seni arus bawah jalan lempang

advertisement
 SENI ARUS BAWAH JALAN LEMPANG Oleh, Arahmaiani “ Kunduran Truk ” adalah tajuk pameran yang disodorkan oleh komunitas perupa perempuan perek ( Perempuan Eksperimental ) pada saya untuk dikuratori. Sebelum menerima tawaran dan menyetujui tema yang diajukan saya meminta penjelasan lebih lanjut mengenai maksud dan tujuan maupun pertimbangan pemilihan tema. Hal ini saya anggap penting karena bekerja sebagai kurator sebetulnya harus sesuian dengan “hati nurani” ,maksudnya jika projek pameran ataupun karya-­‐karya yang akan diharapkan tampil tidak menarik maka saya tak akan menerima pekerjaan itu. Pada dasarnya bekerja sebagai kurator untuk tujuan apresiasi seni adalah sama dengan semua pekerjaan para “idealis” lainya. Singkat kata akhirnya saya menerim tawaran projek pameran ini karena memang sungguh menarik baik di lihat dari sisi tematis maupun proses kuratorial. Projek yang tampaknya ingin bersentuhan dengan “arus bawah” ini juga menawarkan pendekatan alternative dan sekaligus tantangan . Beberapa poin penting diajukan sebagai alasan kenapa projek pameran ini dianggap perlu diselenggarakan. Selain berusaha konsisten dengan gaya komunitas yang mengambil jalur berkesenian secara eksperimental, kelompok perupa perempuan ini juga merasa prihatin dengan situasi medan seni rupa kita yang belakangan tampak “kacau”. Setelah diterpa badai booming pasar yang menguntungkan segelintir perupa secara financial , kondisi dunia seni rupa secra umum seperti porak poranda. Apresiasi karya dalam arti sebenarnya ( dan bukan karena nilai nominalnya ) tampak merosot tajam sehingga karya-­‐karya kebanyakan menjadi pupur serta gincu. Agaknya tekanan pasar telah “menjebak” para seniman untuk larut dalam gelombang harapam dam iming-­‐iming dan terus meladeni permintaan pasar. Begitu pula dengan kritik dan penulisan seperti menjadi alakadar , akibatnya pewacanaan macet dan gagasan sulit untuk dikembangkan . Selain juga diajukan alas an penting dan mendasar bahwa dunia seni rupa kini dianggap telah bergeser ke tataran lain dan menjauh dari realitas kehidupan . Ia telah “tersesat” karena mengambil jalur salah dan melanggar rambu –rambu dan terjebak dalam situasi celaka. Entah karena tekanan pasar atau konsep pendidikan seni yang “salah arah” ataupun kombinasi kedua-­‐nya. Dunia seni menjadi sangat eksklusif dan seperti tak ada hubungan lagi dengan kehidupan. Senimanpun lalu tampil dan bergaya bagi pengusaha kelas menengah yang lebih sibuk memenej produksi dan distribusi karya timbang mengeksplorasi kreativitas dan menemukan bahasa estetika “baru” yang segar dan membawa kesadaran yang juga baru. Wadhag seni lalu menjadi dianggap sangat penting dan dipatok lewat nilai nominalnya. Sensasi visual menjadi jauh lebih penting dari nilai simbolik yang menjadi ruh dari sebuah karya. Atau dengan kata lain bentuk dan tampilan luar menjadi sesuatu yang dipuja dan substansi dianggap tak berguna. Demikian cara pandang dikhotomis yang tidak melihat karya sebagai sesuatu yang utuh dan tidak bisa dipisah-­‐pisah. Seakan seni hanya menjadi seperti seonggok daging yang bisa dipotong-­‐potong telah mengakibatkan keracunan pemahaman mengenai makna seni itu sendiri. Jika saya yang memahami secara racun itu hanyalah para pedagang dan pembutuh seni ini bukan malapetaka besar. Namun jika hal yang menimpa para seniman dan pendidik seni dan lalu mereka manut selera pedagang maka pertanyaan –pertanyaan mendasar falasafah seni serta fungsi dan peran seniman dalam masyarakat sudah sepantasnya untuk diajukan kembali. Begitu pula dengan konsep dan pendekatan pendidikan seni harus dipertanyakan kembali dasar,arah ,maupun tujuannya. Jika sudah berada dalam situasi dan kondisi seperti ini dunia seni sepertinya menemui jalan buntu. Bagai truk yang kepenthok maka pengemudi harus mengubah haluan dan mencari jalan baru jika ingin terus melaju. Selanjutnya jika pertanyaan-­‐pertanyaan paling mendasar bisa dikemukakan maka dengan sendirinya akan munculnya pertanyaan seputar sistem seni , produk dan distribusi. Tak urung pasarpun takan luput dari analisis dan pertanyaan. Segala “kemapanan” dalam sistem yang disangga pasarpun kini mendapat tantangan dan pertanyaan provokatif yang sederhana namun mengena. Maka muncul pertanya : karya mana yang lebih bernilai , yang cantik menarik visual namun tanpa idea tau karya dengan ide menarik dan berpenampilan “alternatife”? sebetulnya siapakah yang memiliki otoritas untuk menentukan apakah sebuah karya itu “indah” atau tidak? Maka mau tak malu lalu kita akan dihadang pertanyaan fundenmental : apa sih kreativitas itu sebenarnya dan apa hubungannya dengan keindahan? Pepatah mengatakan : Ada banyak jalan ke roma , begitu pula jika ingin menemukan seni ada banyak strategi dan pendekatan kerja. Terhimpun 56 orang perupa (36 perupa perempuan dan 20 perupa laki –laki ) dari berbagai angkatan dan latar belakang bergabung dalam pameran ini. Kunduran yang bisa diartikan sebagai kemalangan atau peristiwa tragis sebagai titik tolak dan miniatur truk / bis sebagai pijakan lalu menjadi media ekspresi yang boleh “diotak-­‐atik” seturut imajinasi para seniman. Mulai dari bentuk kendaraan ( yang besar dan tampak maskulin ) hingga fungsi dan asesorisnya menjadi lahan garapan dimana imajinasi dan fantasi seniman bisa dijelajahi dengan leluasa. Memperhatikan lebih lanjut “keliaran” imajinasi perserta bisa dilihat betapa seuah benda sederhana kemudian bisa menyampaikan “banyak cerita”. Berbagai macam khayalan dan angan-­‐angan maupun kehendak bisa terbaca lewat garapan visual yang terkadang tak terduga, muncul secara tiba-­‐tiba dan lalu membawa pada pemikiran dan renungan. Bahkan dalam beberapa garapan karya yang serius makna bisa muncul secara berlapis-­‐lapis. Truk bisa menjadi symbol berbagai aspek kehidupan, entah itu bermuara pada kesenangan ataupun kepedihan. Cara pendekatan juga bervariasi ada yang menganggap dan memperlakukan objek tersebut sebagai setting dari ide , ada yang melihatnya sebagai metafora, dan ada juga yang “mempermainkan” bentuk dasar atau visualisasinya. Ada yang mengambil cara dengan mengubah ,memodifikasi,dan bahkan “merusak” ataupun menambahi elemen lain sebagai upaya memperjelas gagasan yang ingin disampaikan. Beberapa karya memperlihatkan upaya intensif seniman dalam pergulatan dengan gagasan dan usaha maksimal untuk mewujudkan bentuk dari gagasan tersebut sehingga karya hadir secara utuh. Maka angtara bentuk /visualisasi dan gagasan ataupun konsep terjadi kesatuan. Bisa dilihat jelas dalam karya-­‐karya yang tergarap dengan baik terjadi “keseimbangan” antara bentuk dan isi. Karyapun kini menjadi “katalis” atau semacam penghantar pada keluasan imajinasi dan kedalaman perenungan akan berbagai hal yang menjadi pokok-­‐pokok pemikiran dalam kehidupan yang menjadi fokus sang seniman. Atau dengan lain perkataan karya itu kini sanggup “berbicara”. Jadi objek kecil yang terlihat sederhana dan seperti tak bernilai itu setelah didekati dengan cara kreatif bisa memunculkan berbagai kemungkinan dan “persoalan”. Maka hal yang sebenarnya menjadi substansi dari sebuah karya yaitu pengajuan maupun pertanyaan akan “nilai-­‐nilai” bisa dilacak dan ditemukan. Disini miniature truk yang diam tidak bergerak itu lalu menjadi “kendaraan” sesungguhnya dari gagasan dan konsep para seniman. Ia menghantarkan seniman dan penontonnya pada keleluasaan fantasi dan tingkat kesadaran serta lapisan makna yang bisa merambah dan terhubung dengan berbagai ranah entah filsafat, budaya , social –politik , sosialekonomi , kesetaraan gender , religi , psikologi maupun definisi dan sitem seni itu sendiri. Dan jika dibarengi dengan penggarapan teknik yang baik ternyata karya yang tampak kecil ini sebetulnya bisa “menyuarakan” sesuatu yang “besar” dan menyentuh rasa estetika yang kemudian disepakati untuk disebut sebagai indah. Projek pameran yang dirancang sebagai langkah awal dari projek lanjutan yang merupakan pengembangan tampaknya cukup ,menggugah para seniman untuk kembali menekuni proses kreatif. Semangat penjelajahan pencarian , atau bahkan “perlawanan” sepertinya sudah bangkit kembali dari tidur yang cukup lelap. Agaknya pada satu sisi krisis keuangan global yang berdampak kurang baik pada perekonomian secara umum juga telah menyebabkan surutnya kegiatan dipasar seni. Banyak orang menjadi bingung dengan keadaan yang tiba-­‐tiba berubah ini, khususnya mereka para pelaku pasar. Namun di sisi lain kondisi ini juga telah membawa hal positif dunia seni seperti dikembalikan pada kondisi “ normal”. Kini seniman bisa punya waktu dan ruang yang cukup luas untuk berkontemplasi dan tidak hanya sibuk berproduksi. Dan seni “arus bawah” atau seni yang menyempal dari “seni penting” yang bisa menyulut “api kesadaran” pun sekarang sudah di lempangkan kembali jalanya dan dimungkinkan untuk bertumbuh kembang. 
Download