SKEMA MANFAAT DAN PENGGUNAAN BABI

advertisement
SKEMA MANFAAT DAN PENGGUNAAN BABI
Oleh
Nanung Danar Dono, S.Pt., M.P.
Dosen Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta dan
Sekretaris Eksekutif/Auditor Halal LPPOM MUI Propinsi DIY
LEMAK
DAGING
× Lemak & gliserin : softdrink, bahan
kosmetik (facial, hand & body lotion),
sabun, bahan roti, dll.
× Sumber protein hewani yang murah
(lebih murah dari daging sapi), banyak
tersedia di pasaran.
× Emulsifier : Lesitin, E471, dll.
× Daging babi empuk, serat halus, dan
rasanya lezat.
× Lard (lemak babi) : coklat, pengempuk
/ pelezat rerotian, masakan, dll..
× Minyak : penyedap masakan
× Dapat dipakai sebagai campuran
bakso, siomay, bakmi goreng, dll.
TULANG
× Industri pariwisata : patung, dll.
× Industri makanan/minuman : arang
tulang sebagai filter penyaring air
mineral.
× Industri obat : gelatin sebagai bahan
soft capsule dan soft candy (permen).
× Industri pertukangan : bahan lem, dll
× Bahan starter Vetsin (kasus Ajinomoto)
ORGAN DALAM
BULU
× Transplantasi : ginjal, hati, jantung
× Bahan kuas (BRISTLE): kuas roti,
kuas cat tembok, kuas lukis.
× Plasenta : kosmetika (facial, hand &
body lotion), sabun, dll.
Laporan Badan Pusat Statistik (2002) :
× Usus : sosis, benang jahit luka, dll.
Periode Januari – Juni 2001, Indonesia mengimpor
boar bristle & pig/boar hair se-jumlah 282,983 ton
(senilai 1.713.309 US $)
KOTORAN
Bulu kuas : plastik atau bulu babi?
× Pupuk tanaman apel di Jepang
Ambil 1 helai, bakar! Bagaimana baunya? Bila
baunya sama dengan bau rambut/kuku
binatang yang terbakar, maka itu adalah bulu
binatang (bau protein keratin)
× Pupuk sayuran (Baturraden,,
Temanggung, Wonosobo, dll.)
For further information, please contact :
mobile (HP) 07707 398 546 or email : [email protected], [email protected].
× Enzim pencernaan : amilase, lipase,
tripsin, pankreatin, pepsin, dll.
KULIT
× Industri kulit (leather handicrafts):
tas, sepatu, dompet, dll.
MADHOROT (KEJELEKAN) BABI
Apa saja madhorot babi? Mengapa Allah
melarang umat Islam mengkonsumsi daging babi
dan atau memanfaatkan seluruh anggota tubuh
babi? Berikut disajikan beberapa alasan kenapa
babi diharamkan :
1. Babi adalah kontainer (tempat penampung)
penyakit. Beberapa bibit penyakit yang
dibawa babi :
a. Cacing pita Taenia solium
b. Cacing spiral Trichinella spiralis
c. Cacing tambang Ancylostoma duodenale
d. Cacing paru Paragonimus pulmonaris
e. Cacing usus Fasciolopsis buski
f. Cacing Schistosoma japonicum
g. Bakteri Tuberculosis (TBC)
h. Bakteri kolera Salmonella choleraesuis
i. Bakteri Brucellosis suis
j. Virus cacar (Small pox)
k. Virus kudis (Scabies)
l. Parasit protozoa Balantidium coli
m. Parasit protozoa Toxoplasma gondii
n. dll.
2. Daging babi empuk. Meskipun empuk dan
terkesan lezat, namun karena banyak mengandung lemak, daging babi sulit dicerna.
Akibatnya, nutrien (zat gizi) tidak dapat dimanfaatkan tubuh.
3. Prof. A.V. Nalbandov (Penulis buku : Adaptif Physiology on Mammals and Birds) menyebutkan : kantung urine (vesica urinaria)
babi sering bocor, sehingga urine babi
merembes ke dalam daging. Akibatnya,
daging babi tercemar kotoran yang mestinya
dibuang bersama urine.
4. Lemak punggung (back fat) tebal dan
mudah rusak oleh proses ransiditas oksidatif
(tengik), tidak layak dikonsumsi manusia.
5. Babi merupakan carier virus/penyakit Flue
Burung (Avian influenza) dan Flu Babi
(Swine Influenza). Di dalam tubuh babi, virus AI (H1N1 dan H2N1) yang semula tidak
ganas bermutasi menjadi H1N1/H5N1 yang
ganas/mematikan dan menular ke manusia.
6. Prof. Abdul Basith Muh. Sayid menuturkan
berbagai penyakit yang ditularkan babi:
a. Pengerasan urat nadi.
b. Naiknya tekanan darah.
c. Nyeri dada yang mencekam (Angina
pectoris).
d. Radang (nyeri) pada sendi-sendi tubuh.
7. Dr. Murad Hoffman (Doktor ahli & penulis
dari Jerman) menulis :
a. Memakan babi yang terjangkiti cacing
babi tidak hanya berbahaya, tapi juga
menyebabkan peningkatan kholesterol
tubuh dan memperlambat proses penguraian protein dalam tubuh.
b. Mengakibatkan penyakit kanker usus,
iritasi kulit, eksim, dan rheumatik.
c. Virus-virus influenza yang berbahaya hidup dan berkembang di musim panas
karena medium (dibawa oleh) babi.
8. Penelitian ilmiah di Cina dan Swedia menyebutkan bahwa daging babi merupakan penyebab utama kanker anus dan usus besar.
9. Dr. Muhammad Abdul Khair (penulis buku :
Ijtihaadaat fi at Tafsir Al Qur’an al Kariim)
menuliskan bahwa daging babi mengandung
bemih-benih cacing pita dan Trachenea
lolipia. Cacing tersebut berpindah kepada
manusia yang mengkonsumsi daging babi.
Penyakit lain yang ditularkan :
a. Kholera babi (penyakit menular berbahaya yang disebabkan bakteri).
b. Keguguran nanah (disebabkan bakteri
prosilia babi).
c. Kulit kemerahan yang ganas (mematikan) dan menahun.
d. Penyakit pengelupasan kulit.
e. Benalu Askaris, berbahaya bagi manusia.
10. DNA babi mirip dengan manusia, sehingga
sifat buruk babi dapat menular ke manusia.
Beberapa sifat buruk babi :
a. Binatang paling rakus, kotor, dan jorok
di kelasnya.
× Kerakusannya tidak tertandingi hewan lain.
× Suka memakan bangkai dan kotorannya sendiri.
× Kotoran manusia pun dimakannya.
× Sangat suka berada di tempat yang
basah dan kotor.
× Untuk memuaskan sifat rakusnya,
bila tidak ada lagi yang dimakan, ia
muntahkan isi perutnya, lalu dimakan
kembali.
× Kadang ia mengencingi pakannya
terlebih dahulu sebelum dimakan.
b. Babi adalah binatang pemalas, tidak
agresif, tidak suka mencari pakan, suka
dengan sejenis & tidak pencemburu,
tidak tahan sinar matahari, pemalas &
tidak punya hasrat membela diri.
c. Ust. Muhammad Umar Abduh (Perancis)
menuturkan bahwa babi menularkan sifat
suka berzina.
MENGKAJI AYAT SECARA LEBIH BERHATI-HATI
BENARKAH ALKOHOL HARAM?
BENARKAH ALKOHOL HALAL
Oleh :
Nanung Danar Dono, S.Pt., MP.
Sekretaris Eksekutif LPPOM MUI DIY
(07707 398 546, [email protected])
Kenapa kita sibuk dengan istilah Alkohol,
padahal tidak ada satu pun ayat Qur’an maupun
Hadits Nabi yang menyebutkan bahwa Alkohol diharamkan! Bahkan di jaman Sahabat Nabi pun
istilah ini belum dikenal. Bila dicermati, larangan
yang ada adalah mengkonsumsi KHAMR!
Allah Swt. berfirman dalam Kitab Suci Al
Qur’an sebagai berikut :
Ketika kita ditanya, “Apakah bir haram?”
Maka kita dapat dengan mudah menjawab : “Oh,
jelas HARAM…!” Mengapa? Karena mengandung alkohol yang cukup tinggi dan memabukkan.
Karena sangat jelas hukumnya, maka tentu seorang
muslim yang biasa ke masjid akan merasa risih
berdekatan dengan minuman beralkohol tersebut.
Akan tetapi, ketika kita ditanya bagaimana
hukum Bir Bintang 0% Alkohol dan Greensand
0% Alkohol? Sebagian kita langsung mengatakan
keduanya “HALAL” karena tidak mengandung
alkohol. Akan tetapi, sebagian yang lain
mengatakan dengan tegas: “HARAM”, bukan
memabukkan!
Lalu, bagaimana dengan TAPE, baik tape
ketela (maupun peuyeum Bandung) dan tape
ketan? Hampir spontan seluruh orang di sekitar
kita mengatakan tape halal! Tapi, begitu disodori
informasi bahwa kandungan alkohol tape sekitar 7
% (bahkan bisa sampai 10%), maka sebagian di
antara kita akan mengatakan “Ohh…berarti
haram?!” Sebagian lagi bimbang karena sering
memakan tape tidak pernah ada masalah.
Kita sering bingung dengan makhluk yang
namanya ALKOHOL ini. Bagaimana sebenarnya
Syari’at Islam mengatur mengenai masalah ini?
Sampai berapa persen alkohol masih diijinkan
berada dalam bahan makanan?
“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah
kamu sholat , sedang kamu dalam keadaan mabuk,
sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan…”. QS. An Nisaa’ (4) : 43
“Mereka bertanya kepadamu tentang Khamr
dan judi. Katakanlah : “Pada keduanya terdapat
dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia,
tetapi dosa keduanya lebih besar lebih besar dari
manfaatnya”. Dan mereka bertanya…” QS. Al
Baqoroh (2) : 219
“Hai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan anak
panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan syaithon! Maka jauhilah perbuatan-perbuatan tersebut agar kamu mendapat keberuntungan”.
QS. Al Maa’idah (5) : 90
Nah, ternyata kata kuncinya adalah AlKhamru dan bukannya Al-Kohol. Menurut
pengertian bahasa, al khamru (khamr) berarti
sesuatu yang menutup akal pikiran. Al khamru
berarti tertutup, dan khamarahu berarti satarahu
(menutupi). Khamr sendiri berarti minuman
keras yang memabukkan.
Umar ra. berkata : “Setiap (makanan dan
minuman) yang bisa menutupi (menghilangkan)
akal fikiran disebut khamr/arak” (HR. Bukhary
dan Muslim).
Pada hadits lain, Nabi SAW. menambahkan:
“Setiap yang memabukkan berarti khamr,
dan setiap khamr hukumnya haram” (HR. Bukhary
dan Muslim).
Mengacu pada sabda Kanjeng Nabi SAW.
tersebut, maka berarti setiap sesuatu yang memabukkan adalah khamr dan setiap khamr hukumnya
adalah haram.
Islam memandang bahwa khamr adalah
ummul khaba’its (sumber dari segala perbuatan
keji), serta miftahu kulli syarrin (kunci segala
kemaksiatan). Buanyak sekali terjadi berbagai
jenis kejahatan yang diawali dengan kondisi
mabuk. Untuk itu, kita mesti sangat berhati-hati
dengan khamr ini!
ADA BERAPA MACAM KHAMR?
Khamr terdiri dari 2 jenis, yaitu khamr yang
mengandung alkohol dan khamr yang tidak
mengandung alkohol. Contoh khamr yang mengandung alkohol adalah : beraneka macam bir
(Whisky, Scotch, Brandy, Wine Bir, Stella Artois,
Tennent’s, Tequilla, dll.), aneka jenis arak masak
(ang ciu/arak merah, arak putih, arak mie, arak
gentong, sake, sari tape, dll.), aneka bahan roti
beralkohol (rhum, essence beralkohol, dll.),
beraneka cairan yang mengandung alkohol dan
sejenisnya (metanol, etanol, butanol/spiritus,
propanol, dll.), serta produk-produk lain, seperti :
kirsch, spirits, dll.
Kemudian, contoh khamr yang tidak mengandung alkohol adalah : ganja, morfin, opium,
marijuana, sabu-sabu, extacy, serta beraneka jenis
obat yang tergolong psikotropika. Psikotropika ini
termasuk mukhadirot dan masuk dalam golongan
al khamr. Seluruh produk tersebut di atas mengakibatkan mabuk atau hilangnya kemampuan mengendalikan diri.
BAGAIMANA HUKUM TAPE DAN
MINUMAN BIR 0% ALKOHOL
MUI telah meneliti permasalahan ini, dan
meskipun mengandung alkohol sampai 7-10%,
ternyata tidak ada satupun pihak yang melaporkan
bahwa tape memabukkan. Oleh sebab itu, MUI
Pusat mem-fatwakan bahwa tape (tape ketela, tape
ketan, brem Madiun, dll.) hukumnya adalah halal
dikonsumsi.
Begitu pula dengan buah-buahan yang mengandung alkohol tinggi (4-8%) seperti : durian,
lengkeng, sirsak, nangka, dll. Ternyata tidak ada
satupun ayat Qur’an maupun Hadits Nabi SAW.
yang mengharamkan buah-buahan tersebut. Mengapa? Karena ketika kita konsumsi dalam jumlah
banyak, ternyata hal tersebut tidak menjadikan kita
mabuk atau kehilangan akal/kesadaran.
Sebaliknya, meskipun tidak mengandung senyawa alkohol sama sekali (benarkah?!), namun
karena tetap ada unsur memabukkan, maka Komisi
Fatwa MUI Pusat menyatakan bahwa Bir Bintang
0% alkohol dan Greensand 0% alkohol haram.
Mengapa MUI Pusat menghukumi kedua
jenis produk tersebut haram? Alasannya adalah
kedua jenis produk tersebut memenuhi salah satu
kaidah fiqih dalam penetapan hukum (haram) :
1. Al hukmu yadluru ma’al illati (Hukum itu
ditetapkan karena ada sebab). Karena beberapa
pihak melaporkan bahwa ternyata ketika
mengkonsumsi Bir Bintang 0% alkohol atau
Greensand 0% alkohol tetap merasa mabuk,
maka kedua jenis produk tersebut akhirnya
dihukumi haram!
2. Al washilatu illa haramun haram (Segala
sesuatu yang menyerupai suatu produk haram
maka dihukumi haram). Oleh sebab itu, pengimitasian pada produk haram (bir) menjadikan
kedua jenis produk tersebut dihukumi haram!
BAGAIMANA KALAU SEDIKIT
Beberapa jenis obat flue cair, seperti : OBH,
OBH Combi Plus, Woods, Benadryl, Vicks, Vicks
Formula 44, Tonikum Bayer, dll. ternyata
mengandung alkohol atau etanol. Di antara produk
tersebut ternyata ada yang mengandung alkohol
atau etanol hingga 6 % (bahkan ada yang lebih).
Untuk itu, MUI Pusat meminta umat Islam untuk
memilih jenis obat lain yang tidak menggunakan
alkohol sebagai pelarut. Dengan kata lain, obatobat jenis tersebut di atas digolongkan haram. Mengapa? Khan, alkoholnya hanya sedikit dan pasti
tidak memabukkan. Hal tersebut memang benar,
tetapi harap dicatat bahwa asal dari bahan alkohol
(atau etanol) yang dicampurkan adalah alkohol/
etanol murni yang bila dikonsumsi memabukkan.
Nah, meskipun sedikit, tetapi karena ditambahkan
pada obat tersebut, maka obat flue cair tersebut
dihukumi haram. Hal ini mengacu pada hadits
Nabi SAW. yang menyebutkan :
“Minuman apapun kalau banyaknya memabukkan, maka (minum) sedikit (dari minuman itu)
juga haram” (HR. Bukhary dan Muslim)
Selain itu, Rasulullah SAW. juga bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah menurunkan penyakit
dan obatnya, dan menjadikan untuk kamu bahwa
tiap-tiap penyakit ada obatnya. Oleh karena itu,
berobatlah, tetapi janganlah berobat dengan
sesuatu yang haram” (HR. Abu Daud).
Serta dikuatkan oleh hadits : “Khamr itu
bukan obat, tapi penyakit” (HR. Muslim, Ahmad,
Abu Daud, dan Tirmidzi).
Kanjeng Nabi SAW. sendiri mengatakan
bahwa khamr bukanlah obat (tapi penyakit). Lalu
mengapa kita lebih percaya kepada teman (yang
bukan Rasul utusan Allah), lebih-lebih dukun!
Na’udzu billaahi min dzaalika! Sebagai hamba
Allah yang beriman, maka sudah sepatutnyalah
kita mempercayai sabda Rasulullah SAW. Kita
harus selalu haqqul yaqin (sangat yakin) bahwa
Sabda Nabi SAW. selalu benar.
ADAKAH PRODUK LAIN YANG
MENGGUNAKAN KHAMR
Ada beberapa produk yang tidak kita sangka
ternyata mengandung khamr. Produk-produk tersebut di antaranya adalah :
1. COKLAT yang mengandung khamr, seperti
alkohol, etanol, brandy, whisky, kirsch, spirit,
wine, dll.
2. KUE & ROTI yang menggunakan khamr
berupa RHUM, seperti yang sering dipergunakan pada : roti Black Forest, cake, sus fla, dll.
3. BAKMIE & SEA FOOD yang menggunakan
khamr berupa ANGCIU, seperti pada : masakan ikan (sea food), Chinese food, Japanese
food, bakmie ikan, dll.
Selain Ang Ciu (Arak Merah), jenis khamr
lain yang sering dipergunakan dalam aneka masakan adalah : Peng Ciu (Arak Putih), Arak Mie,
Arak Gentong, Sari Tape, serta Mirin dan Sake
(di Jepang). Tentunya, karena termasuk dalam
golongan khamr, seluruh jenis arak tersebut di atas
HARAM dipakai sebagai salah satu bahan dalam
masakan (QS. Al Maa’idah : 90).
Wahai Saudaraku seiman! Marilah kita lebih
berhati-hati dengan setiap makanan/minuman yang
masuk ke dalam tubuh kita dan keluarga kita.
Janganlah sampai kita menyesal karena telah
melakukan perbuatan nista tanpa kita sadari
(karena kita mabuk). Satu-satunya jalan untuk
selamat adalah mengikuti Syari’at Islam secara
kaffah. Janganlah kita mengikuti langkah-langkah
Syaiton, karena syaiton adalah musuh yang nyata
bagi kita semua. Allahu a’lam bish-showwab.
HATI-HATI TERHADAP
BAHAN HARAM PADA KOSMETIKA
Oleh :
Nanung Danar Dono, S.Pt., MP.
Titik kritis kehalalan produk kosmetika
Beberapa macam bahan baku kosmetika dan
produk kecantikan yang harus diperhatikan status
kehalalannya adalah:
1. Kolagen dan elastin
Kolagen adalah sejenis protein jaringan ikat
yang liat dan bening kekuning-kuningan.
apabila kena panas, kolagen akan mencair
menjadi cairan yang agak kental seperti lem.
Kosmetika saat ini menjadi kebutuhan yang
tidak terpisahkan dari dunia kaum hawa (akhwat).
Kosmetika ini seakan-akan menjawab kegelisahan
kaum hawa yang sering merasa kurang cantik bila
belum bersentuhan dengan kosmetika. Setelah
menggunakan kosmetika, para wanita akan merasa
lebih percaya diri, merasa lebih cantik, dan lebih
menarik perhatian.
Kosmetika adalah bahan yang sengaja
dipakai untuk tujuan lebih mempercantik penampilan diri si pemakai. Diharapkan oleh pemakai,
bagian tubuh yang dikenai kosmetika akan tampil
lebih cantik, lebih menarik, lebih lembut, lebih
muda, lebih segar, dan lebih menawan.
Apabila dikelompokkan, maka terdapat
bermacam-macam kosmetika. Menurut bentuknya,
kosmetika dapat dibedakan menjadi kosmetika
yang berbentuk bedak, lotion, gel, dan padat.
Kosmetika yang berbentuk bedak (serbuk)
dapat dipakai pada seluruh anggota tubuh, terutama muka, badan, dan anggota gerak (tangan dan
kaki). Kosmetika yang berbentuk lotion (cair) dapat dipakai pada seluruh anggota tubuh, terutama
muka, badan, dan anggota gerak (tangan dan kaki).
Kosmetika dengan bentuk konsistensi gel terutama
dipakai untuk dioleskan pada rambut, dll.
Kosmetika yang berbentuk padat sering kali dalam
bentuk sabun, lipstik, dll.
Kolagen dan elastin sangat penting untuk
proses pertumbuhan sel/jaringan (regenerasi),
makanya kolagen sangat penting untuk proses
regenerasi sel, menjaga kelenturan kulit, serta
mencegah kekeriputan kulit. Karena fungsinya
yang sangat signifikan pada peremajaan kulit,
maka saat ini kedua macam protein tersebut
banyak dipakai sebagai bahan kosmetik.
Kolagen memiliki efek melembabkan karena
kolagen tidak larut air, tetapi sebaliknya,
mampu menahan air. Oleh karena itu, senyawa
protein ini banyak dipakai pada produkproduk pelembab.
Selain untuk beberapa fungsi di atas, kolagen
juga penting untuk menjaga kekebalan tubuh,
serta mencegah infeksi dan alergi. Kemampuan kolagen tersebut disebabkan karena kolagen memiliki antigen yang bersifat imunogenik. Antigen yang imunogenik ini mampu
berikatan dengan antibodi spesifik, tetapi juga
mampu menghasilkan antibodi spesifik terhadap antigen. Nah, antibodi terhadap antigen
inilah yang perlu dirangsang bagi penderita
rematik.
Kolagen bisa berasal dari sapi atau babi. Oleh
karena itu, harus dipastikan apakah kolagen
dan elastin tersebut berasal dari hewan haram
(babi) atau bukan.
2. Ekstrak plasenta
Saat ini di pasaran banyak beredar kosmetika
berplasenta. Mengapa kosmetika berplasenta
sangat digemari produsen kosmetika dan
begitu diminati konsumen? Hal ini disebabkan
karena kosmetika berplasenta memiliki efek
yang signifikan untuk mencegah penuaan
kulit, serta mampu meremajakan kulit, mengatasi keriput kulit, menghaluskan dan melembutkan kulit, dan membuat kulit lebih nampak
segar sebagaimana layaknya kulit bayi.
Plasenta adalah organ tubuh yang berkembang
pada saat manusia atau hewan mengandung
anaknya. Ketika janin masih berada dalam
kandungan, janin belum mampu makan dan
minum sebagaimana manusia yang sudah
lahir. Untuk mencukupi kebutuhan gizi bagi
pertumbuhannya, maka Allah menciptakan
plasenta sebagai sumber makanannya.
Plasenta ini berisi zat-zat gizi dan zat-zat
pertumbuhan yang sangat dibutuhkan bayi
sebagai makanan. Pemasukan nutrien (zat gizi)
ke dalam tubuh si bayi dilakukan melalui
saluran plasenta yang bermuara pada pusar.
Pada saat bayi dilahirkan, plasenta ikut keluar.
Saluran yang menghubungkan antara plasenta
dan pusar bayi dipotong. Di Pulau Jawa (DIY,
Jawa Tengah, dan Jawa Timur), plasenta dikuburkan di suatu tempat, bahkan dengan ritual
dan tradisi tertentu. Akan tetapi, di tempat
lain, plasenta tidak pernah diistimewakan.
Plasenta (dikenal pula dengan istilah ‘ari-ari’)
memiliki bobot sekitar 600 g dengan diameter
16-18 cm, mengandung 200 ml darah yang
mengisi cairan spon. Plasenta kaya akan darah
dan protein (albumin), hormon (oestrogen),
serta senyawa lain (DNA dan RNA). Albumin
sendiri adalah senyawa pengganti plasma
darah yang mengandung γ-globulin, immuno-
globulin (IgA dan IgG), dan asam amino.
Hasil riset menunjukkan bahwa zat-zat tersebut terbukti cukup efektif untuk merawat kulit,
seperti mencegah kerut, mencegah penuaan
dini, dan mempertahankan kesegaran kulit.
Bahkan dii Jepang dan Switzerland, kolagen
dan plasenta manusia telah lama dimanfaatkan
sebagai bahan dasar pembuatan kosmetika.
LPPOM MUI Pusat pernah menemukan
beberapa perusahaan kosmetika menggunakan
plasenta manusia, seperti : La Tulipe (PT.
Rembaka, Sidoarjo, Jawa Timur), Musk by
Alyssa Ashley, StYves, Snow White Lily
(Yoshihiro Clinic, Tokyo-Japan). Kosmetika
dan obat-obatan yang terbuat dari plasenta
binatang yang diharamkan atau dari manusia
hukumnya haram. Kosmetika dan obat-obatan
yang terbuat dari plasenta bina-tang yang halal
hukumnya halal (Fatwa MUI No. 2, Munas
IV 30 Juli 2000). Alhamdulillah, saat ini La
Tulipe telah memiliki Sertifikat Halal.
3. Cairan Amnion
Cairan amnion (amniotic liquid) adalah cairan
ketuban yang berada di sekitar janin dalam
kandungan yang berfungsi melindungi janin
dari benturan fisik. Pada saat kelahiran, selaput ketuban pecah dan cairan amnion keluar
mendahului janin. Selain sebagai buffer, cairan
ini juga berfungsi sebagai pelicin (lubricant)
pada saat janin dilahirkan.
Keuntungan penggunaan cairan amnion
kurang lebih sama dengan plasenta, tetapi
penggunaannya terbatas pada pelembab, lotion
rambut, shampo, serta produk perawatan kulit
dan kepala. Sebagai konsumen muslim, maka
hendaknya kita lebih berhati-hati. Kita harus
pastikan dari mana asal cairan amnion ini.
Apabila berasal dari saluran reproduksi
(rahim) manusia dan atau hewan haram, maka
produk kosmetika ini tidak boleh dipakai.
produk hewani. Selanjutnya, apabila, apakah
berasal dari hewan halal atau hewan haram.
4. Lemak
Lemak dan turunannya (terutama Gliserin)
banyak dipakai sebagai bahan baku pembuatan
kosmetika, seperti pada pembuatan : lipstik,
sabun mandi, krim, lotion (facial lotion, hand
& body lotion). Penggunaan kosmetika yang
mengandung lemak diyakini banyak membantu menghaluskan kulit.
Tentunya tidak menjadi masalah apabila bahan
lemak yang dipergunakan berasal dari hewan
yang dihalalkan. Akan tetapi, apabila lemak
(dan turunannya) yang dipakai adalah lemak
hewan yang diharamkan (babi), maka penggunaan kosmetika berlemak babi tersebut
tentunya juga diharamkan.
6. Asam Alfa Hidroksi
Asam Alfa Hidroksi (AHA) adalah suatu
senyawa kimia yang sangat berguna untuk
mengurangi keriput dan memperbaiki tekstur
kulit. Kosmetika yang menggunakan AHA
akan membuat kulit terasa lebih halus, kenyal,
dan mantap.
Senyawa AHA banyak macamnya. Salah satu
senyawa AHA yang banyak dipakai pada
industri kecantikan adalah asam laktat (lactic
acid). Dalam pembuatannya, senyawa ini
menggunakan media yang berasal dari hewan.
Nah, oleh karena itu, harus dipastikan apakah
media yang dipergunakan adalah hewan halal
atau hewan haram.
5. Vitamin
Vitamin A, B1, B3, B6, B12, D, E, dan K
banyak dipakai dalam kosmetika. Produsen
kosmetika menganggap vitamin mampu
mensuplai kebutuhan gizi bagi kulit. Meskipun
demikian, Stanley R. Milstein, Ph.D. (Direktur
FDA Divisi Kosmetika) tidak menemukan
adanya bukti klinis bahwa vitamin dapat
mensuplai gizi secara langsung melalui kulit.
Vitamin-vitamin tersebut di atas memiliki sifat
tidak stabil. Oleh karena itu, agar keadaannya
tidak berubah-ubah, vitamin harus distabilkan
dengan bahan pelapis tertentu (coated agents).
Bahan penstabil yang sering dipakai di antaranya adalah gelatin, karagenan, gum arab,
atau pati dimodifikasi.
Gelatin umumnya berasal dari tulang sapi atau
babi. Apabila bahan pelapis yang dipakai
adalah gelatin, maka harus diperhatikan
apakah berasal dari produk nabati atau dari
7. Hormon
Untuk memberikan hasil yang lebih memuaskan, pada beberapa produk kosmetika sering
ditambahkan hormon, seperti : hormon
estrogen, ekstrak timus, maupun hormon
melantonin. Hormon-hormon yang sering
dipakai adalah animal origin hormone
(hormon yang berasal dari hewan). Oleh
karena itu, harus kita pastikan apakah hormon
yang dipergunakan berasal dari hewan halal
atau hewan haram. Jika berasal dari hewan
haram, maka tentu tidak boleh kita pakai.
Catatan :
á Penulis adalah Sekretaris Eksekutif LPPOM MUI
Propinsi DIY dan Dosen Fak. Peternakan UGM.
á Informasi lebih lanjut hub. Mobile : 07707 398 546
HATI-HATI TERHADAP
BAHAN HARAM PADA OBAT
Oleh :
Nanung Danar Dono, S.Pt., MP.
Saat ini teknologi farmasi telah berkembang
dengan sangat pesat. Temuan-temuan medis menunjukkan bahwa beberapa jenis obat cukup akurat
menyembuhkan penyakit. Sayangnya, ada beberapa jenis obat yang beredar di pasaran yang
menggunakan unsur/bahan yang diharamkan oleh
Syari’at Islam.
Beberapa macam bahan haram dalam obat
Beberapa macam bahan haram yang
terdeteksi dipakai sebagai penyusun obat adalah :
1. Khamr
Khamr adalah segala jenis bahan (makanan,
minuman, dll.) yang dapat menutup akal pikiran (memabukkan) orang yang mengkonsumsinya. Khamr diharamkan karena memiliki
efek memabukkan (melemahkan kesadaran)
dan merusak sistem saraf sehingga orang yang
mengkonsumsinya bisa kehilangan akal
sehatnya (lalu berbuat yang tidak baik).
Dalam industri farmasi, khamr sering dipakai
sebagai bahan pengencer dan atau pelarut
bahan obat, sebagai penyegar, sebagai pemberi
sensasi tertentu (jamu), dll.
Beberapa senyawa beralkohol yang memiliki
sifat khamr (sehingga diharamkan) adalah
alkohol, methanol (methyl alcohol), ethanol
(ethyl alcohol), anggur (kolesom), arak, dll.
Ulama mengharamkan penggunaan khamr
dalam industri obat. Hal ini didasarkan pada
hadits : “Minuman apapun kalau banyaknya
memabukkan, maka (minum) sedikit (dari
minuman itu) juga haram” (HR. Bukhary dan
Muslim). Contoh obat yang menggunakan
tambahan khamr adalah : OBH, OBH Combi
Plus, Vicks, Vicks Formula 44, Woods,
Benadryl, Tonicum Bayer, dll.
2. Gelatin
Gelatin sangat bermanfaat dalam industri farmasi. Keberadaan gelatin sebagai bahan
penyusun kapsul pembungkus obat memungkinkan bahan obat bisa sampai pada tempat
(target site) yang dikehendaki tanpa dirusak
oleh enzym pencernaan pada saluran pencernaan yang dilaluinya. Misalnya, obat diminum
untuk menyembuhkan sakit hati. Maka agar
obat bisa sampai ke hati dan tidak dirusak atau
tercerna oleh enzim di lambung, usus, atau
organ pencernaan lainnya, maka isi obat tsb
harus dibungkus oleh kapsul.
Agar tidak melukai dinding saluran pencernaan, kapsul pembungkus obat haruslah lunak,
tidak bisa melukai dinding saluran pencernaan,
tapi dapat dilunakkan oleh bagian yang dituju.
Kapsul banyak dipakai untuk membungkus
obat, VCO, vitamin, dll. Contoh kapsul obat
yang menggunakan bahan dari babi adalah
kapsul produk Yunnan Baiyyao (China).
Gelatin ini memberikan tekstur kenyal dan
banyak dipakai sebagai bahan kapsul obat.
Gelatin dapat berasal dari sapi, kuda, maupun
babi. Akan tetapi, umumnya gelatin yang
beredar di pasaran adalah gelatin dari babi.
Alhamdulillah, saat ini Malaysia telah berhasil
membuat gelatin halal dari sapi dan atau kuda.
3. Gliserin (Glycerine)
Gliserin adalah senyawa turunan lemak (atau
merupakan hasil samping pengolahan sabun),
sering dipakai dalam industri farmasi. Senyawa ini biasa dipakai sebagai perekat kapsul
obat dan vitamin, seperti : obat anti-coagulant
(pembekuan darah), anti-hypertensive, antiatherosclerotic, anti-thrombotic (anti platelet),
anti-lipemic (penurun kolesterol darah), dll.
Gliserin bisa berasal dari lemak nabati (tanaman) atau lemak hewani. Tentu akan menjadi
masalah apabila berasal dari hewan haram
(babi) atau hewan halal (sapi, kuda, ayam)
yang tidak disembelih secara Syari’at Islam.
4. Plasenta
Plasenta adalah selaput pembungkus janin dalam kandungan (rahim) ibu. Selain itu, plasenta juga menyuplai janin dengan nutrien,
hormon, dll. Organ ini sering dipakai sebagai
bahan obat pada luka bakar dan atau obat yang
mempercepat proses penyembuhan luka, seperti obat jahit luka sobek (operasi sesar, dll).
Plasenta bisa berasal dari hewan (sapi,
domba/kambing, babi, dll.), bisa pula berasal
dari manusia. Pada Munas IV tahun 2000 di
Jawa Barat, MUI Pusat mengharamkan penggunaan plasenta yang berasal dari manusia dan
atau hewan haram sebagai bahan obat dan atau
kosmetik.
Saat ini, plasenta manusia juga dipakai sebagai
bahan aktif beberapa macam obat (pil dan
kapsul). Di antara obat yang menggunakan
plasenta adalah obat perangsang atau pelancar
ASI. Obat ini digunakan untuk menstimulasi
aktivitas kelenjar air susu (kelenjar mammae)
ibu agar setelah melahirkan produksi ASI-nya
lancar.
5. Urine
Ternyata daging babi juga banyak berperan
dalam dunia medis. Salah satu jenis obat
jantung diketahui menggunakan bahan dari
babi. Untuk itu, karena menggunakan unsur
dari babi, maka dihukumi haram.
Urine adalah kotoran cair yang dikeluarkan
dari tubuh sebagai senyawa buangan (limbah)
sisa metabolisme tubuh. Urine banyak
mengandung racun dan berbagai senyawa
berbahaya, seperti : amonia, asam urat, ureum,
dll. yang harus dikeluarkan dari tubuh.
Saat ini ada beberapa golongan masyarakat
yang mempercayai urine sebagai obat. Terlepas dari hal tersebut, ulama mengharamkan
penggunaan urine sebagai obat. Dasar utamanya adalah bahwa urine manusia bersifat najis
(najis sedang). Bagian tubuh yang terkena
(kecipratan) bahan najis harus dicuci hingga
hilang warna, bau, dan rasa. Selain itu, para
ahli urine (urolog) RSCM Jakarta tidak percaya bahwa di dalam urine terdapat bahan obat.
6. Sodium Heparin (Na-Heparin)
Sodium heparin adalah senyawa komplek
yang dihasilkan oleh hati. Senyawa ini sering
dipakai untuk mencegah reaksi pembekuan
darah (anti-coagulant) pada dinding pembuluh
darah, seperti pada kasus penanganan endapan
(kolesterol, platelet gula, dll). Sebagai bahan
tambahan obat, senyawa ini sering dipakai
untuk terapi penderita penyakit jantung,
stroke, dll.
Tentu tidak masalah bila Na-Heparin dipakai
berasal dari bahan halal. Contoh produk yang
menggunakan bahan dari babi adalah Lovenox
4000 yang diproduksi oleh Aventis Pharma
Speciatities, Perancis.
Berdasarkan QS. Al Baqoroh : 173, dalam keadaan darurat, obat yang menggunakan bahan
dari babi diijinkan. Akan tetapi, jika ditemukan bahan lain yang lebih halal, maka pasien
harus diberikan bahan yang halal.
7. Hormon Insulin
Insulin adalah hormon yang penting untuk
mengubah glukosa darah menjadi glukogen.
Hormon ini dihasilkan oleh sistem kelenjar
pada Pulau Langerhans yang terdapat pada
pankreas.
Injeksi insulin penting bagi penderita Diabetes
mellitius akut karena tubuh penderita tidak
mampu mengubah glukosa menjadi glukogen
dalam jumlah cukup.
Prof. Sugiyanto – Direktur LPPOM MUI
Propinsi Jawa Timur menyebutkan bahwa
International Diabetic Federation (1993)
melaporkan bahwa umumnya insulin yang
dipasarkan dari manusia (70%), lalu babi
(17%), sapi (8%), dan sisanya kombinasi sapi
dan babi (5%). Contoh produk yang
menggunakan insulin babi adalah Mixtard 30
Novolet produksi Novonordisk. Oleh karena
itu, para pengguna insulin sangat disarankan
untuk meminta dokter Muslim meresepkan
insulin yang halal (saja).
8. Vaksin
Vaksin adalah kuman penyakit yang telah
dimatikan (inactive vaccine) atau kuman yang
dilemahkan (active vaccine) yang dimasukkan
ke dalam tubuh untuk tujuan memicu
kekebalan. Suatu vaksin hanya efektif dipakai
untuk mencegah satu jenis penyakit tertentu
saja (spesifik).
Masalah muncul manakala di Indonesia masih
banyak vaksin yang dibuat dengan perantara
(media) dari bahan yang diharamkan, seperti
enzim babi, daging babi, dll. Beberapa produk
vaksin yang beredar di Indonesia yang masih
menggunakan bahan yang tidak halal adalah
Inactive Polio Vaccine (IPV) dan Active Polio
Vaccine (APV), vaksin Meningitis, dll.
Alhamdulillah, Biofarmaka Bandung sudah
memproduksi vaksin polio yang tidak
menggunakan bahan dari babi. Kita turut
berdoa semoga di Tahun 2010 ini, Biofarmaka
berhasil memproduksi vaksin Meningitis
jama’ah haji dari bahan halal. Tentu informasi
penting sangat menggembirakan buat kita.
9. Transplantasi organ dalam
Transplantasi adalah usaha mencangkokan organ tubuh tertentu ke dalam tubuh (host/inang)
yang baru. Efek positif transplantasi yang
diharapkan tentu memperbaiki sistem organ
tertentu. Organ baru yang ditransplantasikan
diharapkan menggantikan atau menguatkan
organ (jantung, ginjal)lama yang telah rusak.
Masalah muncul manakala bahan cangkok
jantung kebanyakan adalah jantung manusia
atau babi. Informasi yang kita peroleh dari
Prof. Mulatno (IPB), di Tahun 1976 di AS dan
Jepang telah berhasil dilakukan ribuan kali
xeno-transplantasi jantung babi ke manusia.
Apakah diharamkan? Semua berpulang pada
keadaan darurat (QS. Al Baqoroh : 173).
Apapun bahannya, kita tetap berharap semoga kita
senantiasa dianugerahi Allah kesehatan, sehingga
dapat terhindar dari penggunaan bahan-bahan obat
yang diragukan kehalalannya.
PELUANG PENCEMARAN BAHAN
HARAM PADA PRODUK BAKERY
Oleh :
Nanung Danar Dono, S.Pt., MP.
Sekretaris LPPOM MUI Propinsi DIY
081 2277 6763 – 584036
Toko roti (bakery) di Yogyakarta sangat
banyak dan beragam. Ada yang laris karena
terkenal, ada yang diburu pembeli karena
enak, ada pula yang dibeli karena terjamin status kehalalannya. Sebagai konsumen Muslim,
mestinya kita tidak membeli produk hanya
karena rasanya, karena enak baunya, karena
kemurahannya, atau karena terkenal merknya.
Akan tetapi, mestinya status kehalalan menjadi alasan utama dan pertama dalam membeli
sebuah produk roti, apa pun itu merknya.
1. Kuas berbulu babi
Kuas sering dipakai untuk mengoleskan mentega, margarin, telur, cokelat, dll.
Hati-hati dengan bahan bulu kuas, karena
umumnya berasal dari bulu babi (bisa
mencapai 80-90%). Menurut data Badan
Pusat Statistik (BPS), Indonesia mengimpor boar bristle dan pig/boar hair periode
Januari-Juni 2001 sejumlah 282.983 kg
atau senilai US $ 1.713.309 (Jurnal
LPPOM-MUI HALAL, N0. 41/VII/2002).
Pada gagang kuas berbulu babi
sering tertulis kata : Bristle, Pure Bristle,
100% China Bristle, dll. Salah satu makna
kata Bristle adalah Pig Hair atau bulu babi
(Webster’s Dictionary) yang berstatus
najis apabila basah. Oleh karena itu, roti
yang terkena sapuan kuas najis menjadi
terkena najis, sehingga haram dimakan.
Pengganti kuas bulu babi adalah kuas dari bahan plastik (polyester). Perusahaan kuas merk Ken Master dan Selery
juga meproduksi kuas dari bahan halal ini.
Titik kritis bahan haram
Di DIY yang mayoritas penduduknya
beragama Islam ini (sekitar 88%) mestinya
seluruh produk makanan dan rerotian terjamin
kehalalannya. Namun pada kenyataannya,
tidak semua produk roti yang dipasarkan
terjamin kehalalannya. Bahkan ada beberapa
perusahaan yang secara terang-terangan menggunakan bahan haram. Banyak pula bahan
tambahan makanan (BTM) yang diragukan
kehalalannya dipakai dalam industri roti ini.
Ada beberapa titik kritis peluang masuknya bahan haram ke dalam produk bakery :
2. Rhum
Rhum banyak dipakai untuk membuat adonan tercampur dengan baik, agar
cake lebih awet, serta untuk mengikat aroma. Rhum diharamkan karena memiliki
sifat khamer. Bahkan kandungan alkohol
rhum bisa mencapai 38-40%. Hati-hati dengan roti Black Forest, Sus Fla, Cake, dll.
Rhum essence (rhum sintetis) juga
diharamkan karena membuat konsumen
tidak dapat membedakan rhum ‘asli’ dan
rhum ‘sintetis’.
3. Daging dan Produk Olahannya
Daging haram (khususnya : babi)
dapat masuk dalam berbagai bahan dan
produk rerotian. Produk daging dan olahannya dapat masuk dalam bentuk : daging,
sosis, abon, dll.
4. Emulsifier (Cake Emulsifier)
Emulsifier adalah bahan penstabil
adonan roti. Selain sebagai bahan pengemulsi, beberapa jenis emulsifier yang dijual di pasaran berfungsi pula sebagai
bahan pelembut roti.
Ada beberapa jenis emulsifier yang
lazim dipakai di pasaran, seperti : lesitin,
lesitin kedelai (soya/soy lechitine), dan
emulsifier lain yang menggunakan kode Enumber (Exxx).
Lesitin bersifat syubhat karena bisa
berasal dari bahan nabati maupun hewani
(sapi, babi, dll). Lesitin kedelai halal karena berasal dari kedelai. Hati-hati dengan
E-number, karena beberapa emulsifier
(seperti : E471, E476, E72, dll.) ada yang
menggunakan bahan dari babi.
5. Ovalet
Ovalet dipakai sebagai pengembang
dan pelembut produk bakery. Bahan ini
dibuat dari asam lemak, bisa berasal dari
asam lemak hewani maupun nabati
(tumbuhan). Apabila berasal dari tumbuhan, tentu tidak masalah. Namun apabila
dibuat dari produk hewani, maka harus
dipastikan berasal dari hewan halal atau
hewan haram (babi).
6. Shortening
Shortening sering dikenal dengan
istilah mentega putih. Bahan ini berasal
dari lemak, bisa dari lemak hewan, tanaman, maupun campuran keduanya. Shortening sering dipakai untuk membuat sensasi
lembut dan renyah (crispy). Oleh karena
bisa berasal dari lemak hewan, maka
shortening bersifat syubhat.
Selain itu, sudah lama dikenal di
masyarakat bahwa lemak hewan (animal
fat) yang paling enak adalah lemak babi
(Lard). Meskipun kadang ditulis dengan
huruf Arab, namun karena berasal dari
babi, maka lard hukumnya haram.
7. Margarin
Margarin dibuat dengan bahan dasar
lemak tumbuhan. Dalam proses pembuatannya, sering kali ada bahan penstabil
(stabilizer), pewarna, maupun penambah
rasa (flawour) yang ditambahkan. Oleh
karena itu, apabila bahan penstabil yang
dipakai dari tanaman tentu tidak masalah.
Namun apabila berasal dari produk hewan,
maka harus dipastikan dari hewan halal
atau haram. Penggunaan lesitin babi,
membuat produk roti menjadi haram.
8. Bakers Yeast Instant (Ragi)
Yeast banyak dipakai pada produkproduk rerotian sebagai bahan pengembang (bread improver). Dalam pembuatannya, adakalanya ditambahkan bahan pengemulsi (emulsifier). Nah, kalau emulsifier
yang dipakai berasal dari bahan haram
(misal : lesitin babi), maka yeast ini tentu
menjadi tidak halal.
9. Keju
Keju berasal dari susu hewan, bisa
berasal dari susu sapi, domba/kambing,
unta, dll. Merk keju yang dipasarkan di
masyarakat, contohnya : Cheddar, Edam,
Emmental (Emmenthal), Beaufort, Gloucester, Cheshire, Fontina, Leyden, Derby,
Gruyere, dll. Perbedaan penamaan keju
didasarkan pada asal bahan, asal daerah,
dan proses pembuatannya.
Dalam pembuatannya, untuk memperoleh curd/padatan, susu digumpalkan
dengan bantuan enzyme dan starter. Apabila enzim yang dipakai berasal dari
saluran pencernaan hewan haram, maka
tentu statusnya menjadi haram.
Hati-hati dengan keju edam, karena
dalam standar pembuatannya, Keju Edam
sering dibuat dengan bantuan enzim rennet
yang diambil dari lambung anak babi.
Starter yang dipakai dalam penggumpalan susu berasal dari mikro organisme (umumnya bakteri asam laktat). Nah,
media yang dipakai untuk menumbuhkan
bakteri tersebut bisa berasal dari media
halal maupun media yang haram.
10. Creamer
Creamer dibuat dari susu. Titik kritisnya terdapat pada bahan enzim yang
dipakai untuk memisahkan keju dan whey.
Apabila menggunakan enzim haram, maka
status creamer yang bersangkutan haram.
11. Cokelat
Dalam proses pembuatan cokelat batangan dari buah cokelat segar kadang
dibutuhkan emulsifier. Emulsifier dapat
berasal dari lesitin nabati (dari biji kedelai,
bunga matahari, jagung, dll.) maupun dari
produk hewani. Adakalanya lesitin hewani
dibuat secara enzimatis menggunakan
enzim Phospholipase A2 yang bisa berasal
dari pankreas babi.
12. Gelatin
Umumnya, gelatin dipakai sebagai
gelling agent (bahan pengental), bahan
penegar (penguat), atau untuk topping kue
atau es krim. Gelatin pasti berasal dari
produk hewani (sapi, babi). Jika berasal
dari babi, maka status hukumnya haram.
Sebagai pengganti, bahan lain yang
dapat dipakai sebagai pengental adalah :
rumput laut (agar-agar), karagenan, pati
yang dimodifikasi, gom arab, dll.
13. TBM
Bahan ini sering digunakan untuk
melembutkan tekstur cake yang dihasilkan. Sebagai sebuah merk dagang, TBM
ini umumnya berasal dari mono-glyseride
(MG) dan di-glyseride (DG). MG dan DG
berasal dari lemak, tentunya bisa berasal
dari hewani maupun nabati. Apabila
berasal dari bahan nabati, tentu TBM ini
tidak masalah. Namun apabila dibuat dari
asam lemak hewan, maka harus dipastikan
apakah berasal dari hewan halal atau
hewan haram.
HATI-HATI DENGAN BAHAN
TAMBAHAN MAKANAN
YANG BERBAHAYA
Oleh :
Nanung Danar Dono, S.Pt., MP.
Sekretaris Eksekutif LPPOM MUI Propinsi DIY
(081 2277 6763, [email protected])
Kondisi di lapangan :
Saat ini di pasaran masih banyak terdapat
bahan-bahan tambahan makanan berbahaya
pada sejumlah produk pangan olahan industri
rumah tangga dan industri kecil. Hal itu terjadi
karena kurangnya wawasan pengusaha terhadap
keamanan pangan (food safety).
Banyak contoh pelanggaran telah terjadi
di lapangan, sebagai wujud ketidaktahuan akan
resiko bahaya yang tersembunyi di balik tindakan tersebut. Beberapa saat yang lalu, malahan
ada pedagang ikan asin yang menyemprotkan
obat pembasmi serangga (nyamuk) ke ikan-ikan
asin dagangannya dengan tujuan agar dagangannya tidak dikerubungi lalat. Akhirnya, zat berracun obat nyamuk tersebut malahan menempel
pada ikan asinnya.
Praktisi di Balai Pengawasan Obat dan
Makanan (BPOM) beberapa kali menemukan
produk-produk seperti sirup, mie, tahu, bakso
mengandung bahan-bahan kimia yang berbahaya bagi kesehatan manusia, seperti : pengawet
berbahaya (benzoat, formalin, dll.), pengenyal
berbahaya (boraks, dll.), pewarna berbahaya
(Rhodamin-B, Methanyl Yellow, dll.), Pemanis
buatan (aspartame, sorbitol, dll.) dan bahan
tambahan lain dengan dosis yang berlebihan.
Secara kasat mata memang agak sulit
untuk menentukan apakah produk pangan olahan yang ditemukan mengandung bahan-bahan
kimia berbahaya atau tidak. Apalagi bila
dosisnya sangat sedikit. Akan tetapi, apabila
dosisnya cukup banyak, maka kita bisa mengetahuinya dari penampilan luar yang nampak
nyata (penampilan visual).
2. Pewarna Berbahaya
Biasanya terdapat dalam bentuk : pewarna
merah Rhodamin-B, pewarna kuning
Methanyl Yellow, dll.
Dasar hukum pelarangan :
4. Pengenyal (Bakso) Berbahaya
Biasanya dalam bentuk : Boraks, dll.
Untuk menjaga kesehatan manusia, maka
ada beberapa regulasi pemerintah yang
mengatur hal ini, seperti :
1. Undang-undang Pangan No. 8 Tahun 1999,
tentang Perlindungan Konsumen.
2. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes)
RI No. 208/Menkes/Per/IV/85, tentang
Pemanis Buatan. Pemanis buatan hanya
digunakan untuk penderita diabetes (sakit
gula dan penderita yang memerlukan diet
rendah kalori, yaitu : aspartame, Na-sakarin,
Na-siklamat, dan sorbitol.
3. Pemanis Buatan
Biasanya terdapat dalam bentuk : Natrium
(sodium) – Saccharine (sakarin), Na-Cyclamate (siklamat), aspartame, sorbitol, dll.
Dampak negatif bagi kesehatan manusia:
Terdapat banyak efek (dampak) negatif
penyalahgunaan (kontaminasi) bahan kimia berbahaya yang dipakai sebagai bahan tambahan
pangan. Di antara efek negatif yang sering
muncul adalah :
1. Keracunan, mulai gejala ringan hingga
efek yang fatal (kematian).
2. Kanker, seperti kanker leher rahim, paruparu, payudara, prostat, otak, dll.
3. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1998,
tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan),
3. Kejang-kejang, mulai tremor hingga berat.
4. Peraturam Pemerintah No. 69 Tahun 1999,
tentang Label dan Iklan Pangan.
5. Gejala lain, seperti : muntah-muntah, diare
berlendir, depresi, gangguan saraf, dll.
Macam-macam bahan kimia berbahaya:
6. Gangguan berat, seperti : kencing darah,
muntah darah, kejang-kejang, dll.
Bahan kimia yang digunakan sebagai tambahan makanan yang dikategorikan berbahaya
di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Pengawet Berbahaya
Biasanya terdapat dalam bentuk : Formalin,
Benzoat (bila terlalu banyak), dll.,
4. Kegagalan peredaran darah (gangguan
fungsi jantung, otak, reproduksi, endokrin).
MARI KITA LEBIH BERHATI-HATI
Sesungguhnya kehati-hatian adalah senjata paling ampuh untuk mencegah resiko negatif
di masa yang akan datang.
A. FORMALIN
Apakah formalin itu?
Formalin adalah nama populer dari zat
kimia formaldehid yang dicampur dengan
air. Larutan formalin tidak berwarna, berbau
menyengat, larut dalam air dan alkohol. Larutan formalin mengandung 37% formalin
gas dan methanol.
Peruntukkan sebenarnya?
Pengawet mayat, disinfektan, antiseptik,
anti jamur, fiksasi jaringan, industri tekstil
dan kayu lapis, juga sebagai germisida dan
fungisida (pada tanaman/sayuran), sebagai
pembasmi lalat dan serangga lainnya.
Penyimpangan pada industri pangan?
Formalin sering dipakai untuk mengawetkan
produk mie basah, tahu, dan ikan segar.
Tanda-tanda penyimpangan pada produk?
a. Tahu : lebih kenyal, bisa tahan hingga 2
hari, tidak dikerubungi lalat, terdapat
bau khas formalin, dll.
b. Mie kuning : lebih kenyal, bisa tahan 23 hari (kalau tidak pakai hanya bertahan
4-6 jam), tidak dikerubungi lalat, memiliki warna lebih terang dari biasanya,
terdapat bau khas formalin.
c. Ikan segar : lebih awet, nampak sekilas
lebih segar, tekstur awet, tidak dikerubungi lalat, dll. Bau khas formalin membuat lalat enggan mendekat.
Efek (dampak) negatif bagi tubuh?
Jika terhirup, formalin akan menyebabkan
rasa terbakar pada hidung dan tenggorokan,
sukar bernapas, napas pendek, sakit kepala,
dan kanker paru-paru.
Di antara efek formalin pada kulit adalah
munculnya warna kemerahan, gatal, dan terbakar. Pada mata, senyawa ini akan menyebabkan kemerahan, gatal, berair, kerusakan,
pandangan kabur, s.d. kebutaan.
Kalau kandungannya sudah sangat tinggi,
formalin akan mengakibatkan iritasi pada
lambung, alergi, muntah, diare bercampur
darah, dan kencing bercampur darah. Bukan
itu saja, formalin juga bisa mengakibatkan
kematian karena kegagalan peredaran darah
B. BORAKS
Apakah boraks itu?
Boraks (asam borat) adalah senyawa berbentuk kristal putih, tidak berbau, dan stabil
pada suhu serta tekanan normal.
Peruntukkan sebenarnya?
Banyak dipakai untuk mematri logam, proses pembuatan gelas dan enamel, sebagai
pengawet kayu, dan pembasmi kecoa.
Penyimpangan pada industri pangan?
Banyak dipakai pada : bakso, kerupuk
karaks, mie bakso, tahu, batagor, pangsit.
Efek (dampak) negatif bagi tubuh?
Pemakaian yang sedikit dan lama akan terjadi akumulasi (penimbunan) pada jaringan
otak, hati, lemak, dan ginjal. Pemakaian dalam jumlah banyak mengakibatkan demam,
anuria, koma, depresi, dan apatis (gangguan
yang bersifat sarafi).
C. RHODAMIN – B
Apakah Rhodamin – B itu?
Rhodamin – B (Rhodamin – B) adalah pewarna sintetis berbentuk kristal, tidak ber-
bau, berwarna merah keunguan, dalam
larutan berwarna merah terang berpendar.
Peruntukkan sebenarnya?
Pewarna kertas, tekstil, dan cat tembok.
Penyimpangan pada industri pangan?
Banyak dipakai pada : minuman (es mambo,
limun, syrup), lipstik, permen, obat, saos.
Efek (dampak) negatif bagi tubuh?
Jika terhirup dapat menimbulkan iritasi pada
saluran pernafasan. Dapat pula menimbulkan iritasi pada kulit, iritasi pada mata (kemerahan, oedema pada kelopak), iritasi pada
saluran pencernaan (keracunan, air seni berwarna merah, kerusakan ginjal), dll.
Akumulasi dalam waktu lama berakibat
gangguan fungsi hati hingga kanker hati,
merusak kulit wajah, pengelupasan kulit,
hipopigmentasi, hiperpigmentasi, dll.
D. METHANYL YELLOW
Apakah Methanyl yellow itu?
Methanyl yellow adalah pewarna sintetis
berwarna kuning menyala.
Peruntukkan sebenarnya?
Pewarna kertas, tekstil, dan cat tembok.
Penyimpangan pada industri pangan?
Banyak dipakai pada : minuman (syrup,
limun), agar-agar (jelly), limun, manisan
(pisang, mangga, kedondong, dll.), permen.
Efek (dampak) negatif bagi tubuh?
(lihat : Rhodamin – B).
Tanda-tanda penyimpangan pada produk?
Warnanya terlihat homogen/seragam, cerah,
penampakannya mengkilat, dll.
KAJIAN FIKIH HALAL-HARAM DAGING BINATANG
Oleh : Nanung Danar Dono, S.Pt., MP.
(Direct contact : 584036, 081 2277 6763)
Islam memerintahkan kepada pemeluknya untuk memilih makanan yang halal serta menjauhi
makanan haram. Rasulullah bersabda :
"Dari Abu Hurairah ra berkata : Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya Allah baik tidak
menerima kecuali hal-hal yang baik, dan sesungguhnya Allah memerintahkan kepada orang-orang
mu'min sebagaimana yang diperintahkan kepada para rasul”. Allah berfirman: "Hai rasul-rasul,
makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang shaleh. Sesungguhnya Aku
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan".
Dan firman-Nya yang lain: "Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezki yang baikbaik yang Kami berikan kepadamu" Kemudian beliau mencontohkan seorang laki-laki, dia telah
menempuh perjalanan jauh, rambutnya kusut serta berdebu, ia menengadahkan kedua tangannya ke
langit: “Yaa Rabbi! Yaa Rabbi!” Sedangkan ia memakan makanan yang haram, dan pakaiannya
yang ia pakai dari harta yang haram, dan ia meminum dari minuman yang haram, dan dibesarkan
dari hal-hal yang haram, bagaimana mungkin akan diterima do'anya". (HR Muslim no. 1015)
KAIDAH FIQIH HALAL-HARAM :
Ada beberapa kaidah fiqih yang dipakai para ulama dalam menentukan status kehalalan suatu jenis
hewan, yaitu :
Kaidah Pertama
: Semua jenis makanan (daging) hukumnya halal, kecuali ada dalil yang
mentakhsiskannya (secara khusus menyebutkan pengharamannya).
Kaidah Kedua
: Makanan halal memberikan pengaruh baik dan makanan haram memberikan
pengaruh buruk (madhorot) bagi manusia yang memakannya.
Kaidah Ketiga
: Hukum halal-haram ditetapkan karena ada sebabnya (Al hukmu yadluru
ma’al illati).
Kaidah Keempat
: Segala penyerupaan (mendekat-dekati) dengan bahan haram maka
diharamkan (Al washilatu ila haromun harom).
Kaidah Kelima
: Tidak ada hubungannya antara halal-haram suatu daging dengan anggapan
(buruk) suatu kaum (Arab).
Kaidah Keenam
: Setiap jenis hewan buas (karnivora) yang bertaring dan berkuku tajam
adalah haram dimakan.
Kaidah Ketujuh
: Meskipun bertaring dan berkuku tajam, namun apabila ia adalah binatang
jinak (herbivora) maka tidak diharamkan.
Kaidah Kedelapan : Setiap jenis hewan yang diperintahkan agama untuk dibunuh, maka
dagingnya haram.
Kaidah Kesembilan : Setiap jenis hewan yang dilarang dibunuh, maka dagingnya haram.
Kaidah Kesepuluh : Setiap jenis hewan yang hidup di laut, maka ia halal dimakan (baik
ditemukan dalam keadaan hidup maupun telah mati).
Kaidah Kesebelas
: Setiap jenis hewan pemakan kotoran (bangkai dan najis), maka dagingnya
haram dimakan (jallaalah).
Kaidah Kedua belas : Dalam keadaan terpaksa, semua jenis makanan haram dapat menjadi halal.
1
PENJELASAN :
1. SEMUA MAKANAN HALAL, KECUALI YANG DIHARAMKAN
1.1
Bangkai :
Yaitu hewan yang mati bukan karena disembelih atau diburu. Macam-macam bangkai :
a. Al-Munkhaniqoh yaitu hewan yang mati karena tercekik baik secara sengaja atau
tidak.
b. Al-Mauqudhah yaitu hewan yang mati karena dipukul dengan alat/benda keras
hingga mati olehnya atau disetrum dengan alat listrik.
c. Al-Mutaraddiyah yaitu hewan yang mati karena jatuh dari tempat tinggi atau jatuh
ke dalam sumur sehingga mati.
d. An-Nathihah yaitu hewan yang mati karena ditanduk oleh hewan lainnya.
1.2
Darah :
Yaitu darah yang mengalir (QS. 2:173, 5:3, 6:145, dll.). Syaikul Islam Ibnu Taimiyyah
mengatakan: "Pendapat yang benar, bahwa darah yang diharamkan oleh Allah adalah
darah yang mengalir”.
Syaikh Dr. Shahih Al-Fauzan (Al-Mulakhas Al-Fiqhi 2/461) mengatakan bahwa tidak ada
satupun ulama' yang mengharamkan darah yang diam (yang menempel pada daging).
Demikianlah dikatakan oleh Ibnu Abbas dan Sa'id bin Jubair. Diceritakan bahwa orangorang jahiliyyah dahulu apabila seorang diantara mereka merasa lapar, maka dia
mengambil sebilah alat tajam yang terbuat dari tulang atau sejenisnya, lalu digunakan
untuk memotong unta atau hewan yang kemudian darah yang keluar dikumpulkan dan
dibuat makanan/minuman.
1.3
Daging Babi :
Babi baik peliharaan maupun liar, jantan maupun betina. Dan mencakup seluruh anggota
tubuh babi sekalipun minyaknya. Tentang keharamannya, telah ditandaskan dalam alQur'an, hadits dan ijma' ulama.
1.4
Sembelihan untuk selain Allah Swt. :
Yakni setiap hewan yang disembelih dengan selain nama Allah hukumnya haram, karena
Allah mewajibkan agar setiap makhluk-Nya disembelih dengan nama-Nya yang mulia.
Oleh karenanya, apabila seorang tidak mengindahkan hal itu bahkan menyebut nama
selain Allah baik patung, taghut, berhala dan lain sebagainya , maka hukum sembelihan
tersebut adalah haram dengan kesepakatan ulama.
Belalang :
a. Ibnu Abu Aufa ra. berkata: “Kami berperang bersama Rasulullah SAW. sebanyak tujuh
kali, kami selalu makan belalang”. (Muttafaq ‘Alaihi).
Kuda dan khimar ahliyyah (keledai jinak)
a. Dari Jabir ra. berkata: "Rasulullah melarang pada perang khaibar dari (makan) daging
khimar dan memperbolehkan daging kuda". (HR Bukhori no. 4219 dan Muslim no. 1941)
2
b. Dari Jabir ra. berkata: "Pada perang Khaibar, mereka menyembelih kuda, bighal dan
khimar. Lalu Rasulullah melarang dari bighal dan khimar dan tidak melarang dari kuda.”
(Shahih. HR Abu Daud (3789), Nasa'i (7/201), Ahmad (3/356), Ibnu Hibban (5272),
Baihaqi (9/327), Daraqutni (4/288-289) dan Al-Baghawi dalam Syarhu Sunnah no. 2811).
c. Dari Atha' ra. bahwa beliau berkata kepada Ibnu Juraij : "Salafmu biasa memakannya
(daging kuda)". Ibnu Juraij berkata : "Apakah beliau sahabat Rasulullah?” Jawabnya :
“Ya.” (HR. Bukhari-Muslim; Subulus Salam (4/146-147) oleh Imam As-Shan'ani).
d. Asma’ ra. berkata : “Kami menyembelih kuda pada jaman Rasulullah SAW. dan memakan
dagingnya. Pada saat itu, kami telah berada di Madinah.” (HR. Bukhary-Muslim).
Kelinci dan sejenisnya
a. Dari Anas bin Malik ra. berkata : “Kami mencari kelinci di Marr az-Zahran dan aku pun
mendapatkannya. Lalu aku bawa kelinci itu kepada Abu Thalhah ra., beliau pun
menyembelihnya dan mengirimkan daging paha kelinci tersebut kepada Rasulullah SAW.,
dan beliau pun menerimanya” (HR. Bukhary-Muslim)
2. MAKANAN HALAL MEMBERIKAN PENGARUH BAIK DAN MAKANAN HARAM
MEMBERIKAN PENGARUH BURUK
Jika Allah melarang kita mengkonsumsi bangkai, darah, daging babi, khamr, dll itu tentu
karena bahan-bahan tersebut (secara fisiologi/medis) bisa merusak kesehatan kita.
3. AL HUKMU YADLURU MA’AL ILLATI
Hukum dalam Syari’at Islam ditetapkan karena ada sebab-sebab yang melatarbelakanginya.
4. AL WASHILATU ILA HAROMUN HAROM
Segala penyerupaan (mendekat-dekati) dengan bahan haram maka diharamkan
5. TIDAK ADA HUBUNGANNYA ANTARA HALAL-HARAM SUATU DAGING
DENGAN ANGGAPAN (BURUK) SUATU KAUM
Ad-dhab (hewan sejenis biawak) bagi yang merasa jijik darinya
a. Dari Ibnu Abbas ra. dari Khalid bin Walid ra. bahwa : Beliau pernah masuk bersama
Rasulullah SAW. ke rumah Maimunah. Di sana telah dihidangkan dhab panggang.
Rasulullah SAW. berkehendak untuk mengambilnya. Sebagian wanita berkata :
“Khabarkanlah pada Rasulullah tentang daging yang hendak beliau makan!”, lalu mereka
pun berkata : “Wahai Rasulullah, ini adalah daging dhab!” Serta merta Rasulullah
mengangkat tangannya. Aku (Khalid bin Walid) bertanya : “Apakah daging ini haram
wahai Rasulullah?” Beliau menjawab : "Tidak, tetapi hewan ini tidak ada di kampung
kaumku sehingga akupun merasa tidak enak (merasa jijik) memakannya!” Khalid berkata :
Lantas aku mengambil dan memakannya sedangkan Rasulullah melihat. (HR. Bukhari
no. 5537 dan Muslim no. 1946).
b. Hadits Abdullah bin Umar secara marfu' (sampai pada nabi). "Dhob, saya tidak
memakannya dan saya juga tidak mengharamkannya." (HR. Bukhari no.5536 dan Muslim
no. 1943)
Kesimpulan : Apabila kita jijik terhadap suatu makanan (biawak, cacing, belut, bekicot, dll.),
maka kita tidak boleh memakannya.
3
6. SEMUA BINATANG BUAS (YANG BERTARING DAN BERKUKU TAJAM)
DIHARAMKAN
a. Dari Abu Hurairah, Nabi SAW. bersabda: "Setiap binatang buas yang bertaring adalah
haram dimakan" (HR. Muslim no. 1933). Hadits mutawatir menurut Imam Ibnu Abdil Barr
dalam At-Tamhid (1/125) dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam I'lamul Muwaqqi'in (2/118119).
b. Imam Ibnu Abdil Barr juga mengatakan dalam At-Tamhid (1/127): "Saya tidak melihat
adanya persilangan pendapat di kalangan ulama kaum muslimin bahwa kera tidak boleh
dimakan dan tidak boleh dijual karena tidak ada manfaatnya. Dan kami tidak mengetahui
seorang ulama'pun yang membolehkan untuk memakannya. Demikian pula anjing,gajah
dan seluruh binatang buas yang bertaring. Semuanya sama saja bagiku (keharamannya).
Dan hujjah adalah sabda Nabi saw bukan pendapat orang....".
c. Dari Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan
berkuku tajam." (HR Muslim no. 1934)
d. Dari Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan
burung yang berkuku tajam." (HR Muslim no. 1934)
e. Abi Tsa’labah ra. berkata : “Sesungguhnya Rasulullah SAW. melarang untuk memakan
daging binatang buas yang bertaring” (HR. Bukhary dan Muslim).
f. Imam Ahmad berkata : “Setiap binatang yang menggigit dengan taringnya, maka ia
termasuk binatang buas!”
Hukum Daging Anjing dan Kucing :
a. Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Bila seekor anjing minum dari
wadah milik kalian, maka cucilah 7 kali”.
b. Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sucinya wadah kalian yang
dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali salah satunya dengan tanah”.
c. Bahwasanya Rasulullah SAW. diundang ke rumah suatu kaum, lalu baginda memenuhi
undangan tersebut, kemudian baginda diundang ke rumah satu kaum yang lain namun tidak
beliau penuhi. Lalu ditanya kepada Baginda Nabi kenapa? Baginda menjawab:
"Sesungguhnya pada rumah si fulan itu ada anjing." Lalu dikatakan kepada baginda:
"Dalam rumah si fulan (undangan pertama) ada kucing”. Baginda menjawab:
"Sesungguhnya kucing bukan najis." (HR. Al-Daruquthni dan Al-Hakim).
Hukum memelihara anjing :
d. Abu Hurairah ra. berkata : Rasulullah SAW. bersabda: "Barangsiapa memelihara anjing kecuali anjing penjaga ternak, anjing pemburu, atau anjing penjaga tanaman- pahalanya
akan dikurangi satu qirath setiap hari." (Muttafaq ‘Alaihi).
Hukum berburu dengan anjing :
e. 'Adiy Ibnu Hatim ra. berkata : Rasulullah SAW. bersabda: "Jika engkau melepaskan
anjingmu (untuk berburu), maka sebutlah nama Allah padanya. Bila ia menangkap buruan
untukmu dan engkau mendapatkannya masih hidup, maka sembelihlah. Bila engkau
mendapatkannya telah mati dan anjing itu tidak memakannya sama sekali, maka makanlah.
Bila engkau menemukan anjing lain selain anjingmu, sedang buruan itu telah mati, maka
jangan engkau makan sebab engkau tidak mengetahui anjing mana yang membunuhnya.
Apabila engkau melepaskan panahmu, sebutlah nama Allah. Bila engkau baru menemukan
buruan itu setelah sehari dan tidak engkau temukan selain bekas panahmu, makanlah jika
4
engkau mau. Jika engkau menemukannya tenggelam di dalam air, janganlah engkau
memakannya." (Muttafaq ‘Alaihi; lafadznya menurut Muslim).
BURUNG YANG BERKUKU TAJAM
a. Ibnu Abbas ra. Menambahkan : "Dan setiap burung yang mempunyai kaki penerkam (kuku
yang tajam)." (HR. Muslim)
b. Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234): "Demikian juga setiap burung
yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang, dan sejenisnya".
c. Imam Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73: "Dalam hadits ini terdapat
dalil bagi madzab Syafi'i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama tentang
haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam."
7. MESKIPUN BERTARING DAN BERKUKU TAJAM, NAMUN JIKA IA BUKAN
BINATANG BUAS, MAKA TIDAK DIHARAMKAN
Binatang yang bertaring dan berkuku tajam, tapi bukan binatang buas (misal: herbivora)
a. Dari Ibnu Abi Ammar berkata: “Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang musang,
apakah ia termasuk hewan buruan ?” Jawabnya: "Ya". Lalu aku bertanya: “Apakah boleh
dimakan?” Beliau menjawab: “Ya!”. Aku bertanya lagi : “Apakah engkau mendengarnya
dari Rasulullah?” Jawabnya: “Ya!” (Shahih. HR. Abu Daud (3801), Tirmidzi (851), Nasa'i
(5/191) dan dishahihkan Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, AlBaihaqi, Ibnu Qoyyim serta Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Habir (1/1507).
Catatan : Musang adalah binatang pemakan kopi, bukan pemakan ayam. Terkadang orang
keliru menyamakan musang dengan kucing liar (Jawa : belacan, garangan)
8. SETIAP HEWAN YANG DIPERINTAHKAN AGAMA UNTUK DIBUNUH, MAKA
DAGINGNYA HARAM
a. Dari Aisyah ra. berkata: Rasulullah bersabda: “Lima hewan fasik (al-hayyawan alfawwasik) yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus,
anjing hitam." (HR. Muslim no. 1198 dan Bukhari no. 1829 dengan lafadz "kalajengking:
gantinya "ular").
b. Rasulullah SAW. bersabda : “Ada 5 macam binatang fawwasik yang hendaknya dibunuh di
tanah halal maupun di tanah haram, yaitu : rajawali, burung gagak, tikus, kalajengking,
dan anjing gila!” (HR. Bukhary-Muslim).
c. Dari Ummu Syarik ra. berkata bahwa : “Nabi memerintahkan supaya membunuh tokek /
cecak" (HR. Bukhari no. 3359 dan Muslim 2237).
Imam Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid (6/129)" Tokek/cecak telah disepakati
keharaman memakannya".
d. Rasulullah SAW. bersabda : “Bunuhlah ular!” (HR. Bukhary-Muslim)
Imam ibnu Hazm mengatakan dalam Al-Muhalla (6/73-74): "Setiap binatang yang
diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada sembelihan baginya, karena
Rasulullah melarang dari menyia-nyiakan harta dan tidak halal membunuh binatang yang
dimakan" (Lihat pula Al-Mughni (13/323) oleh Ibnu Qudamah dan Al-Majmu' Syarh
Muhadzab (9/23) oleh Nawawi).
5
9. SETIAP JENIS HEWAN YANG DILARANG DIBUNUH, MAKA DAGINGNYA HARAM
a. Dari Ibnu Abbas ra. beliau berkata: “Rasulullah melarang membunuh 4 hewan, yaitu :
semut, tawon, burung hud-hud dan burung surad." (HR Ahmad (1/332,347), Abu Daud
(5267), Ibnu Majah (3224), Ibnu Hibban (7/463) dan dishahihkan Baihaqi dan Ibnu Hajar
dalam At-Talkhis 4/916).
b. Imam syafi'i dan para sahabatnya mengatakan: "Setiap hewan yang dilarang dibunuh
berarti tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang
membunuhnya." (Lihat Al-Majmu' (9/23) oleh An Nawawi).
c. Dari Abdur Rahman bin Utsman Al-Qurasyi ra. mengisahkan bahwasanya : “Seorang tabib
pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kodok/katak dijadikan obat, lalu Rasulullah
melarang membunuhnya.” (HR Ahmad (3/453), Abu Daud (5269), Nasa'i (4355), Al-Hakim
(4/410-411), Baihaqi (9/258,318) dan dishahihkan Ibnu Hajar dan Al-Albani).
d. Dari Abu Hurairah ra. beliau berkata: “Rasulullah SAW. melarang membunuh shurod
(burung Suradi), kodok, semut, dan burung hud-hud!” (HR. Ibnu Majah; shahih).
e. Dari Ibnu Umar ra. beliau berkata : “Janganlah kalian membunuh katak, karena bunyi yang
dikeluarkan katak adalah merupakan tasbih!”
10. SEMUA JENIS HEWAN YANG HIDUP DI LAUT (IKAN) HALAL DIMAKAN
a. Firman Allah Swt. : “Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang
berasal) dari laut.” (QS. Al-Maa`idah: 96)
b. Dari Ibnu Umar berkata: "Dihalalkan untuk kalian 2 bangkai dan 2 darah. Adapun 2
bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang 2 darah yaitu hati dan limpa." (Shahih. Lihat
Takhrijnya dalam Al-Furqan hal 27 edisi 4/Th.11)
c. Rasululah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda: "Laut itu suci airnya
dan halal bangkainya." (Sahih; HR. Daraqutni: 538).
d. Rasulullah ditanya tentang air laut, maka jawab beliau : “Dia (laut) adalah pensuci airnya
dan halal bangkainya”. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah;
dishahihkan oleh Imam Al-Bukhary).
e. Syaikh Muhammad Nasiruddin Al--Albani berkata dalam Silsilah As-Shahihah (no.480):
"Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut
sekalipun terapung di atas air (laut)?”. Beliau menjawab: "Sesungguhnya yang terapung itu
termasuk bangkainya.”
11. SETIAP HEWAN PEMAKAN KOTORAN, MAKA DAGINGNYA HARAM DIMAKAN
Setiap jenis hewan jallaalah (pemakan kotoran : bangkai dan najis), maka dagingnya haram
dimakan
a. Dari Ibnu Umar ra. berkata: “Rasulullah melarang dari jalalah unta untuk dinaiki!” (Sahih,
HR. Abu Daud no. 2558).
b. Dalam riwayat lain disebutkan: “Rasulullah melarang dari memakan jallalah (binatang
pemakan kotoran) dan memerah susunya." (HR. Abu Daud : 3785, Tirmidzi: 1823 dan Ibnu
Majah: 3189).
c. Dari Amr bin Syu'aib ra. dari ayahnya dari kakeknya berkata: “Rasulullah melarang dari
keledai jinak dan jalalah, menaiki dan memakan dagingnya. "(HR Ahmad (2/219) dan
dihasankan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).
6
Al-Jalalah yaitu setiap hewan baik hewan berkaki empat maupun berkaki dua yang makanan
pokoknya adalah kotoran-kotoran seperti kotoran manuasia/hewan dan sejenisnya (Fathul Bari;
9/648).
Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf (5/147/24598) meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa
beliau mengurung ayam yang makan kotoran selama tiga hari. (Sanadnya shahih sebagaimana
dikatakan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).
Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (11/254) juga berkata: "Kemudian menghukumi suatu hewan
yang memakan kotoran sebagai jalalah perlu diteliti. Apabila hewan tersebut memakan kotoran
hanya bersifat kadang-kadang, maka ini tidak termasuk kategori jalalah dan tidak haram
dimakan seperti ayam dan sejenisnya..."
7
KUMPULAN HADITS HALAL – HARAM HEWAN EKSOTIS
Oleh : Nanung Danar Dono, S.Pt., MP.
(Direct contact : 584036, 081 2277 6763)
Rasulullah SAW. bersabda : “Wahai Sa’ad, perbaikilah (murnikanlah) makananmu, niscaya kamu
menjadi orang yang terkabul do’anya. Demi yang jiwa Muhammad ada dalam genggamannya,
sesungguhnya seorang hamba yang melontarkan sesuap makanan yang haram ke dalam perutnya,
maka tidak akan diterima amal kebaikannya selama 40 hari. Siapa pun yang dagingnya tumbuh
dari barang yang haram, maka api neraka lebih layak membakarnya “(HR. ATh Thabrany).
1. IKAN DAN BELALANG
Termasuk : Hiu, Singa laut, Anjing laut, dll (pemakan ikan)
a. Firman Allah Swt. : “Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang
berasal) dari laut.” (QS. Al-Maa`idah: 96)
b. Dari Ibnu Umar berkata: "Dihalalkan untuk kalian 2 bangkai dan 2 darah. Adapun 2
bangkai yaitu ikan dan belalang, sedang 2 darah yaitu hati dan limpa." (HR. Ahmad dan
Ibnu Majjah; Shahih).
c. Rasululah juga pernah ditanya tentang air laut, maka beliau bersabda: "Laut itu suci airnya
dan halal bangkainya." (Sahih; HR. Daraqutni: 538).
d. Rasulullah ditanya tentang air laut, maka jawab beliau : “Dia (laut) adalah pensuci airnya
dan halal bangkainya”. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah;
dishahihkan oleh Imam Al-Bukhary).
e. Syaikh Muhammad Nasiruddin Al--Albani berkata dalam Silsilah As-Shahihah (no.480):
"Dalam hadits ini terdapat faedah penting yaitu halalnya setiap bangkai hewan laut
sekalipun terapung di atas air (laut)?”. Beliau menjawab: "Sesungguhnya yang terapung itu
termasuk bangkainya.”
Belalang :
a. Ibnu Abu Aufa ra. berkata: “Kami berperang bersama Rasulullah SAW. sebanyak tujuh kali,
kami selalu makan belalang”. (Muttafaq ‘Alaihi).
2. BINATANG BUAS (YANG BERTARING DAN BERKUKU TAJAM)
Singa, Harimau, Beruang, Anjing, Kucing, Tikus, Serigala, dll. :
a. Dari Abu Hurairah, Nabi SAW. bersabda: "Setiap binatang buas yang bertaring adalah
haram dimakan" (HR. Muslim no. 1933). Hadits mutawatir menurut Imam Ibnu Abdil Barr
dalam At-Tamhid (1/125) dan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah dalam I'lamul Muwaqqi'in (2/118119).
b. Imam Ibnu Abdil Barr juga mengatakan dalam At-Tamhid (1/127): "Saya tidak melihat
adanya persilangan pendapat di kalangan ulama kaum muslimin bahwa kera tidak boleh
dimakan dan tidak boleh dijual karena tidak ada manfaatnya. Dan kami tidak mengetahui
seorang ulama'pun yang membolehkan untuk memakannya. Demikian pula anjing,gajah
dan seluruh binatang buas yang bertaring. Semuanya sama saja bagiku (keharamannya).
Dan hujjah adalah sabda Nabi saw bukan pendapat orang....".
c. Dari Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan
berkuku tajam." (HR Muslim no. 1934)
1
d. Dari Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah melarang dari setiap hewan buas yang bertaring dan
burung yang berkuku tajam." (HR Muslim no. 1934)
e. "Setiap binatang yang bertaring dan binatang buas haram dimakan." (HR Muslim dan
Tirmidzi)
f. Abi Tsa’labah al Khusyani ra. berkata : “Sesungguhnya Rasulullah SAW. melarang untuk
memakan daging binatang buas yang bertaring” (HR. Bukhary no. 5530 dan Muslim no.
1932).
g. Imam Ahmad berkata : “Setiap binatang yang menggigit dengan taringnya, maka ia
termasuk binatang buas!”
Hukum Daging Anjing dan Kucing :
a. Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Bila seekor anjing minum dari
wadah milik kalian, maka cucilah 7 kali”.
b. Dari Abi Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sucinya wadah kalian yang
dimasuki mulut anjing adalah dengan mencucinya 7 kali salah satunya dengan tanah”.
c. Bahwasanya Rasulullah SAW. diundang ke rumah suatu kaum, lalu baginda memenuhi
undangan tersebut, kemudian baginda diundang ke rumah satu kaum yang lain namun tidak
beliau penuhi. Lalu ditanya kepada Baginda Nabi kenapa? Baginda menjawab:
"Sesungguhnya pada rumah si fulan itu ada anjing." Lalu dikatakan kepada baginda:
"Dalam rumah si fulan (undangan pertama) ada kucing”. Baginda menjawab:
"Sesungguhnya kucing bukan najis." (HR. Al-Daruquthni dan Al-Hakim).
Hukum memelihara anjing :
d. Abu Hurairah ra. berkata : Rasulullah SAW. bersabda: "Barangsiapa memelihara anjing kecuali anjing penjaga ternak, anjing pemburu, atau anjing penjaga tanaman- pahalanya
akan dikurangi satu qirath setiap hari." (Muttafaq ‘Alaihi).
Hukum berburu dengan anjing :
e. 'Adiy Ibnu Hatim ra. berkata : Rasulullah SAW. bersabda: "Jika engkau melepaskan
anjingmu (untuk berburu), maka sebutlah nama Allah padanya. Bila ia menangkap buruan
untukmu dan engkau mendapatkannya masih hidup, maka sembelihlah. Bila engkau
mendapatkannya telah mati dan anjing itu tidak memakannya sama sekali, maka makanlah.
Bila engkau menemukan anjing lain selain anjingmu, sedang buruan itu telah mati, maka
jangan engkau makan sebab engkau tidak mengetahui anjing mana yang membunuhnya.
Apabila engkau melepaskan panahmu, sebutlah nama Allah. Bila engkau baru menemukan
buruan itu setelah sehari dan tidak engkau temukan selain bekas panahmu, makanlah jika
engkau mau. Jika engkau menemukannya tenggelam di dalam air, janganlah engkau
memakannya." (Muttafaq ‘Alaihi; lafadznya menurut Muslim).
3. BURUNG YANG BERKUKU TAJAM : Elang, Garuda, dll.
a. Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarh Sunnah (11/234): "Demikian juga setiap burung
yang berkuku tajam seperti burung garuda, elang, dan sejenisnya".
b. Abdullah bin Abbas r.a. berkata : "Rasulullah saw. melarang memakan daging binatang
buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam (bercakar)" (HR Muslim no. 1934).
c. Imam Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim 13/72-73: "Dalam hadits ini terdapat
dalil bagi madzab Syafi'i, Abu Hanifah, Ahmad, Daud dan mayoritas ulama tentang
haramnya memakan binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam."
2
4. BINATANG YANG BERTARING DAN BERKUKU TAJAM, TAPI BUKAN
BINATANG BUAS : Musang (luwak), Tupai (bajing), Kelelawar (codot/lowo), dll.
a. Dari Ibnu Abi Ammar berkata: “Aku pernah bertanya kepada Jabir tentang musang,
apakah ia termasuk hewan buruan ?” Jawabnya: "Ya". Lalu aku bertanya: “Apakah boleh
dimakan?” Beliau menjawab: “Ya!”. Aku bertanya lagi : “Apakah engkau mendengarnya
dari Rasulullah?” Jawabnya: “Ya!” (Shahih. HR. Abu Daud (3801), Tirmidzi (851), Nasa'i
(5/191) dan dishahihkan Bukhari, Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al-Hakim, AlBaihaqi, Ibnu Qoyyim serta Ibnu Hajar dalam At-Talkhis Habir (1/1507).
5. KUDA DAN KHIMAR AHLIYYAH (keledai jinak)
a. Dari Jabir ra. berkata: "Rasulullah melarang pada perang khaibar dari (makan) daging
khimar dan memperbolehkan daging kuda". (HR Bukhori no. 4219 dan Muslim no. 1941)
b. Asma’ ra. berkata : “Kami menyembelih kuda pada jaman Rasulullah SAW. dan memakan
dagingnya. Pada saat itu, kami telah berada di Madinah.” (HR. Bukhary-Muslim).
c. Dari Atha' ra. bahwa beliau berkata kepada Ibnu Juraij : "Salafmu biasa memakannya
(daging kuda)". Ibnu Juraij berkata : "Apakah beliau sahabat Rasulullah?” Jawabnya :
“Ya.” (HR. Bukhari-Muslim; Subulus Salam (4/146-147) oleh Imam As-Shan'ani).
d. Dari Jabir ra. berkata: "Pada perang Khaibar, mereka menyembelih kuda, bighal dan
khimar. Lalu Rasulullah melarang dari bighal dan khimar dan tidak melarang dari kuda.”
(Shahih. HR Abu Daud (3789), Nasa'i (7/201), Ahmad (3/356), Ibnu Hibban (5272),
Baihaqi (9/327), Daraqutni (4/288-289) dan Al-Baghawi dalam Syarhu Sunnah no. 2811).
6. AL-JALLALAH (yaitu hewan pemakan kotoran dan bangkai)
a. Dari Ibnu Umar ra. berkata: “Rasulullah melarang dari jalalah unta untuk dinaiki!” (Sahih,
HR. Abu Daud no. 2558).
b. Dalam riwayat lain disebutkan: “Rasulullah melarang dari memakan jallalah dan susunya."
(HR. Abu Daud : 3785, Tirmidzi: 1823 dan Ibnu Majah: 3189).
c. Dari Amr bin Syu'aib ra. dari ayahnya dari kakeknya berkata: “Rasulullah melarang dari
keledai jinak dan jalalah, menaiki dan memakan dagingnya. "(HR Ahmad (2/219) dan
dihasankan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).
Al-Jalalah yaitu setiap hewan baik hewan berkaki empat maupun berkaki dua yang makanan
pokoknya adalah kotoran-kotoran seperti kotoran manuasia/hewan dan sejenisnya (Fathul Bari;
9/648). Ibnu Abi Syaiban dalam Al-Mushannaf (5/147/24598) meriwayatkan dari Ibnu Umar
bahwa beliau mengurung ayam yang makan kotoran selama tiga hari. (Sanadnya shahih
sebagaimana dikatakan Al-Hafidz dalam Fathul Bari 9/648).
Al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (11/254) juga berkata: "Kemudian menghukumi suatu hewan
yang memakan kotoran sebagai jalalah perlu diteliti. Apabila hewan tersebut memakan kotoran
hanya bersifat kadang-kadang, maka ini tidak termasuk kategori jalalah dan tidak haram
dimakan seperti ayam dan sejenisnya..."
7. AD-DHAB (HEWAN MIRIP BIAWAK) BAGI YANG MERASA JIJIK DARINYA
a. Dari Ibnu Abbas ra. dari Khalid bin Walid ra. bahwa : Beliau pernah masuk bersama
Rasulullah SAW. ke rumah Maimunah. Di sana telah dihidangkan dhab panggang.
Rasulullah SAW. berkehendak untuk mengambilnya. Sebagian wanita berkata :
“Khabarkanlah pada Rasulullah tentang daging yang hendak beliau makan!”, lalu mereka
3
pun berkata : “Wahai Rasulullah, ini adalah daging dhab!” Serta merta Rasulullah
mengangkat tangannya. Aku (Khalid bin Walid) bertanya : “Apakah daging ini haram
wahai Rasulullah?” Beliau menjawab : "Tidak, tetapi hewan ini tidak ada di kampung
kaumku sehingga akupun merasa tidak enak (merasa jijik) memakannya!” Khalid berkata :
Lantas aku mengambil dan memakannya sedangkan Rasulullah melihat. (HR. Bukhari
no. 5537 dan Muslim no. 1946).
b. Hadits Abdullah bin Umar secara marfu' (sampai pada nabi). "Dhob, saya tidak memakannya dan saya juga tidak mengharamkannya." (HR. Bukhari no.5536 dan Muslim no. 1943)
8. HEWAN YANG DIPERINTAHKAN AGAMA SUPAYA DIBUNUH
Ular, Burung Gagak, Tikus, Anjing, Burung Elang/Rajawali :
a. Dari Aisyah ra. berkata: Rasulullah bersabda: “Lima binatang jahat yang hendaknya
dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu: ular, burung gagak, tikus, anjing galak,
dan burung elang." (HR. Muslim).
b. Rasulullah SAW. bersabda : “Ada 5 macam binatang fawwasik yang hendaknya dibunuh
di tanah halal maupun di tanah haram, yaitu : rajawali, burung gagak, tikus, kalajengking,
dan anjing gila!” (HR. Bukhary-Muslim).
Imam ibnu Hazm mengatakan dalam Al-Muhalla (6/73-74): "Setiap binatang yang
diperintahkan oleh Rasulullah supaya dibunuh maka tidak ada sembelihan baginya, karena
Rasulullah melarang dari menyia-nyiakan harta dan tidak halal membunuh binatang yang
dimakan" (Lihat pula Al-Mughni (13/323) oleh Ibnu Qudamah dan Al-Majmu' Syarh Muhadzab
(9/23) oleh Nawawi).
Tikus (haram dan najis) :
a. Dari Aisyah ra. berkata: Rasulullah bersabda: “Lima hewan fasik (al-hayyawan alfawwasik) yang hendaknya dibunuh, baik di tanah halal maupun haram yaitu ular, tikus,
anjing hitam." (HR. Muslim no. 1198 dan Bukhari no. 1829 dengan lafadz "kalajengking:
gantinya "ular").
b. Maimunah ra. berkata bahwa Nabi SAW. ditanya tentang lemak (mentega) yang kejatuhan
tikus. Maka beliau bersabda : “Buanglah tikusnya dan buang juga lemak yang berada di
sekitarnya, lalu makanlah lemak kalian.” (HR. Bukhary).
Tokek dan cicak :
a. Dari Ummu Syarik ra. berkata bahwa : “Nabi memerintahkan supaya membunuh tokek /
cecak" (HR. Bukhari no. 3359 dan Muslim 2237).
Imam Ibnu Abdil Barr berkata dalam At-Tamhid (6/129) “Tokek/cecak telah disepakati
keharaman memakannya".
Ular :
a. Rasulullah SAW. bersabda : “Bunuhlah ular!” (HR. Bukhary-Muslim)
9. HEWAN YANG DILARANG UNTUK DIBUNUH
Katak (kodok), Semut, Burung Suroud, Burung Hud-hud :
a. Dari Ibnu Abbas ra. beliau berkata: “Rasulullah melarang membunuh 4 hewan, yaitu :
semut, tawon (lebah), burung hud-hud dan burung surad." (HR Ahmad (1/332,347), Abu
Daud (5267), Ibnu Majah (3224), Ibnu Hibban (7/463) dan dishahihkan Baihaqi dan Ibnu
Hajar dalam At-Talkhis 4/916).
4
b. Imam syafi'i dan para sahabatnya mengatakan: "Setiap hewan yang dilarang dibunuh
berarti tidak boleh dimakan, karena seandainya boleh dimakan, tentu tidak akan dilarang
membunuhnya." (Lihat Al-Majmu' (9/23) oleh An Nawawi).
c. Dari Abdur Rahman bin Utsman Al-Qurasyi ra. mengisahkan bahwasanya : “Seorang tabib
pernah bertanya kepada Rasulullah tentang kodok/katak dijadikan obat, lalu Rasulullah
melarang membunuhnya.” (HR Ahmad (3/453), Abu Daud (5269), Nasa'i (4355), Al-Hakim
(4/410-411), Baihaqi (9/258,318) dan dishahihkan Ibnu Hajar dan Al-Albani).
d. Dari Abu Hurairah ra. beliau berkata: “Rasulullah SAW. melarang membunuh shurod
(burung Suradi), kodok, semut, dan burung hud-hud!” (HR. Ibnu Majah; shahih).
e. Dari Ibnu Umar ra. beliau berkata : “Janganlah kalian membunuh katak, karena bunyi yang
dikeluarkan katak adalah merupakan tasbih!”
10. KELINCI DAN SEJENISNYA
Dari Anas bin Malik ra. berkata : “Kami mencari kelinci di Marr az-Zahran dan aku pun
mendapatkannya. Lalu aku bawa kelinci itu kepada Abu Thalhah ra., beliau pun
menyembelihnya dan mengirimkan daging paha kelinci tersebut kepada Rasulullah SAW., dan
beliau pun menerimanya” (HR. Bukhary-Muslim)
11. LANDAK
Abu Hurairah ra. berkata : “Dia (landak) haram dimakan.”
12. BINATANG YANG HIDUP DI 2 (DUA) ALAM
Kepiting, Kura-kura, Penyu, Keong mas, Anjing laut, dll.
Sejauh ini belum ada dalil dari al qur'an dan hadits yang shahih yang menjelaskan tentang
haramnya hewan yang hidup di dua alam (laut dan darat). Dengan demikian binatang yang
hidup di dua alam dasar hukumnya "asal hukumnya adalah halal kecuali ada dalil yang
mengharamkannya”.
Berikut contoh beberapa dalil hewan hidup di dua alam :
a. KEPITING - hukumnya HALAL sebagaimana pendapat Atha' dan Imam Ahmad. (Lihat
Al-Mughni 13/344 oleh Ibnu Qudamah dan Al-Muhalla 6/84 oleh Ibnu Hazm).
b. KURA-KURA dan PENYU - juga HALAL sebagaimana madzab Abu Hurairah, Thawus,
Muhammad bin Ali, Atha', Hasan Al-Bashri dan fuqaha' Madinah. (Lihat Al-Mushannaf
(5/146) Ibnu Abi Syaibah dan Al-Muhalla (6/84).
c. ANJING LAUT - juga HALAL sebagaimana pendapat Imam Malik, Syafi'i, Laits, Syai'bi
dan Al-Auza'i (lihat Al-Mughni 13/346). Hewan ini pemakan ikan, bukan pemakan daging.
d. KATAK/KODOK - hukumnya HARAM secara mutlak menurut pendapt yang rajih karena
termasuk hewan yang dilarang dibunuh sebagaimana penjelasan di atas.
13. JANIN DALAM KANDUNGAN
a. Abu Said al-Khudry ra. berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda: "(Cara) penyembelihan
untuk janin adalah dengan menyembelih induknya." (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan,
kecuali An-Nasa’i; shahih menurut Ibnu Hibban).
Maksudnya, janin yang terdapat dalam hewan yang mati karena disembelih, maka halal
hukumnya (tanpa harus disembelih).
5
14. BAGIAN YANG TERPOTONG DARI HEWAN HIDUP ADALAH BANGKAI
a. Nabi SAW. bersabda : “Daging yang terpotong dari binatang yang masih hidup, maka ia
(yang terpotong itu) adalah bangkai.” (HR. Ahmad).
b. Nabi SAW. bersabda : “Bagian yang terpotong dari binatang yang masih hidup, maka ia
adalah bangkai.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan At Tirmidzi).
15. BERBURU
a. 'Ady bin Hatim ra. berkata : Aku bertanya kepada Rasulullah SAW. tentang berburu dengan
tombak. Beliau bersabda: "Jika engkau mengenakan dengan ujungnya yang tajam,
makanlah; dan jika engkau mengenakan dengan tangkainya, kemudian ia terbunuh, maka ia
adalah mati terkena pukulan dan jangan dimakan." (HR. Bukhary).
b. Abu Tsa'labah berkata bahwa Nabi SAW. bersabda: "Jika engkau melepaskan panahmu,
lalu buruan itu menghilang darimu, kemudian engkau temukan, maka makanlah selama ia
belum membusuk." (HR. Muslim).
c. Abdullah Ibnu Mughoffal ra. berkata bahwa Rasulullah SAW. melarang (berburu dengan
cara) melempar batu. Beliau bersabda: "Ia tidak dapat memburu buruan, tidak menyakiti
musuh, ia hanya meretakkan gigi dan membutakan mata." (Muttafaq ‘Alaihi; lafadznya
menurut HR. Muslim).
d. Ibnu Abbas ra. berkata bahwa Nabi SAW. bersabda: "Janganlah engkau jadikan sesuatu
yang berjiwa itu sebagai sasaran." (HR. Muslim).
e. Ka'ab Ibnu Malik ra. berkata bahwa ada seorang perempuan menyembelih seekor kambing
dengan batu. Nabi SAW. ditanya tentang hal tersebut dan beliau menyuruh (mengijinkan)
untuk memakannya. (HR. Bukhari).
f. Rafi' Ibnu Khodij ra. berkata bahwa Nabi SAW. bersabda: "Apa yang dapat menumpahkan
darah dengan diiringi sebutan nama Allah, makanlah, selain gigi dan kuku, sebab gigi
adalah tulang sedang kuku adalah pisau bangsa Habasyah." (Muttafaq ‘Alaihi).
g. Jabir Ibnu Abdullah ra. berkata: Rasulullah SAW. melarang membunuh suatu binatang
dengan cara mengikatnya lalu memanahnya. (HR. Muslim).
h. Syaddad Ibnu ‘Aus ra. berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda: "Sesungguhnya Allah
mewajibkan berbuat kebaikan (ihsan) terhadap segala sesuatu. Maka jika engkau
membunuh, maka hendaklah membunuh dengan cara yang baik dan jika engkau
menyembelih, hendaklah menyembelih dengan cara yang baik, dan hendaklah di antara
kamu mempertajam pisaunya dan memudahkan (kematian) binatang sembelihannya." (HR.
Muslim).
6
SEPATU DAN TAS DARI KULIT BABI, TAWARAN
MENGGIURKAN BAGI PARA HARTAWAN
Oleh : Nanung Danar Dono, S.Pt., MP.
Hati-hati bila membeli produk sepatu dan tas. Periksa
dengan hati-hati, pastikan apakah bahan yang dipakai berasal
dari kulit sintetis atau dari kulit binatang asli. Bila dari kulit
binatang asli, pastikan apakah ia berasal dari kulit binatang
yang diharamkan, seperti kulit babi. Cek terlebih dahulu
dengan teliti, jangan sampai salah beli.
Beberapa merk yang sebagian produknya memakai
kulit babi, di antaranya adalah : Clarks , Hush Puppies,
Kickers, Puma, Polo Club, Next, Beebug (anak-anak), dan
Anyo (anak-anak).
Informasi ini juga pernah dibahas di mailist Kibar
(Keluarga Islam Indonesia di Brittania Raya). Kulit sepatu
merk Beebug dan Anyo punya pola seperti kulit babi
walaupun sudah diberi warna yang berlainan (pink, purple
dll). Ketika ditanyakan kepada salesgirl-nya apakah bahan
yang dipakai adalah kulit babi (pigskin), maka dijawab
dengan bangga bahwa itu memang kulit babi. Dengan bangga
dikatakan pula bahwa itulah keunggulan produknya.
Pemakaian pig-skin akan menciptakan kenyamanan bagi
pemakai, di samping tentunya empuk dan keringat tidak
berbau. Sepatu merk-merk tersebut di atas banyak pula dijual
di beberapa mall terkemuka di Indonesia, seperti di Plaza
Indonesia (Jakarta). Sepatu Kickers pun punya pola yang
sama. Pabrik sepatu Merk Next juga memberikan konfirmasi
sama bahwa ada beberapa produknya yang memakai kulit
babi. Mereka meminta konsumen bertanya sebelum membeli.
Memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama
mengenai hukum penggunaan kulit babi sebagai bahan
pembuatan produk-produk sepatu, tas, ikat pinggang, maupun
dompet. Imam Syafi’i berpendapat bahwa apabila telah
disamak, maka semua kulit binatang yang halal dagingnya
boleh dipakai. Oleh karena itu, kulit babi tidak boleh dipakai,
meski telah disamak terlebih dahulu. Oleh karena itu, kulit
babi tidak boleh dipakai sebagai bahan sepatu.
Selain dipakai sebagai bahan untuk membuat sepatu,
kulit babi juga dipakai sebagai bahan pembuatan jaket, sarung
tangan, tas, dll. Sarung tangan dengan bahan kulit babi pernah
ditemukan di Sarinah Thamrin (Jakarta). Sementara belum
ada laporan mengenai tas dan jaket berkulit babi dijual di
Indonesia. Di luar negeri, termasuk di Tokyo, dijual secara
terbuka.
Imam Abu Hanifah memiliki pendapat yang sedikit
berbeda. Beliau mengijinkan kulit dari semua jenis hewan
(termasuk hewan haram) boleh dipakai setelah disamak,
dengan satu pengecualian, yaitu : kulit babi. Oleh karena itu,
kulit babi tidak boleh dipakai sebagai bahan sepatu.
Ciri kulit babi dapat dilihat dengan jelas. Apalagi
apabila dilihat secara langsung. Ada polanya, seperti ada poriporinya. Selain itu, ada tiga titik-titik kecil seperti tusukan
jarum yang berdeketan. Ada yang membentuk garis lurus,
setengah lingkaran atau segitiga.
Sedangkan Daud az-Zahiri berpendapat lain. Beliau
berpendapat bahwa setelah disamak, semua kulit hewan, baik
yang dagingnya halal maupun yang diharamkan (termasuk
kulit babi), dapat dimanfaatkan. Oleh karena itu, kulit babi
boleh dipakai sebagai bahan sepatu.
Apabila kita lihat secara langsung, maka Insya Allah
kita akan langsung faham. Tanda titik 3 berpola segitiga
(lubang tersebut mirip bekas tusukan jarum) merupakan tanda
khas kulit babi, dan tidak dapat hilang mesti telah
diolah/disamak. Allaahu a’laam bish-showwab.
KHUTBAH SHOLAT IDUL FITHRI 1428 H
DI MASJID KAMPUS – UNIVERSITAS GADJAH MADA
BENARKAH SYARI’AT ISLAM TIDAK MANUSIAWI?
Oleh : Nanung Danar Dono, S.Pt., M.P.1
Assalaamu ’alaikum Wr. Wb.
Allaahu akbar 3X. Laa ilaaha illallaahu, Huwa-llaahu akbar! Allaahu
akbar wa lillaahil hamdu.
Segala puji bagi Allah Swt. yang telah melimpahkan kemudahan, barokah,
kemuliaan, kebahagiaan, serta keselamatan bagi kita semua.
Semoga Sholawat dan salam senantiasa Allah limpahkan kepada Rasul
Utusan Allah Muhammad SAW., beserta keluarga, shohabat, thobi’in, para
alim ulama, serta para pengikut beliau hingga akhir jaman.
Allaahu akbar 3X. Laa ilaaha illallaahu, Huwa-llaahu akbar! Allaahu
akbar wa lillaahil hamdu.
Hadirin jama’ah Sholat ‘Ied rahimakumullaah,
Setiap tahun, umat Islam di seluruh belahan dunia merayakan Hari
Raya Idul Fithri. Hari raya ini adalah salah satu hadiah Allah Swt. bagi
umat Islam. Pada Hari Raya Idul Fithri, seluruh umat Islam merayakan
kemenangan atas latihan pengendalian hawa nafsu.
Selama sebulan penuh, latihan dilakukan dengan memasang rem yang
sangat kuat dan memanfaatkannya untuk menahan agar nafsu perut
(makan) dan nafsu di bawah perut (seksual) dapat dikendalikan. Tentunya,
tidak banyak manfaatnya, bila kita memiliki rem, namun tidak kita
manfaatkan sebagaimana mestinya. Maka bisa saja nafsu kita menjadi liar,
segala sasuatu yang ‘terasa’ nikmat dilakukan, bahkan berzina dilakukan,
mencuri dilakukan, berjudi dilakukan, korupsi dilakukan, bahkan memakan
makanan dan harta haram juga dilakukan. Na’udzu billaahi min dzaalika!
1
Sekretaris Eksekutif LPPOM Majelis Ulama Indonesia Propinsi DIY dan Dosen Fakultas
Peternakan UGM Yogyakarta. Mobile phone : 081 2277 6763, [email protected]
Syari’at Islam menuntunkan bahwa ibadah puasa dijalankan sematamata ditujukan untuk mendekatkan diri kita kepada Allah Swt. dan untuk
mencapai predikat manusia yang bertakwa kepada Allah (QS. Al Baqoroh
(2): 183). Untuk itu, bukanlah dikatakan sebagai ibadah bila seseorang
berpuasa, namun hanya diniatkan untuk sekedar ikut-ikutan (taqlid) atau
malu kepada atasan, malu kepada mertua, atau malu kepada besan.
Allaahu akbar 3X. Laa ilaaha illallaahu, Huwa-llaahu akbar! Allaahu
akbar wa lillaahil hamdu.
Hadirin, jama’ah Sholat Idul Fithri 1428 H, yang kami hormati dan yang
senantiasa dimuliakan Allah Swt.
Sampai saat ini, umat Islam banyak dihadapkan pada tudingantudingan orang Barat, bahwa orang Islam adalah teroris, pengacau, anti
ketenteraman, dll. Lihat saja, dimana-mana bom meledak!? Pelakunya
(setidaknya, begitu yang ditudingkan) adalah orang Islam? Setiap pelaku
yang tertangkap, selalu menggunakan identitas ‘ala’ orang Islam, seperti
berjenggot, berkopiah, berbaju taqwa, atau dengan nama pelaku yang
terkesan Islami (misal : Ali Imron, Imam Samudera, Nurdin M. Top, Dr.
Azahari, dll.), atau orang yang berasal dari jazirah Arab (seperti : Abu
Nidal, Usamah bin Laden, dll.). Hal tersebut seakan menguatkan justifikasi
(tuduhan) mereka, bahwa Syari’at Islam memang tidak manusiawi!
Begitulah tuduhan yang selalu dilontarkan oleh orang-orang Barat,
Yahudi, dan Nashrani terhadap (penerapan) Syari’at Islam. Hujatan mereka
‘nampaknya’ seakan bukanlah omong kosong belaka. Akan tetapi, tuduhan
tersebut sering disertai contoh-contoh riil yang membuat sebagian besar
umat Islam kikuk dalam menjawabnya.
Sebagai contoh, kita semua tahu bahwa setiap tahun masyarakat Islam
merayakan ibadah Qurban. Ibadah tersebut merupakan perwujudan
persembahan terbaik kita kepada Allah Swt. Ibadah Qurban dilaksanakan
melalui prosesi penyembelihan hewan qurban (sapi, kambing, domba, unta,
dll.) dengan cara tertentu. Daging-daging binatang qurban tersebut dibagibagikan kepada fakir miskin, masyarakat, dan sanak kerabat.
Akan tetapi, kelebihan ini sering dikaitkan dengan suatu hadits ‘unik’
yang sering ‘diartikan lain’ oleh kaum misionaris. Hadist tersebut berbunyi:
Rasulullah SAW. bersabda : “Sesungguhnya Allah menetapkan kebaikan
(ihsan) pada segala sesuatu, maka jika kalian membunuh hendaklah kalian
berbuat ihsan dalam membunuh, dan apabila kalian menyembelih, maka
hendaklah berbuat ihsan dalam menyembelih, (yaitu) hendaklah salah
seorang dari kalian menajamkan pisaunya agar meringankan binatang
yang disembelihnya” (HR. Muslim).
Hadits ini nampaknya agak sulit untuk dijelaskan. Betapa tidak, di
dalamnya terkandung kalimat bahwa seakan Allah memerintahkan kita
untuk ‘membunuh’, apalagi ada kata-kata, “…tajamkanlah pisaunya…!”
Bukankah ini menunjukkan bahwa umat Islam memang dilatih untuk
membunuh dengan kejam. Bahkan yang lebih nyata lagi, ada kalimat,
“…meringankan binatang yang disembelih!” (Aneh, bukan?! Masak
membunuh koq pakai kalimat basa-basi ‘meringankan binatang yang
disembelih’! Padahal kita tahu, disembelih khan tentunya sakit sekali!?).
Bagi kita, apapun haditsnya, bagaimanapun isinya, apapun
konteksnya, yang jelas hadits ini adalah sebuah hadits shahih. Sebagai umat
Islam, kita harus meyakini bahwa Syari’at Islam adalah syari’at yang ya’lu
walaa yu’la ‘alaihi (yang terbaik dan paling baik dibandingkan yang lain).
Akan tetapi, keyakinan kita sangat berbeda dengan pendapat orangorang Barat (Yahudi dan Nashrani). Menurut mereka, Syari’at Islam adalah
contoh nyata betapa Islam betul-betul tidak manusiawi dan kelompok Islam
adalah kelompok orang bejat, bengis, suka berbuat kejam, dan suka
menganiaya binatang ternak. Bisa dibayangkan bahwa setiap tahun umat
Islam mengikat sekelompok ternak, kemudian membantainya secara
beramai-ramai. Ternak-ternak tersebut tidak berdaya, hanya bisa merontaronta, hanya mengerang-erang kesakitan. Betapa teganya orang Islam…!
Menurut mereka, kalau kita ingin mengkonsumsi daging binatang
ternak, maka haruslah dengan cara yang baik, tidak dengan menyiksa atau
menganiaya ternak semacam itu. Cara yang terbaik, menurut mereka,
adalah dengan memingsankan ternak terlebih dahulu, untuk selanjutnya
disembelih setelah tidak sadar (pingsan). Pemingsanan dapat dilakukan
dengan berbagai alat pemingsan, seperti : stunning gun, pembiusan, atau
menggunakan arus listrik. Setelah pingsan, hewan tersebut tidak akan
merasa kesakitan. Cara seperti ini mereka yakini sebagai cara yang terbaik,
karena hewan tidak meronta-ronta, tidak nampak kesakitan, tidak nampak
teraniaya, dan ‘sepertinya’ tidak merasakan sakit (karena telah pingsan).
Metode pemingsanan yang dikatakan terbaik yang sering mereka
lakukan adalah dengan cara memukul bagian tertentu di kepala ternak
dengan kecepatan tertentu dan beban tertentu. Alat yang dipakai untuk
membuat pingsan adalah Captive Bolt Pistol (CBP). Cara inilah yang
mereka klaim sebagai cara terbaik dan paling manusiawi. Selain itu, cara
ini dapat melindungi pekerja dari kemungkinan kecelakaan.
Begitulah tuduhan dan hujatan mereka, dan nampaknya sangat sulit
bagi kita untuk ‘membela diri’. Bahkan mungkin kita pun tidak bisa
mengelak, atau bahkan mungkin sebagian dari kita malah membenarkan
tuduhan tersebut! Na’udzu billaahi min dzaalika!
Lalu, bagaimana cara menyikapinya? Menolak tanpa bisa memberi
argumen (bantahan) atau menerima dengan setengah hati? Sebegitusulitkah kita meyakinkan diri bahwa Syari’at Islam adalah syari’at yang
terbaik? Ingatlah akan firman Allah Swt. dalam QS. Al Baqoroh (2) : 120
yang artinya : “Sesungguhnya orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak
akan pernah rela, hingga kamu mengikuti millah (keinginan) mereka…!”
Secara nyata dalam ayat tersebut Allah tegaskan bahwa orang-orang
Barat (terutama Yahudi dan Nashrani) selalu mencari-cari peluang dan
kelemahan Islam. Berbagai upaya mereka lakukan untuk menjatuhkan
wibawa (izzah) Islam. Berbagai cara mereka lakukan untuk mengalahkan
Islam. Apabila kita terlena, maka sangatlah mungkin kita terbawa. Untuk
itu, marilah kita berdo’a, berikhtiar, serta bertawakkal kepada Allah untuk
menjawab masalah ini. Begitulah Kanjeng Nabi SAW. menuntun kita.
Subhaanallah, di tengah-tengah kegundahan umat Islam, dengan
sengaja Allah Swt. telah kirimkan jawabannya. Allah Swt. mengutus 2
orang staf ahli peternakan dari Hanover University, sebuah universitas
terkenal di Jerman. Beliau berdua adalah Prof. Dr. Schultz dan koleganya,
Dr. Hazim. Berdua beliau memimpin suatu tim penelitian yang terstruktur
untuk menjawab pertanyaan: manakah yang lebih manusiawi dan paling
tidak sakit, penyembelihan secara Syari’at Islam (tanpa proses pemingsanan), atau penyembelihan dengan cara Barat (dengan pemingsanan).
Beliau berdua merancang penelitian sangat canggih mempergunakan
sekelompok sapi yang telah cukup umur (dewasa). Pada permukaan otak
kecil sapi-sapi tersebut dipasang elektroda tertentu (microchip) yang
disebut Electro-Encephalograph (EEG). EEG dipasang pada permukaan
otak yang menyentuh titik (panel) rasa sakit di permukaan otak. Alat ini
dipakai untuk merekam dan mencatat derajat rasa sakit sapi ketika
disembelih. Pada jantung sapi-sapi tersebut juga dipasang ElectroCardiograph (ECG) untuk merekam aktivitas jantung saat darah keluar.
Untuk menekan kesalahan, sapi dibiarkan beradaptasi dengan EEG
dan ECG (yang telah terpasang) beberapa pekan. Setelah masa adaptasi
dianggap cukup, separuh sapi disembelih secara Syari’at Islam dan separuh
sisanya disembelih secara Metode Barat.
Syari’at Islam menuntunkan penyembelihan dilakukan dengan
menggunakan pisau yang sangat tajam dengan memotong 3 saluran pada
leher bagian depan (saluran makanan, saluran nafas, serta 2 saluran
pembuluh darah, yaitu : arteri karotis dan vena jugularis). Syari’at Islam
tidak merekomendasikan pemingsanan. Sebaliknya, Metode Barat (Western
Method) mengajarkan ternak dipingsankan dahulu sebelum disembelih.
Selama penelitian, grafik EEG dan ECG pada seluruh ternak dicatat
untuk merekam keadaan otak dan jantung semenjak sebelum pemingsanan
(atau penyembelihan) hingga hewan ternak benar-benar mati. Nah, hasil
penelitian inilah yang kita tunggu-tunggu!
Hasil penelitian Prof. Schultz dan Dr. Hazim di Hanover University
Jerman adalah sebagai berikut :
Penyembelihan menurut Tuntunan Syari’at Islam
Pertama, pada 3 detik pertama setelah disembelih (dan ketiga saluran
pada leher sapi bagian depan terputus), tercatat bahwa tidak ada perubahan
pada grafik EEG. Hal ini berarti bahwa pada 3 detik pertama setelah
disembelih tidak ada indikasi rasa sakit.
Kedua, pada 3 detik berikutnya, EEG pada otak kecil merekam
adanya penurunan grafik secara gradual (bertahap) yang sangat mirip
dengan kejadian deep sleep (tidur nyenyak) hingga sapi-sapi tersebut
unconsciousness (benar-benar kehilangan kesadaran). Pada saat tersebut,
tercatat pula oleh ECG bahwa jantung mulai meningkat aktivitasnya.
Ketiga, setelah 6 detik pertama tersebut, ECG merekam adanya
aktivitas luar biasa dari jantung untuk menarik sebanyak mungkin darah
dari seluruh anggota tubuh dan memompanya keluar. Hal ini merupakan
refleks gerakan koordinasi antara otak kecil dan jantung melalui sumsum
tulang belakang (spinal cord). Subhaanallah, pada saat darah keluar
melalui ketiga saluran yang terputus di bagian leher, grafik EEG tidak naik,
tapi justeru drop sampai ke zero – level (angka nol). Kedua ahli tersebut
menterjemahkan sebagai : “No feeling of pain at all!” (tidak ada rasa
sakit sama sekali!) Allaahu Akbar! Walillaahil hamdu!
Keempat, oleh karena darah tertarik dan terpompa oleh jantung
keluar tubuh secara maksimal, maka dihasilkan healthy meat (daging yang
sehat) yang layak dikonsumsi oleh manusia. Jenis daging semacam ini
diyakini sangat sesuai dengan prinsip Good Manufacturing Practice
(GMP) yang menghasilkan Healthy Food.
Penyembelihan ala Barat (Western Method)
Pertama, segera setelah dilakukan proses stunning (pemingsanan),
sapi terhuyung jatuh dan collaps (pingsan). Sapi tidak bergerak-gerak lagi
sehingga sangat mudah dikendalikan. Oleh karena itu, sapi dapat dengan
mudah disembelih, tanpa meronta-ronta, dan (nampaknya) tanpa rasa sakit.
Pada saat disembelih, darah yang keluar hanya sedikit (tidak sebanyak bila
disembelih tanpa proses stunning).
Kedua, segera setelah proses pemingsanan, tercatat adanya kenaikan
yang sangat nyata pada grafik EEG. Hal tersebut mengindikasikan adanya
tekanan rasa sakit diderita oleh ternak segera setelah kepalanya dipukul.
Ketiga, grafik EEG meningkat sangat tajam dengan kombinasi grafik
ECG yang drop sampai batas paling bawah. Hal ini mengindikasikan
adanya peningkatan rasa sakit yang luar biasa sehingga jantung berhenti
berdetak lebih awal. Akibatnya, jantung kehilangan kemampuannya untuk
menjalankan tugas menarik darah dari seluruh bagian organ tubuh, serta
tidak lagi mampu memompanya keluar dari tubuh.
Keempat, oleh karena darah tidak tertarik dan tidak terpompa keluar
tubuh secara maksimal, maka dihasilkan unhealthy meat (daging yang tidak
sehat), sehingga tidak layak dikonsumsi oleh manusia. Disebutkan dalam
khasanah ilmu dan teknologi daging (dipelajari di Fak. Peternakan UGM),
bahwa timbunan darah (yang tidak sempat keluar pada saat ternak mati/
disembelih) merupakan tempat yang sangat ideal bagi tumbuh kembangnya
bakteri pembusuk yang merupakan agen utama perusak kualitas daging.
Allaahu akbar 3X. Laa ilaaha illallaahu, Huwa-llaahu akbar! Allaahu
akbar wa lillaahil hamdu.
Maha Suci Allah! Meronta-ronta dan meregangkan otot pada saat
ternak disembelih ternyata bukanlah ekspresi rasa sakit! Sangat jauh
berbeda dengan dugaan kita sebelumnya! Bahkan mungkin sudah jamak
menjadi keyakinan kita bahwa setiap darah yang keluar dari anggota tubuh
yang terluka pastilah disertai rasa sakit dan nyeri. Lebih-lebih yang terluka
adalah leher dengan luka terbuka yang menganga lebar…!
Hasil penelitian Prof. Schultz dan Dr. Hazim berhasil membuktikan
bahwa pisau yang mengiris leher (ref. Syari’at Islam) tidaklah ‘menyentuh’
saraf rasa sakit. Beliau berdua menyimpulkan bahwa ekspresi sapi
meronta-ronta dan meregangkan otot bukanlah akibat rasa sakit, tetapi
hanyalah ekspresi ‘keterkejutan saraf dan otot’ saja (yaitu pada saat darah
mengalir keluar dengan deras). Mengapa demikian? Tentunya, hal ini tidak
terlalu sulit dijelaskan (grafik EEG tidak menunjukkan adanya rasa sakit).
Apabila telah disembelih, tetapi sapi tidak segera mati, bolehkah kita
menusuk jantungnya?
Semestinya, pantang bagi seorang muslim untuk menusuk jantung
setelah sapi disembelih. Biarkan saja jantung menjalankan tugasnya
memompa darah keluar tubuh. Semakin lama jantung memompa darah,
maka semakin banyak darah dipompa keluar. Semakin sedikit timbunan
darah dalam daging, maka dagingnya menjadi semakin awet.
Hasil penelitian Blackmore (1984), Daly et al. (1988), Blackman et
al. (1985), dan Anil et al. (1995) di 4 negara yang berbeda membuktikan
bahwa setelah disembelih, sapi memerlukan waktu lebih lama untuk
benar-benar mati. Hal ini diduga disebabkan oleh ukuran tubuh sapi yang
lebih besar dibandingkan kambing, domba, rusa, ayam, dll. Untuk itu,
sebaiknya kita menunda hingga sapi benar-benar mati dan tidak perlu
menusuk jantungnya. Bila kita menusuk jantungnya, maka jantung akan
sobek dan kehilangan fungsinya untuk memompa darah, sehingga darah
tidak dapat maksimal terpompa keluar tubuh. Selain itu, sobeknya jantung
diduga akan menimbulkan kejutan rasa sakit yang amat sangat bagi hewan
ternak yang bersangkutan.
Penyakit sapi gila (Mad Cow) bisa menular ke manusia
Inggris dan Perancis adalah 2 jawara produsen (eksportir) daging sapi
terbesar di dunia dan selalu saja terjadi perang dagang di antara keduanya.
Menurut orang Inggris, pedagang Perancis bermain curang. Mereka
mengirimkan suatu virus mematikan yang bisa menular antar ternak dan
berpotensi menular ke manusia. Virus tersebut disebut Bovine Spongioform
Enchephalopathy (BSE) yang sering pula disebut sebagai Virus Sapi Gila
atau di negara asalnya lebih dikenal dengan istilah Mad Cow.
David Schardt, ahli gisi dari Center for Science in the Public Interest
(CSPI) Amerika, melaporkan bahwa ada beberapa daging beef steak dan
hamburger yang dimakan orang Amerika saat ini yang mengandung
materi/bagian otak. Apabila otak yang tercemar virus BSE ini dimakan oleh
manusia, maka sangatlah mungkin orang tersebut tertular penyakit ini.
Para ahli bekerja keras menelusuri asal muasal kisah material otak
tersebut bisa sampai ke daging. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
material/jaringan otak tersebut dapat sampai ke daging sebagai akibat
proses pemingsanan (stunning) sebelum disembelih. Sebagaimana pernah
diberitakan Kantor Berita Inggris – Reuter, bahwa pada saat di-stunning,
otak yang semula compact pecah selaputnya karena getaran dan tekanan yg
sangat hebat. Akibat pemukulan tersebut, jaringan otak goyah, sehingga
banyak material jaringan otak yang pecah berhamburan. Material otak
tersebut kemudian terbawa darah mengalir menuju beberapa organ tubuh.
CSPI juga menyebutkan bahwa peneliti di Universitas Texas A&M
dan Canada's Food Inspection Agency (Badan Pemeriksa Makanan
Kanada) menemukan kenyataan bahwa metode yang dikenal sebagai
Pneumatic Stunning dapat mengakibatkan pecahnya jaringan otak dan
terbawa dalam sistem jaringan tubuh sapi. Lebih lanjut Tam Garlan, ahli
Bidang Kedokteran Hewan dari Universitas Texas A&M menyatakan di
CSPI's July Newsletter, bahwa pneumatic stunning tersebut mengakibatkan
partikel mikroskopis jaringan otak pecah dan serpihannya terbawa oleh
darah ke paru-paru, hati, serta beberapa organ tubuh lainnya.
Bagaimana dengan penyembelihan sesuai Syari’at Islam? Leila
Corcoran (BICNews, 25 Juli 1997) menulis suatu artikel yang berjudul
Cattle Stun Gun May Heighten "Madcow" Risk (Senjata Pemingsan Sapi
dapat Meningkatkan Resiko Penularan Penyakit ’Sapi Gila’). Beliau
menyimpulkan bahwa tidak ada lagi yang meragukan bahwa metode
penyembelihan (tanpa pemingsanan) lebih baik dibandingkan cara yang
lain. Metode ini ditetapkan di dalam Al Qur’an. Allah adalah Pencipta
Kitab Suci Al Qur’an dan Allah Swt. sangat mengerti apa yang terbaik bagi
kita! Sebagai umat yang beriman, kita harus yakin dengan Syari’at Islam
dan tiada keraguan di dalamnya (QS. Al Baqoroh: 2).
Akhir kata, marilah kembali kita haturkan rasa syukur kita kepada
Allah Swt. atas berbagai curahan kemuliaan dan barokah-Nya.
Semoga Allah tetapkan bagi kita sekeluarga masa depan yang terbaik,
jalan kehidupan yang terbaik, akhir kehidupan yang terbaik, dan tempat
terbaik di sisi Allah Swt. (jannah).
Allaahu akbar 3X. Laa ilaaha illallaahu, Huwa-llaahu akbar! Allaahu
akbar wa lillaahil hamdu.
Wassalaamu ’alaikum Wr. Wb.
Research Paper
Summary report
Experiments for the objectification of pain and consciousness
during conventional (captive bolt stunning) and religiously
mandated (ritual cutting) slaughter procedures for sheep and
calves.
By W. Schulze, H. Schultze-Petzold, A.S. Hazem, and R. Gross
The Animal Welfare Act of 24 July 1972 (TierSchG) assumes the basic concept of an
ethically orientated animal welfare legislation. It further stipulates that the standards for
evaluating the obligation to protect animals should not so much be the result of human
sensitivities and emotional, but to be increasingly replaced by exact and representative
scientific knowledge of standards and requirements specific to animal species and
correspondent to their behaviour (Ertl. 1972). The Act thus conforms to the changing
attitude of man to the life circumstances and legitimate welfare entitlements of animals, a
development which can also be noticed internationally.
The rules for animal welfare founded on scientific standards of evaluation mean for many
of the regulated welfare concerns, e.g. the keeping and transportation of animals, a
necessity to clarify individual scientific and subject-specific issues. This clarification is a
precondition for a continued reform of animal welfare.
This applies in particular to the third section of the TierSchG, which deals with the killing of
animals. The provisions of this section are further directly connected to the law on
slaughter, which thus assumes the legal position of a special legislative part of the Animal
Welfare Act. This fundamental integration of the law on slaughter within the Animal Welfare
Act has been explicitly confirmed by a vote of the Council of Federal States dated 25
October 1963. At that time the Council of Federal States refused to authorise the draft of a
Third Directive on the Modification of the Directive on the slaughter of animals by the
Federal secretary of state for Nutrition, Agriculture and Forestry (BML) giving the following
reasons:
The regulations of the Law on slaughter (Act and directions on implementation on the
slaughter of animals dated 21 April 1933) are to be seen in their totality as part of the topic
Animal Welfare, which is to be seen as an independent and complete legal matter in the
Stunning v Slaughter Research Project - Hannover University 1978
1
meaning of the decision of the Federal Constitutional Court dated 11 May 1955 (BverfGE
4, 128-184). The Law on slaughter is therefore an integrated part of the Animal Welfare Act
and included in the general reform of the Animal Welfare Act demanded by parliament and
the public.
According to article 4, para. 1 TierSchG a vertebrate must only be killed after being
stunned or otherwise, where reasonable under the given circumstances, without afflicting
pain. Where the killing of a vertebrate is permitted without stunning, e.g. due to other
legislation, the killing must only be carried out with no more than the inevitable pain. This
binding general provision of the TierSchG must equally be the basis of the reformed Law
on slaughter.
With regard to the slaughter of hot-blooded vertebrates the task of a scientific clarification
of the processes during stunning and killing becomes paramount here. In other words: a
full-scope scientific investigation of existing ideas of the start, course and extent of the
reduction of perceptiveness and the sensitivity to pain including its expiration. This means:
clarity about the relation between stunning and killing. The term consciousness should be
avoided.
From an animal welfare rights perspective stunning here means a measure which moves
the animal to be slaughtered as quickly as possible and without fear into a condition of
complete loss of sensitivity and perception; the time factor does play an important role
here. This is followed by the killing, normally by way of bloodletting, which transforms the
animal to be slaughtered into a carcass.
Investigations of the effectiveness of stunning an animal to be slaughtered must in todays
understanding be based on the possibility of measuring pain reactions. There are a
number of publications on the various methods of stunning animals for slaughter.
However, their conclusions are so far predominantly based on subjective methods of
evaluation and contain little scientific evidence.
Recently, critical essays on the effectiveness of current methods of stunning animals for
slaughter are on the increase (Cantieni, 1977; Scheper, 1977). In the Netherlands a
committee (De Studiecommissie Bedwelming Slachtdieren) was established for the same
reason in 1975, and its most important task is to advice the government on reliable
methods of stunning animals for slaughter with regard to animal welfare.
For ruminants the captive bolt stunning device is the usual stunning device. In recent
decades it has been accepted for use all over the world. Whereas this device has been
recognised legally for stunning animals for slaughter nationally and internationally only
very few experimental works on this method have been published to date. A particular
cause for a careful evaluation is not at least the information by Arlt (1971) that 3 of 9
patients (suicide attempt) remained conscious for longer periods of time in spite of severe
penetrating brain injuries after a bolt shot in the frontal and temporal regions.
For animals, here specifically with regard to the slaughterhouse situation, a loss of
sensitivity and perception (stunning) can only be assumed when the animal lies completely
without movement after the respective measure and does not show any reaction to given
Stunning v Slaughter Research Project - Hannover University 1978
2
pain stimuli. On the other hand, we know from daily experience that captive bolt stunning,
in its various applications, can lead to different reactions. A knowledge and observation of
the necessary strength of the physical force applied in order to have the required
mechanical effect on the brain seems equally important here as the point of application
and direction of application of the bolt. There are hardly any experiments available for the
purpose of ensuring a definite stunning of the animal to be slaughtered.
The preparatory considerations for the restructuring of the slaughter legislation for cows,
calves and sheep also had to include the slaughter of these animals in accordance with
religiously mandated regulations without prior stunning (so-called ritual slaughter). Since
long, factual, legal, and ethical issues confront each other inextricably in this matter. The
opposition to a stunning-free slaughter has a long history. For example, the executive
committee of the Federation of Animal Welfare Associations petitioned the Imperial
German Parliament already in 1895 to proscribe the stunning-free slaughter. In 1910, 612
German slaughterhouse veterinarians and 41 German veterinary associations described
stunning-free slaughter as cruelty to animals in a declaration to the Imperial German
Parliament and demanded a legal prohibition.
Even before, in 1901, 441 out of 463 experts described the stunning-free slaughter as
contrary to animal welfare in a questionnaire aimed at all veterinarians as well as
university lecturers at veterinary colleges and professors of physiology in the then German
Empire (Spitaler, A., 1965). Representatives of animal welfare present the same opinion
today not only nationally, but also internationally. For example, the representatives of the
World Animal Welfare Association and the International Society for Animal Welfare
participating as observers in the deliberations of the Animal Protection Committee of the
Council of Europe in Strasbourg for the creation of a European Agreement on Animal
Welfare during Slaughter stated the following, amongst other things, about their strict
opposition of slaughter of ruminants in accordance with religious regulations (ritual
cutting): Ritual slaughter as such means considerable pain for the animals.
Further: The connection between the central and the peripheral nervous systems is not
severed by the ritual cut; in addition the vertebral artery remains intact, which results in
bovine animals in the brain continuing to a degree to be supplied with blood. And: As brain
impulses (electroencephalogram) and the capability of coordinated movement can still be
observed some time after the ritual cut, it must be assumed that the sensation of pain also
continues for some time. These considerations were presented by the observers
mentioned as the result of a discussion with scientific experts in veterinary medicine at the
university Munich in November 1996 (Council of Europe, Committee of Experts on the
Protection of Animals, 1976).
Representations of this kind have long been challenged by equally thorough studies and
observations of other established experts. For example, Bongart (1927) pointed out on the
basis of very extensive studies on the ritual slaughter of calves carried out with his
colleagues Hock, Muchlinsky and Schellner, that where ritual slaughter has been carried
out properly on animals, the resistance movements observed could no longer be
interpreted as signs of consciousness and sensation of pain. He reaches the conclusion
with regard to calves that no cruelty to animals of whatever kind can be found in the
Stunning v Slaughter Research Project - Hannover University 1978
3
application of the ritual slaughter method. As an example of a similar view of more recent
years the representations of Spoerri (1964) on the topic Animal welfare and ritual slaughter
can be cited. He reached the conviction on the basis of observations on some 50 ritually
slaughtered animals, as well as related experiments on rabbits, sheep, goat, and cows
under laboratory conditions, that the ritual slaughter of animals did not cause any or at
least no more pain than killing after captive bolt, electric or CO2 stunning. The studies of
Levinger (1976) are of a similar nature.
Schultze-Petzold (1973) characterises the scientific debate of these issues during a lecture
on the imminent creation of a European Agreement on the Welfare of Animals in the
Committee Animal Protection of the Council of Europe as follows: Those familiar with the
national and international literature on this problem must note that the problem of causing
and sensing pain and the elimination of consciousness and its criteria already existed
before the turn of the century with regard to the slaughter methods at the centre of the
evidence and counter-evidence of the cruelty of animals assumed in this case with the
exception of the issue of laying down the animal to be slaughtered, which today seems
resolved by using the hydraulic tilting equipment. All these considerations and attempted
experiments last carried out comprehensively by veterinary medicine some 40 years ago
are only more or less hypothetical in their conclusions.
For example they are not or only insufficiently able to make any statements on the kind
and intensity of the brain function linked to consciousness. This is, of course, mostly due to
the inadequacy of methodological possibilities at the time. Practically we are today, when
tackling the reform of the Law on slaughter, still faced with a situation that with regard to
the beginning and extent of the loss of perception and sensitivity and the stimulation of
sensing pain and its discontinuation, whether using captive bolt stunning or ritual
slaughter, there is no scientifically secure evidence available. The precondition of such
generally valid evidence is comparative studies aiming at the objectification and
measurability of pain and consciousness processes. This is furthermore a highly topical
issue in general medicine, as it comes close to the question of where life ends and death
begins. One need only refer to the discussion on the timing of the right to remove organs
for human transplantation.
The research of human medicine into the physiology of the senses has in this respect
turned intensively to modern methodological possibilities of discovery and has since
developed these into a useful objectification of these questions. Here the
electroencephalogram (EEG) most certainly plays a key role.
This poses the question for the Federal ministry of nutrition, agriculture and forestry (BML)
when starting work on the reform of the Law of slaughter: Should it not be possible, after
an adjustment for the various models of animals for slaughter, to find ways through this
kind of method to reach within a reasonable time a scientifically sound and predominantly
objective statement on the processes relevant for animal welfare during conventional as
well as ritual slaughter of hot-blooded animals?
In 1971 and 1973 the BML discussed this theoretical approach for a scientific clarification
of the issues at stake during talks with representatives of the Rabbinical Conference and
Stunning v Slaughter Research Project - Hannover University 1978
4
the Central Council of Jews in Germany, and the spiritual management of Muslim refugees
in the Federal Republic of Germany, respectively. At the same time the religiously
mandated factors applying to the ritual slaughter were clarified with these religious
communities. It was made clear that the respective religiously mandated provisions of both
religions continue to be binding for their members. As this conclusion has until recently
been repeatedly questioned with regard to the members of the Islamic faith in the Federal
Republic of Germany, a statement on the topic by the Turkish Government representative
in the Committee Animal Protection of the Council of Europe, Strasbourg, during the
creation of the above-mentioned European Agreement on Animal Welfare during slaughter
is partly quoted here: Turkey investigated the possibility of the electric stunning of animals
for slaughter. It must be noted that this procedure violates the expectations of the Turkish
people as well as the rules of the Muslim faith (Council of Europe, Committee of Experts
on the Protection of Animals, 1976).
During this preliminary work the BML asked experts of the various branches of learning
mentioned in a meeting in early 1974 to present their experiences and ideas. Both the
general discovery of the physiology of the senses relevant to this matter as well as all
potential methodological possibilities were discussed, not least with regard to their
adaptation to the models of animals for slaughter cow, calf, sheep and any necessary
initial experiments. The discussion was guided by the following questions:
1. What do we know and what can be measured using instruments?
2. What do we not yet know or do not know sufficiently?
3. What can be made measurable using instruments?
This does not merely concern the ritual slaughter complex, but also the scientifically
proven definition of the term stunning during captive bolt stunning. It needs to be
established whether the captive bolt does with the respective animals to be slaughtered
definitely cause a Commotio cerebri which only leads to unconsciousness after shaking
the limbic system. Otherwise the captive bolt method would only cause a Contusio in these
animals to be slaughtered, which generally would only lead to a motor paralysis.
Aim of the expert consultation was mainly an answer to the question: Does the current
state of methodology permit the experimental study of the pertaining scientific questions in
principle?
The minutes of this expert meeting on 7-9 February 1974 at the BML contain the following
summary of results: The experts discussed the anatomical, physiological and clinical
issues in depth with regard to the current methodological possibilities. Special emphasis
was given to the species-specific variations and the comparability to analogous human
experiences. The experts mainly agree that, especially due to the different anatomical
starting conditions for the animal species under consideration, a principal comparability
must not be assumed from the outset. This also applies to the respective age categories
(e.g. calf/cow). Relevant research is being advocated. When investigating the
methodological possibilities, the key candidates are: EEG, blood pressure and brain
pressure measurements, angiography, reflex studies, and functional investigations of the
Stunning v Slaughter Research Project - Hannover University 1978
5
adrenocortis. During initial experiments measurements should be as extensive as
possible, in order to reveal unidentifiable correlations. During questioning the experts
appeared to place special emphasis on the factor time/pain, as for a future legislative
regulation both terms are of equal importance. Initially investigations using EEG together
with electrocardiagram (ECG) and blood pressure and reflex measurements appear
promising, followed by checking the adrenocortial function (adrenalin corticosteroid
discharge) with horizontal catheter (BML AZ. 321 2971.4 60/73).
Following the decision of the expert group the BML issued on 1st July 1974 a research
brief on the topic Objectification of pain and consciousness in the context of conventional
and ritual slaughter of ruminants (initially sheep and calves) to Prof Dr W Schulze, director
of the Clinic for small clawed animals and forensic medicine and mobile clinic of the
veterinary university of Hanover. Within the research work of that clinic religious,
physiological, and technical issues of ritual slaughter had been dealt with in a
comprehensive study since the time of Kunkel (1962).
The research brief issued by the BML demanded a gradual development of the studies.
The mastery of electrode technology and electrode implantation for the animal species
concerned, the mastery of external electricity by building a Faraday cage for the
experiments, and the preliminary experiments on rabbits must be mentioned as the first
significant steps of the study. The individual work approaches required for this have since
been published (Weber, 1975; Freesemann, 1976, and Gross, 1976).
Early June 1977 the Clinic for small clawed animals and forensic medicine and mobile
clinic of the veterinary university of Hanover published a short report on this research brief
(Hazem, A.S., Gross, R., Schulze, W., 1977).
These documents reveal the following: The investigations carried out aimed at providing
objective data for the evaluation of ritual slaughter from an animal welfare legislation point
of view. As part of the research project the effectiveness of captive bolt stunning was first
analysed using EEG. Comparable data about the ritual slaughter were then gained using
the same method of deduction and evaluation. The ritual cut experiments were carried out
on 17 sheep of the breed black headed meat sheep and 15 calves of various breeds. To
further investigate the occurrence of low frequency potentials in sheep stunned by captive
bolt followed by a bloodletting cut, six sheep were stunned in a second phase of the
experiment by captive bolt and then bled at various intervals.
The approach of these studies can be summarised as follows:
Experiments for measuring the heart frequency and brain activity during slaughter
conditions were carried out on 23 sheep and 15 calves. After implanting permanent
electrodes into the Os frontale the cerebral cortex impulses were measured for 17 sheep
and 10 calves during ritual slaughter and for 6 sheep and 5 calves during captive bolt
application with subsequent bloodletting. Some sheep were additionally subjected to
thermal pain stimuli after the ritual cut.
The investigations had the following results:
a) For slaughter by ritual cut:
Stunning v Slaughter Research Project - Hannover University 1978
6
1. After the bloodletting cut the EEG initially is the same as the EEG before the cut. There
is a high probability that the loss of reaction took place within 4 6 seconds for sheep and
within 10 seconds for calves.
2. The zero line in the EEG was recorded no later than after 13 seconds for 17 sheep and
no later than 23 seconds for 7 calves.
3. Thermal pain stimuli did not cause an increase in activity.
4. After the cut the heart frequency rose for calves within 40 seconds to 240 heart actions
per minute and for sheep within 40 seconds to 280 heart actions per minute.
b) For slaughter after captive bolt application:
1. After captive bolt stunning all animals displayed most severe general disturbances
(waves of 1-2 Hz) in the EEG, which almost with certainty eliminates a sense of pain.
2. The zero line in the EEG was reached for 4 calves after 28 seconds.
3. For two sheep the cerebral cortex activity only stopped in one half of the brain, whilst it
continued in the other in the region (up to 3.5 Hz) until the bloodletting cut.
4. The bloodletting cut resulted for all animals in a brain activity (e and d waves).
5. Thermal pain stimuli caused an increase in activity in one sheep.
6. The heart frequency rose directly after stunning to values above 300 actions per minute.
In summary the following conclusions are possible:
1. Slaughter after captive bolt stunning
A. Calves
After captive bolt stunning most severe general disturbances (waves of 1-2 Hz) occurred in
the EEG, which almost with certainty eliminates a sense of pain.
B. Sheep
Similar disturbances were also seen in sheep, but besides the somewhat higher frequency
there are still clearly superimposed waves. For one animal waves could be recorded after
pain stimuli until after the 200th second. Apparent cramps were registered for all sheep
with the exception of one animal.
2. Slaughter in the form of ritual cut
A. Calves
Stunning v Slaughter Research Project - Hannover University 1978
7
After the bloodletting cut loss of reaction (loss of consciousness) occurred with high
probability within 10 seconds. A clear reaction to the cut could not be detected in any
animal. For 7 animals a zero EEG was recorded no later than after 23 seconds. Cramps
occurred in the animals regularly only after the brain currents had stopped.
B. Sheep
After the bloodletting cut loss of reaction (loss of consciousness) occurred after 10
seconds the latest. A clear reaction to the cut could not be detected in any animal. The
zero line was recorded no later than 14 seconds after the cut. Cramps only occurred after
the zero line had been detected and were much shorter than after captive bolt stunning.
The slaughter in the form of ritual cut is, if carried out properly, painless in sheep
and calves according to the EEG recordings and the missing defensive actions.
During the experiments with captive bolt stunning no indications could be found for
proscribing this method for calves.
For sheep, however, there were in parts severe reactions both to the bloodletting cut and
the pain stimuli. A proof of the reliable effectiveness of captive bolt stunning could not be
provided using the methods applied.
These first experiments carried out under clinical conditions and the insights for the
correlations of sensory physiology during stunning/slaughter of small ruminants initially
lead to the following factual and legal considerations for the preparation of legislation:
These experiments on sheep and calves carried out within a clinic show that during a ritual
slaughter, carried out according to the state of the art using hydraulically operated tilting
equipment and a ritual cut, pain and suffering to the extent as has since long been
generally associated in public with this kind of slaughter cannot be registered; the ritual
slaughter carried out under these experimental conditions complies with the requirements
of article 4 para. 1 TierSchG. The EEG zero line as a certain sign of the expiration of
cerebral cortex activity and according to todays state of knowledge also of consciousness
occurred generally within considerably less time than during the slaughter method after
captive bolt stunning.
Nobody can dispute that any slaughter of animals is an aesthetically loaded process. Thus
the wide-spread emotional resistance to kill an animal, which has not been stunned, by
cutting the throat, is understandable. Certainly the psychological argument for stunning the
animal to be slaughtered must be considered to some degree for the person carrying out
the slaughter or consuming the meat of these animals. Whether these initial findings of
objective data on the processes of consciousness/pain made possible by the research
brief are sufficient to somewhat alter existing opinions in the sense of the scientific
orientation of animal welfare as demanded by the TierSchG, remains to be seen. They
need to be followed as a high priority by further investigations in the continuation of the
scientific clarification of the issues of loss of pain and consciousness during slaughter of
this kind with and without stunning using the same experimental approach with a
Stunning v Slaughter Research Project - Hannover University 1978
8
representative number of grown cows of various breeds. A new research brief is already
due to be issued to a different scientific institute.
The objective results presented for the captive bolt application in sheep show that here a
satisfactory prevention of pain could not be proven with clinical methods; rather it indicates
that the captive bolt device used is suspect. Therefore, research work in this field is also
urgently required. This must be concerned with achieving an appropriate standardisation
of the charge size, to ensure the rapid loss of perception and sensation in animals of
different kinds and sizes. Similarly, the optimal dimension of the captive bolt must be found
and finally the best shooting position and direction during application of the captive bolt
device for the respective type of animal for slaughter. This must be based on the
experience that the results gained for one species cannot simply be transferred to another.
Further a subsequent regulation of the official approval for stunning devices, the methods
of application after scientific review and a regular notification of approved devices must
already be considered, as must a regular official audit of approved devices used for
stunning. An appropriate training of the personnel concerned is also intended.
On the whole the insights into responses of the cerebral cortex to invasion and
interference with the organism of an animal for slaughter gained through the existing
research brief should also give rise to placing the research of sensory physiology in
animals increasingly in the centre of veterinary medicinal research. Why should the
measurable brain functions not also be given particular relevance during diagnostics!
Finally a few thoughts on the relevance of new scientific findings for existing law:
New scientific findings and the results presented are only a very first contribution which
show that the ritual cut causes a very rapid loss of consciousness have an immediate
bearing only if the practice ritual slaughter comes under the heading of causing pain
(articles 1 and 4 para. 1 TierSchG).
They do not affect the requirement for stunning contained in article 4 para 1 TierSchG and
the Law on slaughter of 1933 with the exception of the religious slaughter/ritual cut
protected as part of the freedom of religious practice by the higher-order constitutional law.
New findings of this kind may make the original considerations on this issue for including
the requirement of stunning into the above-mentioned laws appear irrelevant. As laws do,
however, remain in force irrespective of the causes which lead to their enactment, such
findings are to this extent without consequence.
It must, however, be considered separately to what degree and in which way such findings
should be considered during the restructuring of the Law on slaughter.
The same applies with regard to the stunning requirement demanded in the directive of the
Council of European Communities dated 18 November 1974 on the stunning of animals
prior to slaughter (1974). Here too, new scientific findings can only give rise to
deliberations, whether such an instruction is or maybe continues to be factually justified,
but they cannot question the validity of this instruction. New findings must, therefore, be
left out of the consideration to what extent the national Law of Slaughter meets the
demands of the above-mentioned directive. They can only be relevant when determining
Stunning v Slaughter Research Project - Hannover University 1978
9
the special cases in article 3 of the above-mentioned EC directive, as the religiously
mandated ritual slaughter/ritual cut included as an exemption should be re-evaluated
against the background of legal reasoning.
Summary
The deliberations on the restructuring of the Law of slaughter must with respect to the area
stunning/killing mainly follow the guidelines of article 4 TierSchG. The Law of slaughter is
seen as an integral part of the Animal Welfare Legislation. This stipulates generally that
the standards of evaluation for the protection of animals should increasingly be oriented on
exact and reproducible scientific findings. The approach, preparation, and implementation
as well as the results of a research project of the BML at the Clinic for small clawed
animals and forensic medicine and mobile clinic of the veterinary university of Hanover in
the context of conventional (captive bolt stunning) and ritual (ritual cut) slaughter of small
ruminants are being reported.
The insights gained through comparative investigation into the sensory physiological
processes during the slaughter of these animals differ in parts greatly from existing
conceptions. The necessary conclusions are being discussed and finally the effects on the
legal situation are being commented on.
From Deutsche Tieraerztliche Wochenschrift (German veterinary weekly) volume 85
(1978), pages 62-66 translated by Dr Sahib M. Bleher, Dip Trans MIL
Stunning v Slaughter Research Project - Hannover University 1978
10
Muslim Council of Britain
Response to DEFRA Consultation process on
FAWC REPORT ON THE WELFARE OF FARMED ANIMALS AT
SLAUGHTER OR KILLING - PART 1: RED MEAT ANIMALS
Evaluation of religious slaughter is an area where many people have lost
scientific objectivity. This has resulted in biased and selective reviewing
of the literature. Politics have interfered with good science.
Grandin & Regenstein(1994)
1.
The Muslim Council of Britain (MCB) is the largest Muslim umbrella
organization with over four hundred national, regional and local Muslim
bodies and associations including mosques as its affiliates. It aims to
enable the Muslim community to realise its full potential by participating
in and contributing to the mainstream society.
2.
Islam is a way of life, governed by what is prescribed in the Holy Qur’an
and by the traditions of the Prophet Mohammed, peace be upon him.
Our dietary laws are well defined.
While consumption of meat is
allowed, this concession is not without responsibilities. There is clear
guidance on which animals can be consumed for food and which are
prohibited. Together with the permission to kill animals comes the
guidance on how the animal should be reared, grazed, what they should
be fed, how they should be slaughtered in one swift stroke by severing
both carotid arteries, jugular veins, esophagus, and trachea, using a
very sharp knife. These guidelines provided to us over 1400 years ago
epitomize the basic principles of animal welfare that make religious
slaughter most humane – it is the least painful method of slaughter.
3.
We believe in the wisdom of this Divine Code of Practice; it is important
that we follow this Code in its totality; we cannot pick and choose from
these principles.
4.
The right to practice our faith is enshrined in Article 9 of the European
Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental
Freedoms. UK legislation makes provision for religious slaughter by
exempting Muslims and Jews from stunning animals before they are
slaughtered (Welfare of Animals at Slaughter (or Killing), Regulations
1995, Part IV, Regulation 22).
5.
The Farm Animal Welfare Council’s (FAWC) statement in Para 201,
“Slaughter without pre-stunning is unacceptable and that the
Government should repeal the current legislation” is misleading and is
not based on objective evidence - Para 194 states, ‘it is difficult to
measure pain and distress during the slaughter process in an objective
manner’. This is not the first time FAWC have made such a
recommendation; a similar demand in their previous report (1985) was
also rejected after representations from the affected religious
communities. The arguments presented then have not changed – in fact
they have been strengthened by scientific publications1, 2,3.
6.
While we welcome the Government’s decision to reject recommendation
61 (para 201) we take strong issue with the conclusion that “on balance,
animals (especially cattle) slaughtered without pre-stunning are likely to
experience very significant pain and distress before insensibility
supervenes". This has caused much disquiet and unrest among the
community and distracted from wider constructive discussion with the
community on finding ways of improving animal welfare and enforcing
WASK regulations.
7.
Objective evaluation of published scientific evidence clearly shows how
attention to the design and operation of slaughterhouse and careful
handling of cattle reduces fear and distress among the animals.
Religious slaughter is the least painful and most humane method, it does
not compromise animal welfare or pose risk to human health.
8.
The work of Grandin1 and of Schulze et al2(ignored by FAWC, is also
summarized below. Grandin considered three main areas:
a) Features that keep the animals calm and reduce stress
(applicable to both religious as well as mainstream slaughter after
stunning):
 Design features in the slaughterhouse (lairage, non-slippery
flooring, solid walls, non-reflective surfaces, lowering of noise),
 Use of Upright Body and head restraint systems
 Automated conveyor track
 If handled gently and calmly, cattle enter voluntarily into the box,
 ‘Cattle will place their heads in a well-designed head restraint
device that is properly operated by a trained operator4.
b) Pain perception during incision1:




Use of very sharp knife, at least twice as long as width of the neck
Adequately trained, experienced operator
Swift cut, avoiding see saw movements
Severance of carotid arteries on both sides
2



Reaction ‘no more than a flinch’ when the throat is cut,
No further reaction of the animal’s body or legs during the throat
cut,
‘it appears that the animal is not aware that its throat has been
cut’
c) Time to loss of sensitivity:
 Calm cattle collapsed quickly (often within 10 to 15s) and have a
more rapid onset of insensibility.
 severing both carotid arteries and jugular veins (required by
WASK Religious slaughter Regulation significantly reduces the
time to loss of sensitivity
 Using rapid cutting stroke (95%) of calves collapse almost
immediately5.
 Conversely, a slow knife stroke retained consciousness for up to
30 seconds in up to 30% cattle.
It is clear therefore, that provided attention is given to the design,
construction and operation of the slaughterhouse, appropriately trained
personnel are employed to handle animals appropriately, religious
method is the least painful and most humane method of slaughter. That
this evidence is based on work with cattle is further proof that on
balance cattle slaughtered without pre-stunning DO NOT experience
very significant pain and distress’.
It is only appropriate, therefore that the Government rescind their
statement that animals (especially cattle) slaughtered without prestunning are likely to experience very significant pain and distress.
Islamic method of slaughter is most humane and least painful:
A study carried out by Prof Schulze and colleagues at the School of Veterinary
Medicine, University of Hanover, Germany 2 has shown that EEG recordings in
animals slaughtered by the Islamic ‘halal’ method did not show any change
from the graph before slaughter during the first 3 seconds - indicating thereby
that the animal did not feel any pain. The EEG recordings of the following 3
seconds showed a condition of deep sleep – unconsciousness; due to large
quantity of blood gushing out of the body. Following these 6 seconds, the EEG
recorded zero level while the ECG showed heart beating and body convulsing –
a reflex action of the spinal cord); simultaneous ECG recordings showed rapid
pulse.
EEG recordings of animals that were subjected to stunning by the captive bolt
method were apparently unconscious soon after stunning but the EEG showed
severe pain immediately after stunning followed by cardiac arrest.
3
Stunning and Animal Welfare problems:

Several methods are used for stunning animals. Each method has its inherent
problems and failure rate.

Re-stunning is difficult to achieve and subjects the animals to
considerable pain and distress.

‘Mis-stunned’ animals may not be detected and conscious animals go
through the process that is meant for unconscious animals.

Stunned animals (e.g. by electrical ‘head only’ method) regain
consciousness before slaughter - the stunning-sticking time has to be
shorter than is achievable in practice. Grandin advises 10 sec stunto-stick time (while FAWC recommend 20 sec). In practice this short
stun-to-stick time is difficult to achieve. Consequently greater pain
and suffering will be endured by millions of animals (nearly one in
five of the 37.3m red meat animals) that will regain consciousness
but go through the mechanized procedures in the abattoir as if they
are unconscious:
Animal
Species
Total killed
Cattle
Sheep
Pigs
Total
2.3 m
18.7 m
16.3 m
37.3 m
Stunned animals regaining
consciousness
Number
Percentage
0.23
5.00
1.80
7.03
m
m
m
m
10.0%
26.7%
11.0%
19.0%

Thus one-in-five animals intended to be slaughtered / killed while
unconscious is in fact conscious. Animals
subjected to mainstream slaughter methods indeed undergo ‘very
significant pain and distress’.
We agree with FAWC’s statement
“welfare assessment concerns individual animals; the more animals
which are affected, the more serious is the problem’ – 7.3m in this
case.

The report observes that only a small number of electrical stunning
systems are used installed in Great Britain (para172), the equipment
in use had ‘nothing to indicate the currents applied or under load’,
Para 178 highlights the need to “produce guidance for
4
slaughterhouse operators on recognizing an effective stun/kill when
using electrical equipment on cattle”. These observations do not
inspire confidence that electrical stunning of cattle provides a means
of improving animal welfare.

In addition to the process of electrical stunning, a process of spinal
depolarization is carried out before the animal is ejected from the
stunning crate (para 173). This additional procedure is necessary to
protect operators from injury otherwise caused by ‘reflex movement’
in the stunned animals. This appears to be an additional opportunity
for mishaps.
Risk to human health & safety – vCJD associated with BSE:
Stunning can spread germs in the abattoir environment6. Captive bolt stunning
scatters the brain into the major parts of the animal’s body such as heart,
lung, liver, thus posing a risk to human health7,8,9. Certain forms of captive
bolt methods have been shown to increase the risk of BSE prompting the SSC
of EU to ban pithing and pneumatic methods. In Para 162 FAWC refer to
concerns ‘about the use of captive bolt stunners also prove in the light of
nvCJD’. FAWC go on to state, “the potential loss of this tool without a suitable
substitute would present major animal welfare challenge.” Slaughter without
stunning offers a suitable substitute to captive bolt, electrical methods and to
the use of aversive gases.
The notion that stunning solves all animal welfare problems is simply not true;
stunning creates more problems than it solves. It is likely that other forms of
stunning may be shown to increase the risk of spread of BSE or other diseases.
Illegal Slaughter – an animal welfare issue not addressed in FAWC
Report:
In recent years there has been much publicity about illegal slaughter, diseased
and emaciated carcasses entering food chain.
At their recent Annual
Conference the Chartered Institute of Environmental Health joined several
welfare organisations and professionals who have expressed concern over the
increasing number of animals involved in illegal slaughter and the entry of
meat unfit for human consumption in the food chain. “Meat crimes threaten
public health, violate people’s religious belief and abuse their trust and
frequently involve cruelty to animals.”11
5
There is no mention of this aspect of animal welfare in FAWC report. After
arms and narcotics the trade in illegal meat is considered to be the third
biggest illegal trade estimated to be worth up to £1bn a year.10
Recommendation 62 (Para 203): Until the current exemption which
permits slaughter without pre-stunning is repealed, Council
recommends that any animal not stunned before slaughter should
receive an immediate post-cut stun.
MCB Response: The benefits of slaughterhouse design, animal handling, use of
appropriately designed restraints, severance of both carotids – together
provide substantial animal welfare benefits. What is the point of subjecting the
animal to pain twice?
Recommendation 63 (Para 210): The law should be changed to permit
the bleeding of pigs and sheep within sight of their con-specifics in
England and Wales, provided that a maximum stun to bleed time of 15
seconds is set down in legislation.
MCB Response: Islamic rules of slaughter do not allow killing of an animal in
front of another. Therefore we do not accept this recommendation and wish to
ensure that this is not introduced as a requirement.
Recommendation 65 (Para 213): The law should require that bleeding
should be carried out by severing both carotid arteries.
MCB Response: Islamic method of slaughter includes severance of both carotid
arteries and jugular veins and is required as part of the WASK 1995 regulation
(Religious Slaughter). We accept this recommendation and suggest that it
should also be included for mainstream slaughter.
6
Summary:
The statement “Slaughter without pre-stunning is unacceptable and that the
Government should repeal the current legislation” (para 201) is misleading and
not based on any objective evidence. We welcome the Government’s decision
to reject this recommendation.
The Government, however, have given the wrong reason for the rejection their conclusion that “on balance, animals (especially cattle) slaughtered
without pre-stunning are likely to experience very significant pain and distress
before insensibility supervenes" is incorrect and is based on selective
information and not on objective evidence. This has caused much disquiet and
unrest among the community and distracted from wider constructive
discussion. The Islamic method of slaughter is the most humane and least
painful, achieves stun and kill in one step and prevents the spread of BSE /
vCJD. It is only appropriate that they rescind this statement.
We endorse recommendation 65 (para: 213), requiring ‘bleeding to be carried
out by severing both carotid arteries’. Doing so will bring mainstream WASK in
line with current requirement in religious slaughter legislation.
The notion that stunning solves all animal welfare problems is simply not true;
stunning creates more animal problems than it solves.
7
References:
1.
Grandin & Regenstein (1994) Religious slaughter and animal welfare: a
discussion for meat scientists” Meat Focus International – March 1994,
pages 115 – 123, CAB International
2.
Schulze, W; Schultze-Petzold, H; Hazem, A S; Gross, R
Deutsche Tieraeztliche Wodenschrift, 1978, vol 85(2): 62-66,
3.
Rosen, S D (2004) Physiological Insights into Shechita Vet Rec (2004),
154, 759 - 765
4.
Grandin T: Observations of cattle restraint devices for stunning and
slaughtering Animal Welfare 11992, p 85 – 91
5.
Grandin T (1987) High speed double rail restrainer for stunning or ritual
slaughter
International Congress of Meat Scientists and Technology;
1987 pages 102-104
6.
Daly et al: Stunning can spread germs in the abattoir environment,
Applied Environmental Microbiology, 2002, 68(2), 791
7.
8.
9.
10.
Moore, RR; Love, S et al.
Dissemination of brain emboli following
Captive Bolt Stunning of sheep: capacity for entry into the systemic
arterial circulation, Journal of Food Production, 2004, vol 67(5) pp 1050
– 52
Love, s; Helps, CR; Williams, S et al
Methods of detection of
haematogenous dissemination of brain tissue after stunning of cattle
with captive bolt guns J of Neuroscience Methods 2000 p 53-58
Prendergast, DM; Sheridan, JJ; Daly, DJ et al Dissemination of central
nervous system tissue from the brain and spinal cord of cattle after
captive bolt stunning and carcass splitting, Meat Science, 2003;pp1201
– 1209
Teinaz, Yunes (2004) Meat Crimes in the UK The Royal Society for the
Promotion of Health, Guest Lecture, 19th May 2004
June 23, 2004
8
Download