Daftar Pustaka - sna

advertisement
PENGARUH INFORMASI KOMPENSASI DAN PENGUNGKAPAN CSR
TERHADAP KETERTARIKAN PENCARI KERJA PADA PERUSAHAAN DENGAN
PENALARAN MORAL SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI
Abstrak
Sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor penting bagi tercapai dan terjaganya tujuan
perusahaan. Memperoleh SDM yang berkualitas merupakan sebuah hal yang tidak mudah bagi
perusahaan. Untuk itu, perusahaan berlomba-lomba untuk menawarkan berbagai paket kompensasi
yang menarik. Namun demikian, ternyata tidak hanya paket kompensasi saja yang menjadi
pertimbangan SDM yang berkualitas saat ini. Dengan semakin meningkatnya kesadaran berbagai
pihak tentang isu keberlanjutan, membuat para pencari kerja juga turut mempertimbangankan
moralitas perusahaan dalam benaknya. Pengukuran moralitas perusahaan ini semakin mudah
dilakukan masyarakat dengan dengan adanya berbagai bentuk pengungkapan kegiatan sosial dan
lingkungan (CSR) baik sebagai satu kesatuan dengan laporan tahunan maupun sebagai laporan
terpisah. Penelitian ini memiliki tiga tujuan, pertama, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh kompensasi dan pengungkapan CSR terhadap ketertarikan pencari kerja pada perusahaan.
Kedua, penelitian ini bertujuan untuk menguji efek interaksi di antara kedua faktor tersebut.
Terakhir, penelitian ini bertujuan untuk menguji peran penalaran moral dalam memoderasi pengaruh
pengungkapan CSR terhadap ketertarikan pencari kerja dengan menggunakan moderated regression
analysis (MRA). Metode eksperimen laboratorium dengan desain 2x2 antar subyek digunakan pada
penelitian ini. Manipulasi dilakukan untuk informasi terkait dengan kompensasi dan pengungkapan
CSR. Subyek eksperimen adalah mahasiswa semester akhir dan yang baru saja lulus tingkat
pendidikan strata satu fakultas ekonomi dengan total 37 orang subyek. Data
dianalisis dengan
menggunakan uji Analysis of Variance (ANOVA). Dalam penelitian ini dibuktikan bahwa hanya
pengungkapan CSR saja yang memiliki pengaruh terhadap ketertarikan pencari kerja pada
perusahaan. Efek interaksi tidak terjadi antara kedua variabel yang diuji dan penalaran moral
individu bukanlah faktor yang memoderasi pengaruh pengungkapan CSR terhadap ketertarikan
pencari kerja. Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menguji pengaruh informasi
kompensasi dan pengungkapan CSR terhadap pencari kerja dengan penalaran moral sebagai
variabel pemoderasi.
Kata kunci: CSR, penalaran moral, kompensasi
1.
Pendahuluan
Kualitas tenaga kerja merupakan faktor penting dari aspek Sumber Daya Manusia (SDM)
yang berkontribusi pada pencapaian tujuan perusahaan (Pfeffer, 1994; Snell, et al., 1996). Salah satu
elemen terpenting dalam SDM adalah rekrutmen (Taylor & Collins, 2000), sebab rekrutmen
merupakan tahap dimana perusahaan dapat menjaring karyawan dengan kualitas dan bakat terbaik
yang dapat bersinergi serta berkontribusi pada pencapaian tujuan perusahaaan. Maka, penting bagi
perusahaan untuk menarik job seekers (pencari kerja) berkualitas, sehingga perusahaan dapat
memiliki SDM yang berkualitas tinggi pula.
Sementara itu, kualitas tenaga kerja di Indonesia masih relatif rendah. Hal ini ditunjukkan
oleh data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang dikutip dalam sebuah artikel pada laman
Kementerian Industri Republik Indonesia yang menyatakan bahwa per Agustus 2012, dari 118,05 juta
tenaga kerja yang terdaftar, hanya terdapat 8,17 juta orang yang bergelar sarjana. Maka, perusahaanperusahaan di Indonesia harus bersaing untuk memperebutkan pencari kerja berkualitas yang
jumlahnya terbatas. Semakin tinggi kemampuan perusahaan dalam menarik pencari kerja berkualitas,
maka semakin besar peluang perusahaan untuk merekrut SDM dengan kualitas terbaik. Untuk itu,
perusahaan harus mengetahui faktor apa saja yang dapat menarik para pencari kerja berkualitas.
Dua dari beberapa faktor yang mempengaruhi ketertarikan pencari kerja pada perusahaan
antara lain kompensasi yang ditawarkan perusahaan (Arthur, 2001) dan reputasi perusahaan tersebut
(Belt & Paolillo, 1982 ; Gatewood, et al., 1993). Bagaimanapun juga, setiap orang berkepentingan
untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Arthur (2001) menyatakan bahwa seseorang cenderung
memilih untuk bekerja di perusahaan yang dapat memberikan kompensasi sesuai dengan tingkat
pendidikan dan pengalaman kerja yang dimilikinya. Maka, semakin tinggi kualitas seorang pencari
kerja, semakin tinggi pula paket kompensasi yang diekspektasikan untuk diterima.
Sementara itu, reputasi perusahaan berkaitan erat dengan aktivitas CSR yang dilakukan
(Fombrun & Shanley, 1990) Peran reputasi terkait CSR dalam mempengaruhi ketertarikan pencari
kerja pada perusahaan dapat dijelaskan oleh teori identitas sosial dan pensinyalan. Menurut teori
identitas sosial, imej personal seseorang dipengaruhi oleh keterlibatannya pada berbagai kelompok
sosial (Tajfel & Turner, 1979). Berdasarkan teori tersebut, seseorang cenderung memilih bekerja di
perusahaan yang memiliki reputasi yang baik agar dirinya dianggap sebagai orang yang baik pula.
Menurut teori pensinyalan, aktivitas CSR perusahaan memberikan sinyal mengenai nilai dan norma
perusahaan, serta mempengaruhi persepsi tentang kondisi kerja di perusahaan tersebut, yang
kemudian berdampak pada kemampuan perusahaan dalam menarik calon karyawan (Greening &
Turban, 2000). Aktivitas CSR perusahaan dikomunikasikan kepada pihak eksternal melalui
pengungkapan CSR, baik melalui laporan tahunan, laman online, brosur, surat kabar berbayar, dan
lain sebagainya. Pengungkapan informasi terkait CSR inilah yang membentuk reputasi perusahaan
(Gatewood, Gowan, & Lautenschlager, 1993). Menurut teori pengungkapan sukarela, semakin baik
kinerja sosial dan lingkungan perusahaan (corporate social performance, disingkat CSP), maka
perusahaan semakin terdorong untuk melakukan pengungkapan CSR secara lebih ekstensif (Clarkson,
Li, Richardson, & Vasvari, 2008).
Penelitian yang dilakukan oleh Greening dan Turban (2000) menemukan bahwa aktivitas
CSR lebih menarik daripada kompensasi yang ditawarkan perusahaan bagi para pencari kerja.
Temuan tersebut mendukung hasil survei yang dilakukan oleh Students for Responsible Business
terhadap 2.100 mahasiswa MBA. Survei tersebut menemukan bahwa lebih dari separuh responden
bersedia untuk menerima gaji yang lebih rendah dari perusahaan yang menjalankan tanggung jawab
sosial dengan baik (Dolan, 1997),
Telah terdapat beberapa penelitian yang menemukan bahwa terdapat hubungan positif antara
reputasi perusahaan terkait aktivitas CSR dengan kemampuan perusahaan dalam menarik pencari
kerja (Albinger & Freeman, 2000; Greening & Turban, 2000). Namun demikian, penelitian-penelitian
telah dilakukan sebelumnya tidak mempertimbangkan karakteristik individu yang mungkin dapat
mempengaruhi hubungan tersebut. Penelitian ini memperdalam riset-riset terdahulu dengan
mempertimbangkan karakteristik individu yang mungkin mempengaruhi hubungan tersebut, yaitu
tingkat penalaran moral individu. Tingkat penalaran moral diprediksi mempengaruhi persepsi pencari
kerja tentang aktivitas CSR perusahaan. Hal ini disebabkan karena persepsi seseorang tentang
tindakan etis perusahaan tidaklah sama suatu. Suatu fenomena sosial dapat diinterpretasikan dengan
cara yang berbeda oleh dua orang berbeda (Piaget, 1932). Perbedaan persepsi mengenai kesesuaian
etika ini dipengaruhi oleh penalaran moral yang dimiliki masing-masing individu (Kohlberg, 1981).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah pencari kerja mempertimbangkan faktor
ekonomi dan non ekonomi dalam menentukan perusahaan sebagai tempat mereka bekerja kelak, dan
faktor manakah yang lebih dominan dalam mempengaruhi ketertarikan mereka pada suatu
perusahaan. Faktor ekonomi diwakili oleh informasi kompensasi yang ditawarkan perusahaan, dan
faktor non-ekonomi diwakili oleh pengungkapan CSR yang dilakukan perusahaan. Selain itu,
penelitian ini bertujuan untuk mengetahu apakah tingkat penalaran moral individu menyebabkan
adanya perbedaan ketertarikan antara pencari kerja satu dan lainnya untuk tingkat ekstensifitas
pengungkapan CSR yang sama.
2.
Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis
2.1 Pengungkapan CSR
Seluruh pelaksanaan aktivitas CSR perusahaan dikomunikasikan kepada publik melalui
pengungkapan tanggung jawab CSR (CSR disclosure). Pengungkapan tersebut dapat dilakukan
menggunakan berbagai media, diantaranya laporan tahunan perusahaan, website perusahaan, surat
kabar berbayar, brosur, press releases, dan iklan televisi dan radio (Rockness, Bazley, & Nikolai,
1977).
Dalam konteks internasional, salah satu set panduan bagi perusahaan dalam mengungkapkan
aktivitas CSR-nya adalah G4 Sustainability Reporting yang dikeluarkan oleh Global
Reporting
Initiatives. Di Indonesia sendiri, pengungkapan aktivitas CSR perusahaan diatur dalam UU Nomor 40
Tahun 2007 Pasal 66. Walaupun ada undang-undang yang mendasari kewajiban perseroan terbatas di
Indonesia untuk melakukan dan melaporkan aktivitas CSR-nya, namun tidak ada ada kriteria baku
terkait hal tersebut. Maka hingga saat ini, pelaksanaan dan pengungkapan CSR di Indonesia masih
bersifat sukarela.
2.2 Teori Identitas Sosisal
Teori ini menjelaskan bahwa self-image seseorang dipengaruhi oleh keterlibatannya dalam
berbagai kelompok sosial (Tajfel & Turner, 1979). Greening dan Turban (2000) menyatakan bahwa
self-image seorang karyawan dipengaruhi oleh image dan reputasi dari perusahaan tempat ia bekerja,
dimana image dan reputasi perusahaan tersebut dipengaruhi oleh tindakan perusahaan terkait isu
sosial dan politik. Greening dan Turban (2000) berpendapat bahwa kinerja sosial dan lingkungan
perusahaan (corporate social performance, disingkat CSP) secara positif mempengaruhi daya tarik
perusahaan di mata para pencari kerja. Hal ini disebabkan karena pencari kerja memiliki informasi
positif terkait perusahaan yang akan memperkuat konsep diri mereka sebagai suatu bagian dari
perusahaan yang memiliki tanggung jawab sosial yang baik.
2.3 Teori Pensinyalan dan Pengungkapan Sukarela
Teori pensinyalan menjelaskan bahwa walaupun tidak ada peraturan yang mewajibkan
perusahaan untuk melakukan pelaporan, perusahaan akan tetap melakukan pelaporan secara sukarela
(Wolk, Dodd, & Rozycki, 2013). Bagaimanapun juga, pihak internal perusahaan memiliki informasi
lebih banyak daripada pihak eksternal. Hal ini disebut sebagai asimetri informasi. Ketidaklengkapan
informasi ini dapat mempengaruhi nilai perusahaan di pasar modal. Pengungkapan sukarela dianggap
sebagai sinyal yang dapat mengurangi ketidakpastian informasi yang dimiliki pihak eksternal yang
dapat meningkatkan nilai perusahaan (Wolk, Dodd, & Rozycki, 2013).
Dalam konteks perusahaan di mata pencari kerja, pengungkapan informasi sosial dan
liingkungan (pengungkapan CSR) kepada publik secara sukarela dianggap sebagai sinyal yang
memberikan gambaran mengenai kondisi kerja di perusahaan tersebut (Greening & Turban, 2000).
Para pencari kerja menggunakan informasi tentang tindakan perusahaan terkait isu sosial dan
lingkungan yang dimiliki untuk mempertimbangkan berbagai pilihan perusahaan yang kelak akan
menjadi tempat mereka bekerja.
Menurut teori pengungkapan sukarela, terdapat hubungan positif antara kinerja sosial dan
lingkungan perusahaan (CSP) dan tingkat pengungkapan informasi sosial dan lingkungan
(pengungkapan CSR) yang dilakukan perusahaan. Perusahaan yang memiliki kinerja sosial dan
lingkungan yang lebih baik cenderung mengungkapkannya kepada publik secara lebih ekstensif
daripada perusahaan yang memiliki kinerja sosial dan lingkungan yang lebih rendah (Clarkson, Li,
Richardson, & Vasvari, 2008)
2.4 Penalaran Moral
Penalaran moral merupakan suatu proses penalaran dari perilaku manusia, organisasi, atau
kebijakan yang dinilai kesesuaiannya dengan standar moral (Velasquez, 2012). Lawrence Kohlberg,
seorang psikolog yang mengawali penelitian dalam bidang ini, menemukan bahwa tahapan
perkembangan moral manusia dapat dibagi ke tiga level, dimana masing-masing level memiliki dua
tingkatan (Velasquez, 2012).
Pada level pertama (preconventional level), keputusan penilaian apakah suatu perilaku itu
baik, buruk, benar, atau salah didasarkan pada konsekuensi yang diterima. Seseorang yang memiliki
tingkat perkembangan moral di tahap ini mengutamakan kepentingan pribadinya untuk membuat
keputusan moral (egosentris). Di level kedua (conventional level), keputusan penilaian tersebut
didasarkan pada nilai, norma, dan hukum yang berlaku di lingkungan. Seseorang yang tingkat
perkembangan moralnya berada pada tahap ini akan membuat keputusan moral berdasarkan
ekspektasi masyarakat dan hukum yang berlaku di lingkungannya.
Pada level ketiga
(postconventional level), keputusan penilaian kesesuaian moral didasarkan pada sudut pandang yang
lebih luas dan universal. Seseorang yang memiliki tingkat perkembangan moral di tahap ini akan
membuat keputusan moral secara rasional dan kritis, serta dapat menjelaskan alasan dibalik keputusan
tersebut berdasarkan prinsip moral (Velasquez, 2012).
2.5 Pengembangan Hipotesis
Setiap manusia ingin memenuhi kebutuhan ekonominya. Pentingnya pemenuhan kebutuhan
ekonomi menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi seseorang dalam memilih perusahaan sebagai
tempat bekerja. Tingkat pendidikan dan pengalaman menjadi faktor pendorong seseorang untuk
mendapatkan kompensasi yang lebih tinggi (Arthur, 2001).
H1. Pencari kerja lebih tertarik untuk bekerja di perusahaan yang menawarkan kompensasi yang
lebih tinggi dari rata-rata industri daripada kompensasi yang berada pada rata-rata industri.
Beberapa penelitian telah menemukan bahwa reputasi yang dibentuk dari kinerja sosial dan
lingkungan perusahaan (CSP) membentuk daya tarik suatu perusahaan. Greening dan Turban (2000)
menemukan bahwa seluruh komponen CSP (hubungan dengan karyawan, perlakuan kepada wanita
dan minoritas, kepedulian lingkungan, dan kualitas produk) berhubungan positif dengan ketertarikan
calon karyawan pada suatu perusahaan. Mendukung penelitian tersebut, Albinger dan Freeman (2000)
mencoba menemukan pengaruh CSP pada ketertarikan berbagai kelompok pencari kerja. Penelitian
tersebut menemukan bahwa pencari kerja yang berkualitas lebih tinggi dan memiliki lebih banyak
jumlah pilihan pekerjaan cenderung lebih mempertimbangkan CSP dalam memilih perusahaan
sebagai tempat bekerja daripada pencari kerja yang berkualitas lebih rendah dan memiliki jumlah
pilihan pekerjaan lebih sedikit.
Menurut teori pengungkapan sukarela, perusahaan yang memiliki CSP lebih baik cenderung
mengungkapkan aktivitas CSR mereka secara lebih ekstensif, sehingga semakin baik CSP suatu
perusahaan, maka semakin tinggi pula pengungkapan CSR yang dilakukan (Clarkson, Li, Richardson,
& Vasvari, 2008). Sesuai dengan teori pensinyalan, semakin banyak informasi terkait CSR yang
diungkapkan perusahaan, maka pencari kerja lebih memiliki gambaran terkait kondisi kerja di
perusahaan tersebut. Teori identitas sosial menyatakan bahwa pencari kerja cenderung memilih
perusahaan yang memiliki CSP yang lebih baik karena perusahaan dengan reputasi CSR yang baik
akan memperkuat imej diri mereka. Mengacu pada ketiga teori tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa semakin baik CSP suatu perusahaan, maka semakin tinggi (ekstensif) pengungkapan CSR
perusahaan tersebut (Clarkson, Li, Richardson, & Vasvari, 2008), sehingga semakin tinggi pula daya
tarik perusahaan di mata pencari kerja (Albinger & Freeman, 2000; Greening & Turban, 2000)
H2. Pencari kerja lebih tertarik untuk bekerja di perusahaan yang memiliki pengungkapan CSR
tinggi daripada perusahaan yang memiliki pengungkapan CSR rendah.
Beberapa penelitian membuktikan bahwa dari kedua faktor tersebut, reputasi perusahaan
terkait CSR berpengaruh lebih besar dalam menentukan ketertarikan seseorang pada suatu
perusahaan. Students for Responsible Business melakukan survei terhadap 2.100 mahasiswa MBA dan
menemukan bahwa lebih dari separuh responden menyatakan bahwa mereka tidak berkeberatan untuk
menerima gaji yang lebih rendah dari perusahaan yang memiliki tanggung jawab sosial (Dolan, 1997).
Mendukung hasil penelitian tersebut, Greening dan Turban (2000) menemukan bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara kompensasi dengan ketertarikan calon karyawan terhadap suatu
perusahaan.
H3. Pencari kerja lebih tertarik untuk bekerja di perusahaan yang memiliki pengungkapan CSR yang
lebih tinggi dengan kompensasi sebesar rata-rata industri daripada di perusahaan yang memiliki
tingkat pengungkapan CSR yang rendah dengan kompensasi di atas rata-rata industri.
Persepsi seseorang tentang tindakan etis suatu perusahaan tidaklah sama. Dua orang yang
berbeda dapat menginterpretasikan suatu fenomena sosial dengan cara yang berbeda (Piaget, 1932).
Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkat penalaran moral yang dimiliki oleh masing-masing
individu (Kohlberg, 1981). Maka, interpretasi pengungkapan CSR sebuah perusahaan akan
menghasilkan perbedaan tingkat ketertarikan pada perusahaan antara pencari kerja satu dengan
lainnya. Hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkat penalaran moral yang dimiliki oleh pencari kerja
tersebut.
H4. Penalaran moral individu memoderasi pengaruh pengungkapan CSR pada ketertarikan pencari
kerja pada suatu perusahaan.
3. Metode Penelitian
3.1 Prosedur Eksperimen dan Partisipan
Penelitian ini menggunakan metode eksperimen laboratorium (lab experiment). Desain
eksperimen yang digunakan adalah 2x2 antar subyek (between subject.). Terdapat dua manipulasi
untuk dua variabel (i.e. kompensasi dan pengungkapan CSR) yang diuji. Manipulasi dilakukan
dengan mengatur tinggi dan rendah nilai kompensasi yang ditawarkan perusahaan kepada pemberi
kerja dan luas atau sempit pengungkapan CSR perusahaan.
Partisipan dalam penelitian ini adalah mahasiswa tingkat akhir dan baru lulus Program S-1
Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM dengan jumlah total 60 orang yang berasal dari jurusan
Akuntansi (20 orang), jurusan Manajemen (20 orang), dan jurusan Ilmu Ekonomi (20 orang).
Partisipan didistribusikan ke dalam 4 kelompok secara proporsional berdasarkan jurusan dan jenis
kelamin. Kelompok A adalah kelompok yang mendapatkan informasi kompensasi tinggi dan
pengungkapan CSR tinggi. Kelompok B adalah kelompok yang mendapatkan informasi kompensasi
tinggi dan pengungkapan CSR rendah. Kelompok C adalah kelompok yang mendapatkan informasi
kompensasi rendah dan pengungkapan CSR tinggi Kelompok D adalah kelompok yang mendapatkan
informasi kompensasi rendah dan pengugkapan CSR rendah.
3.2 Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua instrumen: 1) instrumen evaluasi ketertarikan pencari kerja
pada perusahaan, dan 2) instrumen Defining Issues Test (DIT). Instrumen pertama menguji
ketertarikan pencari kerja pada suatu perusahaan yang diadopsi dari instrumen penelitian Greening
dan Turban (2000) dengan modifikasi. Instrumen ini terdiri atas dua perlakuan untuk dua kondisi.
Kondisi tersebut antara lain informasi kompensasi dan pengungkapan CSR. Manipulasi untuk masingmasing kondisi adalah tinggi dan rendah. Pada instrumen ini, disebutkan bahwa partisipan baru saja
dinyatakan lulus ujian pendadaran dari perguruan tinggi dan sedang dalam upaya mencari pekerjaan.
Partisipan akan diberikan paparan informasi mengenai suatu perusahaan, kemudian diminta untuk
menentukan tingkat ketertarikan mereka pada perusahaan tersebut dengan memberikan skor pada 4
pernyataan yang diberikan. Ketertarikan tersebut diwakili oleh skala 1-7, dengan 1: sangat tidak setuju
dan 7: sangat setuju untuk 2 pernyataan pertama. Pada 2 pernyataan selanjutnya, partisipan diminta
untuk memberikan persentase yang mengindikasikan ketertarikan mereka pada perusahaan dengan
mengisikan skor antara 0%-100%.
-
Informasi Kompensasi
Manipulasi pada informasi kompensasi ini diadopsi dari instrumen penelitian Greening dan
Turban (2000). Pada skenario informasi kompensasi tinggi, dinyatakan bahwa perusahaan
menawarkan paket kompensasi dengan gaji yang sangat kompetitif, yaitu di atas rata-rata
industri, fasilitas dan tunjangan yang komprehensif meliputi asuransi kesehatan gigi, mata,
dan disabilitas jangka panjang, rencana pensiun sesuai standar industri, serta hak untuk
membeli saham perusahaan dengan harga khusus. Pada skenario informasi kompensasi
rendah, dinyatakan bahwa perusahaan menawarkan paket kompensasi dengan gaji sebesar
rata-rata industri, tunjangan hari raya, kompensasi sakit dan hari libur, serta rencana pensiun
sesuai standar industri.
-
Pengungkapan CSR
Manipulasi pada pengungkapan CSR tinggi diadopsi dari laporan tanggung jawab sosial PT
Indofood Sukses Makmur Tbk dengan modifikasi. Dipilihnya perusahaan ini sebagai acuan
manipulasi pengungkapan CSR tinggi adalah karena PT Indofood Sukses Makmur Tbk
menduduki peringkat ke-10 dalam indeks SRI-KEHATI per periode April 2015. Sementara
itu, manipulasi pada pengungkapan CSR rendah diadopsi dari laporan tanggung jawab sosial
PT Mayora Indah Tbk dengan modifikasi. Perusahaan ini dipilih karena tidak terdaftar dalam
25 besar indeks SRI-KEHATI pada periode yang sama. SRI-KEHATI adalah indeks yang
dikeluarkan oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) dan BEI yang
memuat 25 perusahaan yang menguntungkan secara ekonomi serta peduli akan kelestarian
lingkungan hidup.
Instrumen kedua yang digunakan adalah Defining Issues Test (DIT) yang mengukur tingkat
penalaran moral individu. Instrumen ini dikembangkan oleh Rest (1979), dengan menggunakan kasus
yang melibatkan dilema etis yang diciptakan oleh Kohlberg (McMahon, 2000). Instrumen ini
digunakan untuk menilai tahapan moral individu pada tingkat perkembangan moral Kohlberg. Indeks
yang digunakan untuk mengukur hasil survei DIT adalah P-score (pricipled moral reasoning score)
yang sering kali digunakan sebagai indikator moral judgement maturity. P-score mencerminkan nilai
total untuk tahapan perkembangan moral 5A, 5B, dan 6. Satu set DIT mencakup 6 kasus yang
masing-masing diikuti oleh 12 pertanyaan untuk menjawab dilema tersebut. Dilema etis tersebut
antara lain: 1) Heinz and The Drug, 2) The Escaped Prisoner, 3) The Newspaper, 4) The Doctor’s
Dilemma, 5) Webster, dan 6) Student Take-Over. Setiap pertanyaan mencerminkan tahapan moral
yang berbeda. Responden akan diminta untuk memberikan rating untuk setiap pertanyaan, kemudian
mengurutkan empat pertanyaan yang paling penting. Rating yang diberikan adalah 1: sangat penting,
2: penting, 3: cukup penting, 4: kurang penting, dan 5: sangat tidak penting.
Penelitian ini menggunakan instrumen DIT versi pendek yang berisikan 3 kasus, antara lain:
1) Heinz and The Drug, 2) The Escaped Prisoner, dan 3) The Newspaper. Tiga kasus tersebut dipilih
sebagai komponen DIT versi pendek karena memiliki korelasi paling tinggi dibandingkan tiga kasus
lainnya, dengan korelasi P-score sebesar 0.93 dengan P-score DIT versi lengkap dari sampel
sebanyak 160 subjek (Rest, 1986). DIT versi pendek digunakan karena satu set instrumen DIT secara
lengkap mengandung terlalu banyak skenario kasus yang dapat menimbulkan information overload
dan kelelahan bagi para responden (Weber, 1992).
3.3 Prosedur Eksperimen
Sebelum eksperimen dimulai, peneliti membacakan pengantar dan instruksi pelaksanaan
eksperimen kepada seluruh partisipan. Kemudian, peneliti membagikan kontrak penelitian. Dalam
kontrak penelitian, disajikan informasi tentang kompensasi yang akan diterima oleh partisipan atas
keikutsertaannya dalam eksperimen serta penegasan mengenai kerahasiaan informasi yang diberikan.
Pembagian kontrak dan instrumen penelitian dilakukan secara acak, sehingga seluruh partisipan
memiliki kesempatan yang sama untuk masuk ke dalam kelompok tertentu. Setelah mendapatkan
kontrak, partisipan diberi waktu untuk mengisi kontrak terlebih dahulu, kemudian mengumpulkan
kontrak tersebut kepada peneliti. Selanjutnya, partisipan diminta untuk mengisi data demografis,
mengerjakan instrumen evaluasi ketertarikan pencari kerja terhadap perusahaan, dan diakhiri dengan
mengerjakan instrumen penalaran moral. Setelah menyelesaikan seluruh tugas di atas, partisipan akan
mendapatkan kompensasi yang telah dijanjikan dalam kontrak.
4. Hasil
4.1 Statistik Deskriptif
Total partisipan eksperimen adalah 60 mahasiswa, dengan komposisi jenis kelamin dan
jurusan yang proporsional. Dari jumlah tersebut, 13 partisipan (21,67%) tidak lolos cek manipulasi
instrumen evaluasi ketertarikan pencari kerja, 9 partisipan (15%) tidak lolos instrumen DIT, dan data
1 partisipan dikeluarkan karena outlier (1,67%). Maka, jumlah partisipan yang datanya dapat diolah
lebih lanjut adalah 37 partisipan (61,67%).
Tabel 1 menunjukkan jumlah partisipan, rata-rata (mean), dan standar deviasi pada setiap
kelompok eksperimen. Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa kelompok yang mendapatkan
informasi kompensasi tinggi memiliki rata-rata ketertarikan yang lebih tinggi daripada kelompok yang
mendapatkan informasi kompensasi rendah (kelompok A dan B dengan jumlah rata-rata= 1,662 >
kelompok C dan D dengan jumlah rata-rata= 1,551). Kelompok yang mendapatkan pengungkapan
CSR tinggi memiliki rata-rata ketertarikan yang lebih tinggi daripada kelompok yang mendapatkan
pengungkapan CSR rendah (kelompok A dan C dengan jumlah rata-rata= 1,692 > kelompok B dan D
dengan jumlah rata-rata= 1,521). Sementara itu sebagaimana yang diharapkan pula, kelompok yang
mendapatkan informasi kompensasi rendah dan pengungkapan CSR tinggi memiliki rata-rata yang
lebih tinggi dari pada kelompok yang mendapatkan informasi kompensasi tinggi dan pengungkapan
CSR rendah (kelompok C= 0,824 > kelompok B= 0,794). Selain itu, Tabel 1 juga menunjukkan
keberagaman tingkat penalaran moral individu yang dimiliki oleh partisipan dalam setiap kelompok
eksperimen.
Tabel 1
Kelompok
A
B
C
D
Variabel
N
Mean
Standar Deviasi
Ketertarikan
11
0,868
0,060
Penalaran Moral
11
0,424
0,130
Ketertarikan
10
0,794
0,064
Penalaran Moral
10
0,260
0,075
Ketertarikan
11
0,824
0,109
Penalaran Moral
11
0,385
0,111
Ketertarikan
5
0,727
0,120
Penalaran Moral
5
0,253
0,119
4.2 Uji Statistik
Sebelum dilakukan uji ANOVA untuk menguji hipotesis 1, 2, dan 3, terlebih dahulu
dilakukan uji normalitas dan uji homogenitas. Tabel 2 menunjukkan hasil uji normalitas Shapiro-Wilk
yang memberikan kesimpulan bahwa seluruh perlakuan untuk masing-masing variabel independen
memiliki nilai sig. > 0,05 yang berarti bahwa data terdistribusi secara normal. Selain itu, normalitas
data dapat dilihat menggunakan Q-Q Plot yang menunjukkan garis yang lurus. Sementara itu,
homogenitas data diuji menggunakan Levene’s test of homegeneity of variance. Tabel 3 menunjukkan
hasil uji homogentitas data yang memberikan kesimpulan bahwa seluruh variabel independen
homogen dengan nilai sig. > 0,05.
Tabel 2
N
Sig.
Keterangan
Informasi kompensasi rendah
16
0,276
Normal
Informsasi kompensasi tinggi
21
0,479
Normal
Pengungkapan CSR rendah
15
0,204
Normal
Pengungkapan CSR tinggi
22
0,197
Normal
Tabel 3
Variabel Independen
Levene
df1
df2
Sig.
Keterangan
Statistic
Informasi kompensasi
3,232
1
35
0,081
Homogen
Pengungkapan CSR
0,000
1
35
0,996
Homogen
Sebelum melakukan Moderated Regression Analysis (MRA) untuk menguji hipotesis 4,
terlebih dahulu dilakukan uji asumsi klasik yang terdiri atas uji normalitas, uji multikolinearitas, dan
uji heteroskedastisitas. Seperti halnya sebelum melakukan uji ANOVA, uji normalitas dilakukan
menggunakan Shapiro-Wilk. Tabel 4 menunjukkan hasil uji normalitas yang memberikan kesimpulan
bahwa variabel dependen (ketertarikan pencari kerja pada perusahaan) terdistribusi secara normal
dengan nilai sig. sebesar 0,115 (lebih besar dari = 0,05). Uji multikolinearitas dilakukan dengan
membandingkan nilai VIF dan Tolerance. Hasil pengujian ini ditunjukkan oleh Tabel 5 yang
memberikan kesimpulan bahwa data tidak memenuhi uji multikolinearitas. Namun demikian, analisis
regresi tetap dapat dilakukan, sebab analisis regresi yang mengandung variabel pemoderasi
(Moderated Regression Analysis) pada umumnya mengalami masalah multikolinearitas (Liana, 2009).
Uji heteroskedastisitas dilakukan dengan menggunakan uji Glejjser. Hasil pengujian yang ditunjukkan
oleh Tabel 6 memberikan kesimpulan bahwa data tidak mengandung heteroskedastisitas (sig.> 0,05) ,
sehingga analisis regresi dapat dilakukan.
Tabel 4
Shapiro-Wilk
Ketertarikan
Statistic
df
Sig.
0,952
37
0,115
Keterangan
Normal
Tabel 5
Variabel
Toleransi
VIF
Keterangan
Penalaran Moral
0,179
5,575
Non Multikolinearitas
Pengungkapan CSR
0,088
11,358
Multikolinearitas
Penalaran Moral*Pengungkapan CSR
0,045
22,199
Multikolinearitas
Tabel 6
Variabel
Sig.
Keterangan
Penalaran Moral
0,059
Homoskedastisitas
Pengungkapan CSR
0,363
Homoskedastisitas
Penalaran Moral*Pengungkapan CSR
0,135
Homoskedastisitas
4.3 Uji Hipotesis
Hipotesis 1, 2, dan 3 dalam penelitian ini dianalisis menggunakan ANOVA. Tabel 7
menunjukkan hasil uji ANOVA untuk mengetahui pengaruh informasi kompensasi dan pengungkapan
CSR terhadap ketertarikan pencari kerja pada perusahaan.
Tabel 7
Dependent Variable: Ketertarikan
Source
Type III Sum of
Df
Mean
Squares
F
Sig.
Square
Corrected Model
0,075a
3
0,025
3,324
0,031
Intercept
21,427
1
21,427
2833,927
0,000
Kompensasi
0,026
1
0,026
3,431
0,073
CSR
0,061
1
0,061
8,056
0,008
Kompensasi*CSR
0,001
1
0,001
0,143
0,708
Error
0,250
33
0,008
Total
24,957
37
0,325
36
Corrected Total
a. R Squared = 0,232 (Adjusted R Squared = 0,162)
Hipotesis 1 memprediksi bahwa pencari kerja lebih tertarik untuk bekerja di perusahaan yang
menawarkan kompensasi yang lebih tinggi dari rata-rata industri daripada kompensasi yang berada
pada rata-rata industri. Sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 1, nilai rata-rata ketertarikan pencari
kerja yang mendapatkan informasi kompensasi di atas rata-rata industri (kelompok A dan B) lebih
tinggi daripada rata-rata ketertarikan pencari kerja yang memperoleh informasi kompensasi sebesar
rata-rata industri (kelompok C dan D). Namun demikian, variabel informasi kompensasi tidak
signifikan pada level 0,05 (nilai sig.= 0,073). Hal ini berarti bahwa informasi kompensasi tidak
berpengaruh secara signifikan terhadap ketertarikan pencari kerja pada perusahaan. Maka, hipotesis 1
dinyatakan tidak terdukung oleh data. Dari pengujian ini dapat disimpulkan bahwa walaupun
informasi kompensasi tidak berpengaruh signifikan pada ketertarikan pencari kerja, namun dalam
keadaan cateris paribus, pencari kerja akan lebih memilih bekerja di perusahaan yang menawarkan
kompensasi lebih tinggi. Temuan ini mendukung literatur yang menyatakan bahwa karyawan saat ini
tidak hanya mementingkan kompensasi dan manfaat yang komprehensif saja, namun juga faktorfaktor non moneter seperti nilai dan budaya perusahaan (Arthur, 2001).
Hipotesis 2 memprediksi bahwa pencari kerja lebih tertarik untuk bekerja di perusahaan yang
memiliki pengungkapan CSR tinggi daripada perusahaan yang memiliki pengungkapan CSR rendah.
Sebagaimana diindikasikan oleh Tabel 1, kelompok yang mendapatkan pengungkapan CSR tinggi
(kelompok A dan C) memiliki rata-rata yang lebih tinggi daripada kelompok yang mendapatkan
pengungkapan CSR rendah (kelompok B dan D). Tabel 7 mengonfirmasi hal tersebut signifikan
secara statistik pada level 0,05 (nilai sig.= 0,008). Maka, dapat disimpulkan bahwa pengungkapan
CSR secara signifikan mempengaruhi ketertarikan pencari kerja pada perusahaan. Dengan begitu,
hipotesis 2 dinyatakan terdukung oleh data. Temuan ini mendukung hasil penelitian yang dilakukan
oleh Albinger dan Freeman (2000) dan Greening dan Turban (2000) yang menemukan bahwa reputasi
perusahaan terkait aktivitas CSR secara signifikan mempengaruhi ketertarikan pencari kerja pada
perusahaan
Hipotesis 3 memprediksi bahwa pencari kerja lebih tertarik untuk bekerja di perusahaan yang
memiliki pengungkapan CSR yang lebih tinggi dengan kompensasi sebesar rata-rata industri daripada
di perusahaan yang memiliki tingkat pengungkapan CSR yang rendah dengan kompensasi di atas ratarata industri. Tabel 1 menunjukkan bahwa kelompok yang mendapatkan informasi kompensasi
sebesar rata-rata industri dan pengungkapan CSR tinggi (kelompok C) memiliki rata-rata yang lebih
tinggi daripada kelompok yang mendapatkan informasi kompensasi di atas rata-rata industri dan
pengungkapan CSR rendah (kelompok B). Namun demikian, variabel informasi kompensasi yang
diinteraksikan dengan variabel pengungkapan CSR tidak signifikan pada level 0,05 (nilai sig.= 0,708).
Hal ini berarti bahwa informasi kompensasi dan pengungkapan CSR tidak saling berinteraksi dalam
mempengaruhi ketertarikan pencari kerja pada suatu perusahaan. Pencari kerja akan lebih
mempertimbangkan reputasi perusahaan yang dibentuk oleh pengungkapan CSR daripada informasi
terkait kompensasi yang ditawarkan oleh perusahaan, dan kedua variabel independen tersebut tidak
mempengaruhi variabel dependen secara bersama-sama. Dengan demikian, hipotesis 3 dinyatakan
tidak terdukung oleh data.
Hipotesis 4 diuji menggunakan Moderated Regression Analysis (MRA). Dari Tabel 8
diketahui bahwa koefisien variabel pemoderasi yang ditunjukkan oleh koefisien Penalaran
Moral*Pengungkapan CSR memiliki nilai -0,196. Hal ini berarti bahwa variabel pemoderasi
penalaran moral memperlemah pengaruh pengungkapan CSR terhadap ketertarikan pencari kerja pada
perusahaan. Namun, karena variabel tersebut tidak signifikan pada level 0,05 dengan nilai sig.= 0,502,
maka dapat disimpulkan bahwa variabel penalaran moral tidak memoderasi pengaruh pengungkapan
CSR terhadap ketertarikan pencari kerja pada perusahaan, sehingga hipotesis 4 tidak terdukung oleh
data.
Tabel 8
Model
Koefisien
t
Sig.
Konstanta
0,640
9,534
0,000
Penalaran Moral
0,511
2,066
0,047
Pengungkapan CSR
0,079
0,858
0,397
Penalaran Moral*Pengungkapan CSR
-0,196
-0,679
0,502
Tidak signifikannya pengaruh penalaran moral dalam memoderasi pengungkapan CSR
terhadap ketertarikan pencari kerja pada perusahaan disebabkan karena instrumen DIT yang
digunakan untuk mengetahui tingkat penalaran moral individu dalam penelitian ini mengukur P-score
yang mencerminkan nilai total untuk tahapan perkembangan moral pada tahap postconventional. Pada
tahap ini, seseorang tidak lagi membuat moral judgement berdasarkan kepentingan pribadi
(egosentris) ataupun untuk memenuhi ekspektasi lingkungan di sekitarnya, namun berdasarkan prinsip
moral yang diyakininya dengan sudut pandang yang luas. Dengan begitu, pola pemikiran seseorang
pada level postconventional terkait dilema etika sangatlah luas. Hal ini memungkinkan adanya
berbagai faktor lain yang mempengaruhinya dalam memandang suatu fenomena sosial. Maka,
tingginya tingkat penalaran moral seseorang belum tentu memperkuat pengaruh pengungkapan CSR
perusahaan terhadap ketertarikan seseorang pada perusahaan tersebut.
Negatifnya koefisien pemoderasi bertentangan dengan pendapat Coldwell, et al. (2008) yang
menyatakan bahwa seseorang yang memiliki tingkat penalaran moral tinggi akan cenderung tidak
tertarik untuk bekerja di perusahaan yang tidak memiliki tanggung jawab sosial yang baik. Menurut
Coldwell, et al. (2008), seseorang yang memiliki penalaran moral pada level postconventional
memiliki ekspektasi etika yang lebih tinggi daripada mereka yang berada pada level conventional dan
preconventional. Maka, semakin tinggi tingkat penalaran moral individu, semakin tinggi pula
ekspektasi seseorang terkait praktik etika pada perusahaan. Bertentangan dengan pendapat Coldwell,
et al. (2008), Turner dan Barling (2002) menyatakan bahwa tingkat penalaran moral individu yang
tinggi berkaitan dengan sifat kepemimpinan transformasional. Seseorang dengan sifat kepemimpinan
transformasional yang memiliki tingkat penalaran moral tinggi cenderung berupaya untuk
mempengaruhi dan memotivasi lingkungan sekitarnya untuk bertindak sesuai apa yang ia yakini benar
secara moral. Dengan demikian, negatifnya koefisien variabel pemoderasi berkemungkinan
disebabkan karena karakteristik kepemimpinan responden yang bersifat transformasional, sehingga
semakin tinggi tingkat penalaran moral individu yang dimiliki menggerakkan mereka untuk berupaya
mempengaruhi perusahaan dengan pengungkapan CSR rendah untuk memperbaiki dan meningkatkan
aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan, serta mengungkapkannya kepada publik.
5. Kesimpulan, Implikasi, dan Keterbatasan Penelitian
Hasil pengujian hipotesis menunjukkan bahwa pencari kerja lebih mempertimbangkan faktor
non ekonomi daripada faktor ekonomi dalam menentukan perusahaan sebagai tempat mereka bekerja
kelak. Faktor non ekonomi ini diwakili oleh pengungkapan CSR perusahaan, sementara faktor
ekonomi diwakili oleh informasi terkait kompensasi yang ditawarkan perusahaan. Temuan ini dapat
memberikan rekomendasi kepada berbagai perusahaan di Indonesia untuk melaksanakan aktivitas
tanggung jawab sosial dengan baik dan mengungkapkannya secara ekstensif kepada publik. Melalui
cara ini, perusahaan dapat menurunkan ketidakpastian informasi yang dimiliki oleh pemangku
kepentingan eksternal perusahaan, yang salah satunya adalah calon karyawan. Proses rekrutmen
merupakan salah satu tahap krusial dalam proses Manajemen SDM yang memiliki kontribusi besar
pada kemampuan perusahaan dalam mencapai tujuannya, sehingga rangkaian tahapan dalam
rekrutmen menjadi perhatian yang penting. Untuk meningkatkan kemampuan perusahaan dalam
menjaring pencari kerja berkualitas, pengungkapan CSR yang ekstensif diperlukan. Sementara itu,
penelitian ini juga memberikan rekomendasi kepada berbagai perusahaan untuk tidak menjadikan
paket kompensasi sebagai satu-satunya faktor yang mungkin meningkatkan daya tariknya di mata
pencari kerja, sebab informasi terkait kompensasi terbukti tidak signifikan dalam mempengaruhi
ketertarikan pencari kerja pada perusahaan.
Sementara itu, peran penalaran moral individu dalam memoderasi pengaruh pengungkapan
CSR terhadap ketertarikan pencari kerja pada perusahaan belum dapat dibuktikan secara empiris. Hal
ini disebabkan karena adanya faktor-faktor lain yang mungkin mempengaruhi yang tidak diteliti pada
penelitian ini. Salah satu contoh dari faktor tersebut adalah sifat kepemimpinan partisipan eksperimen.
Selain itu, upaya pembuktian hipotesis ini dapat memberikan kontribusi teoretis. Pembuktian hipotesis
4 dapat memberikan kontribusi pada ilmu pengetahuan sebab, sejauh pengetahuan peneliti, belum ada
penelitian terdahulu yang mencoba membuktikan secara empiris bagaimana peran penalaran moral
dalam memoderasi pengaruh pengungkapan CSR terhadap ketertarikan pencari kerja pada
perusahaan.
Penelitian ini terbatas pada menguji variabel penalaran moral saja. Variabel lain yang
mungkin relevan atau berpotensi seperti karakteristik individu sang pencari kerja tidak diteliti.
Padahal keunikan karakteristik individu masing-masing ini mungkin merupakan variabel pemoderasi
yang baik. Untuk itu, dalam penelitian selanjutnya, karakteristik individu sudah selaiknya dapat
diteliti.
Daftar Pustaka
Taylor, M. S., & Collins, C. J. (2000). Organizational recruitment: Enhancing the
intersection of research and practice. Oxford, UK: Blackwell Publishing.
Arthur, D. (2001). The Employee Recruitment and Retention Handbook. New York, NY:
AMACOM.
Greening, D. W., & Turban, D. B. (2000). Corporate Social Performance as a Competitive
Advantage in Attracting a Quality Workforce. Business Society , 39 (3), 254-280.
Gatewood, R. D., Gowan, M. A., & Lautenschlager, G. J. (1993). “Corporate Image,
Recruitment Image And Initial Job Choice Decisions. Academy of Management Journal , 36
(2), 414-427.
Clarkson, P. M., Li, Y., Richardson, G. D., & Vasvari, F. P. (2008). Revisiting the relation
between environmental performance and environmental disclosure: An empirical analysis.
Accounting, Organizations and Society , 33 (4-5), 303-327.
Fombrun, C., & Shanley, M. (1990). What's in a Name? Reputation Building and Corporate
Strategy. Academy of Management Journal , 33 (2), 233-258.
Tajfel, H., & Turner, J. (1979). An Integrative Theory of Intergroup Conflict. Dalam W.
Austin, & S. Worchel, The Social Psychology of Intergroup Relation (hal. 33-47). BrooksCole.
Piaget, J. (1932). The Moral Judgement of the Child. London: Kegan Paul.
Kohlberg, L. (1981). The Philosophy of Moral Development: Moral Stages and the Idea of
Justice. San Francisco: Harper & Row.
Rockness, H. O., Bazley, J. D., & Nikolai, L. A. (1977). Variance analysis for pollution
control. Management Accounting , 51-54.
Wolk, H. I., Dodd, J. L., & Rozycki, d. J. (2013). Accounting Theory: Conceptual Issues in
Political and Economic Environment. Thousand Oaks, California: SAGE.
Velasquez, M. G. (2012). Business Ethics: Concept and Cases. Upper Saddle River, NJ:
Pearson Education, Inc.
McMahon, J. (2000, April 28). The Effects of Cognitive Moral Development and
Reinforcement Contingencies on Ethical Decision Making. Master Thesis . Blacksburg, VA:
Faculty of the Virginia Polytechnic Institute and State University.
Weber, J. (1992). Scenarios in Business Ethics Research: Review, Critical Assessment, and
Recommendations. Business Ethics Quarterly , 2, 137-160.
Liana, L. (2009). Penggunaan MRA dengan Spss untuk Menguji Pengaruh Variabel
Moderating terhadap Hubungan antara Variabel Independen dan Variabel Dependen. Jurnal
Teknologi Informasi DINAMIK , XIV (2), 90-97.
Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. (2012). Kualitas Tenaga Kerja RI Rendah.
Dipetik October 23, 2016, dari http://www.kemenperin.go.id/artikel/8161/Kualitas-TenagaKerja-RI-Rendah
Bursa Efek Indonesia. (2015). Pengumuman Saham yang Masuk dan Keluar dalam
Perhitungan Indeks SRI-KEHATI. Bursa Efek Indonesia.
Rest, J. R. (1986). DIT Manual 3rd Edition. Minneapolis, MN: University of Minnesota
Centre for the Study of Ethical Development.
Rest, J. R. (1979). Development in Judging Moral Issues. Minneapolis, MN: University of
Minnesota Press.
Pfeffer, J. (1994). Competitive advantage through people. California Management Review ,
36 (2), 9-28.
Turner, N., & Barling, J. (2002). Transformational Leadership and Moral Reasoning. Journal
of Applied Psychology , 87 (2), 304–311.
Albinger, H. S., & Freeman, S. J. (2000). Corporate Social Performance and Attractiveness as
an Employer to Different Job Seeking Populations. Journal of Business Ethics , 28, 243-253.
Coldwell, D. A., Billsberry, J., Meurs, N. v., & Marsh, P. J. (2008). The Effects of Person–
Organization Ethical Fit on Employee Attraction and Retention: Towards a Testable
Explanatory Model. Journal of Business Ethics , 78, 611-622.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
(2007).
Dolan, K. A. (1997, June 2). Kinder, Gentler M.B.A.s. 39-40. Forbes.
Snell, S. A., Youndt, M. A., & Wright, P. M. (1996). Establishing a framework for research
in strategic human resource management: Merging resource theory and organizational
learning. Research and Human Resources Management , 14, 61-90.
Belt, J. A., & Paolillo, J. G. (1982). The Influence of Corporate Image and Specificity of
Candidate Qualifications on Response to Recruitment Advertisement. Journal of
Management 8 , 8 (1), 105-112.
LAMPIRAN
1. Instrumen kelompok A
2. Instrumen kelompok B
3. Instrumen kelompok C
4. Instrumen Kelompok D
6. Instrumen Defining Issues Test
Download