ASPEK NORMATIF DAN EMPIRIK DALAM PRAKTIK KEHIDUPAN BERAGAMA Pardjono Staf Pengajar Fakultas Teknik UNY Pendahuluan Salah satu penggalan cerita dalam sinetron “Kiamat Sudah Dekat”, ibunya Fandy mengajukan pertanyaan yang kritis terhadap ibu Endang yang polos, guru ngajinya, yang juga ibunya Syafrol. Pertanyaannya antara lain: “Sholat itu untuk apa? Apakah kalau sudah sholat pasti masuk surga? Lha itu, banyak orang yang sudah sholat tapi banyak berbuat dosa dan malas-malasan lagi? Apakah mereka juga masuk surga?”. Pertanyaan ibunya Fandy yang hampir sama maksudnya, secara bertubi-tubi ditujukan kepada guru ngajinya yang hanya lulusan Madrasah Ibtidaiyyah itu. Sungguh, pertanyaan-pertanyaan itu membuat ibu Endang pusing tujuh keliling karena tidak mampu menjawab pertanyaan kritis tersebut. Selain itu ia belum pernah mendapat pertanyaan yang kritis dari murid-muridnya yang terdahulu. Akhirnya dengan sukarela ia mengundurkan diri sebagai guru ngaji keluarga Fandy. Tidak kalah kritisnya dengan pertanyaan ibu Fandy adalah pertanyaan yang diajukan oleh ayahnya Fandy yang meragukan keampuhan ajaran Islam dalam membina umatnya menjadi umat yang produktif. Hal ini karena ia melihat fenomena yang sangat bertentangan dengan apa yang pernah mereka dengar yang tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dalam kisah ceritanya ia melihat fakta bahwa, setelah ia membuatkan musholla untuk karyawan perusahaannya, justru karyawannya tidak semakin rajin bekerja untuk kemajuan perusahaan, tetapi justru semakin malas. Sehabis istirahat dan sholat dzuhur mereka tidak segera bergegas untuk bekerja dengan lebih keras dan baik untuk mengejar prestasi, tetapi malah tidur-tiduran di musholla dan semakin lambat memulai kembali pekerjaannya. Oleh karena itu ia sementara menyimpulkan bahwa orang yang kuat agamanya dan rajin sholat justru akan mengurangi produktivitas kerjanya. Fakta ini ia gunakan sebagai senjata yang ampuh untuk mencoba menghalangi Fandy untuk menyunting Sarah yang cantik dan shalehah anak semata wayang Haji Romli yang taat beribadah itu. 1 Fenomena Masyarakat Indonesia yang Kontradiktif Penggalan cerita di atas mungkin juga mewakili pertanyaan yang berkecamuk di benak sebagian umat Islam yang berpikiran kritis karena melihat fenomena yang antagonistik seperti cerita dalam sinetron tersebut. Umat sering disuguhi fenomena yang sama dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat Indonesia yang tidak sesuai dengan ajaran agama yang pernah mereka pelajari. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam, menurut laporan penelitian terakhir dengan sampel para pelaku bisnis di Indonesia, merupakan negara terkorup nomor 6 di dunia. Sudah banyak masjid dan musholla berdiri di persada Indonesia, sudah banyak orang yang naik haji, tetapi korupsi tetap berlangsung, manipulasi tetap berjalan, illegal logging sulit diberantas. Semakin banyak yang membayar zakat justru daerah endemik busung lapar semakin melebar, penyulundupan BBM tetap merebak, dan mafia peradilan serta manipulasi hukum sulit diberantas. Setiap tahun umat Islam melaksanakan ibadah puasa untuk berlatih mengendalikan nafsu, semakin meningkat pula eskalasi keberingasan masyarakat dipertontonkan. Mengapa kok tidak sebaliknya? Barangkali jawaban yang diharapkan oleh ibu dan ayahnya Fandy dalam sinetron itu adalah “Indonesia semakin makmur, korupsi semakin hilang, illegal logging semakin langka, masyarakat semakin santun dalam berperilaku, rakyat semakin produktif dan kreatif, dan umat semakin rukun serta harmonis”. Seharusnya semakin taat seseorang terhadap ajarannya akan semakin memberikan dampak positip terhadap dirinya dan lingkungannya. Mereka diharapkan semakin disiplin, produktif, berprestasi, kreatif, inovatif, dan dapat menjadi contoh umat yang mampu menjalankan kwajibannya sebagai khalifah (pemimpin) di bumi seperti yang diamanahkan oleh Al-Qur’an pada surat alBaqoroh ayat 30, “….Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di bumi…” Tetapi mengapa tidak demikian? Aspek Normatif dan Empirik Dialog yang berlangsung antara Fandy dan ayahnya menyiratkan bahwa pertanyaan yang masih berkecamuk dalam benak Sang Ayah adalah: “Mengapa justru di Amerika dan negara-negara maju yang mayoritas umatnya tidak pernah sholat justru lebih produktif, kreatif, ulet, dan lebih maju”. Sebagai khalifah di bumi, semestinya manusia terpanggil untuk mengemban misi menjadi penjaga dan pemelihara ciptaan-Nya serta menciptakan teknologi untuk kesejahteraan manusia. 2 Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh ibunya dan ayahnya Fandy yang dipaparkan di depan terkait dengan dua hal, yaitu amalan ibadah normatif yang kebenarannya hanya Allah yang tahu dan amal ibadah empirik yang kebenarannya bersifat inderawi. Kebenaran normatif ini bersifat transendental metafisis dan berada di luar jangkauan pikiran manusia dan tidak meruang waktu. Aspek normatif transendental mengandung kebenaran yang pembuktiannya harus dengan keimanan (untestable truth), sedangkan kebenaran empirik adalah kebenaran baconian, kebenaran ilmiah yang bersifat inderawi, yaitu dapat diamati, dirasakan, dan diukur. Pada diri Rosul Allah Muhammad s.a.w. banyak contoh perilaku beliau yang menunjukkan adanya dua karakteristik kebenaran Islam. Misalnya, ketika perang Badar, pada saat beliau menyusun strategi perang, Al-Habbab ibn Al-Mundzir bertanya kepada beliau “Wahai Rosul Allah, apakah anda memilih tempat ini karena ketentuan Allah yang tidak mungkin diubah ataukah strategi perang?” Beliau menjawab: “Itu adalah strategi perang”. Lalu Al-Habbab menyarankan kepada Rosululloh s.a.w., “Wahai Rosul Allah, itu bukan pilihan yang tepat!”. “Pindahkan pasukan agar mendekati tempat air dan kita bangun kolam untuk minum mereka!”. Kata Al-Habbab dan kemudian Rosululloh menggeser pasukan mengikuti saran dari sahabat beliau. Penggalan perilaku Nabi dalam hadits riwayat Ibnu Hisyam ini mengandung materi kebenaran normatif transendental dalam ujud ide dan materi kebenaran yang bersifat empirik dalam wujud fakta. Perang Badar dilakukan karena Rosul Allah melaksanakan petunjuk Allah untuk berjihad untuk membela Islam, yang pada saat itu teraniaya, bersifat normatif transendental. Ide Al-Habbab merupakan proses pengujian kebenaran empirik yang sudah meruang waktu dan lebih operasional, bukan lagi bersifat transendental metafisis. Pertanyaan Ibunya Fandy “Kenapa banyak orang yang sudah sholat tapi masih banyak berbuat dosa?”, tampaknya terkait dengan permasalahan kebenaran ajaran secara empirik faktual dan kemampuan umat Islam dalam menangkap pesan di balik ajaran tentang ibadah. Muslim A. Kadir dalam bukunya Ilmu Islam Terapan telah menggagas perlunya para cendikiawan Islam mengembangkan paradigma amali untuk membuat ajaran Islam yang dapat diamalkan secara normatif dan empirik, sehingga Islam sebagai Agama Rahmatan lil ‘alamin dapat terwujud di bumi nusantara ini. Dengan bahasa KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) perlu dibuat standar isi dan kompetensinya 3 (curriculum standard framework) agar ajaran agama dapat diamalkan, tidak saja secara normatif, tetapi juga secara empirik. Dengan paradigma amali, amalan-amalan yang merupalan operasionalisasi dari aspek normatif pada kehidupan bermasyarakat dan sekaligus pesan-pesan di balik ajaran normatif itu dapat dirumuskan untuk menjadi acuan umat dalam beribadah dan berperilaku ketika harus mengurus dunia sebagai khalifah. Sebagai khalifah manusia tidak saja memerlukan ilmu yang mendukung akidah tetapi juga ilmu untuk melaksanakan amanah tersebut untuk keperluan memelihara ciptaan Allah dan ilmu untuk menguasai dunia. Pada era sekarang ini, ketika kaum muslimin mengabaikan urusan dunia, maka banyak diperlakukan tidak adil dan tidak berdaya. Terkait dengan masalah ini, Noeng Muhajir dalam bukunya Filsafat Islam: Telaah Fungsional, secara berterus terang menyalahkan kaum muslimin yang telah menyerahkan urusan dunia kepada orang yang tak beriman, sementara Allah menjanjikan kesejahteraan dunia ini bagi semua hamba-Nya, baik yang beriman maupun yang tidak. Setiap perintah Allah seperti puasa, sholat, zakat, haji dan perintah ritual lainnya mengandung pesan-pesan di balik ajaran normatif. Misalnya, perintah sholat harus dilakukan seperti yang dilakukan Rosul Allah, tidak perlu bertanya banyak. Apalagi mencoba untuk merubah dan menyederhanakan. Tidak perlu dipertanyakan mengapa posisi sujud dalam sholat harus seperti itu, ruku’nya seperti itu dan sebagainya, karena aspek ini masuk pada ranah untestable truth yang kebenarannya hanya bisa dipahami dengan iman. Meskipun banyak ilmuwan yang telah meneliti bahwa gerakan dalam sholat berdampak positif pada kesehatan fisik bagi yang melakukan, hasil kajian ini sebagai upaya kajian ayat kauniah yang masih dalam ranah untestable truth. Namun, ada hal yang lebih penting lagi, yaitu mengkaji dan meruangwaktukan aspek normatif itu menjadi formula-formula yang bisa diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Bila demikian halnya, maka tidak akan ada lagi orang yang taat beribadah mampu menyakiti hati orang-orang di sekitarnya. Pendek kata, hal yang perlu dikaji dan dicari rumusan operasionalisasinya dalam paradigma amali justru pesan di balik perintah sholat, puasa, zakat, dan haji, yang merupakan ranah fakta empirik. Misalnya, perintah puasa kepada orang yang beriman agar menjadi taqwa seperti yang ada dalam surat Al-Baqoroh ayat 183 “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. Jadi, puasa romadhon merupakan sebuah pendakian spiritual untuk mencapai 4 tingkatan spiritual taqwa. Puasa bertujuan mengatur emosi dan nafsu, melatih kesabaran dan berupaya merasakan kehadiran Allah dalam setiap langkah kehidupan kita. Pada sepuluh hari awal adalah fase penuh rahmat. Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada hamba-Nya yang berpuasa. Kebenaran empiriknya harus dibuktikan bahwa selama sepuluh hari awal itu semua umat Islam mampu memantulkan rahmat tersebut kepada orang lain, dengan menebar kasih sayang, kedamaian, menyayangi semua orang tanpa pilih kasih, mengumbar senyum ikhlas yang dikendalikan oleh nurani yang teladan. Jadi, rahmat yang dilimpahkan oleh Allah pada sepuluh hari awal dapat juga dirasakan oleh masyarakat di lingkungan kita baik muslim maupun non muslim. Orang muslim adalah bila orang merasa aman darinya dan aman dari kejahatannya, sehingga tercipta komunitas rahmati sebagai efek langsung tindakan puasa oleh umat Islam. Penutup Orang yang beriman tidak hanya memerlukan universalitas dalam bentuk ajaran, tetapi juga pelaksanaan agama sebagai rumusan prosedur faktualisasi dalam kondisi kehidupan konkret. Pada tahap ini, universalitas Islam, yang pada mulanya dalam wujud abstrak metafisis, telah berubah menjadi perbuatan keagamaan yang bersifat nyata, yang dapat dirasakan manfaatnya oleh diri sendiri, orang lain, dan masyarakat. Orang yang hanya mementingkan aspek normatif dalam kehidupan beragamanya akan cenderung menjauhi kehidupan duniawi sehingga perkembangan kebudayaannya akan tertinggal dan amanah sebagai khalifah akan terbengkelai. Sebaliknya, orang yang lebih mementingkan aspek empirik kadang terjerumus pada kehidupan yang lebih materialistik dan sekuler. Bagi umat Islam, sudah saatnya sekarang ini mengedepankan aspek normatif dan empirik sekaligus agar amanah sebagai khalifah di bumi dapat dilakukan dengan baik. Dengan mengembangkan kedua aspek ini, umat Islam akan mampu mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. InsyaAllah. Daftar Pustaka Muslim A. Kadir. 2003. Ilmu Islam Terapan. Kudus: STAIN Kudus Press. Noeng Muhajir. 2003. Filsafat Islam: Telaah fungsional. Suplemen Filsafat Ilmu Edisi II. Yogyakarta: Rake Press. 5