IA YANG MELUMPUHKAN SEMUA KEMAMPUAN KATA I Putu Sudarma Putra Tenaga Pengajar pada Jurusan Pendidikan Hindu STAH Dharma Nusantara Jakarta Email : [email protected] ABSTRAK Agama Hindu mengajarkan pendidikan religius tentang hidup dan kehidupan ini secara riil dan memiliki dampak langsung secara ritual serta banyaknya simbol – simbol yang terdapat didalamnya. Penerapan ajaran agama lebih dirasakan tidak semata upaya mendekatkan diri secara vertikal kepada Tuhan, melainkan diarahkan agar manusia mampu beradaptasi dengan alam lingkungan dan dirinya sendiri. Mengapa demikian agar dapat mengenali jati dirinya bahwa semua ini ciptaan Tuhan dan bersifat sementara Hal ini sangat jelas bahwa melalui symbolsimbol yang digunakan dalam berbagai ritual keagamaan Hindu bahwa kita sudah melakukan bakti kepada Hyang Widhi Wasa melalui simbol tersebut. Yang semestinya umat Hindu dapat mengetahui makna yang tersimpan didalamnya, akan tetapi hal tersebut belum banyak dipahami oleh umatnya yang dikarenakan banyak umat kita hanya bisa memakai simbol tersebut, tanpa memahami arti simbol itu, maka muncullah sebuah pikiran-pikiran yang sifatnya membangun SDM umat sedharma yaitu “Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata” dari sini kita akan mengetahui apa penjelasan dari kalimat tersebut. Dan penelitian ini bersifat naskah dari berbagai buku serta fakta yang terjadi di lapangan misalnya saja pelaksanaan Piodalan, Ngenteg Linggih dan sebagainya. Kata Kunci : Simbol, Konsep Ketuhanan, Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata PENDAHULUAN Agama Hindu sangat kaya dengan berbagai simbol, penampilannya sangat indah dan menarik hati setiap orang untuk melihatnya. Bagi umat Hindu symbol-simbol tersebut menggetarkan kalbu dan berusaha untuk memahami makna yang terkandung di balik symbolsimbol tersebut. Setiap aktivitas keagamaan tidak terlepas dari simbol – simbol. Simbol-simbol tersebut merupakan media bagi umat Hindu untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, mengadakan dialog dengan Yang Maha Kuasa dan memohon perlindungan dan wara nugrahaNya. Umat Hindu tidak seluruhnya mampu memahami makna di balik symbol-simbol tersebut, banyak pertanyaan yang muncul dan mereka tidak puas dengan penjelasan bila tidak bersumber pada kitab suci veda atau susastra Hindu lainnya. Tingkat pendidikan umat hindu pada umumnya, menuntut pula pemahaman terhadap agama Hindu lebih dalam lagi, termasuk pemahaman terhadap symbol-simbol tersebut. Dewasa ini umat Hindu di indonesia banyak sekali menyebutkan banyak nama untuk sebutan kepada Hyang Widhi Wasa baik dalam mengucapkan mantra atau berdoa waktu acara persembahyangan ataupun lainnya yang berkaitan dengan keagamaan di lingkungannya masingmasing dengan kata-kata yang merdu, dan di dengar bisa menggetarkan rohani jiwa raga manusia baik kalangan rohaniawan (pemuka adat) dan umat yang lainnya. Untuk memahami lebih jauh tentang symbol-simbol dalam agama Hindu terlebih dahulu akan kami uraikan tentang hakekat ketuhanan dalam agama Hindu. Hakekat ketuhanan ini seperti pula ajaran agama Hindu, maka yang menjadi sumber adalah kitab suci veda, yang merupakan himpunan sabda Tuhan Yang Maha Esa atau wahyu-nya yang di terima oleh para maharsi di masa yang silam. Bila kita mengkaji kitab suci veda maupun praktek keagamaan di India dan indonesia (Bali) maka Tuhan Yang Maha Esa di sebut dengan berbagai nama. Berbagai wujud di gambarkan untuk Yang Maha Esa itu, walaupun Tuhan Yang Maha Esa tidak berwujud dalam pengertian materi maupun dalam jangkauan pikiran manusia, dan di dalam bahasa Sanskerta di sebut Acintyarupa yang artinya : tidak berwujud dalam alam pikiran manusia (monier, 1993 : 9), dan dalam bahasa jawa Kuno di nyatakan : “Tan kagrahita dening manah mwang indriya” (tidak terjangkau oleh akal dan indriya manusia). Demikian pula Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber segalanya dan sumber kebahagian hidup, di nyatakan pula di dalam mantra veda berikut : Yo bhutam ca bhavyam ca Sarvam yas caddhitisthati, Svar yasyaca kevalam tasmai Jyesthaya brahmane namah. Atharvaveda X.8.1. (Tuhan Yang Maha Esa hadir di mana – mana, asal dari segalanya yang telah ada dan yang akan ada. Ia penuh dengan rakhmat dan kebahagian. Kami memuja Engkau, Tuhan Yang Maha Tinggi). RUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat di rumuskan beberapa permasalahan, sebagai berikut : 1. Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata ? 2. Konsep Ketuhanan ? TUJUAN PENELITIAN Di lihat dari rumusan masalah di atas Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata di sinilah banyak yang dapat di ambil sebagai bahan acuan misalnya hakekat ketuhanan dalam upanisad setelah itu di jadikan sebuah penelitian untuk dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan ajaran Hindu yang di mana supaya umat manusia akan ingat selalu kehidupan di dunia ini karna umat manusia hidup di dunia ini hanya sementara dan hanya melaksanakan tugasnya ialah berkarma yang baik agar nanti badan halusnya (Atman) menyatu dengan (Brahman) Hyang Widdhi Wasa. Maka dari itu setiap manusia wajib melaksanakannya misalnya dengan melakukan persembahyangan setiap hari, berbuat kebaikan, mengikuti dan melaksanakan upacara agama yang di mana agar manusia ingat akan kekuasaan Tuhan di Jagat Alam Raya ini. Setiap penelitian tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti. Penentuan tujuan dalam suatu penelitian sangat penting agar kegiatan yang dilaksanakan mempunyai arah yang jelas. Secara garis besar, penelitian ini memiliki dua macam tujuan, yakni tujuan umum dan tujuan khusus. TUJUAN UMUM Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang mendalam dan dapat dipahami, serta memberikan penjelasan kepada semua pihak mengenai judul / Tema Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata yang menjadi catatan penting dari tema tersebut. Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman terhadap Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata sehingga nilai –nilai yang terkandung di dalamnya dapat diimplementasikan dengan baik. TUJUAN KHUSUS Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang diungkap di atas, maka tujuan penelitian ini secara khusus dapat diuraikan sebagai berikut. 1. Untuk mengetahui yang di maksud dari Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata. 2. Untuk mengetahui Konsep Ketuhanan dari Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata. MANFAAT PENELITIAN Suatu penelitian tentunya diharapkan membawa manfaat. Hasil penelitian ini diharapkan berguna baik secara teoretis maupun praktis bagi masyarakat umum, khususnya bagi peneliti, serta bagi para mahasiswa dan rohaniawan. MANFAAT TEORETIS Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu kontribusi akademis dalam penambahan konsep dan mengembangkan teori yang berhubungan dengan Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata. Penelitian ini merupakan salah satu sumbangan pemikiran yang diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan dan kemajuan pengetahuan, khususnya dalam bidang budaya, agama, dan sosial. MANFAAT PRAKTIS Adapun beberapa manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Dapat dijadikan sumber pengetahuan dan sumber informasi bagi peneliti selanjutnya. 2. Dapat dipergunakan sebagai acuan untuk mengimplementasikan dalam kehidupan umat sedharma yang berhubungan tentang Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata. PEMBAHASAN 1. Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata Dalam berbicara mengenai Tuhan, manusia senantiasa berusaha menangkap kenyataan melalui kata-kata, sampai pada akhirnya ia menemukan misteri yang membungkam pembicaraannya dan kata-katanya yang ditelan oleh keheningan. Masalahnya bukanlah karena kala kita tidak cukup tajam, masalahnya terletak lebih dalam lagi dari itu. Secara sadar dalam pengertiannya yang dangkal, pikiran kita merupakan alat yang tidak tepat untuk mencapai suatu pemahaman. Dengan akibat, hasilnya bagaikan menimba samudera dengan sebuah jaring atau menjerat angin dengan seutas tali. Doa Shankara, St. Thomas Aquinasnya agama Hindu, diawali dengan seruan “ O Engkau yang melumpuhkan semua kemampuan kata”. Kata “ Ia yang melumpuhkan semua kemampuan kata” merupakan pokok bahasan yang akan dibahas kali ini. Untuk merinci apakah maksud dari headline halaman ini, kami penulis akan menjadikan Upanisad sebagai acuan dalam membedah makna yang terkandung di dalamnya. Dan sebagai prolog akan diawali oleh hal sederhana namun sangat esensial sekali untuk dibahas. Studi filsafat mengenai Tuhan biasanya dimulai dengan pertanyaan mendasar, “ Apakah Tuhan ada? “ atau “ Adakah seorang Tuhan ?”. Jawaban atas pertanyaan ini bisa “ ya” bisa juga “ tidak” tergantung siapa yang bertanya dan siapa yang menjawab. Bila yang menjawab pertanyaan itu adalah seorang teolog, jawabannya adalah “ya”. Bila yang menjawab adalah seorang filsuf atheis jawabannya adalah “tidak”. Dan “Bila Tuhan ada bagaimana Dia dapat diketahui?”. Di dalam agama Hindu ada tiga cara untuk mencapai pengetahuan yang sejati, yang disebut Tri Pramana. Pramana, berasal dari bahasa Sanskerta, yang secara literal berarti “ukuran” (measure) dan otoritas. Ketiga jalan itu adalah sabda, (sastra atau agama); anumana; dan pratyaksa pramana. Sabda (sastra atau agama) pramana adalah pengetahuan mengenai Tuhan yang diperoleh melalui teks kitab suci. Di dalam kitab suci, Tuhan dikenali melalui cerita yang mengisahkan dirinya, berita tentang apa yang dilakukannya, perintah yang disampaikannya kepada manusia, doa yang disampaikan padanya. Anumana yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui penggunaan logika untuk menarik kesimpulan atas dunia fenomenal. Dan pratyaksa, pemahaman melalui pengalaman empiris atau indra dalam batas maya. Untuk mengetahui asinnya garam, orang harus mencicipi garam, untuk mengetahui manisnya gula orang harus mencicipi gula. Dalam kategori pratyaksa pramana terdapat metode Samadhi, penyerapan langsung obyek meditasi oleh subyek. Pertanyaan tentang siapakah Tuhan menghendaki atau jawaban definitif. Tetapi mendefinisikan Tuhan merupakan kontradiksi dalam istilah (contradiction in terms). Mendefinisikan artinya membatasi. Setiap orang beragama mengakui Tuhan Mahatakterbatas (Indefinite). Lalu bagaimana kita membatasi sesuatu yang tidak terbatas? Swami Rama Tirtha, seorang yogi Hindu mengatakan “God Defined is God confined” ( Tuhan yang didefinisikan adalah Tuhan yang dikurung atau dimasukkan dalam penjara). Definisi membekukan proses. Dalam Putra (2008:26), Plotinus (205-270) mengatakan hakikat kenyataan terakhir (the ultimate reality) adalah satu kesatuan awal atau pertama (primal unity), yang disebutnya Yang Satu. Segala hal memiliki eksistensi mereka karena realitas poten ini. Karena Yang Satu itu adalah kesederhanaan itu sendiri, tidak ada sesuatu pun yang dapat dikatakan tentangnya. Ia tidak memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan esensinya yang membuat definisi mungkin. Ia hanya ada (was). Akibatnya, Yang Satu itu tanpa nama; bila kita berpikir secara positif tentang Yang Satu, akan ada lebih banyak kebenaran dalam Diam. Kita bahkan tidak dapat mengatakan dia ada, karena sebagai Ada sendiri, ia bukanlah satu hal tetapi berbeda dari semua hal. Sesungguhnya, ia adalah Segalanya dan Bukan Apapun (it is Everything and Nothing); ia bukan apapun yang ada, namun ia semuanya. Gregory dari Nyisa (dalam Putra,2008:62) mengatakan, setiap konsep mengenai Tuhan hanyalah sekedar simulacrum, satu kemiripan palsu, satu berhala; ia tidak dapat mengungkapkan Tuhan itu sendiri. Dalam Gereja Orthodoks Yunani dimana Gregory bertugas sebagai pastur, berlaku sikap, semua teologi yang baik haruslah diam. Kepercayaan kepada Tuhan haruslah murni tidak dicampur oleh konsep apapun. Tuhan ada di wilayah metafisika atau metafisika khusus. Tepatnya di dalam wilayah keyakinan agama. Tuhan tidak dapat dibandingkan dengan apapun yang dapat ditangkap oleh indra manusia. Tuhan berada di luar pengalaman empiris. Bahkan definisi untuk hal-hal yang ada di dalam wilayah empiris masih bisa menimbulkan perdebatan. Misalnya, definisi kebudayaan ada lebih dari seratus lima puluh banyaknya. Dalam studi kebudayaan, agama dimasukkan sebagai salah satu komponen budaya, hasil akal budi manusia. Tetapi Tuhan dari agama-agama theisme bukanlah ciptaan budi, sekalipun Descartes dan Kant terkesan mengatakan demikian. Upanisad telah mengatakan “Tidak dengan ucapan, tidak dengan pikiran dan tidak dengan penglihatan Dia dapat dipahami”. Ini berarti Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata fisik, tidak dapat dibayangkan dengan pikiran dan karena itu pula tidak dapat dirumuskan dengan kata-kata, tidak dapat dikurung dalam konsep. Dengan kata lain, Tuhan tidak dapat didefuinisikan. Perdebatan berkepanjangan mengenai eksistensi dan non-eksistensi Tuhan sudah nampak pada jaman Upanisad. Masing-masing pihak tampaknya juga mempunyai argumentasi yang sama kuatnya. Tetapi para Maharsi Upanisad mempunyai keberanian untuk mengakui keberadaan Tuhan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan apalagi dibuktikan secara logika dengan kata-kata. Keberadaan Tuhan hanya dapat dibuktikan dengan pengalaman langsung, pengalaman persatuan jiwa individu dengan jiwa alam semesta, dalam satu eksistensi rohani. Menjelaskan keberadaan Tuhan melalui kata-kata dan logika adalah tugas dan tanggung jawab para teolog sedangkan pembuktian Tuhan melalui pengalaman adalah tugas para yogi. Dalam Upanisad yang kedua dianggap lebih penting dari yang pertama. Oleh karena itu Upanisad (Katha Upanisad, II.3, 12-13) dengan mantap menyebutkan : “ Tidak dengan ucapan, tidak dengan pikiran, tidak dengan penglihatan Dia dapat dipahami. Bagaimana Ia dapat dipahami kecuali dengan menggunakan “Dia Ada”? Dia harus dipahami hanya sebagai eksistensi lalu dalam hakikatnya sesungguhnya – dalam dua cara. Ketika Dia dipahami sebagai eksistensi (ada), hakikatnya yang sesungguhnya menjadi jelas (konsisten)”. S. Radhakrishnan memberi komentar atas kedua sloka (ayat) diatas sebagai berikut : “ Dia dapat dimengerti hanya oleh mereka yang menegaskan bahwa “Dia Ada,” Sang diri (the self) adalah sebagai subyek yang mengetahui tidak pernah dapat menjadi sebagai sebuah obyek. Dia dapat direalisasikan mellaui yoga. Sementara ia mengatasi (transcend) alat atau cara pemahaman yang biasa. Dia dapat segera dialami mellaui Yoga, dan untuk pemahaman semacam itu keyakinan akan keberadaanNya adalah mutlak. Keyakinan akan realitas dari yang dicari adalah suatu prasyarat mutlak. S. Radhakhrisnan mengutip komentar Sankara atas teka ini yang mengatakan bahwa Brahman yang Tertinggi yang dipandang sebagai sumber dari alam semesta harus dianggap sebagai ada. Kita tidak dapat membayangkan bahwa alam semesta diproduksi dari ketiadaan. Dunia akibat haruslah memiliki penyebab eksistensinya. Paling sedikit kita dapat mengatakan secara rasional mengenai Tuhan bahwa Dia ada. Penegasan utama yang dapat dibuat mengenai Tuhan adalah pernyataan mengenai eksistensi, murni, sederhana. Keyakinan rasional akan keberadaan Brahman menuntun kepada pengalamna spiritual di dalam mana sifat-sifatnya diungkapkan kepada dan dipahami oleh orang yang percaya. Pengalaman keagamaan yang tertinggi disebut “anubhava” di mana seseorang mengalami atau merasakan persatuan dengan Tuhan, jiwanya menyatu dengan Jiwa alam semesta. Subyek dan obyek menjadi satu tak dapat dipisahkan. Pada saat itu yang bersangkutan mengalami pencerahan dan pembebasan. Keadaan seperti dialami oleh para yogi dalam samadinya. Anubhava, di samping merupakan pengalaman keagamaan tertinggi juga disebut pengetahuan tertinggi mengenai Tuhan. Dimana seseorang mengetahuai keberadaan Tuhan, bukan dengan pengetahuan rasional tapi dengan ‘melihat, merasakan, dan mengalamiNya’secara langsung. Pengetahuan Tuhan secara ini juga disebut pengetahuan intuitif. Pada suatu periode di masa lalu Tuhan hadir sangat dekat dengan manusia. Dia berbicara dengan para orang suci atau orang-orang yang dipilihnya sebgaia utusan. Bahkan Dia “turun” ke bumi dan lahir sebagai manusia, sebagai inkarnasi Tuhan dalam Kristen ataupun Avatara dalam Hindu. Dan sekarang orang bertanya ‘apakah Tuhan memang ada?’ “Is there a God?”. Kalau ada, apa bukti keberadaannya? Kita percaya Gunung Himalaya ada karena kita pernah mendakinya, melihat sosoknya dari jauh atau fotonya dalam postcard. Kita percaya bahwa angin ada karena melihat akibat tiupannya yang keras menggoyangkan pohon-pohon besar, atau merasakan embusannya di tubuh kita, merasakannya mengalir dari hidung ke paru-paru dan ke hidung lagi. Tapi Tuhan? Dulu Dia bicara kepada manusia lewat orang-orang perantaranya, orang-orang kepercayaanNya. Tapi itu sudah lama sekali dan sekarang Dia tidak pernah bicara lagi. Mengapa Dia tidak memperlihatkan diriNya? Mengapa Dia bersembunyi dari kita? Mengapa Dia sekali-kali tidak bicara langsung kepada semua orang dari tempatnya, dari surga atau di mana saja, sehingga kita tidak perlu bertanya-tanya mengenai keberadaanNya? Sekarang atau lebih dari satu milyar dari enam milyar manusia, atau satu dari enam orang penduduk bumi tidak percaya dengan keberadaanNya. Dan orang-orang yang percaya berperang satu nama lain atas namaNya. Di dalam Hindu hubungan manusia dengan Tuhan bersifat dua arah. Tuhan dapat menjangkau manusia, dengan “turun” ke dunia sebagai makhluk, yang disebut avatar. Ada sepuluh avatara yang terkenal, yaitu Rama dan Krishna. Inkarnasi Jesus dalam Kristen mirip dengan avatara, tetapi ada perbedaannya yang nyata. Jesus lahir kedunia untuk menebus dosadosa manusia, baik dosa asal yang disebabkan Adam dan Eva, nenek moyang pertama manusia menurut agama Abrahamik, maupun dosa-dosa yang dilakukannya sendiri. Krishna menjelma (menjadi manusia) untuk mengajari manusia cara-cara mencapai keselamatan atau kebebasan yang dalam Hindu disebut moksha. Jika dianalogikan, Jesus adalah seorang ayah yang menebus seluruh hutang anak-anaknya, Krisnha adalah ayah yang mengajari anak-anaknya cara atau jalan (bagaimana bekerja) agar dapat menebus hutang-hutangnya. Cara atau jalan itu disebut yoga. Melalui yoga seorang manusia bertindak aktif mencapai Tuhan. Manusia juga bisa mencapai status kedewataan sebagai Siddha, manusia yang telah mencapai tujuannya di dalam hidupnya di dunia ini, jivanmukta, manusia yang sempurna. Percakapan Sri Ramakrishna, seorang yogi besar India (1836-1886) dengan muridnya menunjukkan bahwa uluran tangan Tuhan dan upaya manusia adalah kombinasi yang perlu untuk mencapai pengetahuan tentang Tuhan atau keselamatan (dalam Putra,2008:37-38). Murid : “ Guru, apakah Tuhan itu berbentuk atau tanpa bentuk ?” Sri Ramakrishna : “ Tidak seorangpun dapat mengatakan secara final bahwa Dia adalah ‘ini’ dan bukan yang lainnya. Dia tidak berbentuk dan lagi dia dengan bentuk. Bagi seorang bhakta, seorang pemuja (devotee), Dia mengambil bentuk-bentuk. Dia tidak berbentuk bagi seorang jnani (orang yang mempraktekkan jnana yoga, yoga pengetahuan) yang mengikuti jalan wiweka, (kemampuan membedakan yang nyata dengan tidak nyata) telah mengalami dalam batinnya ketiadaan ego dan dunia penampakan. Mereka semua seperti mimpi. Ia mewujudkan Brahman di dalam kesadaran batinnya. Kata-kata gagal untuk menjelaskan Realitas itu. Bagi para bhakta dunia ini nyata sebagai satu realitas yang terpisah. Bagi seorang bhakta, Tuhan nampak sebagai satu Tuhan Pribadi. “Tahukah kamu bagaimana itu tampaknya? Bandingkan Brahman satu dengan satu samudra tanpa tepi. Melalui pengaruh yang mendinginkan, katakan demikian, dari cinta mendalam seorang bhakta, air yang tidak berbentuk menjadi beku, disana sini, ke dalam gumpalan es. Inilah cara untuk mengatakan Tuhan kadang-kadang mengungkapkan dirinya sendiri bagai seorang Pribadi dengan bentuk-bentuk kepada para pemujanya. Tetapi dengan bangkitnya matahari pengetahuan, es itu mencair; lalu orang tidak melihat Dia sebagai seorang pribadi, tidak pula orang melihat bentuk-bentuknya. Lalu siapakah yang menjelaskan siapa? Ego secara sempurna telah lenyap. “ Murid : “ guru, mengapa ada demikian banyaknya perbedaan opini tentang hakikat Tuhan ?” Sri Ramakrishna : “ sesungguhnya mereka tidak berlawanan. Sebagaimana manusia mewujudkannya, demikianlah Dia mengekspresikan dirinya. Bila seseorang telah mencapaiNya, maka dia tidak menemukan kontradiksi kabir biasa berkata;’ Yang Mutlak yang tanpa bentuk adalah Ayahku, dan Tuhan dengan bentuk adalah Ibuku.’” Murid :” Guru, dapatkah orang melihat Tuhan? Bila dapat mengapa kita tidak dapat melihatnya?” Sri Ramakrishna :”Ya, Dia pasti dapat dilihat. Orang dapat melihat Dia dengan bentuk, dan orang juga dapat melihat dia tanpa bentuk.” Murid :” lalu dengan cara apa orang dapat melihat Dia?” Sri Ramakrishna :” Dapatkah kamu menangis untuk Dia dengan kerinduan hati yang dalam? Orang yang mengucurkan secangkir penuh bagi anak-anak, istri dan uangnya. Tetapi siapakah yang menangis untuk Tuhan? Selama seorang anak asyik dengan bonekanya, sang ibu akan sibuk dengan urusan rumah tangga. Ketika sang anak bosan dengan bonekanya, melemparkannya ke samping dan menangis mencari ibunya, maka sang ibu akan lari terburuburu, mengambil sang anak dan memeluknya.” Tuhan tidak bersembunyi. Dia tidak malu atau takut kepada siapapun atau apapun, karena itu Dia tidak perlu bersembunyi. Ada yang memberi alasan kalau Dia menampakkan diriNya, cahayaNya akan membutakan manusia. Tetapi bukankah Dia dapat mengatur agar cahanya tidak membutakan manusia, bahkan membuat mata manusia menjadi jernih? Jadi Dia tidak bersembunyi. Dia ada disini, di dunia ini, selalu bersama kita. Hanya saja mata fisik kita tidak dapat menjangkaunya. Karena Dia memang bukan hal fisik. Adanya Tuhan menurut Upanisad bukan hanya ide seperti yang dikatakan oleh Plato, Descartes, dan Kant. Adanya manusia menurut Upanisad disebut Sat, Chit, Ananda, yaitu : Ada yang sebenarnya dan abadi, melebihi ada-ada yang lain yang sementara (asat), Kesadaran Murni dan Kebahagiaan tertinggi, dan karena itu Dia dapat dialami. Pengetahuan mengenai Tuhan tidak semata bersifat a priori, hanya ada dan sebagai hasil dari intelek, tetapi juga bersifat a posteriori, sebagai hasil pengalaman. Pendapat Kahn bahwa ” Tuhan tetap tegar berada di dalam budi dan tidak ada jembatan dapat dibangun dari dunia ide ke dunia kenyataan” ditolak oleh Upanisad dan para yogi Hindu. 2. Konsep ketuhanan Salah satu bentuk penerapan monoteisme Hindu di Indonesia adalah konsep Padmasana, sebuah tempat sembahyang Hindu untuk memuja Brahman atau "Tuhan Sang Penguasa". Agama Hindu merupakan agama tertua di dunia dan rentang sejarahnya yang panjang menunjukkan bahwa agama Hindu telah melewati segala paham ketuhanan yang pernah ada di dunia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh para sarjana, dalam tubuh Agama Hindu terdapat beberapa konsep ketuhanan, antara lain henoteisme, panteisme, monisme, monoteisme, politeisme, dan bahkan ateisme. Konsep ketuhanan yang paling banyak dipakai adalah monoteisme (terutama dalam Weda, Agama Hindu Dharma dan Adwaita Wedanta), sedangkan konsep lainnya (ateisme, panteisme, henoteisme, monisme, politeisme) kurang diketahui. Sebenarnya konsep ketuhanan yang jamak tidak diakui oleh umat Hindu pada umumnya karena berdasarkan pengamatan para sarjana yang meneliti agama Hindu tidak secara menyeluruh. Monoteisme Dalam agama Hindu pada umumnya, konsep yang dipakai adalah monoteisme. Konsep tersebut dikenal sebagai filsafat Adwaita Wedanta yang berarti "tak ada duanya". Selayaknya konsep ketuhanan dalam agama monoteistik lainnya, Adwaita Wedanta menganggap bahwa Tuhan merupakan pusat segala kehidupan di alam semesta, dan dalam agama Hindu, Tuhan dikenal dengan sebutan Brahman. Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman merupakan sesuatu yang tidak berawal namun juga tidak berakhir. Brahman merupakan pencipta sekaligus pelebur alam semesta. Brahman berada di mana-mana dan mengisi seluruh alam semesta. Brahman merupakan asal mula dari segala sesuatu yang ada di dunia. Segala sesuatu yang ada di alam semesta tunduk kepada Brahman tanpa kecuali. Dalam konsep tersebut, posisi para dewa disetarakan dengan malaikat dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri, melainkan dipuji atas jasa-jasanya sebagai perantara Tuhan kepada umatnya. Filsafat Adwaita Wedanta menganggap tidak ada yang setara dengan Brahman, Sang pencipta alam semesta. Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman hanya ada satu, tidak ada duanya, namun orang-orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama sesuai dengan sifatnya yang maha kuasa. Nama-nama kebesaran Tuhan kemudian diwujudkan ke dalam beragam bentuk Dewa-Dewi, seperti misalnya: Wisnu, Brahma, Siwa, Laksmi, Parwati, Saraswati, dan lain-lain. Dalam Agama Hindu Dharma (khususnya di Bali), konsep Ida Sang Hyang Widhi Wasa merupakan suatu bentuk monoteisme asli orang Bali. Panteisme Dalam salah satu Kitab Hindu yakni Upanishad, konsep yang ditekankan adalah panteisme. Konsep tersebut menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki wujud tertentu maupun tempat tinggal tertentu, melainkan Tuhan berada dan menyatu pada setiap ciptaannya, dan terdapat dalam setiap benda apapun, ibarat garam pada air laut. Dalam agama Hindu, konsep panteisme disebut dengan istilah Wyapi Wyapaka. Kitab Upanishad dari Agama Hindu mengatakan bahwa Tuhan memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu, beliau tidak berada di surga ataupun di dunia tertinggi namun berada pada setiap ciptaannya. Ateisme Agama Hindu diduga memiliki konsep ateisme (terdapat dalam ajaran Samkhya) yang dianggap positif oleh para teolog/sarjana dari Barat. Samkhya merupakan ajaran filsafat tertua dalam agama Hindu yang diduga mengandung sifat ateisme. Filsafat Samkhya dianggap tidak pernah membicarakan Tuhan dan terciptanya dunia beserta isinya bukan karena Tuhan, melainkan karena pertemuan Purusha dan Prakirti, asal mula segala sesuatu yang tidak berasal dan segala penyebab namun tidak memiliki penyebab. Oleh karena itu menurut filsafat Samkhya, Tuhan tidak pernah campur tangan. Ajaran filsafat ateisme dalam Hindu tersebut tidak ditemui dalam pelaksanaan Agama Hindu Dharma di Indonesia, namun ajaran filsafat tersebut (Samkhya) merupakan ajaran filsafat tertua di India. Ajaran ateisme dianggap sebagai salah satu sekte oleh umat Hindu Dharma dan tidak pernah diajarkan di Indonesia. Konsep lainnya Di samping mengenal konsep monoteisme, panteisme, dan ateisme yang terkenal, para sarjana mengungkapkan bahwa terdapat konsep henoteisme, politeisme, dan monisme dalam ajaran agama Hindu yang luas. Ditinjau dari berbagai istilah itu, agama Hindu paling banyak menjadi objek penelitian yang hasilnya tidak menggambarkan kesatuan pendapat para Indolog sebagai akibat berbedanya sumber informasi. Agama Hindu pada umumnya hanya mengakui sebuah konsep saja, yakni monoteisme. Menurut pakar agama Hindu, konsep ketuhanan yang banyak terdapat dalam agama Hindu hanyalah akibat dari sebuah pengamatan yang sama dari para sarjana dan tidak melihat tubuh agama Hindu secara menyeluruh. Seperti misalnya, agama Hindu dianggap memiliki konsep politeisme namun konsep politeisme sangat tidak dianjurkan dalam Agama Hindu Dharma dan bertentangan dengan ajaran dalam Weda. Meskipun banyak pandangan dan konsep Ketuhanan yang diamati dalam Hindu, dan dengan cara pelaksanaan yang berbeda-beda sebagaimana yang diajarkan dalam Catur Yoga, yaitu empat jalan untuk mencapai Tuhan, maka semuanya diperbolehkan. Mereka berpegang teguh kepada sloka yang mengatakan : Jalan mana pun yang ditempuh manusia kepada-Ku, semuanya Aku terima dan Aku beri anugerah setimpal sesuai dengan penyerahan diri mereka. Semua orang mencariku dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna) SIMPULAN Dari uraian yang telah dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan maksud dari ungkapan “ Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata “ adalah upaya untuk mendefinisikan Tuhan oleh umatnya dengan kata-kata dengan segala kemampuan yang dimiliki oleh-Nya berdasarkan atas pengamatan indera manusia. Upaya untuk mendefinisikan Tuhan ini sebagai sosok Tuhan yang berpribadi (imanen) sangat bertentangan dengan Tuhan yang transeden. Jadi dapat disimpulkan, bahwa tak ada kata-kata yang mampu untuk mendefinisikan Tuhan itu sendiri walaupun dengan segala ke “Maha” an-Nya. SARAN Terkait dengan penelitian tentang Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata, maka sebagai penutup dapat diberikan beberapa masukan atau saran-saran sebagai berikut : 1. Kepada umat sedharma berkaitan dengan tema di atas supaya dalam pelaksanaan bhakti kepada Hyang Widhi Wasa senantiasa perlu diingat bahwa dikatakan orang bijak menyebutnya Tuhan dengan banyak nama akan tetapi Tuhan itu hanya satu, dan juga terdapat nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya. 2. Kepada Lembaga Hindu seperti PHDI Pusat, PSN Pusat, Paruman Walaka, Lembaga Akademik yaitu STAH Negeri maupun Swasta serta Pemerintah yaitu Dirjen Bimas Hindu Pusat agar selalu memberikan pembinaan kepada umatnya khususnya PHDI, PSN, Paruman Walaka serta Dirjen Hindu supaya umat sedharma mengetahui betul apa itu Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata dan bisa dijadikan pedoman bagi umat Hindu di masa yang akan datang. Sedangkan untuk lembaga akademik bisa memberikan Dharma Wacana ataupun Dharma Tula kepada Umat sedharma. DAFTAR PUSTAKA Katha Upanisad Monier, 1993, Bahasa Sanskerta, Denpasar, Tanpa Penerbit Putra, Ngakan Putu, 2008. Tuhan Upanisad – Menyelamatkan Masa Depan Manusia. Denpasar : Media Hindu. Tim Penyusun. 2006. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar : Pemerintah Provinsi Bali