PENGARUH INFORMASI KOMPENSASI DAN PENGUNGKAPAN CSR TERHADAP KETERTARIKAN PENCARI KERJA PADA PERUSAHAAN DENGAN PENALARAN MORAL SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI Abstrak Sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor penting bagi tercapai dan terjaganya tujuan perusahaan. Memperoleh SDM yang berkualitas merupakan sebuah hal yang tidak mudah bagi perusahaan. Untuk itu, perusahaan berlomba-lomba untuk menawarkan berbagai paket kompensasi yang menarik. Namun demikian, ternyata tidak hanya paket kompensasi saja yang menjadi pertimbangan SDM yang berkualitas saat ini. Dengan semakin meningkatnya kesadaran berbagai pihak tentang isu keberlanjutan, membuat para pencari kerja juga turut mempertimbangankan moralitas perusahaan dalam benaknya. Pengukuran moralitas perusahaan ini semakin mudah dilakukan masyarakat dengan dengan adanya berbagai bentuk pengungkapan kegiatan sosial dan lingkungan (CSR) baik sebagai satu kesatuan dengan laporan tahunan maupun sebagai laporan terpisah. Penelitian ini memiliki tiga tujuan, pertama, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kompensasi dan pengungkapan CSR terhadap ketertarikan pencari kerja pada perusahaan. Kedua, penelitian ini bertujuan untuk menguji efek interaksi di antara kedua faktor tersebut. Terakhir, penelitian ini bertujuan untuk menguji peran penalaran moral dalam memoderasi pengaruh pengungkapan CSR terhadap ketertarikan pencari kerja dengan menggunakan moderated regression analysis (MRA). Metode eksperimen laboratorium dengan desain 2x2 antar subyek digunakan pada penelitian ini. Manipulasi dilakukan untuk informasi terkait dengan kompensasi dan pengungkapan CSR. Subyek eksperimen adalah mahasiswa semester akhir dan yang baru saja lulus tingkat pendidikan strata satu fakultas ekonomi dengan total 37 orang subyek. Data dianalisis dengan menggunakan uji Analysis of Variance (ANOVA). Dalam penelitian ini dibuktikan bahwa hanya pengungkapan CSR saja yang memiliki pengaruh terhadap ketertarikan pencari kerja pada perusahaan. Efek interaksi tidak terjadi antara kedua variabel yang diuji dan penalaran moral individu bukanlah faktor yang memoderasi pengaruh pengungkapan CSR terhadap ketertarikan pencari kerja. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menguji pengaruh informasi kompensasi dan pengungkapan CSR terhadap pencari kerja dengan penalaran moral sebagai variabel pemoderasi. Kata kunci: CSR, penalaran moral, kompensasi 1. Pendahuluan Kualitas tenaga kerja merupakan faktor penting dari aspek Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkontribusi pada pencapaian tujuan perusahaan (Pfeffer, 1994; Snell, et al., 1996). Salah satu elemen terpenting dalam SDM adalah rekrutmen (Taylor & Collins, 2000), sebab rekrutmen merupakan tahap dimana perusahaan dapat menjaring karyawan dengan kualitas dan bakat terbaik yang dapat bersinergi serta berkontribusi pada pencapaian tujuan perusahaaan. Maka, penting bagi perusahaan untuk menarik job seekers (pencari kerja) berkualitas, sehingga perusahaan dapat memiliki SDM yang berkualitas tinggi pula. Sementara itu, kualitas tenaga kerja di Indonesia masih relatif rendah. Hal ini ditunjukkan oleh data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang dikutip dalam sebuah artikel pada laman Kementerian Industri Republik Indonesia yang menyatakan bahwa per Agustus 2012, dari 118,05 juta tenaga kerja yang terdaftar, hanya terdapat 8,17 juta orang yang bergelar sarjana. Maka, perusahaanperusahaan di Indonesia harus bersaing untuk memperebutkan pencari kerja berkualitas yang jumlahnya terbatas. Semakin tinggi kemampuan perusahaan dalam menarik pencari kerja berkualitas, maka semakin besar peluang perusahaan untuk merekrut SDM dengan kualitas terbaik. Untuk itu, perusahaan harus mengetahui faktor apa saja yang dapat menarik para pencari kerja berkualitas. Dua dari beberapa faktor yang mempengaruhi ketertarikan pencari kerja pada perusahaan antara lain kompensasi yang ditawarkan perusahaan (Arthur, 2001) dan reputasi perusahaan tersebut (Belt & Paolillo, 1982 ; Gatewood, et al., 1993). Bagaimanapun juga, setiap orang berkepentingan untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Arthur (2001) menyatakan bahwa seseorang cenderung memilih untuk bekerja di perusahaan yang dapat memberikan kompensasi sesuai dengan tingkat pendidikan dan pengalaman kerja yang dimilikinya. Maka, semakin tinggi kualitas seorang pencari kerja, semakin tinggi pula paket kompensasi yang diekspektasikan untuk diterima. Sementara itu, reputasi perusahaan berkaitan erat dengan aktivitas CSR yang dilakukan (Fombrun & Shanley, 1990) Peran reputasi terkait CSR dalam mempengaruhi ketertarikan pencari kerja pada perusahaan dapat dijelaskan oleh teori identitas sosial dan pensinyalan. Menurut teori identitas sosial, imej personal seseorang dipengaruhi oleh keterlibatannya pada berbagai kelompok sosial (Tajfel & Turner, 1979). Berdasarkan teori tersebut, seseorang cenderung memilih bekerja di perusahaan yang memiliki reputasi yang baik agar dirinya dianggap sebagai orang yang baik pula. Menurut teori pensinyalan, aktivitas CSR perusahaan memberikan sinyal mengenai nilai dan norma perusahaan, serta mempengaruhi persepsi tentang kondisi kerja di perusahaan tersebut, yang kemudian berdampak pada kemampuan perusahaan dalam menarik calon karyawan (Greening & Turban, 2000). Aktivitas CSR perusahaan dikomunikasikan kepada pihak eksternal melalui pengungkapan CSR, baik melalui laporan tahunan, laman online, brosur, surat kabar berbayar, dan lain sebagainya. Pengungkapan informasi terkait CSR inilah yang membentuk reputasi perusahaan (Gatewood, Gowan, & Lautenschlager, 1993). Menurut teori pengungkapan sukarela, semakin baik kinerja sosial dan lingkungan perusahaan (corporate social performance, disingkat CSP), maka perusahaan semakin terdorong untuk melakukan pengungkapan CSR secara lebih ekstensif (Clarkson, Li, Richardson, & Vasvari, 2008). Penelitian yang dilakukan oleh Greening dan Turban (2000) menemukan bahwa aktivitas CSR lebih menarik daripada kompensasi yang ditawarkan perusahaan bagi para pencari kerja. Temuan tersebut mendukung hasil survei yang dilakukan oleh Students for Responsible Business terhadap 2.100 mahasiswa MBA. Survei tersebut menemukan bahwa lebih dari separuh responden bersedia untuk menerima gaji yang lebih rendah dari perusahaan yang menjalankan tanggung jawab sosial dengan baik (Dolan, 1997), Telah terdapat beberapa penelitian yang menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara reputasi perusahaan terkait aktivitas CSR dengan kemampuan perusahaan dalam menarik pencari kerja (Albinger & Freeman, 2000; Greening & Turban, 2000). Namun demikian, penelitian-penelitian telah dilakukan sebelumnya tidak mempertimbangkan karakteristik individu yang mungkin dapat mempengaruhi hubungan tersebut. Penelitian ini memperdalam riset-riset terdahulu dengan mempertimbangkan karakteristik individu yang mungkin mempengaruhi hubungan tersebut, yaitu tingkat penalaran moral individu. Tingkat penalaran moral diprediksi mempengaruhi persepsi pencari kerja tentang aktivitas CSR perusahaan. Hal ini disebabkan karena persepsi seseorang tentang tindakan etis perusahaan tidaklah sama suatu. Suatu fenomena sosial dapat diinterpretasikan dengan cara yang berbeda oleh dua orang berbeda (Piaget, 1932). Perbedaan persepsi mengenai kesesuaian etika ini dipengaruhi oleh penalaran moral yang dimiliki masing-masing individu (Kohlberg, 1981). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pencari kerja mempertimbangkan faktor ekonomi dan non ekonomi dalam menentukan perusahaan sebagai tempat mereka bekerja kelak, dan faktor manakah yang lebih dominan dalam mempengaruhi ketertarikan mereka pada suatu perusahaan. Faktor ekonomi diwakili oleh informasi kompensasi yang ditawarkan perusahaan, dan faktor non-ekonomi diwakili oleh pengungkapan CSR yang dilakukan perusahaan. Selain itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahu apakah tingkat penalaran moral individu menyebabkan adanya perbedaan ketertarikan antara pencari kerja satu dan lainnya untuk tingkat ekstensifitas pengungkapan CSR yang sama. 2. Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis 2.1 Pengungkapan CSR Seluruh pelaksanaan aktivitas CSR perusahaan dikomunikasikan kepada publik melalui pengungkapan tanggung jawab CSR (CSR disclosure). Pengungkapan tersebut dapat dilakukan menggunakan berbagai media, diantaranya laporan tahunan perusahaan, website perusahaan, surat kabar berbayar, brosur, press releases, dan iklan televisi dan radio (Rockness, Bazley, & Nikolai, 1977). Dalam konteks internasional, salah satu set panduan bagi perusahaan dalam mengungkapkan aktivitas CSR-nya adalah G4 Sustainability Reporting yang dikeluarkan oleh Global Reporting Initiatives. Di Indonesia sendiri, pengungkapan aktivitas CSR perusahaan diatur dalam UU Nomor 40 Tahun 2007 Pasal 66. Walaupun ada undang-undang yang mendasari kewajiban perseroan terbatas di Indonesia untuk melakukan dan melaporkan aktivitas CSR-nya, namun tidak ada ada kriteria baku terkait hal tersebut. Maka hingga saat ini, pelaksanaan dan pengungkapan CSR di Indonesia masih bersifat sukarela. 2.2 Teori Identitas Sosisal Teori ini menjelaskan bahwa self-image seseorang dipengaruhi oleh keterlibatannya dalam berbagai kelompok sosial (Tajfel & Turner, 1979). Greening dan Turban (2000) menyatakan bahwa self-image seorang karyawan dipengaruhi oleh image dan reputasi dari perusahaan tempat ia bekerja, dimana image dan reputasi perusahaan tersebut dipengaruhi oleh tindakan perusahaan terkait isu sosial dan politik. Greening dan Turban (2000) berpendapat bahwa kinerja sosial dan lingkungan perusahaan (corporate social performance, disingkat CSP) secara positif mempengaruhi daya tarik perusahaan di mata para pencari kerja. Hal ini disebabkan karena pencari kerja memiliki informasi positif terkait perusahaan yang akan memperkuat konsep diri mereka sebagai suatu bagian dari perusahaan yang memiliki tanggung jawab sosial yang baik. 2.3 Teori Pensinyalan dan Pengungkapan Sukarela Teori pensinyalan menjelaskan bahwa walaupun tidak ada peraturan yang mewajibkan perusahaan untuk melakukan pelaporan, perusahaan akan tetap melakukan pelaporan secara sukarela (Wolk, Dodd, & Rozycki, 2013). Bagaimanapun juga, pihak internal perusahaan memiliki informasi lebih banyak daripada pihak eksternal. Hal ini disebut sebagai asimetri informasi. Ketidaklengkapan informasi ini dapat mempengaruhi nilai perusahaan di pasar modal. Pengungkapan sukarela dianggap sebagai sinyal yang dapat mengurangi ketidakpastian informasi yang dimiliki pihak eksternal yang dapat meningkatkan nilai perusahaan (Wolk, Dodd, & Rozycki, 2013). Dalam konteks perusahaan di mata pencari kerja, pengungkapan informasi sosial dan liingkungan (pengungkapan CSR) kepada publik secara sukarela dianggap sebagai sinyal yang memberikan gambaran mengenai kondisi kerja di perusahaan tersebut (Greening & Turban, 2000). Para pencari kerja menggunakan informasi tentang tindakan perusahaan terkait isu sosial dan lingkungan yang dimiliki untuk mempertimbangkan berbagai pilihan perusahaan yang kelak akan menjadi tempat mereka bekerja. Menurut teori pengungkapan sukarela, terdapat hubungan positif antara kinerja sosial dan lingkungan perusahaan (CSP) dan tingkat pengungkapan informasi sosial dan lingkungan (pengungkapan CSR) yang dilakukan perusahaan. Perusahaan yang memiliki kinerja sosial dan lingkungan yang lebih baik cenderung mengungkapkannya kepada publik secara lebih ekstensif daripada perusahaan yang memiliki kinerja sosial dan lingkungan yang lebih rendah (Clarkson, Li, Richardson, & Vasvari, 2008) 2.4 Penalaran Moral Penalaran moral merupakan suatu proses penalaran dari perilaku manusia, organisasi, atau kebijakan yang dinilai kesesuaiannya dengan standar moral (Velasquez, 2012). Lawrence Kohlberg, seorang psikolog yang mengawali penelitian dalam bidang ini, menemukan bahwa tahapan perkembangan moral manusia dapat dibagi ke tiga level, dimana masing-masing level memiliki dua tingkatan (Velasquez, 2012). Pada level pertama (preconventional level), keputusan penilaian apakah suatu perilaku itu baik, buruk, benar, atau salah didasarkan pada konsekuensi yang diterima. Seseorang yang memiliki tingkat perkembangan moral di tahap ini mengutamakan kepentingan pribadinya untuk membuat keputusan moral (egosentris). Di level kedua (conventional level), keputusan penilaian tersebut didasarkan pada nilai, norma, dan hukum yang berlaku di lingkungan. Seseorang yang tingkat perkembangan moralnya berada pada tahap ini akan membuat keputusan moral berdasarkan ekspektasi masyarakat dan hukum yang berlaku di lingkungannya. Pada level ketiga (postconventional level), keputusan penilaian kesesuaian moral didasarkan pada sudut pandang yang lebih luas dan universal. Seseorang yang memiliki tingkat perkembangan moral di tahap ini akan membuat keputusan moral secara rasional dan kritis, serta dapat menjelaskan alasan dibalik keputusan tersebut berdasarkan prinsip moral (Velasquez, 2012). 2.5 Pengembangan Hipotesis Setiap manusia ingin memenuhi kebutuhan ekonominya. Pentingnya pemenuhan kebutuhan ekonomi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam memilih perusahaan sebagai tempat bekerja. Tingkat pendidikan dan pengalaman menjadi faktor pendorong seseorang untuk mendapatkan kompensasi yang lebih tinggi (Arthur, 2001). H1. Pencari kerja lebih tertarik untuk bekerja di perusahaan yang menawarkan kompensasi yang lebih tinggi dari rata-rata industri daripada kompensasi yang berada pada rata-rata industri. Beberapa penelitian telah menemukan bahwa reputasi yang dibentuk dari kinerja sosial dan lingkungan perusahaan (CSP) membentuk daya tarik suatu perusahaan. Greening dan Turban (2000) menemukan bahwa seluruh komponen CSP (hubungan dengan karyawan, perlakuan kepada wanita dan minoritas, kepedulian lingkungan, dan kualitas produk) berhubungan positif dengan ketertarikan calon karyawan pada suatu perusahaan. Mendukung penelitian tersebut, Albinger dan Freeman (2000) mencoba menemukan pengaruh CSP pada ketertarikan berbagai kelompok pencari kerja. Penelitian tersebut menemukan bahwa pencari kerja yang berkualitas lebih tinggi dan memiliki lebih banyak jumlah pilihan pekerjaan cenderung lebih mempertimbangkan CSP dalam memilih perusahaan sebagai tempat bekerja daripada pencari kerja yang berkualitas lebih rendah dan memiliki jumlah pilihan pekerjaan lebih sedikit. Menurut teori pengungkapan sukarela, perusahaan yang memiliki CSP lebih baik cenderung mengungkapkan aktivitas CSR mereka secara lebih ekstensif, sehingga semakin baik CSP suatu perusahaan, maka semakin tinggi pula pengungkapan CSR yang dilakukan (Clarkson, Li, Richardson, & Vasvari, 2008). Sesuai dengan teori pensinyalan, semakin banyak informasi terkait CSR yang diungkapkan perusahaan, maka pencari kerja lebih memiliki gambaran terkait kondisi kerja di perusahaan tersebut. Teori identitas sosial menyatakan bahwa pencari kerja cenderung memilih perusahaan yang memiliki CSP yang lebih baik karena perusahaan dengan reputasi CSR yang baik akan memperkuat imej diri mereka. Mengacu pada ketiga teori tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa semakin baik CSP suatu perusahaan, maka semakin tinggi (ekstensif) pengungkapan CSR perusahaan tersebut (Clarkson, Li, Richardson, & Vasvari, 2008), sehingga semakin tinggi pula daya tarik perusahaan di mata pencari kerja (Albinger & Freeman, 2000; Greening & Turban, 2000) H2. Pencari kerja lebih tertarik untuk bekerja di perusahaan yang memiliki pengungkapan CSR tinggi daripada perusahaan yang memiliki pengungkapan CSR rendah. Beberapa penelitian membuktikan bahwa dari kedua faktor tersebut, reputasi perusahaan terkait CSR berpengaruh lebih besar dalam menentukan ketertarikan seseorang pada suatu perusahaan. Students for Responsible Business melakukan survei terhadap 2.100 mahasiswa MBA dan menemukan bahwa lebih dari separuh responden menyatakan bahwa mereka tidak berkeberatan untuk menerima gaji yang lebih rendah dari perusahaan yang memiliki tanggung jawab sosial (Dolan, 1997). Mendukung hasil penelitian tersebut, Greening dan Turban (2000) menemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kompensasi dengan ketertarikan calon karyawan terhadap suatu perusahaan. H3. Pencari kerja lebih tertarik untuk bekerja di perusahaan yang memiliki pengungkapan CSR yang lebih tinggi dengan kompensasi sebesar rata-rata industri daripada di perusahaan yang memiliki tingkat pengungkapan CSR yang rendah dengan kompensasi di atas rata-rata industri. Persepsi seseorang tentang tindakan etis suatu perusahaan tidaklah sama. Dua orang yang berbeda dapat menginterpretasikan suatu fenomena sosial dengan cara yang berbeda (Piaget, 1932). Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkat penalaran moral yang dimiliki oleh masing-masing individu (Kohlberg, 1981). Maka, interpretasi pengungkapan CSR sebuah perusahaan akan menghasilkan perbedaan tingkat ketertarikan pada perusahaan antara pencari kerja satu dengan lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkat penalaran moral yang dimiliki oleh pencari kerja tersebut. H4. Penalaran moral individu memoderasi pengaruh pengungkapan CSR pada ketertarikan pencari kerja pada suatu perusahaan. 3. Metode Penelitian 3.1 Prosedur Eksperimen dan Partisipan Penelitian ini menggunakan metode eksperimen laboratorium (lab experiment). Desain eksperimen yang digunakan adalah 2x2 antar subyek (between subject.). Terdapat dua manipulasi untuk dua variabel (i.e. kompensasi dan pengungkapan CSR) yang diuji. Manipulasi dilakukan dengan mengatur tinggi dan rendah nilai kompensasi yang ditawarkan perusahaan kepada pemberi kerja dan luas atau sempit pengungkapan CSR perusahaan. Partisipan dalam penelitian ini adalah mahasiswa tingkat akhir dan baru lulus Program S-1 Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM dengan jumlah total 60 orang yang berasal dari jurusan Akuntansi (20 orang), jurusan Manajemen (20 orang), dan jurusan Ilmu Ekonomi (20 orang). Partisipan didistribusikan ke dalam 4 kelompok secara proporsional berdasarkan jurusan dan jenis kelamin. Kelompok A adalah kelompok yang mendapatkan informasi kompensasi tinggi dan pengungkapan CSR tinggi. Kelompok B adalah kelompok yang mendapatkan informasi kompensasi tinggi dan pengungkapan CSR rendah. Kelompok C adalah kelompok yang mendapatkan informasi kompensasi rendah dan pengungkapan CSR tinggi Kelompok D adalah kelompok yang mendapatkan informasi kompensasi rendah dan pengugkapan CSR rendah. 3.2 Instrumen Penelitian Penelitian ini menggunakan dua instrumen: 1) instrumen evaluasi ketertarikan pencari kerja pada perusahaan, dan 2) instrumen Defining Issues Test (DIT). Instrumen pertama menguji ketertarikan pencari kerja pada suatu perusahaan yang diadopsi dari instrumen penelitian Greening dan Turban (2000) dengan modifikasi. Instrumen ini terdiri atas dua perlakuan untuk dua kondisi. Kondisi tersebut antara lain informasi kompensasi dan pengungkapan CSR. Manipulasi untuk masingmasing kondisi adalah tinggi dan rendah. Pada instrumen ini, disebutkan bahwa partisipan baru saja dinyatakan lulus ujian pendadaran dari perguruan tinggi dan sedang dalam upaya mencari pekerjaan. Partisipan akan diberikan paparan informasi mengenai suatu perusahaan, kemudian diminta untuk menentukan tingkat ketertarikan mereka pada perusahaan tersebut dengan memberikan skor pada 4 pernyataan yang diberikan. Ketertarikan tersebut diwakili oleh skala 1-7, dengan 1: sangat tidak setuju dan 7: sangat setuju untuk 2 pernyataan pertama. Pada 2 pernyataan selanjutnya, partisipan diminta untuk memberikan persentase yang mengindikasikan ketertarikan mereka pada perusahaan dengan mengisikan skor antara 0%-100%. - Informasi Kompensasi Manipulasi pada informasi kompensasi ini diadopsi dari instrumen penelitian Greening dan Turban (2000). Pada skenario informasi kompensasi tinggi, dinyatakan bahwa perusahaan menawarkan paket kompensasi dengan gaji yang sangat kompetitif, yaitu di atas rata-rata industri, fasilitas dan tunjangan yang komprehensif meliputi asuransi kesehatan gigi, mata, dan disabilitas jangka panjang, rencana pensiun sesuai standar industri, serta hak untuk membeli saham perusahaan dengan harga khusus. Pada skenario informasi kompensasi rendah, dinyatakan bahwa perusahaan menawarkan paket kompensasi dengan gaji sebesar rata-rata industri, tunjangan hari raya, kompensasi sakit dan hari libur, serta rencana pensiun sesuai standar industri. - Pengungkapan CSR Manipulasi pada pengungkapan CSR tinggi diadopsi dari laporan tanggung jawab sosial PT Indofood Sukses Makmur Tbk dengan modifikasi. Dipilihnya perusahaan ini sebagai acuan manipulasi pengungkapan CSR tinggi adalah karena PT Indofood Sukses Makmur Tbk menduduki peringkat ke-10 dalam indeks SRI-KEHATI per periode April 2015. Sementara itu, manipulasi pada pengungkapan CSR rendah diadopsi dari laporan tanggung jawab sosial PT Mayora Indah Tbk dengan modifikasi. Perusahaan ini dipilih karena tidak terdaftar dalam 25 besar indeks SRI-KEHATI pada periode yang sama. SRI-KEHATI adalah indeks yang dikeluarkan oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) dan BEI yang memuat 25 perusahaan yang menguntungkan secara ekonomi serta peduli akan kelestarian lingkungan hidup. Instrumen kedua yang digunakan adalah Defining Issues Test (DIT) yang mengukur tingkat penalaran moral individu. Instrumen ini dikembangkan oleh Rest (1979), dengan menggunakan kasus yang melibatkan dilema etis yang diciptakan oleh Kohlberg (McMahon, 2000). Instrumen ini digunakan untuk menilai tahapan moral individu pada tingkat perkembangan moral Kohlberg. Indeks yang digunakan untuk mengukur hasil survei DIT adalah P-score (pricipled moral reasoning score) yang sering kali digunakan sebagai indikator moral judgement maturity. P-score mencerminkan nilai total untuk tahapan perkembangan moral 5A, 5B, dan 6. Satu set DIT mencakup 6 kasus yang masing-masing diikuti oleh 12 pertanyaan untuk menjawab dilema tersebut. Dilema etis tersebut antara lain: 1) Heinz and The Drug, 2) The Escaped Prisoner, 3) The Newspaper, 4) The Doctor’s Dilemma, 5) Webster, dan 6) Student Take-Over. Setiap pertanyaan mencerminkan tahapan moral yang berbeda. Responden akan diminta untuk memberikan rating untuk setiap pertanyaan, kemudian mengurutkan empat pertanyaan yang paling penting. Rating yang diberikan adalah 1: sangat penting, 2: penting, 3: cukup penting, 4: kurang penting, dan 5: sangat tidak penting. Penelitian ini menggunakan instrumen DIT versi pendek yang berisikan 3 kasus, antara lain: 1) Heinz and The Drug, 2) The Escaped Prisoner, dan 3) The Newspaper. Tiga kasus tersebut dipilih sebagai komponen DIT versi pendek karena memiliki korelasi paling tinggi dibandingkan tiga kasus lainnya, dengan korelasi P-score sebesar 0.93 dengan P-score DIT versi lengkap dari sampel sebanyak 160 subjek (Rest, 1986). DIT versi pendek digunakan karena satu set instrumen DIT secara lengkap mengandung terlalu banyak skenario kasus yang dapat menimbulkan information overload dan kelelahan bagi para responden (Weber, 1992). 3.3 Prosedur Eksperimen Sebelum eksperimen dimulai, peneliti membacakan pengantar dan instruksi pelaksanaan eksperimen kepada seluruh partisipan. Kemudian, peneliti membagikan kontrak penelitian. Dalam kontrak penelitian, disajikan informasi tentang kompensasi yang akan diterima oleh partisipan atas keikutsertaannya dalam eksperimen serta penegasan mengenai kerahasiaan informasi yang diberikan. Pembagian kontrak dan instrumen penelitian dilakukan secara acak, sehingga seluruh partisipan memiliki kesempatan yang sama untuk masuk ke dalam kelompok tertentu. Setelah mendapatkan kontrak, partisipan diberi waktu untuk mengisi kontrak terlebih dahulu, kemudian mengumpulkan kontrak tersebut kepada peneliti. Selanjutnya, partisipan diminta untuk mengisi data demografis, mengerjakan instrumen evaluasi ketertarikan pencari kerja terhadap perusahaan, dan diakhiri dengan mengerjakan instrumen penalaran moral. Setelah menyelesaikan seluruh tugas di atas, partisipan akan mendapatkan kompensasi yang telah dijanjikan dalam kontrak. 4. Hasil 4.1 Statistik Deskriptif Total partisipan eksperimen adalah 60 mahasiswa, dengan komposisi jenis kelamin dan jurusan yang proporsional. Dari jumlah tersebut, 13 partisipan (21,67%) tidak lolos cek manipulasi instrumen evaluasi ketertarikan pencari kerja, 9 partisipan (15%) tidak lolos instrumen DIT, dan data 1 partisipan dikeluarkan karena outlier (1,67%). Maka, jumlah partisipan yang datanya dapat diolah lebih lanjut adalah 37 partisipan (61,67%). Tabel 1 menunjukkan jumlah partisipan, rata-rata (mean), dan standar deviasi pada setiap kelompok eksperimen. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa kelompok yang mendapatkan informasi kompensasi tinggi memiliki rata-rata ketertarikan yang lebih tinggi daripada kelompok yang mendapatkan informasi kompensasi rendah (kelompok A dan B dengan jumlah rata-rata= 1,662 > kelompok C dan D dengan jumlah rata-rata= 1,551). Kelompok yang mendapatkan pengungkapan CSR tinggi memiliki rata-rata ketertarikan yang lebih tinggi daripada kelompok yang mendapatkan pengungkapan CSR rendah (kelompok A dan C dengan jumlah rata-rata= 1,692 > kelompok B dan D dengan jumlah rata-rata= 1,521). Sementara itu sebagaimana yang diharapkan pula, kelompok yang mendapatkan informasi kompensasi rendah dan pengungkapan CSR tinggi memiliki rata-rata yang lebih tinggi dari pada kelompok yang mendapatkan informasi kompensasi tinggi dan pengungkapan CSR rendah (kelompok C= 0,824 > kelompok B= 0,794). Selain itu, Tabel 1 juga menunjukkan keberagaman tingkat penalaran moral individu yang dimiliki oleh partisipan dalam setiap kelompok eksperimen. Tabel 1 Kelompok A B C D Variabel N Mean Standar Deviasi Ketertarikan 11 0,868 0,060 Penalaran Moral 11 0,424 0,130 Ketertarikan 10 0,794 0,064 Penalaran Moral 10 0,260 0,075 Ketertarikan 11 0,824 0,109 Penalaran Moral 11 0,385 0,111 Ketertarikan 5 0,727 0,120 Penalaran Moral 5 0,253 0,119 4.2 Uji Statistik Sebelum dilakukan uji ANOVA untuk menguji hipotesis 1, 2, dan 3, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas. Tabel 2 menunjukkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk yang memberikan kesimpulan bahwa seluruh perlakuan untuk masing-masing variabel independen memiliki nilai sig. > 0,05 yang berarti bahwa data terdistribusi secara normal. Selain itu, normalitas data dapat dilihat menggunakan Q-Q Plot yang menunjukkan garis yang lurus. Sementara itu, homogenitas data diuji menggunakan Levene’s test of homegeneity of variance. Tabel 3 menunjukkan hasil uji homogentitas data yang memberikan kesimpulan bahwa seluruh variabel independen homogen dengan nilai sig. > 0,05. Tabel 2 N Sig. Keterangan Informasi kompensasi rendah 16 0,276 Normal Informsasi kompensasi tinggi 21 0,479 Normal Pengungkapan CSR rendah 15 0,204 Normal Pengungkapan CSR tinggi 22 0,197 Normal Tabel 3 Variabel Independen Levene df1 df2 Sig. Keterangan Statistic Informasi kompensasi 3,232 1 35 0,081 Homogen Pengungkapan CSR 0,000 1 35 0,996 Homogen Sebelum melakukan Moderated Regression Analysis (MRA) untuk menguji hipotesis 4, terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik yang terdiri atas uji normalitas, uji multikolinearitas, dan uji heteroskedastisitas. Seperti halnya sebelum melakukan uji ANOVA, uji normalitas dilakukan menggunakan Shapiro-Wilk. Tabel 4 menunjukkan hasil uji normalitas yang memberikan kesimpulan bahwa variabel dependen (ketertarikan pencari kerja pada perusahaan) terdistribusi secara normal dengan nilai sig. sebesar 0,115 (lebih besar dari = 0,05). Uji multikolinearitas dilakukan dengan membandingkan nilai VIF dan Tolerance. Hasil pengujian ini ditunjukkan oleh Tabel 5 yang memberikan kesimpulan bahwa data tidak memenuhi uji multikolinearitas. Namun demikian, analisis regresi tetap dapat dilakukan, sebab analisis regresi yang mengandung variabel pemoderasi (Moderated Regression Analysis) pada umumnya mengalami masalah multikolinearitas (Liana, 2009). Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji Glejjser. Hasil pengujian yang ditunjukkan oleh Tabel 6 memberikan kesimpulan bahwa data tidak mengandung heteroskedastisitas (sig.> 0,05) , sehingga analisis regresi dapat dilakukan. Tabel 4 Shapiro-Wilk Ketertarikan Statistic df Sig. 0,952 37 0,115 Keterangan Normal Tabel 5 Variabel Toleransi VIF Keterangan Penalaran Moral 0,179 5,575 Non Multikolinearitas Pengungkapan CSR 0,088 11,358 Multikolinearitas Penalaran Moral*Pengungkapan CSR 0,045 22,199 Multikolinearitas Tabel 6 Variabel Sig. Keterangan Penalaran Moral 0,059 Homoskedastisitas Pengungkapan CSR 0,363 Homoskedastisitas Penalaran Moral*Pengungkapan CSR 0,135 Homoskedastisitas 4.3 Uji Hipotesis Hipotesis 1, 2, dan 3 dalam penelitian ini dianalisis menggunakan ANOVA. Tabel 7 menunjukkan hasil uji ANOVA untuk mengetahui pengaruh informasi kompensasi dan pengungkapan CSR terhadap ketertarikan pencari kerja pada perusahaan. Tabel 7 Dependent Variable: Ketertarikan Source Type III Sum of Df Mean Squares F Sig. Square Corrected Model 0,075a 3 0,025 3,324 0,031 Intercept 21,427 1 21,427 2833,927 0,000 Kompensasi 0,026 1 0,026 3,431 0,073 CSR 0,061 1 0,061 8,056 0,008 Kompensasi*CSR 0,001 1 0,001 0,143 0,708 Error 0,250 33 0,008 Total 24,957 37 0,325 36 Corrected Total a. R Squared = 0,232 (Adjusted R Squared = 0,162) Hipotesis 1 memprediksi bahwa pencari kerja lebih tertarik untuk bekerja di perusahaan yang menawarkan kompensasi yang lebih tinggi dari rata-rata industri daripada kompensasi yang berada pada rata-rata industri. Sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 1, nilai rata-rata ketertarikan pencari kerja yang mendapatkan informasi kompensasi di atas rata-rata industri (kelompok A dan B) lebih tinggi daripada rata-rata ketertarikan pencari kerja yang memperoleh informasi kompensasi sebesar rata-rata industri (kelompok C dan D). Namun demikian, variabel informasi kompensasi tidak signifikan pada level 0,05 (nilai sig.= 0,073). Hal ini berarti bahwa informasi kompensasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap ketertarikan pencari kerja pada perusahaan. Maka, hipotesis 1 dinyatakan tidak terdukung oleh data. Dari pengujian ini dapat disimpulkan bahwa walaupun informasi kompensasi tidak berpengaruh signifikan pada ketertarikan pencari kerja, namun dalam keadaan cateris paribus, pencari kerja akan lebih memilih bekerja di perusahaan yang menawarkan kompensasi lebih tinggi. Temuan ini mendukung literatur yang menyatakan bahwa karyawan saat ini tidak hanya mementingkan kompensasi dan manfaat yang komprehensif saja, namun juga faktorfaktor non moneter seperti nilai dan budaya perusahaan (Arthur, 2001). Hipotesis 2 memprediksi bahwa pencari kerja lebih tertarik untuk bekerja di perusahaan yang memiliki pengungkapan CSR tinggi daripada perusahaan yang memiliki pengungkapan CSR rendah. Sebagaimana diindikasikan oleh Tabel 1, kelompok yang mendapatkan pengungkapan CSR tinggi (kelompok A dan C) memiliki rata-rata yang lebih tinggi daripada kelompok yang mendapatkan pengungkapan CSR rendah (kelompok B dan D). Tabel 7 mengonfirmasi hal tersebut signifikan secara statistik pada level 0,05 (nilai sig.= 0,008). Maka, dapat disimpulkan bahwa pengungkapan CSR secara signifikan mempengaruhi ketertarikan pencari kerja pada perusahaan. Dengan begitu, hipotesis 2 dinyatakan terdukung oleh data. Temuan ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Albinger dan Freeman (2000) dan Greening dan Turban (2000) yang menemukan bahwa reputasi perusahaan terkait aktivitas CSR secara signifikan mempengaruhi ketertarikan pencari kerja pada perusahaan Hipotesis 3 memprediksi bahwa pencari kerja lebih tertarik untuk bekerja di perusahaan yang memiliki pengungkapan CSR yang lebih tinggi dengan kompensasi sebesar rata-rata industri daripada di perusahaan yang memiliki tingkat pengungkapan CSR yang rendah dengan kompensasi di atas ratarata industri. Tabel 1 menunjukkan bahwa kelompok yang mendapatkan informasi kompensasi sebesar rata-rata industri dan pengungkapan CSR tinggi (kelompok C) memiliki rata-rata yang lebih tinggi daripada kelompok yang mendapatkan informasi kompensasi di atas rata-rata industri dan pengungkapan CSR rendah (kelompok B). Namun demikian, variabel informasi kompensasi yang diinteraksikan dengan variabel pengungkapan CSR tidak signifikan pada level 0,05 (nilai sig.= 0,708). Hal ini berarti bahwa informasi kompensasi dan pengungkapan CSR tidak saling berinteraksi dalam mempengaruhi ketertarikan pencari kerja pada suatu perusahaan. Pencari kerja akan lebih mempertimbangkan reputasi perusahaan yang dibentuk oleh pengungkapan CSR daripada informasi terkait kompensasi yang ditawarkan oleh perusahaan, dan kedua variabel independen tersebut tidak mempengaruhi variabel dependen secara bersama-sama. Dengan demikian, hipotesis 3 dinyatakan tidak terdukung oleh data. Hipotesis 4 diuji menggunakan Moderated Regression Analysis (MRA). Dari Tabel 8 diketahui bahwa koefisien variabel pemoderasi yang ditunjukkan oleh koefisien Penalaran Moral*Pengungkapan CSR memiliki nilai -0,196. Hal ini berarti bahwa variabel pemoderasi penalaran moral memperlemah pengaruh pengungkapan CSR terhadap ketertarikan pencari kerja pada perusahaan. Namun, karena variabel tersebut tidak signifikan pada level 0,05 dengan nilai sig.= 0,502, maka dapat disimpulkan bahwa variabel penalaran moral tidak memoderasi pengaruh pengungkapan CSR terhadap ketertarikan pencari kerja pada perusahaan, sehingga hipotesis 4 tidak terdukung oleh data. Tabel 8 Model Koefisien t Sig. Konstanta 0,640 9,534 0,000 Penalaran Moral 0,511 2,066 0,047 Pengungkapan CSR 0,079 0,858 0,397 Penalaran Moral*Pengungkapan CSR -0,196 -0,679 0,502 Tidak signifikannya pengaruh penalaran moral dalam memoderasi pengungkapan CSR terhadap ketertarikan pencari kerja pada perusahaan disebabkan karena instrumen DIT yang digunakan untuk mengetahui tingkat penalaran moral individu dalam penelitian ini mengukur P-score yang mencerminkan nilai total untuk tahapan perkembangan moral pada tahap postconventional. Pada tahap ini, seseorang tidak lagi membuat moral judgement berdasarkan kepentingan pribadi (egosentris) ataupun untuk memenuhi ekspektasi lingkungan di sekitarnya, namun berdasarkan prinsip moral yang diyakininya dengan sudut pandang yang luas. Dengan begitu, pola pemikiran seseorang pada level postconventional terkait dilema etika sangatlah luas. Hal ini memungkinkan adanya berbagai faktor lain yang mempengaruhinya dalam memandang suatu fenomena sosial. Maka, tingginya tingkat penalaran moral seseorang belum tentu memperkuat pengaruh pengungkapan CSR perusahaan terhadap ketertarikan seseorang pada perusahaan tersebut. Negatifnya koefisien pemoderasi bertentangan dengan pendapat Coldwell, et al. (2008) yang menyatakan bahwa seseorang yang memiliki tingkat penalaran moral tinggi akan cenderung tidak tertarik untuk bekerja di perusahaan yang tidak memiliki tanggung jawab sosial yang baik. Menurut Coldwell, et al. (2008), seseorang yang memiliki penalaran moral pada level postconventional memiliki ekspektasi etika yang lebih tinggi daripada mereka yang berada pada level conventional dan preconventional. Maka, semakin tinggi tingkat penalaran moral individu, semakin tinggi pula ekspektasi seseorang terkait praktik etika pada perusahaan. Bertentangan dengan pendapat Coldwell, et al. (2008), Turner dan Barling (2002) menyatakan bahwa tingkat penalaran moral individu yang tinggi berkaitan dengan sifat kepemimpinan transformasional. Seseorang dengan sifat kepemimpinan transformasional yang memiliki tingkat penalaran moral tinggi cenderung berupaya untuk mempengaruhi dan memotivasi lingkungan sekitarnya untuk bertindak sesuai apa yang ia yakini benar secara moral. Dengan demikian, negatifnya koefisien variabel pemoderasi berkemungkinan disebabkan karena karakteristik kepemimpinan responden yang bersifat transformasional, sehingga semakin tinggi tingkat penalaran moral individu yang dimiliki menggerakkan mereka untuk berupaya mempengaruhi perusahaan dengan pengungkapan CSR rendah untuk memperbaiki dan meningkatkan aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan, serta mengungkapkannya kepada publik. 5. Kesimpulan, Implikasi, dan Keterbatasan Penelitian Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa pencari kerja lebih mempertimbangkan faktor non ekonomi daripada faktor ekonomi dalam menentukan perusahaan sebagai tempat mereka bekerja kelak. Faktor non ekonomi ini diwakili oleh pengungkapan CSR perusahaan, sementara faktor ekonomi diwakili oleh informasi terkait kompensasi yang ditawarkan perusahaan. Temuan ini dapat memberikan rekomendasi kepada berbagai perusahaan di Indonesia untuk melaksanakan aktivitas tanggung jawab sosial dengan baik dan mengungkapkannya secara ekstensif kepada publik. Melalui cara ini, perusahaan dapat menurunkan ketidakpastian informasi yang dimiliki oleh pemangku kepentingan eksternal perusahaan, yang salah satunya adalah calon karyawan. Proses rekrutmen merupakan salah satu tahap krusial dalam proses Manajemen SDM yang memiliki kontribusi besar pada kemampuan perusahaan dalam mencapai tujuannya, sehingga rangkaian tahapan dalam rekrutmen menjadi perhatian yang penting. Untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam menjaring pencari kerja berkualitas, pengungkapan CSR yang ekstensif diperlukan. Sementara itu, penelitian ini juga memberikan rekomendasi kepada berbagai perusahaan untuk tidak menjadikan paket kompensasi sebagai satu-satunya faktor yang mungkin meningkatkan daya tariknya di mata pencari kerja, sebab informasi terkait kompensasi terbukti tidak signifikan dalam mempengaruhi ketertarikan pencari kerja pada perusahaan. Sementara itu, peran penalaran moral individu dalam memoderasi pengaruh pengungkapan CSR terhadap ketertarikan pencari kerja pada perusahaan belum dapat dibuktikan secara empiris. Hal ini disebabkan karena adanya faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi yang tidak diteliti pada penelitian ini. Salah satu contoh dari faktor tersebut adalah sifat kepemimpinan partisipan eksperimen. Selain itu, upaya pembuktian hipotesis ini dapat memberikan kontribusi teoretis. Pembuktian hipotesis 4 dapat memberikan kontribusi pada ilmu pengetahuan sebab, sejauh pengetahuan peneliti, belum ada penelitian terdahulu yang mencoba membuktikan secara empiris bagaimana peran penalaran moral dalam memoderasi pengaruh pengungkapan CSR terhadap ketertarikan pencari kerja pada perusahaan. Penelitian ini terbatas pada menguji variabel penalaran moral saja. Variabel lain yang mungkin relevan atau berpotensi seperti karakteristik individu sang pencari kerja tidak diteliti. Padahal keunikan karakteristik individu masing-masing ini mungkin merupakan variabel pemoderasi yang baik. Untuk itu, dalam penelitian selanjutnya, karakteristik individu sudah selaiknya dapat diteliti. Daftar Pustaka Taylor, M. S., & Collins, C. J. (2000). Organizational recruitment: Enhancing the intersection of research and practice. Oxford, UK: Blackwell Publishing. Arthur, D. (2001). The Employee Recruitment and Retention Handbook. New York, NY: AMACOM. Greening, D. W., & Turban, D. B. (2000). Corporate Social Performance as a Competitive Advantage in Attracting a Quality Workforce. Business Society , 39 (3), 254-280. Gatewood, R. D., Gowan, M. A., & Lautenschlager, G. J. (1993). “Corporate Image, Recruitment Image And Initial Job Choice Decisions. Academy of Management Journal , 36 (2), 414-427. Clarkson, P. M., Li, Y., Richardson, G. D., & Vasvari, F. P. (2008). Revisiting the relation between environmental performance and environmental disclosure: An empirical analysis. Accounting, Organizations and Society , 33 (4-5), 303-327. Fombrun, C., & Shanley, M. (1990). What's in a Name? Reputation Building and Corporate Strategy. Academy of Management Journal , 33 (2), 233-258. Tajfel, H., & Turner, J. (1979). An Integrative Theory of Intergroup Conflict. Dalam W. Austin, & S. Worchel, The Social Psychology of Intergroup Relation (hal. 33-47). BrooksCole. Piaget, J. (1932). The Moral Judgement of the Child. London: Kegan Paul. Kohlberg, L. (1981). The Philosophy of Moral Development: Moral Stages and the Idea of Justice. San Francisco: Harper & Row. Rockness, H. O., Bazley, J. D., & Nikolai, L. A. (1977). Variance analysis for pollution control. Management Accounting , 51-54. Wolk, H. I., Dodd, J. L., & Rozycki, d. J. (2013). Accounting Theory: Conceptual Issues in Political and Economic Environment. Thousand Oaks, California: SAGE. Velasquez, M. G. (2012). Business Ethics: Concept and Cases. Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, Inc. McMahon, J. (2000, April 28). The Effects of Cognitive Moral Development and Reinforcement Contingencies on Ethical Decision Making. Master Thesis . Blacksburg, VA: Faculty of the Virginia Polytechnic Institute and State University. Weber, J. (1992). Scenarios in Business Ethics Research: Review, Critical Assessment, and Recommendations. Business Ethics Quarterly , 2, 137-160. Liana, L. (2009). Penggunaan MRA dengan Spss untuk Menguji Pengaruh Variabel Moderating terhadap Hubungan antara Variabel Independen dan Variabel Dependen. Jurnal Teknologi Informasi DINAMIK , XIV (2), 90-97. Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. (2012). Kualitas Tenaga Kerja RI Rendah. Dipetik October 23, 2016, dari http://www.kemenperin.go.id/artikel/8161/Kualitas-TenagaKerja-RI-Rendah Bursa Efek Indonesia. (2015). Pengumuman Saham yang Masuk dan Keluar dalam Perhitungan Indeks SRI-KEHATI. Bursa Efek Indonesia. Rest, J. R. (1986). DIT Manual 3rd Edition. Minneapolis, MN: University of Minnesota Centre for the Study of Ethical Development. Rest, J. R. (1979). Development in Judging Moral Issues. Minneapolis, MN: University of Minnesota Press. Pfeffer, J. (1994). Competitive advantage through people. California Management Review , 36 (2), 9-28. Turner, N., & Barling, J. (2002). Transformational Leadership and Moral Reasoning. Journal of Applied Psychology , 87 (2), 304–311. Albinger, H. S., & Freeman, S. J. (2000). Corporate Social Performance and Attractiveness as an Employer to Different Job Seeking Populations. Journal of Business Ethics , 28, 243-253. Coldwell, D. A., Billsberry, J., Meurs, N. v., & Marsh, P. J. (2008). The Effects of Person– Organization Ethical Fit on Employee Attraction and Retention: Towards a Testable Explanatory Model. Journal of Business Ethics , 78, 611-622. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. (2007). Dolan, K. A. (1997, June 2). Kinder, Gentler M.B.A.s. 39-40. Forbes. Snell, S. A., Youndt, M. A., & Wright, P. M. (1996). Establishing a framework for research in strategic human resource management: Merging resource theory and organizational learning. Research and Human Resources Management , 14, 61-90. Belt, J. A., & Paolillo, J. G. (1982). The Influence of Corporate Image and Specificity of Candidate Qualifications on Response to Recruitment Advertisement. Journal of Management 8 , 8 (1), 105-112. LAMPIRAN 1. Instrumen kelompok A 2. Instrumen kelompok B 3. Instrumen kelompok C 4. Instrumen Kelompok D 6. Instrumen Defining Issues Test