PEMETAAN TERUMBU KARANG DI PERAIRAN PULAU TABUHAN

advertisement
PEMETAAN TERUMBU KARANG DI PERAIRAN PULAU TABUHAN KAB.
BANYUWANGI MENGGUNAKAN CITRA SATELIT QUICKBIRD
Reina Damayanti
Program studi Ilmu Kelautan Universitas Trunojoyo Madura
Email [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi dan penyebaran terumbu
karang dengan menggunakan teknik penginderaan jauh memanfaatkan data citra satelit
Quicbird dan menggunakan algoritma Lyzenga. Pengambilan data lapang menggunakan
teknik LIT yang dimaksudkan sebagai data pembandingnya. Hasil klasifikasi terbagi
menjadi 7 kelas yaitu semak belukar, vegetasi, pasir kasar, karang hidup, karang mati,
pecahan karang (rable), dan pasir halus. Luas karang hidup 142.154,79 m2 dan karang
mati 118,932,215 m2. Prosentase terumbu karang pada data lapang menghasilkan 66,15
% (kedalaman 3 m) dan 65,74 % (kedalaman 10 m) yang semuanya masuk dalam
kategori baik. Uji akurasi terhadap citra satelit Quicbird memberikan hasil yang cukup
memadai yaitu 60 %.
Kata kunci: terumbu karang, citra satelit Quicbird, teknik LIT (Line Intercept Transect),
uji akurasi
PENDAHULUAN
Pulau-pulau kecil di Jawa Timur mempunyai potensi terumbu karang yang
masih tergolong baik salah satunya terumbu karang yang berada di perairan Pulau
Tabuhan. Mengingat terumbu karang mempunyai manfaat yang sangat besar bagi biota
laut dan manusia tentunya keberadaanya perlu diperhatikan. Upaya pengembangan
pulau-pulau kecil kini terus diupayakan oleh pemerintah untuk mencapai pulau-pulau
kecil yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan sumberdaya alam yang bisa
dimanfaatkan secara terus menerus (sustainable use). Ketersediaan data dan informasi
mengenai potensi sumber daya alam pesisir dan laut yang akurat, up to date dan siap
pakai menjadi hal penting dalam upaya pengembangannya, salah satunya informasi
tentang terumbu karang. Penghitungan persentase terumbu karang dengan metode
pengambilan data lapang memakan waktu lama dan biaya yang mahal daerah yang
diperolehpun tidak luas oleh karena itu teknik penginderaan jauh dengan memanfaatkan
data citra satelit Quickbird memberikan banyak keuntungan untuk diterapkan dalam
pemetaan terumbu karang.
Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui kondisi dan penyebaran terumbu
karang di Pulau Tabuhan Kabupaten Banyuwangi menggunakan citra satelit Quickbird,
mengetahui persentase penutupan terumbu karang dengan menggunakan teknik LIT,
dan menguji akurasi klasifikasi terumbu karang hasil analisa citra satelit Quickbird.
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Terumbu Karang dan Citra Satelit Quickbird
Terumbu karang adalah sekumpulan hewan karang atau polip yang bersimbiosis
dengan sejenis tumbuhan alga yang disebut zooxanhellae. Terumbu karang terdiri dari
dua kata yaitu terumbu dan karang. Terumbu adalah endapan masif batu kapur terutama
kalsium karbonat (CaCO3), sedangkan karang adalah hewan tak bertulang belakang
yang termasuk dalam filum coelenterata (hewan berongga) atau cnidaria yang mampu
mensekresi CaCO3. Penyebaran dan pertumbuhan terumbu karang dipengaruhi oleh
banyak faktor yaitu salinitas, cahaya, suhu, Ph, kejernihan air, arus, dan substrat (Nontji,
1993).
Citra Quickbird merupakan satelit sumberdaya bumi komersial dengan resolusi
spasial tinggi milik perusahaan swasta AS Digital Globe. Tinggi lintasannya 450 km
(sudut inklinasi 98°) dengan orbit sun synchronous, periode edar 93,5 menit. Lebar
sapuan 16,5 km dengan waktu yang melintas ekuator pada pukul 10.30 waktu setempat.
Resolusi temporal 1-3,5 hari tergantung posisi lintang. Quickbird mempunyai 5 saluran
(band) yang dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Saluran Citra Satelit Quickbird
Band
1
2
3
4
5
Panjang Gelombang (µm)
0,450 - 0,520
0,520 – 0,600
0,600 – 0,690
0,760 – 0,900
0,450 – 0,900
Resolusi Spasial (m)
2,4
2,4
2,4
2,4
0,61
Daerah Spektrum
Biru
Hijau
Merah
Infra merah dekat
Pankromatik
Sumber : Arief (2008)
METODE
Lokasi penelitian pemetaan terumbu karang menggunakan citra satelit Quickbird
di Pulau Tabuhan Kabupaten Banyuwangi. Penelitian dikerjakan pada bulan Juli sampai
dengan Oktober 2011. Citra yang digunakan adalah Quickbird dengan akuisisi 20 Mei
2011. Band yang dipakai adalah band 1 dan band 2, algoritma yang digunakan adalah
lyzenga (Wouthuyzen, 2001). Alat dan bahan yang digunakan adalah seperangkat
komputer spesifikasi core i3, perangkat lunak pemprosesan data citra, perangkat lunak
SIG, microsoft office dan printer. Menurut Siregar (2010) pengolahan citra terdiri dari:
1. Koreksi citra (koreksi geometri dan radiometri).
2. Cropping adalah pemotongan citra sesuai dengan wilayah penelitian.
3. Pemilihan training area, pemilihan area sebanyak 30 titik. Penentuan 30 titik
dilakukan pada objek atau area pada citra baik band 1 dan band 2 yang secara visual
diduga sebagai bagian dari ekosistem terumbu karang. Setelah itu melakukan
penghitungan ragam (varian) dan peragam (covarian) dari band 1 dan band 2 yang
dimaksudkan untuk mendapatkan nilai ki/kj dari algoritma Lyzenga.
4. Transformasi Lyzenga, menggunakan software ENVI 4.4. Metode yang digunakan
adalah klasifikasi unsupervised-isodata dengan mengkelaskan menjadi 7 kelas.
5. Klasifikasi terumbu karang. Dalam penelitian ini, karena daratan tidak dipisah
dengan laut maka pengkelasan dibagi menjadi semak belukar, vegetasi, pasir kasar,
terumbu karang, karang mati, rable, dan pasir halus. Cara pengerjaannya adalah
setelah didapatkan peta hasil klasifikasi unsupervised kemudian di export ke Arc
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
GIS. Peta yang semula raster dirubah menjadi vektor sehingga bisa menambahkan
informasi didalamnya yaitu berupa pengkelasan nama berdasarkan warna hasil
klasifikasi unsupervised. Selain itu informasi mengenai luas keseluruhan tiap kelas
pada citra Quickbird Pulau Tabuhan bisa diketahui dengan mengexport atribut table
ke microsoft excel yang kemudian memanfaatkan tools pivot table.
Pengambilan data lapang menggunakan metode transek garis dengan melakukan
penyelaman ke dasar perairan menggunakan peralatan selam scuba, pada kedalam 3 m
dan 10 m. Selain itu juga melakukan pengukuran terhadap kualitas perairan meliputi
kecerahan, salinitas, suhu, dan pH. Menurut English et al. (1994) prosedur kerja metode
transek garis adalah sebagai berikut:
1. Merentangkan rol meter di atas ekosistem terumbu karang sepanjang 100 m.
2. Memperhatikan dan mengamati biota habitat dasar yang terbentang di bawah
(menyinggung) rol meter sepanjang 100 m.
3. Setelah rol meter dibentangkan, pengambilan data bergerak perlahan dari titik nol
untuk mencatat transisi dan lifeform (kategori)yang berada tepat di bawah transek
pada lembar data (data sheet).
4. Pengambilan data harus mencatat kode lifeform biota habitat dasar dan transisi
(dalam cm) tempat pergantian lifeform. Kemudian pencatatan dituliskan dalam
lembar data sesuai dengan format tercantum.
Analisa data meliputi analisa data citra Quickbird, penghitungan persentase
penutupan terumbu karang pada pengambilan data lapang serta uji akurasi terhadap
keduanya. Analisa citra menggunakan algoritma Lyzenga, dimana koefisien
attenuasinya harus dicari terlebih dahulu. Menurut Siregar (2010) koefisien attenuasi
berguna untuk penajaman terumbu karang (ki/kj) yang didasarkan pada penghitungan
ragam dan peragam yaitu:
(1)
(2)
Sedangkan formula untuk melakukan transformasi Lyzenga adalah:
(3)
Penghitungan persentase penutupan terumbu karang pada data lapang (English
et al.1994 dalam Insafitri 2010) adalah:
% penutupan jenis ke  i 
panjang total kategori ke  i
100%
panjang transek
Kriteria penutupan karang hidup ditentukan sebagai berikut:
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
(4)




75,0% - 100%
= sangat baik
50,0% - 74,9% = baik
25,0% - 49,9% = sedang
0,0% - 24,9%
= buruk
Agar dapat mengetahui hasil pengolahan citra sesuai dengan data lapang maka
langkah selanjutnya adalah membuat titik pada peta hasil penutupan terumbu karang,
masing-masing kelas sebanyak 10 titik, yang kemudian membandingkannya dengan
citra Quickbird komposit RGB (321). Hal ini karena citra Quickbird mempunyai
resolusi spasial yang tinggi maka objek di muka bumi bisa diidentifikasi secara visual
kecuali kelas karang hidup dan karang mati. Oleh karena itu kelas semak belukar,
vegetasi, pasir kasar, pecahan karang (rable) di bibir pantai dan pasir halus langsung
bisa dibandingkan. Khusus kelas karang hidup dan karang mati dibandingkan dengan
data lapang. Uji akurasi dilakukan terhadap kelompok piksel yang mewakili objek
tertentu yang diambil sebagai sampel dalam suatu poligon objek dengan koordinat
lokasi yang sama di lapangan. Selanjutnya sampel yang telah diambil dari lapangan
dibandingkan dengan piksel hasil klasifikasi. Metode ini dikenal dengan error matrix
atau confution matrix.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai ki/kj 0, 9975, sehingga tranformasinya ketika diekstraksi ke dalam citra
adalah (alog10(b1))+(0,9975*alog10(b2)) kemudian dikelaskan secara unsupervisedisodata. Citra hasil ekstraksi algoritma Lyzenga menghasilkan pembagian objek
sebanyak 7 kelas kemudian dianalisis menggunakan software sistem informasi
geografis, hasilnya bisa dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Peta Penutupan Terumbu Karang Berdasarkan Pengolahan Citra
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Luas pada masing-masing kelas adalah untuk kelas semak belukar 1.317,31 m2,
kelas vegetasi 3.448.395 m2, kelas pasir kasar 1.259.297,96 m2, kelas karang hidup
142,154,79 m2, kelas karang mati 118.932,215 m2, kelas pecahan karang (rable)
8.909.864 m2, dan pasir halus 5.824.910 m2 dimana dapat dilihat pada gambar 2.
125.929,7
89.098,64
96Semak Belukar
58.249,1 1.317,31 34.483,95
Vegetasi
Pasir Kasar
Karang Hidup
Karang Mati
118.932,2
15
Pecahan Karang
142.154,7 Pasir Halus
9
Gambar 2. Diagram Pie Luas Klasifikasi (m2)
Pengambilan data lapang menggunakan metode transek garis pada kedalaman 3
m dan 10 m. Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran substrat terumbu karang
pada kedalaman 3 m secara umum didominasi Hard Coral dari golongan Non
Acropora, yaitu Coral Branching (CB) dengan prosentase tutupan karang sebesar 33,05
%, spesies yang ditemukan pada kedalaman 3 m yaitu Montipora digitata, Porites
nigrescens, Porites cylindrica, Seriatopora hystrix, Seriatopora caliendrum. Selain itu
juga ditemukan Hard Coral dari golongan Acropora yaitu Acropora Branching (ACB)
dengan persentase tutupan karang sebesar 8,8%, berasal dari spesies Acropora formosa,
Acropora sellago, Acropora tenuis.
0,00%
Karang Hidup
24,85%
Karang Mati
66,15%
5,20%
Biota Lain
Algae
Abiotik
3,80%
Gambar 3. Total Persentase Tutupan Lifeform Berdasarkan Jenisnya Pada
Kedalaman 3 m
Pada diagram pie persentase penutupan terumbu karang di kedalaman 3 m
terbagi menjadi karang hidup 66,15 % (kategori baik), karang mati 3,8 %, biota lain 5,2
%, algae 0 %, dan abiotik 24,85 %. Pada kedalaman 10 m, terumbu karang yang banyak
ditemukan sama dengan kedalaman 3 m yaitu jenis non Acropora (CB) sebesar 46,49
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
%. Pada Gambar 4 tercatat 65,74 % substrat tertutupi oleh karang hidup, hal ini
termasuk dalam kategori baik. Koloni-koloni karang hidup yang ditemukan umumnya
berukuran kecil dan pendek, memiliki bentuk hidup beragam yaitu bercabang,
mengerak, lembaran, massif, submassif dan jamur. Akibat arus yang terlalu kencang,
pengamat tidak melakukan pengamatan keanekaragaman jenis karang secara
menyeluruh, namun secara kualitatif, dapat dipastikan lokasi ini memiliki kekayaan
jenis karang yang cukup tinggi. Sebagian kecil jenis yang sempat tercatat oleh pengamat
diantaranya adalah Hydnopora, Fungia, Euphyllia, Montipora, Galaxea, Millepora,
Porites, Favia, Pocillopora, Favites, Dendrophyllia, Cyphastrea, Montipora,
Psammocora, dan Symphyllia. Karang mati yang ditemukan di lokasi ini relatif kecil,
hanya 4,7 %.
Karang Hidup
22,87
Karang Mati
0,98
5,71
Biota Lain
65,74
4,70
Algae
Abiotik
Gambar 4. Total Persentase Tutupan Lifeform Berdasarkan Jenisnya Pada
Kedalaman 10 m
Uji akurasi menggunakan matriks kesalahan (error matrix atau confution matrix)
dimana penghitungan uji akurasinya menggunakan data pada tabel matrix uji akurasi
(Tabel 2). kelas 1 adalah semak belukar, kelas 2 vegetasi, kelas 3 pasir kasar, kelas 4
terumbu karang, kelas 5 karang mati, kelas 6 pecahan karang dan kelas 7 adalah pasir
halus. Rumus uji akurasinya adalah (total diagonal dibagi dengan jumlah keseluruhan
titik sampel) kemudian dikalikan 100 % atau (42/70)*100 % sehingga diperoleh nilai 60
%. Jadi nilai akurasi untuk mengetahui tingkat kebenaran pengolahan citra dengan
keadaan sebenarnya di lapang sebesar 60 %. Lebih rincinya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Matrix Uji Akurasi
Citra
1
2
3
4
5
6
7
Total kolom
Komisi
Total diagonal
1
4
5
1
0
0
0
0
10
6
42
2
0
10
0
0
0
0
0
10
0
3
0
4
4
0
2
0
0
10
6
4
0
0
0
5
2
0
3
10
5
Data lapang
5
6
0
0
0
0
0
1
2
0
5
3
0
5
3
1
10
10
5
5
7
0
0
0
1
0
0
9
10
1
Total
4
19
6
8
12
5
16
Sumber: data lapang
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Omisi
0
9
2
3
7
0
7
Hasil pengolahan citra Quickbird menggunakan algoritma Lyzenga didapatkan
klasifikasi tutupan terumbu karang sebanyak 7 kelas dikarenakan dalam tahapan
pengerjaannya tidak melakukan masking darat dan laut. Pada pengkelasan objek ada
beberapa piksel yang terbaca masuk dalam kelas yang lain, misalnya karang hidup dan
karang mati yang teridentifikasi di pulau. Selain itu kelas semak belukar, vegetasi dan
pasir kasar. Pada citra Quickbird dengan komposit warna true color nampak jelas
bahwa daerah tersebut adalah vegetasi di pulau namun setelah dilakukan ekstraksi
algoritma Lyzenga lokasi tersebut terbaca menjadi pasir kasar. Hal ini dimungkinkan
dalam penentuan 30 titik yang diduga terumbu karang kurang tepat sehingga berdampak
pada nilai ki/kj yang diperoleh. Selain itu sinar pantulan yang diterima sensor dari objek
yang ada di bumi dimungkinkan mengalami salah tafsir sehingga berdampak pada nilai
pixel value yang juga digunakan dalam penentuan ki/kj. Pada penghitungan luas ditiap
kelas didapatkan karang hidup lebih luas dari pada karang mati yaitu 142.154,79 m2 dan
118.932,215 m2. Pada pemetaan terumbu karang klasifikasi terumbu karang yang
dihasilkan penggambarannya secara umum artinya hanya pada kenampakan yang terjadi
di permukaan bumi setelah pengolahan citra dilakukan dan juga lebih didasarkan pada
aspek keruangan dari karakteristik tempat tumbuh terumbu karang tersebut.
Pada kedalaman 10 m prosentase terumbu karang lebih kecil namun
keanekaragaman jenis terumbu karang lebih banyak dan berukuran kecil. Hal ini
dikarenakan topografi yang berbeda antara kedalaman 3 m dan 10 m. Pada kedalaman
10 m mempunyai kemiringan yang cukup curam antara 45°- 60°, arus perairan lebih
besar. Menurut Nybakken (1988) arus sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
terumbu karang karena berkaitan dengan ketersediaan makanan jasad renik, oksigen
maupun terhindarnya karang dari timbunan endapan, namun arus yang terlalu besar juga
bisa mematahkan terumbu karang. Itulah sebabnya pada kedalaman 10 m terumbu
karang lebih bervariasi jenisnya namun hampir semuanya berukuran kecil, diduga
terumbu karang hanya mampu tumbuh sampai ukuran sedang.
Apabila dibandingkan dengan data kualitas air pada Tabel 4.3 menurut Nontji
(2003) dan Nyabakken (1988) ambang batas untuk parameter pertumbuhan terumbu
karang adalah suhu (25-28o C), pH (7.0-8.5), salinitas (27-40 ‰) dan kecerahan (> 3 m)
maka dapat dijelaskan bahwa kondisi parameter-parameter kualitas perairan di kawasan
Pulau Tabuhan masih berada dibawah ambang batas yang disyaratkan. Kondisi ini
menunjukkan bahwa perairan Pulau Tabuhan adalah perairan yang alami dan belum
mengalami penurunan kualitas ataupun pencemaran yang diakibatkan baik oleh
peristiwa alami atau akibat aktivitas manusia. Selain itu, perairan di sekitar Pulau
Tabuhan masih sangat baik dalam mendukung pertumbuhan dan perkembangan
kehidupan organisme laut sehingga prosentase karang hidup yang diperoleh di lokasi
masuk dalam kategori baik. Pada penelitian Nababan (2009) di bagian timur perairan
Pulau Rubiah Nangroe Aceh Darussalam prosentase terumbu karang yang didapatkan
73,10 % yang juga termasuk dalam kategori baik. Hal ini juga sama dikarenakan
parameter kualitas air di lokasi penelitian masih dalam ambang batas baku mutu.
Pada tabel matrix uji akurasi terdapat kolom omisi dan komisi. Omisi adalah
jumlah piksel yang masuk kekelas lain sedangkan komisi adalah jumlah piksel masuk
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
dari kelas lain. Terlihat bahwa omisi paling besar terdapat pada kelas vegetasi, hal ini
dikarenakan pada waktu perbandingan antara citra hasil transformasi algoritma Lyzenga
dan citra Quickbird komposit RGB nampak jelas perbedaan yang didapat. Pada citra
komposit nampak jelas sebuah vegetasi namun pada citra hasil transformasi algoritma
Lyzenga terbaca menjadi kelas yang lain misal pasir kasar. Komisi paling besar terdapat
pada kelas semak belukar dan pasir kasar. Dua kelas tersebut banyak piksel yang masuk
pada kelas vegetasi. Tentu permasalahannya sama, letak kesalahan terdapat pada waktu
identifikasi. Semua itu akan mempengaruhi pada jumlah diagonal yang natinya dipakai
dalam penghitungan uji akurasi.
Dalam penelitian ini didapatkan nilai uji akurasi adalah 60 %. Ada beberapa
literatur yang menyebutkan nilai uji akurasi bisa dikatakan benar-benar mewakili
keadaan lapang apabila nilainya minimal 80 %. Namun pada penelitian Siregar (2010)
di kepulauan Seribu yang juga menggunakan citra satelit Quickbird didapatkan hasil uji
akurasi 76% dan itu disimpulkan uji akurasinya memadai, yang menjadi patokannya
adalah pesawat dan CASI dimana keduanya memiliki uji akurasi 67 % dan 81 %.
Merujuk dari hal ini uji akurasi 60 % yang didapatkan bisa dikatakan juga cukup
memadai, artinya informasi tutupan terumbu karang yang diberikan oleh citra Quickbird
menggunakan algoritma Lyzenga cukup mewakili keadaan di lapang.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Kondisi dan penyebaran terumbu karang di Pulau Tabuhan tergolong dalam kategori
baik, dengan luas karang hidup 142.154,79 m2.
2. Prosentase terumbu karang dengan menggunakan metode LIT pada kedalaman 3 m
dan 10 m menghasilkan prosentase 66,15 % dan 65,74 % yang termasuk dalam
kategori baik
3. Uji akurasi yang dihasilkan 60%, hal ini mengartikan bahwa pemetaan terumbu
karang menggunakan citra satelit Quickbird dapat memberikan informasi yang cukup
mewakili keadaan di lapang.
Saran
1. Sebaiknya dalam metode perlu melakukan masking (pemisahan darat dan laut)
sehingga yang terinterpretasikan hanya objek di laut saja. Hal ini yang akan
menyebabkan nilai omisi dan komisi menjadi lebih kecil.
2. Metode klasifikasi yang digunakan untuk pemetaan terumbu karang sebaiknya
terbimbing (supervised) sehingga memungkinkan nilai uji akurasi yang didapat
lebih tinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Arief M, 2008. Analisis Penentuan Ekosistem Laut Pulau-Pulau Kecil Dengan
Menggunakan Data Satelit Resolusi Tinggi Studi Kasus Pulau Bokor. Majalah
Sains dan Tekhnologi Dirgantara Volume 3 No 4 edisi Desember 2008: 149-157
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
DKP Provinsi Jawa Timur. 2011. Laporan Akhir Pemetaan Potensi Sumber Daya PulauPulau Kecil. Jawa Timur
English SC, Wilkinson, dan Baker V. 1994. Survey Manual For Tropical Marine
Resources. Australian Institut Of Marine Science. Townsville
Insafitri. 2010. Prosentase Penutupan Terumbu Karang Di Pulau Kangean Sumenep.
Bangkalan. Universitas Trunojoyo
Nababan T. 2009. Persen Tutupan (Percent Cover) Terumbu Karang Hidup Di Bagian
Timur Perairan Pulau Rubiah Nangroe Aceh Darussalam. [Skripsi]. Medan:
Universitas Sumatra Utara
Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Jakarta: Djambatan
Noviar H dan Wiradisastra US. 2005. Kemampuan Interpretasi Kebun Semangka dari
Citra Satelit Landsat 7 ETM+. Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV.
Surabaya: ITS
Nybakken JW. 1988. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologi. Jakarta: Gramedia
Sirengar V. 2010. Pemetaan Substrat Dasar Perairan Dangkal Karang Congkak dan
Lebar Kepulauan Seribu Menggunakan Citra Satelit Quickbird. E-Jurnal Ilmu
dan Teknologi Kelautan Tropis: IPB. Volume 2 No 1 edisi Juni 2010: 19-30
Wouthuyzen S. 2001. Pemetaan Perairan Dangkal Dengan Menggunakan Citra Satelit
LANDSAT TM 5 Guna Dipakai Dalam Pendugaan Ikan Karang: Suatu Studi Di
Pulau-Pulau Padaido. In: Prosiding seminar potensi dan eksploitasi sumberdaya
alam nasional dalam mendukung otonomi daerah di Jakarta; 29 Maret 2001.
LIPI
Artikel ini telah di presentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012
Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012
Download