Rekayasa Serangga Biokontrol Hama di indonesia

advertisement
8
AgroinovasI
Rekayasa Serangga
Biokontrol Hama di Indonesia
K
etika mendapat amanah dari senior saya untuk meneruskan ‘menjaga’ Koleksi
Referensi Spesimen Serangga yang merupakan warisan tak ternilai (bukan tak
bernilai, red) yang bahkan umurnya sudah jauh lebih tua dari saya, perlahanlahan dan secara diam-diam, terlukis angan-angan dalam benak saya : ...
akankah suatu saat nanti, pada suatu masa, serangga akan mendapatkan tempat yang
istimewa dalam sains dan bioteknologi di litbang pertanian kita?... merekayasa serangga
misalnya, sebagaimana yang dilakukan terhadap tanaman oleh para bioteknolog di
institusi saya- BB Biogen- yang berjuang pantang mundur untuk menghasilkan tanaman
transgenic… Anyway, terlepas akan terwujud atau tidaknya angan-angan tersebut, life
must go on.. “So lets keep on searching and finding, what actually we can do with our
diversity of insects…?!”
Di dalam dunia pertanian sebenarnya fungsi utama suatu serangga dalam
ekosistem hanya ada dua, yaitu serangga yang berguna (beneficial insects) dan serangga
yang merugikan – atau biasa dikategorikan sebagai ‘hama’. Manusia, sebagai makhluk
yang nalurinya ‘suka memanfaatkan’ sesuatu - maka terhadap yang merugikan sekali
pun, tetap berusaha sedapat mungkin mengeksplorasi manfaatnya- dalam konteks ini,
terhadap serangga yang terkategori sebagai hama.
Dan dari sinilah nampaknya awal mula tercetus ide untuk mengubah serangga
hama menjadi serangga ‘pembasmi hama’, antara lain melalui rekayasa serangga. Pada
tanaman, metode yang banyak digunakan untuk mendapatkan tanaman transgenik
ada 2 macam, yaitu dengan transformasi menggunakan ‘biolistic bombardment’
(penembakkan gen dengan alat khusus) dan yang menggunakan media Agrobacterium
tumefaciens (sejenis bakteri), dengan preferensi lebih banyak ke pemakaian A.
tumefaciens karena frekuensi keberhasilan transformasi lebih tinggi. Sedangkan pada
serangga, teknik yang dapat digunakan misalnya melalui manipulasi DNAnya (DNADeoxyribonucleic acid merupakan material genetik berupa polinukleotida penyusun
gen yang terdapat pada kromosom semua organisme).
Awalnya, rekayasa DNA yang berkembang digunakan untuk meningkatkan
performans genetik serangga-serangga berguna, misalnya ulat sutera (Bombyx mori),
lebah madu (Apis mellifera) serta serangga musuh alami antara lain : menghasilkan
strain-strain yang lebih tahan penyakit maupun resisten terhadap pestisida, sehingga
dapat menekan biaya produksi menjadi lebih efisien dan lebih murah.
Manipulasi genetik melalui pemuliaan secara tradisional sebenarnya telah
dikembangkan manusia berpuluh-puluh tahun yang lalu terhadap serangga yang
berguna. Dan hasilnya telah mampu meningkatkan resistensi ulat sutera terhadap
penyakit dan meningkatkan kemampuannya dalam memproduksi sutera; demikian pula
pada lebah madu, melalui manipulasi genetik via pemuliaan secara tradisional, mampu
Edisi 16-22 Maret 2011 No.3397 Tahun XLI
Badan Litbang Pertanian
AgroinovasI
9
meningkatkan ketahanan lebah terhadap penyakit dan memperbaiki kemampuannya
sebagai polinator. Berbagai strain musuh alami hama dan tungau yang tahan pestisida
juga berhasil diperoleh via hibridisasi (pemuliaan secara tradisional) dari seranggaserangga predator resisten pestisida, sehingga ketika diaplikasikan di lapangan,
predator tersebut efektif mengendalikan tungau-hama, menghemat biaya pestisida,
serta biaya produksi, yang muaranya: menambah keuntungan petani.
Akan tetapi, seiring perubahan semesta, ekologi, ekosistem dan perkembangan
teknologi, bioteknologi, bahkan nano teknologi, pemuliaan secara tradisional ini kini
mulai tergeser oleh rekayasa secara biotek. Padahal berkat pemuliaan secara tradisional
tersebut, berhasil diperoleh musuh alami yang resisten terhadap pestisida, relatif jarang
mengalami diapaus, serta memiliki toleransi tinggi terhadap temperatur yang ekstrem.
Mengapa demikian? Ditengarai bahwa metode pemuliaan secara tradisional
memiliki keterbatasan yang signifikan, yaitu butuh waktu yang sangat lama, sehingga jika
terus dilanjutkan tanpa dibarengi inovasi lain dikhawatirkan akan terjadi kesenjangan
antara kebutuhan manusia dengan kemampuan iptek untuk mensupport keterpenuhan
atas kebutuhan tersebut yang implikasinya adalah penurunan kualitas hidup manusia.
Mengapa rekayasa serangga? Kemajuan teknologi mayoritas berimplikasi pada
perubahan status dari suatu produk akhir, menjadi bahan baku/bahan dasar, karena
upaya peningkatan performans yang terus-menerus dilakukan. Dengan berhasil
dikembangkannya metode untuk menyisipkan karakter-karakter genetik ke suatu
organisme, maka membuka peluang yang sangat luas bagi pemulia untuk ‘menciptakan’
produk sesuai keinginan atau yang kemudian disebut ‘transgenik’. Misalnya dalam
teknik rekombinan DNA (r-DNA), dapat melipatgandakan jumlah maupun tipe gen yang
potensial untuk dimanfaatkan. Bahkan terdapat ilmuwan yang secara kontroversial
berpendapat bahwa teknologi transgenik ini merupakan alat baru yang sangat vital
untuk mengendalikan hama tertentu yang hingga kini belum teratasi dengan metode
apapun. Manfaat lain dari r-DNA adalah memungkinkan kita untuk mengendalikan jenis
kelamin serangga yang direaring (misalnya untuk diaplikasikan dalam releas jantansteril), serta manfaat lebih luasnya dapat dijadikan media untuk mengintroduksikan
gen lethal (gen yang terekspresinya berupa kematian organisme yang bersangkutan)
atau karakter genetis lainnya ke dalam suatu populasi hama.
Ketika suatu gen yang diinginkan telah berhasil diklon (yaitu suatu proses
untuk menggandakan/memperbanyak karakter tertentu yang diambil dari mahluk
tertentu), maka gen tersebut selanjutnya dapat disisipkan ke sejumlah species serangga
tertentu dalam waktu relatif lebih singkat. Berbagai metode untuk menyisipkan gen
ke tubuh serangga telah berhasil dievaluasi. Dan yang saat ini banyak diadopsi adalah
menggunakan mikroinjeksi dengan vektor TE (Transposable Elemen-yaitu rangkaian
elemen dalam DNA yang dapat berpindah, menyisip, menghapus, atau menambah)
atau menggunakan plasmid – (molekul DNA yang kecil) ke dalam telur serangga atau
dengan menyuntikkan plasmid secara langsung ke sel kelamin serangga jantan atau
abdomen serangga betina. Biasanya plasmid yang banyak digunakan sebagai vektor
adalah plasmid bakteri.
Badan Litbang Pertanian
Edisi 16-22 Maret 2011 No.3397 Tahun XLI
10 AgroinovasI
Contoh-contoh parasitoid (ukuran sebenarnya antara 2 - 4.5 mm)
Selain itu ada juga yang melakukannya dengan cara merendam telur serangga
di dalam DNA, menggunakan sperma untuk membawa DNA ke telur lebah madu, atau
menggunakan alat yang disebut ‘mikro-projektil’ - karena dirancang untuk menembakkan
peluru yang sangat kecil/mikro- yang menembakkan DNA ke dalam telur serangga;
mengelektroporasikan DNA ke telur serangga, dan memindah-tanamkan (transplanting)
inti dan sel. Sistem transformasi menggunakan bantuan mikroba simbion yang hidup
pada saluran pencernaan serangga- atau dikenal dengan paratransgenesis- juga dapat
digunakan sebagai alternatif. Peluang pengembangan metode transformasi makin
terbuka lebar dengan menyisipkan kromosom tiruan ke genom serangga, terutama jika
ingin menyisipkan beberapa gen sekaligus.
Berbicara tentang pengendalian hama, selama lebih dari 4 dekade, sejumlah
serangga hama telah disterilisasi melalui teknik iradiasi maupun secara kimiawi untuk
program pengendalian hama secara genetis, antara lain untuk mengendalikan lalat
buah yang hingga kini menjadi barrier-trade (hambatan dalam perdagangan) bagi
ekspor komoditi hortikultura. Strateginya dikenal dengan ‘teknik releas jantan-steril’ di
mana lalat buah jantan dikembangbiakkan (dipelihara) secara massal untuk selanjutnya
disterilkan, biasanya dengan iradiasi (menggunakan radioaktif), untuk direleas sebagai
‘pengendali lalat buah hama’. Asumsi yang dipakai adalah, jika terdapat sekitar 100
jantan steril direleas untuk setiap jantan liar (perbandingan jantan steril vs jantan liar
(non steril) adalah 100:1), maka betina liar diharapkan akan lebih sering kawin dengan
jantan steril (dengan asumsi keragaan kedua tipe jantan adalah sama) dan hasilnya
akan menurunkan jumlah keturunan yang diproduksi. Kelemahan teknik ini adalah,
hanya akan efektif jika si serangga betina hanya kawin satu kali saja. Kenyataannya, sulit
untuk memonitor perilaku serangga tersebut di lapangan. Dengan mengkombinasikan
metode r-DNA dalam teknik releas jantan steril, maka akan diperoleh manfaat yang
signifikan yaitu meningkatkan efisiensi karena dapat dibedakan antara serangga liar
dengan yang rekayasa.
Kelemahan lain dari teknik jantan-steril untuk pengendalian hama ini adalah
penurunan fitness serangga yang dihasilkan. Sebagaimana kita ketahui, dalam proses
sterilisasi, seluruh bagian tubuh serangga akan diiradiasi, yang tentu saja menyebabkan
kerusakan pada seluruh jaringan somatik serangga. Akibatnya, untuk releas di lapangan,
teknik jantan-steril ini akan membutuhkan serangga steril dalam jumlah besar dengan
rasio 100:1 terhadap jantan liar. Dan biasanya, populasi hama di lapangan “diturunkan”
terlebih dahulu dengan aplikasi pestisida, sebelum dikendalikan dengan releas serangga
jantan-steril tersebut agar jumlah serangga yang diperlukan untuk releas lebih rendah.
Edisi 16-22 Maret 2011 No.3397 Tahun XLI
Badan Litbang Pertanian
AgroinovasI
11
Ini artinya, ketergantungan terhadap pestisida masih ada. Selain itu, rearing serangga
jantan-steril dalam jumlah sangat banyak tentu saja sangat mahal dan cukup sulit (tidak
jarang serangga mati terlebih dulu karena iradiasi). Selain itu, rearing tak hanya bagi
serangga jantan, namun tentu saja dengan serangga betina juga. Sehingga biaya yang
dibutuhkan relatif besar.
Sistem penandaan dengan serbuk flouresen pada tubuh serangga yang
sebelumnya diterapkan, antara lain bertujuan untuk memonitor keberadaan serangga
yang direleas di lapangan, ternyata hanya berdampak kontra-produktif karena selain
menurunkan fitness serangga juga dapat pudar karena lingkungan (terkena air, kotoran
dll), sehingga menyebabkan salah interpretasi terhadap jumlah populasi jantan fertileliar yang sesungguhnya ada di lapangan. Dengan bantuan r-DNA, marker (penanda)
tertentu yang unik, misalnya Green Fluorescent Protein (GFP) –sejenis protein yang
dapat berpendar-dapat disisipkan ke jantan steril yang akan memudahkan untuk
membedakan antara jantan-steril (rekaysa) dengan jantan-fertil liar dari lapangan yang
tertangkap dalam perangkap (yang dipakai untuk memonitor program pengendalian).
Jika komoditi hortikultura dirisaukan oleh hama lalat buah, maka komoditi
pangan – padi tentunya, tak akan lupa terhadap ancaman Nilaparvata lugens atau
yang kita kenal dengan wereng coklat. Bukan petani namanya jika belum kenal hama
ini. Ketika kalangan ilmuwan disibukkan dengan ancaman perubahan iklim, tanpa
disangka-sangka wereng coklat justru beraksi memporakporandakan hamparan sawah
di berbagai sentra padi Pulau Jawa. Berbagai strategi pengendalian telah diasah untuk
mengatasi serangga satu ini. Belum pudar dari ingatan betapa makhluk kecil pengisap
batang padi tersebut berhasil mengembangkan system resistensi dalam tubuhnya
sehingga mampu menghasilkan generasi yang tahan terhadap pelbagai jenis pestisida,
bahkan gen yang mengatur kemampuan resistensi tersebut diketahui bersifat poligenik,
sehingga sulit dipatahkan. Beberapa varietas padi tahan terhadap wereng coklat
telah berhasil dikembangkan, namun disebabkan berbagai hal, nampaknya kurang
berkembang di lapangan, atau bahkan kurang disukai petani kita.
Oleh karenanya, saya berfikir, ketika pendekatan dari sisi rekayasa tanaman untuk
memperoleh tanaman tahan hama ternyata tidak cukup efektif untuk dikembangkan,
mengapa tidak dicoba untuk melakukan pendekatan dari sisi sebaliknya, yaitu rekayasa
serangga hamanya, sebagaimana yang mungkin kini mulai dijajagi untuk dikembangkan
pada pengendalian lalat buah bagi komoditi hortikultura. Barangkali strateginya tidak
harus secara langsung merekayasa werengnya agar menjadi steril via rekayasa genetik
karena tentu sangat sulit, dan belum tentu efektif di lapangan. Akan tetapi barangkali
dapat ditempuh secara tidak langsung, dengan memanfaatkan musuh alaminya. Mungkin
dengan meningkatkan kemampuan parasitoid- yaitu musuh alaminya- untuk secara
cepat ‘membunuh’ wereng yang menjadi inangnya melalui rekayasa genetik terhadap
gen yang mengatur produksi senyawa racun yang menghancurkan metabolisme inang
secara cepat.
Dengan demikian, parasitoidnyalah yang direkayasa- karena mungkin dilihat
Badan Litbang Pertanian
Edisi 16-22 Maret 2011 No.3397 Tahun XLI
12
AgroinovasI
dari segi ukurannya yang relatif kecil, maka struktur genetikanya (kemungkinan) juga
relatif sederhana dibanding dengan memanipulasi werengnya. Bukan tanpa dasar,
karena rekayasa genetika serangga yang awal berkembang adalah terhadap Drosophila
melanogaster (Diptera) yang juga berukuran relatif kecil.
famili Braconidae (Hymenoptera)
Atau mengadopsi yang ditemukan entomolog China? Seorang profesor China
dengan bantuan nanopartikel berhasil menembak siRNA (Small Interfering Ribonucleic
Acid - sejenis materi genetik juga yang khas pada organisme eukariot) - gen yang dapat
merusak sistem pembacaan pesan pada mRNA gen tertentu yang menggagalkan translasi
gen ke produk yang diperintahkan (dikenal dengan fenomena ‘gene silencing’)- dalam
hal ini yang diblokir adalah sintesa kitin pada nyamuk – sehingga dengan gagalnya
pembentukan kitin akan mematikan nyamuk tersebut, karena sebagaimana kita ketahui,
kitin merupakan ‘tulang punggung’ kehidupan serangga. Gagalnya metabolisme kitin
adalah hal yang fatal bagi serangga –di mana eksoskeletonnya berbahan dasar kitin.
Serangga hama pertanian pun dapat diperlakukan serupa.
Dengan melakukan riset untuk mengeksplorasi terhadap gen yang bertanggung
jawab terhadap produksi kitin pada wereng coklat misalnya, kemudian dieksplorasi
metode atau media untuk menembak siRNA- karena nanopartikel hanya efektif untuk
serangga air (sementara wereng coklat bukan tergolong serangga air). Atau bahkan
idealnya memadukan berbagai agen biokontrol yang ada (mikroba, entomopatogen,
parasiotid, predator, dsb) – yang dengan bantuan bioteknologi –direkayasa agar
meningkat ‘daya bunuhnya’ terhadap hama, sehingga diperoleh hasil pengendalian
yang maksimal.
Untuk saat ini, pemikiran tersebut barangkali seakan melukis di langit. Akan
tetapi saya yakin, melihat kecenderungan percepatan kemajuan teknologi saat ini,
rekayasa serangga bukanlah hal yang mustahil di Indonesia. Dan hal ini dapat dimulai
dengan melakukan identifikasi terhadap total gen yang dimiliki serangga musuh-musuh
alami dari hama penting (terutama parasitoid) sebagai kandidat untuk meningkatkan
performans musuh alami tersebut via rekayasa genetik.
Ke depan seyogyanya dipikirkan juga analisa resiko yang mengevaluasi dampak
yang ditimbulkan akibat implementasi hasil rekayasa terhadap kualitas hidup manusia.
Dengan demikian teknologi tetap mampu menjadi alat bantu manusia untuk mencapai
kehidupan yang nyaman di lingkungan yang lestari.
Lina Herlina
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi
dan Sumberdaya Genetik Pertanian
Jl. Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111
Telp. (0251) 8337975, 8339793, Faks. (0251) 8338820
Email: [email protected]
HP: 0251 9167630.
Edisi 16-22 Maret 2011 No.3397 Tahun XLI
Badan Litbang Pertanian
Download