melahirkan imperatif moralitas dalam karya visual

advertisement
MELAHIRKAN IMPERATIF MORALITAS DALAM KARYA VISUAL (Obed Bima Wicandra)
MELAHIRKAN IMPERATIF MORALITAS DALAM
KARYA VISUAL
Obed Bima Wicandra
Dosen Jurusan Desain Komunikasi Visual
Fakultas Seni dan Desain-Universitas Kristen Petra
ABSTRAK
Estetika visual dalam seni rupa semakin dipertanyakan dalam konteks budaya global yang terbuka.
Karya yang menjurus kekerasan, pornografi, kebohongan dan hal lain yang jauh dari moral dan etika
diperhadapkan dengan identitas masyarakat yang mengikuti hasrat dalam memenuhi kebutuhan
konsumtifnya. Karya-karya visual yang semakin berkembang beserta dengan medianya merangsang kreator
visual dalam menuangkan gagasan dan imajinasi. Bagi peradaban kehidupan manusia, karya-karya visual
yang dibuat harus mendukung arah peradaban yang lebih baik. Di sini peran iman dalam hubungannya
dengan Tuhan mendapat ruang berinteraksi, sehingga karya visual yang dihasilkan mencerminkan kodekode maupun simbol dalam perputaran ideologi atau nilai-nilai budaya yang menjunjung tinggi hakikat
keimanan.
Kata kunci: estetika visual, imperatif moralitas, iman.
ABSTRACT
Visual aesthetics in visual arts are more and more questioned in the context of open global culture.
Works that lead to violence, pornography, lies, and other things far from morality and ethics, are faced with
public's identity to follow their desire to fulfill their consumtive needs. The blossoming of visual works and
their media stimulates the visual creators in expressing ideas and imagination. Created visual works must
support a better cultural direction for human life. Faith in its relation to God plays a role in achieveing
space for interaction, so that visual works can reflect codes or symbols in the cycle of ideology or cultural
values that respect the essence of faith.
Keywords: visual aesthetics, moral imperative, faith.
PENDAHULUAN
Seniman atau seorang desainer berangkat dari pemahaman tentang konsep yang terbaca
dari pengalaman kedekatannya dengan lingkungan untuk menuangkan imajinasinya. Imajinasi
yang menurut Sartre (1972) merupakan alam kesadaran untuk membayangkan sebuah tempat
yang dihuni oleh kesamaan-kesamaan yang merupakan kumpulan imaji, telah mengalirkan
sejumlah gagasan untuk berkarya.
Gagasan dari seorang pencipta karya visual itulah yang kini dituntut untuk memiliki
muatan tidak hanya yang berasal dari citra diri, ekspresi diri maupun sekedar tuntutan komersial,
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=DKV
1
NIRMANA Vol. 7, No. 1, Januari 2005: 1 - 11
namun mampu membuka ruang demi terciptanya kultur kehidupan yang lebih baik. Dalam hal
muatan sendiri, Kant memberikan penilaian atas karya tidak lepas dari cara pandang di mana
realitas tidaklah terletak pada dunia yang diartikan sebagai kumpulan objek-objek, namun realitas
terbentuk dalam benak manusia yang merekonstruksi semua gejala dalam relasi-relasi logis.1
Muatan-muatan yang ada dalam realitas manusia inilah yang diharapkan tergambar dalam karyakarya visual.
Secara umum pemikiran dalam seni adalah untuk menghasilkan suatu karya yang
mengandung muatan adalah simbolik, metaforik, pengekspresian diri, memanipulasi suatu objek
serta mempunyai kesan dan pesan tertentu. Hal tersebut merupakan gambaran-gambaran tentang
realitas dan penerjemahan apa yang dilihat di dunia dalam bentuk karya visual. Hubungan antara
manusia dengan kehidupan dan lingkungannya serta keberadaan manusia itu sendirilah yang
diasosiasikan seni sebagai karya manusia yang bermuatan dunia.
Pola hubungan yang dekat, permainan rasa, intuisi dan eksekusi visual menempatkan
karya seni mempunyai keragaman daya-daya dan kapasitas serta kemungkinan-kemungkinan
yang dimiliki manusia untuk mengungkapkannya secara simbolik. Seni dikatakan sebagai
ungkapan yang bersifat simbolik, karena gejala dan unsur kehadirannya mempunyai petunjuk
pada konsep-konsep yang dihidupi oleh komunitas maupun masyarakat tertentu. Hal
demikianlah yang membuat sebuah karya seni berpijak pada kekuatan konsep dari simbolisasi
secara fenomenologis dan mengakibatkan sebuah karya seni harus mampu mengantarkan orang
atau penikmat ke suatu kumpulan makna.
Karya seni lukis, seni patung, seni grafis hingga yang bersifat reproduktif massal seperti
film dan iklan adalah karya visual yang terbentuk dari muatan-muatan. Muatan yang biasanya
bernilai pada kebenaran, kejujuran, adi luhung, dan seterusnya dianggap memberikan nilai batas
pada karya visual. Nilai kesadaran yang seolah-olah ada kekuatan yang mengatasi (transendental)
menggerakkan muatan-muatan memiliki benang merah dari semua aktivitas berkaryanya, yaitu
hasrat atau keinginan manusia. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa setiap manusia
mempunyai pijakan pada hasrat dengan syarat. Dengan demikian, maka setiap karya visual
menjadi alat untuk mengatasnamakan seni demi mengejar hasrat manusia. Karya-karya yang
1
Wiryomartono, Bagoes P. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa: Sebuah Wacana Seni dan Keindahan dari Plato sampai
Derrida. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001. h. 33.
2
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=DKV
MELAHIRKAN IMPERATIF MORALITAS DALAM KARYA VISUAL (Obed Bima Wicandra)
condong pada kekerasan, pornografi dan segala hal manipulasi pada akhirnya harus berhadaphadapan dengan muatan yang menuntut kebenaran, keadilan, pencerahan dan sebagainya.
Segala macam ‘keharusan’ atau ketetapan yang sering muncul pada tuntutan karya visual
menimbulkan representasi pada karakteristik visual. Hal inilah yang disebut Derrida sebagai
keterbatasan dalam berkarya seni.2 Derrida melihat ‘batas’ akhirnya direduksi menjadi
pertanyaan yang bersifat dikotomis sehingga melahirkan pertanyaan baik atau burukkah? Aku
atau kamu? Hari ini atau kemarin? Padahal ‘batas’ dapat direpresentasikan sebagai ‘akhir yang
memulai sesuatu’ atau sebaliknya sebagai totalitas. Dengan pengenalan batas pula, maka
sebenarnya kita senantiasa berada pada fenomena yang tak terputuskan dan tak menentu dimana
terjadi banyak ruang yang bisa diapresiasikan dalam karya visual. Bentuk
dan isi yang
dipersoalkan tidak menjadi yang lebih penting, karena semua mempunyai kesempatan penafsiran
yang sama sesuai dengan sifat menginterpretasi yang sarat dengan ribuan makna.
Tulisan ini bertujuan untuk menggali secara ilmiah, bahwa karya seni adalah sebuah
kemungkinan-kemungkinan tentang representasi makna. Seni yang dilahirkan dari situasi estetik
tidak serta merta menjadi sebuah tuduhan negatif ketika karya tersebut menyinggung atau masuk
kepada norma-norma tertentu dalam masyarakat tanpa ada penggalian makna dari kaidah-kaidah
seni juga.
FILSAFAT ESTETIKA
Dalam melakukan analisis mengenai estetika visual serta aspek-aspek yang mendasari
penciptaan karya yang dibuat secara eforia sehingga tidak mengindahkan nilai-nilai dalam
moralitas yang bermuatan kebenaran, keadilan dan kesucian, maka pendekatan lebih diarahkan
kepada nilai dan sifat keindahan itu sendiri sesuai pola dalam filsafat estetika. Filsafat
berhubungan dengan spekulasi dan analisis, filsafat juga bersifat selalu bertanya, analitis, kritis
dan evaluatif. Cara pandang ini menunjukkan bahwa filsafat adalah kegiatan yang bersifat
integratif atau kegiatan yang mengarah pada sintesis berbagai macam unsur ke dalam
keseluruhan yang bersifat koheren dan terpadu.3
Dengan pendekatan filosofis dapat diusahakan untuk mengerti pendirian suatu pendapat
dan norma-norma yang dipakai seorang pengamat dalam menilai karya seni. Pendekatan filosofis
juga tidak selalu memberikan jawaban tunggal tetapi bisa bersifat multiinterpretatif. Kemudian
2
3
Wiryomartono, Ibid. .h 97.
Sumaryono, E. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Cetakan ke-5 (edisi revisi). Yogyakarta: Kanisius, 1999, h. 139.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=DKV
3
NIRMANA Vol. 7, No. 1, Januari 2005: 1 - 11
pengintegrasian dilakukan dengan mendekatkan keimanan kepada Tuhan sebagai dasar
pemikiran, bahwa semua imajinasi dan ide yang bertujuan baik dan mulia adalah ciptaanNya,
maka perlu diupayakan dalam setiap proses berkarya nilai kebenaran, keadilan dan kesucian
patut dijunjung tinggi dalam membangun peradaban manusia yang lebih baik.
MORALITAS DALAM BERKARYA
Keprihatinan moral dan persoalan-persoalan moral menjadi mengemuka dalam
perkembangan budaya global yang menampikkan nilai kemanusiaan. Di sini digunakan kata
‘moral’ dalam pengertian filsafat kewajiban. ‘Moral’ digunakan untuk merujuk hal yang benar
atau salah serta bagaimana kita bertindak dan berpikir sesuai dengan prinsip betul dan salah.
Immanuel Kant,4 yang terkenal dengan teori kewajiban (imperative) menyatakan karya seni yang
memenuhi unsur ‘kehendak baik’ adalah karya seni yang baik menurut dirinya tanpa pamrih dan
tanpa syarat. Dalam dunia manusia melawan nafsu-nafsu dirinya, maka kehendak bisa dilakukan
dengan maksud-maksud tertentu yang tidak baik pada dirinya. Kant kemudian membedakan
antara ‘tindakan yang sesuai dengan kewajiban’ dan ‘tindakan yang dilakukan demi kewajiban’.
Yang pertama, menurutnya tidak berharga secara moral dan disebut hanya memenuhi “legalitas”,
sedang yang kedua bernilai moral dan disebut moralitas. Pandangan inilah yang kemudian
disebut sebagai imperatif moralitas.
Pandangannya tersebut mulai dikritik karena memunculkan “rigorisme moral” (rigor =
keras, kaku, ketat), karena Kant menolak dorongan hati (belas kasih, setia kawan, dsb) sebagai
tindakan moral. Kemudian untuk menjelaskan hal itu, Kant sebenarnya ingin mengatakan bahwa
dalam moralitas yang penting adalah pelaksanaan kewajiban meski kadang tidak mengenakkan
hati. Dorongan hati macam itu bisa saja baik, tapi moralitas tidak terletak padanya.5
Karya visual tercipta dari beberapa proses yang tidak terlalu mengikat dan sesuai dengan
bakat kepribadian masing-masing seniman atau desainer. Proses penciptaan karya yang lazim
dipakai tersebut adalah teori milik Graham Wallas dalam buku The Art of Thought .6 Proses
tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
4
Wiryomartono, op. cit, h. 32.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004, h.
146.
6
Djelantik, A.A.M. Estetika Sebuah Pengantar. Cetakan Kedua. Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia,
2001, h. 64.
5
4
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=DKV
MELAHIRKAN IMPERATIF MORALITAS DALAM KARYA VISUAL (Obed Bima Wicandra)
Preparation
Incubation
Inspiration
Elaboration
Gambar 1. Alur penciptaan karya model Graham Wallas
Dalam proses demikian, keadaan dalam menciptakan karya seni tidak selalu tergantung
pada urutan di atas. Proses berjalan dan kerap yang terjadi adalah kreator visual telah
melangsungkan tahap elaborasi (perluasan) saat tiba-tiba pada tahap inspiration (ilham) muncul
ilham baru. Maka bisa ditebak eksekusi karya pun berubah tanpa benar-benar melalui pemikiran
yang mendalam.
Kondisi demikian menyebabkan terjadinya banyak ‘lubang’ sehingga karya visual belum
benar-benar terseleksi dengan baik. Komunikasi yang diharapkan antara pembuat dengan
pengamat pun tidak berjalan dengan baik melalui karyanya. Selain itu tidak adanya kontrol
terhadap karya yang memungkinkan memunculkan pola kekerasan, percabulan dan nilai-nilai
yang keluar dari moral tidak bisa diminimalisasikan dalam proses berkarya tersebut. Pada proses
inkubasi seharusnya bisa saja diminimalisasi dengan melakukan proses seleksi ide, namun hal
tersebut jarang dilakukan karena pada tahap memperoleh ide (inspiration), hal tersebut bisa
tergeser oleh ide lain yang seharusnya diikutkan serentak pada tahap inkubasi.
Untuk meminimalisasikan karya yang cenderung tidak sesuai dengan konsep moralitas
yang tidak memunculkan nilai kebenaran, keadilan dan kesucian ada proses penciptaan karya
yang penulis tawarkan, yaitu:
Gejala yang
ditangkap, kepekaan
lingkungan, inkubasi
Ide
Bahasa
Visual
Seleksi
Eksekusi
Visual
Gambar 2. Alur penciptaan karya terseleksi
Bagan di atas menjelaskan alur penciptaan karya berdasarkan kematangan ide serta
kematangan dalam mengeksekusi secara visual. Penggambaran visual yang tidak cerdas
(kekerasan digambarkan secara vulgar, percabulan yang secara vulgar ditawarkan) bisa ditangkal
sedini mungkin dalam tahap seleksi ide. Sehingga ketika ide yang seharusnya suci, mulia dan
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=DKV
5
NIRMANA Vol. 7, No. 1, Januari 2005: 1 - 11
membangun bisa benar-benar dieksekusi secara visual. ‘Nyeni’ tidak harus keluar dari nilai moral
atau asal beda, namun karya seni yang bagus dan mempunyai nilai estetika yang tinggi adalah
karya yang mampu menimbulkan impact di masyarakat, yaitu tetap menawarkan kepada
masyarakat ekspresi diri, kepekaan lingkungan dan tetap dapat menghibur dalam bahasa
moralitas hubungan manusia dengan Tuhan. Ingat massa adalah bagian yang juga terpenting
dalam proses penciptaan karya seni.
FENOMENOLOGI RELIGI DALAM KARYA VISUAL
Persenyawaan antara realitas dunia dengan imaji menghasilkan gagasan yang memulai
adanya sikap teologia dalam beberapa karya visual. Konsep teologi Kristen dalam beberapa
karya visual terbentuk dalam penggambaran Yesus yang mampu menembus batas wilayah dan
ras. Hal tersebut misalnya penggambaran Yesus sebagai orang Jawa, Yesus orang Afrika, Yesus
dari Cina dan sebagainya beserta assesoris yang menunjukkan dimana Dia berasal. Sifat
penggambaran demikian membuktikan kepemilikan figur Yesus yang bahkan juga terdapat
dalam poster propaganda Kuba yang berjudul Guerilla Christ. Poster ini menggambarkan Yesus
memanggul senjata api laras panjang dan ikut menjadi seorang gerilyawan. Poster propaganda
tersebut ingin memperlihatkan, bahwa Yesus adalah seorang penolong bagi mereka yang
tertindas.7
Gambar 3. “Guerilla Christ” (1969).8
7
Wicandra, Obed Bima. 2004. Relasi paradigmatik ikon kristiani dalam poster propaganda Kuba. Jurnal Nirmana.
Volume 6 Nomor 1. Januari, h.13.
8
Poster ini dibuat oleh Rostgaard (desainer grafis asal Kuba) diangkat dari ucapan seorang gerilyawan Kolombia yang
tewas tertembak tahun 1966. Sebelum wafat ia berujar, “If Jesus were alive today, He would be a guerillero”.
6
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=DKV
MELAHIRKAN IMPERATIF MORALITAS DALAM KARYA VISUAL (Obed Bima Wicandra)
Fenomena penggambaran karakteristik religius dalam Kristiani jelas tergambarkan seperti
di atas karena memang audience yang menikmati adalah kalangan Kristiani sendiri. Namun
bagaimana menyiratkan kebenaran, keadilan, kejujuran dan bukannya pornografi, kekerasan dan
sebagainya dalam karya visual yang akan dinikmati banyak orang dan bersifat universal?
Edmund Husserl pada tahun 1900 melalui Logische Untersuchungen menerapkan fenomenologi
sebagai bagian penting cara melihat serta bersikap. Dalam fenomenologis ini seorang pencipta
karya visual haruslah menarik diri atau surut dan bukannya melepaskan diri dari dunia.9 Kreator
visual yang sudah terlanjur mempunyai gaya surrealis tidak harus serta merta menggantinya dan
beralih kepada karya yang bersifat religius. Begitu pula kreator visual tidak harus selalu
mengikutsertakan figur maupun simbol Yesus atau merpati yang dekat dengan simbol Kristiani
dalam setiap karyanya ‘hanya’ untuk menimbulkan muatan kebenaran.
Kekerasan, pornografi maupun ketidakadilan adalah realitas. Namun dalam fenomenologi
ini, hal-hal tersebut dilihat sebagai “yang ada”. Penanda-penanda visual lah yang akan
menerjemahkan hal-hal yang bermakna kebenaran sebagai kesamaan fenomenologis bahwa
setiap “yang ada” dapat diingat dan mengambil tempat di dunia sebagai konsep-konsep. “Yang
ada” identik tidak dalam artian harfiah sebagaimana kesamaan wujud dan rupa, sama disini
terkait dengan suatu simpul yang lahir karena proses rekoleksi. Semua objek terkumpul sebagai
suatu ‘dunia’ yang memiliki daya makna berlapis-lapis dalam arti mikro dan makrokosmik yang
berkesinambungan.
Jadi, ketika kita menuntut bahwa karya visual jangan menggambarkan kekerasan,
pornografi atau hal-hal yang melenceng dari moralitas, maka hal tersebut menjadi ketidak
niscayaan. Bukan terpatok pada kekerasan atau pornografinya, namun semua masih bersikap
terbuka dalam penginterpretasian. Mengapa demikian? Karena sejak lahir manusia sudah
berdunia dan dunia memiliki “yang ada”. Hal inilah yang mencoba direkam oleh seniman untuk
menuangkannya ke dalam karya seni sesuai dengan realita yang ada. Yang dibutuhkan agar
karya visual tampil dalam kebenaran adalah penanda visualnya harus mampu menerjemahkan
“yang ada” tersebut ke dalam kode-kode maupun simbol-simbol.
9
Wiryomartono, Bagoes P. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa: Sebuah Wacana Seni dan Keindahan dari Plato sampai
Derrida. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001. h.108.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=DKV
7
NIRMANA Vol. 7, No. 1, Januari 2005: 1 - 11
SENI: IDENTITAS, MORAL DAN BUDAYA
Seni sebagai integral dari kebudayaan selalu bersifat hybrid. Identitas budaya tidak ada
yang tetap dan tegas serta tidak ada yang murni dan monolitik. Oleh karena itu, seni dianggap
sebagai perwujudan media berekspresi yang sangat rentan dan dalam dirinya tidak ditemukan
kemapanan karena adanya potensi yang senantiasa dan terus berubah. Perubahan budaya pada
umumnya berada dalam daya tarik budaya maju yang selalu siap menggeser atau bahkan
menghegemoni budaya lainnya.
Saat Desember Kelabu yang melahirkan Gerakan Seni Rupa Baru (1975-1979) dan
diantaranya dimotori oleh Hardi dan FX Harsono, muncullah definisi seni rupa yang
terkungkung oleh seni patung, seni lukis dan seni grafis serta anti elitisme. Hal ini tampak pada
karya-karya mereka yang mengusung wacana seni instalasi yang merupakan akar dari
perkembangan seni post-modernisme. “Pemberontakan” perupa muda inilah yang menjadi
tonggak sejarah dalam menggeser identifikasi seni rupa konvensional.
Perkembangan lain dalam budaya adalah pergeseran media baru yang memperkenalkan
konsep gaya hidup. Media baru seperti MTV merangsang para perupa, desainer, animator dan
musisi gerakan bawah tanah (underground) untuk membuat karya visual yang bersifat
kontemporer dan hal ini didukung oleh MTV yang visualnya tidak akan ditemui di stasiun
televisi lain. Hal ini berkaitan dengan ditampungnya gaya desain dari wacana post-modernisme
yang dianggap kalangan modern sebagai sampah.
Dari hal-hal tersebut di atas, budaya sebagai identitas tidak bisa ditebak ke mana arahnya.
Industrialisasi kebudayaan dalam skala global telah menciptakan berbagai perubahan pandangan
mengenai budaya itu sendiri yang kini tidak dapat dilepaskan dari aktivitas-aktivitas ekonomi:
produksi, distribusi dan konsumsi. Industrialisasi kebudayaan ini pulalah yang menciptakan
paradigma budaya baru yang radikal, orientasi nilai budaya yang tak terbayangkan sebelumnya.
Makna-makna budaya ini tentunya sangat kontradiktif dengan tradisi kultur, adat dan agama.
Inilah peralihan budaya ke arah yang disebut sebagai “budaya konsumer”. Budaya konsumer
menggiring masyarakat global ke pola-pola budaya yang telah terdiferensiasi ke dalam sub-sub
budaya. Hal ini ditandai dengan cepatnya intensitas pergantian tanda, kode dan makna budaya
dan semakin mencairnya identitas akibat arus pergantian identitas yang semakin cepat.
Disebabkan permainan tanda, makna, citra dan identitas tersebut dikendalikan oleh hasrat
untuk meraih keuntungan, maka konsumerisme dengan mudah menjadi alat permainan dan
8
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=DKV
MELAHIRKAN IMPERATIF MORALITAS DALAM KARYA VISUAL (Obed Bima Wicandra)
tempat bagi dekonstruksi nilai-nilai adat, moral dan agama. Kapitalisme tubuh dipertontonkan
oleh seni foto dengan model telanjangnya, darah sebagai inspirasi dalam video clip, ketidak
jujuran yang diterapkan dalam periklanan serta yang lainnya.
Kehidupan keimanan yang ditandai dengan moralitas keagamaan bersama ajaran, identitas
dan nilai-nilai yang dibawanya sebenarnya mulai menghadapi tantangan besar sejak adanya
gerakan anti kemapanan pada era ’70-an, seperti gerakan feminisme, gerakan anak muda dan
gerakan sub kultur.10 Gerakan subkultur (gerakan hippies, punk, skin-head, dan sebagainya)
menjadi tantangan kehidupan keagamaan karena bersifat lebih sebagai gerakan budaya daripada
sebuah gerakan sosial politik. Seni yang lahir pada era setelah ’70-an tentunya mewarisi sifatsifat demikian tadi. Di sinilah iman ‘ditantang’ dalam lingkupnya yang terhimpit oleh gerakan
budaya kontemporer.
Dalam kajian estetik visual, fakta artistik dari alam dan tubuh manusia adalah satu hal,
sedangkan hal lainnya adalah ekspresi artistik dari manusia itu sendiri. Seperti ungkapan Sartre
(1972) yang menyatakan, bahwa seni juga adalah sebuah kesadaran, maka ekspresi manusia
mempunyai muatan kesadaran, bahkan manusia terlahir dari keseluruhan kesadarannya.
Sehingga dengan demikian ekspresi artistik tidak hanya memenuhi kebutuhan hasrat (lust)
artistik saja, namun juga harus memiliki tujuan atau berorientasi eksistensial sebagai manusia
yang penuh kesadaran sebagai makhluk Tuhan.
Sejalan dengan hal tersebut, maka keindahan adalah sesuatu yang mesti dan bukan
sebagai pilihan. Mengapa demikian? Karena bukankah Tuhan sendiri sudah berkesenian dengan
segala keindahannya? Mencintai keindahan itu terwujud dari ciptaanNya, yaitu manusia dan
alam semestanya. Dalam seni, keindahan adalah harmoni (cosmos) dan bukan kebalikannya
chaos (disharmony).
SIMPULAN
Hasrat religi dalam berkesenian merupakan dua hal yang bersumber pada dimensi
pengalaman terdalam manusia yang menceritakan ideologi manusia dengan segala sesuatu
termasuk Tuhan. Kejadian-kejadian yang bersifat realis itulah yang akan tergambarkan dalam
karya visual yang dibuat. Agama sebagai pangkal moralitas memang tidak harus mengkooptasi
seni sedemikian rupa seperti jaman di abad di mana agama melalui gereja menjadikan seni
sebagai alat dari agama untuk menyampaikan ajaran-ajaran dan dogma-dogmanya, sehingga
10
Piliang, Yasraf Amir. Prolog: Seni, Nation-state, Identitas dan Tantangan Budaya Global dalam Aspek-Aspek Seni
Visual Indonesia: Identitas dan Budaya Massa. Edisi I. Yogyakarta: Yayasan Seni Cemeti, 2002,h.19.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=DKV
9
NIRMANA Vol. 7, No. 1, Januari 2005: 1 - 11
seniman diharuskan membuat karya-karya yang berkaitan dengan ajaran dan dogma Kristen
belaka. Pemahaman yang lebih radikal lagi adalah di luar karya gereja, maka karya tersebut
adalah sesat. Moralitas dalam berkesenian tidak seperti ini. Jangan sampai hanya karena
ketidaksetujuan atas simbol-simbol maupun tanda-tanda yang ada dalam karya visual kemudian
menganggapnya sebagai karya seni yang menyesatkan.
Yang harus dipahami adalah kesadaran bahwa karya visual yang dibuat merupakan agen
dalam perubahan apapun, termasuk agen budaya. Karya visual yang berangkat dari pemahaman
ini tentunya mempunyai konsepsi-konsepsi dalam melakukan ‘perburuan ide’ yang di dalamnya
mempunyai muatan-muatan tidak hanya berorientasi pada konsumtif semata tetapi juga
melakukan penyadaran pada masyarakat, misalnya seni yang membawa perdamaian dan
sebagainya. Dalam konteks seni modern seperti sekarang ini, nilai-nilai keimanan menjadi
sesuatu yang penting dalam menghadapi kultur yang sangat berkembang beserta dengan pola
pikir masyarakat yang semakin beragam. Seni yang multi-interpretasi sedapat mungkin tetap
meluhurkan nilai-nilai kemanusiaan, ke-Tuhanan serta penafsiran personal tentang nilai dan
hubungan antara manusia dengan Tuhan.
“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil,
semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan
dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu.” (Flp.4:8).
KEPUSTAKAAN
Djelantik, A.A.M. Estetika Sebuah Pengantar. Cetakan Kedua. Bandung: Masyarakat Seni
Pertunjukan Indonesia, 2001.
Hardiman, F. Budi. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzsche. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2004.
Sartre, Jean Paul. Psikologi Imajinasi. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya,
2002.
Sumaryono, E. Hermeneutik: Sebuah Metode Filsafat. Cetakan ke-5 (edisi revisi). Yogyakarta:
Kanisius, 1999.
Piliang, Yasraf Amir. Prolog: Seni, Nation-state, Identitas dan Tantangan Budaya Global dalam
Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia: Identitas dan Budaya Massa. Edisi I. Yogyakarta:
Yayasan Seni Cemeti, 2002.
Tester, Keith. Media, Budaya dan Moralitas. Jogjakarta: Kreasi Wacana, 2003.
10
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=DKV
MELAHIRKAN IMPERATIF MORALITAS DALAM KARYA VISUAL (Obed Bima Wicandra)
Verhaak, C. dan Haryono Imam. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1995.
Wicandra, Obed Bima. Relasi paradigmatik ikon kristiani dalam poster propaganda Kuba. Jurnal
Nirmana. Volume 6 Nomor 1. Januari, 2004.
Wiryomartono, Bagoes P. Pijar-Pijar Penyingkap Rasa: Sebuah Wacana Seni dan Keindahan
dari Plato sampai Derrida. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Jurusan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni dan Desain –Universitas Kristen Petra
http://www.petra.ac.id/~puslit/journals/dir.php?DepartmentID=DKV
11
Download