BAB I

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pada hakikatnya manusia memiliki naluri untuk hidup bersama dengan
orang lain. Oleh karena itu, manusia disebut sebagai makhluk sosial disamping
sebagai makhluk individu. Setiap manusia memerlukan kebutuhan fisik maupun
mental yang sukar dipenuhinya seorang diri. Untuk memenuhi kebutuhankebutuhannya, manusia mengadakan hubungan atau kerjasama dengan orang lain
dengan cara mengorganisir bermacam-macam kelompok atau organisasi.
Pembentukan kelompok atau organisasi dimaksudkan untuk membatasi kompetisi,
dan pertentangan yang mungkin terjadi dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup.
Negara merupakan salah satu organisasi yang penting bagi setiap manusia.
Negara mempunyai tujuan untuk menyelenggarakan penertiban dan perlindungan
terhadap rakyat dalam mencapai cita-cita bersama. Tujuan negara Republik
Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
alinea 4 sebagai berikut:
...Untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial dengan berdasarkan
kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan
mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Tujuan yang telah dirumuskan tersebut akan terwujud apabila disertai dengan
dukungan dari seluruh komponen negara. Dapat dikatakan bahwa tujuan akhir
negara ialah menciptakan kebahagiaan bagi rakyatnya.
Dalam kehidupan bernegara terdapat dua kategori besar yaitu sebagian
kecil mereka yang berkuasa dan sebagian besar lainnya yang dikuasai. Pihak yang
berkuasa ialah pemerintah yang jumlahnya relatif lebih kecil dari pada pihak yang
dikuasai yaitu rakyat. Pemerintah merupakan organisasi dalam suatu negara yang
1
2
berwenang untuk merumuskan dan melaksanakan keputusan-keputusan yang
mengikat bagi seluruh penduduk di dalam wilayahnya. Dalam hal ini pemerintah
bertindak atas nama negara dan menyelenggarakan kekuasaan dari negara,
sedangkan negara mencakup semua penduduk. Dengan demikian, rakyatlah yang
memiliki kedudukan yang paling tinggi dalam suatu negara. Oleh karena itu,
pemerintah dituntut dapat menghasilkan kebijaksanaan-kebijaksanaan berdasarkan
kesepakatan yang dicapainya dengan rakyat. Sebaliknya, rakyat dituntut mampu
berperan aktif dalam kehidupan bernegara sesuai dengan hak-hak dan
kewajibannya.
Telaah tentang peranan negara dan rakyat di atas tidak dapat dilepaskan
dari telaah tentang demokrasi karena sebagian besar negara di dunia telah
menjadikan demokrasi sebagai asasnya. Indonesia merupakan salah satu negara
yang menerapkan sistem politik demokrasi dan dalam perkembangannya dikenal
istilah demokrasi parlementer, demokrasi terpimpin, dan demokrasi Pancasila.
Apapun bentuknya, demokrasi itu sendiri sebagai asas kenegaraan memberikan
arah bagi masyarakat dalam penyelenggaraan negara. Menurut Hendry B. Mayo
sebagaimana dikutip Moh. Mahfud (2000:19-20) berpendapat sebagai berikut :
Sistem politik demokrasi adalah sistem yang menunjukkan bahwa
kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang
diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang
didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam
suasana terjaminnya kebebasan politik.
Demokrasi sebagai asas hidup bernegara selalu memberikan posisi penting bagi
rakyat. Negara diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat. Jika
ditinjau dari sudut organisasi, demokrasi berarti suatu pengorganisasian negara
yang dilakukan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena hakikatnya
kedaulatan berada di tangan rakyat.
Pelaksanaan demokrasi seharusnya mengacu pada kriteria-kriteria tertentu.
Menurut Amin Rais dalam Eep Saefulloh Fatah (2000:9-10) memaparkan ada
sepuluh kriteria demokrasi, yaitu:
1). Partisipasi dalam pembuatan keputusan; 2). Persamaan di depan
hukum; 3). Distribusi pendapatan secara adil; 4). Kesempatan
3
pendidikan yang sama; 5). Empat macam kebebasan, yaitu kebebasan
mengeluarkan pendapat, kebebasan persuratkabaran, kebebasan
berkumpul dan kebebasan beragama; 6). Ketersediaan dan keterbukaan
informasi; 7). Mengindahkan fatson (tatakrama politik); 8). Kebebasan
Individu; 9). Semangat kerjasama; dan 10). Hak untuk protes.
Kriteria-kriteria demokrasi di atas hendaknya menjadi suatu tolak ukur
keberhasilan pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Tidak terpenuhinya salah satu
dari kriteria tersebut memungkinkan terjadinya penyelewengan demokrasi
sebagaimana terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru.
Politik demokrasi mensyaratkan adanya partisipasi politik dari seluruh
masyarakat baik perseorangan maupun kelompok. Pembatasan partisipasi adalah
sebuah peraktek anti demokrasi. Praktek politik demokrasi juga mensyaratkan
adanya partisipasi politik yang luas, dalam arti tidak ada pembatasan atau
eklusivitas dalam penentuan kebijakan-kebijakan politik. Hal ini tidak sejalan
dengan fakta yang terjadi pada masa Orde Baru. Pada masa tersebut proses
partisipasi politik belum menggambarkan tingkat partisipasi politik secara utuh.
Pemerintahan Orde Baru justru memperlihatkan adanya beberapa persoalan,
antara lain kebebasan partisipasi politik yang relatif masih rendah, dan adanya
gejala-gejala ke arah krisis partisipasi politik.
Myron Weiner dalam Eep Saefulloh Fatah (2000:259) menyatakan ”Krisis
partisipasi politik yaitu suatu krisis yang terjadi manakala tuntutan-tuntutan dan
tingkah laku politik masyarakat yang ingin berperan serta dalam politik dianggap
tidak legal dan tidak sah dalam negara”. Krisis partisipasi politik pada masa Orde
Baru antara lain berupa pelarangan terhadap gerakan aksi massa atau demonstrasi,
dan adanya anggapan bahwa organisasi-organisasi yang dibentuk masyarakat
untuk menyuarakan kepentingan mereka tidak sah. Politik pada masa Orde Baru
juga ditandai oleh monopoli kekuasaan di tingkat birokrasi. Hal ini terjadi baik
dalam tataran supra struktur (legislatif, esekutif, yudikatif) maupun infra struktur
(media masa, partai politik, organisasi sosial kemasyarakatan). Misal, pada pemilu
Orde Baru menunjukan bahwa partisipan pemilu memberikan suara atau
pilihannya lebih banyak disebabkan oleh tekanan atau mobilisasi birokrasi negara
4
di tingkat pusat maupun lokal sehingga menyebabkan bentuk partisipasi politik
yang tidak utuh.
Krisis partisipasi politik yang terjadi selama Orda Baru menggambarkan
sempitnya ruang kontrol masyarakat terhadap negara. Di sisi lain, pengawasan
atau pengendalian rakyat terhadap penguasanya merupakan suatu hal yang urgen.
Dalam berbagai kesempatan penguasa cenderung keluar dari batas-batas
kekuasaan yang dimilikinya sehingga terjadilah penyalahgunaan kekusaan yang
tidak terhindarkan, seperti terjadinya KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme).
Penyelewengan kekuasaan dilakukan untuk memenuhi kepentingan dan
kebutuhan penguasa politik dan keluarga serta orang-orang di sekitarnya.
Tindakan tersebut tentu berdampak pada kesengsaraan rakyat. Sebagai salah satu
bentuk partisipasi politik, kontrol sosial bukan hanya sekedar mencerminkan
usaha masyarakat untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh
para penguasa saja. Lebih dari itu, kontrol sosial juga merupakan suatu pelibatan
masyarakat dalam proses politik. Kontrol sosial memungkinkan rakyat untuk
mempengaruhi proses perumusan kebijaksanaan dalam sistem politik. Jadi,
kontrol sosial tidak hanya berperan di dalam pengawasan terhadap perilaku para
pengusa, melainkan juga di dalam proses perumusan kebijaksanaan yang mereka
hasilkan.
Tumbangnya rezim Orde Baru dan lahirnya era reformasi disambut positif
oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Pasalnya selama beberapa dekade
pemerintahan Orde Baru, kebebasan politik masyarakat seolah terbelenggu.
Kondisi demikian menyebabkan terjadinya ledakan partisipasi politik yang tidak
terhindarkan setelah memasuki era reformasi. Masyarakat mulai memiliki
keberanian untuk menyuarakan kritik dan saran pada para pembuat kebijakan baik
secara langsung maupun tidak langsung. Ketidakefektifan lembaga-lembaga
penyalur aspirasi mengakibatkan melemahnya kepercayaan masyarakat kepada
pemerintah sehingga dalam menyuarakan aspirasi sering diwarnai dengan
tindakan mengarah anarkis.
Sudah saatnya masyarakat kini bangkit untuk menata kembali kehidupan
politik melalui pembangunan politik yang nyata. Pembangunan politik harus dapat
5
dinilai dari partisipasi massa dan keterlibatan rakyat secara aktif dalam kegiatan
politik. Aktif dalam kehidupan politik tidak perlu diartikan bahwa seluruh warga
negara harus terjun berpolitik praktis secara aktif. Akan tetapi yang dimaksudkan
setidak-tidaknya rakyat memiliki pengetahuan yang memadai tentang sistem
politik, sehingga mereka sadar kemana mereka akan dibawa. Dengan memiliki
pengetahuan atau kesadaran politik yang memadai, rakyat bisa menilai dan
bereaksi terhadap gejala-gejala politik yang ada di sekitarnya, baik yang positif
maupun yang negatif. Rakyat akan memberikan dukungan terhadap suatu gejala
politik yang positif, karena mereka tahu bahwa ia akan memperkuat sistem politik.
Sebaliknya, rakyat akan menolak setiap gejala politik yang negatif, dari manapun
datangnya karena diketahui gejala tersebut memiliki daya merusak Yang menjadi
persoalan ialah apakah rakyat mempunyai pengetahuan yang cukup untuk mampu
menilai apakah suatu gejala bersifat posiif atau negatif. Bila tidak, maka upaya
meningkatkan pengetahuan politik rakyat perlu mendapat tempat dalam rencana
pembanguan nasional untuk meningkatkan tingkat kedewasaan, kesadaran dan
kecerdasan politik masyarakat yang belum menggembirakan.
Seiring proses demokrasi dan pendidikan politik diharapkan masyarakat
dapat berpartisipasi dalam kegiatan politik, seperti aktif dalam pemilu, organisasi,
partai politik, mengajukan kritik pada pemerintah, demonstrasi dan sebagainya.
Masyarakat hendaknya dijadikan sebagai ”mitra” negara dalam rangka
keseimbangan kekuasaan (balance of power), artinya masyarakat tidak
diposisikan sebagai obyek politik saja melainkan sebagai subyek politik yang
berhak dan berpeluang menjadi kekuatan pengontrol bagi negara. Anggota
masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik biasanya terdorong oleh
keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama tersebut kepentingan mereka akan
tersalurkan, atau setidak-tidaknya diperhatikan dan dapat mempengaruhi tindakan
para pembuat kebijakan. Di samping mereka yang ikut serta dalam satu atau lebih
bentuk partisipasi ada pula warga masyarakat yang sama sekali tidak melibatkan
diri dalam kegiatan politik (apatis). Akan tetapi bukan berarti apatis sebagai hal
yang mutlak negatif, sebab sikap acuh tak acuh terkadang dianggap sebagai
sesuatu yang positif karena memberi fleksibelitas sistem politik.
6
Partisipasi politik antara warga masyarakat satu dengan lainnya berbedabeda baik dalam intensitas maupun bentuknya. Hal ini terjadi karena adanya
berbagai faktor yang mempengaruhi kesadaran seseorang untuk terlibat dalam
kegiatan politik. Miriam Budiardjo (1998:9) menyatakan adanya faktor-faktor
tertentu yang berhubungan dengan tingkat partisipasi politik, sebagai berikut :
Ternyata bahwa pendapatan (income), pendidikan, dan status merupakan
faktor penting dalam proses partisipasi, atau dengan perkataan lain orang
yang pendapatannya tinggi, yang berpendidikan baik, dan yang berstatus
sosial tinggi, cenderung untuk lebih banyak berpartisipasi dari pada orang
yang berpendapatan serta pendidikannya rendah.
Pada hakikatnya perilaku politik seseorang yang berupa partisipasi politik tidak
hanya didasarkan pada pertimbangan politik saja, tetapi juga didasarkan pada
berbagai faktor seperti pendidikan, status sosial, status ekonomi, dan pengalaman
berorganisasi. Dari pendapat di atas pendidikan dan status sosial merupakan dua
faktor penting yang dimungkinkan memiliki hubungan yang sangat berarti dengan
partisipasi politik warga masyarakat.
Pendidikan merupakan salah satu modal dasar pelaksanaan pembangunan
dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia. Melalui pendidikan,
wawasan dan pengetahuan seseorang akan meningkat. Pemberian materi di setiap
jenjang pendidikan formal berbeda keluasan dan kedalamannya sehingga
menyebabkan perbedaan pengetahuan dan pemahaman dari tiap lulusan.
Pendidikan dengan partisipasi politik memiliki keterkaitan sebagaimana
diungkapkan Arifin Rahman (1998:133) yaitu ”Di kebanyakan negara, pendidikan
tinggi sangat mempengaruhi partisipasi politik, mungkin karena pendidikan
tinggi, dapat memberikan informasi tentang politik dan persoalan-persoalan
politik, bisa menggambarkan kecakapan menganalisis dan menciptakan minat dan
kemampuan berpolitik”. Pengetahuan dan pemahaman yang dimiliki seseorang
akan menentukan cara pandang terhadap berbagai aspek kehidupan termasuk cara
pandangnya terhadap politik. Cara pandang inilah natinya menjadi dasar
seseorang untuk memiliki kesadaran berpartisipasi dalam kegiatan politik.
Faktor lain yang mempengaruhi partisipasi politik ialah status sosial.
Sudijono Sastroatmodjo (1995:15) menyatakan ”Tingkat status sosial yang tinggi
7
memungkinkan perilaku politik yang lebih berkualitas daripada seseorang yang
berada dalam status sosial di bawahnya”. Masyarakat yang memiliki status sosial
yang tinggi memiliki banyak peluang untuk berpartisipasi aktif dalam berbagai
kegiatan politik. Dengan status sosial yang tinggi diperkirakan seseorang akan
memiliki tingkat pengetahuan politik, minat dan perhatian pada politik, serta sikap
dan kepercayaan yang tinggi pada pemerintah.
Pemerintahan desa merupakan bagian dari sistem penyelenggaraan
pemerintah daerah sekaligus sebagai miniatur dari negara yang secara langsung
berhubungan dengan masyarakat sebagai ujung tombak pembangunan. Desa
semakin dituntut kesiapannya baik dalam merumuskan kebijakan desa maupun
dalam pelaksanaan pembangunan. Hendaknya pemerintah desa dalam segala
keputusan dan tindakannya selalu mengutamakan kepentingan dan aspirasi
masyarakat tanpa melupakan kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Di sisi lain, masyarakat desa dituntut dapat mendukung atau menaati keputusankeputusan bersama dan mengoreksi tindakan-tindakan pemerintah
yang
merugikan masyarakat. Dengan demikian keikutsertaan warga desa dalam proses
politik memiliki arti penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mengingat
sebagian besar penduduk Indonesia menempati wilayah pedesaan.
Pemilihan kepala daerah (Pilkada) merupakan bentuk pesta demokrasi
yang baru saja berlangsung di Desa Pekandangan khususnya dan di Kabupaten
Banjarnegara pada umumnya. Pilkada tersebut menjadi salah satu lembaga efektif
pelaksanaan
demokrasi
karena
dalam
pemilihan
ini
selalu
melibatkan
keikutsertaan rakyat selaku pemegang kekuasaan. Data hasil Pilkada yang
berlangsung di Desa Pekandangan dalam rangka memilih Bupati dan Wakil
Bupati Banjarnegara pada tanggal 11 September 2006 sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil Pilkada di Desa Pekandangan
No Pasangan Bupati dan wakil Bupati Jumlah
prolehan suara
1.
H. Djasri, MT dan H. Suharjo
96
2.
H. Sutejo Slamet Utomo, SH. dan
158
Drs. H. Bambang Prawoto Sutikno
3.
Drs. H. Hadi Supeno dan
1.000
H. Muhammad Najib
%
6,85
11,28
71,43
8
4.
5.
Suara Rusak
Golput
Jumlah Pemilih
Sumber : Kantor Desa Pekandangan
93
53
1.400
6,64%
3,78%
100%
Berdasarkan data di kantor Desa Pekandangan jumlah orang yang berhak
memilih dalam Pilkada tersebut sebesar 1400 orang. Apabila mengamati tabel di
atas ternyata dari 1400 orang yang berhak memilih terdapat 53 suara yang golput.
Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa tidak semua warga Desa Pekandangan ikut
berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan politik. Sesungguhnya keterlibatan
masyarakat dalam memberikan suara pada suatu pemilihan umum tidak dapat
semata-mata menjadi ukuran partisipasi politik. Masih banyak kegiatan politik
yang dapat diikuti oleh masyarakat desa. Dalam pelaksanaannya bentuk
partisipasi masyarakat Desa Pekandangan antara lain dapat dilihat dari kegiatan
berikut:
1. Adanya musyawarah atau rapat-rapat yang dilakukan di setiap dusun, RW dan
RT untuk membahas berbagai kegiatan.
2. Adanya berbagai organisasi yang dapat diikuti oleh masyarakat, seperti
organisasi BPD, PKK, KUT, dan Koperasi.
3. Adanya berbagai partai politik yang dapat diikuti oleh masyarakat.
4. Adanya kesediaan untuk melaksanakan hasil keputusan bersama, seperti
gotong royong membangun jalan dan masjid.
5. Adanya ketaatan terhadap perintah atau aturan yang telah dibuat oleh
pemerintah, seperti membayar pajak dan lain-lain.
6. Adanya kepedulian terhadap kondisi politik lokal dan nasional, seperti
memberikan usul, kritik dan peduli pada wacana politik di media massa.
Fakta dalam masyarakat menunjukan bahwa tidak semua warga masyarakat yang
telah diakui hak dan kewajibannya secara hukum dapat berpartisipasi secara
optimal dalam berbagai kegiatan politik. Atas dasar pemikiran tersebut, maka
dalam penelitian ini berjudul ”Partisipasi Politik Ditinjau dari Pendidikan dan
Status Sosial di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara”.
9
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka ada beberapa masalah
yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Partisipasi politik yang tinggi menjadi salah satu ukuran keberhasilan proses
demokrasi, namun tingkat partisipasi masyarakat dalam kegiatan politik belum
maksimal.
2. Partisipasi politik merupakan kesadaran yang mucul dari seseorang tanpa
paksaan, namun belum semua masyarakat memiliki kesadaran untuk aktif
dalam kegiatan politik.
3. Partisipasi politik menekankan pada suatu inisiatif, kemauan dan kesadaran
seseorang tanpa mengharapkan suatu imbalan, namun bentuk imbalan sering
kali terjadi dalam proses politik.
4. Kekurangefektifan komunikasi dua arah antara rakyat dengan penguasa
menimbulkan konflik politik dalam masyarakat.
5. Melalui pendidikan seseorang akan mendapatkan pengetahuan yang luas
termasuk pengetahuan tentang politik, namun kesadaran masyarakat terhadap
pendidikan masih kurang sehingga pengetahuan politiknya masih kurang juga.
6. Lembaga sekolah belum optimal dalam menjalankan fungsi sosialisasi politik
sehingga lulusan yang dihasilkan kurang memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang baik terhadap politik.
7. Semua warga negara Indonesia mendapat jaminan untuk menjalankan hak-hak
dan kewajibannya dalam kegiatan politik, namun faktanya masih banyak
warga masyarakat yang kurang paham akan hak dan kewajibannya masingmasing.
8. Semua lapisan masyarakat berkesempatan sama untuk terlibat dalam kegiatan
politik, namun kenyataannya terdapat dominasi oleh lapisan tertentu saja.
9. Kurangnya fasilitas yang digunakan untuk mengakses perkembangan politik
menyebabkan kurangnya informasi sehingga kepedulian terhadap kegiatan
politik menjadi rendah.
10. Kelompok masyarakat miskin sering ditekan oleh kelompok yang memiliki
kekuasaan sehingga mereka tidak dapat berpartisipasi secara bebas.
10
11. Kebijakan-kebijakan
yang
dikeluarkan
oleh
elit
politik
kurang
mengakomodasai semua kepentingan masyarakat khususnya golongan rendah.
C.
Pembatasan Masalah
Masalah yang terlalu luas mengakibatkan kekaburan dalam penelitian.
Agar penelitian ini terarah dan mencapai sasaran yang diinginkan, maka
permasalahan dibatasi pada:
1. Pendidikan yang dimaksud adalah lama pendidikan yang diikuti warga
masyarakat dalam pendidikan formal.
2. Status sosial yang dimaksud adalah kedudukan seseorang atau keluarga dalam
kehidupan bermasyarakat yang didasarkan pada kehormatan, pekerjaan,
penghasilan, hak milik, dan pemenuhan kebutuhan keluarga.
3. Partisipasi politik yang dimaksud adalah kegiatan pribadi warga negara untuk
ikut serta secara langsung maupun tidak langsung dalam mempengaruhi
pembuatan dan pelaksanaan keputusan atau kebijakan pemerintah dalam
kehidupan bernegara yang menyangkut kepentingan bersama di bidang politik,
ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.
D.
Perumusan Masalah
Rumusan masalah dibuat dengan tujuan memecahkan masalah pokok yang
timbul secara jelas dan sistematis. Rumusan masalah ini dimaksudkan untuk lebih
menegaskan masalah-masalah yang akan diteliti sehingga dapat ditentukan
pemecahan masalah yang tepat dan mencapai tujuan yang diinginkan.
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka dibuat perumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apakah ada hubungan antara pendidikan dengan partisipasi politik di Desa
Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara ?.
2. Apakah ada hubungan antara status sosial dengan partisipasi politik di Desa
Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara ?.
3. Apakah ada hubungan antara pendidikan dan status sosial dengan partisipasi
politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara ?.
11
E.
Tujuan Penelitian
Suatu penelitian tanpa adanya tujuan yang jelas tidak akan memberikan
manfaat dalam bidang yang ditelitinya. Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara pendidikan dengan
partisipasi
politik
di
Desa
Pekandangan,
Kecamatan
Banjarmangu,
Banjarnegara.
2. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara status sosial dengan
partisipasi
politik
di
Desa
Pekandangan,
Kecamatan
Banjarmangu,
Banjarnegara.
3. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara pendidikan dan status sosial
dengan partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu,
Banjarnegara.
F.
Manfaat Penelitian
Manfaat yang diperoleh dari suatu penelitian menggambarkan nilai dan
kualitas penelitian. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang
bermanfaat dalam bidang ilmu Sosiologi khususnya kajian Sosiologi
Politik.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan untuk
penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan masalah partisipasi
politik.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Warga Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat
berpartisipasi dalam bidang politik secara aktif.
b. Bagi Pemerintah
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi pemerintah
untuk mengupayakan pemberdayaan masyarakat dalam bidang politik.
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka
1. Partisipasi Politik
a. Pengertian Partisipasi Politik
Manusia baik disadari ataupun tidak merupakan insan politik atau ”zoon
politican”.
Hal
ini
mengandung
arti
bahwa
manusia
dituntut
dapat
mengaktualisasikan dirinya di tengah-tengah masyarakat dalam bentuk tingkah
laku politik. Politik dan berbagai persoalannya merupakan sebuah kenyataan yang
tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan manusia. Salah satu persoalan politik
yang menjadi tuntutan dalam proses demokrasi saat ini adalah partisipasi politik
(political participation). Studi tentang partisipasi politik ini sangat menarik bagi
para ahli yang berusaha mendefinisikan pengertian partisipasi politik dari sudut
pandang berbeda-beda.
Sebelum membahas pengertian partisipasi politik secara menyeluruh,
sekiranya perlu terlebih dahulu mengetahui arti partisipasi dan politik secara
terpisah agar lebih mudah dipahami. Secara etimologis, kata partisipasi berasal
dari bahasa Latin yaitu ”pars” yang berarti bagian, dan ”capere” (sipasi) yang
berarti mengambil bagian (Heuken et al, 1991:31). Dari dua kata tersebut dapat
diketahui bahwa partisipasi berarti mengambil bagian dalam suatu kegiatan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:831) istilah partisipasi diartikan
”Perihal turut berperan serta dalam suatu kegiatan, keikutsertaan, peran serta”.
Istilah keikutsertaan dan peran serta hakikatnya memiliki makna yang sama
dengan istilah partisipasi, namun dalam konteks politik, istilah yang populer
dipakai ialah partisipasi.
Pada umumnya setiap aktivitas yang dilakukan manusia mengandung
maksud tertentu dan didorong oleh faktor intern pribadi manusia yang
bersangkutan. Demikian pula partisipasi yang dilakukan oleh seseorang dalam
suatu kegiatan juga dipengaruhi kondisi internalnya. Hakikat partisipasi
sebagaimana dikemukakan oleh Gordon W. Allport dalam Santoso (1988:12)
12
13
yaitu ”Seseorang yang berpartisipasi sebenarnya mengalami keterlibatan dirinya
atau egonya yang sifatnya lebih daripada keterlibatan dalam pekerjaan atau tugas
saja”. Keterlibatan diri atau egonya berarti terdapat keterlibatan pikiran dan
perasaan dalam individu tersebut. Misalnya, seseorang berpartisipasi maka
individu yang bersangkutan melakukan kegiatan tersebut karena menurut
pikirannya perlu dan bahwa perasaannya pun menyetujui atau berkenan untuk
melakukannya.
Partisipasi tidak hanya melibatkan pikiran dan perasaan saja namun juga
menuntut kesukarelaan dan tanggung jawab dari orang yang melakukannya.
Pengertian partisipasi menurut Keith Davis yang dikutip Santoso (1988:13) yaitu
”Partisipasi dapat didefinisikan sebagai keterlibatan mental atau pikiran dan emosi
atau perasaan seseorang di dalam situasi kelompok yang mendorongnya untuk
memberikan sumbangan kepada kelompok dalam usaha mencapai tujuan serta
turut bertanggung jawab terhadap usaha yang bersangkutan”. Berdasarkan definisi
partisipasi menurut Keith Davis tersebut terdapat tiga unsur penting tentang
partisipasi yaitu: Pertama, keterlibatan mental dan emosi. Di dalam partisipasi
diutamakan adanya penyertaan mental dan emosi daripada hanya berupa
keterlibatan jasmaniah. Kedua, kesediaan memberikan sumbangan dalam usaha
mencapai tujuan kelompok. Seseorang yang menjadi anggota kelompok akan
memiliki rasa senang dan bangga sehingga timbul kesukarelaan untuk membantu
kelompoknya. Ketiga, tanggung jawab. Partisipasi merupakan sarana untuk
menumbuhkan dan rasa ikut memiliki di kalangan anggota terhadap
kelompoknya. Setiap anggota didorong untuk berperan aktif dalam pengambilan
keputusan sekaligus bertanggung jawab untuk mensukseskan keputusankeputusan yang telah disepakati bersama.
Berdasarkan beberapa definisi partisipasi tersebut maka dapat penulis
simpulkan bahwa partisipasi adalah keterlibatan hasrat setiap individu dalam
situasi kelompoknya sehingga pada akhirnya mendorong individu tersebut untuk
berperan serta dalam pencapaian tujuan kelompok sekaligus ambil bagian dalam
setiap pertanggungjawaban bersama.
14
Berbagai kepustakaan ilmu politik banyak mengupas definisi politik. Kata
politik berasal dari bahasa Yunani ”polis” yaitu kota yang berstatus negara /
negara kota, seperti dalam
Webster’s New Collegiate Dictionary
kata polis
berarti ”city state” (negara kota). Selanjutnya politik adalah the art and science of
government yang berarti seni dan ilmu pemerintahan (Sukarna,1981:13-14).
Berbeda dengan Nicollo Machiavelli dan Thomas Hobbes sebagaimana dikutip
Arifin Rahman (1998:3) mendefinisikan “Politics is power” yang artinya politik
adalah kekuasaan. Kekuasaan merupakan salah satu unsur politik saja. Jika politik
diartikan sebagai kekuasaan maka akan memberikan peluang berbahaya bagi
timbulnya pemerintahan diktaktor yang mengabaikan aspirasi rakyat.
Definisi dari kata politik juga dapat dilihat dari fungsinya dalam sebuah
kalimat. Van Dale dalam Hoogerwerf (1985:47-48) bahwa politik sesuai dengan
bahasa yang lazim digunakan yaitu sebagai kata benda dan sebagai kata sifat
sebagai berikut:
Sebagai kata benda, politik adalah:
1) Keseluruhan dari asas-asas dan peraturan-peraturan menurut mana
suatu negara, daerah dan seterusnya diperintah atau harus dipenuhi.
2) Tindak-tanduk, garis kelakuan dari suatu pemerintahan.
3) Cara bertindak, berlaku, taktik.
Sedangkan sebagai kata sifat, politik adalah :
1) Bersifat ketatanegaraan, bersangkutan dengan pemerintahan,
berkenaan dengan pelaksanaan kebijaksanaan pemerintah dan
organisasi kehidupan ketatanegaraan.
2) Dengan (atau menunjukan) banyak pertimbangan, trampil, licik.
Batasan pengertian politik yang diungkapkan Van Dale di atas menekankan
bahwa politik adalah kebijaksanaan pemerintah, perwujudan kebijakan dan
dampaknya. Sebagai kata benda politik menunjuk pada suatu perilaku atau
tindakan dari pemerintah dan sebagai kata sifat politik menunjuk pada berbagai
pertimbangan untuk bertindak
Rafael Raga Maran (2001:18) mengungkapkan tentang politik sebagai
berikut :
Dari berbagai upaya untuk menjelaskan esensi (pengertian) politik, tampak
bahwa perhatian sentral dari politik adalah penyelesaian konflik antar
manusia, proses pembuatan keputusan-keputusan ataupun pengembangan
kebijakan-kebijakan, secara otoritas yang mengalokasikan sumber-sumber
15
dan nilai-nilai tertentu, atau pelaksanaan kekuasaan dan pengaruhnya di
dalam masyarakat.
Pendapat di atas memperlihatkan bahwa politik berkaitan dengan cara-cara
manusia mengatasi konflik bersama, cara-cara pembuatan, pengembangan dan
pelaksanaan keputusan dalam masyarakat. Politik juga berkaitan dengan suatu
kekuasaan dan pengaruhnya pada kelompok yang dikuasai.
Menurut
Haryono
(2006:116)
pengertian
politik
berdasarkan
penggunaannya meliputi politik dalam arti kepentingan umum dan politik dalam
arti kebijaksanaan (policy). Penjelasan selengkapnya mengenai dua hal tersebut
sebagai berikut:
1) Dalam arti kepentingan umum
Politik dalam arti kepentingan umum atau segala usaha untuk
kepentingan umum, baik yang berlaku di bawah kekuasaan negara di
pusat maupun di daerah, lazim disebut politics (bahasa Inggris) berarti
: Suatu rangkaian asas / prinsip, keadaan serta jalan, cara dan alat yang
akan digunakan untuk mencapai tujuan tertentu atau suatu keadaan
yang kita kehendaki, disertai dengan jalan cara dan alat yang akan kita
gunakan untuk mencapai keadaan yang kita inginkan.
2) Dalam arti kebijaksanaan (policy)
Politik dalam arti kebijaksanaan (policy) adalah penggunaan
pertimbangan-pertimbangan tertentu yang dianggap lebih menjamin
terlaksananya suatu usaha, cita-cita / keinginan atau keadaan yang kita
kehendaki.
Setiap kelompok memiliki tujuan-tujuan tertentu yang hendak dicapai. Sedangkan
politik merupakan sekumpulan jalan, cara, alat dan situasi yang dikehendaki dan
digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Usaha untuk mencapai suatu tujuan
tidak serta merta dilakukan secara sembarangan tetapi perlu pertimbanganpertimbangan tertentu yang dapat menjamin terlaksananya keadaan yang
dikehendaki dan dicita-citakan bersama.
Miriam Budiardjo (1982:8) menyatakan ”Pada umumnya dapat dikatakan
bahwa politik (politics) adalah bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem
politik atau negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dalam
sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu”. Tujuan yang dimaksud adalah
tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi
seseorang (privat goals). Selain itu politik juga menyangkut kegiatan berbagai
16
kelompok termasuk partai politik dan kegiatan orang seorang. Lebih lanjut
Miriam Budiardjo (2004:9) menerangkan konsep-konsep pokok yang perlu
dipahami dalam mendefinisikan politik sebagai berikut :
1)
2)
3)
4)
5)
Negara (state)
Kekuasaan (power)
Pengambilan keputusan(decisionmaking)
Kebijaksanaan (policy, beleid)
Pembagian (distribution) atau alokasi (allocation)
Penjelasan dari konsep-konsep di atas sebagai berikut :
1) Negara (state)
Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai
kekuasaan tertinggi yang sah dan yang ditaati oleh rakyatnya. Negara sebagai
inti dari politik memusatkan perhatiannya pada lembaga-lembaga kenegaraan.
2) Kekuasaan (power)
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk
mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan
kekinginan dari pelaku. Para ahli yang melihat kekuasaan sebagai inti dari
politik, beranggapan bahwa politik adalah semua kegiatan yang menyangkut
masalah merebutkan dan mempertahankan kekuasaan.
3) Pengambilan keputusan(decisionmaking)
Keputusan dapat diartikan dengan membuat pilihan di antara beberapa
alternatif, sedangkan istilah pengambilan keputusan (decisionmaking)
menunjuk pada proses yang terjadi sampai keputusan itu tercapai.
Pengambilan keputusan sebagai salah satu konsep pokok dari politik
menyangkut keputusan-keputusan yang diambil secara kolektif dan yang
mengikat seluruh masyarakat. Setiap kebijaksanaan umum atau kebijaksanaan
pemerintah adalah hasil dari suatu proses mengambil keputusan.
4) Kebijaksanaan (policy, beleid)
Kebijaksanaan (policy, beleid) adalah suatu kumpulan keputusan yang
diambil oleh seorang atau kelompok politik dalam usaha mencapai tujuan.
Pada dasarnya pihak yang membuat kebijaksanaan-kebijaksanaan mempunyai
kekuasaan untuk melaksanakannya. Para ahli yang menekankan aspek
17
kebijaksanaan (policy, beleid) dalam mendefinisikan politik menganggap
bahwa setiap masyarakat mempunyai beberapa tujuan bersama. Cita-cita
bersama tersebut dapat dicapai melalui usaha bersama. Oleh karena itu, perlu
dibuat rencana-rencana yang mengikat dan dituang dalam kebijaksanaankebijaksanaan pemerintah.
5) Pembagian (distribution) atau alokasi (allocation)
Pembagian (distribution) atau alokasi (allocation) ialah pembagian
atau penjatahan dari nilai-nilai dalam masyarakat. Para ahli yang menekankan
pembagian dan alokasi beranggapan bahwa politik adalah membagikan dan
mengalokasikan nilai-nilai secara mengikat. Hal ini akan menimbulkan
konflik apabila terjadi pembagian yang tidak merata. Nilai merupakan sesuatu
yang dianggap baik atau benar, diinginkan, dan berharga, karena itu ingin
dimiliki manusia. Nilai dapat bersifat abstrak seperti penilaian (judgement)
terhadap kejujuran, dan kebebasan berpendapat. Nilai juga bersifat konkrit
seperti rumah, kekayaan dan sebagainya.
Berdasarkan pendapat-pendapat ahli tentang definisi politik di atas maka
dapat disimpulkan bahwa politik selalu dikaitakan dengan berbagai kegiatan
dalam suatu negara dalam rangka proses penentuan dan pelaksanaan tujuan-tujuan
bersama. Dalam melaksanakan tujuan tersebut perlu memperhatikan kepentingankepentingan umum. Oleh karena itu dibutuhkan kekuatan (power) dan
kewenangan yang dapat membina kerja sama dan menyelesaikan konflik yang
mungkin timbul dalam proses tersebut.
Seperti halnya pengertian partisipasi dan politik yang telah diungkapkan
sebelumnya, pengertian partisipasi politik pun sangat kompleks. Berikut ini
definisi partisipasi politik menurut beberapa ahli antara lain menurut Herbert
McClosky, Norman H. Nie dan Sidney Verba, dan Samuel P. Huntington dan
Joan M. Nelson sebagaimana dikutip dalam Miriam Budiardjo (1998:2-3) sebagai
berikut:
1) Menurut Herbert McClosky, “Partisipasi politik adalah kegiatankegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana mereka
mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara
18
langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan
umum”.
2) Menurut Norman H. Nie dan Sidney Verba,” Partisipasi politik adalah
kegiatan pribadi warga negara yang legal yang sedikit banyak langsung
bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-pejabat negara dan atau
tindakan-tindakan yang diambil oleh mereka”.
3) Menurut Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson,” Partisipasi
politik adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadipribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan
oleh pemerintah”.
Definisi partisipasi politik yang dikemukakan tokoh-tokoh di atas pada prinsipnya
memiliki inti yang sama. Partisipasi politik mencakup berbagai kegiatan pribadi
warga negara yang bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan
pemerintah.
Dengan demikian pengertian yang diungkapkan dari ketiga tokoh tadi
dapat penulis simpulkan bahwa partisipasi politik dibatasi pada beberapa hal.
Pertama, partisipasi politik hanyalah mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan
sikap-sikap. Dalam hal ini mereka tidak memasukkan komponen-komponen
subyektif seperti pengetahuan politik, minat terhadap politik, dan perasaanperasaan mengenai politik. Tetapi yang di tekankan adalah bagaimana berbagai
sikap dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik. Kedua,
dalam konteks ini yang dimaksud partisipasi politik itu adalah warga negara biasa,
bukan pejabat-pejabat pemerintah yang mempunyai pekerjaan profesional di
bidang itu. Ketiga, kegiatan pertisipasi politik itu hanyalah kegiatan yang
dimaksudkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah terlepas
tindakan yang dilakukan legal atau tidak. Salah satu bentuk tindakan untuk
menyuarakan aspirasi atau tuntutan dalam rangka mempengaruhi keputusan
pemerintah ialah melalui demonstrasi. Dengan demikian, demonstrasi atau aksi
protes dan kekerasan termasuk bentuk partisipasi politik. Keempat, partisipasi
politik juga mencakup semua kegiatan yang mempengaruhi pemerintah, terlepas
tindakan itu berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi politik berupa kegiatan
19
mempengaruhi pemerintah yang dilakukan langsung atau tidak langsung, artinya
langsung oleh pelakunya itu sendiri tanpa menggunakan perantara, tetapi ada pula
yang tidak langsung melalui orang-orang yang dianggap dapat menyalurkan
aspirasi pada pemerintah.
Miriam Budiardjo (1998:1-2) menyatakan bahwa ”Partisipasi politik
adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut serta secara aktif
dalam kehidupan politik, yaitu dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara
langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah (public
policy)”. Partisipasi politik tidak hanya dibatasi pada serangkaian aktivitas yang
dilakukan oleh individu saja tapi juga dapat dilakukan oleh kelompok. Aktivitas
yang dilakukan oleh seseorang atau kelompok tersebut menekankan pada aktivitas
yang aktif bukan pasif dalam berbagai kegiatan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara. Selain itu partisipasi politik juga dapat dilakukan secara langsung
maupun tidak langsung. Pendapat yang hampir sama juga dikemukan oleh
Syahrial Syarbaini et. al. (2002:69) yang menyatakan bahwa ”Partisipasi politik
adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif
dalam kehidupan politik, seperti memilih pimpinan negara atau upaya-upaya
mempengaruhi kebijakan pemerintah”. Pengertian partisipasi politik yang
dikemukakan oleh Syahrial Syarbaini et. al. mencakup pentingnya peran serta
orang seorang dan sekelompok orang untuk secara aktif terlibat dalam berbagai
kegiatan politik.
Keputusan-keputusan yang dilakukan pemerintah hendaknya melibatkan
warga masyarakat sebagai komponen penting bagi keberlangsungan suatu negara.
Di sisi lain masyarakat sendiri juga harus peduli dalam berbagai kegiatan
kenegaraan
dengan
berpartisipasi
dalam
kehidupan
politik.
Sudijono
Sastroatmodjo (1995:67) menyatakan ”Partisipasi politik itu merupakan kegiatan
yang dilakukan warga negara untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan
dengan tujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan
pemerintah”. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Kenneth Janda et all
(1987:226) yaitu ”Political participation as those actions of private citizens by
which they seek to influence or to support government and politics”. Pendapat
20
tersebut dapat diartikan bahwa partisipasi politik merupakan tindakan pribadi
warga negara yang dimaksudkan untuk mempengaruhi atau mendukung
pemerintah dan politik. Setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi
dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik. Kesempatan untuk
berpartisipasi tidak dibatasi untuk golongan tertentu saja namun berlaku bagi
semua masyarakat pada berbagai lapisan sosial.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli tentang definisi partisipasi politik di
atas dapat disimpulkan bahwa partisipasi politik adalah kegiatan pribadi warga
negara untuk ikut serta secara langsung maupun tidak langsung dalam proses
pemilihan pemimpin negara, dan pembuatan atau pembentukan keputusan yang
bertujuan untuk mempengaruhi pelaksanaan kebijakan yang telah diambil
pemerintah.
b. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik
Partisipasi politik memiliki beragam bentuk. Bentuk partisipasi yang
paling umum dikenal oleh masyarakat adalah pemungutan suara (voting) baik
yang digunakan untuk memilih wakil rakyat maupun untuk memilih kepala
pemerintahan di tingkat desa, kabupeten dan negara. Bentuk-bentuk partisipasi
politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai stabilitas sistem politik,
integritas kehidupan politik, dan kepuasan atau ketidakpuasan warga negara.
Bentuk-bentuk partisipasi politik antara satu ahli dengan ahli yang lain berbedabeda. Hal ini diakibatkan karena dasar yang digunakan oleh setiap ahli dalam
mengklasifikasikan bentuk partisipasi politik berlainan. Secara umum, bentukbentuk partisipasi politik dapat digolongkan menjadi delapan yaitu :
1) Berdasarkan tingkatan atau hierarkinya
Bentuk-bentuk partisipasi politik dilihat dari tingkatnnya menurut Michael
Rush dan Philip Althoff sebagaimana dikutip oleh Arifin Rahman (1998:132)
sebagai berikut :
21
Menduduki jabatan politik atau administratif
Mencari jabatan politik atau administratif
Keanggotaan aktif suatu organisasi politik
Keanggotaan pasif suatu organisasi politik
Keanggotaan aktif organisasi semu-politik
Keanggotaan pasif organisasi semu-politik
Partisipasi dalam rapat umum, demonstrasi, dll
Partisipasi dalam diskusi politik informal minat umum dalam
politik
Voting (pemberian suara)
Apatis total (masa bodoh)
Gambar 2.1. Hierarki Partisipasi Politik
Hierarki partisipasi politik di atas menunjukkan bahwa partisipasi pada satu
tingkatan bukan merupakan prasyarat bagi partisipasi pada tingkatan yang lebih
tinggi. Pada puncak hierarki terdapat orang-orang yang menduduki berbagai
macam jabatan, baik para pemegang jabatan politik maupun para birokrat. Mereka
ini berkepentingan langsung dengan pelaksanaan kekuasaan politik formal. Di
bawah para pemegang jabatan politik formal adalah para anggota dari berbagai
organisasi politik atau semi politik. Partai politik maupun kelompok kepentingan
merupakan organisasi yang berfungsi sebagai wadah yang memungkinkan para
anggota masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan politik. Bentuk partisipasi
selanjutnya ialah mengikuti suatu rapat umum dan demonstrasi yang
diselenggarakan sepontan dan diorganisir oleh partai-partai atau kelompok
tertentu guna memenuhi agenda politik mereka. Dalam hal ini, orang
berpartisipasi bukan berdasarkan kesadarannya sendiri, melainkan dimobilisasi.
Diskusi informal yang dilakukan di keluarga, di tempat kerja termasuk bentuk
22
partisipasi politik. Bentuk partisipasi politik yang tidak menuntut banyak upaya
ialah ikut memberikan suara dalam pemilu. Kegiatan ini dilakukan pada saat
diperlukan saja. Sedangkan golongan yang tidak terlibat dalam kegiatan politik
disebut golongan apatis.
2) Berdasarkan frekuensi dan intensitasnya
Dalam masyarakat banyak dijumpai orang yang mengikuti kegiatan politik
secara tidak intensif. Kegiatan yang tidak intensif merupakan kegiatan yang tidak
banyak menyita waktu dan biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri, seperti
keterlibatan masyarakat untuk memberikan suara dalam pemilu. Sebaliknya,
sedikit jumlah orang yang secara aktif banyak meluangkan waktu dan melibatkan
diri dalam politik. David dan Frank menggambarkan kondisi demikian dalam
bentuk piramida sebagaimana dikutip Syahrial Syarbaini et all (2002:70) sebagai
berikut:
Aktivis
Partisipan
Pengamat
Pejabat partai
sepenuh waktu
Pemimpin
partai
/kelompok
kepentingan
Petugas kampanye
Anggota aktif dan
partai/kelompok kepentingan
dalam proyek-proyek sosial
Menghadiri rapat umum anggota
partai/kelompok kepentingan,
membicarakan masalah politik,
mengikuti perkembangan politik
melalui media massa,
memberikan suara dalam pemilu
Orang-orang yang apolitis
Gambar 2.2 Piramida Partisipasi Politik
23
Piramida di atas tergambar ada pelebaran pada bagian dasar dan semakin
menyempit ke atas sejalan dengan meningkatnya intensitas kegiatan. Di antara
dasar dan puncak terdapat pelbagai kegiatan yang berbeda-beda intensitasnya baik
dari segi kegiatannya maupun komitmen dari orang yang bersangkutan. Termasuk
di dalamnya adalah memberikan suara dalam pemilu, menghadiri rapat politik,
dan menjadi anggota kelompok kepentingan. Kegiatan yang lebih insentif lagi
antara lain menjadi petugas kampanye, dan melibatkan diri dalam proyek sosial.
Sedangkan yang paling intensif dari sebelumnya yaitu sebagai pimpinan partai
atau kelompok kepentingan.
3) Berdasarkan kegiatannya
Menurut Sudjono Sastroatmodjo (1995:74) sebagai suatu kegiatan,
partisipasi politik dapat dibedakan sebagai berikut :
a) Partisipasi aktif, yaitu partisipasi politik yang mencakup kegiatan
warga negara mengajukan usul mengenai suatu kebijakan umum,
mengajukan alternatif kebijakan umum yang berbeda dengan kebijakan
pemerintah, mengajukan kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan
kebijaksanaan, membayar pajak, dan ikut serta dalam kegiatan
penelitian.
b) Partisipasi pasif, yaitu partisipasi yang mencakup kegiatan mentaati
peraturan atau perintah, menerima dan melaksanakan begitu saja setiap
keputusan pemerintah.
Partisipasi aktif merupakan bentuk kegiatan yang dilakukan warga negara untuk
senatiasa memberikan masukan dan saran dalam proses pengambilan keputusan
sekaligus melaksanaakan apa yang telah menjadi keputusan bersama. Sementara
itu, partisipasi pasif merupakan bentuk kegiatan yang hanya menerima, mentaati
dan melaksanakan begitu saja setiap keputusan dari pemerintah walaupun hal itu
bertentangan dengan dirinya.
4) Berdasarkan bentuk perilakunya
Berdasarkan bentuk perilakunya Kenneth Janda et. all. (1987:227)
memberikan batasan pengertian partisipasi konvensional dan non konvensional
sebagai berikut :
a) Conventional participation is relatively routine behavior that uses the
institutional channels of representative government, especially
campaigning for candidates and voting in elections.
24
b) Unconventional participation is relatively uncommon behavior that
challenges or defies government channel (and thus is personally
stressful to participants and their opponents).
Penulis menerjemahkan pendapat diatas sebagai berikut :
a) Partisipasi konvensional adalah perilaku yang relatif rutin dilakukan
dengan menggunakan pemerintahan sebagai lembaga yang dipilih rakyat,
terutama dalam kegiatan kempanye dan pemberian suara.
b) Partisipasi non konvensional adalah perilaku yang relatif tidak biasa
dilakukan dalam menghadapi tantangan atau menantang pemerintahan dan
dengan begitu secara pribadi akan mengalami keputusasaan kemudian
melawan mereka.
Untuk lebih memahami bentuk partisipasi politik konvensional dan non
konvensional, secara rinci Syahrial Syarbaini et. all. (2002:71) menerangkan
sebagai berikut:
Tabel 2.1. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik
Konvensional
Nonkonvensional
Pemberian suara (voting)
Pengajuan petisi
Diskusi politik
Berdemonstrasi
Kegiatan kampanye
Konfrontasi, mogok
Membentuk dan bergabung dalam Tindak kekerasan politik harta
kelompok kepentingan
benda (perusakan, pemboman,
pembakaran)
Komunikasi individual dengan Tindakan
kekerasan
politik
pejabat politik dan administratif
terhadap manusia (penculikan,
pembunuhan, perang gerilya dan
revolusi)
5) Berdasarkan pelakunya
Guna memahami lebih dalam lagi tentang partisipasi politik ada baiknya
kita menelaah pendapat Milbrath dan Goel dalam Sudjono Sastroatmodjo
(1995:74-75) yang mengkategorikan partisipasi politik sebagai berikut:
a) Apatis, yaitu orang yang menarik diri dari proses politik.
b) Spektator, yaitu orang yang setidak-tidaknya pernah ikut dalam
pemilihan umum.
c) Gladiator yaitu orang-orang yang secara aktif terlibat dalam proses
politik, yakni sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan
25
program tatap muka, aktivitas partai dan pekerja kampanye serta
aktifitas masyarakat.
d) Pengkritik yaitu orang-orang yang berpartisipasi dalam bentuk yang
tidak konvensional.
Salah satu kelompok yang menarik dari keempat kelompok di atas ialah kelompok
apatis, meskipun seseorang tidak terlibat dalam kegiatan politik bukan berarti ia
benar-benar terlepas dalam kegiatan politik karena hakikatnya manusia adalah
makhluk politik. Apatis juga merupakan perilaku yang sengaja dilakukan agar
tercipta kondisi yang dianggapnya lebih baik dari pada akibat yang ditimbulkan
bila ia tetap berpartisipasi. Dalam kehidupan bernegara sering dijumpai sejumlah
orang yang tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik atau hanya berpartisipasi
pada tingkatan yang paling rendah saja. Sehubungan dengan hal ini dikenal
istilah-istilah seperti apatis, sinis, alienasi (terasing) dan anomie (terpisah).
Penjelasan tentang istilah-istilah tersebut sebagai berikut :
a) Apatis (masa bodoh)
Apatis dapat diartikan sebagai tidak punya minat atau tidak punya
perhatian terhadap orang lain, situasi dan gejala-gejala. Adapun ciri-ciri apatis
antara lain adanya ketidakmampuan untuk mengakui tanggung jawab pribadi,
untuk menyelidiki atau untuk menerima emosi dan perasaan sendiri, yaitu
perasaan samar-samar dan tidak dapat dipahami, rasa susah, tidak aman dan
merasa terancam.
b) Sinis
Secara politis sinisme memiliki ciri-ciri antara lain adanya perasaan
bahwa politik adalah urusan yang kotor, politik tidak dapat dipercaya, dan
kekuasaan sebenarnya dijalankan oleh orang-orang yang tidak punya malu.
Seseorang yang sinis merasa bahwa partisipasi politik dalam bentuk apapun
akan sia-sia dan tidak ada hasilnya sedikitpun bagi kehidupannya.
c) Aliansi (terasing)
Aliansi merupakan perasaan keterasingan seseorang dari politik
pemerintahan, dan masyarakat. Pola pikirnya cenderung didasarkan bahwa
pemerintahan dan politik bangsa yang dilakukan orang lain hanya untuk orang
lain saja dan mengikuti aturan yang tidak adil. Kelompok orang-orang ini
26
menganggap pemerintahan sebagai keberadaan yang tidak ada artinya serta
tidak memberikan konsekuensi kepada mereka.
d) Anomie (terpisah)
Anomie adalah perasaan kehilangan nilai dan arah hidup, sehingga tidak
termotivasi untuk mengambil tidakan-tindakan yang berarti dalam hidup ini.
Orang yang berperasaan demikian menganggap penguasa bersikap ”tidak
peduli” terhadap tujuan-tujuan hidupnya.
Individu-individu yang memilih untuk bersikap apatis, sinis, alienasi (terasing)
dan anomie (terpisah) memiliki sejumlah alasan tersendiri dan apabila hal tersebut
berkembang dapat menyebabkan konflik. Berkaitan dengan fenomena tersebut
Rosenberg dalam Sudjono Sastroatmodjo (1995:75-76) menyebutkan ada tiga
alasan adanya partisipasi politik yaitu:
a) Individu memandang bahwa aktivitas politik merupakan ancaman terhadap
beberapa aspek kehidupannya.
Individu beranggapan bahwa mengikuti kegiatan politik dapat
merusak hubungan dengan kawan dan pekerjaannya karena kedekatannya
dengan partai-partai politik tertentu.
b) Individu menganggap bahwa aktivitas politik merupakan kegiatan yang
sai-sia belaka.
Individu beranggapan bahwa ia tidak akan mungkin dapat mengubah
keadaan dan melakukan kontrol politik. Dalam pandangannya, justru
terjadi gap yang dalam antara cita-cita dan realitasnya yang tidak ada
seorangpun yang dapat menjembataninya.
c) Ketidakadaan pesaing politik.
Hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa politik hanyalah
memberikan kepuasan yang sedikit dan tidak langsung, sedangkan hasil
langsung yang diterimanya sedikit. Dengan kata lain bahwa partisipasi
politik baginya bukanlah sarana yang layak untuk memenuhi kebutuhankebutuhan pribadinya.
27
6) Berdasarkan dimensi kehidupan stratifikasi sosial
Partisipasi dapat dibedakan menurut dimensi kehidupan stratifikasi sosial
sebagaimana diungkapkan Goel dan Olsen dalam Sudjono Sastroatmodjo
(1995:77) sebagai berikut :
a) Pemimpin politik
b) Aktivis politik
c) Komunikator (orang yang menerima dan menyampaikan ide-ide, sikap,
dan informasi politik lainnya pada orang lain)
d) Warga negara marjinal (orang yang sedikit melakukan kontak dengan
sistem politik)
e) Orang-orang yang terisolasi (orang yang jarang melakukan partisipasi
politik)
Para pemimpin politik berada dalam lapisan yang tertinggi bila dibandingkan
dengan lapisan yang ada di bawahnya yaitu para aktivis politik, komunikator,
warga negara marjinal dan yang terakhir adalah orang-orang yang terisolasi.
7) Berdasarkan sifatnya
Nalsom dalam Sudjono Sastroatmodjo (1995:77) membedakan partisipasi
politik menjadi dua sifat yaitu ”autonomus participation (partisipasi otonom) dan
mobilized participation (partisipasi yang dimobilisasikan)”. Berikut ini penjelasan
dari kedua sifat partisipasi tersebut.
a) Partisipasi yang bersifat sukarela (otonom)
Partisipasi yang bersifat sukarela artinya bahwa individu secara
sadar tanpa paksaan terlibat dalam kegiatan politik. Keterlibatan
seseorang dalam kegiatan politik tidak selamanya didasarkan pada
kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara yang baik.
Fenomena yang sering mewarnai bentuk pemilihan umum saat ini
tidak terlepas dari praktek kotor yang berupa praktek money politic.
b) Partisipasi atas desakan orang lain (dimobilisasi)
Partisipasi atas desakan orang lain terjadi karena adanya
pengaruh pihak lain yang sengaja agar individu tersebut terlibat dalam
kegiatan politik, misalnya partisipasi pada partai politik atau kelompok
kepentingan tertentu. Dengan demikian partai politik dan kelompok
28
kepentingan menjadi agen mobilisasi yang akan mendorong terjadinya
partisipasi politik.
8) Berdasarkan jumlah pelakunya
Menurut N. Muller dalam Sudjono Sastroatmodjo (1995:77) berdasarkan
jumlah pelakunya, partisipasi politik dapat dibedakan menjadi dua yaitu
”Partisipasi individual dan partisipasi kolektif”. Penjelasan tentang kedua jenis
partisipasi politik tersebut adalah:
a) Partisipasi individual
Partisipasi individual merupakan kegiatan individu warga negara yang
dimaksudkan untuk mempengaruhi pemerintah. Bentuk partisipasi
individual dapat berupa kegiatan menulis surat yang berisi tuntutan atau
keluhan kapada pemerintah.
b) Partisipasi kolektif
Partisipasi kolektif merupakan kegiatan warga negara secara serentak
dimaksudkan untuk mempengaruhi penguasa seperti dalam kegiatan
pemilihan umum.
Dari penjelasan di atas dapat penulis simpulkan bahwa beragamnya bentuk
partisipasi politik di atas menunjukkan betapa luasnya konsep partisipasi politik
dalam kehidupan bernegara. Partisipasi politik tidak hanya dilakukan para
pemerintah selaku pembuat dan pelaksana kebijakan namun juga dilakukan oleh
masyarakat biasa yang berupaya mempengaruhi proses pembuatan dan
pelaksanaan kebijakan tersebut. Hakikatnya tidak ada satu warga negara pun yang
benar-benar terlepas dari kehidupan politik dengan beragam bentuknya.
c. Motif Partisipasi Politik
Tindakan-tindakan atau aktivitas politik tidak hanya menyangkut apa yang
telah dilakukan saja, tetapi juga menyangkut hal-hal apa yang mendorong individu
tersebut berpartisipasi. Dorongan tersebut dapat berasal dari dalam dan dari luar.
Oleh karena itu penting untuk mengetahui motif-motif apa saja yang
melatarbelakangi tindakan seseorang yang berkaitan dengan partisipasi politik.
29
Menurut Weber dalam Sudijono Sastroatmodjo (1995:83) partisipasi politik pada
diri seseorang didasari oleh beberapa motif sebagai berikut :
1) Motif yang rasional-bernilai, yaitu motif yang didasarkan atas
penerimaan secara rasional atas nilai-nilai suatu kelompok.
2) Motif yang afektual emosional, yaitu motif yang didasarkan atas
kebenaran (enthusianisme) terhadap suatu ide, organisasi, atau
individu.
3) Motif yang tradisional, yaitu motif yang didasarkan atas penerimaan
norma, tingkah laku individu dari suatu kelompok sosial.
4) Motif yang rasional bertujuan, yaitu motif yang didasarkan atas
kepentingan pribadi.
Penjelasan tentang keempat motif diatas sebagai berikut:
1) Motif rasional bernilai
Motif rasional bernilai merupakan motif yang mendorong tingkah laku
untuk beraktivitas atas dasar pertimbangan-pertimbangan logis dan rasional
terhadap suatu kelompok. Hal ini berarti tindakan seseorang dalam aktivitas
politik telah didukung oleh penilaian-penilaian obyektif terhadap suatu
kelompok tertentu. Motif ini juga tidak terlepas dari unsur-unsur subyektif
tetapi
melalui
pertimbangan-pertimbangan
nalarnya,
individu
dapat
menentukan sikapnya untuk menilai organisasi sosial tertentu.
2) Motif afektual emosional
Berbeda dengan motif pertama, motif ini didasarkan pada kebencian
tertentu yang melekat pada individu dalam menilai gagasan, organisasi, atau
individu lain. Motif ini pula yang membentuk sikap ketidaksenangan terhadap
suatu kelompok yang kemudian dalam bentuknya yang konkrit menjadi
bentuk apatisme, sinisme dan aliansi.
3) Motif tradisional
Motif ini didasarkan atas penerimaan norma tingkah laku individu
dalam suatu kelompok sosial. Hal ini berarti terjadi kesesuaian antara normanorma dan nilai-nilai antara individu dengan kelompok sosial yang
menyebabkan individu tersebut dapat berpartisipasi dalam kelompok tersebut.
30
4) Motif rasional bertujuan
Motif ini mendorong seseorang untuk beraktivitas bila terdapat
keuntungan-keuntungan yang dapat diperolehnya dari kegiatan politik
tersebut. Sebaliknya, bila aktivitas tersebut tidak memberikan keuntungan apaapa maka ia tidak akan ikut serta di dalamnya.
Meningkat atau menurunnya partisipasi politik berkaitan dengan motif
orang yang terlibat di dalamanya. Dan Nimmo (2006:129) menggolongkan motif
partisipasi politik menjadi lima yaitu:
1)
2)
3)
4)
5)
Sengaja atau tak sengaja
Rasional atau emosional
Kebutuhan psikologis atau sosial
Diarahkan dari dalam atau dari luar
Berpikir tanpa berpikir
Penjelasan tentang motif-motif partisipasi politik diatas sebagai berikut:
1) Sengaja atau tak sengaja
Beberapa warga negara sengaja berusaha mencari informasi dan
peristiwa politik untuk mencapai tujuan tertentu. Bagi mereka politik itu
bertujuan dan merupakan hal yang disengaja. Sedangkan bagi yang lainnya
melakukan kegiatan politik secara kebetulan, seperti menemukan stiker
kampanya kemudian menempelkannya pada mobil.
2) Rasional atau emosional
Orang yang berhasrat mencapai tujuan tertentu akan mempertimbangkan
secara rasional tentang alternatif apa yang hendak diambil untuk mencapai
tujuan. Sebaliknya, ada orang yang bertindak tanpa berpikir namun sematamata karena dorongan dalam hati yang bersifat emosional.
3) Kebutuhan psikologis atau sosial
Kadang-kadang
ada
orang
yang
memproyeksikan
kebutuhan
psikologisnya pada objek-objek politik, misalnya ia selalu mendukung
pemimpin politik karena kebutuhan yang mendalam untuk tunduk pada
autoritas. Sebaliknya, ada yang menggunakan politik untuk meningkatkan
persahabatan sosial, mengidentifikasikan diri dengan orang-orang yang
31
setatusnya diinginkan, atau meningkatkan posisi kelompok sosial mereka
terhadap kelompok sosial yang lain.
4) Diarahkan dari dalam atau dari luar
Perbedaan partisipasi politik yang diarahkan dari dalam diri pribadi dan
dari luar erat hubungannya dengan motivasi batiniah dan motivasi sosial.
Orang yang diarahkan oleh dirinya sendiri adalah orang yang bereaksi sendiri,
yaitu orientasi dan kecenderungannya diperoleh dari bimbingan orang tuanya.
Sebaliknya, orang yang diarahkan dari luar akan mendasarkan pada orientasi
yang diperoleh dari lingkungan yang jauh lebih luas dari pada orang tuanya.
5) Berpikir atau tanpa berpikir
Setiap orang berbeda dalam tingkat kesadarnnya ketika melakukan
tindakan politik. Orang yang demikian selalu memikirkan akibat yang
ditimbulkan bagi dirinya maupun orang lain. Sedangkan individu yang kurang
menggunakan daya pikirnya akan mudah terpengaruh orang lain. Misalnya,
bisa jadi seseorang tidak bermaksud ikut dengan demonstrasi yang
menggunakan kekerasan, tetapi ia terseret oleh keadaan dan peristiwa di
lapangan.
Berdasarkan penjelasan tentang motif-motif partisipasi politik di atas dapat
penulis simpulkan bahwa motif yang mendasari seseorang untuk berpartisipasi
politik adalah salah satu faktor yang dapat meningkatkan atau menekan partisipasi
politik. Sedangkan motif yang diberikan masing-masing orang berbeda-beda satu
sama lain, akan tetapi pada prinsipnya sama.
d. Fungsi Partisipasi Politik
Pada dasarnya setiap tindakan yang dilakukan seseorang selain didasari
motif-motif tertentu juga mengandung fungsi dan tujuan tertentu pula. Menurut
Lane dalam Sudijono Sastroatmodjo (1995:84) menyebutkan bahwa partisipasi
politik paling tidak memiliki empat fungsi, yaitu:
Pertama, sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomi. Kedua,
sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi penyesuaian sosial.
Ketiga, sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus. Keempat,
32
sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan alam bawah sadar dan
kebutuhan psikologi tertentu.
Penjelasan dari keempat fungsi partisipasi politik di atas sebagai berikut :
1) Berfungsi sebagai sarana untuk mengejar kebutuhan ekonomi.
Seseorang ikut berperan serta dalam kegiatan politik dalam rangka
upayanya menjadikan arena politik sebagai sarana untuk memperlancar usaha
akonominya ataupun sebagai sarana mencari keuntungan material.
2) Berfungsi sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan bagi
penyesuaian sosial.
Keterlibatan seseorang dalam kegiatan politik dijadikan sebagai sarana
untuk memenuhi kebutuhan akan harga diri, status sosial, dan kehormatan
karena dapat bergaul dengan pejabat-pejabat terkemuka. Pergaulan yang luas
dan bersama pejabat-pejabat itu pula yang mendorong partisipasi politik
seseorang. Orang-orang yang demikian merasa puas bahwa politik dapat
memenuhi kebutuhan terhadap penyesuaian sosialnya.
3) Berfungsi sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus.
Seseorang berpartisipasi dalam politik karena politik dianggap dapat
dijadikan sarana untuk mendapatkan pekerjaan, mendapatkan proyek-proyek,
tender-tender, dan melicinkan karir bagi jabatannnya. Nilai-nilai khusus dan
kepentingan individu tersebut apabila tercapai akan makin mendorong
partisipasinya dalam politik. Terlebih lagi bagi seseorang yang terjun dalam
bidang politik dilandasi motivasi ini, seringkali politik dijadikan sarana untuk
mencapai tujuan-tujuan pribadinya semata. Fenomena ini menyebabkan
munculnya Korupsi Kolusi Nepotisme (KKN) dalam segala bidang
pemerintahan.
4) Berfungsi sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan alam bawah sadar
dan kebutuhan psikologi tertentu.
Keterlibatan seseorang dalam kegiatan politik berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan alam bawah sadar dan kebutuhan psikologis tertentu,
seperti kepuasan batin, perasaan terhormat, merasa menjadi sosok yang
33
penting dan dihargai orang lain dan kepuasan-kepuasan atas target yang telah
ditetapkan.
Partisipasi politik warga negara sangat penting dalam penyelenggaraan
suatu pemerintahan. Menurut Sudijono Sastroatmodjo (1995:86) bagi pemerintah,
fungsi partisipasi politik warga negara sebagai berikut:
Pertama, partisipasi politik masyarakat berfungsi untuk mendukung
program-program pemerintah. Kedua, partisipasi masyarakat berfungsi
sebagai organisasi yang menyuarakan kepentingan masyarakat untuk
masukan bagi pemerintah dalam mengarahkan dan meningkatkan
pembangunan.
Partisipasi politik setiap masyarakat memiliki arti penting dalam rangka
mendukung program-program yang hendak dijalankan oleh pemerintah. Program
yang dicanangkan pemerintah tidak berarti tanpa dukungan dari seluruh
masyarakat. Selain itu partisipasi dapat digunakan sebagai sarana untuk
memberikan masukkan, kritik dan saran terhadap pemerintah dalam perencanaan
dan pelaksanaan pembangunan. Organisasi-organsisasi sosial kemasyarakatan
(Ormas) dan organisasi sosial politik (Orsospol) merupakan contoh dari fungsi
politik ini.
Bagi masyarakat luas baik itu lembaga legislatif, lembaga pers maupun
indivudu, partisipasi politik memiliki fungsi kontrol. Dengan demikian, partisipasi
politik merupakan sebuah mekanisme pelaksanaan fungsi kontrol terhadap
pemerintah dalam melaksanakan kebijakan-kebijakannya. Tanpa kontrol yang
berkelanjutan dalam penyelenggaraan negara sangat memungkinkan terjadinya
penyimpangan-penyimpangan dan penyalahgunaan kekuasaan.
Berdasarkan uraian tentang fungsi partisipasi politik di atas dapat penulis
simpulkan bahwa hakikat partisipasi politik sangat penting bagi masyarakat yang
berperan di dalamnya dan bagi pemerintah sebagai penyelenggara suatu
pemerintahan. Oleh karena itu, perlu adanya kesadaran bersama antara pemerintah
dan masyarakat untuk meningkatkan partisipasi politik secara optimal. Pemerintah
sebagai penyusun kebijakan hendaknya lebih mementingkan tercapainya tujuan
dengan melibatkan masyarakat secara kontinue.
34
e. Tujuan Partisipasi Politik
Tujuan partisipasi politik tidak akan tercapai efektif tanpa keterlibatan dari
seluruh komponen bangsa. Menurut Sunit dalam Sudijono Sastroatmodjo
(1995:85-86) partisipasi politik di Indonesia memiliki tiga tujuan yaitu:
Pertama, memberikan dukungan kepada penguasa dan pemerintah yang
dibentuknya beserta sistem politik yang dibentuknya. Kedua, partisipasi
dimaksudkan sebagai usaha untuk menunjukkan kelemahan dan
kekurangan pemerintah. Ketiga, partisipasi sebagai tantangan terhadap
penguasa dengan maksud menjatuhkannya sehingga diharapkan terjadi
perubahan struktural dalam pemerintahan dan dalam sistem politik.
Pemberian dukungan kepada penguasa dan pemerintah dapat diwujudkan dalam
bentuk pengiriman wakil-wakil atau utusan pendukung ke pusat pemerintahan dan
pembuatan pernyataan yang isinya memberikan dukungan terhadap pemerintah.
Sementara usaha untuk menunjukkan kelemahan dan kekurangan pemerintah
dilakukan dengan harapan agar pemerintah meninjau kembali, memperbaiki atau
mengubah kelemahan tersebut. Partisipasi ini dapat terlihat dalam bentuk
membuat petisi, resolusi, aksi pemogokkan, demonstrasi, dan aksi protes.
Sedangkan harapan agar terjadi perubahan struktural dalam pemerintahan
seringkali dilakukan dengan pemogokkan, pembangkangan politik dan sampai
yang paling ekstrim yaitu kudeta bersenjata.
Berdasarkan fungsi dan tujuan partisipasi politik di atas maka dapat
penulis simpulkan bahwa sesungguhnya partisipasi politik yang dilakukan oleh
masyarakat memiliki pengaruh penting terhadap keberlangsungan pemerintahan
dalam suatu negara menuju terwujudnya cita-cita bersama. Di samping itu tujuan
partisipasi politik ialah untuk mempengaruhi penguasa baik dalam arti
memperkuat maupun dalam pengertian menekannya, sehingga penguasa
memperhatikan atau memenuhi kepentingan partisipan. Tujuan tersebut sangat
beralasan karena sasaran partisipasi politik adalah lembaga-lembaga politik atau
pemerintah yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan politik baik
di tingkat daerah maupun di timgkat pusat pemerintahan.
35
f. Faktor Penyebab Timbulnya Partisipasi Politik
Partisipasi politik yang dilakukan seseorang merupakan hasil interaksi
antara berbagai faktor yang mempengaruhinya. Pengenalan terhadap faktor-faktor
yang mempengaruhi partisipasi politik penting sekali dalam rangka pencapaian
partisipasi politik secara maksimal.
Partisipasi politik sangat beragam variasinya, keanekaragaman tersebut
terdapat diberbagai negara meskipun sistem sosial politik yang diterapkannya
berbeda-beda. Milbrath dalam Michael Rush dan Phillip Althoff (2005:165)
memberikan empat alasan bervariasinya partisipasi politik seseorang yaitu:
”Pertama, sejauh mana orang menerima perangsang politik. Kedua, karakteristik
pribadi seseorang. Ketiga, karakteristik sosial seseorang, Keempat, keadaan
politik atau lingkungan politik dalam mana seseorang dapat menemukan dirinya
sendiri”. Penjelasan keempat faktor di atas adalah sebagai berikut :
1) Penerimaan perangsang politik
Keterbukaan dan kepekaan seseorang terhadap perangsang politik lewat
kontak pribadi, organisasi dan lewat media massa akan memberikan pengaruh
bagi keikutsertaan seseorang dalam kegiatan politik. Misalnya, seseorang yang
dalam lingkungan keluarganya sering melakukan diskusi-diskusi mengenai
kehidupan politik sesederhana apapun pembicaraannya dapat mempengaruhi
seseorang untuk aktif terlibat dalam kegiatan politik. Di samping itu dengan
mengikuti kegiatan organisasi politik secara nyata akan membawa pengaruh
bagi partisipasi politiknya. Keterbukaan dan kepekaan seseorang dalam
menerima perangsang politik dari media masa akan mendorong seseorang
terlibat aktif dalam kegiatan politik. Dengan mengikuti secara aktif
perkembangan-perkembangan politik melalui media massa, seseorang akan
memiliki refrensi yang cukup luas dan aktual untuk memberikan tanggapan
dan akhirnya sebagai bahan dalam partisipasi politik. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa informasi dan pengetahuan politik yang dimiliki seseorang
memiliki arti penting dalam mempengaruhi keterlibatan seseorang dalam
kegiatan politik.
36
2) Karakteristik pribadi seseorang
Aspek kepribadian juga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
tingkat partisipasi politik. Seseorang yang memiliki sifat kepribadian terbuka
akan
lebih
berkepribadian
mudah
aktif
tertutup.
dibandingkan
Orang-orang
dengan
yang
orang-orang
memiliki
pribadi
yang
suka
memperhatikan kepentingan orang lain akan lebih aktif dalam berpartisipasi
jika dibandingkan dengan orang-orang yang berkepribadian tidak suka
mengurus kepentingan orang lain. Kepribadian yang sosiabel (ramah, suka
bergaul) dan extravert (lebih memikirkan diri orang lain) umumnya akan lebih
condong melakukan kegiatan politik daripada pribadi yang kurang sosiabel
dan introvet.
3) Karakteristik sosial seseorang
Karakteristik sosial seseorang, seperti status sosial ekonomi, kelompok
ras atau etnis, usia, seks dan agamanya, baik yang tinggal di pedesaan maupun
di kota, semuanya akan mempengaruhi partisipasi politiknya. Karakterkarakter seseorang berdasarkan faktor-faktor itu pulalah yang memiliki
pengaruh yang relatif cukup besar terhadap partisipasi politik.
4) Keadaan politik atau lingkungan politik
Keadaan politik atau lingkungan politik setiap orang berbeda-beda.
Perbedaan tersebut berpengaruh terhadap perbedaan watak dan tingkah laku
individu. Dengan perbedaan itu pula yang ikut mendorong perbedaan perilaku
politik dan partisipasi politik seseorang. Misalnya, kondisi masyarakat yang
masih didominasi sistem kelas yang kaku akan menimbulkan munculnya
partai politik yang didasarkan kelas.
Menurut Myron Weiner dalam Mohtar Mas’oed dan Colin Mac Andrew,
(1993:45-46) paling tidak terdapat lima hal yang menyebabkan timbulnya gerakan
ke arah partisipasi yang lebih luas dalam proses politik yaitu:
1)
2)
3)
4)
5)
Modernisasi
Perubahan struktur kelas sosial
Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern
Konflik di antara kelompok-kelompok pemimpin politik
Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi
dan kebudayaan.
37
Penjelasan dari faktor-faktor penyebab timbulnya gerakan ke arah partisipasi
politik sebagai berikut:
1) Modernisasi
Modernisasi di segala bidang berimplikasi pada komersialisasi pertanian,
industrilisasi, meningkatnya arus urbanisasi, perbaikan pendidikan, dan
pengembangan media massa atau media komunikasi secara lebih luas.
Kemajuan itu berakibat pada tumbuhnya partisipasi masyarakat dari berbagai
lapisan untuk ikut serta mempengaruhi kebijakan pemerintah. Selain itu,
mereka juga menuntut keikutsertaannya dalam kekuasaan politik sebagai
bentuk upayanya dalam memperbaiki nasibnya sendiri.
2) Perubahan struktur kelas sosial
Era industrilisasi dan modernisasi telah menyebabkan perubahan struktur
kelas sosial. Hal itu menimbulkan masalah tentang siapa yang berhak untuk
berpartisipasi dalam pembuatan keputusan politik menjadi penting dan
mengakibatkan perubahan-perubahan dalam pola partisipasi politik. Pada
umumnya kelas menengah selalu kritis dalam menyuarakan kepentingankepentingan masyarakat secara demokratis.
3) Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern
Ide-ide atau gagasan yang diungkapkan oleh kaum intelektual seperti
paham nasionalisme, demokrasi, dan libralisme mengakibatkan munculnya
tuntutan-tuntutan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan negara.
Sementara komunikasi yang meluas akan mempermudah penyebaran ide-ide
tersebut ke dalam seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian, masyarakat
yang belum maju sekali pun akan dapat menerima ide-ide politik tersebut
secara cepat. Hal ini tentu berimplikasi pada tuntutan-tuntutan rakyat untuk
ikut serta menentukan dan mempengaruhi kebijakan pemerintah.
4) Konflik di antara kelompok-kelompok pemimpin politik
Konflik diantara para pemimpin-pemimpin politik biasanya berbentuk
persaingan. Pemimpin politik yang bersaing memperebutkan kekuasaan
dilakukan dengan jalan mencari dukungan massa sebanyak-banyaknya. Dalam
konteks ini mereka menganggap apa yang dilakukannya sah karena apa yang
38
mereka lakukan semata-mata demi kepentingan rakyat dan dalam rangka
upaya memperjuangkan ide atau gagasan partisipan. Hal ini akan berimplikasi
pada munculnya tuntutan terhadap hak-hak rakyat, hak asasi manusia,
keterbukaan, demokratisasi dan kebebasan pers yang lebih luas.
5) Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi dan
kebudayaan
Luasnya ruang lingkup pemerintah dalam bidang politik, sosial, ekonomi
dan kebudayaan serta pertahanan keamaan akan merangsang tumbuhnya
tuntutan-tuntutan untuk ikut serta dalam mempengaruhi pembuatan keputusan
politik. Hal ini merupakan konsekuensi dari keterlibatan pemerintah dalam
segala kehidupan.
Selain faktor-faktor penyebab timbulnya partisipasi politik di atas juga ada
beberapa faktor pendukung partisipasi politik antara lain pendidikan politik,
kesadaran politik, budaya politik, dan sosialisasi politik. Berikut ini penjelasan
dari masing-masing faktor tersebut.
1) Pendidikan politik
Pendidikan politik merupakan usaha memasyarakatkan politik, dalam
arti mencerdaskan kehidupan politik rakyat, meningkatkan kesadaran rakyat
terhadap hak, kewajiban dan tanggungjawabnya terhadap bangsa dan negara.
Pendidikan politik umumnya terjadi dalam suatu partai politik. Melalui
pendidikan politik, kader-kader anggota partai politik tersebut diharapkan
akan memperoleh manfaat atau kegunaan antara lain sebagai berikut:
a) Dapat memperluas pemahaman, penghayatan
dan wawasan terhadap
masalah-masalah dan isu-isu yang bersifat politis.
b) Mampu meningkatkan kualitas diri dalam berpolitik dan berbudaya politik
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c) Lebih meningkatkan kualitas kesadaran politik rakyat menuju peran aktif
dan partisipasi terhadap pembangunan politik bangsa secara keseluruhan.
Pendidikan politik sebenarnya dimaksudkan untuk mewujudkan atau setidaktidaknya menyiapkan kader-kader yang dapat diandalkan untuk memenuhi
39
harapan masyarakat luas, dalam arti yang benar-benar memahami semangat
yang terkandung dalam perjuangan sebagai kader bangsa.
2) Kesadaran politik
Kesadaran politik atau keinsyafan hidup bernegara menjadi penting
dalam
kehidupan
bernegara,
mengingat
tugas-tugas
negara
bersifat
menyeluruh dan kompleks. Karena itu, tanpa dukungan positif dari seluruh
warga masyarakat, akan banyak tugas-tugas negara yang terbengkelai.
Kesadaran politik rakyat tidak hanya diukur dari tingkat partisipasi mereka
dalam pemilu, melainkan juga sejauh mana mereka aktif mengawasi atau
mengoreksi kebijakan dan perilaku pemerintahan selama pemerintahan itu
berjalan. Bila dihubungkan dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara,
partisipasi politik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai
wujud tanggung jawab sebagai warga negara yang berkesadaran politik tinggi.
3) Budaya politik
Setiap masyarakat dari suatu negara memiliki budaya politik. Demikian
pula individu-individu yang hidup di tengah tengah masyarakat yang
senantiasa memiliki orientasi, persepsi terhadap sistem politiknya. Menurut
Almon dan Vebra dalam Arifin Rahman (1998:32) ”Budaya politik adalah
suatu sikap orientasi yang khas warga negara sebagai sistem politik dan aneka
ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam
sistem itu”. Warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan
simbol-simbol kenegaraan berdasarkan orintasi yang mereka miliki. Dengan
orientasi itu mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan
mereka di dalam sistem politik. Dari pemahaman tentang budaya politik,
Gabriel Almond dalam Arifin Rahman (1998:39) mengklasifikasikan budaya
politik sebagai berikut :
a) Budaya politik parokial (parochial political cultur), yaitu tingkat
partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor
kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
b) Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat
bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya)
tapi masih bersifat pasif.
40
c) Budaya politik partisipan (partisipant political culture), yaitu
budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik yang sangat
tinggi.
Budaya politik di dalam suatu masyarakat tidaklah lahir dengan sendirinya.
Orientasi pendidikan politik yang melahirkan kesadaran dan partisipasi politik
tentu ikut mewarnai budaya politik yang lahir. Oleh sebab itu, suatu budaya
politik yang terdapat di dalam masyarakat sangat mungkin mengalami
perubahan dan perkembangan ke arah yang lebih baik, menuju ke tingkat yang
mapan (budaya partisipatif) yang sesuai dengan etika dan norma-norma di
dalam masyarakat suatu negara.
4) Sosialisasi politik
Menurut Alex Tio dalam Rafael Raga Maran (2001:135) ”Sosialisasi
politik
adalah
proses
dengan
mana
individu-individu
memperoleh
pengetahuan, kepercayaan-kepercayaan dan sikap politik”. Berdasarkan
pengertian tersebut yang dimaksud sosialisasi politik adalah suatu proses
bagaiman seorang individu bisa mengenali sistem politik, dan bagaimana
orang tersebut menentukkan tanggapan serta reaksinya terhadap gejala-gejala
politik. Melalui sosialisasi politik, individu-individu diharapkan mau dan
mampu berpartisipasi secara bertanggung jawab dalam kehidupan politik.
Dalam hal ini sosialisasi merupakan proses pendidikan atau suatu proses
pembudayaan insan-insan politik. Proses ini melibatkan orang-orang baik dari
generasi tua maupun dari generasi muda. Proses ini juga dilalui sejak dini
ketika seorang anak masih kecil, di mana keluarga berperan sebagai pelaku
utama dalam sosialisasi.
Beberapa saluran perantara yang dapat digunakan dalam sosialisasi
politik antara lain :
a) Keluarga
Wadah penanaman (sosialisasi) nilai-nilai politik yang paling efisien dan
efektif adalah keluarga. Dalam keluarga, orang tua dan anak sering melakukan
obrolan ringan tentang segala hal yang menyangkut politik, sehingga tanpa
41
disadari terjadi transfer pengetahuan dan nilai-nilai politik tertentu yang
diserap oleh si anak.
b) Sekolah
Di sekolah, melalui pelajaran-pelajaran tertentu, siswa dan gurunya
saling bertukar informasi dan berinteraksi dalam membahas topik-topik
tertentu yang mengandung nilai-nilai politik teoritis dan praktis. Dengan
demikian, siswa telah memperoleh pengetahuan awal tentang kehidupan
berpolitik secara dini dan nilai-nilai politik yang benar dari sudut pandang
akademis.
c) Partai politik
Salah satu fungsi dari partai politik adalah sebagai agen sosialisasi
politik. Ini berarti, partai politik tersebut, setelah merekrut para anggota kader
dan simapatisannya, mampu menanamkan nilai-nilai dan norma-norma dari
suatu generasi ke generasi berikutnya baik pada saat kampanye maupun secara
periodik. Partai politik harus mampu menciptakan image atau citra
memperjuangkan kepentingan umum atau masyarakat.
Selain melalui sarana keluarga, sekolah dan partai politik, sosialisasi
politik juga dapat dilakukan melalui peristiwa sejarah yang telah berlangsung
(pengalaman tokoh-tokoh politik yang telah tiada), melalui seminar, dialog, dan
debat yang disiarkan ke masyarakat. Para tokoh politik juga secara tidak langsung
melakukan sosialisasi politik. Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan
bahwa apabila sosialisasi politik dapat dilaksanakan dengan baik melalui berbagai
sarana yang ada, maka masyarakat dalam kehidupan politik kenegaraan sebagai
satu sistem akan melahirkan budaya politik yang bertanggung jawab.
g. Partisipasi Politik di Desa
Partisipasi politik seluruh warga masyarakat memiliki arti penting bagi
terciptanya keberlangsungan hidup suatu negara. Apalagi sebagian besar
penduduk Indonesia tinggal di wilayah pedesaan maka partisipasi masyarakat desa
dalam bidang politik sangat urgen. Berikut ini bentuk dan susunan pemerintahan
desa sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 64
42
Tahun 1999 tentang pedoman umum pengaturan mengenai desa, pasal 7 yang
berbunyi ” Di Desa dibentuk Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa yang
merupakan pemerintahan Desa”. Selanjutnya pasal 8 sebagai berikut:
1) Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa dan Perangkat Desa.
2) Perangkat Desa sebagaimana dimaksud dalam ayata 1) terdiri atas:
a. Unsur staf, yaitu pelayanan seperti Sekretaris Desa dan atau Tata
Usaha;
b. Unsur pelaksana, yaitu unsur pelaksana teknis lapangan seperti
Urusan Pamong Tani Desa dan Urusan Keamanan;
c. Unsur wilayah, yaitu unsur pembantu Kepala Desa di wilayah
bagian Desa seperti Kepala Dusun; yang jumlah dan sebutannya
sesuai kebutuhan dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
Kehidupan masyarakat desa tidak lepas dari kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah desa sendiri maupun oleh pemerintah pusat. Di tingkat desa,
pemerintah desa merupakan satu-satunya lembaga pemerintah dan oleh karena itu
kepala desa seakan-akan sebagai presiden mini di daerahnya. Semua instruksi dari
pemerintah pusat akan memngalir ke desa dan memusat di tangan kepala desa
oleh karena itu perlu ada kontrol dari masyarakat. Kontrol terhadap pemerintah
dilakukan agar tidak terjadi penyelewengan atau penyimpangan terhadap
kekuasaan yang dimiliki oleh para elit desa. Bentuk kontrol yang dilakukan
masyarakat antara lain berupa partisipasi politik.
Karakteristik masyarakat desa yang khas sering kali menjadi ladang yang
efektif untuk memaksakan suatu bentuk politik lokal maupun politik nasional.
Kepatuhan masyarakat pada kepemimpinan di desa sering kali dimanfaatkan oleh
penguasa untuk memaksakan kehendaknya pada rakyat. Kondisi tersebut
malahirkan bentuk partisipasi yang semu, keterlibatan warga masyarakat hanya
semata-mata memenuhi perintah penguasa dan bukan lahir atas kesadaran dan
rasa suka rela yang tinggi dalam dirinya.
h. Pengukuran Partisipasi Politik
Sebelum membuat batasan pengukuran partisipasi politik alangkah
baiknya perlu memahami terlebih dahulu antara sikap politik dan perilaku politik.
Mar’at (1984:12) menyatakan ”Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi
43
terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek
tersebut”. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas akan tetapi baru
merupakan kecenderungan. Dari suatu sikap tertentu dapat diperkirakan tindakan
apa yang akan dilakukan berkenaan dengan objek yang dimaksud.
Berdasarkan pemahaman tentang sikap tersebut maka dapat penulis
simpulkan bahwa sikap politik adalah kesiapan untuk bereaksi terhadap objek
tertentu yang bersifat politik, sebagai hasil penghayatan terhadap objek tersebut.
Dengan munculnya sikap politik tertentu akan dapat diperkirakan perilaku politik
apa yang akan muncul. Ketidaksetujuan seseorang terhadap kebijakan kenaikan
pajak oleh pemerintah merupakan contoh sikap politik. Dengan ketidaksetujuan
tersebut dapat memunculkan perilaku protes atau unjuk rasa, namun dalam
kenyataannya bisa saja perilaku tersebut tidak muncul akan tetapi setidaknya ada
kecenderungan untuk itu.
Sedangkan perilaku politik merupakan tindakan yang dilakukan oleh suatu
subyek yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan
politik. Subyek dapat berupa pemerintah dan dapat juga masyarakat. Tindakan
yang dilakukan oleh pemerintah berupa pembuatan keputusan-keputusan politik
dan upaya pelaksanaan keputusan politik tersebut. Tindakan yang dilakukan oleh
masyarakat berupaya untuk dapat mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan
keputusan politik dari pemerintah. Berbagai kebijakan yang dikeluarakan
pemerintah dapat menimbulkan berbagai macam reaksi. Ada yang menerima
sebagaimana adanya, ada yang menyatakan penolakan, ada yang melakukan
protes secara halus, ada yang melakukan unjuk rasa, dan ada pula yang lebih suka
diam tanpa memberikan reaksi. Reaksi yang terakhir sangat menarik untuk
dibahas. Diam bukan berarti tidak memiliki sikap politik, sebab dengan diam
tidak berarti bahwa yang bersangkutan tidak memiliki penghayatan terhadap objek
atau persoalan tertentu yang ada di sekitarnya. Jadi diam merupakan salah satu
pilihan sikap yang dapat berarti setuju, dapat berarti netral, dapat pula berarti
menolak, akan tetapi merasa tidak berdaya untuk membuat pilihan lain.
Sebagaimana dinyatakan pada bagian sebelumnya sikap merupakan
kecenderungan bertindak. Dengan demikian sikap masih bersifat internal dan
44
dapat mewujud pada sebuah perilaku politik jika dipengaruhi faktor-faktor
eksternal oleh karena itu, perilaku politik tidak selamanya mewakili sikap politik
seseorang. Seseorang yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah merupakan
contoh sikap politik. Dengan sikap demikian tidak mesti akan memunculkan
protes atau unjuk rasa namun bisa jadi karena adanya faktor-faktor tertentu orang
yang bersangkutan tetap melaksanakan keputusan tersebut. Kondisi ini
mengandung arti bahwa perilaku politiknya berbeda dengan sikap politik yang ada
pada dirinya atau perilaku politiknya tidak mewakili sikap politiknya.
Dari uraian di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa sikap relatif tidak
mudah berubah sedangkan perilaku relatif dapat berubah sesuai dengan kondisi
lingkungan yang dihadapi. Sikap tidak selalu diwujudkan dalam perilaku dan
sebaliknya perilaku belum tentu cerminan dari sikap. Di samping perilaku politik
sebagaimana telah diuraikan pada bagian atas, ada istilah lain yang hampir
memiliki arti sama yaitu partisipasi politik. Sudijono Sastroatmodjo (1995:8)
menyatakan bahwa kegiatan yang termasuk dalam pengertian partisipasi politik
mencakup hal-hal sebagai berikut :
1) Partisipasi politik terwujud sebagai kegiatan atau perilaku luar individu
warga negara biasa yang dapat diamati dan bukan berupa sikap dan
orientasi.
2) Kegiatan itu diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku
pembuat dan pelaksana keputusan politik.
3) Kegiatan yang berhasil maupun gagal dalam mempengaruhi keputusan
politik pemerintah termasuk dalam partisipasi politik.
4) Kegiatan mempengaruhi politik pemerintah dapat dilakukan secara
langsung tanpa melalui perantara, dan secara tidak langsung.
5) Kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat dilakukan melalui prosedur
yang wajar tanpa kekerasan, dan dengan cara-cara yang tidak wajar.
6) Kegiatan individu untuk mempengaruhi pemerintah ada yang
dilakukan atas kesadaran sendiri dan atas desakan atau paksaan dari
pihak lain.
Menurut Robert P. Clark alih bahasa Soekadijo (1989:101) konsep partisipasi
politik meliputi berbagai pola perilaku sebagai berikut :
1) Kegiatan pemilihan umum, termasuk memberi suara, melakukan
kampanye, berusaha meyakinkan orang lain untuk memberikan
suaranya kepada seorang calon atau partai tertentu, atau berusaha
dengan cara lain untuk mengubah hasil pemilihan.
45
2) Berusaha mempengaruhi sikap dan perilaku para pejabat pemerintah
mengenai masalah-masalah yang berpengaruh atas sejumlah besar
rakyat.
3) Kegiatan organisasi lainnya yang bukan usaha mempengaruhi para
pejabat pemerintah dan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi
suasana umum tempat pembuat kebijakan berlangsung (seperti usaha
mempengaruhi pendapat umum tentang sesuatu masalah tertentu).
4) Mengadakan hubungan pribadi dengan pejabat pemerintah untuk
mengemukakan keluhan-keluhan yang berhubungan dengan seseorang
individu tertentu.
5) Kekerasan, yang berarti usaha mempengaruhi keputusan pemerintah
dengan menimbulkan gangguan fisik kepada orang atau hak milik.
Pengertian partisipasi politik dalam penelitian ini ialah kegiatan pribadi
warga negara untuk ikut serta secara langsung maupun tidak langsung dalam
mempengaruhi pembuatan dan pelaksanaan keputusan atau kebijakan pemerintah
dalam kehidupan bernegara yang menyangkut kepentingan bersama di bidang
politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Beberapa kegiatan
politik yang secara langsung dapat dilakukan antara lain pencalonan diri dalam
pemilihan umum, menggunakan hak pilih dalam pemilihan umum, diskusi
problematika masyarakat, ikut dalam kampanye-kampanye politik, membayar
pajak, dan sebagainya. Sedangkan kegiatan politik yang sifatnya tidak langsung,
misalnya membaca berita-berita politik dan mengenalinya agar dapat menyikapi
persoalan-persoalan publik melalui lembaga-lembaga sukarela.
Bila dihubungkan dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara,
partisipasi politik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan sebagai wujud
tanggung jawab warga negara yang berkesadaran politik tinggi dan baik.
Partisipasi politik bertujuan untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah
sedangkan kebijakan pemerintah dalam rangka mencapai tujuan negara
diwujudkan melalui kebijakan di bidang politik, bidang ekonomi, bidang sosial
budaya, dan bidang pertahanan keamanan. Sesuai dengan batasan-batasan
partisipasi politik yang telah diungkapkan pada bagian atas maka aspek yang akan
diukur dalam penelitian ini yaitu :
1) Keterlibatan masyarakat dalam bidang politik.
2) Keterlibatan masyarakat dalam bidang ekonomi.
46
3) Keterlibatan masyarakat dalam bidang sosial-budaya.
4) Keterlibatan masyarakat dalam bidang pertahanan keamanan.
Bertolak dari pemaparan mengenai pengertian partisipasi politik, bentukbentuk partisipasi politik, fungsi dan tujuan partisipasi politik, dan faktor-faktor
penyebab timbulnya partisipasi politik di atas memberikan gambaran cukup jelas
tentang pentingnya partisipasi politik dalam kehidupan bernegara. Perbedaanperbadaan tingkat partisipasi politik setiap warga negara menjadi fenomena yang
sangat menarik di berbagai negara. Hal ini terjadi karena adanya berbagai faktor
yang mempengaruhinya. Miriam Budiardjo (1998:9) menghubungkan antara
banyak sedikitnya partisipasi politik seseorang dengan faktor-faktor tertentu
sebagai berikut :
Ternyata bahwa pendapatan (income), pendidikan, dan status merupakan
faktor penting dalam proses partisipasi, atau dengan perkataan lain orang
yang pendapatannya tinggi, yang berpendidikan baik, dan yang berstatus
sosial tinggi, cenderung untuk lebih banyak berpartisipasi dari pada orang
yang berpendapatan serta pendidikannya rendah.
Dari pendapat di atas pendidikan dan status sosial merupakan dua faktor penting
yang dimungkinkan memiliki hubungan yang sangat berarti dengan partisipasi
politik warga masyarakat khususnya di Desa Pekandangan, Kecamatan
Banjarmangu, Banjarnegara. Untuk mengetahui secara jelas hubungan tersebut
maka peneliti perlu melakukan sebuah penelitian yang terpercaya, maka konsep
pendidikan dan status sosial menjadi bagian penting yang perlu dipaparkan
terlebih dahulu.
2. Pendidikan
a. Pengertian Pendidikan
Pendidikan merupakan aktifitas mendasar dalam kaitannya dengan
pembangunan peradaban manusia. Artinya, pendidikan bagi kehidupan umat
manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat.
Tanpa pendidikan mustahil manusia dapat hidup berkembang maju, dan sejahtera.
47
Banyak ahli yang telah memberikan pengertian atau definisi mengenai
pendidikan. Secara etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani
”Paedagogike”. Ini adalah kata majemuk yang terdiri dari kata ”Pais” yang berarti
”anak” dan kata ”Ago” yang berarti aku membimbing. Jadi, paedagogike berarti
aku membimbing anak (Ath. Sudomo Hadi, 2003:17). Secara simbolis perbuatan
membimbing seperti yang dikemukakan di atas merupakan inti perbuatan
mendidik yang tugasnya hanya untuk membimbing saja. Pada suatu saat setelah
selesai dibimbing seorang anak akan dikembalikan ke dalam masyarakat.
Sedangkan definisi secara luas menurut Redja Mudyahardjo (2002:3) yaitu
”Pendidikan adalah segala pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala
lingkungan dan sepanjang hidup”. Proses pendidikan dapat dilakukan dimana saja
tidak hanya dilakukan pada lingkungan sekolah saja. Hakikatnya pendidikan juga
berlangsung sepanjang hayat dalam berbagai kesempatan.
Ngalim Purwanto (1998:11) mengemukakan ”Pendidikan ialah segala
usaha orang dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin
perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan”. Orang dewasa
memiliki peran yang penting dalam usaha mengarahkan dan mengembangkan
aspek jasmani dan rohani anak agar mencapai kedewasaan. Sedangkan menurut
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1994:70) ”Pendidikan hakikatnya suatu kegiatan
yang secara sadar dan disengaja, serta penuh tanggung jawab yang dilakukan oleh
orang dewasa kepada anak sehingga timbul interaksi dari keduanya agar anak
tersebut mencapai kedewasaan yang dicita-citakan dan berlangsung terus
menerus”. Usaha atau kegiatan yang dilakukan dalam rangka mendewasakan anak
benar-benar sebagai suatu tidakan yang dilakukan secara sadar, disengaja dan
penuh dengan tanggung jawab sehingga dapat menghasilkan output yang
berkualitas. Dalam konteks ini usaha pendidikan tersebut hendaknya dapat
berjalan terus menerus.
Hasbullah (2005:2-3) mengutip dari pendapat beberapa tokoh pendidikan
definisi-definisi pendidikan sebagai berikut :
(1) Langeveld, mengartikan bahwa pendidikan adalah usaha, pengaruh,
perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju pada
kedewasaan anak itu, atau lebih tepatnya membantu anak agar cukup
48
cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri; (2) John Dewey, mengartikan
pendidikan adalah proses pembentukan kecakapan-kecakapan fundamental
secara intelektual dan emosional kearah alam dan sesama manusia; (3) J.J
Rousseau, mengartikan bahwa pendidikan adalah memberi kita perbekalan
yang tidak ada pada masa kanak-kanak, akan tetapi kita membutuhkan
pada waktu dewasa; (4) Driyarkara, mengartikan pendidikan pemanusiaan
manusia muda atau pengangkatan manusia kearah insani; (5) Ahmad D.
Mariba, mengartikan pendidikan adalah bimbingan atau pimpinan secara
sadar oleh si pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani si
terdidik menuju terbentuknya kepribadian yang utama.
Dari pendapat lima tokoh pendidikan di atas secara umum definisi pendidikan
mengandung arti sebagai usaha sadar dalam membantu proses menuju
terbentukanya kedewasaan anak didik secara jasmani dan rohani sebagai bekal
kehidupannya kelak.
Dalam UU RI No. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional yaitu
pada pasal 1 ayat (1) disebutkan bahwa :
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan berkenaan dengan perkembangan dan perubahan kelakuan anak didik,
trasmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, ketrampilan dan aspek-aspek kelakuan
lainnya kepada generasi muda. Hal ini perlu diupayakan secara nyata agar
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa
dan
bernegara
senatiasa
terjaga
eksistensinya.
Berdasarkan pendapat diatas dapat penulis simpulkan bahwa pendidikan
adalah usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk mengembangkan
potensi peserta didik secara jasmani dan rohani atau intelaktual dan emosional
melalui bantuan bimbingan, pengajaran, dan pelatihan bagi peranannya di masa
yang akan datang.
b. Dasar, Fungsi, dan Tujuan Pendidikan
Dasar merupakan sesuatu yang dipakai sebagai landasan berpijak dan dari
sanalah segala aktivitas yang ada di atasnya akan dijiwai atau diwarnainya. Dasar
49
dari pelaksanaan pendidikan nasional adalah Pancasila dan Undang-Undang Dasar
1945 dalam pasal 31 ayat (1) UUD 1945 yang telah diamandemen tertulis bahwa
”Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Selanjutnya dalam ayat
(3) berbunyi ”Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan suatu sistem
pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak
mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undangundang”. Berdasarkan kedua ayat ini sesungguhnya setiap warga negara Indonesia
baik yang kaya maupun yang miskin, di desa maupun di kota berhak mendapatkan
pendidikan yang baik bagi kehidupannya. Pemerintah sebagai penyelenggara
pendidikan yang sah diharapkan mampu mewujudkan pendidikan yang adil dan
merata bagi seluruh rakyatnya sebagaimana di atur dalam undang-undang.
Apabila suatu lembaga pendidikan akan menyelenggarakan suatu usaha
pendidikan maka terlebih dahulu harus dirumuskan tujuannya secara jelas.
Demikian pula dalam penyelenggaraan pendidikan nasional, tujuan dan fungsi
yang terkandung di dalamnya akan menjadi pedoman bagi lembaga penyelenggara
pendidikan di bawahnya baik di tingkat propinsi sampai tingkat sekolah. Fungsi
dan tujuan pendidikan nasional berdasarkan UU No. 20 tahun 2003 pasal 3
sebagai berikut :
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa Kepada
Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif,
mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab.
Tujuan pendidikan nasional sebagaimana dikemukakan di atas harus dapat
terjabarkan dalam setiap pelaksanaan pendidikan. Berbagai bentuk startegi dan
kegiatan harus mengarah pada terwujudnya tujuan pendidikan nasional.
Kurikulum merupakan salah satu sarana yang digunakan untuk mewujudkan citacita tersebut, maka walaupun terdapat perubahan-perubahan bentuk dari waktu ke
waktu hendaknya tetap mengacu pada tujuan yang telah ditetapkan dalam undangundang tersebut.
50
Ngalim Purwanto (1998:20) menyebutkan ”Tujuan pendidikan bermacammacam yaitu tujuan umum, tujuan tidak lengkap, tujuan sementara, tujuan
perantara dan tujuan insidental”. Penjelasan dari tujuan-tujuan tersebut sebagai
berikut:
1) Tujuan umum
Tujuan umum adalah tujuan di dalam pendidikan yang seharusnya
menjadi tujuan orang tua dan pendidik lain, yang telah ditetapkan oleh
pendidik dan selalu dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan yang terdapat
pada anak didik itu sendiri dan dihubungkan dengan syarat-syarat dan alat-alat
untuk mencapai tujuan umum itu. Tujuan umum selalu dilaksanakan dalam
bentuk-bentuk yang khusus (diperkhusus) mengingat keadaan-keadaan dan
faktor-faktor yang terdapat pada anak didik sendiri dan lingkungannya, seperti
sifat pembawaan anak, kemampuan-kemampuan yang ada pada anak didik
sendiri, dan tempat pendidikan.
2) Tujuan tidak lengkap
Tujuan tidak lengkap adalah tujuan-tujuan mengenai segi kepribadian
manusia yang hendak dicapai dengan pendidikan itu, yaitu segi-segi yang
berhubungan dengan nilai-nilai hidup tertentu, seperti keindahan, kesusilaan,
keagamaan, dan kemasyarakatan.
3) Tujuan sementara
Tujuan sementara merupakan tingkatan-tingkatan menuju kepada tujuan
umum, seperti anak-anak dilatih untuk belajar kebersihan, belajar berbicara,
belajar berbelanja, dan belajar bermain-main dengan temannya.
4) Tujuan perantara
Tujuan ini bergantung pada tujuan-tujuan sementara. Misalkan tujuan
sementara adalah anak harus membaca dan menulis. Setelah ditentukan untuk
apa anak belajar membaca dan menulis maka berbagai macam kemungkinan
untuk mencapainya dipandang sebagai tujuan perantara seperti metode
mengajar dan metode membaca.
51
5) Tujuan insidental
Di dalam tiap-tiap situasi terdapat tujuan-tujuan terpisah yang
dilaksanakan meskipun tujuan-tujuan itu masih ada hubungannya dengan
tujuan umum.
Sedangkan menurut Ath. Sudomo Hadi (2003:100) ”Pendidikan sering
ditafsirkan sebagai suatu aktivitas untuk membimbing anak, agar anak itu
mencapai kedewasaannya. Dewasa dalam hal ini adalah dewasa baik jasmani
maupun rohaninya”. Apabila dilihat dari definisi pendidikan tersebut, maka
terkandung tujuan pendidikan yaitu mencapai kedewasaan secara jasmani dan
rohani. Berikut ini penjelasan dari dewasa jasmani dan rohani.
1) Dewasa jasmani
Dewasa jasmani ditandai apabila anak telah sempurna pertumbuhan
jasmaninya dan telah masuk untuk bereproduksi (mengadakan keturunan).
Dewasa jasmani pada umumnya ditandai dengan perkembangan alat kelamin.
2) Dewasa rohani
Dewasa rohani apabila anak telah dapat menyesuaikan diri dengan aspekaspek berikut:
(a) Aspek sosiologis
Bila telah dapat memenuhi syarat-syarat hidup bersama (norma) dan telah
mengerjakan beberapa tugas kemasyarakatan, misalnya mampu bergaul,
mampu berperan dengan tepat, dan mampu berpartisipasi secara
konstruktif.
(b) Psychologis
Beberapa fungsi jiwa telah berkembang sehingga menilai betul-salah, dan
mampu menampung pendapat orang lain secara rasional.
(c) Karakterologis
Bila fungsi-fungsi kejiawaan telah berkembang sebagai satu kesatuan
yang bercorak tertentu, bersifat stabil dan menjadi dasar kelakuan
selanjutnya. Dia mampu menilai baik-buruk, susila atau tidak susila.
52
(d) Paedagogis
Bila anak telah mampu menentukan sendiri dalam bertindak dan
bertanggungjawab atas segala tindakanya tersebut.
(e) Yuridis
Bila anak menurut umurnya telah dapat dikenai hukum atas perbuatanperbuatannya yang salah.
(f) Fisiologis
Manusia sebagai pribadi yang telah mencapai kesadaran intelektual
mengenai ide-ide yang bersifat tetap.
(g) Psykologis klinis
Kedewasaan individu ditentukan oleh bagaimana ia dapat mengatasi
konflik yang ada padanya.
Hakikat pendidikan ialah tercapainya kedewasaan rohani yang dapat
ditandai dari kedewasaan dalam aspek sosiologis. Setiap individu dituntut untuk
dapat memahami norma-norma dan mampu beradaptasi di lingkungannya. Brown
dalam Charles (1965:1) menyatakan ”Education is a principal instrument in
awakening the child to cultural values, in preparing him for later profesional
training, and in helping him to adjust normally to his environment. In these days,
it is doubtful that any child may reasonably be expected to succeed in life if he is
denied the opportunity of an education. Pendapat tersebut dapat diterjemahkan
sebagai berikut: Pendidikan adalah suatu instrumen utama dalam membangkitkan
anak tentang nilai-nilai budaya, menyiapkan masa depannya melalui pelatihan
profesional, dan membantu dia untuk melakukan penyesuaian secara normal di
lingkungannya. Melalui pendidikan seseorang diharapkan mampu bergaul dengan
baik, mampu berperan sesuai dengan norma, hak dan kewajibannya yang pada
akhirnya juga mampu berpartisipasi dalam berbagi kegiatan di masyarakat.
c. Jenis-Jenis Pendidikan
Pendidikan memiliki berbagai jenis yang dapat dibeda-bedakan atau
digolong-golongkan antara lain berdasarkan sifatnya, berdasarkan tingkat
pendidikan, dan berdasarkan tempat berlangsungnya.
53
1) Berdasarkan sifat pendidikan
Menurut Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1991:97) mengemukakan bahwa
menurut sifatnya pendidikan dibedakan menjadi tiga sebagai berikut:
(a) Pendidikan informal, yaitu pendidikan yang diperoleh seseorang dari
pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar sepanjang hayat.
Pendidikan ini dapat berlangsung dalam keluarga dalam pergaulan seharihari maupun dalam pekerjaan, masyarakat, keluarga, organisasi; (b)
Pendidikan formal, yaitu pendidikan yang berlangsung secara teratur,
bertingkat dan mengikuti syarat-syarat tertentu secara ketat. Pendidikan ini
berlangsung di sekolah; (c) Pendidikan non formal, yaitu pendidikan yang
dilaksanakan secara tertentu dan sadar tetapi tidak terlalu mengikuti
peraturan yang ketat.
Pendidikan informal merupakan pendidikan luar sekolah yang tidak dilembagakan
biasanya dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berupa kegiatan belajar mandiri.
Pendidikan non formal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan
layanan pendidikan berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan pelengkap
pendidikan formal. Pendidikan formal biasanya diselenggarakan oleh pemerintah
dan sewasta. Sedangkan pendidikan non formal biasanya berupa kursus-kursus
atau pendidikan yang berhubungan dengan keahlian dalam suatu bidang ilmu atau
profesi tertentu
Pendidikan informal, pendidikan formal, dan pendidikan nonformal
merupakan jalur pendidikan yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.
Sedangkan jalur pendidikan merupakan wahana yang dilalui peserta didik dalam
mengembangkan potensi yang dimilikinya dalam suatu proses pendidikan.
2) Berdasarkan tingkat pendidikan
Pendidikan formal adalah salah satu jalur pendidikan yang memiliki
tingkatan atau jenjang. Selanjutnya, jenjang pendidikan merupakan tahapan
pendidikan yang ditetapkan berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik,
tujuan yang akan dicapai, dan kemampuan yang hendak dikembangkan bagi
peserta didik. Dalam UU No.20 tahun 2003 pasal 14 disebutkan bahwa ”Jenjang
pendidikan formal terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi”. Selain jenjang pendidikan diatas ada juga jenjang pendidikan
54
pra sekolah sebagai persiapan untuk memasuki sekolah dasar. Secara rinci jenjang
pendidikan formal meliputi sebagai berikut:
a) Pendidikan pra sekolah
Pendidikan pra sekolah bertujuan untuk membantu meletakkan dasar
kearah perkembangan sikap, pengetahuan, ketrampilan, dan daya cipta yang
diperlukan anak didik dalam perkembangan selanjutnya.
b) Pendidikan dasar
Pendidikan
dasar
meliputi
SD
dan
SMP.
Pendidikan
dasar
diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta
memberikan pengetahuan dan ketrampilan dasar yang diperlukan untuk hidup
dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi
persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah.
c) Pendidikan menengah
Pendidikan menengah berbentuk Sekolah Menengah Atas (SMA),
Madrasah Aliyah (MA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah
Aliyah Kejuruan (MAK), atau bentuk lain yang sederajat. Pendidikan
menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan
dasar serta menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang
memiliki kemampuan mengadakan timbal balik dengan lingkungan sosial,
budaya, alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan lebih lanjut
dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi.
d) Pendidikan tinggi
Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan
menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister,
spesialis, dan dokter yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Pendidikan
tinggi diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota
masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan profesional sehingga
dapat menerapkan, mengembangkan, dan menciptakan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
55
Menurut Crow and Crow dalam Ath. Sudomo Hadi (2003:139-140) jenis
dan tingkat pendidikan di sekolah sebagai berikut:
Tingkat TK nol kecil disebut Nursery Education
Tingkat TK nol besar disebut Infant Education
Tingkat pendidikan dasar (yang dimaksud SD) disebut Elementary Education
Tingkat SMTP disebut Yunior Hight School
Tingkat SMTA disebut Senior Hight School
Sekolah Tinggi disebut University
Sekolah Tinggi khusus disebut Collage
Berdasarkan tingkat pendidikan di atas, Taman Kanak-Kanak nol kecil maupun
nol besar dapat digolongkan sebagai pendidikan pra sekolah. Pendidikan tersebut
bertujuan sebagai persiapan untuk memasuki sekolah dasar.
3) Berdasarkan tempat berlangsungnya
Selain berdasarkan sifat dan tingkatnya, pendidikan juga dapat
digolongkan berdasarkan tempat berlangsungnya. Menurut Ki Hajar Dewantara
dalam Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati (1991:96) pendidikan menurut tempatnya
dibedakan menjadi tiga yaitu ”Pendidikan di dalam keluarga, pendidikan di dalam
sekolah dan pendidikan di dalam masyarakat”. Ketiga bentuk pendidikan tersebut
dinamakan Tri Pusat Pendidikan. Berikut ini penjelasan dari masing-masing
bentuk pendidikan berdasarkan tempat berlangsungnya:
a) Pendidikan keluarga
Pendidikan keluarga merupakan pendidikan utama karena di dalam
lingkungan ini segala potensi yang dimiliki manusia dapat terbentuk dan
sebagian dapat dikembangkan. Bentuk pendidikan yang diberikan biasanya
tentang nilai-nilai religius, moral, dan etika sopan santun. Cara yang
digunakan dalam pendidikan keluarga dilakukan secara tidak langsung
misalnya dengan sindiran, ungkapan dan contoh-contoh nyata. Tujuan dari
pendidikan keluarga ialah agar terbentuk mental pribadi yang kuat sebagai
pondasi dasar untuk melanjutkan pendidikan lainnya.
b) Pendidikan sekolah
Pendidikan sekolah merupakan pendidikan yang dilaksanakan di sekolah
dan seorang guru bertanggung jawab terhadap pendidikan intelektual dan
56
ketrampilan yang berhubungan dengan kebutuhan anak untuk hidup di dalam
masyarakat sesuai dengan tuntutan masyarakat.
c) Pendidikan masyarakat
Pendidikan di dalam masyarakat dilakukan oleh para tokoh masyarakat
dan orang-orang yang berpengaruh di dalam masyarakat, sedangkan
pelaksanaannya dilaksanakan oleh lembaga-lembaga masyarakat, organisasi
masyarakat dan sebagainya.
d. Pengaruh Pendidikan
Pendidikan memiliki pengaruh yang besar bagi setiap manusia menuju
kearah kemajuan hidup karena pendidikan senantiasa memberikan dan
menanamkan pengetahuan dan ketrampilan. Sondang P. Siagian dalam Khairudin
H (1992:106) menyatakan bahwa pendidikan paling tidak memberikan pengaruh
pada beberapa hal, yaitu:
1) Semakin timbulnya kesadaran bernegara dan bermasyarakat pada
gilirannya memungkinkan mereka turut berperan secara aktif dalam
memikirkan dan memperbaiki nasib bangsanya.
2) Semakin timbulnya kesadaran untuk memenuhi kewajibannya yang
terletak di atas pundaknya sebagai warga negara yang bertanggung
jawab.
3) Semakin terbukanya pikiran dan akalnya untuk memperjuangkan
haknya.
4) Pandangan yang makin luas dan obyektif dalam kehidupan
bermasyarakat.
5) Semakin meluasnya cakrawala pandangan dengan segala
konsekuensinya.
6) Meningkatnya kemampuan untuk menentukan pilihan dalam pemuasan
kebutuhan hidup yang tidak lagi semata-mata terbatas pada kebutuhan
pokok tetapi juga kebutuhan lainnya.
7) Meningkatnya kemampuan untuk memecahkan berbagai permasalahan
yang dihadapi, baik pada tingkat individu maupun pada tingkat sosial.
8) Pandangan yang semakin kritis terhadap hal-hal yang dilihat dan
dirasakan sebagai suatu hal yang berlangsung tidak sebagai mana
mestinya.
9) Keterbukaan terhadap ide baru dan pandangan baru yang menyangkut
berbagai segi kehidupan bernegara dan bermasyarakat.
10) Keterbukaan pada pergeseran nilai-nilai sosial budaya baik yang
timbul karena faktor-faktor yang sifatnya endogen maupun sifatnya
eksogen.
57
Berdasarkan pendapat di atas dapat penulis simpulkan bahwa pendidikan memiliki
pengaruh positif bagi setiap individu dalam rangka memajukan kehidupan diri dan
bangsanya. Suatu bangsa yang masyarakatnya berpendidikan tinggi maka
bangsanya pun akan lebih maju dibanding bangsa yang berpendidikan rendah.
Berbicara tentang pengaruh pendidikan umumnya akan mengacu pada
pendidikan di sekolah. Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal memiliki
jenjang atau struktur yang sistematis dan memiliki sejumlah fungsi yang nyata.
1) Jenjang pendidikan sekolah
Pendidikan di Indonesia khususnya lembaga sekolah memiliki jenjang atau
tingkatan. Menurut Ath. Soedomo Hadi (2003:139) ”Jenjang pendidikan
merupakan tahap pendidikan berkelanjutan yang didasarkan pada tingkat
perkembangan anak (peserta didik), dan keluasan bahan pengajaran”. Jenjang
pendidikan merupakan tahapan pendidikan yang berkelanjutan dan didasarkan
pada tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai, dan
kemampuan yang hendak dikembangkan bagi peserta didik.
Setiap jenjang pendidikan yang satu dan lainnya memiliki tingkat
kedalaman materi yang berbeda-beda, semakin tinggi jenjang yang ditempuh
semakin tinggi pula kedalaman materi yang diterima oleh peserta didik. Demikian
pula dalam intern jenjang pendidikan juga terdapat kedalaman materi yang
berbeda, misalnya materi yang diberikan di tingkat SMP kelas VIII lebih
kompleks daripada materi yang diterima siswa SMP kelas VII. Hal ini tentu akan
berpengaruh pada kualitas pengetahuan dan wawasan yang diterima oleh siswa
yang telah menempuh pendidikan sampai lulus atau sampai pada tahun tertentu
saja. Jenjang pendidikan sekolah beserta masa studinya di Indonesia menurut hasil
penganalisisan penulis sebagai berikut:
a) Taman Kanak-Kanak (TK)
Masa studi di TK minimal 2 tahun dengan perincian sebagai berikut :
(1) TK nol kecil, masa studi : minimal1 tahun
(2) TK nol besar, masa studi : minimal 1 tahun
b) Sekolah Dasar (SD) dan sederajad.
Masa studi di SD minimal 6 tahun dengan perincian sebagai berikut :
58
(1) Kelas I, masa studi : minimal 1 tahun.
(2) Kelas II, masa studi : minimal 1 tahun.
(3) Kelas III, masa studi : minimal 1 tahun.
(4) Kelas IV, masa studi : minimal 1 tahun.
(5) Kelas V, masa studi : minimal 1 tahun.
(6) Kelas VI, masa studi : minimal 1 tahun.
c) Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan sederajad.
Masa studi di SMP minimal 3 tahun dengan perincian sebagai berikut :
(1) Kelas VII, masa studi : minimal 1 tahun.
(2) Kelas VIII, masa studi : minimal 1 tahun.
(3) Kelas IX, masa studi : minimal 1 tahun.
d) Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sederajad.
Masa studi di SMA minimal 3 tahun dengan perincian sebagai berikut :
(1) Kelas X, masa studi : minimal 1 tahun.
(2) Kelas XI, masa studi : minimal 1 tahun.
(3) Kelas XII, masa studi : minimal 1 tahun.
e) Program Diploma
Masa studi pada program diploma sesuai dengan program diploma yang
diambil dengan perincian sebagai berikut :
(1) Diploma I (D1), masa studi yang harus ditempuh selama 1tahun.
(2) Diploma II (D2), masa studi yang harus ditempuh selama 2 tahun.
(3) Diploma III (D3), masa studi yang harus ditempuh selama 3 tahun.
f) Perguruan Tinggi (PT)
Masa studi di Perguruan Tinggi menyesuaikan dengan jenjang yang
diambil dengan perincian sebagai berikut :
(1) Strata 1 (S1), masa studi minimal 4 tahun .
(2) Strata II (S2), masa studi minimal 2 tahun.
(3) Strata III (S3), masa studi minimal 2 tahun.
2) Fungsi pendidikan sekolah
Menurut David Popenoe dalam Vembriarto (1990:80) fungsi pendidikan
sekolah yaitu ”(1) Transmisi kebudayaan masyarakat. (2) Menolong individu
59
memilih dan melakukan peran sosialnya. (3) Menjamin integrasi sosial. (3)
Sebagai sumber inovasi sosial”. Penjelasan dari keempat fungsi di atas yaitu :
a) Transmisi kebudayaan masyarakat
Fungsi sekolah dalam mentrasmisi kebudayaan masyarakat tidak
hanya terbatas pada transmisi pengetahuan dan ketrampilan saja tetapi juga
mencakup transmisi sikap, niai-nilai dan norma-norma. Pelajaran tersebut
dilakukan secara langsung, misalnya tentang falsafah negara, sifat-sifat warga
negara yang baik, struktur pemerintahan, sejarah bangsa, dan sebagainya.
b) Menolong individu memilih dan melakukan peran sosialnya
Pendidikan sekolah berfungsi menyaring dan mengarahkan pilihan
anak mengenai spesialisasi pekerjaannya kelak dalam masyarakat. Di samping
itu sekolah juga mengajarkan kepada anak akan perannya sebagai anak dan
sebagai pemuda, sebagai siswa, dan sebagai warganegara yang baik.
c) Menjamin integrasi sosial
Dalam masyarakat yang bersifat heterogen dan pluralistik, menjamin
integrasi sosial merupakan fungsi pendidikan sekolah yang terpenting. Untuk
menjamin integrasi sosial tersebut, sekolah perlu mengajarkan bahasa nasional
sebagai bahasa persatuan. Sekolah juga perlu mengajarkan kepada anak
tentang corak kepribadian nasional melalui pelajaran sejarah, geografi,
kewarganegaraan, upacara bendera, lagu-lagu nasional dan sebagainya.
Pengenalan
kepribadian
nasional
ini
akan
menimbulkan
perasaan
nasionalisme, patriotisme, rela berkorban dan cinta tanah air.
d) Sebagai sumber inovasi sosial
Out put sekolah diharapkan dapat menghasilkan manusia-manusia
yang berguna. Melalui kegiatan penelitian-penelitian yang dilakukan para
akademisi akan membawa pembaharuan dalam masyarakat, baik inovasi
dalam teknologi, kemajuan ilmu pengetahuan maupun kehidupan masyarakat.
Sekolah merupakan tempat berlangsungnya sosialisasi secara formal.
Salah satu bentuk sosialisasi yang dikembangkan di sekolah adalah sosialisasi
politik. Hal ini dapat terlihat dari adanya kewajiban penerapan pendidikan
kewarganegaraan dalam segala jenjang pendidikan sekolah mulai dari tingkat
60
sekolah dasar sampai perguruan tinggi. Sosialisasi politik merupakan bentuk
pembelajaran dan pengenalan akan hak dan kewajiban sebagai warganegara yang
baik dalam peran sertanya membangun bangsa. Upaya sosialisasi politik yang
berkesinambungan akan melahirkan generasi yang peduli terhadap kondisi bangsa
dan diwujudkan dalam bentuk keterlibatannya di dalam kegiatan politik.
e. Pengukuran Pendidikan
Dalam penelitian ini pendidikan yang dimaksudkan adalah lama
pendidikan yang telah ditempuh seseorang dalam pendidikan formal. Adapun
penggolongan jumlah tahun studi pendidikan formal yang hendak dilakukan oleh
peneliti dapat dijelaskan dalam tabel berikut ini:
Tabel 2.2 Penggolongan Jumlah Tahun Studi Pendidikan Formal
No.
Pendidikan yang Ditempuh
Komulatif Tahun
Studi
1
SD dan sederajad sampai kelas I
1 tahun
SD dan sederajad sampai kelas II
2 tahun
SD dan sederajad sampai kelas III
3 tahun
SD dan sederajad sampai kelas IV
4 tahun
SD dan sederajad sampai kelas V
5 tahun
SD dan sederajad sampai kelas VI /
6 tahun
lulus
2
SMP dan sederajad sampai kelas VII
7 tahun
SMP dan sederajad sampai kelas VIII
8 tahun
3
4
SMP dan sederajad sampai kelas IX /
lulus
SMA dan sederajad sampai kelas X
SMA dan sederajad sampai kelas XI
SMA dan sederajad sampai kelas XII /
lulus
D1 atau S1 tingkat 1
D2 atau S1 tingkat 2
D3 atau S1 tingkat 3
S1 tingkat 4
S2 tingkat 1
S2 tingkat 2
S3 tingkat 1
S3 tingkat 2
9 tahun
10 tahun
11 tahun
12 tahun
13 tahun
14 tahun
15 tahun
16 tahun
17 tahun
18 tahun
19 tahun
20 tahun
61
Pendidikan merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia,
khsusnya bagi keberlangsungan suatu negara menuju eksistensinya di dunia.
Berbagai ilmu pengetahuan dan wawasan diperoleh melalui pendidikan khususnya
dalam pendidikan formal. Salah satu ilmu pengetahuan yang ditanamkan dalam
pendidikan sekolah ialah tentang politik. Melalui pembelajaran politik yang
maksimal diharapkan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat untuk terlibat
dalam kegiatan politik. Pendidikan dengan partisipasi politik memiliki keterkaitan
sebagaimana diungkapkan Arifin Rahman (1998:133) sebagai berikut :
Di kebanyakan negara, pendidikan tinggi sangat mempengaruhi partisipasi
politik, mungkin karena pendidikan tinggi, dapat memberikan informasi
tentang politik dan persoalan-persoalan politik, bisa menggambarkan
kecakapan menganalisis dan menciptakan minat dan kemampuan
berpolitik. Juga di banyak negara, lembaga pendidikan dan kurikulumnya
sengaja berusaha mempengaruhi proses sosialisasi politik kaum muda. Hal
ini hampir terjadi di semua negara baik yang komunis, otoriter maupun
demokratis.
Pendapat di atas menegaskan bahwa pendidikan memiliki hubungan
dengan partisipasi politik dan hal ini dapat terjadi diberbagai negara yang
menerapkan sistem politik yang berbeda-beda baik negara komunis, otoriter
maupun dalam negara demokratis. Indonesia merupakan negara yang menganut
sistem demokrasi Pancasila maka untuk mengetahui hubungan antara pendidikan
dengan partisipasi politik yang berlangsung di dalamnya perlu di dilakukan suatu
penelitian.
3. Status Sosial
a. Pengertian Status Sosial
Secara kodrati manusia dilahirkan dengan memiliki sejumlah perbedaan
serta kemampuan yang tidak sama antara manusia yang satu dengan manusia
lainnya. Perbedaan-perbedaan itu dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu
perbedaan penduduk ke dalam kelompok horisontal atau tidak bertingkat dan
perbedaan penduduk ke dalam kelompok secara vertikal atau bertingkat.
Perbedaan yang tidak menunjukkan tingkatan disebut diferensiasi sosial antara
62
lain berupa perbedaan ras, gender, etnis dan agama. Sedangkan perbedaan yang
menunjukkan tingkatan dalam masyarakat disebut stratifikasi sosial, berupa
lapisan sosial atas, menengah dan bawah.
Stratifikasi sosial ditandai dengan adanya penggolongan individu ke dalam
lapisan-lapisan sosial tertentu secara bertingkat atau hierarkis. Penggolongan
tersebut akan selalu terjadi selama ada sesuatu yang dihargai dalam masyarakat.
Seseorang yang memiliki sesuatu yang berharga dalam jumlah banyak
ditempatkan pada lapisan atas sedangkan seseorang yang memiliki sedikit atau
sama sekali tidak memiliki sesuatu yang berharga akan ditempatkan pada lapisan
yang lebih rendah. Sistem pelapisan ini tentu akan menunjukkan tinggi rendahnya
kedudukan atau status seseorang dalam masyarakat.
Dari uraian singkat di atas dapat disimpulkan hakikatnya kajian tentang
stratifikasi sosial tidak dapat dilepaskan dengan istilah kedudukan sosial atau
status sosial. Sebelum dibahas tentang pengertian status sosial ada baiknya perlu
dibahas terlebih dahulu istilah status dan istilah sosial berikut ini.
1) Status
Menurut Hendropuspito (1989:103) kata ”status” berasal dari kata Latin
stare yang artinya ”berdiri”. Secara harafiah berarti berdiri secara fisik dengan ke
dua kaki di atas tanah. Menurut adat Barat orang harus berdiri kalau hendak
menghormati orang penting yang lewat di dekatnya. Sedangkan dalam tradisi di
Indonesia khususnya dan Asia pada umumnya orang bawahan tidak boleh berdiri
kalau ada orang penting lewat tetapi harus duduk sebagai tanda hormat terhadap
orang yang harus disegani. Selanjutnya pengertian ”berdiri” (status) dan
pengertian ”duduk” (kedudukan) diaplikasikan dalam kehidupan di masyarakat.
Di dalam masyarakat setiap orang harus mempunyai tempat untuk berdiri atau
tempat untuk duduk. Dengan kata lain, setiap orang harus mempunyai status
sosial atau kedudukan sosial. Dalam uraian selanjutnya pengertian status dan
kedudukan diberi arti yang sama.
Soerjono Soekanto (2002:239) menyatakan ”Kedudukan diartikan sebagai
tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial”. Perbedaan kedudukan
seseorang dari yang berkedudukan tinggi sampai yang berkedudukan rendah,
63
seolah-olah merupakan lapisan yang bersap-sap dari atas ke bawah. Jika diamati
secara mendalam maka pada setiap masyarakat atau kelompok terdapat beberapa
orang yang lebih dihormati dari orang lain.
Menurut Paul B. Horton dan Chester L. Hunt (1996:118) “Status is usually
defined as the position of an individual in a group, or of a group in relation to
other groups”. Dari konsep tersebut dapat diterjemahkan sebagai berikut: Status
atau kedudukan didefinisikan sebagai suatu peringkat atau posisi seorang dalam
suatu kelompok, atau posisi suatu kelompok dalam hubungannya dengan
kelompok lain. Status tidak hanya menyangkut posisi individu dalam suatu
kelompok saja namun juga menyangkut posisi suatu kelompok satu dengan
kelompok lainnya dalam masyarakat. Sedangkan menurut Keith Davis dan John
W. Newstrom (1985:54) ”Status adalah peringkat sosial seseorang dalam sebuah
kelompok. Status adalah tanda dari kadar pengakuan, penghargaan, dan
penerimaan yang diberikan kepada seseorang”. Status menempatkan seseorang
pada suatu posisi atau peringkat tertentu sebagai wujud pengakuan, penghargaan
dan penerimaan yang diberikan oleh pihak lain pada seseorang dalam masyarakat.
Sejak peradaban manusia ada maka sejak itu pula ada pembagian status. Kapan
saja setiap terbentuk suatu kelompok masyarakat, selalu ada kemungkinan muncul
perbedaan status.
Pengertian status menurut Joseph Curran (1977:47) yaitu ”A status is the
rank or level of an individual or group relative to the position of other individuals
or groups in a society. Further, a status is the set of privileges and responsibilities
attached to a position within the social order”. Pengertian tersebut secara bebas
dapat diartikan sebagai berikut: Suatu status adalah renking atau tingkat dari suatu
individu atau kelompok sehubungan dengan posisi individu lain atau kelompok di
dalam suatu masyarakat. Lebih lanjut, suatu status adalah serangkaian hak dan
tanggungjawab yang berkaitan dengan suatu posisi di dalam lingkungan sosial.
Menurut Ralph Linton sebagaimana dikutip Kamanto Sunarto (2000:54)
”Status ialah suatu kumpulan hak dan kewajiban”. Definisi lebih lengkap
sebagaimana diungkapkan Phil Astrid S. Susanto (1983:75) yaitu ”Status
merupakan kedudukan obyektif yang memberi hak dan kewajiban kepada orang
64
yang menempati kedudukan tadi”. Pengertian ini telah menegaskan bahwa status
merupakan seperangkat hak dan kewajiban yang perlu diperankan. Seseorang
yang berada pada kedudukan tertentu dalam masyarakat memiliki hak dan
kewajiban yang harus dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hak dan kewajiban
yang disandang seseorang tidak akan berarti bila tidak pernah dipergunakan dalam
masyarakat.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang status di atas maka dapat
disimpulkan bahwa status adalah tingkat atau posisi seseorang atau kelompok
dalam hubungannya dengan orang lain atau kelompok lain. Status juga akan
melahirkan hak dan kewajiban bagi orang yang menempati tingkatan atau posisi
tersebut dalam masyarakat.
2) Sosial
Istilah ”sosial” dalam bahasa Latin berasal dari kata ”socius” yang berarti
kawan atau teman dan ”societes” yang berarti masyarakat. Hakikatnya manusia
adalah makhluk yang tidak dapat dipisahkan dari manusia lainnya dalam suatu
kelompok masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Hal inilah yang
menjadi dasar mengapa manusia disebut sebagai makhluk sosial.
Menurut Haryono (2006:102) ”Pengertian sosial adalah pergaulan hidup
manusia dalam bermasyarakat yang mengandung nilai-nilai kebersamaan, senasib
sepenanggungan dan solidaritas sebagai unsur pemersatu kelompok sosial”. Sosial
merupakan situasi dimana saling hubungan antara manusia satu dengan lainnya.
Manusia tidak dapat dilepaskan dari lingkungan dan situasi atau keadaan yang
memungkinkan seseorang untuk saling berinteraksi satu sama lain di dalamnya.
Keberlangsungan interaksi yang harmonis dalam masyarakat akan menciptakan
kehidupan yang berkualitas sesuai dengan harapan bersama. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa kata ”sosial” merujuk pada suatu bentuk interaksi atau
hubungan yang berlangsung dalam masyarakat antara manusia yang satu dengan
manusia lainnya.
3) Status Sosial
Hendropuspito (1989:103) menyatakan ”Kedudukan atau status sosial
adalah tempat yang diambil seseorang dalam masyarakat”. Pengertian tempat
65
disini tentu tidak diartikan secara geografis namun tempat diartikan sebagai lokasi
di dalam pikiran orang atau kelompok orang yang tinggal dalam suatu lingkungan
budaya tertentu. Sementara itu Soerjono Soekanto menyamakan istilah kedudukan
sosial dengan status sosial (social status). Lebih lanjut Surjono Soekanto
(2002:239) menegaskan ”Kedudukan sosial artinya adalah tempat seseorang
secara umum dalam masyarakatnya sehubungan dengan orang-orang lain, dalam
arti lingkungan pergaulannya, prestisenya dan hak-hak serta kewajibankewajibannya”. Kedudukan seseorang dalam masyarakat sudah pasti akan
menyebabkan konsekuensi-konsekuensi yang harus diperankan sesuai dengan hak
dan kewajibannya masing-masing.
Hartomo dan A. Aziz (1999:195) berpendapat bahwa ”Status sosial
merupakan kedudukan seseorang (individu) dalam suatu kelompok pergaulan
hidupnya”. Dalam pergaulan hidup sehari-hari seseorang dapat mempunyai
beberapa kedudukan. Seorang ayah sebagai warga masyarakat bisa berkedudukan
sebagai guru, kepala keluarga, suami dan sebagainya. Dengan baragamnya
kedudukan yang ditempati maka semakin beragam pula hak dan kewajiban yang
harus dijalankannya.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa
status sosial adalah tingkatan atau posisi seseorang dalam suatu masyarakat yang
dijadikan tempat pergaulannya, di mana posisi tersebut akan membawa
konsekuensi akan hak-hak dan kewajiban yang harus diperankan oleh orang
tersebut. Dengan demikian berbicara tentang status sosial akan selalu berkaitan
dengan peran. Sedangkan peran itu sendiri adalah perilaku yang diharapkan dari
seseorang yang mempunyai suatu status. Dengan kata lain, status dan peran adalah
dua aspek dari gejala yang sama. Jika status adalah seperangkat hak dan
kewajiban maka peran adalah pemeranan dari perangkat kewajiban dan hak-hak
tersebut.
b. Jenis-Jenis Status Sosial
Seseorang dalam masyarakat biasanya memiliki beberapa kedudukan
sekaligus. Namun dari berbagai macam kedudukan (status) yang dimiliki itu,
66
biasanya yang menonjol hanya satu kedudukan utama. Oleh karena itu orang yang
bersangkutan digolongkan dalam kelas-kelas tertentu dalam masyarakat. Masingmasing kedudukan tersebut dapat diperoleh dengan cara-cara yang berbeda.
Menurut Soerjono Soekanto (2002:240-241) secara umum berdasarkan cara
memperolehnya, ada tiga macam status sosial yaitu ” Ascribed Status, Achieved
Status, dan Assigned Status”.
Penjelasan dari ketiga macam status sosial tersebut adalah sebagai berikut:
1) Ascribed Status
Ascribed Status yaitu kedudukan seseorang dalam masyarakat tanpa
memperhatikan perbedaan-perbedaan rohaniah dan kemampuan. Kedudukan
tersebut diperoleh dengan sendirinya. Seseorang bisa mendapatkan status
tertentu tanpa upaya yang berarti bahkan diluar kekuasaannya sama sekali.
Salah satunya karena faktor kelahiran, misalnya seseorang memperoleh
statusnya berdasarkan jenis kelamin perempuan atau laki-laki. Sebagai
perempuan ia bisa bersetatus menjadi istri dan ibu rumah tangga sedangkan
laki-laki karena dilahirkan demikian ia tidak bisa menggantikan peran
perempuan untuk melahirkan. Selain didasarkan faktor kelahiran, status
seseorang juga bisa didasarkan atas usia atau kelompok umur misalnya anak,
orang dewasa, dan manusia usia lanjut.
Pada umumnya Ascribed Status dijumpai pada masyarakat-masyarakat
dengan sistem lapisan tertutup dan sedikit sekali pada masyarakat dengan
sistem terbuka. Misalnya, kedudukan laki-laki dalam suatu keluarga sebagai
kepala keluarga nampaknya tetap eksis walaupun saat ini telah digencarkan
istilah emansipasi wanita. Kedudukan seorang ibu dalam masyarakat secara
relatif berada di bawah kedudukan seorang ayah sebagai kepala keluarga.
2) Achieved Status
Achieved Status yaitu kedudukan yang dicapai oleh seseorang dengan
usaha-usaha yang disengaja. Kedudukan ini tidak diperoleh atas dasar
kelahiran namun didapatkan dengan cara berusaha atau berjuang melalui
persaingan. Status ini juga bersifat terbuka bagi siapapun tergantung dari
kemampuan masing-masing dalam mengejar serta mencapai tujuan-tujuannya.
67
Status yang tinggi bagi seorang dokter adalah hasil capaiannya, ia berusaha
memperlihatkan rasa kemanusiaannya yang tinggi.
3) Assigned Status
Assigned Status merupakan kedudukan yang diberikan. Assigned status
sering mempunyai hubungan erat dengan achieved status dalam arti bahwa
suatu kelompok atau golongan memberikan kedudukan yang lebih tinggi
kepada seseorang yang telah berjasa atau yang telah memperjuangkan sesuatu
untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Akan tetapi kadangkadang status tersebut diberikan karena seseorang telah lama menduduki
jabatan tertentu, misalnya seorang pegawai negeri naik pangkat setelah
mengabdi selama jangka waktu tertentu sesuai ketentuan yang berlaku.
Ascieved Status, Achieved Status, dan Assigned Status merupakan proses
mendapatkan status sosial yang hingga kini masih ada dalam kehidupan
masyarakat. Setiap masyarakat memberikan status pada para anggotanya
berdasarkan salah satu dari dua prosedur atau proses untuk memperoleh status
tersebut. Di dalam masyarakat tradisional pada umumnya para warganya lebih
sering memberikan status berdasarkan bawaan lahir (Ascribed Status). Sedangkan
di daerah perkotaan masyarakat cenderung memberi status kepada warganya
berdasarkan apa yang dicapai warga yang bersangkutan, misalnya pendapatan
yang diperoleh seseorang ditentukan sesuai prestasi kerjanya. Oleh karena itu
tidak jarang menjadi suatu konflik bila ada seseorang yang mendapat hak-hak
istimewa yang bukan haknya.
Kedudukan seseorang dapat dibedakan berdasarkan lingkup dimana
kedudukan tersebut diambil. Hendropuspito (1989:103-104) membedakan
kedudukan sosial menjadi dua yaitu ”Pertama, kedudukan resmi. Kedua,
kedudukan tak resmi”. Penjelasan dari keduanya adalah sebagai berikut:
1) Kedudukan resmi (Formal Status)
Kedudukan resmi ialah kedudukan yang diambil seseorang dalam satuan
sosiol budaya yang resmi. Dengan kata lain, kedudukan tersebut diakui secara
resmi oleh masyarakat itu sendiri. Secara formal artinya ada surat keputusan
atau pengangkatan dari pihak yang berwenang yang di dalamnya dicantumkan
68
ketentuan-ketentuan yang jelas tentang hak dan kewajiban yang melekat pada
kedudukan tersebut. Misalnya, kedudukan yang resmi yaitu kedudukan
presiden, kedudukan gubernur, kedudukan kepala desa dan sebagainya.
2) Kedudukan tak resmi (Informal Status)
Kedudukan tak resmi ialah kedudukan yang diambil seseorang dalam
lingkungan sosiol yang tak resmi. Orang yang bersangkutan diterima
berdasarkan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam lingkungan tersebut. Dalam
penerimaan itu tidak ada suatu upacara dan surat pengangkatan yang resmi,
misalnya, kedudukan ulama, dukun pijat, dalang di suatu desa dan sebagainya.
Kedudukan resmi maupun kedudukan tidak resmi memiliki pengaruh yang
berbeda. Besarnya pengaruh dari kedudukan resmi dibatasi oleh peraturan resmi
yang dibuat oleh pihak yang berwenang. Sedangkan kedudukan tidak resmi dapat
memberi pengaruh lebih besar dari pada kedudukan resmi. Besarnya pengaruh
tidak dibatasi oleh peraturan formal, melainkan tergantung pada situasi nyata yang
ada dalam lingkungan.
c. Penggolongan Status Sosial
Penggolongan status sosial keluarga bersifat relatif antara masyarakat yang
satu dengan masyarakat yang lain. Sesuai dengan karakristik sosial budaya desa
yang berbeda dengan kota maka ukuran-ukuran yang dapat menempatkan
seseorang pada lapisan atas, menengah dan bawah pun berbeda-beda. Bahrein T.
Sugihen (1996:150-151) mengklasifikasikan lapisan sosial yang ada di wilayah
pedesaan berdasarkan perilaku dan gaya hidup masing-masing anggota lapisan ke
dalam tiga kelompok yaitu ”Lapisan atas, lapisan menengah, dan lapisan bawah”.
Berikut ini penjelasan masing-masing lapisan sosial:
1) Lapisan atas
Para anggota lapisan atas pada umumnya menjadi pemimpin
masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena mereka miliki ilmu pengetahuan
yang cukup atau karena mereka mempunyai sesuatu yang berharga dalam
jumlah banyak seperti tanah, uang, dan lain-lain. Dalam hidup keseharaian,
anggota lapisan atas lebih banyak digunakan sebagai sumber informasi, dan
69
tempat meminta nasehat berbagai hal. Adanya kesempatan-kesempatan yang
demikian menyebabkan golongan ini kelihatan berpengaruh dan berkuasa atas
berbagai keputusan yang dibuat di desa.
2) Lapisan menengah
Anggota golongan menengah umumnya menjadi pemimpin formal dan
pemimpin organisasi sosial dalam komunitasnya seperti menjadi pemimpin
organisasi pertanian, organisasi pemuda dan olah raga, dan kegiatan seni
budaya. Pengaruh dan kepemimpinan mereka jelas terlihat, walaupun setiap
keputusan yang diambil oleh lapisan menengah ini mendapat kritikan dari
lapisan yang ada di atasnya. Untuk menghindari hal yang demikian, maka para
pemimpin yang berasal dari lapisan menengah akan mengkonsultasikan
terlebih dahulu dengan mereka yang berpengaruh besar di dalam masyarakat
sebelum mengambil suatu keputusan.
3) Lapisan bawah
Anggota lapisan yang paling bawah cenderung tidak banyak aktif
berpartisipasi dalam aktivitas sosial yang ada di sekitar lingkungannya.
Misalnya, mereka jarang mengikuti pertemuan antara orang tua murid dan
guru, jarang mendapat kesematan memimpin suatu kegiatan dalam
masyarakat, jarang membaca koran atau majalah dan sebagainya. Pada
umumnya masyarakat lapisan ini cenderung mengikut apa yang menjadi
keputusan anggota masyarakat yang ada pada lapisan di atasnya.
Soerjono Soekanto (2002:255) melukiskan ketiga lapisan sosial di atas ke
dalam bentuk piramida berikut ini:
Upper class
Middle class
Lower class
Gambar 2.3. Piramida Lapisan Sosial
70
Gambar piramida yang mengerucut ke atas menunjukkan bahwa anggota
masyarakat yang berada pada lapisan atas (upper class) jumlahnya sedikit, hal ini
terjadi karena untuk mencapai lapisan tersebut perlu sejumlah syarat dan
persaingan yang ketat. Pada tahapan yang ada dibawahnya ialah lapisan menengah
(middle class) yang jumlahnya relatif lebih banyak daripada lapisan atas.
Sedangkan pada lapisan bawah (lower class) jumlahnya paling banyak bila
dibandingkan dengan lapisan menengah dan lapisan atas.
d. Faktor-Faktor yang Menentukan Status Sosial
Status yang dimiliki seseorang berbeda-beda. Perbedaan tersebut terjadi
karena
adanya
faktor-faktor
tertentu
yang
menentukannya.
Menurut
Hendropuspito (1989:105-106) faktor-faktor yang menentukkan kedudukan sosial
seseorang meliputi:
1)
2)
3)
4)
5)
Kelahiran (birth)
Unsur-unsur biologis (biological properties)
Harta kekayaan (fortune)
Pekerjaan (profession)
Agama (religion)
Penjelasan dari kelima faktor di atas sebagai berikut :
1) Kelahiran (birth)
Kelahiran pada suatu keluarga dianggap sebagai pangkal yang
meneruskan kedudukan keluarga itu kepada keturunannya. Demikian pula
kelahiran dari suatu suku bangsa atau bangsa tertentu membawa kedudukan
tertentu di mata bangsa lain. Dalam masyarakat Indonesia, misalnya seorang
anak keturunan kulit putih mendapat kedudukan sosial lain daripada warga
negara asli, misalnya keturunan bangsa kulit hitam diberi kedudukan sosial
yang lebih rendah oleh bangsa kulit putih. Di daerah pedesaan keturunan
pendiri desa atau tokoh desa memiliki kedudukan yang lebih tinggi dari pada
rakyat biasa.
2) Unsur-unsur biologis (biological properties)
Unsur-unsur biologis seperti jenis kelamin ikut menentukkan
kedudukan sosial seseorang. Sebagian besar dalam masyarakat kita
71
menganggap bahwa golongan wanita mendapat kedudukan sosial yang lebih
rendah dari pada golongan pria. Bentuk badan pun terkadang ikut memberikan
pengaruh terhadap kedudukuan seseorang. Seseorang yang tampil tampan atau
cantik relatif akan mendapat kehormatan lebih tinggi dari pada yang kurang
tampan atau kurang cantik.
3) Harta kekayaan (fortune)
Harta kekayaan juga merupakan faktor yang ikut menentukkan
kedudukan sosial. Golongan orang kaya di mana-mana mendapat kedudukan
lebih tinggi dari pada golongan orang miskin. Bahkan dalam intern golongan
pun terdapat pelapisan, misalnya golongan buruh yang memiliki televisi akan
memberikan kedudukan sedikit lebih tinggi kepada keluarga buruh yang
memilikinya daripada keluarga buruh lain yang tidak memiliki benda tersebut.
4) Pekerjaan (profession)
Seseorang yang berprofesi sebagai guru mendapatkan kedudukan yang
lebih tinggi dari pada orang yang bekerja sebagai petani. Dengan kata lain,
pekerjaan halus yang banyak menyita otak umumnya dinilai lebih tinggi
daripada pekerjaan kasar yang memerlukan tenaga fisik secara optimal.
5) Agama (religion)
Agama dalam masyarakat manapun akan memberi kedudukan tertentu
bagi pemeluknya. Orang yang menguasai secara mendalam tentang agama
yang dianutnya menjadikan ia ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi dari
pada pemeluk yang tidak begitu luas wawasan keagamaannya. Sebagai
contoh, seorang ulama dalam agama Islam memiliki kedudukan yang lebih
tinggi dari pada para jemaahnya.
Warner dalam Kaare Svalastoga (1989:27) menyebutkan indeks ciri-ciri
status sosial terdiri dari empat komponen yaitu: ”Pertama, pekerjaan. Kedua,
sumber pendapatan. Ketiga, tipe rumah. Keempat, kawasan tempat tinggal”.
Penjelasan dari indeks ciri-ciri status sosial adalah sebagai berikut:
1) Pekerjaan
Pekerjaan selalu dikaitkan dengan apa yang dilakukan seseorang untuk
mencari nafkah pencaharian. Setiap orang mengharapkan nafkah atau hasil
72
pekerjaannya dapat digunakan untuk mempertahankan hidup dan mencapai
taraf hidup yang lebih baik. Dengan demikian pekerjaan merupakan aktifitas
sehari-hari yang dilakukan seseorang untuk mempertahankan hidup sekaligus
bertujuan untuk memperoleh taraf hidup yang lebih baik dari hasil pekerjaan
tersebut.
2) Sumber pendapatan
Menurut Kaare Svalastoga (1989:28) sumber pendapatan digolongkan
sebagai berikut:
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
Kekayaan warisan (tertinggi)
Kekayaan yang diperoleh dari usaha
Keuntungan dan bayaran
Gaji
Upah
Dana hasil usaha pribadi
Dana bantuan pemerintah dan penghasilan gelap
Penggolongan sumber pendapatan diatas tentu didasari bahwa perbedaan
sumber pendapatan akan berakibat adanya perbedaan jumlah pendapatan
seseorang. Warisan merupakan salah satu sumber harta yang banyak dimiliki
oleh masyarakat baik berupa tanah, rumah, tempat usaha dan lain-lain. Pada
umumnya seseorang tidak hanya mengandalkan harta warisan saja dalam
menyambung hidupnya tetapi juga melakukan berbagai usaha. Hakikatnya
warisan pun bila tidak dikembangkan lama-kelamaan juga akan berkurang
atau habis. Keuntungan dan bayaran yang diterima seseorang juga merupakan
sumber pendapatan yang dapat diperoleh dari kegiatan perdagangan atau
bekerja. Sumber pendapatan lainnya yaitu pendapatan gaji, upah, dana hasil
usaha pribadi dan data bantuan pemerintah. Sedangkan penghasilan gelap
merupakan panghasilan yang diterima seseorang tanpa diketahui sumbernya
secara jelas.
3) Tipe Rumah
Rumah merupakan suatu kebutuhan pokok bagi setiap manusia di
samping pangan dan sandang. Rumah merupakan kebutuhan yang urgen oleh
karena itu setiap orang berusaha untuk memilikinya. Hal ini menyebabkan
rumah sebagai salah satu alat untuk mengekspresikan status seseorang
73
termasuk bentuk dan lokasinya. Rumah juga merupakan suatu indikator
penting untuk mengukur tingkat kemakmuran penduduk dan biasanya
mencerminkan pula tingkat pendapatan dan pengeluaran suatu rumah tangga
terutama di kota, karena itu rumah merupakan suatu faktor yang memegang
peranan penting dalam hubungannya dengan kebutuhan rumah tangga.
4) Kawasan tempat tinggal
Wilayah tempat tinggal atau lingkungan dimana mereka tinggal dapat
menentukan status sosial penghuninya. Misal di pedesaan penduduk dapat
bertempat tinggal di pusat pemerintahan desa atau di dukuh yang jauh dari
pusat pemerintahan desa. Di lingkungan perkotaan dapat dibedakan menjadi
dua yaitu penduduk yang tinggal di pusat kota dan di pinggiran kota yang
pada umumnya didominasi oleh masyarakat miskin kota. Pengelompokanpengelompokan yang seperti ini tentu menentukan status sosial yang dimiliki
seseorang.
Soerjono Soekanto (2002:237-238) menyatakan bahwa ukuran atau
kriteria yang digunakan dalam menggolong-golongkan anggota masyarakat
kedalam suatu lapisan adalah sebagai berikut :
1) Ukuran kekayaan. Barangsiapa yang memiliki kekayaan paling
banyak, termasuk dalam lapisan teratas. Kekayaan tersebut, misalnya
dapat dilihat pada bentuk rumah yang bersangkutan, mobil pribadinya,
cara-caranya menggunakan pakaian serta bahan pakaian yang
dipakainya, kebiasaan untuk berbelanja barang-barang mahal dan
seterusnya.
2) Ukuran kekuasaan. Barangsiapa yang memiliki kekuasaan atau yang
mempunyai wewenang terbesar, menempati lapisan atasan.
3) Ukuran kehormatan. Ukuran kehormatan tersebut mungkin terlepas
dari ukuran-ukuran kekayaan dan atau kekuasaan. Orang yang paling
disegani dan dihormati, mendapat tempat teratas. Ukuran semacam ini,
banyak dijumpai pada masyarakat-masyarakat tradisional. Biasanya
mereka adalah golongan tua atau mereka yang pernah berjasa.
4) Ukuran ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan sebagai ukuran, dipakai
oleh masyarakat yang menghargai ilmu pengetahuan. Akan tetapi
ukuran tersebut kadang-kadang menyebabkan terjadinya akibat-akibat
yang negatif. Karena ternyata bahwa bukan mutu ilmu pengetahuan
yang dijadikan ukuran, akan tetapi gelar kesarjanaannya. Sudah tentu
hal yang demikian memacu segala macam usaha untuk mendapat
gelar, walau tidak mahal.
74
Ukuran-ukuran yang dikemukakan Soerjono Soekanto tersebut berlaku relatif
meskipun pada sebagian besar kelompok faktor kekayaan tetap menjadi bagian
yang diperhitungkan dalam menentukan status seseorang. Berbeda dengan ukuran
ilmu pengetahuan dalam hal ini tingkat pendidikan, bagi penduduk desa yang
kesadaran dan penghargaannya akan pendidikan formal masih kurang tentu akan
berpengaruh terhadap penilaian masyarakat terhadap kedudukan orang yang
bersekolah. Sebaliknya bagi masyarakat
yang menjunjung tinggi ilmu
pengetahuan, semakin tinggi jenjang pendidikan seseorang semakin tinggi pula
status yang dimilikinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi status sosial memiliki keterkaitan
dengan status ekonomi. Aspek-aspek yang mempengaruhi status sosial mencakup
butir-butir yang sebenarnya termasuk butir-butir kriteria status ekonomi. Hal ini
didasarkan fakta bahwa kehormatan yang dimiliki seseorang tidak hanya
dipengaruhi oleh faktor pembawaan dan peran yang melahirkan kekuasaan dan
kewenangan semata, tetapi juga dapat dipengaruhi oleh beberapa kriteria yang
ada pada status ekonomi. Sedangkan status ekonomi merupakan kedudukan
seseorang dalam masyarakat yang diukur berdasarkan kemampuan seseorang
tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Status ekonomi
menitikberatkan pada kuantitas kekayaan yang dimiliki seseorang. Kekayaan yang
dimiliki seseorang dipengaruhi beberapa faktor berikut ini:
1) Pekerjaan
Setiap orang sesantiasa berusaha mendapatkan pekerjaan sesuai dengan
minat dan kehendaknya. Berbagai usaha dilakukan untuk dapat berkarya dalam
bidang yang disuakainya. Seseorang yang bekerja tentu mendapatkan imbalan
sesuai kualitas dan kapsitas pekerjaannya masing-masing. Semakin bagus
pekerjaan yang dilakukannya semakin tinggi pula pendapatan yang dapat diterima
oleh orang yang bersangkutan.
Pekerjaan seseorang dapat ditinjau
pekerjaan,
status
pekerjaan
dan
jenis
dari
tiga
pekerjaan.
aspek yaitu lapangan
Lapangan
pekerjaan
menggambarkan di sektor produksi apa saja maupun dimana saja para pekerja
menyandarkan sumber nafkahnya. Status pekerjaan menjelaskan kedudukan
75
pekerja di dalam pekerjaan yang dimiliki atau dilakukannya. Sedangkan jenis
pekerjaan menunjukkan kegiatan kongkrit apa yang dikerjakan oleh pekerja yang
bersangkutan. Macam dan jenis pekerjaan yang dilakukan ataupun dimiliki sangat
berpengaruh terhadap kemampuan individu tersebut untuk dapat memenuhi
kebutuhan keluarganya dan juga akan berpengaruh terhadap tinggi rendahnya
status sosial ekonomi di masyarakat.
Ada berbagai jenis lapangan pekerjaan yang dapat di tekuni guna
menunjang kebutuhan ekonomi keluarga. Secara umum jenis lapangan pekerjaan
yang dimaksud antara lain bidang pertanian dan sejenisnya, pertambangan,
industri, perdagangan, dan jasa. Lapangan pekerjaan yang serupa dengan bidang
pertanian yaitu kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Pertambangan
berupa pertambangan, minyak, gas dan bahan material lainnya. Industri meliputi
industri yang mengolah barang mentah dan industri yang mengolah barang jadi.
Perdagangan meliputi perdagangan besar, kecil atau eceran, rumah makan dan
lain-lain. Lapangan pekerjaan di sektor jasa semakin berkembang, antara lain
meliputi jasa transportasi, jasa keuangan berupa asuransi, sewa bangunan dan
sewa tanah.
Status pekerjaan menunjukkan kedudukan pekerjaan tersebut dalam
kaitannya dengan pihak lain. Status pekerjaan meliputi pekerjaan yang diusahakan
secara mandiri, usaha yang dibantu oleh orang lain baik anggota keluarga maupun
bukan, usaha yang memiliki karyawan atau pekerja tetap, menjadi pekerja pada
usaha keluarga, dan menjadi karyawan pada usaha orang lain. Orang-orang yang
bekerja pada usaha keluarga akan timbul rasa memiliki yang lebih besar terhadap
usaha yang dikelolanya dibanding dengan karyawan yang bekerja pada orang lain.
Jenis pekerjaan dapat dibedakan dari jenis pekerjaan yang memerlukan
tenaga kasar atau lembut. Selain itu, ada pekerjaan yang membutuhkan tenaga
professional, tenaga kepemimpinan, tenaga yang diperlukan dalam usaha jasa,
pertanian, perdagangan, dan teknisi.
Jenis-jenis pekerjaan yang ada dalam masyarakat sangat beragam oleh
karena itu tidak memungkinkan jika harus dibahas satu persatu. Secara umum
jenis pekerjaan digolongkan menjadi dua yaitu golongan pegawai negeri dan
76
swasta, dan golongan non pegawai. Adapun penjelasan dari masing-masing
kelompok adalah sebagai berikut:
a) Pegawai negeri
Pegawai adalah orang yang bekerja pada pemerintah atau pengusaha.
Baik pegawai negeri maupun pegawai swasta memiliki kriteria masingmasing. Syarat-syarat menjadi pegawai negeri telah ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan dan di gaji menurut undang-undang yang
berlaku. Mereka merupakan orang-orang yang bekerja pada pemerintah, yang
harus memenuhi kriteria yang ditentukan oleh lembaga atau instansi yang
dipilih dan harus mematuhi segala peraturan yang ditetapkan oleh lembaga
atau instansi terkait. Gaji yang diperoleh pegawai negeri juga sesuai dengan
peraturan undang-undang yang berlaku dan yang sudah ditetapkan oleh
pemerintah. Sedangkan pegawai swasta meliputi orang yang bekerja pada
suatu perusahaan atau instansi bukan milik negara sehingga gaji yang diterima
sesuai dengan ketentuan perusahaan atau instansi tersebut.
b) Non pegawai
Jenis pekerjaan non pegawai adalah jenis pekerjaan selain pegawai.
Dengan batasan atau dengan kriteria bahwa pekerjaan tersebut tidak
membutuhkan kualifikasi atau standard pendidikan tertentu, tidak bernaung di
bawah suatu instansi, organisasi atau yayasan tertentu tidak memerlukan jam
kerja yang pasti, penghasilan yang diperoleh sifatnya hanya upah, tidak terikat
adanya undang-undang atau peraturan tertentu. Misalnya kuli bangunan,
buruh, pekerja kasar, tukang becak, pedagang, petani dan lain-lain.
2) Penghasilan atau pendapatan
Penghasilan atau pendapatan adalah seluruh penerimaan baik berupa uang
maupun barang dari hasil keja sendiri yang dinilai dengan uang. Menurut
Mulyanto Soemardi dan Hans Dieter Evers (1985:322-323) pendapatan dapat
dibedakan menjadi tiga yaitu :
a) Pendapatan berupa uang adalah segala penghasilan berupa uang yang
diperoleh melalui (a) gaji dan upah, (b) dari usaha sendiri dan bekerja
keras, (c) dari penjualan barang-barang yang dimiliki.
77
b) Pendapatan berupa barang adalah segala penghasilan yang diperoleh
dalam bentuk barang terhadap jasa yang diberikan. Tetapi ada juga
bentuk barang yang diterima yang tidak merupakan balas jasa seperti
warisan orang tua.
c) Penerimaan uang dan barang yang dipakai sebagai pedoman adalah
segala penerimaan yang bersifat trasfer redistributif dan biasanya
membawa perubahan dalam keuangan rumah tangga, misalnya
penjualan barang-barang yang dipakai, pinjaman uang, mendapat
undian dan menang judi.
Pembahasan tentang pendapatan dapat dilihat dari komponen-komponen sumber
pendapatan,
tingkat
pendapatan
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pendapatan.
a) Sumber penghasilan atau pendapatan
Sumber penghasilan atau pendapatan setiap keluarga tentu berbeda-beda.
Disini yang menjadi ukuran adalah bukan jumlah uangnya yang diterima
untuk menentukan melainkan status yang dinikmati melalui sumber itu.
Mulyanto Soemardi dan Hans Dieter Evers (1985:323) menyatakan
”Pendapatan rumah tangga merupakan jumlah keseluruhan dari pendapatan
formal, pendapatan informal dan pendapatan subsisten”. Pendapatan formal
ialah pendapatan yang diperoleh melalui pekerjaan pokok. Pendapatan
informal adalah penghasilan yang diperoleh melalui pekerjaan tambahan di
luar pekerjaan pokoknya. Sedangkan pendapatan subsisten ialah penghasilan
yang diperoleh dari sektor produksi yang dinilai dengan uang.
b) Tingkat penghasilan atau pendapatan
Pada umumnya tingkat pendapatan masyarakat merupakan salah satu
faktor penting dalam menentukan tingkat kesejahteraan mereka. Tinggi
rendahnya taraf hidup seseorang tergantung pada tinggi rendahnya
penghasilan seseorang, makin banyak penghasilan seseorang makin tinggi
taraf hidupnya. Pendapatan penduduk menurut Mulyanto Soemardi dan Hans
Dieter Evers (1985:225) dapat diklasifikasikan ke dalam lima golongan
sebagai berikut:
(1) Golongan berpenghasilan sangat rendah (lowest income group)
(2) Golongan berpenghasilan rendah (low income group)
(3) Golongan berpenghasilan sedang (moderate income group)
78
(4) Golongan berpenghasilan menengah (middle income group)
(5) Golongan berpenghasilan tinggi (high income group)
Pengklasifikasian tingkat pendapatan sangat beragam sesuai dengan
lingkungan dimana orang tersebut tinggal. Tingkat pendapatan masyarakat
khususnya di Desa pekandangan dapat dikelompokkan menjadi 3 golongan
yaitu:
(1) Golongan miskin:
Rp 200.000,00 sampai Rp 500.000,00
(2) Golongan menengah:
Rp 500.000,00 sampai Rp 1.500.000,00
(3) Golongan tinggi:
Rp 1.500.000,00 sampai > Rp 3.000.000,00
Pengelompokan tingkat pendapatan di atas dapat berubah-ubah sesuai dengn
kondisi di masyarakat. Berdasarkan kriteria tersebut menunjukkan bahwa yang
termasuk golongan miskin adalah mereka yang berpenghasilan kurang dari
Rp. 200.000,00 dan golongan tinggi bagi mereka yang berpenghasilan lebih
dari Rp. 3.000.000,00.
c) Faktor-faktor yang mempengaruhi pendapatan
Mulyanto Sumardi dan Hans Dieter Evers (1985:98-99) faktor-faktor
yang mempengaruhi pendapatan antara lain:
(1) Pangkat atau jabatan
Pangkat atau jabatan dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu
pangkat atau jabatan basah dan pangkat atau jabatan kering. Pangkat
jabatan basah adalah pekerjaan yang dianggap dapat memberikan dana
kesejahteraan bagi para karyawannya. Sedangkan pekerjaan atau jabatan
kering ialah pekerjaan yang dianggap kurang memberikan dana
kesejahteraan kepada para karyawannya.
(2) Pendidikan
Pada umumnya tingkat pendidikan berpengaruh pada pendapatan
masyarakat, makin tinggi pendidikan suatu masyarakat makin tinggi pula
pendapatan seseorang sehingga status sosialnya bisa terangkat.
79
(3) Masa Kerja
Bagi para pegawai, masa kerja berpengaruh pada tingkat gaji atau
upah yang diperoleh, semakin lama waktu yang dikorbankan untuk
bidang pekerjaannya makin tinggi pendapatan pokok yang diterima.
(4) Jumlah anggota keluarga
Jumlah anggota keluarga kemungkinan dapat meningkatkan
pendapatan
keluarga. Jumlah anggota keluarga yang banyak berarti
menyediakan jumlah tenaga kerja yang banyak pula dalam rangka
mencari penghasilan keluarga. Kondisi ini tidak selamanya demikian,
ada kalanya dengan banyaknya jumlah keluarga makin besar pula beban
kebutuhan yang harus dipenuhi sehingga kesejahteraannya menurun.
3) Tingkat kesejahteraan
Setiap manusia mengharapkan hidup sejahtera lahir dan batin. Hal ini pun
sudah menjadi cita-cita bersama sebagai suatu bangsa. Penilaian kesejahteraan
penduduk tidak cukup hanya dengan melihat besar kecilnya pendapatan tetapi
harus pula memperhatikan distribusi pendapatan di kalangan penduduk. Mengenai
tahapan keluarga sejahtera ada kriteria-kriteria khusus yang telah dibuat oleh
BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional) sebagai berikut:
a) Keluarga Sejahtera Tahap I
(1) Pada umumnya anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih.
(2) Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah,
bekerja atau sekolah dan bepergian.
(3) Rumah yang ditempati keluarga mempunyai atap, lantai dan dinding
yang baik.
(4) Bila ada anggota keluarga sakit dibawa ke sarana kesehatan.
(5) Bila pasangan usia subur ingin ber KB pergi ke sarana pelayanan
kontrasepsi.
(6) Semua anak umur 7 – 15 tahun dalam keluarga bersekolah.
b) Keluarga Sejahtera Tahap II
(1) Pada umumnya anggota keluarga melaksanakan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaan masing-masing.
(2) Paling kurang sekali seminggu seluruh anggota keluarga makan
daging atau ikan atau telur.
(3) Seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel
pakaian baru dalam se tahun.
(4) Luas lantai rumah paling kurang 8 m2 untuk setiap penghuni rumah.
80
(5)
Tiga bulan terakhir keluarga dalam keadaan sehat sehingga dapat
melaksanakan tugas atau fungsi masing-masing.
(6) Ada seorang atau lebih anggota keluarga yang bekerja untuk
memperoleh penghasailan.
(7) Seluruh anggota keluarga umur 10 – 60 tahun bisa baca tulisan latin.
(8) Pasangan usia subur dengan anak 2 atau lebih menggunakan alat atau
obat kontarasepsi.
c) Keluarga Sejahtera Tahap III
(1) Keluarga berupaya meningkatkan pengetahuan agama.
(2) Sebagaian penghasilan keluarga di tabung dalam bentuk uang
maupun barang.
(3) Kebiasan keluarga makan bersama paling kurang seminggu sekali
dimanfaatkan untuk berkomunikasi.
(4) Keluarga sering ikut dalam kegiatan masyarakat di lingkungan
tempat tinggal.
(5) Keluarga memperoleh informasi dari surat kabar atau majalah atau
radio atau televisi.
d) Keluarga Sejahtera Tahap III Plus
Mencakup kriteria pada tahap I – III ditambah kriteria berikut ini :
(1) Keluarga secara teratur dengan sukarela memberikan sumbangan
materiil untuk kegiatan sosial.
(2) Ada anggota keluarga yang aktif sebagai pengurus perkumpulan
sosial atau yayasan atau istitusi masyarakat.
4) Pola konsumsi keluarga
Pola konsumsi setiap keluarga berbeda-beda. Pola konsumsi adalah suatu
bentuk penggunaan suatu bahan atau barang dapat dilihat melalui alokasi
konsumsinya. Besar kecilnya pengeluaran konsumsi keluarga berkaitan dengan
tingkat kesejahteraan keluarga tersebut. Semakin sejahtera penduduk semakin
kecil pengeluaran konsumsinya untuk bahan pangan.
Secara garis besar alokasi konsumsi masyarakat digolongkan ke dalam
pengeluaran untuk
makanan dan pengeluaran bukan makanan.
Dalam
perekonomian yang taraf perkembangannya masih rendah, sebagian besar
pendapatan dikeluarkan untuk pembelian makanan dan pakaian sebagai keperluan
sehari-hari yang paling pokok. Pada tingkat perkembangan ekonomi yang lebih
maju pengeluaran untuk pembelian makanan bukan lagi merupakan bagian
terbesar dari pengeluaran rumah tangga, sedangkan pengeluaran-pengeluaran lain
seperti untuk pendidikan, perumahan dan rekreasi menjadi bertambah penting.
Pada masyarakat yang maju sebagian pendapatan disisihkan untuk ditabung.
81
5) Kondisi rumah
Rumah adalah tempat untuk tumbuh dan berkembang baik secara jasmani,
rohani dan sosial. Sesuai fungsinya rumah adalah sebagai tempat tinggal dalam
satu lingkungan yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang diperlukan
manusia sehingga rumah diharapkan memberi ketentraman hidup, pengamanan
dan pusat kegiatan sosial.
Rumah merupakan salah satu alat untuk mengekspresikan status seseorang
termasuk bentuk dan lokasinya. Rumah juga merupakan suatu indikator penting
untuk mengukur tingkat kemakmuran penduduk dan biasanya mencerminkan pula
tingkat pendapatan dan pengeluaran suatu rumah tangga terutama di kota, karena
itu tempat tinggal merupakan suatu faktor yang memegang peranan penting dalam
hubungannya dengan kebutuhan rumah tangga.
6) Kepemilikan barang-barang
Disamping tipe atau konstruksi bangunan rumah, bentuk dan letaknya
maka isi rumah atau perabot rumah seperti televisi, meja, radio, kendaraan dan
peralatan elektronik lainnya dapat dijadikan tolak ukur tingkat pendapatan dan
pengeluaran rumah tangga. Pada daerah pedesaan selain adanya kepemilikan
barang seperti yang telah disebutkan di atas, pada umumnya mereka juga
memiliki berbagai binatang piaraan yang dapat menambah penghasilan keluarga.
7) Luas lahan
Indonesia adalah salah satu negara agraris yang sebagian besar
penduduknya bekerja di sektor pertanian dan tinggal di wilayah pedesaan. Seiring
dengan pola pembangunan maka luas lahan pertanian semakin sempit khususnya
di pulau Jawa. Hal ini tentu berdampak pada luas sempitnya penguasaan lahan
oleh petani. Fenomena demikian menyebabkan stereotipe petani jawa pada
umumnya tergolong miskin karena memiliki lahan yang relatif sempit. Sayogyo
dalam Darsono Wisadirana (2004:52) membagi tiga lapisan masyarakat menurut
penguasaan lahan sebagai berikut:
a) Lapisan atas dari keluarga petani di pedesaan yang memiliki lahan
sebanyak 0,5 hingga 1 hektar.
b) Lapisan menengah dari keluarga pedesaan yang memiliki lahan antara
0,25 hingga kurang dari 0,5 hektar.
82
c) Lapisan bawah adari keluarga petani yang menguasai lahan antara 0,1
hingga kurang dari 0,25 hektar.
Keadaan tersebut bila terus berlangsung dalam waktu lama akan menimbulkan
terjadinya kemiskinan yang merata atau terjadi kemiskinan bersama akibat
terjadinya pertambahan penduduk yang senantiasa meningkat tanpa diimbangi
dengan jumlah produksi pangan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa status sosial
seseorang dalam masyarakat tidak hanya ditentukan oleh satu faktor saja namun
dapat pula dipengaruhi beberapa faktor yang secara bersama-sama menentukan
kedudukan sosial seseorang atau suatu golongan. Dengan demikian sangat sulit
menentukan mana yang mempunyai pengaruh dominan terhadap kedudukan sosial
seseorang atau kelompok.
e. Ukuran Status Sosial
Status sosial yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kedudukan
seseorang atau keluarga dalam kehidupan bermasyarakat yang didasarkan pada
kehormatan, pekerjaan, penghasilan, hak milik, dan pemenuhan kebutuhan
keluarga. Adapun penjelasan dari faktor-faktor yang menenukan status sosial
tersebut yaitu:
1) Kehormatan
Ukuran kehormatan dalam masyarakat dapat terlepas dari faktor kekayaan
dan pekerjaan. Misalnya, seseorang yang menjabat sebagai ulama atau ketua RW
akan dihormati oleh warga masyarakat yang lain walaupun ia tidak tergolong
kaya. Adapun indikator kehormatan dapat diukur berdasarkan:
a) Jabatan dalam masyarakat.
b) Keahlian / ketrampilan.
c) Partisipasi dalam kegiatan masyarakat
d) Interaksi dalam keluarga dan masyarakat
2) Pekerjaan
Indikator pekerjaan dapat diukur berdasarkan :
a) Jenis pekerjaan pokok/utama.
83
b) Kedudukan dalam pekerjaan.
c) Pekerjaan sampingan.
3) Penghasilan
Indikator penghasilan dapat diukur berdasarkan :
a) Penghasilan rata-rata tiap bulan.
b) Alokasi penghasilan.
4) Hak milik
Indikator hak milik dapat diukur berdasarkan :
a) Luas tanah.
b) Kondisi rumah:
(1) Status kepemilikan rumah.
(2) Bangunan rumah.
(3) Jumlah rumah.
c) Kepemilikan barang-barang atau fasilitas.
5) Pemenuhan kebutuhan keluarga.
Indikator pemenuhan kebutuhan keluarga dapat diukur berdasarkan :
a) Pemenuhan kebutuhan pokok.
b) Pemenuhan kebutuhan tambahan.
Berdasarkan uraian tentang status sosial sebagaimana diungkapkan pada
bagian atas, maka dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya status sosial yang
dimiliki seseorang akan memberikan peran yang berbeda dalam masyarakat.
Status sosial yang tinggi menempatkan seseorang berada pada kedudukan atau
jabatan yang lebih dihormati dalam masyarakat. Pada umumnya segala bentuk
keputusan atau kebijakan umum dibuat oleh seseorang atau kelompok yang
memiliki kedudukan yang tinggi. Di negara-negara demokratis pun keputusankeputusan politik selalu dibuat oleh sekelompok orang yang secara sosial ekonomi
memiliki hak istimewa. Keputusan-keputusan yang dihasilkan cenderung hanya
menguntungkan kelompok-kelompok tertentu saja. Hal ini akan meningkatkan
kesadaran politik dan kepercayaan yang tinggi bagi golongan yang diuntungkan
tersebut terhadap pemerintah yang diwujudkan dalam bentuk partisipasi politik
secara aktif.
84
Seseorang yang memiliki status sosial rendah cenderung kurang aktif
dalam kegiatan politik daripada orang yang berstatus lebih tinggi. Aspirasiaspirasi orang yang berstatus rendah dianggap kurang tersalurkan secara memadai
kepada pemerintah dibandingkan dengan aspirasi yang berasal dari status tinggi.
Hal ini mengakibatkan orang yang berstatus sosial rendah kurang memiliki
kepercayaan dan kepedulian terhadap politik dan pada akhirnya akan mengurangi
partisipasi politiknya di masyarakat.
Status sosial merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi
politik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hoogerwerf (1985:191) menyatakan
”Suatu faktor penting yang berkaitan dengan partisipasi politik adalah status
sosial. Orang-orang dengan pendapatan lebih tinggi, pendidikan yang lebih tinggi,
pekerjaan dengan status yang lebih tinggi lebih banyak berpartisipasi dari pada
yang lainnya”. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Dan Nimmo (2006:141)
”Pada umumnya, orang dari kelas sosial yang lebih tinggi lebih sering
berpartisipasi dalam politik ketimbang orang dari strata sosial yang lebih rendah.
Karena mempunyai waktu, uang, energi, dan alat lain untuk melakukannya”.
Pendapat di atas menyatakan bahwa seseorang yang berstatus tinggi memiliki
banyak kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif daripada seseorang yang
berstatus rendah.
B. Kerangka Pemikiran
Kerangka berfikir merupakan suatu pemikiran yang memberikan arahan
untuk dapat sampai pada pemberian jawaban sementara atas masalah yang telah
dirumuskan. Berdasarkan tinjauan pustaka pada bagian atas maka dapat disusun
kerangka pemikiran sebagai berikut:
Semua keputusan pemerintah tidak ada artinya tanpa dukungan dan peran
serta seluruh masyarakat. Partisipasi politik merupakan modal utama dan potensi
yang esensial dalam pelaksanaan pembangunan desa yang selanjutnya tumbuh dan
berkembang menjadi dasar kelangsungan kehidupan berbangsa. Bentuk partisipasi
politik dapat dilihat dari sejauh mana keterlibatan warga negara untuk
85
mempengaruhi pengambilan dan pelaksanaan keputusan pemerintah di bidang
politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Partisipasi politik bertujuan untuk
mempengaruhi penguasa baik dalam arti memperkuat maupun dalam pengertian
menekannya, sehingga diharapkan pemerintah dapat memperhatikan kepentingan
masyarakat. Selain itu, partisipasi politik berfungsi menyuarakan kepentingan
masyarakat dalam bentuk pemberian dukungan, masukan, kritik, dan saran
terhadap program-program pemerintah. Partisipasi politik setiap warga negara
berbeda-beda, hal ini dimungkinkan ada hubungannya dengan pendidikan dan
status sosial individu yang bersangkutan.
Pendidikan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia yang berguna dalam pembangunan. Berbagai pengetahuan
dan wawasan diberikan dalam pendidikan formal dengan kualitas dan kuantitas
yang berbeda-beda pada setiap jenjangnya. Semakin tinggi jenjang pendidikan
yang ditempuh semakin tinggi pula pengetahuan dan wawasan yang diperoleh.
Oleh karena itu, semakin lama yang ditempuh seseorang dalam pendidikan formal
juga akan mempengaruhi tinggi rendahnya pengetahuan dan wawasan yang
diperoleh. Salah satu ilmu pengetahuan yang selalu diajarkan dalam setiap jenjang
pendidikan ialah pengetahuan tentang politik. Di sisi lain lembaga pendidikan
dalam hal ini sekolah dan kurikulumnya sengaja dijadikan saluran untuk
sosialisasi politik generasi muda. Pendidikan dapat memberikan pengetahuan dan
informasi
tentang
politik
dan
persoalan-persoalannya
sehingga
dapat
mengembangkan minat, kecakapan, kemampuan, dan kesadaran berpolitik
seseorang yang pada akhirnya dimungkinkan akan menentukan partisipasi politik.
Status
sosial merupakan kedudukan seseorang dalam kehidupan
bermasyarakat yang didasarkan pada kehormatan, pekerjaan, penghasilan, hak
milik, dan pemenuhan kebutuhan keluarga. Perbedaan status sosial seseorang
menyebabkan perbedaan kesempatan atau peluang dalam masyarakat. Tingkat
status sosial yang tinggi memungkinkan partisipasi politik yang lebih berkualitas
dari pada seseorang yang berstatus sosial di bawahnya. Dengan status sosial yang
tinggi diperkirakan seseorang akan memiliki tingkat pengetahuan politik, minat,
dan perhatian pada politik, serta sikap dan kepercayaan yang tinggi pada
86
pemerintah. Lain halnya bagi seseorang yang berstatus rendah merasa tidak ada
distribusi yang adil dalam berbagai bidang sehingga memungkinkan berkurangnya
rasa kepercayaan dan apresiasi terhadap kegiatan politik. Dengan demikian
dimungkinkan ada hubungan antara status sosial dengan partisipasi politik.
Semakin banyak jumlah tahun studi yang ditempuh oleh sesorang dalam
pendidikan formal disertai dengan kepemilikan status sosial yang tinggi secara
bersama-sama dimungkinkan dapat meningkatkan partisipasi politik dalam
kehidupan bernegara.
Adapun kerangka berpikir secara skematis dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 2.4. Kerangka Pemikiran
Pendidikan
(X1)
Partisipasi Politik
(Y)
Status Sosial
(X2)
C. Perumusan Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara yang harus diuji melalui kegiatan
penelitian. Perumusan hipotesis yang penulis kemukakan sebagai berikut:
1. Ada hubungan antara pendidikan dengan partisipasi politik di Desa
Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara.
87
2. Ada hubungan antara status sosial dengan partisipasi politik di Desa
Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara.
3. Ada hubungan antara pendidikan dan status sosial dengan partisipasi politik di
Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara.
88
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Pengertian Metodologi
Penelitian merupakan suatu usaha yang bertujuan untuk menemukan
jawaban atas suatu permasalahan melalui prosedur ilmiah. Robert B. Burns
(2000:3) menyatakan ”Research is a systematic investigation to find answer to a
problem”. Pengertian tersebut dapat diartikan sebagai berikut: penelitian adalah
suatu penyelidikan sistematis untuk menemukan jawaban atas suatu masalah.
Menurut Sutrisno Hadi (2000:4) ”Research dapat didefinisikan sebagai
usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji kebenaran suatu
pengetahuan, usaha mana dilakukan dengan menggunakan metode-metode
ilmiah”. Untuk memperoleh kebenaran, suatu penelitian perlu menggunakan cara
kerja ilmiah yang tepat sehingga hasil yang diperoleh benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan. Lebih lanjut Surtisno Hadi (2000:4) menyatakan
”Pelajaran yang memperbincangkan metode-metode ilmiah untuk research
disebut metodologi research”.
Berdasarkan kedua pengertian tersebut di atas dapat penulis simpulkan
bahwa metodologi penelitian atau metodologi research adalah suatu ilmu
pengetahuan tentang prosedur, teknik-teknik atau cara-cara yang ditempuh untuk
mencari suatu kebenaran dalam kegiatan penelitian. Di dalam metodologi
penelitian
memuat
langkah-langkah
yang
ditempuh
guna
menemukan,
mengembangkan dan menguji kebenaran suatu pengetahuan. Adapun langkahlangkah yang dimaksud meliputi tempat dan waktu penelitian, metode penelitian,
populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Tempat penelitian merupakan lokasi yang digunakan untuk memperoleh
sejumlah data yang akan diteliti. Sesuai dengan judul penelitian ini, maka peneliti
mengadakan penelitian dengan mengambil lokasi di Desa Pekandangan,
88
89
Kecamatan Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah 53452. Adapun
alasan penulis mengadakan penelitian di desa tersebut yaitu :
a. Desa Pekandangan belum pernah menjadi obyek penelitian dengan
permasalahan yang sama.
b. Di Desa Pekandangan terdapat data yang diperlukan dalam penelitian ini.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian ditetapkan agar penulis dapat mengatur langkah-langkah
dalam melaksanakan penelitian. Adapun alokasi waktu yang penulis rencanakan
untuk penelitian ini secara garis besar dibagi menjadi tiga tahap sebagai berikut:
a. Tahap persiapan mencakup pengajuan judul, pembuatan proposal, pengurusan
ijin, dan penyusunan instrumen penelitian mulai bulan November 2006 sampai
Januari 2007.
b. Tahap pelaksanaan mencakup semua kegiatan yang berlangsung di lapangan
yaitu uji coba instrumen, analisis uji coba instrumen, perbaikan instrumen, dan
pengambilan data pada bulan Pebruari 2007 hingga selesai penyusunan data
sehingga siap dianalisis.
c. Tahap penyelesaian mencakup pengolahan data, analisis data, dan penyusunan
laporan. Tahap ini dilaksanakan sejak akhir Pebruari sampai April 2007.
C. Metode Penelitian
1. Pengertian Metode Penelitian
Metode dalam suatu penelitian memegang peranan yang penting. Tujuan
penelitian dapat tercapai apabila penelitian dilakukan dengan metode yang tepat.
Sehubungan dengan hal itu maka peneliti harus mampu memilih dan menentukan
metode yang sesuai dengan masalah yang akan diteliti. Penggunaan metode yang
kurang tepat mengakibatkan hasil penelitian tidak sesuai dengan tujuan penelitian.
Winarno Surakhmad (1994:131) menyatakan “Metode merupakan cara
utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan, misalnya untuk menguji
serangkaian hipotesa, dengan mempergunakan teknik serta alat-alat tertentu”.
Berdasarkan pendapat tersebut dapat dipahami bahwa metode merupakan cara
90
yang perlu ditempuh melalui beberapa langkah sehubungan dengan masalah yang
diteliti. Sedangkan menurut Kartini Kartono (1986:15-16) ”Metode penelitian
adalah cara-cara berfikir dan berbuat, yang dipersiapkan dengan baik-baik untuk
mengadakan penelitian, dan untuk mencapai suatu tujuan penelitian”. Metode
penelitian memuat prosedur sedemikian rupa agar tujuan penelitian tercapai.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
metode penelitian ialah suatu cara utama yang digunakan untuk mencapai suatu
tujuan dalam menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu
pengetahuan yang dilakukan dengan menggunakan metode ilmiah. Dengan
demikian metode penelitian merupakan cara kerja yang digunakan untuk
mengumpulkan dan menganalisa data sehingga dapat digunakan untuk menguji
kebenaran hipotesis penelitian.
2. Jenis-jenis Metode Penelitian
Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam penelitian. Winarno
Surakhmad (1994:29) menggolongkan tiga metode penelitian berdasarkan sifat
dan fungsinya dalam dimensi waktu, yaitu ”Jenis pertama digolongkan dalam
kategori metode penyelidikan historis, yang kedua dalam kategori metode
penyelidikan deskriptif, yang ketiga dalam kategori metode penyelidikan
eksperimental”. Berikut ini penjelasan dari ketiga metode penelitian tersebut :
a. Metode Penelitian Historis
Metode penelitian historis digunakan untuk meneliti sesuatu yang
terjadi pada masa lampau. Metode ini merupakan suatu prosedur penelitian
yang bertujuan untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara sistematis
dan obyektif, dengan cara mengumpulkan, mengevaluasi, memverifikasi serta
mensisntesiskan bukti-bukti untuk menegakan fakta dan memperoleh
kesimpulan yang kuat.
b. Metode Penelitian Deskriptif
Metode penelitian deskriptif dilakukan untuk memberikan gambaran
yang lebih detail mengenai suatu gejala atau fenomena. Dengan kata lain,
metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai suatu prosedur pemecahan
91
masalah yang diselidiki dengan menggambarkan keadaan subyek atau obyek
penelitian pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau
sebagaimana adanya.
c. Metode Penelitian Eksperimen
Metode penelitian eksperimen merupakan prosedur penelitian yang
dilakukan untuk mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara
membandingkan berbagai peristiwa dimana terdapat fenomena tertentu.
Metode ini digunakan pada penelitian-penelitian dengan mengadakan kegiatan
percobaan untuk melihat atau memperoleh hasil dan bertujuan untuk meneliti
pengaruh dari beberapa kondisi terhadap suatu gejala.
3. Metode yang Digunakan
Pemilihan metode yang tepat sangat menentukan keberhasilan suatu
penelitian. Sehubungan dengan hal itu maka peneliti harus mampu memilih dan
metode. Sesuai dengan masalah dalam penelitian ini, peneliti menggunakan
metode penelitian deskriptif dengan rancangan analisis statistik.
Menurut Winarno Surakhmad (1994:140) ciri-ciri metode deskriptif yaitu :
a. Memusatkan diri pada pemecahan masalah-masalah yang ada pada masa
sekarang, pada masalah-masalah yang aktual.
b. Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian
dianalisa (karena itu metode ini sering pula disebut metode analitik).
Senada dengan pendapat diatas, Hadari Nawawi (1991:63) menyatakan bahwa
ciri-ciri pokok metode deskriptif adalah:
a. Memusatkan perhatian pada masalah-masalah yang ada pada saat penelitian
dilakukan (saat sekarang) atau masalah-masalah yang bersifat aktual.
b. Menggambarkan fakta-fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana
adanya, diiringi dengan interpretasi rasional yang adequat.
Berikut alasan dan pertimbangan peneliti menggunakan metode deskriptif:
a. Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah masalah yang masih aktual
dan masih ada pada masa sekarang.
92
b. Prosedur yang peneliti lakukan untuk memecahkan masalah adalah dimulai
dari pengumpulan data, penyusunan data, kemudian data tersebut dianalisa
dan diinterpretasikan.
c. Hasil dari penelitian ini nantinya merupakan suatu gambaran hasil penelitian
yang sistematis, nyata dan cermat.
Menurut Moh. Nasir (1988:73-74) langkah-langkah yang digunakan dalam
penelitian deskriptif sebagai berikut :
a. Memilih dan merumuskan masalah, b. Menentukan tujuan dari
penelitian yang akan diajarkan, c. Memberikan limitasi dari area atau
scope atau sejauh mana penelitian deskriptif tersebut akan dilaksanakan, d.
Merumuskan kerangka teori / kerangka konseptual yang kemudian di
turunkan dalam bentuk hipotesa-hipotesa untuk diverifikasikan, e.
Menelusuri sumber-sumber kepustakaan yang ada hubungannya dengan
masalah yang ingin dipecahkan. f. Merumuskan hipotesis-hipotesis yang
ingin diuji, g. Melakukan kerja lapangan untuk mengumpulkan data,
gunakan teknik pengumpulan data yang cokok untuk penelitian, h.
Membuat tabulasi serta analisis statistik dilakukan terhadap data yang
telah dikumpulkan, i. Membeberkan interpretasi dari hasil penelitian, j.
Mengadakan generalisasi, k. Membuat laporan penelitian dengan cara
ilmiah.
Sesuai dengan pendapat diatas maka langkah-langkah penelitian yang dilakukan
oleh penulis dam penelitian ini meliputi langkah-langkah berikut ini:
a. Merumuskan masalah yang akan diteliti.
b. Mengadakan pembatasan masalah.
c. Merumuskan kerangka teori.
d. Merumuskan hipotesis.
e. Menyiapkan instrument dan memilih teknik pengumpulan data.
f. Menentukan subyek penelitian.
g. Melakukan pengumpulan data untuk menguji hipotesis.
h. Menganalisis data dan menguji hipotesis.
i. Memberi kesimpulan atau generalisasi.
j. Menyusun dan mempublikasikan laporan penelitian.
93
D. Populasi dan Sampel
Populasi dan sampel merupakan subjek penelitian. Oleh karena itu, dalam
pelaksanaan suatu penelitian tidak akan terlepas dari penetapan pupulasi dan
sampel. Tujuan penelitian dapat tercapai dengan baik jika pengambilan populasi
dan sampel dilakukan dengan tepat. Sampel yang diambil harus representatif,
yaitu mewakili populasi dalam arti semua karakteristik yang ada pada populasi.
1. Populasi Penelitian
Dalam suatu penelitian, penentuan individu sebagai subyek yang diteliti
merupakan hal penting. Subyek yang dimaksud ialah populasi penelitian, yaitu
suatu kelompok individu yang diselidiki tentang aspek-aspek yang ada dalam
kelompok itu. Aspek-aspek yang hendak diungkapkan dalam penelitian ini adalah
pendidikan, status sosial dan partisipasi politik.
Penetapan populasi merupakan suatu bagian pokok dalam melakukan
penelitian. Oleh karena itu, sebelum menentukan kelompok yang akan dijadikan
populasi kiranya perlu dikemukakan beberapa pengertian populasi. M. Iqbal
Hasan (2002:84) menyatakan ”Populasi (universe) adalah totalitas dari semua
objek atau individu yang memiliki karakteristik tertentu, jelas dan lengkap yang
akan diteliti (bahan penelitian)”. Sementara itu, Robert B. Burns (2000:83)
mengemukakan, ”Population is an entire group of people or objects or events
which all have at least one characteristic in common, and must be defined
specifically and unambiguously”. Pendapat tersebut dapat diterjemahkan sebagai
berikut: Populasi adalah keseluruhan kelompok orang atau obyek atau peristiwa
yang mempunyai sedikitnya satu karakteristik yang sama, dan harus didefinisikan
secara rinci dan tidak bermakna ganda.
Menurut Hadari Nawawi (1991:141) “Populasi adalah keseluruhan objek
penelitian yang dapat terdiri dari manusia, benda-benda, hewan, tumbuhtumbuhan, gejala-gejala, nilai test atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data
yang memiliki karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian”. Populasi
merupakan sumber data dengan karakteristik tertentu.
94
Berdasarkan pendapat di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa
populasi adalah keseluruhan obyek yang memiliki karakteristik tertentu sebagai
sumber data. Populasi dalam penelitian ini adalah semua warga masyarakat yang
telah dianggap dewasa secara hukum yaitu yang sudah berumur 17 tahun atau
sudah / pernah menikah di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu,
Banjarnegara. sejumlah 1.400 orang. Populasi tersebut didasarkan pada
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:
a. Warga masyarakat yang sudah berumur 17 tahun.
b. Warga masyarakat yang belum berumur 17 tahun tetapi sudah atau pernah
menikah.
Warga masyarakat yang sudah berumur 17 tahun atau sudah / pernah menikah,
secara hukum sudah memiliki hak dan kewajiban untuk terlibat dalam kegiatan
politik. Sebagai contoh, dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang pemilu anggota
DPR, DPD, dan DPRD pada Bab V yang berisi mengenai hak memilih, pasal 28
yang berbunyi “Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan
suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah / pernah kawin mempunyai
hak pilih”.
Populasi yang homogen merupakan keseluruhan individu yang menjadi
anggota populasi memiliki sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang relatif sama
satu sama lainnya. Dengan demikian diharapkan sampel yang diambil akan lebih
representatif atau mewakili populasi yang diteliti. Karakteristik populasi dalam
penelitian ini adalah populasi yang homogen. Homogenitas populasi dapat
ditunjukkan sebagai berikut:
a. Warga masyarakat memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam kegiatan
politik.
b. Warga masyarakat sama-sama menghendaki kehidupan yang demokratis.
c. Warga masyarakat sama-sama menghendaki keadilan sosial.
d. Warga masyarakat sama-sama dapat menggunakan haknya sebagai warga
negara.
e. Warga masyarakat sama-sama menghendaki adanya penyaluran aspirasi.
f. Setiap warga masyarakat dijamin hak asasi manusianya.
95
2. Sampel Penelitian
a. Pengertian Sampel
Dalam suatu penelitian adakalanya tidak semua anggota dari populasi
dapat diamati. Hal tersebut mengingat besarnya jumlah populasi dan keterbatasan
peneliti dari segi biaya, waktu, dan tenaga. Oleh karena itu, perlu ada pembatasan
dengan menetapkan sejumlah sampel yang representatif atau mampu mewakili
populasi.
Arline Fink (1995:1) mengemukakan, ”A sample is portion or subset of a
larger group called a population”. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa
sample adalah suatu bagian atau sub-sub dari suatu kelompok yang lebih besar
yang dinamakan populasi. Pendapat senada juga dikemukakan oleh M. Iqbal
Hasan (2002:84) yang mengemukakan, “Sampel adalah bagian dari populasi yang
diambil melalui cara-cara tertentu yang juga memiliki karakteristik tertentu, jelas,
lengkap yang dianggap bisa mewakili populasi”. Sampel diambil dari populasi
dengan menggunakan cara-cara tertentu sehingga dapat mewakili populasi.
Berdasarkan definisi sampel di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa
sampel adalah bagian dari populasi yang menjadi sumber data sebenarnya dalam
suatu penelitian dan diambil dengan menggunakan cara-cara tertentu sehingga
mampu mewakili seluruh populasi (representatif). Dengan demikian, sampel
merupakan bagian dari populasi yang hendak diteliti untuk mendapatkan
kesimpulan yang akan digeneralisasikan pada populasi yaitu semua warga
masyarakat yang telah dianggap dewasa secara hukum yaitu yang sudah berumur
17 tahun atau sudah / pernah menikah yang belum berumur 17 tahun di Desa
Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara. sejumlah 1.400 orang.
b. Teknik Sampling
Sampel yang representatif dapat diperoleh dengan menggunakan teknikteknik tertentu yang dinamakan teknik sampling. Hadari Nawawi (1991:152)
mengemukakan, ”Teknik sampling adalah cara untuk menentukan sampel yang
jumlahnya sesuai dengan ukuran sampel yang akan dijadikan sumber data
96
sebenarnya, dengan memperhatikan
sifat-sifat dan penyebaran populasi agar
diperoleh sampel yang representaif atau benar-benar mewakili populasi”.
1) Cara Melakukan Teknik Sampling
Teknik sampling dapat dijumpai dalam beberapa bentuk yang berbedabeda, walaupun pada dasarnya bertolak pada dua macam sampling yaitu
sempling random dan sampling non random. Hal ini sesuai dengan pendapat
Husaini Usman dan Purnomo (2003:183) yang menyatakan bahwa teknik
pengambilan contoh / sampel dapat dilakukan dengan dua cara yaitu:
a) Sampling random (probability sampling), yaitu pengambilan
contoh secara acak (random) yang dilakukan dengan cara undian,
ordinal atau tabel bilangan random atau dengan komputer.
b) Sampling nonrandom (nonprobability sampling) atau disebut juga
sebagai incidental sampling, yaitu pengambilan contoh tidak secara
acak.
Sampling random memberi kemungkinan yang sama bagi setiap unsur
populasi untuk dipilih. Sedangkan sampling non random tidak memberi
kemungkinan yang sama bagi tiap unsur populasi untuk dipilih. Berdasarkan
pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa teknik sampling secara garis besar
ada dua yaitu:
a) Probability Sampling
Probability sampling termasuk teknik random merupakan cara
penentuan sampel yang obyektif karena memperhitungkan besar kecilnya
variasi populasi yang dapat menjadi sumber kekeliruan dalam penarikan
sampel. Penentuan sampel dilakukan dengan perhituangan tertentu guna
menentukan jumlah atau ukuran sampel sehingga dapat diperoleh sampel
yang benar-benar dapat mewakili populasi. Teknik random dapat
dilakukan dengan cara undian, cara ordinal, dan cara randomisasi dari
tabel bilangan random.
b) Non Probability Sampling
Non
probability sampling
termasuk
non
random
sampling
merupakan teknik penentuan sampel yang tidak menggunakan perhitungan
eksak ketika menentukan jumlah atau ukuran sampel. Pengambilan jumlah
atau ukuran sampel dilakukan dengan perkiraan apakah jumlah tersebut
97
sudah dapat mewakili populasi dan sesuai dengan masalah serta tujuan
penelitian.
Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
multistage random sampling. Teknik tersebut merupakan perpaduan dari dua
teknik sampling yaitu multistage sampling dan random sampling. Untuk
memperjelas teknik multistage random sampling, maka perlu lebih dahulu
diuraikan tentang multistage sampling dan random sampling secara terpisah.
Prosedur multistage sampling menurut Leslie Kish (1995:155) yaitu:
First selecting clusters, and then elements, requires two stages of
selection. This method can readily be axtended to more stages. Multi
stage sampling consists of “a hierarchy of different types of units, each
first-stage unit being divided, or potentially divisible, into secondstage units, ect. A frame will be required at each stage for the units
that have been selected at that stage. Initially, a frame is required by
which first-stage units may be defined and selected. For the second
stage of selection a frame is required by which second-stage units may
be defined within the first-stage units which have been selected. One of
the adventages of multistage sampling is that second-stage frames are
only required for selected first-stage units and so on”.
Pendapat di atas diterjemahkan oleh penulis sebagai berikut: Pertama memilih
kelompok dan kemudian unsur-unsurnya, memerlukan dua tahap pemilihan.
Metode ini dapat diperpanjang ke tahap yang lebih. Multistage sampling
terdiri dari ”suatu tingkatan dari unit yang berbeda-beda jenis, masing-masing
unit tahap pertama dibagi, atau berpotensi dapat dibagi ke dalam unit tahap
yang kedua, dan seterusnya. Suatu kerangka akan dibutuhkan pada tiap tahap
untuk unit yang telah dipilih pada tahapan tersebut. Awalnya, suatu kerangka
dibutuhkan yang mana unit tahap pertama dapat didefinisikan dan dipilih.
Untuk seleksi tahap kedua suatu kerangka dibutuhkan yang mana unit tahap
kedua dapat didefinisikan dalam unit tahap pertama yang telah terpilih. Salah
satu keuntungan dari multistage sampling adalah bahwa kerangka tahap kedua
hanya diperlukan untuk unit tahap pertama yang terpilih dan sebagainya”.
Teknik random sampling merupakan cara pengambilan atau pemilihan
sampel secara random atau acak. Surtrisno Hadi (2000:75) mengemukakan,
”Dalam random sampling semua individu dalam populasi baik secara sendiri-
98
sendiri atau bersama-sama diberi kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi
anggota sampel”. Semua anggota populasi mempunyai kemungkinan atau
kesempatan yang sama untuk dipilih menjadi anggota sampel.
Adapun cara-cara yang digunakan untuk random sampling dalam
penelitian ini ialah dengan cara undian. Sutrisno Hadi (2000:76) menyatakan
bahwa langkah-langkah yang digunakan dalam mengadakan undian yaitu :
a) Buatlah suatu daftar yang berisi semua subyek, obyek, gejala,
peristiwa, atau kelompok-kelompok yang ada dalam populasi.
b) Berilah koda-koda yang berwujud angka-angka untuk tiap-tiap
subyek, obyek, gejala, peristiwa atau kelompok yang dimaksudkan
dalam a.
c) Tuliskan koda-koda itu masing-masing dalam satu lembar kertas
kecil.
d) Gulung kertas itu baik-baik.
e) Masukan gulungan-gulungan kertas itu ke dalam tempolong,
kaleng atau tempat-tempat yang semacam.
f) Kocok baik-baik tempolong atau kaleng itu.
g) Ambilah kertas gulungan itu sebanyak yang dibutuhkan
Sesuai dengan langkah-langkah diatas maka penulis melakukan cara
pengundian sebagai berikut :
a. Membuat sampling frame yang memuat semua daftar subyek populasi.
b. Memberi kode nomor urut pada semua elmen populasi pada lebar kertaskertas kecil.
c. Menggulung lembar kertas-kertas kecil kemudian memasukannya ke
dalam kaleng, mengocoknya dengan rata, dan mengambilnya satu per satu
dengan
pengembalian.
Penarikan
sampel
dengan
pengembalian
maksudnya ialah setiap selesai menarik atau gulungan kertas dan diketahui
nomor kode atau nomor unit sampling yang dijadikan sampel, kertas itu
digulung kembali dan dimasukkan lagi ke dalam kaleng undian agar dapat
diperhitungkan dalam penarikan sampel berikutnya. Cara ini bertujuan
memberikan peluang yang sama bagi terpilihnya setiap unit sampling
untuk menjadi sampel.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat penulis simpulkan bahwa
multistage random sampling adalah suatu pengambilan sampel penelitian
99
melalui dua tahapan atau lebih sesuai dengan keadaan populasi. Untuk
kepentingan tersebut maka pertama-tama populasi dibagi menjadi tingkatan
dimana sampel tahap pertama diambil, selanjutnya ditentukan tahapan
berikutnya sehingga seluruh sampel diperoleh. Dalam penelitian ini setiap
penarikan sampel dilakukan secara random dengan cara undian.
Sesuai wacana uraian tersebut di atas penulis memilih multistage
random sampling dalam penelitian ini yang meliputi beberapa tahap berikut:
a) Tahap pertama, membuat sampling frame yang terdiri dari RW-RW yang
ada di Desa Pekandangan. Kemudian dilakukan pengundian dari sampling
frame tersebut untuk memilih RW sampel sejumlah 2 RW. Setelah
dilakukan pengundian terhadap 3 RW yang ada di Desa Pekandangan,
terpilih RW II dan RW III sebagai sampel RW.
b) Tahap kedua, membuat sampling frame bagi masing-masing RW terpilih
yang terdiri dari RT-RT. Dari sampling frame setiap RW diambil 2 RT
yang akan dijadikan sampel. Sehingga diperoleh sampel RT dari RW II
sejumlah 2 RT (RT 02 dan RT 03) dan dari RW III sejumlah 2 RT (RT 01
dan RT 03). Secara keseluruhan ada 4 RT terpilih.
c) Tahap ketiga, membuat sampling frame bagi setiap RT terpilih yang
memuat daftar nama-nama kepala keluarga (KK). Dari sampling frame
setiap RT diambil sejumlah KK dengan perincian sebagai berikut :
(1)
RT 02 RW II terdiri dari 70 KK, terpilih 10 KK sebagai sampel.
(2)
RT 03 RW II terdiri dari 40 KK, terpilih 6 KK sebagai sampel.
(3)
RT 01 RW III terdiri dari 64 KK, terpilih 9 KK sebagai sampel.
(4)
RT 03 RW III terdiri dari 55 KK. Terpilih 8 KK sebagai sampel.
Jadi secara keseluruhan ada 33 KK yang terpilih sebagai sampel.
d) Tahap keempat, membuat sampling frame yang memuat nama-nama
anggota dari 33 KK terpilih yang telah berusia 17 tahun atau sudah /
pernah menikah yang belum berusia 17 tahun. Sehingga terdaftar orang
yang telah berusia 17 tahun atau sudah / pernah menikah sejumlah 88
orang. Selanjutnya diambil sejumlah sampel yang sebenarnya dengan cara
undian.
100
Berikut ini daftar komposisi KK dalam setiap RT sebagai pedoman
dalam langkah pengambilan sampel di atas.
Tabel. 3. 1. Daftar RW, RT, dan KK terpilih di Desa Pekandangan
No.
Nama RW
Nama RT
Jumlah KK
KK
Terpilih
1
RW II
2
RW III
Jml
2 RW
02
03
01
03
4 RT
70 KK
40 KK
64 KK
55 KK
229 KK
10 KK
6 KK
9 KK
8 KK
33 KK
2) Penentuan Besarnya Sampel (Sample Size)
Penentuan besarnya sampel (sample Size) dapat diambil dengan
berbagai pertimbangan-pertimbangan tertentu. Menurut Masri S. dan Sofian E.
(1995:150) ada empat faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan
besarnya sampel dalam suatu penelitian, yaitu :
a) Darajad keseragaman (degree of homogenity) dari populasi. Makin
seragam populasi itu, makin kecil sampel yang diambil.
b) Presisi yang dikehendaki dari penelitian. Makin tinggi tingkat
presisi yang dikehendaki, makin besar jumlah sampel yang harus
diambil.
c) Rencana analisa, jumlah sampel yang akan diambil harus
disesuaikan dengan kebutuhan analisa sehingga diperlukan rencana
analisa.
d) Tenaga, biaya, dan waktu dari peneliti tidak memungkinkan untuk
mengambil sampel yang lebih besar.
Dari pendapat diatas dapat penulis simpulkan bahwa dalam menentukan
besarnya anggota sampel harus mempertimbangkan beberapa faktor tertentu
agar kesimpulan yang berlaku untuk populasi dapat dipertanggungjawabkan.
Mengenai ukuran sampel, pada prinsipnya tidak ada peraturan yang
mutlak. Hal ini dapat dilihat dari beragamnya pendapat para ahli tentang aturan
untuk menentukan besar kecilnya sampel penelitian. Nasution (2004:101)
mengemukakan, ”Tidak ada aturan yang tegas tentang jumlah sampel yang
dipersyaratkan untuk suatu penelitian dari populasi yang tersedia. Juga tidak
101
ada batasan yang jelas apa yang dimaksud dengan sampel yang besar dan yang
kecil”. Jadi peneliti sendirilah yang dapat menentukan besarnya jumlah sampel.
Sedangkan Arline Fink (1995:1) menyatakan, ”A good sample is a miniature
version of the population just lake it, only smaller. The best sample is
representative, or a model, of the population”. Menurutnya, sample yang baik
adalah bentuknya kecil dari populasi, hampir sama seperti populasi tetapi lebih
kecil. Sampel yang baik adalah yang dapat mewakili populasi atau sebagai
model dari populasi.
Penelitian ini menggunakan teknik penarikan sampel secara multistage
random sampling yang membutuhkan beberapa tahapan sebelum mengambil
sampel yang sesungguhnya. Oleh karena itu, peneliti membutuhkan
kecermatan dalam menentukan besarnya sampel yang akan diambil.
Sedangkan rumus yang digunakan untuk menentukan besarnya sampel adalah
rumus Slovin (dalam Bambang P. dan Lina MJ. (2005:136)) sebagai berikut:
n
N
1  Ne 2
Keterangan :
n
= Besaran sampel
N
= Besaran populasi
e
= Nilai kritis (batas ketelitian) yang diinginkan atau persen
kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan penarikan
sampel.
Berdasarkan rumus Slovin, peneliti menghendaki nilai kritis 5%, maka taraf
kepercayaannya 95%. Artinya, kira-kira 5 dari 100 kesimpulan akan menolak
hipotesis yang seharusnya diterima atau kira-kira 95% percaya bahwa
kesimpulan yang kita buat adalah benar. Penghitungan secara rinci sebagai
berikut:
n
88
2
1  880,05
102
n 
88
1,22
n  72,13 (dibulatkan menjadi 72 orang)
Dengan demikian jumlah sampel dalam penelitian ini sebesar 72 orang dengan
besaran populasi 88 orang di Desa Pekandangan, Banjarmangu, Banjarnegara.
3) Alasan Menggunakan Sampling
Teknik sampling merupakan teknik tertentu yang digunakan untuk
mengambil sampel. Sedangkan Husaini Usman (2003:182) menyatakan bahwa
teknik sampling berguna agar :
a) Mereduksi anggota populasi menjadi anggota sampel yang
mewakili populasinya (representatif), sehingga kesimpulan
terhadap populasi dapat dipertanggungjawabkan.
b) Lebih teliti menghitung yang sedikit dari pada yang banyak.
c) Menghemat waktu, tenaga, biaya, menghemat benda coba yang
merusak.
Berdasarkan urain di atas, dalam penelitian ini penulis menggunakan
teknik sampling. Adapun alasan dipilihnya sampling dalam penelitian ini
adalah:
a) Dengan teknik sampling yang baik mungkin akan diperoleh hasil yang
tepat karena penyelidikan dapat dilakukan dengan teliti.
b) Kesalahan yang mungkin diperbuat lebih sedikit.
c) Penghematan biaya, waktu dan tenaga.
Selanjutnya, alasan utama peneliti menggunakan teknik multistage random
sampling dalam penelitian ini ialah:
a) Terbatasnya ketersediaan daftar yang memuat semua unsur atau nama
dalam populasi secara akurat.
b) Teknik multistage random sampling lebih efisien mengingat wilayah
populasi luas dengan jumlah populasi yang cukup besar.
c) Teknik multistage random sampling memudahkan peneliti dalam
mengumpulkan data karena persebaran responden lebih mengelompok.
103
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara-cara yang dapat digunakan
peneliti untuk mendapatkan data yang diperlukan dengan menggunakan alat
tertentu. Data ialah faktor yang sangat penting karena data memuat keteranganketerangan yang diperoleh untuk membuktikan kebenaran hipotesis. Sedangkan
kualitas data ditentukan oleh kualitas alat atau instrumen pengambil data atau alat
pengukurannya. Untuk mendapatkan data yang obyektif dan valid, maka
dibutuhkan suatu teknik pengumpulan data yang tepat sebab kekeliruan dalam
memilih metode pengumpulan data akan menyebabkan hasil penelitian tidak
tepat.
Adapun dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan angket atau
kuesioner sebagai metode utama. Sedangkan wawancara dan dokumentasi
digunakan sebagai metode bantu.
1. Angket
a. Pengertian Angket
Angket merupakan teknik pengumpulan data melalui daftar pertanyaan
yang harus dijawab secara tertulis oleh responden. Angket ini juga bisa disebut
kuosioner. Suharsimi Arikunto (2002:128) berpendapat bahwa “Kuesioner adalah
sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari
responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal-hal yang ia ketahui”.
Dari pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud angket
adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan mengedarkan
serangkaian pertanyaan atau pernyataan tertulis yang diajukan dan harus dijawab
oleh responden guna mendapatkan jawaban atau tanggapan seperlunya.
Penggunaan angket dalam penelitian ini berfungsi untuk mendapatkan informasi
tentang pendidikan, status sosial, dan partisipasi politik.
Angket sering dipakai sebagai alat pengumpul data dalam suatu penelitian.
Hal ini dikarenakan angket memiliki sejumlah keuntungan sebagaimana
diungkapkan oleh Suharsimi Arikunto (2002:129) sebagai berikut :
1) Tidak memerlukan hadirnya peneliti.
104
2) Dapat dibagikan secara serentak kepada responden.
3) Dapat dijawab oleh responden menurut kecepatannya masing-masing,
dan menurut waktu senggang responden.
4) Dapat dibuat anonim sehingga responden bebas jujur dan tidak malumalu dalam menjawab.
5) Dapat dibuat terstandar sehingga bagi semua responden dapat diberi
pertanyaan yang benar-benar sama.
Lebih lanjut Suharsimi Arikunto menyebutkan kekurangan angket yaitu :
1) Responden sering tidak teliti dalam menjawab sehingga ada
pertanyaan yang terlewati tidak dijawab, padahal sukar diulangi
diberikan kembali kepadanya.
2) Sukar dicari kevaliditasannya.
3) Walaupun dibuat anonim, kadang-kadang responden dengan sengaja
memberikan jawaban yang tidak betul atau tidak jujur.
4) Seringkali tidak kembali, terutama jika dikirim lewat pos. Menurut
penelitian, angket yang dikirim lewat pos angka pengembaliannya
sangat rendah, hanya sekitar 20% (Anderson).
5) Waktu pengembaliannya tidak bersama-sama, bahkan kadang-kadang
ada yang terlalu lama sehingga terlambat.
Berpedoman dari beberapa keuntungan dan kekurangan angket, maka
alasan utama peneliti menggunakan angket dalam penelitian ini adalah:
1) Angket dapat disebarluaskan secara serentak kepada responden, dengan
demikian menghemat waktu.
2) Dengan menggunakan angket, responden lebih mudah memberikan jawaban
dan tidak malu-malu dalam menjawab pertanyaan.
3) Penggunaan angket unsur subyektifitas dapat diperkecil kemungkinannya.
b. Jenis-Jenis Angket
Kuesioner atau angket dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Menurut
Suharsimi Arikunto (20002:128-129) angket dibedakan sebagai berikut:
1) Dipandang dari cara menjawab, maka ada :
a) Kuesioner terbuka, yang memberikan kesempatan kepada
responden untuk menjawab dengan kalimatnya sendiri.
b) Kuesioner tertutup, yang sudah disediakan jawabannya sehingga
responden tinggal memilih.
2) Dipandang dari jawaban yang diberikan ada :
a) Kuesioner langsung, yaitu responden menjawab tentang dirinya.
b) Kuesioner tidak langsung, yaitu jika responden menjawab tentang
orang lain.
105
3) Dipandang dari bentuknya maka ada :
a) Kuesioner pilihan ganda, yang dimaksud adalah sama dengan
koesioner tertutup.
b) Kuesioner isian, yang dimaksud adalah kuesioner terbuka.
c) Check list, sebuah daftar, dimana responden tinggal membubuhkan
tanda chek (v) pada klom yang sesuai.
d) Rating scale (skala bertingkat) yaitu sebuah pertanyaan diikuti oleh
kolom-kolom yang menunjukkan tingkat-tingkatan misalnya:
mulai dari sangat setuju sampai ke sangat tidak setuju.
Angket yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya sebagai berikut:
1) Berdasarkan cara menjawabnya, angket yang digunakan dalam penelitian ini
ialah angket setengah terbuka dan angket tertutup.
Sudarwan Danim (1997:173) mengemukakan ”Pertanyaan setengah
berstruktur atau setengah terbuka, di mana dalam setiap pertanyaan atau
pernyataan yang ada pada kuosioner disertai alternatif atau kategori jawaban,
akan tetapi tidak tuntas”. Artinya peneliti berusaha secara maksimal
menentukan alternatif jawaban, akan tetapi masih memberikan peluang kepada
responden untuk membuat kategori atau alternatif jawaban lain, sesuai apa
yang ada pada dirinya. Adapun alasan penggunaan pertanyaan setengah
terbuka ialah memberi keleluasaan pada responden untuk menentukan
kategori / alternatif jawaban yang benar-benar sesuai dengannya. Angket ini
digunakan dalam beberapa item soal variabel pendidikan dan status sosial.
Penelitian ini juga menggunakan angket tertutup. Angket ini dibuat
sedemikian rupa untuk memperoleh data dimana semua alternatif jawaban
yang harus dijawab oleh responden telah tertera dalam angket tersebut.
Dengan demikian responden boleh memilih jawaban yang paling sesuai
dengan keadaan masing-masing. Sedangkan alasan digunakannya angket
tertutup dalam penelitian ini antara lain hasil atau datanya mudah diolah,
memudahkan responden dalam menjawab, dan memungkinkan angket tersebut
untuk diisi oleh responden. Hal ini sejalan dengan pendapat Nasution
(2004:131) yang menyatakan beberapa keuntungan angket tertutup sebagai
berikut :
1) Hasilnya mudah diolah, diberi kode dan diskor, bahkan dapat diolah
dengan menggunakan komputer.
106
2) Responden tidak perlu menulis atau mengekspresikan buah pikirannya
dalam bentuk tulisan.
3) Mengisi angket relatif tidak banyak memerlukan waktu dibandingkan
dengan angket terbuka.
4) Lebih besar harapan bahwa angket itu diisi dan dikembangkan bila
angket itu tertutup.
Angket tertutup digunakan pada sebagian besar item soal angket status sosial
dan dipakai secara keseluruhan pada item soal angket partisipasi politik.
2) Berdasarkan jawaban yang diberikan, penelitian ini menggunakan angket
langsung. Angket langsung bertujuan untuk memperoleh data tentang keadaan
yang dialami oleh responden sendiri.
3) Berdasarkan bentuknya, penelitian ini menggunakan angket pilihan ganda.
Angket yang berbentuk pilihan ganda dipakai pada angket status sosial dan
pada angket partisipasi politik.
c. Langkah-langkah Menyusun Angket
Dalam penyusunan angket ada beberapa tahapan yang harus dilalui oleh
peneliti agar angket sesuai dengan tujuan yang dikehendaki dalam penelitian.
Adapun langkah-langkah yang dimaksud meliputi :
1) Spesifikasi data
Spesifikasi data dilaksanakan dengan menyusun kisi-kisi angket terlebih
dahulu yang terdiri dari :
a) Menentukan konsep tentang pendidikan, status sosial, dan partisipasi
politik.
b) Menentukan aspek yang akan diukur dari variabel pendidikan, status sosial
dan partisipasi politik.
c) Menyusun butir-butir soal.
2) Pemberian skor angket
Pemberian skor pada angket variabel pendidikan disesuaikan dengan
jumlah tahun studi yang ditempuh responden, sebagai berikut:
a) Tidak sekolah
: nilai 0
b) SD dan sederajad sampai kelas I
: nilai 1
c) SD dan sederajad sampai kelas II
: nilai 2
107
d) SD dan sederajad sampai kelas III
: nilai 3
e) SD dan sederajad sampai kelas IV
: nilai 4
f) SD dan sederajad sampai kelas V
: nilai 5
g) SD dan sederajad sampai kelas VI / lulus
: nilai 6
h) SMP dan sederajad sampai kelas VII
: nilai 7
i) SMP dan sederajad sampai kelas VIII
: nilai 8
j) SMP dan sederajad sampai kelas IX / lulus : nilai 9
k) SMA dan sederajad sampai kelas X
: nilai 10
l) SMA dan sederajad sampai kelas XI
: nilai 11
m) SMA dan sederajad sampai kelas XII / lulus : nilai 12
n) D1 atau S1 tingkat 1
: nilai 13
o) D2 atau S1 tingkat 2
: nilai 14
p) D3 atau S1 tingkat 3
: nilai 15
q) S1 tingkat 4
: nilai 16
r) S2 tingkat 1
: nilai 17
s) S2 tingkat 2
: nilai 18
t) S3 tingkat 1
: nilai 19
u) S3 tingkat 2
: nilai 20
Pemberian skor pada angket status sosial menyesuaikan bagaimana
cara responden menjawab, dengan perincian sebagai berikut:
a) Untuk pertanyaan stengah terbuka, alternatif jawaban berjumlah 4 dan
salah satu diantaranya dapat diisi responden sehingga pemberian skor
mengacu pada skala 1 sampai 4 atau membuat penskoran sesuai jawaban
yang diberikan responden.
b) Untuk pertanyaan tertutup, alternatif jawaban ada 4 dengan penskoran
sebagai berikut:
Alternatif jawaban a
: nilai 4
Alternatif jawaban b
: nilai 3
Alternatif jawaban c
: nilai 2
Alternatif jawaban d
: nilai 1
108
c) Pada bebrapa pertanyaan tertentu, penskoran dilakukan jika responden
memilih lebih banyak alternatif yang disediakan maka lebih tinggi
nilainya, sebaliknya jika responden memilih sedikit alternatif yang tersedia
maka nilainya lebih rendah.
Adapun penskoran pada angket partisipasi politik sama dengan
penskoran pada bentuk pertanyaan tertutup angket status sosial yaitu
menggunakan skala penilaian numerik. Menurut Consuelo (1993:216)
”Responden diminta memilih satu di antara beberapa kategori dari soal yang
hampir memiliki karakteristik sama atau objek yang akan dinilai”. Lebih lanjut
Consuelo menjelaskan bahwa skala penilaian numerik terdapat alternatif
jawaban sebanyak 5 kategori dengan jarak dari ”Selalu”, ”Sering”, ”Kadangkadang”, ”Jarang”, ”Tidak pernah” yang masing-masing secara berurutan
memiliki skor 5, 4, 3, 2, dan 1. Sedangkan dalam instrumen ini hanya tersedia
4 alternatif jawaban dengan asumsi statmen ”Kadang-kadang” dihilangkan
dengan alasan bahwa statmen tersebut menimbulkan keraguan bagi responden.
Jadi dalam menjawab pertanyaan angket partisipasi politik, responden
memilih 1 dari 4 alternatif jawaban yang sesuai dengan keadaan sesungguhnya
dengan cara memberikan tanda silang (X) pada alternatif jawaban berikut:
Alternatif jawaban a
: nilai 4
Alternatif jawaban b
: nilai 3
Alternatif jawaban c
: nilai 2
Alternatif jawaban d
: niali 1
3) Membuat format angket dan petunjuk pengisian
Pedoman atau petunjuk pengisian angket merupakan suatu keterangan tentang
cara
mengisi angket. Dengan adanya petunjuk pengisian diharapkan
responden tidak mengalami keraguan dan kesalahan dalam mengisi angket .
4) Membuat surat pengantar
Surat pengantar memuat suatu permohonan dalam mengisi angket, maksud
pengisian dan ucapan terima kasih. Dengan demikian diharapkan responden
berkesediaan untuk mengisi angket dalam waktu yang telah ditentukan.
109
5) Mengadakan uji coba (try out) angket
Angket yang telah selesai disusun sebelum diedarkan kepada responden
yang sebenarnya harus diuji coba terlebih dahulu. Tujuan uji coba angket ialah
untuk mendapatkan gambaran mengenai validitas dan reliabilitas angket.
Keduanya ialah syarat pokok mendapatkan alat pengumpul data yang baik.
Uji coba angket dalam penelitian ini dilakukan terhadap 30 orang warga
masyarakat yang telah dianggap dewasa secara hukum yaitu yang sudah
berumur 17 tahun, atau sudah / pernah menikah di Desa Pekandangan,
Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara dan tidak termasuk anggota sampel
penelitian. Jadi uji coba dilakukan terhadap responden yang masih dalam satu
populasi tetapi tidak termasuk sampel penelitian. Adapun maksud peneliti
mengadakan try out angket adalah:
a) Menghindari pertanyaan-pertanyaan yang bermakna ganda dan tidak jelas.
b) Menghindari pertanyaan-pertanyaan yang sebenarnya tidak diperlukan.
c) Menghindari kata-kata yang kurang dimengerti atau dipahami responden.
d) Mengilangkan item-item yang dianggap tidak relevan dengan penelitian.
Selain beberapa maksud diatas, try out dilakukan untuk mengetahui
kelemahan angket yang disebarkan kepada responden dan untuk mengetahui
sejauh mana responden mengalami kesulitan dalam menjawab pertanyaan
tersebut. Try out juga dilakukan untuk mengetahui apakah angket tersebut
memenuhi syarat validitas dan reliabilitas. Oleh karena itu, perlu diadakan uji
validitas dan uji reliabilitas. Tahap-tahap pengujian angket sebagai berikut:
a) Uji validitas angket
Uji validitas angket atau instrumen dilakukan guna mengetahui
sejauh mana instrumen mampu mengukur apa yang hendak diukur.
Saifuddin Azwar (2001:5-6) menyatakan, ”Validitas berasal dari kata
validity yang mempunyai arti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu
alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya”. Suatu instrumen yang valid
mempunyai validitas yang tinggi, sebaliknya instrumen yang kurang valid
mempunyai validitas rendah. Instrumen dikatakan mempunyai validitas
tinggi jika instrumen tersebut dapat menjalankan fungsi ukurnya, atau
110
memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya
pengukuran tersebut. Sedangkan instrumen yang memiliki validitas rendah
jika instrumen tersebut menghasilkan data yang tidak relevan dengan
tujuan pengukuran.
Menurut Saifuddin Azwar (2000:45) macam-macam validitas
meliputi:
(1) Validitas isi
Validitas isi merupakan validitas yang diestimasi lewat pengujian
terhadap isi tes dengan analisis rasional. Pertanyaan yang dicari
jawabannya dalam validitas ini adalah sejauhmana item-item dalam tes
mencakup keseluruhan kawasan isi objek yang hendak diukur atau
sejauhmana isi tes mencerminkan ciri atribut yang hendak diukur.
Validitas isi terbagi menjadi dua tipe, yaitu:
(a) Validitas Muka
Validitas muka adalah tipe validitas yang paling rendah
signifikansinya karena hanya didasarkan pada penilaian terhadap
format penempilan (appearance) tes. Apabila penampilan tes telah
meyakinkan dan memberikan kesan mampu mengungkap apa yang
hendak diukur maka dapat dikatakan validitas muka terpenuhi.
(b) Validitas Logik
Validitas logik disebut juga sebagai validitas sampling ( sampling
validity). Validitas tipe ini menunjuk pada sejauhmana isi tes
merupakan representasi dari ciri-ciri atribut yang hendak diukur.
(2) Validitas Konstruk
Validitas konstruk adalah tipe validitas yang menunjukan sejauhmana
tes mengungkap suatu trait atau konstruk teoritik yang hendak
diukurnya. Pengujian validitas konstruk merupakan proses yang terus
berlanjut sejalan dengan perkembangan mengenai trait yang diukur.
(3) Validitas Berdasar Kriteria
Prosedur
pendekatan
validitas
berdasar
kriteria
menghendaki
tersedianya kriteria eksternal yang dapat dijadikan dasar pengujian
111
skor tes. Untuk melihat tingginya validitas berdasar kriteria dilakukan
komputasi korelasi antara skor tes dengan skor kriteria. Validitas
berdasar kriteria menghasilkan dua macam validitas, yaitu:
(a) Validitas Prediktif
Validitas prediktif sangat penting artinya bila tes dimaksudkan
untuk berfungsi sebagai prediktor bagi performasi di waktu
mendatang.
(b) Validitas Konkruen
Validitas konkruen merupakan indikasi validitas yang layak
ditegakkan apabila tes tidak digunakan sebagai suatu prediktor dan
merupakan validitas yang sangat penting dalam situasi diagnostik.
Validitas yang dicari dalam uji coba penelitian ini adalah validitas
konstruk, yaitu menunjuk pada seberapa jauh suatu intrumen mengukur
suatu konstruk tertentu. Dalam penelitian ini, angket bertujuan
mengungkapkan suatu konstruk teoritik yang hendak diukur. Butir
pertanyaan disusun berdasarkan teori-teori yang relevan dan pengujian
dilakukan dengan menggunakan teknik analisis statistika. Alasan lain
digunakannya validitas konstruk ialah karena variabel status sosial dan
variabel partisipasi politik didefinisikan secara oprasional dari beberapa
teori.
Uji validitas konstruk digunakan pada angket variabel status sosial
dan partisipasi politik. Sedangkan angket variabel pendidikan tidak diuji
validitas maupun reliabilitasnya karena berupa data tunggal. Setiap data
yang diperoleh dari angket variabel pendidikan merupakan data apa
adanya yang dapat dibedakan dengan jelas antara satu dengan lainnya.
Misal, seseorang yang pendidikannya sampai kelas VI SD lama
pendidikannya jelas 6 tahun, maka akan mudah dibedakan dengan
seseorang yang pendidikannya sampai kelas 1X SMP lama pendidikannya
9 tahun. Dengan demikian, angket variabel pendidikan tidak memerlukan
uji validitas dan reliabilitas sebagaimana pada angket variabel status sosial
dan partisipasi politik.
112
Teknik validitas meliputi beberapa langkah yaitu :
(1)
Langkah pertama: mendefinisikan oprasional konsep yang diukur.
(2)
Langkah kedua: melakukan uji coba skala pengukuran tersebut pada
sejumlah responden.
(3)
Langkah kedua: mempersiapkan tabel tabulasi jawaban.
(4)
Langkah keempat: menghitung korelasi antara skor per item dengan
skor total dengan menggunakan rumus korelasi product moment.
Uji validitas item angket menggunakan rumus korelasi product
moment dari Pearson dalam Suharsimi Arikunto (2002:146) yaitu:
r xy =
N  XY   X  Y 
N  X
2

  X  N  Y 2   Y 
2
2

Keterangan :
r xy
= koefisien korelasi antara x dan y
X
= jumlah skor butir angket variabel X
Y
= jumalah skor butir angket variabel Y
N
= jumlah subyek uji coba
Jika p item < 0,050 maka dapat disimpulkan kriteria pengujian valid,
sebaliknya jika p item > 0,050 maka kriteria pengujian tidak valid.
Berdasarkan hasil penghitungan validitas item try out melalui komputer paket
seri program statistik (SPS) 2000 program uji kesahihan butir edisi Sutrisno
Hadi dan Yuni Pamardiningsih maka didapatkan hasil sebagai berikut :
a. Variabel Status Sosial (X2)
1) Jumlah item yang diujicobakan terdiri dari 40 item pertanyaan.
2) Jumlah item yang dinyatakan valid atau sahih sebanyak 30 butir, yaitu
nomor : 1, 2, 3, 4, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 20, 21, 22,
23, 24, 25, 27, 28, 31, 34, 36, 37, 38, 39. Keseluruhan item tersebut
valid karena masing-masing item memiliki p < 0,050.
3) Jumlah item yang dinyatakan invalid atau gugur sebanyak 10 butir,
yaitu nomor : 5, 7, 19, 26, 29, 30, 32, 33, 35, 40. Keseluruhan item
tersebut tidak valid karena masing-masing item memiliki p > 0,050.
113
Angket variabel Status Sosial yang diujicobakan memiliki koefisien
validitas (rbt) berkisar antara 0,856 sampai -0,059.
b. Variabel Partisipasi Politik (Y)
1) Jumlah item yang diujicobakan terdiri dari 50 item pertanyaan.
2) Jumlah item yang dinyatakan valid atau sahih sebanyak 40 butir, yaitu
nomor : 1, 2, 3, 5, 6, 7, 9, 10, 12,13, 14, 15, 17,18,19, 20, 21, 23,24,
25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 35, 36, 38, 39, 40, 41, 43, 44, 46, 48,
49, 50. Keseluruhan item tersebut valid karena masing-masing item
memiliki p < 0,050.
3) Jumlah item yang dinyatakan gugur atau gugur sebanyak 10 butir,
yaitu nomor : 4, 8, 11, 16, 22, 34, 37, 42, 45, 47. Keseluruhan item
tersebut tidak valid karena masing-masing item memiliki p > 0,050.
Angket variabel Partisipasi Politik memiliki koefisien validitas (rbt)
berkisar antara 0,771 sampai -0,003.
b) Uji Reliabilitas angket
Reliabilitas
diungkapkan
oleh
memiliki
Saifuddin
berbagai
nama,
Azwar
(2001:4)
sebagaimana
yaitu
yang
”Reliabilitas
mempunyai berbagai nama lain seperti keterpercayaan, keterandalan,
keajegan, kestabilan, konsistensi, dan sebagainya, namun ide pokok yang
terkandung dalam konsep reliabilitas adalah sejauhmana hasil suatu
pengukuran dapat dipercaya”. Jadi suatu instrumen dapat dikatakan
mempunyai taraf kepercayaan yang tinggi atau reliabel jika dapat
memberikan hasil yang relatif tetap apabila alat ukur tersebut dikenakan
pada subyek yang sama. Hal ini senada dengan pendapat Nasution
(2004:77) yang menyatakan ”Suatu alat pengukur dikatakan reliabel bila
alat itu dalam mengukur suatu gejala pada waktu yang berlainan
senantiasa menunjukkan hasil yang sama”.
Penghitungan terhadap tingginya reliabilitas dapat dilakukan
melalui berbagai metode pendekatan. Ada tiga macam pendekatan
reliabilitas sebagaimana diungkapkan oleh Saifuddin Azwar (2001:36)
yaitu ”pendekatan tes-ulang (test-retest), pendekatan bentuk paralel
114
(paralel-forms),
dan
pendekatan
konsistensi
internal
(internal
consistency)”. Penjelasan dari masing-masing realibilitas di atas yaitu:
(1) Reliabilitas tes-ulang (test-retest)
Reliabilitas tes-ulang dilakukan dengan menyajikan tes dua kali pada
suatu kelompok subjek dengan tenggang waktu diantara kedua
penyajian tersebut. Suatu tes dikatakan reliabel bila menghasilkan skor
yang relatif sama apabila dikenakan dua kali tes pada waktu yang
berbeda. Semakin besar variasi perbedaan skor subjek antara kedua
pengenaan itu berarti semakin sulit untuk mempercayai bahwa tes itu
memberikan hasil ukur yang konsisten.
(2) Reliabilitas bentuk paralel (paralel-forms)
Dalam reliabilitas
bentuk
paralel, tes
yang akan diestimasi
reliabilitasnya harus ada paralelnya yaitu tes lain yang sama tujuan
ukurnya dan setara isi itemnya baik secara kualitas maupun
kuantitasnya. Dengan kata lain, perlu punya dua tes yang kembar.
(3) Reliabilitas konsistensi internal (internal consistency)
Reliabilitas konsistensi internal dilakukan dengan menggunakan satu
bentuk tes yang dikenakan hanya sekali saja pada sekelompok subjek.
Pendekatan
reliabilitas
konsistensi
internal
bertujuan
melihat
konsistensi antar item atau antar bagian dalam tes itu sendiri. Untuk
itu, setelah skor setiap item diperoleh dari sekelompok subjek, tes
dibagi menjadi beberapa belahan.
Berdasarkan uraian diatas maka teknik pengukuran reliabilitas
dalam penelitian ini menggunakan pendekatan reliabilitas konsistensi
internal dengan teknik belah dua, dimana skor dibagi menjadi dua yaitu
ganjil dan genap. Selanjutnya jumlah total belahan pertama dan belahan
kedua akan dikorelasikan untuk mengetahui realibilitas angket. Sedangkan
alasan dipakainya realibilitas konsistensi internal karena bertujuan untuk
mengukur variabel yang sama pada waktu yang sama dan untuk melihat
konsistensi antar item dalam tes itu sendiri. Uji relibilitas digunakan pada
angket variabel status sosial dan variabel partisipasi politik. Sedangkan
115
angket variabel pendidikan tidak diuji reliabilitasnya karena berupa data
tunggal.
Untuk uji reliabilitas item angket digunakan rumus Alpha dalam
Suarsimi Arikunto (2002 :171) sebagai berikut :


k
r 11 = 
 1 
 k  1  



2
b
2
t




Keterangan :
r 11
= koefisien reliabilitas instrumen
k
= banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal
  b2
= jumlah varians butir
 t2
= varians total
Instrumen dikatakan reliabel jika p < 0,050, sebaliknya jika p > 0,050
maka dapat disimpulkan hasil pengukuran tersebut tidak reliabel. Berdasarkan
hasil uji keandalan teknik alpha cronbach melalui komputer paket seri
program statistik (SPS) 2000 edisi Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih
dapat diketahui koefisien reliabilitas (rtt) masing-masing variabel sebagai
berikut:
a. Variabel Status Sosial (X2)
Variabel Status Sosial (X2) menghasilkan koefisien reliabilitas instrumen
(rtt) = 0,927 dan p = 0,000, berarti angket variabel tersebut memiliki
reliabilitas yang hadal.
b. Variabel Partisipasi Politik (Y)
Variabel Partisipasi Politik (Y) menghasilkan koefisien reliabilitas (rtt) =
0,954 dan p = 0,000, berarti angket variabel tersebut memiliki reliabilitas
yang hadal.
Berdasarkan hasil perhitungan uji reliabilitas try out angket dapat disimpulkan
bahwa reliabilitas kedua angket diterima dengan taraf signifikansi 5% karena
p < 0,050 atau 0,000 < 0,050.
116
6) Perbaikan angket
Perbaikan angket dilakukan setelah diketahui validitas dan reliabilitasnya.
Langkah perbaikan atau revisi dengan cara menghilangkan atau mengedrop
item-item pertanyaan yang tidak valid atau tidak reliabel. Sedangkan angket
yang akan digunakan dalam penelitian ialah angket yang valid dan reliabel.
7) Memperbanyak angket
Angket yang telah direvisi dan telah diyakini valid dan reliabel kemudian
diperbanyak sesuai dengan jumlah responden yang dijadikan sampel. Angket
siap untuk disebarkan kepada responden.
8) Langkah terakhir adalah menggunakan angket dan telah mendapatkan umpan
balik dari responden sebagai alat pengumpul data yang kemudian dianalisis.
2. Dokumentasi
Pengumpulan data dalam penelitian ini selain menggunakan metode
angket juga menggunakan metode dokumentasi. Menurut Suharsimi Arikunto
(2002:206) ”Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau
variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen, rapat, legger, agenda dan sebagainya”. Sedangkan menurut Hadari
Nawawi (1991:95) mengemukakan tentang pengertian teknik dokumentasi yaitu
”Cara mengumpulkan data yang dilakukan dengan kategorisasi dan klasifikasi
bahan-bahan tertulis yang berhubungan dengan masalah penelitian, baik dari
sumber dokumen maupun buku-buku, koran, majalah dan lain-lain”.
Berdasarkan pendapat kedua ahli diatas tentang metode atau teknik
dokumentasi, maka dapat disimpulkan bahwa metode dokumentasi adalah cara
mengumpulkan data yang diperlukan dalam penelitian dengan mencatat data-data
yang sudah ada atau hal-hal yang berkaitan dengan penelitian. Adapun alasan
peneliti menggunakan metode dokumentasi adalah :
a. Sumber data bisa diperoleh dengan mudah sebab datanya sudah tersedia.
b. Dalam waktu relatif singkat dapat diperoleh data yang diinginkan.
c. Data dapat ditinjau kembali jika diperlukan.
117
Dalam penelitian ini dokumen yang digunakan adalah dokumen
pemerintahan desa yang berupa data-data monografi desa seperti data tentang
jumlah penduduk, nama kepala keluarga, dan data kegiatan politik yang
berlangsung di desa.
3. Wawancara (Interviu)
Menurut Sutrisno Hadi (2000:193) ”Interviu dapat dipandang sebagai
metde pengumpulan data dengan jalan tanya jawab yang dikerjakan dengan
sistematik dan berlandaskan kepada tujuan penelitian”. Wawancara atau interviu
dilakukan untuk memperoleh data dengan cara tanya jawab anatara pewawancara
dengan responden yang diwawancarai.
Dalam penelitian ini metode wawancara merupakan teknik pelengkap
yang digunakan untuk memperoleh informasi yang tidak dapat diperoleh melalui
angket. Wawancara ditujukan kepada perangkat desa untuk memperoleh data
mengenai kegiatan politik yang berlangsung di desa. Metode wawancara juga
ditujukan kepada masyarakat, untuk menghindari responden yang tidak dapat
membaca. Pelaksanaan metode wawancara dalam penelitian ini menggunakan
pedoman (guide) angket.
F. Teknik Analisis Data
Apabila pengumpulan data telah selesai, maka data tersebut perlu
dianalisis dalam rangka menguji kebenaran hipotesis dan juga untuk memperoleh
suatu kesimpulan. Masri Singarimbun dan Sofian Effendi (1995:263) menyatakan,
”Analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih
mudah dibaca dan diinterpretasikan”. Teknik analisis data merupakan tahapan
penting dalam suatu penelitian. Selain itu, teknik analisis data juga merupakan
cara yang digunakan dalam mengolah data dan menganalisa data yang telah
terkumpul dalam penelitian untuk membutikan hipotesis yang telah ditentukan.
Pada tahap inilah data dikerjakan, diolah dan dimanfaatkan sedemikian rupa
sehingga berhasil menyimpulkan kebenaran yang dapat dipakai untuk menjawab
118
persoalan-persoalan yang diajukan dalam suatu penelitian. Menurut Suharsimi
Arikunto (2002:209) secara garis besar ada tiga langkah dalam analisis data yaitu:
1. Persiapan
2. Tabulasi
3. Penerapan data sesuai dengan pendekatan penelitian
Berpedoman dari pendapat Suharsimi Arikunto diatas, maka tahap-tahap
yang dilakukan dalam pelaksanaan analisis data penelitian ini sebagai berikut:
1. Tahap persiapan
Dalam tahap persiapan meliputi kegiatan pengecekan nama dan
kelengkapan identitas pengisi, mengecek kelengkapan data, dan mengecek
macam isian data. Apa yang dilakukan dalam tahap persiapan ini adalah
memilih data sedemikian rupa sehingga hanya data yang terpakai saja yang
tinggal. Tahap ini juga bermaksud untuk merapikan data sehingga tinggal
mengadakan pengolahan lebih lanjut.
2. Tahap tabulasi data
Kegiatan yang dilakukan pada tahap tabulasi antara lain berupa kegiatan
menyusun data ke dalam tabel-tabel untuk memudahkan dalam perhitungan.
Tabulasi data juga dapat dilakukan dengan memberikan kode atau koding
dalam hubungannya dengan pengolahan data yang menggunakan komputer.
3. Tahap penerapan data sesuai dengan pendekatan penelitian
Maksud dari penerapan data yaitu pengolahan data yang diperoleh
dengan menggunakan rumus atau aturan yang ada, sesuai dengan pendekatan
penelitian yang diambil. Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi
ganda. Suharsimi Arikunto (2002:264) menyatakan, ”Regresi ganda (multipe
regression) adalah suatu perluasan dari teknik regresi apabila terdapat lebih
dari satu variabel bebas untuk mengadakan prediksi terhadap variabel terikat”.
Sejalan dengan pendapat tersebut, Anto Dajan (1995:399) mengemukakan
”Teknik regresi berganda sebetulnya dipakai guna menggambarkan betapa
suatu variabel dependen dihubungkan dengan 2 atau lebih dari dua variabel
independen”.
119
Adapun alasan peneliti menggunakan teknik analisis regresi ganda dalam
penelitian ini ialah :
a. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel prediktor dan satu variabel
kriterium, yaitu :
1) Variabel terikat (dependen / kriterium)
: partisipasi politik
2) Variabel bebas (independen / prediktor) : pendidikan dan status sosial
b. Permasalahan yang hendak diselesaikan dalam penelitian ini ialah mencari
hubungan dan menentukan besar sumbangan atau kontribusi.
Pengolahan data dilakukan dengan teknik analisis regresi ganda
menggunakan bantuan komputer seri SPS 2000, edisi Sutrisno Hadi dan Yuni
Pamardiningsih, UGM Versi IBM/IN. Sesuai dengan tenik yang digunakan,
maka dalam mengadakan analisis data, peneliti berpedoman pada kaidahkaidah berikut ini:
Kaidah uji hipotesis via komputer sebagai berikut :
Jika p (probabilitas) < 0,01
= sangat signifikan.
Jika p (probabilitas) < 0,05
= signifikan
Jika p (probabilitas) < 0,15
= cukup signifikan
Jika p (probabilitas) < 0,30
= kurang signifikan
Jika p (probabilitas) > 0,30
= tidak signifikan
Kaidah uji normalitas menggunakan p > 0.05 = normal
Kaidah uji hipotesis konvensional (menggunakan tabel signifikansi) :
Jika p < 0,01
= sangat signifikikan
Jika p < 0,05
= signifikan
Jika p < 0,15
= tidak signifikan
Untuk uji butir tes memakai signifikansi p < 0,05.
Berdasarkan uraian di atas maka prosedur analisis data dalam penelitian
ini meliputi:
1. Uji Persyaratan Analisis
Anto Dajan (1995:399) mengemukakan bahwa dalam menggunakan
analisis regresi ganda didasarkan pada tiga asumsi yaitu:
a. Distribusi probabilitas bersyarat variabel dependen bagi serangkaian
variabel independen mengikuti pola normal atau kurang lebih normal.
b. Distribusi bersyarat variabel dependen bagi tiap kombinasi variabel
independen memiliki varians yang sama.
c. Nilai-nilai variabel dependen harus independen satu dengan lainnya.
120
Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam menggunakan
teknik analisis regresi ganda harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Sampel harus diambil dari populasi yang berdistribusi normal.
b. Hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen linier.
c. Hubungan antar varaiabel dependen (pendidikan dan status sosial) tidak
terjadi korelasi.
Sebelum melakukan analisis data dengan analisis regresi ganda terlebih
dahulu dilakukan persyaratan analisis yang meliputi uji berikut ini:
a. Uji Normalitas
Uji normalitas dimaksudkan untuk mengetahui apakah data yang didapat
berdistribusi normal. Untuk menguji normalitas data digunakan rumus Chi
Kuadrat dalam Sutrisno Hadi (1995:346) dengan rumus sebagai berikut:
X2 =

( fo  fh )2
fh
Keterangan :
X2
= Chi kuadrat
fo
= Frekuensi yang diobservasi
fh
= Frekuensi yang diharapkan
Berdasarkan kaidah uji normalitas Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih
Versi : IBM/IN adalah jika p > 0, 050 maka sebarannya normal dan jika p <
0,050 maka sebarannya tidak normal.
b. Uji Linieritas
Uji linieritas digunakan untuk mengetahui hubungan yang linier antara
masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat yaitu antara X1 dengan
Y dan antara X2 dengan Y. Uji linieritas dilakukan dengan mengunakan rumus
dari Sudjana (1996:332) sebagai berikut:
a. JK (G)
=
X
1

 Y


b. JK (TC)
= JK (S) – JK (G)
c. dK(G)
=N–K
 Y 
2
2

N




121
d. dK (TC)
=k–2
e. RJK (TC)
= JK (TC )
f. RJK (G)
=
g. F hitung
=
dk (TC )
JK (G )
dk (G )
RJK (TC )
RJK (G )
Keterangan :
JK (G)
= Jumlah Kuadrat Galat
JK (TC)
= Jumlah Kuadrat Tuna Cocok
dK (G)
= Derajat Kebebasan Galat
dK (TC)
= Derajat Kebebasan Tuna Cocok
RJK (G)
= Kuadrat Tengah Galat
RJK (TC)
= Kuadrat Tengah Tuna Cocok
Berdasarkan kaidah uji linieritas Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih versi
IBM/IN adalah jika p > 0,050 maka korelasinya linier dan jika p < 0,050 maka
korelasinya tidak linier.
2. Pengujian Hipotesis
Secara umum tugas pokok analisis regresi ganda menurut Sutrisno Hadi
(1995:2) yaitu:
a.
b.
c.
d.
Mencari korelasi antara kriterium dengan prediktor.
Menguji apakah korelasi itu signifikan ataukah tidak.
Mencari persamaan garis regresinya.
Menemukan sumbangan relatif antara sesama prediktor, jika
prediktornya lebih dari satu.
Langkah pengujian hipotesis dalam penelitian dilakukan sebagai berikut:
a. Mencari korelasi antara kriterium dengan prediktor.
1) Menghitung koefisien korelasi sederhana antara X1 dengan Y, digunakan
rumus :
ry1
=
N  X 1Y   X 1  Y 
N  X
2
1
  X 1 
2
N  Y
2
  Y 
2

122
2) Menghitung koefisien korelasi sederhana antara X2 dengan Y, digunakan
rumus :
ry 2
N  X 2Y   X 2 Y 
N  X
=
2
2
  X 2 
2
N Y
2
2
  Y 
2

(Sudjana 1996: 369)
3) Menentukan koefisien korelasi antara X1, X2 dengan Y, digunakan rumus :
R y (1, 2 ) 
a1
 X 1Y  a 2  X 2Y
Y 2
Keterangan :
Ry(1,2)
= Koefisien korelasi antara Y dengan X 1 dan X 2
a1
= Koefisien prediktor X 1
a2
= Koefisien prediktor X 2
X1 Y
= Jumlah produk antara X1 dan Y
X2 Y
= Jumlah produk antara X2 dan Y
 Y2
= Jumlah kuadrat kriterium Y
(Sutrisno Hadi, 1995:25)
Berdasarkan kaidah uji hipotesis Sutrisno Hadi dan Yuni P. versi IBM/IN
adalah jika p < 0,01 : sangat signifikan, p < 0,05 : signifikan,
p < 0,15 :
cukup signifikan, p < 0, 030 : kurang signifikan, p > 0,030 : tidak signifikan.
b. Uji Signifikansi antara Kriterium dan Prediktor-Prediktornya
Uji Signifikansi dimaksudkan untuk meyakinkan apakah regresi
berbentuk linier yang didapat untuk membuat kesimpulan mengenai pertautan
sejumlah variabel yang sedang dipelajari. Untuk menganalisis Ry(1,2)
signifikan atau tidak, digunakan rumus sebagai berikut :
F=
R2 k
1  R 2 / n  k  1


Keterangan :
F
= Harga F garis regresi
123
n
= Jumlah sampel
k
= Jumlah variabel bebas
R2
= Koefisien korelasi antara kriterium dengan prediktorprediktornya.
(Sudjana, 1996:108)
Hasil perhitungan tersebut kemudian disesuaikan dengan tabel F,
sehingga diperoleh Ftabel atau Tt. Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan
bahwa Fhitung > Ftabel maka hipotesis dapat diterima kebenarannya tetapi jika
Fhitung < Ftabel maka hipotesis tidak dapat diterima.
c. Sumbangan Relatif
Untuk mengitung besarnya sumbangan relatif X 1 dan X 2 terhadap Y
digunakan rumus sebagai berikut :
SR X 1 % =
a1  X 1Y
JK reg
a2  X 2Y
SR X 2 % =
JK reg
x100%
x100%
Keterangan :
SR X 1 %
= Sumbangan relatif prediktor X1 terhadap Y
SR X 2 %
= Sumbangan relatif prediktor X2 terhadap Y
JKreg
= Jumlah kuadrat regresi
(Sutrisno Hadi, 1995:45)
d. Sumbangan Efektif
Untuk menghitung besarnya sumbangan efektif X 1 dan X 2 terhadap
Y, digunakan rumus sebagai berikut :
R2=SE =
JK reg
JK T
x100%
1) Mencari sumbangan efektif X 1 terhadap Y menggunakan rumus sebagai
berikut :
SE% X 1 = SR% X 1 xR2
124
2) Mencari sumbangan efektif X 2 terhadap Y menggunakan rumus sebagai
berikut :
SE% X 2  SR% X 2 xR2
3) Mencari sumbangan efektif X1 dan X2 terhadap Y menggunakan rumus
sebagai berikut :
SE% X 1 X2 = SE% X 1 + SE% X2
Keterangan :
SE% X 1
= Sumbangan efektif X1 terhadap Y
SE% X2
= Sumbangan efektif X2 terhadap Y
SE% X 1 X2
= Sumbangan efektif X1 dan X2 terhadap Y
R 2 = SE adalah efektifitas garis regresi
(Sutrisno Hadi, 1995: 45)
125
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data
1. Deskripsi Wilayah Penelitian
a. Keadaan Geografis
Desa Pekandangan merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Banjarmangu, Kabupaten Banjarnegara, Propinsi Jawa Tengah. Tepatnya berada
pada jarak 11 km dari Kabupaten Banjarnegara. Letak Desa Pekandangan dibatasi
oleh sebuah gunung dan beberapa desa yang berada di sekitarnya. Adapun batasbatas Desa Pekandangan adalah sebagai berikut:
1) Sebelah Utara berbatasan dengan Gunung Pawinihan
2) Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sigeblog
3) Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Kendaga
4) Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Beji
Secara administratif Desa Pekandangan terbagi dalam 2 Dusun yang terdiri
dari 3 RW (Rukun Warga) yang selanjutnya terbagai dalam 10 RT (Rukun
Tetangga). Kondisi administratif Desa Pekandangan secara terperinci terdapat
pada tabel berikut ini.
Tabel 4.1 Pembagian Wilayah Desa Pekandangan Berdasarkan
Dusun, RW, dan RT.
No.
Nama Dusun
Nama RW
Nama RT
Kalidondong
RW I
RT 01
1.
RT 02
RT 03
RT 04
Pekandangan
RW II
RT 01
2.
RT 02
RT 03
RW III
RT 01
RT 02
RT 03
Jlm.
2 Dusun
3 RW
10 RT
Sumber : Monografi Desa Pekandangan Tahun 2007.
125
126
Luas wilayah Desa Pekandangan seluruhnya adalah 181.627 Ha. Sebagian
besar ( 77% ) dari luas wilayah dasar desa ini sudah dimanfaatkan oleh penduduk
setempat untuk sewah dan ladang. Tanah yang dipergunakan untuk pemukiman
sekitar 21%, untuk pemakaman 0,1% dan sisanya sekitar 1,9% dari luas wilayah
desa dimanfaatkan untuk lain-lain, seperti tanah kas desa dan jalan desa.
Tabel 4.2 Penggunaan Lahan di Desa Pekandangan, Tahun 2007.
No.
Lahan
Luas (Ha)
Prosentase
139,85
77%
1. Sawah dan ladang
2.
3.
Pemukiman
Pemakaman
38,14
0,18
Lain-lain
3,45
181.627 Ha
Jumlah
Sumber : Monografi Desa Pekandangan Tahun 2007.
4.
21%
0,1%
1,9%
100,00%
Berdasarkan tabel diatas ternyata tanah di Desa Pekandangan sebagian
besar berupa sawah dan ladang. Tingkat kesuburan tanahnya cukup tinggi dan
cocok ditanami padi, palawija dan buah unggulan yaitu salak pondoh. Beberapa
tanaman lain yang dibudidayakan penduduk antara lain padi, jagung, ketela
pohon, ketela rambat, kacang tanah, tomat, mentimun, sawi dan lain-lain.
b. Keadaan Demografis
1) Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Penduduk Desa Pekandangan per 30 Januari 2007 berjumlah 2091 jiwa,
terdiri atas 1060 penduduk laki-laki dan 1031 penduduk perempuan, meliputi 500
KK (Kepala Keluarga). Dengan demikian jika setiap keluarga merupakan
keluarga inti lengkap maka setiap keluarga rata-rata terdiri atas 4 orang termasuk
kepala keluarga itu sendiri. Bila dilihat dari banyaknya jiwa pada tiap keluarga,
maka program keluarga berencana (KB) tampak berhasil dilaksanakan di desa ini.
Adapun perincian jumlah penduduk menurut jenis kelamin di Desa Pekandangan
adalah sebagai berikut :
Tabel 4.3 Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Tahun 2007.
No.
Jenis kelamin
Penduduk (jiwa)
Prosentase
Laki-laki
1060
50,69%
1.
Perempuan
1031
49,30%
2.
127
2091
Jumlah
Sumber : Monografi Desa Pekandangan Tahun 2007.
100,00%
2) Komposisi Penduduk Menurut Usia
Komposisi penduduk Desa Pekandangan berdasar usia per Januari 2007
adalah sebagai berikut :
Tabel 4.4 Komposisi Penduduk Menurut Usia.
Umur
Jumlah (jiwa)
Prosentase
0 - 5 tahun
234
11,19%
6 – 12 tahun
302
14,44%
13 – 17 tahun
305
14,58%
18 – 23 tahun
356
17,02%
24 – 29 tahun
230
10,99%
30 – 35 tahun
236
11,28%
36 – 41 tahun
111
5,30%
42 – 47 tahun
97
4,63%
48 – 53 tahun
106
5,06%
54 – 59 tahun
76
3,63%
>60 tahun
38
1,82%
2091
100,00%
Jumlah
Sumber : Monografi Desa Pekandangan Tahun 2007.
No.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10
11.
Pada tahun 2007, dari seluruh jumlah penduduk menurut kelompok usia tersebut
tercatat bahwa jumlah yang paling banyak adalah usia 18 – 23 tahun dengan
jumlah 356 orang atau 17,02 %. Sedang jumlah penduduk yang paling sedikit
adalah penduduk pada kelompok usia lebih dari 60 tahun yaitu sebanyak 38 orang
atau 1,82% dari jumlah penduduk Desa Pekandangan yaitu 2091 orang.
3) Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian
Mata pencaharian penduduk Desa Pekandangan bermacam-macam. Untuk
lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4.5. Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian.
No.
Mata Pencaharian
Jumlah (jiwa)
Prosentase
Petani
1195
85,54%
1.
Pedagang
I08
7,73%
2.
PNS / POLRI/ ABRI
25
1,79%
3.
Buruh Bangunan
39
2,79%
4.
Tukang Kayu
21
1,50%
5.
Pensiunan
9
0,64%
6.
Jumlah
1397
100,00%
7.
Sumber : Monografi Desa Pekandangan Tahun 2007.
128
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa proporsi mata pencaharian terbesar
penduduk Desa Pekandangan adalah petani yaitu sejumlah 1195 jiwa dari
keseluruhan penduduk yang mempunyai mata pencaharian. Sedangkan mata
pencaharian sebagai buruh tani menduduki urutan kedua sebesar 108 jiwa.
4) Komposisi Penduduk Menurut Tingkat pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu sarana penting untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa. Di Desa Pekandangan terdapat 2 Taman Kanak-Kanak (TK), 2
Sekolah Dasar (SD) dan 1 Sekolah Menengah Pertama (SMP). Sedangkan
Pendidikan Sekolah Atas (SMA) dapat diperoleh di kota kabupaten. Tabel berikut
ini menyajikan data tentang tingkat pendidikan penduduk Desa Pekandangan.
Tabel 4.6. Komposisi Penduduk Menurut Tingkat pendidikan.
No. Tingkat Pendidikan
Jumlah
Prosentase
Buta
Huruf
49
2,34%
1.
Belum Sekolah
224
10,71%
2.
Tidak Tamat SD
128
6,12%
3.
Tamat SD
1336
63,89%
4.
Tamat SMP
205
9,80%
5.
Tamat SMA / SMK
124
5,93%
6.
Tamat Diploma / PT
25
1,19%
7.
Jumlah
2091
100,00%
Sumber : Monografi Desa Pekandangan Tahun 2007.
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa mayoritas penduduk Desa Pekandangan
berpendidikan SD yaitu sebanyak 1336 jiwa, sedangkan lulusan SMP yaitu
sebanyak 205 jiwa dari keseluruhan penduduk dan menempati urutan kedua besar.
Penduduk Desa Pekandangan yang berpendidikan tinggi sangat sedikit, sehingga
dapat dikatakan bahwa tingkat pendidikan masyarakat Desa Pekandangan masih
rendah.
5) Komposisi Penduduk Menurut Jumlah Pemeluk Agama
Penduduk Desa Pekandangan memiliki homogenitas yang tinggi dalam
hal agama. Hal tersebut terbukti bahwa berdasarkan data monografi desa tahun
2007 seluruh penduduk Desa Pekandangan memeluk agama Islam. Dengan kata
lain, jumlah pemeluk agama Islam di desa Pekandangan mencapai 100% dari
jumlah penduduk secara keseluruhan. Hal tersebut mendorong tumbuhnya
pembangunan sarana peribadatan berupa Masjid dan Mushola yang memadai.
129
c. Struktur Organisasi
Dalam menjalankan pemerintahan, seorang Kepala desa akan diawasi
oleh Badan Pemerintahan Desa (Baperdes). Anggota Baperdes terdiri dari
wakil rakyat yang dipilih melalui musyawarah dan melalui mekanise tes.
Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya seorang Kepala desa akan
dibantu oleh aparat desa lainnya yang meliputi Sekretaris desa (Sekdes),
Kepala dusun (Kadus), dan beberapa Kepala urusan (Kaur) yang terdiri dari
Kaur Pemerintahan, Kaur Pembangunan, Kaur Kesejahteraan, Kaur Keuangan
dan, Kaur Umum. Khusus untuk Kaur Kesejahteraan dibantu oleh seorang staf
kesejahteraan. Organisasi pemerintahan Desa Pekandangan dapat dilihat
dalam bagan di bawah ini.
Kepala Desa
(A. Suroso)
Sekdes
(Marsinah)
Baperdes
Kadus I
Kalidondong
(Tumar)
Kaur
Pemrint.
(Jahid)
Kaur
Pemb.
(Pawit)
Kadus II
Pekandangan
(Abu Yamin)
Kaur
Kesej.
(Suman)
Kaur
Keuangan
(Kardi)
Kaur
Umum
(Jafar)
Staf
(Suryanto)
_ _ _ _ _ _ _ = Garis Pengawasan
__________ = Garis Komando
Gambar 4. 1 Bagan Organisasi Pemerintah Desa Pekandangan
130
2. Deskripsi Data Penelitian
Deskripsi data merupakan gambaran hasil pengumpulan data setiap
variabel yang diteliti. Adapun variabel-variabel yang diteliti yaitu pendidikan
sebagai variabel bebas pertama (X1), status sosial sebagai variabel bebas kedua
(X2), dan partisipasi politik sebagai variabel terikat (Y). Untuk mengungkap data,
maka data dikumpulkan dengan menggunakan angket yang melibatkan responden
sebanyak 72 responden.
a. Deskripsi Data Variabel Pendidikan (X1).
Data tentang status sosial (X1) diperoleh melalui teknik angket dalam
bentuk item setengah terbuka yang memiliki jumlah kemungkinan skor antara 0
sampai 20 atau 6% sampai 100%. Dari hasil penyebaran angket tentang
pendidikan
terhadap
72
responden
di
Desa
Pekandangan,
Kecamatan
Banjarmangu, Banjarnegara, diperoleh skor sebagai berikut:
Skor terendah
= 6 atau 30% dari skala nilai 20
Skor tertinggi
= 16 atau 80% dari skala nilai 20
Data tersebut diperoleh dengan cara memberikan skor pada masing-masing
jawaban responden sebagaimana dapat dilihat pada lampiran 3. Untuk lebih
jelasnya, rekapitulasi hasil pengumpulan data dari variabel pendidikan dapat
dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 4.7. Rekapitulasi Hasil Pengumpulan Data Variabel Pendidikan di
Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara.
Klas Interval
Frekuensi
F%
17,5 – 20,5
0
0,00
14,5 – 17,5
1
1,39
11,5 – 14,5
26
36,11
8,5 – 11,5
27
37,50
5,5 – 8,5
18
25,00
Berdasarkan tabel tersebut menunjukkan bahwa skor dalam angket
pendidikan di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara dapat
dirinci sebagai berikut: skor antara 17,5 sampai 20,5 tidak ada (0,00%), skor
antara 14,5 sampai 17,5 sebanyak 1 orang (1,39%), skor antara 11,5 sampai 14,5
131
sebanyak 26 orang (36,11%), skor antara 8,5 sampai 11,5 sebanyak 27 orang
(37,50%), skor antara 5,5 sampai 8,5 sebanyak 18 orang (25,00%). Agar lebih
jelas data tersebut akan digambarkan dalam bentuk histogram sebagai berikut:
30
25
20
5,5 - 8,5
8,5 - 11,5
Frekuensi 15
11,5 - 14,5
10
14,5 - 17,5
17,5 - 20,5
5
0
1
Interval
Gambar. 4. 2. Histogram Frekuensi Pendidikan.
Grafik histogram di atas adalah salah satu grafik yang dibuat diatas sistem
koordinat. Sumbu X atau absisnya menyatakan besar-kecilnya gejala, sedangkan
sumbu Y atau ordinatnya menyatakan frekuensinya. Histogram tersebut tersusun
dari segiempat-segiempat balok yang didirikan pada absis dan membentang
selebar kelas interval. Tinggi daripada segiempat balok itu sebanding dengan
frekuensi masing-masing kelas yang diwakilinya. Untuk mempermudah dalam
membedakan kelas-kelas, maka setiap balok diberi warna yang berlainan.
Histogram tersebut juga menunjukan bahwa sebarannya cenderung di tengah
mendekati kurva normal ideal.
Berdasarkan hasil penghitungan dengan bantuan komputer diperoleh
distribusi frekuensi (lihat lampiran 3) dengan harga-harga sebagai berikut :
Mean (rerata)
= 9,68
Median
= 10,50
Modus
= 10,00
Standar Deviasi
= 2,75
132
Simpangan rata-rata = 2,32
Dari hasil perhitungan Mean (rerata), Median, Modus, Standar Deviasi, dan
Simpangan rata-rata, maka dapat dideskripsikan bahwa rata-rata empiris atau ratarata hitung sebesar 9,68. Sedangkan rata-rata ideal atau rata-rata teoritis data
pendidikan adalah:
Rata-rata teoritis yaitu
Skor.Min  Skor.Maks 0,00  20,00

 10,00
2
2
Jika nilai rata-rata empiris lebih besar dari rata-rata teoritis maka pendidikan pada
masyarakat Desa Pekandangan tergolong tinggi, demikian pula sebaliknya. Dari
perhitungan di atas menunjukan bahwa nilai rata-rata empiris lebih kecil dari ratarata teoritis yaitu (9,68 < 10,0), maka pendidikan pada masyarakat Desa
Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara tergolong cukup. Hal ini
juga dapat dibuktikan dari nilai rata-rata empiris yang diperoleh sebesar 9,68
berada di dalam skor 8,5 – 11,5 dengan frekuensi yang paling tinggi.
b. Deskripsi Data Variabel Status Sosial (X2).
Data tentang status sosial (X2) diperoleh melalui teknik angket dengan
jumlah item sebanyak 30 soal yang memiliki jumlah kemungkinan skor antara 30
sampai 149 atau 20,1% sampai 100%. Dari hasil penyebaran angket tentang status
sosial masyarakat di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara
pada 72 responden, diperoleh skor sebagai berikut:
Skor terendah
= 52 atau 34,89% dari 149
Skor tertinggi
= 96 atau 64,42% dari 149
Data tersebut diperoleh dengan menjumlahkan keseluruhan skor item yang
diperoleh oleh masing-masing responden sebagaimana dapat dilihat pada lampiran
3. Untuk lebih jelasnya, rekapitulasi hasil pengumpulan data dari variabel status
sosial dapat dilihat dari tabel berikut ini:
Tabel 4.8. Rekapitulasi Hasil Pengumpulan Data Variabel Status Sosial di
Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara.
Klas Interval
Frekuensi
F%
87,5 – 96,5
9
12,50
78,5 – 87,5
22
30,56
69,5 – 78,5
23
31,94
133
60,5 – 69,5
12
16,67
51,5 – 60,5
6
8,33
Berdasarkan tabel tersebut, maka hasil pengumpulan data dari variabel
status sosial di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara dapat
dirinci sebagai berikut: skor antara 87,5 sampai 96,5 sebanyak 9 orang (12,50%),
skor antara 78,5 sampai 87,5 sebanyak 22 orang (30,56%), skor antara 69,5
sampai 78,5 sebanyak 23 orang (31,94%), skor antara 60,5 sampai 69,5 sebanyak
12 orang atau (16,67%), skor antara 51,5 – 60,5 sebanyak 6 orang (8,33%). Agar
lebih
jelas
data
tersebut
digambar
dalam
histogram
berikut
ini:
25
20
51,5 – 60,5
15
60,5 – 69,5
Frekuensi
69,5 – 78,5
10
78,5 – 87,5
87,5 – 96,5
5
0
1
Interval
Gambar. 4. 3. Histogram Frekuensi Status Sosial.
Grafik histogram di atas adalah salah satu grafik yang dibuat diatas sistem
koordinat. Sumbu X atau absisnya menyatakan besar-kecilnya gejala, sedangkan
sumbu Y atau ordinatnya menyatakan frekuensinya. Histogram tersebut tersusun
dari segiempat-segiempat balok yang didirikan pada absis dan membentang
selebar kelas interval. Tinggi daripada segiempat balok itu sebanding dengan
frekuensi masing-masing kelas yang diwakilinya. Untuk mempermudah dalam
membedakan kelas-kelas, maka setiap balok diberi warna yang berlainan.
Histogram tersebut juga menunjukan bahwa sebarannya cenderung di tengah
mendekati kurva normal ideal.
134
Berdasarkan hasil penghitungan dengan bantuan komputer diperoleh
distribusi frekuensi (lihat lampiran 3) dengan harga-harga sebagai berikut :
Mean (rerata)
= 76, 03
Median
= 76,54
Modus
= 74,00
Standar Defiasi
= 10,48
Simpangan rata-rata = 8,31
Dari hasil perhitungan Mean (rerata), Median, Modus, Standar Deviasi, dan
Simpangan rata-rata, maka dapat dideskripsikan bahwa rata-rata empiris atau ratarata hitung sebesar 79,03. Sedangkan rata-rata ideal atau rata-rata teoritis data
pendidikan adalah :
Rata-rata teoritis yaitu
Skor.Min  Skor.Maks 30,00  149,00

 89,50
2
2
Jika nilai rata-rata empiris lebih besar dari rata-rata teoritis maka pendidikan pada
masyarakat Desa Pekandangan tergolong tinggi, demikian pula sebaliknya. Dari
perhitungan di atas menunjukan bahwa nilai rata-rata empiris lebih besar dari ratarata teoritis yaitu (76,03 < 89,50). Selisih nilai antara rata-rata empiris dan ratarata teoritis tidak banyak, maka status sosial di Desa Pekandangan, Kecamatan
Banjarmangu, Banjarnegara tergolong cukup. Hal ini juga dapat dibuktikan dari
nilai rata-rata empiris yang diperoleh sebesar 76,03 berada di dalam skor 69,5 –
78,5 dengan frekuensi yang paling tinggi.
c. Deskripsi Data Variabel Partisipasi Politik (Y).
Data tentang partisipasi politik (Y) diperoleh melalui teknik angket dengan
jumlah item sebanyak 40 soal yang memiliki jumlah kemungkinan skor antara 40
sampai 160 atau 25% sampai 100%. Dari hasil penyebaran angket tentang
partisipasi politik masyarakat di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu,
Banjarnegara pada 72 responden, diperoleh skor sebagai berikut :
Skor terendah
= 59 atau 36,87% dari 160
Skor tertinggi
= 114 atau 71,25% dari 160
135
Data tersebut diperoleh dengan menjumlahkan keseluruhan skor item yang
diperoleh oleh masing-masing responden sebagaimana dapat dilihat pada lampiran
3. Untuk lebih jelasnya, rekapitulasi hasil pengumpulan data dari variabel status
sosial dapat dilihat dari tabel berikut ini :
Tabel 4.9 Rekapitulasi Hasil Pengumpulan Data Variabel Partisipasi
Politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu,
Banjarnegara.
Klas Interval
Frekuensi
F%
106,5 – 118,5
7
9,72
94,5 – 106,5
19
26,39
82,5 – 94,5
26
36,11
70,5 – 82,5
17
23,61
50,5 – 70,5
3
4,17
Berdasarkan tabel tersebut, maka hasil pengumpulan data dari variabel
partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara
dapat dijelaskan sebagai berikut: Skor antara 106,5 sampai 118,5 sebanyak 7
orang (9,72%), skor antara 94,5 sampai 106,5 sebanyak 19 orang (26,39%), skor
antara 82,5 sampai 94,5 sebanyak 26 orang (36,11%), skor antara 70,5 sampai
82,5 sebanyak 17 orang (23,61%), skor antara 50,5 sampai 70,5 sebanyak 3 orang
(4,17%). Agar lebih jelas data tersebut digambarkan dalam histogram berikut ini:
30
25
20
50,5 – 70,5
Frekuensi 15
70,5 – 82,5
82,5 – 94,5
10
94,5 – 106,5
5
106,5 –
118,5
0
1
Interval
Gambar. 4. 4. Histogram Frekuensi Partisipasi Politik.
136
Grafik histogram di atas adalah salah satu grafik yang dibuat diatas sistem
koordinat. Sumbu X atau absisnya menyatakan besar-kecilnya gejala, sedangkan
sumbu Y atau ordinatnya menyatakan frekuensinya. Histogram tersebut tersusun
dari segiempat-segiempat balok yang didirikan pada absis dan membentang
selebar kelas interval. Tinggi daripada segiempat balok itu sebanding dengan
frekuensi masing-masing kelas yang diwakilinya. Untuk mempermudah dalam
membedakan kelas-kelas, maka setiap balok diberi warna yang berlainan.
Histogram tersebut juga menunjukan bahwa sebarannya cenderung di tengah
mendekati kurva normal ideal.
Berdasarkan hasil penghitungan dengan bantuan komputer diperoleh
distribusi frekuensi (lihat lampiran 3) dengan harga-harga sebagai berikut :
Mean (rerata)
= 89,93
Median
= 89,88
Modus
= 88,50
Standar Deviasi
= 11,80
Simpangan rata-rata = 9,08
Dari hasil perhitungan Mean (rerata), Median, Modus, Standar Deviasi, dan
Simpangan rata-rata, maka dapat dideskripsikan bahwa rata-rata empiris atau ratarata hitung sebesar 89,93. Sedangkan rata-rata ideal atau rata-rata teoritis data
pendidikan adalah :
Rata-rata teoritis yaitu
Skor.Min  Skor.Maks 40,00  160,00

 100,00
2
2
Jika nilai rata-rata empiris lebih besar dari rata-rata teoritis maka pendidikan pada
masyarakat Desa Pekandangan tergolong tinggi, demikian pula sebaliknya. Dari
perhitungan di atas menunjukan bahwa nilai rata-rata empiris lebih besar dari ratarata teoritis yaitu (89,93 < 100,00). Selisih nilai antara rata-rata empiris dan ratarata teoritis tidak banyak, maka partisipasi politik di Desa Pekandangan,
Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara tergolong tinggi. Hal ini juga dapat
dibuktikan dari nilai rata-rata empiris yang diperoleh sebesar 89,93 berada di
dalam skor 82,5 – 94,5 dengan frekuensi yang paling tinggi.
137
B. Pengujian Persyaratan Analisis
Data-data yang telah terkumpul, selanjutnya dianalisis untuk membuktikan
hipotesis yang telah dirumuskan. Syarat-syarat dalam analisis regresi linier ganda
ialah sebaran populasi data harus berdistribusi normal dan kedua variabel bebas
harus linier terhadap variabel terikat. Uji persyaratan analisis dapat dilakukan
melalui uji normalitas dan uji linieritas sebagai berikut:
1. Hasil Uji Normalitas
Uji normalitas dilakukan terhadap masing-masing variabel penelitian
untuk mengetahui apakah variabel tersebut memiliki skor yang distribusinya
normal atau tidak. Dalam penelitian ini ada tiga variabel yang harus diuji
normalitasnya, yaitu variabel pendidikan, variabel status sosial, dan variabel
partisipasi politik. Untuk lebih jelasnya hasil uji normalitas pada masing-masing
variabel tersebut akan dipaparkan sebagai berikut:
a. Uji normalitas variabel pendidikan (X1)
Berdasarkan tabel uji normalitas (lihat lampiran 3) diperoleh hasil sebagai
berikut :
X2
= 9,076
p
= 0.059
Hasil perhitungan tersebut diketahui X2 = 9,076 dan p = 0.059, dari sampel
sebanyak 72, kelas (k) adalah 5 dengan demikian derajat kebebasan (db)
adalah k-1= 4 dengan taraf signifikansi 5%. Menurut kaidah uji normalitas
Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih versi IBM/IN, yaitu apabila p > 0,050
maka distribusinya normal dan jika p < 0,050 maka distribusinya tidak
normal. Hasil tersebut menunjukkan bahwa p > 0,05, yaitu 0.059 > 0,05, maka
dapat disimpulkan bahwa sampel yang diambil berasal dari populasi yang
berdistribusi normal.
138
b. Uji normalitas variabel status sosial (X2)
Berdasarkan tabel uji normalitas (lihat lampiran 3) diperoleh hasil sebagai
berikut :
X2
= 9,336
p
= 0,407
Hasil perhitungan tersebut diketahui X2 = 9,336 dan p = 0,407, dari sampel
sebanyak 72, kelas (k) adalah 10 dengan demikian derajat kebebasan (db)
adalah k-1= 9 dengan taraf signifikansi 5%. Menurut kaidah uji normalitas
Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih versi IBM/IN, yaitu apabila p > 0,050
maka distribusinya normal dan jika p < 0,050 maka distribusinya tidak
normal. Hasil tersebut menunjukkan bahwa p > 0,05, yaitu 0,407 > 0,05, maka
dapat disimpulkan bahwa sampel yang diambil berasal dari populasi yang
berdistribusi normal.
c. Uji normalitas variabel partisipasi politik (Y)
Berdasarkan tabel uji normalitas (lihat lampiran 3) diperoleh hasil sebagai
berikut :
X2
= 2,910
p
= 0,968
Hasil perhitungan tersebut diketahui X2 = 2,910 dan p = 0,968, dari sampel
sebanyak 72, kelas (k) adalah 10 dengan demikian derajat kebebasan (db)
adalah k-1= 9 dengan taraf signifikansi 5%. Sedangkan, menurut kaidah uji
normalitas Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih versi IBM/IN, yaitu
apabila p > 0,050 maka distribusinya normal dan jika p < 0,050 maka
distribusinya tidak normal. Hasil tersebut menunjukkan bahwa p > 0,05, yaitu
0,968 > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa sampel yang diambil berasal
dari populasi yang berdistribusi normal.
139
2. Hasil Uji Linieritas
Uji linieritas dimaksudkan untuk mengetahui apakah antara variabel bebas
(prediktor) dengan variabel terikat (kriterium) bersifat linier. Adapun hasil uji
linieritas antara pendidikan (X1) dengan partisipasi politik (Y) dan antara status
sosial (X2) dengan partisipasi politik (Y) sebagai berikut:
a. Uji linieritas variabel pendidikan (X1) dengan variabel partisipasi politik
(Y)
Berdasarkan uji linieritas variabel pendidikan (X1) dengan variabel partisipasi
politik (Y) (lihat lampiran 3) diperoleh nilai sebagai berikut:
F
= 2,443
p
= 0,119
Hasil di atas menunjukkan p > 0,050, yaitu 0,119 > 0,050, maka dapat
disimpulkan bahwa X1 dengan Y memiliki korelasi yang linier. Artinya
apabila variabel X1 naik satu tingkat maka variabel Y akan naik sebesar satu
tingkat juga. Linieritas hubungan antara variabel pendidikan (X1) dengan
variabel partisipasi politik (Y) dapat ditunjukkan melalui grafik berikut ini :
PRTSPASI
120
110
100
90
80
70
60
Observed
50
Linear
4
6
8
10
12
14
16
PDIDIKAN
Gambar 4.5. Linieritas hubungan X1 dengan Y
18
140
Dari gambar di atas, sumbu datar melukisakan pendidikan (X1) dan sumbu
tegak melukiskan partisipasi politik (Y). Harga-harga statistik yang diperoleh
dari setiap sampel, setelah dihitung kemudian digambarkan dalam diagram
yang biasanya berupa titik-titik. Titik pertama untuk sampel kesatu, titik kedua
untuk sampel kedua, dan seterusnya. Supaya mudah dianalisis, maka titik-titik
yang berurutan dihubungkan. Berdasarkan diagram di atas dapat disimpulkan
sebagai berikut:
1) Variabel pendidikan dan variabel partisipasi politik mempunyai hubungan
yang cukup dekat. Hal ini disebabkan bahwa titik-titik hubung ada tidak
jauh dari garis lurus (berdekatan dengan garis lurus).
2) Variabel pendidikan dan variabel partisipasi politik mempunyai hubungan
positif, karena titik-titik yang telah dihubungkan tersebut menunjukkan
gejala dari kiri ke kanan atas.
3) Variabel pendidikan dan variabel partisipasi politik mempunyai korelasi
yang linier karena titik-titik yang telah dihubungkan tersebut menunjukkan
gejala garis lurus.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ada korelasi yang linier (segaris)
positif antara variabel pendidikan (X1) dengan variabel partisipasi politik (Y).
b. Uji linieritas variabel status sosial (X2) dengan variabel partisipasi politik
(Y)
Berdasarkan uji linieritas variabel status sosial (X2) dengan variabel partisipasi
politik (Y) (lihat lampiran 3) diperoleh nilai sebagai berikut :
F
= 2,704
p
= 0,101
Hasil di atas menunjukkan  > 0,050, yaitu 0,101 > 0,050, maka dapat
disimpulkan bahwa X2 dengan Y memiliki korelasi yang linier. Artinya
apabila variabel X2 naik satu tingkat maka variabel Y akan naik sebesar satu
tingkat juga. Linieritas hubungan antara variabel status sosial (X2) dengan
variabel partisipasi politik (Y) dapat ditunjukkan melalui grafik berikut ini:
141
PRTSPASI
120
110
100
90
80
70
60
Gambar 4.6. Linieritas hubungan X2 dengan Y
50
Observed
Linear
50
60
70
80
90
100
STATUS
Gambar 4.6. Linieritas hubungan X2 dengan Y
Dari gambar di atas, sumbu datar melukisakan status sosial (X2) dan sumbu
tegak melukiskan partisipasi politik (Y). Harga-harga statistik yang diperoleh
dari setiap sampel, setelah dihitung kemudian digambarkan dalam diagram
yang biasanya berupa titik-titik. Titik pertama untuk sampel kesatu, titik kedua
untuk sampel kedua, dan seterusnya. Supaya mudah dianalisis, maka titik-titik
yang berurutan dihubungkan. Berdasarkan diagram di atas dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1) Variabel status sosial dan variabel partisipasi politik mempunyai hubungan
yang cukup dekat. Hal ini disebabkan bahwa titik-titik hubung ada tidak
jauh dari garis lurus (berdekatan dengan garis lurus).
2) Variabel status sosial dan variabel partisipasi politik mempunyai hubungan
positif, karena titik-titik yang telah dihubungkan tersebut menunjukkan
gejala dari kiri ke kanan atas.
3) Variabel status sosial dan variabel partisipasi politik mempunyai korelasi
yang linier karena titik-titik yang telah dihubungkan tersebut menunjukkan
gejala garis lurus.
142
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ada korelasi yang linier (segaris)
positif antara variabel status sosial (X2) dengan variabel partisipasi politik (Y).
Berdasarkan hasil uji asumsi yakni uji normalitas dan uji linieritas, maka
dapat disimpulkan bahwa data hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti telah
memenuhi syarat untuk dianalisis dengan uji regresi.
C. Pengujian Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara dari permasalahan yang telah
dirumuskan. Oleh karena sifatnya sementara maka diperlukan pengujian atau
pembuktian untuk mendapatkan jawaban yang sebenarnya sehingga dapat
diketahui apakah hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya diterima atau
ditolak. Dalam penelitian ini ada dua jawaban sementara yaitu hipotesis nihil (Ho)
dan hipotesis kerja (Ha). Ho adalah hipotesis yang menyatakan tidak ada
hubungan antar variabel. Sedangkan Ha adalah hipotesis yang menyatakan ada
hubungan antar variabel.
1. Hasil Uji Hipotesis Pertama, Kedua, dan Ketiga
a. Hipotesis pertama
Ho
: Tidak ada hubungan antara pendidikan dengan partisipasi politik di
Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara.
Ha
: Ada hubungan antara pendidikan dengan partisipasi politik di Desa
Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara.
Secara statistik, hipotesis yang diuji sebagai berikut :
Ho
: rx1y = 0,000 atau rx1y hitung < rx1y
Ha
: rx1y # 0,000 atau rx1y hitung > rx1y
tabel
tabel
atau rx1y dengan p > 0,05
atau rx1y dengan p < 0,05
Berdasarkan penghitungan koefisien korelasi sederhana antara pendidikan
(X1) dengan partisipasi politik (Y) menggunakan komputer dengan n = 72
(lihat lampiran 3) diperoleh hasil sebagai berikut:
rx1y
= 0,402
p
= 0,001
143
Hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima,
maksudnya terdapat hubungan positif secara signifikan antara pendidikan (X1)
dengan partisipasi politik (Y). Besarnya kepercayaan hubungan antara variabel
yang diuji dapat ditunjukkan dengan nilai p, namun perlu diperhatikan bahwa
semakin besar angka desimal p ditafsirkan semakin kecil keyakinan kebenaran
hubungan dan sebaliknya. Berdasarkan kaidah uji hipotesis menurut SPS edisi
Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih versi IBM/IN yaitu bila p < 0,050,
maka hasilnya signifikan. Hasil penghitungan dengan bantuan komputer
menunjukkan p < 0,050 yaitu 0,001 < 0,050 sehingga antar variabel yang diuji
signifikan. Antara pendidikan (X1) dengan partisipasi politik (Y) terdapat
hubungan positif (tidak ada tanda negatif pada angka 0,402) dapat ditafsirkan
semakin tinggi pendidikan (X1) akan membuat partisipasi politik (Y)
cenderung meningkat, demikian pula sebaliknya. Tanda positif atau tanda
negatif pada nilai rx1y semata-mata menunjukkan arah hubungan. Misal, jika
rx1y hitung diperoleh negatif, bukan berarti lebih kecil dari rx1y
ada rx1y
tabel
tabel
karena tidak
yang negatif. Angka rx1y hitung negatif ditafsirkan terjadi hubungan
negatif kedua variabel yang diuji sepanjang lebih besar angkanya dibanding
rx1y
tabel.
Sedangkan besarnya rx1y menunjukkan kuatnya hubungan antar
variabel, secara statistik dimaksudkan bahwa perubahan variabel pendidikan
(X1) sebesar 1 SD (standar deviasi) diikuti perubahan variabel partisipasi
politik (Y) sebesar rx1y. Angka rx1y = 0,402, dimaksudkan bahwa kenaikan
variabel pendidikan (X1) sebesar 1 SD (standar deviasi) diikuti kenaikan skor
variabel Partisipasi politik (Y) sebesar 0,402. Angka r juga bisa digunakan
untuk menentukan determinasi (prosentase yang menyumbangkan pengaruh
X1 terhadap Y), artinya seberapa besar determinan variabel pendidikan (X1)
terhadap partisipasi politik (Y), yaitu dengan mengkuadratkan rx1y.
b. Hipotesis kedua
Ho
: Tidak ada hubungan antara status sosial dengan partisipasi politik di
Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara.
144
Ha
: Ada hubungan antara status sosial dengan partisipasi politik di Desa
Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara.
Secara statistik, hipotesis yang diuji sebagai berikut :
Ho
: rx2y = 0,000 atau rx2y hitung < rx2y
Ha
: rx2y # 0,000 atau rx2y hitung > rx2y
tabel
tabel
atau rx2y dengan p > 0,05
atau rx2y dengan p < 0,05
Berdasarkan penghitungan koefisien korelasi sederhana antara status sosial
(X2) dengan partisipasi politik (Y) menggunakan komputer dengan n = 72
(lihat lampiran 3) diperoleh hasil sebagai berikut:
rx2y
= 0,381
p
= 0,001
Hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima,
maksudnya terdapat hubungan positif secara signifikan antara status sosial
(X2) dengan partisipasi politik (Y). Besarnya kepercayaan hubungan antara
variabel yang diuji dapat ditunjukkan dengan nilai p, namun perlu
diperhatikan bahwa semakin besar angka desimal p ditafsirkan semakin kecil
keyakinan kebenaran hubungan dan sebaliknya. Berdasarkan kaidah uji
hipotesis menurut SPS edisi Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih versi
IBM/IN yaitu bila p < 0,050, maka hasilnya signifikan. Hasil penghitungan
dengan bantuan komputer menunjukkan p < 0,050 yaitu 0,001 < 0,050,
sehingga antar variabel yang diuji signifikan. Antara status sosial (X2) dengan
partisipasi politik (Y) terdapat hubungan positif (tidak ada tanda negatif pada
angka 0,381) dapat ditafsirkan semakin tinggi status sosial (X2) akan membuat
partisipasi politik (Y) cenderung meningkat, demikian pula sebaliknya. Tanda
positif atau tanda negatif pada nilai rx2y semata-mata menunjukkan arah
hubungan. Misal, jika rx2y hitung diperoleh negatif, bukan berarti lebih kecil dari
rx2y
tabel
karena tidak ada rx2y
tabel
yang negatif. Angka rx2y
hitung
negatif
ditafsirkan terjadi hubungan negatif kedua variabel yang diuji sepanjang lebih
besar angkanya dibanding rx2y
tabel.
Sedangkan besarnya rx2y menunjukkan
kuatnya hubungan antar variabel, secara statistik dimaksudkan bahwa
perubahan variabel status sosial (X2) sebesar 1 SD (standar deviasi) diikuti
perubahan variabel partisipasi politik (Y) sebesar rx2y. Angka rx2y = 0,381,
145
dimaksudkan bahwa kenaikan variabel status sosial (X2) sebesar 1 SD (standar
deviasi) diikuti kenaikan skor variabel partisipasi politik (Y) sebesar 0,381.
Angka r juga bisa digunakan untuk menentukan determinasi (prosentase yang
menyumbangkan pengaruh X2 terhadap Y), artinya seberapa besar determinan
variabel status sosial (X2) terhadap partisipasi politik (Y), yaitu dengan
mengkuadratkan rx2y.
c. Hipotesis ketiga
Ho
: Tidak ada hubungan antara pendidikan dan status sosial dengan
partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu,
Banjarnegara.
Ha
: Ada hubungan antara pendidikan dan status sosial dengan partisipasi
politik di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara.
Secara statistik, hipotesis yang diuji sebagai berikut :
Ho
: rx2y = 0,000 atau rx2y hitung < rx2y
tabel
atau F hitung < F tabel atau rx2y dan F
tabel
atau F hitung > F tabel atau rx2y dan F
dengan p > 0,05
Ha
: rx2y # 0,000 atau rx2y hitung > rx2y
dengan p < 0,05
Berdasarkan penghitungan koefisien korelasi ganda antara pendidikan (X1)
dan status sosial (X2) dengan partisipasi politik (Y) menggunakan komputer
dengan n = 72 (lihat lampiran 3) diperoleh hasil sebagai berikut:
F
= 10,986
p
= 0,000
rx1x2y
= 0,491
Hasil analisis di atas dapat disimpulkan bahwa Ho ditolak dan Ha diterima,
maksudnya terdapat hubungan positif secara signifikan secara bersama antara
pendidikan (X1) dan status sosial (X2) dengan partisipasi politik (Y). Untuk
menguji ada tidaknya pengaruh kedua variabel independent terhadap variabel
dependent dapat dilihat dari besarnya nilai F. Dari uji korelasi ganda diperoleh
nilai Fhitung = 10,986 dengan db pembilang = 2 dan db penyebut = 69 pada 
= 5% sehingga diperoleh Ftabel sebesar 3,14. Karena Fhitung > Ftabel yaitu
146
(10,986 > 3,14), maka Ho ditolak dan Ha diterima. Dapat disimpulkan bahwa
kedua variabel (X1 dan X2) secara bersama-sama memang berpengaruh
terhadap Y. Besarnya kepercayaan hubungan antara variabel yang diuji dapat
ditunjukkan dengan nilai p, namun perlu diperhatikan bahwa semakin besar
angka desimal p ditafsirkan semakin kecil keyakinan kebenaran hubungan dan
sebaliknya. Berdasarkan kaidah uji hipotesis menurut SPS edisi Sutrisno Hadi
dan Yuni Pamardiningsih versi IBM/IN yaitu bila p < 0,050, maka hasilnya
signifikan. Hasil penghitungan dengan bantuan komputer menunjukkan p <
0,050 yaitu 0,000 < 0,050, sehingga antar variabel yang diuji memiliki
hubungan yang signifikan. Antara pendidikan (X1) dan status sosial (X2)
dengan partisipasi politik (Y) terdapat hubungan positif (tidak ada tanda
negatif pada angka 0,491) dapat ditafsirkan semakin tinggi pendidikan (X1)
dan status sosial (X2) secara bersama akan membuat partisipasi politik (Y)
cenderung meningkat, demikian pula sebaliknya. Tanda positif atau tanda
negatif pada nilai rx1x2y semata-mata menunjukkan arah hubungan. Misal, jika
rx1x2y
hitung
diperoleh negatif, bukan berarti lebih kecil dari rx1x2y
tidak ada rx1x2y
tabel
yang negatif. Angka rx1x2y
hitung
tabel
karena
negatif ditafsirkan terjadi
hubungan negatif kedua variabel yang diuji sepanjang lebih besar angkanya
dibanding rx1x2y
tabel.
Sedangkan besarnya rx1x2y menunjukkan kuatnya
hubungan antar variabel, secara statistik dimaksudkan bahwa perubahan
bersama antara variabel pendidikan (X1) dan status sosial (X2) sebesar 1 SD
(standar deviasi) diikuti perubahan variabel partisipasi politik (Y) sebesar
rx1x2y. Angka rx1x2y = 0,491, dimaksudkan bahwa kenaikan variabel pendidikan
(X1) dan variabel status sosial (X2) secara bersama sebesar 1 SD (standar
deviasi) diikuti kenaikan skor variabel partisipasi politik (Y) sebesar 0,491.
Angka r juga bisa digunakan untuk menentukan determinasi (prosentase yang
menyumbangkan pengaruh X1 dan X2 terhadap Y), artinya seberapa besar
determinan variabel pendidikan (X1) dan status sosial (X2) secara bersama
terhadap partisipasi politik (Y), yaitu dengan mengkuadratkan rx1x2y.
147
2. Hasil Perhitungan Sumbangan Masing-Masing Variabel
Penghitungan sumbangan masing-masing variabel dengan bantuan
komputer paket SPS edisi Sutrisno Hadi dan Yuni Pamardiningsih versi IBM/IN
program analisis regresi model penuh dan stepwise tergambar pada tabel
perbandingan bobot prediktor model penuh (lihat lampiran 3). Berdasarkan tabel
tersebut dapat diketahui sumbangan relatif (SR) dan sumbangan efektif (SE) dari
masing-masing prediktor sebagai berikut:
a. Sumbangan Relatif (SR)
Sumbangan Relatif (SR) variabel pendidikan (X 1 ) terhadap variabel
partisipasi politik (Y) sebesar 66,903%, artinya secara relatif variabel
pendidikan (X 1 ) memberikan sumbangan sebesar 66,903% bagi naik turunnya
partisipasi politik. Sedangkan Sumbangan Relatif (SR) variabel status sosial
(X 2 ) terhadap variabel partisipasi politik (Y) sebesar 33,097%, artinya secara
relatif variabel status sosial (X2) memberikan sumbangan sebesar 33,097%
bagi naik turunnya partisipasi politik. Dari hasil perhitungan tersebut, maka
dapat disimpulkan bahwa pendidikan (X 1 ) memberikan sumbangan relatif
lebih besar terhadap partisipasi politik (Y) dibanding dengan status sosial
(X 2 ).
b. Sumbangan Efektif (SE)
Sumbangan Efektif (SE) variabel pendidikan (X 1 ) terhadap variabel
partisipasi politik (Y) sebesar 16,159%, artinya sumbangan pendidikan (X 1 )
terhadap variasi naik-turunnya partisipasi politik (Y) adalah sebesar 16,159%,
sedangkan sisanya (100%-16,159%) = 83,841% disebabkan oleh faktor
lainnya diluar faktor pendidikan. Dengan kata lain, perubahan partisipasi
politik (Y) ditentukan pendidikan (X1) sebesar 16,159% dan perubahan
partisipasi politik (Y) yang sebesar 83,841% ditentukan dari variabel lain di
luar variabel pendidikan.
Sumbangan Efektif (SE) variabel status sosial (X 2 ) terhadap variabel
partisipasi politik (Y) sebesar 7,994%, artinya sumbangan status sosial (X 2 )
148
terhadap variasi naik-turunnya partisipasi politik (Y) adalah sebesar 7,994%,
sedangkan sisanya (100%-7,994%) = 92,006% disebabkan oleh faktor lainnya
diluar faktor status sosial. Dengan kata lain, perubahan partisipasi politik (Y)
ditentukan status sosial (X2) sebesar 7,994% dan perubahan partisipasi politik
(Y) yang sebesar 92,006% ditentukan dari variabel lain di luar variabel status
sosial.
Dari hasil perhitungan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
pendidikan (X 1 ) memberikan sumbangan efektif yang lebih besar terhadap
partisipasi politik (Y) dibanding sumbangan efektif dari status sosial (X 2 ).
c. Sumbangan Relatif (SR) pendidikan (X1) dan variabel status sosial (X2)
terhadap partisipasi politik (Y) sebesar 100,00% (SR total), sedangkan
Sumbangan Efektif (SE) variabel pendidikan (X1) dan variabel status sosial
(X2) terhadap variabel partisipasi politik (Y) sebesar 24,152% (SE total). Dari
hasil perhitungan total tersebut, maka dapat dinyatakan bahwa pendidikan
(X 1 ) dan status sosial (X 2 ) secara bersama-sama memiliki pengaruh yang
nyata terhadap variasi naik-turunnya partisipasi politik (Y), yaitu sebesar
24,152%. Dengan kata lain, perubahan
partisipasi politik (Y) ditentukan
pendidikan (X1) dan status sosial (X2) secara bersama-sama sebesar 24,152%.
Sementara, sisanya (100% - 24,152% = 75,848%) dijelaskan oleh variabel lain
yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
D. Pembahasan Hasil Analisis Data
Setelah dilakukan analisis data untuk menguji hipotesis, kemudian
dilakukan pembahasan hasil analisis data penelitian sebagai berikut :
1. Hubungan antara pendidikan (X1) dengan partisipasi politik (Y) di Desa
Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara.
Pada bagian pengujian hipotesis telah dipaparkan bahwa koefisien
korelasi antara X1 dengan Y sebesar 0,402 dan p = 0,001, sehingga hipotesis
yang berbunyi “Ada hubungan antara pendidikan dengan partisipasi politik di
Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara” diterima.
149
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan turut mempengaruhi partisipasi politik warga masyarakat.
Pendidikan merupakan salah satu sarana sosialisai politik yang efektif bagi
generasi bangsa, antara lain berupa penanaman sikap loyal atau sikap kritis
terhadap pemerintah. Melalui pendidikan, seseorang memperoleh pengetahuan
dan informasi tentang politik dan persoalan-persoalannya. Semakin tinggi
jenjang pendidikan yang ditempuh semakin tinggi pula pengetahuan dan
informasi yang diperoleh. Dengan kata lain, semakin lama pendidikan yang
ditempuh seseorang juga akan mempengaruhi tinggi rendahnya pengetahuan
dan wawasan yang diperoleh. Masyarakat yang berpendidikan tinggi memiliki
pengetahuan dan informasi politik yang lebih luas dibanding masyarakat yang
berpendidikan rendah, sehingga masyarakat yang berpendidikan tinggi lebih
memiliki minat, kecakapan, dan kemampuan politik. Hal inilah yang
menyebabkan kesadaran berpolitik yang tinggi, sehingga tingkat partisipasi
politik masyarakat yang berpendidikan tinggi lebih tinggi dibanding tingkat
partisipasi politik masyarakat yang berpendidikan rendah.
Sumbangan efektif pendidikan lebih besar dari pada sumbangan efektif
status sosial. Hal tersebut menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai
peranan yang penting dalam meningkatkan partisipasi politik warga
masyarakat. Seseorang yang berpendidikan tinggi namun status sosialnya
rendah memiliki pandangan yang makin luas, dan terbuka pikiran atau akalnya
untuk memperjuangkan hak-haknya dalam kegiatan politik dari pada
seseorang yang berpendidikan rendah namun status sosialnya tinggi.
Keterlibatan seseorang dalam kegiatan politik tidak hanya didasarkan pada
jabatan yang dimilikinya semata, walaupun memiliki jabatan yang tinggi
namun pengetahuan dan wawasannya terbatas maka partisipasi politiknya pun
rendah. Orang-orang yang berpendidikan tinggi memiliki kesempatan yang
luas untuk menduduki suatu jabatan politik tertentu karena kemampuan dan
kecakapan yang dimilikinya dari pada orang yang berpendidikan rendah.
150
2. Hubungan antara status sosial (X2) dengan partisipasi politik (Y) di Desa
Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara.
Pada bagian pengujian hipotesis telah dipaparkan bahwa koefisien
korelasi antara X2 dengan Y sebesar 0,381 dan p = 0,001, sehingga hipotesis
yang berbunyi “Ada hubungan antara status sosial dengan partisipasi politik di
Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara” diterima.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa status
sosial turut mempengaruhi partisipasi politik warga masyarakat. Status sosial
merupakan
kedudukan
seseoang
atau
keluarga
dalam
kehidupan
bermasyarakat yang didasarkan pada kehormatan, pekerjaan, penghasilan, hak
milik, dan pemenuhan kebutuhan keluarga. Perbedaan status sosial seseorang
menyebabkan perbedaan kesempatan atau peluang dalam masyarakat.
Semakin tinggi status sosial keluarga semakin luas kesempatan atau peluang
untuk berpolitik yang lebih berkualitas dari pada seseorang yang berstatus
sosial di bawahnya. Seseorang yang memiliki waktu, fasilitas, pekerjaan,
pangkat dan kekuasaan yang tinggi, orientasi hidupnya semakin luas maka ia
tidak hanya sekedar memikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan pokok
keseharaian saja tetapi juga peduli pada situasi politik yang sedang
berkembang di lingkungannya. Dengan demikian masyarakat yang berstatus
tinggi memiliki tingkat pengetahuan politik, minat, dan perhatian pada politik,
serta sikap dan kepercayaan yang tinggi pada pemerintah. Hal inilah yang
mendorong seseorang untuk berpartisipasi politik, sehingga tingkat partisipasi
politik masyarakat yang berstatus sosial tinggi lebih tinggi dibanding tingkat
partisipasi politik masyarakat yang berstatus sosial rendah.
Sumbangan efektif status sosial lebih kecil dari pada sumbangan
efektif pendidikan, meskipun demikian status sosial tetap berperan dalam
meningkatkan partisipasi politik warga masyarakat. Seseorang yang memiliki
status sosial tinggi belum tentu dapat menjamin adanya partisipasi politik yang
optimal namun bukan berarti tidak dapat optimal sama sekali. Seseorang yang
status soialnya tinggi namun pendidikannya rendah dapat aktif dalam kegiatan
politik karena dipengaruhi oleh tuntutan tugas dan wewenang yang
151
dimilikinya. Adanya rasa tanggungjawab terhadap tuntutan akan tugas dan
wewenang yang dimiliki seseorang dalam suatu jabatan tertentu akan
mendorongnya untuk meningkatakan pengetahuan dan wawasan politik yang
pada akhirnya berdampak pada partisipasi politiknya. Di sisi lain, ada pula
orang yang menduduki jabatan tinggi dalam masyarakat namun kurang tertarik
terhadap kegiatan politik secara luas karena merasa bahwa jabatan yang
dimilikinya cukup aman dalam persaingan politik.
3. Hubungan antara pendidikan (X1) dan status sosial (X2) dengan partisipasi
politik (Y) di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu, Banjarnegara.
Pada bagian pengujian hipotesis telah dipaparkan bahwa koefisien
korelasi antara X1 dan X2 dengan Y sebesar 0,491, F = 10,986 dan p = 0,000,
sehingga hipotesis yang berbunyi “Ada hubungan antara pendidikan dan status
sosial dengan partisipasi politik di Desa Pekandangan, Kecamatan
Banjarmangu, Banjarnegara” diterima.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan dan status sosial secara bersama-sama mempengaruhi partisipasi
politik warga masyarakat. Masyarakat yang berpendidikan tinggi dan status
sosialnya pun juga tinggi memiliki pengetahuan dan informasi tentang politik
serta waktu atau kesempatan yang lebih luas. Seberapa luas wawasan dan
pengetahuan seseorang tentang politik jika tidak memiliki waktu atau
kesempatan, tenaga dan finansial yang mendukung maka partisipasi politiknya
pun kurang optimal. Hal-hal inilah yang mendorong seseorang lebih peduli,
tertarik, dan perhatian terhadap dinamika politik yang berlangsung
dilingkungannya yang pada akhirnya memunculkan kesadaran untuk
berpartisipasi politik. Dengan demikian, seseorang yang berpendidikan tinggi,
dan status sosialnya juga tinggi akan memiliki kesadaran politik yang tinggi
sehingga mampu berpartisipasi politik secara optimal.
Besarnya sumbangan efektif pendidikan dan status sosial secara
bersama-sama berperan penting dalam meningkatkan partisipasi politik
masyarakat. Semakin tinggi pendidikan dan status sosial masyarakat semakin
tinggi pula partisipasi politiknya. Partisipasi politik seseorang semakin matang
152
ketika ia menduduki suatu jabatan politik yang diimbangi dengan penguasaan
pengetahuan dan wawasan politik yang memadai. Seseorang yang
pendidikannya rendah dan status sosialnya juga rendah maka partisipasi
politiknya rendah. Keterbatasan penguasaan pengetahuan dan wawasan politik
bagi masyarakat miskin ditambah dengan ketidak tersediaan waktu dan tenaga
untuk aktif dalam kegiatan politik semakin menurunkan partisipasi politiknya.
Rendahnya pengetahuan dan wawasan politik yang dimiliki masyarakat
miskin disebabkan kurangnya pendidikan yang memadai dan keterbatasan
pemilikan sarana media masa dan komunikasi sebagai alat untuk mengakses
informasi politik yang update. Masyarakat miskin waktunya lebih banyak
digunakan untuk aktifitas ekonomi dalam rangka memenuhi kebutuhan
keseharian, sedangkan waktu yang digunakan untuk kegiatan politik sangat
terbatas bahkan hampir tidak ada.
153
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisa data yang diperoleh tentang partisipasi politik ditinjau
dari pendidikan dan status sosial di Desa Pekandangan, Kecamatan Banjarmangu,
Banjarnegara, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pendidikan memiliki hubungan positif secara signifikan dengan partisipasi
politik. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi pendidikan (X1) akan
menyebabkan partisipasi politik (Y) semakin tinggi, demikian pula sebaliknya.
Antara pendidikan (X1) dengan partisipasi politik (Y) juga terdapat hubungan
yang nyata atau meyakinkan.
2. Status sosial memiliki hubungan positif secara signifikan dengan partisipasi
politik. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi status sosial (X2) akan
menyebabkan partisipasi politik (Y) semakin tinggi, demikian pula sebaliknya.
Antara status sosial (X2) dengan partisipasi politik (Y) juga terdapat hubungan
yang nyata atau meyakinkan.
3. Pendidikan dan status sosial memiliki hubungan positif secara signifikan
dengan partisipasi politik. Hal ini dapat diartikan bahwa semakin tinggi
pendidikan (X1) dan status sosial (X2) secara bersama akan menyebabkan
partisipasi politik (Y) semakin tinggi, demikian pula sebaliknya. Antara
pendidikan (X1) dan status sosial (X2) dengan partisipasi politik (Y) juga
terrdapat hubungan yang nyata atau meyakinkan.
4. Sumbangan efektif pendidikan (X 1 ) terhadap partisipasi politik (Y) lebih besar
dibanding sumbangan efektif dari status sosial (X 2 ). Variabel pendidikan
(X 1 ) memberikan sumbangan efektif terhadap partisipasi politik (Y) sebesar
16,159%. Sementara itu, sumbangan efektif status sosial (X 2 ) terhadap
partisipasi politik (Y) sebesar 7,994%. Secara keseluruhan sumbangan efektif
pendidikan (X1) dan status sosial (X2) terhadap partisipasi politik (Y) sebesar
153
154
24,152%, sedangkan sisanya (100% - 24,152% = 75,848%) dijelaskan oleh
variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini.
B. Implikasi
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, ada sejumlah
implikasi penting partisipasi politik masyarakat. Adapun imlikasi-implikasi
temuan tersebut dapat dipaparkan secara rinci sebagai berikut:
1. Dengan adanya hubungan positif secara signifikan antara pendidikan dengan
partisipasi politik, maka masyarakat perlu meningkatkan pendidikannya
dengan cara mengikuti berbagai program yang telah disediakan oleh
pemerintah. Warga masyarakat yang tidak sempat melanjutkan pendidikan
formal, maka dapat mengikuti program kejar paket A, B dan C. Peningkatan
pengetahuan dan wawasan tentang politik, diharapkan dapat melahirkan
generasi bangsa yang memiliki tingkat partisipasi politik yang tinggi.
Pemerintah hendaknya dapat mengoptimalkan fungsi lembaga pendidikan
sebagai media sosialisasi politik, sehingga diharapkan tumbuhnya keyakinan
akan kemampuan politik di kalangan masyarakat. Sekolah perlu mengadakan
perbaikan masalah kurikulum, buku-buku teks, metode pengajaran, organisasiorganisasi yang ada di sekolah, lingkungan kelas, siswa, guru, dan strukturstruktur administrasi, secara implisit maupun eksplisit terkait dengan
sosialisasi politik.
2. Dengan adanya hubungan positif secara signifikan antara status sosial dengan
partisipasi politik, maka masyarakat perlu meningkatkan status sosialnya
melalui usaha-usaha nyata, seperti bekerja keras, suka menabung, tidak putus
asa, dan mandiri. Pemerintah hendaknya memperhatikan kesejahteraan
masyarakat melalui peningkatan keamanan, perluasan lapangan kerja,
pemerataan
pembangunan,
dan
peningkatan
kualitas
pendidikan.
Terpenuhinya kesejahteraan masyarakat didapatkan melalui usaha-usaha yang
disengaja.
Oleh
karena
itu,
kedudukan
seseorang
yang
terpenuhi
kesejahteraannya melalui usaha-usaha tersebut dinamakan achieved status.
Status ini bersifat terbuka bagi siapapun tergantung kemampuan masing-
155
masing dalam mencapai tujuan-tujuan hidupnya. Hal ini mendorong seseorang
untuk bersaing dalam kegiatan politik sebagai upaya untuk mempermudah
pencapain tujuan-tujuan tersebut.
3. Dengan adanya hubungan positif secara signifikan secara bersama antara
pendidikan dan status sosial dengan partisipasi politik, maka pendidikan perlu
ditingkatkan dan diiringi dengan peningkatan status sosial masyarakat.
Program wajib belajar sembilan tahun, pemberian anggaran pendidikan dan
otonomisasi sekolah merupakan langkah awal pemerintah untuk meningkatkan
pendidikan yang harus direalisasikan dengan baik. Pendidikan dengan segala
perangkatnya merupakan salah satu sarana yang efektif untuk mentransfer
nilai-nilai yang diharapkan dalam kehidupan bernegara, misalnya sekolah
senatiasa menanamkan nilai-nilai tentang hak-hak dan kewajiban sebagai
warga negara yang baik. Semakin tinggi pendidikan seseorang semakin tinggi
pula pengetahuan dan kesadaran akan hak-hak dan kewajibannya untuk
berpartisipasi dalam kegiatan politik.
Selain itu, kesadaran berpartisipasi
politik juga banyak yang berasal dari golongan yang bersatus sosial tinggi.
Terjaminnya kesejahteraan masyarakat semakin memupuk kepercayaan dan
loyalitas terhadap pemerintah. Hal tersebut berdampak pada meningkatnya
minat, perhatian, dan kesadaran politik yang pada akhirnya berujung pada
partisipasi politik yang berkualitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh karena itu, pemerintah dan masyarakat perlu mengembangkan kerja
sama yang baik dalam rangka meningkatakan kesejahteraan hidup berbangsa
dan bernegara.
C. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh, maka diajukan saran-saran
sebagai berikut:
1. Bagi Pemerintah
a. Aparat pemerintah Desa Pekandangan hendaknya dapat mengembangkan
tingkah laku politik yang dapat merangsang partisipasi politik masyarakat
156
dengan cara memberi kesempatan berpendapat yang cukup luas dalam
setiap rapat dengan masyarakat.
b. Hendaknya pemerintah Desa Pekandangan mempertimbangkan masukan
dari berbagai elmen masyarakat baik yang disampaikan secara pribadi
maupun kelompok melalui Karang Taruna, PKK, Koperasi, dan Remaja
Masjid dalam proses pengambilan kebijakan di desa.
c. Hendaknya pemerintah pusat sebagai penyusun atau pelaksana kebijakan
mampu
memahami
berbagai
tuntutan
masyarakat
dalam
rangka
meningkatkan kesejahteraan hidup.
d. Pemerintah dalam berbagai tingkatan hendaknya memperhatikan kontrol
rakyat sebagai wujud partisipasi politik terutama yang berasal dari
infrastruktur seperti media masa, pendapat umum (Public Opinion),
kelompok kepentingan dalam menyusun suatu kebijakan.
2. Bagi Masyarakat Desa Pekandangan
a. Masyarakat diharapkan dapat mengoptimalkan partisipasinya dalam
kegiatan politik dengan cara:
1) Memberikan dukungan materil, seperti membayar pajak secara rutin.
2) Patuh pada hukum dan perundang-undangan yang berlaku.
3) Membrikan dukungan partisipatif, seperti ikut serta menggunakan hak
pilih dalam pemilu, dan diskusi politik.
4) Memperhatikan segala sesuatu yang diumumkan pemerintah.
b. Hendaknya masyarakat mengupayakan penciptaan mekanisme kontrol
yang efektif terhadap pemerintah baik secara organisasi maupun
perorangan dengan cara memanfaatkan saluran formal (parpol, lembaga
legislatif) maupun saluran non formal (media masa, LBH dan gerakangerakan masa) untuk memberikan dukungan atau kritik terhadap
pemerintah sebagai bentuk partisipasi politik.
c. Masyarakat hendaknya meningkatkan kesadaran terhadap pendidikan,
mengingat pentingnya peran pendidikan sebagai sarana sosialisasi politik.
Proses tersebut diharapkan terjadi secara merata diseluruh lapisan
masyarakat agar pengetahuan dan pemahaman tentang politik tidak hanya
157
menjadi monopoli kalangan elit politik. Dengan demikian, partisipasi
politik yang diharapkan datang dari segenap lapisan masyarakat walaupun
sudah barang tentu dengan kadar yang berlainan.
3. Bagi Lembaga Pendidikan
a. Sekolah diharapkan dapat mensosialisasikan anak didik untuk menerima
kebijakan-kebijakan pemerintah dan memiliki sikap loyal terhadap
pemerintah. Sebaliknya, sekolah juga dapat menanamkan sikap kritis
terhadap pemerintah. Hal ini penting karena tidak selamanya tindakan
pemerintah selalu tepat.
b. Perguruan Tinggi diharapkan dapat menstimulasi mahasiswa sebagai agen
pengubah (agent of change) yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan
pemerintah dalam rangka memperjuangkan kepentingan masyarakat.
4. Bagi Peneliti Lain
Penelitian ini hanya mengkaji masalah partisipasi politik ditinjau dari
pendidikan dan status sosial, maka peneliti lain dapat mengkaji masalah
tersebut dari aspek yang berbeda sehingga kajiannya lebih komperhensif.
Selain pendidikan dan status sosial masih ada aspek lain yang berhubungan
dengan partisipasi politik, misalnya dengan mengkaitkan faktor media masa,
pengalaman berorganisasi, usia, dan jenis kelamin.
Download