Perempuan di Israel Kuno

advertisement
Perempuan di Israel Kuno
 Ketika seorang perempuan belum menikah, ia adalah
milik ayahnya. Ketika ayahnya tidak ada lagi maka ia
adalah milik saudara laki-lakinya. Ketika ia menikah
maka ia adalah milik suaminya seutuhnya. Ketika
suaminya meninggal, maka seorang perempuan
adalah milik anak laki-lakinya.
 Masyarakat Israel  kehidupan seorang perempuan
tidak pernah lepas dari perlindungan dan pengawasan
anggota keluarga laki-laki yang dominan.
 Perempuan baik-baik  mampu menjaga kekudusan
dirinya dengan cara mengikatkan dirinya secara
ekslusif kepada satu laki-laki di dalam rumah
tangganya.
 Perempuan tidak baik/berbahaya dia yang tidak
mampu menjaga batasan-batasan yang telah
ditetapkan bagi dirinya.
 Pelanggaran terhadap batasan  melibatkan dirinya
secara seksual dengan laki-laki di luar rumah
tangganya.
 Contoh perempuan berbahaya  seorang pelacur
yang hidup di luar sistem patriarkal yang berlaku
yang mengatur perempuan untuk menjalankan
fungsi-fungsi domestik di bawah kekuasaan dan
pengawasan dari laki-laki tertentu.
 Pusat kehidupan masyarakat Israel kuno: bet ab
(rumah bapa).
 keluarga adalah sebuah strategi di mana anggotaanggotanya berpartisipasi di dalamnya dan
memanfaatkan materi-materi yang tersedia untuk
memenuhi kebutuhan produktif dan reproduktif
manusia.
 Sebuah rumah tangga adalah seseorang atau
sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu
atau lebih struktur, yang melaksanakan kegiatan
sehari-hari yang diperlukan untuk pemeliharaan dan
pereproduksian kelompok sosial dalam ruang khusus
yang terkait dengan tempat tinggal, dan yang
berinteraksi dengan rumah tangga lain.
 Adapun kegiatan-kegiatan sehari-hari yang berfungsi
untuk menopang anggota-anggota keluarga dan
ruang bersama mereka adalah mempersiapkan
makanan, membuang sampah, membesarkan anak-
anak, menanam dan merawat tanaman-tanaman di
pekarangan rumah yang dapat dikonsumsi,
membersihkan rumah, mandi, mencuci pakaian, dan
bersosialisai.
• Satu keluarga Israel biasanya terdiri dari ayah, ibu,
anak-anaknya laki-laki beserta dengan istri-istri
mereka dan anak-anak mereka, anak-anak baik lakilaki maupun perempuan yang belum menikah
maupun anak-anak perempuan yang telah
dikembalikan oleh suami mereka atau yang telah
menjadi janda, dan satu atau lebih orang tua mereka.
 Di dalam konteks sosial seperti ini, seksualitas
dikonstruksikan sebagai sebuah realitas di dalam
keluarga.
 Laki-laki yang dominan mempunyai kontrol seksual
atas para perempuan di dalam rumah tangganya dan
kelangsungan rumah tangga tersebut sangat
bergantung pada aktivitas-aktivitas seksual yang
dapat menuntun kepada prokreasi; hal ini merupakan
unsur yang penting mengingat bahwa suatu rumah
tangga hanya dapat menjamin kelangsungan
kehidupan sosial dan perekonomiannya ketika
keluarga tersebut dapat menjaga jumlah anggota
keluarganya sehingga tidak berkurang.
 Seksualitas dikonstruksi sebagai aktivitas laki-laki di
dalam rumah tangga dan dirancang untuk
memaksimalkan tingkat kesuburan suatu rumah
tangga.
 Di dalam kebudayaan Israel sendiri, keluarga
dipandang sebagai satu kesatuan tubuh yang utuh
yang memiliki batasan-batasan yang harus dijaga dan
diperhatikan.
 Seksualitas sendiri dimaksudkan untuk selalu berada
di dalam rumah tangga sehingga batasanbatasannyapun tidak boleh dilanggar.
 Sistem nilai-nilai ini mengorganisir dan mengatur
seksualitas, menciptakan serangkaian hukum, adat
istiadat, dan norma-norma serta sarana penegakan
hukum yang semuanya didasarkan pada integritas
dan keutuhan pola rumah tangga Israel di dalam
keterhubungannya dengan integritas dan keutuhan
tubuh individu.
 Jadi terdapat hubungan yang erat di antara tubuh
individu dan tubuh sosial dari rumah tangga terutama
di dalam struktur pengaturan nilai-nilai seksual di
dalam dunia Israel kuno.
 Hubungan yang erat ini menyebabkan setiap rumah
tangga tidak boleh membuang cairannya seperti
sperma dan darah penanda keperawanan seorang
perempuan; sebaliknya setiap cairan yang ada harus
disimpan di dalam keluarga saja.
 Perempuan ditambahkan di dalam sebuah keluarga
dan dipelihara di dalam rumah tangga tersebut dalam
rangka melindungi kesucian mereka dan mengontrol
seksualitas mereka.
 Di sinilah transaksi pembelian atau penukaran
perempuan di dalam rumah tangga dilakukan pada
saat para perempuan tersebut masih berusia muda
dan kemudian masyarakat mengatur hukum-hukum
dalam rangka menjamin kesucian para perempuan
tersebut.
 Hal ini dapat dilihat di dalam hukum-hukum Israel
seperti yang tertulis di dalam Ulangan 22:13-21. Di
dalam penjelasannya akan makna hukum tersebut,
Berquist mengatakan bahwa seorang perempuan
selalu berada di dalam resiko dan membawa resiko
tersebut ke dalam sebuah rumah tangga karena
kemungkinan bahwa ia membawa kejahatan
bersama-sama dengannya.
 Di dalam kebudayaan seperti ini, seorang perempuan
dianggap mengawali kehidupannya di dalam keadaan
suci namun dapat menjadi tidak suci melalui kontak
secara seksual.
 Berquist menjelaskan bahwa melalui kontak seksual
para perempuan menerima di dalam diri mereka
cairan-cairan laki-laki yang memang hanya
dimaksudkan untuk rumah tangga sang laki-laki
tersebut.
 Seorang perempuan yang memasuki sebuah rumah
tangga dengan membawa serta dengannya cairancairan dari rumah tangga lain dianggap bersalah
karena telah tercemar.
 Di sini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa
masyarakat Israel sangat menghargai para perempuan
yang masuk ke dalam rumah tangga-rumah tangga di
dalam keadaan perawan; ketika mereka tidak
memiliki kontak seksual apapun sebelumnya.
 Demikianlah di dalam kondisi seperti ini, maka
seorang perempuan akan berada di dalam posisi yang
aman jika tidak ada seorang laki-lakipun dari rumah
tangga yang lain yang telah lebih dahulu melanggar
batasannya dan “masuk” ke dalam tubuh/dirinya.
 Di sinilah, cairan yang berasal dari selaput darah
menandakan bahwa sang perempuan adalah suci
untuk memasuki rumah tangga tanpa membawa
bahaya apapun ke dalam rumah tangga barunya
tersebut.
 Namun demikian seksualitas telah di “desacralized”
namun tidak di “demonized” atau dikutuk.
 Seksualitas dibicarakan sebagai bagian dari realitas
sosial, sebagai pertanyaan atas regulasi sosial.
 Tempat yang tepat untuk membicarakan seksualitas
adalah hukum.
 Keadaan ideal yang dibayangkan oleh Alkitab adalah
perkawinan  keluarga inti yang bersifat monogami
yang ditetapkan oleh Allah dari sejak awal keberadaan
manusia.
 Di dalam konteks pernikahan, seks diperbolehkan
dan bahkan didorong (Kej 3:16); di dalam Ul 20:7
 Dan siapa telah bertunangan dengan seorang
perempuan, tetapi belum mengawininya? x Ia
boleh pergi dan pulang ke rumahnya, supaya
jangan ia mati dalam pertempuran dan orang lain
yang mengawininya;
 Ul 24:5  Apabila baru saja seseorang mengambil isteri,
janganlah ia keluar bersama-sama dengan tentara maju
berperang atau dibebankan sesuatu pekerjaan; satu tahun
lamanya ia harus dibebaskan untuk keperluan rumah
tangganya dan menyukakan hati perempuan yang telah
diambilnya menjadi isterinya.
 Di dalam Amsal 5:17-18  Biarlah itu menjadi
kepunyaanmu sendiri, jangan juga menjadi kepunyaan
orang lain. Diberkatilah kiranya sendangmu, w
bersukacitalah dengan isteri masa mudamu.
 Seksualitas memiliki sebuah tempat di dalam aturan sosial
di mana ia mengikat dan menciptakan keluarga.
 Hukum-hukum tentang hubungan seksual
diberikan untuk mengontrol perilaku-perilaku
seksual dengan cara menggambarkan ukuran
yang tepat bagi aktivitas seksual  pada
hubungan2 dan waktu di mana hal itu diijinkan.
 Hubungan seks antar sesama anggota keluarga sangat
dilarang (Im 18 dan 20; Ul 27). Hukum-hukum ini
bertujuan untuk menjelaskan tentang garis keluarga.
 Hubungan seks antar keluarga akan mengaburkan
garis keturunan di dalam keluarga dan akan berakibat
hancurnya hubungan keluarga  Im 20:10-27.
Seksualitas dan kekerasan:
Pemerkosaan Dina?
 Sikhem berhubungan seksual dengan Dina tanpa
sepengetahuan keluarganya dengan demikian ia
memperlakukan Dina seperti seorang pelacur 
perempuan yang dapat mengambil sendiri keputusan bagi
dirinya sendiri karena seksualitasnya tidak merupakan
bagian dari struktur keluarganya.
 Dina memiliki keluarga sehingga tindakan berhubungan
tanpa sepengetahuan keluarga dianggap tidak pantas.
 Keinginan ayah Sikhem untuk menggabungkan dua
keluarga yang berbeda (intermarriage) merupakan
ancaman bagi keluarga Yakob yang membedakan diri
mereka sebagai suatu unit yang berbeda/terpisah.
 Tindakan seksualitas Sikhem mengancam kontrol
keluarga Yakub atas garis keturunan mereka
(larangan pernikahan dengan orang asing).
 Masalah seksualitas juga merupakan persoalan
masyarakat Israel secara keseluruhan.
Lalu bagaimana tentang Dina?
Ada apa dengan Tamar?
 Cerita Tamar  bukanlah tentang hubungan seksual
yang dilakukan secara premature atau belum pada
waktunya melainkan tentang kekerasan seksual.
 Meskipun telah menolak, namun Tamar diperkosa
oleh Amnon kakaknya yang berasal dari satu ayah lain
ibu.
 Pemerkosaan dan kekerasan seksual  sering
diindikasikan dengan selimut “incest”.
 Namun analisa feminist menunjukkan bahwa bentuk
kekerasan ini diwariskan di dalam struktur kekuasaan
patriarkal.
Pertanyaan:
 Apakah fenomena “menyalahkan korban” (Daly 1973:
49) muncul dan pelakunya diampuni? Apakah
perkosaan merupakan konsekuensi logis dari struktur
kekuasaan yang dominan?
 Analisa relasi kekuasaan oleh Joke Schrijvers dapat
digunakan.
 Menurut Schrijvers, penindasan yang ekstrim
terhadap perempuan dapat terjadi pada saat:
 Di mana para perempuan tidak mengendalikan
seksualitas dan kesuburan mereka sendiri. Mereka
bertanggung jawab untuk merawat dan memelihara
anak-anak dan anggota-anggota lainnya di dalam
rumah tangga.
 Di mana perempuan tidak mandiri secara finansial
melainkan bergantung pada para laki-laki atau
dieksploitasi melalui pemberian gaji yang sangat
rendah dengan jumlah pekerjaan yang sangat berat.
 Di mana perempuan diisolasi dari kontak dengan
perempuan lain baik secara fisik maupun sosial.
 Di mana menurut jalan pemikiran yang dominan dan
menurut pemikiran para perempuan sendiri, mereka
adalah lebih rendah atau inferior dari para laki-laki –
baik sehubungan dengan pekerjaan, tubuh dan
kepandaian mereka.
 Di dalam budaya patriarkhal sendiri, bentuk
kekuasaan dan kekerasan menyusup di dalam bentuk
pikiran dan perasaan dalam hal ini perempuan hidup
di dalam ketakutan, tidak merasa aman sehingga
selalu mengantisipasi kemungkinan terjadinya
kekerasan.
 Guna menghindari kekerasan maka perempuan harus




hidup di dalam kepatuhan yang berasal dari dirinya
sendiri tanpa dituntut atau dipaksa oleh kaum lakilaki.
Di dalam cerita Tamar  cinta yang ada pada
permulaan kemudian berubah menjadi benci. Inti
dari cerita Tamar  pembalikan cinta menjadi benci.
Cerita diawali dengan perasaan cinta yang menggebugebu dari Amnon kepada saudarinya Tamar.
Namun keperawanan Tamar menjadi
masalah/penghalang baginya.
Keperawanan seorang perempuan menjadi batasan
yang tidak boleh dilanggar.
 Kecuali ketika sang perempuan diberikan oleh
ayahnya sendiri. Berarti ia adalah properti atau
barang pusaka ayahnya.
 Oleh karena itu satu-satunya orang yang dapat
menyingkirkan penghalang tersebut adalah ayahnya
Daud.
 Atas seijin Daud, Amnon berhasil menggiring Tamar
ke dalam kamarnya dan meminta Tamar untuk
membuat dan menyuapinya dengan makanan. Di
situlah terjadi adengan pemaksaan Amnon atas
Tamar untuk tidur dengannya.
 Ketika Tamar menolak maka dengan kekuatannya, ia
memaksa Tamar.
 Tamar telah menjadi objek nafsu/hasrat Amnon dan
setelah berhasil memenuhi hasratnya maka sang
objek nafsu berubah menjadi objek kebencian.
 Di sinilah mekanisme menyalahkan korban muncul.
 Mata yang hanya sanggup melihat “sang lain” sebagai
sebuah objek dan kemudian menginginkannya
ternyata tidak sanggup untuk menghadapi tatapan
balik dari sang lain tersebut karena tatapan mata itu
akan menelanjangi kebenaran tentang siapa
sebenarnya diri (sang pemerkosa).
 Perubahan sikap Amnon dapat dilihat ketika ia tidak
lagi memanggil Tamar dengan sebutan “adikku.”
 Ia dengan tidak berperikemanusiaan mengusir
adiknya dari hadapannya. Inilah kejahatan terbesar
yang tidak dapat ditanggung oleh Tamar karena
begitu ia diusir maka ia bukan hanya menjadi bahan
olokan dan kebencian satu orang laki-laki saja melain
objek kebencian yang bersifat kolektif  sehubungan
dengan keperawanannya.
 Di tangan saudara laki-lakinya Absalom, ia disuruh
untuk tutup mulut.
 Tamar menjadi seorang yang terbuang di rumah
saudaranya Absalom.
 Menurut Fokkelman, perkataan Absalom
menandakan keinginannya untuk menyelesaikan
sendiri permasalahan adiknya dan oleh karena itu
melarang Tamar untuk mengambil tindakan-tindakan
hukum.
 Di sinilah terkadang, orang ingin membantu korban
pemerkosaan dengan cara mengambil alih proses
hukum tanpa melibatkan sang korban sehingga tanpa
sadar telah mendiamkan korban tersebut.
 Korban  sendiri, diabaikan, dan tidak dipedulikan.
 Sepintas Tamar patuh pada perintah ayah dan kakakkakaknya bahkan yang mencelakakan dirinya
sekalipun.
 Namun jika kita cermat maka kita bisa melihat
bentuk perlawanan Tamar yang luar biasa kuatnya.
 Bertekad untuk menyelamatkan kehormatannya, ia
dengan berani menyingkapkan arti yang sebenarnya
dari tindakan Amnon  ia menyingkapkan siapa
Amnon sebenarnya yaitu sebagai salah satu orang
bodoh di Israel.
 Kekuatan yang terpancar dari kata-katanya dan dari
cara ia mengekspresikan kesedihannya jelas-jelas
tidak menunjukkan kesaksian yang negatif tentang
“cara memandang diri” yand dimiliki oleh seorang
Tamar.
 Bahkan di dalam peranannya sebagai seorang korban,
ia tetap menyingkapkan harga dirinya.
 Meskipun demikian ia tidak berhasil mematahkan
struktur kekuasaan yang ada melainkan hanya sampai
pada tahap menelanjangi.
 Hal yang ditelanjangi oleh Tamar: tindakan
pemerkosaan/kekerasaan seksual dapat terjadi
melalui hubungan-hubungan kekuasaan, melalui
kerjasama sejumlah laki-laki seperti Yonadab, Daud
dan Amnon. Kakaknyapun memaksa saudarinya
untuk diam. Ada lingkaran kekuasaan yang
menyebabkan terjadinya kasus pemerkosaan tersebut
dan mengarahkan pada “menyalahkan korban.”
 Dengan hanya mengumandangkan Amnon sebagai
sang pemerkosa, sebagai yang bersalah maka tanpa
sadar membiarkan para laki-laki yang lainnya cuci
tangan.
 Hal ini akan dapat terus melanggengkan tindakan
pemerkosaan.
Kekerasan Seksual di Indonesia
 Sama halnya dengan dunia Israel kuno, ruang gerak
perempuan di Indonesia dibagi menjadi dua bagian
yaitu “ruang aman” dan “ruang beresiko.”
 Ruang aman  tempat-tempat yang boleh didiami
dan dikunjungi oleh perempuan seperti rumahnya;
waktu-waktu aman di mana perempuan boleh keluar
rumah seperti sebelum jam 6 sore; pakaian-pakaian
yang boleh dikenakan oleh perempuan: tertutup,
sopan, tidak berlebihan.
 Ruang beresiko  ruang yang “off-limit”; di luar
rumah setelah jam 6 sore; menggunakan pakaianpakaian yang mini menunjukkan lekuk tubuh ada
kesan seolah-olah “meminta untuk digoda”
 Pembagian ruang ini menciptakan “budaya takut” di
dalam diri perempuan. Ia takut melanggar batasan
ruang yang telah ditetapkan bagi dirinya.
 Hal ini dikenal dengan “geografi ketakutan”  ruangruang yang dihindari oleh perempuan guna
melindungi diri mereka dari pelecehan seksual.
 Ruang-ruang ini membelenggu perempuan; mereka
adalah ruang-ruang patriarki.
 Jika ada perempuan yang berani melanggar ruang
tersebut maka kesan yang diperoleh adalah bahwa
perempuan tersebut “butuh” untuk diperkosa. Seolaholah perempuan suka ketika melihat “hasrat” laki-laki
yang tinggi terhadap dirinya.
 Hingga jika perempuan menggunakan pakaianpakaian mini maka seolah-olah ia minta untuk
diperkosa dan bahwa ia menikmati hal tersebut.
 Hal ini sama dengan yang terjadi di dalam budaya
Israel kuno yang telah dipaparkan; bahwa “budaya
takut” adalah produk masyarakat patriarkhi sehingga
setiap perempuan telah diharapkan untuk selalu
berjaga-jaga akan adanya kemungkinan untuk
diperkosa.
 Jika pada akhirnya perempuan diperkosa maka itu
pasti diakibatkan karena kegagalannya untuk
melindungi dirinya dari batasan-batasan yang telah
ditetapkan.
 Korbanlah yang bertanggung jawab sementara pihak
pemerkosa hanya melakukan apa yang dia harus
lakukan ketika kesempatan memerkosa itu datang.
 Ada kesan bahwa pemerkosaan adalah hak laki-laki
ketika perempuan gagal melindungi dirinya.
 Di sini kita mengenal satu lagi ruang yaitu “ruang
malu” di mana segala tuduhan ditujukan kepada
korban pemerkosaan.
 Di sini kembali kita melihat hubungan antara
kekuasaan patriarkhi dan seksualitas.
 Tamar menyapa kita dengan “ruang otonomi” yaitu
ruang belas kasih/compassion, integritas dan
solidaritas.
 Para perempuan harus mengklaim kembali
kemerdekaannya untuk hidup melampaui “ruang
aman” dan “ruang resiko” dengan menciptakan ruang
yang lain yaitu “ruang otonomi” – ruang ketiga yang
bukan aman maupun beresiko.
Download