu Akbar! Walillaahil hamdu! Keempat, oleh karena darah tertarik dan terpompa oleh jantung keluar tubuh secara maksimal, maka dihasilkan healthy meat (daging yang sehat) yang layak dikonsumsi oleh manusia. Jenis daging semacam ini diyakini sangat sesuai dengan prinsip Good Manufacturing Practice (GMP) yang menghasilkan Healthy Food. Penyembelihan ala Barat (Western Method) Pertama, segera setelah dilakukan proses stunning (pemingsanan), sapi terhuyung jatuh dan collaps (pingsan). Sapi tidak bergerak-gerak lagi sehingga sangat mudah dikendalikan. Oleh karena itu, sapi dapat dengan mudah disembelih, tanpa meronta-ronta, dan (nampaknya) tanpa rasa sakit. Pada saat disembelih, darah yang keluar hanya sedikit (tidak sebanyak bila disembelih tanpa proses stunning). Kedua, segera setelah proses pemingsanan, tercatat adanya kenaikan yang sangat nyata pada grafik EEG. Hal tersebut mengindikasikan adanya tekanan rasa sakit diderita oleh ternak segera setelah kepalanya dipukul. Ketiga, grafik EEG meningkat sangat tajam dengan kombinasi grafik ECG yang drop sampai batas paling bawah. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan rasa sakit yang luar biasa sehingga jantung berhenti berdetak lebih awal. Akibatnya, jantung kehilangan kemampuannya untuk menjalankan tugas menarik darah dari seluruh bagian organ tubuh, serta tidak lagi mampu memompanya keluar dari tubuh. Keempat, oleh karena darah tidak tertarik dan tidak terpompa keluar tubuh secara maksimal, maka dihasilkan unhealthy meat (daging yang tidak sehat), sehingga tidak layak dikonsumsi oleh manusia. Disebutkan dalam khasanah ilmu dan teknologi daging (dipelajari di Fak. Peternakan UGM), bahwa timbunan darah (yang tidak sempat keluar pada saat ternak mati/ disembelih) merupakan tempat yang sangat ideal bagi tumbuh kembangnya bakteri pembusuk yang merupakan agen utama perusak kualitas daging. Allaahu akbar 3X. Laa ilaaha illallaahu, Huwa-llaahu akbar! Allaahu akbar wa lillaahil hamdu. Maha Suci Allah! Meronta-ronta dan meregangkan otot pada saat ternak disembelih ternyata bukanlah ekspresi rasa sakit! Sangat jauh berbeda dengan dugaan kita sebelumnya! Bahkan mungkin sudah jamak menjadi keyakinan kita bahwa setiap darah yang keluar dari anggota tubuh yang terluka pastilah disertai rasa sakit dan nyeri. Lebih-lebih yang terluka adalah leher dengan luka terbuka yang menganga lebar…! Hasil penelitian Prof. Schultz dan Dr. Hazim berhasil membuktikan bahwa pisau yang mengiris leher (ref. Syari’at Islam) tidaklah ‘menyentuh’ saraf rasa sakit. Beliau berdua menyimpulkan bahwa ekspresi sapi meronta-ronta dan meregangkan otot bukanlah akibat rasa sakit, tetapi hanyalah ekspresi ‘keterkejutan saraf dan otot’ saja (yaitu pada saat darah mengalir keluar dengan deras). Mengapa demikian? Tentunya, hal ini tidak terlalu sulit dijelaskan (grafik EEG tidak menunjukkan adanya rasa sakit). Apabila telah disembelih, tetapi sapi tidak segera mati, bolehkah kita menusuk jantungnya? Semestinya, pantang bagi seorang muslim untuk menusuk jantung setelah sapi disembelih. Biarkan saja jantung menjalankan tugasnya memompa darah keluar tubuh. Semakin lama jantung memompa darah, maka semakin banyak darah dipompa keluar. Semakin sedikit timbunan darah dalam daging, maka dagingnya menjadi semakin awet. Hasil penelitian Blackmore (1984), Daly et al. (1988), Blackman et al. (1985), dan Anil et al. (1995) di 4 negara yang berbeda membuktikan bahwa setelah disembelih, sapi memerlukan waktu lebih lama untuk benar-benar mati. Hal ini diduga disebabkan oleh ukuran tubuh sapi yang lebih besar dibandingkan kambing, domba, rusa, ayam, dll. Untuk itu, sebaiknya kita menunda hingga sapi benar-benar mati dan tidak perlu menusuk jantungnya. Bila kita menusuk jantungnya, maka jantung akan sobek dan kehilangan fungsinya untuk memompa darah, sehingga darah tidak dapat maksimal terpompa keluar tubuh. Selain itu, sobeknya jantung diduga akan menimbulkan kejutan rasa sakit yang amat sangat bagi hewan ternak yang bersangkutan. Penyakit sapi gila (Mad Cow) bisa menular ke manusia Inggris dan Perancis adalah 2 jawara produsen (eksportir) daging sapi terbesar di dunia dan selalu saja terjadi perang dagang di antara keduanya. Menurut orang Inggris, pedagang Perancis bermain curang. Mereka mengirimkan suatu virus mematikan yang bisa menular antar ternak dan berpotensi menular ke manusia. Virus tersebut disebut Bovine Spongioform Enchephalopathy (BSE) yang sering pula disebut sebagai Virus Sapi Gila atau di negara asalnya lebih dikenal dengan istilah Mad Cow. David Schardt, ahli gisi dari Center for Science in the Public Interest (CSPI) Amerika, melaporkan bahwa ada beberapa daging beef steak dan hamburger yang dimakan orang Amerika saat ini yang mengandung materi/bagian otak. Apabila otak yang tercemar virus BSE ini dimakan oleh manusia, maka sangatlah mungkin orang tersebut tertular penyakit ini. Para ahli bekerja keras menelusuri asal muasal kisah material otak tersebut bisa sampai ke daging. Hasil penelitian menunjukkan bahwa material/jaringan otak tersebut dapat sampai ke daging sebagai akibat proses pemingsanan (stunning) sebelum disembelih. Sebagaimana pernah diberitakan Kantor Berita Inggris – Reuter, bahwa pada saat di-stunning, otak yang semula compact pecah selaputnya karena getaran dan tekanan yg sangat hebat. Akibat pemukulan tersebut, jaringan otak goyah, sehingga banyak material jaringan otak yang pecah berhamburan. Material otak tersebut kemudian terbawa darah mengalir menuju beberapa organ tubuh. CSPI juga menyebutkan bahwa peneliti di Universitas Texas A&M dan Canada's Food Inspection Agency (Badan Pemeriksa Makanan Kanada) menemukan kenyataan bahwa metode yang dikenal sebagai Pneumatic Stunning dapat mengakibatkan pecahnya jaringan otak dan terbawa dalam sistem jaringan tubuh sapi. Lebih lanjut Tam Garlan, ahli Bidang Kedokteran Hewan dari Universitas Texas A&M menyatakan di CSPI's July Newsletter, bahwa pneumatic stunning tersebut mengakibatkan partikel mikroskopis jaringan otak pecah dan serpihannya terbawa oleh darah ke paru-paru, hati, serta beberapa organ tubuh lainnya. Bagaimana dengan penyembelihan sesuai Syari’at Islam? Leila Corcoran (BICNews, 25 Juli 1997) menulis suatu artikel yang berjudul Cattle Stun Gun May Heighten "Madcow" Risk (Senjata Pemingsan Sapi dapat Meningkatkan Resiko Penularan Penyakit ’Sapi Gila’). Beliau menyimpulkan bahwa tidak ada lagi yang meragukan bahwa metode penyembelihan (tanpa pemingsanan) lebih baik dibandingkan cara yang lain. Metode ini ditetapkan di dalam Al Qur’an. Allah adalah Pencipta Kitab Suci Al Qur’an dan Allah Swt. sangat mengerti apa yang terbaik bagi kita! Sebagai umat yang beriman, kita harus yakin dengan Syari’at Islam dan tiada keraguan di dalamnya (QS. Al Baqoroh: 2). Akhir kata, marilah kembali kita haturkan rasa syukur kita kepada Allah Swt. atas berbagai curahan kemuliaan dan barokah-Nya. Semoga Allah tetapkan bagi kita sekeluarga masa depan yang terbaik, jalan kehidupan yang terbaik, akhir kehidupan yang terbaik, dan tempat terbaik di sisi Allah Swt. (jannah). Allaahu akbar 3X. Laa ilaaha illallaahu, Huwa-llaahu akbar! Allaahu akbar wa lillaahil hamdu. Wassalaamu ’alaikum Wr. Wb. Research Paper Summary report Experiments for the objectification of pain and consciousness during conventional (captive bolt stunning) and religiously mandated (ritual cutting) slaughter procedures for sheep and calves. By W. Schulze, H. Schultze-Petzold, A.S. Hazem, and R. Gross The Animal Welfare Act of 24 July 1972 (TierSchG) assumes the basic concept of an ethically orientated animal welfare legislation. It further stipulates that the standards for evaluating the obligation to protect animals should not so much be the result of human sensitivities and emotional, but to be increasingly replaced by exact and representative scientific knowledge of standards and requirements specific to animal species and correspondent to their behaviour (Ertl. 1972). The Act thus conforms to the changing attitude of man to the life circumstances and legitimate welfare entitlements of animals, a development which can also be noticed internationally. The rules for animal welfare founded on scientific standards of evaluation mean for many of the regulated welfare concerns, e.g. the keeping and transportation of animals, a necessity to clarify individual scientific and subject-specific issues. This clarification is a precondition for a continued reform of animal welfare. This applies in particular to the third section of the TierSchG, which deals with the killing of animals. The provisions of this section are further directly connected to the law on slaughter, which thus assumes the legal position of a special legislative part of the Animal Welfare Act. This fundamental integration of the law on slaughter within the Animal Welfare Act has been explicitly confirmed by a vote of the Council of Federal States dated 25 October 1963. At that time the Council of Federal States refused to authorise the draft of a Third Directive on the Modification of the Directive on the slaughter of animals by the Federal secretary of state for Nutrition, Agriculture and Forestry (BML) giving the following reasons: The regulations of the Law on slaughter (Act and directions on implementation on the slaughter of animals dated 21 April 1933) are to be seen in their totality as part of the topic Animal Welfare, which is to be seen as an independent and complete legal matter in the Stunning v Slaughter Research Project - Hannover University 1978 1 meaning of the decision of the Federal Constitutional Court dated 11 May 1955 (BverfGE 4, 128-184). The Law on slaughter is therefore an integrated part of the Animal Welfare Act and included in the general reform of the Animal Welfare Act demanded by parliament and the public. According to article 4, para. 1 TierSchG a vertebrate must only be killed after being stunned or otherwise, where reasonable under the given circumstances, without afflicting pain. Where the killing of a vertebrate is permitted without stunning, e.g. due to other legislation, the killing must only be carried out with no more than the inevitable pain. This binding general provision of the TierSchG must equally be the basis of the reformed Law on slaughter. With regard to the slaughter of hot-blooded vertebrates the task of a scientific clarification of the processes during stunning and killing becomes paramount here. In other words: a full-scope scientific investigation of existing ideas of the start, course and extent of the reduction of perceptiveness and the sensitivity to pain including its expiration. This means: clarity about the relation between stunning and killing. The term consciousness should be avoided. From an animal welfare rights perspective stunning here means a measure which moves the animal to be slaughtered as quickly as possible and without fear into a condition of complete loss of sensitivity and perception; the time factor does play an important role here. This is followed by the killing, normally by way of bloodletting, which transforms the animal to be slaughtered into a carcass. Investigations of the effectiveness of stunning an animal to be slaughtered must in todays understanding be based on the possibility of measuring pain reactions. There are a number of publications on the various methods of stunning animals for slaughter. However, their conclusions are so far predominantly based on subjective methods of evaluation and contain little scientific evidence. Recently, critical essays on the effectiveness of current methods of stunning animals for slaughter are on the increase (Cantieni, 1977; Scheper, 1977). In the Netherlands a committee (De Studiecommissie Bedwelming Slachtdieren) was established for the same reason in 1975, and its most important task is to advice the government on reliable methods of stunning animals for slaughter with regard to animal welfare. For ruminants the captive bolt stunning device is the usual stunning device. In recent decades it has been accepted for use all over the world. Whereas this device has been recognised legally for stunning animals for slaughter nationally and internationally only very few experimental works on this method have been published to date. A particular cause for a careful evaluation is not at least the information by Arlt (1971) that 3 of 9 patients (suicide attempt) remained conscious for longer periods of time in spite of severe penetrating brain injuries after a bolt shot in the frontal and temporal regions. For animals, here specifically with regard to the slaughterhouse situation, a loss of sensitivity and perception (stunning) can only be assumed when the animal lies completely without movement after the respective measure and does not show any reaction to given Stunning v Slaughter Research Project - Hannover University 1978 2 pain stimuli. On the other hand, we know from daily experience that captive bolt stunning, in its various applications, can lead to different reactions. A knowledge and observation of the necessary strength of the physical force applied in order to have the required mechanical effect on the brain seems equally important here as the point of application and direction of application of the bolt. There are hardly any experiments available for the purpose of ensuring a definite stunning of the animal to be slaughtered. The preparatory considerations for the restructuring of the slaughter legislation for cows, calves and sheep also had to include the slaughter of these animals in accordance with religiously mandated regulations without prior stunning (so-called ritual slaughter). Since long, factual, legal, and ethical issues confront each other inextricably in this matter. The opposition to a stunning-free slaughter has a long history. For example, the executive committee of the Federation of Animal Welfare Associations petitioned the Imperial German Parliament already in 1895 to proscribe the stunning-free slaughter. In 1910, 612 German slaughterhouse veterinarians and 41 German veterinary associations described stunning-free slaughter as cruelty to animals in a declaration to the Imperial German Parliament and demanded a legal prohibition. Even before, in 1901, 441 out of 463 experts described the stunning-free slaughter as contrary to animal welfare in a questionnaire aimed at all veterinarians as well as university lecturers at veterinary colleges and professors of physiology in the then German Empire (Spitaler, A., 1965). Representatives of animal welfare present the same opinion today not only nationally, but also internationally. For example, the representatives of the World Animal Welfare Association and the International Society for Animal Welfare participating as observers in the deliberations of the Animal Protection Committee of the Council of Europe in Strasbourg for the creation of a European Agreement on Animal Welfare during Slaughter stated the following, amongst other things, about their strict opposition of slaughter of ruminants in accordance with religious regulations (ritual cutting): Ritual slaughter as such means considerable pain for the animals. Further: The connection between the central and the peripheral nervous systems is not severed by the ritual cut; in addition the vertebral artery remains intact, which results in bovine animals in the brain continuing to a degree to be supplied with blood. And: As brain impulses (electroencephalogram) and the capability of coordinated movement can still be observed some time after the ritual cut, it must be assumed that the sensation of pain also continues for some time. These considerations were presented by the observers mentioned as the result of a discussion with scientific experts in veterinary medicine at the university Munich in November 1996 (Council of Europe, Committee of Experts on the Protection of Animals, 1976). Representations of this kind have long been challenged by equally thorough studies and observations of other established experts. For example, Bongart (1927) pointed out on the basis of very extensive studies on the ritual slaughter of calves carried out with his colleagues Hock, Muchlinsky and Schellner, that where ritual slaughter has been carried out properly on animals, the resistance movements observed could no longer be interpreted as signs of consciousness and sensation of pain. He reaches the conclusion with regard to calves that no cruelty to animals of whatever kind can be found in the Stunning v Slaughter Research Project - Hannover University 1978 3 application of the ritual slaughter method. As an example of a similar view of more recent years the representations of Spoerri (1964) on the topic Animal welfare and ritual slaughter can be cited. He reached the conviction on the basis of observations on some 50 ritually slaughtered animals, as well as related experiments on rabbits, sheep, goat, and cows under laboratory conditions, that the ritual slaughter of animals did not cause any or at least no more pain than killing after captive bolt, electric or CO2 stunning. The studies of Levinger (1976) are of a similar nature. Schultze-Petzold (1973) characterises the scientific debate of these issues during a lecture on the imminent creation of a European Agreement on the Welfare of Animals in the Committee Animal Protection of the Council of Europe as follows: Those familiar with the national and international literature on this problem must note that the problem of causing and sensing pain and the elimination of consciousness and its criteria already existed before the turn of the century with regard to the slaughter methods at the centre of the evidence and counter-evidence of the cruelty of animals assumed in this case with the exception of the issue of laying down the animal to be slaughtered, which today seems resolved by using the hydraulic tilting equipment. All these considerations and attempted experiments last carried out comprehensively by veterinary medicine some 40 years ago are only more or less hypothetical in their conclusions. For example they are not or only insufficiently able to make any statements on the kind and intensity of the brain function linked to consciousness. This is, of course, mostly due to the inadequacy of methodological possibilities at the time. Practically we are today, when tackling the reform of the Law on slaughter, still faced with a situation that with regard to the beginning and extent of the loss of perception and sensitivity and the stimulation of sensing pain and its discontinuation, whether using captive bolt stunning or ritual slaughter, there is no scientifically secure evidence available. The precondition of such generally valid evidence is comparative studies aiming at the objectification and measurability of pain and consciousness processes. This is furthermore a highly topical issue in general medicine, as it comes close to the question of where life ends and death begins. One need only refer to the discussion on the timing of the right to remove organs for human transplantation. The research of human medicine into the physiology of the senses has in this respect turned intensively to modern methodological possibilities of discovery and has since developed these into a useful objectification of these questions. Here the electroencephalogram (EEG) most certainly plays a key role. This poses the question for the Federal ministry of nutrition, agriculture and forestry (BML) when starting work on the reform of the Law of slaughter: Should it not be possible, after an adjustment for the various models of animals for slaughter, to find ways through this kind of method to reach within a reasonable time a scientifically sound and predominantly objective statement on the processes relevant for animal welfare during conventional as well as ritual slaughter of hot-blooded animals? In 1971 and 1973 the BML discussed this theoretical approach for a scientific clarification of the issues at stake during talks with representatives of the Rabbinical Conference and Stunning v Slaughter Research Project - Hannover University 1978 4 the Central Council of Jews in Germany, and the spiritual management of Muslim refugees in the Federal Republic of Germany, respectively. At the same time the religiously mandated factors applying to the ritual slaughter were clarified with these religious communities. It was made clear that the respective religiously mandated provisions of both religions continue to be binding for their members. As this conclusion has until recently been repeatedly questioned with regard to the members of the Islamic faith in the Federal Republic of Germany, a statement on the topic by the Turkish Government representative in the Committee Animal Protection of the Council of Europe, Strasbourg, during the creation of the above-mentioned European Agreement on Animal Welfare during slaughter is partly quoted here: Turkey investigated the possibility of the electric stunning of animals for slaughter. It must be noted that this procedure violates the expectations of the Turkish people as well as the rules of the Muslim faith (Council of Europe, Committee of Experts on the Protection of Animals, 1976). During this preliminary work the BML asked experts of the various branches of learning mentioned in a meeting in early 1974 to present their experiences and ideas. Both the general discovery of the physiology of the senses relevant to this matter as well as all potential methodological possibilities were discussed, not least with regard to their adaptation to the models of animals for slaughter cow, calf, sheep and any necessary initial experiments. The discussion was guided by the following questions: 1. What do we know and what can be measured using instruments? 2. What do we not yet know or do not know sufficiently? 3. What can be made measurable using instruments? This does not merely concern the ritual slaughter complex, but also the scientifically proven definition of the term stunning during captive bolt stunning. It needs to be established whether the captive bolt does with the respective animals to be slaughtered definitely cause a Commotio cerebri which only leads to unconsciousness after shaking the limbic system. Otherwise the captive bolt method would only cause a Contusio in these animals to be slaughtered, which generally would only lead to a motor paralysis. Aim of the expert consultation was mainly an answer to the question: Does the current state of methodology permit the experimental study of the pertaining scientific questions in principle? The minutes of this expert meeting on 7-9 February 1974 at the BML contain the following summary of results: The experts discussed the anatomical, physiological and clinical issues in depth with regard to the current methodological possibilities. Special emphasis was given to the species-specific variations and the comparability to analogous human experiences. The experts mainly agree that, especially due to the different anatomical starting conditions for the animal species under consideration, a principal comparability must not be assumed from the outset. This also applies to the respective age categories (e.g. calf/cow). Relevant research is being advocated. When investigating the methodological possibilities, the key candidates are: EEG, blood pressure and brain pressure measurements, angiography, reflex studies, and functional investigations of the Stunning v Slaughter Research Project - Hannover University 1978 5 adrenocortis. During initial experiments measurements should be as extensive as possible, in order to reveal unidentifiable correlations. During questioning the experts appeared to place special emphasis on the factor time/pain, as for a future legislative regulation both terms are of equal importance. Initially investigations using EEG together with electrocardiagram (ECG) and blood pressure and reflex measurements appear promising, followed by checking the adrenocortial function (adrenalin corticosteroid discharge) with horizontal catheter (BML AZ. 321 2971.4 60/73). Following the decision of the expert group the BML issued on 1st July 1974 a research brief on the topic Objectification of pain and consciousness in the context of conventional and ritual slaughter of ruminants (initially sheep and calves) to Prof Dr W Schulze, director of the Clinic for small clawed animals and forensic medicine and mobile clinic of the veterinary university of Hanover. Within the research work of that clinic religious, physiological, and technical issues of ritual slaughter had been dealt with in a comprehensive study since the time of Kunkel (1962). The research brief issued by the BML demanded a gradual development of the studies. The mastery of electrode technology and electrode implantation for the animal species concerned, the mastery of external electricity by building a Faraday cage for the experiments, and the preliminary experiments on rabbits must be mentioned as the first significant steps of the study. The individual work approaches required for this have since been published (Weber, 1975; Freesemann, 1976, and Gross, 1976). Early June 1977 the Clinic for small clawed animals and forensic medicine and mobile clinic of the veterinary university of Hanover published a short report on this research brief (Hazem, A.S., Gross, R., Schulze, W., 1977). These documents reveal the following: The investigations carried out aimed at providing objective data for the evaluation of ritual slaughter from an animal welfare legislation point of view. As part of the research project the effectiveness of captive bolt stunning was first analysed using EEG. Comparable data about the ritual slaughter were then gained using the same method of deduction and evaluation. The ritual cut experiments were carried out on 17 sheep of the breed black headed meat sheep and 15 calves of various breeds. To further investigate the occurrence of low frequency potentials in sheep stunned by captive bolt followed by a bloodletting cut, six sheep were stunned in a second phase of the experiment by captive bolt and then bled at various intervals. The approach of these studies can be summarised as follows: Experiments for measuring the heart frequency and brain activity during slaughter conditions were carried out on 23 sheep and 15 calves. After implanting permanent electrodes into the Os frontale the cerebral cortex impulses were measured for 17 sheep and 10 calves during ritual slaughter and for 6 sheep and 5 calves during captive bolt application with subsequent bloodletting. Some sheep were additionally subjected to thermal pain stimuli after the ritual cut. The investigations had the following results: a) For slaughter by ritual cut: Stunning v Slaughter Research Project - Hannover University 1978 6 1. After the bloodletting cut the EEG initially is the same as the EEG before the cut. There is a high probability that the loss of reaction took place within 4 6 seconds for sheep and within 10 seconds for calves. 2. The zero line in the EEG was recorded no later than after 13 seconds for 17 sheep and no later than 23 seconds for 7 calves. 3. Thermal pain stimuli did not cause an increase in activity. 4. After the cut the heart frequency rose for calves within 40 seconds to 240 heart actions per minute and for sheep within 40 seconds to 280 heart actions per minute. b) For slaughter after captive bolt application: 1. After captive bolt stunning all animals displayed most severe general disturbances (waves of 1-2 Hz) in the EEG, which almost with certainty eliminates a sense of pain. 2. The zero line in the EEG was reached for 4 calves after 28 seconds. 3. For two sheep the cerebral cortex activity only stopped in one half of the brain, whilst it continued in the other in the region (up to 3.5 Hz) until the bloodletting cut. 4. The bloodletting cut resulted for all animals in a brain activity (e and d waves). 5. Thermal pain stimuli caused an increase in activity in one sheep. 6. The heart frequency rose directly after stunning to values above 300 actions per minute. In summary the following conclusions are possible: 1. Slaughter after captive bolt stunning A. Calves After captive bolt stunning most severe general disturbances (waves of 1-2 Hz) occurred in the EEG, which almost with certainty eliminates a sense of pain. B. Sheep Similar disturbances were also seen in sheep, but besides the somewhat higher frequency there are still clearly superimposed waves. For one animal waves could be recorded after pain stimuli until after the 200th second. Apparent cramps were registered for all sheep with the exception of one animal. 2. Slaughter in the form of ritual cut A. Calves Stunning v Slaughter Research Project - Hannover University 1978 7 After the bloodletting cut loss of reaction (loss of consciousness) occurred with high probability within 10 seconds. A clear reaction to the cut could not be detected in any animal. For 7 animals a zero EEG was recorded no later than after 23 seconds. Cramps occurred in the animals regularly only after the brain currents had stopped. B. Sheep After the bloodletting cut loss of reaction (loss of consciousness) occurred after 10 seconds the latest. A clear reaction to the cut could not be detected in any animal. The zero line was recorded no later than 14 seconds after the cut. Cramps only occurred after the zero line had been detected and were much shorter than after captive bolt stunning. The slaughter in the form of ritual cut is, if carried out properly, painless in sheep and calves according to the EEG recordings and the missing defensive actions. During the experiments with captive bolt stunning no indications could be found for proscribing this method for calves. For sheep, however, there were in parts severe reactions both to the bloodletting cut and the pain stimuli. A proof of the reliable effectiveness of captive bolt stunning could not be provided using the methods applied. These first experiments carried out under clinical conditions and the insights for the correlations of sensory physiology during stunning/slaughter of small ruminants initially lead to the following factual and legal considerations for the preparation of legislation: These experiments on sheep and calves carried out within a clinic show that during a ritual slaughter, carried out according to the state of the art using hydraulically operated tilting equipment and a ritual cut, pain and suffering to the extent as has since long been generally associated in public with this kind of slaughter cannot be registered; the ritual slaughter carried out under these experimental conditions complies with the requirements of article 4 para. 1 TierSchG. The EEG zero line as a certain sign of the expiration of cerebral cortex activity and according to todays state of knowledge also of consciousness occurred generally within considerably less time than during the slaughter method after captive bolt stunning. Nobody can dispute that any slaughter of animals is an aesthetically loaded process. Thus the wide-spread emotional resistance to kill an animal, which has not been stunned, by cutting the throat, is understandable. Certainly the psychological argument for stunning the animal to be slaughtered must be considered to some degree for the person carrying out the slaughter or consuming the meat of these animals. Whether these initial findings of objective data on the processes of consciousness/pain made possible by the research brief are sufficient to somewhat alter existing opinions in the sense of the scientific orientation of animal welfare as demanded by the TierSchG, remains to be seen. They need to be followed as a high priority by further investigations in the continuation of the scientific clarification of the issues of loss of pain and consciousness during slaughter of this kind with and without stunning using the same experimental approach with a Stunning v Slaughter Research Project - Hannover University 1978 8 representative number of grown cows of various breeds. A new research brief is already due to be issued to a different scientific institute. The objective results presented for the captive bolt application in sheep show that here a satisfactory prevention of pain could not be proven with clinical methods; rather it indicates that the captive bolt device used is suspect. Therefore, research work in this field is also urgently required. This must be concerned with achieving an appropriate standardisation of the charge size, to ensure the rapid loss of perception and sensation in animals of different kinds and sizes. Similarly, the optimal dimension of the captive bolt must be found and finally the best shooting position and direction during application of the captive bolt device for the respective type of animal for slaughter. This must be based on the experience that the results gained for one species cannot simply be transferred to another. Further a subsequent regulation of the official approval for stunning devices, the methods of application after scientific review and a regular notification of approved devices must already be considered, as must a regular official audit of approved devices used for stunning. An appropriate training of the personnel concerned is also intended. On the whole the insights into responses of the cerebral cortex to invasion and interference with the organism of an animal for slaughter gained through the existing research brief should also give rise to placing the research of sensory physiology in animals increasingly in the centre of veterinary medicinal research. Why should the measurable brain functions not also be given particular relevance during diagnostics! Finally a few thoughts on the relevance of new scientific findings for existing law: New scientific findings and the results presented are only a very first contribution which show that the ritual cut causes a very rapid loss of consciousness have an immediate bearing only if the practice ritual slaughter comes under the heading of causing pain (articles 1 and 4 para. 1 TierSchG). They do not affect the requirement for stunning contained in article 4 para 1 TierSchG and the Law on slaughter of 1933 with the exception of the religious slaughter/ritual cut protected as part of the freedom of religious practice by the higher-order constitutional law. New findings of this kind may make the original considerations on this issue for including the requirement of stunning into the above-mentioned laws appear irrelevant. As laws do, however, remain in force irrespective of the causes which lead to their enactment, such findings are to this extent without consequence. It must, however, be considered separately to what degree and in which way such findings should be considered during the restructuring of the Law on slaughter. The same applies with regard to the stunning requirement demanded in the directive of the Council of European Communities dated 18 November 1974 on the stunning of animals prior to slaughter (1974). Here too, new scientific findings can only give rise to deliberations, whether such an instruction is or maybe continues to be factually justified, but they cannot question the validity of this instruction. New findings must, therefore, be left out of the consideration to what extent the national Law of Slaughter meets the demands of the above-mentioned directive. They can only be relevant when determining Stunning v Slaughter Research Project - Hannover University 1978 9 the special cases in article 3 of the above-mentioned EC directive, as the religiously mandated ritual slaughter/ritual cut included as an exemption should be re-evaluated against the background of legal reasoning. Summary The deliberations on the restructuring of the Law of slaughter must with respect to the area stunning/killing mainly follow the guidelines of article 4 TierSchG. The Law of slaughter is seen as an integral part of the Animal Welfare Legislation. This stipulates generally that the standards of evaluation for the protection of animals should increasingly be oriented on exact and reproducible scientific findings. The approach, preparation, and implementation as well as the results of a research project of the BML at the Clinic for small clawed animals and forensic medicine and mobile clinic of the veterinary university of Hanover in the context of conventional (captive bolt stunning) and ritual (ritual cut) slaughter of small ruminants are being reported. The insights gained through comparative investigation into the sensory physiological processes during the slaughter of these animals differ in parts greatly from existing conceptions. The necessary conclusions are being discussed and finally the effects on the legal situation are being commented on. From Deutsche Tieraerztliche Wochenschrift (German veterinary weekly) volume 85 (1978), pages 62-66 translated by Dr Sahib M. Bleher, Dip Trans MIL Stunning v Slaughter Research Project - Hannover University 1978 10 Muslim Council of Britain Response to DEFRA Consultation process on FAWC REPORT ON THE WELFARE OF FARMED ANIMALS AT SLAUGHTER OR KILLING - PART 1: RED MEAT ANIMALS Evaluation of religious slaughter is an area where many people have lost scientific objectivity. This has resulted in biased and selective reviewing of the literature. Politics have interfered with good science. Grandin & Regenstein(1994) 1. The Muslim Council of Britain (MCB) is the largest Muslim umbrella organization with over four hundred national, regional and local Muslim bodies and associations including mosques as its affiliates. It aims to enable the Muslim community to realise its full potential by participating in and contributing to the mainstream society. 2. Islam is a way of life, governed by what is prescribed in the Holy Qur’an and by the traditions of the Prophet Mohammed, peace be upon him. Our dietary laws are well defined. While consumption of meat is allowed, this concession is not without responsibilities. There is clear guidance on which animals can be consumed for food and which are prohibited. Together with the permission to kill animals comes the guidance on how the animal should be reared, grazed, what they should be fed, how they should be slaughtered in one swift stroke by severing both carotid arteries, jugular veins, esophagus, and trachea, using a very sharp knife. These guidelines provided to us over 1400 years ago epitomize the basic principles of animal welfare that make religious slaughter most humane – it is the least painful method of slaughter. 3. We believe in the wisdom of this Divine Code of Practice; it is important that we follow this Code in its totality; we cannot pick and choose from these principles. 4. The right to practice our faith is enshrined in Article 9 of the European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms. UK legislation makes provision for religious slaughter by exempting Muslims and Jews from stunning animals before they are slaughtered (Welfare of Animals at Slaughter (or Killing), Regulations 1995, Part IV, Regulation 22). 5. The Farm Animal Welfare Council’s (FAWC) statement in Para 201, “Slaughter without pre-stunning is unacceptable and that the Government should repeal the current legislation” is misleading and is not based on objective evidence - Para 194 states, ‘it is difficult to measure pain and distress during the slaughter process in an objective manner’. This is not the first time FAWC have made such a recommendation; a similar demand in their previous report (1985) was also rejected after representations from the affected religious communities. The arguments presented then have not changed – in fact they have been strengthened by scientific publications1, 2,3. 6. While we welcome the Government’s decision to reject recommendation 61 (para 201) we take strong issue with the conclusion that “on balance, animals (especially cattle) slaughtered without pre-stunning are likely to experience very significant pain and distress before insensibility supervenes". This has caused much disquiet and unrest among the community and distracted from wider constructive discussion with the community on finding ways of improving animal welfare and enforcing WASK regulations. 7. Objective evaluation of published scientific evidence clearly shows how attention to the design and operation of slaughterhouse and careful handling of cattle reduces fear and distress among the animals. Religious slaughter is the least painful and most humane method, it does not compromise animal welfare or pose risk to human health. 8. The work of Grandin1 and of Schulze et al2(ignored by FAWC, is also summarized below. Grandin considered three main areas: a) Features that keep the animals calm and reduce stress (applicable to both religious as well as mainstream slaughter after stunning): Design features in the slaughterhouse (lairage, non-slippery flooring, solid walls, non-reflective surfaces, lowering of noise), Use of Upright Body and head restraint systems Automated conveyor track If handled gently and calmly, cattle enter voluntarily into the box, ‘Cattle will place their heads in a well-designed head restraint device that is properly operated by a trained operator4. b) Pain perception during incision1: Use of very sharp knife, at least twice as long as width of the neck Adequately trained, experienced operator Swift cut, avoiding see saw movements Severance of carotid arteries on both sides 2 Reaction ‘no more than a flinch’ when the throat is cut, No further reaction of the animal’s body or legs during the throat cut, ‘it appears that the animal is not aware that its throat has been cut’ c) Time to loss of sensitivity: Calm cattle collapsed quickly (often within 10 to 15s) and have a more rapid onset of insensibility. severing both carotid arteries and jugular veins (required by WASK Religious slaughter Regulation significantly reduces the time to loss of sensitivity Using rapid cutting stroke (95%) of calves collapse almost immediately5. Conversely, a slow knife stroke retained consciousness for up to 30 seconds in up to 30% cattle. It is clear therefore, that provided attention is given to the design, construction and operation of the slaughterhouse, appropriately trained personnel are employed to handle animals appropriately, religious method is the least painful and most humane method of slaughter. That this evidence is based on work with cattle is further proof that on balance cattle slaughtered without pre-stunning DO NOT experience very significant pain and distress’. It is only appropriate, therefore that the Government rescind their statement that animals (especially cattle) slaughtered without prestunning are likely to experience very significant pain and distress. Islamic method of slaughter is most humane and least painful: A study carried out by Prof Schulze and colleagues at the School of Veterinary Medicine, University of Hanover, Germany 2 has shown that EEG recordings in animals slaughtered by the Islamic ‘halal’ method did not show any change from the graph before slaughter during the first 3 seconds - indicating thereby that the animal did not feel any pain. The EEG recordings of the following 3 seconds showed a condition of deep sleep – unconsciousness; due to large quantity of blood gushing out of the body. Following these 6 seconds, the EEG recorded zero level while the ECG showed heart beating and body convulsing – a reflex action of the spinal cord); simultaneous ECG recordings showed rapid pulse. EEG recordings of animals that were subjected to stunning by the captive bolt method were apparently unconscious soon after stunning but the EEG showed severe pain immediately after stunning followed by cardiac arrest. 3 Stunning and Animal Welfare problems: Several methods are used for stunning animals. Each method has its inherent problems and failure rate. Re-stunning is difficult to achieve and subjects the animals to considerable pain and distress. ‘Mis-stunned’ animals may not be detected and conscious animals go through the process that is meant for unconscious animals. Stunned animals (e.g. by electrical ‘head only’ method) regain consciousness before slaughter - the stunning-sticking time has to be shorter than is achievable in practice. Grandin advises 10 sec stunto-stick time (while FAWC recommend 20 sec). In practice this short stun-to-stick time is difficult to achieve. Consequently greater pain and suffering will be endured by millions of animals (nearly one in five of the 37.3m red meat animals) that will regain consciousness but go through the mechanized procedures in the abattoir as if they are unconscious: Animal Species Total killed Cattle Sheep Pigs Total 2.3 m 18.7 m 16.3 m 37.3 m Stunned animals regaining consciousness Number Percentage 0.23 5.00 1.80 7.03 m m m m 10.0% 26.7% 11.0% 19.0% Thus one-in-five animals intended to be slaughtered / killed while unconscious is in fact conscious. Animals subjected to mainstream slaughter methods indeed undergo ‘very significant pain and distress’. We agree with FAWC’s statement “welfare assessment concerns individual animals; the more animals which are affected, the more serious is the problem’ – 7.3m in this case. The report observes that only a small number of electrical stunning systems are used installed in Great Britain (para172), the equipment in use had ‘nothing to indicate the currents applied or under load’, Para 178 highlights the need to “produce guidance for 4 slaughterhouse operators on recognizing an effective stun/kill when using electrical equipment on cattle”. These observations do not inspire confidence that electrical stunning of cattle provides a means of improving animal welfare. In addition to the process of electrical stunning, a process of spinal depolarization is carried out before the animal is ejected from the stunning crate (para 173). This additional procedure is necessary to protect operators from injury otherwise caused by ‘reflex movement’ in the stunned animals. This appears to be an additional opportunity for mishaps. Risk to human health & safety – vCJD associated with BSE: Stunning can spread germs in the abattoir environment6. Captive bolt stunning scatters the brain into the major parts of the animal’s body such as heart, lung, liver, thus posing a risk to human health7,8,9. Certain forms of captive bolt methods have been shown to increase the risk of BSE prompting the SSC of EU to ban pithing and pneumatic methods. In Para 162 FAWC refer to concerns ‘about the use of captive bolt stunners also prove in the light of nvCJD’. FAWC go on to state, “the potential loss of this tool without a suitable substitute would present major animal welfare challenge.” Slaughter without stunning offers a suitable substitute to captive bolt, electrical methods and to the use of aversive gases. The notion that stunning solves all animal welfare problems is simply not true; stunning creates more problems than it solves. It is likely that other forms of stunning may be shown to increase the risk of spread of BSE or other diseases. Illegal Slaughter – an animal welfare issue not addressed in FAWC Report: In recent years there has been much publicity about illegal slaughter, diseased and emaciated carcasses entering food chain. At their recent Annual Conference the Chartered Institute of Environmental Health joined several welfare organisations and professionals who have expressed concern over the increasing number of animals involved in illegal slaughter and the entry of meat unfit for human consumption in the food chain. “Meat crimes threaten public health, violate people’s religious belief and abuse their trust and frequently involve cruelty to animals.”11 5 There is no mention of this aspect of animal welfare in FAWC report. After arms and narcotics the trade in illegal meat is considered to be the third biggest illegal trade estimated to be worth up to £1bn a year.10 Recommendation 62 (Para 203): Until the current exemption which permits slaughter without pre-stunning is repealed, Council recommends that any animal not stunned before slaughter should receive an immediate post-cut stun. MCB Response: The benefits of slaughterhouse design, animal handling, use of appropriately designed restraints, severance of both carotids – together provide substantial animal welfare benefits. What is the point of subjecting the animal to pain twice? Recommendation 63 (Para 210): The law should be changed to permit the bleeding of pigs and sheep within sight of their con-specifics in England and Wales, provided that a maximum stun to bleed time of 15 seconds is set down in legislation. MCB Response: Islamic rules of slaughter do not allow killing of an animal in front of another. Therefore we do not accept this recommendation and wish to ensure that this is not introduced as a requirement. Recommendation 65 (Para 213): The law should require that bleeding should be carried out by severing both carotid arteries. MCB Response: Islamic method of slaughter includes severance of both carotid arteries and jugular veins and is required as part of the WASK 1995 regulation (Religious Slaughter). We accept this recommendation and suggest that it should also be included for mainstream slaughter. 6 Summary: The statement “Slaughter without pre-stunning is unacceptable and that the Government should repeal the current legislation” (para 201) is misleading and not based on any objective evidence. We welcome the Government’s decision to reject this recommendation. The Government, however, have given the wrong reason for the rejection their conclusion that “on balance, animals (especially cattle) slaughtered without pre-stunning are likely to experience very significant pain and distress before insensibility supervenes" is incorrect and is based on selective information and not on objective evidence. This has caused much disquiet and unrest among the community and distracted from wider constructive discussion. The Islamic method of slaughter is the most humane and least painful, achieves stun and kill in one step and prevents the spread of BSE / vCJD. It is only appropriate that they rescind this statement. We endorse recommendation 65 (para: 213), requiring ‘bleeding to be carried out by severing both carotid arteries’. Doing so will bring mainstream WASK in line with current requirement in religious slaughter legislation. The notion that stunning solves all animal welfare problems is simply not true; stunning creates more animal problems than it solves. 7 References: 1. Grandin & Regenstein (1994) Religious slaughter and animal welfare: a discussion for meat scientists” Meat Focus International – March 1994, pages 115 – 123, CAB International 2. Schulze, W; Schultze-Petzold, H; Hazem, A S; Gross, R Deutsche Tieraeztliche Wodenschrift, 1978, vol 85(2): 62-66, 3. Rosen, S D (2004) Physiological Insights into Shechita Vet Rec (2004), 154, 759 - 765 4. Grandin T: Observations of cattle restraint devices for stunning and slaughtering Animal Welfare 11992, p 85 – 91 5. Grandin T (1987) High speed double rail restrainer for stunning or ritual slaughter International Congress of Meat Scientists and Technology; 1987 pages 102-104 6. Daly et al: Stunning can spread germs in the abattoir environment, Applied Environmental Microbiology, 2002, 68(2), 791 7. 8. 9. 10. Moore, RR; Love, S et al. Dissemination of brain emboli following Captive Bolt Stunning of sheep: capacity for entry into the systemic arterial circulation, Journal of Food Production, 2004, vol 67(5) pp 1050 – 52 Love, s; Helps, CR; Williams, S et al Methods of detection of haematogenous dissemination of brain tissue after stunning of cattle with captive bolt guns J of Neuroscience Methods 2000 p 53-58 Prendergast, DM; Sheridan, JJ; Daly, DJ et al Dissemination of central nervous system tissue from the brain and spinal cord of cattle after captive bolt stunning and carcass splitting, Meat Science, 2003;pp1201 – 1209 Teinaz, Yunes (2004) Meat Crimes in the UK The Royal Society for the Promotion of Health, Guest Lecture, 19th May 2004 June 23, 2004 8