Geoteknik INDIKATOR BATAS CAIR TERHADAP BAHAYA LONGSORAN TANAH (029G) Budijanto Widjaja1 dan Shannon Hsien-Heng Lee2 1 Jurusan Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Jl.Ciumbuleuit 94, Bandung Email: [email protected] 2 Department of Construction Engineering, Taiwan Tech, No. 43 Keelung Rd, Section 4. Taipei Email: [email protected] ABSTRAK Meskipun batas cair merupakan kriteria definitif yang membedakan kondisi tanah apakah berada di dalam kondisi plastis atau kondisi cairan kental, ternyata batas cair memiliki fungsi lain sehubungan dengan longsoran tanah dalam hal ini mudflow (aliran lumpur). Jika kadar air di atas batas cair, maka tanah berada dalam kondisi cairan kental dan sebaliknya jika lebih rendah dari batas cair disebut kondisi plastis. Aliran lumpur kerap kali terjadi sehubungan dengan perubahan kadar air di dalam tanah dan berada dalam kondisi cairan kental. Perubahan kadar air ini dapat disebabkan karena perubahan tata guna lahan di mana manusia dapat melukai lingkungan hidupnya sehingga semakin mudah infiltrasi air masuk ke dalam pori tanah. Di sisi lain, banyak peneliti menggunakan kriteria batas cair ini secara kualitatif. Untuk mengatasi kelemahan tersebut, persamaan utama diturunkan dengan menggunakan kombinasi teori trap door dan model Bingham, dan akhirnya penulis menciptakan viskometer yang disebut dengan flow box test. Alat ini dimaksudkan untuk memperoleh parameter reologi dari aliran lumpur yakni viskositas. Dengan menggunakan masukan berupa hubungan perpindahan dan waktu serta menggunakan modifikasi model Herschel-Bulkley, viskositas ditentukan dengan cara penyepadanan grafik antara hasil uji laboratorium dan hasil analisis. Selanjutnya, hubungan viskositas dan waktu diturunkan. Karena model Bingham mengenal satu nilai viskositas sehingga didefinisikan pada waktu nol, viskositas untuk kadar air tertentu itu disebut dengan viskositas awal. Dengan kombinasi beberapa kadar air, hubungan antara viskositas dan indeks kecairan diturunkan. Berdasarkan hubungan inilah karakteristik umum aliran lumpur dapat dijelaskan secara kuantitatif. Hasilnya memperlihatkan bahwa aliran lumpur dapat terjadi pada saat kadar air adalah sama dan lebih besar dari batas cair karena adanya reduksi viskositas yang signifikan pada saat kadar air sebesar batas cair. Oleh karena itu, dari hasil penelitian ini, batas cair dapat berfungsi sebagai indikator bahaya longsor dalam hal ini adalah aliran lumpur. Kata kunci: aliran lumpur, batas cair, cairan kental, flow box test, plastis, viskositas 1. PENDAHULUAN Salah satu bentuk pergerakan atau longsoran tanah yang diinisiasi akibat peningkatan curah hujan adalah mudflow (aliran lumpur). Banyak peneliti yang menyetujui bahwa mudflow terjadi akibat peningkatan kadar air yang dapat melebihi batas cair tanah (Hungr et al., 2001; Abbot, 2004). Secara khusus, Hung et al. (2001) memasukkan mudflow dengan krtieria kecepatan yang sangat cepat yaitu apabila kecepatan melebihi 5 cm/s. Tentu ada perbedaan antara longsoran dan mudflow. Sebagai ilustrasi, longsoran yang terjadi di Slano Blato, Slovenia. Petkovesik et al (2009) melakukan pemasangan intrumentasi berupa tensiometer untuk mengukur perubahan suction. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa apabila suction mendekati 6 kPa atau setara dengan kohesi sebesar 2 kPa, terjadi perubahan kadar air secara drastis dan menyebabkan penurunan kekuatan tanah. Kecepatan longsoran yang terdeteksi adalah antara 0.07 cm/s – 0.12 cm/s dan masuk dalam kriteria kecepatan untuk longsoran yakni lebih rendah di bawah 5 cm/s. Pada tahap inisiasi, mudflow dapat mengalami perubahan kecepatan secara tiba-tiba. Pegukuran kecepatan aliran menjadi berbahaya ketika longsoran berubah menjadi mudflow. Jadi, dalam hal ini mudflow jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan longsoran. Mudflow di Achacolla di Bolivia merupakan mudflow terbesar di di dunia di mana material mudflow mengalir sepanjang 25 km. Di Indonesia, mudflow di Karanganyar yang terjadi pada tahun 2007 dan Ciwidey yang terjadi pada tahun 2010 memiliki panjang transportasi masing-masing sebesar 260 m dan 3300 m. Sedangkan mudflow di Maokong, Taiwan memiliki jarak transportasi sejauh 200 m. Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 G - 33 Geoteknik Sejauh ini belum ada penjelasan teknis bagaimana mudflow dapat terjadi dan bagaimna mudflow dapat terinisiasi (Hung et al., 2001; Widjaja and Lee, 2013). Metode yang tersedia berupa klasifikasi geologi yang secara kualitatif menyebutkan bahwa mudflow dapat terjadi karena perubahan kadar air dengan batasan batas cair sebagai batas terbawah. Oleh karena itu, makalah ini bertujuan untuk menjelaskan indikator batas cair terhadap bahaya longsoran sebagai kriteria transportasi mudflow. 2. METODE PENELITIAN Klasifikasi mudflow Mudflow merupakan salah satu jenis pergerakan tanah selain longsoran yang umum dikenal di geoteknik. Oleh karena itu, mudflow perlu ditinjau berdasarkan lima kriteria yakni berdasarkan jenis tanah, kadar air, geometri pergerakan tanah, solid concentration by volume (Cv), dan kecepatan transportasi . Mudflow dominan terdiri lebih dari 50% tanah berbutir halus (lanau dan lempung). Geometri pergerakan tanah berdasarkan Liu dan Mason (2009) didasarkan kepada lebar dan panjang rata-rata pergerakan tanah yang terjadi yang diukur dari awal hingga akhir pergerakan. Rasio antara lebar dan panjang pergerakan berada dalam rentang antara 0.05 hingga 0.3. O’Brien dan Julien (1988) merekomendasikan penggunaan Cv sebagai salah satu parameter penentu mudflow. Karena mudflow berada di dalam kondisi jenuh air, Persamaan (1) dapat diubah menjadi Persamaan (2). Vs Vw + Vs (1) 1 1 + w.G s (2) Cv = Cv = dengan Vw adalah volume air, Vs adalah volume bagian solid, w adalah kadar air, dan Gs adalah berat jenis. Karena kadar air longsoran (landslide) adalah lebih rendah dibandingkan mudflow, nilai Cv untuk longsoran adalah menjadi lebih tinggi dari 0.55. Untuk mudflow, nilai Cv berada dalam rentang 0.45-0.55. Kecepatan aliran (v) selama transportasi mengacu kepada kriteria dari Hung et al. (2001). Kecepatan aliran mudflow direkomendasikan lebih tinggi dari 5 cm/det (0.18 km/jam). Sebagai pembanding, kecepatan berjalan manusia adalah 5-6 km/jam. Longsoran umumnya memiliki bidang keruntuhan yang jelas. Di lain pihak, mudflow karena di dalam mekanisme pergerakannya merupakan tipe aliran dan berada di dalam kondisi viscous liquid state (Gambar 1), menyebabkan mudflow tidak memiliki bidang longsor yang jelas seperti longsoran. Umumnya material mudflow bergerak di atas permukaan tanah selama menuju ke area deposisi. Namun, pergerakan mudflow adalah bersifat seketika dan dapat menerjang halangan apapun selama proses pergerakannya sehingga menyebabkan tipe ini berbahaya. Penentuan Cv dan kecepatan aliran (v) adalah sangat sulit. Oleh karena itu, analisis balik misalnya dengan penggunaan software Flo2d adalah direkomendasikan digunakan untuk pengklasifikasian mudflow. Akibat adanya infiltrasi air ke dalam pori tanah akibat hujan dapat menyebabkan terjadinya mudflow. Selain itu, prediksi terjadinya mudflow sangat sulit. Hal ini dikarenakan cuaca adalah sulit diprediksi. Padahal salah satu penyebab terjadinya mudflow adalah akibat hujan atau dengan kata lain, mudflow merupakan fungsi dari cuaca. Longsoran versus Mudflow Salah satu kriteria pergerakan tanah adalah kecepatan transportasi. Mudflow merupakan salah satu jenis pergerakan tanah selain longsoran yang umum dikenal di geoteknik. Oleh karena itu, mudflow perlu ditinjau berdasarkan lima kriteria yakni berdasarkan jenis tanah, kadar air, geometri pergerakan tanah, solid concentration by volume (Cv), dan kecepatan transportasi . Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) G - 34 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 Geoteknik Gambar 1. Batas-batas Atterberg sebagai pembeda batas antara kondisi semi-solid, plastis, dan viscous liquid state (after Germaine dan Germaine, 2009) Rheology Di geoteknik, umumnya keamanan longsoran dinyatakan di dalam bentuk faktor keamanan. Tanah diasumsikan sebagai material solid dengan menggunakan pendekatan metode kesetimbangan batas seperti metode Bishop. Dalam hal ini, kuat geser tanah direpresentasikan sebagai model Mohr-Coulomb dan tanah berada dalam kondisi plastis. Mudflow seperti dijelaskan di atas berada di dalam kondisi viscous liquid. Oleh karena itu, pendekatan MohrCoulomb tidak dapat digunakan. Model yang cocok digunakan adalah menggunakan pendekatan reologi. Ilmu reologi ini adalah berhubungan dengan karakteristik aliran dari suatu material. Dalam hal ini, mudflow dapat dikategorikan sebagai material non-Newtonian yang ditandai dengan adanya dua parameter yaitu tegangan leleh (yield stress, y) dan viskositas (). Ketika tegangan geser () lebih rendah dibandingkan y, material tidak bergerak (Gambar 2). Namun, jika tegangan geser lebih tinggi dibandingkan y maka material bergerak dalam bentuk aliran dan dikontrol oleh parameter . Salah satu model reologi yang digunakan untuk memodelkan mudflow adalah model Bingham. Model ini menggunakan satu garis lurus di dalam bidang tegangan geser dan regangan geser. Perpotongan antara garis ini terhadap sumbu tegangan geser adalah y. Gradien garis positif adalah viskositas . Model Bingham dapat dinyatakan sebagai: τ = τ y + η γ (3) Umumnya untuk memperoleh parameter reologi di laboratorium yaitu y dan , digunakan viscometer. Namun, viscometer konvensional ini hanya dapat diaplikasikan pada kondisi viscous liquid (Dinger, 2002). Selain itu, model Herschel–Bulkley (atau model pseudoplastic) menurunkan persamaan reologi dengan menggunakan pencocokan grafis. Gambar 2. Perbandingan antara model Newtonian, dilatant, Herschel-Bulkley, dan Bingham (mofikasi dari Lorenzini dan Mazza, 2004) Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 G - 35 Geoteknik Flow Box Test Tanah dapat berubah dari kondisi plastis ke kondisi viscous liquid akibat adanya peningkatan kadar air. Dalam hal ini, Flow Box Test (FBT) dikenalkan sebagai alat laboratorium baru dengan menggunakan kombinasi dari masalah trap door dari Terzaghi dan model Bingham (Gambar 3). Keterangan mendetail tentang FBT seperti persamaan utamanya dijabarkan di dalam Widjaja dan Lee (2013). FBT menggunakan data pergerakan-waktu dengan menggunakan linear variable differential transformer (LVDT) dan mentransformasi data tersebut menjadi hubungan antara viskositas dan indeks kecairan (LI). LI didefinisikan sebagai: LI = w − PL LL − PL (4) Batas cair (LL) dapat dianggap sebagai batas penentuan mudflow berdasarkan nilai kadar airnya. Namun, seperti yang dijelaskan sebelumnya di atas, jika menggunakan viscometer konvensional maka akan sangat tidak mudah apabila kadar air tanah berada di sekitar LL. Dalam hal ini, penulis berupaya untuk mendapatkan data reologi pada lokasi tersebut. Selain itu, secara konseptual, klasifikasi geologi untuk mudflow berlaku jika LL sebagai batas bawah dari mudflow. Namun, tidak terdapat penjelasan kuantitatif yang tersedia untuk menerangkan perilaku mudflow. Dalam hal ini, FBT mampu menentukan parameter kekentalan baik untuk kondisi plastis dan viscous liquid. Kasus mudflow yang riil kemudian digunakan untuk menvadilasi hasil FBT. Gambar 3. Susunan flow box test (Widjaja dan Lee, 2013) 3. HASIL PENELITIAN DAN DISKUSI Seperti ditunjukkan pada Gambar 4, material kaolin digunakan sebagai proyek awal. Kemudian mudflow di Maokong Taiwan diuji dan mudflow di Karanganyar dan Ciwidey digunakan untuk memvalidasi hasil FBT. Dengan menggunakan hasil dari material Kaolin, karakteristik umum mudflow dikembangkan. Pada awalnya. Tanah kemungkinan berada pada kondisi plastis yang ditandai sebagai material plastis dengan kadar air yang relatif rendah, memiliki viskositas yang tinggi dan kecepatan aliran yang rendah. Dengan adanya peningkatan kadar air, viskositas tanah menjadi lebih rendah. Pada saat tertentu, ketika peningkatan kadar air yang progresif, kadar air akan mencapai batas cair (LL). Pada saat inilah mudflow dapat terjadi dengan kecepatan aliran yang makin tinggi. Dengan adanya peningkatan kadar air, menyebabkan aliran menjadi lebih cepat. Karakteristik serupa ditunjukkan dengan menggunakan mudflow riil di Karanganyar dan Ciwidey. Studi yang dilakukan oleh para peneliti sebelumnya ditunjukkan pada Gambar 4. Berdasarkan perbandingan antara hasil tersebut dengan hasil FBT, hasil FBT cukup handal. Nilai viskositas terendah ditunjukkan oleh Locat dan Demers (1988) yakni sebesar 0.0076 Pa•s yang diuji menggunakan viscometer konvensional. Hasil tersebut lebih rendah dibandingkan dengan hasil FBT untuk kondisi viscous liquid. Sebagai pembanding, air pada temperature Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) G - 36 Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 Geoteknik ruangan memiliki viskositas sebesar 0.001 Pa•s. Berdasarkan hasil ini, dapat ditunjukkan bahwa batas cair secara kuantitatif dapat menjadi indikator terhadap bahaya mudflow. Gambar 4. Viskositas dan indeks kecairan menggunakan flow box test 4. KESIMPULAN Pada makalah ini, batasan untuk mudflow dapat dijelaskan menggunakan hasil Flow Box Test (FBT). FBT cukup handal untuk memberikan informasi perubahan viskositas baik untuk kondisi plastis maupun viscous liquid di dalam hubungan dengan perubahan kadar air. Viskometer konvensional tidak dapat menyediakan data pada saat kadar air berada di sekitar batas cair. Karakteristik umum dari hubungan tersebut dideksripsikan berdasarkan perubahan kadar air. Peningkatan kadar air diikuti oleh penurunan viskositas. Dengan menggunakan pendekatan reologi, mudflow dapat terjadi ketika kadar air mencapai batas cairnya. Hasil ini membuktikan bahwa batas cair dapat dipertimbangkan sebagai indikator dari bahaya kejadian mudflow dan menjadi batas terbawah dari kadar air untuk kejadian mudflow. Oleh karena itu, FBT menjelaskan dengan baik batasan dari mudflow pada saat ditransportasi . DAFTAR PUSTAKA Abbot, P.L. (2004). Natural Disasters. 4th ed. Mc-Graw Hill, New York. Bishop, A.W. (1955). “The use of the slip circle in the stability analysis of slopes”. Geotechnique, vol. V(1), pp. 717. Dinger, D.R. (2002). Rheology for Ceramists. Morris Publishing, Kearney. Germaine, J.T. and Germaine A.V. (2009). Geotechnical Laboratory Measurements for Engineers. John Wiley and Sons, New Jersey. Hungr, O., Evans, S.G., Bovis, M.J., and Hutchinson, J.N. (2001). “A review of the classification of landslides of the flow type”. Environ. and Eng. Geoscience, Vol. VII(3), pp. 221-238. Hunt, R.E. (2007). Geologic Hazards – A Field Guide for Geotechnical Engineers. Taylor & Francis Boca Rotan. Kooistra, A., Verhoef, P.N.W., Broere, W., Ngan-Tillard, D.J.M., and van Tol, A.F. (1998). “Appraisal of stickiness of natural clays from laboratory tests”. Proc. National Symposium of Eng. Geol. and Infrastructure, p. 101113. Liu, J.G. and Mason, P.J. (2009). Essential Image Processing and GIS for Remotes Sensing, Wiley-Blackwell, West Sussex. Locat, J. and Demers, D. (1988). “Viscosity, yield stress, remolded strength, and liquidity index relationships for sensitive clays”, Canadian Geotech. J., Vol. 25(4), pp. 799-806. Lorenzini, G. and Mazza, N. (2004). Debris Flow Phenomology and Rheological Modeling. WIT Press, Southampton. O’Brien, J.S. and Julien, P.Y. (1988). “Laboratory analysis of mudflow properties,” J. Hydraul. Eng., Vol. 114(8), pp. 877-887. Petkovsek, A., Macek, M., Kocevar, M., Benko, I. and Majes, B. (2009). “Soil matric suction as an indicator of the mud flow occurrence”. Proc. 17th Int. Conf. on Soil Mechanics and Geotech. Eng., pp. 1855-1860. Widjaja, B. and Lee, S.H.H. (2013). “Flow box test for the viscosity of soil in plastic and viscous liquid states”. Soils and Foundations, Vol. 53(1), pp. 35-46. Konferensi Nasional Teknik Sipil 7 (KoNTekS 7) Universitas Sebelas Maret (UNS) - Surakarta, 24-26 Oktober 2013 G - 37