BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka 1. Homoseksual a. Definisi Homoseksual Secara umum orientasi seksual dibagi menjadi tiga, antara lain: homoseksual yaitu ketertarikan seksual terhadap sesama jenis, heteroseksual yaitu ketertarikan seksual terhadap lawan jenis, dan biseksual yaitu ketertarikan seksual terhadap sesama jenis dan lawan jenis (Dermantoto dalam Wedanthi, 2014). Homoseksualitas pernah dianggap sebagai penyakit mental akan tetapi setelah beberapa dekade, riset membuktikan bahwa tidak adanya asosiasi antara orientasi seksual dan masalah emosional serta sosial (American Psychological Association, tidak bertanggal dalam Papalia, Old & Fieldman, 2008). Pada umumnya para penyandang homoseksualitas itu sendiri tidak mengetahui mengapa mereka menjadi demikian, keadaan tersebut bukan atas kehendak sendiri. Namun demikian memang ada sebagian yang menerima keadaan dirinya dan hidup dengan senang sebagai homoseksual (dinamakan egosintonik) dan ada sebagian lain yang tidak bisa menerima keadaan dirinya atau merasa dirinya tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, sehingga mereka terus-menerus berada dalam keadaan konflik batin selama hidupnya (dinamakan egodistonik) (Pedoman Penggolongan dan Diagnostik Gangguan Jiwa dalam Sarwono, 2013). 8 9 b. Ekspresi Homoseksual Ekspresi homoseksual ini merupakan penggolongan peranan yang diambil oleh para homoseksual dalam menjalankan kehidupannya sebagai homoseksual (Kartono, 2009). Adapun beberapa ekspresi dalam homoseksual yaitu: i. Aktif, bertindak sebagai pria yang agresif Dalam kamus para homoseksual gay, ekspresi ini sudah dikenal dengan sebutan top. Ekspresi ini memperlihatkan peran gay sebagai pria yang agresif. ii. Pasif, bertingkah laku dan berperan pasif-feminim seperti wanita Dalam kamus para homoseksual gay, ekspresi ini sudah dikenal dengan sebutan bottom. Ekspresi ini memperlihatkan peran gay sebagai pria yang lebih feminim seperti wanita. iii. Bergantian peranan, kadang-kadang memerankan fungsi wanita, terkadang menjadi laki-laki Dalam kamus para homoseksual gay, ekspresi ini sudah dikenal dengan sebutan first top atau first bottom. Para homoseksual gay dapat memerankan fungsi wanita maupun pria secara bergantian. c. Faktor Penyebab Homoseksual Menurut Kartono (2009), faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab munculnya homoseksual antara lain: i. Faktor herediter, berupa ketidakseimbangan hormon-hormon seks. Contohnya seperti cairan dan kelenjar endokrin pada fase-fase pertumbuhan yang kritis dapat mempengaruhi arah dari dorongan-dorongan seksual dan tingkah laku. ii. Pengaruh lingkungan yang tidak baik atau tidak menguntungkan bagi perkembangan kematangan seksual yang normal. Contohnya seperti individu yang besar di lingkungan yang terdiri dari para homoseksual yang melakukan 10 prostitusi yang selanjutnya memberikan contoh yang tidak baik bagi perkembangan individu. iii. Seseorang selalu mencari kepuasan relasi homoseksual karena pernah menghayati pengalaman homoseksual yang menggairahkan pada masa remaja. Contohnya seperti laki-laki yang semasa remaja sudah pernah berhubungan seksual dengan laki-laki dan mengalami kepuasan yang sama halnya seperti berhubungan seksual dengan perempuan sehingga membuat individu tersebut selalu mencari kepuasan yang sama dengan relasi homoseksual. iv. Seorang anak laki-laki pernah mengalami pengalaman traumatis dengan ibu, sehingga timbul kebencian atau antipati terhadap ibu dan berdampak kepada semua wanita. Individu yang mengalami trauma dengan ibu tersebut kemudian memunculkan dorongan menjadi homoseksual yang permanen. d. Pembentukan Identitas Homoseksual Cass (1979) menyebutkan adanya 6 tahapan pembentukan identitas homoseksual: i. Identity Confusion (kebingungan) Individu mulai meyakini bahwa tingkah laku tersebut dapat diidentifikasi sebagai homoseksual. Mungkin akan ada kebutuhan untuk mendefinisikan ulang konsep individu mengenai tingkah laku homoseksual dengan segala bias dan kesalahan informasi yang dialami kebanyakan orang. Individu mungkin menerima peran tersebut dan mencari informasi, mungkin menekan dan menyembunyikan segala tingkah laku homoseksual (bahkan mungkin menjadi seorang anti homoseksual dan mengutuknya), atau mungkin menyangkal keterkaitannya dengan identitasnya. 11 ii. Identity Comparison (membandingkan) Individu menerima potensi identitas diri sebagai seorang homoseksual, menolak heteroseksual namun tidak memiliki model lain yang dapat menjadi penggantinya. Individu merasa dirinya berbeda dan tersesat. Jika individu tersebut kemudian mempertimbangkan untuk mendefinisikan dirinya sebagai seorang homoseksual, individu tersebut akan mencari seorang model yang sesuai untuk itu. iii. Identity Tolerance (yakin) Di tahap ini, individu mulai berpindah pada keyakinan bahwa individu mungkin adalah homoseksual dan mulai mencari komunitas homoseksual sebagai kebutuhan sosial, seksual dan emosional. Kebingungan akan menurun tetapi identitas diri masih pada tahap toleransi, bukan sepenuhnya diterima. Biasanya individu masih tidak memberitahukan identitas barunya dan menjalani gaya hidup ganda, sebagai homoseksual dan sebagai heteroseksual. iv. Identity Acceptance (membuka jati diri) Terbentuk pandangan positif tentang identitas diri dan mulai mengembangkan jaringan hubungan dengan homoseksual yang lain. Individu mulai membuka diri terhadap teman dan keluarga serta semakin membenamkan diri dalam budaya homoseksual. v. Identity Pride (bangga) Berkembangnya kebanggaan akan homoseksual sejalan dengan kemarahan akan perlakuan yang pada akhirnya mengakibatkan penolakan terhadap heteroseksual karena dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Individu merasa gaya hidup yang baru tersebut adalah sesuatu yang benar dan sesuai. 12 vi. Identity Synthesis (merasa nyaman) Individu menjalani gaya hidup homoseksual yang terbuka sehingga pengungkapan jati diri tidak lagi menjadi masalah dan muncul kesadaran bahwa ada banyak sisi dan aspek kepribadian dan orientasi seksual hanya salah satu dari aspek-aspek tersebut. e. Gay Muslim Ada dua istilah terdapat pada orang yang mempunyai kecenderungan homoseksual yaitu lesbian dan gay (Kartono, 2009) dan istilah ini sangat terkenal di lingkungan masyakarat. Lesbian merupakan istilah yang menggambarkan seorang perempuan yang secara emosi dan fisik tertarik dengan sesama perempuan, sedangkan gay merupakan istilah untuk menyebutkan laki-laki yang menyukai sesama laki-laki sebagai pasangan seksual, serta memiliki ketertarikan baik secara perasaan atau erotik, baik secara dominan maupun eksklusif dan juga dengan ataupun tanpa adanya hubungan fisik (Putri, 2013). Homoseksual, biseksual, waria, dan man sex with man (MSM) atau dalam bahasa Indonesia berarti laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL) adalah suatu hal yang berbeda. Homoseksual dan biseksual adalah orientasi seksual sedangkan waria adalah identitas gender yang biasa kita sebut sebagai transgender. Istilah MSM atau LSL sendiri merupakan pendekatan program dalam hal ini ruang lingkupnya adalah kesehatan seksual laki-laki dalam pencegahan terhadap infeksi menular seksual (IMS) (Agustina, 2005). Gay Muslim sendiri di dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai individu yang memiliki identitas seksual sebagai homoseksual gay dan memiliki identitas keagamaan sebagai pemeluk agama Islam. Menurut Afif (1999), Muslim dikatakan sebagai orang Islam yang dapat dengan benar melaksanakan aktivitas hidup seperti 13 shalat, menunaikan zakat, menepati janji apabila berjanji dan sabar dalam kesempitan penderitaan atau peperangan. 2. Agama a. Definisi Agama Agama memiliki definisi yang sangat bervariasi atau beragam. Definisi agama yang sering dipakai atau yang sering muncul yaitu agama berasal dari kata, a yang berarti tidak dan gam yang berarti pergi, sehingga dapat dikatakan bahwa agama tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun (Bakhtiar, 2005). Selain itu, agama juga merupakan sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dianut oleh sekelompok manusia yang selalu mengadakan interaksi dengan Tuhan (Hardjana, 2005). b. Pandangan Agama terhadap Homoseksual Masyarakat Indonesia dengan nilai-nilai ketimurannya menganggap bahwa hubungan sesama jenis adalah tabu dan terlarang. Setiap agama di Indonesia memiliki pandangan sendiri terhadap homoseksual. Dalam agama Islam dan Kristen terdapat larangan yang jelas tentang adanya hubungan antar sesama jenis (gay, lesbian, dan waria). Namun sebaliknya dengan alasan tertentu dalam agama Buddha hubungan sesama jenis diperbolehkan walaupun diakui bahwa hubungan sesama jenis merupakan salah satu bentuk penyimpangan seksual. Dalam agama Hindu hubungan sesama jenis masih menjadi perdebatan. Beberapa kalangan menganggap bahwa hubungan sesama jenis tidak menyalahi aturan agama, hal ini didasarkan pada tidak ditemukannya satu ayat pun dalam surat suci agama Hindu yang melarang hubungan sesama jenis, namun beberapa kalangan menolak hal tersebut (Mulia, 2010). 14 c. Pandangan Islam terhadap Homoseksual Dalam agama Islam, Mulia (2010) menyebutkan dalam konteks identitas gender, Al-Qur’an hanya menyebutkan dua identitas, yaitu Ar-Rajul (laki-laki) dan Al-Mar’ah (perempuan). Sementara Fiqh (dalam Muhammad, 2011) menyebutkan empat varian, yaitu laki-laki (alrajul), perempuan (al-mar’ah), waria atau banci (alkhuntsa), laki-laki yang keperempuanan (almukhannits) atau perempuan yang kelaki-lakian (al-mukhannats). Secara definitif, kata al-mukhannats dalam literatur Islam digunakan untuk laki-laki yang menyerupai perempuan. Sementara untuk perempuan yang menyerupai laki-laki disebut al-mukhannits, dalam literatur lain disebut juga al-mutarajjilah. Pengertian ini merujuk pada Hadits Nabi Muhammad SAW, dari Ibnu Abbas (dalam Muhammad, 2011) yang mengatakan bahwa Rasulullah melaknat para mukhannats dan mutarajjilah. Kitab faidhul qadir dalam agama Islam mengatakan bahwa al-mutarajjilat dan almukhannisin terbagi menjadi dua macam yaitu: i. Perilaku mutarajjilat-mukhannisin yang disengaja atau dibentuk oleh lingkungan sosial dan perilaku yang terbawa sejak lahir (khalqiyan). Perilaku tersebut dianggap sebagai kejahatan agama yang diharamkan dan terlaknat. ii. Agama tidak menuduh homoseksual sebagai perbuatan makshiyat dan dosa, sekalipun orang yang dianugrahi perilaku seperti itu masih harus mengupayakan untuk mengubah dan menyembuhkannya (Nakhe’l, 2012). Menurut Muhammad Rashfi dalam kitabnya al-Islam wa-al-Tib (dalam Rangkuti, 2012), bahwa Islam melarang keras homoseksual, karena mempunyai dampak yang negatif terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat, antara lain: i. Seorang homoseksual tidak mempunyai keinginan terhadap wanita. Jika mereka melangsungkan perkawinan, sang istri tidak akan mendapatkan kepuasan 15 biologis, karena nafsu berahi suami telah tertumpah ketika melangsungkan hubungan seksual terhadap laki-laki yang diinginkannya. Akibatnya, hubungan suami istri menjadi renggang, tidak tumbuh rasa cinta dan kasih sayang, dan tidak memperoleh keturunan, sekalipun istrinya subur dan dapat melahirkan. ii. Perasaan cinta dengan sesama jenis membawa kelainan jiwa yang menimbulkan suatu sikap dan perilaku ganjil. Seorang homoseksual kadang-kadang berperilaku sebagai laki-laki dan kadang-kadang sebagai perempuan. iii. Mengakibatkan rusaknya saraf otak, melemahkan akal, dan menghilangkan semangat kerja. 3. Identitas a. Definisi Identitas Identitas menurut Toomey (dalam Mcdaniel, 2009) merupakan refleksi diri atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses sosialisasi. Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita. Sementara itu, Gardiner W. Harry dan Kosmitzki Corinne (dalam Mcdaniel, 2009) melihat identitas sebagai pendefinisian diri seseorang sebagai individu yang berbeda dalam perilaku, keyakinan dan sikap. Identitas diri merupakan kesadaran individu untuk menempatkan diri dan memberikan arti pada dirinya dengan tepat di dalam konteks kehidupan (Zanden, 1990). Sedangkan menurut Erickson (dalam Papalia & Old, 2001) identitas diri adalah proses menjadi seseorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup. b. Jenis Identitas Terdapat beberapa jenis identitas yang diungkapkan oleh Nakayama dan Martin (2009), yaitu: 16 i. Identitas Seksual Identitas seksual mengacu pada identifikasi seseorang dengan berbagai kategori seksualitas. Bisa berupa heteroseksual, gay, lesbian dan biseksual. Identitas seksual yang kita miliki akan mempengaruhi apa yang kita konsumsi. Program televisi apa yang akan kita lihat atau majalah apa yang akan kita baca. Identitas seksual juga dapat mempengaruhi pekerjaan seseorang. ii. Identitas Gender Identitas gender merupakan pandangan mengenai maskulinitas dan feminitas dan apa arti menjadi seorang laki-laki atau perempuan. Arti menjadi seorang perempuan atau laki-laki sangat dipengaruhi oleh pandangan budaya. Misalnya saja kegiatan yang dianggap lebih maskulin atau lebih feminim. Ungkapan gender tidak hanya mengkomunikasikan siapa kita, tetapi juga mengkonstruksi rasa yang kita inginkan. Identitas gender juga ditunjukkan oleh gaya komunikasi. Gaya komunikasi perempuan sering digambarkan sebagai suportif, egaliter, personal dan disclosive, sedangkan gaya komunikasi laki-laki digambarkan sebagai kompetitif dan tegas. iii. Identitas Agama Identitas agama merupakan dimensi yang penting dalam identitas seseorang. Identitas agama ditandai dengan adanya ritual yang dilakukan oleh pemeluk agama tersebut. Identitas agama juga ditandai dengan busana yang dipakai. Selain jenis-jenis identitas yang sudah disebutkan di atas, Samovar dan Mcdaniel (2009) menyatakan terdapat jenis identitas yang lain, yaitu: i. Identitas Pribadi Identitas pribadi merupakan karakteristik unik yang membedakan tiap-tiap individu. Setiap orang memiliki identitas pribadi masing-masing sehingga tidak 17 akan sama dengan identitas orang lain. Pengaruh budaya turut mempengaruhi identitas pribadi seseorang. ii. Identitas Nasional Identitas nasional merujuk pada kebangsaan seseorang. Sebagian besar dari masyarakat menyatakan identitas nasional mereka dengan negara dimana mereka dilahirkan. Selain itu identitas nasional dapat pula diperoleh melalui imigrasi dan naturalisasi. 4. Konflik a. Definisi Konflik Konflik secara umum bisa diartikan adanya pertentangan antara motif dan dua tujuan eksternal atau antara motif dan norma internal seseorang (Atkinson, 1983a). Seringkali konflik antara motif dan norma internal lebih sulit diselesaikan dibandingkan konflik dua tujuan eksternal. b. Jenis Konflik Atkinson (1983b) menjelaskan bahwa kebanyakan konflik menimbulkan sikap ambivalen yaitu dua sikap yang bertentangan karena adanya tujuan yang diharapkan sekaligus tidak diharapkan, disukai sekaligus tidak disukai. Konflik yang dialami individu bisa digolongkan dalam dua macam konflik yaitu: i. Konflik mendekat-menghindar (approach-avoidance conflict), bentuk konflik yang dihadapkan pada tujuan yang menarik (positif) sekaligus berbahaya (negatif). Individu yang mengalami konflik ini akan mengalami kebimbangan ketika menentukan apa yang akan dilakukan atau dalam bersikap. ii. Konflik menghindar-menghindar (avoidance-avoidance conflict), merupakan bentuk konflik pada keharusan memilih diantara dua alternatif negatif 18 Dalam penelitian ini, peneliti lebih menekankan pada konflik antara motif dan norma internal seseorang yang merupakan bagian dari bentuk konflik mendekat-menghindar. Alasan peneliti lebih menekankan pada konflik mendekatmenghindar karena penelitian yang dilakukan peneliti adalah identitas seksual sebagai homoseksual yang bertentangan dengan standar moral agama sehingga pelanggaran terhadap norma-norma agama tersebut menimbulkan sebuah konflik mendekat-menghindar pada homoseksual. c. Konflik Identitas Homoseksual Membentuk identitas seksual merupakan proses yang panjang dan menakutkan bagi remaja homoseksual. Homoseksual dihadapkan dengan ketakutan ditolak oleh masyarakat sosial, terutama oleh keluarga. Banyak situasi seperti lingkungan sekolah, lingkungan kerja dan lingkungan keluarga, serta agama dan sosial yang menjadi penghalang bagi individu homoseksual untuk membentuk identitas seksualnya sebagai gay atau lesbian (Stevens, 2004). Miller & Major (2000) mengungkapkan hal yang sama bahwa proses pembentukan identitas seksual menjadi permasalahan yang cukup serius bagi remaja gay dalam menerima kondisinya sendiri. Mengakui dan menerima diri sebagai gay akan membuat gay tersebut distigma dan dinilai sakit oleh masyarakat. Stigmatisasi dan diskriminasi yang diterima oleh gay tersebut menjadi salah satu penyebab utama munculnya berbagai konflik selama proses pembentukan identitas seksual (Caroll, 2005). Dalam penelitian ini, konflik identitas homoseksual diartikan sebagai individu yang mengalami konflik dengan identitas seksualnya sebagai homoseksual yang mendapatkan stigma dan diskriminasi terhadap lingkungan sekitarnya yang memandang bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang buruk sehingga 19 membentuk perasaan maupun perilaku untuk menutup identitas seksual sebagai homoseksual. d. Konflik Keagamaan Clark (1958) mengkategorikan konflik keagamaan secara umum yang dialami individu ke dalam tiga macam kategori konflik, yaitu: i. Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu. ii. Konflik yang terjadi antara pemilihan satu diantara dua ide keagamaan atau institusi. iii. Konflik yang terjadi antara ketaatan beragama atau meninggalkan ajaran agama. Dalam peneltian ini, peneliti lebih menekankan pada kategori konflik yang terjadi antara ketaatan beragama atau meninggalkan ajaran agama pada homoseksual. Alasan peneliti lebih menekankan pada kategori tersebut adalah karena para homoseksual yang merasa identitasnya sebagai homoseksual yang menyalahi norma-norma agama akan mengalami konflik untuk membuat diri mereka.memilih agar tetap menjalankan agama mereka atau meninggalkan ajaran agama mereka. Hal ini akan berdampak pada strategi coping yang akan dipilih oleh homoseksual terhadap konflik identitasnya sebagai homoseksual dalam mengambil sikap tentang ajaran keagamaan. 5. Coping a. Definisi Coping Coping adalah proses untuk menata tuntutan yang dianggap membebani atau melebihi kemampuan sumber daya manusia (Lazarus & Folkman dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009). Coping kejadian yang menekan adalah proses yang dinamis (Aspinwall & Taylor dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009). Coping 20 kejadian yang menekan dimulai dengan penilaian terhadap situasi yang harus mereka atasi. b. Jenis Coping Menurut Lazarus dkk (dalam Taylor, 2003) jenis coping dibagi menjadi dua tipe umum yaitu: i. Emotional focused coping, yaitu digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stress. Pengaturan ini dilakukan melalui perilaku individu untuk meniadakan fakta-fakta yang tidak menyenangkan melalui strategi kognitif, ketika individu tidak mampu mengubah kondisi yang stressful, individu akan cenderung untuk mengatur emosinya. ii. Problem focused coping, yaitu untuk mengurangi stressor, individu akan mengatasi dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan yang baru. Individu akan cenderung menggunakan strategi ini bila dirinya yakin dapat mengubah situasi. c. Strategi Coping Berdasarkan penelitian-penelitian lanjutan yang dilakukan Lazarus & Folkman (dalam Taylor, 2003), kedua jenis coping yaitu emotional focused coping dan problem focused coping dibagi lagi menjadi delapan bagian strategi coping (Lazarus dkk dalam Taylor, 2003) yaitu: i. Playful Problem Solving (problem focused coping) Individu menganalisa situasi yang dihadapi sehingga memperoleh cara-cara yang diperlukan untuk mengatasi masalah kemanusiaan, melakukan tindakan nyata untuk mengatasi masalah. 21 ii. Controntatif Coping (problem focused coping) Ciri dari tindakan ini adalah adanya tindakan asertif yang pada akhirnya seringkali berubah menjadi tindakan agresif untuk merubah situasinya. iii. Seeking Social Support (emotion or problem focused coping) Individu akan berusaha memperoleh informasi atau dukungan emosional dari orang lain. iv. Distancing (emotion focused coping) Usaha individu untuk menghindar atau menjauhkan diri dari situasi stressful atau usaha dari sudut pandang yang positif. v. Escape-avoidance (emotion focused coping) Individu berharap agar permasalahan yang ada segera berakhir atau bertindak secara nyata atau melarikan diri dari permasalahannya tersebut. vi. Positive Repraisal (emotion focused coping) Usaha individu untuk mencari sisi positif dari situasi yang bertujuan untuk mencapai pertumbuhan pribadi yang terkadang dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat rohani (religi). vii. Self-control (emotion focused coping) Usaha seseorang untuk mengatur tindakan dan emosi yang berkaitan dengan situasi yang dihadapi. viii. Accepting Responsibility (emotion focused coping) Pengakuan masalah yang dibuat individu sehingga masalah-masalah itu terjadi. 22 B. Perspektif Teoretis Identitas Agama Seksual Islam Homoseksual Konflik Identitas Coping Keterangan: Terdiri dari Menghasilkan Diberikan Gambar 1. Skema Perspektif Teoretis Gay 23 Menurut Erickson (dalam Papalia & Old, 2001) identitas diri adalah proses menjadi seseorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup. Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita. Terdapat beberapa jenis identitas yang diungkapkan oleh Nakayama & Martin (2009) salah satunya adalah identitas agama dan identitas seksual. Identitas agama merupakan dimensi yang penting dalam identitas seseorang. Identitas agama ditandai dengan adanya ritual yang dilakukan oleh pemeluk agama tersebut. Identitas agama juga ditandai dengan busana yang dipakai. Di Indonesia sendiri memiliki banyak agama yang dapat dianut oleh masyarakat, salah satu agama terbesar yang dianut oleh masyarakat Indonesia adalah agama Islam. Identitas seksual merupakan identifikasi seseorang dengan berbagai kategori seksualitas. Bisa berupa heteroseksual, gay, lesbian, dan biseksual. Dalam penelitian ini, peneliti lebih memfokuskan kepada identitas seksual sebagai homoseksual gay. Gay merupakan istilah untuk menyebutkan lelaki yang menyukai sesama lelaki sebagai pasangan seksual, serta memiliki ketertarikan baik secara perasaan atau erotik, baik secara dominan maupun eksklusif dan juga dengan ataupun tanpa adanya hubungan fisik (Putri, 2013). Identitas keagamaan dan identitas seksual sebagai homoseksual merupakan dua hal yang saling bertolak belakang. Dalam identitas keagamaan, semua agama mengatakan bahwa menentang keberadaan dari identitas seksual sebagai homoseksual. Salah satu agama yang dominan menentang adanya identitas seksual sebagai homoseksual adalah agama Islam. Terdapat tokoh agama konservatif yang menyatakan bahwa homoseksual adalah kelompok yang menyalahi fitrah penciptaan manusia, homoseksual merupakan perbuatan yang keji yang dapat merusak agama, kehormatan dan mental masyarakat (Az- 24 Zulfi dalam Okdinata, 2009). Dari pertentangan-pertentangan tersebut kemudian timbulah suatu konflik. Konflik secara umum bisa diartikan adanya pertentangan antara motif dan dua tujuan eksternal atau antara motif dan norma internal seseorang (Atkinson, 1983a). Seringkali konflik antara motif dan norma internal lebih sulit diselesaikan dibandingkan konflik dua tujuan eksternal. Konflik identitas yang dialami oleh homoseksual salah satunya gay tersebut kemudian akan membuat para gay mengalami perasaan yang tertekan sehingga diperlukan suatu strategi coping untuk mengatasinya. Coping adalah proses untuk menata tuntutan yang dianggap membebani atau melebihi kenmampuan sumber daya kita (Lazarus & Folkman dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009). Terdapat dua strategi coping secara umum yaitu usaha pemecahan masalah yang artinya usaha untuk melalukan sesuatu yang konstruktif guna mengubah situasi stress dan strategi coping yang berupa pengaturan emosi yang artinya usaha untuk menata reaksi emosi terhadap kejadian stressor (Stanton, Kirk, Cameron & Danoff-Burg dalam Taylor, Peplau dan Sears, 2009). Konflik identitas bagi gay Muslim tersebut menimbulkan permasalahan yaitu perasaan tertekan dan kebingungan sehingga diperlukan suata strategi coping yang efektif agar para gay Muslim tersebut dapat bertahan dengan dua identitas yang saling bertentangan. Sama halnya dengan heteroseksual, homoseksual pun mempunyai hak dalam menganut dan menjalankan agama dengan bebas sehingga strategi coping dirasa perlu agar dapat memberikan kekuatan bagi gay Muslim dalam menghadapi konflik identitas. 25 C. Pertanyaan Utama Penelitian Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka pertanyaan utama dari penelitian ini antara lain: 1. Bagaimana bentuk konflik identitas pada gay Muslim? 2. Bagaimana bentuk perilaku gay Muslim dalam menjalankan perilaku keagamaan? 3. Bagaimana coping gay Muslim terhadap konflik identitas?