abstrak - E-Journal STAHN Gde Pudja Mataram

advertisement
IA YANG MELUMPUHKAN SEMUA KEMAMPUAN KATA
I Putu Sudarma Putra
Tenaga Pengajar pada Jurusan Pendidikan Hindu
STAH Dharma Nusantara Jakarta
Email : [email protected]
ABSTRAK
Agama Hindu mengajarkan pendidikan religius tentang hidup dan kehidupan ini secara
riil dan memiliki dampak langsung secara ritual serta banyaknya simbol – simbol yang terdapat
didalamnya. Penerapan ajaran agama lebih dirasakan tidak semata upaya mendekatkan diri
secara vertikal kepada Tuhan, melainkan diarahkan agar manusia mampu beradaptasi dengan
alam lingkungan dan dirinya sendiri. Mengapa demikian agar dapat mengenali jati dirinya bahwa
semua ini ciptaan Tuhan dan bersifat sementara Hal ini sangat jelas bahwa melalui symbolsimbol yang digunakan dalam berbagai ritual keagamaan Hindu bahwa kita sudah melakukan
bakti kepada Hyang Widhi Wasa melalui simbol tersebut. Yang semestinya umat Hindu dapat
mengetahui makna yang tersimpan didalamnya, akan tetapi hal tersebut belum banyak dipahami
oleh umatnya yang dikarenakan banyak umat kita hanya bisa memakai simbol tersebut, tanpa
memahami arti simbol itu, maka muncullah sebuah pikiran-pikiran yang sifatnya membangun
SDM umat sedharma yaitu “Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata” dari sini kita
akan mengetahui apa penjelasan dari kalimat tersebut. Dan penelitian ini bersifat naskah dari
berbagai buku serta fakta yang terjadi di lapangan misalnya saja pelaksanaan Piodalan, Ngenteg
Linggih dan sebagainya.
Kata Kunci : Simbol, Konsep Ketuhanan, Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata
PENDAHULUAN
Agama Hindu sangat kaya dengan berbagai simbol, penampilannya sangat indah dan
menarik hati setiap orang untuk melihatnya. Bagi umat Hindu symbol-simbol tersebut
menggetarkan kalbu dan berusaha untuk memahami makna yang terkandung di balik symbolsimbol tersebut. Setiap aktivitas keagamaan tidak terlepas dari simbol – simbol. Simbol-simbol
tersebut merupakan media bagi umat Hindu untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta,
mengadakan dialog dengan Yang Maha Kuasa dan memohon perlindungan dan wara nugrahaNya. Umat Hindu tidak seluruhnya mampu memahami makna di balik symbol-simbol tersebut,
banyak pertanyaan yang muncul dan mereka tidak puas dengan penjelasan bila tidak bersumber
pada kitab suci veda atau susastra Hindu lainnya. Tingkat pendidikan umat hindu pada
umumnya, menuntut pula pemahaman terhadap agama Hindu lebih dalam lagi, termasuk
pemahaman terhadap symbol-simbol tersebut.
Dewasa ini umat Hindu di indonesia banyak sekali menyebutkan banyak nama untuk
sebutan kepada Hyang Widhi Wasa baik dalam mengucapkan mantra atau berdoa waktu acara
persembahyangan ataupun lainnya yang berkaitan dengan keagamaan di lingkungannya masingmasing dengan kata-kata yang merdu, dan di dengar bisa menggetarkan rohani jiwa raga manusia
baik kalangan rohaniawan (pemuka adat) dan umat yang lainnya. Untuk memahami lebih jauh
tentang symbol-simbol dalam agama Hindu terlebih dahulu akan kami uraikan tentang hakekat
ketuhanan dalam agama Hindu. Hakekat ketuhanan ini seperti pula ajaran agama Hindu, maka
yang menjadi sumber adalah kitab suci veda, yang merupakan himpunan sabda Tuhan Yang
Maha Esa atau wahyu-nya yang di terima oleh para maharsi di masa yang silam.
Bila kita mengkaji kitab suci veda maupun praktek keagamaan di India dan indonesia
(Bali) maka Tuhan Yang Maha Esa di sebut dengan berbagai nama. Berbagai wujud di
gambarkan untuk Yang Maha Esa itu, walaupun Tuhan Yang Maha Esa tidak berwujud dalam
pengertian materi maupun dalam jangkauan pikiran manusia, dan di dalam bahasa Sanskerta di
sebut Acintyarupa yang artinya : tidak berwujud dalam alam pikiran manusia (monier, 1993 :
9), dan dalam bahasa jawa Kuno di nyatakan : “Tan kagrahita dening manah mwang indriya”
(tidak terjangkau oleh akal dan indriya manusia). Demikian pula Tuhan Yang Maha Esa sebagai
sumber segalanya dan sumber kebahagian hidup, di nyatakan pula di dalam mantra veda berikut :
Yo bhutam ca bhavyam ca
Sarvam yas caddhitisthati,
Svar yasyaca kevalam tasmai
Jyesthaya brahmane namah.
Atharvaveda X.8.1.
(Tuhan Yang Maha Esa hadir di mana – mana, asal dari segalanya yang telah ada dan
yang akan ada. Ia penuh dengan rakhmat dan kebahagian. Kami memuja Engkau, Tuhan
Yang Maha Tinggi).
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat di rumuskan beberapa permasalahan,
sebagai berikut :
1. Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata ?
2. Konsep Ketuhanan ?
TUJUAN PENELITIAN
Di lihat dari rumusan masalah di atas Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata di
sinilah banyak yang dapat di ambil sebagai bahan acuan misalnya hakekat ketuhanan dalam
upanisad setelah itu di jadikan sebuah penelitian untuk dapat menambah wawasan ilmu
pengetahuan ajaran Hindu yang di mana supaya umat manusia akan ingat selalu kehidupan di
dunia ini karna umat manusia hidup di dunia ini hanya sementara dan hanya melaksanakan
tugasnya ialah berkarma yang baik agar nanti badan halusnya (Atman) menyatu dengan
(Brahman) Hyang Widdhi Wasa. Maka dari itu setiap manusia wajib melaksanakannya misalnya
dengan melakukan persembahyangan setiap hari, berbuat kebaikan, mengikuti dan melaksanakan
upacara agama yang di mana agar manusia ingat akan kekuasaan Tuhan di Jagat Alam Raya ini.
Setiap penelitian tentunya memiliki tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti. Penentuan
tujuan dalam suatu penelitian sangat penting agar kegiatan yang dilaksanakan mempunyai arah
yang jelas. Secara garis besar, penelitian ini memiliki dua macam tujuan, yakni tujuan umum dan
tujuan khusus.
TUJUAN UMUM
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi yang mendalam dan
dapat dipahami, serta memberikan penjelasan kepada semua pihak mengenai judul / Tema Ia
Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata yang menjadi catatan penting dari tema tersebut.
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman terhadap Ia Yang
Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata sehingga nilai –nilai yang terkandung di dalamnya
dapat diimplementasikan dengan baik.
TUJUAN KHUSUS
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang diungkap di atas, maka tujuan
penelitian ini secara khusus dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui yang di maksud dari Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan
Kata.
2. Untuk mengetahui Konsep Ketuhanan dari Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan
Kata.
MANFAAT PENELITIAN
Suatu penelitian tentunya diharapkan membawa manfaat. Hasil penelitian ini diharapkan
berguna baik secara teoretis maupun praktis bagi masyarakat umum, khususnya bagi peneliti,
serta bagi para mahasiswa dan rohaniawan.
MANFAAT TEORETIS
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu kontribusi akademis dalam
penambahan konsep dan mengembangkan teori yang berhubungan dengan Ia Yang
Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata. Penelitian ini merupakan salah satu sumbangan
pemikiran yang diharapkan dapat berkontribusi dalam pengembangan dan kemajuan
pengetahuan, khususnya dalam bidang budaya, agama, dan sosial.
MANFAAT PRAKTIS
Adapun beberapa manfaat praktis dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Dapat dijadikan sumber pengetahuan dan sumber informasi bagi peneliti selanjutnya.
2. Dapat dipergunakan sebagai acuan untuk mengimplementasikan dalam kehidupan umat
sedharma yang berhubungan tentang Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata.
PEMBAHASAN
1. Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata
Dalam berbicara mengenai Tuhan, manusia senantiasa berusaha menangkap kenyataan
melalui kata-kata, sampai pada akhirnya ia menemukan misteri yang membungkam
pembicaraannya dan kata-katanya yang ditelan oleh keheningan. Masalahnya bukanlah karena
kala kita tidak cukup tajam, masalahnya terletak lebih dalam lagi dari itu. Secara sadar dalam
pengertiannya yang dangkal, pikiran kita merupakan alat yang tidak tepat untuk mencapai suatu
pemahaman. Dengan akibat, hasilnya bagaikan menimba samudera dengan sebuah jaring atau
menjerat angin dengan seutas tali. Doa Shankara, St. Thomas Aquinasnya agama Hindu, diawali
dengan seruan “ O Engkau yang melumpuhkan semua kemampuan kata”. Kata “ Ia yang
melumpuhkan semua kemampuan kata” merupakan pokok bahasan yang akan dibahas kali ini.
Untuk merinci apakah maksud dari headline halaman ini, kami penulis akan menjadikan
Upanisad sebagai acuan dalam membedah makna yang terkandung di dalamnya. Dan sebagai
prolog akan diawali oleh hal sederhana namun sangat esensial sekali untuk dibahas.
Studi filsafat mengenai Tuhan biasanya dimulai dengan pertanyaan mendasar, “ Apakah
Tuhan ada? “ atau “ Adakah seorang Tuhan ?”. Jawaban atas pertanyaan ini bisa “ ya” bisa juga
“ tidak” tergantung siapa yang bertanya dan siapa yang menjawab. Bila yang menjawab
pertanyaan itu adalah seorang teolog, jawabannya adalah “ya”. Bila yang menjawab adalah
seorang filsuf atheis jawabannya adalah “tidak”. Dan “Bila Tuhan ada bagaimana Dia dapat
diketahui?”. Di dalam agama Hindu ada tiga cara untuk mencapai pengetahuan yang sejati, yang
disebut Tri Pramana. Pramana, berasal dari bahasa Sanskerta, yang secara literal berarti “ukuran”
(measure) dan otoritas. Ketiga jalan itu adalah sabda, (sastra atau agama); anumana; dan
pratyaksa pramana.
Sabda (sastra atau agama) pramana adalah pengetahuan mengenai Tuhan yang diperoleh
melalui teks kitab suci. Di dalam kitab suci, Tuhan dikenali melalui cerita yang mengisahkan
dirinya, berita tentang apa yang dilakukannya, perintah yang disampaikannya kepada manusia,
doa yang disampaikan padanya. Anumana yaitu pengetahuan yang diperoleh melalui
penggunaan logika untuk menarik kesimpulan atas dunia fenomenal. Dan pratyaksa, pemahaman
melalui pengalaman empiris atau indra dalam batas maya. Untuk mengetahui asinnya garam,
orang harus mencicipi garam, untuk mengetahui manisnya gula orang harus mencicipi gula.
Dalam kategori pratyaksa pramana terdapat metode Samadhi, penyerapan langsung obyek
meditasi oleh subyek. Pertanyaan tentang siapakah Tuhan menghendaki atau jawaban definitif.
Tetapi mendefinisikan Tuhan merupakan kontradiksi dalam istilah (contradiction in terms).
Mendefinisikan artinya membatasi. Setiap orang beragama mengakui Tuhan Mahatakterbatas
(Indefinite). Lalu bagaimana kita membatasi sesuatu yang tidak terbatas? Swami Rama Tirtha,
seorang yogi Hindu mengatakan “God Defined is God confined” ( Tuhan yang didefinisikan
adalah Tuhan yang dikurung atau dimasukkan dalam penjara). Definisi membekukan proses.
Dalam Putra (2008:26), Plotinus (205-270) mengatakan hakikat kenyataan terakhir (the
ultimate reality) adalah satu kesatuan awal atau pertama (primal unity), yang disebutnya Yang
Satu. Segala hal memiliki eksistensi mereka karena realitas poten ini. Karena Yang Satu itu
adalah kesederhanaan itu sendiri, tidak ada sesuatu pun yang dapat dikatakan tentangnya. Ia
tidak memiliki sifat-sifat yang berbeda dengan esensinya yang membuat definisi mungkin. Ia
hanya ada (was). Akibatnya, Yang Satu itu tanpa nama; bila kita berpikir secara positif tentang
Yang Satu, akan ada lebih banyak kebenaran dalam Diam. Kita bahkan tidak dapat mengatakan
dia ada, karena sebagai Ada sendiri, ia bukanlah satu hal tetapi berbeda dari semua hal.
Sesungguhnya, ia adalah Segalanya dan Bukan Apapun (it is Everything and Nothing); ia bukan
apapun yang ada, namun ia semuanya. Gregory dari Nyisa (dalam Putra,2008:62) mengatakan,
setiap konsep mengenai Tuhan hanyalah sekedar simulacrum, satu kemiripan palsu, satu berhala;
ia tidak dapat mengungkapkan Tuhan itu sendiri. Dalam Gereja Orthodoks Yunani dimana
Gregory bertugas sebagai pastur, berlaku sikap, semua teologi yang baik haruslah diam.
Kepercayaan kepada Tuhan haruslah murni tidak dicampur oleh konsep apapun.
Tuhan ada di wilayah metafisika atau metafisika khusus. Tepatnya di dalam wilayah
keyakinan agama. Tuhan tidak dapat dibandingkan dengan apapun yang dapat ditangkap oleh
indra manusia. Tuhan berada di luar pengalaman empiris. Bahkan definisi untuk hal-hal yang ada
di dalam wilayah empiris masih bisa menimbulkan perdebatan. Misalnya, definisi kebudayaan
ada lebih dari seratus lima puluh banyaknya. Dalam studi kebudayaan, agama dimasukkan
sebagai salah satu komponen budaya, hasil akal budi manusia. Tetapi Tuhan dari agama-agama
theisme bukanlah ciptaan budi, sekalipun Descartes dan Kant terkesan mengatakan demikian.
Upanisad telah mengatakan “Tidak dengan ucapan, tidak dengan pikiran dan tidak dengan
penglihatan Dia dapat dipahami”. Ini berarti Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata fisik, tidak
dapat dibayangkan dengan pikiran dan karena itu pula tidak dapat dirumuskan dengan kata-kata,
tidak dapat dikurung dalam konsep. Dengan kata lain, Tuhan tidak dapat didefuinisikan.
Perdebatan berkepanjangan mengenai eksistensi dan non-eksistensi Tuhan sudah nampak pada
jaman Upanisad. Masing-masing pihak tampaknya juga mempunyai argumentasi yang sama
kuatnya. Tetapi para Maharsi Upanisad mempunyai keberanian untuk mengakui keberadaan
Tuhan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan apalagi dibuktikan secara logika dengan kata-kata.
Keberadaan Tuhan hanya dapat dibuktikan dengan pengalaman langsung, pengalaman persatuan
jiwa individu dengan jiwa alam semesta, dalam satu eksistensi rohani.
Menjelaskan keberadaan Tuhan melalui kata-kata dan logika adalah tugas dan tanggung
jawab para teolog sedangkan pembuktian Tuhan melalui pengalaman adalah tugas para yogi.
Dalam Upanisad yang kedua dianggap lebih penting dari yang pertama. Oleh karena itu
Upanisad (Katha Upanisad, II.3, 12-13) dengan mantap menyebutkan :
“ Tidak dengan ucapan, tidak dengan pikiran, tidak dengan penglihatan Dia dapat
dipahami.
Bagaimana Ia dapat dipahami kecuali dengan menggunakan “Dia Ada”?
Dia harus dipahami hanya sebagai eksistensi lalu dalam hakikatnya sesungguhnya –
dalam dua cara. Ketika Dia dipahami sebagai eksistensi (ada), hakikatnya yang
sesungguhnya menjadi jelas (konsisten)”.
S. Radhakrishnan memberi komentar atas kedua sloka (ayat) diatas sebagai berikut : “
Dia dapat dimengerti hanya oleh mereka yang menegaskan bahwa “Dia Ada,” Sang diri (the self)
adalah sebagai subyek yang mengetahui tidak pernah dapat menjadi sebagai sebuah obyek. Dia
dapat direalisasikan mellaui yoga. Sementara ia mengatasi (transcend) alat atau cara pemahaman
yang biasa. Dia dapat segera dialami mellaui Yoga, dan untuk pemahaman semacam itu
keyakinan akan keberadaanNya adalah mutlak. Keyakinan akan realitas dari yang dicari adalah
suatu prasyarat mutlak.
S. Radhakhrisnan mengutip komentar Sankara atas teka ini yang mengatakan bahwa
Brahman yang Tertinggi yang dipandang sebagai sumber dari alam semesta harus dianggap
sebagai ada. Kita tidak dapat membayangkan bahwa alam semesta diproduksi dari ketiadaan.
Dunia akibat haruslah memiliki penyebab eksistensinya. Paling sedikit kita dapat mengatakan
secara rasional mengenai Tuhan bahwa Dia ada. Penegasan utama yang dapat dibuat mengenai
Tuhan adalah pernyataan mengenai eksistensi, murni, sederhana. Keyakinan rasional akan
keberadaan Brahman menuntun kepada pengalamna spiritual di dalam mana sifat-sifatnya
diungkapkan kepada dan dipahami oleh orang yang percaya.
Pengalaman keagamaan yang tertinggi disebut “anubhava” di mana seseorang mengalami
atau merasakan persatuan dengan Tuhan, jiwanya menyatu dengan Jiwa alam semesta. Subyek
dan obyek menjadi satu tak dapat dipisahkan. Pada saat itu yang bersangkutan mengalami
pencerahan dan pembebasan. Keadaan seperti dialami oleh para yogi dalam samadinya.
Anubhava, di samping merupakan pengalaman keagamaan tertinggi juga disebut pengetahuan
tertinggi mengenai Tuhan. Dimana seseorang mengetahuai keberadaan Tuhan, bukan dengan
pengetahuan rasional tapi dengan ‘melihat, merasakan, dan mengalamiNya’secara langsung.
Pengetahuan Tuhan secara ini juga disebut pengetahuan intuitif.
Pada suatu periode di masa lalu Tuhan hadir sangat dekat dengan manusia. Dia berbicara
dengan para orang suci atau orang-orang yang dipilihnya sebgaia utusan. Bahkan Dia “turun” ke
bumi dan lahir sebagai manusia, sebagai inkarnasi Tuhan dalam Kristen ataupun Avatara dalam
Hindu. Dan sekarang orang bertanya ‘apakah Tuhan memang ada?’ “Is there a God?”. Kalau
ada, apa bukti keberadaannya? Kita percaya Gunung Himalaya ada karena kita pernah
mendakinya, melihat sosoknya dari jauh atau fotonya dalam postcard. Kita percaya bahwa angin
ada karena melihat akibat tiupannya yang keras menggoyangkan pohon-pohon besar, atau
merasakan embusannya di tubuh kita, merasakannya mengalir dari hidung ke paru-paru dan ke
hidung lagi. Tapi Tuhan? Dulu Dia bicara kepada manusia lewat orang-orang perantaranya,
orang-orang kepercayaanNya. Tapi itu sudah lama sekali dan sekarang Dia tidak pernah bicara
lagi. Mengapa Dia tidak memperlihatkan diriNya? Mengapa Dia bersembunyi dari kita?
Mengapa Dia sekali-kali tidak bicara langsung kepada semua orang dari tempatnya, dari surga
atau di mana saja, sehingga kita tidak perlu bertanya-tanya mengenai keberadaanNya? Sekarang
atau lebih dari satu milyar dari enam milyar manusia, atau satu dari enam orang penduduk bumi
tidak percaya dengan keberadaanNya. Dan orang-orang yang percaya berperang satu nama lain
atas namaNya.
Di dalam Hindu hubungan manusia dengan Tuhan bersifat dua arah. Tuhan dapat
menjangkau manusia, dengan “turun” ke dunia sebagai makhluk, yang disebut avatar. Ada
sepuluh avatara yang terkenal, yaitu Rama dan Krishna. Inkarnasi Jesus dalam Kristen mirip
dengan avatara, tetapi ada perbedaannya yang nyata. Jesus lahir kedunia untuk menebus dosadosa manusia, baik dosa asal yang disebabkan Adam dan Eva, nenek moyang pertama manusia
menurut agama Abrahamik, maupun dosa-dosa yang dilakukannya sendiri. Krishna menjelma
(menjadi manusia) untuk mengajari manusia cara-cara mencapai keselamatan atau kebebasan
yang dalam Hindu disebut moksha. Jika dianalogikan, Jesus adalah seorang ayah yang menebus
seluruh hutang anak-anaknya, Krisnha adalah ayah yang mengajari anak-anaknya cara atau jalan
(bagaimana bekerja) agar dapat menebus hutang-hutangnya. Cara atau jalan itu disebut yoga.
Melalui yoga seorang manusia bertindak aktif mencapai Tuhan. Manusia juga bisa
mencapai status kedewataan sebagai Siddha, manusia yang telah mencapai tujuannya di dalam
hidupnya di dunia ini, jivanmukta, manusia yang sempurna. Percakapan Sri Ramakrishna,
seorang yogi besar India (1836-1886) dengan muridnya menunjukkan bahwa uluran tangan
Tuhan dan upaya manusia adalah kombinasi yang perlu untuk mencapai pengetahuan tentang
Tuhan atau keselamatan (dalam Putra,2008:37-38).
Murid : “ Guru, apakah Tuhan itu berbentuk atau tanpa bentuk ?”
Sri Ramakrishna : “ Tidak seorangpun dapat mengatakan secara final bahwa Dia adalah
‘ini’ dan bukan yang lainnya. Dia tidak berbentuk dan lagi dia dengan bentuk. Bagi seorang
bhakta, seorang pemuja (devotee), Dia mengambil bentuk-bentuk. Dia tidak berbentuk bagi
seorang jnani (orang yang mempraktekkan jnana yoga, yoga pengetahuan) yang mengikuti jalan
wiweka, (kemampuan membedakan yang nyata dengan tidak nyata) telah mengalami dalam
batinnya ketiadaan ego dan dunia penampakan. Mereka semua seperti mimpi. Ia mewujudkan
Brahman di dalam kesadaran batinnya. Kata-kata gagal untuk menjelaskan Realitas itu. Bagi
para bhakta dunia ini nyata sebagai satu realitas yang terpisah. Bagi seorang bhakta, Tuhan
nampak sebagai satu Tuhan Pribadi.
“Tahukah kamu bagaimana itu tampaknya? Bandingkan Brahman satu dengan satu
samudra tanpa tepi. Melalui pengaruh yang mendinginkan, katakan demikian, dari cinta
mendalam seorang bhakta, air yang tidak berbentuk menjadi beku, disana sini, ke dalam
gumpalan es. Inilah cara untuk mengatakan Tuhan kadang-kadang mengungkapkan dirinya
sendiri bagai seorang Pribadi dengan bentuk-bentuk kepada para pemujanya. Tetapi dengan
bangkitnya matahari pengetahuan, es itu mencair; lalu orang tidak melihat Dia sebagai seorang
pribadi, tidak pula orang melihat bentuk-bentuknya. Lalu siapakah yang menjelaskan siapa? Ego
secara sempurna telah lenyap. “
Murid : “ guru, mengapa ada demikian banyaknya perbedaan opini tentang hakikat Tuhan
?”
Sri Ramakrishna : “ sesungguhnya mereka tidak berlawanan. Sebagaimana manusia
mewujudkannya, demikianlah Dia mengekspresikan dirinya. Bila seseorang telah mencapaiNya,
maka dia tidak menemukan kontradiksi kabir biasa berkata;’ Yang Mutlak yang tanpa bentuk
adalah Ayahku, dan Tuhan dengan bentuk adalah Ibuku.’”
Murid :” Guru, dapatkah orang melihat Tuhan? Bila dapat mengapa kita tidak dapat
melihatnya?”
Sri Ramakrishna :”Ya, Dia pasti dapat dilihat. Orang dapat melihat Dia dengan bentuk,
dan orang juga dapat melihat dia tanpa bentuk.”
Murid :” lalu dengan cara apa orang dapat melihat Dia?”
Sri Ramakrishna :” Dapatkah kamu menangis untuk Dia dengan kerinduan hati yang
dalam? Orang yang mengucurkan secangkir penuh bagi anak-anak, istri dan uangnya. Tetapi
siapakah yang menangis untuk Tuhan? Selama seorang anak asyik dengan bonekanya, sang ibu
akan sibuk dengan urusan rumah tangga. Ketika sang anak bosan dengan bonekanya,
melemparkannya ke samping dan menangis mencari ibunya, maka sang ibu akan lari terburuburu, mengambil sang anak dan memeluknya.”
Tuhan tidak bersembunyi. Dia tidak malu atau takut kepada siapapun atau apapun, karena
itu Dia tidak perlu bersembunyi. Ada yang memberi alasan kalau Dia menampakkan diriNya,
cahayaNya akan membutakan manusia. Tetapi bukankah Dia dapat mengatur agar cahanya tidak
membutakan manusia, bahkan membuat mata manusia menjadi jernih? Jadi Dia tidak
bersembunyi. Dia ada disini, di dunia ini, selalu bersama kita. Hanya saja mata fisik kita tidak
dapat menjangkaunya. Karena Dia memang bukan hal fisik.
Adanya Tuhan menurut Upanisad bukan hanya ide seperti yang dikatakan oleh Plato,
Descartes, dan Kant. Adanya manusia menurut Upanisad disebut Sat, Chit, Ananda, yaitu : Ada
yang sebenarnya dan abadi, melebihi ada-ada yang lain yang sementara (asat), Kesadaran Murni
dan Kebahagiaan tertinggi, dan karena itu Dia dapat dialami. Pengetahuan mengenai Tuhan tidak
semata bersifat a priori, hanya ada dan sebagai hasil dari intelek, tetapi juga bersifat a posteriori,
sebagai hasil pengalaman. Pendapat Kahn bahwa ” Tuhan tetap tegar berada di dalam budi dan
tidak ada jembatan dapat dibangun dari dunia ide ke dunia kenyataan” ditolak oleh Upanisad dan
para yogi Hindu.
2. Konsep ketuhanan
Salah satu bentuk penerapan monoteisme Hindu di Indonesia adalah konsep Padmasana,
sebuah tempat sembahyang Hindu untuk memuja Brahman atau "Tuhan Sang Penguasa".
Agama Hindu merupakan agama tertua di dunia dan rentang sejarahnya yang panjang
menunjukkan bahwa agama Hindu telah melewati segala paham ketuhanan yang pernah ada di
dunia. Menurut penelitian yang dilakukan oleh para sarjana, dalam tubuh Agama Hindu terdapat
beberapa konsep ketuhanan, antara lain henoteisme, panteisme, monisme, monoteisme,
politeisme, dan bahkan ateisme. Konsep ketuhanan yang paling banyak dipakai adalah
monoteisme (terutama dalam Weda, Agama Hindu Dharma dan Adwaita Wedanta), sedangkan
konsep lainnya (ateisme, panteisme, henoteisme, monisme, politeisme) kurang diketahui.
Sebenarnya konsep ketuhanan yang jamak tidak diakui oleh umat Hindu pada umumnya karena
berdasarkan pengamatan para sarjana yang meneliti agama Hindu tidak secara menyeluruh.
Monoteisme
Dalam agama Hindu pada umumnya, konsep yang dipakai adalah monoteisme. Konsep
tersebut dikenal sebagai filsafat Adwaita Wedanta yang berarti "tak ada duanya". Selayaknya
konsep ketuhanan dalam agama monoteistik lainnya, Adwaita Wedanta menganggap bahwa
Tuhan merupakan pusat segala kehidupan di alam semesta, dan dalam agama Hindu, Tuhan
dikenal dengan sebutan Brahman.
Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman merupakan sesuatu yang tidak berawal namun
juga tidak berakhir. Brahman merupakan pencipta sekaligus pelebur alam semesta. Brahman
berada di mana-mana dan mengisi seluruh alam semesta. Brahman merupakan asal mula dari
segala sesuatu yang ada di dunia. Segala sesuatu yang ada di alam semesta tunduk kepada
Brahman tanpa kecuali. Dalam konsep tersebut, posisi para dewa disetarakan dengan malaikat
dan enggan untuk dipuja sebagai Tuhan tersendiri, melainkan dipuji atas jasa-jasanya sebagai
perantara Tuhan kepada umatnya.
Filsafat Adwaita Wedanta menganggap tidak ada yang setara dengan Brahman, Sang
pencipta alam semesta. Dalam keyakinan umat Hindu, Brahman hanya ada satu, tidak ada
duanya, namun orang-orang bijaksana menyebutnya dengan berbagai nama sesuai dengan
sifatnya yang maha kuasa. Nama-nama kebesaran Tuhan kemudian diwujudkan ke dalam
beragam bentuk Dewa-Dewi, seperti misalnya: Wisnu, Brahma, Siwa, Laksmi, Parwati,
Saraswati, dan lain-lain. Dalam Agama Hindu Dharma (khususnya di Bali), konsep Ida Sang
Hyang Widhi Wasa merupakan suatu bentuk monoteisme asli orang Bali.
Panteisme
Dalam salah satu Kitab Hindu yakni Upanishad, konsep yang ditekankan adalah
panteisme. Konsep tersebut menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki wujud tertentu maupun
tempat tinggal tertentu, melainkan Tuhan berada dan menyatu pada setiap ciptaannya, dan
terdapat dalam setiap benda apapun, ibarat garam pada air laut. Dalam agama Hindu, konsep
panteisme disebut dengan istilah Wyapi Wyapaka. Kitab Upanishad dari Agama Hindu
mengatakan bahwa Tuhan memenuhi alam semesta tanpa wujud tertentu, beliau tidak berada di
surga ataupun di dunia tertinggi namun berada pada setiap ciptaannya.
Ateisme
Agama Hindu diduga memiliki konsep ateisme (terdapat dalam ajaran Samkhya) yang
dianggap positif oleh para teolog/sarjana dari Barat. Samkhya merupakan ajaran filsafat tertua
dalam agama Hindu yang diduga mengandung sifat ateisme. Filsafat Samkhya dianggap tidak
pernah membicarakan Tuhan dan terciptanya dunia beserta isinya bukan karena Tuhan,
melainkan karena pertemuan Purusha dan Prakirti, asal mula segala sesuatu yang tidak berasal
dan segala penyebab namun tidak memiliki penyebab. Oleh karena itu menurut filsafat Samkhya,
Tuhan tidak pernah campur tangan. Ajaran filsafat ateisme dalam Hindu tersebut tidak ditemui
dalam pelaksanaan Agama Hindu Dharma di Indonesia, namun ajaran filsafat tersebut
(Samkhya) merupakan ajaran filsafat tertua di India. Ajaran ateisme dianggap sebagai salah satu
sekte oleh umat Hindu Dharma dan tidak pernah diajarkan di Indonesia.
Konsep lainnya
Di samping mengenal konsep monoteisme, panteisme, dan ateisme yang terkenal, para
sarjana mengungkapkan bahwa terdapat konsep henoteisme, politeisme, dan monisme dalam
ajaran agama Hindu yang luas. Ditinjau dari berbagai istilah itu, agama Hindu paling banyak
menjadi objek penelitian yang hasilnya tidak menggambarkan kesatuan pendapat para Indolog
sebagai akibat berbedanya sumber informasi. Agama Hindu pada umumnya hanya mengakui
sebuah konsep saja, yakni monoteisme. Menurut pakar agama Hindu, konsep ketuhanan yang
banyak terdapat dalam agama Hindu hanyalah akibat dari sebuah pengamatan yang sama dari
para sarjana dan tidak melihat tubuh agama Hindu secara menyeluruh. Seperti misalnya, agama
Hindu dianggap memiliki konsep politeisme namun konsep politeisme sangat tidak dianjurkan
dalam Agama Hindu Dharma dan bertentangan dengan ajaran dalam Weda.
Meskipun banyak pandangan dan konsep Ketuhanan yang diamati dalam Hindu, dan
dengan cara pelaksanaan yang berbeda-beda sebagaimana yang diajarkan dalam Catur Yoga,
yaitu empat jalan untuk mencapai Tuhan, maka semuanya diperbolehkan. Mereka berpegang
teguh kepada sloka yang mengatakan : Jalan mana pun yang ditempuh manusia kepada-Ku,
semuanya Aku terima dan Aku beri anugerah setimpal sesuai dengan penyerahan diri mereka.
Semua orang mencariku dengan berbagai jalan, wahai putera Partha (Arjuna)
SIMPULAN
Dari uraian yang telah dipaparkan diatas, maka dapat disimpulkan maksud dari ungkapan
“ Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata “ adalah upaya untuk mendefinisikan Tuhan
oleh umatnya dengan kata-kata dengan segala kemampuan yang dimiliki oleh-Nya berdasarkan
atas pengamatan indera manusia. Upaya untuk mendefinisikan Tuhan ini sebagai sosok Tuhan
yang berpribadi (imanen) sangat bertentangan dengan Tuhan yang transeden. Jadi dapat
disimpulkan, bahwa tak ada kata-kata yang mampu untuk mendefinisikan Tuhan itu sendiri
walaupun dengan segala ke “Maha” an-Nya.
SARAN
Terkait dengan penelitian tentang Ia Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata, maka
sebagai penutup dapat diberikan beberapa masukan atau saran-saran sebagai berikut :
1. Kepada umat sedharma berkaitan dengan tema di atas supaya dalam pelaksanaan bhakti
kepada Hyang Widhi Wasa senantiasa perlu diingat bahwa dikatakan orang bijak
menyebutnya Tuhan dengan banyak nama akan tetapi Tuhan itu hanya satu, dan juga
terdapat nilai-nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya.
2. Kepada Lembaga Hindu seperti PHDI Pusat, PSN Pusat, Paruman Walaka,
Lembaga
Akademik yaitu STAH Negeri maupun Swasta serta Pemerintah yaitu Dirjen Bimas
Hindu Pusat agar selalu memberikan pembinaan kepada umatnya khususnya PHDI, PSN,
Paruman Walaka serta Dirjen Hindu supaya umat sedharma mengetahui betul apa itu Ia
Yang Melumpuhkan Semua Kemampuan Kata dan bisa dijadikan pedoman bagi umat
Hindu di masa yang akan datang. Sedangkan untuk lembaga akademik bisa memberikan
Dharma Wacana ataupun Dharma Tula kepada Umat sedharma.
DAFTAR PUSTAKA
Katha Upanisad
Monier, 1993, Bahasa Sanskerta, Denpasar, Tanpa Penerbit
Putra, Ngakan Putu, 2008. Tuhan Upanisad – Menyelamatkan Masa Depan Manusia. Denpasar :
Media Hindu.
Tim Penyusun. 2006. Kamus Istilah Agama Hindu. Denpasar : Pemerintah Provinsi Bali
Download