Budi Daya Pertanian pada Lahan Pegunungan Pedoman umum budi daya pertanian pada lahan pegunungan ditetapkan oleh Menteri Pertanian melalui peraturan No. 47/Permentan/OT.140/10/ 2006. Pedoman tersebut diharapkan dapat dijadikan acuan dalam perencanaan dan pelaksanaan budi daya pertanian di lahan pegunungan, serta sebagai dasar dalam menyusun prosedur operasional baku. P raktek budi daya pertanian di lahan pegunungan mempunyai posisi yang strategis dalam pembangunan pertanian, karena sekitar 45% wilayah Indonesia berupa perbukitan dan pegunungan dengan topo-fisiografi yang sangat beragam. Berbagai jenis tanaman hortikultura baik sayuran maupun buahbuahan, perkebunan, dan pangan diusahakan di lahan pegunungan. Selain memberikan manfaat bagi jutaan petani, lahan pegunungan juga berperan penting dalam menjaga fungsi lingkungan daerah aliran sungai (DAS) dan penyangga daerah di bawahnya. Walaupun berpotensi untuk pengembangan budi daya pertanian, lahan pegunungan rentan terhadap erosi dan longsor, karena tingkat kemiringan dan curah hujannya tinggi, serta kondisi tanah kurang stabil. Bahaya longsor dan erosi akan me- ningkat apabila lahan pegunungan yang semula tertutup hutan dibuka menjadi areal pertanian tanaman semusim tanpa disertai penerapan konservasi tanah dan air, atau dijadikan areal peristirahatan dengan segala fasilitas yang tidak ramah lingkungan. Penerapan teknologi pengelolaan lahan pegunungan yang tepat guna dan tepat sasaran akan dapat menjamin perolehan keuntungan ekonomi dan lingkungan, serta kelestarian sumber daya lahan secara simultan. Namun demikian, sebagian besar petani dan pengguna lahan pegunungan masih banyak yang belum memahami dan mengetahui teknik budi daya yang tepat pada lahan pegunungan. Oleh karena itu, sangat diperlukan adanya suatu pedoman budi daya pertanian pada lahan pegunungan. Pedoman umum budi daya pertanian pada lahan pegunungan, yang merupakan lampiran dari Permentan No. 47/Permentan/OT.140/ 10/2006, dimaksudkan untuk memberikan gambaran umum tentang cara berusaha tani yang baik dan teknik pengendalian longsor dan erosi yang tepat. Adapun tujuan dari pedoman umum tersebut adalah: (1) untuk dijadikan acuan oleh pengguna lahan, penyuluh, organisasi petani/kemasyarakatan, dan pengambil kebijakan dalam perencanaan dan pelaksanaan budi daya pertanian di lahan pegunungan, dan (2) sebagai dasar penyusunan petunjuk teknis (prosedur operasional baku). Materi yang dikemukakan dalam pedoman umum budi daya pertanian pada lahan pegunungan meliputi faktor penentu kepekaan lahan terhadap longsor dan erosi, teknologi pengendalian longsor, teknologi budi daya, dan pengelompokan jenis tanaman pada sistem usaha tani konservasi. Substansi yang disampaikan bersifat umum, sebagai landasan bagi penyusunan petunjuk teknis oleh instansi yang berwenang di tingkat pusat dan daerah. Lahan pegunungan yang dimaksud dalam pedoman umum tersebut adalah lahan pertanian dan kehutanan pada ketinggian >350 m dpl. Zona sistem usaha tani (SUT) konservasi atau wanatani beriklim basah (curah hujan >1.500 mm/ tahun) dan beriklim kering (curah hujan <1.500 mm/tahun), tetapi hujan terdistribusi pada periode pendek sehingga volume dan intensitas hujan cukup tinggi pada bulanbulan tertentu. Pengendalian Longsor Berbagai bentuk budi daya pertanian di lahan pegunungan. Penerapan teknik pengendalian longsor diarahkan ke daerah rawan longsor yang sudah terlanjur dijadikan lahan pertanian. Areal rawan longsor yang belum dibuka direkomendasikan untuk tetap dipertahankan dalam kondisi vegetasi permanen, seperti cagar alam, kawasan konservasi, dan hutan lindung. 7 Tiap jenis tanah mempunyai tingkat kepekaan terhadap longsor yang berbeda. Langkah antisipatif yang perlu dilakukan adalah memetakan sebaran jenis tanah pada skala 1:25.000 atau skala lebih besar (1:10.000; 1:5.000) pada hamparan lahan yang menjadi sasaran pembangunan pertanian tanaman hortikultura, tanaman pangan, atau tanaman perkebunan. Berdasarkan peta-peta tersebut dapat didelineasi bagian-bagian dari hamparan lahan yang peka terhadap longsor dengan menggunakan nilai atau skor seperti dalam Tabel 1. Penerapan teknik pengendalian longsor didasarkan atas konsep pengelolaan DAS. Dalam hal ini kawasan longsor dibagi ke dalam tiga zona, yaitu: (1) hulu, zona paling atas dari lereng yang longsor, (2) punggung, zona longsor yang berada di antara bagian hulu dan kaki kawasan longsor, dan (3) kaki, zona bawah dari lereng yang longsor dan merupakan zona penimbunan atau deposisi bahan yang longsor. Pengelolaan masing-masing segmen ditunjukkan dalam Tabel 2. Pada masing-masing zona diterapkan teknik penanggulangan longsor dengan pendekatan vegetatif atau mekanis. Teknologi Budi Daya pada Sistem Usaha Tani Konservasi Budi daya pertanian pada lahan pegunungan seyogianya menerapkan sistem usaha tani konservasi, yang mana dalam sebidang lahan pertanian terintegrasi dua kegiatan pokok yaitu kegiatan usaha tani dan konservasi. Secara garis besar, teknik pengendalian erosi dibedakan menjadi dua, yaitu teknik konservasi mekanis dan vegetatif. Namun demikian, dalam prakteknya konservasi mekanis dalam pengendalian erosi harus selalu diikuti oleh cara vegetatif, yaitu penggunaan tumbuhan/tanaman dan sisa-sisa tanaman/tumbuhan (misalnya mulsa dan pupuk hijau), serta penerapan pola tanam yang dapat menutup permukaan tanah sepanjang tahun. Tabel 3 menunjukkan matrik 8 Tabel 1. Skor hubungan faktor biofisik dan tingkat kepekaan longsor di lahan pegunungan. Faktor biofisik Curah hujan (mm) Bahan induk Lereng (%) Kandungan liat 2:1 Laju infiltrasi Kedalaman lapisan kedap air (cm) 1) Nilai (skor)1) <1.500 (1) Batuan volkanik (1) 15-25 (1) Rendah (1) Lambat (1) >100 (1) 1.500-2.500 (3) Batuan metamorfik (2) 25-40 (3) Sedang (2) Sedang (2) 50-100 (2) >2.500 (5) Batuan sedimen (3) >40 (5) Tinggi (3) Cepat (3) <50 (3) Angka dalam kurung menyatakan skor. Kepekaan tanah terhadap longsor dinilai dengan cara menjumlahkan skor dari masing-masing faktor. Skor 610 digolongkan sebagai lahan dengan tingkat kepekaan rendah, 11-15 kepekaan sedang, dan 16-22 kepekaan tinggi. Lahan dengan tingkat kepekaan tinggi tidak direkomendasikan untuk budi daya pertanian, pembangunan infrastruktur atau perumahan, tetapi dipertahankan sebagai vegetasi permanen (hutan). Tabel 2. Perlakuan pengendalian longsor pada setiap zona atau wilayah longsor pada lahan pegunungan. Zona/wilayah longsor Perlakuan pengendalian Hulu a. Mengidentifikasi permukaan tanah yang retak atau rekahan pada punggung bukit dan mengisi kembali rekahan/permukaan tanah yang retak tersebut dengan tanah. b. Membuat saluran pengelak dan saluran drainase untuk mengalihkan air dari punggung bukit, untuk menghindari adanya kantong-kantong air yang menyebabkan penjenuhan tanah dan menambah massa tanah. c. Memangkas tanaman yang terlalu tinggi yang berada di tepi (bagian atas) wilayah rawan longsor. Punggung (bagian lereng yang meluncur) a. Membangun atau menata bagian lereng yang menjadi daerah bidang luncur, di antaranya dengan membuat teras pengaman (trap terasering). b. Membuat saluran drainase (saluran pembuangan) untuk menghilangkan genangan air. c. Membuat saluran pengelak di sekeliling wilayah longsor. d. Membuat penguat tebing dan check dam mini. e. Menanam tanaman untuk menstabilkan lereng. Kaki (zona penimbunan bahan yang longsor) a. Membuat/membangun penahan material longsor menggunakan bahan-bahan yang mudah didapat, misalnya dengan menancapkan tiang pancang yang dilengkapi perangkap dari dahan dan ranting kayu atau bambu. b. Membangun penahan material longsor seperti bronjong atau konstruksi beton. c. Menanam tanaman yang dapat berfungsi sebagai penahan longsor. pemilihan teknik konservasi tanah dan komposisi tanaman semusim dan tanaman tahunan berdasarkan kondisi kemiringan lahan, kedalam- an tanah, dan kepekaan tanah terhadap erosi. Semua jenis teras harus disertai dengan penanaman tanaman penguat teras, seperti rum- put dan legum yang juga merupakan sumber pakan ternak. Tanaman tahunan yang ada pada sistem pertanaman lorong dan pagar hidup dapat diperhitungkan sebagai bagian dari tanaman tahunan (Ai Dariah). Untuk informasi lebih lanjut hubungi: Skema yang menggambarkan zona hulu, punggung, dan kaki pada wilayah longsor di lahan pegunungan. Balai Penelitian Tanah Jalan Ir. H. Juanda No. 98 Bogor 16123 Telepon : (0251) 336757 Faksimile : (0251) 321608 E-mail : [email protected] Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 29, No. 1, 2007 Dunia Peduli Sumber Daya Ternak Kecenderungan menurunnya sumber daya genetik ternak sebagai akibat komersialisasi ternak-ternak modern yang berproduktivitas tinggi, mendorong para pemikir dunia untuk segera melakukan upaya konservasi. Disadari secara global bahwa hilangnya sumber daya genetik ternak dapat menyebabkan bencana, terutama hilangnya sifatsifat unggul berbagai sumber daya genetik ternak yang tahan terhadap tekanan lingkungan. F lu burung !! Mana-mana !! Cepat musnahkan! Segera buat Keppres atau Inpres, begitulah kata-kata di media massa akhirakhir ini. Demikian pulalah kira-kira kelompok homo sapiens dalam mempertahankan keturunannya sejak dulu. Tidak jarang manusia bertindak terlebih dulu, berpikir kemudian, lalu kecewa. Tidak salah, Yang Maha Kuasa menciptakan manusia lengkap dengan segala sifatnya, dan sifat tamak di antaranya yang mungkin berdampingan dengan sifat pemberi. Manusia sudah berkembang berabad-abad yang lalu dan dengan berbagai pengetahuannya mengklaim makin maju. Lalu bagaimana dampaknya terhadap dunia dengan segala isinya sebagai anugerah dari Yang Maha Kuasa? Berkenaan dengan itu, apakah para pemikir di Indonesia sudah belajar banyak dari pengalaman masyarakat di negara lain? Kenya- taannya masih belum seimbang antara yang menggerogoti dengan yang melestarikan. Pelestarian masih dianggap banyak orang Indonesia sebagai hal yang tidak menguntungkan, bahkan merugikan. Kecenderungan menurunnya sumber daya genetik ternak sebagai akibat komersialisasi ternakternak modern yang mempunyai tingkat produktivitas tinggi, mendorong para pemikir dunia untuk segera melakukan upaya konservasi. Disadari secara global bahwa hilangnya sumber daya genetik ternak dapat menyebabkan bencana, terutama hilangnya sifat-sifat unggul berbagai sumber daya genetik ternak yang tahan terhadap tekanan lingkungan. Adanya ternakternak modern dalam beberapa dekade terakhir memang memberikan kontribusi nyata pada penyediaan pangan sumber ternak untuk memenuhi kebutuhan protein hewani Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 28, No. 2, 2006 masyarakat. Namun akhir-akhir ini, para peneliti dan pemikir dunia merasakan adanya suatu kesalahan dalam penanganan sumber daya genetik ternak, yaitu kurang adilnya penanganan terhadap ternakternak lokal/asli, yang merupakan sumber daya genetik yang unggul dan tahan terhadap input yang marginal. Sementara ternak-ternak modern akan berproduksi tinggi apabila tersedia input yang tinggi. Pengurangan dan peningkatan harga bahan pakan menyebabkan masyarakat mulai mencari sumbersumber baru ternak di masyarakat yang bisa dipertahankan dan dimanfaatkan sebagai sumber daya genetik ternak unggul baru. Hal itu menjadi landasan berfikir FAO (Food and Agriculture Organization) untuk membangun suatu komisi sumber daya genetik untuk pangan dan pertanian (Commission on Genetic Resources for Food and Agriculture = CGRFA). CGRFA dibentuk pada bulan Mei 1997 dan bertugas memikirkan dan membangun ide-ide dan aksi-aksi upaya konservasi sumber daya genetik ternak dunia melalui keterlibatan negara-negara maju dan negaranegara berkembang yang masih mempunyai akses relatif lebih besar pada ternak domestik dan liar. CGRFA pada pertemuan ketujuhnya kemudian membentuk kelompok kerja (working group) untuk 9 Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 28, No. 2, 2006