8 BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka 1. Homoseksual a

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
1. Homoseksual
a. Definisi Homoseksual
Secara umum orientasi seksual dibagi menjadi tiga, antara lain:
homoseksual yaitu ketertarikan seksual terhadap sesama jenis, heteroseksual yaitu
ketertarikan seksual terhadap lawan jenis, dan biseksual yaitu ketertarikan seksual
terhadap sesama jenis dan lawan jenis (Dermantoto dalam Wedanthi, 2014).
Homoseksualitas pernah dianggap sebagai penyakit mental akan tetapi
setelah beberapa dekade, riset membuktikan bahwa tidak adanya asosiasi antara
orientasi seksual dan masalah emosional serta sosial (American Psychological
Association, tidak bertanggal dalam Papalia, Old & Fieldman, 2008).
Pada umumnya para penyandang homoseksualitas itu sendiri tidak
mengetahui mengapa mereka menjadi demikian, keadaan tersebut bukan atas
kehendak sendiri. Namun demikian memang ada sebagian yang menerima keadaan
dirinya dan hidup dengan senang sebagai homoseksual (dinamakan egosintonik)
dan ada sebagian lain yang tidak bisa menerima keadaan dirinya atau merasa
dirinya tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, sehingga
mereka terus-menerus berada dalam keadaan konflik batin selama hidupnya
(dinamakan egodistonik) (Pedoman Penggolongan dan Diagnostik Gangguan Jiwa
dalam Sarwono, 2013).
8
9
b. Ekspresi Homoseksual
Ekspresi homoseksual ini merupakan penggolongan peranan yang diambil
oleh para homoseksual dalam menjalankan kehidupannya sebagai homoseksual
(Kartono, 2009). Adapun beberapa ekspresi dalam homoseksual yaitu:
i. Aktif, bertindak sebagai pria yang agresif
Dalam kamus para homoseksual gay, ekspresi ini sudah dikenal dengan sebutan
top. Ekspresi ini memperlihatkan peran gay sebagai pria yang agresif.
ii. Pasif, bertingkah laku dan berperan pasif-feminim seperti wanita
Dalam kamus para homoseksual gay, ekspresi ini sudah dikenal dengan sebutan
bottom. Ekspresi ini memperlihatkan peran gay sebagai pria yang lebih feminim
seperti wanita.
iii. Bergantian peranan, kadang-kadang memerankan fungsi wanita, terkadang
menjadi laki-laki
Dalam kamus para homoseksual gay, ekspresi ini sudah dikenal dengan sebutan
first top atau first bottom. Para homoseksual gay dapat memerankan fungsi
wanita maupun pria secara bergantian.
c. Faktor Penyebab Homoseksual
Menurut Kartono (2009), faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab
munculnya homoseksual antara lain:
i. Faktor herediter, berupa ketidakseimbangan hormon-hormon seks. Contohnya
seperti cairan dan kelenjar endokrin pada fase-fase pertumbuhan yang kritis
dapat mempengaruhi arah dari dorongan-dorongan seksual dan tingkah laku.
ii. Pengaruh lingkungan yang tidak baik atau tidak menguntungkan bagi
perkembangan kematangan seksual yang normal. Contohnya seperti individu
yang besar di lingkungan yang terdiri dari para homoseksual yang melakukan
10
prostitusi yang selanjutnya memberikan contoh yang tidak baik bagi
perkembangan individu.
iii. Seseorang selalu mencari kepuasan relasi homoseksual karena pernah
menghayati pengalaman homoseksual yang menggairahkan pada masa remaja.
Contohnya seperti laki-laki yang semasa remaja sudah pernah berhubungan
seksual dengan laki-laki dan mengalami kepuasan yang sama halnya seperti
berhubungan seksual dengan perempuan sehingga membuat individu tersebut
selalu mencari kepuasan yang sama dengan relasi homoseksual.
iv. Seorang anak laki-laki pernah mengalami pengalaman traumatis dengan ibu,
sehingga timbul kebencian atau antipati terhadap ibu dan berdampak kepada
semua wanita. Individu yang mengalami trauma dengan ibu tersebut kemudian
memunculkan dorongan menjadi homoseksual yang permanen.
d. Pembentukan Identitas Homoseksual
Cass (1979) menyebutkan adanya 6 tahapan pembentukan identitas
homoseksual:
i. Identity Confusion (kebingungan)
Individu mulai meyakini bahwa tingkah laku tersebut dapat diidentifikasi
sebagai homoseksual. Mungkin akan ada kebutuhan untuk mendefinisikan
ulang konsep individu mengenai tingkah laku homoseksual dengan segala bias
dan kesalahan informasi yang dialami kebanyakan orang. Individu mungkin
menerima peran tersebut dan mencari informasi, mungkin menekan dan
menyembunyikan segala tingkah laku homoseksual (bahkan mungkin menjadi
seorang anti homoseksual dan mengutuknya), atau mungkin menyangkal
keterkaitannya dengan identitasnya.
11
ii. Identity Comparison (membandingkan)
Individu menerima potensi identitas diri sebagai seorang homoseksual, menolak
heteroseksual namun tidak memiliki model lain yang dapat menjadi
penggantinya. Individu merasa dirinya berbeda dan tersesat. Jika individu
tersebut kemudian mempertimbangkan untuk mendefinisikan dirinya sebagai
seorang homoseksual, individu tersebut akan mencari seorang model yang
sesuai untuk itu.
iii. Identity Tolerance (yakin)
Di tahap ini, individu mulai berpindah pada keyakinan bahwa individu mungkin
adalah homoseksual dan mulai mencari komunitas homoseksual sebagai
kebutuhan sosial, seksual dan emosional. Kebingungan akan menurun tetapi
identitas diri masih pada tahap toleransi, bukan sepenuhnya diterima. Biasanya
individu masih tidak memberitahukan identitas barunya dan menjalani gaya
hidup ganda, sebagai homoseksual dan sebagai heteroseksual.
iv. Identity Acceptance (membuka jati diri)
Terbentuk pandangan positif tentang identitas diri dan mulai mengembangkan
jaringan hubungan dengan homoseksual yang lain. Individu mulai membuka
diri terhadap teman dan keluarga serta semakin membenamkan diri dalam
budaya homoseksual.
v. Identity Pride (bangga)
Berkembangnya kebanggaan akan homoseksual sejalan dengan kemarahan
akan perlakuan yang pada akhirnya mengakibatkan penolakan terhadap
heteroseksual karena dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Individu merasa
gaya hidup yang baru tersebut adalah sesuatu yang benar dan sesuai.
12
vi. Identity Synthesis (merasa nyaman)
Individu menjalani gaya hidup homoseksual
yang terbuka sehingga
pengungkapan jati diri tidak lagi menjadi masalah dan muncul kesadaran bahwa
ada banyak sisi dan aspek kepribadian dan orientasi seksual hanya salah satu
dari aspek-aspek tersebut.
e.
Gay Muslim
Ada dua istilah terdapat pada orang yang mempunyai kecenderungan
homoseksual yaitu lesbian dan gay (Kartono, 2009) dan istilah ini sangat terkenal
di lingkungan masyakarat. Lesbian merupakan istilah yang menggambarkan
seorang perempuan yang secara emosi dan fisik tertarik dengan sesama perempuan,
sedangkan gay merupakan istilah untuk menyebutkan laki-laki yang menyukai
sesama laki-laki sebagai pasangan seksual, serta memiliki ketertarikan baik secara
perasaan atau erotik, baik secara dominan maupun eksklusif dan juga dengan
ataupun tanpa adanya hubungan fisik (Putri, 2013).
Homoseksual, biseksual, waria, dan man sex with man (MSM) atau dalam
bahasa Indonesia berarti laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki (LSL)
adalah suatu hal yang berbeda. Homoseksual dan biseksual adalah orientasi seksual
sedangkan waria adalah identitas gender yang biasa kita sebut sebagai transgender.
Istilah MSM atau LSL sendiri merupakan pendekatan program dalam hal ini ruang
lingkupnya adalah kesehatan seksual laki-laki dalam pencegahan terhadap infeksi
menular seksual (IMS) (Agustina, 2005).
Gay Muslim sendiri di dalam penelitian ini dimaksudkan sebagai individu
yang memiliki identitas seksual sebagai homoseksual gay dan memiliki identitas
keagamaan sebagai pemeluk agama Islam. Menurut Afif (1999), Muslim dikatakan
sebagai orang Islam yang dapat dengan benar melaksanakan aktivitas hidup seperti
13
shalat, menunaikan zakat, menepati janji apabila berjanji dan sabar dalam
kesempitan penderitaan atau peperangan.
2. Agama
a. Definisi Agama
Agama memiliki definisi yang sangat bervariasi atau beragam. Definisi
agama yang sering dipakai atau yang sering muncul yaitu agama berasal dari kata,
a yang berarti tidak dan gam yang berarti pergi, sehingga dapat dikatakan bahwa
agama tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun (Bakhtiar, 2005). Selain
itu, agama juga merupakan sistem kepercayaan kepada Tuhan yang dianut oleh
sekelompok manusia yang selalu mengadakan interaksi dengan Tuhan (Hardjana,
2005).
b. Pandangan Agama terhadap Homoseksual
Masyarakat Indonesia dengan nilai-nilai ketimurannya menganggap bahwa
hubungan sesama jenis adalah tabu dan terlarang. Setiap agama di Indonesia
memiliki pandangan sendiri terhadap homoseksual. Dalam agama Islam dan
Kristen terdapat larangan yang jelas tentang adanya hubungan antar sesama jenis
(gay, lesbian, dan waria). Namun sebaliknya dengan alasan tertentu dalam agama
Buddha hubungan sesama jenis diperbolehkan walaupun diakui bahwa hubungan
sesama jenis merupakan salah satu bentuk penyimpangan seksual. Dalam agama
Hindu hubungan sesama jenis masih menjadi perdebatan. Beberapa kalangan
menganggap bahwa hubungan sesama jenis tidak menyalahi aturan agama, hal ini
didasarkan pada tidak ditemukannya satu ayat pun dalam surat suci agama Hindu
yang melarang hubungan sesama jenis, namun beberapa kalangan menolak hal
tersebut (Mulia, 2010).
14
c. Pandangan Islam terhadap Homoseksual
Dalam agama Islam, Mulia (2010) menyebutkan dalam konteks identitas
gender, Al-Qur’an hanya menyebutkan dua identitas, yaitu Ar-Rajul (laki-laki) dan
Al-Mar’ah (perempuan). Sementara Fiqh (dalam Muhammad, 2011) menyebutkan
empat varian, yaitu laki-laki (alrajul), perempuan (al-mar’ah), waria atau banci
(alkhuntsa), laki-laki yang keperempuanan (almukhannits) atau perempuan yang
kelaki-lakian (al-mukhannats). Secara definitif, kata al-mukhannats dalam literatur
Islam digunakan untuk laki-laki yang menyerupai perempuan. Sementara untuk
perempuan yang menyerupai laki-laki disebut al-mukhannits, dalam literatur lain
disebut juga al-mutarajjilah. Pengertian ini merujuk pada Hadits Nabi Muhammad
SAW, dari Ibnu Abbas (dalam Muhammad, 2011) yang mengatakan bahwa
Rasulullah melaknat para mukhannats dan mutarajjilah.
Kitab faidhul qadir dalam agama Islam mengatakan bahwa al-mutarajjilat
dan almukhannisin terbagi menjadi dua macam yaitu:
i. Perilaku mutarajjilat-mukhannisin
yang disengaja atau dibentuk oleh
lingkungan sosial dan perilaku yang terbawa sejak lahir (khalqiyan). Perilaku
tersebut dianggap sebagai kejahatan agama yang diharamkan dan terlaknat.
ii. Agama tidak menuduh homoseksual sebagai perbuatan makshiyat dan dosa,
sekalipun
orang
yang
dianugrahi
perilaku
seperti
itu
masih
harus
mengupayakan untuk mengubah dan menyembuhkannya (Nakhe’l, 2012).
Menurut Muhammad Rashfi dalam kitabnya al-Islam wa-al-Tib (dalam
Rangkuti, 2012), bahwa Islam melarang keras homoseksual, karena mempunyai
dampak yang negatif terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat, antara lain:
i. Seorang homoseksual tidak mempunyai keinginan terhadap wanita. Jika mereka
melangsungkan perkawinan, sang istri tidak akan mendapatkan kepuasan
15
biologis, karena nafsu berahi suami telah tertumpah ketika melangsungkan
hubungan seksual terhadap laki-laki yang diinginkannya. Akibatnya, hubungan
suami istri menjadi renggang, tidak tumbuh rasa cinta dan kasih sayang, dan
tidak memperoleh keturunan, sekalipun istrinya subur dan dapat melahirkan.
ii. Perasaan cinta dengan sesama jenis membawa kelainan jiwa yang menimbulkan
suatu sikap dan perilaku ganjil. Seorang homoseksual kadang-kadang
berperilaku sebagai laki-laki dan kadang-kadang sebagai perempuan.
iii. Mengakibatkan rusaknya saraf otak, melemahkan akal, dan menghilangkan
semangat kerja.
3. Identitas
a. Definisi Identitas
Identitas menurut Toomey (dalam Mcdaniel, 2009) merupakan refleksi diri
atau cerminan diri yang berasal dari keluarga, gender, budaya, etnis dan proses
sosialisasi. Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan
persepsi orang lain terhadap diri kita. Sementara itu, Gardiner W. Harry dan
Kosmitzki Corinne (dalam Mcdaniel, 2009) melihat identitas sebagai pendefinisian
diri seseorang sebagai individu yang berbeda dalam perilaku, keyakinan dan sikap.
Identitas diri merupakan kesadaran individu untuk menempatkan diri dan
memberikan arti pada dirinya dengan tepat di dalam konteks kehidupan (Zanden,
1990). Sedangkan menurut Erickson (dalam Papalia & Old, 2001) identitas diri
adalah proses menjadi seseorang yang unik dengan peran yang penting dalam
hidup.
b. Jenis Identitas
Terdapat beberapa jenis identitas yang diungkapkan oleh Nakayama dan
Martin (2009), yaitu:
16
i. Identitas Seksual
Identitas seksual mengacu pada identifikasi seseorang dengan berbagai kategori
seksualitas. Bisa berupa heteroseksual, gay, lesbian dan biseksual. Identitas
seksual yang kita miliki akan mempengaruhi apa yang kita konsumsi. Program
televisi apa yang akan kita lihat atau majalah apa yang akan kita baca. Identitas
seksual juga dapat mempengaruhi pekerjaan seseorang.
ii. Identitas Gender
Identitas gender merupakan pandangan mengenai maskulinitas dan feminitas
dan apa arti menjadi seorang laki-laki atau perempuan. Arti menjadi seorang
perempuan atau laki-laki sangat dipengaruhi oleh pandangan budaya. Misalnya
saja kegiatan yang dianggap lebih maskulin atau lebih feminim. Ungkapan
gender tidak hanya mengkomunikasikan siapa kita, tetapi juga mengkonstruksi
rasa yang kita inginkan. Identitas gender juga ditunjukkan oleh gaya
komunikasi. Gaya komunikasi perempuan sering digambarkan sebagai suportif,
egaliter, personal dan disclosive, sedangkan gaya komunikasi laki-laki
digambarkan sebagai kompetitif dan tegas.
iii. Identitas Agama
Identitas agama merupakan dimensi yang penting dalam identitas seseorang.
Identitas agama ditandai dengan adanya ritual yang dilakukan oleh pemeluk
agama tersebut. Identitas agama juga ditandai dengan busana yang dipakai.
Selain jenis-jenis identitas yang sudah disebutkan di atas, Samovar dan
Mcdaniel (2009) menyatakan terdapat jenis identitas yang lain, yaitu:
i. Identitas Pribadi
Identitas pribadi merupakan karakteristik unik yang membedakan tiap-tiap
individu. Setiap orang memiliki identitas pribadi masing-masing sehingga tidak
17
akan sama dengan identitas orang lain. Pengaruh budaya turut mempengaruhi
identitas pribadi seseorang.
ii. Identitas Nasional
Identitas nasional merujuk pada kebangsaan seseorang. Sebagian besar dari
masyarakat menyatakan identitas nasional mereka dengan negara dimana
mereka dilahirkan. Selain itu identitas nasional dapat pula diperoleh melalui
imigrasi dan naturalisasi.
4. Konflik
a. Definisi Konflik
Konflik secara umum bisa diartikan adanya pertentangan antara motif dan
dua tujuan eksternal atau antara motif dan norma internal seseorang (Atkinson,
1983a). Seringkali konflik antara motif dan norma internal lebih sulit diselesaikan
dibandingkan konflik dua tujuan eksternal.
b. Jenis Konflik
Atkinson (1983b) menjelaskan bahwa kebanyakan konflik menimbulkan
sikap ambivalen yaitu dua sikap yang bertentangan karena adanya tujuan yang
diharapkan sekaligus tidak diharapkan, disukai sekaligus tidak disukai. Konflik
yang dialami individu bisa digolongkan dalam dua macam konflik yaitu:
i. Konflik mendekat-menghindar (approach-avoidance conflict), bentuk konflik
yang dihadapkan pada tujuan yang menarik (positif) sekaligus berbahaya
(negatif). Individu yang mengalami konflik ini akan mengalami kebimbangan
ketika menentukan apa yang akan dilakukan atau dalam bersikap.
ii. Konflik menghindar-menghindar (avoidance-avoidance conflict), merupakan
bentuk konflik pada keharusan memilih diantara dua alternatif negatif
18
Dalam penelitian ini, peneliti lebih menekankan pada konflik antara motif
dan norma internal seseorang yang merupakan bagian dari bentuk konflik
mendekat-menghindar. Alasan peneliti lebih menekankan pada konflik mendekatmenghindar karena penelitian yang dilakukan peneliti adalah identitas seksual
sebagai homoseksual yang bertentangan dengan standar moral agama sehingga
pelanggaran terhadap norma-norma agama tersebut menimbulkan sebuah konflik
mendekat-menghindar pada homoseksual.
c. Konflik Identitas Homoseksual
Membentuk identitas seksual merupakan proses yang panjang dan
menakutkan bagi remaja homoseksual. Homoseksual dihadapkan dengan ketakutan
ditolak oleh masyarakat sosial, terutama oleh keluarga. Banyak situasi seperti
lingkungan sekolah, lingkungan kerja dan lingkungan keluarga, serta agama dan
sosial yang menjadi penghalang bagi individu homoseksual untuk membentuk
identitas seksualnya sebagai gay atau lesbian (Stevens, 2004).
Miller & Major (2000) mengungkapkan hal yang sama bahwa proses
pembentukan identitas seksual menjadi permasalahan yang cukup serius bagi
remaja gay dalam menerima kondisinya sendiri. Mengakui dan menerima diri
sebagai gay akan membuat gay tersebut distigma dan dinilai sakit oleh masyarakat.
Stigmatisasi dan diskriminasi yang diterima oleh gay tersebut menjadi salah satu
penyebab utama munculnya berbagai konflik selama proses pembentukan identitas
seksual (Caroll, 2005).
Dalam penelitian ini, konflik identitas homoseksual diartikan sebagai
individu yang mengalami konflik dengan identitas seksualnya sebagai homoseksual
yang mendapatkan stigma dan diskriminasi terhadap lingkungan sekitarnya yang
memandang bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang buruk sehingga
19
membentuk perasaan maupun perilaku untuk menutup identitas seksual sebagai
homoseksual.
d. Konflik Keagamaan
Clark (1958) mengkategorikan konflik keagamaan secara umum yang
dialami individu ke dalam tiga macam kategori konflik, yaitu:
i. Konflik yang terjadi antara percaya dan ragu.
ii. Konflik yang terjadi antara pemilihan satu diantara dua ide keagamaan atau
institusi.
iii. Konflik yang terjadi antara ketaatan beragama atau meninggalkan ajaran
agama.
Dalam peneltian ini, peneliti lebih menekankan pada kategori konflik yang
terjadi antara ketaatan beragama atau meninggalkan ajaran agama pada
homoseksual. Alasan peneliti lebih menekankan pada kategori tersebut adalah
karena para homoseksual yang merasa identitasnya sebagai homoseksual yang
menyalahi norma-norma agama akan mengalami konflik untuk membuat diri
mereka.memilih agar tetap menjalankan agama mereka atau meninggalkan ajaran
agama mereka. Hal ini akan berdampak pada strategi coping yang akan dipilih oleh
homoseksual terhadap konflik identitasnya sebagai homoseksual dalam mengambil
sikap tentang ajaran keagamaan.
5. Coping
a. Definisi Coping
Coping adalah proses untuk menata tuntutan yang dianggap membebani
atau melebihi kemampuan sumber daya manusia (Lazarus & Folkman dalam
Taylor, Peplau & Sears, 2009). Coping kejadian yang menekan adalah proses yang
dinamis (Aspinwall & Taylor dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009). Coping
20
kejadian yang menekan dimulai dengan penilaian terhadap situasi yang harus
mereka atasi.
b. Jenis Coping
Menurut Lazarus dkk (dalam Taylor, 2003) jenis coping dibagi menjadi dua
tipe umum yaitu:
i. Emotional focused coping, yaitu digunakan untuk mengatur respon emosional
terhadap stress. Pengaturan ini dilakukan melalui perilaku individu untuk
meniadakan fakta-fakta yang tidak menyenangkan melalui strategi kognitif,
ketika individu tidak mampu mengubah kondisi yang stressful, individu akan
cenderung untuk mengatur emosinya.
ii. Problem focused coping, yaitu untuk mengurangi stressor, individu akan
mengatasi dengan mempelajari cara-cara atau keterampilan yang baru. Individu
akan cenderung menggunakan strategi ini bila dirinya yakin dapat mengubah
situasi.
c. Strategi Coping
Berdasarkan penelitian-penelitian lanjutan yang dilakukan Lazarus &
Folkman (dalam Taylor, 2003), kedua jenis coping yaitu emotional focused coping
dan problem focused coping dibagi lagi menjadi delapan bagian strategi coping
(Lazarus dkk dalam Taylor, 2003) yaitu:
i. Playful Problem Solving (problem focused coping)
Individu menganalisa situasi yang dihadapi sehingga memperoleh cara-cara
yang diperlukan untuk mengatasi masalah kemanusiaan, melakukan tindakan
nyata untuk mengatasi masalah.
21
ii. Controntatif Coping (problem focused coping)
Ciri dari tindakan ini adalah adanya tindakan asertif yang pada akhirnya
seringkali berubah menjadi tindakan agresif untuk merubah situasinya.
iii. Seeking Social Support (emotion or problem focused coping)
Individu akan berusaha memperoleh informasi atau dukungan emosional dari
orang lain.
iv. Distancing (emotion focused coping)
Usaha individu untuk menghindar atau menjauhkan diri dari situasi stressful
atau usaha dari sudut pandang yang positif.
v. Escape-avoidance (emotion focused coping)
Individu berharap agar permasalahan yang ada segera berakhir atau bertindak
secara nyata atau melarikan diri dari permasalahannya tersebut.
vi. Positive Repraisal (emotion focused coping)
Usaha individu untuk mencari sisi positif dari situasi yang bertujuan untuk
mencapai pertumbuhan pribadi yang terkadang dikaitkan dengan hal-hal yang
bersifat rohani (religi).
vii. Self-control (emotion focused coping)
Usaha seseorang untuk mengatur tindakan dan emosi yang berkaitan dengan
situasi yang dihadapi.
viii. Accepting Responsibility (emotion focused coping)
Pengakuan masalah yang dibuat individu sehingga masalah-masalah itu terjadi.
22
B. Perspektif Teoretis
Identitas
Agama
Seksual
Islam
Homoseksual
Konflik
Identitas
Coping
Keterangan:
Terdiri dari
Menghasilkan
Diberikan
Gambar 1. Skema Perspektif Teoretis
Gay
23
Menurut Erickson (dalam Papalia & Old, 2001) identitas diri adalah proses menjadi
seseorang yang unik dengan peran yang penting dalam hidup. Identitas pada dasarnya
merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita.
Terdapat beberapa jenis identitas yang diungkapkan oleh Nakayama & Martin (2009) salah
satunya adalah identitas agama dan identitas seksual.
Identitas agama merupakan dimensi yang penting dalam identitas seseorang.
Identitas agama ditandai dengan adanya ritual yang dilakukan oleh pemeluk agama
tersebut. Identitas agama juga ditandai dengan busana yang dipakai. Di Indonesia sendiri
memiliki banyak agama yang dapat dianut oleh masyarakat, salah satu agama terbesar yang
dianut oleh masyarakat Indonesia adalah agama Islam.
Identitas seksual merupakan identifikasi seseorang dengan berbagai kategori
seksualitas. Bisa berupa heteroseksual, gay, lesbian, dan biseksual. Dalam penelitian ini,
peneliti lebih memfokuskan kepada identitas seksual sebagai homoseksual gay. Gay
merupakan istilah untuk menyebutkan lelaki yang menyukai sesama lelaki sebagai
pasangan seksual, serta memiliki ketertarikan baik secara perasaan atau erotik, baik secara
dominan maupun eksklusif dan juga dengan ataupun tanpa adanya hubungan fisik (Putri,
2013).
Identitas keagamaan dan identitas seksual sebagai homoseksual merupakan dua hal
yang saling bertolak belakang. Dalam identitas keagamaan, semua agama mengatakan
bahwa menentang keberadaan dari identitas seksual sebagai homoseksual. Salah satu
agama yang dominan menentang adanya identitas seksual sebagai homoseksual adalah
agama Islam. Terdapat tokoh agama konservatif yang menyatakan bahwa homoseksual
adalah kelompok yang menyalahi fitrah penciptaan manusia, homoseksual merupakan
perbuatan yang keji yang dapat merusak agama, kehormatan dan mental masyarakat (Az-
24
Zulfi dalam Okdinata, 2009). Dari pertentangan-pertentangan tersebut kemudian timbulah
suatu konflik.
Konflik secara umum bisa diartikan adanya pertentangan antara motif dan dua
tujuan eksternal atau antara motif dan norma internal seseorang (Atkinson, 1983a).
Seringkali konflik antara motif dan norma internal lebih sulit diselesaikan dibandingkan
konflik dua tujuan eksternal. Konflik identitas yang dialami oleh homoseksual salah
satunya gay tersebut kemudian akan membuat para gay mengalami perasaan yang tertekan
sehingga diperlukan suatu strategi coping untuk mengatasinya.
Coping adalah proses untuk menata tuntutan yang dianggap membebani atau
melebihi kenmampuan sumber daya kita (Lazarus & Folkman dalam Taylor, Peplau &
Sears, 2009). Terdapat dua strategi coping secara umum yaitu usaha pemecahan masalah
yang artinya usaha untuk melalukan sesuatu yang konstruktif guna mengubah situasi stress
dan strategi coping yang berupa pengaturan emosi yang artinya usaha untuk menata reaksi
emosi terhadap kejadian stressor (Stanton, Kirk, Cameron & Danoff-Burg dalam Taylor,
Peplau dan Sears, 2009).
Konflik identitas bagi gay Muslim tersebut menimbulkan permasalahan yaitu
perasaan tertekan dan kebingungan sehingga diperlukan suata strategi coping yang efektif
agar para gay Muslim tersebut dapat bertahan dengan dua identitas yang saling
bertentangan. Sama halnya dengan heteroseksual, homoseksual pun mempunyai hak dalam
menganut dan menjalankan agama dengan bebas sehingga strategi coping dirasa perlu agar
dapat memberikan kekuatan bagi gay Muslim dalam menghadapi konflik identitas.
25
C. Pertanyaan Utama Penelitian
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka pertanyaan utama dari
penelitian ini antara lain:
1. Bagaimana bentuk konflik identitas pada gay Muslim?
2. Bagaimana bentuk perilaku gay Muslim dalam menjalankan perilaku keagamaan?
3. Bagaimana coping gay Muslim terhadap konflik identitas?
Download