4 2 TINJAUAN PUSTAKA Smart tractor Perkembangan pertanian membutuhkan cara baru untuk meningkatkan efisiensinya. Salah satu pendekatannya adalah dengan menggunakan teknologi informasi dalam bentuk mesin yang lebih cerdas (intelligent machines) untuk menurunkan energi input dengan cara yang lebih efektif dibandingkan dengan sebelumnya. Munculnya arsitektur sistem otonomi (autonomous system) memberikan kesempatan untuk mengembangkan peralatan pertanian baru yang lebih lengkap berdasarkan mesin cerdas dengan ukuran yang lebih kecil. Traktor cerdas (smart tractor) adalah suatu mesin yang ditambahkan kecerdasan ke dalam mesin tersebut sehingga mampu berperilaku seperti manusia, mampu bekerja dalam waktu yang lama, tanpa adanya pengawasan, dan melakukan kerja yang bermanfaat (Blackmore et. al 20004b). Ide mengenai robotic agriculture (pelayanan mesin cerdas pada lingkungan pertanian) bukanlah suatu hal yang baru lagi. Sebelumnya telah banyak dikembangkan penelitian dan kajian mengenai traktor tanpa awak namun hasil penelitian tersebut masih belum memuaskan, hal ini dikarenakan terbatasnya kemampuan untuk menjelaskan betapa kompleksnya dunia nyata (Blackmore et al 2004b). Yu (2009) mengembangkan teori chaotic bionics pada pengembangan navigasi otomatis untuk kendaraan tanpa awak (UAV). Multisensor yang terintegrasi digunakan untuk melakukan kontrol pada lingkungan real-time. Saat ini telah dikembangkan mesin cerdas yang kecerdasasannya cukup untuk bekerja pada lingkungan tetap atau semi alami. Mesin tersebut tidak harus bekerja secerdas manusia pada umumnya, namun harus mampu memerankan tingkah laku yang pantas dalam mengenali situasi dan kondisi sekitarnya. Salah satu cara untuk memahami kompleksitas adalah dengan mengenal apa yang dilakukan oleh manusia pada situasi tertentu dan menguraikan tindakan tersebut kedalam kontrol mesin. Metode ini disebut dengan tingkah laku robot dan konsep penerapan pada pertanian (Blackmore et al 2004b). Pertanian presisi adalah sebuah inovasi yang terintegrasi dan mempunyai tujuan standar secara internasional untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya dan mengurangi kebutuhan yang tidak pasti dengan tujuan akhir untuk mengontrol pertanian yang bervariasi (Schellberg et al 2008). Menurut Shibusawa (1996) dalam Blackmore et al (2005) menyatakan bahwa perlakukan pada tanaman dan tanah secara selektif menurut kebutuhannya oleh mesin otomatis yang berukuran kesil merupakan langkah selanjutnya dalam pengembangan pertanian presisi dalam rangka menurunkan skala lahan menjadi lebih kecil untuk per individu tanaman atau phytotechnology. Pengertian sederhana dari pertanian presisi lainnya adalah melakukan sesuatu pekerjaan secara tepat di tempat yang tepat dalam waktu yang tepat dengan jumlah yang tepat. Definisi ini tidak hanya dipakai untuk robot pertanian (robotic agriculture) dan phytotechnology tetapi juga digunakan pada tingkatan otomatisasi pada mesin pertanian. Penginderaan dan kontrol otomatis untuk masing-masing pekerjaan juga penting dan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem ini layak digunakan tetapi sangat lambat, oleh karena itu tidak 5 berjalan secara ekonomis jika dioperasikan pada traktor tanpa kemudi. (Blackmore et al 2004b). Gambar 1 Traktor mini dengan: (a) Portal Crop Scouting Platform oleh Madsen dan Jakobsen (2001) dan (b) sub canopy robot ISAAC2 yang dikembangkan oleh tim mahasiswa Hohenheim University (Blackmore et al 2005). Menurut Rains dan Thomas (2009) ada lima komponen teknologi yang digunakan dalam pertanian presisi, yaitu Geographical Information System (GIS), Global Positioning System (GPS), sensors, variable rate technology, dan, yield monitoring. Sensor yang dipasang pada kendaraan aplikator dapat memberikan data yang dapat digunakan untuk menilai kondisi lapangan dan untuk menentukan (secara keseluruhan atau sebagian) tingkat aplikasi yang diinginkan. Beberapa contoh sensor yang umum digunakan adalah sensor Doppler seperti radar untuk menentukan kecepatan kendaraan aplikator (Sudduth 1999), kamera CCD untuk aplikasi deteksi rintangan (Ahmad 2006; Apostolopoulos et al 1999). Rintangan Menurut Robert dan Corke (1999) rintangan merupakan sesuatu yang menyebabkan bahaya dan tindakan yang tidak diinginkan jika terkena kendaraan (kendaraan yang dipasang sistem deteksi rintangan). Terdapat tiga kelas umum yang termasuk rintangan, yaitu manusia, kendaraan lain, rintangan lain yang terdapat pada lintasan. Menurut Ribeiro (2005), berdasarkan ilmu pengetahuan mengenai lingkungan dan posisi tujuan, navigasi robot otomatis mengacu kepada kemampuan robot untuk bergerak dengan aman menuju tujuan menggunakan pengetahuannya dan informasi yang diperoleh sensor dari lingkungan sekitarnya. Meskipun terdapat banyak perbedaan cara pendekatan mengenai navigasi, secara umum sebagian besar cara tersebut membaginya ke dalam hal perencanaan jalur (path planning) dan penghindaran rintangan. Pengetahuan mengenai rintangan merupakan suatu tindakan yang erat kaitannya dengan sistem pemanduan suatu kendaraan dalam melakukan navigasi. Wilson (2000) menerangkan upaya peneliti lebih dari 50 tahun dalam mengembangkan sistem pemandu untuk kendaraan pertanian. Berdasarkan kajian yang dilakukan, terdapat dua teknologi terbaru yang digunakan, yaitu: komputer vision dan GPS (Global Positioning System) yang mana teknologi tersebut mempunyai kemampuan dan karakteristik yang mendekati dalam meniru kemampuan operator manusia untuk pelaksanaan sistem pemanduan kendaraan. 6 Sensor Deteksi Rintangan Ide mengenai traktor otomatis bukanlah suatu hal yang baru lagi. Dengan menggunakan teknologi GPS dan sistem peralatan pertanian yang berbasis komputer menjadikan mimpi mengenai pertanian otomatis semakin dekat. Secara sederhana pekerjaan yang masih membosankan seperti pembajakan dan pemanenan pada lahan dapat digantikan oleh traktor otomatis yang tidak akan pernah lelah dalam bekerja dan akan melakukan pekerjaan yang diberikan. Kemampuan untuk mengenali lingkungan sekitar merupakan isu terpenting untuk kendaraan otomatis, khususnya traktor pertanian (Gray 2010). Traktor otomatis harus dilengkapi dengan sensor yang dapat mengumpulkan data lingkungan yang cukup yang akan digunakan untuk navigasi kendaraan otomatis dan mempunyai kecepatan kerja yang tinggi dan efektif. Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai kendaraan otomatis dan robot diperoleh bahwa terdapat lima sampai enam perbedaan tipe sensor deteksi rintangan yang efektif. Sensor-sensor ini dapat diklasifikasikan mulai dari harga murah sampai yang sangat mahal. Masing-masing sensor ini mempunyai manfaat tersendiri pada masing-masing aplikasinya. Sensor-sensor ini tidak dibatasi untuk pendeteksian rintangan, namun sebagian sensor digunakan untuk lokalisasi kendaraan. Sensor ini juga dapat digunakan untuk mengekstrak perbedaan fitur daun untuk pengenalan tumbuhan yang digunakan dalam proses pemberian pupuk yang tepat, dalam jumlah yang tepat terhadap tumbuhan yang berbeda (Harper 1999). Sensor juga digunakan untuk proses pemetaan dan lokalisasi sebuah robot. Misalnya Horn (1995) menggunakan 3D laser-range-data pada robot untuk melakukan sistem lokalisasi pada robot yang melakukan navigasi secara otomatis. Jika sensor-sensor yang ada dapat digunakan secara efektif untuk membuat peta dari lingkungan kendaraan maka kemungkinannya sensor-sensor ini mampu mendeteksi rintangan pada lingkungan pertanian (Gray 2000). Sensor ini antara lain CCD kamera, Sensor ultrasonik (sonar), Scanning laser, 3D Sccanning Laser, dan Milimeter Wave Radar. Namun pada bagian ini yang dibahas hanya CCD kamera, Scanning Laser, dan3D Scanning Laser. CCD Kamera Kamera merupakan sebuah sensor pasif karena sensor ini membutuhkan cahaya dari lingkungannya untuk menerangi bidang pandangnya. Kamera dapat dikatakan mirip dalam arti yang sempit dengan mata manusia (Gray 2010). Motta et al (2001) menggunakan kamera CCD tunggal pada robot dalam rangka melakukan kalibrasi menggunakan 3D vision. Ali (2006) menggunakan kamera CCD tunggal dalam mendeteksi keberadaan pohon untuk navigasi otomatis kendaraan di hutan. Selain itu Subramanian (2006) juga menggunakan kamera tunggal untuk mengambangkan sistem machine vision dalam memandu kendaraan otomatis pada navigasi di perkebunan jeruk. Dua kamera bisa juga digunakan bersama sebagai stereo vision yang memberikan jarak ke target objek. Banyak penelitian yang telah menggunakan konsep stereo vision dalam mendeteksi rintangan. Antara lain Bischof (1999) menggunakan dua kamera untuk navigasi robot indoor HERMES yang bertugas dalam melayani manusia. Apostolopoulos (1999) menggunakan dua kamera untuk membantu dalam navigasi dan 7 pendeteksian rintangan untuk robot pencari meteorit di benua Antartika. Tiga kamera CCD juga digunakan pada robot HERMES III digabungkan dengan penggunaan laser range finder dalam melakukan navigasi otomatis (Andersen et al 1992). Meskipun stereo vision menyerupai konsep mata manusia, akan tetapi sistem ini mempunyai beberapa kekurangan. Sistem stereo vision membutuhkan penerangan yang bagus, tanpa ini kamera tidak mampu menerangi bidang pandang sehingga menyebabkan rintangan tidak jelas dan bahkan tak terlihat. Selain itu biaya yang dikeluarkan pada sistem ini sangat mahal dan sangat lambat jika digunakan pada kondisi real-time, serta sulitnya membedakan antara latar belakang dan objek rintangan (Gray 2000). Warna latar belakang sering memiliki warna yang sama dengan warna tanaman sehingga kamera tidak berfungsi secara efektif (Harper 1999). Gambar 2 Penggunaan kamera CCD sebagai sensor dalam navigasi dan deteksi rintangana pada: (a) robot indoor HERMES (Bischof 1999) dan (b) nomad robot (Subramanian 2006) Beberapa peneliti melakukan penggabungan kamera CCD dengan sensor deteksi rintangan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran informasi yang lebih jelas dalam melakukan navigasi otomatis. Wu et al (1996) melakukan penelitian mengenai deteksi rintangan dengan menggunakan kamera CCD dan laser range finder radar (LRFR) dalam rangka mendapatkan informasi mengenai lingkungan. Model 2D lingkungan dibangun dan rintangan pada lintasan dideteksi dengan menggunakan informasi gabungan baik mengenai jarak citra yang diperoleh dari LRFR dan kamera CCD. Scanning Laser Scanning laser adalah jenis ke tiga dari sensor setelah CCD kamera dan sensor ultrasonik. Scanning Laser menggunakan sinar pantulan laser yang melewati kaca yang berputar. Sinar pantulan akan melewati kaca dan menuju target kemudian berbalik menuju sensor untuk perhitungan jarak. Dua tipe utama scanning laser telah digunakan. Pertama beam laser yang memancarkan sinar secara kontinyu dan dari pantulan sinarnya data jarak dihitung. Jenis laser ini termasuk laser kelas 1 dan tidak direkomendasikan karena tidak aman untuk mata. 8 Jenis scanning laser kedua adalah pulse laser yang mengirim banyak pulsa-pulsa laser dan rata-rata dari data jarak pada masing-masing pulsa ini digunakan untuk menentukan jarak ke objek. Laser jenis ini merupakan laser kelas 3 dan aman untuk mata. Keuntungan yang lain dari pulse laser ini adalah error pengukuran dapat diminimalisir dibandingkan dengan beam laser. Bailey (1999) menggunakan laser scanner untuk menentukan posisi dari robot seperti terlihat pada Gambar 3. Gambar 3 Penggunaan laser scanner pada SydNav mobile robot (Bailey 1999) 3D Scanning Laser 3D scanning laser adalah jenis sensor deteksi yang keempat. Perbedaannya dengan 2D scanning laser adalah jauhnya perbedaan harga dan kerumitannya. Hasil scanning dari 3D scanning laser terlihat sangat menarik, tetapi untuk sistem real-time tidak memungkinkan. Untuk melakukan scan pada resolusi 8000 piksel membutuhkan waktu 80 detik. Kekurangan yang lain dari sensor ini adalah harganya per unit yang mahal. Beberapa 3D scanning laser dengan spesifikasi yang sama harganya bisa mencapai $150,000.00. Harga yang sangat mahal jika digunakan pada kendaraan pertanian meskipun kecepatan scanning nya real-time. Gambar 4 memperlihatkan 3D laser finder pada robot otomatis yang melakukan scanning pada rintangan berupa manusia pada lintasan kerjanya. Gambar 4 Gambaran visual dari: (a) 3D Scanning laser, (b) objek sebagai rintangan, dan (c) hasil pembacaan scanning (Surmann 2001) 9 Tabel 1 Perbedaan lima sensor yang digunakan untuk mendeteksi rintangan (Gray 2010) Operasi dalam berbagai cuaca CCD Camera Ultrasonik Scanning laser 3D Scanning laser Milimeter Wave Radar Operasi dalam berbagai pencahayaan Minimal Kecepatan jarak deteksi waktu 15 m respon √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Harga relatif murah √ √ √ √ Teknik Pengolahan Citra Digital Menurut Ahmad (2005) pengolahan citra (image processing) merupakan suatu sistem visual yang mengolah data citra dengan hasil pengolahan berbentuk citra lain yang mengandung atau memperkuat informasi khusus pada citra hasil pengolahan sesuai dengan tujuan pengolahannya. Pengertian pengolahan citra (image processing) sedikit berbeda dengan pengertian mesin visual (machine vision), meskipun keduanya seolah-olah dapat digunakan dengan maksud yang sama. Sedangkan terminologi mesin visual digunakan bila data hasil pengolahan citra langsung diterjemahkan dalam bentuk lain, misalnya grafik yang siap diinterpretasikan untuk tujuan tertentu, gerak peralatan atau bagian dari peralatan mekanis, atau aksi lainnya yang berarti bukan merupakan citra lain. Citra digital dapat diperoleh secara otomatis dari sistem penangkap citra digital (digital image acquisition system atau digitizen) yang melakukan penjelajahan citra dan membentuk suatu matriks dimana elemen-elemennya menyatakan nilai intensitas cahaya pada suatu himpunan diskrit dari titik-titik. Sistem tersebut merupakan bagian terdepan dari suatu sistem pengolah citra. Sistem penangkap citra digital sendiri terdiri dari tiga komponen dasar, yaitu: sensor citra yang bekerja sebagai pengukur intensitas cahaya, perangkat penjelajah yang bertugas merekam hasil pengukuran intensitas pada seluruh bagian citra, dan pengubah analog-ke-digital yang mengubah harga kontinu menjadi harga diskrit sehingga dapat diproses dengan komputer (Arymurti dan Setiawan 1992). Ada beberapa perangkat keras yang diperlukan terutama untuk melakukan proses digitasi yaitu sensor citra (image sensor), yang digunakan untuk menangkap pantulan cahaya dari objek yang kemudian akan disimpan dalam bentuk nilai intensitas di dalam memori komputer. Salah satu sensor citra yang paling banyak digunakan saat ini adalah solid-state image sensor karena mempunyai banyak kelebihan seperti konsumsi daya listrik yang kecil, ukurannya kecil dan kompak, dan tahan guncangan. Sensor jenis ini sangat diperlukan bila untuk diintegrasikan ke dalam suatu mesin atau sistem robotik agar bentuknya kompak dan padat (Ahmad 2005). 10 Solid-state image sensor mempunyai sebuah larik elemen foto-elektrik yang dapat membangkitkan tegangan listrik dari photon ketika menerima sejumlah energi cahaya. Sensor jenis ini dapat diklasifikasikan berdasarkan caranya melakukan scanning, yang umumnya dibedakan menjadi dua yaitu jenis chargecouple device (CCD) dan complementary metal-oxide semi conductor (CMOS). Jenis CCD mempunyai kelebihan pada resolusi yang tinggi dan kompensasi dari ketersediaan cahaya yang lemah, sedangkan jenis CMOS mempunyai kelebihan pada bentuk yang kecil dan ringan dengan tetap memberikan hasil citra yang tajam. Sebuah kamera TV umumnya terdiri dari satu atau lebih sensor citra. Sebuah lensa, dan rangkaian komponen lain seperti pembangkit scanning, penguat (amplifier) dan rangkaian pemroses sinyal. Sebuah kamera warna mungkin mempunyai tiga sensor citra, masing-masing untuk warna merah (red), hijau (green), dan biru (blue), atau mempunyai satu sensor yang dilengkapi dengan filter warna RGB. Untuk pengoperasian di luar ruangan dimana tingkat iluminasi sangat bervariasi dan tergantung pada keadaan lingkungan, sebuah kontrol otomatik untuk diafragma pembukaan lensa mungkin menjadi suatu kelengkapan yang diperlukan, agar citra yang dihasilkan tidak terlalu tinggi variasinya bila terjadi perubahan tingkat iluminasi (Ahmad 2005). Gambar 7 menunjukkan skema perangkat keras pengolahan citra beserta alirannya. Gambar 5 Perangkat keras untuk pengolahan citra beserta aliran datanya (Ahmad 2005) Sinyal yang dihasilkan oleh kamera TV adalah sebuah sinyal citra yang dapat digambarkan sebagai sinyal analog dari bentuk gelombang listrik yang tidak dapat langsung dipetakan ke dalam memori komputer untuk membentuk suatu citra. Sinyal analog ini kemudian dikonversi menjadi sinyal digital oleh sebuah analog-digital (A/D) converter. Karena konversi ini, bentuk sinyal analog yang kontinyu berubah menjadi sinyal digital yang diskrit atau putus-putus. Selanjutnya sinyal digital keluaran A/D converter ditransmisikan kepada memori komputer untuk membentuk citra digital. Rangkaian perangkat keras yang dilengkapi dengan A/D converter dan memori citra ini disebut penangkap bingkai citra (image frame grabber). Format sinyal digital hasil konversi A/D converter sama dengan format video dan citra yang dipancarkan stasiun-stasiun TV. Phase Alternating Lines (PAL) merupakan format umum yang digunakan untuk Eropa Barat termasuk Jerman dan Inggris, Asia dan Afrika. Perangkat peralatan ini secara umum disebut alat digitasi citra (image digitizer) dan prosesnya disebut digitasi citra (image digitizing) (Ahmad, 2005). 11 Perangkat lainnya yang diperlukan adalah unit display untuk monitor citra yang ditangkap oleh kamera, menampilkan citra yang sudah diproses, baik hasil antara maupun hasil akhir. Tanpa kehadiran monitor, pengolahan citra dapat tetap berlangsung karena data citra disimpan dan diproses dalam memori komputer, namun kita tidak dapat menyaksikan proses yang berlangsung untuk melakukan pemeriksaan terhadap proses yang sedang berlangsung (Ahmad 2005). Perangkat lunak (software) yang digunakan dalam pengolahan citra sangat bergantung pada jenis penangkap bingkai citra yang digunakan. Secara umum, pemrograman pengolahan citra dapat dibedakan menjadi dua, yaitu program tunda, di mana program yang dibuat melakukan manipulasi dan analisis citra yang sudah direkam atau disimpan dalam bentuk file sebelumnya, bukan yang langsung ditangkap oleh kamera. Program jenis ini memanggil file citra yang sudah disimpan berupa bingkai citra ke dalam memori komputer, melakukan manipulasi atau perhitungan terhadap data dalam memori, menyimpan kembali data hasil hasil manipulasi dalam file citra yang baru, atau menampilkan (atau menyimpan) data hasil ekstraksi citra (Ahmad 2005). Jenis pemograman citra yang ke dua adalah program live atau lebih dikenal dengan sebutan real-time program, yaitu program yang menangkap citra, memindahkan bingkai ke dalam memori komputer, melakukan analisis dan perhitungan, dan menghasilkan citra lain atau lebih sering lagi suatu keputusan, tergantung kepada tujuannya. Keputusan ini biasanya digunakan untuk melakukan aksi, misalnya memberi predikat pada objek yang diambil citranya seperti pada sistem sortasi, atau menggerakkan manipulator untuk memetik buah pada robot pemanen buah, dan sebagainya. Sistem ini disebut dengan mesin visual, karena menghasilkan aksi yang berbeda, bukan lagi citra yang baru. Dengan demikian jelas terlihat bahwa program pengolah citra jenis ini lebih kompleks dibandingkan dengan program yang bersifat tunda, karena selain mempunyai modul-modul pengolah citra, ia juga dilengkapi dengan modul-modul interfacing yang berhubungan dengan bagian atau peralatan lain dari sistem yang diperlukan untuk melakukan aksi yang diinginkan (Ahmad 2005). Menurut Sommerville (2004) sistem real-time terdiri dari sistem yang memonitor dan mengontrol lingkungan, sistem yang tidak bisa dipisahkan dari komponen hardware berupa sensor dan aktuator, dan waktu yang merupakan faktor kritis. Dalam hal ini sistem real-time didefinisikan sebagai suatu sistem software dimana sistem dapat berfungsi dengan benar bergantung pada hasil yang diproduksi oleh sistem dan waktu pada hasil tersebut diproduksi. Terlihat bahwa sistem real-time sangat berhubungan dengan respon waktu. Menurut Gray (2010) berdasarkan penelitian yang menggunakan sensor dalam mendeteksi rintangan terlihat bahwa waktu merupakan factor kritis dalam respon traktor. Respon waktu pada penggunaan CCD kamera bergantung pada kecepatan dan kemampuan image processing (pengolahan citra). Komputer yang yang memiliki kemampuan pengolahan yang cepat hal ini tidak menjadi masalah dan respon waktu kamera cukup cepat untuk mendeteksi rintangan pada jarak yang aman. Thresholding Operasi thresholding (binerisasi) merupakan operasi pengolahan citra yang mengubah piksel-piksel objek pada citra warna menjadi piksel-piksel dengan 12 intensitas maksimum (255) pada citra biner dan mengubah piksel-piksel latar belakang pada citra warna menjadi piksel-piksel dengan intensitas minimum (0) pada citra biner, atau sebaliknya (objek dengan intensitas 0 dan latar belakang dengan nilai intensitas 255 pada citra biner yang dihasilkan). Operasi thresholding dapat dilakukan dengan hanya melihat nilai-nilai intensitas sinyal merah, sinyal hijau, atau sinyal biru. Operasi dapat juga dilakukan dengan melihat nilai intensitas rata-rata sinyal merah, sinyal hijau, dan sinyal biru. Thresholding dengan cara yang terakhir ini sama saja dengan melakukan thresholding terhadap citra grayscale, karena citra grayscale dihasilkan dengan merata-ratakan nilai intensitas ketiga sinyal merah, hijau, dan biru (Ahmad 2009). Pengukuran jarak dua piksel atau dua komponen dari citra diperlukan dalam banyak aplikasi, baik untuk tujuan terakhir maupun untuk tujuan antara. Ada tiga cara yang umum digunakan untuk mengukur jarak dua buah titik pada citra yaitu metode euclidean, city-block, dan chess board seperti yang terlihat pada Gambar 6. Gambar 6 Contoh dari pengukuran jarak (atas) dan bentuk transformasi citra biner ke jarak (bawah); (a) euclidean, (b) city-block dan (c) chess board (Ahmad 2005) Ketiga cara perhitungan jarak diatas memberikan hasil trasnformasi yang berbeda terhadap objek berbentuk persegi dengan ukuran 8x8 piksel. Terlihat pada Gambar 6 bahwa pengukuran jarak dengan menggunakan metode euclidean memberikan hasil yang lebih akurat dan mempunyai variasi yang lebih banyak pada hasil pengukurannya. Pengukuran jarak cara euclidean lebih banyak digunakan dari pada dua cara yang lainnya bila yang dibutuhkan adalah informasi jarak dua buah piksel dalam citra. Metode Triangulasi Trigonometri merupakan suatu metode dalam perhitungan untuk menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan perbandingan-perbandingan pada bangun geometri, khususnya dalam bangun yang berbentuk segitiga. Trigonometri berasal dari bahasa Yunani trigono yang berarti segitiga dan metro berarti mengukur. Trigonometri adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan antara sisi dan sudut suatu segitiga (Corral 2009). Dalam trigonometri dan geometri dasar, triangulasi adalah proses mencari koordinat dan jarak sebuah titik dengan mengukur sudut antara titik tersebut dan dua titik referensi lainnya yang sudah diketahui posisi dan jarak antara keduanya. Gambar 7 menunjukkan hubungan fungsi dasar trigonometri. 13 Gambar 7 Hubungan fungsi trigonometri Untuk menentukan jarak suatu titik dari dua posisi jarak yang telah diketahui keberadaannya maka digunakan prinsip triangulasi. Sebagai contoh berikut ilustrasi perhitungan jarak menggunakan prinsip triangulasi. Gambar 8 Ilustrasi perhitungan jarak kamera dan citra dengan menggunakan prinsip triangulasi Gambar 8a dan 8c merupakan penembakan sinar laser merah pada jarak pengambilan yang berbeda (x yang berbeda). Penembakan pada jarak yang berbeda menyebabkan perubahan jarak antara sinar merah pointer laser terhadap koordinat pusat citra (y yang berbeda) namun membentuk sudut α yang cendrung tetap. Dengan memanfaatkan perbandingan trigonometri menggunakan aturan tangensial maka diperoleh nilai perbandingan y dan x. Nilai ini merupakan nilai kalibrasi optis kamera untuk memprediksi jarak sebenanya (x) pada kondisi real-time. 14 Aplikasi Sensor Deteksi dan Pengolahan Citra Real-Time pada Traktor Pertanian Beberapa penelitian telah melakukan pengembangkan mesin otomatis. Alegri et al. (2011) mengembangkan suatu navigasi traktor pada kondisi outdoor berdasarkan tampilan visual citra secara real-time dan data citra laser. Kendaraan yang digunakan dalam penelitian ini adalah traktor komersial hidraulik (AGRIA S.A). Sensor untuk keamanan, pengenalan lokasi dan lingkungan sekitar diinstal pada traktor dan adaptasi mekanik telah dilakukan untuk memperoleh kopling, rem, dan strir otomatik. 2D laser range finder dan kamera visual diinstall di bagian depan traktor untuk memudahkan melakukan deteksi dan pengenalan objek yang berjarak dekat. Kamera digital ditempatkan dibagian depan yang dilengkapi dengan pelindung yang tembus cahaya untuk melindungi kamera dari debu, kelembaban, dan getaran. Resolusi citra yang digunakan adalah 640 x 480 piksel. Laser yang digunakan merupakan sinar infrared dengan panjang gelombang 905 nm yang menerima pantulan sinar secara langsung dari objek pada koordinar polar. Seperti pada Gambar 9. Gambar 9 Tampilan (a) Traktor-robot DEDALO (b) gambar detail 2D laser range finder dan visual kamera (Alegri 2011) Cara operasi laser pada kasus ini berdasarkan prinsip pengukuran time-of light (TOF), single laser pulse dikirim dan dipantulan oleh permukaan objek. Waktu yang dibutuhkan antara pengeluaran dan penerimaan digunakan sebagai perhitungan jarak antara laser dan objek. Laser range finder ditempatkan pada ketinggian 0.67 m diatas permukaan tanah yang diset pada jarak maksimum 8 m dengan resolusi angular 1 °. Gambar 10 Tampilan citra (a) visual pemandangan outdoor, (b) representasi sudut-jarak laser, dan (c) tampilan visual dari dua benda yang terdeteksi oleh laser pada kisaran jarak 1-8 m dan dipetakan pada frame visual putih (Alegri 2011) 15 Contoh hasil metoda penggabungan sensor dapat dilihat pada Gambar 10 di atas. Dua garis hitam pada Gambar 12c menunjukkan objek yang terdeteksi oleh laser pada jarak 3 dan 7 m (Gambar 12b). Dimana laser yang digunakan mempunyai kisaran sudut 53-127° pada penempatan -37° sampai +37° (74°) sudut pandang kamera. Pada tahap selanjutnya dilakukan penentuan citra visual yang berkenaan dengan dua garis hitam pada Gambar 12c melalui segmentasi dan klasifikasi citra. Warna buatan pada Gambar 13b menunjukkan objek pada pemandangan outdoor yang diperoleh melalui pengembangan region growing algorithm. Gambar 11 (a) citra visual dari penggabungan kamera-laser, (b) segmentasi visual citra oleh region growing algorithm (jarak objek diwakili oleh warna buatan) Sebuah sistem kendaraan pertanian otomatis telah dikembangkan oleh Torri (2000) di Jepang dengan mengaplikasikan pengolahan citra dan sensor citra. Algoritma pengolahan citra untuk tanaman telah dikembangkan di Tokyo University. Algoritma ini telah dikembangkan untuk pemandu navigasi traktor untuk digunakan pada baris tanaman pertanian, termasuk penyiangan mekanik dan aplikasi pemupukan yang tepat. Untuk pedoman pemandangan yang akurat, analisis citra dari barisan tanaman pada lahan merupakan hal yang sangat diperlukan. Oleh karena itu perbedaan antara tanaman dari tanah atau latar belakang dengan akurasi yang tinggi, deteksi batas baris antara tanaman dengan areal tanah dan identifikasi posisi menggunakan pemandangan tiga dimensi sangat dibutuhkan. Untuk membedakan antara tanaman tersebut, maka digunakan transformasi warna HSI (hue, saturation, and intensity). Gambar 12 berikut memperlihatkan hasil deteksi lahan pertanian dalam navigasi otomatis kendaraan yang berbasis pengolahan citra dan sensor citra. Gambar 12 Citra hasil transformasi HIS (hue, saturation, and intensity) (Torri 2000) 16 Subramanian (2006) mengembangkan machine vision dan sensor laser untuk melakukan navigasi otomatis traktor yang bekerja pada tanaman jeruk. Gambar 13 memperlihatkan kendaraan yang dilengkapi dengan sensor kamera CCD dan sensor laser. Citra hasil olahannya dapat dilihat pada Gambar 14. Dari hasil ini diperoleh error rata-rata 2.8 cm jika menggunakan machine vision dan sebesar 2.5 cm jika menggunakan sensor laser (ladar). Gambar 13 Kamera CCD dan laser sensor diatas cabin traktor untuk memandu navigasi kendaraan otomatis (Subramanian 2006) Gambar 14 Hasil Machine vision pada barisan tanaman jeruk: (a) gambar asli, (b) segmentasi kanopi, dan (c) batas jalur (Subramanian 2006) Chen dan Tsai (1999) mengembangkan suatu sistem deteksi dan penghindaran rintangan untuk navigasi autonomous land vehicle (ALV) pada kondisi outdoor dengan menggunakan komputer vision dan teknik pengolahan citra. Untuk memutuskan apakah objek yang terdapat pada citra merupakan sebuah rintangan, maka urutan proses yang dilakukan sebagai berikut: pertama penentuan batas bentuk objek dari citra yang diperoleh, kedua penentuan posisi objek dengan menggunakan teknik transformasi koordinat berdasarkan asumsi tinggi objek 0, dan terakhir titik navigasi yang aman ditentukan dan sudut belok dihitung untuk memandu kendaraan kearah titik navigasi untuk penghindaran rintangan. Gambar 15 menunjukkan hasil ekstraksi citra pada sistem penghindaran rintangan oleh ALV. 17 Gambar 15 Tampilan citra (a) kondisi jalan sebenarnya dan (b) ekstraksi dan prediksi batas titik objek (Chen dan Tsai 1999) Penelitian mengenai smart traktor telah dilakukan dibeberapa negara. Rahman (2013) mengembangkan traktor pintar yang dapat bekerja secara otomatis dalam mendukung kegiatan budidaya pertanian presisi yang meliputi pengembangan sistem mekatronika strir, kopling, akselerator, rem dan implemen serta pengaplikasian perangkat RTK-DGPS pada sistem navigasi traktor. Set-up pengujian dapat dilihat pada Gambar 16. Antena radio rover - baseline Lahan pengujian Antena GPS Baseline GPS Traktor yang dikendalikan Gambar 16 Set-up pengujian lahan (Rahman 2013) Pengujian dilakukan pada 3 jenis lintasan, yaitu: lintasan garis lurus, lintasan kotak serta pengolahan tanah menggunakan rotary harrower. Hasil pengujian menunjukkan bahwa sistem kemudi otomatis yang telah dibangun mampu mengarahkan traktor mengikuti lintasan yang diinginkan dengan error rata-rata pada lintasan lurus sebesar 12 cm, pada lintasan kotak sebesar 11.6 cm dan pada pengolahan tanah sebesar 17.9 cm. Bentuk hasil pengujian dengan lintasan lurus, kotak, dan pengolahan tanah pada pengulangan 3 dapat dilihat pada Gambar 17.