Bab II GEREJA DAN POLITIK DALAM PERSPEKTIF TEORITIK A. Hubungan Gereja dan Negara. J. Philip Wogaman, membedakan paling tidak empat tipe hubungan negara dan agama. Keempat tipe tersebut adalah: 1. Teokrasi: yaitu suatu kehidupan bernegara yang di dalamnya pemimpin agama atau lembaga keagamaan tertentu mengendalikan kehidupan bernegera lewat berbagai kebijakan kenegaraan dan undang-undang untuk tujuan-tujuan agama tersebut. Wogaman memberikan contoh terhadap teokrasi ini antara lain dalam kehidupan bangsa Ibrani kuno, tradisionalitas Tibet, kehidupan Puritanisme jaman kolonialisme Amerika, periode awal Mormonisme di Utah, dalam batas-batas tertentu terjadi sekarang di Iran, Katolik abad pertengahan, juga jaman modern sebelum Vatican II dan Zionis Israel.1 Paham teokrasi ini berkaitan dengan apa yang disebut dengan istilah Negara Gereja. Yang dimaksud dengan Negara - Gereja adalah satu bentuk kehidupan bersama dalam sebuah Negara (state nation), dimana undang-undang yang berlaku dalam Negara itu disusun berdasarkan keyakinan religius dari agama tertentu. Dalam Negara Gereja satu agama menentukan segala hal yang berlaku dalam Negara. Para pemimpin 1 Wogaman, J. Philip, Christian Perspectives On politics, Louisville: Westminster John Knox Press, 2000, hlm. 250 agama diangkat menjadi kepala Negara. Israel, Iran, dan juga Vatikan masuk dalam kategori ini.2 1. Erastianisme: yaitu suatu kehidupan bernegara yang di dalamnya para pemimpin politik telah mengeksploitasi agama untuk tujuan-tujuan negara. Tipe ini merupakan kebalikan dari tipe pertama. Disebut Erastinsime mengikuti pandangan Thomas Erastus, teolog protestan Swiss Jerman abad XVI. Bentuk kehidupan Negara seperti ini menurut Wogaman terdapat terutama di Jepang dengan Shintoismenya. Hal serupa juga dapat dilihat ketika Stalin pada awal PD I merangkul Gereja Orthodox Russia. Yang paling nyata bentuk ini dapat dilihat dalam kehidupan Gereja Anglikan di Inggris.3 Bentuk erastianisme memiliki kemiripan dengan bentuk Gereja-Negara. Yang dimaksud dengan Gereja-Negara adalah kehidupan bersama dalam suatu Negara (state nation) dimana pemerintah memberi jaminan keamanan atau perlindungan istimewa bagi gereja atau agama tertentu. Negara menjalankan pengawasan yang ketat dan memiliki wibawa yang besar dalam kehidupan sosial termasuk kehidupan beragama, Negara mengatur semua hal termasuk agama mana yang harus dianut oleh wargannya. Dalam Gereja-Negara bisa juga ditemukan agama lain, tetapi eksistensi agam itu dan hak-hak pemeluk agama ini sangat tidak menentu. Masih beruntung jika agama mereka tidak dipedulikan. Yang paling celaka ialah jika agama itu dan 2 Ebenhaizer I. Nuban Timo, Umat Allah di Tapal Batas: Percakapan Tentang Gereja Jilid II: Masa Kini Gereja, dicetak oleh Alfa Design Kemiri II – Salatiga, 2011, hlm. 295. 3 Ibid, hlm. 250-251 pemeluknya dianiya dan ditindas oleh penguasa. Ini yang terjadi dengan keadaan agama Kristen pada periode awal berdirinya.4 3. Pemisahan Gereja-Negara Yang Rusuh: yaitu suatu kehidupan bernegara yang di dalamnya terjadi pemisahan yang sangat keras antara gereja dan negara. Dalam kasuskasus tertentu, kehidupan keagamaan bahkan tidak diakui, atau tidak diperbolehkan. Wogaman memberi contoh kasus antiklerikalisme abad XIX di Perancis. Di negara-negara Marxists, bahkan lebih ekstrim lagi, seperti yang terjadi di Albania sebelum berahirnya Perang Dingin antara Barat dan Uni Soviet. Dalam konstitusinya, Albania tidak mengakui keberadaan agama, dan mempropagandakan ateisme.5 4. Pemisahan Gereja-Negara Yang Ramah: yaitu suatu kehidupan bernegara yang di dalamnya ada pemisahan yang tegas secara legal antara kehidupan beragama dan kehidupan bernegara. Amerika Serikat oleh Wogaman disebut sebagai contoh yang sangat jelas akan tipe ini. Tipe ini telah dijamin dalam konstitusi Amerika Serikat juga dengan maksud untuk menjaga integritas dan independensi lembaga-lembaga keagamaan itu sendiri.6 Hak independensi ini ada pada setiap individu dan masyarakat sebagai bagian dari hak-hak asasinya. Hak ini bukan pemberian Negara, walaupun Negara seharusnya menjamin hak-hak individu dan masyarakat untuk bersikap untuk bersikap sesuai dengan hati nurani dan keyakinannya, selama itu tidak menimbulkan anarki. Dalam arti Negara harus menjamin kebebasan beragama. Tetapi dijamin atau tidak oleh Negara, gereja wjib 4 Nuban Timo, hlm. 294 Ibid, hlm. 251 6 Wogaman, ibid, hlm. 251 5 untuk mewujudkan kebebasannya itu, dan jika perlu bersedia menderita demi suara hati nurani dan keyakinannya7 Menurut Wogaman, pada tipe ini gereja dimungkinkan untuk melaksanakan fungsinya dengan baik karena tidak adanya tekanan dari Negara. Oleh karena itu gereja harus ikut berupaya menciptakan keteraturan dan ketertiban dalam suatu masyarakat. Gereja juga harus berupaya mencegah segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan Negara, dengan ikut berupaya menciptakan Negara hukum, serta menolak segala bentuk kekuasaan Negara yang otoriter dan totaliter. Kekuasaan Negara harus tunduk kepada hukum, dan hukum harus menjamin dan mengatur pemisahan yang jelas antara kewenangan otonomi yang ada pada individu, masyarakat dan Negara.8 Sementara itu, Donald Jay Losher secara umum membagi pandangan mengenai hubungan antara Gereja dan Negara dibagi menjadi tiga kategori yaitu pemisahan ketat, asimilasi dan interaksi. Pemisahan ketat tidak bisa berbuat apa-apa terhadap Negara, karena kaum kristen memilih sendiri untuk tidak berperan di bidang politik atau sosial. Asimilasi juga tidak mampu karena kaum beragama telah dikuasai oleh pemerintah dan ideologinya, sehingga hanya mampu menerima segala kebijakan secara pasif. Baik asimilasi maupun pemisahan ketat tidak mampu memegang peranan aktif dalam perubahan sosial dan politik. Sikap interaksilah yang mampu bertahan lama dalam periode kontemporer, karena transformasi dan pembebasan memegang peranan jauh lebih aktif dan positif, meskipun juga 7 8 Ibid, hlm. 252 Ibid. dengan resiko yang lebih besar namun memegang peranan paling aktif, kritikal dan positif terhadap Negara dan masyarakat. 9 Sementara itu, Zakaria J. Ngelow membagi hubungan Gereja dan Negara ke dalam 4 (empat) model. Ia mengatakan bahwa sejarah gereja memperlihatkan dinamika kehadiran gereja di dalam dunia, yang nyata dalam berhadapan dengan Negara sebagai tatanan politik masyarakat. Relasi gereja dan Negara beragam antara lain diidentifikasi dalam bentuk: 1. Supremasi Negara terhadap Gereja Menurut Ngelow, relasi supremasi Negara terhadap gereja mengakibatkan distorsi terhadap Injil, ketika suatu masyarakat Kristen dipaksakan oleh Negara dan Injil direduksi menjadi tatanan sosial, maupun ketika suatu tatanan politik diligitimasi atas nama Injil. Supremasi Negara terhadap gereja sebagaimana berlangsung pada kekaisaran Romawi Timur (Byzantium) berakobat pada satu pihak gereja memperoleh hak-hak khusus dan perlindungan Negara, tetapi sekaligus kehilangan kekuatannya dalam menyuarakan kebenaran injil terhadap penguasa. Negara tidak sampai mencampuri urusan ajaran gereja, tetapi berhak dalam urusan kelembagaannya. Pola hubungan ini tetap berkembang dalam gereja Ortodoks dan dalam gereja-gereja Luteran, serta gereja-gereja Kalvinis pada abad-abad lalu, termasuk pada zaman kolonial di Indonesia.10 9 Sairin, Weinata, Hubungan Gereja dan Negara, dan Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996. Hlm. 105 10 Demikianlah Zakaria J. Ngelow ketika menguraikan Kemitraan Profetis Gereja dan Negara, dalam Agama dan Negara perspektif Islam, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, Protestan. Yogyakarta: Institut DIAN/Interfidei, 2002, hlm.110. 2. Supremasi Gereja terhadap Negara Pola hubungan gereja di atas Negara, dikembangkan oleh Gereja Roma Katolik pada abad-abad pertengahan dengan bertolak dari pemahaman tentang dua tingkat relaitas, yakni yang adikodrati dan yang kodrati, dimana yang kodrati tunduk kepada dan disempurnakan oleh yang kodrati. Negara berfungsi pada yang kodrati, sedangkan gereja pada yang kodrati. Keunggulan gereja diperkuat dengan ajaran dua pedang, yakni kekuasaan gereja atas yang rohani dan atas yang duniawi. Maka kepala gereja (Sri Paus) adalah raja di atas para raja: Negara-negara tunduk pada gereja Roma Katolik. Pada prakteknya hal yang sama berlaku dalam kalangan Protestan pada zaman Reformasi demi menyukseskan pembaruan gereja (misalnya teokrasi Calvin di Jenewa). Pola hubungan ini nampaknya menguntungkan gereja secara duniawi, tetapi selain melangkahi hak-hak asasi kebebasan beragama dalam masyarakat, terutama pula menyamakan suatu pemerintahan Kristen dengan Kerajaan Allah.11 3. Pemisahan Total Pola pemisahan total muncul pada masa kemudian, ketika pandangan-pandangan sekuler mengenai Negara makin berkembang dan kekuasaan gereja makin memudar, hubungan Gereja dan Negara ditiadakan. Negara mempunyai dasar, tujuan dan polapola hubungannya sendiri, sedangkan gereja lain lagi. Pemisahan total ini, baik dalam pandangan sekuler liberal, maupun dalam pandangan aliran-aliran Kristen radikal mengabaikan pandangan sosial Kristen, dimana makna Injil atau tanda-tanda Kerajaan Allah seharusnya dinyatakan di dalam kehidupan masyarakat, melalui kehidupan pribadi dan terutama pula melalui kelembagaan gereja.12 11 12 Ibid, 111. Ibid 4. Kemitraan Yang Profetis Hubungan kemitraan gereja dan Negara yang sehat diperkembangkan oleh para reformator berdasarkan pengalaman-pengalaman jemaat mula-mula. Dalam hubungan kemitraan ini diakui adanya fungsi bersama Negara dan gereja terhadap manusia dan masyarakat, dan ada usaha untuk dapat bekerjasama secara dinamis dalam berbagai bentuk bertolak dari bidang masing-masing. Fungsi ini terkait dengan kenyataan bahwa hakekat manusia dan masyarakatnya cenderung binasa oleh kuasa doasa yang terwujud dalam ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, permusuhan, dsb. Tetapi kemitraan dengan gereja bersifat kritis-profetis karena pada satu pihak Negara adalah hamba Allah (Rm 13), tetapi pada pihak lain dapat menjadi Si Binatang (Why 13).13 B. Bentuk-Bentuk Keterlibatan Gereja dalam Politik 1. Mempengaruhi etos Pada level yang paling umum, gereja melakukan advokasi politik dengan mempengaruhi semangat jaman untuk memenuhi tindakan politik. Kebijakan dan program pubik ditujukan ke arah realisasi nilai-nilai kultural, dan segala sesuatu yang mendukung atau menentang nilai kultural yang sudah ada yang setidaknya memiliki relevansi politis. Lincon dianggap sebagai orang yang menyatakan bahwa gereja harus menentukan batasan dimana politik harus berfungsi. Ini mungkin terlalu melebih-lebihkan pengaruh gereja. Tetapi tentunya gereja merupakan salah satu pengaruh yang ikut menentukan batasan itu. Ketika gereja-gereja Amerika akhirnya menyerukan kesetaraan umat manusia di hadapan tuhan. Mereka menciptakan ketegangan di antara umat Kristen melalui partisipasi mereka pada masyarakat yang 13 Ibid, 112 rasial. Akhirnya sejumlah besar umat Kristen – mungkin mayoritas – percaya bahwa segmentasi rasial bertentangan dengan nilai-nilai dan kepercayaan mereka yang mendalam. Jika mereka berkulit hitam, mereka didorong untuk berjuang lebih keras di arena politik untuk menuntut persamaan hak. Jika mereka berwarna kulit putih, mereka cenderung mengalah terhadap tuntutan itu – dan pada banyak kasus mereka turut serta dalam perjuangan kaum kulit hitam. Bahkan tanpa tindakan gereja yang spesifik, maka pernyataan nilai-nilai tertentu memiliki efek politis yang sangat besar . yang terakhir, konflik serupa timbul di Afrika Selatan dimana Gereja Reformasi Belanda, kaum religius tradisional, memiliki efek politis yang sangat besar. Para pemerhati sejarah mungkin bingung apa yang menyebabkan pernyataan teologis pada era sebelumnya membuat orang begitu bersemangat. Masalahnya adalah konteks pernyataan mungkin telah merepresentasikan nilainilai dan kepercayaan yang berkontradiksi dengan hukum, institusi, dan kepentingan politik yang ada. Deklarasi Barmen tahun 1934 yang berisi pengakuan gereja pada awal kebangkitan Nazi di Jerman, tidak dianggap sebagai dokumen yang radikal. Dokumen ini tidak menyatakan apa pun tentang Hitler, juga tidak memberi komentar tentang hokum atau rancangan undang-undang tertentu. Dokumen ini tidak mendukung kandidat manapun atau partai oposisi. Tapi dokumen ini menyatakan bahwa yesus kristus merupakan satu-satunya firman Allah, yang harus didengar, dipercayai, dan dipatuhi- dan bahwa dalam konteksnya, menentang pemujaan dan pretense totalitarian era Nazi. Pada masa itu, dukungan terhadap nilai dan kewewangan di luar Negara Jerman memiliki implikasi perjuangan melawan ideologi Hitler, tapi tentunya membantu memberi landasan bagi iklim politik.14 Dengan demikian perasaan gereja yang terdorongun untuk melakukan tindakan yang lebih spesifik dalam politik, tanggungjawab mereka untuk mengarahkan etos, nilai-nilai kultural dan semangat jaman sangatlah jelas. 2. Mendidik Warga Gereja Tentang Isu-Isu Tertentu Salah satu masalah dalam membatasi kesaksian politik pada level pertama adalah seringkali arti kercayaan dan nilai-nilai yang sesungguhnya tidakjelas penerapannya dalam keadaan kongkrit. Terkadang orang dimungkinkan memiliki nilai-nilai yang bertentangan jika nilai-nilai tersebut sangat tidak jelas. Dalam memahami dalil bahwa semua orang itu sama, akan sangat membantu jika gereja menyatakan semua orang sama tanpa memperlihatkan ras, gender atau kondisi ekonominya. Dan mungkin akan semakin membantu menunjukkan lebih lanjut hal yang kongkrit, apa implikasi kepercayaan dan nilai-nilai semacam itu hidup yang terorganisir. 15 Pada level ini, gereja memiliki tanggung jawab untuk menghubungkan kepercayaan yang umum terhadap masalah politik tertentu. Kebanyakan gereja modern pernah memiliki sejumlah teknik edukasional yang dapat membantu mereka melakukan tugas tersebut, yang terkadang didukung oleh analisis teknis yang impresif atas isu-isu itu sendiri. Pada awal tahun 1980-an, uskup katolik di Amerika mengembangkan sejumlah dokumen melalui studi yang impresif atas isu-ssu seperti perang nuklir dan kehidupan ekonomi. Meskipun dokumen ini dirancang untuk 14 15 Wogaman, J. Fhilip, Ibid, hlm. 264-267 Ibid, 266 mempengaruhi public secara luas, publiknya yang langsung adalah gereja itu sendiri. Dokumen serupa tentang isu politik telah dikembangkan oleh gereja lain, meski jarang skali memiki tingkat kedalam yang sama. Anggapan dibalik program semacam itu adalah bahwa anggota gereja, jika memperoleh informasi yang memadai, akan bertidak secara tepat sebagai warga Negara dan pemimpin politik. Kampanye itu sebenarnya sangat efektif. Kampanye pendidikan Protestan yang menyebar luas di Amerika sepanjang tahun-tahun terakhir Perang Dunia II membantu menyiapkan iklim penerimaan politik atas perserikatan Bangsa-bangsa. Program studi atas hubungan antar ras membantu bangkitnya wanita dan kaum muda metodis sebagai sumber perubahan hubungan antar ras di Amerika. Dengan kekuasaan di tangan masyarakat umum dalam demokrasi politik, upaya pemberian informasi melalui aspek faktual dan teologis atas masalah-masalah public bisa jadi sangat penting dalam jangka panjang.16 Apakah ada keberatan teologis atas hal ini? Mungkin memang terdapat keberatan bahwa gereja bisa jadi keliru dalam menganalisis isu tertentu. Tetapi mereka tidak mungkin keliru dalam segala hal, termasuk pernyataan mendasar tentang iman, pemahaman atas Injil, gambaran tentang sejarah gereja, atas implikasi hokum atas liturgi. Gereja merupakn institusi manusia yang bisa keliru, didiami dan dipimpin oleh orang berdosa yang memiliki pengetahuan yang terbatas. Ini merupakn bahtera Tuhan yang membumi. Jika gereja harus membatasi dirinya dalam mengambil 16 Ibid tindakan dan hanya menyatakan hal-hal yang dapat dipastikannya, apa yang bisa dilakukan dan dikatakannya?.17 Namun, keberatan merupakan peraingatan yang baik, bahwa dalam analisis dan pendidikan masalah politik gereja harus menginformasikan dirinya sendiri sekompeten mungkin. Memang semakin controversial sebuah isu, gereja harus semakin siap. 3. Lobi Gereja Pada level ini, gereja dapat melakukan sesuatu yang langsung untuk mempengaruhi keputusan publik. Lobi sendiri berfungsi pada beberapa level. Istilah ini menimbulkan kesan disewanya seorang pelobi yang berpengaruh di ruang kongres atas parlemen, yang berusaha mempengaruhi suara mereka pada masalah-masalah penting. Beberapa advokasi gereja memang mengarah, termasuk kesaksian dihadapan komite legislative dan upaya tersamar untuk mempengaruhi kebijakan oleh agen eksekutif dan keputusan yudisial oleh pengadilan. Meski tidak secara langsung, tapi teknik yang lebih efektif adalah advokasi legislatif untuk memberi tanda kepada konstituen agar menjalin komunikasi dengan legislator atas proposal tertentu. Itu dapat menciptakan kesan, terkadang ilusi, bahwa posisi yang disarankan didukung oleh publik secara luas.18 Dalam proses penggabungan secara langsung dengan pergulatan kekuasaan atas isu-isu, selalu terdapat resiko bahwa mereka yang memimpin usaha tersebut mungkin lebih berorientasi pada kekuasaan atau bahkan terkorupsi olehnya. Juga ada 17 18 Ibid Ibid kemungkinan bahwa orang mungkinterjebak dengan kebijakan atau legislasi tertentu sehingga gambaran yang lebih besar menjadi hilang atau bahwa keuntungan jangka pendek dikorbankan demi kepentingan jangka panjang. Proses legislatif melibatkan kompromi, terlihat mendukung aspek buruk sebuah proposal seperti halnya aspek yang baik. Politisi diharapakan melakukan hal itu dan dihormati jika mereka melakukannya dengan baik, tetapi gereja diharapkan menjaga pesan mereka sejelas dan sejujur mungkin. Selain itu, beberapa macam lobi (termasuk surat massal) mendorong munculnya ancaman politis. Misalnya:pesan kepada legislator adalah, jika kalian tidak mendukung kami pada piagam ini, kami akan menentang kalian pada pemilu berikutnya. Di Amerika, gerakan pelarangan pada awal abad ke-20 seringkali berakhir pada seruan terbuka kepada penguasa, seperti gerakan hak hidup pada akhir abad ke-20. Kedua gerakan ini berhasil mengenyahkan legislator yang tidak kooperatif dari kantornaya. Tapi secara teologis ini dapat menjadi masalah.19 Keberatan yang ada mengandung arti bahwa lobi gereja harus dilakukan dengan kompetisi teknis dan kedewasaan. Orang yang belum sepenuhnya memiliki iman dan integritasnya diragukan tidak mungkin dipercaya gereja untuk memegang tanggungjawab itu. Lobi memang memerlukan kompromi dan melibatkan kekuasaan, yang seringakali berkembang hingga melampaui isu itu sendiri. Mereka yang melakukannya harus mampu melihat gambaran yang lebih luas dan menyampaikan secara akurat dimana kompromi berada. Masalahnya adalah masyarakat yang demokratis yang sangat memerlukan partisipasi terinformasi oleh kelompok yang memiliki pandangan yang lebih luas, 19 Ibid, hlm. 267 yang tidak berkepentingan terhadap kebijakan umum dibandingkan kepentingan terorganisir yang kuat yang menghasilkan koridor bagi parlemen atau kongres. Gereja mungkin, atau sering keliru dalam masalah kebijakan publik. Tapi jika pandangan mereka secara serius didasarkan pada perspektif teologis dan terinformasi oleh penilain teknis yang berkompeten, mereka memiliki kontrisbusi yang sangat dibutuhkan. Sebagai badan, gereja memiliki bobot lebih dibandingkan umat Kristen secara individual. Sebagai gereja mereka memiliki objektivitas yang lebih besar dibandingkan kebanyakan lobi terorganisir. 20 4. Mendukung Kandidat Tertentu Gereja pada umumnya jarang melakukan hal ini dalam demokrasi Barat. Tidak aada alasan khusus, baik secara teologis maupun yuridis, mengapa mereka tidak melakukannya keadaan memang menjamin. Di Amerika, gereja etnis local kadang memberi dukungan secara langsung kepada kandidat yang catatannya paling baik dalam hak-hak sipil. Secara historis, gereja etnis merupakan salah satu bentuk institusi sosial yang dikontrol secara langsung oleh anggota etnis minoritas, dan tidak mengejutkan bahwa mereka harus memainkan peran seperti itu. Sebuah argument dapat dibuat bahwa gereja lain seharusnya juga mendukung kandidat dengan catatan yang positif dalam hal hak-hak sipil dan masalah keadilan soaila lainnya. Di sisi lain, kelompok-kelompok seperti kolalisi Kristen dan focus pada keluarga sangat erat dalam mendukung atau menentang kandidat tertentu dan mendorong gereja agar ikut memberi dukungan atau menentangnya. Masalahnya adalah bahwa kompleksitas baru turut memasuki persamaan politik saat ambisi yang bertentangan dan karir kandidat ikut dipertimbangkan. Dan atas 20 Ibid, 267-268 kesulitan memisakan kompleksitas isu politik yang demikian, adalah jauh lebih buruk menilai karakter asli calon pemimpin public. Tanpa menguasai level keterlibatan politik tersebut secara menyeluruh, tekanan yang ada akan semakin membebani.21 5. Menjadi Partai Politik Keberadaan partai demokratik Kristen di sejumlah Negara eropa dan amerika latin membuktikan bahwa level keterlibatan politik ini memiliki sejarah tersendiri-meski partai ini dibentuk akibat dorongan umat Kristen dan bukan oleh gereja. Sekali lagi, jika keadaan tampaknya terjamin, tidak terdapat alasan mengapa hal ini tidak dapat dilakukan. Tetapi, akan tetap dilematis bagi gereja untuk menjadi sebuah kekuatan politik, yang berusaha mendapatkan kekuasaan bagi dirinya sendiri, menempatkan orang-orangnya dikantor-kantor, dan mengumpulkan penghargaan, bahkan meski tujuan pandangan ini mungkin perlu dipuji. Partai politik tidak bisa tidak, harus mengambil posisi berdasarkan perolehan suara. Gereja saat mengambil posisi, harus bebas memberikan advokasi yang mungkin bukan untuk membujuk mayoritas pemberi suara selama bertahun-tahun ke depan. Gereja juga harus menjauhkan diri dari pergualatan ambisi pribadi yang bertentangan (meski harus diakui banyak diantaranya sudah muncul dalam gereja itu sendiri) dan tetap dalam posisi untuk melayani dan memengaruhi orang-orang dari semua partai. Sekali lagi, orang mungkin membayangkan keadaan luar biasa dimana gereja harus secara tegas mengutuk parta tertentu atau bahkan menjadi partai. Tetapi keadaan haruslah benar-benar luar biasa.22 21 22 Ibid, 268-269 Ibid, 269 6. Pembangkangan Sipil Pembangkangan sipil yang dilakukan oleh umat Kristen, terutama berkaitan dengan orientasi umat Kristen yang cinta damai. Meski pembangkangan sipil terkadang secara tak langsung menyatakan bahwa pemerintahan suatu Negara tidak sah, ini dapat merepresentasikan kesaksian Kristen bahwa hukum atau kebijakan tertentu sudah teralalu jauh melanggar batas sehingga satu-satunya jalan bagi umat Kristen adalah tidak mematuhinya, tindakan ini umumnya dilakukan secara terbuka, tanpa kekerasan, dan tanpa usaha menghindari konsekwensi hokum. Dibawah disiplin semavam itu, pembangkangan sipil dapat dipandang sebagai konfirmasi legitimasi otoritas Negara – digabung dengan upaya terkuat yang mungkindilakukan untuk mendorong otoritas mengubah kebijakan yang dipertanyakan. Tindakan ini secara umum dilakukan oleh umat Kristen secara individu maupun dalam kelompok nonecclesial, meski secara prinsip tidak ada alasan bahwa gereja tidak boleh melakukan pembangkangan publik.23 Terkadang pembangkangan sipil dilakukan untuk menyatakan hukum atau peraturan tertentu yang inkonstitusional, dan pada beberapa kasus mungkin tidak terbukti pembangkangan sipil sama sekali. Tetapi ada yang dikatakan seseorang tentang status teologis tingkah laku illegal yang dilakukan sebagai saksi Kristen adalah untuk memastikan adanya pelanggaran perjanjian sipil. Dan karena perjanjian sipil memiliki status teologis yang penting, yang dianggap menentang pembangkangan sipil , jadi pembangkangan sipil tidak boleh dilakukan sembarangan, seperti halnya perjanjian sipil yang memiliki sedikit klaim moral atas keyakinan Kristen. Fakta bahwa kebijakan atau hukum tertentu mendorong persepsi orang akan 23 Ibid, hlm. 270 keburukan mungkin tidak cukup untuk menjamin pelanggaran hukum, karena hampir setiap hukum, adat, atau kebijakan mengandung suatu kejahatan pada dunia yang sesat ini. Tujuan pembangkangan sipil ketika dilakukan oleh umat Kristen, bukan untuk menjadi suci. Dengan cara itu, tidak satu orang pun yang bisa menjadi suci di dunia ini. Tujuannya lebih untuk menyampaikan, dengan cara yang paling mendesak, bahwa suatu kebijakan atau hokum secara tak lazim bertentangan dengan kesadaran Kristen, atau meredam efek hukum atau kebijakan ketika konsekwensi pada manusia dianggap sudah tidak dapat ditolerir. Tindakan ini juga harus didukung oleh keadaan yang luar biasa. Normalnya, disiplin itu mengkonfirmasi rasa hormat terhadap legitimasi otoritas sipil. Tetapi beberapa situasi dimana pembangkangan sipil itu dijamin mungkin memerlukan kerahasiaan agar efektif. Misalnya upaya gereja-gereja Amerika memberi perlindungan bagi warga Negara asing illegal yang melarikan diri akibat kondisi yang opesif di Amerika Tengah pada tahun 1980-an.24 7. Partisipasi dalam Revolusi Revolusi merupakan tingkat keterlibatan politik yang paling serius karena mengandung rekonstitusi total atas perjanjian politik itu sendiri. Bagi umat Kristen, ini juga sangat serius karena umumnya membawa konsekwensi kekerasan. Jelas bahwa, revolusi – bahkan revolusi dengan kekerasan – dapat dilakukan oleh umat Kristen hanya pada kondisi yang benar-benar ekstrim. Tetapi pada kejadian mana pun, gereja hurus sangat berhati-hati dalam mengambil langkah. Mereka mungkin memperjuangkan hak-hak manusia dan pentingnya berpartisipasi dalam demokrasi, dan bahwa advokasi dapat berjalan 24 Ibid, 270-271 beriringan dengan perjuangan revolusi jika orde yang lama tidak mau berubah. Tapi penyebab revolusi cencerung menyebabkan absolutism pada diri mereka sendiri, dan gereja harus selalu mengingatkan bahwa tidak ada sesuatu yang absolute kecuali Tuhan. Bahkan revolusi yang paling menjanjikan sekalipun akan menghasilkan kekecewaan dan kritik. Bahkan kekuatan represif memiliki kemungkinan untuk menebusnya. Gereja mungkinperlu mengidentifikasi secara keseluruhan penyebab revolusi, meski tetap dalam posisi membantu penguasa demi kemuliaan yang lebih besar. Gereja merupakan bagian dari masyarakat sipil, seperti halnya kelompok yang lain. Apa pun yang dilakukan Negara pada saat itu akan melibatkan gereja serta warga individual, suka atau tidak. Pembahasan berbagai level keterlibatan gereja tidak akan membawa keadilan pada kompleksitas. Tapi ini menunjukkan pentingnya memberi bobot kompleksitas secara berhati-hati.25 Semantara itu, Zakaria J. Ngelow membagi 3 (tiga) model bentuk-bentuk keterlibatan gereja dalam bidang politik. Model-model tersebut adalah: 1. Model Yusuf – Daniel Yang dimaksudkan dengan Model Yusuf-Daniel adalah peran politik warga Gereja di Indonesia, yang berusaha untuk masuk dalam “lingkaran kekuasaan”. Hal ini nampak dari pendirian partai Kristen dan ketelibatan dalam partai non Kristen, yang telah mengantar beberapa tokoh-tokoh Gereja menduduki jabatan yang strategis dalam pemerintahan mulai dari zaman pergerakan nasional sampai pada era reformasi. 25 Ibid, 271-272 Tokoh Yusuf diceriterakan dalam kejadian 37:1-50:26, Ia dijual oleh saudarasaudaranya ke Mesir dan di sana ia memperlihatkan prestasi yang cukup gemilang, ia dapat mengalahkan godaan dari istri Potifar, berhasil menafsirkan mimpi para tahanan dan mimpi Firaun dan juga memberi nasihat praktis yang segera diterima oleh Firaun. Prestasi inilah yang mengantarkan Yusuf sebagai penguasa atas istana, sehingga ia bertanggung jawab atas keuangan Mesir dan walaupun Yusuf telah menjadi petinggi di Mesir, dia tidak pernah mendendam terhadap saudara-saudaranya bahkan tergerak hatinya untuk membantu mereka.26 Demikian pun yang dialami oleh Daniel, Ia adalah salah seorang pengawas dari seratus dua puluh provinsi kerajaan. Walaupun dia berada dalam lingkaran kekuasaan, ia tetap mempunyai integritas hal ini terbukti ketika ada surat keputusan dari raja bahwa barang siapa selama tiga puluh hari menyampaikan permohonan kepada salah satu dewa atau manusia, kecuali kepada raja, akan dilemparkan ke dalam gua singa. Tetapi Daniel tetap menjalankan kebiasaannya yakni berdoa kepada Allah, yang membuat dia dihukum, tetapi Ia tetap diselamatkan oleh Allah yag disembahnya (Daniel 6:2-29).27 Sejak zaman pergerakan Nasional partisipasi kalangan Kristen Indonesia memberi perhatian diarahkan pada perjuangan untuk membela pemisahan negara dan agama. Pada periode demokrasi liberal ketika Konstituante berusaha menyusun Konstitusi baru muncul pertarungan antara ideologi Pancasila atau ideologi Islam. Jelas pihak Kristen membela Pancasila. Di bawah kepemimpinan Mulia, Leimena, dan Tambunan, masa itu sampai tahun 60-an dianggap masa jaya partisipasi politik Kristen melalui Parkindo, yang merupakan satusatunya partai Kristen. Pada Pemilu tahun 1955 Parkindo mendapat 16 kursi di Konstituante dengan 1.003.326 suara (2,66%). Pada awalnya tidak banyak dukungan kepada Parkindo. 26 27 Dianne Bergant dan Robert J. Karris (ed), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Yogyakarta: Kanisius, 2002, hlm. 74 Ibid, hlm. 620 Pada rapat pembentukan partai Kristen (mula-mula namanya Partai Kristen Nasional, PKN), tgl 6 November 1945, berkembang pemahaman menentang adanya partai politik Kristen. Ds. Probowinoto (Ketua terpilih menggantikan W.Z. Johannes pada Kongres bulan Desember 1945) mengungkapkan 3 pandangan yang menolak: para politikus Kristen lebih baik menyebar dalam partai-partai sekuler yang programnya dapat diterima orang Kristen; umat Kristen terlalu lemah dari segi sumber daya; dan politik pekerjaan kotor yang tidak sesuai dengan Kekristenan. Pada thn 1952 Leimena menunjuk pada 3 kelompok orang-orang yang mempertanyakan partisipasi Kristen dalam Indonesia merdeka: kelompok yang tidak mendukung kemerdekaan Indonesia; kelompok yang dibingungkan oleh keadaan masyarakat yang tidak menentu; dan kelompok yang mengasingkan diri dari urusan negara.28 Parkindo menjadi wakil umat Kristen dalam dinamika percaturan politik nasional dari masa Revolusi, Demokrasi Liberal, Demokrasi Terpimpin sampai awal Orde Baru. Cukup mencolok bahwa Parkindo merupakan satu-satunya partai politik Kristen. Memang ada juga sejumlah intelektual atau politisi Kristen di luar kelembagaan gereja yang memilih aktivitas politiknya di luar Parkindo dalam partai-partai sekuler. PARKI (partai Kristen Indonesia) pimpinan Melanchton Siregar di Sumatera Utara menggabungkan diri ke Parkindo pada tahun 1947. Peran utama Parkindo dapat diletakkan dalam konteks sosial-politik dan kegerejaan masa itu. Pertama-tama struktur kepemimpinan gereja dan politik umat Kristen hampir berimpit dari pusat sampai ke jemaat-jemaat, khususnya dalam lingkungan DGI. Para pendeta, pimpinan gereja dan majelis jemaat sekaligus pengurus Parkindo. Sementara itu Kekristenan Indonesia belum secara tajam terbelah antara kaum ekumenis dan kaum Injili, dan masih cukup kuatnya patronase “gereja induk”. Selain itu, juga karena rendahnya tingkat 28 Zakaria J. Ngelow, Partisipasi Umat Kristen Indoneisa di Bidang Politik, Jurnal STT Intim Makassar,Edisi No. 5 – Semester Ganjil 2003, hlm. 48. kecelikan politik umat Kristen sehingga gampang diekploitasi secara emosional-primordial dari sudut agama. Dan sekalipun kepemimpinan gereja mengalami berbagai masalah, belum terjadi konflik serius yang mengarah ke perpecahan. Singkatnya, Parkindo mendapat dukungan langsung gerejagereja dalam menghadirkan kesaksian Kristen dalam percaturan politik di Indonesia. Apakah Parkindo berhasil? Ketokohan para pimpinannya dalam pentas politik nasional, seperti a.l. J. Leimena, M. Tambunan, Ds. W.J. Rumambi dan A.M. Pasila mungkin dapat dibanggakan. Bagaimanapun, secara teologis harus diakui bahwa dengan segala kekurangannya Parkindo dan seluruh jajarannya di pusat dan di daerah telah dipakai Tuhan untuk membawa kesaksian Injil Kristus di tengah-tengah perjalanan sejarah bangsa kita. 29 Dalam pengakuan itu pertanyaan kritis tetap perlu diajukan. Apakah kesaksian Kristen oleh Parkindo dalam percaturan politik di Indonesia memang telah dijalankan dengan setia menyatakan suara kenabian terhadap berbagai ketimpangan dalam pemerintahan dan masyarakat? Apakah praktek-praktek kotor dunia politik tidak menulari para politikus Kristen? Apakah transformasi ke arah kehidupan nasional yang lebih adil dan demokratis bagi semua terus diperjuangkan? Ataukah substansinya lebih pada perjuangan untuk kepentingan terbatas umat Kristen dalam bayang-bayang kecemasan terhadap diskriminasi kelompok-kelompok yang lebih kuat, khususnya Islam?30 Pertanyaan-pertanyaan itu perlu diletakkan dalam konteks dinamika sosial-politik nasional yang penuh tantangan. Dalam 25 tahun pertama kemerdekaan negara kita diperhadapkan pada berbagai tantangan dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan sampai terbentuknya pemerintahan Orde Baru. Separatisme RMS, pemberontakan DI/TII, 29 30 Zakaria J. Ngelow, ibid. Ibid, Hlm. 49 Pemilu 1955, PRRI/PERMESTA, kemacetan Konstituante, Pembebasan Irian Barat, Dwikora, G30S/PKI dan peralihan kekuasaan ke pemerintah Orde Baru adalah rangkaian tantangan berat susulmenyusul yang turut membentuk karakter partisipasi politik umat Kristen Indonesia. Sementara secara internal gereja-gereja yang rata-rata baru mulai berdiri sendiri bergumul dengan masalah-masalah pengembangan jemaat, kader, sumber dana dan organisasi, sambil berusaha mewujudkan cita-cita keesaan gereja-gereja di Indonesia. Itulah ketegangan antara kemandirian dan keesaan gereja-gereja di Indonesia.31 Ketegangan itu dijalani sambil mencari gagasan-gagasan partisipasi yang relevan. Selain gagasan-gagasan teologi politik Kuyperian yang dikemukakan di atas, wacana politik Kristen di Indonesia sejak tahun 1950-an mendapat masukan dari gerakan ekumene sedunia, yang antara lain memperlihatkan pengaruh Reinhold Niebuhr (1892-1971). Wacana responsible society DGD yang disinggung di atas diletakkan dalam perspektif Christian realism Niebuhr. Pada satu fihak Niebuhr menolak optimism Social Gospel mengenai kebaikan manusia dan kemampuannya melaksanakan perintah Allah dalam semua bidang kehidupan, dan pada fihak lain mengandalkan kehadiran Allah yang memberi kemungkinkan luas bagi manusia (inderterminate possibilities) mewujudkan hal-hal besar bagi-Nya. Kombinasi wacana masyarakat tanggung jawab dan realisme Kristen dibumbui suatu idealisme creative minority, mengikuti pandangan Arnold Toynbee (1889-1975). Sejarawan Inggeris ternama itu menyatakan bahwa kemajuan dan kemunduran peradaban terjadi ketika tampil kaum minoritas kreatif yang mampu membaca tanda-tanda zaman, memahami tantangan dan peluang zamannya serta secara strategis memobilisasi masyarakatnya melakukan pembaharuan atau perubahan, dan karena itu mereka menjadi elit masyarakatnya. Namun kemudian peradaban merosot ketika kelompok ini berubah menjadi dominant 31 Ibid. minority yang sibuk mempertahankan kekuasaanya. Wacana creative minority kemudian tidak dipopulerkan dalam lingkaran intelektual dan politisi Kristen Indonesia untuk menghindari dikotomi minoritas – mayoritas dalam masyarakat majemuk Indonesia, yang bisa mengarah pada ekses negatif pemahaman persatuan nasional. Alasan lain adalah meredam sindrom minoritas. Tetapi adanya kecendrungan yang dapat secara figuratif disebut “model peran Yusuf-Daniel” dalam kalangan intelektual dan pemimpin Kristen menunjukkan pengaruh gagasan itu, khususnya dalam power-centric orientation para intelektual dan pemimpin Kristen Indonesia. Di sini sebenarnya terjadi penyimpangan mendasar dari gagasan creative minority, yakni menjadi dominant minority, bukan menjalankan kepeloporan dalam membaca dan menjawab tanda-tanda zaman, melainkan masuk dalam lingkaran kekuasaan yang hakekatnya anti pembaharuan. Dengan kata lain, substansi partisipasi politik Kristen dikerdilkan menjadi perjuangan bagi kepentingan kelompok atau golongan, yang dalam konteks Indonesia merupakan perwujudan dari sindrom minoritas. 32 Dalam orientasi itu, kehadiran wakil-wakil Kristen di Parlemen dan Kabinet adalah prestasi yang sering dibanggakan. Perlu diperhatikan bahwa karena latar pendidikannya pada zaman kolonial, banyak orang Kristen menduduki jabatan-jabatan penting dalam birokrasi pemerintahan sampai awal tahun 1970-an. Juga kemudian pada tahun 1971 ketika Orde Baru menyederhakan kekuatan politik dengan mem-fusi parkindo ke dalam PDI orang-orang Kristen masih hadir di Parlemen dan Kabinet. Bahkan dalam Orde Baru peran birokrat Kristen (Katolik dan Protestan) cukup penting, dengan adanya sejumlah tokoh kabinet dan pimpinan militer dan partai politik. Dengan kata lain, “hilangnya” Parkindo dari pentas politik tidak meniadakan kehadiran tokoh-tokoh Kristen di bidang pemerintahan, militer dan politik. Para politikus Kristen (a.l. eks Parkindo) tetap berkiprah dalam percaturan politik Orde Baru. 32 ibid Evaluasi negatif terhadap pemerintahan Suharto menimbulkan pertanyaan kritis, apakah partisipasi para tokoh-tokoh Kristen pada masa Orde Baru benar dapat dibanggakan? Hal ini akan menjadi evaluasi bagi peran politik Gereja dalam era reformasi.33 Menurut Martin Lukito Sinaga, penyempitan ekspresi politik ke dalam partai politik selain hanya menghasilkan suara minoritas juga terbukti mendorong kelembaman (inertia) umat Kristen sendiri. Ia memiliki akar konservatif dan eksklusif di masa kolonial, dan ekspresi partai dari situasi sedemikian akan hanya menyuburkan isolasinya.34 Peran politik model Yusuf –Daniel, juga nampak dalam terlibatnya pendeta dalam lingkaran politik praktis. Menurut Zakaria J. Ngelow, Baik pada masa PARKINDO maupun di era Reformasi pendeta-pendeta terlibat langsung dalam dunia politik praktis. Apakah pendeta cocok menjalankan peran partisipasi politik Kristen? Ya dan tidak. Ya, karena pendeta adalah pemimpin umat yang (seharusnya) mempunyai wawasan yang luas terhadap berbagai aspek dan perkembangan dalam masyarakat, termasuk politik, dan selalu merelasikannya dengan panggilan gereja. Tidak, karena pendeta yang terlibat dalam politik praktis memilih salah satu partai/golongan politik, dan dengan itu tidak bisa lagi membina warga jemaatnya dalam aktivitas politik yang berbeda-beda. Masalah pendeta dalam dunia politik praktis bukan terutama masalah doktrin jabatan menyangkut salah atau benar; melainkan masalah etika, boleh atau tidak boleh. Pendeta yang berpolitik akan cenderung mengarahkan warga jemaat pada kepentingan partainya, dan dengan demikian tidak netral. Bahkan dapat memakai mimbar gereja untuk kampanye politik, bukan pemberitaan Injil. Yang juga penting adalah motivasi pendeta terjun dalam politik praktis. Ada pendeta yang 33 ibid Martin Lukito Sinaga, Jalan Baru Politik di Indonesia, http:// www. suara pembaruan. Com / News / 2004 / 04 / 03/ index.html, Diunduh, 15 Juni, 2012. 34 memang bekerja dalam dunia politik dengan integritas, visi dan komitmen. Tetapi banyak pula yang sesungguhnya ikut Yunus “melarikan diri” ke Tarsis.35 2. Model Musa-Elia Yang dimaksud dengan Model Musa-Elia adalah peran politik Gereja yang kembangkan ke arah tepian sosial: solidaritas dengan kaum marjinal. Model ini berbeda dengan Model Yusuf-Daniel yang berorientasi ke lingkaran elit kekuasaan. Dalam Keluaran 2:1-22 , diceriterakan tentang Musa yang dibesarkan dalam lingkungan istana di Mesir, namun karena rasa solidaritasnya terhadap bangsanya ia melarikan diri dari istana menuju ke Midian dan dari situlah Musa mendapat pengutusan dari Allah untuk membebaskan bangsa Israel dari pebudakan di Mesir menuju tanah perjanjian (Kel. 3:7-15). Solidaritas itupun yang diperlihatkan oleh Elia di tengah pemerintahan raja Ahab di Israel yang tidak memihak kepada rakyat kecil dan ketika kekeringan melanda negeri itu. Solidaritas itu digambarkan melalui cerita mengenai seorang janda di Sarfat, di mana Elia melakukan mujizat yakni minyak dan tepung menjadi banyak dan dbangkikannya anak tunggal dari janda itu (I Raja-raja 17:1-24).36 Pada KGM-DGI pertama tahun 1962 di Sukabumi disampaikan prinsip-prinsip teologis partisipasi gereja. Dalam suatu kertas kerja berjudul “Geredja dan Masjarakat di Indonesia” yang disusun oleh Komisi Geredja dan Masjarakat DGI, sebagaimana yang dikutip oleh Zakaria J. Ngelow, antara lain dikemukakan: “Eksistensi Gereja terjalin dengan Injil Kerajaan Allah, yakni menjadi suatu fungsi dalam masa pemberitaan dan penantian kegenapan pemerintahan Allah yang telah mulai diwujudkan dalam kemenangan Yesus Kristus. Oleh karena Injil Kerajaan Allah bermakna comprehensive maka gereja harus menyatakannya di dalam semua lapangan kehidupan, baik pertobatan pribadi secara rohani maupun pembinaan masyarakat secara sosial, politik, ekonomi, dan seterusnya. 35 36 Zakaria J. Ngelow, Pendeta Berpolitik?, www.oaseonline.org, diunduh, 15 Juni 2012. Dianne Bergant dan Robert J. Karris (ed), hlm. 323 Dalam fungsi ini gereja dapat tergoda untuk mengutamakan dirinya ( ecclesiocentrism) atau memisahkan tuntutan-tuntutan konkret kehidupan masyarakat dari Injil sehingga terjerumus dalam sekularisme.”37 Partisipasi transformatif itu merujuk pada Gereja Purba sebagai model dan ukurannya: Jemaat Kristen purba merupakan model dan ukuran bagi peran Gereja di tengahtengah masyarakat, yaitu bukan dengan suatu ideologi atau sistem sosial politik tertentu, melainkan dengan hidup dari dan di bawah kekuasaan Kristus mewujudkan kasih dan keadilan. Cara hidup gereja Kristen yang lama dalam masyarakat selama abad-abad yang pertama bukan konservatif, maupun evolusioner, atau revolusioner, melainkan membetulkan (mentransformasikan) dan karena itu mengubah. Gereja, yakni jemaat-jemaat, hanya dapat melancarkan pengaruh-pengaruh yang dinamis, yang membaharui dan mengubah itu dalam masyarakat jika gereja sadar akan masalah-masalah yang dihadapi dan jika gereja hidup dari penggenapan dan pengharapan akan Kerajaan Allah yang dalam Yesus Kristus telah dan akan datang itu. Menurut Julianus Mojau dalam konteks Indonesia yang majemuk, peran politis yang cukup prospektif adalah Gereja menjadi Komunitas iman basis yang memberdayakan warga Jemaat dan masyarakat sehingga memiliki kesadaran politik kritis terhadap segala bentuk kekuasaan hegemonis yang selalu ingin megkorup harkat dan martabat mereka. 38 Hal ini senada dengan konsep mengenai partisipasi Kristen masa Orde Baru yang digagas dalam KGM tahun 1972 dengan “falsafah” sikap positif-kreatif-kritis-realistis. Menurut Zakaria J. Ngelow; kata kunci partisipasi menyiratkan tindakan-tindakan nyata di tengah-tengah, bersama dan bagi rakyat banyak. Karena itu pendekatan partisipasi 37 38 Zakaria J. Ngelow, hlm. 50. Julianus Mojau, Teologi Politik Pemberdayaan, Yogyakarta Kanisius, 2009, Hlm. 8 sosial gereja diungkapkan dalam istilah-istilah pendampingan ( advocacy), pemberdayaan ( empowerment) dan solidaritas (solidarity).39 3. Model Yesus Yang dimaksud dengan Model Yesus adalah peran politik Gereja yang bukan hanya berorientasi pada proses pemberdayaan warga masyarakat saja (model Musa-Elia), tetapi juga berkaitan erat dengan peran profetis atau dengan kata lain disamping memberi pendidikan politik dan pendampingan pastoral terhadap warganya, Gereja juga tetap mengkritik pemerintah jika cenderung tidak memihak kepada kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Ada beberapa aspek dari kehidupan yang menonjol dalam pengajaran dan kehidupan Yesus Kristus yakni hubungan dan perhatian-Nya terhadap rakyat jelata atau miskin dan termarginalkan. Jika kita menelusuri latar belakang kehidupan Yesus maka Dia sebenarnya berasal dari kalangan rakyat kecil dan melakukan pemberitaan dan pelayanannya terutama di wilayah pedalaman Galilea di antara rakyat kecil. Laporan Injil-injil mengenai pekerjaan dan pengajaran Yesus memperlihatkan perhatian terhadap dan keakrabanya dengan dunia orang kebanyakan. Ia berbelas kasihan terhadap orang banyak (Mat. 9:36). Orang-orang yang dilayani Yesus secara langsung adalah rakyat miskin dan mereka yang dikucilkan dari masyarakat. Penyembuhan-penyembuhan-Nya adalah atas rakyat kecil yang sakit seperti orang buta dan orang timpang. Ia memberi makan kepada orang banyak, yaitu rakyat yang datang berkumpul mendengar pengajarannya tanpa bekal yang cukup. Pengajaran Yesus Kristus sendiri memihak kaum jelata.40 Sabda bahagia dalam khotbah di bukit (Luk. 6:20-21) tertuju kepada mereka: “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini lapar, karena kamu akan 39 40 Ibid, Hlm. 51. Zakaria J. Ngelow, Gereja dan Masyarakat Madani di Indonesia, Jurnal Teologi Persetia, 1999, Hlm. 32-33 dipuaskan. Berbahagialah hai kamu yang sekarang ini menangis karena kamu akan tertawa (Luk. 6:20-21; Mat. 5:1-2) Pengajaran Yesus Kristus bertolak dari pemahaman akan misinya selaku Mesias pembawa kabar sukacita bagi kaum miskin dan menderita. Dalam khotbah-Nya di Nazaret, Yesus merujuk kepada nubuatan nabi Yesaya (Yes. 61:1-2): “Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab ia mengurapi aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku dan memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang” (Luk. 4:18-19). Nats ini merupakan konsepsi mengenai Mesias yang dinubuatkan oleh para nabi. Mesias dikaruniakan dan diperlengkapi Tuhan dengan kemampuan untuk mengatasi krisis yang melanda masyarakat, tugas mesias adalah menegakkan keadilan bagi rakyat yang tertindas, dan memulihkan damai sejahtera di tengah-tengah masyarakat, serta membawa umat pada pertobatan, mesias bekerja tidak terutama dengan mengandalkan kekuatan kekuasaan, melainkan dengan kerelaan untuk menderita.41 Aspek lain dari pengajaran dan kehidupan Yesus adalah sikap Kritis terhadap kekuasaan. Yesus mengambil jarak kepada kekuasaan, dan mengeritik dengan tajam praktek kekuasaan duniawi sambil memperkenalkan pelayanan di dalam kekuasaan (band. Mrk 10:4245), bahkan tidak segan-segan berhadapan dengan penguasa yang korup, hal ini nampak ketika Yesus mengusir orang dari bait Allah di Yerusalem (Markus 11:15-17). Dalam Injil dikisahkan bahwa peristiwa itu terjadi pada hari Paskah Yahudi. Yang diusir adalah mereka yang secara ekonomis berbisnis dengan memeras rakyat jelata, mereka adalah para penukar uang, para penjual binatang korban, dan orang-orang berduit yang nota bene dikuasai oleh para pemuka agama Yahudi yang mendominasi perayaan Paskah Yahudi. Tindakan Yesus 41 Ibid, Hlm. 33 mengusir orang-orang yang berbisnis pasti menimbulkan huru-hara secara sosial bahkan merupakan salah satu tuduhan dari lawan politik Yesus yakni orang Farisi dan pemuka agama untuk menjerat Yesus sehingga dihukum mati, tetapi dilain pihak tindakan ini merupakan sikap profetis ketika yang berlaku adalah ketidakbenaran dan ketidakadilan. Tindakan Yesus yang sering mengundang kontroversi adalah ajaran Yesus yang kerap kali menjadi “pedang” bagi mereka yang mendengarkannya, karena memuat tajam bagi orang yang mempertahankan Status-quo keagamaan, dan pemerintahan yang korup dan tidak adil. Dalam sikap kritis-tajam, Yesus selalu berpihak pada rakyat miskin. Menurut George V. Pixley sebagaimana yang dikutip oleh Aloys Budi Purnomo mengatakan bahwa masa ketika Yesus tampil adalah masa pergolakan dan perubahan besar dalam bidang ekonomi, sosial, dan keagamaan, masa persaingan antara berbagai aliran keagamaan, masa yang rawan kerusuhan. 42 Dalam situasi seperti itulah, Yesus secara kritis menyoroti keberuntungan kelompok elite-religius dan politik yang kontradiktif dengan relitas kemiskinan rakyat. Yesus bersuara vokal terhadap sistem pajak yang menguntungkan segelintir orang, namun menindas kebanyakan rakyat. Secara sosial, masyarakat Palestina adalah mayoritas tertindas, yang menikmati kemakmuran adalah penjajah dan sejumlah kecil penguasa setempat yang pro penjajah, kelompok imam dengan institusi korban yang terkait dengan kenisah, sejumlah kecil tuan tanah dan para pemungut pajak.43 Dalam situasi seperti itu pula, Yesus mengembangkan sikap radikal, berpihak pada kaum mskin dan marginal. Menurut David J. Bosch yang dikutip oleh Aloys Budi Purnomo, mengatakan bahwa: Kata “miskin” merupakan istilah komprehensif bagi semua kategori orang yang disingirkan dalam masyarakat, mereka yang marginal dalam masyarakta Yahudi. Termasuk di dalamnya adalah orang sakit, buta, lapar, 42 43 Aloys Budi Purnomo, Membangun Teologi Inklusif-Pluralistik, Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003, 87 ibid menangis, pendosa, pemungut cukai, yang dianiaya, tawanan, yang berbeban berat, yang tidak tahu hukum, yang kecil, dan para pelacur.44 Justru karena itulah, maka gerakan Yesus merupakan gerakan rakyat yang berhadapan dengan para penguasa agama dan politik sezamanNya. Gerakan Yesus adalah gerakan membela mereka yang menderita. Salib Yesus adalah puncak pembelaan setiap insan yang dibelenggu oleh penderitaan. Menurut Gunche Lugo, Politik Yesus tidak beorientasi merebut kekuasaan atau pemerintahan, tetapi politik moral (etik).politk Yesus adalah politik memperjuangkan tegaknya nilai-nilai keadilan, kebenaran, kesejahteraan, dan kemajuan peradaban dalam masyarakat.45 Dengan belajar dari sikap Yesus tersebut maka, hendaknya hal itu menjadi model peran politik Gereja di Indonesia di era reformasi sekarang ini. Dalam era Orde Baru ada beberapa tokoh Gereja yang sudah berusaha menerapkan model ini di antaranya Pdt. Yozef Widyatmaja dan beberapa orang dari YKBS (Yayasan Bimbingan Kesejahteraan Sosial) Solo yang tanpa banyak ekspose bekerja menolong pembelaan warga Kedungombo pada akhir tahun 80-an, kemudian menyusul Romo Mangunwijaya. Prof. Sahetapy yang tidak takut bersuara vocal terhadap pelecehan hukum dan HAM pada tahun 1994 di Sumatera. Di Lampung seorang pendeta desa yang tidak terkenal bernama Sugiarto memberi nasehat kepada warga yang tanahnya harus diserahkan kepada konglomerat tanpa ganti rugi yang memadai, agar menulis ke Kotak Pos 4000 di akhir tahun 80-an. Akibatnya ia ditahan oleh yang berwajib sampai tiga hari dan endapat tekanan mental yang lumayan berat. 46 Dengan memperhatikan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa model Yesus dalam peran politik Gereja di Indonesia selama ini masih terbatas tindakan individu-individu, mereka memang 44 ibid Gunche Lugo, Hlm. 57. 46 Emanuel Gerrit Singgih, Hlm. 34. 45 adalah tokoh-tokoh Gereja tetapi mereka tidak dapat diklaim mewakili Gereja secara lembaga. Tetapi selama ini Gereja hanya bersuara ketika eksistensinya diganggu, bukan karena menyangkut hajat hidup orang banyak dari latar belakang yang berbeda.