YESUS PUSAT HIDUPKU M. Fidelis Sigmaringen Universitas Negeri, Malang Abstract: Every humankind living life, in the Christianity’s insight, has been believing as an gratitude vocational, no matter what its form has being lived. My prieshood, to be said, however, is a special spiritual life vocational, because of its elan-vial within. Every one that has been entering any order of mistics, the so called ordo or congregation, so that included my prieshood, was to live based on any spiritual of life. I have placed God in my hole life as an very ultimate centre. I, in turn, have become man of God and man for others, as is Jesus modelling that heve been given. But the great crucial of big request is how far, that Jesus has become not only for my very ultimate prieshood life centre but also just for my everything ultimately? Could I endure last forever as man of fidelty? How am I able to make to socialize my Jesus’ prieshood life centre for my parish whereas I am going to be envoyed? Keywords: Yesus, pusat hidup, komitmen. Kehidupan ini begitu tersia-siakan untuk tidak dihayati sepenuhnya. Para filosof dan agamawan bersusah payah memaparkan paradigma mereka masingmasing bertalian dengan keniscayaan manusia memaknai kehidupannya. Berbagai ketersediaan diri dalam ketulusan pengorbanan merupakan syarat bagi pemaknaan kehidupan ini, begitu inti roh paradigma mereka itu. Yesus menawarkan wawasan baru dalam pemaknaan dan penghayatan hidup imamatku. Penegasan seseorang dalam menempatkan pribadi tertentu sebagai pusat segala-galanya dalam hidupnya bukan tanpa resiko selanjutnya. Relasi personal yang bersifat transaksional diperlukan agar pemusatan tersebut memiliki kontribusi optimal. Yesus telah sedang menerima kebebasan diriku terhadap jawaban pemusatan akan relasi personal yang kuhayati sebagai seorang imamNya. Hidup imamatku dengan pemusatan Yesus bukan merupakan panggilan hidup khusus dalam jabatan tetapi dalam pengabdian total tanpa reserve. Pemaknaan hidup dalam kemasan pengabdian total tanpa reseve telah ditampilhayatkan oleh Yesus, yang menjelajahi kawasan Palestina pada rentang waktu abad pertama. Yesus pusat hidupku, sebagai seorang imam Lazaris, menantang kriaku dalam hidup nyata sehari-hari, untuk berkanjang menginvestasi talentaku bersama umat dan demi umat. Yesus pusat hidupku, dalam penghayatan hidup imamatku menurut komitmen tidak bedanya dengan berbagai komitmen yang juga ditegaskan oleh pilihan bentuk kehidupan lain. Tetapi, sekaligus juga suatu komitmen yang berbeda bukan dalam kualitas namun dalam intensitas: Kaulku Yesus historis telah memberi contoh penegasan komitmen tersebut. Manusia untuk Allah. Manusia pendoa. Manusia M. Fidelis Sigmaringen, Yesus Pusat Hidupku 17 bagi sesamanya. Manusia yang setia pada komitmennya. Demikian antisipasi imamatku. 1. Historisitas Yesus Historis Yesus pusat hidupku. Tiga kata tersebut menjadi bermakna bagiku ketika dirangkai dengan actus-casus-focus-locus. Rangkaian tersebut resiprokalistik antara Yesus dan seorang seperti aku hic et nunc. Tindakan penyelamatan yang dilakukan Yesus ada dalam dan bersama tindakanku sebagai actus. Permasalahan kehidupan aktual-konkret yang dialami Yesus ada dalam dan bersama halku sebagai casus. Elan-vital keprihatinan yang menggerakan hati Yesus terhadap “wong alit” ada dalam dan bersama elan-vital yang menggerakan hatiku sebagai focus. Tempat berpijak karya mesioner Yesus ada dalam dan bersama tempat berpijakku berkarya sebagai locus. Yesus yang demikian itu secara kontekstual ialah Yesus historis adanya. Yesus historis tidak meniadakan Yesus tremendous. Yesus yang demikian itu adalah Dia sebagai inkarnasi misteri ilahiah dalam keterbatasan dan ketertangkapan antropologis. Dalam keterbatasan dan ketertangkapan antropologis itu Yesus memiliki prerogatif historisitas sebagaimana manusia pada umumnya. Yesus inkarnatif adalah Allah memasuki dunia, Allah Menjadi Daging (AMD). Allah yang menyejarah, atas perkenanNya sendiri mengikatkan Diri dengan keterbatasan persona, ruang dan waktu. Dalam inkarnasiNya itu Yesus memiliki spiritualitas dari kehadiran yang berpengaruh. Hal ini mengimplikasikan suatu penghargaan yang positif terhadap dunia dan segala permasalahannya, suatu bentuk sekularisasi, untuk menyucikannya dan menyelamatkannya. Yesus inkarnatif itu juga adalah Dia yang radikal (France, 1975). Penelitian ilmiah eksegetif menemukan hal-hal penting dalam diri Yesus yang menyatu dengan sifat radikal dalam menghayati visiNya bersama keseluruhan misiNya. Dia mengalami pertikaian, konfrontasi, dan penghukuman dengan disponibelitas mutlak. Bukti radikalisasi pelayanan Yesus terrekam oleh waktu yang diasumsikan sekitar tahun 30 yakni sejak Proklamasi Yordan dan kotbah perdanaNya di Galilea. Kotbah Yesus di bukit dalam kedelapan sabda bahagia (Mat. 5:3-10) menunjukan radikalisasi Yesus yang memberikan Undang-undang DasarNya sekaligus inspirasi kaul-kaul hidup bakti. Kesaksian para penginjil merekam di mana tempat Yesus berkarya pada tiga perjalanan yang dilakukanNya selama sekitar tiga tahun, yakni (1) memasuki kawasan Fenisia; (2) perjalanan dekat Kaisarea Filipi di lereng gunung Hermon; (3) menyeberangi sungai Yordan ke tempat aktivitas Yohanes yang mulamula. Kitab-kitab Injil sebagai sejarah, biografi Yesus, dan sumber untuk studi tentang Yesus historis memang bukan tanpa problematis keilmiahan. Sementara itu terdapat kesaksian di luar kitab-kitab Injil tentang Yesus historis. Tacitus menyebut pelaksanaan hukuman mati terhadap Yesus atas perintah Pilatus. Yosefus mungkin 18 Vol. 3 No. 1, Maret 2003 sekali membenarkan pelaksanaan hukuman mati pada kayu salib atas Yesus di bawah Pilatus, atas hasutan orang Yahudi, dan mencap Dia sebagai seorang pekerja dan mujizat dan guru. Tradisi Yahudi dalam Talmud menyatakan bahwa Yesus yang dihukum mati oleh para pemimpin Yahudi pada malam Paskah ialah seorang tukang sihir dan penipu. Surat Mara bar Seraphion dari Siria menyebutkan hukuman mati dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap raja bijaksana mereka beberapa waktu sebelum Yerusalem dihancurkan pada tahun 70. Pemberitaan tentang kematian Yesus versi Injil Yohanes dinyatakan bertepatan dengan saat domba-domba Paskah disembelih, yakni sore hari sebelum perjamuan Paskah biasa (Yoh. 18:28; 19:14) adalah sesuai dengan Talmud Babel (Sanherdin 43a) yang merincikan Yesus yang dihukumgantungkan pada malam Paskah. Dieja lebih jauh maka hal itu menunjuk bahwa perhitungan tarikh modern sekitar tahun 33, menengarai hari Jumat (momen penyaliban dan penguburan) terjadi pada tengah hari dan matahari terbenam, merujuk tarikh Yahudi pada nisan 14 dan nisan 15 tentang domba-domba disembelih dan perjamuan Paskah. Yesus historis yang radikal nampak dalam ujaran ajaran-ajaranNya (Crossan, 1994). Apa yang secara nyata Yesus ajarkan menunjuk Yesus yang esensial. Senada dengan France (1975) maka Crossan (1994) menegaskan bahwa He’s dangerous, let’s oppose him. He’s criminal, let’s execute him. He’s diven, let’s follow him. A historical account must be able to explain all of those different responses or it is inadequate to what happened.... the essential Jesus means not the canonical but the historical Jesus. I wil not simply go through the four New Testamen gospels, pick out the best known sayings of Jesus, and retranslate them. I present instead those sayings that, in my best historical judgement, are orginal with Jesus.1 Yesus historis yang radikal sekaligus menunjuk historisitasNya. Refleksi filosofis atas historisitas Yesus menunjuk bahwa Yesus menyadari terperangkap bingkai historis. Yesus memahami arti hidup sebagai manusia. Yesus memaknai hidupNya justru dalam historisitasNya. Implikasi historisitas dalam diri Yesus meliputi hal-hal berikut: Pertama, Yesus inkarnatif ialah Roh yang diinkarnasi, Roh yang menjelma dalam materi. Yesus ialah Dia Roh Allah yang berkenan mejelma dalam keterbatasan materi. Yesus inkarnatif ialah Dia yang rela dibudayakan dan membudayakan lingkungan jamanNya. Kedua, Yesus dalam kebebasan Allah yang disituasikan ialah Dia yang bergerak senantiasa mengatasi diriNya. Ketiga, Yesus mengikatkan diri dalam temporalitas, bereksistensi dijalankan dalam waktu. Yesus bereksistensi dalam suatu struktur temporal ialah Dia yang menghayati waktu antropologis. Keempat, Yesus beraktivitas intersubjektivitas. Yesus hidup dan berkarya bersama dengan manusia lain. Yesus merealisasikan diriNya dan menghumanisasikan dunia bersama dengan orang lain. Yesus hidup sebagai manusia maka Dia hidup sebagai ahliwaris yakni memanfaatkan karya dan pemikiran banyak sekali 1 Crossan, 1994 : 2. M. Fidelis Sigmaringen, Yesus Pusat Hidupku 19 orang dari masa silam. Yesus ialah Dia manusia historis karena selalu meneruskan kehadiranNya justru bagi umat manusia seluruhnya. Historisitas Yesus historis bukan Dia seperti saya sendiri inginkan atau saya ciptakan sendiri tetapi ialah Dia seperti apa adanya, ialah Dia manusia yang memberikan diriNya ditangkap keempat fenomena tersebut. Historisitas Yesus menunjuk bahwa Yesus sekaligus sebagai objek dan subjek sejarah. Keduanya, secara resiprokalistik sekaligus sebagai objek dan subjek sejarah, tidak dapat dipisahkan tetapi hanya dipilahkan. Historisitas Yesus historis ialah Dia sekaligus tremondous justru karena dalam kebangkitanNya dari alam maut. Paduan resiprokalis historisitas Yesus historis dalam Yesus yang dibangkitkan dari alam maut oleh Allah, menunjuk sola fides, demi tuntutan misteri ilahi bagi manusia yang meyakini historisitas Yesus historis. Historisitas Yesus historis dan Yesus tremendous tidak dapat dipisahkan tetapi hanya dipilahkan. Paduan historisitas Yesus historis dan Yesus tremendous ditengarai elan-vital man of God, man of prayer, man for others. Kesaksian para penginjil bagi elan-vital man of God pada Yesus terekam dalam concernNya atas Kerajaan Allah. Concern tersebut nampak dalam ujaranNya “truly, truly I say to you, unless one is born anew, he cannot see the kingdom of God” (Jn. 3:3); “and he sent them out to preach the kingdom of God to heal” (Lk. 9:2). “And Jesus looked around and said to his disciples ‘how hard it will be for those who have riches to enter the kingdom of God’” (Mark. 10:23); “but seek first his kingdom and his righteousness, and all this things shall be yours as well” (Mt. 6:33). Elan-vital man of prayer pada Yesus disaksikan oleh penginjil bertalian dengan semangat berkanjang dalam doa. Concern tersebut menampak misalnya dalam ujaran-ujaranNya. “And after he has dismissed the crowds, he went up on the mountain by himself to pray. When evening came, he was there alone” (Mt. 14:23). “And in the morning, a great while before day, he rose and went out to a lonely place, and there he prayed” (Mark. 1:35). “Now, when all the poeple baptized, and when Jesus also had been baptized and was praying, the heaven was opened” (Lk. 3:21). I am praying for them, I am not praying for the world but for those whom thou hast given me, for they are thine” (Jn. 17:9). Elan-vital man for others pada Yesus disaksikan oleh penginjil bertalian dengan keberpihakanNya terhadap yang tidak berdaya dan pendosa, mereka yang secara segregatif ialah “wong cilik”. Cocern tersebut nampak misalnya dalam ujaran-ujaranNya. Tindakan di sekitar pengampunan dosa dan penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus merujuk elan-vital man for others itu. “And he said to them ‘go and tell that fox, ‘behold, I cast out demons and perform cures today and tomorrow, and the third day I finish my course’ (Lk. 13:32). “The official said him, ‘Sir, come down before my child dies’ (Jn. 4:49); “and that repetance and forgiveness of sins should be preched in his name to all nations, beginning from Jerusalem” (Lk. 24:47). Elan-vital Yesus yang membuat Dia concern tersebut bersesuaian dengan visi Yeremia tentang anawim (mereka yang tidak bernama), visi Paulus dalam sejum- 20 Vol. 3 No. 1, Maret 2003 lah suratnya tentang metanoia (pertobatan total) dan surat Paulus tentang sanctire (ikut belarasa). Ketiga elan-vital yang menjadikan Yesus concern sekaligus menunjukan sifat radikal Yesus, termanifestasikan dalam elan-vital yang membuat Dia concern dengan karya Allah, melalui doa-doaNya, dan perhatianNya, serta tindakanNya. Meminjam analisis Michel Foucault, bagi sifat radikal kenabian Yesus, maka hal itu menunjuk semangat parrhesia yakni kemerdekaan berbicara, keterbukaan mengungkapkan sesuatu, berbicara dengan penuh keyakinan, berbicara secara terbuka dan polos (Beoang, 1997). Posisi Yesus dalam elanvital parrhesia ialah penegas kebenaran profetis yang besifat eskatologis sekaligus suatu destiny. 2. Kemutlakan-dasar Yesus-Pusat Yesus (historis sekaligus tremendous) mendapat pengurapan Allah selaku Imam dalam Roh Kudus. Pada gilirannya pengejawantahan imamat Yesus dalam Gereja menampak dalam diri seorang imam. Direktorium tentang Pelayanan dan Hidup Para Imam (1994) memaparkan jati diri imam (dimensi Kristologis) dan spirirtualitas imam (bersama Kristus dalam Doa). Seseorang karena tahbisan sakramental (ikatan ontologis) melalui kewenangan Gereja, mengambil bagian intrinsik imamat Yesus, memiliki imamat ministerial atau imamat sebagai karunia seperti dinyatakan dalam Kanon 1008 (Codex Iuris Canonici, 1991). Maka, jati diri imam (dimensi Kristologis) dalam diri seorang imam langsung bersumber pada sakramen yang secara ontologis menyerupakan imam dengan Kristus Sang Imam, Guru, Pengudus dan Gembala UmatNya. Dalam arti itu maka jati diri imam berupa sesuatu yang baru dibandingkan dengan jati diri keimamatan (imamat umum) semua orang Kristiani, yang lewat Sakramen Baptis ikut serta secara keseluruhan dalam satu-satunya imamat Kristus, dan dipanggil untuk memberi kesaksian tentang Kristus di seluruh dunia. Keunikan ciri jati diri seorang imam menunjuk bahwa hidupnya merupakan suatu misteri yang sepenuhnya dicangkokan pada misteri Kristus dan Gereja secara baru dan istimewah, yang melibatkannya sepenuhnya dalam kegiatan pastoral. Bersama Kristus dalam doa (spiritualitas imam) bagi seorang imam menunjuk hal-hal (1) prioritas hidup rohani, (2) upaya-upaya penyegaran hidup rohani, (3) mengikuti Kristus dalam doa, (4) mengikuti teladan Gereja dalam doa, (5) doa sebagai persekutuan. Keterpilihan panggilan imamat demi pembaktian hidup memang melulu terletak pada inisiatif-inspiratif Yesus. Pada galibnya, Jesus is the man for others’, the one in whom Love has completely taken over, the one who is uterly open to, and united with, the Ground of his being. And this ‘life for others, through participation in the being of God’ is trancendence. For at this point, of love to uttermost’, we en- M. Fidelis Sigmaringen, Yesus Pusat Hidupku 21 counter God, the ultimate ‘depth’ of our being, the unconditional in the conditioned.2 Yesus memulai lebih dahulu dengan inisiatif-inspiratif dalam setiap panggilanNya, melulu karena pertimbangan cintaNya demi kebahagiaan sesama. Dasar terdalam setiap panggilan Allah dalam rencana misteri ilahiNya terhadap manusia, memang ada di dalam Yesus yang menyatu dengan Allah. Perikop Injil menegaskan keradikalan Yesus terhadap keterpanggilan pilihan seseorang, yang hanya dalam sapaan pribadi Yesus. “Bukankah Aku sendiri yang telah memilih” (Yoh. 6:70). “Aku tahu siapakah yang telah Kupilih” (Yoh. 13:18). “Bukan kamu memilih Aku tetapi Akulah yang memilih kamu” (Yoh. 15:16); “bukan untuk memanggil orang benar” (Lk. 5:32); “banyak yang dipanggil tetapi sedikit yang dipilih” (Mt. 22:14). Sementara itu jawaban seseorang atas sentuhan panggilan tersebut, dengan demikian seharusnya menunjuk bahwa seseorang tersebut menentukan dasarnya, pusatnya yang terdalam terletak dalam pribadi Yesus. Hal yang sama tetapi secara unik, istimewa dan baru berlaku juga bagi keterbacaan panggilan imamat seseorang. Demikian juga hal yang sama kuyakini bagi imamatku. Kemutlakan-dasarYesus-pusat dengan demikian memang merupakan bagian integral bagi kehidupan seorang imam. Dieja lebih jauh hal itu menegaskan bahwa tiada dasar memusat atau pusat mendasar lainnya di samping Yesus bagi kehidupan otentik seorang imam. Otentisitas keunikan, keistimewahan dan kebaruan hidup seorang imam menunjuk adanya kepemilikan suatu spiritualitas imamat. Pengalaman para ahli spiritual hidup bakti menengarai bahwa berbagai temuan riset di bidang humaniora dan social sciences pada dekade-dekade terakhir ini merekomendasikan betapa kontribusi bacaan rohani, doa, meditasi, dan kontemplasi menopang optimalisasi penghayatan hidup imamat seseorang, yang membangun tradisi spiritualitas hidup imamat. William, Parker, and Johns (1957) lewat temuan riset eksperimen dan teknikteknik dalam terapi doa, menyatakan bahwa kontribusi doa adalah mengubah hidup seseorang setiap waktu, di mana saja, dan untuk setiap usia. Lebih jauh dikatakannya bahwa “if prayer has any provable power... our experiments proved the power lay with God.... Prayer was the bridge.... Who knows where we would be today if spiritual research had gone hand in hand with the other researches over two thousnds years?”.3 Schuller (1985) memberikan sugesti bertalian dengan prinsipprinsip doa, yang terdiri atas enam langkah. Dengan keenam langkah menuju doa itu diantisipasi jawaban dari Allah. Goldsmith (1978) dalam karyanya menempatkan Kristus di antara porsi meditasi dan doa. Lebih jauh dikatakannya bahwa We are reminded... that the great Power necessary to dispel the erroneous conditions wich surruound us, must be sought within ourself.... There 2 3 22 Robinson, 1963 : 76. William, Parker, and Johns, 1957, pp. xvi-xvii. Vol. 3 No. 1, Maret 2003 is a “Peace, be still” within our own consciousness wich will still every strom in our experience... life us above the strife and weariness of human existence. Our part is to recognice its presence within ourselves... This universal power of Truth, Life, and Love is ours... It abides at the center of every individual , saint or sinner, awaiting only our recognition.4 Sementara itu Rahner (1986) mewariskan spiritualitas doa dengan menegaskan bahwa prayer is thus a mainfold witness of faith expressing itself through speach.5 Bagi Rahner doa merupakan suatu kemampuan yang diharapkan seseorang, lewat signifikansi pengalaman, baik suka maupun duka, yang mengantisipasi jalan menuju tanah pengharapan yang tidak terhingga, di mana Tuhan bersemayam. Pada tempat yang lain, Rahner (1976) dalam seri karya tentang doa dan kebiasaan, mengingatkan isu krusial bertalian dengan integritas intelektual dan iman Kristiani. Isu tersebut merujuk bahan bacaan rohani dan atau meditasi,dengan mengingat dua hal pokok, yakni di satu pihak integritas intelektual dan komitmen spiritual, di lain pihak integritas intelektual dan refleksi teoretis. Bertalian dengan bahan bacaan rohani dan doa tersebut, Freemeser (1985) masih menyarankan temuannya yang berisi wawasan tentang Yesus sebagai Sang Penyembuh, yakni jalan penyembuhan dari dalam melalui Yesus. 3. Sejarah Penyembuhan Refleksi biblis teologis menyadarkan seseorang bahwa tiada hari tanpa mujizat baik pada ranah biasa maupun luar biasa (Mt. 17:20; Mrk. 9:21; Lk. 1:37). Dasar teologisnya terletak pada mistik cinta ilahi (1Yoh. 4:19). Salah satu mujizat terbesar dalam kehidupan seseorang adalah sejarah penyelamatannya. Sejak kelahirannya di dunia berlanjut dengan proses bereksistensinya, seseorang telah sedang mengalami proses panjang sejarah penyelamatannya (Mzm. 136 dan 145). Keharusan-mutlak Yesus-Pusat pada galibnya menunjuk sejarah penyelamatanku dalam pencangkokan pada Yesus. Keterbacaan panggilanku sebagai seorang imam, sebagai yang dipilih di antara manusia, merupakan fenomena bahwa Allah masih melakukan karya-karya agungNya (McKenna & Libersat, 1987). Penggabungan diriku ke dalam Lazarist merupakan bagian integral dari proses panjang sejarah penyelamatanku, di mana Yesus kutegaskan dengan penuh keyakinan sebagai pusatnya. Proses panjang sejarah penyelamatanku memang bersifat membelum retrogresif. Keimamatanku hingga dewasa ini telah sedang menapaki proses panjang catur - I yakni imitasi, identifikasi, idealisasi, dan integrasi dalam kepribadian Yesus sebagai jawabanku yang sadar atas keterpilihanku bahwa Dia kujadikan pusat mendasar dan memusat segala gerak hidupku. 4 5 Goldsmith, 1987, pp.3-4. Rahner, 1986, p. xi. M. Fidelis Sigmaringen, Yesus Pusat Hidupku 23 Ellison (ed. 1983), memaparkan keberkaitan antara Kristianitas, psikologi, dan harga diri seseorang dalam menapaki proses panjang sejarah penyelamatannya, untuk menggapai kediriannya yang optimum lebih baik. Dalam pandangan psikologi analitis baru, hakekat harga diriku erat bertalian dengan deskripsi diri, refleksi diri, konsep diri, dan sikap diri, merujuk pada evaluasi diri, sebagai dampak pengalaman relasi diriku baik internal maupun eksternal, yang terekam lewat dinamika temporal. Pandangan teologis biblis tentang hakekat harga diriku menunjuk bahwa sejak semula telah diterangkan oleh Allah ketika aku diciptakan yakni “semuanya adalah amat baik adanya” (Kej. 1:31). Sementara itu Zabur, 8:4-5 menyenandungkan betapa kemahaagungan Allah yang masih mencintaiku betapa pun aku ini setelah kejatuhanku. Pada gilirannya misteri karya cinta Allah dalam tindakan penyelamatan Yesus bagi diriku termeteraikan dalam darah manusia Yesus yang tiada terperikan mahalnya (Rom. 5:6,8,10). Dasar psikologis dan teologis ini membantu penyadaran sejarah penyelamatanku hingga kini menghayati tugas pengabdian imamatku di antara umat. 4. Komitmen Imamatku Mekanisme penyadaran diriku atas keterpanggilanku sebagai (calon) imam Lazaris pada gilirannya harus ditempatposisikan dalam kerangka bahwa Allah telah lebih dulu mencinta dan memanggil setiap manusia menurut rencana kekal cintaNya. Dikatakan bahwa “in de christelijke trouw neemt de Geest van Jesus het inisiatief: Hij is het die iemands levensplan richting geeft. Hij is de plicht van het individu en van de gemeenschappen in elke situatie trouw te zijn.... De Geest van de Heer roept ons voortdurend tot een nieuwe begin”.6 Panggilan Allah pada setiap manusia memang menampilkan berbagai bentuk penghayatan hidup, namun memiliki dasar terdalam yang sama yakni bahwa Yesus pusat hidupku. Dikatakan juga bahwa “de oorsprong het centrum en de dynamiek van het leven van de Broeder is Christus. Daarom zal uiteindelijk in het contact met Hem zjn trouw tot rijpheid komen”.7 Penempatposisian tersebut memerlukan komitmenku yang tandas. Seseorang disebut komit sejauh dia melakukan, melaksanakan, berbuat, berjanji. Dalam suatu komit terkandung suatu kewajiban diri. Seseorang disebut komitmen sejauh dia memiliki janji, kewajiban, tanggung jawab, keterikatan. Dalam suatu komitmen terkandung perjanjian/keterikatan untuk melakukan sesutu, kontrak. Memedomani Anjuran Apostolik tentang Hidup Bakti (1996) maka hidup imamatku kubaktikan berdasarkan pada kesadaranku akan anugerah agung hidup bakti 6 7 24 Omer, cs., 1991: 56. Ibid., p. 55. Vol. 3 No. 1, Maret 2003 dalam ketiga aspeknya yakni pentakdisan, persekutuan, dan perutusan. Ketiga aspek tersebut kusadari sepenuhnya menyiratkan akan adanya kewajiban diri dan keterikatan untuk melakukan sesuatu. Pilihanku pada Lazaris memang mengantisipasi integralitas visi dan misi Gereja dengan Congregasi Misi mengingat, “de Stichters waren zeer zeker mensen van hun tijd.... Elke religieuze stichting was riskant en moeilijk.... De manier waarop de Regels geformuleerd zijn, op basis van de ervaring opgedaan in het leven samen met de eerste gezellen...”.8 Vinsensius de Paul, pendiri Kongregasi Misi/CM (Lazarist), dalam Konstitusi FBHK bagian spiritual pasal 68, diletakan sebagai pelindung perutusan. Lebih jauh pasal 68 menegaskan bahwa Spiritualitasnya dapat menjadi sumber inspirasi kita. Baginya mengikuti Kristus terutama berarti menanggapi sabda Kitab Suci.... Vinsentius menghimbau para pengikutnya agar memilih si miskin sebagai bagian warisan mereka, dan menganggap sebagai suatu kehormatan untuk menjadi pelayan-pelayan kaum miskin dan dengan demikian melayani Kristus. Ia mendorong mereka untuk berusaha memiliki sifat-sifat yang diperlukan untuk melaksanakan tugas perutusan mereka dengan baik. Vinsensius de Paul bagi FBHK dalam milenium ketiga ini menjiwai pembaharuan hidup bakti. Di Surabaya, kota semi metropolit dengan segala konsekuensinya itu, didirikan komunitas ke-13 dengan pelindungnya Vinsensius de Paul yang diberkati oleh Uskup Surabaya, Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr. Pada milenium ketiga ini juga Vinsensius de Paul telah menyemangati lima frater yunior Indonesia untuk bermisi ke Kenya. Dua orang frater perintis telah menerima salib perutusan dari Mgr. H.J.S. Pandoyoputro, O.Carm. Mereka akan berkarya di tengah-tengah anak-anak cacat fisik dan kelak masih disusul sejumlah karya pendampingan bagi “wong cilik” yakni anak-anak jalanan. Nampaknya segi spiritualitas-hati, warisan kepekaan/kecerdasan emosional Vinsensius, ternyata lebih dominan daripada segi spiritualitas-pikir. Konstitusi CM Nomor 5 secara jelas menandaskan bahwa Yesus Kristus itu pedoman bagi karya misi. Dieja lebih jauh hal itu menandaskan bahwa Yesus menjadi pusat hidup dan kegiatan Kongegasi9. Untuk itu setiap anggota akan berupaya dengan sekuat tenaga dalam mengenakan Roh Kristus sendiri.10 Orang kecil atau “wong cilik” yang menjadikan Vinsensius de Paul concern, dalam sejarah Gereja nampak selalu aktual. Hampir dua dekade yang lalu, Sidang Pleno Masri (1984) menengarai paradigma orang kecil sebagai yang mengalami aneka bentuk pemiskinan secara materil dan kultural. Pada umumnya mereka hidup di bawah taraf kewajaran manusiawi, tidak berdaya menghadapi tata susunan dan sistem masyarakat, sungguh kecil diam tidak bersuara bahkan tidak memiliki saran 8 9 10 Ibid., p. 57. SV. XII. 130 R.C. 1, 3 M. Fidelis Sigmaringen, Yesus Pusat Hidupku 25 untuk menyuarakan diri mereka. Tetapi, paradigma orang kecil tersebut juga bertalian dengan mereka yang mengalami proses pemiskinan rohani meskipun secara materil mereka berlimpah dengan kekayaan. Kemiskinan rohani menampak dalam tiada dihargainya nilai-nilai hidup manusia yang luhur, seperti hidup, cinta pada sesama, keadilan, kesempatan merata dan terbuka untuk memperbaiki hidup. Dewasa ini menampak dengan jelas keluarga yang pecah, bersemangat materialistis, tidak bahagia, anak-anak miskin kasih sayang, orang miskin pengetahuan agama, pegangan moral makin kabur. Koptari (1987) menyatakan adanya spiritualitas pelayanan – spiritualitas sosial yakni dalam wujud keterlibatanku pada kehidupan masyarakat yang bersama dengan berbagai pihak mengupayakan terjadinya perubahan-perubahan hidup dan tata susunan sosial yang lebih adil berdasarkan cinta kasih dengan preferensi pada “wong cilik”. Proses panjang sejarah penyelamatanku sebagai (calon) imam Lazaris kini menampak semakin signifikan. Komitmenku sebagai (calon) imam Lazaris memang bukan tanpa pemenuhan klausul yang dipersyaratkan oleh Kodifikasi Gerejani dan spiritualitas CM. Dua hal penting mendatang adalah (1) sembilan orang frater direncanakan mengikuti Retret Umat dalam mempersiapkan diri untuk menghantar umat keuskupan Banjarmasin dalam memotivasi mereka agar Yesus menjadi pusat hidup mereka; (2) tujuh orang frater akan mempersiapkan diri menegaskan pilihan Lazaris dalam kaul kekal mereka. Kedua hal penting mendatang tersebut kiranya menantang diriku dalam suatu jawaban yang definitif. Refleksi diri, melalui keempat butir di atas, dalam tema Yesus Pusat Hidupku, mengahantar diriku pada jawaban yang definitif itu. Jalan panjang masih terpampang di depan yang nyaris bukan tanpa permasalahan. Kusadari bahwa imam bermasalah merupakan fenomena krusial yang niscaya nyaris tidak terelakan adanya. Program ONGOING FORMATION kiranya bukan sekedar rangkaian tiga buah kata penjiwa tanpa pemaknaan. Sesansi non scholae, sed vitae discimus seharusnya menampak dalam diriku bertalian dengan cinta akan studi, budaya baca, kemampuan terus memperkembangkan diri dan pribadi sebagai imam, serta mampu membaca tanda-tanda jaman. Maka tantanganku sebagai seorang imam hic et nunct, kiranya tidak ringan. Imam seharusnya mengikuti perkembangan Gereja dengan ilmunya, perkembangan teologi secara luas, dan ilmu-ilmu kemanusiaan serta kemasyarakatan. Imam seharusnya jadi dan tetap tampil sebagai budayawan utuh dengan kegenapan rasa, peka dan kritis dalam evaluasi dan tanggapannya. Maka seorang imam diantisipasi agar sehat, segar dan asli, jiwa serta semangatnya, kreatif dalam kepemimpinannya, dan insipratif perkataan dan penampilannya, perlu terus membina kerohanian.11 Concern citra imamat di Indonesia yang akan datang ialah “citra imam sebagai pemuka umat yang memiliki kepribadian teguh mengumat serta 11 26 Soenarjo, 1987, p. 58-59. Vol. 3 No. 1, Maret 2003 memasyarakat seraya secara khusus melayani matra rohani Kristiani dengan berbobot”.12 Aspek mengumat dan memasyarakat, menunjuk bahwa imam menjunjung tinggi nilai-niali pastoral relasional agar mampu mengajak orang lain peka akan lingkungannya hingga memiliki solidaritas tinggi, siaga untuk hidup sederhana, dan menjadi pejuang yang gigih demi penegakan keadilan. Aspek kerohanian menujuk bahwa imam perlu menjunjung tinggi nilai-nilai kepekaan rohani sebagai gembala dan nabi, yang memancarkan kedalaman hidup, menjadi manusia rohani, agar mampu mengajak orang lain untuk menjangkau Allah yang transenden. Aspek bobot menunjuk bahwa imam perlu menjunjung tinggi nilai-nilai keunggulan pribadi dan perilaku agar ingin tahu tanpa henti, memiliki disiplin belajar tidak habishabisnya, serta ketrampilan mengkomunikasikan semangat yang kena pada situasi dan kondisi yang melingkupinya. Komitmen imamatku sebagai seorang Lazaris, menyimak paparan di atas, ialah imam yang good and smart. Antisipasi imam yang baik dan cerdas memang bukan tanpa upaya yang teratur. Kini secara luas tersedia berbagai sarana untuk pemeriksaan diri berbentuk tes bertalian dengan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, kecerdasan mental dan kepribadian. Bentuk-bentuk tes tersebut memang tidak definitif tetapi sekedar sebagai penyegar diri. Imam yang good and smart sungguh-sungguh memerlukan penginvestasian diri secara sistematis. Good and smart bagi seorang imam seharusnya merupakan upaya membangun tradisi kualitas diri. Sementara itu tema Yesus pusat Hidupku pada gilirannya seharusnya kusosialisasikan pada umat di mana saya berkarya. Syarat pencapaian tujuan pensosialisasian tersebut adalah bahwa saya sendiri telah sedang berproses retrogresif dalam memiliki elan-vital tersebut yakni Yesus Pusat Hidupku. Saya mendisiplinkan diri dalam program ONGING FORMATION, dalam menginvestasikan diri, agar saya mampu menjadikan Yesus Pusat Hidup Umat, di mana saya akan berkarya... Brena (1988) membantu upaya menempatkan Yesus Pusat Hidup Umat, lewat paradigmanya, yakni apa yang disebutnya sebagai spiritualitas awam. Paradigma tersebut menunjuk suatu “keintiman dengan Allah dan pertumbuhan pribadi secara suci di dalam dan melalui pengalaman-pengalaman manusiawi mereka sehari-hari yang paling umum”.13 Letak posisi Yesus adalah pada sifat spiritualitas awam itu yakni sebagai spiritualitas situasi, artinya mengikuti Kristus dalam situasi awam konkret. Dieja lebih jauh hal ini merujuk bahwa umat selalu mereposisi dan merevitalisasi Yesus Pusat Hidup. Sejumlah tengarai spiritualitas awam pada gilirannya merupakan bagian dari komitmen imamatku, man of fidelty, untuk kusosialisasikan pada umat, yang telah sedang terlibat hidup global, dalam upaya mereposisi dan merevitalisasi Yesus Pusat Hidup. Sejumlah tengarai tersebut adalah (1) berakar dalam kehidupan; (2) inkarnasi; (3) kebajikan seksualitas; (4) orang garis depan; (5) komitmen kuat; (6) ketidakamanan; (7) berorientasi terutama pada 12 13 Mardiatmadja, 1987 : 60. Brena, 1988 : 25. M. Fidelis Sigmaringen, Yesus Pusat Hidupku 27 “wong alit”; (8) keintiman dengan Allah; (9) nilai-nilai manusiawi; (11) bersifat komunitas; (12) menuntun ke kepenuhan hidup; (13) bersifat Gerejawi, biblikal, liturgikal, apostolik, Kristus sentris; (14) seperti imam. Komitmen imamatku memang mengantisipasi sesuatu yang jauh ke depan bagi kelangsungan hidup Gereja Yesus hic et nunct. Idealisasi umat menjadikan Yesus Pusat Hidupnya memerlukan refleksi imamatku secara pastoralis dan teologis. Kondisi objektif kehidupan umat secara multi dimensional (ekonomi, hukum kultural, pendidikan sosial) dewasa ini cenderung mengenaskan adanya (Ripple, 1987). Kondisi yang demikian itu menuntut pelayanan pastoral demi terproseskannya kematangan Kristiani pada umat (Jacobs, 1988). Mungkin memang diperlukan studi kelayakan di bidang pelayanan pastoral: Suatu pertanyaan integritas dan kiatkiat penemuannya baik personal maupun komunal (Campbell, 1986). Semua itu mengantisipasi pertanyaan retoris Kung (1987) dalam kebertahanan Kristianitas seseorang bertalian dengan tiga hal yakni komitmen Kristianitas dalam masyarakat yang mengalami disorientasi, upaya bertekun dalam berbagai tekanan, dan ketiadaterbagikannya Kristus. Sementara itu Schall (1994) dengan tajam mempermasalahkan eksistensi Katolisisme dalam perjalanan sejarahnya. Dalam kedua paparannya dia menyatakan, di satu pihak betapa kelemahan apologia Katolik: The apologist has no ‘alibi’ no excuse if the faith or inteligence he explains or justifies is not that of the revelation itself. Too often we hear preached fundamentally ‘this world’, not Catholicism... No doubt it is true, in conclucion, that certain forms of ‘faith and justice’ theories have come to be preached in the name of Catholicism. This is not eternal life.14 Di lain pihak dia menegaskan adanya revolusi dalam Katolisisme sehingga masih eksis sampai dengan kini: To return to the initial question, does Catholicism ‘still believe in something’ or is it ‘beginning to doubt everything’? The shortest answer is ‘yes, there are those who doubt everything; yes, Catholicism still believe in something’. We do worry about ‘the human machinery of a perfect and supernatural revelation’. But when we finally examine the content of this perfect and supernatural revelation, even when we do so with... who when asked near the end of this life why he believed in Catholicism, responded, with some exasperation, ‘what else is there’?15 5. Discourse (Personal or Emmaus) Having read those above short simple thought, how far am I able to draw my priesthood could be within any real condition that has being lived sed 14 15 28 Schall, 1994, pp. 128-9. Ibid., pp. 258-59. Vol. 3 No. 1, Maret 2003 fidelis usque ad mortem? So far I have being formed, within my hard study, for continually building personal investment tradition, how is Jesus in my concern? How far do I take place Jesus as my priesthood life ultimate centre? Do I am to prepare for facing any problem infront of anticipation, during my socialize that Jesus’ – Ultimate-Centre for the parish whereas I am going to be envoyed? BIBLIOGRAFI A Reader’s Guide to the Holy Bible, 1972, Nashville: Thomas Nelson Inc. Beoang, K.B., 1997, Michel Foucault: Parrhesia Dan Persoalan Mengenai Etika, Jakarta: Obor. Brena, J.S., 1988, Lay Spirituality Today, terjemahan ke dlm., Spiritualitas Awam Jaman Sekarang, oleh Jacobus Tarigan (1990), Jakarta: KKA KWI. Campbell, A.V., 1986, Rediscovering Pastoral Care, London: Darton, Longman & Todd. Contituties Congregatie van de Fraters van O.L. Vroum van het H. Hart, 1997, Zutphen: Kaninklijke Wohrmann bv. Crossan, J.D., 19994, The Essential Jesus: What Jesus Really Tought, San Francisco: Harper. Ellison, C.W. (ed.), 1983, Your Better Self: Christianity, Psychology, and Self Esteem, Sao paulo: Harper & Row. France, R.T. , 1975, Jesus The Radical: A Portrait of the Man They Crucified, terjemahan ke dalam, Yesus Sang Radikal: Potret Manusia Yang Disalibkan, oleh P.G. Katoppo (1996), Jakarta: BPK Gunung Mulia. Freemesser, G.F., 1985, Learning to Live From Within: A Glimpse of Jesus as Healer, Denville: Dimension Books, Inc. Goldsmith, J. S., 1987, The Infinite Way, California: DeVorss & Co. Jacobs, M., 1988, Towards The Fullness of Christ, London: Darton, Longman & Todd. Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), 1991, Jakarta: Obor Koptari, 1987, Spiritualitas Pelayanan: Religius Melayani Kerajaan Allah. Kung, H., 1987, Why I Am Still a Christian, Edinburg: T&T Clark LTD. Mardiatmadja, B.S., 1987, “Rangkuman Diskusi Umum Mengenai Pendidikan Seminari”, dlm., Pendidikan Imam Dalam Masyarakat Indonesia Modern, Jakarta: Yayasan Gembala Utama. McKenna, B., & Libersat, H., 1987, Miracles Do Happen, terjemahan ke dlm., Mukjizat-Mukjizat di Zaman Modern, oleh I. Suharyo, Pr. (1995), Yogyakarta: Kanisius. M. Fidelis Sigmaringen, Yesus Pusat Hidupku 29 Omer, B., 1991, Broeder in Instituten voor Lekereligieuzen, Rome: U.S.G. Parker, W. R., & Johns, E., 1957, Prayer Can Change Your Life, Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc. Paulus II, Y., 1994, Directory onyhe Ministry And Life of Priest, terjemahan ke dlm., Direktorium Tentang Pelayanan dan Hidup Para Imam, oleh R. Hardawirjana, SJ. (1996), Jakarta: Dokpen KWI. Pernyataan Sidang Pleno Masri September 1984, Melayani Orang Kecil. Rahner, K., 1976, Prayer And Practice: Belief Today, London: Sheed & Ward. Rahner, K., 1984, Prayers of A Lifetime, Edinburg: T & T Clark LTD. Ripple, P., 1987, Growing Strong at Broken Places, Indiana: Ave Maria Press. Robinson, J.A.T., 1963, Honest to God, London: SCM Press Ltd. Schall, J.V., 1994, Does Catholicism Still Exist?, New York: Alba House. Schuller, R.H., 1985, Positive Prayers for Power-Filled Living, Auckland: Bantam Books. Soenarjo, A., 1987, “Sumbang Saran II Pendidikan Imam Untuk Abad 21”, dlm., Pendidikan Imam Dalam Masyarakat Indonesia Modern, Jakarta Yayasan Gembala Utama. 30 Vol. 3 No. 1, Maret 2003