1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia memiliki naluri untuk hidup bersama dengan orang lain. Oleh karena itu, manusia disebut sebagai makhluk sosial disamping sebagai makhluk individu. Setiap manusia memerlukan kebutuhan fisik maupun mental yang sukar dipenuhinya seorang diri. Untuk memenuhi kebutuhankebutuhannya, manusia mengadakan hubungan atau kerjasama dengan orang lain dengan cara mengorganisir bermacam-macam kelompok atau organisasi. Pembentukan kelompok atau organisasi dimaksudkan untuk membatasi kompetisi, dan pertentangan yang mungkin terjadi dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup. Negara merupakan salah satu organisasi yang penting bagi setiap manusia. Negara mempunyai tujuan untuk menyelenggarakan penertiban dan perlindungan terhadap rakyat dalam mencapai cita-cita bersama. Tujuan negara Republik Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 sebagai berikut: ...Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan yang telah dirumuskan tersebut akan terwujud apabila disertai dengan dukungan dari seluruh komponen negara. Dapat dikatakan bahwa tujuan akhir negara ialah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya. Dalam kehidupan bernegara terdapat dua kategori besar yaitu sebagian kecil mereka yang berkuasa dan sebagian besar lainnya yang dikuasai. Pihak yang berkuasa ialah pemerintah yang jumlahnya relatif lebih kecil dari pada pihak yang dikuasai yaitu rakyat. Pemerintah merupakan organisasi dalam suatu negara yang 1 2 berwenang untuk merumuskan dan melaksanakan keputusan-keputusan yang mengikat bagi seluruh penduduk di dalam wilayahnya. Dalam hal ini pemerintah bertindak atas nama negara dan menyelenggarakan kekuasaan dari negara, sedangkan negara mencakup semua penduduk. Dengan demikian, rakyatlah yang memiliki kedudukan yang paling tinggi dalam suatu negara. Oleh karena itu, pemerintah dituntut dapat menghasilkan kebijaksanaan-kebijaksanaan berdasarkan kesepakatan yang dicapainya dengan rakyat. Sebaliknya, rakyat dituntut mampu berperan aktif dalam kehidupan bernegara sesuai dengan hak-hak dan kewajibannya. Telaah tentang peranan negara dan rakyat di atas tidak dapat dilepaskan dari telaah tentang demokrasi karena sebagian besar negara di dunia telah menjadikan demokrasi sebagai asasnya. Indonesia merupakan salah satu negara yang menerapkan sistem politik demokrasi dan dalam perkembangannya dikenal istilah demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan demokrasi Pancasila. Apapun bentuknya, demokrasi itu sendiri sebagai asas kenegaraan memberikan arah bagi masyarakat dalam penyelenggaraan negara. Menurut Hendry B. Mayo sebagaimana dikutip Moh. Mahfud (2000:19-20) berpendapat sebagai berikut : Sistem politik demokrasi adalah sistem yang menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik. Demokrasi sebagai asas hidup bernegara selalu memberikan posisi penting bagi rakyat. Negara diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Jika ditinjau dari sudut organisasi, demokrasi berarti suatu pengorganisasian negara yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena hakikatnya kedaulatan berada di tangan rakyat. Pelaksanaan demokrasi seharusnya mengacu pada kriteria-kriteria tertentu. Menurut Amin Rais dalam Eep Saefulloh Fatah (2000:9-10) memaparkan ada sepuluh kriteria demokrasi, yaitu: 1). Partisipasi dalam pembuatan keputusan; 2). Persamaan di depan hukum; 3). Distribusi pendapatan secara adil; 4). Kesempatan 3 pendidikan yang sama; 5). Empat macam kebebasan, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan persuratkabaran, kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama; 6). Ketersediaan dan keterbukaan informasi; 7). Mengindahkan fatson (tatakrama politik); 8). Kebebasan Individu; 9). Semangat kerjasama; dan 10). Hak untuk protes. Kriteria-kriteria demokrasi di atas hendaknya menjadi suatu tolak ukur keberhasilan pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Tidak terpenuhinya salah satu dari kriteria tersebut memungkinkan terjadinya penyelewengan demokrasi sebagaimana terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Politik demokrasi mensyaratkan adanya partisipasi politik dari seluruh masyarakat baik perseorangan maupun kelompok. Pembatasan partisipasi adalah sebuah peraktek anti demokrasi. Praktek politik demokrasi juga mensyaratkan adanya partisipasi politik yang luas, dalam arti tidak ada pembatasan atau eklusivitas dalam penentuan kebijakan-kebijakan politik. Hal ini tidak sejalan dengan fakta yang terjadi pada masa Orde Baru. Pada masa tersebut proses partisipasi politik belum menggambarkan tingkat partisipasi politik secara utuh. Pemerintahan Orde Baru justru memperlihatkan adanya beberapa persoalan, antara lain kebebasan partisipasi politik yang relatif masih rendah, dan adanya gejala-gejala ke arah krisis partisipasi politik. Myron Weiner dalam Eep Saefulloh Fatah (2000:259) menyatakan ”Krisis partisipasi politik yaitu suatu krisis yang terjadi manakala tuntutan-tuntutan dan tingkah laku politik masyarakat yang ingin berperan serta dalam politik dianggap tidak legal dan tidak sah dalam negara”. Krisis partisipasi politik pada masa Orde Baru antara lain berupa pelarangan terhadap gerakan aksi massa atau demonstrasi, dan adanya anggapan bahwa organisasi-organisasi yang dibentuk masyarakat untuk menyuarakan kepentingan mereka tidak sah. Politik pada masa Orde Baru juga ditandai oleh monopoli kekuasaan di tingkat birokrasi. Hal ini terjadi baik dalam tataran supra struktur (legislatif, esekutif, yudikatif) maupun infra struktur (media masa, partai politik, organisasi sosial kemasyarakatan). Misal, pada pemilu Orde Baru menunjukan bahwa partisipan pemilu memberikan suara atau pilihannya lebih banyak disebabkan oleh tekanan atau mobilisasi birokrasi negara 4 di tingkat pusat maupun lokal sehingga menyebabkan bentuk partisipasi politik yang tidak utuh. Krisis partisipasi politik yang terjadi selama Orda Baru menggambarkan sempitnya ruang kontrol masyarakat terhadap negara. Di sisi lain, pengawasan atau pengendalian rakyat terhadap penguasanya merupakan suatu hal yang urgen. Dalam berbagai kesempatan penguasa cenderung keluar dari batas-batas kekuasaan yang dimilikinya sehingga terjadilah penyalahgunaan kekusaan yang tidak terhindarkan, seperti terjadinya KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme). Penyelewengan kekuasaan dilakukan untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan penguasa politik dan keluarga serta orang-orang di sekitarnya. Tindakan tersebut tentu berdampak pada kesengsaraan rakyat. Sebagai salah satu bentuk partisipasi politik, kontrol sosial bukan hanya sekedar mencerminkan usaha masyarakat untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh para penguasa saja. Lebih dari itu, kontrol sosial juga merupakan suatu pelibatan masyarakat dalam proses politik. Kontrol sosial memungkinkan rakyat untuk mempengaruhi proses perumusan kebijaksanaan dalam sistem politik. Jadi, kontrol sosial tidak hanya berperan di dalam pengawasan terhadap perilaku para pengusa, melainkan juga di dalam proses perumusan kebijaksanaan yang mereka hasilkan. Tumbangnya rezim Orde Baru dan lahirnya era reformasi disambut positif oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Pasalnya selama beberapa dekade pemerintahan Orde Baru, kebebasan politik masyarakat seolah terbelenggu. Kondisi demikian menyebabkan terjadinya ledakan partisipasi politik yang tidak terhindarkan setelah memasuki era reformasi. Masyarakat mulai memiliki keberanian untuk menyuarakan kritik dan saran pada para pembuat kebijakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Ketidakefektifan lembaga-lembaga penyalur aspirasi mengakibatkan melemahnya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sehingga dalam menyuarakan aspirasi sering diwarnai dengan tindakan mengarah anarkis. Sudah saatnya masyarakat kini bangkit untuk menata kembali kehidupan politik melalui pembangunan politik yang nyata. Pembangunan politik harus dapat 5 dinilai dari partisipasi massa dan keterlibatan rakyat secara aktif dalam kegiatan politik. Aktif dalam kehidupan politik tidak perlu diartikan bahwa seluruh warga negara harus terjun berpolitik praktis secara aktif. Akan tetapi yang dimaksudkan setidak-tidaknya rakyat memiliki pengetahuan yang memadai tentang sistem politik, sehingga mereka sadar kemana mereka akan dibawa. Dengan memiliki pengetahuan atau kesadaran politik yang memadai, rakyat bisa menilai dan bereaksi terhadap gejala-gejala politik yang ada di sekitarnya, baik yang positif maupun yang negatif. Rakyat akan memberikan dukungan terhadap suatu gejala politik yang positif, karena mereka tahu bahwa ia akan memperkuat sistem politik. Sebaliknya, rakyat akan menolak setiap gejala politik yang negatif, dari manapun datangnya karena diketahui gejala tersebut memiliki daya merusak Yang menjadi persoalan ialah apakah rakyat mempunyai pengetahuan yang cukup untuk mampu menilai apakah suatu gejala bersifat posiif atau negatif. Bila tidak, maka upaya meningkatkan pengetahuan politik rakyat perlu mendapat tempat dalam rencana pembanguan nasional untuk meningkatkan tingkat kedewasaan, kesadaran dan kecerdasan politik masyarakat yang belum menggembirakan. Seiring proses demokrasi dan pendidikan politik diharapkan masyarakat dapat berpartisipasi dalam kegiatan politik, seperti aktif dalam pemilu, organisasi, partai politik, mengajukan kritik pada pemerintah, demonstrasi dan sebagainya. Masyarakat hendaknya dijadikan sebagai ”mitra” negara dalam rangka keseimbangan kekuasaan (balance of power), artinya masyarakat tidak diposisikan sebagai obyek politik saja melainkan sebagai subyek politik yang berhak dan berpeluang menjadi kekuatan pengontrol bagi negara. Anggota masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik biasanya terdorong oleh keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama tersebut kepentingan mereka akan tersalurkan, atau setidak-tidaknya diperhatikan dan dapat mempengaruhi tindakan para pembuat kebijakan. Di samping mereka yang ikut serta dalam satu atau lebih bentuk partisipasi ada pula warga masyarakat yang sama sekali tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik (apatis). Akan tetapi bukan berarti apatis sebagai hal yang mutlak negatif, sebab sikap acuh tak acuh terkadang dianggap sebagai sesuatu yang positif karena memberi fleksibelitas sistem politik. 6 Partisipasi politik antara warga masyarakat satu dengan lainnya berbedabeda baik dalam intensitas maupun bentuknya. Hal ini terjadi karena adanya berbagai faktor yang mempengaruhi kesadaran seseorang untuk terlibat dalam kegiatan politik. Miriam Budiardjo (1998:9) menyatakan adanya faktor-faktor tertentu yang berhubungan dengan tingkat partisipasi politik, sebagai berikut : Ternyata bahwa pendapatan (income), pendidikan, dan status merupakan faktor penting dalam proses partisipasi, atau dengan perkataan lain orang yang pendapatannya tinggi, yang berpendidikan baik, dan yang berstatus sosial tinggi, cenderung untuk lebih banyak berpartisipasi dari pada orang yang berpendapatan serta pendidikannya rendah. Pada hakikatnya perilaku politik seseorang yang berupa partisipasi politik tidak hanya didasarkan pada pertimbangan politik saja, tetapi juga didasarkan pada berbagai faktor seperti pendidikan, status sosial, status ekonomi, dan pengalaman berorganisasi. Dari pendapat di atas pendidikan dan status sosial merupakan dua faktor penting yang dimungkinkan memiliki hubungan yang sangat berarti dengan partisipasi politik warga masyarakat. Pendidikan merupakan salah satu modal dasar pelaksanaan pembangunan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia. Melalui pendidikan, wawasan dan pengetahuan seseorang akan meningkat. Pemberian materi di setiap jenjang pendidikan formal berbeda keluasan dan kedalamannya sehingga menyebabkan perbedaan pengetahuan dan pemahaman dari tiap lulusan. Pendidikan dengan partisipasi politik memiliki keterkaitan sebagaimana diungkapkan Arifin Rahman (1998:133) yaitu ”Di kebanyakan negara, pendidikan tinggi sangat mempengaruhi partisipasi politik, mungkin karena pendidikan tinggi, dapat memberikan informasi tentang politik dan persoalan-persoalan politik, bisa menggambarkan kecakapan menganalisis dan menciptakan minat dan kemampuan berpolitik”. Pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki seseorang akan menentukan cara pandang terhadap berbagai aspek kehidupan termasuk cara pandangnya terhadap politik. Cara pandang inilah natinya menjadi dasar seseorang untuk memiliki kesadaran berpartisipasi dalam kegiatan politik. Faktor lain yang mempengaruhi partisipasi politik ialah status sosial. Sudijono Sastroatmodjo (1995:15) menyatakan ”Tingkat status sosial yang tinggi 7 memungkinkan perilaku politik yang lebih berkualitas daripada seseorang yang berada dalam status sosial di bawahnya”. Masyarakat yang memiliki status sosial yang tinggi memiliki banyak peluang untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan politik. Dengan status sosial yang tinggi diperkirakan seseorang akan memiliki tingkat pengetahuan politik, minat dan perhatian pada politik, serta sikap dan kepercayaan yang tinggi pada pemerintah. Pemerintahan desa merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan pemerintah daerah sekaligus sebagai miniatur dari negara yang secara langsung berhubungan dengan masyarakat sebagai ujung tombak pembangunan. Desa semakin dituntut kesiapannya baik dalam merumuskan kebijakan desa maupun dalam pelaksanaan pembangunan. Hendaknya pemerintah desa dalam segala keputusan dan tindakannya selalu mengutamakan kepentingan dan aspirasi masyarakat tanpa melupakan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di sisi lain, masyarakat desa dituntut dapat mendukung atau menaati keputusankeputusan bersama dan mengoreksi tindakan-tindakan pemerintah yang merugikan masyarakat. Dengan demikian keikutsertaan warga desa dalam proses politik memiliki arti penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengingat sebagian besar penduduk Indonesia menempati wilayah pedesaan. Pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan bentuk pesta demokrasi yang baru saja berlangsung di Desa Pekandangan khususnya dan di Kabupaten Banjarnegara pada umumnya. Pilkada tersebut menjadi salah satu lembaga efektif pelaksanaan demokrasi karena dalam pemilihan ini selalu melibatkan keikutsertaan rakyat selaku pemegang kekuasaan. Data hasil Pilkada yang berlangsung di Desa Pekandangan dalam rangka memilih Bupati dan Wakil Bupati Banjarnegara pada tanggal 11 September 2006 sebagai berikut : Tabel 1. Hasil Pilkada di Desa Pekandangan No Pasangan Bupati dan wakil Bupati Jumlah prolehan suara 1. H. Djasri, MT dan H. Suharjo 96 2. H. Sutejo Slamet Utomo, SH. dan 158 Drs. H. Bambang Prawoto Sutikno 3. Drs. H. Hadi Supeno dan 1.000 H. Muhammad Najib % 6,85 11,28 71,43 8 4. 5. Suara Rusak Golput Jumlah Pemilih Sumber : Kantor Desa Pekandangan 93 53 1.400 6,64% 3,78% 100% Berdasarkan data di kantor Desa Pekandangan jumlah orang yang berhak memilih dalam Pilkada tersebut sebesar 1400 orang. Apabila mengamati tabel di atas ternyata dari 1400 orang yang berhak memilih terdapat 53 suara yang golput. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa tidak semua warga Desa Pekandangan ikut berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan politik. Sesungguhnya keterlibatan masyarakat dalam memberikan suara pada suatu pemilihan umum tidak dapat semata-mata menjadi ukuran partisipasi politik. Masih banyak kegiatan politik yang dapat diikuti oleh masyarakat desa. Dalam pelaksanaannya bentuk partisipasi masyarakat Desa Pekandangan antara lain dapat dilihat dari kegiatan berikut: 1. Adanya musyawarah atau rapat-rapat yang dilakukan di setiap dusun, RW dan RT untuk membahas berbagai kegiatan. 2. Adanya berbagai organisasi yang dapat diikuti oleh masyarakat, seperti organisasi BPD, PKK, KUT, dan Koperasi. 3. Adanya berbagai partai politik yang dapat diikuti oleh masyarakat. 4. Adanya kesediaan untuk melaksanakan hasil keputusan bersama, seperti gotong royong membangun jalan dan masjid. 5. Adanya ketaatan terhadap perintah atau aturan yang telah dibuat oleh pemerintah, seperti membayar pajak dan lain-lain. 6. Adanya kepedulian terhadap kondisi politik lokal dan nasional, seperti memberikan usul, kritik dan peduli pada wacana politik di media massa. Fakta dalam masyarakat menunjukan bahwa tidak semua warga masyarakat yang telah diakui hak dan kewajibannya secara hukum dapat berpartisipasi secara optimal dalam berbagai kegiatan politik. Atas dasar pemikiran tersebut, maka dalam penelitian ini berjudul ”Partisipasi Politik Ditinjau dari Pendidikan dan Status Sosial di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara”. 9 B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka ada beberapa masalah yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut: 1. Partisipasi politik yang tinggi menjadi salah satu ukuran keberhasilan proses demokrasi, namun tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik belum maksimal. 2. Partisipasi politik merupakan kesadaran yang mucul dari seseorang tanpa paksaan, namun belum semua masyarakat memiliki kesadaran untuk aktif dalam kegiatan politik. 3. Partisipasi politik menekankan pada suatu inisiatif, kemauan dan kesadaran seseorang tanpa mengharapkan suatu imbalan, namun bentuk imbalan sering kali terjadi dalam proses politik. 4. Kekurangefektifan komunikasi dua arah antara rakyat dengan penguasa menimbulkan konflik politik dalam masyarakat. 5. Melalui pendidikan seseorang akan mendapatkan pengetahuan yang luas termasuk pengetahuan tentang politik, namun kesadaran masyarakat terhadap pendidikan masih kurang sehingga pengetahuan politiknya masih kurang juga. 6. Lembaga sekolah belum optimal dalam menjalankan fungsi sosialisasi politik sehingga lulusan yang dihasilkan kurang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap politik. 7. Semua warga negara Indonesia mendapat jaminan untuk menjalankan hak-hak dan kewajibannya dalam kegiatan politik, namun faktanya masih banyak warga masyarakat yang kurang paham akan hak dan kewajibannya masingmasing. 8. Semua lapisan masyarakat berkesempatan sama untuk terlibat dalam kegiatan politik, namun kenyataannya terdapat dominasi oleh lapisan tertentu saja. 9. Kurangnya fasilitas yang digunakan untuk mengakses perkembangan politik menyebabkan kurangnya informasi sehingga kepedulian terhadap kegiatan politik menjadi rendah. 10. Kelompok masyarakat miskin sering ditekan oleh kelompok yang memiliki kekuasaan sehingga mereka tidak dapat berpartisipasi secara bebas. 10 11. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh elit politik kurang mengakomodasai semua kepentingan masyarakat khususnya golongan rendah. C. Pembatasan Masalah Masalah yang terlalu luas mengakibatkan kekaburan dalam penelitian. Agar penelitian ini terarah dan mencapai sasaran yang diinginkan, maka permasalahan dibatasi pada: 1. Pendidikan yang dimaksud adalah lama pendidikan yang diikuti warga masyarakat dalam pendidikan formal. 2. Status sosial yang dimaksud adalah kedudukan seseorang atau keluarga dalam kehidupan bermasyarakat yang didasarkan pada kehormatan, pekerjaan, penghasilan, hak milik, dan pemenuhan kebutuhan keluarga. 3. Partisipasi politik yang dimaksud adalah kegiatan pribadi warga negara untuk ikut serta secara langsung maupun tidak langsung dalam mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan keputusan atau kebijakan pemerintah dalam kehidupan bernegara yang menyangkut kepentingan bersama di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. D. Perumusan Masalah Rumusan masalah dibuat dengan tujuan memecahkan masalah pokok yang timbul secara jelas dan sistematis. Rumusan masalah ini dimaksudkan untuk lebih menegaskan masalah-masalah yang akan diteliti sehingga dapat ditentukan pemecahan masalah yang tepat dan mencapai tujuan yang diinginkan. Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dibuat perumusan masalah sebagai berikut: 1. Apakah ada hubungan antara pendidikan dengan partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara ?. 2. Apakah ada hubungan antara status sosial dengan partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara ?. 3. Apakah ada hubungan antara pendidikan dan status sosial dengan partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara ?. 11 E. Tujuan Penelitian Suatu penelitian tanpa adanya tujuan yang jelas tidak akan memberikan manfaat dalam bidang yang ditelitinya. Adapun tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara pendidikan dengan partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara. 2. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara status sosial dengan partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara. 3. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara pendidikan dan status sosial dengan partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara. F. Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari suatu penelitian menggambarkan nilai dan kualitas penelitian. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang bermanfaat dalam bidang ilmu Sosiologi khususnya kajian Sosiologi Politik. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan untuk penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan masalah partisipasi politik. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Warga Masyarakat Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat berpartisipasi dalam bidang politik secara aktif. b. Bagi Pemerintah Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi pemerintah untuk mengupayakan pemberdayaan masyarakat dalam bidang politik. 12 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Partisipasi Politik a. Pengertian Partisipasi Politik Manusia baik disadari ataupun tidak merupakan insan politik atau ”zoon politican”. Hal ini mengandung arti bahwa manusia dituntut dapat mengaktualisasikan dirinya di tengah-tengah masyarakat dalam bentuk tingkah laku politik. Politik dan berbagai persoalannya merupakan sebuah kenyataan yang tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia. Salah satu persoalan politik yang menjadi tuntutan dalam proses demokrasi saat ini adalah partisipasi politik (political participation). Studi tentang partisipasi politik ini sangat menarik bagi para ahli yang berusaha mendefinisikan pengertian partisipasi politik dari sudut pandang berbeda-beda. Sebelum membahas pengertian partisipasi politik secara menyeluruh, sekiranya perlu terlebih dahulu mengetahui arti partisipasi dan politik secara terpisah agar lebih mudah dipahami. Secara etimologis, kata partisipasi berasal dari bahasa Latin yaitu ”pars” yang berarti bagian, dan ”capere” (sipasi) yang berarti mengambil bagian (Heuken et al, 1991:31). Dari dua kata tersebut dapat diketahui bahwa partisipasi berarti mengambil bagian dalam suatu kegiatan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:831) istilah partisipasi diartikan ”Perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan, keikutsertaan, peran serta”. Istilah keikutsertaan dan peran serta hakikatnya memiliki makna yang sama dengan istilah partisipasi, namun dalam konteks politik, istilah yang populer dipakai ialah partisipasi. Pada umumnya setiap aktivitas yang dilakukan manusia mengandung maksud tertentu dan didorong oleh faktor intern pribadi manusia yang bersangkutan. Demikian pula partisipasi yang dilakukan oleh seseorang dalam suatu kegiatan juga dipengaruhi kondisi internalnya. Hakikat partisipasi sebagaimana dikemukakan oleh Gordon W. Allport dalam Santoso (1988:12) 12 13 yaitu ”Seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan dirinya atau egonya yang sifatnya lebih daripada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas saja”. Keterlibatan diri atau egonya berarti terdapat keterlibatan pikiran dan perasaan dalam individu tersebut. Misalnya, seseorang berpartisipasi maka individu yang bersangkutan melakukan kegiatan tersebut karena menurut pikirannya perlu dan bahwa perasaannya pun menyetujui atau berkenan untuk melakukannya. Partisipasi tidak hanya melibatkan pikiran dan perasaan saja namun juga menuntut kesukarelaan dan tanggung jawab dari orang yang melakukannya. Pengertian partisipasi menurut Keith Davis yang dikutip Santoso (1988:13) yaitu ”Partisipasi dapat didefinisikan sebagai keterlibatan mental atau pikiran dan emosi atau perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan”. Berdasarkan definisi partisipasi menurut Keith Davis tersebut terdapat tiga unsur penting tentang partisipasi yaitu: Pertama, keterlibatan mental dan emosi. Di dalam partisipasi diutamakan adanya penyertaan mental dan emosi daripada hanya berupa keterlibatan jasmaniah. Kedua, kesediaan memberikan sumbangan dalam usaha mencapai tujuan kelompok. Seseorang yang menjadi anggota kelompok akan memiliki rasa senang dan bangga sehingga timbul kesukarelaan untuk membantu kelompoknya. Ketiga, tanggung jawab. Partisipasi merupakan sarana untuk menumbuhkan dan rasa ikut memiliki di kalangan anggota terhadap kelompoknya. Setiap anggota didorong untuk berperan aktif dalam pengambilan keputusan sekaligus bertanggung jawab untuk mensukseskan keputusankeputusan yang telah disepakati bersama. Berdasarkan beberapa definisi partisipasi tersebut maka dapat penulis simpulkan bahwa partisipasi adalah keterlibatan hasrat setiap individu dalam situasi kelompoknya sehingga pada akhirnya mendorong individu tersebut untuk berperan serta dalam pencapaian tujuan kelompok sekaligus ambil bagian dalam setiap pertanggungjawaban bersama. 14 Berbagai kepustakaan ilmu politik banyak mengupas definisi politik. Kata politik berasal dari bahasa Yunani ”polis” yaitu kota yang berstatus negara / negara kota, seperti dalam Webster’s New Collegiate Dictionary kata polis berarti ”city state” (negara kota). Selanjutnya politik adalah the art and science of government yang berarti seni dan ilmu pemerintahan (Sukarna,1981:13-14). Berbeda dengan Nicollo Machiavelli dan Thomas Hobbes sebagaimana dikutip Arifin Rahman (1998:3) mendefinisikan “Politics is power” yang artinya politik adalah kekuasaan. Kekuasaan merupakan salah satu unsur politik saja. Jika politik diartikan sebagai kekuasaan maka akan memberikan peluang berbahaya bagi timbulnya pemerintahan diktaktor yang mengabaikan aspirasi rakyat. Definisi dari kata politik juga dapat dilihat dari fungsinya dalam sebuah kalimat. Van Dale dalam Hoogerwerf (1985:47-48) bahwa politik sesuai dengan bahasa yang lazim digunakan yaitu sebagai kata benda dan sebagai kata sifat sebagai berikut: Sebagai kata benda, politik adalah: 1) Keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan menurut mana suatu negara, daerah dan seterusnya diperintah atau harus dipenuhi. 2) Tindak-tanduk, garis kelakuan dari suatu pemerintahan. 3) Cara bertindak, berlaku, taktik. Sedangkan sebagai kata sifat, politik adalah : 1) Bersifat ketatanegaraan, bersangkutan dengan pemerintahan, berkenaan dengan pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah dan organisasi kehidupan ketatanegaraan. 2) Dengan (atau menunjukan) banyak pertimbangan, trampil, licik. Batasan pengertian politik yang diungkapkan Van Dale di atas menekankan bahwa politik adalah kebijaksanaan pemerintah, perwujudan kebijakan dan dampaknya. Sebagai kata benda politik menunjuk pada suatu perilaku atau tindakan dari pemerintah dan sebagai kata sifat politik menunjuk pada berbagai pertimbangan untuk bertindak Rafael Raga Maran (2001:18) mengungkapkan tentang politik sebagai berikut : Dari berbagai upaya untuk menjelaskan esensi (pengertian) politik, tampak bahwa perhatian sentral dari politik adalah penyelesaian konflik antar manusia, proses pembuatan keputusan-keputusan ataupun pengembangan kebijakan-kebijakan, secara otoritas yang mengalokasikan sumber-sumber 15 dan nilai-nilai tertentu, atau pelaksanaan kekuasaan dan pengaruhnya di dalam masyarakat. Pendapat di atas memperlihatkan bahwa politik berkaitan dengan cara-cara manusia mengatasi konflik bersama, cara-cara pembuatan, pengembangan dan pelaksanaan keputusan dalam masyarakat. Politik juga berkaitan dengan suatu kekuasaan dan pengaruhnya pada kelompok yang dikuasai. Menurut Haryono (2006:116) pengertian politik berdasarkan penggunaannya meliputi politik dalam arti kepentingan umum dan politik dalam arti kebijaksanaan (policy). Penjelasan selengkapnya mengenai dua hal tersebut sebagai berikut: 1) Dalam arti kepentingan umum Politik dalam arti kepentingan umum atau segala usaha untuk kepentingan umum, baik yang berlaku di bawah kekuasaan negara di pusat maupun di daerah, lazim disebut politics (bahasa Inggris) berarti : Suatu rangkaian asas / prinsip, keadaan serta jalan, cara dan alat yang akan digunakan untuk mencapai tujuan tertentu atau suatu keadaan yang kita kehendaki, disertai dengan jalan cara dan alat yang akan kita gunakan untuk mencapai keadaan yang kita inginkan. 2) Dalam arti kebijaksanaan (policy) Politik dalam arti kebijaksanaan (policy) adalah penggunaan pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dianggap lebih menjamin terlaksananya suatu usaha, cita-cita / keinginan atau keadaan yang kita kehendaki. Setiap kelompok memiliki tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai. Sedangkan politik merupakan sekumpulan jalan, cara, alat dan situasi yang dikehendaki dan digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Usaha untuk mencapai suatu tujuan tidak serta merta dilakukan secara sembarangan tetapi perlu pertimbanganpertimbangan tertentu yang dapat menjamin terlaksananya keadaan yang dikehendaki dan dicita-citakan bersama. Miriam Budiardjo (1982:8) menyatakan ”Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dalam sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu”. Tujuan yang dimaksud adalah tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi seseorang (privat goals). Selain itu politik juga menyangkut kegiatan berbagai 16 kelompok termasuk partai politik dan kegiatan orang seorang. Lebih lanjut Miriam Budiardjo (2004:9) menerangkan konsep-konsep pokok yang perlu dipahami dalam mendefinisikan politik sebagai berikut : 1) 2) 3) 4) 5) Negara (state) Kekuasaan (power) Pengambilan keputusan(decisionmaking) Kebijaksanaan (policy, beleid) Pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) Penjelasan dari konsep-konsep di atas sebagai berikut : 1) Negara (state) Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan yang ditaati oleh rakyatnya. Negara sebagai inti dari politik memusatkan perhatiannya pada lembaga-lembaga kenegaraan. 2) Kekuasaan (power) Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan kekinginan dari pelaku. Para ahli yang melihat kekuasaan sebagai inti dari politik, beranggapan bahwa politik adalah semua kegiatan yang menyangkut masalah merebutkan dan mempertahankan kekuasaan. 3) Pengambilan keputusan(decisionmaking) Keputusan dapat diartikan dengan membuat pilihan di antara beberapa alternatif, sedangkan istilah pengambilan keputusan (decisionmaking) menunjuk pada proses yang terjadi sampai keputusan itu tercapai. Pengambilan keputusan sebagai salah satu konsep pokok dari politik menyangkut keputusan-keputusan yang diambil secara kolektif dan yang mengikat seluruh masyarakat. Setiap kebijaksanaan umum atau kebijaksanaan pemerintah adalah hasil dari suatu proses mengambil keputusan. 4) Kebijaksanaan (policy, beleid) Kebijaksanaan (policy, beleid) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh seorang atau kelompok politik dalam usaha mencapai tujuan. Pada dasarnya pihak yang membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan mempunyai kekuasaan untuk melaksanakannya. Para ahli yang menekankan aspek 17 kebijaksanaan (policy, beleid) dalam mendefinisikan politik menganggap bahwa setiap masyarakat mempunyai beberapa tujuan bersama. Cita-cita bersama tersebut dapat dicapai melalui usaha bersama. Oleh karena itu, perlu dibuat rencana-rencana yang mengikat dan dituang dalam kebijaksanaankebijaksanaan pemerintah. 5) Pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) Pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) ialah pembagian atau penjatahan dari nilai-nilai dalam masyarakat. Para ahli yang menekankan pembagian dan alokasi beranggapan bahwa politik adalah membagikan dan mengalokasikan nilai-nilai secara mengikat. Hal ini akan menimbulkan konflik apabila terjadi pembagian yang tidak merata. Nilai merupakan sesuatu yang dianggap baik atau benar, diinginkan, dan berharga, karena itu ingin dimiliki manusia. Nilai dapat bersifat abstrak seperti penilaian (judgement) terhadap kejujuran, dan kebebasan berpendapat. Nilai juga bersifat konkrit seperti rumah, kekayaan dan sebagainya. Berdasarkan pendapat-pendapat ahli tentang definisi politik di atas maka dapat disimpulkan bahwa politik selalu dikaitakan dengan berbagai kegiatan dalam suatu negara dalam rangka proses penentuan dan pelaksanaan tujuan-tujuan bersama. Dalam melaksanakan tujuan tersebut perlu memperhatikan kepentingankepentingan umum. Oleh karena itu dibutuhkan kekuatan (power) dan kewenangan yang dapat membina kerja sama dan menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses tersebut. Seperti halnya pengertian partisipasi dan politik yang telah diungkapkan sebelumnya, pengertian partisipasi politik pun sangat kompleks. Berikut ini definisi partisipasi politik menurut beberapa ahli antara lain menurut Herbert McClosky, Norman H. Nie dan Sidney Verba, dan Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson sebagaimana dikutip dalam Miriam Budiardjo (1998:2-3) sebagai berikut: 1) Menurut Herbert McClosky, “Partisipasi politik adalah kegiatankegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara 18 langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum”. 2) Menurut Norman H. Nie dan Sidney Verba,” Partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan atau tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka”. 3) Menurut Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson,” Partisipasi politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadipribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah”. Definisi partisipasi politik yang dikemukakan tokoh-tokoh di atas pada prinsipnya memiliki inti yang sama. Partisipasi politik mencakup berbagai kegiatan pribadi warga negara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Dengan demikian pengertian yang diungkapkan dari ketiga tokoh tadi dapat penulis simpulkan bahwa partisipasi politik dibatasi pada beberapa hal. Pertama, partisipasi politik hanyalah mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan sikap-sikap. Dalam hal ini mereka tidak memasukkan komponen-komponen subyektif seperti pengetahuan politik, minat terhadap politik, dan perasaanperasaan mengenai politik. Tetapi yang di tekankan adalah bagaimana berbagai sikap dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik. Kedua, dalam konteks ini yang dimaksud partisipasi politik itu adalah warga negara biasa, bukan pejabat-pejabat pemerintah yang mempunyai pekerjaan profesional di bidang itu. Ketiga, kegiatan pertisipasi politik itu hanyalah kegiatan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah terlepas tindakan yang dilakukan legal atau tidak. Salah satu bentuk tindakan untuk menyuarakan aspirasi atau tuntutan dalam rangka mempengaruhi keputusan pemerintah ialah melalui demonstrasi. Dengan demikian, demonstrasi atau aksi protes dan kekerasan termasuk bentuk partisipasi politik. Keempat, partisipasi politik juga mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi politik berupa kegiatan 19 mempengaruhi pemerintah yang dilakukan langsung atau tidak langsung, artinya langsung oleh pelakunya itu sendiri tanpa menggunakan perantara, tetapi ada pula yang tidak langsung melalui orang-orang yang dianggap dapat menyalurkan aspirasi pada pemerintah. Miriam Budiardjo (1998:1-2) menyatakan bahwa ”Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah (public policy)”. Partisipasi politik tidak hanya dibatasi pada serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh individu saja tapi juga dapat dilakukan oleh kelompok. Aktivitas yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok tersebut menekankan pada aktivitas yang aktif bukan pasif dalam berbagai kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Selain itu partisipasi politik juga dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Pendapat yang hampir sama juga dikemukan oleh Syahrial Syarbaini et. al. (2002:69) yang menyatakan bahwa ”Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, seperti memilih pimpinan negara atau upaya-upaya mempengaruhi kebijakan pemerintah”. Pengertian partisipasi politik yang dikemukakan oleh Syahrial Syarbaini et. al. mencakup pentingnya peran serta orang seorang dan sekelompok orang untuk secara aktif terlibat dalam berbagai kegiatan politik. Keputusan-keputusan yang dilakukan pemerintah hendaknya melibatkan warga masyarakat sebagai komponen penting bagi keberlangsungan suatu negara. Di sisi lain masyarakat sendiri juga harus peduli dalam berbagai kegiatan kenegaraan dengan berpartisipasi dalam kehidupan politik. Sudijono Sastroatmodjo (1995:67) menyatakan ”Partisipasi politik itu merupakan kegiatan yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah”. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Kenneth Janda et all (1987:226) yaitu ”Political participation as those actions of private citizens by which they seek to influence or to support government and politics”. Pendapat 20 tersebut dapat diartikan bahwa partisipasi politik merupakan tindakan pribadi warga negara yang dimaksudkan untuk mempengaruhi atau mendukung pemerintah dan politik. Setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Kesempatan untuk berpartisipasi tidak dibatasi untuk golongan tertentu saja namun berlaku bagi semua masyarakat pada berbagai lapisan sosial. Berdasarkan pendapat beberapa ahli tentang definisi partisipasi politik di atas dapat disimpulkan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga negara untuk ikut serta secara langsung maupun tidak langsung dalam proses pemilihan pemimpin negara, dan pembuatan atau pembentukan keputusan yang bertujuan untuk mempengaruhi pelaksanaan kebijakan yang telah diambil pemerintah. b. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Partisipasi politik memiliki beragam bentuk. Bentuk partisipasi yang paling umum dikenal oleh masyarakat adalah pemungutan suara (voting) baik yang digunakan untuk memilih wakil rakyat maupun untuk memilih kepala pemerintahan di tingkat desa, kabupeten dan negara. Bentuk-bentuk partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas sistem politik, integritas kehidupan politik, dan kepuasan atau ketidakpuasan warga negara. Bentuk-bentuk partisipasi politik antara satu ahli dengan ahli yang lain berbedabeda. Hal ini diakibatkan karena dasar yang digunakan oleh setiap ahli dalam mengklasifikasikan bentuk partisipasi politik berlainan. Secara umum, bentukbentuk partisipasi politik dapat digolongkan menjadi delapan yaitu : 1) Berdasarkan tingkatan atau hierarkinya Bentuk-bentuk partisipasi politik dilihat dari tingkatnnya menurut Michael Rush dan Philip Althoff sebagaimana dikutip oleh Arifin Rahman (1998:132) sebagai berikut : 21 Menduduki jabatan politik atau administratif Mencari jabatan politik atau administratif Keanggotaan aktif suatu organisasi politik Keanggotaan pasif suatu organisasi politik Keanggotaan aktif organisasi semu-politik Keanggotaan pasif organisasi semu-politik Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dll Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam politik Voting (pemberian suara) Apatis total (masa bodoh) Gambar 2.1. Hierarki Partisipasi Politik Hierarki partisipasi politik di atas menunjukkan bahwa partisipasi pada satu tingkatan bukan merupakan prasyarat bagi partisipasi pada tingkatan yang lebih tinggi. Pada puncak hierarki terdapat orang-orang yang menduduki berbagai macam jabatan, baik para pemegang jabatan politik maupun para birokrat. Mereka ini berkepentingan langsung dengan pelaksanaan kekuasaan politik formal. Di bawah para pemegang jabatan politik formal adalah para anggota dari berbagai organisasi politik atau semi politik. Partai politik maupun kelompok kepentingan merupakan organisasi yang berfungsi sebagai wadah yang memungkinkan para anggota masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan politik. Bentuk partisipasi selanjutnya ialah mengikuti suatu rapat umum dan demonstrasi yang diselenggarakan sepontan dan diorganisir oleh partai-partai atau kelompok tertentu guna memenuhi agenda politik mereka. Dalam hal ini, orang berpartisipasi bukan berdasarkan kesadarannya sendiri, melainkan dimobilisasi. Diskusi informal yang dilakukan di keluarga, di tempat kerja termasuk bentuk 22 partisipasi politik. Bentuk partisipasi politik yang tidak menuntut banyak upaya ialah ikut memberikan suara dalam pemilu. Kegiatan ini dilakukan pada saat diperlukan saja. Sedangkan golongan yang tidak terlibat dalam kegiatan politik disebut golongan apatis. 2) Berdasarkan frekuensi dan intensitasnya Dalam masyarakat banyak dijumpai orang yang mengikuti kegiatan politik secara tidak intensif. Kegiatan yang tidak intensif merupakan kegiatan yang tidak banyak menyita waktu dan biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri, seperti keterlibatan masyarakat untuk memberikan suara dalam pemilu. Sebaliknya, sedikit jumlah orang yang secara aktif banyak meluangkan waktu dan melibatkan diri dalam politik. David dan Frank menggambarkan kondisi demikian dalam bentuk piramida sebagaimana dikutip Syahrial Syarbaini et all (2002:70) sebagai berikut: Aktivis Partisipan Pengamat Pejabat partai sepenuh waktu Pemimpin partai /kelompok kepentingan Petugas kampanye Anggota aktif dan partai/kelompok kepentingan dalam proyek-proyek sosial Menghadiri rapat umum anggota partai/kelompok kepentingan, membicarakan masalah politik, mengikuti perkembangan politik melalui media massa, memberikan suara dalam pemilu Orang-orang yang apolitis Gambar 2.2 Piramida Partisipasi Politik 23 Piramida di atas tergambar ada pelebaran pada bagian dasar dan semakin menyempit ke atas sejalan dengan meningkatnya intensitas kegiatan. Di antara dasar dan puncak terdapat pelbagai kegiatan yang berbeda-beda intensitasnya baik dari segi kegiatannya maupun komitmen dari orang yang bersangkutan. Termasuk di dalamnya adalah memberikan suara dalam pemilu, menghadiri rapat politik, dan menjadi anggota kelompok kepentingan. Kegiatan yang lebih insentif lagi antara lain menjadi petugas kampanye, dan melibatkan diri dalam proyek sosial. Sedangkan yang paling intensif dari sebelumnya yaitu sebagai pimpinan partai atau kelompok kepentingan. 3) Berdasarkan kegiatannya Menurut Sudjono Sastroatmodjo (1995:74) sebagai suatu kegiatan, partisipasi politik dapat dibedakan sebagai berikut : a) Partisipasi aktif, yaitu partisipasi politik yang mencakup kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum, mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut serta dalam kegiatan penelitian. b) Partisipasi pasif, yaitu partisipasi yang mencakup kegiatan mentaati peraturan atau perintah, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan pemerintah. Partisipasi aktif merupakan bentuk kegiatan yang dilakukan warga negara untuk senatiasa memberikan masukan dan saran dalam proses pengambilan keputusan sekaligus melaksanaakan apa yang telah menjadi keputusan bersama. Sementara itu, partisipasi pasif merupakan bentuk kegiatan yang hanya menerima, mentaati dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan dari pemerintah walaupun hal itu bertentangan dengan dirinya. 4) Berdasarkan bentuk perilakunya Berdasarkan bentuk perilakunya Kenneth Janda et. all. (1987:227) memberikan batasan pengertian partisipasi konvensional dan non konvensional sebagai berikut : a) Conventional participation is relatively routine behavior that uses the institutional channels of representative government, especially campaigning for candidates and voting in elections. 24 b) Unconventional participation is relatively uncommon behavior that challenges or defies government channel (and thus is personally stressful to participants and their opponents). Penulis menerjemahkan pendapat diatas sebagai berikut : a) Partisipasi konvensional adalah perilaku yang relatif rutin dilakukan dengan menggunakan pemerintahan sebagai lembaga yang dipilih rakyat, terutama dalam kegiatan kempanye dan pemberian suara. b) Partisipasi non konvensional adalah perilaku yang relatif tidak biasa dilakukan dalam menghadapi tantangan atau menantang pemerintahan dan dengan begitu secara pribadi akan mengalami keputusasaan kemudian melawan mereka. Untuk lebih memahami bentuk partisipasi politik konvensional dan non konvensional, secara rinci Syahrial Syarbaini et. all. (2002:71) menerangkan sebagai berikut: Tabel 2.1. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik Konvensional Nonkonvensional Pemberian suara (voting) Pengajuan petisi Diskusi politik Berdemonstrasi Kegiatan kampanye Konfrontasi, mogok Membentuk dan bergabung dalam Tindak kekerasan politik harta kelompok kepentingan benda (perusakan, pemboman, pembakaran) Komunikasi individual dengan Tindakan kekerasan politik pejabat politik dan administratif terhadap manusia (penculikan, pembunuhan, perang gerilya dan revolusi) 5) Berdasarkan pelakunya Guna memahami lebih dalam lagi tentang partisipasi politik ada baiknya kita menelaah pendapat Milbrath dan Goel dalam Sudjono Sastroatmodjo (1995:74-75) yang mengkategorikan partisipasi politik sebagai berikut: a) Apatis, yaitu orang yang menarik diri dari proses politik. b) Spektator, yaitu orang yang setidak-tidaknya pernah ikut dalam pemilihan umum. c) Gladiator yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan 25 program tatap muka, aktivitas partai dan pekerja kampanye serta aktifitas masyarakat. d) Pengkritik yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang tidak konvensional. Salah satu kelompok yang menarik dari keempat kelompok di atas ialah kelompok apatis, meskipun seseorang tidak terlibat dalam kegiatan politik bukan berarti ia benar-benar terlepas dalam kegiatan politik karena hakikatnya manusia adalah makhluk politik. Apatis juga merupakan perilaku yang sengaja dilakukan agar tercipta kondisi yang dianggapnya lebih baik dari pada akibat yang ditimbulkan bila ia tetap berpartisipasi. Dalam kehidupan bernegara sering dijumpai sejumlah orang yang tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik atau hanya berpartisipasi pada tingkatan yang paling rendah saja. Sehubungan dengan hal ini dikenal istilah-istilah seperti apatis, sinis, alienasi (terasing) dan anomie (terpisah). Penjelasan tentang istilah-istilah tersebut sebagai berikut : a) Apatis (masa bodoh) Apatis dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi dan gejala-gejala. Adapun ciri-ciri apatis antara lain adanya ketidakmampuan untuk mengakui tanggung jawab pribadi, untuk menyelidiki atau untuk menerima emosi dan perasaan sendiri, yaitu perasaan samar-samar dan tidak dapat dipahami, rasa susah, tidak aman dan merasa terancam. b) Sinis Secara politis sinisme memiliki ciri-ciri antara lain adanya perasaan bahwa politik adalah urusan yang kotor, politik tidak dapat dipercaya, dan kekuasaan sebenarnya dijalankan oleh orang-orang yang tidak punya malu. Seseorang yang sinis merasa bahwa partisipasi politik dalam bentuk apapun akan sia-sia dan tidak ada hasilnya sedikitpun bagi kehidupannya. c) Aliansi (terasing) Aliansi merupakan perasaan keterasingan seseorang dari politik pemerintahan, dan masyarakat. Pola pikirnya cenderung didasarkan bahwa pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan orang lain hanya untuk orang lain saja dan mengikuti aturan yang tidak adil. Kelompok orang-orang ini 26 menganggap pemerintahan sebagai keberadaan yang tidak ada artinya serta tidak memberikan konsekuensi kepada mereka. d) Anomie (terpisah) Anomie adalah perasaan kehilangan nilai dan arah hidup, sehingga tidak termotivasi untuk mengambil tidakan-tindakan yang berarti dalam hidup ini. Orang yang berperasaan demikian menganggap penguasa bersikap ”tidak peduli” terhadap tujuan-tujuan hidupnya. Individu-individu yang memilih untuk bersikap apatis, sinis, alienasi (terasing) dan anomie (terpisah) memiliki sejumlah alasan tersendiri dan apabila hal tersebut berkembang dapat menyebabkan konflik. Berkaitan dengan fenomena tersebut Rosenberg dalam Sudjono Sastroatmodjo (1995:75-76) menyebutkan ada tiga alasan adanya partisipasi politik yaitu: a) Individu memandang bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap beberapa aspek kehidupannya. Individu beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik dapat merusak hubungan dengan kawan dan pekerjaannya karena kedekatannya dengan partai-partai politik tertentu. b) Individu menganggap bahwa aktivitas politik merupakan kegiatan yang sai-sia belaka. Individu beranggapan bahwa ia tidak akan mungkin dapat mengubah keadaan dan melakukan kontrol politik. Dalam pandangannya, justru terjadi gap yang dalam antara cita-cita dan realitasnya yang tidak ada seorangpun yang dapat menjembataninya. c) Ketidakadaan pesaing politik. Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa politik hanyalah memberikan kepuasan yang sedikit dan tidak langsung, sedangkan hasil langsung yang diterimanya sedikit. Dengan kata lain bahwa partisipasi politik baginya bukanlah sarana yang layak untuk memenuhi kebutuhankebutuhan pribadinya. 27 6) Berdasarkan dimensi kehidupan stratifikasi sosial Partisipasi dapat dibedakan menurut dimensi kehidupan stratifikasi sosial sebagaimana diungkapkan Goel dan Olsen dalam Sudjono Sastroatmodjo (1995:77) sebagai berikut : a) Pemimpin politik b) Aktivis politik c) Komunikator (orang yang menerima dan menyampaikan ide-ide, sikap, dan informasi politik lainnya pada orang lain) d) Warga negara marjinal (orang yang sedikit melakukan kontak dengan sistem politik) e) Orang-orang yang terisolasi (orang yang jarang melakukan partisipasi politik) Para pemimpin politik berada dalam lapisan yang tertinggi bila dibandingkan dengan lapisan yang ada di bawahnya yaitu para aktivis politik, komunikator, warga negara marjinal dan yang terakhir adalah orang-orang yang terisolasi. 7) Berdasarkan sifatnya Nalsom dalam Sudjono Sastroatmodjo (1995:77) membedakan partisipasi politik menjadi dua sifat yaitu ”autonomus participation (partisipasi otonom) dan mobilized participation (partisipasi yang dimobilisasikan)”. Berikut ini penjelasan dari kedua sifat partisipasi tersebut. a) Partisipasi yang bersifat sukarela (otonom) Partisipasi yang bersifat sukarela artinya bahwa individu secara sadar tanpa paksaan terlibat dalam kegiatan politik. Keterlibatan seseorang dalam kegiatan politik tidak selamanya didasarkan pada kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang baik. Fenomena yang sering mewarnai bentuk pemilihan umum saat ini tidak terlepas dari praktek kotor yang berupa praktek money politic. b) Partisipasi atas desakan orang lain (dimobilisasi) Partisipasi atas desakan orang lain terjadi karena adanya pengaruh pihak lain yang sengaja agar individu tersebut terlibat dalam kegiatan politik, misalnya partisipasi pada partai politik atau kelompok kepentingan tertentu. Dengan demikian partai politik dan kelompok 28 kepentingan menjadi agen mobilisasi yang akan mendorong terjadinya partisipasi politik. 8) Berdasarkan jumlah pelakunya Menurut N. Muller dalam Sudjono Sastroatmodjo (1995:77) berdasarkan jumlah pelakunya, partisipasi politik dapat dibedakan menjadi dua yaitu ”Partisipasi individual dan partisipasi kolektif”. Penjelasan tentang kedua jenis partisipasi politik tersebut adalah: a) Partisipasi individual Partisipasi individual merupakan kegiatan individu warga negara yang dimaksudkan untuk mempengaruhi pemerintah. Bentuk partisipasi individual dapat berupa kegiatan menulis surat yang berisi tuntutan atau keluhan kapada pemerintah. b) Partisipasi kolektif Partisipasi kolektif merupakan kegiatan warga negara secara serentak dimaksudkan untuk mempengaruhi penguasa seperti dalam kegiatan pemilihan umum. Dari penjelasan di atas dapat penulis simpulkan bahwa beragamnya bentuk partisipasi politik di atas menunjukkan betapa luasnya konsep partisipasi politik dalam kehidupan bernegara. Partisipasi politik tidak hanya dilakukan para pemerintah selaku pembuat dan pelaksana kebijakan namun juga dilakukan oleh masyarakat biasa yang berupaya mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan tersebut. Hakikatnya tidak ada satu warga negara pun yang benar-benar terlepas dari kehidupan politik dengan beragam bentuknya. c. Motif Partisipasi Politik Tindakan-tindakan atau aktivitas politik tidak hanya menyangkut apa yang telah dilakukan saja, tetapi juga menyangkut hal-hal apa yang mendorong individu tersebut berpartisipasi. Dorongan tersebut dapat berasal dari dalam dan dari luar. Oleh karena itu penting untuk mengetahui motif-motif apa saja yang melatarbelakangi tindakan seseorang yang berkaitan dengan partisipasi politik. 29 Menurut Weber dalam Sudijono Sastroatmodjo (1995:83) partisipasi politik pada diri seseorang didasari oleh beberapa motif sebagai berikut : 1) Motif yang rasional-bernilai, yaitu motif yang didasarkan atas penerimaan secara rasional atas nilai-nilai suatu kelompok. 2) Motif yang afektual emosional, yaitu motif yang didasarkan atas kebenaran (enthusianisme) terhadap suatu ide, organisasi, atau individu. 3) Motif yang tradisional, yaitu motif yang didasarkan atas penerimaan norma, tingkah laku individu dari suatu kelompok sosial. 4) Motif yang rasional bertujuan, yaitu motif yang didasarkan atas kepentingan pribadi. Penjelasan tentang keempat motif diatas sebagai berikut: 1) Motif rasional bernilai Motif rasional bernilai merupakan motif yang mendorong tingkah laku untuk beraktivitas atas dasar pertimbangan-pertimbangan logis dan rasional terhadap suatu kelompok. Hal ini berarti tindakan seseorang dalam aktivitas politik telah didukung oleh penilaian-penilaian obyektif terhadap suatu kelompok tertentu. Motif ini juga tidak terlepas dari unsur-unsur subyektif tetapi melalui pertimbangan-pertimbangan nalarnya, individu dapat menentukan sikapnya untuk menilai organisasi sosial tertentu. 2) Motif afektual emosional Berbeda dengan motif pertama, motif ini didasarkan pada kebencian tertentu yang melekat pada individu dalam menilai gagasan, organisasi, atau individu lain. Motif ini pula yang membentuk sikap ketidaksenangan terhadap suatu kelompok yang kemudian dalam bentuknya yang konkrit menjadi bentuk apatisme, sinisme dan aliansi. 3) Motif tradisional Motif ini didasarkan atas penerimaan norma tingkah laku individu dalam suatu kelompok sosial. Hal ini berarti terjadi kesesuaian antara normanorma dan nilai-nilai antara individu dengan kelompok sosial yang menyebabkan individu tersebut dapat berpartisipasi dalam kelompok tersebut. 30 4) Motif rasional bertujuan Motif ini mendorong seseorang untuk beraktivitas bila terdapat keuntungan-keuntungan yang dapat diperolehnya dari kegiatan politik tersebut. Sebaliknya, bila aktivitas tersebut tidak memberikan keuntungan apaapa maka ia tidak akan ikut serta di dalamnya. Meningkat atau menurunnya partisipasi politik berkaitan dengan motif orang yang terlibat di dalamanya. Dan Nimmo (2006:129) menggolongkan motif partisipasi politik menjadi lima yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) Sengaja atau tak sengaja Rasional atau emosional Kebutuhan psikologis atau sosial Diarahkan dari dalam atau dari luar Berpikir tanpa berpikir Penjelasan tentang motif-motif partisipasi politik diatas sebagai berikut: 1) Sengaja atau tak sengaja Beberapa warga negara sengaja berusaha mencari informasi dan peristiwa politik untuk mencapai tujuan tertentu. Bagi mereka politik itu bertujuan dan merupakan hal yang disengaja. Sedangkan bagi yang lainnya melakukan kegiatan politik secara kebetulan, seperti menemukan stiker kampanya kemudian menempelkannya pada mobil. 2) Rasional atau emosional Orang yang berhasrat mencapai tujuan tertentu akan mempertimbangkan secara rasional tentang alternatif apa yang hendak diambil untuk mencapai tujuan. Sebaliknya, ada orang yang bertindak tanpa berpikir namun sematamata karena dorongan dalam hati yang bersifat emosional. 3) Kebutuhan psikologis atau sosial Kadang-kadang ada orang yang memproyeksikan kebutuhan psikologisnya pada objek-objek politik, misalnya ia selalu mendukung pemimpin politik karena kebutuhan yang mendalam untuk tunduk pada autoritas. Sebaliknya, ada yang menggunakan politik untuk meningkatkan persahabatan sosial, mengidentifikasikan diri dengan orang-orang yang 31 setatusnya diinginkan, atau meningkatkan posisi kelompok sosial mereka terhadap kelompok sosial yang lain. 4) Diarahkan dari dalam atau dari luar Perbedaan partisipasi politik yang diarahkan dari dalam diri pribadi dan dari luar erat hubungannya dengan motivasi batiniah dan motivasi sosial. Orang yang diarahkan oleh dirinya sendiri adalah orang yang bereaksi sendiri, yaitu orientasi dan kecenderungannya diperoleh dari bimbingan orang tuanya. Sebaliknya, orang yang diarahkan dari luar akan mendasarkan pada orientasi yang diperoleh dari lingkungan yang jauh lebih luas dari pada orang tuanya. 5) Berpikir atau tanpa berpikir Setiap orang berbeda dalam tingkat kesadarnnya ketika melakukan tindakan politik. Orang yang demikian selalu memikirkan akibat yang ditimbulkan bagi dirinya maupun orang lain. Sedangkan individu yang kurang menggunakan daya pikirnya akan mudah terpengaruh orang lain. Misalnya, bisa jadi seseorang tidak bermaksud ikut dengan demonstrasi yang menggunakan kekerasan, tetapi ia terseret oleh keadaan dan peristiwa di lapangan. Berdasarkan penjelasan tentang motif-motif partisipasi politik di atas dapat penulis simpulkan bahwa motif yang mendasari seseorang untuk berpartisipasi politik adalah salah satu faktor yang dapat meningkatkan atau menekan partisipasi politik. Sedangkan motif yang diberikan masing-masing orang berbeda-beda satu sama lain, akan tetapi pada prinsipnya sama. d. Fungsi Partisipasi Politik Pada dasarnya setiap tindakan yang dilakukan seseorang selain didasari motif-motif tertentu juga mengandung fungsi dan tujuan tertentu pula. Menurut Lane dalam Sudijono Sastroatmodjo (1995:84) menyebutkan bahwa partisipasi politik paling tidak memiliki empat fungsi, yaitu: Pertama, sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomi. Kedua, sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi penyesuaian sosial. Ketiga, sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus. Keempat, 32 sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan alam bawah sadar dan kebutuhan psikologi tertentu. Penjelasan dari keempat fungsi partisipasi politik di atas sebagai berikut : 1) Berfungsi sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomi. Seseorang ikut berperan serta dalam kegiatan politik dalam rangka upayanya menjadikan arena politik sebagai sarana untuk memperlancar usaha akonominya ataupun sebagai sarana mencari keuntungan material. 2) Berfungsi sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi penyesuaian sosial. Keterlibatan seseorang dalam kegiatan politik dijadikan sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan akan harga diri, status sosial, dan kehormatan karena dapat bergaul dengan pejabat-pejabat terkemuka. Pergaulan yang luas dan bersama pejabat-pejabat itu pula yang mendorong partisipasi politik seseorang. Orang-orang yang demikian merasa puas bahwa politik dapat memenuhi kebutuhan terhadap penyesuaian sosialnya. 3) Berfungsi sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus. Seseorang berpartisipasi dalam politik karena politik dianggap dapat dijadikan sarana untuk mendapatkan pekerjaan, mendapatkan proyek-proyek, tender-tender, dan melicinkan karir bagi jabatannnya. Nilai-nilai khusus dan kepentingan individu tersebut apabila tercapai akan makin mendorong partisipasinya dalam politik. Terlebih lagi bagi seseorang yang terjun dalam bidang politik dilandasi motivasi ini, seringkali politik dijadikan sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pribadinya semata. Fenomena ini menyebabkan munculnya Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) dalam segala bidang pemerintahan. 4) Berfungsi sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan alam bawah sadar dan kebutuhan psikologi tertentu. Keterlibatan seseorang dalam kegiatan politik berfungsi untuk memenuhi kebutuhan alam bawah sadar dan kebutuhan psikologis tertentu, seperti kepuasan batin, perasaan terhormat, merasa menjadi sosok yang 33 penting dan dihargai orang lain dan kepuasan-kepuasan atas target yang telah ditetapkan. Partisipasi politik warga negara sangat penting dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan. Menurut Sudijono Sastroatmodjo (1995:86) bagi pemerintah, fungsi partisipasi politik warga negara sebagai berikut: Pertama, partisipasi politik masyarakat berfungsi untuk mendukung program-program pemerintah. Kedua, partisipasi masyarakat berfungsi sebagai organisasi yang menyuarakan kepentingan masyarakat untuk masukan bagi pemerintah dalam mengarahkan dan meningkatkan pembangunan. Partisipasi politik setiap masyarakat memiliki arti penting dalam rangka mendukung program-program yang hendak dijalankan oleh pemerintah. Program yang dicanangkan pemerintah tidak berarti tanpa dukungan dari seluruh masyarakat. Selain itu partisipasi dapat digunakan sebagai sarana untuk memberikan masukkan, kritik dan saran terhadap pemerintah dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Organisasi-organsisasi sosial kemasyarakatan (Ormas) dan organisasi sosial politik (Orsospol) merupakan contoh dari fungsi politik ini. Bagi masyarakat luas baik itu lembaga legislatif, lembaga pers maupun indivudu, partisipasi politik memiliki fungsi kontrol. Dengan demikian, partisipasi politik merupakan sebuah mekanisme pelaksanaan fungsi kontrol terhadap pemerintah dalam melaksanakan kebijakan-kebijakannya. Tanpa kontrol yang berkelanjutan dalam penyelenggaraan negara sangat memungkinkan terjadinya penyimpangan-penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Berdasarkan uraian tentang fungsi partisipasi politik di atas dapat penulis simpulkan bahwa hakikat partisipasi politik sangat penting bagi masyarakat yang berperan di dalamnya dan bagi pemerintah sebagai penyelenggara suatu pemerintahan. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran bersama antara pemerintah dan masyarakat untuk meningkatkan partisipasi politik secara optimal. Pemerintah sebagai penyusun kebijakan hendaknya lebih mementingkan tercapainya tujuan dengan melibatkan masyarakat secara kontinue. 34 e. Tujuan Partisipasi Politik Tujuan partisipasi politik tidak akan tercapai efektif tanpa keterlibatan dari seluruh komponen bangsa. Menurut Sunit dalam Sudijono Sastroatmodjo (1995:85-86) partisipasi politik di Indonesia memiliki tiga tujuan yaitu: Pertama, memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang dibentuknya beserta sistem politik yang dibentuknya. Kedua, partisipasi dimaksudkan sebagai usaha untuk menunjukkan kelemahan dan kekurangan pemerintah. Ketiga, partisipasi sebagai tantangan terhadap penguasa dengan maksud menjatuhkannya sehingga diharapkan terjadi perubahan struktural dalam pemerintahan dan dalam sistem politik. Pemberian dukungan kepada penguasa dan pemerintah dapat diwujudkan dalam bentuk pengiriman wakil-wakil atau utusan pendukung ke pusat pemerintahan dan pembuatan pernyataan yang isinya memberikan dukungan terhadap pemerintah. Sementara usaha untuk menunjukkan kelemahan dan kekurangan pemerintah dilakukan dengan harapan agar pemerintah meninjau kembali, memperbaiki atau mengubah kelemahan tersebut. Partisipasi ini dapat terlihat dalam bentuk membuat petisi, resolusi, aksi pemogokkan, demonstrasi, dan aksi protes. Sedangkan harapan agar terjadi perubahan struktural dalam pemerintahan seringkali dilakukan dengan pemogokkan, pembangkangan politik dan sampai yang paling ekstrim yaitu kudeta bersenjata. Berdasarkan fungsi dan tujuan partisipasi politik di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa sesungguhnya partisipasi politik yang dilakukan oleh masyarakat memiliki pengaruh penting terhadap keberlangsungan pemerintahan dalam suatu negara menuju terwujudnya cita-cita bersama. Di samping itu tujuan partisipasi politik ialah untuk mempengaruhi penguasa baik dalam arti memperkuat maupun dalam pengertian menekannya, sehingga penguasa memperhatikan atau memenuhi kepentingan partisipan. Tujuan tersebut sangat beralasan karena sasaran partisipasi politik adalah lembaga-lembaga politik atau pemerintah yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan politik baik di tingkat daerah maupun di timgkat pusat pemerintahan. 35 f. Faktor Penyebab Timbulnya Partisipasi Politik Partisipasi politik yang dilakukan seseorang merupakan hasil interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhinya. Pengenalan terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik penting sekali dalam rangka pencapaian partisipasi politik secara maksimal. Partisipasi politik sangat beragam variasinya, keanekaragaman tersebut terdapat diberbagai negara meskipun sistem sosial politik yang diterapkannya berbeda-beda. Milbrath dalam Michael Rush dan Phillip Althoff (2005:165) memberikan empat alasan bervariasinya partisipasi politik seseorang yaitu: ”Pertama, sejauh mana orang menerima perangsang politik. Kedua, karakteristik pribadi seseorang. Ketiga, karakteristik sosial seseorang, Keempat, keadaan politik atau lingkungan politik dalam mana seseorang dapat menemukan dirinya sendiri”. Penjelasan keempat faktor di atas adalah sebagai berikut : 1) Penerimaan perangsang politik Keterbukaan dan kepekaan seseorang terhadap perangsang politik lewat kontak pribadi, organisasi dan lewat media massa akan memberikan pengaruh bagi keikutsertaan seseorang dalam kegiatan politik. Misalnya, seseorang yang dalam lingkungan keluarganya sering melakukan diskusi-diskusi mengenai kehidupan politik sesederhana apapun pembicaraannya dapat mempengaruhi seseorang untuk aktif terlibat dalam kegiatan politik. Di samping itu dengan mengikuti kegiatan organisasi politik secara nyata akan membawa pengaruh bagi partisipasi politiknya. Keterbukaan dan kepekaan seseorang dalam menerima perangsang politik dari media masa akan mendorong seseorang terlibat aktif dalam kegiatan politik. Dengan mengikuti secara aktif perkembangan-perkembangan politik melalui media massa, seseorang akan memiliki refrensi yang cukup luas dan aktual untuk memberikan tanggapan dan akhirnya sebagai bahan dalam partisipasi politik. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa informasi dan pengetahuan politik yang dimiliki seseorang memiliki arti penting dalam mempengaruhi keterlibatan seseorang dalam kegiatan politik. 36 2) Karakteristik pribadi seseorang Aspek kepribadian juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi tingkat partisipasi politik. Seseorang yang memiliki sifat kepribadian terbuka akan lebih berkepribadian mudah aktif tertutup. dibandingkan Orang-orang dengan yang orang-orang memiliki pribadi yang suka memperhatikan kepentingan orang lain akan lebih aktif dalam berpartisipasi jika dibandingkan dengan orang-orang yang berkepribadian tidak suka mengurus kepentingan orang lain. Kepribadian yang sosiabel (ramah, suka bergaul) dan extravert (lebih memikirkan diri orang lain) umumnya akan lebih condong melakukan kegiatan politik daripada pribadi yang kurang sosiabel dan introvet. 3) Karakteristik sosial seseorang Karakteristik sosial seseorang, seperti status sosial ekonomi, kelompok ras atau etnis, usia, seks dan agamanya, baik yang tinggal di pedesaan maupun di kota, semuanya akan mempengaruhi partisipasi politiknya. Karakterkarakter seseorang berdasarkan faktor-faktor itu pulalah yang memiliki pengaruh yang relatif cukup besar terhadap partisipasi politik. 4) Keadaan politik atau lingkungan politik Keadaan politik atau lingkungan politik setiap orang berbeda-beda. Perbedaan tersebut berpengaruh terhadap perbedaan watak dan tingkah laku individu. Dengan perbedaan itu pula yang ikut mendorong perbedaan perilaku politik dan partisipasi politik seseorang. Misalnya, kondisi masyarakat yang masih didominasi sistem kelas yang kaku akan menimbulkan munculnya partai politik yang didasarkan kelas. Menurut Myron Weiner dalam Mohtar Mas’oed dan Colin Mac Andrew, (1993:45-46) paling tidak terdapat lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan ke arah partisipasi yang lebih luas dalam proses politik yaitu: 1) 2) 3) 4) 5) Modernisasi Perubahan struktur kelas sosial Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern Konflik di antara kelompok-kelompok pemimpin politik Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan. 37 Penjelasan dari faktor-faktor penyebab timbulnya gerakan ke arah partisipasi politik sebagai berikut: 1) Modernisasi Modernisasi di segala bidang berimplikasi pada komersialisasi pertanian, industrilisasi, meningkatnya arus urbanisasi, perbaikan pendidikan, dan pengembangan media massa atau media komunikasi secara lebih luas. Kemajuan itu berakibat pada tumbuhnya partisipasi masyarakat dari berbagai lapisan untuk ikut serta mempengaruhi kebijakan pemerintah. Selain itu, mereka juga menuntut keikutsertaannya dalam kekuasaan politik sebagai bentuk upayanya dalam memperbaiki nasibnya sendiri. 2) Perubahan struktur kelas sosial Era industrilisasi dan modernisasi telah menyebabkan perubahan struktur kelas sosial. Hal itu menimbulkan masalah tentang siapa yang berhak untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik menjadi penting dan mengakibatkan perubahan-perubahan dalam pola partisipasi politik. Pada umumnya kelas menengah selalu kritis dalam menyuarakan kepentingankepentingan masyarakat secara demokratis. 3) Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern Ide-ide atau gagasan yang diungkapkan oleh kaum intelektual seperti paham nasionalisme, demokrasi, dan libralisme mengakibatkan munculnya tuntutan-tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan negara. Sementara komunikasi yang meluas akan mempermudah penyebaran ide-ide tersebut ke dalam seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat yang belum maju sekali pun akan dapat menerima ide-ide politik tersebut secara cepat. Hal ini tentu berimplikasi pada tuntutan-tuntutan rakyat untuk ikut serta menentukan dan mempengaruhi kebijakan pemerintah. 4) Konflik di antara kelompok-kelompok pemimpin politik Konflik diantara para pemimpin-pemimpin politik biasanya berbentuk persaingan. Pemimpin politik yang bersaing memperebutkan kekuasaan dilakukan dengan jalan mencari dukungan massa sebanyak-banyaknya. Dalam konteks ini mereka menganggap apa yang dilakukannya sah karena apa yang 38 mereka lakukan semata-mata demi kepentingan rakyat dan dalam rangka upaya memperjuangkan ide atau gagasan partisipan. Hal ini akan berimplikasi pada munculnya tuntutan terhadap hak-hak rakyat, hak asasi manusia, keterbukaan, demokratisasi dan kebebasan pers yang lebih luas. 5) Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan kebudayaan Luasnya ruang lingkup pemerintah dalam bidang politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan serta pertahanan keamaan akan merangsang tumbuhnya tuntutan-tuntutan untuk ikut serta dalam mempengaruhi pembuatan keputusan politik. Hal ini merupakan konsekuensi dari keterlibatan pemerintah dalam segala kehidupan. Selain faktor-faktor penyebab timbulnya partisipasi politik di atas juga ada beberapa faktor pendukung partisipasi politik antara lain pendidikan politik, kesadaran politik, budaya politik, dan sosialisasi politik. Berikut ini penjelasan dari masing-masing faktor tersebut. 1) Pendidikan politik Pendidikan politik merupakan usaha memasyarakatkan politik, dalam arti mencerdaskan kehidupan politik rakyat, meningkatkan kesadaran rakyat terhadap hak, kewajiban dan tanggungjawabnya terhadap bangsa dan negara. Pendidikan politik umumnya terjadi dalam suatu partai politik. Melalui pendidikan politik, kader-kader anggota partai politik tersebut diharapkan akan memperoleh manfaat atau kegunaan antara lain sebagai berikut: a) Dapat memperluas pemahaman, penghayatan dan wawasan terhadap masalah-masalah dan isu-isu yang bersifat politis. b) Mampu meningkatkan kualitas diri dalam berpolitik dan berbudaya politik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c) Lebih meningkatkan kualitas kesadaran politik rakyat menuju peran aktif dan partisipasi terhadap pembangunan politik bangsa secara keseluruhan. Pendidikan politik sebenarnya dimaksudkan untuk mewujudkan atau setidaktidaknya menyiapkan kader-kader yang dapat diandalkan untuk memenuhi 39 harapan masyarakat luas, dalam arti yang benar-benar memahami semangat yang terkandung dalam perjuangan sebagai kader bangsa. 2) Kesadaran politik Kesadaran politik atau keinsyafan hidup bernegara menjadi penting dalam kehidupan bernegara, mengingat tugas-tugas negara bersifat menyeluruh dan kompleks. Karena itu, tanpa dukungan positif dari seluruh warga masyarakat, akan banyak tugas-tugas negara yang terbengkelai. Kesadaran politik rakyat tidak hanya diukur dari tingkat partisipasi mereka dalam pemilu, melainkan juga sejauh mana mereka aktif mengawasi atau mengoreksi kebijakan dan perilaku pemerintahan selama pemerintahan itu berjalan. Bila dihubungkan dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara, partisipasi politik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai wujud tanggung jawab sebagai warga negara yang berkesadaran politik tinggi. 3) Budaya politik Setiap masyarakat dari suatu negara memiliki budaya politik. Demikian pula individu-individu yang hidup di tengah tengah masyarakat yang senantiasa memiliki orientasi, persepsi terhadap sistem politiknya. Menurut Almon dan Vebra dalam Arifin Rahman (1998:32) ”Budaya politik adalah suatu sikap orientasi yang khas warga negara sebagai sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu”. Warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol kenegaraan berdasarkan orintasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik. Dari pemahaman tentang budaya politik, Gabriel Almond dalam Arifin Rahman (1998:39) mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut : a) Budaya politik parokial (parochial political cultur), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah). b) Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tapi masih bersifat pasif. 40 c) Budaya politik partisipan (partisipant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang sangat tinggi. Budaya politik di dalam suatu masyarakat tidaklah lahir dengan sendirinya. Orientasi pendidikan politik yang melahirkan kesadaran dan partisipasi politik tentu ikut mewarnai budaya politik yang lahir. Oleh sebab itu, suatu budaya politik yang terdapat di dalam masyarakat sangat mungkin mengalami perubahan dan perkembangan ke arah yang lebih baik, menuju ke tingkat yang mapan (budaya partisipatif) yang sesuai dengan etika dan norma-norma di dalam masyarakat suatu negara. 4) Sosialisasi politik Menurut Alex Tio dalam Rafael Raga Maran (2001:135) ”Sosialisasi politik adalah proses dengan mana individu-individu memperoleh pengetahuan, kepercayaan-kepercayaan dan sikap politik”. Berdasarkan pengertian tersebut yang dimaksud sosialisasi politik adalah suatu proses bagaiman seorang individu bisa mengenali sistem politik, dan bagaimana orang tersebut menentukkan tanggapan serta reaksinya terhadap gejala-gejala politik. Melalui sosialisasi politik, individu-individu diharapkan mau dan mampu berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam kehidupan politik. Dalam hal ini sosialisasi merupakan proses pendidikan atau suatu proses pembudayaan insan-insan politik. Proses ini melibatkan orang-orang baik dari generasi tua maupun dari generasi muda. Proses ini juga dilalui sejak dini ketika seorang anak masih kecil, di mana keluarga berperan sebagai pelaku utama dalam sosialisasi. Beberapa saluran perantara yang dapat digunakan dalam sosialisasi politik antara lain : a) Keluarga Wadah penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik yang paling efisien dan efektif adalah keluarga. Dalam keluarga, orang tua dan anak sering melakukan obrolan ringan tentang segala hal yang menyangkut politik, sehingga tanpa 41 disadari terjadi transfer pengetahuan dan nilai-nilai politik tertentu yang diserap oleh si anak. b) Sekolah Di sekolah, melalui pelajaran-pelajaran tertentu, siswa dan gurunya saling bertukar informasi dan berinteraksi dalam membahas topik-topik tertentu yang mengandung nilai-nilai politik teoritis dan praktis. Dengan demikian, siswa telah memperoleh pengetahuan awal tentang kehidupan berpolitik secara dini dan nilai-nilai politik yang benar dari sudut pandang akademis. c) Partai politik Salah satu fungsi dari partai politik adalah sebagai agen sosialisasi politik. Ini berarti, partai politik tersebut, setelah merekrut para anggota kader dan simapatisannya, mampu menanamkan nilai-nilai dan norma-norma dari suatu generasi ke generasi berikutnya baik pada saat kampanye maupun secara periodik. Partai politik harus mampu menciptakan image atau citra memperjuangkan kepentingan umum atau masyarakat. Selain melalui sarana keluarga, sekolah dan partai politik, sosialisasi politik juga dapat dilakukan melalui peristiwa sejarah yang telah berlangsung (pengalaman tokoh-tokoh politik yang telah tiada), melalui seminar, dialog, dan debat yang disiarkan ke masyarakat. Para tokoh politik juga secara tidak langsung melakukan sosialisasi politik. Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa apabila sosialisasi politik dapat dilaksanakan dengan baik melalui berbagai sarana yang ada, maka masyarakat dalam kehidupan politik kenegaraan sebagai satu sistem akan melahirkan budaya politik yang bertanggung jawab. g. Partisipasi Politik di Desa Partisipasi politik seluruh warga masyarakat memiliki arti penting bagi terciptanya keberlangsungan hidup suatu negara. Apalagi sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di wilayah pedesaan maka partisipasi masyarakat desa dalam bidang politik sangat urgen. Berikut ini bentuk dan susunan pemerintahan desa sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 42 Tahun 1999 tentang pedoman umum pengaturan mengenai desa, pasal 7 yang berbunyi ” Di Desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa yang merupakan pemerintahan Desa”. Selanjutnya pasal 8 sebagai berikut: 1) Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa. 2) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam ayata 1) terdiri atas: a. Unsur staf, yaitu pelayanan seperti Sekretaris Desa dan atau Tata Usaha; b. Unsur pelaksana, yaitu unsur pelaksana teknis lapangan seperti Urusan Pamong Tani Desa dan Urusan Keamanan; c. Unsur wilayah, yaitu unsur pembantu Kepala Desa di wilayah bagian Desa seperti Kepala Dusun; yang jumlah dan sebutannya sesuai kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Kehidupan masyarakat desa tidak lepas dari kebijakan yang dibuat oleh pemerintah desa sendiri maupun oleh pemerintah pusat. Di tingkat desa, pemerintah desa merupakan satu-satunya lembaga pemerintah dan oleh karena itu kepala desa seakan-akan sebagai presiden mini di daerahnya. Semua instruksi dari pemerintah pusat akan memngalir ke desa dan memusat di tangan kepala desa oleh karena itu perlu ada kontrol dari masyarakat. Kontrol terhadap pemerintah dilakukan agar tidak terjadi penyelewengan atau penyimpangan terhadap kekuasaan yang dimiliki oleh para elit desa. Bentuk kontrol yang dilakukan masyarakat antara lain berupa partisipasi politik. Karakteristik masyarakat desa yang khas sering kali menjadi ladang yang efektif untuk memaksakan suatu bentuk politik lokal maupun politik nasional. Kepatuhan masyarakat pada kepemimpinan di desa sering kali dimanfaatkan oleh penguasa untuk memaksakan kehendaknya pada rakyat. Kondisi tersebut malahirkan bentuk partisipasi yang semu, keterlibatan warga masyarakat hanya semata-mata memenuhi perintah penguasa dan bukan lahir atas kesadaran dan rasa suka rela yang tinggi dalam dirinya. h. Pengukuran Partisipasi Politik Sebelum membuat batasan pengukuran partisipasi politik alangkah baiknya perlu memahami terlebih dahulu antara sikap politik dan perilaku politik. Mar’at (1984:12) menyatakan ”Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi 43 terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut”. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi baru merupakan kecenderungan. Dari suatu sikap tertentu dapat diperkirakan tindakan apa yang akan dilakukan berkenaan dengan objek yang dimaksud. Berdasarkan pemahaman tentang sikap tersebut maka dapat penulis simpulkan bahwa sikap politik adalah kesiapan untuk bereaksi terhadap objek tertentu yang bersifat politik, sebagai hasil penghayatan terhadap objek tersebut. Dengan munculnya sikap politik tertentu akan dapat diperkirakan perilaku politik apa yang akan muncul. Ketidaksetujuan seseorang terhadap kebijakan kenaikan pajak oleh pemerintah merupakan contoh sikap politik. Dengan ketidaksetujuan tersebut dapat memunculkan perilaku protes atau unjuk rasa, namun dalam kenyataannya bisa saja perilaku tersebut tidak muncul akan tetapi setidaknya ada kecenderungan untuk itu. Sedangkan perilaku politik merupakan tindakan yang dilakukan oleh suatu subyek yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Subyek dapat berupa pemerintah dan dapat juga masyarakat. Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah berupa pembuatan keputusan-keputusan politik dan upaya pelaksanaan keputusan politik tersebut. Tindakan yang dilakukan oleh masyarakat berupaya untuk dapat mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik dari pemerintah. Berbagai kebijakan yang dikeluarakan pemerintah dapat menimbulkan berbagai macam reaksi. Ada yang menerima sebagaimana adanya, ada yang menyatakan penolakan, ada yang melakukan protes secara halus, ada yang melakukan unjuk rasa, dan ada pula yang lebih suka diam tanpa memberikan reaksi. Reaksi yang terakhir sangat menarik untuk dibahas. Diam bukan berarti tidak memiliki sikap politik, sebab dengan diam tidak berarti bahwa yang bersangkutan tidak memiliki penghayatan terhadap objek atau persoalan tertentu yang ada di sekitarnya. Jadi diam merupakan salah satu pilihan sikap yang dapat berarti setuju, dapat berarti netral, dapat pula berarti menolak, akan tetapi merasa tidak berdaya untuk membuat pilihan lain. Sebagaimana dinyatakan pada bagian sebelumnya sikap merupakan kecenderungan bertindak. Dengan demikian sikap masih bersifat internal dan 44 dapat mewujud pada sebuah perilaku politik jika dipengaruhi faktor-faktor eksternal oleh karena itu, perilaku politik tidak selamanya mewakili sikap politik seseorang. Seseorang yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah merupakan contoh sikap politik. Dengan sikap demikian tidak mesti akan memunculkan protes atau unjuk rasa namun bisa jadi karena adanya faktor-faktor tertentu orang yang bersangkutan tetap melaksanakan keputusan tersebut. Kondisi ini mengandung arti bahwa perilaku politiknya berbeda dengan sikap politik yang ada pada dirinya atau perilaku politiknya tidak mewakili sikap politiknya. Dari uraian di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa sikap relatif tidak mudah berubah sedangkan perilaku relatif dapat berubah sesuai dengan kondisi lingkungan yang dihadapi. Sikap tidak selalu diwujudkan dalam perilaku dan sebaliknya perilaku belum tentu cerminan dari sikap. Di samping perilaku politik sebagaimana telah diuraikan pada bagian atas, ada istilah lain yang hampir memiliki arti sama yaitu partisipasi politik. Sudijono Sastroatmodjo (1995:8) menyatakan bahwa kegiatan yang termasuk dalam pengertian partisipasi politik mencakup hal-hal sebagai berikut : 1) Partisipasi politik terwujud sebagai kegiatan atau perilaku luar individu warga negara biasa yang dapat diamati dan bukan berupa sikap dan orientasi. 2) Kegiatan itu diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan pelaksana keputusan politik. 3) Kegiatan yang berhasil maupun gagal dalam mempengaruhi keputusan politik pemerintah termasuk dalam partisipasi politik. 4) Kegiatan mempengaruhi politik pemerintah dapat dilakukan secara langsung tanpa melalui perantara, dan secara tidak langsung. 5) Kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat dilakukan melalui prosedur yang wajar tanpa kekerasan, dan dengan cara-cara yang tidak wajar. 6) Kegiatan individu untuk mempengaruhi pemerintah ada yang dilakukan atas kesadaran sendiri dan atas desakan atau paksaan dari pihak lain. Menurut Robert P. Clark alih bahasa Soekadijo (1989:101) konsep partisipasi politik meliputi berbagai pola perilaku sebagai berikut : 1) Kegiatan pemilihan umum, termasuk memberi suara, melakukan kampanye, berusaha meyakinkan orang lain untuk memberikan suaranya kepada seorang calon atau partai tertentu, atau berusaha dengan cara lain untuk mengubah hasil pemilihan. 45 2) Berusaha mempengaruhi sikap dan perilaku para pejabat pemerintah mengenai masalah-masalah yang berpengaruh atas sejumlah besar rakyat. 3) Kegiatan organisasi lainnya yang bukan usaha mempengaruhi para pejabat pemerintah dan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi suasana umum tempat pembuat kebijakan berlangsung (seperti usaha mempengaruhi pendapat umum tentang sesuatu masalah tertentu). 4) Mengadakan hubungan pribadi dengan pejabat pemerintah untuk mengemukakan keluhan-keluhan yang berhubungan dengan seseorang individu tertentu. 5) Kekerasan, yang berarti usaha mempengaruhi keputusan pemerintah dengan menimbulkan gangguan fisik kepada orang atau hak milik. Pengertian partisipasi politik dalam penelitian ini ialah kegiatan pribadi warga negara untuk ikut serta secara langsung maupun tidak langsung dalam mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan keputusan atau kebijakan pemerintah dalam kehidupan bernegara yang menyangkut kepentingan bersama di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Beberapa kegiatan politik yang secara langsung dapat dilakukan antara lain pencalonan diri dalam pemilihan umum, menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum, diskusi problematika masyarakat, ikut dalam kampanye-kampanye politik, membayar pajak, dan sebagainya. Sedangkan kegiatan politik yang sifatnya tidak langsung, misalnya membaca berita-berita politik dan mengenalinya agar dapat menyikapi persoalan-persoalan publik melalui lembaga-lembaga sukarela. Bila dihubungkan dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara, partisipasi politik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai wujud tanggung jawab warga negara yang berkesadaran politik tinggi dan baik. Partisipasi politik bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah sedangkan kebijakan pemerintah dalam rangka mencapai tujuan negara diwujudkan melalui kebijakan di bidang politik, bidang ekonomi, bidang sosial budaya, dan bidang pertahanan keamanan. Sesuai dengan batasan-batasan partisipasi politik yang telah diungkapkan pada bagian atas maka aspek yang akan diukur dalam penelitian ini yaitu : 1) Keterlibatan masyarakat dalam bidang politik. 2) Keterlibatan masyarakat dalam bidang ekonomi. 46 3) Keterlibatan masyarakat dalam bidang sosial-budaya. 4) Keterlibatan masyarakat dalam bidang pertahanan keamanan. Bertolak dari pemaparan mengenai pengertian partisipasi politik, bentukbentuk partisipasi politik, fungsi dan tujuan partisipasi politik, dan faktor-faktor penyebab timbulnya partisipasi politik di atas memberikan gambaran cukup jelas tentang pentingnya partisipasi politik dalam kehidupan bernegara. Perbedaanperbadaan tingkat partisipasi politik setiap warga negara menjadi fenomena yang sangat menarik di berbagai negara. Hal ini terjadi karena adanya berbagai faktor yang mempengaruhinya. Miriam Budiardjo (1998:9) menghubungkan antara banyak sedikitnya partisipasi politik seseorang dengan faktor-faktor tertentu sebagai berikut : Ternyata bahwa pendapatan (income), pendidikan, dan status merupakan faktor penting dalam proses partisipasi, atau dengan perkataan lain orang yang pendapatannya tinggi, yang berpendidikan baik, dan yang berstatus sosial tinggi, cenderung untuk lebih banyak berpartisipasi dari pada orang yang berpendapatan serta pendidikannya rendah. Dari pendapat di atas pendidikan dan status sosial merupakan dua faktor penting yang dimungkinkan memiliki hubungan yang sangat berarti dengan partisipasi politik warga masyarakat khususnya di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara. Untuk mengetahui secara jelas hubungan tersebut maka peneliti perlu melakukan sebuah penelitian yang terpercaya, maka konsep pendidikan dan status sosial menjadi bagian penting yang perlu dipaparkan terlebih dahulu. 2. Pendidikan a. Pengertian Pendidikan Pendidikan merupakan aktifitas mendasar dalam kaitannya dengan pembangunan peradaban manusia. Artinya, pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Tanpa pendidikan mustahil manusia dapat hidup berkembang maju, dan sejahtera. 47 Banyak ahli yang telah memberikan pengertian atau definisi mengenai pendidikan. Secara etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani ”Paedagogike”. Ini adalah kata majemuk yang terdiri dari kata ”Pais” yang berarti ”anak” dan kata ”Ago” yang berarti aku membimbing. Jadi, paedagogike berarti aku membimbing anak (Ath. Sudomo Hadi, 2003:17). Secara simbolis perbuatan membimbing seperti yang dikemukakan di atas merupakan inti perbuatan mendidik yang tugasnya hanya untuk membimbing saja. Pada suatu saat setelah selesai dibimbing seorang anak akan dikembalikan ke dalam masyarakat. Sedangkan definisi secara luas menurut Redja Mudyahardjo (2002:3) yaitu ”Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup”. Proses pendidikan dapat dilakukan dimana saja tidak hanya dilakukan pada lingkungan sekolah saja. Hakikatnya pendidikan juga berlangsung sepanjang hayat dalam berbagai kesempatan. Ngalim Purwanto (1998:11) mengemukakan ”Pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan”. Orang dewasa memiliki peran yang penting dalam usaha mengarahkan dan mengembangkan aspek jasmani dan rohani anak agar mencapai kedewasaan. Sedangkan menurut Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1994:70) ”Pendidikan hakikatnya suatu kegiatan yang secara sadar dan disengaja, serta penuh tanggung jawab yang dilakukan oleh orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan dan berlangsung terus menerus”. Usaha atau kegiatan yang dilakukan dalam rangka mendewasakan anak benar-benar sebagai suatu tidakan yang dilakukan secara sadar, disengaja dan penuh dengan tanggung jawab sehingga dapat menghasilkan output yang berkualitas. Dalam konteks ini usaha pendidikan tersebut hendaknya dapat berjalan terus menerus. Hasbullah (2005:2-3) mengutip dari pendapat beberapa tokoh pendidikan definisi-definisi pendidikan sebagai berikut : (1) Langeveld, mengartikan bahwa pendidikan adalah usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju pada kedewasaan anak itu, atau lebih tepatnya membantu anak agar cukup 48 cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri; (2) John Dewey, mengartikan pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia; (3) J.J Rousseau, mengartikan bahwa pendidikan adalah memberi kita perbekalan yang tidak ada pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita membutuhkan pada waktu dewasa; (4) Driyarkara, mengartikan pendidikan pemanusiaan manusia muda atau pengangkatan manusia kearah insani; (5) Ahmad D. Mariba, mengartikan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama. Dari pendapat lima tokoh pendidikan di atas secara umum definisi pendidikan mengandung arti sebagai usaha sadar dalam membantu proses menuju terbentukanya kedewasaan anak didik secara jasmani dan rohani sebagai bekal kehidupannya kelak. Dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yaitu pada pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa : Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan berkenaan dengan perkembangan dan perubahan kelakuan anak didik, trasmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, ketrampilan dan aspek-aspek kelakuan lainnya kepada generasi muda. Hal ini perlu diupayakan secara nyata agar kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara senatiasa terjaga eksistensinya. Berdasarkan pendapat diatas dapat penulis simpulkan bahwa pendidikan adalah usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk mengembangkan potensi peserta didik secara jasmani dan rohani atau intelaktual dan emosional melalui bantuan bimbingan, pengajaran, dan pelatihan bagi peranannya di masa yang akan datang. b. Dasar, Fungsi, dan Tujuan Pendidikan Dasar merupakan sesuatu yang dipakai sebagai landasan berpijak dan dari sanalah segala aktivitas yang ada di atasnya akan dijiwai atau diwarnainya. Dasar 49 dari pelaksanaan pendidikan nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam pasal 31 ayat (1) UUD 1945 yang telah diamandemen tertulis bahwa ”Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Selanjutnya dalam ayat (3) berbunyi ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undangundang”. Berdasarkan kedua ayat ini sesungguhnya setiap warga negara Indonesia baik yang kaya maupun yang miskin, di desa maupun di kota berhak mendapatkan pendidikan yang baik bagi kehidupannya. Pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan yang sah diharapkan mampu mewujudkan pendidikan yang adil dan merata bagi seluruh rakyatnya sebagaimana di atur dalam undang-undang. Apabila suatu lembaga pendidikan akan menyelenggarakan suatu usaha pendidikan maka terlebih dahulu harus dirumuskan tujuannya secara jelas. Demikian pula dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, tujuan dan fungsi yang terkandung di dalamnya akan menjadi pedoman bagi lembaga penyelenggara pendidikan di bawahnya baik di tingkat propinsi sampai tingkat sekolah. Fungsi dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 pasal 3 sebagai berikut : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab. Tujuan pendidikan nasional sebagaimana dikemukakan di atas harus dapat terjabarkan dalam setiap pelaksanaan pendidikan. Berbagai bentuk startegi dan kegiatan harus mengarah pada terwujudnya tujuan pendidikan nasional. Kurikulum merupakan salah satu sarana yang digunakan untuk mewujudkan citacita tersebut, maka walaupun terdapat perubahan-perubahan bentuk dari waktu ke waktu hendaknya tetap mengacu pada tujuan yang telah ditetapkan dalam undangundang tersebut. 50 Ngalim Purwanto (1998:20) menyebutkan ”Tujuan pendidikan bermacammacam yaitu tujuan umum, tujuan tidak lengkap, tujuan sementara, tujuan perantara dan tujuan insidental”. Penjelasan dari tujuan-tujuan tersebut sebagai berikut: 1) Tujuan umum Tujuan umum adalah tujuan di dalam pendidikan yang seharusnya menjadi tujuan orang tua dan pendidik lain, yang telah ditetapkan oleh pendidik dan selalu dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang terdapat pada anak didik itu sendiri dan dihubungkan dengan syarat-syarat dan alat-alat untuk mencapai tujuan umum itu. Tujuan umum selalu dilaksanakan dalam bentuk-bentuk yang khusus (diperkhusus) mengingat keadaan-keadaan dan faktor-faktor yang terdapat pada anak didik sendiri dan lingkungannya, seperti sifat pembawaan anak, kemampuan-kemampuan yang ada pada anak didik sendiri, dan tempat pendidikan. 2) Tujuan tidak lengkap Tujuan tidak lengkap adalah tujuan-tujuan mengenai segi kepribadian manusia yang hendak dicapai dengan pendidikan itu, yaitu segi-segi yang berhubungan dengan nilai-nilai hidup tertentu, seperti keindahan, kesusilaan, keagamaan, dan kemasyarakatan. 3) Tujuan sementara Tujuan sementara merupakan tingkatan-tingkatan menuju kepada tujuan umum, seperti anak-anak dilatih untuk belajar kebersihan, belajar berbicara, belajar berbelanja, dan belajar bermain-main dengan temannya. 4) Tujuan perantara Tujuan ini bergantung pada tujuan-tujuan sementara. Misalkan tujuan sementara adalah anak harus membaca dan menulis. Setelah ditentukan untuk apa anak belajar membaca dan menulis maka berbagai macam kemungkinan untuk mencapainya dipandang sebagai tujuan perantara seperti metode mengajar dan metode membaca. 51 5) Tujuan insidental Di dalam tiap-tiap situasi terdapat tujuan-tujuan terpisah yang dilaksanakan meskipun tujuan-tujuan itu masih ada hubungannya dengan tujuan umum. Sedangkan menurut Ath. Sudomo Hadi (2003:100) ”Pendidikan sering ditafsirkan sebagai suatu aktivitas untuk membimbing anak, agar anak itu mencapai kedewasaannya. Dewasa dalam hal ini adalah dewasa baik jasmani maupun rohaninya”. Apabila dilihat dari definisi pendidikan tersebut, maka terkandung tujuan pendidikan yaitu mencapai kedewasaan secara jasmani dan rohani. Berikut ini penjelasan dari dewasa jasmani dan rohani. 1) Dewasa jasmani Dewasa jasmani ditandai apabila anak telah sempurna pertumbuhan jasmaninya dan telah masuk untuk bereproduksi (mengadakan keturunan). Dewasa jasmani pada umumnya ditandai dengan perkembangan alat kelamin. 2) Dewasa rohani Dewasa rohani apabila anak telah dapat menyesuaikan diri dengan aspekaspek berikut: (a) Aspek sosiologis Bila telah dapat memenuhi syarat-syarat hidup bersama (norma) dan telah mengerjakan beberapa tugas kemasyarakatan, misalnya mampu bergaul, mampu berperan dengan tepat, dan mampu berpartisipasi secara konstruktif. (b) Psychologis Beberapa fungsi jiwa telah berkembang sehingga menilai betul-salah, dan mampu menampung pendapat orang lain secara rasional. (c) Karakterologis Bila fungsi-fungsi kejiawaan telah berkembang sebagai satu kesatuan yang bercorak tertentu, bersifat stabil dan menjadi dasar kelakuan selanjutnya. Dia mampu menilai baik-buruk, susila atau tidak susila. 52 (d) Paedagogis Bila anak telah mampu menentukan sendiri dalam bertindak dan bertanggungjawab atas segala tindakanya tersebut. (e) Yuridis Bila anak menurut umurnya telah dapat dikenai hukum atas perbuatanperbuatannya yang salah. (f) Fisiologis Manusia sebagai pribadi yang telah mencapai kesadaran intelektual mengenai ide-ide yang bersifat tetap. (g) Psykologis klinis Kedewasaan individu ditentukan oleh bagaimana ia dapat mengatasi konflik yang ada padanya. Hakikat pendidikan ialah tercapainya kedewasaan rohani yang dapat ditandai dari kedewasaan dalam aspek sosiologis. Setiap individu dituntut untuk dapat memahami norma-norma dan mampu beradaptasi di lingkungannya. Brown dalam Charles (1965:1) menyatakan ”Education is a principal instrument in awakening the child to cultural values, in preparing him for later profesional training, and in helping him to adjust normally to his environment. In these days, it is doubtful that any child may reasonably be expected to succeed in life if he is denied the opportunity of an education. Pendapat tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut: Pendidikan adalah suatu instrumen utama dalam membangkitkan anak tentang nilai-nilai budaya, menyiapkan masa depannya melalui pelatihan profesional, dan membantu dia untuk melakukan penyesuaian secara normal di lingkungannya. Melalui pendidikan seseorang diharapkan mampu bergaul dengan baik, mampu berperan sesuai dengan norma, hak dan kewajibannya yang pada akhirnya juga mampu berpartisipasi dalam berbagi kegiatan di masyarakat. c. Jenis-Jenis Pendidikan Pendidikan memiliki berbagai jenis yang dapat dibeda-bedakan atau digolong-golongkan antara lain berdasarkan sifatnya, berdasarkan tingkat pendidikan, dan berdasarkan tempat berlangsungnya. 53 1) Berdasarkan sifat pendidikan Menurut Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1991:97) mengemukakan bahwa menurut sifatnya pendidikan dibedakan menjadi tiga sebagai berikut: (a) Pendidikan informal, yaitu pendidikan yang diperoleh seseorang dari pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar sepanjang hayat. Pendidikan ini dapat berlangsung dalam keluarga dalam pergaulan seharihari maupun dalam pekerjaan, masyarakat, keluarga, organisasi; (b) Pendidikan formal, yaitu pendidikan yang berlangsung secara teratur, bertingkat dan mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat. Pendidikan ini berlangsung di sekolah; (c) Pendidikan non formal, yaitu pendidikan yang dilaksanakan secara tertentu dan sadar tetapi tidak terlalu mengikuti peraturan yang ketat. Pendidikan informal merupakan pendidikan luar sekolah yang tidak dilembagakan biasanya dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berupa kegiatan belajar mandiri. Pendidikan non formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan pelengkap pendidikan formal. Pendidikan formal biasanya diselenggarakan oleh pemerintah dan sewasta. Sedangkan pendidikan non formal biasanya berupa kursus-kursus atau pendidikan yang berhubungan dengan keahlian dalam suatu bidang ilmu atau profesi tertentu Pendidikan informal, pendidikan formal, dan pendidikan nonformal merupakan jalur pendidikan yang dapat saling melengkapi dan memperkaya. Sedangkan jalur pendidikan merupakan wahana yang dilalui peserta didik dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya dalam suatu proses pendidikan. 2) Berdasarkan tingkat pendidikan Pendidikan formal adalah salah satu jalur pendidikan yang memiliki tingkatan atau jenjang. Selanjutnya, jenjang pendidikan merupakan tahapan pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang hendak dikembangkan bagi peserta didik. Dalam UU No.20 tahun 2003 pasal 14 disebutkan bahwa ”Jenjang pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi”. Selain jenjang pendidikan diatas ada juga jenjang pendidikan 54 pra sekolah sebagai persiapan untuk memasuki sekolah dasar. Secara rinci jenjang pendidikan formal meliputi sebagai berikut: a) Pendidikan pra sekolah Pendidikan pra sekolah bertujuan untuk membantu meletakkan dasar kearah perkembangan sikap, pengetahuan, ketrampilan, dan daya cipta yang diperlukan anak didik dalam perkembangan selanjutnya. b) Pendidikan dasar Pendidikan dasar meliputi SD dan SMP. Pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan ketrampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah. c) Pendidikan menengah Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan mengadakan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi. d) Pendidikan tinggi Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan dokter yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Pendidikan tinggi diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan profesional sehingga dapat menerapkan, mengembangkan, dan menciptakan ilmu pengetahuan dan teknologi. 55 Menurut Crow and Crow dalam Ath. Sudomo Hadi (2003:139-140) jenis dan tingkat pendidikan di sekolah sebagai berikut: Tingkat TK nol kecil disebut Nursery Education Tingkat TK nol besar disebut Infant Education Tingkat pendidikan dasar (yang dimaksud SD) disebut Elementary Education Tingkat SMTP disebut Yunior Hight School Tingkat SMTA disebut Senior Hight School Sekolah Tinggi disebut University Sekolah Tinggi khusus disebut Collage Berdasarkan tingkat pendidikan di atas, Taman Kanak-Kanak nol kecil maupun nol besar dapat digolongkan sebagai pendidikan pra sekolah. Pendidikan tersebut bertujuan sebagai persiapan untuk memasuki sekolah dasar. 3) Berdasarkan tempat berlangsungnya Selain berdasarkan sifat dan tingkatnya, pendidikan juga dapat digolongkan berdasarkan tempat berlangsungnya. Menurut Ki Hajar Dewantara dalam Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1991:96) pendidikan menurut tempatnya dibedakan menjadi tiga yaitu ”Pendidikan di dalam keluarga, pendidikan di dalam sekolah dan pendidikan di dalam masyarakat”. Ketiga bentuk pendidikan tersebut dinamakan Tri Pusat Pendidikan. Berikut ini penjelasan dari masing-masing bentuk pendidikan berdasarkan tempat berlangsungnya: a) Pendidikan keluarga Pendidikan keluarga merupakan pendidikan utama karena di dalam lingkungan ini segala potensi yang dimiliki manusia dapat terbentuk dan sebagian dapat dikembangkan. Bentuk pendidikan yang diberikan biasanya tentang nilai-nilai religius, moral, dan etika sopan santun. Cara yang digunakan dalam pendidikan keluarga dilakukan secara tidak langsung misalnya dengan sindiran, ungkapan dan contoh-contoh nyata. Tujuan dari pendidikan keluarga ialah agar terbentuk mental pribadi yang kuat sebagai pondasi dasar untuk melanjutkan pendidikan lainnya. b) Pendidikan sekolah Pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah dan seorang guru bertanggung jawab terhadap pendidikan intelektual dan 56 ketrampilan yang berhubungan dengan kebutuhan anak untuk hidup di dalam masyarakat sesuai dengan tuntutan masyarakat. c) Pendidikan masyarakat Pendidikan di dalam masyarakat dilakukan oleh para tokoh masyarakat dan orang-orang yang berpengaruh di dalam masyarakat, sedangkan pelaksanaannya dilaksanakan oleh lembaga-lembaga masyarakat, organisasi masyarakat dan sebagainya. d. Pengaruh Pendidikan Pendidikan memiliki pengaruh yang besar bagi setiap manusia menuju kearah kemajuan hidup karena pendidikan senantiasa memberikan dan menanamkan pengetahuan dan ketrampilan. Sondang P. Siagian dalam Khairudin H (1992:106) menyatakan bahwa pendidikan paling tidak memberikan pengaruh pada beberapa hal, yaitu: 1) Semakin timbulnya kesadaran bernegara dan bermasyarakat pada gilirannya memungkinkan mereka turut berperan secara aktif dalam memikirkan dan memperbaiki nasib bangsanya. 2) Semakin timbulnya kesadaran untuk memenuhi kewajibannya yang terletak di atas pundaknya sebagai warga negara yang bertanggung jawab. 3) Semakin terbukanya pikiran dan akalnya untuk memperjuangkan haknya. 4) Pandangan yang makin luas dan obyektif dalam kehidupan bermasyarakat. 5) Semakin meluasnya cakrawala pandangan dengan segala konsekuensinya. 6) Meningkatnya kemampuan untuk menentukan pilihan dalam pemuasan kebutuhan hidup yang tidak lagi semata-mata terbatas pada kebutuhan pokok tetapi juga kebutuhan lainnya. 7) Meningkatnya kemampuan untuk memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapi, baik pada tingkat individu maupun pada tingkat sosial. 8) Pandangan yang semakin kritis terhadap hal-hal yang dilihat dan dirasakan sebagai suatu hal yang berlangsung tidak sebagai mana mestinya. 9) Keterbukaan terhadap ide baru dan pandangan baru yang menyangkut berbagai segi kehidupan bernegara dan bermasyarakat. 10) Keterbukaan pada pergeseran nilai-nilai sosial budaya baik yang timbul karena faktor-faktor yang sifatnya endogen maupun sifatnya eksogen. 57 Berdasarkan pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh positif bagi setiap individu dalam rangka memajukan kehidupan diri dan bangsanya. Suatu bangsa yang masyarakatnya berpendidikan tinggi maka bangsanya pun akan lebih maju dibanding bangsa yang berpendidikan rendah. Berbicara tentang pengaruh pendidikan umumnya akan mengacu pada pendidikan di sekolah. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memiliki jenjang atau struktur yang sistematis dan memiliki sejumlah fungsi yang nyata. 1) Jenjang pendidikan sekolah Pendidikan di Indonesia khususnya lembaga sekolah memiliki jenjang atau tingkatan. Menurut Ath. Soedomo Hadi (2003:139) ”Jenjang pendidikan merupakan tahap pendidikan berkelanjutan yang didasarkan pada tingkat perkembangan anak (peserta didik), dan keluasan bahan pengajaran”. Jenjang pendidikan merupakan tahapan pendidikan yang berkelanjutan dan didasarkan pada tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang hendak dikembangkan bagi peserta didik. Setiap jenjang pendidikan yang satu dan lainnya memiliki tingkat kedalaman materi yang berbeda-beda, semakin tinggi jenjang yang ditempuh semakin tinggi pula kedalaman materi yang diterima oleh peserta didik. Demikian pula dalam intern jenjang pendidikan juga terdapat kedalaman materi yang berbeda, misalnya materi yang diberikan di tingkat SMP kelas VIII lebih kompleks daripada materi yang diterima siswa SMP kelas VII. Hal ini tentu akan berpengaruh pada kualitas pengetahuan dan wawasan yang diterima oleh siswa yang telah menempuh pendidikan sampai lulus atau sampai pada tahun tertentu saja. Jenjang pendidikan sekolah beserta masa studinya di Indonesia menurut hasil penganalisisan penulis sebagai berikut: a) Taman Kanak-Kanak (TK) Masa studi di TK minimal 2 tahun dengan perincian sebagai berikut : (1) TK nol kecil, masa studi : minimal1 tahun (2) TK nol besar, masa studi : minimal 1 tahun b) Sekolah Dasar (SD) dan sederajad. Masa studi di SD minimal 6 tahun dengan perincian sebagai berikut : 58 (1) Kelas I, masa studi : minimal 1 tahun. (2) Kelas II, masa studi : minimal 1 tahun. (3) Kelas III, masa studi : minimal 1 tahun. (4) Kelas IV, masa studi : minimal 1 tahun. (5) Kelas V, masa studi : minimal 1 tahun. (6) Kelas VI, masa studi : minimal 1 tahun. c) Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sederajad. Masa studi di SMP minimal 3 tahun dengan perincian sebagai berikut : (1) Kelas VII, masa studi : minimal 1 tahun. (2) Kelas VIII, masa studi : minimal 1 tahun. (3) Kelas IX, masa studi : minimal 1 tahun. d) Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajad. Masa studi di SMA minimal 3 tahun dengan perincian sebagai berikut : (1) Kelas X, masa studi : minimal 1 tahun. (2) Kelas XI, masa studi : minimal 1 tahun. (3) Kelas XII, masa studi : minimal 1 tahun. e) Program Diploma Masa studi pada program diploma sesuai dengan program diploma yang diambil dengan perincian sebagai berikut : (1) Diploma I (D1), masa studi yang harus ditempuh selama 1tahun. (2) Diploma II (D2), masa studi yang harus ditempuh selama 2 tahun. (3) Diploma III (D3), masa studi yang harus ditempuh selama 3 tahun. f) Perguruan Tinggi (PT) Masa studi di Perguruan Tinggi menyesuaikan dengan jenjang yang diambil dengan perincian sebagai berikut : (1) Strata 1 (S1), masa studi minimal 4 tahun . (2) Strata II (S2), masa studi minimal 2 tahun. (3) Strata III (S3), masa studi minimal 2 tahun. 2) Fungsi pendidikan sekolah Menurut David Popenoe dalam Vembriarto (1990:80) fungsi pendidikan sekolah yaitu ”(1) Transmisi kebudayaan masyarakat. (2) Menolong individu 59 memilih dan melakukan peran sosialnya. (3) Menjamin integrasi sosial. (3) Sebagai sumber inovasi sosial”. Penjelasan dari keempat fungsi di atas yaitu : a) Transmisi kebudayaan masyarakat Fungsi sekolah dalam mentrasmisi kebudayaan masyarakat tidak hanya terbatas pada transmisi pengetahuan dan ketrampilan saja tetapi juga mencakup transmisi sikap, niai-nilai dan norma-norma. Pelajaran tersebut dilakukan secara langsung, misalnya tentang falsafah negara, sifat-sifat warga negara yang baik, struktur pemerintahan, sejarah bangsa, dan sebagainya. b) Menolong individu memilih dan melakukan peran sosialnya Pendidikan sekolah berfungsi menyaring dan mengarahkan pilihan anak mengenai spesialisasi pekerjaannya kelak dalam masyarakat. Di samping itu sekolah juga mengajarkan kepada anak akan perannya sebagai anak dan sebagai pemuda, sebagai siswa, dan sebagai warganegara yang baik. c) Menjamin integrasi sosial Dalam masyarakat yang bersifat heterogen dan pluralistik, menjamin integrasi sosial merupakan fungsi pendidikan sekolah yang terpenting. Untuk menjamin integrasi sosial tersebut, sekolah perlu mengajarkan bahasa nasional sebagai bahasa persatuan. Sekolah juga perlu mengajarkan kepada anak tentang corak kepribadian nasional melalui pelajaran sejarah, geografi, kewarganegaraan, upacara bendera, lagu-lagu nasional dan sebagainya. Pengenalan kepribadian nasional ini akan menimbulkan perasaan nasionalisme, patriotisme, rela berkorban dan cinta tanah air. d) Sebagai sumber inovasi sosial Out put sekolah diharapkan dapat menghasilkan manusia-manusia yang berguna. Melalui kegiatan penelitian-penelitian yang dilakukan para akademisi akan membawa pembaharuan dalam masyarakat, baik inovasi dalam teknologi, kemajuan ilmu pengetahuan maupun kehidupan masyarakat. Sekolah merupakan tempat berlangsungnya sosialisasi secara formal. Salah satu bentuk sosialisasi yang dikembangkan di sekolah adalah sosialisasi politik. Hal ini dapat terlihat dari adanya kewajiban penerapan pendidikan kewarganegaraan dalam segala jenjang pendidikan sekolah mulai dari tingkat 60 sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Sosialisasi politik merupakan bentuk pembelajaran dan pengenalan akan hak dan kewajiban sebagai warganegara yang baik dalam peran sertanya membangun bangsa. Upaya sosialisasi politik yang berkesinambungan akan melahirkan generasi yang peduli terhadap kondisi bangsa dan diwujudkan dalam bentuk keterlibatannya di dalam kegiatan politik. e. Pengukuran Pendidikan Dalam penelitian ini pendidikan yang dimaksudkan adalah lama pendidikan yang telah ditempuh seseorang dalam pendidikan formal. Adapun penggolongan jumlah tahun studi pendidikan formal yang hendak dilakukan oleh peneliti dapat dijelaskan dalam tabel berikut ini: Tabel 2.2 Penggolongan Jumlah Tahun Studi Pendidikan Formal No. Pendidikan yang Ditempuh Komulatif Tahun Studi 1 SD dan sederajad sampai kelas I 1 tahun SD dan sederajad sampai kelas II 2 tahun SD dan sederajad sampai kelas III 3 tahun SD dan sederajad sampai kelas IV 4 tahun SD dan sederajad sampai kelas V 5 tahun SD dan sederajad sampai kelas VI / 6 tahun lulus 2 SMP dan sederajad sampai kelas VII 7 tahun SMP dan sederajad sampai kelas VIII 8 tahun 3 4 SMP dan sederajad sampai kelas IX / lulus SMA dan sederajad sampai kelas X SMA dan sederajad sampai kelas XI SMA dan sederajad sampai kelas XII / lulus D1 atau S1 tingkat 1 D2 atau S1 tingkat 2 D3 atau S1 tingkat 3 S1 tingkat 4 S2 tingkat 1 S2 tingkat 2 S3 tingkat 1 S3 tingkat 2 9 tahun 10 tahun 11 tahun 12 tahun 13 tahun 14 tahun 15 tahun 16 tahun 17 tahun 18 tahun 19 tahun 20 tahun 61 Pendidikan merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia, khsusnya bagi keberlangsungan suatu negara menuju eksistensinya di dunia. Berbagai ilmu pengetahuan dan wawasan diperoleh melalui pendidikan khususnya dalam pendidikan formal. Salah satu ilmu pengetahuan yang ditanamkan dalam pendidikan sekolah ialah tentang politik. Melalui pembelajaran politik yang maksimal diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan politik. Pendidikan dengan partisipasi politik memiliki keterkaitan sebagaimana diungkapkan Arifin Rahman (1998:133) sebagai berikut : Di kebanyakan negara, pendidikan tinggi sangat mempengaruhi partisipasi politik, mungkin karena pendidikan tinggi, dapat memberikan informasi tentang politik dan persoalan-persoalan politik, bisa menggambarkan kecakapan menganalisis dan menciptakan minat dan kemampuan berpolitik. Juga di banyak negara, lembaga pendidikan dan kurikulumnya sengaja berusaha mempengaruhi proses sosialisasi politik kaum muda. Hal ini hampir terjadi di semua negara baik yang komunis, otoriter maupun demokratis. Pendapat di atas menegaskan bahwa pendidikan memiliki hubungan dengan partisipasi politik dan hal ini dapat terjadi diberbagai negara yang menerapkan sistem politik yang berbeda-beda baik negara komunis, otoriter maupun dalam negara demokratis. Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi Pancasila maka untuk mengetahui hubungan antara pendidikan dengan partisipasi politik yang berlangsung di dalamnya perlu di dilakukan suatu penelitian. 3. Status Sosial a. Pengertian Status Sosial Secara kodrati manusia dilahirkan dengan memiliki sejumlah perbedaan serta kemampuan yang tidak sama antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. Perbedaan-perbedaan itu dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu perbedaan penduduk ke dalam kelompok horisontal atau tidak bertingkat dan perbedaan penduduk ke dalam kelompok secara vertikal atau bertingkat. Perbedaan yang tidak menunjukkan tingkatan disebut diferensiasi sosial antara 62 lain berupa perbedaan ras, gender, etnis dan agama. Sedangkan perbedaan yang menunjukkan tingkatan dalam masyarakat disebut stratifikasi sosial, berupa lapisan sosial atas, menengah dan bawah. Stratifikasi sosial ditandai dengan adanya penggolongan individu ke dalam lapisan-lapisan sosial tertentu secara bertingkat atau hierarkis. Penggolongan tersebut akan selalu terjadi selama ada sesuatu yang dihargai dalam masyarakat. Seseorang yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah banyak ditempatkan pada lapisan atas sedangkan seseorang yang memiliki sedikit atau sama sekali tidak memiliki sesuatu yang berharga akan ditempatkan pada lapisan yang lebih rendah. Sistem pelapisan ini tentu akan menunjukkan tinggi rendahnya kedudukan atau status seseorang dalam masyarakat. Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan hakikatnya kajian tentang stratifikasi sosial tidak dapat dilepaskan dengan istilah kedudukan sosial atau status sosial. Sebelum dibahas tentang pengertian status sosial ada baiknya perlu dibahas terlebih dahulu istilah status dan istilah sosial berikut ini. 1) Status Menurut Hendropuspito (1989:103) kata ”status” berasal dari kata Latin stare yang artinya ”berdiri”. Secara harafiah berarti berdiri secara fisik dengan ke dua kaki di atas tanah. Menurut adat Barat orang harus berdiri kalau hendak menghormati orang penting yang lewat di dekatnya. Sedangkan dalam tradisi di Indonesia khususnya dan Asia pada umumnya orang bawahan tidak boleh berdiri kalau ada orang penting lewat tetapi harus duduk sebagai tanda hormat terhadap orang yang harus disegani. Selanjutnya pengertian ”berdiri” (status) dan pengertian ”duduk” (kedudukan) diaplikasikan dalam kehidupan di masyarakat. Di dalam masyarakat setiap orang harus mempunyai tempat untuk berdiri atau tempat untuk duduk. Dengan kata lain, setiap orang harus mempunyai status sosial atau kedudukan sosial. Dalam uraian selanjutnya pengertian status dan kedudukan diberi arti yang sama. Soerjono Soekanto (2002:239) menyatakan ”Kedudukan diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial”. Perbedaan kedudukan seseorang dari yang berkedudukan tinggi sampai yang berkedudukan rendah, 63 seolah-olah merupakan lapisan yang bersap-sap dari atas ke bawah. Jika diamati secara mendalam maka pada setiap masyarakat atau kelompok terdapat beberapa orang yang lebih dihormati dari orang lain. Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1996:118) “Status is usually defined as the position of an individual in a group, or of a group in relation to other groups”. Dari konsep tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut: Status atau kedudukan didefinisikan sebagai suatu peringkat atau posisi seorang dalam suatu kelompok, atau posisi suatu kelompok dalam hubungannya dengan kelompok lain. Status tidak hanya menyangkut posisi individu dalam suatu kelompok saja namun juga menyangkut posisi suatu kelompok satu dengan kelompok lainnya dalam masyarakat. Sedangkan menurut Keith Davis dan John W. Newstrom (1985:54) ”Status adalah peringkat sosial seseorang dalam sebuah kelompok. Status adalah tanda dari kadar pengakuan, penghargaan, dan penerimaan yang diberikan kepada seseorang”. Status menempatkan seseorang pada suatu posisi atau peringkat tertentu sebagai wujud pengakuan, penghargaan dan penerimaan yang diberikan oleh pihak lain pada seseorang dalam masyarakat. Sejak peradaban manusia ada maka sejak itu pula ada pembagian status. Kapan saja setiap terbentuk suatu kelompok masyarakat, selalu ada kemungkinan muncul perbedaan status. Pengertian status menurut Joseph Curran (1977:47) yaitu ”A status is the rank or level of an individual or group relative to the position of other individuals or groups in a society. Further, a status is the set of privileges and responsibilities attached to a position within the social order”. Pengertian tersebut secara bebas dapat diartikan sebagai berikut: Suatu status adalah renking atau tingkat dari suatu individu atau kelompok sehubungan dengan posisi individu lain atau kelompok di dalam suatu masyarakat. Lebih lanjut, suatu status adalah serangkaian hak dan tanggungjawab yang berkaitan dengan suatu posisi di dalam lingkungan sosial. Menurut Ralph Linton sebagaimana dikutip Kamanto Sunarto (2000:54) ”Status ialah suatu kumpulan hak dan kewajiban”. Definisi lebih lengkap sebagaimana diungkapkan Phil Astrid S. Susanto (1983:75) yaitu ”Status merupakan kedudukan obyektif yang memberi hak dan kewajiban kepada orang 64 yang menempati kedudukan tadi”. Pengertian ini telah menegaskan bahwa status merupakan seperangkat hak dan kewajiban yang perlu diperankan. Seseorang yang berada pada kedudukan tertentu dalam masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hak dan kewajiban yang disandang seseorang tidak akan berarti bila tidak pernah dipergunakan dalam masyarakat. Berdasarkan beberapa pendapat tentang status di atas maka dapat disimpulkan bahwa status adalah tingkat atau posisi seseorang atau kelompok dalam hubungannya dengan orang lain atau kelompok lain. Status juga akan melahirkan hak dan kewajiban bagi orang yang menempati tingkatan atau posisi tersebut dalam masyarakat. 2) Sosial Istilah ”sosial” dalam bahasa Latin berasal dari kata ”socius” yang berarti kawan atau teman dan ”societes” yang berarti masyarakat. Hakikatnya manusia adalah makhluk yang tidak dapat dipisahkan dari manusia lainnya dalam suatu kelompok masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Hal inilah yang menjadi dasar mengapa manusia disebut sebagai makhluk sosial. Menurut Haryono (2006:102) ”Pengertian sosial adalah pergaulan hidup manusia dalam bermasyarakat yang mengandung nilai-nilai kebersamaan, senasib sepenanggungan dan solidaritas sebagai unsur pemersatu kelompok sosial”. Sosial merupakan situasi dimana saling hubungan antara manusia satu dengan lainnya. Manusia tidak dapat dilepaskan dari lingkungan dan situasi atau keadaan yang memungkinkan seseorang untuk saling berinteraksi satu sama lain di dalamnya. Keberlangsungan interaksi yang harmonis dalam masyarakat akan menciptakan kehidupan yang berkualitas sesuai dengan harapan bersama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kata ”sosial” merujuk pada suatu bentuk interaksi atau hubungan yang berlangsung dalam masyarakat antara manusia yang satu dengan manusia lainnya. 3) Status Sosial Hendropuspito (1989:103) menyatakan ”Kedudukan atau status sosial adalah tempat yang diambil seseorang dalam masyarakat”. Pengertian tempat 65 disini tentu tidak diartikan secara geografis namun tempat diartikan sebagai lokasi di dalam pikiran orang atau kelompok orang yang tinggal dalam suatu lingkungan budaya tertentu. Sementara itu Soerjono Soekanto menyamakan istilah kedudukan sosial dengan status sosial (social status). Lebih lanjut Surjono Soekanto (2002:239) menegaskan ”Kedudukan sosial artinya adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta kewajibankewajibannya”. Kedudukan seseorang dalam masyarakat sudah pasti akan menyebabkan konsekuensi-konsekuensi yang harus diperankan sesuai dengan hak dan kewajibannya masing-masing. Hartomo dan A. Aziz (1999:195) berpendapat bahwa ”Status sosial merupakan kedudukan seseorang (individu) dalam suatu kelompok pergaulan hidupnya”. Dalam pergaulan hidup sehari-hari seseorang dapat mempunyai beberapa kedudukan. Seorang ayah sebagai warga masyarakat bisa berkedudukan sebagai guru, kepala keluarga, suami dan sebagainya. Dengan baragamnya kedudukan yang ditempati maka semakin beragam pula hak dan kewajiban yang harus dijalankannya. Berdasarkan pengertian-pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa status sosial adalah tingkatan atau posisi seseorang dalam suatu masyarakat yang dijadikan tempat pergaulannya, di mana posisi tersebut akan membawa konsekuensi akan hak-hak dan kewajiban yang harus diperankan oleh orang tersebut. Dengan demikian berbicara tentang status sosial akan selalu berkaitan dengan peran. Sedangkan peran itu sendiri adalah perilaku yang diharapkan dari seseorang yang mempunyai suatu status. Dengan kata lain, status dan peran adalah dua aspek dari gejala yang sama. Jika status adalah seperangkat hak dan kewajiban maka peran adalah pemeranan dari perangkat kewajiban dan hak-hak tersebut. b. Jenis-Jenis Status Sosial Seseorang dalam masyarakat biasanya memiliki beberapa kedudukan sekaligus. Namun dari berbagai macam kedudukan (status) yang dimiliki itu, 66 biasanya yang menonjol hanya satu kedudukan utama. Oleh karena itu orang yang bersangkutan digolongkan dalam kelas-kelas tertentu dalam masyarakat. Masingmasing kedudukan tersebut dapat diperoleh dengan cara-cara yang berbeda. Menurut Soerjono Soekanto (2002:240-241) secara umum berdasarkan cara memperolehnya, ada tiga macam status sosial yaitu ” Ascribed Status, Achieved Status, dan Assigned Status”. Penjelasan dari ketiga macam status sosial tersebut adalah sebagai berikut: 1) Ascribed Status Ascribed Status yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan tersebut diperoleh dengan sendirinya. Seseorang bisa mendapatkan status tertentu tanpa upaya yang berarti bahkan diluar kekuasaannya sama sekali. Salah satunya karena faktor kelahiran, misalnya seseorang memperoleh statusnya berdasarkan jenis kelamin perempuan atau laki-laki. Sebagai perempuan ia bisa bersetatus menjadi istri dan ibu rumah tangga sedangkan laki-laki karena dilahirkan demikian ia tidak bisa menggantikan peran perempuan untuk melahirkan. Selain didasarkan faktor kelahiran, status seseorang juga bisa didasarkan atas usia atau kelompok umur misalnya anak, orang dewasa, dan manusia usia lanjut. Pada umumnya Ascribed Status dijumpai pada masyarakat-masyarakat dengan sistem lapisan tertutup dan sedikit sekali pada masyarakat dengan sistem terbuka. Misalnya, kedudukan laki-laki dalam suatu keluarga sebagai kepala keluarga nampaknya tetap eksis walaupun saat ini telah digencarkan istilah emansipasi wanita. Kedudukan seorang ibu dalam masyarakat secara relatif berada di bawah kedudukan seorang ayah sebagai kepala keluarga. 2) Achieved Status Achieved Status yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh atas dasar kelahiran namun didapatkan dengan cara berusaha atau berjuang melalui persaingan. Status ini juga bersifat terbuka bagi siapapun tergantung dari kemampuan masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan-tujuannya. 67 Status yang tinggi bagi seorang dokter adalah hasil capaiannya, ia berusaha memperlihatkan rasa kemanusiaannya yang tinggi. 3) Assigned Status Assigned Status merupakan kedudukan yang diberikan. Assigned status sering mempunyai hubungan erat dengan achieved status dalam arti bahwa suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi kepada seseorang yang telah berjasa atau yang telah memperjuangkan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Akan tetapi kadangkadang status tersebut diberikan karena seseorang telah lama menduduki jabatan tertentu, misalnya seorang pegawai negeri naik pangkat setelah mengabdi selama jangka waktu tertentu sesuai ketentuan yang berlaku. Ascieved Status, Achieved Status, dan Assigned Status merupakan proses mendapatkan status sosial yang hingga kini masih ada dalam kehidupan masyarakat. Setiap masyarakat memberikan status pada para anggotanya berdasarkan salah satu dari dua prosedur atau proses untuk memperoleh status tersebut. Di dalam masyarakat tradisional pada umumnya para warganya lebih sering memberikan status berdasarkan bawaan lahir (Ascribed Status). Sedangkan di daerah perkotaan masyarakat cenderung memberi status kepada warganya berdasarkan apa yang dicapai warga yang bersangkutan, misalnya pendapatan yang diperoleh seseorang ditentukan sesuai prestasi kerjanya. Oleh karena itu tidak jarang menjadi suatu konflik bila ada seseorang yang mendapat hak-hak istimewa yang bukan haknya. Kedudukan seseorang dapat dibedakan berdasarkan lingkup dimana kedudukan tersebut diambil. Hendropuspito (1989:103-104) membedakan kedudukan sosial menjadi dua yaitu ”Pertama, kedudukan resmi. Kedua, kedudukan tak resmi”. Penjelasan dari keduanya adalah sebagai berikut: 1) Kedudukan resmi (Formal Status) Kedudukan resmi ialah kedudukan yang diambil seseorang dalam satuan sosiol budaya yang resmi. Dengan kata lain, kedudukan tersebut diakui secara resmi oleh masyarakat itu sendiri. Secara formal artinya ada surat keputusan atau pengangkatan dari pihak yang berwenang yang di dalamnya dicantumkan 68 ketentuan-ketentuan yang jelas tentang hak dan kewajiban yang melekat pada kedudukan tersebut. Misalnya, kedudukan yang resmi yaitu kedudukan presiden, kedudukan gubernur, kedudukan kepala desa dan sebagainya. 2) Kedudukan tak resmi (Informal Status) Kedudukan tak resmi ialah kedudukan yang diambil seseorang dalam lingkungan sosiol yang tak resmi. Orang yang bersangkutan diterima berdasarkan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam lingkungan tersebut. Dalam penerimaan itu tidak ada suatu upacara dan surat pengangkatan yang resmi, misalnya, kedudukan ulama, dukun pijat, dalang di suatu desa dan sebagainya. Kedudukan resmi maupun kedudukan tidak resmi memiliki pengaruh yang berbeda. Besarnya pengaruh dari kedudukan resmi dibatasi oleh peraturan resmi yang dibuat oleh pihak yang berwenang. Sedangkan kedudukan tidak resmi dapat memberi pengaruh lebih besar dari pada kedudukan resmi. Besarnya pengaruh tidak dibatasi oleh peraturan formal, melainkan tergantung pada situasi nyata yang ada dalam lingkungan. c. Penggolongan Status Sosial Penggolongan status sosial keluarga bersifat relatif antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain. Sesuai dengan karakristik sosial budaya desa yang berbeda dengan kota maka ukuran-ukuran yang dapat menempatkan seseorang pada lapisan atas, menengah dan bawah pun berbeda-beda. Bahrein T. Sugihen (1996:150-151) mengklasifikasikan lapisan sosial yang ada di wilayah pedesaan berdasarkan perilaku dan gaya hidup masing-masing anggota lapisan ke dalam tiga kelompok yaitu ”Lapisan atas, lapisan menengah, dan lapisan bawah”. Berikut ini penjelasan masing-masing lapisan sosial: 1) Lapisan atas Para anggota lapisan atas pada umumnya menjadi pemimpin masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena mereka miliki ilmu pengetahuan yang cukup atau karena mereka mempunyai sesuatu yang berharga dalam jumlah banyak seperti tanah, uang, dan lain-lain. Dalam hidup keseharaian, anggota lapisan atas lebih banyak digunakan sebagai sumber informasi, dan 69 tempat meminta nasehat berbagai hal. Adanya kesempatan-kesempatan yang demikian menyebabkan golongan ini kelihatan berpengaruh dan berkuasa atas berbagai keputusan yang dibuat di desa. 2) Lapisan menengah Anggota golongan menengah umumnya menjadi pemimpin formal dan pemimpin organisasi sosial dalam komunitasnya seperti menjadi pemimpin organisasi pertanian, organisasi pemuda dan olah raga, dan kegiatan seni budaya. Pengaruh dan kepemimpinan mereka jelas terlihat, walaupun setiap keputusan yang diambil oleh lapisan menengah ini mendapat kritikan dari lapisan yang ada di atasnya. Untuk menghindari hal yang demikian, maka para pemimpin yang berasal dari lapisan menengah akan mengkonsultasikan terlebih dahulu dengan mereka yang berpengaruh besar di dalam masyarakat sebelum mengambil suatu keputusan. 3) Lapisan bawah Anggota lapisan yang paling bawah cenderung tidak banyak aktif berpartisipasi dalam aktivitas sosial yang ada di sekitar lingkungannya. Misalnya, mereka jarang mengikuti pertemuan antara orang tua murid dan guru, jarang mendapat kesematan memimpin suatu kegiatan dalam masyarakat, jarang membaca koran atau majalah dan sebagainya. Pada umumnya masyarakat lapisan ini cenderung mengikut apa yang menjadi keputusan anggota masyarakat yang ada pada lapisan di atasnya. Soerjono Soekanto (2002:255) melukiskan ketiga lapisan sosial di atas ke dalam bentuk piramida berikut ini: Upper class Middle class Lower class Gambar 2.3. Piramida Lapisan Sosial 70 Gambar piramida yang mengerucut ke atas menunjukkan bahwa anggota masyarakat yang berada pada lapisan atas (upper class) jumlahnya sedikit, hal ini terjadi karena untuk mencapai lapisan tersebut perlu sejumlah syarat dan persaingan yang ketat. Pada tahapan yang ada dibawahnya ialah lapisan menengah (middle class) yang jumlahnya relatif lebih banyak daripada lapisan atas. Sedangkan pada lapisan bawah (lower class) jumlahnya paling banyak bila dibandingkan dengan lapisan menengah dan lapisan atas. d. Faktor-Faktor yang Menentukan Status Sosial Status yang dimiliki seseorang berbeda-beda. Perbedaan tersebut terjadi karena adanya faktor-faktor tertentu yang menentukannya. Menurut Hendropuspito (1989:105-106) faktor-faktor yang menentukkan kedudukan sosial seseorang meliputi: 1) 2) 3) 4) 5) Kelahiran (birth) Unsur-unsur biologis (biological properties) Harta kekayaan (fortune) Pekerjaan (profession) Agama (religion) Penjelasan dari kelima faktor di atas sebagai berikut : 1) Kelahiran (birth) Kelahiran pada suatu keluarga dianggap sebagai pangkal yang meneruskan kedudukan keluarga itu kepada keturunannya. Demikian pula kelahiran dari suatu suku bangsa atau bangsa tertentu membawa kedudukan tertentu di mata bangsa lain. Dalam masyarakat Indonesia, misalnya seorang anak keturunan kulit putih mendapat kedudukan sosial lain daripada warga negara asli, misalnya keturunan bangsa kulit hitam diberi kedudukan sosial yang lebih rendah oleh bangsa kulit putih. Di daerah pedesaan keturunan pendiri desa atau tokoh desa memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pada rakyat biasa. 2) Unsur-unsur biologis (biological properties) Unsur-unsur biologis seperti jenis kelamin ikut menentukkan kedudukan sosial seseorang. Sebagian besar dalam masyarakat kita 71 menganggap bahwa golongan wanita mendapat kedudukan sosial yang lebih rendah dari pada golongan pria. Bentuk badan pun terkadang ikut memberikan pengaruh terhadap kedudukuan seseorang. Seseorang yang tampil tampan atau cantik relatif akan mendapat kehormatan lebih tinggi dari pada yang kurang tampan atau kurang cantik. 3) Harta kekayaan (fortune) Harta kekayaan juga merupakan faktor yang ikut menentukkan kedudukan sosial. Golongan orang kaya di mana-mana mendapat kedudukan lebih tinggi dari pada golongan orang miskin. Bahkan dalam intern golongan pun terdapat pelapisan, misalnya golongan buruh yang memiliki televisi akan memberikan kedudukan sedikit lebih tinggi kepada keluarga buruh yang memilikinya daripada keluarga buruh lain yang tidak memiliki benda tersebut. 4) Pekerjaan (profession) Seseorang yang berprofesi sebagai guru mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi dari pada orang yang bekerja sebagai petani. Dengan kata lain, pekerjaan halus yang banyak menyita otak umumnya dinilai lebih tinggi daripada pekerjaan kasar yang memerlukan tenaga fisik secara optimal. 5) Agama (religion) Agama dalam masyarakat manapun akan memberi kedudukan tertentu bagi pemeluknya. Orang yang menguasai secara mendalam tentang agama yang dianutnya menjadikan ia ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dari pada pemeluk yang tidak begitu luas wawasan keagamaannya. Sebagai contoh, seorang ulama dalam agama Islam memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pada para jemaahnya. Warner dalam Kaare Svalastoga (1989:27) menyebutkan indeks ciri-ciri status sosial terdiri dari empat komponen yaitu: ”Pertama, pekerjaan. Kedua, sumber pendapatan. Ketiga, tipe rumah. Keempat, kawasan tempat tinggal”. Penjelasan dari indeks ciri-ciri status sosial adalah sebagai berikut: 1) Pekerjaan Pekerjaan selalu dikaitkan dengan apa yang dilakukan seseorang untuk mencari nafkah pencaharian. Setiap orang mengharapkan nafkah atau hasil 72 pekerjaannya dapat digunakan untuk mempertahankan hidup dan mencapai taraf hidup yang lebih baik. Dengan demikian pekerjaan merupakan aktifitas sehari-hari yang dilakukan seseorang untuk mempertahankan hidup sekaligus bertujuan untuk memperoleh taraf hidup yang lebih baik dari hasil pekerjaan tersebut. 2) Sumber pendapatan Menurut Kaare Svalastoga (1989:28) sumber pendapatan digolongkan sebagai berikut: a) b) c) d) e) f) g) Kekayaan warisan (tertinggi) Kekayaan yang diperoleh dari usaha Keuntungan dan bayaran Gaji Upah Dana hasil usaha pribadi Dana bantuan pemerintah dan penghasilan gelap Penggolongan sumber pendapatan diatas tentu didasari bahwa perbedaan sumber pendapatan akan berakibat adanya perbedaan jumlah pendapatan seseorang. Warisan merupakan salah satu sumber harta yang banyak dimiliki oleh masyarakat baik berupa tanah, rumah, tempat usaha dan lain-lain. Pada umumnya seseorang tidak hanya mengandalkan harta warisan saja dalam menyambung hidupnya tetapi juga melakukan berbagai usaha. Hakikatnya warisan pun bila tidak dikembangkan lama-kelamaan juga akan berkurang atau habis. Keuntungan dan bayaran yang diterima seseorang juga merupakan sumber pendapatan yang dapat diperoleh dari kegiatan perdagangan atau bekerja. Sumber pendapatan lainnya yaitu pendapatan gaji, upah, dana hasil usaha pribadi dan data bantuan pemerintah. Sedangkan penghasilan gelap merupakan panghasilan yang diterima seseorang tanpa diketahui sumbernya secara jelas. 3) Tipe Rumah Rumah merupakan suatu kebutuhan pokok bagi setiap manusia di samping pangan dan sandang. Rumah merupakan kebutuhan yang urgen oleh karena itu setiap orang berusaha untuk memilikinya. Hal ini menyebabkan rumah sebagai salah satu alat untuk mengekspresikan status seseorang 73 termasuk bentuk dan lokasinya. Rumah juga merupakan suatu indikator penting untuk mengukur tingkat kemakmuran penduduk dan biasanya mencerminkan pula tingkat pendapatan dan pengeluaran suatu rumah tangga terutama di kota, karena itu rumah merupakan suatu faktor yang memegang peranan penting dalam hubungannya dengan kebutuhan rumah tangga. 4) Kawasan tempat tinggal Wilayah tempat tinggal atau lingkungan dimana mereka tinggal dapat menentukan status sosial penghuninya. Misal di pedesaan penduduk dapat bertempat tinggal di pusat pemerintahan desa atau di dukuh yang jauh dari pusat pemerintahan desa. Di lingkungan perkotaan dapat dibedakan menjadi dua yaitu penduduk yang tinggal di pusat kota dan di pinggiran kota yang pada umumnya didominasi oleh masyarakat miskin kota. Pengelompokanpengelompokan yang seperti ini tentu menentukan status sosial yang dimiliki seseorang. Soerjono Soekanto (2002:237-238) menyatakan bahwa ukuran atau kriteria yang digunakan dalam menggolong-golongkan anggota masyarakat kedalam suatu lapisan adalah sebagai berikut : 1) Ukuran kekayaan. Barangsiapa yang memiliki kekayaan paling banyak, termasuk dalam lapisan teratas. Kekayaan tersebut, misalnya dapat dilihat pada bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadinya, cara-caranya menggunakan pakaian serta bahan pakaian yang dipakainya, kebiasaan untuk berbelanja barang-barang mahal dan seterusnya. 2) Ukuran kekuasaan. Barangsiapa yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar, menempati lapisan atasan. 3) Ukuran kehormatan. Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas dari ukuran-ukuran kekayaan dan atau kekuasaan. Orang yang paling disegani dan dihormati, mendapat tempat teratas. Ukuran semacam ini, banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa. 4) Ukuran ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai ukuran, dipakai oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Akan tetapi ukuran tersebut kadang-kadang menyebabkan terjadinya akibat-akibat yang negatif. Karena ternyata bahwa bukan mutu ilmu pengetahuan yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar kesarjanaannya. Sudah tentu hal yang demikian memacu segala macam usaha untuk mendapat gelar, walau tidak mahal. 74 Ukuran-ukuran yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut berlaku relatif meskipun pada sebagian besar kelompok faktor kekayaan tetap menjadi bagian yang diperhitungkan dalam menentukan status seseorang. Berbeda dengan ukuran ilmu pengetahuan dalam hal ini tingkat pendidikan, bagi penduduk desa yang kesadaran dan penghargaannya akan pendidikan formal masih kurang tentu akan berpengaruh terhadap penilaian masyarakat terhadap kedudukan orang yang bersekolah. Sebaliknya bagi masyarakat yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan, semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang semakin tinggi pula status yang dimilikinya. Faktor-faktor yang mempengaruhi status sosial memiliki keterkaitan dengan status ekonomi. Aspek-aspek yang mempengaruhi status sosial mencakup butir-butir yang sebenarnya termasuk butir-butir kriteria status ekonomi. Hal ini didasarkan fakta bahwa kehormatan yang dimiliki seseorang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor pembawaan dan peran yang melahirkan kekuasaan dan kewenangan semata, tetapi juga dapat dipengaruhi oleh beberapa kriteria yang ada pada status ekonomi. Sedangkan status ekonomi merupakan kedudukan seseorang dalam masyarakat yang diukur berdasarkan kemampuan seseorang tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Status ekonomi menitikberatkan pada kuantitas kekayaan yang dimiliki seseorang. Kekayaan yang dimiliki seseorang dipengaruhi beberapa faktor berikut ini: 1) Pekerjaan Setiap orang sesantiasa berusaha mendapatkan pekerjaan sesuai dengan minat dan kehendaknya. Berbagai usaha dilakukan untuk dapat berkarya dalam bidang yang disuakainya. Seseorang yang bekerja tentu mendapatkan imbalan sesuai kualitas dan kapsitas pekerjaannya masing-masing. Semakin bagus pekerjaan yang dilakukannya semakin tinggi pula pendapatan yang dapat diterima oleh orang yang bersangkutan. Pekerjaan seseorang dapat ditinjau pekerjaan, status pekerjaan dan jenis dari tiga pekerjaan. aspek yaitu lapangan Lapangan pekerjaan menggambarkan di sektor produksi apa saja maupun dimana saja para pekerja menyandarkan sumber nafkahnya. Status pekerjaan menjelaskan kedudukan 75 pekerja di dalam pekerjaan yang dimiliki atau dilakukannya. Sedangkan jenis pekerjaan menunjukkan kegiatan kongkrit apa yang dikerjakan oleh pekerja yang bersangkutan. Macam dan jenis pekerjaan yang dilakukan ataupun dimiliki sangat berpengaruh terhadap kemampuan individu tersebut untuk dapat memenuhi kebutuhan keluarganya dan juga akan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya status sosial ekonomi di masyarakat. Ada berbagai jenis lapangan pekerjaan yang dapat di tekuni guna menunjang kebutuhan ekonomi keluarga. Secara umum jenis lapangan pekerjaan yang dimaksud antara lain bidang pertanian dan sejenisnya, pertambangan, industri, perdagangan, dan jasa. Lapangan pekerjaan yang serupa dengan bidang pertanian yaitu kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Pertambangan berupa pertambangan, minyak, gas dan bahan material lainnya. Industri meliputi industri yang mengolah barang mentah dan industri yang mengolah barang jadi. Perdagangan meliputi perdagangan besar, kecil atau eceran, rumah makan dan lain-lain. Lapangan pekerjaan di sektor jasa semakin berkembang, antara lain meliputi jasa transportasi, jasa keuangan berupa asuransi, sewa bangunan dan sewa tanah. Status pekerjaan menunjukkan kedudukan pekerjaan tersebut dalam kaitannya dengan pihak lain. Status pekerjaan meliputi pekerjaan yang diusahakan secara mandiri, usaha yang dibantu oleh orang lain baik anggota keluarga maupun bukan, usaha yang memiliki karyawan atau pekerja tetap, menjadi pekerja pada usaha keluarga, dan menjadi karyawan pada usaha orang lain. Orang-orang yang bekerja pada usaha keluarga akan timbul rasa memiliki yang lebih besar terhadap usaha yang dikelolanya dibanding dengan karyawan yang bekerja pada orang lain. Jenis pekerjaan dapat dibedakan dari jenis pekerjaan yang memerlukan tenaga kasar atau lembut. Selain itu, ada pekerjaan yang membutuhkan tenaga professional, tenaga kepemimpinan, tenaga yang diperlukan dalam usaha jasa, pertanian, perdagangan, dan teknisi. Jenis-jenis pekerjaan yang ada dalam masyarakat sangat beragam oleh karena itu tidak memungkinkan jika harus dibahas satu persatu. Secara umum jenis pekerjaan digolongkan menjadi dua yaitu golongan pegawai negeri dan 76 swasta, dan golongan non pegawai. Adapun penjelasan dari masing-masing kelompok adalah sebagai berikut: a) Pegawai negeri Pegawai adalah orang yang bekerja pada pemerintah atau pengusaha. Baik pegawai negeri maupun pegawai swasta memiliki kriteria masingmasing. Syarat-syarat menjadi pegawai negeri telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan di gaji menurut undang-undang yang berlaku. Mereka merupakan orang-orang yang bekerja pada pemerintah, yang harus memenuhi kriteria yang ditentukan oleh lembaga atau instansi yang dipilih dan harus mematuhi segala peraturan yang ditetapkan oleh lembaga atau instansi terkait. Gaji yang diperoleh pegawai negeri juga sesuai dengan peraturan undang-undang yang berlaku dan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Sedangkan pegawai swasta meliputi orang yang bekerja pada suatu perusahaan atau instansi bukan milik negara sehingga gaji yang diterima sesuai dengan ketentuan perusahaan atau instansi tersebut. b) Non pegawai Jenis pekerjaan non pegawai adalah jenis pekerjaan selain pegawai. Dengan batasan atau dengan kriteria bahwa pekerjaan tersebut tidak membutuhkan kualifikasi atau standard pendidikan tertentu, tidak bernaung di bawah suatu instansi, organisasi atau yayasan tertentu tidak memerlukan jam kerja yang pasti, penghasilan yang diperoleh sifatnya hanya upah, tidak terikat adanya undang-undang atau peraturan tertentu. Misalnya kuli bangunan, buruh, pekerja kasar, tukang becak, pedagang, petani dan lain-lain. 2) Penghasilan atau pendapatan Penghasilan atau pendapatan adalah seluruh penerimaan baik berupa uang maupun barang dari hasil keja sendiri yang dinilai dengan uang. Menurut Mulyanto Soemardi dan Hans Dieter Evers (1985:322-323) pendapatan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu : a) Pendapatan berupa uang adalah segala penghasilan berupa uang yang diperoleh melalui (a) gaji dan upah, (b) dari usaha sendiri dan bekerja keras, (c) dari penjualan barang-barang yang dimiliki. 77 b) Pendapatan berupa barang adalah segala penghasilan yang diperoleh dalam bentuk barang terhadap jasa yang diberikan. Tetapi ada juga bentuk barang yang diterima yang tidak merupakan balas jasa seperti warisan orang tua. c) Penerimaan uang dan barang yang dipakai sebagai pedoman adalah segala penerimaan yang bersifat trasfer redistributif dan biasanya membawa perubahan dalam keuangan rumah tangga, misalnya penjualan barang-barang yang dipakai, pinjaman uang, mendapat undian dan menang judi. Pembahasan tentang pendapatan dapat dilihat dari komponen-komponen sumber pendapatan, tingkat pendapatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan. a) Sumber penghasilan atau pendapatan Sumber penghasilan atau pendapatan setiap keluarga tentu berbeda-beda. Disini yang menjadi ukuran adalah bukan jumlah uangnya yang diterima untuk menentukan melainkan status yang dinikmati melalui sumber itu. Mulyanto Soemardi dan Hans Dieter Evers (1985:323) menyatakan ”Pendapatan rumah tangga merupakan jumlah keseluruhan dari pendapatan formal, pendapatan informal dan pendapatan subsisten”. Pendapatan formal ialah pendapatan yang diperoleh melalui pekerjaan pokok. Pendapatan informal adalah penghasilan yang diperoleh melalui pekerjaan tambahan di luar pekerjaan pokoknya. Sedangkan pendapatan subsisten ialah penghasilan yang diperoleh dari sektor produksi yang dinilai dengan uang. b) Tingkat penghasilan atau pendapatan Pada umumnya tingkat pendapatan masyarakat merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan tingkat kesejahteraan mereka. Tinggi rendahnya taraf hidup seseorang tergantung pada tinggi rendahnya penghasilan seseorang, makin banyak penghasilan seseorang makin tinggi taraf hidupnya. Pendapatan penduduk menurut Mulyanto Soemardi dan Hans Dieter Evers (1985:225) dapat diklasifikasikan ke dalam lima golongan sebagai berikut: (1) Golongan berpenghasilan sangat rendah (lowest income group) (2) Golongan berpenghasilan rendah (low income group) (3) Golongan berpenghasilan sedang (moderate income group) 78 (4) Golongan berpenghasilan menengah (middle income group) (5) Golongan berpenghasilan tinggi (high income group) Pengklasifikasian tingkat pendapatan sangat beragam sesuai dengan lingkungan dimana orang tersebut tinggal. Tingkat pendapatan masyarakat khususnya di Desa pekandangan dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan yaitu: (1) Golongan miskin: Rp 200.000,00 sampai Rp 500.000,00 (2) Golongan menengah: Rp 500.000,00 sampai Rp 1.500.000,00 (3) Golongan tinggi: Rp 1.500.000,00 sampai > Rp 3.000.000,00 Pengelompokan tingkat pendapatan di atas dapat berubah-ubah sesuai dengn kondisi di masyarakat. Berdasarkan kriteria tersebut menunjukkan bahwa yang termasuk golongan miskin adalah mereka yang berpenghasilan kurang dari Rp. 200.000,00 dan golongan tinggi bagi mereka yang berpenghasilan lebih dari Rp. 3.000.000,00. c) Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan Mulyanto Sumardi dan Hans Dieter Evers (1985:98-99) faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan antara lain: (1) Pangkat atau jabatan Pangkat atau jabatan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu pangkat atau jabatan basah dan pangkat atau jabatan kering. Pangkat jabatan basah adalah pekerjaan yang dianggap dapat memberikan dana kesejahteraan bagi para karyawannya. Sedangkan pekerjaan atau jabatan kering ialah pekerjaan yang dianggap kurang memberikan dana kesejahteraan kepada para karyawannya. (2) Pendidikan Pada umumnya tingkat pendidikan berpengaruh pada pendapatan masyarakat, makin tinggi pendidikan suatu masyarakat makin tinggi pula pendapatan seseorang sehingga status sosialnya bisa terangkat. 79 (3) Masa Kerja Bagi para pegawai, masa kerja berpengaruh pada tingkat gaji atau upah yang diperoleh, semakin lama waktu yang dikorbankan untuk bidang pekerjaannya makin tinggi pendapatan pokok yang diterima. (4) Jumlah anggota keluarga Jumlah anggota keluarga kemungkinan dapat meningkatkan pendapatan keluarga. Jumlah anggota keluarga yang banyak berarti menyediakan jumlah tenaga kerja yang banyak pula dalam rangka mencari penghasilan keluarga. Kondisi ini tidak selamanya demikian, ada kalanya dengan banyaknya jumlah keluarga makin besar pula beban kebutuhan yang harus dipenuhi sehingga kesejahteraannya menurun. 3) Tingkat kesejahteraan Setiap manusia mengharapkan hidup sejahtera lahir dan batin. Hal ini pun sudah menjadi cita-cita bersama sebagai suatu bangsa. Penilaian kesejahteraan penduduk tidak cukup hanya dengan melihat besar kecilnya pendapatan tetapi harus pula memperhatikan distribusi pendapatan di kalangan penduduk. Mengenai tahapan keluarga sejahtera ada kriteria-kriteria khusus yang telah dibuat oleh BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) sebagai berikut: a) Keluarga Sejahtera Tahap I (1) Pada umumnya anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih. (2) Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah, bekerja atau sekolah dan bepergian. (3) Rumah yang ditempati keluarga mempunyai atap, lantai dan dinding yang baik. (4) Bila ada anggota keluarga sakit dibawa ke sarana kesehatan. (5) Bila pasangan usia subur ingin ber KB pergi ke sarana pelayanan kontrasepsi. (6) Semua anak umur 7 – 15 tahun dalam keluarga bersekolah. b) Keluarga Sejahtera Tahap II (1) Pada umumnya anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan masing-masing. (2) Paling kurang sekali seminggu seluruh anggota keluarga makan daging atau ikan atau telur. (3) Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru dalam se tahun. (4) Luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk setiap penghuni rumah. 80 (5) Tiga bulan terakhir keluarga dalam keadaan sehat sehingga dapat melaksanakan tugas atau fungsi masing-masing. (6) Ada seorang atau lebih anggota keluarga yang bekerja untuk memperoleh penghasailan. (7) Seluruh anggota keluarga umur 10 – 60 tahun bisa baca tulisan latin. (8) Pasangan usia subur dengan anak 2 atau lebih menggunakan alat atau obat kontarasepsi. c) Keluarga Sejahtera Tahap III (1) Keluarga berupaya meningkatkan pengetahuan agama. (2) Sebagaian penghasilan keluarga di tabung dalam bentuk uang maupun barang. (3) Kebiasan keluarga makan bersama paling kurang seminggu sekali dimanfaatkan untuk berkomunikasi. (4) Keluarga sering ikut dalam kegiatan masyarakat di lingkungan tempat tinggal. (5) Keluarga memperoleh informasi dari surat kabar atau majalah atau radio atau televisi. d) Keluarga Sejahtera Tahap III Plus Mencakup kriteria pada tahap I – III ditambah kriteria berikut ini : (1) Keluarga secara teratur dengan sukarela memberikan sumbangan materiil untuk kegiatan sosial. (2) Ada anggota keluarga yang aktif sebagai pengurus perkumpulan sosial atau yayasan atau istitusi masyarakat. 4) Pola konsumsi keluarga Pola konsumsi setiap keluarga berbeda-beda. Pola konsumsi adalah suatu bentuk penggunaan suatu bahan atau barang dapat dilihat melalui alokasi konsumsinya. Besar kecilnya pengeluaran konsumsi keluarga berkaitan dengan tingkat kesejahteraan keluarga tersebut. Semakin sejahtera penduduk semakin kecil pengeluaran konsumsinya untuk bahan pangan. Secara garis besar alokasi konsumsi masyarakat digolongkan ke dalam pengeluaran untuk makanan dan pengeluaran bukan makanan. Dalam perekonomian yang taraf perkembangannya masih rendah, sebagian besar pendapatan dikeluarkan untuk pembelian makanan dan pakaian sebagai keperluan sehari-hari yang paling pokok. Pada tingkat perkembangan ekonomi yang lebih maju pengeluaran untuk pembelian makanan bukan lagi merupakan bagian terbesar dari pengeluaran rumah tangga, sedangkan pengeluaran-pengeluaran lain seperti untuk pendidikan, perumahan dan rekreasi menjadi bertambah penting. Pada masyarakat yang maju sebagian pendapatan disisihkan untuk ditabung. 81 5) Kondisi rumah Rumah adalah tempat untuk tumbuh dan berkembang baik secara jasmani, rohani dan sosial. Sesuai fungsinya rumah adalah sebagai tempat tinggal dalam satu lingkungan yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang diperlukan manusia sehingga rumah diharapkan memberi ketentraman hidup, pengamanan dan pusat kegiatan sosial. Rumah merupakan salah satu alat untuk mengekspresikan status seseorang termasuk bentuk dan lokasinya. Rumah juga merupakan suatu indikator penting untuk mengukur tingkat kemakmuran penduduk dan biasanya mencerminkan pula tingkat pendapatan dan pengeluaran suatu rumah tangga terutama di kota, karena itu tempat tinggal merupakan suatu faktor yang memegang peranan penting dalam hubungannya dengan kebutuhan rumah tangga. 6) Kepemilikan barang-barang Disamping tipe atau konstruksi bangunan rumah, bentuk dan letaknya maka isi rumah atau perabot rumah seperti televisi, meja, radio, kendaraan dan peralatan elektronik lainnya dapat dijadikan tolak ukur tingkat pendapatan dan pengeluaran rumah tangga. Pada daerah pedesaan selain adanya kepemilikan barang seperti yang telah disebutkan di atas, pada umumnya mereka juga memiliki berbagai binatang piaraan yang dapat menambah penghasilan keluarga. 7) Luas lahan Indonesia adalah salah satu negara agraris yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian dan tinggal di wilayah pedesaan. Seiring dengan pola pembangunan maka luas lahan pertanian semakin sempit khususnya di pulau Jawa. Hal ini tentu berdampak pada luas sempitnya penguasaan lahan oleh petani. Fenomena demikian menyebabkan stereotipe petani jawa pada umumnya tergolong miskin karena memiliki lahan yang relatif sempit. Sayogyo dalam Darsono Wisadirana (2004:52) membagi tiga lapisan masyarakat menurut penguasaan lahan sebagai berikut: a) Lapisan atas dari keluarga petani di pedesaan yang memiliki lahan sebanyak 0,5 hingga 1 hektar. b) Lapisan menengah dari keluarga pedesaan yang memiliki lahan antara 0,25 hingga kurang dari 0,5 hektar. 82 c) Lapisan bawah adari keluarga petani yang menguasai lahan antara 0,1 hingga kurang dari 0,25 hektar. Keadaan tersebut bila terus berlangsung dalam waktu lama akan menimbulkan terjadinya kemiskinan yang merata atau terjadi kemiskinan bersama akibat terjadinya pertambahan penduduk yang senantiasa meningkat tanpa diimbangi dengan jumlah produksi pangan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa status sosial seseorang dalam masyarakat tidak hanya ditentukan oleh satu faktor saja namun dapat pula dipengaruhi beberapa faktor yang secara bersama-sama menentukan kedudukan sosial seseorang atau suatu golongan. Dengan demikian sangat sulit menentukan mana yang mempunyai pengaruh dominan terhadap kedudukan sosial seseorang atau kelompok. e. Ukuran Status Sosial Status sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kedudukan seseorang atau keluarga dalam kehidupan bermasyarakat yang didasarkan pada kehormatan, pekerjaan, penghasilan, hak milik, dan pemenuhan kebutuhan keluarga. Adapun penjelasan dari faktor-faktor yang menenukan status sosial tersebut yaitu: 1) Kehormatan Ukuran kehormatan dalam masyarakat dapat terlepas dari faktor kekayaan dan pekerjaan. Misalnya, seseorang yang menjabat sebagai ulama atau ketua RW akan dihormati oleh warga masyarakat yang lain walaupun ia tidak tergolong kaya. Adapun indikator kehormatan dapat diukur berdasarkan: a) Jabatan dalam masyarakat. b) Keahlian / ketrampilan. c) Partisipasi dalam kegiatan masyarakat d) Interaksi dalam keluarga dan masyarakat 2) Pekerjaan Indikator pekerjaan dapat diukur berdasarkan : a) Jenis pekerjaan pokok/utama. 83 b) Kedudukan dalam pekerjaan. c) Pekerjaan sampingan. 3) Penghasilan Indikator penghasilan dapat diukur berdasarkan : a) Penghasilan rata-rata tiap bulan. b) Alokasi penghasilan. 4) Hak milik Indikator hak milik dapat diukur berdasarkan : a) Luas tanah. b) Kondisi rumah: (1) Status kepemilikan rumah. (2) Bangunan rumah. (3) Jumlah rumah. c) Kepemilikan barang-barang atau fasilitas. 5) Pemenuhan kebutuhan keluarga. Indikator pemenuhan kebutuhan keluarga dapat diukur berdasarkan : a) Pemenuhan kebutuhan pokok. b) Pemenuhan kebutuhan tambahan. Berdasarkan uraian tentang status sosial sebagaimana diungkapkan pada bagian atas, maka dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya status sosial yang dimiliki seseorang akan memberikan peran yang berbeda dalam masyarakat. Status sosial yang tinggi menempatkan seseorang berada pada kedudukan atau jabatan yang lebih dihormati dalam masyarakat. Pada umumnya segala bentuk keputusan atau kebijakan umum dibuat oleh seseorang atau kelompok yang memiliki kedudukan yang tinggi. Di negara-negara demokratis pun keputusankeputusan politik selalu dibuat oleh sekelompok orang yang secara sosial ekonomi memiliki hak istimewa. Keputusan-keputusan yang dihasilkan cenderung hanya menguntungkan kelompok-kelompok tertentu saja. Hal ini akan meningkatkan kesadaran politik dan kepercayaan yang tinggi bagi golongan yang diuntungkan tersebut terhadap pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk partisipasi politik secara aktif. 84 Seseorang yang memiliki status sosial rendah cenderung kurang aktif dalam kegiatan politik daripada orang yang berstatus lebih tinggi. Aspirasiaspirasi orang yang berstatus rendah dianggap kurang tersalurkan secara memadai kepada pemerintah dibandingkan dengan aspirasi yang berasal dari status tinggi. Hal ini mengakibatkan orang yang berstatus sosial rendah kurang memiliki kepercayaan dan kepedulian terhadap politik dan pada akhirnya akan mengurangi partisipasi politiknya di masyarakat. Status sosial merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi politik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hoogerwerf (1985:191) menyatakan ”Suatu faktor penting yang berkaitan dengan partisipasi politik adalah status sosial. Orang-orang dengan pendapatan lebih tinggi, pendidikan yang lebih tinggi, pekerjaan dengan status yang lebih tinggi lebih banyak berpartisipasi dari pada yang lainnya”. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Dan Nimmo (2006:141) ”Pada umumnya, orang dari kelas sosial yang lebih tinggi lebih sering berpartisipasi dalam politik ketimbang orang dari strata sosial yang lebih rendah. Karena mempunyai waktu, uang, energi, dan alat lain untuk melakukannya”. Pendapat di atas menyatakan bahwa seseorang yang berstatus tinggi memiliki banyak kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif daripada seseorang yang berstatus rendah. B. Kerangka Pemikiran Kerangka berfikir merupakan suatu pemikiran yang memberikan arahan untuk dapat sampai pada pemberian jawaban sementara atas masalah yang telah dirumuskan. Berdasarkan tinjauan pustaka pada bagian atas maka dapat disusun kerangka pemikiran sebagai berikut: Semua keputusan pemerintah tidak ada artinya tanpa dukungan dan peran serta seluruh masyarakat. Partisipasi politik merupakan modal utama dan potensi yang esensial dalam pelaksanaan pembangunan desa yang selanjutnya tumbuh dan berkembang menjadi dasar kelangsungan kehidupan berbangsa. Bentuk partisipasi politik dapat dilihat dari sejauh mana keterlibatan warga negara untuk 85 mempengaruhi pengambilan dan pelaksanaan keputusan pemerintah di bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Partisipasi politik bertujuan untuk mempengaruhi penguasa baik dalam arti memperkuat maupun dalam pengertian menekannya, sehingga diharapkan pemerintah dapat memperhatikan kepentingan masyarakat. Selain itu, partisipasi politik berfungsi menyuarakan kepentingan masyarakat dalam bentuk pemberian dukungan, masukan, kritik, dan saran terhadap program-program pemerintah. Partisipasi politik setiap warga negara berbeda-beda, hal ini dimungkinkan ada hubungannya dengan pendidikan dan status sosial individu yang bersangkutan. Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang berguna dalam pembangunan. Berbagai pengetahuan dan wawasan diberikan dalam pendidikan formal dengan kualitas dan kuantitas yang berbeda-beda pada setiap jenjangnya. Semakin tinggi jenjang pendidikan yang ditempuh semakin tinggi pula pengetahuan dan wawasan yang diperoleh. Oleh karena itu, semakin lama yang ditempuh seseorang dalam pendidikan formal juga akan mempengaruhi tinggi rendahnya pengetahuan dan wawasan yang diperoleh. Salah satu ilmu pengetahuan yang selalu diajarkan dalam setiap jenjang pendidikan ialah pengetahuan tentang politik. Di sisi lain lembaga pendidikan dalam hal ini sekolah dan kurikulumnya sengaja dijadikan saluran untuk sosialisasi politik generasi muda. Pendidikan dapat memberikan pengetahuan dan informasi tentang politik dan persoalan-persoalannya sehingga dapat mengembangkan minat, kecakapan, kemampuan, dan kesadaran berpolitik seseorang yang pada akhirnya dimungkinkan akan menentukan partisipasi politik. Status sosial merupakan kedudukan seseorang dalam kehidupan bermasyarakat yang didasarkan pada kehormatan, pekerjaan, penghasilan, hak milik, dan pemenuhan kebutuhan keluarga. Perbedaan status sosial seseorang menyebabkan perbedaan kesempatan atau peluang dalam masyarakat. Tingkat status sosial yang tinggi memungkinkan partisipasi politik yang lebih berkualitas dari pada seseorang yang berstatus sosial di bawahnya. Dengan status sosial yang tinggi diperkirakan seseorang akan memiliki tingkat pengetahuan politik, minat, dan perhatian pada politik, serta sikap dan kepercayaan yang tinggi pada 86 pemerintah. Lain halnya bagi seseorang yang berstatus rendah merasa tidak ada distribusi yang adil dalam berbagai bidang sehingga memungkinkan berkurangnya rasa kepercayaan dan apresiasi terhadap kegiatan politik. Dengan demikian dimungkinkan ada hubungan antara status sosial dengan partisipasi politik. Semakin banyak jumlah tahun studi yang ditempuh oleh sesorang dalam pendidikan formal disertai dengan kepemilikan status sosial yang tinggi secara bersama-sama dimungkinkan dapat meningkatkan partisipasi politik dalam kehidupan bernegara. Adapun kerangka berpikir secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran Pendidikan (X1) Partisipasi Politik (Y) Status Sosial (X2) C. Perumusan Hipotesis Hipotesis adalah jawaban sementara yang harus diuji melalui kegiatan penelitian. Perumusan hipotesis yang penulis kemukakan sebagai berikut: 1. Ada hubungan antara pendidikan dengan partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara. 87 2. Ada hubungan antara status sosial dengan partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara. 3. Ada hubungan antara pendidikan dan status sosial dengan partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara. 88 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Pengertian Metodologi Penelitian merupakan suatu usaha yang bertujuan untuk menemukan jawaban atas suatu permasalahan melalui prosedur ilmiah. Robert B. Burns (2000:3) menyatakan ”Research is a systematic investigation to find answer to a problem”. Pengertian tersebut dapat diartikan sebagai berikut: penelitian adalah suatu penyelidikan sistematis untuk menemukan jawaban atas suatu masalah. Menurut Sutrisno Hadi (2000:4) ”Research dapat didefinisikan sebagai usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode ilmiah”. Untuk memperoleh kebenaran, suatu penelitian perlu menggunakan cara kerja ilmiah yang tepat sehingga hasil yang diperoleh benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Lebih lanjut Surtisno Hadi (2000:4) menyatakan ”Pelajaran yang memperbincangkan metode-metode ilmiah untuk research disebut metodologi research”. Berdasarkan kedua pengertian tersebut di atas dapat penulis simpulkan bahwa metodologi penelitian atau metodologi research adalah suatu ilmu pengetahuan tentang prosedur, teknik-teknik atau cara-cara yang ditempuh untuk mencari suatu kebenaran dalam kegiatan penelitian. Di dalam metodologi penelitian memuat langkah-langkah yang ditempuh guna menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. Adapun langkahlangkah yang dimaksud meliputi tempat dan waktu penelitian, metode penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. B. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Tempat penelitian merupakan lokasi yang digunakan untuk memperoleh sejumlah data yang akan diteliti. Sesuai dengan judul penelitian ini, maka peneliti mengadakan penelitian dengan mengambil lokasi di Desa Pekandangan, 88 89 Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah 53452. Adapun alasan penulis mengadakan penelitian di desa tersebut yaitu : a. Desa Pekandangan belum pernah menjadi obyek penelitian dengan permasalahan yang sama. b. Di Desa Pekandangan terdapat data yang diperlukan dalam penelitian ini. 2. Waktu Penelitian Waktu penelitian ditetapkan agar penulis dapat mengatur langkah-langkah dalam melaksanakan penelitian. Adapun alokasi waktu yang penulis rencanakan untuk penelitian ini secara garis besar dibagi menjadi tiga tahap sebagai berikut: a. Tahap persiapan mencakup pengajuan judul, pembuatan proposal, pengurusan ijin, dan penyusunan instrumen penelitian mulai bulan November 2006 sampai Januari 2007. b. Tahap pelaksanaan mencakup semua kegiatan yang berlangsung di lapangan yaitu uji coba instrumen, analisis uji coba instrumen, perbaikan instrumen, dan pengambilan data pada bulan Pebruari 2007 hingga selesai penyusunan data sehingga siap dianalisis. c. Tahap penyelesaian mencakup pengolahan data, analisis data, dan penyusunan laporan. Tahap ini dilaksanakan sejak akhir Pebruari sampai April 2007. C. Metode Penelitian 1. Pengertian Metode Penelitian Metode dalam suatu penelitian memegang peranan yang penting. Tujuan penelitian dapat tercapai apabila penelitian dilakukan dengan metode yang tepat. Sehubungan dengan hal itu maka peneliti harus mampu memilih dan menentukan metode yang sesuai dengan masalah yang akan diteliti. Penggunaan metode yang kurang tepat mengakibatkan hasil penelitian tidak sesuai dengan tujuan penelitian. Winarno Surakhmad (1994:131) menyatakan “Metode merupakan cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan, misalnya untuk menguji serangkaian hipotesa, dengan mempergunakan teknik serta alat-alat tertentu”. Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa metode merupakan cara 90 yang perlu ditempuh melalui beberapa langkah sehubungan dengan masalah yang diteliti. Sedangkan menurut Kartini Kartono (1986:15-16) ”Metode penelitian adalah cara-cara berfikir dan berbuat, yang dipersiapkan dengan baik-baik untuk mengadakan penelitian, dan untuk mencapai suatu tujuan penelitian”. Metode penelitian memuat prosedur sedemikian rupa agar tujuan penelitian tercapai. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa metode penelitian ialah suatu cara utama yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan dalam menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan yang dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah. Dengan demikian metode penelitian merupakan cara kerja yang digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisa data sehingga dapat digunakan untuk menguji kebenaran hipotesis penelitian. 2. Jenis-jenis Metode Penelitian Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam penelitian. Winarno Surakhmad (1994:29) menggolongkan tiga metode penelitian berdasarkan sifat dan fungsinya dalam dimensi waktu, yaitu ”Jenis pertama digolongkan dalam kategori metode penyelidikan historis, yang kedua dalam kategori metode penyelidikan deskriptif, yang ketiga dalam kategori metode penyelidikan eksperimental”. Berikut ini penjelasan dari ketiga metode penelitian tersebut : a. Metode Penelitian Historis Metode penelitian historis digunakan untuk meneliti sesuatu yang terjadi pada masa lampau. Metode ini merupakan suatu prosedur penelitian yang bertujuan untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis dan obyektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi serta mensisntesiskan bukti-bukti untuk menegakan fakta dan memperoleh kesimpulan yang kuat. b. Metode Penelitian Deskriptif Metode penelitian deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena. Dengan kata lain, metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai suatu prosedur pemecahan 91 masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subyek atau obyek penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. c. Metode Penelitian Eksperimen Metode penelitian eksperimen merupakan prosedur penelitian yang dilakukan untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara membandingkan berbagai peristiwa dimana terdapat fenomena tertentu. Metode ini digunakan pada penelitian-penelitian dengan mengadakan kegiatan percobaan untuk melihat atau memperoleh hasil dan bertujuan untuk meneliti pengaruh dari beberapa kondisi terhadap suatu gejala. 3. Metode yang Digunakan Pemilihan metode yang tepat sangat menentukan keberhasilan suatu penelitian. Sehubungan dengan hal itu maka peneliti harus mampu memilih dan metode. Sesuai dengan masalah dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif dengan rancangan analisis statistik. Menurut Winarno Surakhmad (1994:140) ciri-ciri metode deskriptif yaitu : a. Memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masa sekarang, pada masalah-masalah yang aktual. b. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa (karena itu metode ini sering pula disebut metode analitik). Senada dengan pendapat diatas, Hadari Nawawi (1991:63) menyatakan bahwa ciri-ciri pokok metode deskriptif adalah: a. Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian dilakukan (saat sekarang) atau masalah-masalah yang bersifat aktual. b. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya, diiringi dengan interpretasi rasional yang adequat. Berikut alasan dan pertimbangan peneliti menggunakan metode deskriptif: a. Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah masalah yang masih aktual dan masih ada pada masa sekarang. 92 b. Prosedur yang peneliti lakukan untuk memecahkan masalah adalah dimulai dari pengumpulan data, penyusunan data, kemudian data tersebut dianalisa dan diinterpretasikan. c. Hasil dari penelitian ini nantinya merupakan suatu gambaran hasil penelitian yang sistematis, nyata dan cermat. Menurut Moh. Nasir (1988:73-74) langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian deskriptif sebagai berikut : a. Memilih dan merumuskan masalah, b. Menentukan tujuan dari penelitian yang akan diajarkan, c. Memberikan limitasi dari area atau scope atau sejauh mana penelitian deskriptif tersebut akan dilaksanakan, d. Merumuskan kerangka teori / kerangka konseptual yang kemudian di turunkan dalam bentuk hipotesa-hipotesa untuk diverifikasikan, e. Menelusuri sumber-sumber kepustakaan yang ada hubungannya dengan masalah yang ingin dipecahkan. f. Merumuskan hipotesis-hipotesis yang ingin diuji, g. Melakukan kerja lapangan untuk mengumpulkan data, gunakan teknik pengumpulan data yang cokok untuk penelitian, h. Membuat tabulasi serta analisis statistik dilakukan terhadap data yang telah dikumpulkan, i. Membeberkan interpretasi dari hasil penelitian, j. Mengadakan generalisasi, k. Membuat laporan penelitian dengan cara ilmiah. Sesuai dengan pendapat diatas maka langkah-langkah penelitian yang dilakukan oleh penulis dam penelitian ini meliputi langkah-langkah berikut ini: a. Merumuskan masalah yang akan diteliti. b. Mengadakan pembatasan masalah. c. Merumuskan kerangka teori. d. Merumuskan hipotesis. e. Menyiapkan instrument dan memilih teknik pengumpulan data. f. Menentukan subyek penelitian. g. Melakukan pengumpulan data untuk menguji hipotesis. h. Menganalisis data dan menguji hipotesis. i. Memberi kesimpulan atau generalisasi. j. Menyusun dan mempublikasikan laporan penelitian. 93 D. Populasi dan Sampel Populasi dan sampel merupakan subjek penelitian. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan suatu penelitian tidak akan terlepas dari penetapan pupulasi dan sampel. Tujuan penelitian dapat tercapai dengan baik jika pengambilan populasi dan sampel dilakukan dengan tepat. Sampel yang diambil harus representatif, yaitu mewakili populasi dalam arti semua karakteristik yang ada pada populasi. 1. Populasi Penelitian Dalam suatu penelitian, penentuan individu sebagai subyek yang diteliti merupakan hal penting. Subyek yang dimaksud ialah populasi penelitian, yaitu suatu kelompok individu yang diselidiki tentang aspek-aspek yang ada dalam kelompok itu. Aspek-aspek yang hendak diungkapkan dalam penelitian ini adalah pendidikan, status sosial dan partisipasi politik. Penetapan populasi merupakan suatu bagian pokok dalam melakukan penelitian. Oleh karena itu, sebelum menentukan kelompok yang akan dijadikan populasi kiranya perlu dikemukakan beberapa pengertian populasi. M. Iqbal Hasan (2002:84) menyatakan ”Populasi (universe) adalah totalitas dari semua objek atau individu yang memiliki karakteristik tertentu, jelas dan lengkap yang akan diteliti (bahan penelitian)”. Sementara itu, Robert B. Burns (2000:83) mengemukakan, ”Population is an entire group of people or objects or events which all have at least one characteristic in common, and must be defined specifically and unambiguously”. Pendapat tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut: Populasi adalah keseluruhan kelompok orang atau obyek atau peristiwa yang mempunyai sedikitnya satu karakteristik yang sama, dan harus didefinisikan secara rinci dan tidak bermakna ganda. Menurut Hadari Nawawi (1991:141) “Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang dapat terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuhtumbuhan, gejala-gejala, nilai test atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian”. Populasi merupakan sumber data dengan karakteristik tertentu. 94 Berdasarkan pendapat di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa populasi adalah keseluruhan obyek yang memiliki karakteristik tertentu sebagai sumber data. Populasi dalam penelitian ini adalah semua warga masyarakat yang telah dianggap dewasa secara hukum yaitu yang sudah berumur 17 tahun atau sudah / pernah menikah di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara. sejumlah 1.400 orang. Populasi tersebut didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut: a. Warga masyarakat yang sudah berumur 17 tahun. b. Warga masyarakat yang belum berumur 17 tahun tetapi sudah atau pernah menikah. Warga masyarakat yang sudah berumur 17 tahun atau sudah / pernah menikah, secara hukum sudah memiliki hak dan kewajiban untuk terlibat dalam kegiatan politik. Sebagai contoh, dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD pada Bab V yang berisi mengenai hak memilih, pasal 28 yang berbunyi “Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah / pernah kawin mempunyai hak pilih”. Populasi yang homogen merupakan keseluruhan individu yang menjadi anggota populasi memiliki sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang relatif sama satu sama lainnya. Dengan demikian diharapkan sampel yang diambil akan lebih representatif atau mewakili populasi yang diteliti. Karakteristik populasi dalam penelitian ini adalah populasi yang homogen. Homogenitas populasi dapat ditunjukkan sebagai berikut: a. Warga masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kegiatan politik. b. Warga masyarakat sama-sama menghendaki kehidupan yang demokratis. c. Warga masyarakat sama-sama menghendaki keadilan sosial. d. Warga masyarakat sama-sama dapat menggunakan haknya sebagai warga negara. e. Warga masyarakat sama-sama menghendaki adanya penyaluran aspirasi. f. Setiap warga masyarakat dijamin hak asasi manusianya. 95 2. Sampel Penelitian a. Pengertian Sampel Dalam suatu penelitian adakalanya tidak semua anggota dari populasi dapat diamati. Hal tersebut mengingat besarnya jumlah populasi dan keterbatasan peneliti dari segi biaya, waktu, dan tenaga. Oleh karena itu, perlu ada pembatasan dengan menetapkan sejumlah sampel yang representatif atau mampu mewakili populasi. Arline Fink (1995:1) mengemukakan, ”A sample is portion or subset of a larger group called a population”. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa sample adalah suatu bagian atau sub-sub dari suatu kelompok yang lebih besar yang dinamakan populasi. Pendapat senada juga dikemukakan oleh M. Iqbal Hasan (2002:84) yang mengemukakan, “Sampel adalah bagian dari populasi yang diambil melalui cara-cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu, jelas, lengkap yang dianggap bisa mewakili populasi”. Sampel diambil dari populasi dengan menggunakan cara-cara tertentu sehingga dapat mewakili populasi. Berdasarkan definisi sampel di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa sampel adalah bagian dari populasi yang menjadi sumber data sebenarnya dalam suatu penelitian dan diambil dengan menggunakan cara-cara tertentu sehingga mampu mewakili seluruh populasi (representatif). Dengan demikian, sampel merupakan bagian dari populasi yang hendak diteliti untuk mendapatkan kesimpulan yang akan digeneralisasikan pada populasi yaitu semua warga masyarakat yang telah dianggap dewasa secara hukum yaitu yang sudah berumur 17 tahun atau sudah / pernah menikah yang belum berumur 17 tahun di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara. sejumlah 1.400 orang. b. Teknik Sampling Sampel yang representatif dapat diperoleh dengan menggunakan teknikteknik tertentu yang dinamakan teknik sampling. Hadari Nawawi (1991:152) mengemukakan, ”Teknik sampling adalah cara untuk menentukan sampel yang jumlahnya sesuai dengan ukuran sampel yang akan dijadikan sumber data 96 sebenarnya, dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran populasi agar diperoleh sampel yang representaif atau benar-benar mewakili populasi”. 1) Cara Melakukan Teknik Sampling Teknik sampling dapat dijumpai dalam beberapa bentuk yang berbedabeda, walaupun pada dasarnya bertolak pada dua macam sampling yaitu sempling random dan sampling non random. Hal ini sesuai dengan pendapat Husaini Usman dan Purnomo (2003:183) yang menyatakan bahwa teknik pengambilan contoh / sampel dapat dilakukan dengan dua cara yaitu: a) Sampling random (probability sampling), yaitu pengambilan contoh secara acak (random) yang dilakukan dengan cara undian, ordinal atau tabel bilangan random atau dengan komputer. b) Sampling nonrandom (nonprobability sampling) atau disebut juga sebagai incidental sampling, yaitu pengambilan contoh tidak secara acak. Sampling random memberi kemungkinan yang sama bagi setiap unsur populasi untuk dipilih. Sedangkan sampling non random tidak memberi kemungkinan yang sama bagi tiap unsur populasi untuk dipilih. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa teknik sampling secara garis besar ada dua yaitu: a) Probability Sampling Probability sampling termasuk teknik random merupakan cara penentuan sampel yang obyektif karena memperhitungkan besar kecilnya variasi populasi yang dapat menjadi sumber kekeliruan dalam penarikan sampel. Penentuan sampel dilakukan dengan perhituangan tertentu guna menentukan jumlah atau ukuran sampel sehingga dapat diperoleh sampel yang benar-benar dapat mewakili populasi. Teknik random dapat dilakukan dengan cara undian, cara ordinal, dan cara randomisasi dari tabel bilangan random. b) Non Probability Sampling Non probability sampling termasuk non random sampling merupakan teknik penentuan sampel yang tidak menggunakan perhitungan eksak ketika menentukan jumlah atau ukuran sampel. Pengambilan jumlah atau ukuran sampel dilakukan dengan perkiraan apakah jumlah tersebut 97 sudah dapat mewakili populasi dan sesuai dengan masalah serta tujuan penelitian. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik multistage random sampling. Teknik tersebut merupakan perpaduan dari dua teknik sampling yaitu multistage sampling dan random sampling. Untuk memperjelas teknik multistage random sampling, maka perlu lebih dahulu diuraikan tentang multistage sampling dan random sampling secara terpisah. Prosedur multistage sampling menurut Leslie Kish (1995:155) yaitu: First selecting clusters, and then elements, requires two stages of selection. This method can readily be axtended to more stages. Multi stage sampling consists of “a hierarchy of different types of units, each first-stage unit being divided, or potentially divisible, into secondstage units, ect. A frame will be required at each stage for the units that have been selected at that stage. Initially, a frame is required by which first-stage units may be defined and selected. For the second stage of selection a frame is required by which second-stage units may be defined within the first-stage units which have been selected. One of the adventages of multistage sampling is that second-stage frames are only required for selected first-stage units and so on”. Pendapat di atas diterjemahkan oleh penulis sebagai berikut: Pertama memilih kelompok dan kemudian unsur-unsurnya, memerlukan dua tahap pemilihan. Metode ini dapat diperpanjang ke tahap yang lebih. Multistage sampling terdiri dari ”suatu tingkatan dari unit yang berbeda-beda jenis, masing-masing unit tahap pertama dibagi, atau berpotensi dapat dibagi ke dalam unit tahap yang kedua, dan seterusnya. Suatu kerangka akan dibutuhkan pada tiap tahap untuk unit yang telah dipilih pada tahapan tersebut. Awalnya, suatu kerangka dibutuhkan yang mana unit tahap pertama dapat didefinisikan dan dipilih. Untuk seleksi tahap kedua suatu kerangka dibutuhkan yang mana unit tahap kedua dapat didefinisikan dalam unit tahap pertama yang telah terpilih. Salah satu keuntungan dari multistage sampling adalah bahwa kerangka tahap kedua hanya diperlukan untuk unit tahap pertama yang terpilih dan sebagainya”. Teknik random sampling merupakan cara pengambilan atau pemilihan sampel secara random atau acak. Surtrisno Hadi (2000:75) mengemukakan, ”Dalam random sampling semua individu dalam populasi baik secara sendiri- 98 sendiri atau bersama-sama diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel”. Semua anggota populasi mempunyai kemungkinan atau kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel. Adapun cara-cara yang digunakan untuk random sampling dalam penelitian ini ialah dengan cara undian. Sutrisno Hadi (2000:76) menyatakan bahwa langkah-langkah yang digunakan dalam mengadakan undian yaitu : a) Buatlah suatu daftar yang berisi semua subyek, obyek, gejala, peristiwa, atau kelompok-kelompok yang ada dalam populasi. b) Berilah koda-koda yang berwujud angka-angka untuk tiap-tiap subyek, obyek, gejala, peristiwa atau kelompok yang dimaksudkan dalam a. c) Tuliskan koda-koda itu masing-masing dalam satu lembar kertas kecil. d) Gulung kertas itu baik-baik. e) Masukan gulungan-gulungan kertas itu ke dalam tempolong, kaleng atau tempat-tempat yang semacam. f) Kocok baik-baik tempolong atau kaleng itu. g) Ambilah kertas gulungan itu sebanyak yang dibutuhkan Sesuai dengan langkah-langkah diatas maka penulis melakukan cara pengundian sebagai berikut : a. Membuat sampling frame yang memuat semua daftar subyek populasi. b. Memberi kode nomor urut pada semua elmen populasi pada lebar kertaskertas kecil. c. Menggulung lembar kertas-kertas kecil kemudian memasukannya ke dalam kaleng, mengocoknya dengan rata, dan mengambilnya satu per satu dengan pengembalian. Penarikan sampel dengan pengembalian maksudnya ialah setiap selesai menarik atau gulungan kertas dan diketahui nomor kode atau nomor unit sampling yang dijadikan sampel, kertas itu digulung kembali dan dimasukkan lagi ke dalam kaleng undian agar dapat diperhitungkan dalam penarikan sampel berikutnya. Cara ini bertujuan memberikan peluang yang sama bagi terpilihnya setiap unit sampling untuk menjadi sampel. Berdasarkan uraian di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa multistage random sampling adalah suatu pengambilan sampel penelitian 99 melalui dua tahapan atau lebih sesuai dengan keadaan populasi. Untuk kepentingan tersebut maka pertama-tama populasi dibagi menjadi tingkatan dimana sampel tahap pertama diambil, selanjutnya ditentukan tahapan berikutnya sehingga seluruh sampel diperoleh. Dalam penelitian ini setiap penarikan sampel dilakukan secara random dengan cara undian. Sesuai wacana uraian tersebut di atas penulis memilih multistage random sampling dalam penelitian ini yang meliputi beberapa tahap berikut: a) Tahap pertama, membuat sampling frame yang terdiri dari RW-RW yang ada di Desa Pekandangan. Kemudian dilakukan pengundian dari sampling frame tersebut untuk memilih RW sampel sejumlah 2 RW. Setelah dilakukan pengundian terhadap 3 RW yang ada di Desa Pekandangan, terpilih RW II dan RW III sebagai sampel RW. b) Tahap kedua, membuat sampling frame bagi masing-masing RW terpilih yang terdiri dari RT-RT. Dari sampling frame setiap RW diambil 2 RT yang akan dijadikan sampel. Sehingga diperoleh sampel RT dari RW II sejumlah 2 RT (RT 02 dan RT 03) dan dari RW III sejumlah 2 RT (RT 01 dan RT 03). Secara keseluruhan ada 4 RT terpilih. c) Tahap ketiga, membuat sampling frame bagi setiap RT terpilih yang memuat daftar nama-nama kepala keluarga (KK). Dari sampling frame setiap RT diambil sejumlah KK dengan perincian sebagai berikut : (1) RT 02 RW II terdiri dari 70 KK, terpilih 10 KK sebagai sampel. (2) RT 03 RW II terdiri dari 40 KK, terpilih 6 KK sebagai sampel. (3) RT 01 RW III terdiri dari 64 KK, terpilih 9 KK sebagai sampel. (4) RT 03 RW III terdiri dari 55 KK. Terpilih 8 KK sebagai sampel. Jadi secara keseluruhan ada 33 KK yang terpilih sebagai sampel. d) Tahap keempat, membuat sampling frame yang memuat nama-nama anggota dari 33 KK terpilih yang telah berusia 17 tahun atau sudah / pernah menikah yang belum berusia 17 tahun. Sehingga terdaftar orang yang telah berusia 17 tahun atau sudah / pernah menikah sejumlah 88 orang. Selanjutnya diambil sejumlah sampel yang sebenarnya dengan cara undian. 100 Berikut ini daftar komposisi KK dalam setiap RT sebagai pedoman dalam langkah pengambilan sampel di atas. Tabel. 3. 1. Daftar RW, RT, dan KK terpilih di Desa Pekandangan No. Nama RW Nama RT Jumlah KK KK Terpilih 1 RW II 2 RW III Jml 2 RW 02 03 01 03 4 RT 70 KK 40 KK 64 KK 55 KK 229 KK 10 KK 6 KK 9 KK 8 KK 33 KK 2) Penentuan Besarnya Sampel (Sample Size) Penentuan besarnya sampel (sample Size) dapat diambil dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan tertentu. Menurut Masri S. dan Sofian E. (1995:150) ada empat faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan besarnya sampel dalam suatu penelitian, yaitu : a) Darajad keseragaman (degree of homogenity) dari populasi. Makin seragam populasi itu, makin kecil sampel yang diambil. b) Presisi yang dikehendaki dari penelitian. Makin tinggi tingkat presisi yang dikehendaki, makin besar jumlah sampel yang harus diambil. c) Rencana analisa, jumlah sampel yang akan diambil harus disesuaikan dengan kebutuhan analisa sehingga diperlukan rencana analisa. d) Tenaga, biaya, dan waktu dari peneliti tidak memungkinkan untuk mengambil sampel yang lebih besar. Dari pendapat diatas dapat penulis simpulkan bahwa dalam menentukan besarnya anggota sampel harus mempertimbangkan beberapa faktor tertentu agar kesimpulan yang berlaku untuk populasi dapat dipertanggungjawabkan. Mengenai ukuran sampel, pada prinsipnya tidak ada peraturan yang mutlak. Hal ini dapat dilihat dari beragamnya pendapat para ahli tentang aturan untuk menentukan besar kecilnya sampel penelitian. Nasution (2004:101) mengemukakan, ”Tidak ada aturan yang tegas tentang jumlah sampel yang dipersyaratkan untuk suatu penelitian dari populasi yang tersedia. Juga tidak 101 ada batasan yang jelas apa yang dimaksud dengan sampel yang besar dan yang kecil”. Jadi peneliti sendirilah yang dapat menentukan besarnya jumlah sampel. Sedangkan Arline Fink (1995:1) menyatakan, ”A good sample is a miniature version of the population just lake it, only smaller. The best sample is representative, or a model, of the population”. Menurutnya, sample yang baik adalah bentuknya kecil dari populasi, hampir sama seperti populasi tetapi lebih kecil. Sampel yang baik adalah yang dapat mewakili populasi atau sebagai model dari populasi. Penelitian ini menggunakan teknik penarikan sampel secara multistage random sampling yang membutuhkan beberapa tahapan sebelum mengambil sampel yang sesungguhnya. Oleh karena itu, peneliti membutuhkan kecermatan dalam menentukan besarnya sampel yang akan diambil. Sedangkan rumus yang digunakan untuk menentukan besarnya sampel adalah rumus Slovin (dalam Bambang P. dan Lina MJ. (2005:136)) sebagai berikut: n N 1 Ne 2 Keterangan : n = Besaran sampel N = Besaran populasi e = Nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan atau persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan penarikan sampel. Berdasarkan rumus Slovin, peneliti menghendaki nilai kritis 5%, maka taraf kepercayaannya 95%. Artinya, kira-kira 5 dari 100 kesimpulan akan menolak hipotesis yang seharusnya diterima atau kira-kira 95% percaya bahwa kesimpulan yang kita buat adalah benar. Penghitungan secara rinci sebagai berikut: n 88 2 1 880,05 102 n 88 1,22 n 72,13 (dibulatkan menjadi 72 orang) Dengan demikian jumlah sampel dalam penelitian ini sebesar 72 orang dengan besaran populasi 88 orang di Desa Pekandangan, Banjarmangu, Banjarnegara. 3) Alasan Menggunakan Sampling Teknik sampling merupakan teknik tertentu yang digunakan untuk mengambil sampel. Sedangkan Husaini Usman (2003:182) menyatakan bahwa teknik sampling berguna agar : a) Mereduksi anggota populasi menjadi anggota sampel yang mewakili populasinya (representatif), sehingga kesimpulan terhadap populasi dapat dipertanggungjawabkan. b) Lebih teliti menghitung yang sedikit dari pada yang banyak. c) Menghemat waktu, tenaga, biaya, menghemat benda coba yang merusak. Berdasarkan urain di atas, dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik sampling. Adapun alasan dipilihnya sampling dalam penelitian ini adalah: a) Dengan teknik sampling yang baik mungkin akan diperoleh hasil yang tepat karena penyelidikan dapat dilakukan dengan teliti. b) Kesalahan yang mungkin diperbuat lebih sedikit. c) Penghematan biaya, waktu dan tenaga. Selanjutnya, alasan utama peneliti menggunakan teknik multistage random sampling dalam penelitian ini ialah: a) Terbatasnya ketersediaan daftar yang memuat semua unsur atau nama dalam populasi secara akurat. b) Teknik multistage random sampling lebih efisien mengingat wilayah populasi luas dengan jumlah populasi yang cukup besar. c) Teknik multistage random sampling memudahkan peneliti dalam mengumpulkan data karena persebaran responden lebih mengelompok. 103 E. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data merupakan cara-cara yang dapat digunakan peneliti untuk mendapatkan data yang diperlukan dengan menggunakan alat tertentu. Data ialah faktor yang sangat penting karena data memuat keteranganketerangan yang diperoleh untuk membuktikan kebenaran hipotesis. Sedangkan kualitas data ditentukan oleh kualitas alat atau instrumen pengambil data atau alat pengukurannya. Untuk mendapatkan data yang obyektif dan valid, maka dibutuhkan suatu teknik pengumpulan data yang tepat sebab kekeliruan dalam memilih metode pengumpulan data akan menyebabkan hasil penelitian tidak tepat. Adapun dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan angket atau kuesioner sebagai metode utama. Sedangkan wawancara dan dokumentasi digunakan sebagai metode bantu. 1. Angket a. Pengertian Angket Angket merupakan teknik pengumpulan data melalui daftar pertanyaan yang harus dijawab secara tertulis oleh responden. Angket ini juga bisa disebut kuosioner. Suharsimi Arikunto (2002:128) berpendapat bahwa “Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui”. Dari pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud angket adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mengedarkan serangkaian pertanyaan atau pernyataan tertulis yang diajukan dan harus dijawab oleh responden guna mendapatkan jawaban atau tanggapan seperlunya. Penggunaan angket dalam penelitian ini berfungsi untuk mendapatkan informasi tentang pendidikan, status sosial, dan partisipasi politik. Angket sering dipakai sebagai alat pengumpul data dalam suatu penelitian. Hal ini dikarenakan angket memiliki sejumlah keuntungan sebagaimana diungkapkan oleh Suharsimi Arikunto (2002:129) sebagai berikut : 1) Tidak memerlukan hadirnya peneliti. 104 2) Dapat dibagikan secara serentak kepada responden. 3) Dapat dijawab oleh responden menurut kecepatannya masing-masing, dan menurut waktu senggang responden. 4) Dapat dibuat anonim sehingga responden bebas jujur dan tidak malumalu dalam menjawab. 5) Dapat dibuat terstandar sehingga bagi semua responden dapat diberi pertanyaan yang benar-benar sama. Lebih lanjut Suharsimi Arikunto menyebutkan kekurangan angket yaitu : 1) Responden sering tidak teliti dalam menjawab sehingga ada pertanyaan yang terlewati tidak dijawab, padahal sukar diulangi diberikan kembali kepadanya. 2) Sukar dicari kevaliditasannya. 3) Walaupun dibuat anonim, kadang-kadang responden dengan sengaja memberikan jawaban yang tidak betul atau tidak jujur. 4) Seringkali tidak kembali, terutama jika dikirim lewat pos. Menurut penelitian, angket yang dikirim lewat pos angka pengembaliannya sangat rendah, hanya sekitar 20% (Anderson). 5) Waktu pengembaliannya tidak bersama-sama, bahkan kadang-kadang ada yang terlalu lama sehingga terlambat. Berpedoman dari beberapa keuntungan dan kekurangan angket, maka alasan utama peneliti menggunakan angket dalam penelitian ini adalah: 1) Angket dapat disebarluaskan secara serentak kepada responden, dengan demikian menghemat waktu. 2) Dengan menggunakan angket, responden lebih mudah memberikan jawaban dan tidak malu-malu dalam menjawab pertanyaan. 3) Penggunaan angket unsur subyektifitas dapat diperkecil kemungkinannya. b. Jenis-Jenis Angket Kuesioner atau angket dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Menurut Suharsimi Arikunto (20002:128-129) angket dibedakan sebagai berikut: 1) Dipandang dari cara menjawab, maka ada : a) Kuesioner terbuka, yang memberikan kesempatan kepada responden untuk menjawab dengan kalimatnya sendiri. b) Kuesioner tertutup, yang sudah disediakan jawabannya sehingga responden tinggal memilih. 2) Dipandang dari jawaban yang diberikan ada : a) Kuesioner langsung, yaitu responden menjawab tentang dirinya. b) Kuesioner tidak langsung, yaitu jika responden menjawab tentang orang lain. 105 3) Dipandang dari bentuknya maka ada : a) Kuesioner pilihan ganda, yang dimaksud adalah sama dengan koesioner tertutup. b) Kuesioner isian, yang dimaksud adalah kuesioner terbuka. c) Check list, sebuah daftar, dimana responden tinggal membubuhkan tanda chek (v) pada klom yang sesuai. d) Rating scale (skala bertingkat) yaitu sebuah pertanyaan diikuti oleh kolom-kolom yang menunjukkan tingkat-tingkatan misalnya: mulai dari sangat setuju sampai ke sangat tidak setuju. Angket yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya sebagai berikut: 1) Berdasarkan cara menjawabnya, angket yang digunakan dalam penelitian ini ialah angket setengah terbuka dan angket tertutup. Sudarwan Danim (1997:173) mengemukakan ”Pertanyaan setengah berstruktur atau setengah terbuka, di mana dalam setiap pertanyaan atau pernyataan yang ada pada kuosioner disertai alternatif atau kategori jawaban, akan tetapi tidak tuntas”. Artinya peneliti berusaha secara maksimal menentukan alternatif jawaban, akan tetapi masih memberikan peluang kepada responden untuk membuat kategori atau alternatif jawaban lain, sesuai apa yang ada pada dirinya. Adapun alasan penggunaan pertanyaan setengah terbuka ialah memberi keleluasaan pada responden untuk menentukan kategori / alternatif jawaban yang benar-benar sesuai dengannya. Angket ini digunakan dalam beberapa item soal variabel pendidikan dan status sosial. Penelitian ini juga menggunakan angket tertutup. Angket ini dibuat sedemikian rupa untuk memperoleh data dimana semua alternatif jawaban yang harus dijawab oleh responden telah tertera dalam angket tersebut. Dengan demikian responden boleh memilih jawaban yang paling sesuai dengan keadaan masing-masing. Sedangkan alasan digunakannya angket tertutup dalam penelitian ini antara lain hasil atau datanya mudah diolah, memudahkan responden dalam menjawab, dan memungkinkan angket tersebut untuk diisi oleh responden. Hal ini sejalan dengan pendapat Nasution (2004:131) yang menyatakan beberapa keuntungan angket tertutup sebagai berikut : 1) Hasilnya mudah diolah, diberi kode dan diskor, bahkan dapat diolah dengan menggunakan komputer. 106 2) Responden tidak perlu menulis atau mengekspresikan buah pikirannya dalam bentuk tulisan. 3) Mengisi angket relatif tidak banyak memerlukan waktu dibandingkan dengan angket terbuka. 4) Lebih besar harapan bahwa angket itu diisi dan dikembangkan bila angket itu tertutup. Angket tertutup digunakan pada sebagian besar item soal angket status sosial dan dipakai secara keseluruhan pada item soal angket partisipasi politik. 2) Berdasarkan jawaban yang diberikan, penelitian ini menggunakan angket langsung. Angket langsung bertujuan untuk memperoleh data tentang keadaan yang dialami oleh responden sendiri. 3) Berdasarkan bentuknya, penelitian ini menggunakan angket pilihan ganda. Angket yang berbentuk pilihan ganda dipakai pada angket status sosial dan pada angket partisipasi politik. c. Langkah-langkah Menyusun Angket Dalam penyusunan angket ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh peneliti agar angket sesuai dengan tujuan yang dikehendaki dalam penelitian. Adapun langkah-langkah yang dimaksud meliputi : 1) Spesifikasi data Spesifikasi data dilaksanakan dengan menyusun kisi-kisi angket terlebih dahulu yang terdiri dari : a) Menentukan konsep tentang pendidikan, status sosial, dan partisipasi politik. b) Menentukan aspek yang akan diukur dari variabel pendidikan, status sosial dan partisipasi politik. c) Menyusun butir-butir soal. 2) Pemberian skor angket Pemberian skor pada angket variabel pendidikan disesuaikan dengan jumlah tahun studi yang ditempuh responden, sebagai berikut: a) Tidak sekolah : nilai 0 b) SD dan sederajad sampai kelas I : nilai 1 c) SD dan sederajad sampai kelas II : nilai 2 107 d) SD dan sederajad sampai kelas III : nilai 3 e) SD dan sederajad sampai kelas IV : nilai 4 f) SD dan sederajad sampai kelas V : nilai 5 g) SD dan sederajad sampai kelas VI / lulus : nilai 6 h) SMP dan sederajad sampai kelas VII : nilai 7 i) SMP dan sederajad sampai kelas VIII : nilai 8 j) SMP dan sederajad sampai kelas IX / lulus : nilai 9 k) SMA dan sederajad sampai kelas X : nilai 10 l) SMA dan sederajad sampai kelas XI : nilai 11 m) SMA dan sederajad sampai kelas XII / lulus : nilai 12 n) D1 atau S1 tingkat 1 : nilai 13 o) D2 atau S1 tingkat 2 : nilai 14 p) D3 atau S1 tingkat 3 : nilai 15 q) S1 tingkat 4 : nilai 16 r) S2 tingkat 1 : nilai 17 s) S2 tingkat 2 : nilai 18 t) S3 tingkat 1 : nilai 19 u) S3 tingkat 2 : nilai 20 Pemberian skor pada angket status sosial menyesuaikan bagaimana cara responden menjawab, dengan perincian sebagai berikut: a) Untuk pertanyaan stengah terbuka, alternatif jawaban berjumlah 4 dan salah satu diantaranya dapat diisi responden sehingga pemberian skor mengacu pada skala 1 sampai 4 atau membuat penskoran sesuai jawaban yang diberikan responden. b) Untuk pertanyaan tertutup, alternatif jawaban ada 4 dengan penskoran sebagai berikut: Alternatif jawaban a : nilai 4 Alternatif jawaban b : nilai 3 Alternatif jawaban c : nilai 2 Alternatif jawaban d : nilai 1 108 c) Pada bebrapa pertanyaan tertentu, penskoran dilakukan jika responden memilih lebih banyak alternatif yang disediakan maka lebih tinggi nilainya, sebaliknya jika responden memilih sedikit alternatif yang tersedia maka nilainya lebih rendah. Adapun penskoran pada angket partisipasi politik sama dengan penskoran pada bentuk pertanyaan tertutup angket status sosial yaitu menggunakan skala penilaian numerik. Menurut Consuelo (1993:216) ”Responden diminta memilih satu di antara beberapa kategori dari soal yang hampir memiliki karakteristik sama atau objek yang akan dinilai”. Lebih lanjut Consuelo menjelaskan bahwa skala penilaian numerik terdapat alternatif jawaban sebanyak 5 kategori dengan jarak dari ”Selalu”, ”Sering”, ”Kadangkadang”, ”Jarang”, ”Tidak pernah” yang masing-masing secara berurutan memiliki skor 5, 4, 3, 2, dan 1. Sedangkan dalam instrumen ini hanya tersedia 4 alternatif jawaban dengan asumsi statmen ”Kadang-kadang” dihilangkan dengan alasan bahwa statmen tersebut menimbulkan keraguan bagi responden. Jadi dalam menjawab pertanyaan angket partisipasi politik, responden memilih 1 dari 4 alternatif jawaban yang sesuai dengan keadaan sesungguhnya dengan cara memberikan tanda silang (X) pada alternatif jawaban berikut: Alternatif jawaban a : nilai 4 Alternatif jawaban b : nilai 3 Alternatif jawaban c : nilai 2 Alternatif jawaban d : niali 1 3) Membuat format angket dan petunjuk pengisian Pedoman atau petunjuk pengisian angket merupakan suatu keterangan tentang cara mengisi angket. Dengan adanya petunjuk pengisian diharapkan responden tidak mengalami keraguan dan kesalahan dalam mengisi angket . 4) Membuat surat pengantar Surat pengantar memuat suatu permohonan dalam mengisi angket, maksud pengisian dan ucapan terima kasih. Dengan demikian diharapkan responden berkesediaan untuk mengisi angket dalam waktu yang telah ditentukan. 109 5) Mengadakan uji coba (try out) angket Angket yang telah selesai disusun sebelum diedarkan kepada responden yang sebenarnya harus diuji coba terlebih dahulu. Tujuan uji coba angket ialah untuk mendapatkan gambaran mengenai validitas dan reliabilitas angket. Keduanya ialah syarat pokok mendapatkan alat pengumpul data yang baik. Uji coba angket dalam penelitian ini dilakukan terhadap 30 orang warga masyarakat yang telah dianggap dewasa secara hukum yaitu yang sudah berumur 17 tahun, atau sudah / pernah menikah di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara dan tidak termasuk anggota sampel penelitian. Jadi uji coba dilakukan terhadap responden yang masih dalam satu populasi tetapi tidak termasuk sampel penelitian. Adapun maksud peneliti mengadakan try out angket adalah: a) Menghindari pertanyaan-pertanyaan yang bermakna ganda dan tidak jelas. b) Menghindari pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak diperlukan. c) Menghindari kata-kata yang kurang dimengerti atau dipahami responden. d) Mengilangkan item-item yang dianggap tidak relevan dengan penelitian. Selain beberapa maksud diatas, try out dilakukan untuk mengetahui kelemahan angket yang disebarkan kepada responden dan untuk mengetahui sejauh mana responden mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan tersebut. Try out juga dilakukan untuk mengetahui apakah angket tersebut memenuhi syarat validitas dan reliabilitas. Oleh karena itu, perlu diadakan uji validitas dan uji reliabilitas. Tahap-tahap pengujian angket sebagai berikut: a) Uji validitas angket Uji validitas angket atau instrumen dilakukan guna mengetahui sejauh mana instrumen mampu mengukur apa yang hendak diukur. Saifuddin Azwar (2001:5-6) menyatakan, ”Validitas berasal dari kata validity yang mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya”. Suatu instrumen yang valid mempunyai validitas yang tinggi, sebaliknya instrumen yang kurang valid mempunyai validitas rendah. Instrumen dikatakan mempunyai validitas tinggi jika instrumen tersebut dapat menjalankan fungsi ukurnya, atau 110 memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya pengukuran tersebut. Sedangkan instrumen yang memiliki validitas rendah jika instrumen tersebut menghasilkan data yang tidak relevan dengan tujuan pengukuran. Menurut Saifuddin Azwar (2000:45) macam-macam validitas meliputi: (1) Validitas isi Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian terhadap isi tes dengan analisis rasional. Pertanyaan yang dicari jawabannya dalam validitas ini adalah sejauhmana item-item dalam tes mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur atau sejauhmana isi tes mencerminkan ciri atribut yang hendak diukur. Validitas isi terbagi menjadi dua tipe, yaitu: (a) Validitas Muka Validitas muka adalah tipe validitas yang paling rendah signifikansinya karena hanya didasarkan pada penilaian terhadap format penempilan (appearance) tes. Apabila penampilan tes telah meyakinkan dan memberikan kesan mampu mengungkap apa yang hendak diukur maka dapat dikatakan validitas muka terpenuhi. (b) Validitas Logik Validitas logik disebut juga sebagai validitas sampling ( sampling validity). Validitas tipe ini menunjuk pada sejauhmana isi tes merupakan representasi dari ciri-ciri atribut yang hendak diukur. (2) Validitas Konstruk Validitas konstruk adalah tipe validitas yang menunjukan sejauhmana tes mengungkap suatu trait atau konstruk teoritik yang hendak diukurnya. Pengujian validitas konstruk merupakan proses yang terus berlanjut sejalan dengan perkembangan mengenai trait yang diukur. (3) Validitas Berdasar Kriteria Prosedur pendekatan validitas berdasar kriteria menghendaki tersedianya kriteria eksternal yang dapat dijadikan dasar pengujian 111 skor tes. Untuk melihat tingginya validitas berdasar kriteria dilakukan komputasi korelasi antara skor tes dengan skor kriteria. Validitas berdasar kriteria menghasilkan dua macam validitas, yaitu: (a) Validitas Prediktif Validitas prediktif sangat penting artinya bila tes dimaksudkan untuk berfungsi sebagai prediktor bagi performasi di waktu mendatang. (b) Validitas Konkruen Validitas konkruen merupakan indikasi validitas yang layak ditegakkan apabila tes tidak digunakan sebagai suatu prediktor dan merupakan validitas yang sangat penting dalam situasi diagnostik. Validitas yang dicari dalam uji coba penelitian ini adalah validitas konstruk, yaitu menunjuk pada seberapa jauh suatu intrumen mengukur suatu konstruk tertentu. Dalam penelitian ini, angket bertujuan mengungkapkan suatu konstruk teoritik yang hendak diukur. Butir pertanyaan disusun berdasarkan teori-teori yang relevan dan pengujian dilakukan dengan menggunakan teknik analisis statistika. Alasan lain digunakannya validitas konstruk ialah karena variabel status sosial dan variabel partisipasi politik didefinisikan secara oprasional dari beberapa teori. Uji validitas konstruk digunakan pada angket variabel status sosial dan partisipasi politik. Sedangkan angket variabel pendidikan tidak diuji validitas maupun reliabilitasnya karena berupa data tunggal. Setiap data yang diperoleh dari angket variabel pendidikan merupakan data apa adanya yang dapat dibedakan dengan jelas antara satu dengan lainnya. Misal, seseorang yang pendidikannya sampai kelas VI SD lama pendidikannya jelas 6 tahun, maka akan mudah dibedakan dengan seseorang yang pendidikannya sampai kelas 1X SMP lama pendidikannya 9 tahun. Dengan demikian, angket variabel pendidikan tidak memerlukan uji validitas dan reliabilitas sebagaimana pada angket variabel status sosial dan partisipasi politik. 112 Teknik validitas meliputi beberapa langkah yaitu : (1) Langkah pertama: mendefinisikan oprasional konsep yang diukur. (2) Langkah kedua: melakukan uji coba skala pengukuran tersebut pada sejumlah responden. (3) Langkah kedua: mempersiapkan tabel tabulasi jawaban. (4) Langkah keempat: menghitung korelasi antara skor per item dengan skor total dengan menggunakan rumus korelasi product moment. Uji validitas item angket menggunakan rumus korelasi product moment dari Pearson dalam Suharsimi Arikunto (2002:146) yaitu: r xy = N XY X Y N X 2 X N Y 2 Y 2 2 Keterangan : r xy = koefisien korelasi antara x dan y X = jumlah skor butir angket variabel X Y = jumalah skor butir angket variabel Y N = jumlah subyek uji coba Jika p item < 0,050 maka dapat disimpulkan kriteria pengujian valid, sebaliknya jika p item > 0,050 maka kriteria pengujian tidak valid. Berdasarkan hasil penghitungan validitas item try out melalui komputer paket seri program statistik (SPS) 2000 program uji kesahihan butir edisi Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih maka didapatkan hasil sebagai berikut : a. Variabel Status Sosial (X2) 1) Jumlah item yang diujicobakan terdiri dari 40 item pertanyaan. 2) Jumlah item yang dinyatakan valid atau sahih sebanyak 30 butir, yaitu nomor : 1, 2, 3, 4, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 27, 28, 31, 34, 36, 37, 38, 39. Keseluruhan item tersebut valid karena masing-masing item memiliki p < 0,050. 3) Jumlah item yang dinyatakan invalid atau gugur sebanyak 10 butir, yaitu nomor : 5, 7, 19, 26, 29, 30, 32, 33, 35, 40. Keseluruhan item tersebut tidak valid karena masing-masing item memiliki p > 0,050. 113 Angket variabel Status Sosial yang diujicobakan memiliki koefisien validitas (rbt) berkisar antara 0,856 sampai -0,059. b. Variabel Partisipasi Politik (Y) 1) Jumlah item yang diujicobakan terdiri dari 50 item pertanyaan. 2) Jumlah item yang dinyatakan valid atau sahih sebanyak 40 butir, yaitu nomor : 1, 2, 3, 5, 6, 7, 9, 10, 12,13, 14, 15, 17,18,19, 20, 21, 23,24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 35, 36, 38, 39, 40, 41, 43, 44, 46, 48, 49, 50. Keseluruhan item tersebut valid karena masing-masing item memiliki p < 0,050. 3) Jumlah item yang dinyatakan gugur atau gugur sebanyak 10 butir, yaitu nomor : 4, 8, 11, 16, 22, 34, 37, 42, 45, 47. Keseluruhan item tersebut tidak valid karena masing-masing item memiliki p > 0,050. Angket variabel Partisipasi Politik memiliki koefisien validitas (rbt) berkisar antara 0,771 sampai -0,003. b) Uji Reliabilitas angket Reliabilitas diungkapkan oleh memiliki Saifuddin berbagai nama, Azwar (2001:4) sebagaimana yaitu yang ”Reliabilitas mempunyai berbagai nama lain seperti keterpercayaan, keterandalan, keajegan, kestabilan, konsistensi, dan sebagainya, namun ide pokok yang terkandung dalam konsep reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya”. Jadi suatu instrumen dapat dikatakan mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi atau reliabel jika dapat memberikan hasil yang relatif tetap apabila alat ukur tersebut dikenakan pada subyek yang sama. Hal ini senada dengan pendapat Nasution (2004:77) yang menyatakan ”Suatu alat pengukur dikatakan reliabel bila alat itu dalam mengukur suatu gejala pada waktu yang berlainan senantiasa menunjukkan hasil yang sama”. Penghitungan terhadap tingginya reliabilitas dapat dilakukan melalui berbagai metode pendekatan. Ada tiga macam pendekatan reliabilitas sebagaimana diungkapkan oleh Saifuddin Azwar (2001:36) yaitu ”pendekatan tes-ulang (test-retest), pendekatan bentuk paralel 114 (paralel-forms), dan pendekatan konsistensi internal (internal consistency)”. Penjelasan dari masing-masing realibilitas di atas yaitu: (1) Reliabilitas tes-ulang (test-retest) Reliabilitas tes-ulang dilakukan dengan menyajikan tes dua kali pada suatu kelompok subjek dengan tenggang waktu diantara kedua penyajian tersebut. Suatu tes dikatakan reliabel bila menghasilkan skor yang relatif sama apabila dikenakan dua kali tes pada waktu yang berbeda. Semakin besar variasi perbedaan skor subjek antara kedua pengenaan itu berarti semakin sulit untuk mempercayai bahwa tes itu memberikan hasil ukur yang konsisten. (2) Reliabilitas bentuk paralel (paralel-forms) Dalam reliabilitas bentuk paralel, tes yang akan diestimasi reliabilitasnya harus ada paralelnya yaitu tes lain yang sama tujuan ukurnya dan setara isi itemnya baik secara kualitas maupun kuantitasnya. Dengan kata lain, perlu punya dua tes yang kembar. (3) Reliabilitas konsistensi internal (internal consistency) Reliabilitas konsistensi internal dilakukan dengan menggunakan satu bentuk tes yang dikenakan hanya sekali saja pada sekelompok subjek. Pendekatan reliabilitas konsistensi internal bertujuan melihat konsistensi antar item atau antar bagian dalam tes itu sendiri. Untuk itu, setelah skor setiap item diperoleh dari sekelompok subjek, tes dibagi menjadi beberapa belahan. Berdasarkan uraian diatas maka teknik pengukuran reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan pendekatan reliabilitas konsistensi internal dengan teknik belah dua, dimana skor dibagi menjadi dua yaitu ganjil dan genap. Selanjutnya jumlah total belahan pertama dan belahan kedua akan dikorelasikan untuk mengetahui realibilitas angket. Sedangkan alasan dipakainya realibilitas konsistensi internal karena bertujuan untuk mengukur variabel yang sama pada waktu yang sama dan untuk melihat konsistensi antar item dalam tes itu sendiri. Uji relibilitas digunakan pada angket variabel status sosial dan variabel partisipasi politik. Sedangkan 115 angket variabel pendidikan tidak diuji reliabilitasnya karena berupa data tunggal. Untuk uji reliabilitas item angket digunakan rumus Alpha dalam Suarsimi Arikunto (2002 :171) sebagai berikut : k r 11 = 1 k 1 2 b 2 t Keterangan : r 11 = koefisien reliabilitas instrumen k = banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal b2 = jumlah varians butir t2 = varians total Instrumen dikatakan reliabel jika p < 0,050, sebaliknya jika p > 0,050 maka dapat disimpulkan hasil pengukuran tersebut tidak reliabel. Berdasarkan hasil uji keandalan teknik alpha cronbach melalui komputer paket seri program statistik (SPS) 2000 edisi Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih dapat diketahui koefisien reliabilitas (rtt) masing-masing variabel sebagai berikut: a. Variabel Status Sosial (X2) Variabel Status Sosial (X2) menghasilkan koefisien reliabilitas instrumen (rtt) = 0,927 dan p = 0,000, berarti angket variabel tersebut memiliki reliabilitas yang hadal. b. Variabel Partisipasi Politik (Y) Variabel Partisipasi Politik (Y) menghasilkan koefisien reliabilitas (rtt) = 0,954 dan p = 0,000, berarti angket variabel tersebut memiliki reliabilitas yang hadal. Berdasarkan hasil perhitungan uji reliabilitas try out angket dapat disimpulkan bahwa reliabilitas kedua angket diterima dengan taraf signifikansi 5% karena p < 0,050 atau 0,000 < 0,050. 116 6) Perbaikan angket Perbaikan angket dilakukan setelah diketahui validitas dan reliabilitasnya. Langkah perbaikan atau revisi dengan cara menghilangkan atau mengedrop item-item pertanyaan yang tidak valid atau tidak reliabel. Sedangkan angket yang akan digunakan dalam penelitian ialah angket yang valid dan reliabel. 7) Memperbanyak angket Angket yang telah direvisi dan telah diyakini valid dan reliabel kemudian diperbanyak sesuai dengan jumlah responden yang dijadikan sampel. Angket siap untuk disebarkan kepada responden. 8) Langkah terakhir adalah menggunakan angket dan telah mendapatkan umpan balik dari responden sebagai alat pengumpul data yang kemudian dianalisis. 2. Dokumentasi Pengumpulan data dalam penelitian ini selain menggunakan metode angket juga menggunakan metode dokumentasi. Menurut Suharsimi Arikunto (2002:206) ”Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat, legger, agenda dan sebagainya”. Sedangkan menurut Hadari Nawawi (1991:95) mengemukakan tentang pengertian teknik dokumentasi yaitu ”Cara mengumpulkan data yang dilakukan dengan kategorisasi dan klasifikasi bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian, baik dari sumber dokumen maupun buku-buku, koran, majalah dan lain-lain”. Berdasarkan pendapat kedua ahli diatas tentang metode atau teknik dokumentasi, maka dapat disimpulkan bahwa metode dokumentasi adalah cara mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian dengan mencatat data-data yang sudah ada atau hal-hal yang berkaitan dengan penelitian. Adapun alasan peneliti menggunakan metode dokumentasi adalah : a. Sumber data bisa diperoleh dengan mudah sebab datanya sudah tersedia. b. Dalam waktu relatif singkat dapat diperoleh data yang diinginkan. c. Data dapat ditinjau kembali jika diperlukan. 117 Dalam penelitian ini dokumen yang digunakan adalah dokumen pemerintahan desa yang berupa data-data monografi desa seperti data tentang jumlah penduduk, nama kepala keluarga, dan data kegiatan politik yang berlangsung di desa. 3. Wawancara (Interviu) Menurut Sutrisno Hadi (2000:193) ”Interviu dapat dipandang sebagai metde pengumpulan data dengan jalan tanya jawab yang dikerjakan dengan sistematik dan berlandaskan kepada tujuan penelitian”. Wawancara atau interviu dilakukan untuk memperoleh data dengan cara tanya jawab anatara pewawancara dengan responden yang diwawancarai. Dalam penelitian ini metode wawancara merupakan teknik pelengkap yang digunakan untuk memperoleh informasi yang tidak dapat diperoleh melalui angket. Wawancara ditujukan kepada perangkat desa untuk memperoleh data mengenai kegiatan politik yang berlangsung di desa. Metode wawancara juga ditujukan kepada masyarakat, untuk menghindari responden yang tidak dapat membaca. Pelaksanaan metode wawancara dalam penelitian ini menggunakan pedoman (guide) angket. F. Teknik Analisis Data Apabila pengumpulan data telah selesai, maka data tersebut perlu dianalisis dalam rangka menguji kebenaran hipotesis dan juga untuk memperoleh suatu kesimpulan. Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (1995:263) menyatakan, ”Analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan”. Teknik analisis data merupakan tahapan penting dalam suatu penelitian. Selain itu, teknik analisis data juga merupakan cara yang digunakan dalam mengolah data dan menganalisa data yang telah terkumpul dalam penelitian untuk membutikan hipotesis yang telah ditentukan. Pada tahap inilah data dikerjakan, diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa sehingga berhasil menyimpulkan kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab 118 persoalan-persoalan yang diajukan dalam suatu penelitian. Menurut Suharsimi Arikunto (2002:209) secara garis besar ada tiga langkah dalam analisis data yaitu: 1. Persiapan 2. Tabulasi 3. Penerapan data sesuai dengan pendekatan penelitian Berpedoman dari pendapat Suharsimi Arikunto diatas, maka tahap-tahap yang dilakukan dalam pelaksanaan analisis data penelitian ini sebagai berikut: 1. Tahap persiapan Dalam tahap persiapan meliputi kegiatan pengecekan nama dan kelengkapan identitas pengisi, mengecek kelengkapan data, dan mengecek macam isian data. Apa yang dilakukan dalam tahap persiapan ini adalah memilih data sedemikian rupa sehingga hanya data yang terpakai saja yang tinggal. Tahap ini juga bermaksud untuk merapikan data sehingga tinggal mengadakan pengolahan lebih lanjut. 2. Tahap tabulasi data Kegiatan yang dilakukan pada tahap tabulasi antara lain berupa kegiatan menyusun data ke dalam tabel-tabel untuk memudahkan dalam perhitungan. Tabulasi data juga dapat dilakukan dengan memberikan kode atau koding dalam hubungannya dengan pengolahan data yang menggunakan komputer. 3. Tahap penerapan data sesuai dengan pendekatan penelitian Maksud dari penerapan data yaitu pengolahan data yang diperoleh dengan menggunakan rumus atau aturan yang ada, sesuai dengan pendekatan penelitian yang diambil. Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi ganda. Suharsimi Arikunto (2002:264) menyatakan, ”Regresi ganda (multipe regression) adalah suatu perluasan dari teknik regresi apabila terdapat lebih dari satu variabel bebas untuk mengadakan prediksi terhadap variabel terikat”. Sejalan dengan pendapat tersebut, Anto Dajan (1995:399) mengemukakan ”Teknik regresi berganda sebetulnya dipakai guna menggambarkan betapa suatu variabel dependen dihubungkan dengan 2 atau lebih dari dua variabel independen”. 119 Adapun alasan peneliti menggunakan teknik analisis regresi ganda dalam penelitian ini ialah : a. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel prediktor dan satu variabel kriterium, yaitu : 1) Variabel terikat (dependen / kriterium) : partisipasi politik 2) Variabel bebas (independen / prediktor) : pendidikan dan status sosial b. Permasalahan yang hendak diselesaikan dalam penelitian ini ialah mencari hubungan dan menentukan besar sumbangan atau kontribusi. Pengolahan data dilakukan dengan teknik analisis regresi ganda menggunakan bantuan komputer seri SPS 2000, edisi Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih, UGM Versi IBM/IN. Sesuai dengan tenik yang digunakan, maka dalam mengadakan analisis data, peneliti berpedoman pada kaidahkaidah berikut ini: Kaidah uji hipotesis via komputer sebagai berikut : Jika p (probabilitas) < 0,01 = sangat signifikan. Jika p (probabilitas) < 0,05 = signifikan Jika p (probabilitas) < 0,15 = cukup signifikan Jika p (probabilitas) < 0,30 = kurang signifikan Jika p (probabilitas) > 0,30 = tidak signifikan Kaidah uji normalitas menggunakan p > 0.05 = normal Kaidah uji hipotesis konvensional (menggunakan tabel signifikansi) : Jika p < 0,01 = sangat signifikikan Jika p < 0,05 = signifikan Jika p < 0,15 = tidak signifikan Untuk uji butir tes memakai signifikansi p < 0,05. Berdasarkan uraian di atas maka prosedur analisis data dalam penelitian ini meliputi: 1. Uji Persyaratan Analisis Anto Dajan (1995:399) mengemukakan bahwa dalam menggunakan analisis regresi ganda didasarkan pada tiga asumsi yaitu: a. Distribusi probabilitas bersyarat variabel dependen bagi serangkaian variabel independen mengikuti pola normal atau kurang lebih normal. b. Distribusi bersyarat variabel dependen bagi tiap kombinasi variabel independen memiliki varians yang sama. c. Nilai-nilai variabel dependen harus independen satu dengan lainnya. 120 Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam menggunakan teknik analisis regresi ganda harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Sampel harus diambil dari populasi yang berdistribusi normal. b. Hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen linier. c. Hubungan antar varaiabel dependen (pendidikan dan status sosial) tidak terjadi korelasi. Sebelum melakukan analisis data dengan analisis regresi ganda terlebih dahulu dilakukan persyaratan analisis yang meliputi uji berikut ini: a. Uji Normalitas Uji normalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah data yang didapat berdistribusi normal. Untuk menguji normalitas data digunakan rumus Chi Kuadrat dalam Sutrisno Hadi (1995:346) dengan rumus sebagai berikut: X2 = ( fo fh )2 fh Keterangan : X2 = Chi kuadrat fo = Frekuensi yang diobservasi fh = Frekuensi yang diharapkan Berdasarkan kaidah uji normalitas Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih Versi : IBM/IN adalah jika p > 0, 050 maka sebarannya normal dan jika p < 0,050 maka sebarannya tidak normal. b. Uji Linieritas Uji linieritas digunakan untuk mengetahui hubungan yang linier antara masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat yaitu antara X1 dengan Y dan antara X2 dengan Y. Uji linieritas dilakukan dengan mengunakan rumus dari Sudjana (1996:332) sebagai berikut: a. JK (G) = X 1 Y b. JK (TC) = JK (S) – JK (G) c. dK(G) =N–K Y 2 2 N 121 d. dK (TC) =k–2 e. RJK (TC) = JK (TC ) f. RJK (G) = g. F hitung = dk (TC ) JK (G ) dk (G ) RJK (TC ) RJK (G ) Keterangan : JK (G) = Jumlah Kuadrat Galat JK (TC) = Jumlah Kuadrat Tuna Cocok dK (G) = Derajat Kebebasan Galat dK (TC) = Derajat Kebebasan Tuna Cocok RJK (G) = Kuadrat Tengah Galat RJK (TC) = Kuadrat Tengah Tuna Cocok Berdasarkan kaidah uji linieritas Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih versi IBM/IN adalah jika p > 0,050 maka korelasinya linier dan jika p < 0,050 maka korelasinya tidak linier. 2. Pengujian Hipotesis Secara umum tugas pokok analisis regresi ganda menurut Sutrisno Hadi (1995:2) yaitu: a. b. c. d. Mencari korelasi antara kriterium dengan prediktor. Menguji apakah korelasi itu signifikan ataukah tidak. Mencari persamaan garis regresinya. Menemukan sumbangan relatif antara sesama prediktor, jika prediktornya lebih dari satu. Langkah pengujian hipotesis dalam penelitian dilakukan sebagai berikut: a. Mencari korelasi antara kriterium dengan prediktor. 1) Menghitung koefisien korelasi sederhana antara X1 dengan Y, digunakan rumus : ry1 = N X 1Y X 1 Y N X 2 1 X 1 2 N Y 2 Y 2 122 2) Menghitung koefisien korelasi sederhana antara X2 dengan Y, digunakan rumus : ry 2 N X 2Y X 2 Y N X = 2 2 X 2 2 N Y 2 2 Y 2 (Sudjana 1996: 369) 3) Menentukan koefisien korelasi antara X1, X2 dengan Y, digunakan rumus : R y (1, 2 ) a1 X 1Y a 2 X 2Y Y 2 Keterangan : Ry(1,2) = Koefisien korelasi antara Y dengan X 1 dan X 2 a1 = Koefisien prediktor X 1 a2 = Koefisien prediktor X 2 X1 Y = Jumlah produk antara X1 dan Y X2 Y = Jumlah produk antara X2 dan Y Y2 = Jumlah kuadrat kriterium Y (Sutrisno Hadi, 1995:25) Berdasarkan kaidah uji hipotesis Sutrisno Hadi dan Yuni P. versi IBM/IN adalah jika p < 0,01 : sangat signifikan, p < 0,05 : signifikan, p < 0,15 : cukup signifikan, p < 0, 030 : kurang signifikan, p > 0,030 : tidak signifikan. b. Uji Signifikansi antara Kriterium dan Prediktor-Prediktornya Uji Signifikansi dimaksudkan untuk meyakinkan apakah regresi berbentuk linier yang didapat untuk membuat kesimpulan mengenai pertautan sejumlah variabel yang sedang dipelajari. Untuk menganalisis Ry(1,2) signifikan atau tidak, digunakan rumus sebagai berikut : F= R2 k 1 R 2 / n k 1 Keterangan : F = Harga F garis regresi 123 n = Jumlah sampel k = Jumlah variabel bebas R2 = Koefisien korelasi antara kriterium dengan prediktorprediktornya. (Sudjana, 1996:108) Hasil perhitungan tersebut kemudian disesuaikan dengan tabel F, sehingga diperoleh Ftabel atau Tt. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa Fhitung > Ftabel maka hipotesis dapat diterima kebenarannya tetapi jika Fhitung < Ftabel maka hipotesis tidak dapat diterima. c. Sumbangan Relatif Untuk mengitung besarnya sumbangan relatif X 1 dan X 2 terhadap Y digunakan rumus sebagai berikut : SR X 1 % = a1 X 1Y JK reg a2 X 2Y SR X 2 % = JK reg x100% x100% Keterangan : SR X 1 % = Sumbangan relatif prediktor X1 terhadap Y SR X 2 % = Sumbangan relatif prediktor X2 terhadap Y JKreg = Jumlah kuadrat regresi (Sutrisno Hadi, 1995:45) d. Sumbangan Efektif Untuk menghitung besarnya sumbangan efektif X 1 dan X 2 terhadap Y, digunakan rumus sebagai berikut : R2=SE = JK reg JK T x100% 1) Mencari sumbangan efektif X 1 terhadap Y menggunakan rumus sebagai berikut : SE% X 1 = SR% X 1 xR2 124 2) Mencari sumbangan efektif X 2 terhadap Y menggunakan rumus sebagai berikut : SE% X 2 SR% X 2 xR2 3) Mencari sumbangan efektif X1 dan X2 terhadap Y menggunakan rumus sebagai berikut : SE% X 1 X2 = SE% X 1 + SE% X2 Keterangan : SE% X 1 = Sumbangan efektif X1 terhadap Y SE% X2 = Sumbangan efektif X2 terhadap Y SE% X 1 X2 = Sumbangan efektif X1 dan X2 terhadap Y R 2 = SE adalah efektifitas garis regresi (Sutrisno Hadi, 1995: 45) 125 BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data 1. Deskripsi Wilayah Penelitian a. Keadaan Geografis Desa Pekandangan merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah. Tepatnya berada pada jarak 11 km dari Kabupaten Banjarnegara. Letak Desa Pekandangan dibatasi oleh sebuah gunung dan beberapa desa yang berada di sekitarnya. Adapun batasbatas Desa Pekandangan adalah sebagai berikut: 1) Sebelah Utara berbatasan dengan Gunung Pawinihan 2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sigeblog 3) Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kendaga 4) Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Beji Secara administratif Desa Pekandangan terbagi dalam 2 Dusun yang terdiri dari 3 RW (Rukun Warga) yang selanjutnya terbagai dalam 10 RT (Rukun Tetangga). Kondisi administratif Desa Pekandangan secara terperinci terdapat pada tabel berikut ini. Tabel 4.1 Pembagian Wilayah Desa Pekandangan Berdasarkan Dusun, RW, dan RT. No. Nama Dusun Nama RW Nama RT Kalidondong RW I RT 01 1. RT 02 RT 03 RT 04 Pekandangan RW II RT 01 2. RT 02 RT 03 RW III RT 01 RT 02 RT 03 Jlm. 2 Dusun 3 RW 10 RT Sumber : Monografi Desa Pekandangan Tahun 2007. 125 126 Luas wilayah Desa Pekandangan seluruhnya adalah 181.627 Ha. Sebagian besar ( 77% ) dari luas wilayah dasar desa ini sudah dimanfaatkan oleh penduduk setempat untuk sewah dan ladang. Tanah yang dipergunakan untuk pemukiman sekitar 21%, untuk pemakaman 0,1% dan sisanya sekitar 1,9% dari luas wilayah desa dimanfaatkan untuk lain-lain, seperti tanah kas desa dan jalan desa. Tabel 4.2 Penggunaan Lahan di Desa Pekandangan, Tahun 2007. No. Lahan Luas (Ha) Prosentase 139,85 77% 1. Sawah dan ladang 2. 3. Pemukiman Pemakaman 38,14 0,18 Lain-lain 3,45 181.627 Ha Jumlah Sumber : Monografi Desa Pekandangan Tahun 2007. 4. 21% 0,1% 1,9% 100,00% Berdasarkan tabel diatas ternyata tanah di Desa Pekandangan sebagian besar berupa sawah dan ladang. Tingkat kesuburan tanahnya cukup tinggi dan cocok ditanami padi, palawija dan buah unggulan yaitu salak pondoh. Beberapa tanaman lain yang dibudidayakan penduduk antara lain padi, jagung, ketela pohon, ketela rambat, kacang tanah, tomat, mentimun, sawi dan lain-lain. b. Keadaan Demografis 1) Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin Penduduk Desa Pekandangan per 30 Januari 2007 berjumlah 2091 jiwa, terdiri atas 1060 penduduk laki-laki dan 1031 penduduk perempuan, meliputi 500 KK (Kepala Keluarga). Dengan demikian jika setiap keluarga merupakan keluarga inti lengkap maka setiap keluarga rata-rata terdiri atas 4 orang termasuk kepala keluarga itu sendiri. Bila dilihat dari banyaknya jiwa pada tiap keluarga, maka program keluarga berencana (KB) tampak berhasil dilaksanakan di desa ini. Adapun perincian jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Desa Pekandangan adalah sebagai berikut : Tabel 4.3 Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Tahun 2007. No. Jenis kelamin Penduduk (jiwa) Prosentase Laki-laki 1060 50,69% 1. Perempuan 1031 49,30% 2. 127 2091 Jumlah Sumber : Monografi Desa Pekandangan Tahun 2007. 100,00% 2) Komposisi Penduduk Menurut Usia Komposisi penduduk Desa Pekandangan berdasar usia per Januari 2007 adalah sebagai berikut : Tabel 4.4 Komposisi Penduduk Menurut Usia. Umur Jumlah (jiwa) Prosentase 0 - 5 tahun 234 11,19% 6 – 12 tahun 302 14,44% 13 – 17 tahun 305 14,58% 18 – 23 tahun 356 17,02% 24 – 29 tahun 230 10,99% 30 – 35 tahun 236 11,28% 36 – 41 tahun 111 5,30% 42 – 47 tahun 97 4,63% 48 – 53 tahun 106 5,06% 54 – 59 tahun 76 3,63% >60 tahun 38 1,82% 2091 100,00% Jumlah Sumber : Monografi Desa Pekandangan Tahun 2007. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11. Pada tahun 2007, dari seluruh jumlah penduduk menurut kelompok usia tersebut tercatat bahwa jumlah yang paling banyak adalah usia 18 – 23 tahun dengan jumlah 356 orang atau 17,02 %. Sedang jumlah penduduk yang paling sedikit adalah penduduk pada kelompok usia lebih dari 60 tahun yaitu sebanyak 38 orang atau 1,82% dari jumlah penduduk Desa Pekandangan yaitu 2091 orang. 3) Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian Mata pencaharian penduduk Desa Pekandangan bermacam-macam. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini. Tabel 4.5. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian. No. Mata Pencaharian Jumlah (jiwa) Prosentase Petani 1195 85,54% 1. Pedagang I08 7,73% 2. PNS / POLRI/ ABRI 25 1,79% 3. Buruh Bangunan 39 2,79% 4. Tukang Kayu 21 1,50% 5. Pensiunan 9 0,64% 6. Jumlah 1397 100,00% 7. Sumber : Monografi Desa Pekandangan Tahun 2007. 128 Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa proporsi mata pencaharian terbesar penduduk Desa Pekandangan adalah petani yaitu sejumlah 1195 jiwa dari keseluruhan penduduk yang mempunyai mata pencaharian. Sedangkan mata pencaharian sebagai buruh tani menduduki urutan kedua sebesar 108 jiwa. 4) Komposisi Penduduk Menurut Tingkat pendidikan Pendidikan merupakan salah satu sarana penting untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Di Desa Pekandangan terdapat 2 Taman Kanak-Kanak (TK), 2 Sekolah Dasar (SD) dan 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sedangkan Pendidikan Sekolah Atas (SMA) dapat diperoleh di kota kabupaten. Tabel berikut ini menyajikan data tentang tingkat pendidikan penduduk Desa Pekandangan. Tabel 4.6. Komposisi Penduduk Menurut Tingkat pendidikan. No. Tingkat Pendidikan Jumlah Prosentase Buta Huruf 49 2,34% 1. Belum Sekolah 224 10,71% 2. Tidak Tamat SD 128 6,12% 3. Tamat SD 1336 63,89% 4. Tamat SMP 205 9,80% 5. Tamat SMA / SMK 124 5,93% 6. Tamat Diploma / PT 25 1,19% 7. Jumlah 2091 100,00% Sumber : Monografi Desa Pekandangan Tahun 2007. Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas penduduk Desa Pekandangan berpendidikan SD yaitu sebanyak 1336 jiwa, sedangkan lulusan SMP yaitu sebanyak 205 jiwa dari keseluruhan penduduk dan menempati urutan kedua besar. Penduduk Desa Pekandangan yang berpendidikan tinggi sangat sedikit, sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Desa Pekandangan masih rendah. 5) Komposisi Penduduk Menurut Jumlah Pemeluk Agama Penduduk Desa Pekandangan memiliki homogenitas yang tinggi dalam hal agama. Hal tersebut terbukti bahwa berdasarkan data monografi desa tahun 2007 seluruh penduduk Desa Pekandangan memeluk agama Islam. Dengan kata lain, jumlah pemeluk agama Islam di desa Pekandangan mencapai 100% dari jumlah penduduk secara keseluruhan. Hal tersebut mendorong tumbuhnya pembangunan sarana peribadatan berupa Masjid dan Mushola yang memadai. 129 c. Struktur Organisasi Dalam menjalankan pemerintahan, seorang Kepala desa akan diawasi oleh Badan Pemerintahan Desa (Baperdes). Anggota Baperdes terdiri dari wakil rakyat yang dipilih melalui musyawarah dan melalui mekanise tes. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya seorang Kepala desa akan dibantu oleh aparat desa lainnya yang meliputi Sekretaris desa (Sekdes), Kepala dusun (Kadus), dan beberapa Kepala urusan (Kaur) yang terdiri dari Kaur Pemerintahan, Kaur Pembangunan, Kaur Kesejahteraan, Kaur Keuangan dan, Kaur Umum. Khusus untuk Kaur Kesejahteraan dibantu oleh seorang staf kesejahteraan. Organisasi pemerintahan Desa Pekandangan dapat dilihat dalam bagan di bawah ini. Kepala Desa (A. Suroso) Sekdes (Marsinah) Baperdes Kadus I Kalidondong (Tumar) Kaur Pemrint. (Jahid) Kaur Pemb. (Pawit) Kadus II Pekandangan (Abu Yamin) Kaur Kesej. (Suman) Kaur Keuangan (Kardi) Kaur Umum (Jafar) Staf (Suryanto) _ _ _ _ _ _ _ = Garis Pengawasan __________ = Garis Komando Gambar 4. 1 Bagan Organisasi Pemerintah Desa Pekandangan 130 2. Deskripsi Data Penelitian Deskripsi data merupakan gambaran hasil pengumpulan data setiap variabel yang diteliti. Adapun variabel-variabel yang diteliti yaitu pendidikan sebagai variabel bebas pertama (X1), status sosial sebagai variabel bebas kedua (X2), dan partisipasi politik sebagai variabel terikat (Y). Untuk mengungkap data, maka data dikumpulkan dengan menggunakan angket yang melibatkan responden sebanyak 72 responden. a. Deskripsi Data Variabel Pendidikan (X1). Data tentang status sosial (X1) diperoleh melalui teknik angket dalam bentuk item setengah terbuka yang memiliki jumlah kemungkinan skor antara 0 sampai 20 atau 6% sampai 100%. Dari hasil penyebaran angket tentang pendidikan terhadap 72 responden di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara, diperoleh skor sebagai berikut: Skor terendah = 6 atau 30% dari skala nilai 20 Skor tertinggi = 16 atau 80% dari skala nilai 20 Data tersebut diperoleh dengan cara memberikan skor pada masing-masing jawaban responden sebagaimana dapat dilihat pada lampiran 3. Untuk lebih jelasnya, rekapitulasi hasil pengumpulan data dari variabel pendidikan dapat dilihat dari tabel berikut ini: Tabel 4.7. Rekapitulasi Hasil Pengumpulan Data Variabel Pendidikan di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara. Klas Interval Frekuensi F% 17,5 – 20,5 0 0,00 14,5 – 17,5 1 1,39 11,5 – 14,5 26 36,11 8,5 – 11,5 27 37,50 5,5 – 8,5 18 25,00 Berdasarkan tabel tersebut menunjukkan bahwa skor dalam angket pendidikan di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara dapat dirinci sebagai berikut: skor antara 17,5 sampai 20,5 tidak ada (0,00%), skor antara 14,5 sampai 17,5 sebanyak 1 orang (1,39%), skor antara 11,5 sampai 14,5 131 sebanyak 26 orang (36,11%), skor antara 8,5 sampai 11,5 sebanyak 27 orang (37,50%), skor antara 5,5 sampai 8,5 sebanyak 18 orang (25,00%). Agar lebih jelas data tersebut akan digambarkan dalam bentuk histogram sebagai berikut: 30 25 20 5,5 - 8,5 8,5 - 11,5 Frekuensi 15 11,5 - 14,5 10 14,5 - 17,5 17,5 - 20,5 5 0 1 Interval Gambar. 4. 2. Histogram Frekuensi Pendidikan. Grafik histogram di atas adalah salah satu grafik yang dibuat diatas sistem koordinat. Sumbu X atau absisnya menyatakan besar-kecilnya gejala, sedangkan sumbu Y atau ordinatnya menyatakan frekuensinya. Histogram tersebut tersusun dari segiempat-segiempat balok yang didirikan pada absis dan membentang selebar kelas interval. Tinggi daripada segiempat balok itu sebanding dengan frekuensi masing-masing kelas yang diwakilinya. Untuk mempermudah dalam membedakan kelas-kelas, maka setiap balok diberi warna yang berlainan. Histogram tersebut juga menunjukan bahwa sebarannya cenderung di tengah mendekati kurva normal ideal. Berdasarkan hasil penghitungan dengan bantuan komputer diperoleh distribusi frekuensi (lihat lampiran 3) dengan harga-harga sebagai berikut : Mean (rerata) = 9,68 Median = 10,50 Modus = 10,00 Standar Deviasi = 2,75 132 Simpangan rata-rata = 2,32 Dari hasil perhitungan Mean (rerata), Median, Modus, Standar Deviasi, dan Simpangan rata-rata, maka dapat dideskripsikan bahwa rata-rata empiris atau ratarata hitung sebesar 9,68. Sedangkan rata-rata ideal atau rata-rata teoritis data pendidikan adalah: Rata-rata teoritis yaitu Skor.Min Skor.Maks 0,00 20,00 10,00 2 2 Jika nilai rata-rata empiris lebih besar dari rata-rata teoritis maka pendidikan pada masyarakat Desa Pekandangan tergolong tinggi, demikian pula sebaliknya. Dari perhitungan di atas menunjukan bahwa nilai rata-rata empiris lebih kecil dari ratarata teoritis yaitu (9,68 < 10,0), maka pendidikan pada masyarakat Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara tergolong cukup. Hal ini juga dapat dibuktikan dari nilai rata-rata empiris yang diperoleh sebesar 9,68 berada di dalam skor 8,5 – 11,5 dengan frekuensi yang paling tinggi. b. Deskripsi Data Variabel Status Sosial (X2). Data tentang status sosial (X2) diperoleh melalui teknik angket dengan jumlah item sebanyak 30 soal yang memiliki jumlah kemungkinan skor antara 30 sampai 149 atau 20,1% sampai 100%. Dari hasil penyebaran angket tentang status sosial masyarakat di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara pada 72 responden, diperoleh skor sebagai berikut: Skor terendah = 52 atau 34,89% dari 149 Skor tertinggi = 96 atau 64,42% dari 149 Data tersebut diperoleh dengan menjumlahkan keseluruhan skor item yang diperoleh oleh masing-masing responden sebagaimana dapat dilihat pada lampiran 3. Untuk lebih jelasnya, rekapitulasi hasil pengumpulan data dari variabel status sosial dapat dilihat dari tabel berikut ini: Tabel 4.8. Rekapitulasi Hasil Pengumpulan Data Variabel Status Sosial di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara. Klas Interval Frekuensi F% 87,5 – 96,5 9 12,50 78,5 – 87,5 22 30,56 69,5 – 78,5 23 31,94 133 60,5 – 69,5 12 16,67 51,5 – 60,5 6 8,33 Berdasarkan tabel tersebut, maka hasil pengumpulan data dari variabel status sosial di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara dapat dirinci sebagai berikut: skor antara 87,5 sampai 96,5 sebanyak 9 orang (12,50%), skor antara 78,5 sampai 87,5 sebanyak 22 orang (30,56%), skor antara 69,5 sampai 78,5 sebanyak 23 orang (31,94%), skor antara 60,5 sampai 69,5 sebanyak 12 orang atau (16,67%), skor antara 51,5 – 60,5 sebanyak 6 orang (8,33%). Agar lebih jelas data tersebut digambar dalam histogram berikut ini: 25 20 51,5 – 60,5 15 60,5 – 69,5 Frekuensi 69,5 – 78,5 10 78,5 – 87,5 87,5 – 96,5 5 0 1 Interval Gambar. 4. 3. Histogram Frekuensi Status Sosial. Grafik histogram di atas adalah salah satu grafik yang dibuat diatas sistem koordinat. Sumbu X atau absisnya menyatakan besar-kecilnya gejala, sedangkan sumbu Y atau ordinatnya menyatakan frekuensinya. Histogram tersebut tersusun dari segiempat-segiempat balok yang didirikan pada absis dan membentang selebar kelas interval. Tinggi daripada segiempat balok itu sebanding dengan frekuensi masing-masing kelas yang diwakilinya. Untuk mempermudah dalam membedakan kelas-kelas, maka setiap balok diberi warna yang berlainan. Histogram tersebut juga menunjukan bahwa sebarannya cenderung di tengah mendekati kurva normal ideal. 134 Berdasarkan hasil penghitungan dengan bantuan komputer diperoleh distribusi frekuensi (lihat lampiran 3) dengan harga-harga sebagai berikut : Mean (rerata) = 76, 03 Median = 76,54 Modus = 74,00 Standar Defiasi = 10,48 Simpangan rata-rata = 8,31 Dari hasil perhitungan Mean (rerata), Median, Modus, Standar Deviasi, dan Simpangan rata-rata, maka dapat dideskripsikan bahwa rata-rata empiris atau ratarata hitung sebesar 79,03. Sedangkan rata-rata ideal atau rata-rata teoritis data pendidikan adalah : Rata-rata teoritis yaitu Skor.Min Skor.Maks 30,00 149,00 89,50 2 2 Jika nilai rata-rata empiris lebih besar dari rata-rata teoritis maka pendidikan pada masyarakat Desa Pekandangan tergolong tinggi, demikian pula sebaliknya. Dari perhitungan di atas menunjukan bahwa nilai rata-rata empiris lebih besar dari ratarata teoritis yaitu (76,03 < 89,50). Selisih nilai antara rata-rata empiris dan ratarata teoritis tidak banyak, maka status sosial di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara tergolong cukup. Hal ini juga dapat dibuktikan dari nilai rata-rata empiris yang diperoleh sebesar 76,03 berada di dalam skor 69,5 – 78,5 dengan frekuensi yang paling tinggi. c. Deskripsi Data Variabel Partisipasi Politik (Y). Data tentang partisipasi politik (Y) diperoleh melalui teknik angket dengan jumlah item sebanyak 40 soal yang memiliki jumlah kemungkinan skor antara 40 sampai 160 atau 25% sampai 100%. Dari hasil penyebaran angket tentang partisipasi politik masyarakat di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara pada 72 responden, diperoleh skor sebagai berikut : Skor terendah = 59 atau 36,87% dari 160 Skor tertinggi = 114 atau 71,25% dari 160 135 Data tersebut diperoleh dengan menjumlahkan keseluruhan skor item yang diperoleh oleh masing-masing responden sebagaimana dapat dilihat pada lampiran 3. Untuk lebih jelasnya, rekapitulasi hasil pengumpulan data dari variabel status sosial dapat dilihat dari tabel berikut ini : Tabel 4.9 Rekapitulasi Hasil Pengumpulan Data Variabel Partisipasi Politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara. Klas Interval Frekuensi F% 106,5 – 118,5 7 9,72 94,5 – 106,5 19 26,39 82,5 – 94,5 26 36,11 70,5 – 82,5 17 23,61 50,5 – 70,5 3 4,17 Berdasarkan tabel tersebut, maka hasil pengumpulan data dari variabel partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara dapat dijelaskan sebagai berikut: Skor antara 106,5 sampai 118,5 sebanyak 7 orang (9,72%), skor antara 94,5 sampai 106,5 sebanyak 19 orang (26,39%), skor antara 82,5 sampai 94,5 sebanyak 26 orang (36,11%), skor antara 70,5 sampai 82,5 sebanyak 17 orang (23,61%), skor antara 50,5 sampai 70,5 sebanyak 3 orang (4,17%). Agar lebih jelas data tersebut digambarkan dalam histogram berikut ini: 30 25 20 50,5 – 70,5 Frekuensi 15 70,5 – 82,5 82,5 – 94,5 10 94,5 – 106,5 5 106,5 – 118,5 0 1 Interval Gambar. 4. 4. Histogram Frekuensi Partisipasi Politik. 136 Grafik histogram di atas adalah salah satu grafik yang dibuat diatas sistem koordinat. Sumbu X atau absisnya menyatakan besar-kecilnya gejala, sedangkan sumbu Y atau ordinatnya menyatakan frekuensinya. Histogram tersebut tersusun dari segiempat-segiempat balok yang didirikan pada absis dan membentang selebar kelas interval. Tinggi daripada segiempat balok itu sebanding dengan frekuensi masing-masing kelas yang diwakilinya. Untuk mempermudah dalam membedakan kelas-kelas, maka setiap balok diberi warna yang berlainan. Histogram tersebut juga menunjukan bahwa sebarannya cenderung di tengah mendekati kurva normal ideal. Berdasarkan hasil penghitungan dengan bantuan komputer diperoleh distribusi frekuensi (lihat lampiran 3) dengan harga-harga sebagai berikut : Mean (rerata) = 89,93 Median = 89,88 Modus = 88,50 Standar Deviasi = 11,80 Simpangan rata-rata = 9,08 Dari hasil perhitungan Mean (rerata), Median, Modus, Standar Deviasi, dan Simpangan rata-rata, maka dapat dideskripsikan bahwa rata-rata empiris atau ratarata hitung sebesar 89,93. Sedangkan rata-rata ideal atau rata-rata teoritis data pendidikan adalah : Rata-rata teoritis yaitu Skor.Min Skor.Maks 40,00 160,00 100,00 2 2 Jika nilai rata-rata empiris lebih besar dari rata-rata teoritis maka pendidikan pada masyarakat Desa Pekandangan tergolong tinggi, demikian pula sebaliknya. Dari perhitungan di atas menunjukan bahwa nilai rata-rata empiris lebih besar dari ratarata teoritis yaitu (89,93 < 100,00). Selisih nilai antara rata-rata empiris dan ratarata teoritis tidak banyak, maka partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara tergolong tinggi. Hal ini juga dapat dibuktikan dari nilai rata-rata empiris yang diperoleh sebesar 89,93 berada di dalam skor 82,5 – 94,5 dengan frekuensi yang paling tinggi. 137 B. Pengujian Persyaratan Analisis Data-data yang telah terkumpul, selanjutnya dianalisis untuk membuktikan hipotesis yang telah dirumuskan. Syarat-syarat dalam analisis regresi linier ganda ialah sebaran populasi data harus berdistribusi normal dan kedua variabel bebas harus linier terhadap variabel terikat. Uji persyaratan analisis dapat dilakukan melalui uji normalitas dan uji linieritas sebagai berikut: 1. Hasil Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan terhadap masing-masing variabel penelitian untuk mengetahui apakah variabel tersebut memiliki skor yang distribusinya normal atau tidak. Dalam penelitian ini ada tiga variabel yang harus diuji normalitasnya, yaitu variabel pendidikan, variabel status sosial, dan variabel partisipasi politik. Untuk lebih jelasnya hasil uji normalitas pada masing-masing variabel tersebut akan dipaparkan sebagai berikut: a. Uji normalitas variabel pendidikan (X1) Berdasarkan tabel uji normalitas (lihat lampiran 3) diperoleh hasil sebagai berikut : X2 = 9,076 p = 0.059 Hasil perhitungan tersebut diketahui X2 = 9,076 dan p = 0.059, dari sampel sebanyak 72, kelas (k) adalah 5 dengan demikian derajat kebebasan (db) adalah k-1= 4 dengan taraf signifikansi 5%. Menurut kaidah uji normalitas Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih versi IBM/IN, yaitu apabila p > 0,050 maka distribusinya normal dan jika p < 0,050 maka distribusinya tidak normal. Hasil tersebut menunjukkan bahwa p > 0,05, yaitu 0.059 > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa sampel yang diambil berasal dari populasi yang berdistribusi normal. 138 b. Uji normalitas variabel status sosial (X2) Berdasarkan tabel uji normalitas (lihat lampiran 3) diperoleh hasil sebagai berikut : X2 = 9,336 p = 0,407 Hasil perhitungan tersebut diketahui X2 = 9,336 dan p = 0,407, dari sampel sebanyak 72, kelas (k) adalah 10 dengan demikian derajat kebebasan (db) adalah k-1= 9 dengan taraf signifikansi 5%. Menurut kaidah uji normalitas Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih versi IBM/IN, yaitu apabila p > 0,050 maka distribusinya normal dan jika p < 0,050 maka distribusinya tidak normal. Hasil tersebut menunjukkan bahwa p > 0,05, yaitu 0,407 > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa sampel yang diambil berasal dari populasi yang berdistribusi normal. c. Uji normalitas variabel partisipasi politik (Y) Berdasarkan tabel uji normalitas (lihat lampiran 3) diperoleh hasil sebagai berikut : X2 = 2,910 p = 0,968 Hasil perhitungan tersebut diketahui X2 = 2,910 dan p = 0,968, dari sampel sebanyak 72, kelas (k) adalah 10 dengan demikian derajat kebebasan (db) adalah k-1= 9 dengan taraf signifikansi 5%. Sedangkan, menurut kaidah uji normalitas Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih versi IBM/IN, yaitu apabila p > 0,050 maka distribusinya normal dan jika p < 0,050 maka distribusinya tidak normal. Hasil tersebut menunjukkan bahwa p > 0,05, yaitu 0,968 > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa sampel yang diambil berasal dari populasi yang berdistribusi normal. 139 2. Hasil Uji Linieritas Uji linieritas dimaksudkan untuk mengetahui apakah antara variabel bebas (prediktor) dengan variabel terikat (kriterium) bersifat linier. Adapun hasil uji linieritas antara pendidikan (X1) dengan partisipasi politik (Y) dan antara status sosial (X2) dengan partisipasi politik (Y) sebagai berikut: a. Uji linieritas variabel pendidikan (X1) dengan variabel partisipasi politik (Y) Berdasarkan uji linieritas variabel pendidikan (X1) dengan variabel partisipasi politik (Y) (lihat lampiran 3) diperoleh nilai sebagai berikut: F = 2,443 p = 0,119 Hasil di atas menunjukkan p > 0,050, yaitu 0,119 > 0,050, maka dapat disimpulkan bahwa X1 dengan Y memiliki korelasi yang linier. Artinya apabila variabel X1 naik satu tingkat maka variabel Y akan naik sebesar satu tingkat juga. Linieritas hubungan antara variabel pendidikan (X1) dengan variabel partisipasi politik (Y) dapat ditunjukkan melalui grafik berikut ini : PRTSPASI 120 110 100 90 80 70 60 Observed 50 Linear 4 6 8 10 12 14 16 PDIDIKAN Gambar 4.5. Linieritas hubungan X1 dengan Y 18 140 Dari gambar di atas, sumbu datar melukisakan pendidikan (X1) dan sumbu tegak melukiskan partisipasi politik (Y). Harga-harga statistik yang diperoleh dari setiap sampel, setelah dihitung kemudian digambarkan dalam diagram yang biasanya berupa titik-titik. Titik pertama untuk sampel kesatu, titik kedua untuk sampel kedua, dan seterusnya. Supaya mudah dianalisis, maka titik-titik yang berurutan dihubungkan. Berdasarkan diagram di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Variabel pendidikan dan variabel partisipasi politik mempunyai hubungan yang cukup dekat. Hal ini disebabkan bahwa titik-titik hubung ada tidak jauh dari garis lurus (berdekatan dengan garis lurus). 2) Variabel pendidikan dan variabel partisipasi politik mempunyai hubungan positif, karena titik-titik yang telah dihubungkan tersebut menunjukkan gejala dari kiri ke kanan atas. 3) Variabel pendidikan dan variabel partisipasi politik mempunyai korelasi yang linier karena titik-titik yang telah dihubungkan tersebut menunjukkan gejala garis lurus. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ada korelasi yang linier (segaris) positif antara variabel pendidikan (X1) dengan variabel partisipasi politik (Y). b. Uji linieritas variabel status sosial (X2) dengan variabel partisipasi politik (Y) Berdasarkan uji linieritas variabel status sosial (X2) dengan variabel partisipasi politik (Y) (lihat lampiran 3) diperoleh nilai sebagai berikut : F = 2,704 p = 0,101 Hasil di atas menunjukkan > 0,050, yaitu 0,101 > 0,050, maka dapat disimpulkan bahwa X2 dengan Y memiliki korelasi yang linier. Artinya apabila variabel X2 naik satu tingkat maka variabel Y akan naik sebesar satu tingkat juga. Linieritas hubungan antara variabel status sosial (X2) dengan variabel partisipasi politik (Y) dapat ditunjukkan melalui grafik berikut ini: 141 PRTSPASI 120 110 100 90 80 70 60 Gambar 4.6. Linieritas hubungan X2 dengan Y 50 Observed Linear 50 60 70 80 90 100 STATUS Gambar 4.6. Linieritas hubungan X2 dengan Y Dari gambar di atas, sumbu datar melukisakan status sosial (X2) dan sumbu tegak melukiskan partisipasi politik (Y). Harga-harga statistik yang diperoleh dari setiap sampel, setelah dihitung kemudian digambarkan dalam diagram yang biasanya berupa titik-titik. Titik pertama untuk sampel kesatu, titik kedua untuk sampel kedua, dan seterusnya. Supaya mudah dianalisis, maka titik-titik yang berurutan dihubungkan. Berdasarkan diagram di atas dapat disimpulkan sebagai berikut : 1) Variabel status sosial dan variabel partisipasi politik mempunyai hubungan yang cukup dekat. Hal ini disebabkan bahwa titik-titik hubung ada tidak jauh dari garis lurus (berdekatan dengan garis lurus). 2) Variabel status sosial dan variabel partisipasi politik mempunyai hubungan positif, karena titik-titik yang telah dihubungkan tersebut menunjukkan gejala dari kiri ke kanan atas. 3) Variabel status sosial dan variabel partisipasi politik mempunyai korelasi yang linier karena titik-titik yang telah dihubungkan tersebut menunjukkan gejala garis lurus. 142 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ada korelasi yang linier (segaris) positif antara variabel status sosial (X2) dengan variabel partisipasi politik (Y). Berdasarkan hasil uji asumsi yakni uji normalitas dan uji linieritas, maka dapat disimpulkan bahwa data hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti telah memenuhi syarat untuk dianalisis dengan uji regresi. C. Pengujian Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara dari permasalahan yang telah dirumuskan. Oleh karena sifatnya sementara maka diperlukan pengujian atau pembuktian untuk mendapatkan jawaban yang sebenarnya sehingga dapat diketahui apakah hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya diterima atau ditolak. Dalam penelitian ini ada dua jawaban sementara yaitu hipotesis nihil (Ho) dan hipotesis kerja (Ha). Ho adalah hipotesis yang menyatakan tidak ada hubungan antar variabel. Sedangkan Ha adalah hipotesis yang menyatakan ada hubungan antar variabel. 1. Hasil Uji Hipotesis Pertama, Kedua, dan Ketiga a. Hipotesis pertama Ho : Tidak ada hubungan antara pendidikan dengan partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara. Ha : Ada hubungan antara pendidikan dengan partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara. Secara statistik, hipotesis yang diuji sebagai berikut : Ho : rx1y = 0,000 atau rx1y hitung < rx1y Ha : rx1y # 0,000 atau rx1y hitung > rx1y tabel tabel atau rx1y dengan p > 0,05 atau rx1y dengan p < 0,05 Berdasarkan penghitungan koefisien korelasi sederhana antara pendidikan (X1) dengan partisipasi politik (Y) menggunakan komputer dengan n = 72 (lihat lampiran 3) diperoleh hasil sebagai berikut: rx1y = 0,402 p = 0,001 143 Hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, maksudnya terdapat hubungan positif secara signifikan antara pendidikan (X1) dengan partisipasi politik (Y). Besarnya kepercayaan hubungan antara variabel yang diuji dapat ditunjukkan dengan nilai p, namun perlu diperhatikan bahwa semakin besar angka desimal p ditafsirkan semakin kecil keyakinan kebenaran hubungan dan sebaliknya. Berdasarkan kaidah uji hipotesis menurut SPS edisi Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih versi IBM/IN yaitu bila p < 0,050, maka hasilnya signifikan. Hasil penghitungan dengan bantuan komputer menunjukkan p < 0,050 yaitu 0,001 < 0,050 sehingga antar variabel yang diuji signifikan. Antara pendidikan (X1) dengan partisipasi politik (Y) terdapat hubungan positif (tidak ada tanda negatif pada angka 0,402) dapat ditafsirkan semakin tinggi pendidikan (X1) akan membuat partisipasi politik (Y) cenderung meningkat, demikian pula sebaliknya. Tanda positif atau tanda negatif pada nilai rx1y semata-mata menunjukkan arah hubungan. Misal, jika rx1y hitung diperoleh negatif, bukan berarti lebih kecil dari rx1y ada rx1y tabel tabel karena tidak yang negatif. Angka rx1y hitung negatif ditafsirkan terjadi hubungan negatif kedua variabel yang diuji sepanjang lebih besar angkanya dibanding rx1y tabel. Sedangkan besarnya rx1y menunjukkan kuatnya hubungan antar variabel, secara statistik dimaksudkan bahwa perubahan variabel pendidikan (X1) sebesar 1 SD (standar deviasi) diikuti perubahan variabel partisipasi politik (Y) sebesar rx1y. Angka rx1y = 0,402, dimaksudkan bahwa kenaikan variabel pendidikan (X1) sebesar 1 SD (standar deviasi) diikuti kenaikan skor variabel Partisipasi politik (Y) sebesar 0,402. Angka r juga bisa digunakan untuk menentukan determinasi (prosentase yang menyumbangkan pengaruh X1 terhadap Y), artinya seberapa besar determinan variabel pendidikan (X1) terhadap partisipasi politik (Y), yaitu dengan mengkuadratkan rx1y. b. Hipotesis kedua Ho : Tidak ada hubungan antara status sosial dengan partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara. 144 Ha : Ada hubungan antara status sosial dengan partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara. Secara statistik, hipotesis yang diuji sebagai berikut : Ho : rx2y = 0,000 atau rx2y hitung < rx2y Ha : rx2y # 0,000 atau rx2y hitung > rx2y tabel tabel atau rx2y dengan p > 0,05 atau rx2y dengan p < 0,05 Berdasarkan penghitungan koefisien korelasi sederhana antara status sosial (X2) dengan partisipasi politik (Y) menggunakan komputer dengan n = 72 (lihat lampiran 3) diperoleh hasil sebagai berikut: rx2y = 0,381 p = 0,001 Hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, maksudnya terdapat hubungan positif secara signifikan antara status sosial (X2) dengan partisipasi politik (Y). Besarnya kepercayaan hubungan antara variabel yang diuji dapat ditunjukkan dengan nilai p, namun perlu diperhatikan bahwa semakin besar angka desimal p ditafsirkan semakin kecil keyakinan kebenaran hubungan dan sebaliknya. Berdasarkan kaidah uji hipotesis menurut SPS edisi Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih versi IBM/IN yaitu bila p < 0,050, maka hasilnya signifikan. Hasil penghitungan dengan bantuan komputer menunjukkan p < 0,050 yaitu 0,001 < 0,050, sehingga antar variabel yang diuji signifikan. Antara status sosial (X2) dengan partisipasi politik (Y) terdapat hubungan positif (tidak ada tanda negatif pada angka 0,381) dapat ditafsirkan semakin tinggi status sosial (X2) akan membuat partisipasi politik (Y) cenderung meningkat, demikian pula sebaliknya. Tanda positif atau tanda negatif pada nilai rx2y semata-mata menunjukkan arah hubungan. Misal, jika rx2y hitung diperoleh negatif, bukan berarti lebih kecil dari rx2y tabel karena tidak ada rx2y tabel yang negatif. Angka rx2y hitung negatif ditafsirkan terjadi hubungan negatif kedua variabel yang diuji sepanjang lebih besar angkanya dibanding rx2y tabel. Sedangkan besarnya rx2y menunjukkan kuatnya hubungan antar variabel, secara statistik dimaksudkan bahwa perubahan variabel status sosial (X2) sebesar 1 SD (standar deviasi) diikuti perubahan variabel partisipasi politik (Y) sebesar rx2y. Angka rx2y = 0,381, 145 dimaksudkan bahwa kenaikan variabel status sosial (X2) sebesar 1 SD (standar deviasi) diikuti kenaikan skor variabel partisipasi politik (Y) sebesar 0,381. Angka r juga bisa digunakan untuk menentukan determinasi (prosentase yang menyumbangkan pengaruh X2 terhadap Y), artinya seberapa besar determinan variabel status sosial (X2) terhadap partisipasi politik (Y), yaitu dengan mengkuadratkan rx2y. c. Hipotesis ketiga Ho : Tidak ada hubungan antara pendidikan dan status sosial dengan partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara. Ha : Ada hubungan antara pendidikan dan status sosial dengan partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara. Secara statistik, hipotesis yang diuji sebagai berikut : Ho : rx2y = 0,000 atau rx2y hitung < rx2y tabel atau F hitung < F tabel atau rx2y dan F tabel atau F hitung > F tabel atau rx2y dan F dengan p > 0,05 Ha : rx2y # 0,000 atau rx2y hitung > rx2y dengan p < 0,05 Berdasarkan penghitungan koefisien korelasi ganda antara pendidikan (X1) dan status sosial (X2) dengan partisipasi politik (Y) menggunakan komputer dengan n = 72 (lihat lampiran 3) diperoleh hasil sebagai berikut: F = 10,986 p = 0,000 rx1x2y = 0,491 Hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima, maksudnya terdapat hubungan positif secara signifikan secara bersama antara pendidikan (X1) dan status sosial (X2) dengan partisipasi politik (Y). Untuk menguji ada tidaknya pengaruh kedua variabel independent terhadap variabel dependent dapat dilihat dari besarnya nilai F. Dari uji korelasi ganda diperoleh nilai Fhitung = 10,986 dengan db pembilang = 2 dan db penyebut = 69 pada = 5% sehingga diperoleh Ftabel sebesar 3,14. Karena Fhitung > Ftabel yaitu 146 (10,986 > 3,14), maka Ho ditolak dan Ha diterima. Dapat disimpulkan bahwa kedua variabel (X1 dan X2) secara bersama-sama memang berpengaruh terhadap Y. Besarnya kepercayaan hubungan antara variabel yang diuji dapat ditunjukkan dengan nilai p, namun perlu diperhatikan bahwa semakin besar angka desimal p ditafsirkan semakin kecil keyakinan kebenaran hubungan dan sebaliknya. Berdasarkan kaidah uji hipotesis menurut SPS edisi Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih versi IBM/IN yaitu bila p < 0,050, maka hasilnya signifikan. Hasil penghitungan dengan bantuan komputer menunjukkan p < 0,050 yaitu 0,000 < 0,050, sehingga antar variabel yang diuji memiliki hubungan yang signifikan. Antara pendidikan (X1) dan status sosial (X2) dengan partisipasi politik (Y) terdapat hubungan positif (tidak ada tanda negatif pada angka 0,491) dapat ditafsirkan semakin tinggi pendidikan (X1) dan status sosial (X2) secara bersama akan membuat partisipasi politik (Y) cenderung meningkat, demikian pula sebaliknya. Tanda positif atau tanda negatif pada nilai rx1x2y semata-mata menunjukkan arah hubungan. Misal, jika rx1x2y hitung diperoleh negatif, bukan berarti lebih kecil dari rx1x2y tidak ada rx1x2y tabel yang negatif. Angka rx1x2y hitung tabel karena negatif ditafsirkan terjadi hubungan negatif kedua variabel yang diuji sepanjang lebih besar angkanya dibanding rx1x2y tabel. Sedangkan besarnya rx1x2y menunjukkan kuatnya hubungan antar variabel, secara statistik dimaksudkan bahwa perubahan bersama antara variabel pendidikan (X1) dan status sosial (X2) sebesar 1 SD (standar deviasi) diikuti perubahan variabel partisipasi politik (Y) sebesar rx1x2y. Angka rx1x2y = 0,491, dimaksudkan bahwa kenaikan variabel pendidikan (X1) dan variabel status sosial (X2) secara bersama sebesar 1 SD (standar deviasi) diikuti kenaikan skor variabel partisipasi politik (Y) sebesar 0,491. Angka r juga bisa digunakan untuk menentukan determinasi (prosentase yang menyumbangkan pengaruh X1 dan X2 terhadap Y), artinya seberapa besar determinan variabel pendidikan (X1) dan status sosial (X2) secara bersama terhadap partisipasi politik (Y), yaitu dengan mengkuadratkan rx1x2y. 147 2. Hasil Perhitungan Sumbangan Masing-Masing Variabel Penghitungan sumbangan masing-masing variabel dengan bantuan komputer paket SPS edisi Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih versi IBM/IN program analisis regresi model penuh dan stepwise tergambar pada tabel perbandingan bobot prediktor model penuh (lihat lampiran 3). Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui sumbangan relatif (SR) dan sumbangan efektif (SE) dari masing-masing prediktor sebagai berikut: a. Sumbangan Relatif (SR) Sumbangan Relatif (SR) variabel pendidikan (X 1 ) terhadap variabel partisipasi politik (Y) sebesar 66,903%, artinya secara relatif variabel pendidikan (X 1 ) memberikan sumbangan sebesar 66,903% bagi naik turunnya partisipasi politik. Sedangkan Sumbangan Relatif (SR) variabel status sosial (X 2 ) terhadap variabel partisipasi politik (Y) sebesar 33,097%, artinya secara relatif variabel status sosial (X2) memberikan sumbangan sebesar 33,097% bagi naik turunnya partisipasi politik. Dari hasil perhitungan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan (X 1 ) memberikan sumbangan relatif lebih besar terhadap partisipasi politik (Y) dibanding dengan status sosial (X 2 ). b. Sumbangan Efektif (SE) Sumbangan Efektif (SE) variabel pendidikan (X 1 ) terhadap variabel partisipasi politik (Y) sebesar 16,159%, artinya sumbangan pendidikan (X 1 ) terhadap variasi naik-turunnya partisipasi politik (Y) adalah sebesar 16,159%, sedangkan sisanya (100%-16,159%) = 83,841% disebabkan oleh faktor lainnya diluar faktor pendidikan. Dengan kata lain, perubahan partisipasi politik (Y) ditentukan pendidikan (X1) sebesar 16,159% dan perubahan partisipasi politik (Y) yang sebesar 83,841% ditentukan dari variabel lain di luar variabel pendidikan. Sumbangan Efektif (SE) variabel status sosial (X 2 ) terhadap variabel partisipasi politik (Y) sebesar 7,994%, artinya sumbangan status sosial (X 2 ) 148 terhadap variasi naik-turunnya partisipasi politik (Y) adalah sebesar 7,994%, sedangkan sisanya (100%-7,994%) = 92,006% disebabkan oleh faktor lainnya diluar faktor status sosial. Dengan kata lain, perubahan partisipasi politik (Y) ditentukan status sosial (X2) sebesar 7,994% dan perubahan partisipasi politik (Y) yang sebesar 92,006% ditentukan dari variabel lain di luar variabel status sosial. Dari hasil perhitungan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan (X 1 ) memberikan sumbangan efektif yang lebih besar terhadap partisipasi politik (Y) dibanding sumbangan efektif dari status sosial (X 2 ). c. Sumbangan Relatif (SR) pendidikan (X1) dan variabel status sosial (X2) terhadap partisipasi politik (Y) sebesar 100,00% (SR total), sedangkan Sumbangan Efektif (SE) variabel pendidikan (X1) dan variabel status sosial (X2) terhadap variabel partisipasi politik (Y) sebesar 24,152% (SE total). Dari hasil perhitungan total tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa pendidikan (X 1 ) dan status sosial (X 2 ) secara bersama-sama memiliki pengaruh yang nyata terhadap variasi naik-turunnya partisipasi politik (Y), yaitu sebesar 24,152%. Dengan kata lain, perubahan partisipasi politik (Y) ditentukan pendidikan (X1) dan status sosial (X2) secara bersama-sama sebesar 24,152%. Sementara, sisanya (100% - 24,152% = 75,848%) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. D. Pembahasan Hasil Analisis Data Setelah dilakukan analisis data untuk menguji hipotesis, kemudian dilakukan pembahasan hasil analisis data penelitian sebagai berikut : 1. Hubungan antara pendidikan (X1) dengan partisipasi politik (Y) di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara. Pada bagian pengujian hipotesis telah dipaparkan bahwa koefisien korelasi antara X1 dengan Y sebesar 0,402 dan p = 0,001, sehingga hipotesis yang berbunyi “Ada hubungan antara pendidikan dengan partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara” diterima. 149 Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan turut mempengaruhi partisipasi politik warga masyarakat. Pendidikan merupakan salah satu sarana sosialisai politik yang efektif bagi generasi bangsa, antara lain berupa penanaman sikap loyal atau sikap kritis terhadap pemerintah. Melalui pendidikan, seseorang memperoleh pengetahuan dan informasi tentang politik dan persoalan-persoalannya. Semakin tinggi jenjang pendidikan yang ditempuh semakin tinggi pula pengetahuan dan informasi yang diperoleh. Dengan kata lain, semakin lama pendidikan yang ditempuh seseorang juga akan mempengaruhi tinggi rendahnya pengetahuan dan wawasan yang diperoleh. Masyarakat yang berpendidikan tinggi memiliki pengetahuan dan informasi politik yang lebih luas dibanding masyarakat yang berpendidikan rendah, sehingga masyarakat yang berpendidikan tinggi lebih memiliki minat, kecakapan, dan kemampuan politik. Hal inilah yang menyebabkan kesadaran berpolitik yang tinggi, sehingga tingkat partisipasi politik masyarakat yang berpendidikan tinggi lebih tinggi dibanding tingkat partisipasi politik masyarakat yang berpendidikan rendah. Sumbangan efektif pendidikan lebih besar dari pada sumbangan efektif status sosial. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai peranan yang penting dalam meningkatkan partisipasi politik warga masyarakat. Seseorang yang berpendidikan tinggi namun status sosialnya rendah memiliki pandangan yang makin luas, dan terbuka pikiran atau akalnya untuk memperjuangkan hak-haknya dalam kegiatan politik dari pada seseorang yang berpendidikan rendah namun status sosialnya tinggi. Keterlibatan seseorang dalam kegiatan politik tidak hanya didasarkan pada jabatan yang dimilikinya semata, walaupun memiliki jabatan yang tinggi namun pengetahuan dan wawasannya terbatas maka partisipasi politiknya pun rendah. Orang-orang yang berpendidikan tinggi memiliki kesempatan yang luas untuk menduduki suatu jabatan politik tertentu karena kemampuan dan kecakapan yang dimilikinya dari pada orang yang berpendidikan rendah. 150 2. Hubungan antara status sosial (X2) dengan partisipasi politik (Y) di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara. Pada bagian pengujian hipotesis telah dipaparkan bahwa koefisien korelasi antara X2 dengan Y sebesar 0,381 dan p = 0,001, sehingga hipotesis yang berbunyi “Ada hubungan antara status sosial dengan partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara” diterima. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa status sosial turut mempengaruhi partisipasi politik warga masyarakat. Status sosial merupakan kedudukan seseoang atau keluarga dalam kehidupan bermasyarakat yang didasarkan pada kehormatan, pekerjaan, penghasilan, hak milik, dan pemenuhan kebutuhan keluarga. Perbedaan status sosial seseorang menyebabkan perbedaan kesempatan atau peluang dalam masyarakat. Semakin tinggi status sosial keluarga semakin luas kesempatan atau peluang untuk berpolitik yang lebih berkualitas dari pada seseorang yang berstatus sosial di bawahnya. Seseorang yang memiliki waktu, fasilitas, pekerjaan, pangkat dan kekuasaan yang tinggi, orientasi hidupnya semakin luas maka ia tidak hanya sekedar memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan pokok keseharaian saja tetapi juga peduli pada situasi politik yang sedang berkembang di lingkungannya. Dengan demikian masyarakat yang berstatus tinggi memiliki tingkat pengetahuan politik, minat, dan perhatian pada politik, serta sikap dan kepercayaan yang tinggi pada pemerintah. Hal inilah yang mendorong seseorang untuk berpartisipasi politik, sehingga tingkat partisipasi politik masyarakat yang berstatus sosial tinggi lebih tinggi dibanding tingkat partisipasi politik masyarakat yang berstatus sosial rendah. Sumbangan efektif status sosial lebih kecil dari pada sumbangan efektif pendidikan, meskipun demikian status sosial tetap berperan dalam meningkatkan partisipasi politik warga masyarakat. Seseorang yang memiliki status sosial tinggi belum tentu dapat menjamin adanya partisipasi politik yang optimal namun bukan berarti tidak dapat optimal sama sekali. Seseorang yang status soialnya tinggi namun pendidikannya rendah dapat aktif dalam kegiatan politik karena dipengaruhi oleh tuntutan tugas dan wewenang yang 151 dimilikinya. Adanya rasa tanggungjawab terhadap tuntutan akan tugas dan wewenang yang dimiliki seseorang dalam suatu jabatan tertentu akan mendorongnya untuk meningkatakan pengetahuan dan wawasan politik yang pada akhirnya berdampak pada partisipasi politiknya. Di sisi lain, ada pula orang yang menduduki jabatan tinggi dalam masyarakat namun kurang tertarik terhadap kegiatan politik secara luas karena merasa bahwa jabatan yang dimilikinya cukup aman dalam persaingan politik. 3. Hubungan antara pendidikan (X1) dan status sosial (X2) dengan partisipasi politik (Y) di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara. Pada bagian pengujian hipotesis telah dipaparkan bahwa koefisien korelasi antara X1 dan X2 dengan Y sebesar 0,491, F = 10,986 dan p = 0,000, sehingga hipotesis yang berbunyi “Ada hubungan antara pendidikan dan status sosial dengan partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara” diterima. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan dan status sosial secara bersama-sama mempengaruhi partisipasi politik warga masyarakat. Masyarakat yang berpendidikan tinggi dan status sosialnya pun juga tinggi memiliki pengetahuan dan informasi tentang politik serta waktu atau kesempatan yang lebih luas. Seberapa luas wawasan dan pengetahuan seseorang tentang politik jika tidak memiliki waktu atau kesempatan, tenaga dan finansial yang mendukung maka partisipasi politiknya pun kurang optimal. Hal-hal inilah yang mendorong seseorang lebih peduli, tertarik, dan perhatian terhadap dinamika politik yang berlangsung dilingkungannya yang pada akhirnya memunculkan kesadaran untuk berpartisipasi politik. Dengan demikian, seseorang yang berpendidikan tinggi, dan status sosialnya juga tinggi akan memiliki kesadaran politik yang tinggi sehingga mampu berpartisipasi politik secara optimal. Besarnya sumbangan efektif pendidikan dan status sosial secara bersama-sama berperan penting dalam meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Semakin tinggi pendidikan dan status sosial masyarakat semakin tinggi pula partisipasi politiknya. Partisipasi politik seseorang semakin matang 152 ketika ia menduduki suatu jabatan politik yang diimbangi dengan penguasaan pengetahuan dan wawasan politik yang memadai. Seseorang yang pendidikannya rendah dan status sosialnya juga rendah maka partisipasi politiknya rendah. Keterbatasan penguasaan pengetahuan dan wawasan politik bagi masyarakat miskin ditambah dengan ketidak tersediaan waktu dan tenaga untuk aktif dalam kegiatan politik semakin menurunkan partisipasi politiknya. Rendahnya pengetahuan dan wawasan politik yang dimiliki masyarakat miskin disebabkan kurangnya pendidikan yang memadai dan keterbatasan pemilikan sarana media masa dan komunikasi sebagai alat untuk mengakses informasi politik yang update. Masyarakat miskin waktunya lebih banyak digunakan untuk aktifitas ekonomi dalam rangka memenuhi kebutuhan keseharian, sedangkan waktu yang digunakan untuk kegiatan politik sangat terbatas bahkan hampir tidak ada. 153 BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan analisa data yang diperoleh tentang partisipasi politik ditinjau dari pendidikan dan status sosial di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Pendidikan memiliki hubungan positif secara signifikan dengan partisipasi politik. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi pendidikan (X1) akan menyebabkan partisipasi politik (Y) semakin tinggi, demikian pula sebaliknya. Antara pendidikan (X1) dengan partisipasi politik (Y) juga terdapat hubungan yang nyata atau meyakinkan. 2. Status sosial memiliki hubungan positif secara signifikan dengan partisipasi politik. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi status sosial (X2) akan menyebabkan partisipasi politik (Y) semakin tinggi, demikian pula sebaliknya. Antara status sosial (X2) dengan partisipasi politik (Y) juga terdapat hubungan yang nyata atau meyakinkan. 3. Pendidikan dan status sosial memiliki hubungan positif secara signifikan dengan partisipasi politik. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi pendidikan (X1) dan status sosial (X2) secara bersama akan menyebabkan partisipasi politik (Y) semakin tinggi, demikian pula sebaliknya. Antara pendidikan (X1) dan status sosial (X2) dengan partisipasi politik (Y) juga terrdapat hubungan yang nyata atau meyakinkan. 4. Sumbangan efektif pendidikan (X 1 ) terhadap partisipasi politik (Y) lebih besar dibanding sumbangan efektif dari status sosial (X 2 ). Variabel pendidikan (X 1 ) memberikan sumbangan efektif terhadap partisipasi politik (Y) sebesar 16,159%. Sementara itu, sumbangan efektif status sosial (X 2 ) terhadap partisipasi politik (Y) sebesar 7,994%. Secara keseluruhan sumbangan efektif pendidikan (X1) dan status sosial (X2) terhadap partisipasi politik (Y) sebesar 153 154 24,152%, sedangkan sisanya (100% - 24,152% = 75,848%) dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. B. Implikasi Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, ada sejumlah implikasi penting partisipasi politik masyarakat. Adapun imlikasi-implikasi temuan tersebut dapat dipaparkan secara rinci sebagai berikut: 1. Dengan adanya hubungan positif secara signifikan antara pendidikan dengan partisipasi politik, maka masyarakat perlu meningkatkan pendidikannya dengan cara mengikuti berbagai program yang telah disediakan oleh pemerintah. Warga masyarakat yang tidak sempat melanjutkan pendidikan formal, maka dapat mengikuti program kejar paket A, B dan C. Peningkatan pengetahuan dan wawasan tentang politik, diharapkan dapat melahirkan generasi bangsa yang memiliki tingkat partisipasi politik yang tinggi. Pemerintah hendaknya dapat mengoptimalkan fungsi lembaga pendidikan sebagai media sosialisasi politik, sehingga diharapkan tumbuhnya keyakinan akan kemampuan politik di kalangan masyarakat. Sekolah perlu mengadakan perbaikan masalah kurikulum, buku-buku teks, metode pengajaran, organisasiorganisasi yang ada di sekolah, lingkungan kelas, siswa, guru, dan strukturstruktur administrasi, secara implisit maupun eksplisit terkait dengan sosialisasi politik. 2. Dengan adanya hubungan positif secara signifikan antara status sosial dengan partisipasi politik, maka masyarakat perlu meningkatkan status sosialnya melalui usaha-usaha nyata, seperti bekerja keras, suka menabung, tidak putus asa, dan mandiri. Pemerintah hendaknya memperhatikan kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan keamanan, perluasan lapangan kerja, pemerataan pembangunan, dan peningkatan kualitas pendidikan. Terpenuhinya kesejahteraan masyarakat didapatkan melalui usaha-usaha yang disengaja. Oleh karena itu, kedudukan seseorang yang terpenuhi kesejahteraannya melalui usaha-usaha tersebut dinamakan achieved status. Status ini bersifat terbuka bagi siapapun tergantung kemampuan masing- 155 masing dalam mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Hal ini mendorong seseorang untuk bersaing dalam kegiatan politik sebagai upaya untuk mempermudah pencapain tujuan-tujuan tersebut. 3. Dengan adanya hubungan positif secara signifikan secara bersama antara pendidikan dan status sosial dengan partisipasi politik, maka pendidikan perlu ditingkatkan dan diiringi dengan peningkatan status sosial masyarakat. Program wajib belajar sembilan tahun, pemberian anggaran pendidikan dan otonomisasi sekolah merupakan langkah awal pemerintah untuk meningkatkan pendidikan yang harus direalisasikan dengan baik. Pendidikan dengan segala perangkatnya merupakan salah satu sarana yang efektif untuk mentransfer nilai-nilai yang diharapkan dalam kehidupan bernegara, misalnya sekolah senatiasa menanamkan nilai-nilai tentang hak-hak dan kewajiban sebagai warga negara yang baik. Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin tinggi pula pengetahuan dan kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya untuk berpartisipasi dalam kegiatan politik. Selain itu, kesadaran berpartisipasi politik juga banyak yang berasal dari golongan yang bersatus sosial tinggi. Terjaminnya kesejahteraan masyarakat semakin memupuk kepercayaan dan loyalitas terhadap pemerintah. Hal tersebut berdampak pada meningkatnya minat, perhatian, dan kesadaran politik yang pada akhirnya berujung pada partisipasi politik yang berkualitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat perlu mengembangkan kerja sama yang baik dalam rangka meningkatakan kesejahteraan hidup berbangsa dan bernegara. C. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka diajukan saran-saran sebagai berikut: 1. Bagi Pemerintah a. Aparat pemerintah Desa Pekandangan hendaknya dapat mengembangkan tingkah laku politik yang dapat merangsang partisipasi politik masyarakat 156 dengan cara memberi kesempatan berpendapat yang cukup luas dalam setiap rapat dengan masyarakat. b. Hendaknya pemerintah Desa Pekandangan mempertimbangkan masukan dari berbagai elmen masyarakat baik yang disampaikan secara pribadi maupun kelompok melalui Karang Taruna, PKK, Koperasi, dan Remaja Masjid dalam proses pengambilan kebijakan di desa. c. Hendaknya pemerintah pusat sebagai penyusun atau pelaksana kebijakan mampu memahami berbagai tuntutan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan hidup. d. Pemerintah dalam berbagai tingkatan hendaknya memperhatikan kontrol rakyat sebagai wujud partisipasi politik terutama yang berasal dari infrastruktur seperti media masa, pendapat umum (Public Opinion), kelompok kepentingan dalam menyusun suatu kebijakan. 2. Bagi Masyarakat Desa Pekandangan a. Masyarakat diharapkan dapat mengoptimalkan partisipasinya dalam kegiatan politik dengan cara: 1) Memberikan dukungan materil, seperti membayar pajak secara rutin. 2) Patuh pada hukum dan perundang-undangan yang berlaku. 3) Membrikan dukungan partisipatif, seperti ikut serta menggunakan hak pilih dalam pemilu, dan diskusi politik. 4) Memperhatikan segala sesuatu yang diumumkan pemerintah. b. Hendaknya masyarakat mengupayakan penciptaan mekanisme kontrol yang efektif terhadap pemerintah baik secara organisasi maupun perorangan dengan cara memanfaatkan saluran formal (parpol, lembaga legislatif) maupun saluran non formal (media masa, LBH dan gerakangerakan masa) untuk memberikan dukungan atau kritik terhadap pemerintah sebagai bentuk partisipasi politik. c. Masyarakat hendaknya meningkatkan kesadaran terhadap pendidikan, mengingat pentingnya peran pendidikan sebagai sarana sosialisasi politik. Proses tersebut diharapkan terjadi secara merata diseluruh lapisan masyarakat agar pengetahuan dan pemahaman tentang politik tidak hanya 157 menjadi monopoli kalangan elit politik. Dengan demikian, partisipasi politik yang diharapkan datang dari segenap lapisan masyarakat walaupun sudah barang tentu dengan kadar yang berlainan. 3. Bagi Lembaga Pendidikan a. Sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan anak didik untuk menerima kebijakan-kebijakan pemerintah dan memiliki sikap loyal terhadap pemerintah. Sebaliknya, sekolah juga dapat menanamkan sikap kritis terhadap pemerintah. Hal ini penting karena tidak selamanya tindakan pemerintah selalu tepat. b. Perguruan Tinggi diharapkan dapat menstimulasi mahasiswa sebagai agen pengubah (agent of change) yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah dalam rangka memperjuangkan kepentingan masyarakat. 4. Bagi Peneliti Lain Penelitian ini hanya mengkaji masalah partisipasi politik ditinjau dari pendidikan dan status sosial, maka peneliti lain dapat mengkaji masalah tersebut dari aspek yang berbeda sehingga kajiannya lebih komperhensif. Selain pendidikan dan status sosial masih ada aspek lain yang berhubungan dengan partisipasi politik, misalnya dengan mengkaitkan faktor media masa, pengalaman berorganisasi, usia, dan jenis kelamin.