SKRIPSI KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN AHLI FORENSIK DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BAYI OLEH IBUNYA (Tinjauan Yuridis Putusan No. 147/Pid.B/2013/PN.Pwt.) SKRIPSI Disusun oleh: SHELLANIKA ARI ASTUTI E1A110005 Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014 i ii SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya, Nama : SHELLANIKA ARI ASTUTI NIM : E1A110005 Judul SkripsI : KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN AHLI FORENSIK DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BAYI OLEH IBUNYA (Tinjauan Yuridis Putusan No. 147/Pid.B/2013/PN.Pwt.) Menyatakan bahwa skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya sendiri dan tidak menjiplak hasil karya orang lain maupun dibuatkan oleh orang lain. Dan apabila terbukti saya melakukan Pelanggaran sebagaimana tersebut di atas, maka saya bersedia dikenakan sanksi apapun dari fakultas. Purwokerto, 12 November 2014 Shellanika Ari Astuti NIM. E1A110005 iii KATA PENGANTAR Syukur Alhamdulilah penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, setelah melalui proses yang panjang, suka duka dan jatuh bangun, akhirnya skripsi dengan judul: “KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN AHLI FORENSIK DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BAYI OLEH IBUNYA (Tinjauan Yuridis Putusan No. 147/Pid.B/2013/PN.Pwt.)” telah terselesaikan. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini dengan segenap rasa hormat dan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Angkasa, S. H., M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman dan juga Dosen Pembimbing Akademik atas motivasi dan nasihat-nasihat dalam berproses dari awal di Fakultas Hukum; 2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I atas segala ilmu dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis selalu terpacu untuk bangkit dan berpikir lebih baik; 3. Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II atas segala ilmu, nasihat, dan perhatian yang telah diberikan kepada penulis selama ini sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini; 4. Handri Wirastuti Sawitri, S.H, M.H., selaku dosen penguji atas segala saran dan masukan yang diberikan kepada penulis; iv 5. Seluruh dosen, staf, dan karyawan Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman; 6. Mama Ratna dan Papa Pramono, yang selalu memberi semangat pada anaknya hingga detik ini. Mas Billy, Tante Dewi, Om Bayu, Eyang uti dan seluruh keluarga yang selalu mendoakan hingga skripsi ini selesai; 8. Teman-teman perjuangan 2010 yang setia menemani dari awal di Fakultas Hukum hingga hari kelulusan saya. Akhir kata, skripsi ini hanyalah hasil karya manusia yang memiliki banyak kekurangan, adanya kritik dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca maupun pihak lain yang membutuhkan. Amin. Purwokerto, 12 November 2014 Penulis, SHELLANIKA ARI ASTUTI v KEKUATAN PEMBUKTIAN KETERANGAN AHLI FORENSIK DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BAYI OLE IBUNYA (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor : 147/PID.B/2013/PN.PWT) Oleh : Shellanika Ari Astuti E1A110005 ABSTRAK Pemanfaatan ilmu kedokteran forensik dalam penegakan hukum dan keadilan membutuhkan dokter sebagai saksi ahli medis di pengadilan. Saksi ahli pada dasarnya adalah orang yang memiliki pengetahuan, pengalaman dan keterampilan khusus sebagai dasar dalam memberikan keahlian yang disebabkan penjahat. Kewajiban dokter untuk membuat penjelasan ahli diatur dalam kitab hukum dalam kejahatan dan di hadapan etika medis. Tenaga medis dokter sebagai saksi ahli dapat diminta oleh jaksa atau pengacara tersangka atas persetujuan hakim . Dokter dapat sebagai saksi fakta (dokter yang merawat) atau sebagai saksi pendapat (saksi ahli independen), tergantung pada informasi yang dibutuhkan di pengadilan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa keterangan ahli forensik diperlukan dalam Tindak Pidana Nomor : 147/Pid.B/2013/PN.Pwt, dan untuk mengetahui bagaimana kekuatan pembuktian keterangan ahli forensik dalam Putusan Tindak Pidana Nomor : 147/Pid.B/2013/PN.Pwt. Penelitian ini menggunakan metode pendekatanYuridis Normatif yaitu dengan cara menelaah bahan pustaka (data sekunder) yang ada. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah normatif kualitatif yaitu mengolah dan menafsirkan berdasarkan pada putusan maupun perundang-undangan yang berkaitan dengan penelitian. Penelitian yang dilakukan dari Putusan Nomor: 147/Pid.B/2013/PN. Pwt diperoleh hasil sebagai berikut: Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli Forensik Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya (Tinjauan Yuridis Putusan Nomor : 147/Pid.B/2013/Pn.Pwt) yaitu, Ahli dihadirkan di persidangan adalah untuk mengetahui penyebab utama kematian korban, memperkirakan saat kematian korban dan memperkirakan cara kematian korban. Kekuatan alat bukti keterangan ahli dalam tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibunya merupakan alat bukti yang sah dan bersifat bebas. Kata Kunci :Keterangan Ahli Forensi vi ABSTRACT The utilization of forensic medical science in law enforcement and justice requires a medical doctor as an expert medical witness in court. An expert witness is basically a person who has knowledge, experience and special skill as a basis in providing expertise which is caused a criminal. The obligation of the doctor to make expert explanation is arranged in the book of the law in the crime and in medical ethics. The presence of the doctor as an expert witness can be requested by the prosecutor or the lawyer of the suspect upon approval the judge. Doctors can be as a witness of fact (the treating doctor) or as a witness of opinion (the independent expert witness), depending on the information needed at the court. This study aims to determine why a forensic expert testimony is required in Verdict No. 147/Pid.B/2013/PN.Pwt, and to know how the strength of evidence in a forensic expert testimony Verdict No. 147/Pid.B/2013/PN.Pwt. This study used a normative juridical approach to examine available library materials (secondary data). The method used in this study is qualitative normative that the process and the interpretation is based on a decision or regulation relating to research. Research conducted on the verdict No.147/Pid.B/2013/PN.Pwt. obtained the following results: Strength of Evidence Specification Expert Forensic Crime Murder In Baby By Her mother (Judicial Review Verdict No. 147/Pid.B/2013/PN.Pwt), are: Expert presented at trial was to determine the main cause of death of the victim, victim's estimated time of death and estimate the time ematian victims. The strength of the evidence expert testimony in criminal acts of infanticide by the mother is the legal evidence and is free. Keywords: Forensic expert testimony vii DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………………………………………………….…. i HALAMAN PENGESAHAN ………………………………………………... ii LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………….…….. iii PRAKATA ……………………………………………………………….……. iv ABSTRAK ………………………………………………………………….…. vi ABSTRACT ……………………………………………………………………. vii DAFTAR ISI …………………………………………………………………. viii BAB I. PENDAHULUAN……………………………………………….…… 1 A. Latar Belakang Masalah ………..…….………..…………....….… 1 B. Perumusan Masalah …………………………………....……….… 7 C. Tujuan Penelitian …………………………………………..……... 8 D. Kegunaan Penelitian …………………………………….……...... 8 BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………….…………. 9 A. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana ………….…………. 9 1. Hukum Acara Pidana Secara Umum ……………….…….….. 9 2. Tujuan Hukum Acara Pidana …………………………........... 11 B. Asas Hukum Acara Pidana ………………………………...……. 15 C. Pembuktian ……………………………………………….……... 25 viii 1. Pengertian Pembuktian …………………………………….... 26 2. Alat – alat Bukti Menurut KUHAP ……………………...….. 31 3. Teori Pembuktian …………………………….…………...…. 49 D. Alat Bukti Keterangan Ahli Forensik ……………………...……. 52 1. Keterangan Ahli Forensik ……………………………............ 52 2. Visum et Repertum ………………….………………………. 56 a. Tujuan Visum et Repertum …………………..………...... 56 b. Nilai Kekuatan dan Kedudukan Hukum Visum et Repertum ………………………………………………... 57 E. Tindak Pidana Pembunuhan ………………………………….…. 58 BAB III METODE PENELITIAN ……………………………………........... 61 A. Metode Pendekatan …………………….………………………............ 61 B. Spesifikasi Penelitian …………………….………………….…............. 62 C. Sumber Data …………………….……………………………..……..... 63 D. Metode Pengambilan Bahan Hukum ……………….…………..…….... 64 E. Penyajian Data ……………….………………………………….....…... 64 F. Metode Analisis Data …………………………….……………….….... 64 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………………..…… 65 A. Hasil Penelitian …………………………………….……..…...…. 65 1. Duduk Perkara …………………………….…………………. 65 2. Surat Dakwaan …………………………………….…..…….. 67 3. Pembuktian ……………………………………….……..….... 67 ix 4. Tuntutan Pidana …………………………….……………..… 76 5. Putusan Pengadilan ……………………………….……..…... 77 a. Pertimbangan Hukum Hakim ………………….……..…. 77 b. Amar Putusan ……………………………..……………... 84 B. Pembahasan ………………………………..…………………..… 85 1. Keterangan ahli kedokteran forensik diperlukan dalam Putusan No. 147/Pid.B/2013/PN.Pwt. ………………………………… 86 2. Kekuatan alat bukti keterangan ahli kedokteran forensik dalam pembuktian tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibunya pada Putusan No. 147/Pid.B/2013/PN.Pwt. ………………….…... 102 BAB V PENUTUP …………………………………………..…………….... 115 A. Simpulan ……………………………..…………………….…... 116 B. Saran ……………………………………………………………. 116 DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………... 117 x 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum merupakan kumpulan peraturan – peraturan yang harus ditaati oleh semua orang di dalam suatu masyarakat dengan ancaman harus mengganti kerugian atau mendapat pidana jika melanggar atau mengabaikan peraturan – peraturan itu, sehingga dapat tercapai suatu pergaulan hidup dalam masyarakat itu yang tertib dan adil. Konsepsi yang mewujudkan bahwa Indonesia adalah Negara hukum pada dasarnya mempunyai sendi – sendi yang bersifat universal. Seperti pengakuan dan perlindungan hak asasi, legalitas dari tindakan Negara atau pemerintah dalam arti aparatur Negara yang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum, dan terjaminnya peradilan bebas. Pemeriksaan suatu perkara pidana didalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile waarheid) terhadap perkara tersebut. Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara tersebut. 2 Hukum pidana dibedakan menjadi dua yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat-syarat dapat dipidananya suatu perbuatan, petunjuk tentang pidana. Sedangkan hukum pidana formil mengatur bagaimana Negara melalui alatnya melakukan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat bukti yang ditentukan undang –undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa dibebaskan dari hukuman, sebaliknya, jika kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebut dalam pasal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan “bersalah”. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman, oleh karena itu, hakim harus hati – hati, cermat dan matang menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian. Pembuktian berasal dari kata bukti yang artinya adalah usaha untuk membuktikan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata pembuktian diartikan sebagai: Memperlihatkan bukti atau meyakinkan dengan bukti, sedangkan kata pembuktian diartikan sebagai proses, perbuatan cara membuktikan, usaha menunjukkan benar atau salahnya si terdakwa di dalam sidang pengadilan.1 M. Yahya Harahap berpendapat: 1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 2004, Kamus Besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. hlm. 133. 3 Pembuktian adalah ketentuan yang membatasi sidang pengadilan usaha mencari dan mempertahankan kebenaran. Baik hakim, penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum, semua terkait pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan undang-undang. Tidak boleh leluasa bertindak dengan cara sendiri dalam menilai pembuktian. Dalam mempergunakan alat bukti, tidak boleh bertentangan dengan undangundang. Terdakwa tidak bisa leluasa mempertahankan sesuatu yang dianggapnya di luar ketentuan yang telah digariskan undang-undang.2 Berkaitan dengan pembuktian maka saksi adalah orang yang mengetahui tentang suatu peristiwa pidana berdasarkan apa yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Keterangan saksi merupakan alat bukti di persidangan dan berguna dalam mengungkap duduk perkara suatu peristiwa pidana yang nantinya akan dijadikan salah satu dasar pertimbangan hakim untuk menentukan terbukti atau tidaknya perbuatan terdakwa serta kesalahan terdakwa. Dalam proses persidangan dikenal adanya beberapa macam saksi, misalnya dilihat dari pihak yang mengajukan dikenal sebutan: “saksi a charge” atau saksi yang memberatkan dan “saksi a decharge” atau saksi yang meringankan, dan dilihat dari posisi dalam peristiwa tindak pidana dikenal sebutan : “saksi korban” atau saksi yang mengalami, “saksi melihat” dan “saksi mendengar”. Jika keterangan tersebut berupa pendapat diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan, maka hal tersebut dimasukkan sebagai alat bukti “keterangan ahli”.3 Pasal 186 menyatakan bahwa keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan dibidang pengadilan. Jadi, keterangan tersebut diketahui bahwa yang dimaksut dengan keahlian ialah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki) seseorang. Sehingga van Bemmelen mengatakan bahwa ilmu 2 M. Yahya Harahap, Pembahasan Masalah dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, banding, Kasasi dan Peninjauan kembali) Edisi ke2, jakarta, Sinar Grafika, 2000. hlm. 253. 3 AL. Wisnubroto, Praktek Peradilan Pidana Proses persidangan Perkara Pidana, Galaxy Puspa Mega, Jakarta, 2002, hlm. 8. 4 tulisan, ilmu senjata, pengetahuan tentang sidik jari, dan sebagainya termasuk pengertian ilmu pengetahuan (wetenschap) menurut pengertian pasal 343 Ned. Sv. Tersebut. Oleh karena itu, sebagai ahli seseorang dapat didengar keterangannya mengenai persoalan tertentu yang menurut pertimbangan hakim orang itu mengetahui bidang tersebut secara khusus.4 Keterangan ahli salah satunya diatur dalam Pasal 179 ayat (1) KUHAP yang merumuskan bahwa setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman, dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Apabila yang bersangkutan tidak memenuhi Pasal tersebut tanpa alasan yang sah dapat dikenai sanksi sesuai dengan Pasal 221 KUHP, sedangkan mengenai keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yangdiperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dari segi yuridis, setiap dokter adalah ahli, baik dokter itu ahli ilmu kedokteran kehakiman ataupun bukan, Oleh sebab itu setiap dokter dapat dimintai bantuannya untuk membantu membuat terang perkara pidana oleh pihak yang berwenang. Akan tetapi supaya dapat diperoleh suatu bantuan yang maksimal, permintaan bantuan itu perlu diajukan pada dokter yang memiliki keahlian yang sesuai dengan objek yang akan diperiksa, yaitu: 1. Untuk objek korban mati, sebaiknya diminta kepada ahli ilmu kedokteran kehakiman; 4 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi kedua, Sinar Grafika, 2008, hlm. 273. 5 2. Untuk objek korban hidup yang menderita luka-luka sebaiknya dimintakan kepada dokter ahli bedah; 3. Untuk objek korban hidup akibat tindakan pidana seksual sebaiknya dimintakan kepada dokter ahli kandungan; 4. Untuk objek yang berkatan dengan gigi (untuk kepentingan identifikasi) sebaiknya dimintakan bantuan kepada dokter gigi; 5. Untuk objek terdakwa yang menderita/diduga menderita penyakit jiwa sebaiknya dimintakan kepada dokter ahli jiwa.5 Salah satu bentuk tindak pidana yakni pembunuhan yang diatur dalam Pasal 338 KUHP yang rumusannya adalah : “Barangsiapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.” Pada tindak pidana pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 338 memuat unsur-unsur sebagai berikut : 1. Barangsiapa : ada orang tertentu yang melakukan; 2. Dengan sengaja; 3. Menghilangkan nyawa orang lain.6 Sedangkan tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya diatur dalam Pasal 341 KUHP yang rumusannya adalah : “seorang ibu yang, karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”. Pada tindak pidana pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 341, memuat unsur-unsur sebagai berikut: 1. Seorang ibu; 5 http://jurnal.fk.unand.ac.id, Rika Susanti, Peran Dokter sebagai Saksi Ahli Di Persidangan, 2013, hlm. 1, Diakses pada hari Rabu, 7 Mei 2014 pukul 09.20. 6 Marpaung, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Sinar Grafindo, 2000, hlm.22. 6 2. Dengan sengaja; 3. Menghilangkan jiwa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah dilahirkan, karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak. Dalam persidangan, hakim akan mengungkap semua fakta - fakta dengan menghadirkan alat – alat bukti sah menurut undang-undang yaitu Pasal 184 KUHAP sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. Keterangan saksi; Keterangan ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan terdakwa. Alat - alat bukti ini sangat perlu, oleh karena itu hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan. Merupakan kewajiban pula bahwa kedua alat bukti itu adalah mampu membangkitkan keyakinan hakim. Keyakinan hakim itu tidak lain daripada dua hal : 1. Bahwa suatu tindak pidana benar – benar terjadi; 2. Bahwa pelaku tindak pidana adalah tersangka sebagaimana didakwakan dan bukan orang lain. Melihat pentingnya alat bukti keterangan ahli kedokteran forensik dalam mengungkap pelaku tindak pidana pembunuhan, maka penulis tertarik meneliti kekuatan pembuktian keterangan ahli forensik dalam mengungkap tindak pidana 7 pembunuhan bayi oleh ibunya yang dilakukan oleh pelaku Astri Wahyuni binti Suhandi dalam putusannya Nomor. 147/Pid.B/2013/PN.PWT yang telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana pembunuhan terhadap bayi yang baru dilahirkan dengan keterangan dr. Suripto yang menerangkan bahwa kematian bayi tersebut terjadi setelah dilahirkan karena masih mengeluarkan darah dan terdapat tinja dilubang dubur dan kepala bayi masih utuh dan keras sehingga terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 1 (satu) tahun 2 (dua) bulan. Dari latarbelakang tersebut penulis tertarik mengkaji lebih lanjut dengan menuangkan dalam skripsi yang berjudul “Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli Forensik Dalam Tindak Pidana Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya (Tinjauan Yuridis Putusan No : 147/Pid.B/2013/ PN.Pwt.” B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Mengapa keterangan ahli forensik diperlukan dalam Tindak PidanaNomor: 147/Pid.B/2013/PN.Pwt.? 2. Bagaimana kekuatan pembuktian keterangan ahli forensik dalam Putusan Tindak Pidana Nomor : 147/Pid.B/2013/PN.Pwt.? 8 C. Tujuan Penelitian 1. Ingin mengetahui mengapa keterangan ahli forensikdiperlukan dalam Tindak PidanaNomor : 147/Pid.B/2013/PN.Pwt.? 2. Ingin mengetahui bagaimana kekuatan pembuktian keterangan ahli forensik dalam Putusan Tindak Pidana Nomor : 147/Pid.B/2013/PN.Pwt. D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran sekaligus sebagai bahan informasi, dokumentasi kepada kalangan akademisi dan juga masyarakat luas tentang kekuatan pembuktian keterangan ahli sebagai alat bukti dalam proses persidangan. 2. Kegunaan Praktis Memberikan informasi kepada aparat penegak hukum maupun masyarakat luas supaya dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan terhadap kajian – kajian ilmiah, tentang sejauh mana KUHAP dilaksanakan terkait dengan proses pembuktian khusus mengenai alat bukti keterangan ahli dalam praktek di pengadilan. 9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian Hukum Acara Pidana 1. Hukum Acara Pidana Secara Umum Hukum acara pidana sering dianggap sebagai ilmu hukum yang sempit yang menjadi bagian dari ilmu pengetahuan hukum positif. Bahkan ada suatu pendapat bahwa hukum acara pidana tidak dapat dipelajari sebagaimana lazimnya sebagai ilmu karena berkedudukan sebagai hukum pelengkap terhadap hukum pidana materiil, sedangkan hukum pidana itu sendiri sekedar hukum sanksi belaka karena berfungsi mempertahankan norma yang berada di luar hukum pidana atau hukum yang tidak berdiri sendiri. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tidak dijelaskan apakah Hukum Acara Pidana itu, hanya saja memberikan definisi-definisi beberapa bagian hukum acara pidana seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, penahanan, dan lain-lain (penjelasan pasal 1 KUHAP). Dalam konsideran Undang - undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang dinyatakan bahwa oleh karena itu perlu 10 mengadakan undang – undang tentang acara pidana untuk melaksanakan peradilan bagi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan Mahkamah Agung dengan mengatur hak serta kewajiban bagi mereka yang ada dalam proses pidana. Berarti Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana merupakan hukum acara pidana yang sempit. Dalam ruang lingkup hukum pidana yang luas hukum pidana substantif (materil) maupun hukum pidana (formal) disebut hukum acara pidana, yang berfungsi untuk menjalankan hukum pidana substantif (materil), sehingga disebut hukum pidana formal atau hukum acara pidana. Menurut Simon, Hukum Acara Pidana disebut juga hukum pidana formal untuk membedakannya dengan hukum pidana materiil. Hukum pidana materiil atau hukum pidana itu berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang syarat - syarat dapatnya dipidana suatu perbuatan, petunjuk tentang orang yang dapat dipidana, dan aturan tentang pemidanaan : mengatur pada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. Sedangkan hukum pidana formal mengatur bagaimana Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.7 Pembahasan dan pembicaraan mengenai hukum acara pidana tidak dapat dilepaskan hubungannya dengan hukum pidana, karena itu keduanya mempunyai hubungan yang sangat erat dan sangat terkait. Dalam hukum pidana terdapat dua macam hukum pidana yaitu: a. Hukum pidana materiil yang brisi petunjuk dan uraian tentang delik peraturan tentang syarat-syarat dapat dipidananya sesuatu perbuatan, 7 Mohammad Taufik Makarao, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2004, hlm. 1 11 petunjuk tentang orang yang dapat dipidana dan aturan tentang pemidanaan dan mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat dijatuhkan. b. Hukum pidana formal yang mengatur bagaimana Negara melalui alatalatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.8 Hukum acara pidana dapat dirumuskan sebagai ketentuan yang memuat tata cara dan suatu proses perkara pidana, mengatur hak dan kewajiban bagi mereka yang bersangkut paut dalam proses perkara serta mengatur pelaksanaan peradilan menurut Undang – Undang. Akan tetapi hukum acara pidana di samping memuat ketentuan demikian juga memuat ketentuan susunan kekuasaan kehakiman dan penyelenggaraan pelaksanaan putusan pemidanaan yang ditetapkan dalam undang-undang. 2. Tujuan Hukum Acara Pidana Pada umumnya antara pengertian tujuan hukum acara pidana dengan pengertian tugas hukum acara pidana dengan begitu saja dicampuradukkan, karena sulitnya menempatkan posisi kedamaian, kebenaran, dan keadilan dalam hukum. Hukum yang mengatur tatanan beracara perkara pidana itu tujuannya diarahkan pada posisi untuk mencapai kedamaian, adapun penyelenggaran beracara perkara pidana oleh pelaksana dengan tugas mencari dan menemukan fakta menurut kebenaran dan selanjutnya mengajukan tuntutan hukum yang tepat untuk 8 Op Cit, Andi Hamzah. 2008. hlm. 4. 12 mendapatkan penerapan hukum dengan keputusan dan pelaksanaannya berdasarkan keadilan. Setiap peraturan hukum yang dibentuk pasti memiliki suatu tujuan tertentu yang hendak dicapai. Hukum dan undang – undang yang tidak memiliki tujuan akan tidak memiliki nilai kegunaan. Semakin realistis suatu tujuan yang hendak dicapai maka semakin bernilai dan dekat pula tujuan itu diperoleh oleh anggota masyarakat pencari keadilan. Dari pengertian secara umum, tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari kebenaran material atau substansial truth dan perlindungan hak – hak asasi manusia atau protection of human right. Dari uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan hukum acara pidana dapat dilihat 2 (dua) segi yaitu : 1. Segi teoritis yaitu untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat; 2. Segi praktis yaitu untuk mendapatkan suatu kenyataan yang berhasil mengurangi keresahan dalam masyarakat berupa aksi sosial yang bersifat rasional dan konstruktif didasarkan kebenaran hukum dan keadilan hukum. Pedoman pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh menteri Kehakiman pada Tahun 1982 memberikan penjelasan tentang tujuan Hukum Acara Pidana sebagai berikut : Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak – tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap – lengkapnya dari suatu 13 perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tetap dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.9 Andi Hamzah berpendapat : Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan menemukan kebenaran material itu hanya merupakan tujuan antara artinya dan tujuan akhir yaitu menjadi tujuan seluruh tertib hukum Indonesia, dalam hal ini, mencapai suatu masyarakat tertib, tentram, damai, adil, dan sejahtera (tata tentram kerta raharja).10 Van Bemmelen juga mengemukakan 3 (tiga) fungsi hukum acara pidana yaitu sebagai berikut : a. Mencari dan menemukan kebenaran; b. Pemberian keputusan oleh hakim; c. Pelaksanaan keputusan.11 Dari ketiga fungsi diatas, yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya, ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah hakim akan sampai kepada putusan (yang seharusnya adil dan tepat), yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Karena fungsi yang pertama itu sangat penting, maka definisi hukum acara pidana yang tidak menyebutkan itu sebagai suatu kekurangan. 9 10 Ibid, hlm. 7. Andi Hamzah, pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2002, hlm. 19. 11 Ibid, hlm. 8. 14 Dalam perkembangan keilmuan ternyata hukum acara pidana tidak sekedar menemukan kebenaran dan keadilan hukum, akan tetapi kemampuannya harus sampai kepada segala aspek yang terkandung dalam nilai – nilai kebenaran dan keadilan yang bersangkutan. Aspek – aspek kebenaran dan keadilan tersebut harus menyentuh hukum untuk kemanusiaan atau hukum yang berperikemanusiaan, sebagai suatu perkembangan hukum acara pidana yang mudah diucapkan, tetapi tidak mudah untuk dilaksanakan dengan baik. Tujuan hukum acara pidana pada hakekatnya memang mencari kebenaran. Penegak hukum mulai dari polisi, jaksa, dan hakim yang dalam hal penyidikan, penuntutan, dan mengadili perkara, senantiasa harus berdasarkan kebenaran, harus berdasarkan hal yang sungguh – sungguh terjadi. Untuk itu dibutuhkan petugas – petugas yang selain berpengalaman luas, berpendirian yang teguh dan kuat dalam menghindari dan menolak godaan. Hukum acara pidana sebenarnya menemukan agar para hakim dapat berusaha menembus kearah ditemukannya kebenaran dan perbuatan yang disangka telah dilakukan oleh orang. Dengan demikian hukum acara pidana mengemban misi mencari kebenaran materiil tentang pelaku tindak pidana untuk memperoleh imbalan atas perbuatannya serta membebaskan mereka yang tidak bersalah dari tindakan yang seharusnya tidak dikenakan atas dirinya. Oleh karena itu, maka penegak hukum melalui polisi, jaksa, 15 hakim dalam menyidik, menuntut dan mengadili perkara senantiasa harus berdasarkan kebenaran dan berdasarkan peristiwa yang sungguh – sungguh terjadi. A. Asas asas Hukum Acara Pidana Yang dimaksud asas dalam hukum acara pidana adalah dasar patokan hukum yang melandasi KUHAP dalam penerapan penegakan hukum. Asas asas dalam hukum acara pidana akan menjadi pedoman bagi semua orang termasuk di dalamnya aparat penegak hukum, serta orang – orang yang tengah berkepentingan dengan hukum acara pidana. Makna asas – asas hukum itu sendiri merupakan ungkapan hukum yang berfungsi umum. Pada sebagian berasal dari kesadaran hukum serta keyakinan kesusilaan atau tehnis kelompok manusia dari sebagian yang lain berasal dari dasar pemikiran dibalik peraturan undang – undang serta yurisprudensi. Rumusan pengertian asas hukum yang demikian itu konsekuensinya adalah kedudukan asas itu menjadi unsur pokok dan dasar yang penting dari peraturan hukum. Asas – asas yang penting tercantum dalam hukum acara pidana tersebut adalah : 1. Peradilan cepat, Sederhana, dan Biaya ringan. 16 Asas ini bukan merupakan hal baru dengan lahirnya KUHAP, dari dahulu, sejak adanya HIR, sudah tersirat asas ini dengan kata – kata lebih konkrit dari pada yang dipakai di dalam KUHAP. Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan yang dianut di dalam KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran Undang – Undang No. 14 tahun 1970 yang telah dirubah dengan Undang – Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Undang – Undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hal ini diatur dalam penjelasan umum butir 3 e KUHAP yang merumuskan bahwa : “Peradilan harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak yang harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan ( speedy and fair principle )”. Dalam KUHAP dapat diketahui adanya beberapa ketentuan sebagai penjabaran dari asas peradilan cepat yaitu Pasal 50 KUHAP yang merumuskan : a. Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum; b. Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum; c. Terdakwa berhak segera diadili oleh peradilan. Pasal – pasal lain yang berkaitan dengan hal ini adalah Pasal 102 ayat (1), Pasal 106, Pasal 107 ayat (3), dan Pasal 140 ayat (1) KUHAP. Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim) merupakan bagian dari hak asasi manusia. 17 Begitu pula peradilan bebas, jujur, dan tidak memihak yang terdapat dalam undang – undang tersebut. Asas ini menghendaki adanya suatu peradilan yang efisien dan efektif sehingga tidak memberi penderitaan yang berkepanjangan kepada tersangka atau terdakwa agar kepastian hukum lebih terjamin. Tentang asas sederhana dan biaya ringan pun dijabarkan dalam KUHAP sebagaimana dalam Pasal 98 KUHAP yang dirumuskan sebagai berikut : (1) “Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu”. (2) “Permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diajukan selambat – lambatnya sebelum penuntut umum mengajukan tuntutan pidana. Dalam hal penuntut umum tidak hadir permintaan diajukan selambat – lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan”. 2. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence). Asas ini terdapat dalam Pasal 8 Undang - Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam penjelasan umum butir 3 huruf c KUHAP yang menyatakan : “Setiap orang yang sudah disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap (presumption of innocence)” 18 Menurut M. Yahya Harahap 12, asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis penyidikan dinamakan “Prinsip Akusator”. Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka / terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan : a. Adalah subyek, bukan sebagai objek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri. b. Yang menjadi objek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah kesalahan (tindak pidana) yang dilakukan oleh tersangka / teerdakwa. Kearah itulah pemeriksaan ditujukan. Dengan asas praduga tak bersalah yang dimiliki KUHAP, dengan sendirinya memberi pedoman kepada aparat penegak hukum untuk mempergunakan prinsip akusator dalam setiap tingkat pemeriksaan. Aparat penegak hukum harus menjauhkan diri dari cara – cara pemeriksaan yang inkuisitoir, yang menempatkan tersangka / terdakwa dalam setiap pemeriksaan sebagai objek yang dapat diperlakukan dengan sewenang – wenang. Prinsip inkuisitoir inilah yang dulu dijadikan landasan pemeriksaan dalam periode HIR. HIR sama sekali tidak memberi hak dan kesempatan yang wajar bagi tersangka / terdakwa untuk membela 12 Mohammad Taufik makarao, Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2008, hlm. 3-4. 19 diri dan mempertahankan hak dan kebenarannya. Sebab sejak semula aparat penegak hukum : a. Sudah apriori menganggap tersangka / terdakwa bersalah; b. Seolah – olah si tersangka sudah divonis sejak pertama dia diperiksa dihadapan pejabat penyidik; c. Tersangka / terdakwa dianggap dan dijadikan sebagai objek pemeriksaan tanpa memperhatikan hak – hak asasi kemanusiaannya dan haknya untuk membela dan mempertahankan martabat serta kebenaran yang dimilikinya. Akibatnya, sering terjadi dalam praktek penegakan hukum, seseorang yang benar – benar tidak bersalah terpaksa menerima nasib sial, meringkuk dalam penjara. 3. Asas Oportunitas. Bertolak belakang dengan asas legalitas adalah asas oportunitas yang berarti : “sekalipun seorang tersangka telah terang cukup bersalah menurut pemeriksaan penyidikan, dan kemungkinan besar akan dapat dijatuhi hukuman, namun hasil pemeriksaan tersebut tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh penuntut umum”. Kasus perkara itu di “deponer” (di kesampingkan) oleh pihak kejaksaan atas dasar pertimbangan “demi kepentingan umum”. Kejaksaan berpendapat, akan lebih bermanfaat bagi kepentingan umum jika perkara itu tidak diperiksa di muka sidang pengadilan. Dengan demikian, perkaranya dikesampingkan saja (dideponer). Cara penyampingan yang seperti inilah 20 yang disebut asas oportunitas. Pasal 8 Undang – Undang Pokok Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004, yang memberi wewenang kepada Kejaksaan Agung untuk mendeponer / menyampingkan suatu perkara berdasar alasan “demi kepentingan umum”. Hal ini dipertegas lagi oleh penjelasan Pasal 77 KUHAP, yang merumuskan bahwa : “Yang dimaksud penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung” Seperti juga dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP memberi penjelasan sebagai berikut : “Dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam penerapan asas oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan Negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan pribadi”. Asas oportunitas adalah hak yang dimiliki oleh penuntut umum untuk tidak menuntut ke pengadilan atas seseorang. Di Indonesia wewenang ini hanya diberikan kepada kejaksaan. Menurut A.Z Abidin Farid memberi perumusan tentang asas oportunitas sebagai berikut : “Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum”.13 Dalam hubungan dengan hak penuntutan dikenal dua asas, yaitu yang disebut asas legalitas dan asas oportunitas. Asas legalitas dalam 13 A. Z. Abidin, Sejarah dan Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia, 2001, hlm. 12. 21 hukum acara pidana tidak dicampuradukkan dengan pengertian asas legalitas dalam hukum pidana (materiil) yang biasa disebut asas Nullum Delictum Nulla Poena Lege Poenali yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Kelihatannya asas hukum pidana ini akan dipertahankan terus dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional mendatang. Menurut asas oportunitas, penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan delik jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum. Jadi, demi kepentingan umum, seseorang yang melakukan delik tidak dituntut. Asas legalitas dan asas oportunitas ada dalam HUKAP, namun titik beratnya cenderung lebih mengutamakan asas legalitas. Sedangkan asas oportunitas hanyalah merupakan pengecualian yang dapat dipergunakan secara terbatas sekali. Dan mungkin dalam sejarah penegakan hukum yang akan datang, bangsa kita akan semakin memahami betapa adilnya mempergunakan asas legalitas secara mutlak dan menyeluruh, tanpa diskriminasi atas alasan kepentingan umum. 4. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum. Pasal yang mengatur tentang asas ini adalah Pasal 153 ayat (3) dan (4) KUHAP yang merumuskan : “Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum, kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak – anak”, ayat (3). 22 “tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (2) dan ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum”, ayat (4). Sebenarnya hakim dapat menetapkan apakah suatu sidang dinyatakan seluruhnya atau sebagian tertutup untuk umum. Pertimbangan tersebut sepenuhnya diserahkan kepada hakim. Hakim melakukan itu berdasarkan jabatannya atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi pun dapat mengajukan permohonan agar sidang tertutup untuk umum dengan alasan demi nama baik keluarga. Walaupun sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun keputusan hakim dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Bahkan Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal 20 dan KUHAP Pasal 195 dengan tegas merumuskan bahwa : “Semua putusan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”. 5. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum. Asas ini menegaskan bahwa sebagai Negara Hukum maka dihadapan hukum semua orang adalah sama dan sederajat. Asas ini diatur dalam Pasal 5 ayat (1) Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman dalam penjelasan umum butir 3 a. Pasal 5 ayat (1) merumuskan : “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan”. 23 Sedangkan penjelasan umum butir 3 a KUHAP merumuskan bahwa : “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda – bedakan orang”. 6. Peradilan Dilakukan Oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap. Ini berarti pengambilan keputusan salah tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatan ini diangkat hakim – hakim yang tetap oleh kepala Negara yang diatur dalam Pasal 31Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 7. Tersangka / Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum. KUHAP Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 diatur Bantuan Hukum, dimana tersangka / terdakwa mendapat kebebasan yang sampai luas. Asas bantuan hukum bagi tersangka / terdakwa ini telah menjadi ketentuan universal di Negara – Negara demokrasi dan beradab. Kebebasan itu antara lain sebagai berikut : a. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan; b. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan; c. Penasihahat hukum dapat menghubungi tersangka / terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu; 24 d. Pembicaraan antara penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan Negara; e. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan; f. Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka / terdakwa. Pembatasan – pembatasan hanya dikenakan apabila penasihat hukum menyalahgunakan hak – haknya tersebut. Kebebasan – kebebasan dan kelonggaran – kelonggaran tersebut hanya dari segi yuridis semata, bukan dari segi politis, social dan ekonomi, sehingga dengan adanya hambatan – hambatan tersebut pelaksanaan bantuan hukum yang merata agak sulit dilaksanakan. 8. Asas Akusator dan Inkisitor. Asas akusator berarti menempatkan kedudukan terdakwa dalam kesejajaran yang memeriksa. Dalam hal ini terdakwa tidak dipandang sebagai objek seperti dalam asas inkisitoir. Hal ini terbukti dengan adanya hak memperoleh bantuan hukum sejak awal pemeriksaan di tingkat penyidikan. Asas akusator ini berhubungan dengan asas – asas hukum acara pidana. Salah satu contoh yaitu adanya kebebasan untuk mendapatkan 25 bantuan hukum menunjukkan bahwa KUHAP telah menganut asas akusatoir ini. Sebagaimana kita ketahui, asas inkisitor berarti tersangka dipandang sebagai objek pemeriksaan yang masih dianut oleh HIR (Her Herzine Indonesich Reglement) untuk pemeriksaan pendahuluan. Asas ini merupakan kebalikan dari asas akusator yang menempatkan posisi tersangka sejajar dengan pejabat penyidik dan penuntut umum di depan hukum. 9. Pemeriksaan Hakim Yang Langsung dan Lisan. Pemeriksaan disidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Ini berbeda dengan acara perdata dimana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Pemeriksaan hakim juga dilaksanakan secara lisan artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa. Ketentuan mengenai hal ini di atas dalam Pasal – Pasal 154, 155 dan seterusnya dalam KUHAP. Hukum acara pidana khusus, seperti Undang – Undang Nomor 11 (PNPS) Tahun 1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Ekonomi, dan Undang – Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dikenal pemeriksaan pengadilan secara in absentia atau tanpa hadirnya terdakwa. B. Pembuktian 26 1. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan – ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara – cara yang dibenarkan undang – undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pengertian dari pembuktian sebenarnya tidak akan dapat ditemukan dalam suatu Pasalpun yang memberikan pengaturannya baik dalam KUHAP maupun di dalam ketentuan hukum lainnya. Menurut Yahya Harahap yang dimaksud pembuktian adalah : “Merupakan ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara – cara yang dibenarkan undang – undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan kesatuan yang mengatur alat – alat bukti yang dibenarkan undang – undang dan yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan” 14 Hakim dalam memeriksa perkara pidana dalam sidang pengadilan senantiasa berusaha untuk membuktikan : a. b. c. d. Apakah betul suatu peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana; Apakah betul peristiwa merupakan suatu tindak pidana; Apakah sebab – sebabnya peristiwa itu terjadi, dan Apakah orangnya telah bersalah berbuat peristiwa itu.15 Pembuktian merupakan salah satu proses yang sangat esensial dalam upaya penemuan kebenaran materiil suatu perkara pidana, sehingga dalam proses pembuktian perkara di pengadilan diperlukan alat bukti dan 14 M. Yahya Harahap,Op Cit, hlm. 252. R. Soesilo, Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Serta Komentar – Komentarnya, Bogor, CV Politeia, 1996, hlm. 109. 15 27 barang bukti yang benar – benar dapat membuat terang suatu tindak pidana yang disangkakannya. Untuk menemukan kebenaran materiil yaitu kebenaran yang selengkap – lengkapnya dari suatu peristiwa sehingga akan membuat terang tindak pidana apa yang terjadi dan siapa pelakunya, maka masalah pembuktian menduduki tempat yang sangat penting. Membuktikan sesuatu berarti : a. Menunjukkan hal – hal yang dapat di tangkap oleh panca indra; b. Mengutarakan hal – hal tersebut; c. Berpikir secara logika. Dalam hal ini yang harus dibuktikan adalah kejadian – kejadian konkrit dan bukan suatu yang abstrak. Hakim meskipun tidak melihat dengan mata kepala sendiri kejadian sesungguhnya, dapat menggambarkan dalam pikirannya apa yang sebenarnya terjadi sehingga memperoleh keyakinan tentang hal tersebut. Kegiatan pembuktian diharapkan memperoleh kebenaran secara hukum, karena kebenaran yang mutlak sukar ditemukan dalam proses untuk menentukan substansi atau hakekat adanya fakta – fakta yang diperoleh melalui ukuran yang layak melalui pikiran yang logis terhadap fakta – fakta yang terang dalam hubungan dengan perkara pidana. Sedangkan tujuan pembuktian adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran materiil, bukan untuk mencari kesalahan 28 seseorang. Oleh Karena itu para hakim harus hati – hati, cermat dan matang dalam menilai dan mempertimbangkan masalah pembuktian. Menurut soesilo, tujuan pembuktian adalah untuk mencari dan menetapkan kebenaran – kebenaran yang ada dalam perkara itu, bukan semata – mata untuk mencari kesalahan seseorang. Walaupun didalam prakteknya kepastian yang absolut tidak akan tercapai, akan tetapi dengan pembuktian serta keputusan dengan menggunakan bukti – bukti yang ada, akan tercapai kebenaran yang patut dan dipercaya, jangan sampai orang yang tidak bersalah mendapat hukuman. Sejarah hukum acara pidana menunjukkan, bahwa ada beberapa system untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. System pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat. Dalam hukum acara pidana ada beberapa system pembuktian yaitu ; a. System pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata (convection in time). Sistem pembuktian convection in time menentukan salah tidaknya seseorang terdakwa, semata-mata ditentukan dengan penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa, dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan dapat diambil dari dan disimpulkan hakim dengan alat-alat bukti yang diperiksanya di dalam sidang pengadilan. Sistem ini 29 mengandung kelemahan yaitu dapat saja menjatuhkan hukum pada seseorang terdakwa semata - mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup. b. Sistem pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas dasar keyakinan logis (Conviction raisonance). Dalam sistem inipun dapat dikatakan, keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, akan tetapi dalam sistem pembuktian ini faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika di dalam convictionin time peran keyakinan hakim leluasa tanpa batas maka dalam sistem convition raisonance keyakinan hukum harus didukung oleh alasan-alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinan atas kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar – dasar alasan yang logis dan benar-benar dapat diterima oleh akal. c. Pembuktian menurut undang-undang secara positif. Pembuktian menurut undang-undang secara positif keyakinan tidak diambil bagian dalam pembuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini tidak ikut berperan dalam menentukan salah atau tidaknya terdakwa, sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. 30 d. Pembuktian menurut undang-undang secara negatif (Negatief wettelijke stelse). Pembuktian menurut undang-undang secara positif merupakan teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time. Menurut Hamzah16 mengatakan bahwa : “ Ketentuan hakim acara pidana Indonesia mengikuti ataumenganut sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (Negatief Wettelijke). Hal tersebut dapat disimpulkan dari Pasal 183 HUHAP, Pasal 194 ayat (1) HIR dan Pasal 6 ayat ( 2 ) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun 2009” . Ketentuan hukum acara pidana Indonesia mengikuti prinsip dari teori pembuktian: “Negatief Wettelijke Bewijs Theori” seperti yang dimaksud dalam Pasal 194 ayat (1) HIR, Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Pasal 183 KUHAP. Dari penjelasan Pasal 183 KUHAP pembuat Undang-Undang telah menentukan pilihan bahwa sistem pembuktian yang paling tepat dalam kehidupan penegakan hukum di Indonesia adalah sistem pembuktian menurut Undang- Undang secara negatif, demi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian hukum. 16 Andi Hamzah, 2002, Op. Cit. hlm. 262. 31 KUHP menganut sistem pembuktian Negatief Wetterlijk, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 183 KUHAP sebagai berikut : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang benar benar bersalah melakukannya”. 2. Alat – alat Bukti Menurut KUHAP Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara “limitatif” alat bukti yang sah menurut undang – undang. Diluar alat bukti itu tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, terikat dan terbatas hanya diperboloehkan mempergunakan alat – alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa menggunakan alat bukti yang dikehendakinya di luar alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1). Yang dinilai sebagai alat bukti dan dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian” hanya terbatas kepada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian dengan alat bukti di luar jenis alat bukti yang disebut pada Pasal 184 ayat (1), tidak mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian yang mengikat. Adapun alat bukti yang sah menurut undang – undang sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal 183 ayat (1) KUHAP, adalah : a. b. c. d. Keterangan saksi; Keterangan ahli; Surat; Petunjuk dan 32 e. Keterangan terdakwa. A. Keterangan Saksi Menurut Pasal 1 butir 26 KUHAP yang dimaksud dengan saksi adalah “Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, ia alami sendiri”. Mengenai keterangan saksi sebagai alat bukti telah diatur dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Sedangkan pengertian umum keterangan saksi ada dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP yang merumuskan bahwa : “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”. Kesaksian yang didengar dari orang lain atau biasa disebut “testimonium deauditu” bukan merupakan keterangan saksi. Begitu pula pendapat maupun rekaman yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5) KUHAP). Oleh karena itu setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus dikesampingkan dari pembuktian dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan 33 berwarna pendapat dan pemikiran pribadi saksi, tidak dapat dinilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah harus memenuhi 2 (dua) syarat yaitu : 1). Syarat formil Yang dimaksud syarat formil adalah bahwa keterangan saksi dianggap sah apabila diberikan di bawah sumpah yang terdapat dalam Pasal 160 ayat ( 3 ) KUHAP. 2). Syarat materiil Yang dimaksud dengan syarat materiil adalah bahwa materi (isi) kesaksian dari seorang saksi itu harus mengenai hal – hal yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu yang terdapat dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP. Untuk menjadi saksi dimuka sidang adalah merupakan kewajiban dari setiap orang oleh karena itu jika seseorang menolak memberikan keterangan setelah dipanggil secara patut (panggilan ke 3) maka ia dapat dihadirkan secara paksa ke sidang pengadilan. Pasal 159 ayat 2 KUHAP merumuskan bahwa : “ Dalam hal saksi tidak hadir, meskipun telah dipanggil dengan sah dan hakim ketua sidang mempunyai cukup alasan untuk menyangka bahwa saksi itu tidak akan mau hadir, maka hakim 34 ketua sidang dapat memerintahkan supaya saksi tersebut dihadapkan ke persidangan “. Sebagaimana selalu dilakukan bahwa menjadi saksi di sidang pengadilan adalah merupakan kewajiban bagi setiap orang, sehingga bagi mereka yang dengan sengaja atau karena kealpaannya tidak menjadi saksi di persidangan diancam pidana sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 224 KUHP yang merumuskan : “Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang – undang dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban berdasarkan undang – undang yang harus dipenuhinya, diancam : 1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan ; 2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan. Namun ada beberapa golongan orang yang dapat mengundurkan sebagai saksi atau dengan kata lain mempunyai hak tolak sebagai saksi di muka sidang pengadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 168 dan Pasal 170 KUHAP, golongan mana adalah sebagai berikut : Pasal 168 KUHAP merumuskan : “Kecuali ditentukan lain dalam undang – undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi”: a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama – sama sebagai terdakwa . b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama – sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak juga mereka yang 35 mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak – anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. Suami atau istri terdakwa, meskipun sudah bercerai atau yang bersama – sama sebagi terdakwa. Pasal 170 KUHAP merumuskan : (1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka. (2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut. Dilihat dari sifatnya maka saksi dapat dibagi menjadi 2 ( dua ) yaitu: 1). Saksi A Charge (saksi yang memberatkan terdakwa); 2). Saksi A de Charge (saksi yang menguntungkan terdakwa). Baik penuntut umum ataupun penasehat hukum dapat saling mengajukan saksi – saksi baik saksi yang sudah tercantum dalam BAP penyidikan maupun yang tidak. Proses pemanggilan bagi saksi A de Charge dilakukan sendiri oleh penasihat hukum yang sebelumnya dimintakan ijin terlebih dahulu kepada ketua majelis pemeriksa perkara. Nilai kekuatan pembuktian yang melihat pada alat bukti keterangan saksi : a. Mempunyai kekuatan pembuktian bebas. Pada alat bukti kesaksian tidak melekat pembuktian yang sempurna (volledig bewijskracht) dan juga tidak melekat di 36 dalamnya sifat kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan (besliessende wewijs kracht). Tegasnya alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah mempunyai nilai pembuktian bebas. Oleh karena itu alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan juga tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang menentukan. Atau dengan singkat dapat dikatakan alat bukti kesaksian sebagai alat bukti yang sah adalah alat bukti yang bersifat bebas dan tidak sempurna serta tidak menentukan atau tidak mengikat. b. Nilai kekuatan pembuktiannya tergantung pada penilaian hakim. Alat bukti keterangan saksi sebagai alat bukti yang bebas yang tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan tidak menentukan, sama sekali tidak mengikat hakim. Hakim bebas untuk menilai kesempurnaan dan kebenarannya. Tergantung pada penilaian hakim untuk menganggapnya sempurna atau tidak. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran setiap keterangan saksi. Hakim bebas menilai kekuatan atau kebenaran yang melekat pada keterangan itu dan dapat menerima atau menyingkirkannya. Dalam hal ini, hakim dapat mempergunakan kebebasan menilai kekuatan pembuktian kesaksian, harus benar – benar bertanggungjawab. Jangan sampai kebebasan penilaian itu menjurus 37 kepada kesewenang – wenangan tanpa moralitas dan kejujuran yang tinggi. B. Keterangan Ahli Pengertian umum dari keterangan ahli tercantum dalam Pasal 1 butir 28 KUHAP yang merumuskan sebagai berikut : “Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Adapun Pasal 186 KUHAP juga merumuskan tentang pengertian keterangan ahli yaitu sebagai berikut : “Keterangan ahli ialah disidang pengadilan”. apa yang seorang ahli nyatakan Keterangan ahli dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan, maka di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji dihadapan hakim. Jadi dengan demikian keterangan ahli diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim dan juga keterangan ahli itu diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan baik itu pemeriksaan yang 38 dilakukan oleh penyidik maupun pemeriksaan yang dilakukan di pengadilan. Pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli. Oleh karena itu, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli : 1. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas” atau vrij bewijskracht “. Didalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sermpurna dan menentukan. Terserah pada penilaian hakim. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud. 2. Disamping itu sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri sendiri saja tanpa didukung oleh salah satu alat bukti yang lain, tidak cukup dan tidak memadai membuktikan kesalahan terdakwa. Apalagi jika Pasal 183 KUHAP di hubungkan dengan ketentuan Pasal 185 ayat ( 2 ) KUHAP, yang menegaskan, seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini 39 pun, berlaku untuk alat bukti keterangan ahli, bahwa keterangan seorang ahli saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu agar keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus disertai dengan alat bukti lain. 1) Syarat Sahnya Keterangan Ahli Suatu keterangan ahli dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah dengan melihat ketentuan Pasal 1 angka 28 KUHAP. Dikaitkan dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP dan Pasal 186 KUHAP. Berdasarkan ketentuan dalam pasal – pasal tersebut, maka dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa keterangan ahli harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai keahlian khusus, tentang suatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa. Sedangkan keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang – undang. Tata cara dan bentuk keterangan ahli yang diberikan atau diminta di sidang pengadilan menurut M. Yahya Harahap adalah : 40 a. Apabila dianggap perlu dan dikehendaki baik oleh ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, dapat meminta pemeriksaan keterangan ahli dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. b. Keterangan ahli menurut tata cara ini berbentuk keterangan lisan dan secara langsung diberikan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. c. Bentuk keterangan lisan secara langsung dicatat dalam berita acara pemeriksaan. d. Dan untuk itu ahli yang memberikan keterangan lebih dahulu mengucap sumpah sebelum memberi keterangan. e. Dengan dipenuhinya tata cara dan bentuk keterangan yang demikian, bentuk keterangan ahli tersebut menjadi alat bukti yang sah menurut undang – undang dan sekaligus keterangan ahli yang seperti ini mempunyai kekuatan pembuktian.17 Menempatkan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah di dalam pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP, dapat dicatat bahwa adanya kemajuan dalam pembaharuan hukum, bahwa sejalan dengan perkembangan teknologi, maka keterangan ahli memegang peranan penting dalam penyelesaian kasus pidana. Masih kurangnya pengetahuan hakim dan penegak hukum lainnya dan arena minimnya alat bukti yang berkaitan dengan kemajuan teknologi informasi menjadikan sangat dibutuhkannya seorang ahli yang biasa meneliti kebenaran dari alat bukti tersebut dan hal ini sangatlah membantu proses persidangan. Edmon Makarim dalam hal ini berpendapat sebagai berikut : 17 M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 297 41 Disinilah, peran seorang ahli dalam memberikan suatu penjelasan di depan pengadilan, bahwa data elektronik (hasil kemajuan teknologi informasi) adalah sah dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Standarisasi system tersebutlah yang menjadi sandaran berfikir bagi setiap argumentasi yang muncul di pengadilan. Pertama kali seorang ahli akan mengecek apakah suatu system computer tersebut dapat dipercaya (trustworthy). Jika sebuah system dinyatakan sebagai dapat dipertanggungjawabkan dan dapat diajukan sebagai alat bukti / barang bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan alat bukti lain yang ada di dalam Pasal 184 KUHAP.18 2) Kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli Pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak tidak mempunyai nilai kekuatan yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan saksi. Oleh karena itu, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli : a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas atau vrij bewijskrachf. Di dalam dirinya tidak melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Terserah pada penilaian hakim hakim bebas menilai dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud. Hakim dalam menggunakan wewenang kebenaran dalam penilaian pembuktian, harus benar – benar bertanggungjawab, atas landasan moral dan kebenaran sejati demi tegaknya hukum serta kepastian hukum. 18 Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2004, Hlm. 435. 42 b. Berlakunya prinsip minimum pembuktian pada keterangan ahli. Bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa, oleh Karena itu keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktian kesalahan terdakwa harus disertai dengan alat bukti lain.19 C. Surat Menurut kamus Bahasa Indonesia , surat adalah “ kertas yang tertulis (dengan berbagai isi maksudnya) “. Selanjutnya beberapa ahli memberikan definisi surat sebagai berikut : a. Menurut Sudikno Mertokusumo : ”Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda – tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian” ; b. Menurut Asser - Anema yang dikutip oleh Andi Hamzah : ”Surat – surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda – tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan pikiran.20” Hendaknya dibedakan antara surat sebagai alat bukti dengan surat sebagai barang bukti (stukken van overtuiging). Surat sebagai barang bukti adalah surat yang dipergunakan atau hasil dari kejahatan (corpus delieti). Sedangkan surat sebagai alat bukti, secara rinci telah diatur dalam Pasal 187 KUHAP. 19 Ibid. hlm. 436 http: // raja1987.blogspot.com/2010/03/tinjauan-umum-pembuktian-pidana.html., Diakses pada hari kamis, 15 Mei 2014 pukul 09.20. 20 43 Menurut ketentuan Pasal 187 KUHAP, surat yang dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang – undang ialah : 1. surat yang dibuat atas sumpah jabatan ; 2. atau surat yang dikuatkan dengan sumpah. Jadi surat yang dimaksud pada Pasal 187 KUHAP adalah surat yang dibuat oleh pejabat resmi yang berbentuk berita acara, akte, surat keterangan atau surat lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang sedang diadili. Sebagai syarat mutlak dalam menentukan suatu surat dikategorikan sebagai alat bukti yang sah ialah bahwa surat – surat itu harus dibuat di atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti surat, ditinjau dari segi teori dan dihubungkan dengan beberapa prinsip pembuktian yang diatur dalam KUHAP adalah sebagai berikut : 1. Ditinjau dari segi formal. Ditinjau dari segi formal, alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b dan c adalah alat bukti “sempurna”. Sebab bentuk surat – surat yang di sebut di dalamnya dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang – undangan. Dengan dipenuhinya ketentuan formal dalam pembuatannya serta dibuat dan berisi, keterangan resmi dari seorang pejabat yang berwenang, dan pembuatan serta keterangan yang terkandung dalam surat dibuat atas sumpah jabatan maka 44 ditinjau dari segi formal alat bukti surat seperti yang disebut Pasal 187 huruf a, b, dan c KUHAP adalah alat bukti yang bernilai sempurna. Oleh karena itu alat bukti surat resmi mempunyai nilai “pembuktian formal yang sempurna”. 2. Ditinjau dari segi materiil. Dari sudut materiil, semua bentuk alat bukti surat yang disebut dalam Pasal 187 KUHAP bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat. Pada diri alat bukti surat itu tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat, sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, sama – sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bersifat bebas. Tanpa mengurangi sifat kesempurnaan formal alat bukti surat yang disebut pada Pasal 187 huruf a, b dan c KUHAP sifat kesempurnaan formal tersebut tidak dengan sendirinya mengandung nilai kekuatan pembuktian yang mengikat. Hakim bebas untuk menilai kekuatan pembuktiannya, dan hakim dapat mempergunakan atau menyingkirkannya. Supaya alat bukti surat menurut Pasal 187 KUHAP mempunyai kekuatan mengikat maka harus memenuhi ketentuan Pasal 185 ayat (4) KUHAP yang menjelaskan bahwa alat bukti surat harus bersesuaian dengan alat bukti lain seperti keterangan saksi, dan 45 keterangan terdakwa. Kekuatan pembuktian pada alat bukti surat termasuk alat bukti yang lainnya mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas, artinya hakim tidak terikat untuk menggunakan alat bukti surat sebagai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan Putusan. D. Petunjuk Alat bukti petunjuk dapat ditemukan dalam Pasal 188 KUHAP yang terdiri dari ayat (1), (2), dan (3). Menurut Pasal 188 ayat (1) KUHAP yang diartikan Petunjuk adalah : “Perbuatan, kejadian atau keadaan karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya “. Menurut Pasal 188 ayat (2) KUHAP merumuskan bahwa petunjuk hanyalah dapat diperoleh dari : a. Keterangan saksi; b. Surat; c. Keterangan terdakwa. Syarat – syarat untuk dapat dijadikannya petunjuk sebagai alat bukti haruslah : a. Mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi; b. Keadaan – keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan kejahatan yang terjadi; c. Berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan terdakwa maupun saksi di persidangan. 46 Dengan demikian alat bukti petunjuk baru dapat digunakan sebagai alat bukti jika petunjuk tersebut mempunyai persesuaian dengan keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Jika petunjuk tidak memiliki persesuaian dengan ketiga alat bukti tersebut tidak bisa dipergunakan sebagai alat bukti. Menurut ketentuan Pasal 183 ayat (3) KUHAP bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilaksanakan oleh hakim dengan arif dan bijaksana. Setelah hakim melakukan pemeriksaan dengan cermat dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Alat bikti petunjuk mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang bebas yakni : a. Hakim tidak terikat pada kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Oleh karena itu hakim bebas menilainya dan menggunakannya sebagai upaya pembuktian. b. Petunjuk sebagai alat bukti tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang – kurangnya satu alat buktiyang lain. E. Keterangan Terdakwa Alat bukti terdakwa didapati pada urutan terakhir dari alat – 47 alat bukti yang ada dan uraiannya terdapat pada Pasal 189 ayat (1) KUHAP yang merumuskan sebagai barikut : “ keterangan terdakwa ialah yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri “. Didalam Pasal 295 HIR, tentang pengakuan terdakwa berarti disini terdakwa telah mengaku bahwa ia yang melakukan tindak pidana yang didakwakan dan terdakwa mengaku bahwa ia bersalah. Menurut Andi Hamzah keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan, semua keterangan terdakwa hendaknya didengar apakah itu berupa penyangkalan ataupun pengakuan sebagai dari perbuatan atau keadaan. Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan pengakuan karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat : a. Terdakwa mengaku bahwa ia yang melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. b. Terdakwa mengakui bahwa dia yang bersalah. Pada pengakuan terasa mengandung suatu pernyataan tentang sesuatu yang dilakukan seseorang sedangkan pada keterangan pengertiannya lebih bersifat suatu penjelasan akan sesuatu yang akan dilakukan seseorang. 48 Untuk menentukan bahwa keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang – undang diperlukan beberapa asas sebagai landasan berpijak, antara lain : 1. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan ; 2. Tentang perbuatan yang ia lakukan atau ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri. Sebagai asas ke dua ini, agar keterangan terdakwa dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus memuat pernyataan atau penjelasan tentang : a. Perbuatan yang dilakukan terdakwa ; b. Apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa ; c. Atau apa yang dialami sendiri oleh terdakwa. 3. Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti bagi dirinya sendiri. Pasal 189 ayat (3) KUHAP merumuskan : “Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”. Semua yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang kedudukannya sebagai terdakwa, hanya dapat digunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara pidana terdakwanya terdiri dari beberapa orang, masing - masing 49 keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat pada diri sendiri. 4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup membuktikan kesalahannya. Pasal 189 ayat ( 4 ) KUHAP merumuskan : “ keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain “. Ketentuan tadi merupakan penegasan prinsip batas minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP. Pasal 183 KUHAP menentukan asas pembuktian bahwa untuk menjatuhkan kesalahannya pidana harus dapat terhadap seorang terdakwa, dibuktikan dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah. 3. Teori pembuktian Dalam menilai kekuatan pembuktian alat – alat bukti yang ada dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian. Sistem / teori sistem pembuktian dalam hukum acara pidana dibedakan menjadi 4 macam yaitu: 1. Sistem / tori pembuktian berdasarkan undang – undang secara positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie). Pembuktian yang didasarkan kepada alat – alat pembuktian sebagaimana yang disebutkan dalam undang – undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasar undang – undang secara positif 50 (Positive Wettelijk Bewijstheorie). Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang – undang saja, artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat – alat bukti yang disebut oleh undang – undang maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal (formele bewijstheorie). 2. Sistem / teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu (Conviction Intime). Teori ini artinya yaitu teori pembuktian menurut keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya sendiri. Dengan sistem ini pemidanaan tanpa didasarkan kepada alat – alat bukti dalam undang – undang. Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Disamping itu, terdakwa atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang di dakwakan. Sistem ini disebut juga conviction intime. 3. Sistem / teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (Laconviction Raisonnee). Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar – 51 dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang logis, yang berlandaskan kepada peraturan – peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan hakim dijatuhkan dengan suatu motivasi. Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan – alasan keyakinannya (vrije bewijsteorie).21 4. Sistem / teori pembuktian berdasarkan undang – undang secara negatif (negatief wettelijk). Disebut wettlijk oleh karena kesalahan terdakwa harus dibuktikan dari adanya alat- alat bukti yang sah menurut undang – undang. Sedangkan disebut negatif karena adanya alat – alat bukti tertentu yang ditentukan oleh undang – undang itu saja belum mewajibkan (hakim boleh tidak percaya) hakim untuk menyatakan telah terbukti. Untuk itu masih disyaratkan adanya keyakinan hakim. Dengan kata lain penilain kekuatan bukti dari alat – alat bukti yang telah diajukan dalam persidangan itu sepenuhnya diserahkan kepada hakim. Adapun sestem pembuktian menurut undang – undang yang negatif terjelma dalam Pasal 183 KUHAP yang dirumuskan sebagai berikut : 21 Andi Hamzah, Op. Cit.,hlm. 251-253. 52 “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar - benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya“. C. Alat Bukti Keterangan Ahli Forensik 1. Keterangan Ahli Forensik Salah satu alat bukti yang tercantum dalam pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP adalah alat bukti keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah. Pengertian keterangan ahli berdasarkan KUHAP diatur pada Pasal 1 angka 28 yang merumuskan sebagai berikut : “Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seoramg yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Pasal 133 KUHAP merumuskan tentang keterangan ahli kedokteran yang berperan dalam membantu penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana yang berakibat korban luka, keracunan ataupun mati, yaitu ; (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secra tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. (3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlikan secra baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat 53 identitas mayat, dilakukan dengan diberi cap jabatan yang dilakukan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat. Berdasarkan ketentuan Pasal 133 ayat (1) KUHAP tersebut maka dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa seorang ahli yang dapat diminta keterangannya adalah : a. Ahli kedokteran forensik b. Dokter c. Dan ahli lainnya Keterangan dari seorang ahli dapat disampaikan melalui dua cara yaitu sebagai berikut : 1. Secara langsung / lisan Dalam hal ini ahli dipanggil menghadap penyidik untuk memberi keterangan “langsung” di hadapan pemeriksaan penyidik, sesuai dengan keahlian khusus yang dimilikinya. a. Sifat yang diberi menurut “pengetahuan”. Keterangan saksi berupa apa yang ia lihat, ia dengar atau ia alami sendiri dengan menyebut alasan pengetahuannya. Sedang sifat keterangan ahli, semata-mata didasarkan pada “pengetahuan” yang khusus dimiliki sesuai dengan bidang keahliannya. b. Sebelum dilakukan pemeriksaan mengucap “sumpah” atau “janji”. c. Ahli dapat menolak untuk memberikan keterangan yang dimana apabila harkat martabat, pekerjaan atau jabatannya mewajibkannya menyimpan rahasia.22 2. Secara tertulis 22 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan) Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 146. 54 Hasil pemeriksaan ataupun pendapat dari seorang ahli tersebut dituangkan dalam bentuk laporan tertulis. Hal ini diatur dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP yang merumuskan : “Keterangan ahli ini dapat juga diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Keterangan ahli yang diminta secara resmi dan disampaikan dalam bentuk tertulis mempunyai nilai kekuatan pembuktian sebagai alat bukti surat.” Hal ini didasarkan pada Pasal 187 huruf c KUHAP yang merumuskan: “surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau suatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya”. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut diatas, jelas bahwa KUHAP membedakan keterangan seorang ahli yang disampaikan di persidangan sebagai alat bukti “keterangan ahli” (Pasal 187 huruf c KUHAP) dan keterangan seorang ahli yang disampaikan secara tertulis diluar sidang pengadilan sebagai alat bukti surat (Pasal 187 huruf c KUHAP). Salah satu ahli yang keterangannya dapat dijadikan sebagai alat bukti adalah mereka yang berprofesi sebagai dokter. Tugas dokter sehari – hari dalam rangka membantu aparat penegak hukum pekerjaan terbanyak yang harus dilakukan adalah memeriksa dan bila perlu merawat orang yang telah mengalami kekerasan, disamping memeriksa mayat dan melakukan otopsi. Pasal yang mengatur tentang 55 kewajiban dokter untuk member keterangan kepada yang berwajib adalah Pasal 179 KUHAP yang merumuskan : (1) Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. (2) Semua ketentuan tersebut diatas untuk saksi berlaku juga bagi mereka yang memberikan keterangan ahli, derngan ketentuan bahwa mereka mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang sebaik – baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Selanjutnya barang – barang yang diperiksa oleh dokter, baik itu orang hidup, jenazah, organ tubuh, atau benda yang didapatkan dari dalam tubuh adalah merupakan barang bukti. Kedudukannya tidak berbeda seperti benda bukti lainnya yang didapat dari tempat kejadian atau tempat lain yang disita oleh penyidik. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 39 ayat (1) KUHAP yang merumuskan : Yang dapat dikenakan penyitaan adalah : a. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana; b. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya; c. Benda yang dipergunakan untuk menghalang – halangi penyidikan tindak pidana; d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana; e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan. Fungsi dari barang – barang bukti dapat untuk menambah keyakinan hakim tentang tindak pidana yang didakwakan pada terdakwa. Di dalam 56 sidang nanti, benda – benda tersebut oleh hakim akan ditujukan kepada terdakwa dan bila perlu saksi – saksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 181 KUHAP. 2. Visum et Repertum a. Tujuan Visum et repertum Terkait dengan peranan dokter dalam membantu penyidik memberikan keterangan medis mengenai keadaan korban pembunuhan, hal ini merupakan upaya untuk mendapatkan bukti atau tanda pada diri korban yang dapat menunjukkan bahwa telah benar terjadi suatu tindak pidana pembunuhan. Keterangan dokter yang dimaksudkan tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk surat hasil pemeriksaan medis yang disebut dengan visum et repertum. Menurut pengertiannya, visum et repertum diartikan sebagai: Laporan tertulis untuk kepentingan peradilan (pro yustisia) atas permintaan yang berwenang, yang dibuat oleh dokter, terhadap segala sesuatu yang dilihat dan ditemukan pada pemeriksaan barang bukti, berdasarkan sumpah pada waktu menerima jabatan, serta berdasarkan pengetahuannya yang sebaikbaiknya.23 Berdasarkan pendapat tersebut diatas, maka dapat dijelaskan bahwa keterangan ahli yang diminta secara resmi dan disampaikan 23 H.M. Soedjatmiko, Ilmu Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang, 2001, hlm. 1. 57 dalam bentuk tertulis mempunyai nilai kekuatan pembuktian sebagai alat bukti surat sebagai hasil pemeriksaan medis disebut visem et repertum. Tugas seorang dokter dalam bidang ilmu kehakiman adalah membantu para petugas Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman dalam mengungkap suatu perkara pidana yang berhubungan dengan perusakan tubuh, kesehatan dan nyawa manusia, sehingga bekerjanya harus obyektif dengan mengumpulkan kenyataan – kenyataan dan menghubungkan satu sama lain secara logis untuk kemudian mengambil kesimpulan. Maka olehkarenanya pada waktu memberi laporan dalam “pemberitaan” visum et repertum itu harus sesungguh – sungguhnya dan seobyektif- obyektifnya tentang apa yang dilihat dan ditemukan pada waktu pemeriksaan, dan dengan demikian visum et repertum merupakan kesaksian tertulis. b. Nilai Kekuatan dan Kedudukan Hukum Visum et Repertum Visum et Repertum sebagai pengganti sepenuhnya dari barang bukti yang diperiksa, maka pada hakekatnya visum et repertum mempunyai kedudukan yang sama dengan alat bukti lainnya. Oleh karena itum visum et repertum mempunyai kekuatan pembuktian yang sah. Dengan kata lain visum et repertum adalah alat bukti surat yang 58 sah, yang dapat meyakinkan hakim dalam menjatuhkan putusan kepada terdakwa terhadap perbuatannya. Visum et repertum mempunyai kekuatan sebagai alat bukti sebab yang dimuat dalam pemberitaannya merupakan kesaksian tertulis tentang semua hal atau keadaan yang dilihat dan ditemukan pada waktu melakukan pemeriksaan, jadi sama halnya dengan seseorang yang melihat dan menyaksikan sendiri. Sedangkan kesimpulan dalam visum et repertum dibuat untuk memudahkan hakim atau jaksa untuk mengetahui tentang apa yang diperiksa. Kesimpulan harus dibuat dengan logis agar dapat diterima oleh hakim atau jaksa, tetapi jika kesimpulannya tidak logis maka hakim atau jaksa dapat menolak hasil visum et repertum serta menentukan jalan sendiri. D. Tindak Pidana Pembunuha 1. Tindak Pidana Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya Menghilangkan nyawa berarti menghilangkan kehidupan pada manusia yang secara umum disebut “pembunuhan”. Pembunuhan dalam sejarah kehidupan manusia telah terjadi sejak dahulukala dan pengaturannya atau hukumnyapun telah ditentukan Tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibu kandungnya diatur dalam Pasal 341 KUHP yang rumusannya adalah : 59 “seorang ibu yang, karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”. Pasal ini mengancam hukuman penjara selama – lamanya 7 tahun. Yang terkena pasal ini adalah seorang ibu, baik kawin maupun tidak, yang dengan sengaja (tidak direncanakan lebih dulu) membunuh anaknya pada waktu dilahirkan atau tidak beberapa lama sesudah dilahirkan, karena takut ketahuan, bahwa ia sudah melahirkan anak. Kejahatan ini dinamakan “membunuh biasa anak” atau “maker mati anak (kinderdoodslag)”. Pasal 342 KUHP memuat perbuatan yang wujudnya sama dengan yang dimuat dalam pasal 341 dengan perbedaan bahwa dalam pasal 342 perbuatannya dilakukan untuk menjalankan kehendak yang ditentukan sebelum anak dilahirkan. Tindak pidana ini dinamakan pembunuhan anak berencana (kindermord) dan diancam dengan maksimum hukuman Sembilan tahun penjara. Perlu dicatat bahwa tidak diperlukan, apakah si ibu mempunyai suami atau tidak. Cukup apabila si ibu ada alasan untuk merahasiakan kelahiran si anak. Demikian juga, tidak diperlukan terhadap siapa kelahiran ini harus dirahasiakan. 2. Unsur – Unsur Tindak Pidana Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya Pada tindak pidana pembunuhan sebagaimana diatur dalam Pasal 341, memuat unsur-unsur sebagai berikut: 60 1. Seorang ibu; 2. Dengan sengaja; 3. Menghilangkan jiwa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah dilahirkan, karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak. Unsur - unsur terpenting dalam pembunuhan anak adalah : 1. Pembunuhan anak itu harus dilakukan oleh ibunya sendiri. Apakah si ibu itu mempunyai suami atau tidak, hal ini tidak menjadi soal. 2. Pembunuhan anak ini harus terdorong oleh rasa ketakutan akan diketahui melahirkan anak itu. Biasanya anak yang didapat itu karena hasil hubungan kelamin yang tidak sah atau berzinah. Apabila unsur – unsur ini tidak ada, maka perbuatan ini dikenakan sebagai pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP). Perasaan takut itu begitu menekan dan meliputi seluruh pikiran si ibu itu, sampai pada mengalahkan rasa cinta sebagai ibu terhadap anaknya. Faktor inilah yang menggerakkan pembuat undang – undang untuk menetapkan ancaman hukuman yang lebih ringan daripada pembunuhan biasa. 61 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, dimana dalam konsep pendekatan ini hukum akan pandangan sebagai kaidah-kaidah hukum yang konsisten dalam peraturan perundang – undangan, yang bersifat otonom dan menyampaikan faktor – faktor diluar hukum. Ronny Hanitijo memberikan pengertian mengenai pendekatan yuridis normatif sebagai berikut : Pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsepsi legistis positivis. Konsep ini memandang hukum sebagai norma – norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga dan pejabat yang berwenang, selain itu konsepsi ini juga memandang hukum sebagai system normatif yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat dan menganggap norma lain itu bukan sebagai norma hukum.24 Soerjono Soekanto, di pihak lain mengemukakan pendapatnya mengenai penelitian hukum normatif sebagai berikut : Penelitian hukum normatif (disamping adanya penelitian hukum sosiologis atau empiris yang terutama meneliti data primer) adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. Penelitian hukum normatif atau kepustakaan tersebut mencangkup : 1. Penelitian terhadap asas – asas hukum 2. Penelitian terhadap sistematika hukum 3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertical dan horizontal 24 Ronny Hanitijo Soemitro.1990.Metodologi Penelitian dan Jurimetri.Ghalia Indonesia. Jakarta. Hlm. 13-14. 62 4. Perbandingan hukum 5. Sejarah hukum.25 Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif karena penelitian ini dikonsepsikan dan dikembangkan atas dasar peraturan perundang – undangan yang ada dengan cara meneliti bahan kepustakaan yang bertujuan untuk mengetahui suatu aturan hukum. Prinsip – prinsip hukum yang berkaitan dengan kekuatan alat bukti keterangan ahli kedokteran forensik dalam pembuktian perkara tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibunya pada putusan No. 147/Pid.B/2013/PN.PWT. penggunaan pendekatan ini di atas didasarkan pada asumsi bahwa hukum dalam penelitian ini dikonsepsikan sebagai putusan – putusan lembaga - lembaga atau institusi yang berwenang yang tersistem dalam kegiatan upaya penyidikan yang berorientasi pada penemuan hukum konkreto yang bersumber pada putusan – putusan pengadilan. B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang dipakai adalah bersifat perskriptif. Karena Peter Mahmud Marzuki menyatakan bahwa ilmu hukum merupakan ilmu yang bersifat perskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai – nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep – konsep hukum dan norma – norma hukum. Sebagai ilmu terapan ilmu 25 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2000. Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat. Rajawali Pers. Jakarta. Hlm. 13-14 63 hukum menetapkan standar prosedur, ketentuan – ketentuan, rambu – rambu dalam melaksanakan aturan hukum.26 C. Sumber Data 1. Data Sekunder Pada penelitian normatif bahan pustakamerupakan data dasar, dimana dalam penelitian ini penulis mengumpulkan bahan primer, bahan sekunder, dan bahan hukum tersier yang merupakan data sekunder. Data sekunder dibagi menjadi 3 ( tiga ) bagian, yaitu : a. Bahan hukum primer, adalah bahan hukum yang diperoleh dari peraturan perundang – undangan serta dokumen resmi lain sesuai dengan pokok masalah yang diajukan. b. Bahan hukum sekunder, adalah berupa Putusan Nomor : 147/Pid.B/2013/PN. Pwt. c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, ensiklopedia, dan lain – lain. 2. Data Primer Bahan hukum primer adalah data yang diperoleh langsung dari masyarakat. Bahan hukum primer diperoleh langsung dari sumber pertama, yakni perilaku warga masyarakat, melalui penelitian. 26 hlm. 91 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Perdana Media Group, Jakarta, 2005, 64 D. Metode Pengambilan Bahan Hukum Bahan hukum sekunder, diperoleh melalui studi pustaka terhadap peraturan perundang – undangan, buku – buku, literatur – literatur, artikel – artikel, doktrin – doktrin, dokumen – dokumen yang berhubungan dengan materi penelitian, dan Putusan Nomor : 147 / Pid.B / 2013 / PN. Pwt. Yang bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang kekuatan alat bukti keterangan ahli forensik dalam tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibunya pada Putusan Nomor :147 / Pid.B / 2013 / PN. Pwt.tersebut. E. Penyajian Data Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis. Maksudnya bahwa data – data yang diperoleh akan dihubungkan sedemikian rupa dan disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti sehingga tercipta satu kesatuan yang utuh. F. Metode Analisis Data Data yang diperoleh akan dianalisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif, yaitu penyusunan secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas dengan tidak menggunakan rumus maupun kuantitatif atau dengan cara menjabarkan dan menafsirkan data yang diperoleh berdasarkan norma atau kaidah, teori, pengertian hukum dan doktrin yang terdapat dalam ilmu hukum khususnya dalam hukum acara pidana. 65 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian Dari hasil penelitian tentang Putusan Perkara Nomor : 147/Pid.B/2013/PN.PWT., pada pengadilan Negeri Purwokerto diperoleh hasil sebagai berikut : 1. Duduk Perkara Terdakwa ATI binti SHI, pada hari Selasa tanggal 31 Agustus 2013 sekitar pukul 09.00 WIB atau setidak – tidaknya dalam Tahun 2013 bertempat di Kalen (sungai kecil / saluran air) di Desa Babakan Rt. 03 Rw. 02 Gr Karanggandul Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas, dengan sengaja menghilangkan jiwa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak beberapa lama sesudah dilahirkan, karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak, perbuatan itu dilakukan dengan cara sebagai berikut : Bahwa berawal dari terdakwa yang berpacaran dengan saksi RKI bin TGH, dan pada bulan Desember 2012 terdakwa dan saksi RKI bin TGH melakukan hubungan layaknya suami istri. Terdakwa pada bulan Januari 2013 tidak menstruasi atau hamil. Selama kehamilannya terdakwa tidak pernah menceritakan kepada saksi SHI selaku orang tua terdakwa maupun kepada saksi FTA yaitu kakak kandung terdakwa, terdakwa merahasiakan kehamilannya dan hanya memberitahukan kepada saksi RKI. 66 Pada hari Selasa tanggal 13 Agustus 2013 sekitar pukul 02.00 WIB terdakwa merasa perutnya mulas, kemudian terdakwa pergi ke kamar mandi, lalu terdakwa jongkok sambil ngeden (mengeluarkan secara paksa) beberapa kali namun tidak keluar – keluar, kemudian terdakwa berdiri dan tiba – tiba bayi berjenis kelamin laki – laki keluar dari vagina terdakwa dan terjatuh dalam posisi tengkurap. Kemudian terdakwa duduk jongkok untuk memeriksa bayi berjenis kelamin laki – laki tersebut, pada saat berjongkok lalu keluar ari – ari dari vagina terdakwa, selanjutnya terdakwa memegang – megang bayi berjenis kelamin laki – laki apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia karena bayi berjenis kelamin laki – laki tidak bergerak dan tidak menangis. Atas kejadian tersebut timbul niat terdakwa untuk membuang bayi berjenis kelamin laki – laki tersebut ke kalen (sungai kecil / saluran air) hingga bayi tersebut terbawa arus air sungai.Kemudian terdakwa kembali lagi ke kamar mandi, setelah itu terdakwa masuk ke kamar tidur terdakwa. Sekitar pukul 09.00 WIB pada saat saksi SMT sedang mencuci muka di kalen (sungai kecil / saluran air) di Desa Babakan Rt. 03 Rw. 02 Gr. Karanggandul Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas, tiba – tiba melihat ada seperti boneka, lalu saksi memberitahu kepada saksi SLK dan warga sekitar. Selanjutnya bayi berjenis kelamin laki – laki tersebut di bawa ke Puskesmas Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas untuk dilakukan Visum. 67 Berdasarkan dari Visum Et Repertum Puskesmas Karanglewas No. 335 / VIII / 2013 tanggal 24 Agustus 2013 yang ditanda tangani oleh dr. Suripto yang pada kesimpulannya antara lain disebutkan : Kepala tidak terdapat luka, bibir tampak kebiruan, mata tertutup, kulit berwarna putih, panjang tali pusat 15 cm, luka tali pusat teratur, masih ada perdarahan tali pusat, pada bagian punggung terdapat luka lecet, bagian perut tidak ada luka, ada lebam mayat, tangan dan kaki tidak ada luka, terdapat tinja dilubang dubur, dan ada kaku mayat, kesimpulan telah diperiksa jenasah bayi laki – laki yang diduga meninggal akibat henti nafas karena sumbatan jalan nafas. Visum et Repertum tersebut dibuat atas kekuatan sumpah jabatan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 187 KUHAP sehingga mempunyai nilai pembuktian, oleh karena iu merupakan salah satu alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) huruf c KUHAP. 2. Surat Dakwaan Berdasarkan surat dakwaan penuntut Umum tertanggal 11 Desember 2013 dengan dakwaan tunggal dimana terdakwa didakwa melanggar Pasal 341 KUHP. 3. Pembuktian Pembuktian dilakukan dengan menghadirkan dan memeriksa untuk mendapatkan keterangan dari para saksi, terdakwa, ahli, mendapat petunjuk 68 dari keterangan saksi dan keterangan terdakwa yang telah diperoleh serta alat bukti surat berupa Visum et Repertum. Pada kasus tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibunya, berdasarkan hasil pemeriksaan dipersidangan terhadap alat – alat bukti yang berupa keterangan saksi – saksi, keterangan terdakwa, keterangan ahli, dan Visum et Repertum maka dapat dianalisis peristiwa pembunuhan tersebut sebagai berikut : a. Keterangan Saksi Dalam persidangan telah diperiksa beberapa orang saksi yang telah disumpah, yang memberi keterangan tentang tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Adapun saksi – saksi tersebut dalah sebagai berikut : 1) Saksi SMT Menerangkan : Pada hari Selasa tanggal 13 Agustus 2013 sekitar pukul 09.00 WIB saki menemukan bayi jenis kelamin laki – laki dalam keadaan meninggal dunia di kalen (sungai kecil / saluran air) Desa Babakan Rt. 03 Rw. 02 Gr. Karanggandul Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas. Pada saat itu, SMT hendak mencuci muka dan membasahi rambut, karena tempat tersebut sering digunakan untuk mencuci sepeda motor oleh warga sekitar karena airnya jernih, kemudian saksi melihat ke sebelah selatan terlihat ada benda seperti boneka kemudian didekati, ternyata adalah bayi berjenis kelamin laki – laki yang masih ada tali pusatnya, kemudian saksi memberitahu warga sekitar. 2) Saksi SLK Menerangkan : 69 Pada hari Selasa tanggal 13 Agustus 2013 sekitar pukul 09.00 WIB saki menemukan bayi jenis kelamin laki – laki dalam keadaan meninggal dunia di kalen (sungai kecil / saluran air) Desa Babakan Rt. 03 Rw. 02 Gr. Karanggandul Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas. Saksi pada saat itu main kerumah teman, kemudian datang saksi SMT dan menyampaikan bahwa dirinya menemukan bayi yang sudah meninggal dunia di kalen (sungai kecil / saluran air) Desa Babakan Rt. 03 Rw. 02 Gr. Karanggandul Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas. saksi diajak oleh saksi SMT untuk melihat bayi tersebut dan ternyata benar ada bayi berjenis kelamin laki – laki di kalen (sungai kecil / saluran air) Desa Babakan Rt. 03 Rw. 02 Gr. Karanggandul Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas. Dan saksi tidak mengetahui orang tua bayi tersebut. 3) Saksi Septi Fitriana Kusuma Ningsih Menyatakan : Pada hari Selasa tanggal 13 Agustus 2013 sekitar pukul 09.00 WIB saki menemukan bayi jenis kelamin laki – laki dalam keadaan meninggal dunia di kalen (sungai kecil / saluran air) Desa Babakan Rt. 03 Rw. 02 Gr. Karanggandul Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas. Saksi adalah bidan di Desa Babakan sejak bulan Agustus 2013 hingga sekarang. Saksi pada saat itu berangkat sebagai bidan desa, sekitar pukul 09.00 WIB, saksi mendapat informasi ada penemuan bayi berjenis kelamin laki – laki di kalen (sungai kecil / saluran air) Desa Babakan Rt. 03 Rw. 02 Gr. Karanggandul Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas sudah dalam keadaan meninggal dunia, kemudian saksi pergi kelokasi tersebut dan ternyata benar terdapat bayi yang sudah meninggal dunia dengan kondisi bayi terendam air yang dalamnya 15 cm, dengan kepala posisi disebelah utara dan kaki di sebelah selatan, dengan kondisi kulit warna putih, rambut hitam, tanpa plasenta / ari – ari. Saksi mengangkat bayi tersebut kemudian dibawa ke Puskesmas Kecamatan karanglewas kabupaten Banyumas untuk dibersihkan dari kotoran dan selanjutnya dilakukan Visum oleh dokter Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas. 70 4) Saksi AGS Menerangkan : Saksi mengetahui terdakwa teman dekat atau pacar saksi RKI. Saksi pernah membeli Handphone merk Nokia Type 1600 casing warna hitam tanpa carger dan tanpa box milik saksi RKI seharga Rp. 50.000.- (lima puluh ribu rupiah). Setelah saksi membeli handphone tersebut, saksi membuka file Handphone tersebut dengan tujuan menghapus file – file di dalam handphone tersebut. Ternyata ada folder pesan singkat , lalu saksi membaca ada pesan terkirim dari Handphone tersebut yang isinya yaitu “Ayah.. memang nggak kasihan sama bunda, perutnya sudah mulai besar nih, dedenya nendang – nendang nih..” dan setelah saya baca kemudian saya hapus. 5) Saksi SHI Menerangkan : Bahwa terdakwa adalah anak kandung saksi. Pada hari Selasa tanggal 13 Agustus 2013 sekitar pukul 09.00 WIB saki menemukan bayi jenis kelamin laki – laki dalam keadaan meninggal dunia di kalen (sungai kecil / saluran air) Desa Babakan Rt. 03 Rw. 02 Gr. Karanggandul Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas. Saksi tidak mengetahui kalau terdakwa telah melahirkan, karena selama ini saksi juga tidak mengetahui bila terdakwa sedang hamil, padahal selama ini terdakwa masih tinggal serumah dengan saksi. Saksi sebelumnya pernah menanyakan kepada terdakwa tentang kecurigaan saksi bahwa terdakwa hamil, karena saksi mendengar pembicaraan tetangga yang curiga bila terdakwa hamil, dan pada saat itu terdakwa tidak mengaku kalau sedang hamil, kemudian saksi percaya dengan pengakuan terdakwa. Saksi pernah mengajak terdakwa untuk periksa ke Puskesmas, namun terdakwa menolak dengan alasan bahwa dirinya tidak hamil. Saksi mengetahui jika terdakwa mempunyai teman dekat atau pacar yaitu RKI anaknya saksi TGH sudah setahun lebih. Saksi baru mengetahui kalau terdakwa telah melahirkan dan membuang bayinya 71 yaitu dari pengakuan terdakwa sendiri setelah diproses di kepolisian Karanglewas. 6) Saksi FTA Menerangkan : Terdakwa adalah adik kandung saksi. Pada hari Selasa tanggal 13 Agustus 2013 sekitar pukul 09.00 WIB saksi menemukan bayi jenis kelamin laki – laki dalam keadaan meninggal dunia di kalen (sungai kecil / saluran air) Desa Babakan Rt. 03 Rw. 02 Gr. Karanggandul Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas. Saksi tidak mengetahui kalau terdakwa telah melahirkan, karena selama ini saksi juga tidak mengetahui bila terdakwa sedang hamil, padahal selama ini terdakwa masih tinggal serumah dengan saksi.Pada bulan April 2013 saksi sebelumnya pernah menanyakan kepada terdakwa tentang kecurigaan tetangga bila terdakwa hamil, dan pada saat itu terdakwa tidak mengaku kalau sedang hamil, kemudian saksi percaya kepada pengakuan terdakwa. Saksi mengetahui kalau terdakwa mempunyai teman dekat atau pacar yaitu saksi RKI anaknya saksi TGH sudah setahun lebih.Saksi RKI sering datang kerumah, dan saksi sering bertemu dan biasanya mereka bertemu diruang tamu.Saksi baru mengetahui kalau terdakwa telah melahirkan dan membuang bayinya yaitu dari pengakuan terdakwa sendiri setelah diproses di kepolisian Karanglewas. 7) Saksi TGH Menerangkan : Saksi adalah ayah kandung saksi RKI. Pada hari Sabtu bulan Agustus 2013 saksi mendengar informasi atau pembicaraan masyarakat ditemukan bayi jenis kelamin laki – laki dalam keadaan meninggal dunia di kalen (sungai kecil / saluran air)Desa Babakan Rt. 03 Rw. 02 Gr. Karanggandul Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas. Saksi mengenal terdakwa sejak tahun 2012 sebagai teman dekat atau pacar anak saya yaitu RKI. Sekitar 4 (empat) bulan yang lalu pada saat saksi sedang di Sulawesi, saksi RKI menelpon saksi dan 72 bercerita bahwa pacarnya yaitu terdakwa sedang hamil sekitar 2 (dua) bulan, kemudian saksi memberi saran untuk menemui PS, maksudnya untuk mencari solusi. b. Keterangan Terdakwa Terdakwa pada waktu pemeriksaan di depan persidangan, pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut: Saksi sekarang adalah suami dari terdakwa, karena saksi menikah dengan terdakwa setelah kasus ini diproes di Kepolisian. Pada hari Selasa tanggal 13 Agustus 2013 sekitar pukul 09.00 WIB saki menemukan bayi jenis kelamin laki – laki dalam keadaan meninggal dunia di kalen (sungai kecil / saluran air) Desa Babakan Rt. 03 Rw. 02 Gr. Karanggandul Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas. Saksi mengenal terdakwa sejak tahun 2012 sebagai teman dekat atau pacar saksi. Sekitar 4 (empat) bulan yang lalu pada saat saksi menelpon saksi TGH yaitu orang tua saksi yang sedang berada di Sulawesi dan saksi menceritakan bahwa pacarnya yaitu terdakwa sedang hamil sekitar 2 (dua) bulan, kemudian saksi memberi saran untuk menghubungi PS, maksudnya supaya mencari solusinya namun saksi tidak kesana. Saksi mengetahui bahwa terdakwa telah membuang bayi jenis kelamin laki – laki dalam keadaan meninggal dunia di kalen (sungai kecil / saluran air) Desa Babakan Rt. 03 Rw. 02 Gr. Karanggandul Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas, karena terdakwa memberitahu saksi. Saksi pernah melakukan hubungan layaknya suami isteri dengan terdakwa yaitu dari awal pertengahan tahun 2012 dan saksi melakukan hubungan layaknya pasangan suami isteri kurang lebih satu bulan sekali. Terahir saksi melakukan hubungan layaknya pasangan suami isteri yaitu pada bulan Desember 2012. Pada bulan Februari 2013 terdakwa menceritakan kepada saksi kalau terdakwa sedang hamil atau sedah telat menstruasi. Saksi melihat perut terdakwa dari hari ke hari semakin besar dan pada bulan April 2013 saksi yakin kalau terdakwa telah mengandung anak saksi. Pada hari Senin tanggal 12 Agustus 2013 sekitar pukul 20.00 WIB, saksi datang kerumah terdakwa, karena terdakwa sering mengeluh sakit dibagian perutnya, lalu saksi mengajak terdakwa untuk jalan – jalan dan mencari bidan untuk memeriksa kandungan dan karena tidak mempunyai uang akhirnya tidak 73 jadi untuk memeriksakan kandungan, lalu saksi mengajak terdakwa pulang kerumah. Dan saksi menunggu terdakwa sampai jam 22.30 WIB lalu saksi pulang kerumah. Pada hari Selasa tanggal 13 Agustus sekitar pukul 08.30 WIB, terdakwa memberitahu saksi kalau telah melahirkan dan bayinya dibuang di kalen (sungai kecil / saluran air) Desa Babakan Rt. 03 Rw. 02 Gr. Karanggandul Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas belakang rumah. Saksi tidak melaporkan kejadian tersebut kepada pihak yang berwajib karena saksi takut dan kasihan terhadap terdakwa. c. Keterangan Ahli Berdasarkan keterangan yang diberikan oleh dr. Suripto dalam Visum et Repertum Puskesmas Karanglewas No. 350/VIII/2013, tanggal 24 Agustus 2013 menerangkan : Saksi adalah dokter yang melakukan pemeriksaan terhadap bayi berjenis kelamin laki – laki yang ditemukan di kalen (sungai kecil / saluran air) Desa Babakan Rt. 03 Rw. 02 Gr. Karanggandul Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas yang kemudian dari hasil pemeriksaan saksi dituangkan dalam Visum et Repertum yang telah diserahkan ke pihak Kepolisian. Benar Visum et Repertum Puskesmas karanglewas No. 350 / VIII / 2013, tanggal 24 Agustus 2013 yang ditandatangani oleh dr. Suripto, dari hasil pemeriksaan ditemukan kepala tidak terdapat luka, bibir tampak kebiruan, mata tertutup, kulit berwarna putih, panjang tali pusat 15 cm, luka tali pusat teratur, masih ada pendarahan tali pusat, pada bagian punggung terdapat luka lecet, bagian perut tidak ada luka, ada lebam mayat, tangan dan kaki tidak ada luka, terdapat tinja di lubang dubur, dan ada kaku mayat, kesimpulan telah diperiksa jenazah bayi laki – laki yang diduga meninggal akibat henti nafas karena sumbatan jalan nafas. Adalah benar hasil pemeriksaan saksi terhadap bayi berjenis kelamin laki – laki tersebut. Saat saksi melakukan pemeriksaan terhadap jenazah bayi tersebut kepala tidak terdapat luka, bibir tampak kebiruan, mata tertutup, kulit berwarna putih, panjang tali pusat 15 cm, luka tali pusat teratur, masih ada 74 pendarahan tali pusat, artinya pada saat dipotong saksi duga menggunakan benda tajam dan masih ada darah artinya menunjukkan luka tersebut merupakan luka baru, pada bagian punggung terdapat luka lecet artinya luka tersebut diduga terjadi adanya gesekan dengan benda lain, bagian perut tidak ada luka, ada lebam mayat, tangan dan kaki tidak ada luka, terdapat tinja dilubang dubur, dan ada kaku mayat. Kesimpulan dari pemeriksaan tersebut diduga meninggal akibat henti nafas karena sumbatan jalan nafas, jadi diduga pada saat dilahirkan menurut saksi, bayi tersebut masih hidup dan meninggalnya setelah dilahirkan, karena melihat ciri tubuhnya masih segar. Tanda – tanda bayi yang meninggal di dalam kandungan yaitu, kepala bayi melembek karena terjadi pengempukan kerangka tulang kepala dan otak yang mencair, terjadi pembekuan darah kalau diiris darah tidak akan mengalir, badan kemerah – merahan, melekuk dan pecah, kulit tanpa keriput karena sudah tidak ada aliran makanan ke plasenta, tidak ada lebam mayat, tidak mengeluarkan tinja, bayi bisa keluar sepontan dan juga bisa tidak lahir sepontan karena dilihat dari usia kandungan atau kematangan kandungan. Tanda – tanda bayi meninggal setelah di lahirkan yaitu kepala keras atau utuh, ada kaku mayat karena sudah tidak ada metabolism dan kaku mayat mulai berkembang dua jam setelah kematian dan sluruh tubuh akan kaku total skitar 10-12 jam, ada lebam karena lebam mayat terjadi 30 menit serelah kematian, dan tali plasenta masih mengeluarkan darah bila diiris. Bayi yang saksi periksa adalah bayi yang meninggal sesaat setelah dilahirkan karena ada lebam mayat, darah segar masih mengalir pada saat tali plasenta diiris, ada tinja didubur, kulit badan masih segar karena tidak terjadi pengeriputan, dan bayi tersebut meninggal kurang dari 6 jam karena belum ada kaku mayat. Bayi yang saksi periksa meninggal karena tersumbat jalan nafas karena bayi yang baru lahir masih dalam keadaan kritis sehingga harus memerlukan penanganan yang intensif misal suhu badan yang dingin harus dimasukkan incubator dan jika saat lahir tidak menangis, bayi harus dirangsang agar menangis biar tidak tersumbat jalan nafasnya karena akan mengakibatkan kematian pada bayi. Bayi yang meninggal dalam kandungan tidak mungkin mengeluarkan darah pada saat tali plasenta diiris dan tidak mungkin mengeluarkan tinja. Saksi melihat bayi yang saksi periksa, bayi itu dilahirkan dalam usia kandungan yang sudah matang atau sudah waktunya untuk dilahirkan. Untuk memastikan penyebab meninggalnya bayi tersebut harus dilakukan otopsi, tetapi saksi yakin jika bayi tersebut meninggal setelah dilahirkan karena masih mengeluarkan darah dan terdapat tinja di dubur dan kepala bayi masih utuh atau keras. 75 d. Barang Bukti Barang bukti yang diajukan dan diperlihatkan pada saat pemeriksaan di pengadilan adalah sebagai berikut : 2) 1 (satu) potong kaos warna abu – abu tua bagian depan dan belakang bertuliskan WOLES; 3) 1 (satu) potong celana pendek warna ungu bunga - bunga samping kiri lipatan jahitan tertulis KEEP AWAY FROM FIRE; 4) 1 (satu) buah dalaman orange garis – garis samping kanan dan kiri gambar bunga – bunga; 5) 1 (satu) buah HandPhone Nokia 1600 warna hitam pinggir warna coklat tua. Barang bukti yang diajukan di persidangan tersebut telah disita secara sah menurut hukum karena itu dapat digunakan untuk memperkuat pembuktian. Ketua Sidang / Majelis Hakim pun telah memperlihatkan barang bukti tersebut kepada terdakwa dan saksi – saksi oleh yang bersangkutan telah membenarkan. e. Petunjuk Berdasarkan alat bukti keterangan saksi – saksi, keterangan terdakwa dan alat bukti surat berupa Visum et Repertum, didapat petunjuk sebagai berikut : a) Berdasarkan Pasal 188 ayat (1) KUHAP, petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Selanjutnya dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP petunjuk tersebut hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. b) Berdasarkan keterangan para saksi yang dibenarkan oleh terdakwa dengan didukung oleh alat bukti surat berupa Visum et repertum serta keterangan terdakwa ATI binti SHI yang saling berkaitan antara satu dengan lainnya telah memberikan petunjuk bahwa telah terjadi tindak pidana seorang ibu dengan sengaja menghilangkan jiwa anaknya yang dilahirkan Karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak. 76 c) Berdasarkan Pasal 188 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP petunjuk tersebut menjadi salah satu alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP. 4. Tuntutan Pidana Penuntut umum yang pada pokoknya meminta tuntutan pidananya tertanggal 11 Desember 2013 yang pada pokoknya agar Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan : 1. Menyatakan bahwa terdakwa ATI binti SHI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “menghilangkan jiwa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah dilahirkan, karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak, sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 341 KUHP; 2. Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa ATI binti SHI selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan dikurangi selama waktu terdakwa menjalani tahanan sementara, dan memerintahkan terdakwa tetap berada dalam tahanan; 3. Menyatakan barang bukti berupa ; a. 1 (satu) potong kaos warna abu – abu tua bagian depan dan belakang bertuliskan WOLES; b. 1 (satu) potong celana pendek warna ungu kembunga - bunga samping kiri lipatan jahitan tertulis KEEP AWAY FROM FIRE; c. 1 (satu) buah dalaman orange garis – garis samping kanan dan kiri gambar bunga – bunga; d. 1 (satu) buah HandPhone Nokia 1600 warna hitam pinggir warna coklat tua. 77 5. Putusan Pengadilan a. Pertimbangan Hukum Hakim Menimbang, bahwa berdasarkan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan, terdakwa telah didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan tunggal, sehingga Majelis Hakim akan mempertimbangkan surat dakwaan yang pembuktiannya lebih mengaruh kepada fakta di persidangan, yaitu Pasal 341 KUHP yang unsur – unsurnya adalah sebagai berikut : 1. Seorang ibu; 2. Dengan sengaja; 3. Menghilangkan jiwa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah dilahirkan, karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak. Ad. 1. Unsur Seorang Ibu : Bahwa rumusan SEORANG IBU adalah mengacu kepada seorang perempuan yang mempunyai anak, baik anak tersebut lahir dalam ikatan perkawinan maupun diluar perkawinan; Dalam ketentuan pidana seorang ibu sebagai obyek hukum adalah untuk menunjukkan tentang subyek atau pelaku tindak pidana. Bahwa setiap ibu yang merupakan sebyek dalam hukum pidana merupakan pelaku tindak pidana, dan dapat 78 dipertanggungjawabkan secara pidana terhadap perbuatan – perbuatan yang dilakukan (yang didakwakan kepadanya). Bahwa yang diajukan dalam perkara ini adalah orang yang bernama ATI dengan semua identitas sesuai termuat dalam surat dakwaan, dan terdakwa membenarkan identitas sebagaimana tercantum dalam dakwaan Penuntut Umum tersebut sehingga tidak terdapat kekeliruan terhadap orang yang diajukan sebagai terdakwa dipersidangan; Bahwa selama persidangan, terdakwa dalam keadaan sehat dan tidak ada alasan yang mendukung pembuktian bahwa terdakwa dalam melakukan perbuatan / tindak pidana dalam keadaan sakit ingatan atau kurang sehat akal sehingga terdakwa dalam melakukan perbuatan tersebut mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya dan tidak ditemukan alasan pemaaf atau pembenar sehingga terdakwa sebagai seorang ibu adalah merupakan subyek hukum yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya sehingga dengan demikian unsure “seorang ibu” telah terpenuhi. Ad. 2. Unsur Denagan Sengaja : Bahwa yang dimaksud dengan “sengaja” dalam praktek dan doktrin diartikan bahwa pelaku sebagai menghendaki dan mengetahui. Bahwa menurut teori hukum bentuk kesengajaan 79 dapat dibagi 3 (tiga) yaitu : kesengajaan dengan maksud, kesengajaan dengan sadar kepastian dan kesengajaan dengan sadar kemungkinan; Bahwa dengan demikian terhadap unsur “dengan sengaja” dapat didefinisikan bahwa pelaku mengetahui dan sadar atas apa yang telah diperbuatnya, atau tindakan terdakwa tersebut dilakukan memang disadari dan dikehendaki oleh terdakwa; Bahwa berdasarkan keterangan saksi – saksi dan keterangan terdakwa maka dapat diketahui bahwa pada hari Senin tanggal 12 Agustus 2013 sekitar pukul 20.00 WIB, saksi RKI datang kerumah terdakwa, karena terdakwa saat itu sering mengeluh sakit dibagian perutnya, lalu saksi RKI yang mengetahui terdakwa sedang hamil mengajak terdakwa untuk jalan – jalan, lalu ketika hari sudah petang, saksi mengajak terdakwa pulang kerumah. Pada hari Selasa tanggal 13 Agustus 2013 sekitar pukul 02.00 WIB terdakwa merasa perutnya mulas kemudian terdakwa pergi kekamar mandi dan saat itu terdakwa melahirkan bayinya di dalam kamar mandi, tanpa pertolongan orang lain saat terdakwa sedang proses melahirkan. Kemudian terdakwa meletakkan bayi yang dilahirkan ke saluran air di 80 belakang rumah terdakwa karena terdakwa takut jika ketahuan orang lain dirinya melahirkan anak tanpa adanya suami. Pada hari Selasa tanggal 13 Agustus 2013 sekitar pukul 08.30 WIB, terdakwa memberitahu saksi jika saksi telah melahirkan dan bayinya dibuang di kalen (sungai kecil / saluran air) Desa Babakan Rt. 03 Rw. 02 Gr. Karanggandul Kecamatan Karanglewas Kabupaten Banyumas belakang rumah terdakwa. Saksi FTA dan saksi SHI menerangkan mereka tidak mengetahui kehamilan terdakwa meskipun mereka adalah keluarga terdakwa karena terdakwa tidak pernah memberitahu kepada saksi, dan saksi SHI sebagai ayah terdakwa sering tidak berada dirumah. Dari keterangan terdakwa dan keterangan saksi – saksi maka dapat diketahui bahwa terdakwa bermaksud untuk merahasiakan kehamilannya kecuali terhadap saksi RKI yang merupakan pacar terdakwa. Dari keterangan saksi – saksi dan keterangan terdakwa dapat diketahui bahwa terdakwa mengetahui dirinya sedang hamil karena terdakwa pernah melakukan hubungan kelamin dengan pacarnya yang bernama RKI. Dan terdakwa bermaksud menutupi kehamilannya karena saat itu terdakwa belum menikah. Karena terdakwa menutupi kehamilannya maka 81 terdakwa tidak berusaha untuk pergi ke puskesmas atau bidan ketika mendekati waktu untuk melahirkan, padahal terdakwa tidak pernah mempunyai pengalaman menangani persalinan secara normal. Bahwa dipersidangan didengar keterangan ahli yaitu dokter SURIPTO yang menerangkan bahwa dari jenazah bayi yang diperiksanya diketahui bahwa kematian bayi tersebut adalah setelah bayi dilahirkan dan bayi tersebut meninggal karena diduga ada sumbatan jalan nafas karena bayi yang baru lahir memerlukan penanganan yang intensif dan jika saat melahirkan tidak menangis bayi harus dirangsang agar tidak tersumbat jalan nafasnya. Bahwa tindakan terdakwa untuk tidak memberitahukan kehamilannya kepada keluarganya dan terdakwa tidak berusaha untuk melalui proses persalinan di bidan atau puskesmas, merupakan tindakan yang membahayakan baik bagi bayi maupun terdakwa sendiri karena dalam proses persalinan mengeluarkan cukup banyak darah dan bayi yang dilahirkan perlu penanganan yang insentif. Bahwa terdakwa tidak mempunyai keahlian maupun pengalaman persalinan sehingga tindakan terdakwa untuk menangani persalinan seorang diri dapat membahayakan nyawa bayinya dan hal ini 82 dapat diketahui dari keterangan terdakwa saat dirinya melahirkan maka bayi tersebut tidak menangis, padahal menurut keterangan dokter SURIPTO berdasarkan pemeriksaan terhadap jenazah bayi terdakwa saat lahir dalam keadaan hidup, tetapi penyebab kematian diduga karena ada penyumbatan saluran pernafasan yang tidak akan terjadi kalau saat lahir ditangani secara intensif oleh tenaga medis; Bahwa dari fakta dan pertimbangan dapat diketahui bahwa terdakwa mengetahui dirinya sudah mendekati waktu untuk melahirkan tetapi terdakwa tidak meminta tolong kepada dokter atau bidan untuk menolong kelahiran bayinya sehingga dapat diketahui bahwa terdakwa bermaksud untuk menyembunyikan kehamilannya dan demikian maka unsur dengan “sengaja telah terpenuhi”. Ad. 3. Unsur Menghilangkan Jiwa Anaknya Pada Ketika Dilahirkan Atau Tidak Berapa Lama Sesudah Dilahirkan, Karena Takut Ketahuan Bahwa Ia Sudah Melahirkan Anak : Bahwa berdasarkian keterangan saksi – saksi, keterangan terdakwa dikaitkan dengan visum et repertum dan barang bukti dapat diketahui bahwa pada hari Selasa tanggal 13 Agustus sekitar jam 02.00 WIB terdakwa melahirkan 83 seorang bayi yang proses persalinanya dilakukan oleh terdakwa sendiri. Bahwa keterangan saksi – saksi dan keterangan terdakwa terkait dengan kematian bayi terdakwa adalah bersesuaian dengan visum et repertum dari Puskesmas Karanglewas No. 350/VIII/2013 tanggal 24 Agustus 2013 yang ditandatangani oleh dr. SURIPTO dari hasil pemeriksaan ditemukan kepala tidak terdapat luka, bibir tampak kebiruan, mata tertutup, kulit berwarna putih, panjang tali pusat 15cm, luka tali pusat teratur, masih ada pendarahan tali pusat, pada bagian punggung terdapat luka lecet, bagian perut tidak ada luka, ada lebam mayat, tangan dan kaki tidak ada luka, terdapat tinja di lubang dubur, dan ada kaku mayat, kesimpulan telah diperiksa jenazah bayi laki – laki yang diduga meninggal akibat henti nafas karena sumbatan jalan nafas; Bahwa dari fakta – fakta hukum dapat diketahui bahwa terdakwa saat mengetahui bayinya lahir dan belum dengar ada suara tangisannya terdakwa tidak berusaha minta pertolongan bantuan medis tetapi malah membuang bayinya di sungai kecil blakang rumahnya dengan maksud supaya tidak ada orang lain yang mengetahui bahwa terdakwa telah melahirkan anak karena terdakwa belum mempunyai suami sehingga dengan 84 demikian maka unsur “menghilangkan jiwa anaknya pada ketika dilahirkan atau tidak berapa lama sesudah dilahirkan, karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak” telah terpenuhi. b. Amar Putusan Dengan terpenuhinya semua unsur tindak pidana seorang ibu dengan sengaja menghilangkan jiwa anaknya yang dilahirkan karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak, maka Majelis Hakim dengan menginat Pasal 341 KUHP, menjatuhkan putusan yang amar putusannya berbunyi sebagai berikut : 1. Menyatakan terdakwa ATI Binti SHI terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “seorang ibu dengan sengaja menghilangkan jiwa anaknya yang dilahirkan karena takut ketahuan bahwa ia sudah melahirkan anak”; 2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa ATI Binti Suhandi tersebut dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 2 (dua) bulan; 3. Menetapkan masa penahanan yang dijalani terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4. Menetapkan terdakwa tetap ditahan; 5. Menyatakan barang bukti berupa : 85 a. 1 (satu) potong kaos warna abu – abu tua bagian depan dan belakang bertuliskan WOLES; b. 1 (satu) potong celana pendek warna ungu gambar bunga – bunga samping kiri lipatan jahitan terdapat tulisan KEEP AWAY FROM FIRE; c. 1 (satu) buah dalaman orange garis – garis samping kanan dan kiri gambar kembang – kembang; d. 1 (satu) buah Handphone Nokia 1600 warna hitam samping warna coklat tua “dikembalika kepada terdakwa”. 6. Membebankan kepada terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp. 1000,- (seribu rupiah). B. Pembahasan Dalam upaya penegakan hukum, selain kesadaran akan hak dan kewajiban, juga tidak kurang pentingnya akan kesadaran penggunaan kewenangan – kewenangan aparat penegak hukum, karena penyalahgunaan kewenangan – kewenangan tersebut selain sangat memalukan dan dapat merugikan keuangan Negara juga dapat mengakibatkan timbulnya kekhawatiran atau ketakutan jika berhadapan dengan aparat penegak hukum Penanganan suatu perkara pidana mulai dilakukan oleh penyidik setelah menerima laporan dari masyarakat ataupun diketahui sendiri tentang terjadinya tindak pidana, atau bisa juga tertangkap tangan, kemudian dituntut oleh penuntut 86 umum dengan jalan melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan negeri. Selanjutnya hakim melakukan pemeriksaan apakah dakwaan penuntut umum terhadap terdakwa terbukti atau tidak. 1. Keterangan ahli kedokteran forensik diperlukan dalam Putusan No. 147/Pid.B/ 2013/PN.Pwt. Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara “limitatif” alat bukti yang sah menurut undang – undang. Diluar alat bukti itu tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat – alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya di luar alat bukti yang ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1). Yang dinilai sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan pembuktian” hanya terbatas kepada alat – alat bukti itu saja. Adapun alat bukti yang sah menurut undang – undang sesuai dengan apa yang disebut dalam Pasal 184 ayat ( 1 ) KUHAP, adalah : a. b. c. d. e. Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat, Petunjuk dan Keterangan terdakwa. Permasalahan mengenai kualifikasi ahli yang diperlukan dalam proses pembuktian perkara pidana, baik ditingkat penyidikan maupun persidangan bukanlah masalah praktis belaka, persyaratan dan standar keahlian yang 87 menjadi acuan pihak penuntut umum maupun terdakwa dalam memilih ahli dan pertentangan pendapat ahli, dapat ditelaah lebih lanjut untuk menganalisis masalah tentang siapa sebenarnya ahli yang dimaksudkan oleh KUHAP. Demikan halnya dengan masalah pertentangan pendapat ahli yang akan berkaitan dengan sikap penyidik maupun hakim dalam memilih keterangan ahli untuk kepentingan pembuktian. Didalam memperoleh bukti – bukti yang diperlukan guna kepentingan pemeriksaan suatu perkara pidana, seringkali para penegak hukum dihadapkan pada suatu masalah atau hal – hal tertentu yang tidak dapat diselesaikan sendiri dikarenakan masalah tersebut berada diluar kemampuan atau keahliannya. Dalam hal demikian maka bantuan seorang ahli sangat penting diperlukan dalam rangka mencari kebenaran materiil selengkap – lengkapnya bagi para penegak hukum tersebut. Menurut ketentuan hukum acara pidana Indonesia, mengenai permintaan bantuan tenaga ahli diatur dan disebutkan di dalam KUHAP. Untuk permintaan bantuan tenaga ahli pada tahap penyidikan disebutkan pada Pasal 120 ayat (1), yang merumuskan : Dalam hal penyidik mengganggap perlu, ia dapat meminta pendapat orang ahli atau orang yang memiliki keahlian khusus. Sedangkan untuk permintaan bantuan keterangan ahli pada tahap pemeriksaan persidangan, disebutkan pada Pasal 180 ayat (1) KUHAP yang merumuskan : 88 Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat memintaketerangan ahli dan dapat pula meminta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan. Berdasarkan Pasal 180 ayat (1) KUHAP tersebut diatas, maka dapat dijelaskan bahwa apabila pada saat pemeriksaan perkara di pengadilan masih terdapat keragu – raguan terhadap sebab luka atau sebab kematian, meskipun sudah ada visum et repertum, tetap ada kemungkinan untuk menghadirkan kesaksian dokter secara lisan. Handoko Tjondroputranto dalam hal ini berpendapat bahwa : Selalu ada kemungkinan untuk memanggil dokter pembuat visum et repertum itu ke muka sidang pengadilan untuk mempertanggungjawabkan pendapatnya dan dengan demikian ada 2 (dua) bentuk dalam memberikan kesaksian ahli yaitu tertulis maupun yang tidak tertulis. Yang tertulis tersebut visum et repertum, sedangkan yang tidak tertulis secara lisan di persidangan dengan sumpah menurut keahlianya. Menghadirkan dokter ke muka sidang selain karena terhadap keragu – raguan terhadap sebab luka atau sebab kematian, dapat juga karena suatu hal, sehingga keterangan ahli baik tertulis maupun lisan belum dapat diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau menuntut umum.27 Seorang ahli memberi keterangan bukan mengenai segala hal yang dilihat, didengar dan dialaminya sendiri, tetapi mengenai hal – hal yang menjadi atau dibidang keahliannya yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa. A. Karim Nasution menyatakan : Keterangan ahli tidak perlu diperkuat dengan alasan sebab keahliannya atau pengetahuannya sebagaimana pada keterangan saksi. Apa yang diterangkan saksi adalah hal mengenai kenyataandan fakta. Sedangkan 27 Handoko Tjondroputranto. 2001. Kedudukan Dan Peran Ahli Lain Dalam Rangka Pembuatan Visum Et Repertum. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hlm 25. 89 keterangan ahli adalah suatu penghargaan dan kenyataan dan / atau kesimpulan atas penghargaan itu berdasarkan keahliannya.Apabila keterangan ahli diberikan pada tingkat penyidikan, maka sebelum memberikan keterangan, ahli harus mengucapkan sumpah atau janji terlebih dahulu28. Salah satu ahli yang memiliki peran penting dalam mengungkap kasus tindak pidana pembunuhan adalah ahli kedokteran forensik. Keterangan dari ahli kedokteran forensik dapat membantu penyidik dalam memberikan bukti berupa keterangan medis yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai keadaan korban, terutama terkait dengan pembuktian adanya tanda – tanda telah dilakukannya suatu pembunuhan. Pasal 133 KUHAP merumuskan tentang keterangan ahli kedokteran yang berperan dalam membantu penyidikan atas suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana yang berakibat korban luka, keracunan ataupun mati, yaitu : (1) Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya. (2) Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah mayat. (3) Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat, dilakukan dengan diberi cap jabatan yang diletakkan pada ibu jari kaki atau bagian lain badan mayat. 28 A. Karim Nasution .Studi Tentang Peranan Alat Bukti Keterangan Ahli Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, Pusat Litbang Kejaksaan Agung RI, Jakarta . 2008.Hlm. 7. 90 Berdasarkan ketentuan Pasal 133 ayat (1) KUHAP tersebut maka dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa seorang ahli yang dapat diminta keterangannya adalah : a. Ahli kedokteran forensik b. Dokter c. Dan ahli lainnya. M. Yahya harahap dalam hal pengertian ahli sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 133 KUHAP, mengemukakan pendapatnya bahwa : Biasanya yang dimaksud ahli kedokteran kehakiman ialah ahli forensik, pasal itu tidak membatasi hanya ahli kedokteran kehakiman saja, tapi meliputi ahli lainnya.Pengertian ahli lainnya sangat luas meliputi segala jenis keahlian yang dibutuhkan dalam suatu perkara tertentu29. Berdasarkan ketentuan Pasal 39 ayat (1) KUHAP tersebut, Djoko Prakoso dan I KetutMurtika memberikan penjelasan bahwa : Dalam hal ini orang yang menderita luka, jenazah, organ tubuh, atau benda lain yang didapat dari tubuh merupakan barang atau benda yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana. Sedangkan maksud penyitaan adalah untuk keperluan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di dalam sidang pengadilan nanti30. Upaya untuk menjaga serta mencegah adanya kekeliruan dengan benda lain, atau tertukar dengan benda – benda lain yang tidak ada hubungannya dengan perkara yang bersangkutan, maka benda sitaan harus disegel seperti yang disyaratkan dalam Pasal 130 KUHAP yaitu : 29 30 M. Yahya Harahap. Op. Cit. 2001. Hlm 207 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Op. Cit 2002.hlm 116. 91 (1) Benda sitaan sebelum dibungkus, dicatat berat dan atau jumlah menurut jenis masing – masing, ciri maupun sifat khas, tempat, hari dan tanggal penyitaan, identitas orang dari mana benda itu disita dan lain – lainnya yang kemudian diberi cap jabatan dan ditandatangani oleh penyidik. (2) Dalam hal benda sitaan tidak mungkin dibungkus, penyidik memberi catatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), yang ditulis di atas label yang ditempelkan dan atau dikaitkan pada benda tersebut. Fungsi dari barang – barang bukti dapat untuk menambah keyakinan hakim tentang tindak pidana yang didakwakan pada terdakwa. Di dalam sidang nanti, benda – benda tersebut oleh hakim akan ditujukan kepada terdakwa dan bila perlu kepada saksi – saksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 181 KUHAP : (1) Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 undang – undang ini. (2) Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi. (3) Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta keterangan seperlunya tentang hal ini. Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa barang bukti yang diperiksa oleh ahli kedokteran forensik adalah mayat yang diduga atau diketahui merupakan akibat dari suatu tindak pidana. Dalam hal ini keterangan atau kejelasan yang harus diberikan oleh dokter adalah tentang identitas mayat, memperkirakan saat kematian, menentukan sebab kematian, dan menentukan atau memperkirakan cara kematian. Mengenai perlunya bantuan seorang ahli dalam memberikan keterangan yang terkait dengan kemampuan dan keahliannya untuk membantu 92 pengungkapan dan pemeriksaan suatu perkara pidana, A. Karim Nasution menyatakan : Meskipun pengetahuan, pendidikan dan pengalaman dari seseorang mungkin jauh lebih luas daripada orang lain, namun pengetahuan dan pengalaman setiap manusia tetap terbatas adanya. Maka oleh sebab itulah selalu ada kemungkinan bahwa ada soal – soal yang tidak dapat dipahami secukupnya oleh seorang penyidik dalam pemeriksaan pendahuluan, ataupun seorang hakim di muka persidangan sehingga ia perlu diberi pertolongan oleh orang – orang yang memiliki suatu pengetahuan tertentu. Agar tugas – tugas menurut hukum acara pidana dapat dilaksanakan dengan sebaik – baiknya, maka oleh undang – undang diberi kemungkinan agar para penyidik dan para hakim dalam keadaan yang khusus dapat memperoleh bantuan dari orang – orang yang berpengetahuan dan berpengalaman khusus tersebut 31. Berdasarkan ketentuan dalam pasal – pasal KUHAP dan pendapat beberapa ahli tersebut di atas dikaitkan dengan penelitian ini, maka dapat diketahui bahwa keterangan ahli kedokteran forensik sangat diperlukan dalam membuat jelas atau terang perkara tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibunya sebagaimana diputuskan dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No.147/Pid.B/2013/ PN.PWT., yang didasarkan pada keterangan ahli kedokteran forensik dr Suripto guna: a. Mengetahui identitas mayat Dalam hal ini dokter dengan metode identifikasi harus dapat menentukan secara pasti identitas korban, walaupun hasil dari penentuan tersebut tidak tertutup kemungkinan berbeda dengan identitas menurut pihak penyidik. Dengan dapat ditentukannya identitas secara ilmiah, pihak 31 A. Karim Nasution. Op. Cit. 2008.hlm. 6. 93 penyidik akan dapat membuat suatu daftar tersangka, yang akan berguna di dalam penyidikan. Hal tersebut berpijak pada kenyataan bahwa kebanyakan dari korban telah mengenal siapa pelakunya (ada korelasi antara korban dengan pelaku). Apabila sebab kematian dapat ditentukan sedangkan identitas tidak dapat diketahui, hal ini akan menyulitkan bagi pihak penyidik, tidak jarang penyidikkan akan menemukan jalan buntu. b. Mengetahui tentang perkirakan saat kematian Dalam kepustakaan ilmu kedokteran forensik dikenal suatu metode untuk menentuka saat kematian dalam kasus kejahatan yang disebut Metode Tri Klasik atau The Classic Triad yang meliputi tiga metode sebagai berikt32 : 1. Lebam Mayat Lebam mayat ialah timbulnya warna ungu kebiru – biruan pada bagian tubuh sebelah bawah. Jika mayat dalam keadaan terlentang, tanda – tanda tersebut terlihat pada bagian punggung. Lebam mayat timbul karena terhentinya peredaran darah, sehingga terjadi pengendapan butir – butir darah ke bagian tubuh yang letaknya lebih rendah. Saat timbulnya lebam mayat adalah sekitar tiga puluh menit setelah kematian yakni setelah otak tidak menunjukkan aktivitasnya lagi.33 32 33 Musa Perdana Kusuma, Bab – Bab tentang Kedokteran Forensik, 2003, Jakarta, hlm. 54. Ibid. hlm 54 94 2. Kaku Mayat Kaku mayat yakni suatu keadaan di mana otot – otot tubuh telah mengkerut atau telah menjadi kaku. Kaku mayat mula – mula timbul pada otot rahang, kemudian menyebar ke otot – otot tubuh bagian bawah, yakni leher, bahu, lengan, jari, kaki, pinggang, perut dan sebagainya. Kaku mayat mulai berkembang dua jam setelah kematian dan seluruh tubuh akan menjadi kaku total sekitar 10 – 12 jam setelah kematian. Cepat lambatnya kaku mayat dipengaruhi oleh jenis kelamin, umur, keadaan fisik, struktur dan aktifitas otak menjelang kematian serta suhu udara sekeliling.34 3. Suhu Tubuh Secara toritis angka rata – rata penurunan suhu mayat adalah 1,5 derajat setiap jam. Angka tersebut mrupakan angka rata – rata pada umumnya. Namun dalam praktek angka rata – rata penurunan suhu tersebut dipengaruhi oleh suhu udara sekeliling.35 Dari pemeriksaan mayat yang cermat tentang lebam mayat, kaku mayat, suhu tubuh, luka, dan perubahan lainnya maka dokter dapat memperkirakan saat kematian. Adapun manfaat dari perkiraan saat kematian tersebut adalah untuk membantu pihak penyidik dalam mempersempit daftar tersangka 34 35 Ibid. hlm 55 Ibid. hlm 60 95 dari daftar semula yang dibuat atas dasar penentuan identitas korban, yaitu dengan mempelajari alibi dari para tersangka tersebut. Dengan demikian penyidikan akan dipersempit dan lebih terarah. Dari kasus pembunuhan bayi oleh ibunya, prediksi kematian diperkirakan bayi laki – laki tersebut belum lama meninggal. Karena dari hasil pemeriksaan terhadap jenazah bayi tersebut, kepala tidak terdapat luka, bibir tampak kebiruan, mata tertutup, kulit berwarna putih dan masih segar karena tidak terjadi pengeriputan, panjang tali pusat 15cm, luka tali pusat teratur, masih ada pendarahan tali pusat, artinya pada saat dipotong diduga menggunakan benda tajam dan masih ada darah artinya menunjukkan luka tersebut adalah luka baru, pada bagian punggung terdapat luka lecet artinya lecet tersebut diduga terjadi adanya gesekan dengan benda lain, bagian perut tidak ada luka, ada lebam mayat, tangan dan kaki tidak ada luka, terdapat tinja di lubang dubur, dan ada kaku mayat, artinya dilihat dari lebam mayat dan kaku mayat sehingga diduga korban belum lama meninggal atau meninggal kurang dari 12 jam dari pemeriksaan, serta kurang dari 6 jam stelah jenazah ditemukan. c. Menentukan sebab kematian Menentukan sebab kematian adalah bahwa sebab kematian hanya dapat ditentukan melalui pembedahan mayat (otopsi), dengan atau tanpa disertai pemeriksaan tambahan (pemeriksaan laboratorium : toksikologi, patologi, anatomi, dan sebagainya). Bagi pihak penyidik sebab kematian 96 sangat berguna didalam menentukan antara lain senjata yang dipergunakan oleh pelaku, racun yang dipakai, dikaitkan dengan kelainan atau perubahan yang ditemukan pada diri korban. Bila korban tewas akibat penembakan, maka pihak penyidik akan dapat mempersempit lagi daftar tersangka pelaku kejahatan yang dihasilkan dari perkiraan saat kematian. Bila korban tewas akibat tusukan benda tajam, maka pihak penyidik akan dapat mencari dengan tepat benda tajam yang bagaimana yang dapat dijadikan sebagai barang bukti. Visum Et repertum dari Dr. Suripto memberikan penjelasan bahwa kematian bayi laki – laki diperkirakan akibat henti nafas karena sumbatan jalan nafas. Diduga pada saat dilahirkan bayi tersebut masih hidup dan meninggalnya setelah dilahirkan karena melihat ciri –ciri tubuhnya masih segar. Tanda – tanda bayi meninggal setelah di lahirkan yaitu kepala keras atau utuh, ada kaku mayat karena sudah tidak ada metabolisme, kaku mayat terjadi sejak 2 jam setelah kamatian dan kaku total sekitar 10 – 12 jam, ada lebam mayat yaitu sekitar tiga puluh menit setelah kematian, dan tali plasenta masih mengeluarkan darah bila diiris. Sedangkan tanda – tanda bayi yang meninggal di dalam kandungan yaitu, kepala bayi melembek karena terjadi pengempukan kerangka tulang kepala dan otak yang mencair, terjadi pembekuan darah jika plasenta diiris darah tidak akan mengalir, badan kemerah – merahan, 97 melekuk dan pecah, kulit tanpa keriput karena sudah tidak ada aliran makanan ke plasenta, tidak ada lebam mayat, tidak mengeluarkan tinja, bayi bisa keluar sepontan dan juga bisa tidak lahir sepontan karena dilihat dari usia kandungan atau kematangan kandungan. d. Menentukan atau memperkirakan cara kematian Penentuan atau perkiraan cara kematian akan membantu penyidik dalam menentukan langkah yang harus dilakukan. Bila cara kematian korban adalah wajar, yaitu karena penyakit, maka pihak penyidik akan dapat dengan segera menghentikan penyidikan. Bila kematiannya ternyata tidak wajar, misalnya karena pembunuhan, maka pihak penyidik dapat pula menentukan langkah yang harus dilakukan. Demikain halnya bila kasus yang dihadapi adalah kasus bunuh diri atau kasus kecelakaan. Demikian juga Visum et Reperetum dari Dr. Suripto dalam pemeriksaan di persidangan memberikan keterangan bahwa bayi yang baru lahir masih dalam keadaan kritis sehingga harus memerlukan penanganan yang intensif misal suhu badan yang dingin harus dimasukkan incubator dan jika saat lahir tidak menangis, bayi harus dirangsang agar menangis dan tidak tersumbat jalan nafasnya karena akan mengakibatkan kematian pada bayi. Walaupun dokter tidak boleh memastikan cara kematian secara jelas didalam Visum et repertum (oleh karena tidak melihat proses kejadian melainkan memberikan suatu penilaian tentang hasil akhir dari 98 suatu proses), dokter harus dapat menjelaskan hal tersebut secara tersirat di dalam kesimpulan Visum et Repertum yang dibuatnya. Dengan menyatakan sebab kematian misalnya karena penyakit jantung serta tidak ditemukannya tanda – tanda kekerasan, ini mengarahkan penyidik kepada kematian yang wajar non diskriminal. Dengan menuliskan bahwa pada korban didapatkan tanda – tanda mati lemas, adanya bekas jerat pada leher serta tidak diremukan tanda – tanda kekerasan pada mayat yang tergantung, sebenarnya dokter megarahkan penyidik pada kasus bunuh diri. Dengan menyatakan bahwa pada korban didapatkan luka tembak masuk pada belakang kepala atau punggung, hal ini mengarahkan penyidik pada kasus pembunuhan. Bantuan yang dapat diberikan oleh para ahli untuk membuat terang adanya tindak pidana adalah untuk menjelaskan tentang bukti – bukti yang ada. Keterangan ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan kedua oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Berbeda dengan HIR yang dulu tidak mencantumkan keterangan ahli sebagai barang bukti. Edmon Makarim dalam hal ini berpendapat sebagai berikut : Disinilah, peran seorang ahli dalam memberikan suatu penjelasan di depan pengadilan, bahwa data elektronik (hasil kemajuan teknologi informasi) adalah sah dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Standarisasi system tersebutlah yang menjadi sandaran berfikir bagi setiap argumentasi yang muncul di pengadilan. Pertama kali seorang ahli akan mengecek apakah suatu system computer tersebut dapat dipercaya. Jika sebuah system dinyatakan dapat dipertanggungjawabkan dan dapat diajukan sebagai alat bukti / barang 99 bukti yang memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan alat bukti lain yang ada di dalam Pasal 184 KUHAP. 36 Pemeriksaan sidang pengadilan dalam Putusan Nomor 147/Pid.B/2013/PN.PWT memanggil ahli di bidang kedokteran forensik. Pemanggilan tersebut didasarkan pada keahlian ahli yang bersangkutan dibidang kedokteran. Kasus pembunuhan yang menyangkut tubuh manusia sangat memerlukan bantuan dokter ahli forensik untuk mengidentifikasi korban. Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan pada perkara Nomor 147/Pid.B/2013/PN.PWT diketahui bahwa terdahwa ATI melakukan tindak pembunuhan bayi oleh ibunya yang mengakibatkan korban meninggal dunia, dimana diperlukan keterangan ahli guna menentukan sebab kematian si korban. Penyebab kematian si korban diakibatkan oleh beberapa faktor, oleh karena itu, ahli kedokteran forensik dihadirkan dipersidangan dalam perkara pembunuhan yang dilakukan oleh terdakwa ATI guna menjernihkan duduk persoalan yang ada. Persoalan yang timbul dipersidangan adalah mengenai penyebab utama kematian korban. Korban yang mati akibat pembunuhan dapat disebabkan oleh trauma tajam atau trauma tumpul, pendarahan hebat, bahkan kehabisan oksigen. Dokter forensik yang dihadirkan di persidangan dalam Putusan Nomor 147/Pid.B/2013/PN.PWT memberikan keterangan secara langsung 36 hlm. 435. Edman Makarim. Kompilasi Hukum telematika.PT Raja Grafindo Persada.Jakarta.2004, 100 dan lisan. Keterangan yang diberikan oleh ahli tersebut digolongkan sebagai alat bukti yang sah sebagai alat bukti keterangan ahli. Alasan utama seorang ahli dihadirkan di persidangan adalah untuk mengetahui penyebab utama kematian korban. Pada saat korban dibunuh, belum tentu korban tersebut meninggal karena benda tajam, bisa Saja karena kehabisan oksigen atau banyak mengeluarkan darah, sehingga butuh keterangan ahli agar bisa bemar – benar dipastikan apa penyebab utama kematian korban. Sebagaimana diatur dalam Pasal 180 ayat (1) KUHAP. Alasan lain diajukan oleh ahli yaitu karena : 1. Didalam visum et repertum yang diajukan ke persidangan sebagai alat bukti surat terkadang kurang jelas, dengan dihadirkannya ahli maka akan lebih memperjelas apa yang dimaksud dalam visum et repertum tersebut. Masih terkait dengan pasal 180 KUHAP, kehadiran seorang ahli untuk memberikan keterangan secara langsung dan lisan di muka sidang akan lebih memperjelas hakim dalam mengetahui secara pasti penyebab utama kematian korban. 2. Ahli sangat dibutuhkan karena jaksa penuntut umum, penasihat hukum, maupun hakim, memiliki pengetahuan yang terbatas. Adakalanya pemeriksaan perkara pidana terkait dengan bidang ilmu lain yang tidak dikuasai oleh penegak hukum. 3. Keterangan ahli berguna untuk meyakinkan hakim serta terdakwa dan penasihat hukum yang mendampinginya ketika alat bukti yang diajukan 101 kurang optimal. Ahli sangat diperlukan untuk menjaga obyektivitas dalam persidangan. Ahli akan berpihak pada kebenaran sebagaimana pengetahuan yang dimilikinya. Ahli dianggap sebagai pihak yang netral sehingga dapat memberikan pendapat yang jernih dan tidak tergantung dengan asumsi dakwaan yang diajukan penuntut umum. Keterangan ahli kedokteran forensik tersebut dipergunakan oleh hakim sebagai alat bukti yang sah. Berdasarkan Putusan Nomor 147/Pid.B/2013/PN.PWT mengenai keterangan ahli berdasarkan KUHAP dan pendapat beberapa ahli sebagaimana dijelaskan di atas, dikaitkan dengan kasus dalam penelitian ini yaitu tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibunya sebagaimana Purwokerto Nomor. diputuskan dalam Putusan 147/Pid.B/2010/PN.PWT., Pengadilan yang Negeri menghadirkan keterangan ahli kedokteran forensik yaitu dokter Suripto yang pada pokoknya memberikan keterangan sebagai berikut : a. Benar bahwa ahli pernah diperiksa dan dimintai keterangan di kepolisian dalam perkara tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibunya sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 341 KUHP. b. Benar bahwa ahli mengerti dimintai pendapatnya sebagai ahli bidang medis dalam perkara tindak pembunuhan bayi oleh ibunya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 341 KUHP. c. Benar bahwa ahli menerima dan memeriksa mayat bayi berjenis kelamin laki – laki tersebut. 102 d. Benar bahwa ahli diberitahu telah ditemukan mayat bayi berjenis kelamin laki – laki di kalen (sungai kecil / saluran air) kemudian ahli melakukan pemeriksaan terhadap mayat tersebut. e. Pemeriksaan dilakukan diseluruh tubuh jenazah bayi tersebut. f. Pada hasil pemeriksaan ditemukan : 1. Kepala tidak terdapat luka, 2. Bibir tampak kebiruan, 3. Mata tertutup, 4. Kulit berwarna putih segar karena tidak terjadi pengeriputan, 5. Panjang tali pusat 15 cm, 6. Luka tali pusat teratur, 7. Masih ada pendarahan tali pusat, 8. Pada bagian punggung terdapat luka lecet, 9. Bagian perut tidak ada luka tidak ada lebam mayat, 10. Tangan dan kaki tidak ada luka, 11. Terdapat tinja di lubang dubur, dan 12. Belum ada kaku mayat 2. Kekuatan alat bukti keterangan ahli kedokteran forensik dalam pembuktian tindak pidanapembunuhan bayi oleh ibunya pada putusan No 147/Pid.B/2013/PN.PWT. Pasal 1 angka 28 KUHAP merumuskan devinisi mengenai keterangan ahli sebagai berikut : “keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”. Suatu keterangan ahli dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah dengan melihat ketentuan Pasal 1 angka 28 KUHAP, dikaitkan dengan 103 ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP dan Pasal 186 KUHAP, berdasarkan ketentuan dalam pasal – pasal tersebut, maka keterangan ahli harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang mempunyai keahlian khusus, tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa. Sedangkan keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang – undang. Majelis hakim yang hendak meletakkan kebenaran yang ditemukan dalam putusan yang akan dijatuhkan, harus menguji kebenaran itu dengan alat bukti, dengan cara dan dengan kekuatan pembuktian yang melekat pada setiap alat bukti yang ditemukan. Hakim dalam mencari dan meletakkan kebenaran yang akan dijatuhkan dalam putusan, harus berdasarkan alat – alat bukti yang telah ditentukan undang – undang secara limitatif sebagaimana yang disebut dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, agar dapat mencari kebenaran sejati. Kebenaran yang diwujudkan dalam putusan harus berdasarkan pada hasil perolehan dan penjabaran yang dibenarkan system pembuktian, dan tidak diwarnai oleh perasaan dan pendapat subjektif hakim. Alat bukti yang dihadirkan di persidangan harus saling bersesuaian satu sama lain, tidak boleh saling berdiri sendiri. Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan menurut Pasal 183 KUHAP : 104 “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar – benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Terbentuknya keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat – alat bukti yang dikemukakan pada proses persidangan. Pada putusan Nomor 147/Pid.B/2013/PN.PWT, terdapat beberapa alat bukti yang diajukan di persidangan, diantara alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli, surat, dan juga keterangan terdakwa. Cara yang dapat dilakukan untuk pembuktian perkara pidana antara lain adalah meminta bantuan dokter sebagai ahli. Keterangan ahli sangat diperhatikan dalam mempertimbangkan putusan hakim, sehingga menempati kedudukan yang layak sebagai alat bukti dan mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan oleh hakim. Hakim dalam mempertimbangkan keterangan dari seorang ahli yang diharapkan keputusannya, dipersidangan apakah akan harus dapat menggunakan mempertanggungjawabkan keterangan ahli sebagai pendapatnya sendiri yang kemudian dipergunakan dalam pertimbangan putusan, ataukah menolak keterangan seorang ahli karena tidak sesuai dengan pendapatnya. Hakim tidak bisa menolak atau menerima keterangan seorang ahli semata – mata tanpa landasan yang jelas. Berdasarkan ketentuan sebagaimana diatur KUHAP, terutama pada tahap penyidikkan pemeriksaan ahli tidaklah semutlak pemeriksaan saksi – 105 saksi. Mereka dipanggil dan diperiksa apabila penyidik “menganggap perlu” untuk memeriksanya (Pasal 120 ayat (1) KUHAP). Maksud dan tujuan pemeriksaan ahli, agar peristiwa pidana yang terjadi bisa terungkap lebih terang pemeriksaan ahli akan menjadi mutlak manakala jaksa memberikan petunjuk kepada penyidik untuk dilakukan pemeriksaan ahli. Keterangan ahli menurut Pasal 186 KUHAP ialah dari seorang ahli nyatakan dalam sidang pengadilan. Dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP disebutkan : “Keterangan ahli dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. Jika hal ini tidak diberikan pada waktu pemeriksaan, maka di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucap sumpah atau janji di hadapan hakim” Alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan saksi ataupun terdakwa. Oleh karena itu, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli harus didukung oleh alat bukti yang lain. Edmon Makarim dalam hal ini berpendapat bahwa : Pada alat bukti keterangan ahli berlaku juga prinsip minimum pembuktian, yaitu bahwa keterangan seorang ahli saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa, oleh karena itu keterangan ahli 106 dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus disertai dengan alat bukti lain.37 Leden marpuang di lain pihak memberikan pendapatnya bahwa : Berdasarkan Pasal 183 KUHAP, maka KUHAP memakai system negatif, yakni bukti minimal dan adanya keyakinan hakim. Bukti minimal tersebut adalah sekurang – kurangnya “dua alat bukti yang sah”. Pengertian “dua alat bukti yang sah” dapat terdiri atas dua orang saksi atau satu orang saksi dan satu surat, atau satu orang saksi dan keterangan ahli, atau keterangan ahli dan keterangan terdakwa dan sebaliknya.38 Menetapkan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah maka sejalan dengan perkembangan teknologi, maka keterangan ahli memegang peranan penting dalam penyelesaian kasus pidana. Antara lain mengenai Tindak Pidana pembunuhan bayi yang dilakukan oleh ibunya. Minimnya alat bukti yang berkaitan dengan kemajuan teknologi informasi menjadikan sangat dibutuhkannya seorang ahli yang bisa meneliti kebenaran dari alat bukti tersebut dan hal ini sangatlah membantu proses persidangan. Keterangan ahli mempunyai peranan penting untuk membuat terang suatu perkara pidana yang sedang dalam proses pemeriksaan, sebagaimana dikatakan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara sebagai berikut ; Keterangan ahli menjadi semakin penting perannya terutama dalam perkara – perkara pidana dimana jumlah saksinya tidak mencukupi atau keterangan saksi – saksi yang ada sangat meragukan39. 37 Ibid. hlm. 436. Leden marpaung. 2009. Proses penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan). Sinar grafika. Jakarta. Hlm. 28 39 Abdul Hakim Garuda Nusantara.Studi Kasus Hukujm Acara Pidana.Djambatan, Jakarta, 2006, hlm. 39. 38 107 Pada prinsipnya alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian nilai kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan saksi. Oleh karena itu, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli : a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas atau vrij bewijskracht. Didalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan. Terserah pada penilaian hakim. Hakim bebas menilai dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud. Hakim dalam mempergunakan wewenang kebebasan dalam penilaian pembuktian, harus benar – benar bertanggungjawab, atas landasan moral dan kebenaran sejati demi tegaknya hukum serta kepastian hukum. b. Berlakunya prinsip minimum pembuktian pada keterangan ahli. Bahwa keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa, oleh karena itu keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus disertai dengan alat bukti lain.40 Keterangan ahli dalam Putusan Pidana Nomor 147/Pid.B/2013/PN.PWT memiliki nilai kekuatan pembuktian bebas (vrij Bewijs Kracht). Dalam keterangan ahli tidak melekat nilai kekuatan pembuktian yang sempurna dan menentukan, sehingga penggunaan keterangan ahli terserah pada penilaian hukum hakim dalam persidangan. Tidak ada keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran keterangan ahli. Dalam persidangan terdapat dua orang keterangan ahli, yang satu keterangan ahli berbentuk laporan dan yang satu lagi berupa keterangan ahli di sidang pengadilan sebagai mana terdapat dlm putusan Nomor 40 Ibid. hlm. 436 108 147/Pid.B/2013/PN.PWT. Pada sidang kasus pembunuhan terdakwa ATI, penyidik telah meminta keterangan seorang ahli yang dituangkan dalam bentuk laporan, namun pada persidangan, hakim juga mendengar langsung keterangan dari ahli di muka sidang. Putusan Nomor 147/Pid.B/2013/PN.PWT didalamnya menyebutkan mengenai isi dari keterangan ahli, yaitu menjelaskan mengenai penyebab kematian korban. Hakim dapat memilih dan menyebutnya sebagai alat bukti keterangan ahli atau dapat pula menyebutnya sebagai alat bukti surat. Keduanya sama – sama mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas. Hakim bebas untuk membenarkan atau menolaknya. Suatu keterangan ahli baru mempunyai nilai pembuktian, apabila ahli tersebut di hadapan hakim harus bersumpah terlebih dahulu sebelum memberikan keterangan. Keterangan ahli tersebut hanya bersifat menguatkan keyakinan hakim. Selaku ahli, ia mewajibkan untuk datang di persidangan, mengucap sumpah, dan memberikan keterangan menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Ahli tidak boleh menolak untuk disumpah di hadapan hakim. Menurut M. Yahya Harahap : Terhadap seorang ahli yang menolak mengucap sumpah atau janji tanpa alasan yang sah, dapat dikenakan “sandera” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 161 KUHAP. Jadi, penyanderaan yang berlaku terhadap saksi yang menolak mengucap sumpah tanpa alasan yang sah, dapat diterapkan terhadap ahli yang menolak mengucapkan sumpah atau janji tanpa alasan yang sah.41 41 M. Yahya Harahap. Op. Cit. hlm. 230 109 Hal yang diterangkan oleh seorang ahli adalah merupakan kesimpulan – kesimpulan dari suatu keadaan yang diketahui sesuai dengan keahliannya. Kekuatan alat bukti keterangan ahli bersifat bebas karena tidak mengikat seorang hakim untuk memakainya apabila bertentangan dengan keyakinannya. Pada prinsipnya, alat bukti keterangan ahli sama dengan alat bukti saksi yaitu harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil. Salah satu dalam KUHAP yang menjelaskan tentang syarat ahli adalah Pasal 179 KUHAP. 1. Syarat formil Mereka yang memberikan keterangan sebagai ahli sebelum memberikan keterangannya harus mengucap sumpah atau janji. 2. Syarat materiil Ahli yang memberikan keterangannya sebagai ahli harus memberikan keterangan yang sebaik – baiknya dan sebenar – benarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya. Pasal ini menjelaskan yang membedakan ahli dengan saksi hanyalah pada syarat materiil saja yaitu untuk menjadi saksi syarat materiil yang harus dipenuhi adalah seorang saksi memberikan keterangan tentang suatu perkara sesuai yang ia dengar, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri yang dirumusukan dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP sedangkan syarat materiil bagi seorang ahli yaitu memberikan keterangan dengan sebaik – baiknya dan sebenar – 110 benarnya menurut pengetahuan dalam bidang keahliannya, hal ini dirumuskan dalam Pasal 179 KUHAP. Andi Hamzah dalam hal keterangan ahli, berpendapat sebagai berikut: Pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang telah dipelajari, tentang suatu apa yang dimintai pertimbangannya. Jadi dari keterangan tersebut diketahui bahwa yang dimaksud dengan keahlian adalah ilmu pengetahuan yang telah dipelajari (dimiliki) seseorang.42 Keterangan ahli berbeda dengan keterangan saksi, tetapi sulit pula dibedakan dengan tegas. Kadang – kadang seorang ahli merangkap pula sebagai saksi. KUHAP menentukan bahwa saksi wajib mengungkapkan sumpah sebagaimana ditentukan pada Pasal 160 ayat (3) KUHAP tersebut merumuskan : Sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing – masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya. Sedangkan pada Pasal 161 ayat (1) KUHAP merumuskan : Dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengar surat penetapan hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan Negara paling lama empat belas hari. Seorang ahli yang dimintai keterangannya tersebut harus mengucapkan sumpah atau janji. Pada Pasal 161 ayat (2) KUHAP dirumuskan sebagai berikut : 42 Andi Hamzah, 2001,Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta. Hlm. 268 111 Dalam hal tenggang waktu penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap tidak mau disumpah atau mengucap janji, maka keterangan yang telah diberikan merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. Fungsi keterangan ahli di persidangan merupakan alat bukti bagi hakim untuk menemukan kebenaran, dan hakim bebas mempergunakan sebagai pendapatnya sendiri atau tidak, apabila hakim setuju dengan pendapat ahli tersebut sebagai hal yang benar tentang sebab kematian si korban, maka hakim mengambil alih sebab itu sebagai pendapatnya sendiri, sehingga ia yakin tentang sebab kematian si korban. Keterangan ahli kedokteran forensik yang dihadirkan di persidangan dalam putusan Nomor 147/Pid.B/2013/PN.PWT mempunyai kekuatan pembuktian karena merupakan alat bukti yang sah dan bersesuaian dengan alat bukti lain yaitu alat bukti keterangan saksi dan alat bukti keterangan terdakwa. Sehingga hakim dapat menerimanya dan mempergunakannya sebagai pendapatnya sendiri yang kemudian dipergunakan sebagai bahan pertimbangan hukum bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana yakni pidana penjara selama 1 (satu) tahun 2 (dua) bulan terhadap terdakwa ATI. Pada kasus pembunuhan bayi oleh ibunya sebagaimana diputuskan dalam Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto No. 147/Pid.B/2013/PN.PWT., berdasarkan pembuktian bahwa terdakwa yang telah melakukan tindak pidana tersebut adalah benar, maka kedua alat bukti tersebut harus saling bersesuaian. Pasal 185 ayat (6) huruf a dan b KUHAP dalam hal ini merumuskan bahwa : 112 Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh – sungguh memperhatikan : a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain; b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain. Berdasarkan ketentuan Pasal 185 ayat (6) huruf a dan b KUHAP dan pendapat para ahli di atas, maka apabila alat bukti keterangan ahli diasumsikan sama dengan keterangan saksi, maka dalam hal inilah perlu ada kesesuaian atau saling bersesuaian antara alat bukti keterangan ahli dengan alat bukti yang lain, yaitu keterangan terdakwa. Berdasarkan keterangan ahli dan keterangan terdakwa tersebut di atas, tampak jelas bahwa antara alat bukti keterangan ahli dengan alat bukti keterangan terdakwa tersebut saling bersesuaian yaitu : a. Keterangan ahli memperkirakan bahwa kematian diduga kurang dari 12 jam dari pemeriksaan dan kurang dari 6 jam setelah jenazah ditemukan karena sudah ada lebam mayat. Pemeriksaan dari kepala tidak terdapat luka, bibir tampak kebiruan, mata tertutup, kulit berwarna putih dan masih segar karena tidak terjadi pengeriputan, panjang tali pusat 15cm, luka tali pusat teratur, masih ada pendarahan tali pusat, artinya pada saat dipotong diduga menggunakan benda tajam dan masih ada darah artinya menunjukkan luka tersebut adalah luka baru, pada bagian punggung terdapat luka lecet artinya lecet tersebut diduga terjadi adanya gesekan dengan benda lain, bagian perut tidak ada luka, tangan dan kaki tidak ada 113 luka, terdapat tinja di lubang dubur, dan ada kaku mayat, artinya diduga korban belum lama meninggal atau meninggal kurang dari 6 jam. b. Keterangan ahli menjelaskan bahwa kematian korban diperkirakan akibat henti nafas karena sumbatan jalan nafas. Diduga pada saat dilahirkan bayi tersebut masih hidup dan meninggalnya setelah dilahirkan karena melihat ciri –ciri tubuhnya masih segar. Hal ini bersesuaian dengan pengakuan terdakwa bahwa benar pada saat bayi dilahirkan, terdakwa langsung membuang bayi tersebut karena terdakwa menganggap bayi tersebut sudah mati karena tidak menangis dan terdakwa takut ketahuan telah melahirkan seorang bayi. c. Keterangan ahli menjelaskan bahwa kematian bayi berjenis kelamin laki – laki akibat tidak adanya pertolongan yang intensif sesaat setelah bayi dilahirkan, Karena bayi yang baru lahir masih dalam keadaan kritis sehingga harus memerlukan penanganan yang intensif misal suhu badan yang dingin harus dimasukkan incubator dan jika saat lahir tidak menangis, bayi harus dirangsang agar menangis dan tidak tersumbat jalan nafasnya karena akan mengakibatkan kematian pada bayi. Hal ini bersesuaian dengan keterangan terdakwa yang menyatakan bahwa ketika bayi telah dilahirkan, terdakwa melihat apakah bayi telah meninggal atau masih hidup, karena bayi tersebut tidak bergerak dan tidak menangis maka terdakwa membuang bayi laki – laki tersebut ke kalen (saluran air / sungai kecil). 114 Berdasarkan kesesuaian antara keterangan ahli kedokteran forensik dengan keterangan terdakwa, maka dapat disimpulkan bahwa keterangan ahli yang diberikan di bawah sumpah dan disampaikan di muka persidangan serta bersesuaian dengan keterangan terdakwa, sehingga berdasarkan ketentuan pasal 186 KUHAP telah mempunyai nilai pembuktian sehingga menjadi salah satu alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP. 115 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai kekuatan pembuktian keterangan ahli forensik dalam tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibunya sebagaimana dalam Keputusan Pengadilan Negeri No.147/Pid.B/2013/PN.PWT., maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Diperlukannya keterangan ahli kedokteran forensik dalam Putusan adalah untuk : a. Memperkirakan saat kematian, yaitu kematian diperkirakan kurang dari 12 jam dari pemeriksaan, serta kurang dari 6 jam setelah jenazah ditemukan. b. Menentukan sebab kematian, yaitu diperkirakan akibat tersumbat jalan nafas. c. Menentukan atau memperkirakan cara kematian, yaitu membiarkan bayi laki – laki yang telah dilahirkan karena bayi yang baru dilahirkan masih dalam keadaan kritis sehingga memerlukan penanganan yang intensif. 2. Kekuatan alat bukti keterangan ahli dalam tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibunya dalam putusan Nomor 147/Pid.B/2013/PN.PWT adalah : a. Merupakan alat bukti yang sah, karena memenuhi syarat formil dan syarat materiil. 116 b. Alat bukti keterangan ahli bersifat bebas, tidak mengikat seseorang hakim untuk memakainya apabila bertentangan dengan keyakinannya. Dan hakim bebas untuk mempergunakan sebagai alat bukti keterangan ahli sebagaimana diatur dalam Pasal 186 KUHAP untuk dasar pertimbangan hukum bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 2 (dua) bulan terhadap terdakwa ATI. Keterangan ahli yang disampaikan di persidangan hanya memperkuat keyakinan hakim c. Keterangan ahli bernilai sama dengan alat bukti yang sah dalam Pasal 184 KUHAP. d. Keterangan ahli diberikan oleh ahli yang mempunyai keahlian khusus tentang suatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang diperiksa. B. Saran Dalam upaya melakukan pembuktian pada perkara tindak pidana pembunuhan bayi oleh ibunya sebaiknya hakim dalam menjatuhkan pidana memberikan sanksi semaksimal mungkin sesuai dengan yang ditetapkan Undang – undang. Agar adanya efek jera pada seorang ibu yang membunuh bayinya karena takut ketahuan orang lain. Sehingga tindak pidana ini tidak terjadi lagi. 117 DAFTAR PUSTAKA A. Literatur Abidin, A. Z., 2001, Sejarah dan Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia. Hamzah, Andi, 2001, Hukum Acara Pidana. Sinar Grafika. Jakarta. ___________, 2002, Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta. ____________, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi kedua, Sinar Grfika, Jakarta. Harahap, M. Yahya, 2000, Pembahasan Masalah dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan, banding, Kasasi dan Peninjauan kembali) Edisi ke2, Sinar Grafika, Jakarta. ______________, 2000, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan) Edisi kedua, Sinar Grafika, Jakarta. Makarao, Mohammad Taufik, 2004, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta. Makarao, Mohammad Taufik, Suhasril, 2008, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek Edisi kedua, Ghalia Indonesia, Jakarta. Makarim, Edman, 2004, Kompilasi Hukum Telematika, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Marpaung, Leden. 2009. Proses penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan dan Penyidikan). Sinar grafika. Jakarta. Marzuki, Peter Mahmud, 2005, Penelitian Hukum, Kencana Perdana Media Group, Jakarta. 118 ______________, 2000, Tindak Pidana Terhadap Nyawa dan Tubuh, Sinar Grafindo, Jakarta. Nasution, A. Karim. 2008. Studi Tentang Peranan Alat Bukti Keterangan Ahli Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Korupsi, Pusat Litbang Kejaksaan Agung RI, Jakarta. Nusantara, Abdul Hakim Garuda, 2006, Studi Kasus Hukum Acara Pidana, Djambatan, Jakarta. Perdana Kusuma, Musa, 2003, Bab – Bab tentang Kedokteran Forensik, Balai Aksara, Jakarta. Prakoso, Djokodan I ketutMurtika, 2002, Dasar – Dasar Kedokteran Kehakiman. Rineka Cipta. Jakarta. Soedjatmiko, H.M., 2001, Ilmu Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Malang. Soesilo, R., 2006, Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Serta Komentar – Komentarnya, CV Politeia. Bogor. Soekanto, Soerjonodan Sri Mamudji, 2000, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali Pers, Jakarta. Soemitro, Ronny Hanitijo, 1990, Metodologi Penelitian dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 2004, Kamus Besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Tjondroputranto, Handoko. 2001. Kedudukan Dan Peran Ahli Lain Dalam Rangka Pembuatan Visum Et Repertum. Ghalia Indonesia. Jakarta. Wisnubroto, AL. 2002, Praktek Peradilan Pidana Proses persidangan Perkara Pidana. Galaxy Puspa Mega, Jakarta. 119 B. PeraturanPerundang – Undangan Indonesia, Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP). ________, Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). ________, Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Pokok Kejaksaan ________, Undang – Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. C. Sumber lain http://jurnal.fk.unand.ac.id, Rika Susanti, Peran Dokter Sebagai Saksi Ahli Di Persidangan, 2013, hlm. 1, Diakses pada hari Rabu, 7 Mei 2014 pukul 09.20. http: // raja1987.blogspot.com/2010/03/tinjauan-umum-pembuktianpidana.html., Diakses pada hari kamis, 15 Mei 2014 pukul 09.20.